Bab III Genesa Batubara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Genesa Batubara"

Transkripsi

1 Bab III Genesa Batubara Pembentukan batubara merupakan proses yang komplek yang harus dinilai dan dipelajari dari berbagai segi. Ada bermacam-macam proses penyebab terbentuknnya batubara dalam suatu cekungan. Proses-proses tersebut saling mempengaruhi dan juga saling tergantung satu dengan lainnya. Gambar III.1 menyajikan secara skematik hubungan dari proses-proses tersebut beserta 10 faktor pembetuk batubara. Akumulasi batubara hanya terjadi bila terdapat keseimbangan yang tepat dari parameter-parameter tersebut. Lingkungan pembentukan batubara dapat berupa lingkungan paralik (air payau) atau limnik (air tawar), tetapi pada umumnya terjadi pada lingkungan pantai. Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap yaitu tahap penggambutan (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap penggambutan disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dam mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau fisika-kimia yan melibatkan perubahan kimia dan fisika serta menghasilkan batubara dari lignit sampai antrasit (Cook,1982). III.1 Penggambutan Proses penggambutan merupakan salah satu dari tahap pembatubaran biokimia, yaitu proses ubahan terhadap sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi di dalam suatu rawa gambut (moor) hingga terbentuknya gambut. Alterasi berlangsung pada permukaan gambut hingga kedalaman 0,5 meter. Lapisan ini disebut sebagai peactigeic layer (Teichmueller, 1975). Pada lapisan ini bakteri anaerob, actinomyces, dan jamur menjadi aktif. Dengan bertambahnya kedalaman, keberadan mikroorganisme tersebut berkurang dan digantikan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini proses perubahan yang berlangsung adalah perubahan kimiawi terutama kondensasi, polimerisasi, reduksi. III-1

2 Gambar III.1. Hubungan faktor-faktor pembentuk batubara (Schlatters 1973) Proses yang paling penting selama penggambutan adalah pembentukan substansisubstansi humik. Humifikasi berlangsung dengan adanya suplai oksigen dan meningkatnya temperatur gambut di bawah lingkungan alkalin. Derajat humufikasi ini selanjutnya bergantung terhadap fasies dan tidak tergantung kepada kedalaman (teichmueller dan teichmueller, 1975). Pada profil gambut, kandungan karbon dari atas ke bawah semakin besar sebagai akibat substansi-substansi yang relatif kaya akan oksigen pada peatigenic layer, khususnya selulosa dan hemiselulosa terdekoposisi secara mikrobiologi mengakibatkan pengkayaan lignin yang kaya akan karbon dan terbentuknya asam humik. Sebaliknya, karena bertambahnya kedalaman maka tekanan akan meningkat dan kandungan air akan berkurang secara cepat. Berkurangnya kandungan air ini merupakan parameter yang baik dalam diagnesa III-2

3 gambut. Keterdapatan selulosa bebas (tidak terikat secara baik dengan lignin) juga merupakan indikator yang penting untuk penentuan derajat penggambutan. Untuk membedakan gambut dengan batubara lunak dapat dipakai beberapa parameter antara lain kandungan karbon dan air, kehadiran selulosa bebas,dan kemudahan gambut untuk dipotong. Perbedaan ini tidak selalu sempurna ketepatannya, karena transisi dari gambut ke brown coal berlangsung secara gradual sehingga sukar untuk menentukan batasan yang tepat. Batas antara gambut dengan brown coal umumnya terjadi pada kedalaman pemendaman antara mater (Teichmueller dan Teichmueller,1975). III.2 Fasies Batubara III.2.1 Faktor-faktor Penentu Fasies Batubara Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik primer (fasies) batubara antara lain : 1. Tipe Pengendapan Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonous dan allochtonous. Batubara autochtonous berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut di tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses transportasi yang berarti. Batubara allochtonous terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat lain. Batubara allochtonous akan lebih banyak mengandung mineral oleh karena penambahan material-material lain selama transportasi. 2. Rumpun Tumbuhan Pembentuk Berdasar rumpun tumbuhan pembentuk dikenal empat macam tipe rawa yaitu: Daerah air terbuka dengan tumbuhan air Rawa ilalang terbuka III-3

4 Rawa Hutan Rawa Lumut Pada daerah iklim sedang dan lembab urutan-urutan tipe rawa diatas terdapat pada gambut yang berkembang di danau (Gambar III.2). Gambar III.2. Urutan tipe rawa pada gambut yang berkembang di danau (Taylor et.al., 1998) 3. Lingkungan Pengendapan Lingkungan pengendapan telmatis (terestial) akan menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh secara insitu. Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnik (subakuatik) sulit untuk dibedakan karena pada rawa hutan (forest swamp) biasanya ada bagian yang berada di bawah air. Batubara yang terendapkan pada lingkungan payau atau marine dicirikan oleh tingginya kandungan abu, sulfur, N, dan mengandung fosil laut. 4. Persediaan makanan Rawa eutrophic, mesotrophic, dan oligotrophic dibedakan dari banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya III-4

5 eutrophic (kaya makanan) karena menerima air dari air tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. High moor adalah oligotrophic (miskin makanan) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutrophic banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (ph 3,5 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah. 5. PH, Aktivitas bakteri, dan sulfur Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan demikian akan sangat mempengaruhi sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai O 2, dan konsentrasi asam humin yang sudah terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (ph 7-7,5), jika makin asam maka bakteri akan semakin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan lebih baik. 6. Temperatur Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan baik sehingga proses kimia akinat bakteri bisa berjalan baik. III.2.2 Fasies Pengendapan Batubara Terbentuknya batubara bermula dari pengendapan tumbuh-tumbuhan membentuk rawa gambut. Rawa gambut dilihat dari jenis tumbuhan pembentuk menurut Martin dan Glooschenko (1984) dalam Diessel (1982) dibedakan menjadi empat yaitu : III-5

6 1. Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French, 1987). 2. Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang ombrogenik yaitu transisi antara daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan daerah yang terkadang kering. 3. Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut. 4. Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang tumbuh rawa yang didominasi tanaman berkayu. Lingkungan tempat terbentuknya gambut umumnya merupakan tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau tidak ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut mencapai 90% dan kandungan air menurun drastis hingga 60% pada saat terbentuknya brown coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut diatas adalah berupa rawa gambut topogenik (low moor). Pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi bisa terbentuk rawa gambut onbrogenik (high moor) Rawa gambut yang besar terbentuk di dataran pantai yang rata (flat coastal plain) yang umumnya terlindungi oleh tumpukan pasir dalam laguna atau daerah delta. Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini disebut batubara paralik. Lingkungan pengendapan yang lebih ke arah daratan yaitu di sepanjang sungai, danau (lakustrin) atau depresi yang lain disebut lingkungan limnik (Teichmuller, 1989). III-6

7 Diessel (1992) mengelompokkan tempat terakumulasikannya rawa gambut menjadi lima kategori yang didasarkan pada penelitian terhadap batubara humik bituminous. Tiga diantaranya merupakan tipe rawa gambut topogenik yaitu high watertable dengan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral, dan variable watertable. Sementara dua kategori yang lain termasuk tipe rawa gambut ombrogenik yaitu continously wet dan intermittenly dry. Kategori high watertable terbagi menjadi dua yaitu suasana asam dan netral. Rawa gambut dengan air melimpah dan suasana asam merupakan lingkungan air tawar. Sementara rawa gambut dengan air melimpah dan suasana netral merupakan lingkungan payau atau laut. Kategori dengan muka air yang berubah-ubah (variable watertable) umumnya terjadi pada dataran banjir yang kadang-kadang pada masa tertentu kering. Kategori continuously wet merupakan rawa gambut yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat tinggi (daerah tropis). Kategori intermittenly dry merupakan rawa gambut yang hampir sama dengan kondisi continuously wet tetapi pada masa-masa tertentu kadang diselingi musim kering. Kedua kategori ini sangat tergantung terhadap suplai air hujan sehingga lingkungan pengendapannya cenderung bersifat asam. Tipe rawa gambut topogenik akan lebih kaya suplai makanan (eutropi) yang berasal dari material yang dibawa oleh aliran air tawar. Sementara tipe rawa gambut ombrogenik akan lebih miskin suplai makanan (oligotropi) karena air yang terkadang di dalamnya didominasi oleh air hujan yang tidak banyak mengandung mineral. Diessel (1992) membagi lingkungan sedimenter tempat terbentuknya batubara menjadi 5 bagian yaitu : III-7

8 1. Braid Plain Merupakan dataran aluvial intramontana yang pada daerah ini terendapkan sedimen kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini merupakan hasil diagnesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 m. Kandungan abu dan sulfur total umumnya rendah, sementara kandungan vitrinit umumnya tinggi pada daerah tropis. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai makanan yang sedikit. Kadangkadang juga ditemukan batubara dengan kandungan abu yang tinggi sampai 20%. Kandungan abu tersebut kemungkinan berasal dari adanya banjir musiman. Karena inertinit yang besar maka nilai TPI (Tissue Preservation Index) akan tinggi yang dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) akan rendah dan secara makroskopis batubara kelihatan kusam yang dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan gambut telah mengalami kekeringan dan teroksidasi. 2. Alluvial Valley and Upper Delta Plain Dua lingkungan pengendapan ini sulit untuk dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan sifat batubara yang terbentuk. Transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta biasanya melalui sungai stadium dewasa yang banyak memiliki meander. Endapan sedimen umumnya berupa batupasir yang berselang-seling dengan batulumpur. Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti rawa-rawa, dataran banjir (flood plain), dan cekungan banjir (flood basin), bagian terluar dari saluran sungai, dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang III-8

9 mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI yang tinggi. Batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini umumnya didominasi oleh maseral humotelinit. Disamping itu batubara tersebut juga mempunyai kandungan abu dan sulfur yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan batubara yang terbentuk dalam lingkungan pengendapan lainnya. 2. Lower Delta Plain Lingkungan pengendapan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh air laut terhadap sedimentasi. Batas antara kedua lingkungan pengendapan tersebut adalah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau, batulempung, dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa makanan ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Disamping itu pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut Horne & Ferm (1987), batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi mempunyai ketebalan yang relatif tipis. Batubara ini memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan huminit terutama didominasi oleh humodetrinit sehingga akan mempunyai nilai TPI yang rendah. Hal ini menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak dan tingginya biodegredasi pada kondisi Ph yang relatif tinggi. III-9

10 3. Barrier Beach Morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio sedimentasi dengan energi pantai yaitu gelombang, pasang, dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan terbentuk delta namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai. Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran. Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut. Batubara yang terbentuk selama proses regresi dicirikan oleh nilai GI dan TPI yang rendah dengan kandungan sulfur total yang relatif lebih rendah. Batubara yang terbentuk selama proses transgresi dicirikan oleh nilai GI dan TPI serta kandungan sulfur yang lebih tinggi. 5. Estuari Jika nilai rasio antara sedimentasi dengan energi pantai sangat rendah maka tidak akan terbentuk endapan delta tetapi yang terbentuk adalah estuari. Sedimen pada lingkungan pengendapan ini terutama berupa perselingan laminasi batulanau dan batupasir halus. Batubara yang terbentuk biasanya sangat tipis dan penyebaran tidak menerus. III.3 Pembatubaraan Proses pembatubaraan adalah proses pengubahan gambut menjadi lignit, sub bituminous, semi antrasit, antrasit, hinga meta antrasit (Tabel III.1).. Tahapan yang III-10

11 dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara. Proses perubahan ini biasanya dipisahkan ke dalam dua tahapan, yaitu tahap biokimia atau diagnesa dan geokimia atau metamorfosis. III.3.1 Pembatubaraan Biokimia Merupakan proses pengubahan bahan-bahan organik dari tanaman menjadi gambut yang di mulai dari proses pembusukan tumbuhan sampai terbentuknya brown coal. Tahap ini merupakan syarat mutlak pembentukan batubara. Di lingkungan endapan gambut terbentuk, maka secara vertikal proses biokimia terjadi pada dua zona, yaitu zona permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer. Pada zona peatigenic ini terdapat bakteri aerob, lumut serta actinomyces yang aktif. Bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob (butuh udara) akan berkurang dan akan diganti bakteri anaerob (tidak butuh udara). Pada kedalaman 10 m atau lebih, kehidupan bakteri berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polimerisasi dan reaksi reduksi. Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai dengan kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45%-50% sampai 55%- 60%. Pada kedalaman selebihnya pertambahan kandungan karbon cenderung konstan dengan kandungan karbon maksimum 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer ini disebabkan karena pada posisi tersebut kaya akan substansi yang mengandung oksigen terutama, selulosa dan hemiselulosa yang dirubah secara mikrobiologi menjadi bentuk baru. Dari keseluruhan proses yang berlangsung, maka proses yang terpenting adalah proses pembentukan substansi humus. Derajat humifikasi tergantung pada fasies dan tidak semata-mata bergantung pada kedalaman. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses humufikasi agar beraktifitas dengan baik adalah : 1. Keasamaan air, bakteri akan hidup dengan baik pada Ph 7,0-7,5 2. Kedalaman, bakteri aerob akan aktif pada kedalaman berkisar 0,5 m III-11

12 3. Suplai oksigen, akan menurun sejalan dengan kedalaman 4. Temperatur lingkungan, temperatur yang hangat akan mendukung kehidupan bakteria Menurut Cook (1982), tahap biokimia atau awal pembatubaraan (kimia-fisika) akan menentukan tipe batubara. Tipe batubara berhubungan dengan jenis material yang berasal tumbuhan dan perubahan selama pemisahan material tersebut pada tahap biokimia serta tidak tergantung dari tahap kimia-fisika. Berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan terawetkan dalam sedimen atau gambut dengan tingkat yang berbeda-beda. Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa, pertama selulosa akan diubah menjadi glukosa dengan cara hidrolisis. Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian lengkap dari senyawa organik. Selanjutnya bagian-bagian dari material-material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut sebagai asam humus (humic acid). Pada tahap ini, lemak dan material resin umumnya mengalami perubahan sedikit. III.3.2 Pembatubaraan Geokimia Proses pembatubaraan geokimia adalah perkembangan gambut menjadi lignit, subbituminous, bituminous, antrasit, sampai metaantrasit. Tahapan yang dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara (Tabel III.1). Pada tahap pembatubaraan ini yang berperan adalah temperatur, waktu dan tekanan yang mendukung perubahan-perubahan struktur kimia dan físika. Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan menyebabkan penurunan porositas dan anisotropi ini pararel dengan bidang pelapisan dan bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Selanjutnya derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya (C, H, O dan VM) atau dengan sifat optis (reflektansi Vitrinit). III-12

13 Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminous) maka sisa terakhir dari selulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya membentuk humin yang tak larut dalam alkali. Perubahan paling menonjol pada batas antara peringkat sub bituminous C dan B adalah perubahan petrografis yang disebabkan oleh proses gelifikasi geokimia (vitrinisasi) dari substansi humik yang berubah menjadi hitam mengkilap. Pada tahap antrasit di cirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C secara drastis, bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme. III.3.3 Penyebab Pembatubaraan Faktor-faktor biokimia merupakan bagian yang penting pada petunjuk awal dari proses pembatubaraan. Dekomposisi mikrobiologi, hanya dapat berlangsung selama jamur dan bakteri mampu menjadi perusak material. Padahal aktifitas jamur ini hanya berlangsung pada peatigenic layer (kurang dari 50 cm dari permukaan). Pembentukan lignit tidak dapat dipengaruhi oleh organisme lain. Efek perlakuan bakteri ini berkurang dengan cepat bila kedalaman bertambah. Pada kedalaman yang ekstrim proses dekomposisi bakterial tidak akan memungkinkan lagi. Proses pembatubaraan selanjutnya diakibatkan karena adanya kenaikan temperatur dan tekanan serta lamanya proses ini berlangsung (teichmueller dan teichmueller,1975). III Pengaruh temperatur Bukti adanya pengaruh temperatur terhadap pembatubaran dapat diamati pada batubara yang mengalami kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat diamati pada kedalaman yang lebih besar (Hukum Hilt) yang disebabkan oleh kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt, kecepatan III-13

14 peningkatan peringkat bergantung pada gradien geothermal. Pergerakan tektonik yang cepat sepanjang sesar mungkin menyebabkan pembatubaraan setempat akibat panas gesekan, namun umumnya pergerakan ini lambat sehingga panas gesek tersebut habis sebelum mempengaruhi batubara. Tabel III.1. Peringkat (rank) batubara (Stach et. Al., 1982) RANK German USA Refl. Rmoil Vol.M d.a.f % Carbon d.a.f Vitrinite Bed Moisture Cal. Value Btu/Lb (Kcal/Kg) Applicability of Different Rank Parameter Torf Peat Gasflamm- Gas- Fett- Ess- Weich- Matt- Glanz- Flamm- Mager- e l h o n k u a B r e l h o n k e I t S Anthrazit Lignite Sub- Bit. C u s B i u m n o B i t ol. A V h g H i C B A Medium Volatile Bituminous Low Volatile Bituminous Semi Anthracite Anthracite Meta-Anthr Meta Anthracite ca.60 ca.71 ca.77 ca.87 ca.91 ca.75 ca (4000) ca.25 ca (5500) (7000) (8650) ) (8650) f ȧ d. ( n e g o dr y H e ) r h -f s a y dr ( er at m e i l at ol V e) e fr h - s a y d r ( n o b a C r e n i t ri i v t o f e c n a e c t ef l R e ) f r h - a s ( e u r s t o i M d e B e ) r h - f s a s t oi m ( e u al V c i if or al C t s oi M a y ṟ X r D if III-14

15 Gambar III.3. Peningkatan tahap pembatubaraan dengan bertambahnya kedalaman dan hubungannya dengan parameter-parameter kualitas batubara (Teichmueller dan Teichmueller,1975) III Pengaruh Waktu Pengaruh waktu dalam pembatubaraan dijelaskan oleh Teichmueller dan Teichmueller (1975) berdasarkan hasil penyelidikannya terhadap batubara di Gulf Coast, Lousianan dan Jerman barat daya. Dari hasil analisis terhadap contoh dari kedua daerah tersebut yang di ambil pada kedalaman yang sama ternyata memberikan peringkat yang bebeda karena batubara yang pertama berumur miosen atas sedangkan yang kedua berumur karbon. III Pengaruh tekanan Pengaruh tekanan akibat lapisan tanah penutup merupakan salah satu faktor penyebab pembatubaraan. Tekanan mempunyai efek pada kekompakan sehingga dengan sendirinya juga kadar air batubara menjadi berkurang. III-15

16 III.4 Maseral dalam Batubara Material organik pembentuk batubara disebut maseral dan dapat dianalogikan dengan mineral sebagai pembentuk batuan. Pengelompokan maseral ditentukan pada kenampakan optis di bawah mikroskop berdasarkan perbedaan morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas pantulan, dan tingkat pembatubaraan. Heterogenitas maseral ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok maseral yang terbagi lagi menjadi beberapa sub kelompok maseral, masing-masing sub kelompok maseral terdiri atas maseral-maseral. Dasar klasifikasi maseral yang digunakan dalam tulisan ini adalah International Comite for Coal Petrology (1985) (Tabel III.3). III.4.1 Grup Maseral Huminit/Vitrinit Grup ini berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu seperti batang, dahan, akar, dan serat daun. Huminit merupakan bahan utama penyusun batubara Indonesia (>80%). Terdiri dari humotelinit yang berasal dari jaringan tumbuhan phytoclass, humodetrinit yang berupa detritus berasal dari pecahan huminit lainnya, dan humokolinit yang terbentuk dari jaringan berstruktur koloid. Di bawah mikroskop grup maseral ini memberikan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinit, namun lebih gelap daripada kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua sampai abu-abu sangat muda. Kenampakan warna di bawah mikroskop tergantung dari tingkat ubahannya., semakin tinggi ubahannya maka warnanya akan lebih terang. Grup huminit mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasenya berada di antara inertrinit dan liptinit. III.4.2 Grup Maseral Liptinit Grup ini berasal dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora dan ganggang serta bagian kecil dari tumbuhan seperti kutikula, resin dan lain-lain. Terdiri dari 9 jenis III-16

17 maseral yaitu alginit (alga), sporinit (spora dan butiran pollen), kutinit (kutikula), resinit (resin), eksudatinit (maseral sekunder yang terbentuk pada awal peringkat bituminous), suberinit (serat gabus), liptodetrinit (berasal dari detrius liptinit lainnya), fluorinit, dan bituminit. Kenampakan di bawah mikroskop berwarna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar fluoresen, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu hingga gelap. Grup liptinit mempunyai kandungan hidrogen paling banyak di antara dua grup maseral lainnya. Tabel III.2. Klasifikasi maseral menurut ICCP (1985). III-17

18 III.4.3 Grup Maseral Inertinit Grup maseral ini diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan sebagian dari hasil proses oksidasi maseral lainnya yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. III.4.4 Proses pembatubaraan pada grup maseral Selama proses pembatubaraan, grup maseral vitrinit dan liptinit akan mengalami pengkayaan kandungan karbon Gambar III.4. Dengan meningkatnya pembatubaraan, oksigen dan zat-zat terbang berkurang dan kandungan karbon meningkat. Hidrogen bertambah dalam jumlah yang sedikit, kemudian berkurang setelah melewati tahap coking coal. Proses aromatisasi akan meningkat secara progresif dan fraksi-frsaksi non aromatik akan berkurang. Proses pembatubaraan pada maseral vitrinit/huminit berlangsung dalam empat tahap (Teichmueller, 1982 dalam Bustin et al., 1983) keempat tahap yang dilalui oleh maseral vitrinit/huminit dalam proses pembatubaraan tersebut adalah : 1. Selama tahap high volatile bituminous, yang berhubungan dengan tingkat kematangan bahan-bahan organik. 2. Pada tahap medium volatile bituminous yang berhubungan dengan reduksi oksigen dan awal pembentukan metana. 3. Batas antara semiantrasit dan antrasit yang berhubungan dengan pelepasan hidrogen dan metana dalam jumlah besar. 4. Batas antara antrasit dengan metaantrasit yang berhubungan dengan pelepasan hidrogen lebih lanjut dan meningkatnya aromatisasi. Sifat-sifat petrografis maseal huminit/vitrinit berubah secara teratur dengan meningkatnya proses pembatubaraan. Di bawah sinar pantul, reflektansinya akan meningkat, sedangkan pada sinar tembus akan berwarna gelap hingga opak. Struktur III-18

19 sel dan jaringan pada tahap awal akan mudah dikenali. Pada tahap low volatile bituminous, hanya sedikit struktur sel yang dapat dikenali dan pada tahap semi antrasit-antrasit, struktur sel hanya dapat dikenali dengan pengetsaan. Liptinit baru menunjukan perubahan setelah melewati tahap sub bituminous dengan adanya reduksi terhadap zat-zat terbang dan kenaikan kandungan karbon. Pada tahap medium volatile bituminous, liptinit mengalami proses pembatubaraan kedua akibat reduksi hidrogen dan zat-zat terbang. Di bawah sinar pantul, liptinit lebih gelap daripada maseral huminit/vitrinit pada peringkat rendah. Dengan meningkatnya pembatubaran, liptinit berkembang menjadi lebih terang hingga kadang-kadang sukar dibedakan dengan vitrinit pada peringkat yang tinggi. Di bawah sinar ultra violet intensitas total fluoresen liptinit menurun secara progresif dengan meningkatnya kematangan. Pada batubara low volatile bituminous, intensitas fluoresen liptinit sangat lemah. Di bawah sinar tembus liptinit pada awalnya berwarna kuning muda, kemudian berkembang menjadi lebih gelap hingga akhirnya dapat menjadi opak. Gambar III.4. Diagram Van Krevelen yang menunjukkan perbandingan oksigen dan hidrogen ketiga grup maseral dengan karbon (Tissot dan Welte, Sumber, Bustin et al., 1983) III-19

20 III.5 Indikator Fasies Batubara III.5.1 Pengawetan Struktur Jeringan dan Derajat Gelifikasi Diessel (1992) telah memperkenalkan sebuah diagram dengan menggunakan dua parameter utama yaitu Tissue Presevation (TPI) dan Gelification Index (GI). Kedua parameter tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumusan yang dimodifikasikan untuk batubara rank rendah sebagai berikut: TPI Telinit + Telocolinit + Pseudovitrinit + Semifu sin it + Fu sin it = Vitro det rinit + Desmocolinit + Inerto det rinit Hu min it + Geloinertinit GI = Inertinit( kecuali macrinit) TPI menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. GI merupakan perbandingan komponen yang tergelifikasi terhadap komponen yang terfusinitkan. TPI juga dapat menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses penggambutan. Sementara itu GI berhubungan dengan kontinuitas kelembaban gambut. Lamberson et.al. (1991) melakukan modifikasi terhadap GI bahwa disamping menunjukkan tingkat gelifikasi juga merupakan kebalikan indeks oksidasi. Dalam penelitian ini akan digunakan modifikasi yang telah dilakukan oleh Lamberson et.al. (1991). Disamping itu modifikasi tambahan juga diperlukan untuk menyesuaikan dengan batubara daerah penelitian yang mempunyai rank rendah (subbituminous). Harga TPI > menunjukkan batubara lebih cenderung berasal dari tumbuhan kayu. Dalam kasus TPI < 1 maka huminit akan disertai oleh cutinit yang biasanya sangat cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinit/detrogelinit dan kutinit yang banyak dengan kandungan telinit dan telocolinit yang sedikit III-20

21 memberikan gambaran bahwa batubara berasal dari serat lunak tumbuhan perdu pada suatu lingkungan marsh. Harga TPI yang tinggi mengidentifikasikan suatu keadaan banyaknya jaringan tumbuhan terawetkan dengan baik. Sementara itu harga TPI yang tinggi juga dapat menggambarkan tingginya kandungan maseral semifusinit dan fusinit yang merupakan hasil dari proses oksidasi menerus atau pembakaran. Gelifikasi akan memberikan tiga gambaran utama yaitu: 1. Tingkat gelifikasi menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang menerus. 2. Tingkat gelifikasi merupakan indikator ph relatif karena efektivitas aktivitas mikroba membutuhkan keadaan asam yang rendah. 3. Tingkat gelifikasi dapat juga menjadi ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia, sebagian bagian dari humifikasi singenetik yang kemudian digantikan oleh gelifikasi epigenetik. Harga GI juga akan mengidentifikasikan tingkat oksidasi. Harga GI yang berkurang mengidentifikasikan kenaikan tingkat oksidasi. Kombinasi TPI dan GI juga akan menunjukkan tingkat dekomposisi. Harga TPI dan GI yang tinggi (>1) akan mengidentifikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah. Sedangkan tingkat dekomposisi anaerobik atau dekomposisi aerobik yang terbatas atau menengah dicirikan dengan harga GI yang tinggi dan TPI yang rendah. III-21

22 Gambar III.5. Diagram pengawetan struktur jaringan dan tingkat gelifikasi (Lamberson, 1991) III.5.2 Pengaruh Airtanah Terhadap Gambut dan Batubara Salah satu parameter untuk pembentukan suatu lahan gambut adalah kondisi tingkat pengaruh pengaruh airtanah yang direpresentasikan melalui nilai GWI (groundwater index). Pengaruh ini berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi/ion yang terdapat dalam air (Kulczynski, 1949; Grosse-Brauckmann, 1979; Tallis, 1983; Moore, 1987 dalam Calder et.al, 1991). Faktor-faktor utama pengaruh airtanah terhadap pembentukan maseral vitrinit di dalam proses degradasi gambut adalah: III-22

23 1. Kerentanan beberapa jaringan tumbuhan terhadap proses penghancuran kondisi fisik (Teichmuller, 1989). 2. Ketahanan jaringan tumbuhan proses penghancuran biokimia (gelifikasi). 3. Terbukanya jaringan tumbuhan terhadap kondisi yang baik didalam proses gelifikasi biokimia (Teichmuller, 1989). Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse- Brauchmann, 1979; Tallir, 1983; Moore, 1987; dalam Calder et.al, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukkan perubahanperubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar abu dan sulfur, kenaikan pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia, dan penurunan maseral liptinit yang berasal dari lingkungan air (Calder et.al, 1991). Perbandingan antara substansi yang tergelifikasi kuat seperti gelinit dan korpohuminit dengan yang tergelifikasi lemah seperti humotelinit dan humodtrinit digunakan untuk merefleksikan derajat gelifikasi. Derajat gelifikasi tergantung pada persediaan air dan ph (Calder et.al, 1991). Gelokolinit adalah produk gelifikasi biokimia dari lignin (Teichuller, 1982) yang terdapat dalam tumbuhan berkayu. Sedangkan detrogelinit dan densinit adalah produk dari pohon-pohonan perdu yang dikenal kaya akan selulose (Teichmuller, 1989). III-23

24 Gambar III.6. Diagram pengaruh air tanah dan derajat vegetasi dalam pembentukan gambut (Calder, 1991). Pada hutan gambut resen oleh Esterle et.al (1989) menemukan bahwa kandungan selulose ke arah permukaan gambut semakin naik walaupun menurut Casagrande (1985) selulose seharusnya berkurang akibat pengahancuran secara aerobik. Kebalikan ini terjadi dimana jaringan yang tergelifikasi kuat adalah juga merupakan produk bahan asal yang memang lebih banyak tumbuhan perdu sehingga semakin ke atas semakin tinggi kandungan selulosenya. Formula yang telah dimodifikasi untuk batubara rank rendah yang menunjukkan perbandingan substansi tergelifikasi tersebut adalah sebagai berikut: GWI = gelokolinit + corpokolinit + min eral telinit + telokolinit + desmokolinit III-24

25 Tumbuhan asal yang kaya dengan lignin akan diubah menjadi batubara dengan kandungan humotelinit, fusinit, dan semifusinit yang tinggi. Dalam kondisi ini suberinit dan resinit adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrogelinit, inertodetrinit, dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi subaquatik seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alginit sporinit dan kutinit mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air. Dalam penelitian ini diinterpretasikan maseral detrogelinit merupakan hasil gelifikasi dari maseral densinit, sementara maseral telogelinit merupakan hasil gelifikasi dari eu-ulminit. Dengan demikian harga VI dapat ditentukan dengan formula yang telah dimodifikasikan untuk batubara rank rendah sebagai berikut : telinit + telokolinit + fu sin it + semifu sin it + suberinit + resin it VI = desmokolinit + inerto det rinit + lipto det rinit + sporinit + cutinit III.6 Gas dalam Batubara III.6.1. Batubara sebagai asal gas metana (source gas metana) Coalbed Methane (Gas Metana Batubara) adalah an inherent by product gas yang dihasilkan dari proses alami, gas metana (CH 4 ) yang terperangkap dan terserap di dalam permukaan internal batubara (pori-pori batubara) selama masa pembatubaraan (coalification) (USGS, 2006). Proses Pembatubaraan sebagai proses transformasi dari gambut menjadi batubara ditandai oleh menurunnya proses biokimia. Proses yang mulai berperan proses fisikakimia yang diakibatkan tekanan overburden dan gradien temperatur. Selama proses, gas (terutama gas metana) terbentuk oleh proses biogenik (dekomposisi material organik) dan proses termogenik (peningkatan temperatur). Gas Metana (CH 4 ) terbentuk pada awalnya dengan Biogenic Process yang selanjutnya dipengaruhi oleh Thermogenic Process.. III-25

26 Metana dapat terbentuk dalam 2 proses (Gambar III.7), yaitu : Metana Termogenik (Thermogenic methane), yaitu gas metana yang terbentuk selama proses pembatubaraan, akibat kenaikan suhu dan tekanan. Metana Biogenik (microbial methane), yaitu gas metana yang terbentuk akibat aktifitas mikrobiologi. Terbentuk pada fase awal proses pembatubaraan, dengan temperatur rendah. Thermally Derived Methane Biogenic Methane Lignite Sub-Bituminous Bituminous Anthracite Graphite 20 0 C C C Modified from Hunt(1979) Gambar III.7. Hubungan antara Gas in Place dengan rank batubara (USGS, 2006) Sumber karbon dari metana termogenik adalah murni dari batubara, sedangkan metana biogenik dapat berasal dari fosil atau biomass masa kini. Umumnya kedalaman adalah antara 1500 feet ( 450 m) sampai dengan 4500 feet ( 1400 m). Gas biogenik dihasilkan akibat aktifitas bakteri di dalam CO 2, dimana metabolisme methanogens (bakteri anaeorobik) menggunakan H 2 dan CO 2 untuk mengkonversi acetate menjadi metana. Mekanisme hidrologi juga merangsang pertumbuhan aktifitas bakteri di dalam air tanah yang melewati permukaan batubara. Kemudian unsur oksigen dalam air mendukung proses aerobik bakteri. Ketika oksigen, nitrat, oksida dan sulfat dalam airtanah terkonsumsi, maka proses anaerobik bakteri mulai tumbuh. III-26

27 Gambar III.8. Pembentukan metana (USGS, 2006) Potensi pembentukan metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral, maseral yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak menghasilkan metana. Sebagai contoh berdasarkan data dari Levine (1992), batubara dengan komposisi yang hampir seluruhnya vitrinit menghasilkan sekitar 4700 scf/ton (147 cm 3 /gram) dengan reflektansi vitrinit antara 0,5 %-2%. Batubara dengan komposisi 90% vitrinit dan 10% sporinit akan menghasilkan 5900 scf/ton ( 183 cm 3 /g) dengan reflektansi vitrinit yang sama. Estimasi ini adalah berdasarkan pada asumsi bahwa hanya metana dan karbondioksida yang dihasilkan selama proses pembatubaraan. Batubara yang kaya akan inertrinit tidak akan menghasilkan metana yang banyak karena inertrinit relatif berpotensi kecil untuk menghasilkan hidrokarbon. Maseral vitrinit yang terdapat dalam batubara peringkat rendah dapat dengan mudah terhidrogenisasi, sedangkan untuk batubara peringkat tinggi harus melalui proses khusus. Maseral liptinit cocok untuk proses hidrogenisasi karena liptinit mempunyai III-27

28 kandungan hidrogen yang tinggi. Maseral Inertinit dalam hampir semua batubara tidak cocok untuk proses hidrogenisasi karena kandungan hidrogen yang rendah. Berdasarkan cara eksploitasinya, gas metana batubara dibagi menjadi: 1. Coalbed methane (CBM): adalah gas metana yang dihasilkan melalui lubang bor pada lapisan batubara yang belum ditambang. 2. Coalseam methane (CSM): adalah gas metana yang dihasilkan dari tambang batubara aktif. 3. Coalmine methane (CMM): adalah gas metana yang keluar atau dihasilkan dari tambang yang telah ditinggalkan. III.6.2. Batubara sebagai penyimpan gas (reservoir gas) Kemampuan dari suatu lapisan batubara dalam menyimpan gas sangat bervariasi, yang merupakan fungsi dari: 1. Temperatur dan tekanan reservoir 2. Komposisi dan sifat-sifat batubara 3. Struktur micro-pore dan sifat permukaan dari batubara 4. Sifat molekuler dari gas yang terserap/tersimpan. Menurut Saghafi (2001), penentuan karakter batubara sebagai resevoir gas tergantung pada beberapa parameter yaitu: 1. Batubara sebagai penyimpan gas a. Kandungan gas (gas content) b. Sorption isotherm c. porositas 2. Batubara dalam mengalirkan gas a. difusitas b. permeabilitas III-28

29 Sedangkan porositas batubara itu sendiri dibagi 2 jenis, yaitu: 1. Pori mikro (micropores) yaitu matrik batubara dimana terdapat permukaan internal. 2. Pori makro (macropores) yaitu sistem rekahan/kekar (cleats) batubara. Sebagian besar pori batubara (kurang lebih 85%) merupakan matrik (pori mikro) yang mempunyai permukaan internal yang luas. Dibandingkan dengan reservoir gas konvensional batubara dapat menyimpan gas yang lebih besar karena disamping gas bebas yang berada dalam pori, batubara juga menyerap gas dalam permukaan internal pori mikro (Gambar III.9). Batubara yang terdiri dari maseral-maseral berfungsi sebagai source dan sekaligus reservoir. Metana terperangkap dalam batubara secara adsorpsi yaitu suatu proses dimana molekul gas dikelilingi oleh arus listrik lemah dan terikat pada molekul organik solid pembentuk batubara. Terikatnya molekul gas dalam permukaan internal matrik adalah karena beberapa gaya ikat berikut ini: 1. gaya dispersi (Ikatan Van der Walls) 2. gaya repulsi 3. gaya electrostatic (ikatan dipole-dipole) 4. ikatan kimia Gas diserap dalam permukaan internal yang luas, walaupun volume pori sangat kecil, namun permukaan pori dalam batubara sangat luas. Untuk beberapa batubara permukaan internal dapat mencapai ratusan m 2 per gram-nya, sehingga dapat menyerap gas yang banyak. Banyaknya gas yang diserap adalah fungsi dari tekanan gas terhadap volume pori. Dan total volume gas yang diserap tergantung pada poripori yang belum terisi (bebas) (Gambar III.10). Hubungan antara jumlah gas yang diserap dan tekanan pada suatu temperatur disebut sebagai adsorbtion isotherm (Gambar III.11), dan ini merupakan dasar dari sifat dan karakteristik batubara sebagai penyimpan gas. III-29

30 Gambar III.9. Porositas dan penyerapan gas pada permukaan internal (matrik) batubara (Saghafi, 2001) Gambar III.10. Perubahan porositas berdasarkan Rank (Faiz et.al, 2004) Jika tekanan gas dalam batubara yang insitu tiba-tiba menurun sesuai dengan tekanan udara luar, maka gas akan keluar dari batubara sampai mencapai kesetimbangan baru antara tekanan dan kandungan gas. Waktu yang dibutuhkan untuk semua gas keluar sehingga mencapai kesetimbangan tergantung dari karakteristik batubara dalam mengalirkan gas. III-30

31 Gambar III.11. Sorption Isotherm CH 4 (disederhanakan) untuk berbagai tingkatan Rank (Kim, 1977) Gambar III.12. Hubungan antara jumlah gas dengan rank batubara (USGS, 2006) III-31

32 Gambar III.13. Hubungan antara batubara sebagai penghasil gas dan sebagai penyimpan gas (dimodifikasi dari Rice, 1993; Sumber: USGS, 2006) Gas terperangkap dalam batubara bersama air pada sistem rekahan batubara sebagai permeabilitas primer. Rekahan-rekahan tersebut terbentuk bersamaan dengan proses pembatubaraan (Syngenetic). Rekahan tersebut disebut cleats, cleats terbentuk pada kondisi regangan akibat memadatnya matrik batubara selama proses dewatering dan devolatilization. Cleats tersebut umumnya orthogonal dan hampir tegak lurus dengan perlapisan. Selain rekahan syngenetic, rekahan dapat terjadi secara post-genetic akibat pengaruh tektonik. Secara geometri rekahan pada batubara dibagi 2 : 1. Rekahan yang bersifat lebih menerus disebut face cleats sebagai rekahan primer. 2. Rekahan yang kurang menerus disebut butt cleats III-32

33 Gambar III.14. Diagram ilustrasi cleats didalam batubara (USGS dan Schlumberger, 2006). Komposisi maseral akan menentukan jumlah gas yang diserap. Maseral yang mempunyai permukaan internal yang luas, dapat menyerap mencapai ratusan m 2 per gram-nya. Grup maseral vitrinit dan atau inertinit pada umumnya mempunyai proporsi yang besar dalam batubara, sedangkan liptinit mempunyai proporsi yang kecil. Untuk itu beberapa ahli telah melakukan penelitian dalam membandingkan banyaknya kandungan gas metana yang dapat diserap antara maseral Vitrinit dengan Inertinit, seperti Tabel III.8. Batubara Indonesia dan Buanajaya pada khususnya mempunyai komponen vitrinit yang sangat besar di bandingkan inertinit (<2%) maupun liptinit (<2%), sehingga dalam studi ini lebih diarahkan ke hubungan parameter-parameter dengan prosentase vitrinit, sedangkan inertinit dan liptinit digunakan sebagai data pembanding saja. III-33

34 Tabel III.3. Perbandingan banyaknya kandungan gas metana antara maseral vitrinit dan inertinit menurut beberapa peneliti (Faiz et.al, 2004) III.6.3. Pengukuran Kandungan Gas Ada dua cara untuk mengestimasi jumlah kandungan gas di dalam lapisan batubara, yaitu: 1. Metoda tidak langsung, dimana data desorption (pengukuran gas yang dapat diserap oleh suatu volume batubara) tidak tersedia, sehingga data storage capacity, coal rank dan kedalaman reservoir yang digunakan untuk mengestimasi kandungan gas. 2. Metoda langsung, menggunakan batubara yang langsung diambil dari inti bor dan dimasukkan ke dalam canister yang tertutup rapat untuk kemudian dilakukan pengukuran, hingga diperoleh volume gas yang dapat diserap oleh sampel batubara tersebut. III-34

35 Metoda pertama untuk menghitung jumlah maksimum gas yang dapat diserap oleh suatu batubara, dilakukan metoda adsorption isotherm. Batubara yang telah dihancurkan, dimasukkan kedalam suatu tabung dan kemudian gas metana diinjeksikan ke dalam tabung tersebut hingga jenuh untuk suatu tekanan tertentu. Jumlah gas yang diinjeksikan tersebut merupakan jumlah maksimum gas yang dapat diserap. Metoda kedua yaitu gas desorption adalah cara untuk menentukan jumlah gas yang terkandung didalam suatu sampel batubara. Peralatan yang dibutuhkan dalam uji ini adalah sebagai berikut: 1. Canister, tempat untuk meletakkan sampel (core) yang baru diambil dari pemboran. Pada bagian atas canister ini terdapat gas release valve dan lubang kecil untuk mengukur temperatur di bagian dalam. Pada bagian bawah, ditutup oleh plug, sehingga tidak ada gas yang dapat keluar dari canister 2. Water bath, berguna untuk menyesuaikan temperatur (memanaskan) sampel sehingga kondisinya akan sama dengan temperatur aktual dibawah permukaan (reservoir). Water bath ini diisi dengan air hingga menutupi canister, dan untuk mengontrol temperaturnya digunakan pemanas (water heater), termometer dan pengaduk air (circulator). 3. Pengukur waktu, barometer tekanan, dan pengukur temperatur lingkungan 4. Thermometer digital 5. Inverted graduated cylinder & quick release connector Setelah dilakukan uji gas desorption, perlu juga dihitung residual gas, yaitu jumlah gas yang tertinggal di dalam sampel batubara walaupun sudah dilakukan uji gas desorption. Residual gas ini diukur dengan menghancurkan 200 gram sampel batubara yang telah diukur melalui uji gas desorpsi di dalam jar mill, kemudian diukur tekanan dan jumlah gasnya. III-35

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya Bab V Pembahasan V.1 Peringkat Batubara Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis Geokimia Organik Diagenesis Proses yang mempengaruhi produk dari produksi primer yang terjadi selama pengendapan dan tahap awal pembusukan di bawah kondisi temperatur dan tekanan yang relatif rendah Transformasi

Lebih terperinci

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA BAB IV EKSPLORASI BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB III ENDAPAN BATUBARA BAB III ENDAPAN BATUBARA 3.1 DASAR TEORI BATUBARA 3.1.1 Pengertian Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam,

Lebih terperinci

TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung HUBUNGAN KANDUNGAN DAN KOMPOSISI GAS DENGAN KOMPOSISI MASERAL DAN MINERAL PADA BATUBARA DI DAERAH BUANAJAYA, KUTAI KERTANEGARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

Petrologi Batuan Sedimen

Petrologi Batuan Sedimen Batuan Sedimen Batubara Batubara digolongkan pada batuan sedimen non-klastik, yaitu batuan sedimen organik. Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

**) Dosen Tetap, Prodi T. Geologi Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti Gedung D, Lantai 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta ***)

**) Dosen Tetap, Prodi T. Geologi Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti Gedung D, Lantai 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta ***) MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014 STUDI PENENTUAN FASIES LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DALAM PEMANFAATAN POTENSI GAS METANA BATUBARA DI DAERAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN ANALISIS PROXIMATE

Lebih terperinci

Bab III Gas Metana Batubara

Bab III Gas Metana Batubara BAB III GAS METANA BATUBARA 3.1. Gas Metana Batubara Gas metana batubara adalah gas metana (CH 4 ) yang terbentuk secara alami pada lapisan batubara sebagai hasil dari proses kimia dan fisika yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). BAB III TEORI DASAR Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). Istilah batubara banyak dijumpai dari berbagai

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA BAB III DASAR TEORI Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis. Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ahmad Helman Hamdani NIP. 195508281982031 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI BATUBARA

BAB III DASAR TEORI BATUBARA BAB III DASAR TEORI BATUBARA III.1 Genesa Batubara Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya

Lebih terperinci

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank) PERINGKAT BATUBARA (Coal rank) Peringkat batubara (coal rank) Coalification; Rank (Peringkat) berarti posisi batubara tertentu dalam garis peningkatan trasformasi dari gambut melalui batubrara muda dan

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara 1. Bagaimana terbentuknya? Gas metana batubara terbentuk selama proses coalification, yaitu proses perubahan material tumbuhan menjadi batubara. Bahan organik menumpuk di rawa-rawa sebagai tumbuhan mati

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB IV ANALISIS SAMPEL BAB IV ANALISIS SAMPEL 4.1 PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian dilakukan pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Busui yang mewakili Formasi Warukin pada Cekungan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI COAL BED METHANE SEBAGAI ENERGI NONKONVENSIONAL PROSPEKTIF INDONESIA SEMINAR Disusun Oleh: Ghaitsa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endapan batubara di Indonesia umumnya berkaitan erat dengan pembentukan cekungan sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen), yang diakibatkan proses tumbukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan BAB III TEORI DASAR 11 3.1 Batubara Peringkat Rendah Batubara termasuk kedalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN D. A. P. Pratama *, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Kajian Mengenai Hubungan Karakteristik Batubara terhadap Kandungan Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) dan Lingkungan Pengendapan di Daerah Ampah, Kabupaten

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

), bikarbonat (HCO 3- ), dan boron (B). Hal ini dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan dan perkembangan pada sektor pertanian.

), bikarbonat (HCO 3- ), dan boron (B). Hal ini dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan dan perkembangan pada sektor pertanian. 1. Apa yang dimaksud dengan gas metana batubara (Coal Bed Methane) Gas metana batubara (Coal Bed Methane) adalah suatu gas alam yang terperangkap di dalam lapisan batubara (coal seam). Gas metana ini bisa

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhtumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN PROS ID I NG 2 0 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM

BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM BAB IV PROSPECT GENERATION PADA INTERVAL MAIN, DAERAH OSRAM 4.1 PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai Prospect Generation pada interval Anggota Main, Formasi Cibulakan Atas di Daerah Osram yang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batuan Induk Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori (Waples, 1985), di antaranya

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA 4.1. Stratigrafi Batubara Lapisan batubara yang tersebar wilayah Banko Tengah Blok Niru memiliki 3 group lapisan batubara utama yaitu : lapisan batubara A, lapisan batubara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si.

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. TANAH Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. Tanah memberikan dukungan fisik bagi tumbuhan karena merupakan tempat terbenamnya/ mencengkeramnya akar sejumlah tumbuhan. Selain itu tanah merupakan sumber nutrien

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp),

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

Bab II Teknologi CUT

Bab II Teknologi CUT Bab II Teknologi CUT 2.1 Peningkatan Kualitas Batubara 2.1.1 Pengantar Batubara Batubara merupakan batuan mineral hidrokarbon yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati dan terkubur di dalam bumi

Lebih terperinci

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR Daur Air/H 2 O (daur/siklus hidrologi) 1. Air di atmosfer berada dalam bentuk uap air 2. Uap air berasal dari air di daratan dan laut yang menguap (evaporasi) karena panas

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C)

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) Berkaitan dengan siklus oksigen Siklus karbon berkaitan erat dengan peristiwa fotosintesis yang berlangsung pada organisme autotrof dan peristiwa respirasi yang

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tesis

Bab V Pembahasan. Tesis Bab V Pembahasan V.1 Karakteristik Umum Batubara Seam T, R, dan Q yang menjadi objek penelitian, berdasarkan pengukuran nilai reflektan maseral vitrinitnya adalah termasuk batubara dengan peringkat subbituminous

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Bab III Genesa Batubara

Bab III Genesa Batubara Bab III Genesa Batubara Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara bertahap dari materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini dibedakan menjadi tahapan biokimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL PT. Globalindo Inti Energi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon, yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ir. Mulyana Subdit Batubara, DIM SARI Daerah penyelidikan Loa

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara merupakan batuan sedimen berupa padatan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN Oleh Robert L. Tobing, Priyono, Asep Suryana KP Energi Fosil SARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material

BAB I PENDAHULUAN. material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara merupakan batuan sedimen dengan penyusun dominan berupa material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material penyusun ini mengalami

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

Mengapa Air Sangat Penting?

Mengapa Air Sangat Penting? Mengapa Air Sangat Penting? Kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung pada air. Kita banyak menggunakan air untuk keperluan sehari-hari seperti untuk minum, memasak, mencuci, 1 mandi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Joko Triyanto, Subroto, Marwan Effendy Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.

Lebih terperinci

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Dede Ibnu S. *, Rahmat Hidayat *, Sigit Arso. W. *, Khoirun Nahar ** * KP Energi Fosil, ** Sub-Bidang Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik

Lebih terperinci

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi

Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi Geokimia Organik 5. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi - Pembentukan Minyak Bumi - Pentingnya Waktu dan Suhu dalam Pembentukan Minyak Bumi - Migrasi Hidrokarbon - Komposisi Minyak Bumi - Terbentuknya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO Sifat Umum Lumpur Sidoarjo merupakan lumpur yang keluar dari perut bumi, berasal dari bagian sedimentasi formasi Kujung, formasi Kalibeng dan formasi Pucangan. Sedimen formasi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat 81 BAB V PEMBAHASAN Pada pengujian kualitas batubara di PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, menggunakan conto batubara yang diambil setiap ada pengiriman dari pabrik. Conto diambil sebanyak satu sampel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan tambang yang berasal dari sedimen organik dari berbagai macam tumbuhan yang telah mengalami proses penguraian dan pembusukan dalam jangka waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci