BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN. hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN. hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya."

Transkripsi

1 32 BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu : 1. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun. 3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUH Perdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUH Perdata. Pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 s/d Pasal 15). 32

2 33 Namun dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi di dalam KUH Perdata. B. Pengertian Pengangkatan Anak dan Pengaturannya Anak merupakan individu yang berada dalam perkembangan mulai dari bayi hingga remaja dan belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua di mana kata anak merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Hal ini sesuai dengan pengertian anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern bahwa anak adalah keturunan kedua. 35 Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa : Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan hal Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka, Jakarta, 2005,

3 34 keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. 36 Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi sehingga pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial. Kedudukan anak sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Tidak mampu dimaksud adalah karena akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kontrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. 37 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 38 Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dalam konteks hukum perdata pengertian anak erat kaitannya dengan 36 Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000, hal Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006, hal. 119.

4 35 kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan, dimana terdapat perbedaan tolak ukur, antara lain: a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa (Minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis Pasal 419) b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 tahun ada 19 tahun. c. Hukum kebiasaan (hukum adat dan hukum Islam) Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: (1) Dapat bekerja sendiri (mandiri), (2) Cakap untuk melakukan apa yang

5 36 disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri. 39 Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata. 40 Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun. Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya anak angkat atau anak orang lain yang diangkat menjadi layaknya anak sendiri atau anak kandung. Dengan kata lain anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum. Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. 41 Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan hal Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal Ibid, hal Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

6 37 atas harta kekayaan rumah tangganya. 42 Sedangkan menurut Surojo Wignodipuro yang mengartikan sebagai berikut : Anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri. 43 Kemudian menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 44 Sementara itu dalam Mahmud Syaltut yang dikutip Aziz Dahlan, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat, yaitu :. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab)orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1991, hal Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Kinta, 1972, hal M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal A. Aziz Dahlan, Op.Cit., hal

7 38 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, ditentukan bahwa : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Adanya anak angkat dalam sebuah keluarga adalah akibat adanya tindakan pengangkatan anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan/penetapan Pengadilan Negeri. 46 Sifat perbuatan pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dianggap hanya sebagai hasil kesepakatan antara para pihak semata, pengangkatan anak harus dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan suatu hubungan hukum yang sah bagi anak angkat dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan penetapan pengadilan. hal Erna Sofwan Sjukrie, Lembaga Pengangkatan Anak, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992,

8 39 Hendaknya dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak bukanlah suatu perbuatan hukum yang dapat terjadi pada suatu saat seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukan adanya kesungguhan, cinta kasih dan kesadaran yang penuh akan segala akibat dari pengangkatan anak. Apabila ditelaah ketentuan dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. 1. Secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata adoptie bahasa Belanda atau adopt bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 2. Secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. 47 Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu 47 Muderis Zaini, Op.Cit., hal. 4.

9 40 ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis. 48 Dengan kata lain, melalui pengangkatan anak, anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang tua yang mengambil anak itu sebagai sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkat. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan. 49 Mengenai adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya. Pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Dengan kata lain adopsi itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga hal Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara. Jakarta, 1990,

10 41 pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Pengangkatan anak dilihat dari tujuannya dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu pengangkatan anak ditinjau dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial, yaitu meningkatkan kesejahteraan anak. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Djaja S. Meliala mengatakan bahwa alasan orang melakukan pengangkatan anak sangat beragam, tetapi terutama yang terpenting adalah: 1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya. 2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua. 3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri. 4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja. 6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan / kebahagiaan keluarga. 50 hal Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982,

11 42 Arief Gosita yang dikutip Irma Setyowati Soemitro menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunyai dampak terhadap perlindungan anak, syaratsyarat yang harus dipenuhi yaitu : a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu; b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial; c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keuangannya; d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat; e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya. 51 Beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain : 1. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut : a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak; b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya; c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan; d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak; e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu. 51 Irma Setyowati Soemitro, Op.Cit., hal 38.

12 43 2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut : a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri; b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya; c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak; d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain; e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua angkatnya; f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya; g. Masih mempunyai anak beberapa lagi; h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri; i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan tidak sah; j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya. Pengangkatan anak selain bertujuan untuk memperoleh anak, mendapatkan anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki, menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Sejalan dengan perkembangan waktu dan masyarakat nilai dari pengangkatan anak mengalami pergeseran. Pada mulanya pengangkatan anak terutama ditujukan untuk kepentingan orang yang mengangkat anak (adoptant), tetapi untuk saat ini

13 44 masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang diangkat (adoptandus) yakni untuk kesejahteraan si anak. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa masalah pengangkatan anak berkaitan dengan masalah perlindungan anak. Selama dalam pengasuhan, anak berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti yang telah diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak, yang menyebutkan sebagai berikut : Pasal 13 Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Pengaturan mengenai hak-hak anak yang didapatkan oleh anak angkat tersebut wajib diberikan orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak angkat tersebut, sehingga hak anak telah terlindungi sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU Perlindungan Anak. Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak juga mengatur mengenai hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari segala diskriminasi, yang menyatakan sebagai berikut Hak-hak

14 45 yang dinyatakan dalam Konvensi ini akan berlaku pada semua anak yang ada di dalam suatu negara tanpa segala macam diskriminasi. Anak akan dilindungi dari diskriminasi berdasarkan status keluarga, kegiatan atau kepercayaannya. Selain itu, dalam Pasal 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak juga menyatakan bahwa Negara akan melindungi anak-anak dari semua bentuk kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, pengabaian dan eksploitasi selagi mereka berada di bawah asuhan orang tua atau orang lain dalam mengimplementasikan pencegahan dan program perawatan. Berdasarkan Pasal 2 dan 19 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak tersebut di atas selaras dengan adanya Pasal 13 UU Perlindungan Anak di mana anak juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan juga kekerasan. Pelaksanaan pengangkatan anak dalam praktiknya lebih mengutamakan pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak di samping juga kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Kemudian pelayanan diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Sepanjang proses tersebut, anak benarbenar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa bukan sebagai objek perdagangan. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan

15 46 anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Pengangkatan anak dilakukan melalui Dinas Sosial dan diatur dalam Ketentuan Umum angka 6 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/ 1980 tentang Organisasi Sosial yang menyatakan bahwa Organisasi sosial/ lembaga pelayanan sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum yang menangani pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Dinas Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial sebagai penyelenggara pengangkatan anak. 52 Kriteria yayasan/organisasi sosial yang dapat ditunjuk oleh Menteri Sosial sebagai lembaga yang memfasilitasi pengangkatan anak adalah: 1. Memiliki panti sosial asuhan anak yang khusus melayani anak balita dengan sarana dan prasarana yang memadai. 2. Memiliki SDM yang melaksanakan tugas secara purna waktu dengan disiplin/keterampilan pekerja sosial. Sarjana hukum, psikolog, dan pengasuh. 3. Mandiri dalam operasional 4. Telah memiliki hubungan kerja dengan rumah sakit setempat. 53 Dalam melakukan pengangkatan anak perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur pengajuan pengangkatan anak yang diatur dalam Pasal 39 sampai 52 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial 53 Departemen Sosial Republik Indonesia. Op.Cit., hal 4

16 47 dengan Pasal 41 UU Perlindungan Anak. Syarat yang wajib dipenuhi demi kepentingan anak menurut UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut : Pasal 39 (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Berdasarkan ketentuan hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak, maka orang tua angkat mempunyai kewajiban seperti yang telah diatur dalam Pasal 40 yang menyebutkan : (1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

17 48 Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandung ini bertujuan agar anak yang telah diangkat tidak merasa kehilangan jati diri yang sebenarnya dan mengetahui asal usulnya yang sebenar-benarnya. Selain itu, agar tujuan dari UU Perlindungan Anak ini tercapai, maka diperlukan peran serta dari masyarakat dan pemerintah. Pasal 41 yang menentukan bahwa : (1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian, syarat dan prosedur lain yang harus ditempuh untuk melakukan pengangkatan anak keduanya adalah WNI. Untuk syarat calon orang tua angkat (pemohon), diperbolehkan pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat atau biasanya disebut dengan private adaption. Selain itu, pengangkatan anak oleh orang yang belum menikah juga diperbolehkan atau disebut dengan single parents adaption, asalkan para orang tua angkat ini mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Syarat calon anak angkat (bila dalam asuhan suatu yayasan sosial), yayasan sosial harus mempunyai surat ijin tertulis dari Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diijinkan bergerak di bidang pengasuhan anak dan calon anak angkat harus punya ijin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang berwenang bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat, dan apabila ijin sudah lengkap, kemudian mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada Ketua

18 49 Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat. Selain itu, Arif Gosita mengatakan bahwa dalam hal pengangkatan anak harus ada pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam terjadinya dan berlangsungnya pengangkatan anak adalah sebagai berikut : a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak. c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang secara individual atau kelompok (badan, organisasi) menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang bersangkutan. e. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak. f. Anak yang diangkat, yang tidak menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya, menjadi korban tindakan aktif dan pasif seseorang. 54 Sementara itu, menurut Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak Departemen Sosial Republik Indonesia dalam pengangkatan anak pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut: a. Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat. b. Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak. hal Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Edisi Pertama. Akademi Presindo. Jakarta. 1989,

19 50 c. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak. d. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan, organisasi). e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan. f. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak. g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya. 55 Pihak Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak ikut andil dalam proses adopsi sebagai fasilitator, dengan perannya menjembatani calon orang tua adopsi dengan rumah sakit atau yayasan sosial yang dapat melaksanakan adopsi anak. Dinas Sosial akan berperan memberikan pengarahan-pengarahan kepada calon orang tua adopsi apa saja yang diperlukan apabila akan melaksanakan adopsi anak, diantaranya adalah dengan memberitahukan prosedur dan syarat yang harus dipenuhi oleh calon orang tua adopsi. Selain itu, dalam pelaksanaan adopsi anak Dinas Sosial juga memberikan pengawasan dan pembinaan kepada yayasan sosial atau panti asuhan yang biasanya melakukan adopsi anak agar pelaksanaan adopsi dapat berjalan sesuai dengan prosedur-prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari Adopsi anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak 55 Departemen Sosial Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta hal 5

20 51 tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik sehingga apa yang anak tersebut peroleh dapat dipergunakan di masa depan mereka. Agar proses pelaksanaan adopsi dapat berjalan dengan lancar, maka calon orang tua adopsi harus memenuhi segala persyaratan dalam pengangkatan anak (adopsi). Apabila dalam proses ada syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan. Pengaturan mengenai Prosedur lebih lengkapnya tentang permohonan pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut : a. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota dengan melampirkan: 1) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial; 2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada Organisasi Sosial (Orsos); 3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat; 4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat; 5) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat; 6) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;

21 52 7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter Pemerintah; 8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter Psikiater; 9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. b. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup; 2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri); 3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat. c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat Kabupaten/Kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal). d. Proses Penelitian Kelayakan e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah f. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/ Kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat.

22 53 g. Penetapan Pengadilan. h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan. 56 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam pengangkatan anak juga harus dipenuhi berbagai persyaratan khususnya yang menyangkut orang yang mengangkat anak dan calon anak yang diangkat (diadopsi). Guna melegalkan adopsi atau pengangkatan anak maka dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan pengangkatan anak yang ilegal adalah pengangkatan anak yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan. Namun terhadap anak yang diangkat secara tidak sah, tidak ada hubungan hukum yang terjadi diantara orang tua angkat dengan anak angkat tersebut. C. Hukum Adat dan Sejarah Keberadaan Masyarakat Etnis Tionghoa Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat 56 Hukum Online, Anak Angkat Prosedur dan Hak Warisnya, diakses 12 September 2013 Pukul Wib

23 54 memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. 57 Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Hukum Adat mengenai tata Negara 2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). 3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana). Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia). 58 Menurut Bushar Muhammad istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda adat recht, dimana Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah adatrecht kemudian di kutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis. 59 Van Vollenhoven memberi pengertian: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang 57 Sangkoeno, Hukum Adat di Indonesia, Diakses 25 Nopember 2013 Pukul Wib. 58 Ibid. 59 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1

24 55 dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu. 60 Apabila dilihat dari pengertian di atas, jelaslah bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang (sifat dinamis) serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Kemudian masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 61 China Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka suku bangsa China yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara automatik ke dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang. hal C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, , hal Soerjono Soekanto dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982,

25 56 Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra. Menurut Pusdiklat Kebudayaan China Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam sejarah Indonesia bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah Negara Indonesia terbentuk, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia kemudian digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia. 62 Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatancatatan literatur Tionghoa menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tionghoa. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tionghoa ke Nusantara dan sebaliknya. S. Bunardi mengatakan bahwa : Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebangai Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu) dan Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (HanTzu, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tionghoa Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, Pukul Wib 62 S Bunardi, Pusdklat Kebudayaan China, e-journal.uajy.ac.id. Diakses 5 Januari 2014.

26 57 sedangkan Tionghoa Utara menyebut diri mereka orang HAN (HAN Tzu: hanyu pinyin; hanren, bahasa Indonesia: Orang Han). 63 Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoa pun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. 63 Ibid.

27 58 Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Tionghoa adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini. Josh Chen mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa adalah suatu perkumpulan/ komunitas yang berasal timur asing (Cina) yang masuk dan bermukim di wilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai warga negara Indonesia ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi warga negara Indonesia. 64 Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun Selama Orde 64 Josh Chen, Suku Hainan Etnis Tionghoa, Diakses 10 Nopember 2013 Pukul Wib

28 59 Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih popular disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunanketurunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang masih dipertanyakan. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. D. Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat etnis Tionghoa kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dari suatu keluarga. Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Tujuan membentuk suatu keluarga adalah melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan

29 60 anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling diharapkan kehadirannya karena dengan hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga. Kehadiran seorang anak dalam keluarga anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal keinginan memperoleh anak dalam perkawinan tidak dapat diwujudkan oleh pasangan suami isteri sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. 65 Cara memperoleh anak dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini. 65 Dessy Balaati, Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia, Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, hal 138.

30 61 Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak lebih ditujukan demi kesejahteraan anak. Di dalam masyarakat hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama. Namun demikian, di dalam KUHPerdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai Pasal 290 KUHPerdata. lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, yang semua hanya mengatur tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang ikut menundukkan diri pada Staatsblad tersebut.

31 62 Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak (adopsi). Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan. Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Selain itu, kebanyakan dari masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya Sumiati Usman, Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris, Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013, hal 136.

32 63 Apabila ditelaah ketentuan pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat memaksa (Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1917 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala Van adoptie. Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 sebagai berikut : 1. Yang dapat mengangkat anak adalah : suami, istri, janda, atau duda (Pasal 5). 2. Yang dapat diangkat anak, ialah : hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain (Pasal 6). 3. Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya delapan belas tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda dari istri atau janda yang mengadopsinya (Pasal 7 ayat (1)). 4. Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)). 5. Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya (Pasal 11). 6. Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua adopsi dengan orang tua kandungnya (Pasal 14).

33 64 7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada Akta Notaris adalah batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)). 67 Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, jelaslah bahwa pengangkatan anak (adopsi) bagi kalangan masyarakat Tionghoa, yang antara lain mengatur seorang lakilaki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya pengangkatan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang suami, bersamasama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri anak yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain orang yang diangkat harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya. Apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum. Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu hal Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012,

34 65 kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya. E. Syarat-syarat dan Prosedur Pengangkatan Anak Perempuan pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan Pengangkatan anak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak (adopsi) akhirakhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak termasuk dikalangan warga etnis Tionghoa. Keanekaragaman hukum yang mengatur masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika diteliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema masyarakat, terutama menyangkut masalah ketentuan hukumnya. Lembaga pengangkatan anak telah lama di kenal dalam masyarakat adat termasuk dalam masyarakat etnis Tionghoa yang pelaksanaannya pada umumnya dengan suatu upacara adat dan pemberian bendabenda sebagai tanda peralihan kekuasaan dari orang tua kandung kepada orang tua

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK Oleh : Suwardjo Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI Hukum perdata di Indonesia baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse), 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang anak adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan anak. Pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi, kata adopsi berasal dari bahasa latin adoptio yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DI KOTA JAMBI RINGKASAN TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S-2 Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 2.1 Pengertian Pengangkatan anak Dalam proses pengangkatan anak maka

