BAB II LANDASAN TEORI. perbuatan yang bersifat kekerasan atau kasar terhadap yang lain

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. perbuatan yang bersifat kekerasan atau kasar terhadap yang lain"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresi 1. Definisi Perilaku Agresi J.S Badudu dalam bukunya Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (dalam Nadeak, 2003) mengatakan bahwa agresi adalah tindakan atau perbuatan yang bersifat kekerasan atau kasar terhadap yang lain Sementara ahli-ahli psikologi sosial seperti Baron dan Richardson (1994) mendefiniskan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan Myers (1996), yang menyebutkan bahwa perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Atkinson dan Hilgard (1999) menyatakan bahwa perilaku agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal atau merusak harta benda. Menurut Buss (dalam Morgan, 1989), yang terkenal dalam penelitiannya mengenai agresi, menyatakan secara lebih spesifik mengenai perilaku agresi. Buss (1989) mendefenisikan perilaku agresi sebagai suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik atau verbal dan langsung atau tidak langsung.

2 Jika menelaah beberapa defenisi yang ditampilkan maka penelitian dalam hal ini akan menggunakan konsep perilaku agresi menurut Buss dengan asumi defenisi ini cukup lengkap dan detil dalam menjelaskan perilaku agresi. 2. Teori-Teori Perilaku Agresi a. Teori Genetik dan Biologis Sejumlah teori mempostulasikan bahwa agresi berhubungan dengan faktor genetik dan biologis. Teori-teori genetik berargumen bahwa agresivitas merupakan warisan genetik yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Freud (Moeller, 2001) mengganggap bahwa agresi berakar dari biologis. Ia percaya bahwa manusia dilahirkan dengan dorongan yang disebut Thanatos yaitu dorongan mencari akhir dari kehidupan (kematian). Meskipun mungkin dorongan ini secara langsung melukai diri sendiri, namun bisa juga dilepaskan ke orang lain. Freud juga memperkenalkan ide katarsis (pelepasan energi), yang menekankan bahwa jika kekuatan dari dorongan agresi mulai timbul dari dalam diri, sesuatu harus dilakukan untuk melepaskan enerhi tersebut sebelum menjadi sangat kuat. Menurut hipotesis katarsis, tekanan yang berhubungan dengan dorongan agresi dikurangi dengan perilaku agresi, termasuk melakukan respon displacement dari dorongan agresi tersebut (Moeller, 2001). b. Teori Instinctual Behaviour Teori ini dikemukakan oleh Lorenz (1966;1974). Ia mengemukakan perspektif evolusi dari agresi, dengan pandangannya mengenai sifat manusia yang hampir sama dengan pandangan Freud (Lorenz 1966; Baron dan Ricardshon, 1994). Salah satu pandangan Freud mengenai agresi adalah bahwa agresi adalah sesuatu yang dibawa sejak

3 lahir, insting kematian yang bisa dilepaskan dan mengalihkannya ke orang lain (Brain, dalam Lorenz 1966). Sama halnya dengan Freud, Lorenz percaya bahwa agresi tidak dapat dihindarkan, merupakan penerusan secara luas dari dorongan lahiriah. Lorenz (1966) mengemukakan salah satu teori etologis mengenai insting yang sangat berpengaruh penting. Lorenz berpandangan bahwa beberapa pola perilaku individu merupakan warisan keturunan, dan perlu beberapa dorongan untuk memunculkan perilaku tersebut. Ia menjelaskan bahwa perilaku agresi tidak hanya sebuah reaksi terhadap stimulus dari luar, melainkan juga hasil dari dorongan agresi atau rangsangan dari dalam diri yang harus diekspresikan atau dikeluarkan tanpa menghiraukan ada tidaknya objek pelepasan (Lorenz 1996). Brain (1986) menambahkan bahwa agresi berasal dari insting menyerang yang dibawa sejak lahir dan umum ada pada semua manusia. c. Teori Frustasi Agresi Dalam hipotesi frustasi-agresi yang awal (Dollard dkk., 1939), agresi dijelaskan sebagai hasil dari suatu dorongan yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan devprivasi, sedangkan frustasi disefenisikan sebagai interferensi eksternal terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan. Jadi, pengalaman frustasi mengaktifkan keinginan bertindak agresi terhadap sumber frustasi yang, sebagai akibatnya, mencetuskan perilaku agresi. Tetapi tidak semua frustasi menimbulkan respon agresi. Individu mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Selain itu tidak semua tindakan agresi merupakanhasil dari frustasi yang dialami sebelumnya. Miller (1941) menyatakan bahwa frustasi menyebabkan sejumlah respon yang berbeda. Salah satu diantaranya adalah bentuk agresi tertentu. Kemungkinan frustasi akan memunculkan respon agresi

4 bergantung pada pengaruh variabel-variabel moderator. Takut akan hukuman atas tindakan agresi atau ketiadaan penyebab frustasi merupakan variabel moderator yang menghambat agresi. d. Teori Agressive-Cue Teori ini dikemukakan oleh Berkowitz (1962). Ia berargumen bahwa frustasi adalah satu dari sejumlah stimulus tidak menyenangkan yang mungkin memancing reaksi agresi. Stimulus tidak menyenangkan ini mungkin tidak secara langsung mengasilkan perilaku agresi, tetapi dapat menciptakan kesiapan untuk melakukan tindakan agresi. Hal ini dapat meningkat jika ada stimulus dari lingkungan yang diasosiasikan dengan kemarahan pada saat itu atau sebelumnya. Berkowitz pada tahun 1993 merevisi teori lamanya dengan teori cognitive neoassociation model. Pada teori ini ia menekankan bahwa frustasi atau stimulus tidak menyenangkan lain dapat memancing agresi jika tercipta perasaan (affect) negatif. Respon hanya ditentukan oleh interpretasi individu terhadap perasaan negatifnya. Singkatnya, adanya hambatan dalam mencapai tujuan tidak akan menciptakan agresi jika individu tidak merasakan hal tersebut sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Berkowitz (1993) berargumen bahwa rintangan atau hambatan dapat meinmbulkan agresi ketika individu mengalami perasaan negatif. e. Teori Social Learning Teori social learning perspective (e.g., Bandura, dalam Lorenz 1966) berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresi tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct

5 experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresi. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresi tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan agresi pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresi. Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresi adalah: 1) Classical conditioning. Perilaku agresi terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya, 2) Operant Conditioning. Perilaku agresi terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresi tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut), 3) Modelling (meniru). Perilaku agresi terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi, 4) Observational Learning. Perilaku agresi terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung, 5) Social Comparison. Perilaku agresi terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai, 5) Learning by Experience. Perilaku agresi terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut.

6 f. Teori Agresi Buss Teori ini dikemukakan oleh Arnold.H.Buss tahun ia mengaplikasikan teori instrumental learning dari Thorndike dan Skinner terhadap perilaku agresi. Menurut Buss, perilaku agresi dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan punishment. Buss berpendapat perilaku menjadi agresi ketika individu menyalurkan stimulus berbahaya ke orang lain. Ia berpendapat bahwa agresi instrumental adalah agresi yang lebih penting dan digambarkan dalam agresi fisik dan verbal, agresi aktif dan pasif, dan agresi langsung dan tidak langsung.. Buss (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) menyebutkan, menjelaskan dan memperluas penjelasan dari bentuk perilaku tersebut: 1) Agresi Fisik Aktif Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung seperti memukul, mendorong, menembak, dan sebagainya. 2) Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan sebagainya. 3) Agresi Fisik Pasif Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak

7 terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam, dan sebagainya. 4) Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh, dan sebagainya. 5) Agresi Verbal Aktif Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat. 6) Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebgainya. 7) Agresi Verbal Pasif Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak berbicara, bungkam dan sebagainya. 8) Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberikan dukungan, tidak menggunakan hak suara, dan sebagainya.

8 Walaupun Buss menerima bahwa frustasi kadang memicu agresi, namun ia juga menyatakan bahwa individu mungkin memperlajari respon frustasi dari orang lain. Ia menyatakan bahwa beberapa faktor berkontribusi pada perilaku agresi seperti pengalaman yang secara spesifik berhubungan dengan frustasi dari orang lain dan dan kepribadian dari individu. Ia menekankan bahwa pengalaman terdahulu dari individu adalah penyebab utama dari perilaku yang ditampilkan pada saat itu. 3. Dimensi Perilaku Agresi Buss (dalam Morgan, 1989) menyatakan bahwa tingkah laku agresi dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan langsung tidak langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal terletak pada perbedaan antara menyakiti fisik (tubuh) orang lain dan menyerang dengan kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah pada perbedaan antara tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak. Sementara agresi langsung berarti kontak face-to-face dengan orang yang diserang, dan agresi tidak langsung terjadi tanpa kontak dengan orang yang diserang. Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework untuk mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi (Buss, dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) antara lain: a. Agresi Fisik Aktif Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung seperti memukul, mendorong, menembak, dan sebagainya.

9 b. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan sebagainya. c. Agresi Fisik Pasif Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam, dan sebagainya. d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh, dan sebagainya. e. Agresi Verbal Aktif Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat.

10 f. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebgainya. g. Agresi Verbal Pasif Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak berbicara, bungkam dan sebagainya. h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberikan dukungan, tidak menggunakan hak suara, dan sebagainya. 4. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi Sarwono (2002), menyatakan rangsangan atau pengaruh terhadap perilaku agresi dapat datang dari luar diri sendiri yaitu dari kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok atau dari pelaku sendiri yaitu pengaruh kondisi fisik dan kepribadian. a. Kondisi Lingkungan Rasa sakit pada hewan dapat memicu agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit psikis. Adanya serangan juga cenderung memicu agresi karena pihak yang diserang cenderung membalas.

11 b. Pengaruh Kelompok Pengaruh kelompok terhadap perilaku agresi, antara lain adalah menurunkan kendali moral. Adanya provokasi secara langsung dari pihak lain merupakan salah satu faktor pendorong terjadi perilaku agresi. Seseorang akan mudah terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung dari pihak lain dalam kelompok, penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi baik karena provokasi verbal maupun fisik. Selain karena faktor ikut terpengaruh, perilaku agresi juga disebabkan karena adanya perancuan tanggung jawab (tidak merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan beramai-ramai), ada desakan kelompok dan identitas kelompok (karena kalau tidak ikut dianggap bukan anggota kelompok), dan ada deindividuasi (identitas sebagai individu tidak akan dikenal). c. Pengaruh Kepribadian dan Kondisi Fisik Salah satu faktor kepribadian yang berpengaruh terhadap perilaku agresi adalah peran jenis kelamin. Pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang feminin. Gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan, yaitu pada umumnya wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih mengekang perilaku agresi. Perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat dan bentuk perilaku agresi, dimana laki-laki diasumsikan lebih agresif dari wanita (Nasution, 1990). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bandura (dalam Nasution, 1990) yang menemukan bahwa anak laki-laki menunjukkan perilaku agresi yang lebih dari anak perempuan. Begitu juga dengan Rahardjo (dalam Nasution, 1990) yang mengatakan bahwa lakilaki lebih agresif dari perempuan. Maccoby dan Jacklin (1974) menemukan bahwa

12 pria lebih agresif secara fisik, demikian juga dengan Glaude (1991) yang menemukan bahwa tingkatan yang lebih tinggi dalam agresi yang nyata atau tampak pada pria dibandingkan dengan wanita. Selain karena pengaruh dari faktor kepradian, perilaku agresi juga selalu saja ada keterkaitannya dengan situasi-situasi sesaat yang merupakan indikasi bahwa perilaku agresi lebih disebabkan oleh faktor situasi daripada faktor kepribadian. Faktor situasi selain dapat berasal dari kondisi lingkungan dan pengaruh kelompok, dapat juga disebabkan oleh kondisi diri atau fisik seseorang. B. Kohesivitas 1. Definisi Kohesivitas Menurut George & Jones (2002) kohesivitas adalah anggota kelompok yang memiliki daya tarik satu sama lain. Kelompok yang kohesivitasnya tinggi adalah saling tertarik pada setiap anggota, kelompok yang kohesivitasnya rendah adalah tidak saling tertarik satu sama lain. Mcshane & Glinow (2003) mengatakan kohesivitas dalam kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Anggota kelompok merasa kompak adalah ketika mereka percaya kelompok mereka membantu tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan sosial selama masa krisis. Greenberg (2005) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah perasaan dalam kebersamaan antar anggota kelompok. Tingginya kohesivitas kelompok berarti tiap anggota dalam kelompok saling berinteraksi satu sama lain, mendapatkan tujuan mereka,

13 dan saling membantu di tiap pertemuan, dan bila kelompok tidak kompak maka tiap anggota kelompok akan saling tidak menyukai satu sama lain dan mungkin terjadi perbedaan pendapat. Robbins (2001) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Misalnya, kelompok yang telah berpengalaman dalam menghadapi ancaman dari luar menyebabkan anggotanya lebih dekat satu sama lain. Gibson (2003) mengungkapkan bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya dari pada terhadap kelompok lain. Mengikuti kelompok akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa semangat dalam bekerja. Certo, S (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan memiliki anggota yang ingin tetap tinggal dalam kelompok selama mengalami tekanan dalam kelompok. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu dan di dalamnya terdapat semangat kerja yang tinggi. Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas merupakan derajat kekuatan ikatan dalam suatu kelompok, yang mana masing-masing anggotanya saling tarik-menarik, saling tergantung dan saling bekerjasama secara kompak, sehingga akan membentuk suatu konformitas yang akan meningkatkan kapasitas kelompok untuk mempertahankan keanggotaan para anggotanya dalam mencapai tujuannya.

14 2. Faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Menurut McShane & Glinow (2003) faktor yang mempengaruhi kohesivitaskelompok, yaitu : a. Adanya Kesamaan Kelompok yang homogen akan lebih kohesif dari pada kelompok yang heterogen. anggota yang berada dalam kelompok yang homogen dimana memiliki kesamaan latar belakang, membuat mereka lebih mudah bekerja secara objektif, dan mudah menjalankan peran dalam kelompok. b. Ukuran kelompok Kelompok yang berukuran kecil akan lebih kohesif dari pada kelompok yang berukuran besar karena akan lebih mudah untuk beberapa orang untuk mendapatkan satu tujuan dan lebih mudah untuk melakukan aktifitas. c. Adanya interaksi Kelompok akan lebih kohesif bila kelompok melakukan interaksi berulang antar anggota kelompok. d. Ketika ada masalah Kelompok yang kohesif mau bekerja sama untuk mengatasi masalah. e. Keberhasilan kelompok Kohesivitas kelompok terjadi ketika kelompok telah berhasil memasuki level keberhasilan. Anggota kelompok akan lebih mendekati keberhasilan mereka dari pada mendekati kegagalan.

15 f. Tantangan Kelompok kohesif akan menerima tantangan dari beban kerja yang diberikan. Tiap anggota akan bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan, bukan menganggap itu sebagai masalah melainkan tantangan. 3. Dimensi Kohesivitas Kelompok Forsyth (1999) mengemukakan bahwa ada empat dimensi kohesivitas kelompok, yaitu : a. Kekuatan sosial Keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok untuk tetap berada dalam kelompoknya. Dorongan yang menjadikan anggota kelompok selalu berhubungan. Kumpulan dari dorongan tersebut membuat mereka bersatu. b. Kesatuan dalam kelompok Perasaan saling memiliki terhadap kelompoknya dan memiliki perasaan moral yang berhubungan dengan keanggotaannya dalam kelompok. Setiap individu dalam kelompok merasa kelompok adalah sebuah keluarga, tim dan komunitasnya serta memiliki perasaan kebersamaan. c. Daya tarik Daya tarik merupakan properti kelompok yang berasal dari jumlah dan kekuatan sikap positif antara anggota kelompok. Individu akan lebih tertarik melihat dari segi kelompok kerjanya sendiri daripada melihat dari anggotanya secara spesifik. d. Kerja sama kelompok

16 Sebuah proses yang dinamis yang direfleksikan dengan kecenderungan suatu kelompok untuk tetap terikat bersama dan mempertahankan kesatuan dalam usaha untuk mencapai tujuan. Individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok. C. Geng Motor Thrasher (1963), mendefenisikan geng sebagai suatu kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik seperti penampilan, tindakan, konflik dan perencanaan. Sedangkan menurut Triyono Lukmantoro (2007), geng adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan seringkali menyebabkan keributan. Pola terbentuknya sebuah geng, dimulai dari sebuah ikatan kebersamaan dan eemosional dari sebuah komunitas tertentu, misalnya komunitas sekolah atau komunitas otomotif (Triyono Lukmantoro, 2007). Geng motor merupakan suatu bentuk geng yang di dalamnya merupakan kumpulan orang pencinta motor yang menyukai kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai (Muliyani Hasan, 2007). Ada perbedaan antara geng motor dengan kelompok pengguna motor (club motor) yang harus dipahami oleh masyarakat luas. Perbedaannya adalah club motor merupakan kelompok yang mengusung merek atau spesifikasi tertentu dengan perangkat organisasi formal untuk menjadi anggotanya dan kegiatan club motor jauh dari hal-hal yang berbau negatif. Mereka sekedar kumpul dan konvoi. Hal ini bertolak belakang dengan berbagai jenis kegiatan geng motor yang cenderung negatif seperti mencuri, tawuran, merusak tempat umum bahkan membunuh.

17 Di daerah Semarang, Bandung dan sekitarnya aktivitas yang dilakukan geng motor seperti pengrusakan tempat umum,kebut-kebutan di jalan umum, pencurian, tawuran antar geng motor, perampokan dengan kekerasan sudah sangat meresehakan. Banyak dari mereka yang membawa senjata tajam, Samurai, jenis golok berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja di Jepang, menjadi senjata (Pikiran Rakyat. 27 November 2007). Sementara di Medan perilaku agresi yang dilakukan anggota-anggota geng motor antara lain yang seperti perkelahian antar geng motor, pemukulan yang dilakukan pada anggota geng motor lain yang tidak disukai, pemalakan atau pemerasan yang dilakukan terhadap anak-anak sekolah, perkelahian dengan anak sekolah, mencaci maki orang-orang yang tidak disukai terutama yang berasal dari kelompok atau geng lain. Khususnya di medan,ada beberapa geng motor seperti RnR dan TIB yang perilaku agresinya lebih berorientasi pada tawuran atau perkelahian antar gang, hal ini berbeda dengan geng motor di daerah lain yang sudah melakukan kekerasan terhadap publik atau sarana publik. D. Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor Decker dan vin Winkle (1996) menjelaskan dinamika yang mendasari tindakan kekerasan geng berdasarkan signifikansi konstruk ancaman. Menurut pandangan ini, geng seringkali lahir untuk merespons ancaman (menurut persepsi yang bersangkutan atau yang sungguh-sungguh ada) yang berasal dari individu-individu atau kelompok lain yang berada diluar kelompoknya. Ancaman bisa diarahkan, atau dipersepsi diarahkan pada keselamatan fisik, wilayah kekuasaan, atau identitas psikologis para anggotanya. Bila

18 geng lawan mengadopsi persepi yang sama mengenai ancaman dan mencoba mendahului menyerang maka kekerasaan geng berpotensi kuat untuk bereskalasi. Selain itu perilaku agresi sudah menjadi perilaku khas dari anggota geng. Perilaku-perilaku agresi ini menjadi perilaku yang dipilih anggota geng untuk melindungi geng mereka dari ancaman geng lain. Muliyani mengatakan bahwa perkelahian, kebutkebutan, tawuran dan perilaku kriminal lainnya adalah upaya anggota geng motor menunjukkan dari geng motor mana mereka berasal dan ingin membuat geng motor mereka menjadi yang terbaik dari geng motor lainnya. Triyono (dalam Geng, Distorsi dalam Komunikasi) menambahkan lagi anggota-anggota geng memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku agresi adalah adanya pengaruh kelompok (Sarwono, 1999). Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok dalam melakukan perilaku agresi. Pengaruh kelompok dalam perilaku agresi antara lain adalah menurunkan kendali moral. Adanya provokasi secara langsung dari pihak lain dalam kelompok merupakan pendorong terjadi perilaku agresi. Seseorang akan mudah terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung dari kelompoknya. Selain itu adanya desakan dari kelompok dan identitas kelompok (kalau tidak ikut melakukan dianggap bukan anggota kelompok) dapat menyebabkan seseorang melakukan perilaku agresi (Sarwono, 1999). Menurut Forsyth (1999) anggota-anggota dalam satu kelompok bisa bebas saling mempengaruhi satu sama lain jika terdapat kohesivitas dalam kelompok tersebut. Selain

19 itu anggota kelompok yang kohesif akan lebih menyadari identitasnya sebagai bagian dari kelompok. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kelompok yang kohesif memiliki ciri-ciri antara lain, masing-masing anggota timbul keterdekatan, sehingga bisa mempengaruhi satu sama lain, rasa toleran, saling membagi, saling mendukung terutama dalam menghadapi masalah, keeratan hubungan, saling tergantung untuk tetap tinggal dalam kelompoknya. rasa saling percaya, timbul suasana yang nyaman (merasa aman dalam bekerja, untuk mengungkapkan pendapat & berinteraksi, saling pengertian) dan adanya kesadaran sebagai bagian dari kelompok. Forsyth (1999) menambahkan bahwa kohesivitas merupakan derajat kekuatan ikatan dalam suatu kelompok yang mana masing-masing anggotanya saling tarik-menarik, saling tergantung dan saling bekerjasama secara kompak, sehingga akan membentuk suatu konformitas yang akan meningkatkan kapasitas kelompok untuk mempertahankan keanggotaan para anggotanya dalam mencapai tujuannya. Mc Shane dan Glinow (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan memotivasi mereka untuk tetap bersama kelompok, dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Gibson (2003) mengungkapkan juga bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya daripada kelompok lain. mengikuti kelompoknya akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa senang. Walgito (2007) juga menjelaskan mengenai adanya peran kohesivitas dalam mempengaruhi perilaku-perilaku anggota-anggota kelompok. Anggota kelompok yang kohesif akan memberikan respon positif terhadap para anggota dalam kelompok. Secara

20 teoritis, kelompok yang kohesif akan terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dan merespon positif terhadap perilaku anggota kelompok yang lain. Hal ini di dukung dengan penemuan Festinger, Schacter, dan Black (dalam Shaw 1979) yang mendapati bahwa anggota kelompok yang kohesif mempunyai opini yang seragam dan umumnya dalam tindakan menyesuaikan diri dengan standar atau keinginan kelompok. Jadi pressure atau tekanan terhadap keseragaman naik searah atau sejajar dengan naiknya kohesi kelompok. Dalam hal ini kohesivitas dalam suatu kelompok menjadikan anggotanya bersedia melakukan norma-norma atau perilaku yang diinginkan kelompok, termasuk perilaku agresi terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas peneliti berasumsi bahwa semakin kohesif suatu kelompok, maka anggota-anggotanya akan semakin bebas saling mempengaruhi perilaku anggotanya yang lain, dalam hal ini kelompok dapat mempengaruhi atau mendesak anggota untuk melakukan perilaku agresi. Jadi semakin kuat kohesivitas dalam kelompok, semakin tinggi perilaku agresi yang dilakukan anggotanya. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis diatas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kohesivitas geng motor dengan perilaku agresi.

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresivitas 2.1.1 Definisi Agresivitas Agresi adalah pengiriman stimulus tidak menyenangkan dari satu orang ke orang lain, dengan maksud untuk menyakiti dan dengan harapan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA AGRESIF VERBAL. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling

PEDOMAN WAWANCARA AGRESIF VERBAL. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling AGRESIF VERBAL Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd Dr. Ali Muhtadi, M.Pd Oleh: DESY WISMASARI 16713251012

Lebih terperinci

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I AGRESI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 13 61016 Abstract Materi tentang pengertian agresi, teoriteori dan cara menguranginya

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif.

BAB II. Landasan Teori. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif. BAB II Landasan Teori A. PERILAKU AGRESI A.1 Pengertian Perilaku Agresi Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah agresif. Mungkin terlintas dalam pikiran kita segala tindakan yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, BAB ll KAJIAN TEORI 2.1 Perilaku Agresif 2.1.1 Pengertian perilaku agresif Pengertian secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang di lakukan oleh suatu organisme terhadap oranisme lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN INTENSI AGRESI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN YAYASAN KEJURUAN TEKNOLOGI BARU (SMK YKTB) 2 KOTA BOGOR Oleh: Amalina Ghasani 15010113130113 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit lepas dari belenggu anarkisme, kekerasan, dan perilaku-perilaku yang dapat mengancam ketenangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak RINGKASAN SKRIPSI A. PENDAHULUAN Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia persilatan memang sangat identik dengan perilaku kekerasan atau agresi. Mulai dari latihan pencak silat yang tampak terlihat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Agresivitas 2.1.1. Definisi Agresivitas Menurut Berkowitz, agresivitas adalah keinginan dan tindakan untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Menurut Lazarus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak selamanya berjalan dengan mulus, tenang, penuh dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Tetapi seringkali manusia menghadapi berbagai cobaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku agresif seringkali diperbincangkan oleh masyarakat karena hal tersebut memicu kekhawatiran masyarakat sekitar, terutama di kalangan pelajar SMK. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orang tua mempunyai peran paling besar terhadap tumbuh kembang anak, terutama pada rentang usia pra sekolah. Masa ini merupakan periode seorang anak memulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini merupakan siswa kelas XI SMK Saraswati Salatiga yang populasinya berjumlah 478 siswa. Kelas XI SMK Saraswati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. studi kasus. Poerwandari (1998), penelitian kualitatif

BAB III METODE PENELITIAN. studi kasus. Poerwandari (1998), penelitian kualitatif 57 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Poerwandari (1998), penelitian kualitatif adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat dilakukan di lingkungan mana saja baik di sekolah maupun di luar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat dilakukan di lingkungan mana saja baik di sekolah maupun di luar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dapat dilakukan di lingkungan mana saja baik di sekolah maupun di luar sekolah, dalam bentuk formal atau pendidikan yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh: LINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan berita harian di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan berita

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prilaku remaja pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada remaja itu sendiri, prilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kekerasan 2.1.1. Pengertian Kekerasan Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, dan Lozano (2002) kesengajaan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, mengancam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia, berdampak pada psikologis anak, anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom.

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. AGRESI Modul ke: Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Fakultas Psikologi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku masa remaja

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk memenenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Sarjana S1 Psikologi Oleh: Dony Sinuraya F. 100 030 142 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO SKRIPSI Diajukan oleh : Bonnie Suryaningsih F. 100020086 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JULI 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti menyakiti orang lain baik fisik maupun verbal. menurut Herbert (Aisyah, 2010) agresivitas merupakan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. seperti menyakiti orang lain baik fisik maupun verbal. menurut Herbert (Aisyah, 2010) agresivitas merupakan tingkah laku yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahap perkembangan terjadi pada setiap manusia terutama pada masa anak-anak. Tahap perkembangan yang terjadi pada anak umumnya sama. Perkembangan pada anak biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemakai jalan raya. Ada bermacam-macam rambu lalu lintas yang dipasang baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemakai jalan raya. Ada bermacam-macam rambu lalu lintas yang dipasang baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keselamatan di jalan raya sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap pemakai jalan raya. Ada bermacam-macam rambu lalu lintas yang dipasang baik di marka atau di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, maka globalisasi yang paling sukses disepanjang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghindari perlakuan itu (Krahe, 2005, pp ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghindari perlakuan itu (Krahe, 2005, pp ). A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Baron dan Richardson (1994, hlm. 7) mereka mengusulkan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi MODUL PERKULIAHAN DIRI PRIBADI Presentasi diri; Pengetahuan diri pribadi; Berpikir mengenai diri pribadi; Harga diri pribadi; Penilaian diri pribadi; Diri pribadi sebagai sasaran prasangka Fakultas Program

Lebih terperinci

BAB ll LANDASAN TEORI. A. Perilaku Agresif. salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang agresif

BAB ll LANDASAN TEORI. A. Perilaku Agresif. salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang agresif 13 BAB ll LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresif 1. Pengertian Perilaku Agresif Banyak para ahli yang berusaha untuk mendefinisikan tentang agresif, salah satunya adalah Freud (dalam Atkinson,1983) yang memandang

Lebih terperinci

Pertemuan 5 PENDEKATAN TRANSORIENTASIONAL

Pertemuan 5 PENDEKATAN TRANSORIENTASIONAL Pertemuan 5 PENDEKATAN TRANSORIENTASIONAL Mempelajari psikologi individu melalui fungsi biologi/tubuh Fokus : Bagaimana tubuh mempengaruhi perilaku, perasaan dan pikiran seseorang Biologi mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun masal sudah merupakan berita harian di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa dikenal sebagai pelaku utama dan agent of exchange dalam gerakan-gerakan pembaharuan. Mahasiswa memiliki makna yaitu sekumpulan manusia intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik seperti penampilan, tindakan, konflik dan perencanaan. Namun karena

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik seperti penampilan, tindakan, konflik dan perencanaan. Namun karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kekerasan yang dilakukan oleh geng motor sering terjadi di Kota Bandung. Dimulai berbagai pemberitaan tentang geng motor menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini bagi masyarakat, aksi-aksi kekerasan baik yang dilakukan secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi kekerasan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks dimana individu baik laki-laki maupun perempuan mengalami berbagai masalah seperti perubahan fisik, perubahan emosi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. mengalami krisis moral para pelajar. Problematika siswa saat ini mencoreng dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. mengalami krisis moral para pelajar. Problematika siswa saat ini mencoreng dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Pada beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia tengah mengalami krisis moral para pelajar. Problematika siswa saat ini mencoreng dunia pendidikan. Dimulai dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kenakalan remaja bukan merupakan permasalahan baru yang muncul kepermukaan, akan tetapi masalah ini sudah ada sejak lama. Banyak cara, mulai dari tindakan prefentif,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Agresif 2.1.1 Pengertian Perilaku Agresif Secara umum, Sarason (dalam Dayakisni, 2009) agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi BAB I PENDAHULUAN A.Deskripsi Permasalahan Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa perkembangan dimana manusia berada pada rentan umur 12 hingga 21 tahun. Masa transisi dari kanak-kanak

Lebih terperinci