BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA"

Transkripsi

1 BAB III DASAR TEORI Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis. Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa batubara adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang berurutan terhadap barang dasar yang sama (tumbuhan). Proses tersebut yaitu penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification) PEMBENTUKAN BATUBARA Batubara terbentuk dari gambut di dalam rawa. Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembetukan batubara. Gambut didefinisikan sebagai sedimen organik tidak padat yang dapat terbakar dan berasal dari hancuran atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dalam kondisi tertutup udara, mempunyai kandungan air lebih dari 75% (berat) dan kandungan mineral kurang dari 50% dalam kondisi kering. Beberapa faktor penting dalam pembentukan rawa gambut menurut Bend,1992 dalam Diessel (1992): 1. Evolusi tumbuhan Ragam tumbuh tumbuhan seperti yang dikenal pada saat ini telah mengalami proses evolusi yang sangat panjang mulai dari Jaman Devon. Mulai dari satu jenis tumbuhan (alga/ganggang) pada jaman sebelum Devon menjadi sekian banyak pada waktu waktu berikutnya. Perkembangan ini perlu diketahui karena ada beberapa tumbuhan yang hanya tumbuh pada jaman tertentu saja sehingga memudahkan untuk menginterpretasikan genesanya. 14

2 2. Iklim Iklim mengendalikan kecepatan perkembangan tumbuh tumbuhan, jenis tumbuh tumbuhan serta kecepatan dekomposisi tumbuh tumbuhan yang pada akhirnya iklim pada suatu daerah banyak mempengaruhi pembentukan gambut. Pada daerah beriklim tropis yang banyak air dan hangat akan menghasilkan banyak lapisan gambut dan tebal, yang terbentuk dari batang kayu yang besar. Kenaikan suhu disamping mempercepat pertumbuhan tanaman juga mempercepat proses dekomposisi. Sebagai contoh, di daerah beriklim tropis telah ditemukan rawa yang luas dipenuhi gambut yang ketebalannya sampai lebih dari 30 m (Taylor et. al., 1998). 3. Geografi dan struktur daerah Gambut dan batubara terbentuk pada daerah yang memiliki kondisi: a. Kenaikan muka air tanah yang lambat b. Perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai c. Energi relief rendah Jika kenaikan muka air tanah terlalu cepat naik terhadap rawa maka kondisi akan berubah menjadi limnik atau terjadi pengendapan sedimen marine. Sebaliknya jika terlalu lambat, maka material tumbuhan akan membusuk dan gambut yang sudah terbentuk akan tererosi. Energi relief yang rendah berdampak pada persediaan sedimen yang membiarkan gambut untuk terbentuk selama periode tertentu tanpa terganggu oleh sedimen lain PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION) Tahap awal pembentukan batubara adalah pembentukan gambut. Proses terpenting dalam tahap ini adalah pembentukan humic subtance (humification), yang dikontrol oleh suplai oksigen, kenaikan temperatur, fasies dan lingkungan alkali. Berikutnya 15

3 derajat humifikasi tidak tergantung pada kedalaman akan tetapi bergantung pada fasies. Proses pembentukan gambut mencakup proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Tahap selanjutnya adalah tahap geochemical coalification dimana dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri (proses mikrobial). Pada tahap biokimia, subtansi tumbuhan seperti selulosa, pektin, karbohidrat, dan lain lain terdekomposisi oleh aktifitas aerobik mikroba di bagian permukaan yang mengakibatkan pengkayaan lignin yang kaya karbon dan pembentukan asam humin. Alterasi paling kuat dengan kondisi tertutup oksigen yang terjadi pada permukaan gambut sampai dengan kedalaman 0,5 meter yang dikenal dengan istilah peatigenic layer. Pada bagian ini terjadi aktifitas bakteri aerobik, actinomyces dan fungi. Dengan bertambahnya kedalaman, bakteri aerobik digantikan oleh bakteri anaerobik, karena suplai oksigen semakin berkurang, bertambahnya kedalaman ini sebanding dengan bertambahnya kandungan karbon. Pada kedalaman lebih dari 10 meter praktis bakteri tidak lagi memiliki peranan, yang terjadi hanyalah proses kimia (polomerisasi, kondensasi, dan reaksi reduksi). Profil gambut pada bagian permukaan dicirikan dengan kandungan karbon yang bertambah cepat dengan bertambahnya kedalaman sehingga substan yang kaya akan oksigen di permukaan (selulose dan hemiselulose) terdekomposisi oleh mikrobiologi yang menyebabkan pengkayaan lignin yang kaya karbon dan terbentuknya asam humin. Meningkatnya tekanan pada tahap geokimia menyebabkan kandungan air berkurang dengan cepat, sehingga kandungan air dapat dijadikan parameter pengukur tingkat diagenesa gambut. Juga munculnya selulose bebas (tak bercampur dengan lignin) juga merupakan indikator diagenesa gambut yang baik. 16

4 3.3. PEMBATUBARAAN (COALIFICATION) Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara bertahap dari materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini dibedakan menjadi tahapan biokimia yang meliputi seluruh proses pembentukan rawa gambut (peatification) dan tahapan geokimia (biochemical coalification) yang merupakan proses metamorfosis. Berdasarkan tahapan yang telah dilaluinya batubara dibagi menjadi beberapa peringkat (Tabel 3.1). 17

5 Tabel 3.1 Peringkat batubara (Taylor et.al., 1998) Proses pembatubaraan meliputi perubahan baik secara fisik dan kimia dari gambut melalui lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, sampai metaantrasit. Kontrol utama perubahan ini adalah derajat metamorfisme (temperatur dan tekanan). Tahapan yang dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara. 18

6 Pada proses ini, tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan porositas gambut berkurang dan peningkatan anisotropi. Sifat porositas ini dapat dilihat dari kandungan airnya (moisture content) yang berkurang selama proses perubahan dari gambut menjadi brown coal. Sifat porositas dan anisotropi ini paralel dengan bidang perlapisan dan bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Sementara itu, secara kimia, gambut mengalami perubahan komposisi dari unsur unsur karbon, oksigen, dan hidrogen. Derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya (C, H, O dan VM) atau dengan sifat optis (reflektansi vitrinit). Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminus) maka sisa terakhir dari selulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya membentuk humin yang tak larut dalam alkali. Perubahan paling menonjol pada batas peringkat sub bituminous C dan B adalah perubahan petrografis yang disebabkan oleh proses gelifikasi geokimia (vitrinisasi) dari substansi hunik yang berubah menjadi hitam dan mengkilap. Pada tahap antrasit dicirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C secara drastis, bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme. Proses pembatubaraan terutama disebabkan oleh naiknya temperatur dan waktu. Pengaruh temperatur dipercayai sangat dominan disebabkan sering ditemukan adanya intrusi intrusi batuan beku yang berdekatan dengan lapisan batubara dengan peringkat tinggi (antrasit) karena terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat diamati pada kedalaman yang lebih besar (Hukum Hilt) yang disebabkan oleh kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt kecepatan peningkatan peringkat bergantung juga pada gradien geotermal. 19

7 Waktu akan memberikan pengaruh yang berarti jika temperatur pembatubaraan tinggi. Tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan akan semakin cepat terutama pada daerah daerah yang terlipatkan dan terpatahkan FASIES BATUBARA Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur (Taylor G.H and Teichmüller, 1993). Faktor yang mempengaruhi karekteristik fasies batubara: 1. Tipe pengendapan Endapan authochtonous terbentuk dari materi yang berasal dari tempat pengendapan itu sendiri. Endapan allochtonous terbentuk dari materi yang telah mengalami perpindahan tempat. Endapan allochtonous relatif lebih banyak mengandung mineral dibandingkan endapan authochtonous. Dekomposisi tumbuhan juga berlangsung selama proses transport oleh air (angin) sehingga maseral yang tahan terhadap proses dekomposisi akan terkonsentrasi pada sedimen klastik. 2. Rumpun tumbuhan pembentuk Ada empat tipe rawa berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuknya yaitu: o Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan air o Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan alang-alang o Rawa hutan o Rawa lumut 20

8 Menurut Martini dan Glooschenko (1984) dalam Diessel (1992), rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk, yaitu : a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French, 1987). b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi antara daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang terkadang kering. c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut. d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi oleh tumbuhan berkayu. 3. Lingkungan pengendapan Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi di sekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Ada empat jenis lingkungan pengendapan: o Telmatis / terrestrial Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh insitu (Forest peat, reed peat dan high moor moss peat). o Limnis / subakuatik Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed swamp). 21

9 o Payau / marine Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S. o Ca-rich Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak menghasilkan bitumen. 4. Persediaan bahan makanan Rawa eutrophic (kaya bahan makanan), mesotrophic (sedang) dan oligotrophic (miskin bahan makanan) dibedakan tergantung dari banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eutrophic karena menerima air dari tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. Raised bog/hoch moor biasanya oligotrophic karena hanya mengandalkan air hujan. Transisi antara topogenic low moor dan raised bog disebut mesotrophic. Gambut pada pada high moor secara umum mengandung sisa sisa tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutrophic banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (ph 3,5 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah. 5. ph, aktivitas bakteri dan sulfur Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri yang berperan dalam pengawetan sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang 22

10 mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai O 2, dan konsentrasi asam humik yang sudah terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (ph 7 7,5), jika makin asam maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan lebih baik. Sebagai contoh lingkungan pengendapan Carich yang alkalin menyebabkan bakteri mampu mendekomposisi sisa tumbuhan dengan baik serta membentukan humin gel dan produk penggambutan yang kaya akan N dan H. 6. Temperatur Temperatur permukaan gambut memegang peranan penting pada proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan lebih baik sehingga proses proses kimia dapat berjalan dengan baik. Temperatur tertinggi untuk bakteri penghancur sellulosa pada gambut adalah C. 7. Potensial redoks Potensial redoks memegang peranan yang penting untuk menunjang aktivitas bakteri dan proses penggambutan. Jika rumpun tumbuhan, iklim dan kondisi lingkungannya sama, maka persediaan oksigen menentukan apakah pengambutan berjalan atau tidak. Selanjutnya berdasarkan lingkungan sedimenternya, Diessel (1992) membagi tempat terakumulasinya rawa gambut menjadi 4 bagian (Gambar 3.1), yaitu : 1. Braid Plain Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, dimana terendapkan sedimen berukuran kasar (>2 mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata rata 1,5 meter. 23

11 Kandungan abu, sulfur total dan vitrinitenya umumnya rendah, sementara pada daerah tropis kandungan vitrinite umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya kaya akan maseral inertinite (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinite (khususnya semifusinite) yang besar menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index) nya relatif tinggi yang sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan warna batubara yang buram dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (±20%), kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman dan keluarnya air tanah ke permukaan. 2. Alluvial Valley and Upper Delta Plain Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan. Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimennya terutama terdiri atas perselingan batupasir dan lanau/lempung. Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa, dataran dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinite/humotellinite dan secara kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lainnya. 24

12 3. Lower Delta Plain Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut Horne and Ferm (1987), batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan relatif tipis. Batubaranya memiliki kandungan inertinite yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinite/huminite nya terutama didominasi oleh detrovitrinite/humotellinite sehingga nilai TPI nya relatif rendah. Hal ini menunjukkan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak (soft-tissued plant) dan biodegradasi pada kondisi ph yang relatif tinggi. 4. Barrier Beach Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai. Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi 25

13 sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut. Diessel (1992) mengelompokkan berbagai kondisi akumulasi gambut menjadi 5 (lima) kategori bedasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous (Gambar 3.1). Kelima kategori tersebut dibedakan berdasarkan faktor kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (ph), suplai makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori diantaranya adalah tipe topogenic mires (rawa gambut topogenik) yang dibagi atas : high watertable dengan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral serta variable watertable dan dua lainnya adalah rawa gambut ombrogenik yang dibagi atas : continuously wet dan intermittenly dry. Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasinya rendah merupakan lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi merupakan lingkungan payau atau laut. Kategori variable watertable (kolom 3) adalah lingkungan air tawar namun dengan tinggi muka air tanah berubah ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eurotrophy). Kategori continuously wet dan intermittenly dry merupakan tipe rawa gambut yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat tinggi (iklim tropis), hanya pada intermittenly dry sering mengalami perubahan musim, termasuk di dalamnya musim kering. Gambut yang terendapkan pada lingkungan bog-ombrotrophic (kolom 4 dan 5) terbentuk dalam kondisi asam dengan suplai makanan yang rendah (oligotrophy). 26

14 Gambar 3.1 Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (Diessel, 1992) 3.5. MATERI PENYUSUN BATUBARA Batubara tidak hanya disusun oleh materi organik tetapi ada juga materi anorganik yang menjadi bagian dari batubara Materi organik Maseral Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan penyusunnya menjadi tiga grup (Tabel 3.2), yaitu: 27

15 1. Vitrinit Vitrinit ialah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa (C 6 H 10 O 5 ) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, akar, daun, dan akar. Vitrinite adalah bahan utama penyusun batubara di Indonesia (>80%). Di bawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinite, namun lebih gelap dari kelompok inertinite, berwarna mulai dari abu abu tua hingga abu abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari tingkat pembatubaraannya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan semakin terang. Kelompok vitrinite mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang persentasenya berada diantara inertinite dan liptinite. Mempunyai berat jenis 1,3 1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75%. 2. Liptinit (exinit) Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari sisa tumbuhan atau dari dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae). Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis: reflektivitas rendah dan fluoresense tinggi, dari liptinit mulai gambut dan batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor et.al., 1998). Di bawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukkan 28

16 warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinit mempunyai berat jenis 1,0 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedang kandungan volatille matter sekitar 66%. 3. Inertinit Inertinit disusun dari materi yang sama dengan vitrinit dan liptinit tetapi dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara dua kelompok lainnya. Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresense, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan penghancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinit mempunyai berat jenis 1,5 2,0 dan kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile matter sekitar 22,9%. Untuk pengelompokan maseral yang digunakan adalah mengacu pada pengelompokan maseral berdasarkan Standar Australia (AS ) (Tabel 3.2), untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral adalah dalam presentase volume (% vol). 29

17 Tabel 3.2 Klasifikasi grup maseral berdasarkan Standar Australia (1986) Grup Maseral Sub Grup Maseral Type Maseral Vitrinite Liptinite Inertinite Telovitrinite Detrovitrinite Gelovitrinite Teloinertinite Detroinertinite Textinite Texto - Ulminite Eu- Ulminite Telocolinite Atrinite Densinite Desmocolinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Suberinite Fluorinite Liptodetrinite Exudatinite Alginite Bituminite Fusinite Semifusinite Sclerotinite Inertodetrinite Micrinite Geloinertinite Macrinite Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volatile matter). Materi ini banyak dihasilkan oleh liptinit yaitu sekitar 66% sedangkan vitrinit menghasilkan 35,75% dan inertinit menghasilkan 22,9%. 30

18 Maseral dan Lingkungan Pengendapan Batubara Peranan maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan batubara dapat didasarkan pada sifat sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapannya. Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale (1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinite, batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet forest swamp) kaya akan vitrinite dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinite, resinite dan inertinite. Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara. Diessel (1986) memperkenalkan dua parameter utama dalam penentuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu : TPI (Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index). TPI (Tissue Preservation Index) menyatakan perbandingan antara struktur jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang kecil. 31

19 TPI = Telovitrinite + Teloinertinite Detrovitrinite + Gelovitrinite + Inertodet rinite + Geloinertinite Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang mengandung banyak selulose (tumbuhan perdu), sedangkan tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya persentase kehadiran tumbuh tumbuhan kayu (dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite). Sementara itu bila harga TPI < 1 maka maseral vitrinite akan disertai oleh kehadiran cutinite yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinite dan cutinite yang banyak dengan kandungan vitrinite yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serat tumbuhan perdu pada suatu lingkungan marsh. GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi. GI = Vitrinite + Geloinertinite Teloinertinite + Detroinertinite Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar. Tingkat Gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain : 1. Menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu. 2. Sebagai indikator ph relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung pada derajat keasaman rendah. 3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia. 32

20 Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas Pengaruh Air Tanah dan Vegetasi Salah satu parameter dalam pembentukan suatu mire/ lahan gambut (rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic) adalah kondisi pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Groundwater Index) yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi/ion ion yang ada pada air. Rheotrophic mire menerima suplai air dari aliran air tanah, air dari lingkungan dan dari air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotrophic mire hanya menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotrophic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi fen, swamp dan marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara ombrotrophic mire dapat istilahkan sebagai bogs (Moore, 1987 dalam Calder et.al., 1991). GWI merupakan rasio perbandingan antara jaringan tumbuhan yang tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan ini dapat menggambarkan proses gelifikasi yang meyimpulkan tentang keadaan suplai air dan ph dari suatu lahan gambut atau mire. Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse Brauckmann, 1979 ; Tallis, 1983 and Moore, 1987 dalam Calder, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukkan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan 33

21 pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan maseral liptinite yang berasal dari lingkungan air (Calder, 1991). GWI = corpogelinite + Mineral Matter textinite + telocollinite + Detrovitrinite Dalam perhitungan GWI juga dimasukkan parameter mineral matter selain maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula dari dominasi detrital yang masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic). (Cecil., C.B dalam Taylor G.H, 1998) Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasi asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan menggunakan parameter kesamaan antar maseral. Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukkan dengan kandungan telovitrinite, fusinite dan semifusinite yang tinggi. Dalam hal ini, suberinite dan resinite adalah sebagai maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinite, inertodetrinite dan liptodetrinite (Teichmüller, 1989). Kondisi subaquatik seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alginite. Sementara sporinite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air. VI = Telovitrinite + fu sin ite + semifu sin ite + suberinite + resin ite Detrovitrinite + Inertodet rinite + lipto det rtinite + sporinite + cutinite + a lginite 34

22 Mikrolitotip Maseral dari batubara jarang berdiri sendiri, mereka berasosiasi dengan satu atau lebih grup maseral lain. Asosiasi ini disebut mikrolitotip. Mikrolitotip dibagi menjadi tiga grup (Tabel 3.3) Litotip Istilah litotip ditujukan untuk membedakan secara makroskopi penyusun lapisan batubara berdasarkan kilap, warna dan tipe perlapisannya. Ada enam litotip yang dibagi menjadi dua tipe berdasarkan genesa, unsur kimia dan petrografinya. Tipe Humic Coal dibentuk oleh vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah atau air (rawa). Tipe Spropelic Coal terbentuk dari akumulasi pengendapan vegetasi yang mengambang di bawah permukaan air, seperti alga. (Tabel 3.4) Tabel 3.3 Mikrolitotip batubara (Taylor et. al., 1998) Monomaseral Bimaseral Trimaseral Mikrolitotip group Komposisi maseralgroup Vitrite V > 95% Liptite L > 95% Inertite I > 95% Clarite V+L > 95% Vitrinertite V+I > 95% Durite I+L > 95% Duroclarite Vitrinertoliptite Clorodurite V > I,L L > I,V I > V,L 35

23 Tabel 3.4 Litotip batubara (Taylor et. al., 1998) Tipe Litotip Kenampakan makroskopi Humic Coal Sapropelic Coal Vitrain Clarain Durain Fusain Cannel coal Bog head coal Terang, rapuh, terdapat rekahan Semi terang, hitam, perlapisan jelas Kusam, hitam atau keabuan, keras, permukaan kasar Kilap sutra, hitam, berserabut, halus, gampang rusak Kusam atau sedikit berminyak, hitam, homogen, tidak berlapis, sangat keras, permukaan tidak rata, goresan hitam Seperti cennel coal tapi terlihat coklat dengan goresan yang coklat juga Materi Anorganik Mineral Matter Mineral matter pada batubara dapat diartikan sebagai mineral mineral dan material anorganik lainnya yang berasosiasi dengan batubara. Secara keseluruhan mencakup tiga gologan material, yaitu: 1. Mineral dalam bentuk partikel diskrit dan kristalin pada batubara. 2. Unsur atau senyawa anorganik yang terikat dengan molekul organik batubara dan biasanya tidak termasuk unsur nitrogen dan sulfur. 3. Senyawa anorganik yang larut dalam air pori batubara dan air permukaan. Mineral matter pada batubara dapat berasal dari unsur anorganik pada tumbuhtumbuhan pembentuk batubara atau disebut inherent mineral serta mineral yang berasal dari luar rawa atau endapan yang kemudian di transport ke dalam cekungan pengendapan batubara melalui air atau angin dan disebut extraneous atau adventitious mineral matter. Materi anorganik di dalam batubara terbagi menjadi tiga katagori menurut pembentukannya (Taylor et.al., 1998), yaitu: 36

24 1. Syngenetic inorganic matter Merupakan materi anorganik yang berasal dari tumbuhan pembentuk batubara. Contoh: Silika. 2. Syngenetic inorganic/organic complexs Materi anorganik yang terbentuk selama tahap awal penggambutan, berasal dari luar yang terbawa oleh air atau angin kedalam gambut. Contoh: Mineral zirkon (ZrSiO 4 ) dan pertukaran hidrogen dalam karbonat menjadi kalsium karbonat. 3. Epigenetic minerals Terbentuk setelah proses konsolidasi batubara oleh kristalisasi dalam rekahan atau lubang atau oleh alterasi mineral yang terendapkan secara primer. Contoh: Pirit dan mineral Karbonat Kebanyakan dari kehadiran bahan inorganik dalam batubara ialah berupa mineral mineral yang terdistribusi di dalam atau diantara maseral maseral. Jenis dan keterdapatan mineral mineral dalam batubara dapat dilihat pada Tabel 3.5. Mineral terdistribusi diantara maseral dengan ukuran antara satu μm hingga ratusan mikrometer. Mineral yang banyak terdapat dalam batubara ialah mineral lempung, mineral karbonat, mineral sulfida dan mineral oksida Tipe Mineral pada Batubara Berdasarkan atas kelimpahannya, maka mineral mineral pada batubara dapat dibedakan atas: mineral utama (major minerals), mineral tambahan (minor minerals) dan mineral jejak (trace minerals). Umumnya yang termasuk mineral utama adalah mineral lempung dan kuarsa sedangkan mineral minor yang umum adalah karbonat, sulfida dan sulfat. Mineral mineral lain pada batubara dalam jumlah yang sedikit yaitu : fosfat, mineral garam, felspar, mika, mineral silikat, oksida dan hidroksida (hematit, limonit, dan 37

25 geotit) jarang ditemukan dalam batubara kecuali pada batubara yang terpengaruh kondisi oksidasi, mineral berat yang kemungkinannya sangat kecil ditemukan yang berasosiasi dengan batubara (zirkon, rutil, turmalin, garnet). Tabel 3.5 Keterdapatan mineral-mineral pada batubara (Taylor et.al, 1998) Mineral Keterdapatan* Mineral Keterdapatan* Mineral Lempung Kalkopirit sangat jarang Illite-Serisit umum-berlimpah Pirhotit sangat jarang Montmorilonit jarang-umum Kaolinit umum-berlimpah Fosfat Halosit jarang Apatit jarang Fosforit jarang Besi Disulfida Goyasit jarang Pirit jarang-umum Markasit jarang-umum Sulfat Barit jarang Karbonat Gypsum sangat jarang Siderit umum-sangat umum Ankerit umum-sangat umum Silikat Kalsit umum-sangat umum Zirkon jarang Dolomit jarang-umum Biotite sangat jarang Aragonit jarang Staurolit sangat jarang Witerit jarang Turmalin sangat jarang Strontianit jarang Garnet sangat jarang Epidot Oksida Sanidin jarang sangat jarang Hematit jarang Ortoklas sangat jarang Kuarsa jarang-umum Augit sangat jarang Magnetit sangat jarang Amfibol sangat jarang Rutil sangat jarang Kyanit sangat jarang Hidroksida Klorit Limonit jarang-umum Garam jarang Goethit jarang Gypsum jarang Diaspor jarang Biskofit sangat jarangumum Silfin sangat jarangumum 38

26 Sulfida Halit sangat jarangumum Sfalerit jarang Kieserit sangat jarangumum Galena jarang Mirabilit sangat jarangjarang Milerit sangat jarang Melanterit sangat jarang Keramohalit sangat jarang * Proporsi keterdapatan berlimpah sampai umum pada kebanyakan batubara mempunyai kandungan antara 5% sampai lebih 30% dari komposisi total mineral matter. Sedang klasifikasi jarang sampai sangat jarang kurang dari 5% dari total mineral matter, akan tetapi juga termasuk beberapa mineral yang kadang lebih banyak pada sebagian kecil batubara Elemen jejak Elemen jejak merupakan komponen dari mineral yang terdapat dalam batubara, seperti timbal dalam galena. Elemen jejak dapat digunakan untuk investigasi geologi, contohnya unsur boron yang mengindikasikan pengaruh air laut. Selain itu elemen jejak dapat menyebabkan kesulitan dalam pemanfaatan batubara. Kadar boron yang tinggi tidak cocok untuk produk reaktor. Sedikit titanium, vanadium dan zinc dalam elektroda dapat menyebabkan metal yang diproduksi menjadi rapuh. 39

BAB III DASAR TEORI BATUBARA

BAB III DASAR TEORI BATUBARA BAB III DASAR TEORI BATUBARA III.1 Genesa Batubara Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB III ENDAPAN BATUBARA BAB III ENDAPAN BATUBARA 3.1 DASAR TEORI BATUBARA 3.1.1 Pengertian Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

Petrologi Batuan Sedimen

Petrologi Batuan Sedimen Batuan Sedimen Batubara Batubara digolongkan pada batuan sedimen non-klastik, yaitu batuan sedimen organik. Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang

Lebih terperinci

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA BAB IV EKSPLORASI BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya Bab V Pembahasan V.1 Peringkat Batubara Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan

Lebih terperinci

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis Geokimia Organik Diagenesis Proses yang mempengaruhi produk dari produksi primer yang terjadi selama pengendapan dan tahap awal pembusukan di bawah kondisi temperatur dan tekanan yang relatif rendah Transformasi

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB IV ANALISIS SAMPEL BAB IV ANALISIS SAMPEL 4.1 PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian dilakukan pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Busui yang mewakili Formasi Warukin pada Cekungan

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Kajian Mengenai Hubungan Karakteristik Batubara terhadap Kandungan Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) dan Lingkungan Pengendapan di Daerah Ampah, Kabupaten

Lebih terperinci

Bab III Genesa Batubara

Bab III Genesa Batubara Bab III Genesa Batubara Proses pembatubaraan didefinisikan sebagai peningkatan karbon secara bertahap dari materi fosil organik dalam suatu proses yang alami. Proses ini dibedakan menjadi tahapan biokimia

Lebih terperinci

Bab III Genesa Batubara

Bab III Genesa Batubara Bab III Genesa Batubara Pembentukan batubara merupakan proses yang komplek yang harus dinilai dan dipelajari dari berbagai segi. Ada bermacam-macam proses penyebab terbentuknnya batubara dalam suatu cekungan.

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH WIJAYA

DASAR-DASAR ILMU TANAH WIJAYA DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 Bahan Penyusun Tanah Mineral 25% 5% 45% 25% Bhn Organik Bhn Mineral Udara Air 3.1 Bahan Mineral (Anorganik)

Lebih terperinci

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank) PERINGKAT BATUBARA (Coal rank) Peringkat batubara (coal rank) Coalification; Rank (Peringkat) berarti posisi batubara tertentu dalam garis peningkatan trasformasi dari gambut melalui batubrara muda dan

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN PROS ID I NG 2 0 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan tambang yang berasal dari sedimen organik dari berbagai macam tumbuhan yang telah mengalami proses penguraian dan pembusukan dalam jangka waktu

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). BAB III TEORI DASAR Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). Istilah batubara banyak dijumpai dari berbagai

Lebih terperinci

Gambar Batubara Jenis Bituminous

Gambar Batubara Jenis Bituminous KUALITAS BATUBARA A. Batubara Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 PENYUSUN TANAH Bahan Penyusun Tanah Mineral 25% 5% 45% 25% Bhn Organik Bhn Mineral Udara Air 3.1 Bahan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA

ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA Waterman Sulistyana B. * Dean Saputra** *Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta **Dinas Pertambangan dan

Lebih terperinci

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian IV.1 Pengambilan Conto Sample atau conto adalah pengambilan sebagian kecil dari material untuk dapat mewakili keseluruhan material secara representatif yang diperlukan

Lebih terperinci

Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik

Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik Oleh : Annisa 1 Mulyono Dwiantoro 2 Abstrak Batubara pada Formasi

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf Definisi Batuan Batuan adaiah kompleks/kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat secara gembur ataupun padat. Bedanya dengan mineral, batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

Citra LANDSAT Semarang

Citra LANDSAT Semarang Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan BAB III TEORI DASAR 11 3.1 Batubara Peringkat Rendah Batubara termasuk kedalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

**) Dosen Tetap, Prodi T. Geologi Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti Gedung D, Lantai 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta ***)

**) Dosen Tetap, Prodi T. Geologi Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti Gedung D, Lantai 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta ***) MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014 STUDI PENENTUAN FASIES LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DALAM PEMANFAATAN POTENSI GAS METANA BATUBARA DI DAERAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN ANALISIS PROXIMATE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ahmad Helman Hamdani NIP. 195508281982031 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT

PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT PROVENANCE QUATERNARY COAL IN INAMO REGION, SORONG REGENCY WEST PAPUA PROVINCE Aang Panji Permana, A.M.Imran, Sri Widodo Teknik

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami proses dan faktor pembentukan tanah. 2. Memahami profil,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO Sifat Umum Lumpur Sidoarjo merupakan lumpur yang keluar dari perut bumi, berasal dari bagian sedimentasi formasi Kujung, formasi Kalibeng dan formasi Pucangan. Sedimen formasi

Lebih terperinci

Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi. Parapat Samosir Pusuk Buhit April 2011

Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi. Parapat Samosir Pusuk Buhit April 2011 Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi Parapat Samosir Pusuk Buhit 22 24 April 2011 Hari Pertama. Jum at, 22 April 2011 Materi : Sedimentologi Sungai, Meander, Flood Plain Sungai adalah suatu sistem yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR Daur Air/H 2 O (daur/siklus hidrologi) 1. Air di atmosfer berada dalam bentuk uap air 2. Uap air berasal dari air di daratan dan laut yang menguap (evaporasi) karena panas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 07 SUMBERDAYA MINERAL Sumberdaya Mineral Sumberdaya mineral merupakan sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan atau pelapukan p batuan (tanah). Berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Basuki Rahmad 1, Komang Anggayana 2, Agus Haris Widayat 2 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman mengenai Pembentukan Tanah Entisol Yang disusun oleh: Agung Abdurahmansyah Anggita

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN D. A. P. Pratama *, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA

TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA Proses-proses Syn Depositional dan Post Depositional serta Kaitanya dengan Proses dan Geometri Batubara Disusun Oleh : Miftah Mukifin Ali 111.130.031 PROGRAM STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C)

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) Berkaitan dengan siklus oksigen Siklus karbon berkaitan erat dengan peristiwa fotosintesis yang berlangsung pada organisme autotrof dan peristiwa respirasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara merupakan batuan sedimen berupa padatan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Tanah Profil tanah Tanah yang kita ambil terasa mengandung partikel pasir, debu dan liat dan bahan organik terdekomposisi

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang melimpah adalah batubara. Cadangan batubara

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1 DIAGENESA BATUAN SEDIMEN Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pemadatan endapan yang berupa bahan lepas. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium karbonat,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 05 SUMBERDAYA AIR SUMBERDAYA ALAM Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya, baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) ) maupun sumberdaya tak terbarukan (non-renewable

Lebih terperinci