Lebih terperinci

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA. A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA. A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak 27 BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari keinginan untuk memiliki seorang keturunan. Keinginan untuk memiliki keturunan atau mempunyai anak merupakan suatu

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN DI KALANGAN ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN EDY MAYOR

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN DI KALANGAN ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN EDY MAYOR EDY MAYOR 1 KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN DI KALANGAN ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN EDY MAYOR ABSTRACT Chinese ethnic group has matrilineal system which means that only the boy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut UUP memberikan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TESISI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derjat S-2 Program Studi Magister Kenotariatan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994 129 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994 Afandi Ali, Hukum Waris, Hukum Masyarakat dan Hukum Pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986 Ashofa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 KAJIAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK DALAM UPAYA PERLINDUNGAN ANAK 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan dan tujuan pengangkatan anak dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, yang hubungannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2 KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 1 Oleh: Sarwenda Kaunang 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak antar

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1)

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta-otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

Lanjutan. AkibatHukumDari Adopsi(BAB I Ketentuan Umum PP 54/2007) 10/03/2016

Lanjutan. AkibatHukumDari Adopsi(BAB I Ketentuan Umum PP 54/2007) 10/03/2016 ADOPSI NASIONAL Dimas AuliyaFikriBilFili 13501017111184 ( 42 ) FajarMangggalayudha 13501017111166 ( 40 ) Hariz Muhammad 135010101111182 ( 22) NurMuhammad Pandu Dipo 13501017111178 ( 41 ) AkibatHukumDari

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda BAB I A. Latar Belakang Masalah Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda yaitu laki-laki dan perempuan yang telah menjadi kodrat bahwa antara dua jenis itu saling berpasangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SECARA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

PENGANGKATAN ANAK SECARA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK PENGANGKATAN ANAK SECARA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK Muhammad Heriawan heriyawan67@gmail.com Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako Abstract Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB IV 4. ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PROSES PENGANGKATAN ANAK MELALUI PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN OLEH ORANG TUA ANGKAT

BAB IV 4. ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PROSES PENGANGKATAN ANAK MELALUI PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN OLEH ORANG TUA ANGKAT 46 BAB IV 4. ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PROSES PENGANGKATAN ANAK MELALUI PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN OLEH ORANG TUA ANGKAT 4.1. Proses pengangkatan anak yang ada dimasyarakat Masalah pengangkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat) BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Dengan demikian setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2006 NOMOR 6 SERI E NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2006 NOMOR 6 SERI E NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2006 NOMOR 6 SERI E NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan pengaturan pengangkatan anak di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan pengaturan pengangkatan anak di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan pengaturan pengangkatan anak di Indonesia mengalami pasang surut. Ketika dijajah oleh Belanda selama kurang lebih selama 350 tahun. Dengan

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM

RANCANGAN QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM 1 RANCANGAN QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK 1. Analisis sebab terjadinya dissenting opinion dalam proses penyelesaian persidangan perkara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan dan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula.

BAB I PENDAHULUAN. didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beberapa Provinsi dan berbagai macam suku yang bermukim dari Nangroe Aceh Darusalam (Sabang) sampai Papua (Merauke), suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Dasar Alkitabiah Adopsi / Pengangkatan Anak ADOPSI MENURUT AGAMA NON-MUSLIM. Hak Waris Anak Adopsi terhadap Orang Tua Biologis dan Orang Tua Angkat

Dasar Alkitabiah Adopsi / Pengangkatan Anak ADOPSI MENURUT AGAMA NON-MUSLIM. Hak Waris Anak Adopsi terhadap Orang Tua Biologis dan Orang Tua Angkat ADOPSI MENURUT AGAMA NON-MUSLIM Anggota : Chyndra Supriyanto 155010100111033(No. Absen: 5) Miranda Widyawati 155010101111009(No. Absen: 12) Maria Meideline Simanungkalit 155010101111078(No. Absen: 17)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI PATI,

TENTANG BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

PENETAPAN HAKIM TERHADAP PERWALIAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 1979 (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI

PENETAPAN HAKIM TERHADAP PERWALIAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 1979 (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI PENETAPAN HAKIM TERHADAP PERWALIAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 1979 (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai

Lebih terperinci