BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE"

Transkripsi

1 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA BATAM NO. 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 A. Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Berbeda Kewarganegaraan 1. Pengesahan Yang Didahului Dengan Perkawinan Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang diangggap sakral dalam perjalanan hidup manusia, setidaknya hal tersebut diyakini oleh banyak suku bangsa di dunia, termasuk di Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang multi etnis memandang perkawinan merupakan hal yang dianggap suci dan sarat makna spiritual. Pandangan ini hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, bahkan menyentuh ranah hukum positif yang berlaku dalam negara. Undang-Undang Perkawinan memiliki pemahaman bahwa perkawinan merupakan ikatan yang suci lahir dan batin yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti Undang-Undang Perkawinan tidak semata-mata memandang perkawinan sebagai suatu hubungan hukum bahkan lebih jauh yaitu hubungan spiritual yang berdimensi relegius. Berbeda dengan KUHPerdata, yang hanya memandang perkawinan hanya merupakan suatu perikatan biasa Lea Devina Anggundhyta Ramschie, Op. Cit., hlm

2 31 Perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing serta dicatat oleh instansi yang berwenang untuk itu sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) juncto ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 66 Ketentuan ini berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan berlaku hukum yang lama sebelum tanggal tersebut, yaitu: 67 a. KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek); b. Ordonasi Perkawinan Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S No. 74); c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S.1898 No. 158); Perkawinan dianggap sah bagi WNI yang tunduk kepada KUHPerdata, apabila memenuhi ketentuan yang berlaku dalam undang-undang, yaitu setiap perkawinan harus didaftar dan dicatatkan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat. Kedua undang-undang tersebut (KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) apabila dicermati terdapat persamaan substansi bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila telah dicatat oleh pegawai dan instansi yang berwenang. Dengan demikian, keharusan untuk melakukan pencatatan 66 Lihat Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 67 Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3 32 perkawinan sebagai syarat formal sahnya suatu perkawinan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka suatu perkawinan dalam aspek hukum positif tidak membawa akibat hukum. 68 Perkawinan yang demikian di dalam masyarakat sering disebut dengan berbagai istilah, diantaranya kawin siri, kawin bawah tangan dan lain sebagainya. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin bawah tangan dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan merupakan suatu fenomena yuridis yang tidak dapat dipungkiri. Terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan tersebut, yaitu: 69 a. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari istri sebelumnya maka orang tersebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup di hadapan pemuka agama. b. Masyarakat yang masih awam, adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap perkawinannya lebih baik dilaksanakan di depan pemuka agama. 68 Lea Devina Anggundhyta Ramschie, Op. Cit., hlm I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat oleh Notaris Berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tesis, Program Spesialis Notariat dan Pertanahan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1999, hlm. 6.

4 33 c. Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan-keinginan tertentu yang subjektif. d. Faktor sosial, budaya, ekonomi, agama dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah. e. Beberapa faktor lainnya seperti terdapatnya perbedaan kewarganegaraan. Akibat faktor perbedaan kewarganegaraan, banyak masyarakat yang memilih untuk hidup bersama dengan melahirkan keturunan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah karena memikirkan status kewarganegaraan anak mereka. Karena undangundang yang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang saat ini sudah tidak berlaku, pada prinsipnya mengatur bahwa kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayah. Hal inilah yang dikhawatirkan terutama bagi ibu yang anaknya akan menjadi WNA mengikuti kewarganegaraan ayahnya yang WNA. 70 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 yang menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang terdahulu telah disahkan DPR pada tanggal 11 Juli Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru menegaskan bahwa anak dapat tetap mengikuti warga negara ibunya, dan sampai batas umur yang telah ditetapkan anak tersebut dapat memilih kewarganegaraan yang diinginkan, apakah tetap WNI atau WNA mengikuti warga negara ayahnya. Atas dasar Undang- Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 banyak pasangan suami istri berbeda kewarganegaraan yang telah memiliki anak luar kawin ingin mengesahkan status anaknya dengan melangsungkan perkawinan yang sah dan tercatat terlebih dahulu Lea Devina Anggundhyta Ramschie, Op. Cit., hlm Ibid.

5 34 Pengaturan mengenai lembaga anak luar kawin yang diakui dan disahkan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang meyakininya. Selanjutnya, pengesahan anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan pada dasarnya sama dengan pengesahan anak luar kawin dari perkawinan biasa, yang mana pengesahannya hanya terjadi dengan adanya perkawinan orang tua yang telah mengakuinya lebih dulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga anak luar kawin ini dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada. 72 Ketentuan mengenai pencatatan pengesahan anak diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013, yaitu sebagai berikut: 73 a. Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. b. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah. c. Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil membuat catatan pinggir pada akta kelahiran. Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. 74 dan Pasal 52 ayat (2) undang-undang yang 72 Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Administrasi Kependudukan. 74 Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

6 35 sama menyebutkan bahwa Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. 75 Pasal ini menjelaskan bahwa hak anak yang sama dengan hak asasi manusia, baik anak sah maupun anak luar kawin mereka semua sama di mata hukum. Status anak sebagai anak luar kawin merupakan suatu masalah bagi anak luar kawin tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidakabsahan pada anak luar kawin tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak luar kawin. Sebaliknya anak tersebut pun tidak dapat menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajiban yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak luar kawin. Ketentuan hukum memungkinkan anak luar kawin dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. Di dalam Pasal 280 juncto 281 KUHPerdata menegaskan: Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. 76 Pengakuan terhadap anak 75 Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 76 Pasal 280 KUHPerdata.

7 36 luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta autentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada pelaksanaan pernikahan. 77 Pengakuan demikian juga dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan ini harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya bila akta tersebut ada. Status hukum anak luar kawin yang diatur dalam KUHPerdata ada 3 (tiga) tingkatan, yaitu: a. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh orang tuanya. b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. c. Anak di luar perkawinan menjadi anak sah sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan secara sah. Mengenai status anak luar kawin atau Naturalijk kind menjadi diakui atau tidak oleh orang tuanya menurut KUHPerdata adalah bahwa dengan adanya ketentuan di luar perkawinan saja belum terjadi hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Dengan pengakuan, lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dan keluarga yang mengakuinya, namun hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan tersebut hanya dilegalkan dengan pengesahan sebagai pelengkap dari pengakuan tersebut yang dilakukan melalui surat penetapan, sehingga anak luar kawin tersebut sudah sah menurut hukum. Peristiwa pengakuan dan pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diamdiam tetapi harus dilakukan di depan Pegawai Pencatatan Dinas Kependudukan dan 77 Pasal 281 KUHPerdata.

8 37 Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari Pegawai Pencatatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Anak luar kawin perlu diakui oleh ayah atau ibunya demi kepentingan hukum anak tersebut, yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian dan sebagainya. Adapun pengaturan terhadap anak luar kawin melalui alat bukti yang autentik dapat dilakukan dengan cara: 1. Dalam akta kelahiran anak pada waktu perkawinan berlangsung. 2. Dalam akta perkawinan ayah atau ibu kalau kemudian meneruskan dengan perkawinan. 3. Dalam akta pengakuan atau pengesahaan anak. Dalam peristiwa pengesahan seorang anak, baik itu kelahiran anak luar kawin, peristiwa kelahirannya perlu mempunyai alat bukti yang tertulis dan autentik, karena untuk dapat membuktikan identitas seorang yang memiliki kekuatan hukum secara sempurna adalah dengan dilihat dari akta kelahiran yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang mengeluarkan akta tersebut. Akibat hukum dari pengesahan dalam hal orang tuanya kawin dan pengesahan terjadi karena perkawinan tersebut atau karena surat pengesahan dari Menteri Kehakiman, maka bagi yang disahkan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan undangundang yang sama, seolah-olah anak luar kawin dilahirkan dalam perkawinan, yang berarti anak luar kawin memperoleh kedudukan yang sama seperti anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan.

9 38 Anak luar kawin memperoleh status anak sah tidak hanya terhadap orang tuanya melainkan terhadap sanak keluarga orang tuanya. Dalam undang-undang tidak ditentukan, mulai kapan pengesahan berlaku. Pengesahan dan akibat-akibatnya mulai berlaku sejak orang tua anak luar kawin melangsungkan perkawinan. Dalam hal pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan yang diberikan Menteri Kehakiman setelah orang tuanya melangsungkan perkawinan, maka pengesahan tersebut berkekuatan surut sampai hari perkawinan dilangsungkan. Akibatnya adalah bahwa anak atas warisan yang jatuh sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan hanya mempunyai hak sebagai anak luar kawin. 78 B. Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar Kawin Berdasarkan Particulars Of Marriage No. 49/08 Yang Terdaftar Pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Batam No. 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 Perkawinan yang dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 79 Di negara Indonesia ada 2 (dua) instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju ). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah: Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Ruju bagi orang beragama Islam. 2. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan yang tunduk kepada: 78 Ko Tjai Sing, Op. Cit., hlm I Gusti Ayu Candika Puspasari, Op. Cit., hlm Ibid.

10 39 a. Stb Nomor 75 jo Stb Nomor 607 tentang peraturan sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa dan Ambonia. b. Stb Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb Nomor 25, yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa. c. Stb Nomor 129 tentang pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb Nomor 130 jo. Stb Nomor 81 tentang Peraturan Pencatatan Sipil Campuran. d. Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran sebagaimana diatur dalam Stb Nomor 279. e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil berdasarkan ketentuan Pasal 3-Pasal 9 peraturan ini. Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tujuan perkawinan dicatatkan adalah untuk suatu pembuktian, jika perkawinannya dicatatkan maka perkawinan yang dilakukan mempunyai kekuatan hukum tetap. 81 Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, maka setiap peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik itu mengenai perkawinan maupun kelahiran anak luar kawin juga perlu didaftarkan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mendapatkan akta kelahiran. Hukum akan melakukan perlindungan yang tuntas dengan adanya akta kelahiran, yang berarti bahwa pemilik akta kelahiran telah diakui secara sempurna 81 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 17.

11 40 yang menyangkut keadaan diri pribadinya seperti nama, tanggal lahir, nama kedua orang tuanya dan lain-lain yang bersangkutan dengan identitas kelahirannya. Salah satu contoh kasus pengesahan anak luar kawin yang cukup menarik perhatian adalah pengesahan anak luar kawin berdasarkan Particulars of Marriage No. 49/08 yang terdaftar pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam No. 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 tertanggal 10 Februari Pencatatan ini merupakan pencatatan perkawinan dari pasangan berbeda kewarganegaraan antara: 1. Mempelai laki-laki bernama DKJ, Warga Negara Selandia Baru. 2. Mempelai perempuan bernama MNF, Warga Negara Indonesia. Perkawinan yang dilangsungkan pasangan tersebut di atas merupakan perkawinan campuran karena terdapat perbedaan kewarganegaraan, dimana salah satu mempelai berkewarganegaraan Indonesia (WNI) sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan. Sehingga persyaratan dari perkawinan campuran harus dipenuhi. Sebelum dilangsungkannya pencatatan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam, DKJ dan MNF telah melangsungkan perkawinan secara agama sebagaimana tercantum dalam Particulars of Marriage tertanggal 10 Februari 2014 No. 11/ P.PKW.CS.BTM/ II/ 2014 yang turut dilampirkan bersama surat-surat yang menjadi syarat yang harus dipenuhi. Perkawinan ini dianggap telah sah menurut agama dan kepercayaannya sehingga ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah terpenuhi.

12 41 Pencatatan perkawinan dan pengesahan anak dilakukan agar status anak luar kawin hasil dari perkawinan campuran ini berubah status hukumnya menjadi anak sah, sehingga anak luar kawin tersebut memperoleh hak sama seperti hak seorang anak yang sah. Pasal 272 KUHPerdata menyebutkan bahwa anak luar kawin akan menjadi anak sah apabila: orang tuanya menikah; dan 2. sebelum orang tuanya menikah, mereka telah mengakui anaknya atau pengakuan ini dilakukan dalam akta perkawinan. Pengesahan anak terjadi dengan dilangsungkannya perkawinan atau dengan surat pengesahan, setelah anak luar kawin diakui terlebih dahulu oleh kedua orang tuanya. Sebagai contoh kasus pengesahan anak yang terjadi adalah pengesahan anak berdasarkan Akta Kelahiran Nomor 238/ PPN/ KI-CS-BTM/ 2004 tertanggal 9 Agustus 2004, atas nama RDD yang lahir pada tanggal 26 Juni 2000, anak pertama dari seorang perempuan WNI bernama MNF dan seorang laki-laki berkewarganegaraan Selandia Baru bernama DKJ yang mengakibatkan RDD lahir pada tanggal 9 Agustus Setelah itu, pengesahannya diurus oleh DKJ dan MNF tanpa harus melalui sidang pengesahan perkawinan di pengadilan dan muncul catatan pinggir pada akta 82 Indah Setia Rini, Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus terhadap Perkara Nomor: 74/Pdt.P/2005/Pn.Tng di Pengadilan Negeri Tangerang), Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2009, hlm. 52.

13 42 kelahiran RDD. Terkait mengenai pengesahan anak luar kawin tersebut, dapat dipahami bahwa Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam masih memperhatikan ketentuan mengenai pengesahan anak luar kawin. Hal ini diatur dalam Pasal 277 KUHPerdata, yaitu: 83 Pengesahan anak, baik dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, maupun dengan surat pengesahan menurut Pasal 274, mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan. Hal ini juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU/ IX/ 2011 tentang anak sah, dimana Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tentang anak sah, yaitu anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. 84 Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tentang anak luar kawin, dari bunyi asal: anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau 83 Pasal 277 KUHPerdata. 84 Syafa at, Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata, diakses melalui pada tanggal 14 Desember 2016, pukul WIB.

14 43 alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 85 Pengesahan dilakukan oleh ayah biologis terhadap anaknya sesuai dengan ketentuan KUHPerdata yang hanya dapat dilakukan apabila laki-laki tersebut menikah dengan ibu dari anak yang bersangkutan dengan dibuktikan adanya Kutipan Akta Perkawinan. Selanjutnya, pengesahan tidak dapat terjadi apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan pencatatan perkawinannya. 86 Pengesahan ini merupakan suatu bentuk pengakuan dan tanggung jawab yang bersangkutan bahwa anak yang lahir dari istri/calon istrinya adalah benar anak biologis dari laki-laki tersebut. Menurut KUHPerdata, dengan adanya pengesahan ini maka laki-laki tersebut mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap anak yang dilahirkan setelah terjadinya perkawinan. 87 Pengesahan dalam pencatatan perkawinan ini menyebabkan nama anak luar kawin yang telah disahkan dicantumkan dalam akta perkawinan orang tuanya. Begitu pula pada akta kelahirannya diberi catatan pinggir yang memuat: Nama anak yang tertera di akta tersebut; 2. Nama ibu kandung anak; 85 Syafa at, Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata, diakses melalui pada tanggal 14 Desember 2016, pukul WIB. 86 Syafa at, Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata, diakses melalui pada tanggal 14 Desember 2016, pukul WIB. 87 Syafa at, Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata, diakses melalui pada tanggal 14 Desember 2016, pukul WIB. 88 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11 November 2016.

15 44 3. Tempat tanggal lahir anak; 4. Nama ayah; 5. Pernyataan pengesahan berdasarkan akta perkawinan; 6. Tanggal dan nomor akta perkawinan kedua orang tua; 7. Tanggal dan nomor agenda pengesahan anak; 8. Kantor yang mengeluarkan agenda pengesahan tersebut. Berdasarkan Penetapan No. 79/ Pdt.P/ 2014/ PN.Btm, akibat hukum pengesahan anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, yang mana orang tuanya melangsungkan perkawinan secara agama kemudian mendaftarkannya pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta melakukan pengesahan maka bagi yang disahkan tersebut berlaku ketentuan undang-undang yang sama, seolah-olah anak luar kawin dilahirkan dalam perkawinan, yang berarti anak luar kawin memperoleh kedudukan yang sama seperti anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan.

NEW YEARLINA S ABSTRACT. Keywords: Recognition, Validation, an Illegitimate Child from a Husband and Wife with Different Citizenships

NEW YEARLINA S ABSTRACT. Keywords: Recognition, Validation, an Illegitimate Child from a Husband and Wife with Different Citizenships NEW YEARLINA S 1 PENGAKUAN DAN PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN (STUDI PENETAPAN PENGADILAN NEGERI BATAM NO. 79/ PDT.P/ 2014/ PN.BTM) NEW YEARLINA S ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sekaligus juga merupakan harapan bangsa. Orang tua adalah orang pertama

BAB I PENDAHULUAN. yang sekaligus juga merupakan harapan bangsa. Orang tua adalah orang pertama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah unsur terpenting bagi penerus generasi pada suatu keluarga yang sekaligus juga merupakan harapan bangsa. Orang tua adalah orang pertama yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ternyata tidak lepas untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan dan manusia disekitarnya

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAM PENYELENGGARAAN DISPENSASI PENCATATAN KELAHIRAN DAN PERKAWINAN YANG TERLAMBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non

BAB I PENDAHULUAN. pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, yang hubungannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 11 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian terhadap hukum perkawinan akhir-akhir ini menjadi menarik kembali untuk didiskusikan. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian permohonan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA OLEH H.SISRUWADI, SH,M.Kn KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2015

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2015 BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Pada tahun 2015 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap manusia di muka bumi ini diciptakan saling berpasang-pasangan. Seorang pria dan seorang wanita yang ingin hidup bersama dan mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan BAB I PENDAHULUAN Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebagaimana tersimpul dalam judul tesis ini, topik yang akan dibahas adalah perceraian pasangan suami isteri Kristen dan problematiknya. Alasan pemilihan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

BUPATI INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU

BUPATI INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU BUPATI INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PELAYANAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PELAYANAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PELAYANAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelayanan Akta Catatan Sipil

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan suatu upaya pemerintah untuk mengatasi keanekaragaman,

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN 23 BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN A. Pengertian Umum Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia dalam arti hak memperoleh akta autentik dari

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI TERHADAP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA TENTANG ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PADANG

PEMERINTAH KOTA PADANG PADANG KOTA TERCINTA PEMERINTAH KOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Repub

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Repub PADANG KOTA TERCINTA PEMERINTAH KOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

Hlm. 1 dari 10 hlm._penetapan No. : 0117/Pdt.P/2014/PA.Pas.

Hlm. 1 dari 10 hlm._penetapan No. : 0117/Pdt.P/2014/PA.Pas. P E N E T A P A N Nomor : 117/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0073/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0073/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor 0073/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N 24 PEBRUARI 2011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N SERI E NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan rahmat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, kedudukan anak terdiri dari anak sah dan anak luar kawin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuhtumbuhan dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL NOMOR 5

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2008 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

P E N E T A P A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Buruh, tempat tinggal di Kota Dumai;

P E N E T A P A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Buruh, tempat tinggal di Kota Dumai; P E N E T A P A N Nomor: 0024/Pdt.P/2012/PA.Dum BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Dumai yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN PEMERINTAH KOTA PASURUAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG 1 PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALEMBANG, Menimbang : a. bahwa administrasi

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN PENYELENGGARAAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975 Yasin Abstrak Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI TESIS Oleh : T A R S I NIM : R 100030064 Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Administrasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN PELAPORAN AKTA YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 54 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 54 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 54 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan terhadap penyelenggaraan Otonomi

Lebih terperinci

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA BANDA ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (SIAK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status keduannya dalam masyarakat.

Lebih terperinci