SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI"

Transkripsi

1 SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK Oleh : Suwardjo Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI Hukum perdata di Indonesia baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis tidak semuanya memberikan ukuran yang sama mengenai batas seseorang untuk dapat dinyatakan sebagai anak, hanya dalam KUH Perdata saja yang menyebutkan secara tegas yaitu dalam pasal 330 ayat 1 yang menyatakan batas antara belum dewasa dan telah dewasa adalah usia 21 tahun dan sudah menikah sebelum usia tersebut. di Indonesia banyak orang yang melakukan pengangkatan anak, tetapi karena belum adanya Undang-undang yang secara tegas mengatur tentang hal itu maka orang melakukan pengangkatan anak sesuai dengan kehendaknya sendiri, akibatnya status hukumnya dari anak yang diangkat tidak pasti. Kata kunci : anak, anak angkat dan perlindungan hokum anak angkat A. PENDAHULUAN Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentunya ingin mendapatkan keturunan sebagai penerus kehidupannya di masa depan, orang sering mengatakan bahwa perkawinannya tidak berhasil karena tidak dapat mempunyai anak, kenyataannya memang menunjukkan banyak orang yang tidak mempunyai anak (keturunan), oleh karena itu mereka terpaksa mengangkat anak. Dalam pengangkatan anak kebanyakan mereka tidak mengetahui bagaimana cara pengangkatan anak itu sehingga bisa dianggap sah oleh hukum, sehingga diperlukan adanya suatu lembaga pengangkatan anak. Ada beberapa faktor yang harus mendapat perhatian untuk mengangkat seorang anak yaitu anatara lain subyek yang melakukan pengangkatan anak, alasan yang melatarbelakangi perbuatan pengangkatan anak, ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak serta para pihak yang mendapatkan kerugian dan keuntungan dalam pengangkatan anak. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka tindakan menerima atau menolak pengangkatan anak, antara lain dengan dikeluarkannya surat edaran Menteri Sosial tanggal 7 Desember 1978 No.Huk /78 yang ditujukan pada semua

2 Kanwil Depsos tentang kekuatan hukum pengangkatan anak, surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2 Tahun 1978 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 tentang prosedur pengangkatan anak oleh orang asing. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak sebenarnya sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda yaitu diatur dalam Staatblad Tahun 1917 No.129 Juncto Tahun 1924 No.557 menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah laki-laki beristri atau pernah beristri atau tidak mempunyai keturunan anak laki-laki. Dalam perkembangannya timbul kesadaran masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak yang diatur oleh masyarakat adat maupun masyarakat keturunan Tionghoa melakukan pengangkatan anak dengan akta notaris kemudian diajukan permohonan penetapan pengadilan negeri. Praktek pengangkatan yang demikian adalah merupakan penyimpangan terhadap ketentuan Staatblad 1917 No.129 Juncto Staatblad Tahun 1924 No.557, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No.6 Tahun 1983 serta proses pembuatan akta kelahiran di kantor catatan sipil. Dengan kenyataan tersebut diatas dan didukung oleh fakta bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengangkatan anak, hendaknya pemerintah segera membuat Undangundang yang khusus mengatur tentang pengangkatan anak tersebut.

3 B. PENGERTIAN ANAK : Menurut hukum perdata baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis terdapat perbedaan tentang tolok ukur mengenai batas seseorang untuk dianggap sebagai anak, tolok ukur tersebut adalah sebagai berikut : 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam pasal 330 menyatakan : Ayat 1 : memuat batas antara belum dewasa (minderjerigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu umur 21 tahun kecuali : - Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun - Pendewasaan. Ayat 2 : menyatakan bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya. Ayat 3 : menyatakan bahwa seorang yang belum dewasa yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua akan berada dibawah perwalian 2. Menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan ; Undang undang ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang dapat digolongkan sebagai anak, namun secara tersirat dalam pasal 6 ayat 2 yang mengatur tentang syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. Pasal 7 ayat 1 memuat batas minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun, bagi wanita adalah 16 tahun. Pasal 47 ayat 1menyatakan bahwa anak yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tua, selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.

4 Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Dari pasal-pasal dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. 3. Menurut hukum adat : Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa dan wenang bertindak. Berdasar kan hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat yang disitir oleh Irma Setyowati (Irma Setyowati : ). Dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang tolok ukurnya : - Dapat bekerja sendiri (mandiri), - Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab, - Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri 4. Menurut hukum Islam Berdasarkan pendapat Mulyan W. Kusumah yang di sitir oleh Irma Setyowati, bahwa batasan kedewasaan menurut hokum Islam tidak berdasarkan batasan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah, baik bagi anak pria maupun bagi anak wanita ( Irma setyowati, )

5 C. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK 1. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan kekuasaan orang tua angkat berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan negeri. Untuk melanjutkan keturunan adalah merupakan salah satu alasan untuk melakukan pengangkatan anak dan biasanya dilakukan baik di lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain. Perbuatan mengangkat anak dalam hukum perdata materiil terletak di lapangan hukum keluarga. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, memperoleh anak (keturunan) tidak menjadi tujuan perkawinan yang utama tapi hal ini dipandang sebagai suatu hal yang cukup penting karena anak hasil dari perkawinan merupakan tali pengikat yang kuat antara suami dan istri dalam suatu perkawinan, sehingga apabila dalam suatu perkawinan tidak mempunyai keturunan akan terasa adanya kehampaan kebahagiaan dari suatu keluarga yang akhirnya dapat mengakibatkan kepunahan bagi keluarga tersebut. Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak atau undangundang perlindungan anak disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan (Pasal 1 Angka 9). Selain memberikan definisi tentang anak angkat undang-undang ini juga memberikan definisi tentang anak asuh (Pasal 1 Angka 1) yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan pemeliharaan, perawatan, pendidikan

6 dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin pertumbuhan anak secara wajar. Dalam lampiran 1 surat edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 halaman 3 butir IVB.4 bahwa pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah / walinya yang sah / orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan keputusan atau pengangkatan pengadilan negeri. 2. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Para Ahli 1. Surojo Wignyodipiro Menyatakan bahwa mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anaknya sendiri.(surojo Wignyodipuro, ). 2. Hilman Hadikusuma Menyatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan untuk tujuan kelangsungan keturunan dan atas harta kekayaan rumah tangga.( Hilman Hadikusuma, ). 3. Purnadi Purbotjaroko dan Suryono Sukanto dikutip oleh Irma Setyowati Mengemukakan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan orang lain sehingga timbul hubungan-

7 hubungan hukum yang sama atau sebagian sama dengan hubungan antara anak yang sah dengan orang tuanya (Irma Setyowati, ) 4. Surjono Sukanto Mengemukakan bahwa pengangkatan anak adalah sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Dalam pengangkatan anak harus dibedakan dengan pengangkatan anak yang bertujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja jadi anak tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dalam hal warisan.(surjono, ) 5. Darmawan Prinst Mengemukakan bahwa pengangkatan anak adalah mengangkat atau mengambil anak dari orang lain menjadi anak sendiri (Darmawan Prinst, ) 6. Wirjono Projodikoro Mengemukakan bahwa seseorang bukan turunan dua orang suami istri yang diambil, dipelihara, diperlakukan sebagai anak turunnya sendiri (Wirjono Prodjodikoro, ). 7. MM. Joyodiguna dan Raden Tirtowinoto Mengemukakan pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa pengangkatan anak itu dilakukan sedemikian rupa sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.(tafal, )

8 3. Prosedur Pengangkatan Anak 1. Syarat-syarat pengangkatan anak menurut undang-undang Pengangkatan anak menurut surat edaran Menteri Kehakiman No.JHAI/1/2 untuk melakukan pengangkatan anak diperlukan petugas yang melakukan penelitian socsal dan kehidupan ekonomi dari para pemohon (calon orang tua angkat) dan anak yang akan diangkat, instansi yang berwenang melaksanakan penelitian yang dimaksud dalam hal ini adalah Departemen Sosial RI. No. Huk tanggal 7 Desember Syarat syarat yang diperlukan dalam pengangkatan anak antara lain : a. Batasan anak yang akan diangkat umur 5 tahun. b. Batasan calon orang tua angkat umur 50 tahun. c. Asal-usul anak yang akan diangkat. d. Izin tertulis dari orang tua kandung (kalau masih ada) Undang-undang perlindungan anak No. 23 tahun pasal menentukan tentang pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk perlindungan anak, syarat syarat pengangkatan anak adalah : a. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (pasal 39 ayat 1) b. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya (pasal 39 ayat 2). c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat (pasal 39 ayat 3).

9 d. Dalam asal - usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat (pasal 39 ayat 5). e. Orang tua angkat wajib member tahu kepada anak angkatnya mengenai asal usul orang tua kandungnya (pasal 40 ayat 1). f. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan (pasal 40 ayat 2) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 menentukan syarat syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut : a. Syarat calon orang tua angkat : 1) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat diperbolehkan. 2) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah diperbolehkan b. Syarat calon anak angkat ; 1) Apabila calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan anak. 2) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial yang dimaksud diatas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat

10 2. Syarat pengangkatan anak menurut ahli a. Wirjono Projodikoro Persyaratan untuk mengangkat anak adalah sebagai berikut: 1) Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan izin orang tua itu, apabila bapak sudah wafat dan ibu telah kawin lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan 2) Apabila anak yang diangkat itu anak sah dari orang tuanya maka diperlukan izin dari orang tuanya, apabila bapak telah meninggal dan ibu kawin lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan selaku wali pengawas. 3) Apabila anak yang diangkat itu sudah berumur 15 tahun maka diperlukan pula persetujuan anak itu sendiri. 4) Apabila yang mengangkat anak itu adalah seorang perempuan janda maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya atau jika mereka tidak menetap di Indonesia maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki sampai keturunan derajat keempat. (Wirjono Prodjodikoro, ). b. Muderus Zaini Bahwa pengangkatan anak menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas siapa saja yang boleh melakukan pengangkatan anak dan batasan usianya, kecuali minimal berusia 15 tahun.( Muderus Zaini, ). 3. Prosedur permohonan pengangkatan anak Prosedur permohonan pengangkatan anak yang ditetapkan dalam hasil rapat konsultasi tanggal 22 September 1982 ada dua hal yang utama yaitu

11 a. Surat permohonan ijin untuk mengangkat anak diajukan pada departemen sosial RI. Permohonan tersebut merupakan surat resmi yang diajukan oleh orang tua angkat dan ditandatangani sendiri atau oleh kuasanya dengan materei. Calon orang tua angkat harus berdomisili di Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku dari pihak instansi yang berwenang. b. Surat permohonan pengangkatan anak diajukan ke pengadilan negeri berdasarkan hukum acara yang berlaku. Surat permohonan ini baru diajukan ke pengadilan negeri bilamana izin untuk mengangkat anak berdasarkan permohonan yang diajukan pada departemen sosial dapat dikabulkan dengan bukti surat izin resmi dari departemen sosial tersebut. Dalam menerima memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak perlu diperhatikan surat edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 sebagai berikut : 1) Susunan dan bentuk permohonan bersifat voluntair yaitu a) Harus ada kepentingan yang memadai untuk pengangkatan anak dalam negeri b) Dialamatkan ke tempat tinggal/ kediaman anak yang akan diangkat c) Diajukan secara lisan atau tertulis dan para pemohon wajib hadir dalam pemeriksaan di persidangan 2) Isi surat permohonan a). Dasar hukum motivasi pemohon b). Kepentingan utama kesejahteraan anak c). Petitung bersifat tunggal. 3) Syarat yang harus dipenuhi bagi perbuatan pengangkatan anak

12 a) Syarat bagi orang tua angkat yaitu warga negara Indonesia, pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat. b) Syarat bagi anak angkat yaitu apabila calon anak angkat berada dalam asuhan yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan tersebut bergerak di bidang kegiatan anak. Selain itu yayasan mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. 4) Pemeriksan di persidangan a) Mendengarkan langsung pemohon/para pemohon b) Memeriksa dan meneliti alat-alat bukti c) Pengarahan pemeriksaan di persidangan tentang - Latar belakang pihak-pihak yang akan melepas anak dan pihak yang akan menerima anak. - Kesungguhan dan ketulusan calon orang tua anak 5) Putusan atau penetapan pengesahan pengangkatan anak terdiri dari a) Sistematika putusan b) Isi putusan c) Amar putusan 6) Pengiriman salinan putusan ke instansi-instansi terkait 4. Alasan permohonan pengangkatan anak a. Irma Setyowati Sumitro

13 Mengemukakan bahwa pengangkatan anak di Indonesia ada berbagai alasan antara lain 1) Karena tidak mempunyai anak. 2) Karena belas kasihan kepada anak yang orang tuanya tidak mampu membiayai anaknya. 3) Karena yatim piatu. 4) Karena telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semuanya laki-laki atau semuanya perempuan. 5) Karena atas dasar suatu kepercayaan bagi pemancing yang tidak atau belum mempunyai anak kandung. 6) Karena untuk mempererat hubungan kekeluargaan. 7) Untuk suatu jaminan hari tua. 8) Karena unsur kepercayaan tertentu misalnya punya weton yang sama dengan orang tuanya ( Irma Setyowati, ). b. Menurut Arif Gosita Alasan-alasan atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak adalah sebagai berikut 1. Dilihat dari sisi adoptan (pengangkat anak) yaitu a) Keinginan mempunyai keturunan atau anak b) Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya c) Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan d) Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak

14 e) Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan tertentu 2. Dilihat dari orang tua anak, alasannya adalah : a) Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri b) Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya c) Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak d) Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain e) Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya f) Ingin anaknya terjamin materiil selanjutnya g) Masih mempunyai anak-anak yang lain beberapa lagi h) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri dengan alasan tertentu i) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan yang tidak sah j) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna kondisi fisiknya ( Irma Setyowati, ). 5. Aspek perlindungan anak angkat dilihat dari sistem hukum yang mengatur pengangkatan anak a. Staatblad 1917 No Subyek yang mengangkat anak yaitu suami dan istri, janda atau duda. 2. Subyek yang diangkat (adoptandus) yaitu anak laki-laki 3. Syarat pembedaan usia suami 18 tahun, istri 15 tahun 4. Prosedur dilaksanakan melalui notaris 5. Fungsi lembaga pengangkatan anak/adopsi sebagai pelanjut generasi laki-laki

15 6. Fungsi perlindungan anak kurang mendapat perhatian 7. Tujuan pokok untuk kepentingan orang tua angkat b. Hukum adat 1. Subyek yang mengangkat atau adoptan adalah suami dan istri serta janda atau duda 2. Subyek yang diangkat anak laki-laki/dan atau perempuan 3. Syarat pembedaan usia tidak diatur 4. Prosedur dilakukan melalui kepala persekutuan dan dengan cara mengadakan selamatan sesuai dengan peraturan adat 5. Fungsi lembaga adopsi adalah untuk melanjutkan generasi 6. Fungsi perlindungan anak kurang diperhatikan 7. Tujuan pokok untuk kepentingan orang tua angkat/keluarga c. Hukum Islam Hokum Islam tidak mengenal lembaga Adopsi atau pengangkatan anak tetapi hanya mengenal pemeliharaan anak, adapun tujuannya adalah untuk pemeliharaan anak/ yatim piatu.

16 D. KESIMPULAN : 1. Pengertian Anak ; a. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 330, anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum menikah sebelum berusia 21tahun serta tidak mendapatkan pendewasaan sesuai dengan aturan yang berlaku. b. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seseorang dapat dikatagorikan sebagai anak apabila belum berusia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki. c. Menurut hukum adat, seseorang dapat dikatagorikan sebagai anak apabila 1) Belum dapat hidup mandiri. 2) Belum cakap untuk melakukan apa yang di haruskan dalam kehidupan masyarakat. 3) Belum dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.. d. Menurut hukum Islam seseorang dapat dikatagorikan sebagai anak kalau mereka belum ada tanda-tanda perubahan badaniah. 2. Pengertian Anak Angkat : a. Berdasarkan Surat Edaran mahkamah Agung No. 6 tahun 1983, pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/ orang lain yang bertanggung jawab atas perwalian, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. b. Berdasar Undang-undang Perlindungan anak (UU No. 23 tahun 2002), anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan

17 dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. c. Berdasar pendapat para ahli, anak angkat adalah suatu perbuatan hukum yang memberikan kedudukan kepada seorang anak dari orang tua lain sama dengan anak sendiri atau anak kandung baik mengenai hak dan kewajibannya. 3. Aspek perlindungan anak : a. Menurut Staatblad 1917 No.29, perlindungan anak kurang diperhatikan. b. Menurut hukum adat, perlindungan anak kurang diperhatikan. c. Hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak tetapi yang dikenal adalah pemeliharaan anak/yatim piatu.

18 DAFTAR PUSTAKA Arif, Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika, Jakarta. Bastian, Tafal B, 1983, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya Dikemudian Hari, CV Rajawali, Jakarta. Hadikusomo, Hilman, 2003, Hukum Perkawinan Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Kusuma, Mulyana W, 1986, Hukum dan Hak-Hak Anak, CV Rajawali, Jakarta. Prinst, Darmawan, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Sukanto, Surjono, 1992, Intisari Hukum Keluarga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Setyowati, Irma, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, PT Bumi Aksara, Jakarta. Wignyodipuro, Surojo, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung. Zaini, Muderus, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara)

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan anak. Pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi, kata adopsi berasal dari bahasa latin adoptio yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 2.1 Pengertian Pengangkatan anak Dalam proses pengangkatan anak maka

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse), 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang anak adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut UUP memberikan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TESISI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derjat S-2 Program Studi Magister Kenotariatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI ( Studi di Kecamatan Karambitan Kabupaten Tabanan ) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1)

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk. kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta-otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini (Pasal 1 ayat 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

Lebih terperinci

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda BAB I A. Latar Belakang Masalah Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda yaitu laki-laki dan perempuan yang telah menjadi kodrat bahwa antara dua jenis itu saling berpasangan,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN Oleh: Sarwenda Kaunang 2 KAJIAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 1 Oleh: Sarwenda Kaunang 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak antar

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hikmah perkawinan untuk melahirkan dan menciptakan kesinambungan keturunan. Secara naluriah pasangan suami istri umumnya sangat mendambakan kehadiran anak.

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 PENETAPAN Nomor 09/Pdt. P/2012/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WARISAN MENURUT HUKUM ADAT UNTUK SUAMI ATAU ISTRI YANG HIDUP TERLAMA

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WARISAN MENURUT HUKUM ADAT UNTUK SUAMI ATAU ISTRI YANG HIDUP TERLAMA TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WARISAN MENURUT HUKUM ADAT UNTUK SUAMI ATAU ISTRI YANG HIDUP TERLAMA (Study Kasus Masyarakat Desa Sruwen Kec. Tengaran Kab. Semarang) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor : 65/Pdt.P/2014/PA Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 65/Pdt.P/2014/PA Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 65/Pdt.P/2014/PA Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor: XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm

P E N E T A P A N Nomor: XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm P E N E T A P A N Nomor: XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pada tingkat

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA SALINAN P E N E T A P A N Nomor: 100/Pdt.P/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten ) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1979 TENTANG PENGANGKATAN ANAK

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1979 TENTANG PENGANGKATAN ANAK SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1979 TENTANG PENGANGKATAN ANAK Jakarta, 7 April 1979 No : MA/Pemb/0294/1979 Lampiran : - Kepada Yth Perihal : Pengangkatan Anak 1. Saudara-saudara Ketua, Wakil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst

PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Gunungsitoli yang memeriksa dan mengadili perkara Perdata Permohonan Penunjukan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D 101 09 389 ABSTRAK Penulisan yang diberi judul Tinjauan Yuridis tentang Penggunaan Surat Keterangan

Lebih terperinci

Oleh : TIM DOSEN SPAI

Oleh : TIM DOSEN SPAI Oleh : TIM DOSEN SPAI Syarat Pernikahan Adanya persetujuan kedua calon mempelai Adanya izin dari orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun Antara kedua calon tidak ada hubungan darah Calon

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan

Lebih terperinci

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) Abdurrahman Konoras dan Petrus K. Sarkol Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Perkawinan merupakan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc. SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara pengangkatan

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan BAB I PENDAHULUAN Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc.

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, dalam persidangan

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0074/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0074/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0074/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS KUMULASI GUGATAN DAN ANAK ANGKAT

BAB II TINJAUAN YURIDIS KUMULASI GUGATAN DAN ANAK ANGKAT BAB II TINJAUAN YURIDIS KUMULASI GUGATAN DAN ANAK ANGKAT A. Kumulasi Gugatan 1. Rekonstruksi Kumulasi Gugatan Menurut Yahya Harahap Kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering adalah penggabungan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK 1. Analisis sebab terjadinya dissenting opinion dalam proses penyelesaian persidangan perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) PP

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974 KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 47/Pdt.P/2011/PA. Sgr.

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 47/Pdt.P/2011/PA. Sgr. SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 47/Pdt.P/2011/PA. Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari interaksi dengan sesama. Bahkan

Lebih terperinci

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM. sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM. sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak 1 BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum yang sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami dan istri)

Lebih terperinci

Bagaimana Praktek Hukum di Indonesia?

Bagaimana Praktek Hukum di Indonesia? ADOPTION What is adoption? Is there any certain definition of adoption? Look at adoption system in: Islam Western countries Adat system in different islands in Indonesia Timur Asing See p. 86 89 HPI Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 62 TAHUN 1958 Tentang KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 62 TAHUN 1958 Tentang KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 62 TAHUN 1958 Tentang KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : Bahwa perlu diadakan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia;

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0009/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0009/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor 0009/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan. Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris di antaranya, waris menurut

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 62 TAHUN 1958 (62/1958) Tanggal: 29 JULI 1958 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 62 TAHUN 1958 (62/1958) Tanggal: 29 JULI 1958 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 62 TAHUN 1958 (62/1958) Tanggal: 29 JULI 1958 (JAKARTA) Sumber: LN 1958/113; TLN NO. 1647 Tentang: KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENETAPAN. Pengangkatan Anak yang diajukan oleh:

PENETAPAN. Pengangkatan Anak yang diajukan oleh: PENETAPAN Nomor : 0051/Pdt.P/2012/PA.PRA DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Praya yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama telah memberikan

Lebih terperinci

Lanjutan. AkibatHukumDari Adopsi(BAB I Ketentuan Umum PP 54/2007) 10/03/2016

Lanjutan. AkibatHukumDari Adopsi(BAB I Ketentuan Umum PP 54/2007) 10/03/2016 ADOPSI NASIONAL Dimas AuliyaFikriBilFili 13501017111184 ( 42 ) FajarMangggalayudha 13501017111166 ( 40 ) Hariz Muhammad 135010101111182 ( 22) NurMuhammad Pandu Dipo 13501017111178 ( 41 ) AkibatHukumDari

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG TIM PERTIMBANGAN PERIZINAN PENGANGKATAN ANAK PUSAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG TIM PERTIMBANGAN PERIZINAN PENGANGKATAN ANAK PUSAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37 / HUK / 2010 TENTANG TIM PERTIMBANGAN PERIZINAN PENGANGKATAN ANAK PUSAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0095/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0095/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0095/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Perkara Permohonan, yang diajukan oleh : 1. S U B A R I,Umur 49 tahun,pekerjaan Karyawan Swasta ;

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Perkara Permohonan, yang diajukan oleh : 1. S U B A R I,Umur 49 tahun,pekerjaan Karyawan Swasta ; P E N E T A P A N Nomor : 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Wonosobo yang mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, telah menetapkan seperti

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor: 0066/Pdt.P/2013/PA.Pas

P E N E T A P A N Nomor: 0066/Pdt.P/2013/PA.Pas P E N E T A P A N Nomor: 0066/Pdt.P/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian

BAB I PENDAHULUAN. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang : Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS HAK MEWARIS TERHADAP ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT KETURUNAN CINA DI KOTA MATARAM

TINJAUAN YURIDIS HAK MEWARIS TERHADAP ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT KETURUNAN CINA DI KOTA MATARAM TINJAUAN YURIDIS HAK MEWARIS TERHADAP ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT KETURUNAN CINA DI KOTA MATARAM 1) I GEDE TUSAN ARDIKA, 2) YOHANES BULU DAPPA ABSTRAK Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram e-mail:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH 66 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH A. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim Dalam putusan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA A. Hukum kewarisan perdata Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek yang sering disebut BW adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM P E N E T A P A N Nomor 0325/Pdt.P/2013/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Persidangan Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah. budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah. budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga Masyarakat di Indonesia telah menganut tiga hukum mengenai hibah, yaitu Hukum Adat,

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 047/Pdt.P/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 047/Pdt.P/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 047/Pdt.P/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon), yaitu makhluk yang pada

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon), yaitu makhluk yang pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon), yaitu makhluk yang pada dasarnya mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat dengan manusiamanusia lain. Artinya setiap

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci