HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi"

Transkripsi

1 37 HASIL Profil Kelas Contoh dalam penelitian ini berasal dari tiga model pembelajaran yang berbeda dan terdiri atas contoh kelas akselerasi, kelas SBI, dan kelas reguler. Kelas akselerasi dan kelas SBI dalam penelitian ini berasal dari sekolah yang sama. Kelas Akselerasi Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan bagi para siswa yang memiliki kemampuan kognitif diatas rata-rata siswa pada umumnya. Kelas ini memadatkan materi pelajaran yang seharusnya diperoleh dalam kurun waktu tiga tahun masa belajar menjadi hanya dua tahun saja. Contoh dari kelas akselerasi diharuskan melewati tahap seleksi yang cukup ketat, diantaranya nilai rata-rata rapor SMP (Sekolah Menengah Pertama) diatas delapan dan memiliki IQ (Inteliigence Quotient) lebih dari 130. Kelas ini dilihat dari infrastuktur sekolahnya mendapatkan fasilitas yang sangat baik dan memadai, di dalam kelas terdapat pendingin ruangan (air conditioner) dan LCD yang disediakan untuk mendukung kenyaman dan kelancaran proses pembelajaran. Karena waktu belajar yang dipangkas setahun, konsekuensinya contoh dari kelas akselerasi harus menerima pemadatan jam pelajaran. Hal ini diperlihatkan dengan waktu masuk sekolah yang dimulai lebih pagi dari kelas yang lain. Pada hari senin sampai dengan rabu, contoh kelas akselerasi memulai kelas pukul WIB, sedangkan hari kamis sampai sabtu kelas dimulai pada jam WIB. Waktu pulang sekolah setiap hari adalah pukul WIB kecuali hari jumat yakni pukul WIB. Jam istirahat pertama untuk contoh akselerasi berbeda dengan kelas lainnya walaupun masih sama-sama belajar di sekolah dengan siswa yang lain. Istirahat pertama dimulai pada pukul WIB, sedangkan istirahat kedua waktunya disamakan dengan kelas lain untuk sholat dan makan siang. Seringkali contoh akselerasi tidak keluar ruang kelas pada jam istirahat pertama karena lebih memilih belajar di kelas. Perbedaan waktu belajar inilah yang membuat aktivitas sosial contoh kelas akselerasi dengan siswa lain menjadi terbatasi. Sepulang sekolah, biasanya siswa lain menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau melakukan aktivitas sosial di luar sekolah. Namun, contoh akselerasi merasa kesulitan untuk bergaul dikarenakan harus mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk belajar ataupun mengerjakan tugas.

2 38 Dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar), contoh didampingi oleh dua pengajar. Satu guru bertugas menyampaikan materi melalui LCD, guru lain menemani dan membantu ketika ada siswa yang ingin bertanya. Kelas SBI Kelas SBI merupakan kelas yang berasal dari sekolah berstandar internasional. Untuk menjadi siswa di kelas SBI, contoh harus memenuhi persyaratan akademik seperti rata-rata nilai rapor SMP (Sekolah Menengah Pertama) diatas tujuh dan bersedia membayar biaya sekolah perbulan relatif lebih besar dibandingkan kelas reguler. Hal ini memungkinkan contoh kelas SBI dilihat untuk mendapatkan fasilitas yang relatif lebih baik dibanding kelas reguler. Kelas ini memiliki pendingin ruangan (air conditioner) yang memungkinkan contoh belajar dengan nyaman, selain itu contoh juga diperkenankan membawa laptop guna mendukung proses pembelajaran di kelas. Dalam sehari, sekitar empat sampai lima mata pelajaran diberikan oleh sekolah kepada contoh dengan masing-masing mata pelajaran mendapatkan porsi 2 X 40 menit untuk hari jumat dan 2 X 45 menit untuk hari selain jumat. Jam akademik contoh dimulai pukul WIB dengan waktu pulang bervariasi. Hari senin sampai dengan kamis, contoh pulang sekolah pada pukul WIB, sedangkan hari jumat contoh pulang pukul WIB dan hari sabtu pukul WIB. Diantara waktu belajar di sekolah, terdapat dua kali waktu istirahat, yakni pukul WIB serta pukul Dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar), semua mata pelajaran disampaikan dengan alat bantu LCD. Untuk pelajaran MIPA seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, bahan ajar yang diberikan melalui LCD memang menggunakan bahasa Inggris, namun saat penyampaian materi oleh guru bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Ketika ulangan MIPA berlangsung, contoh mendapatkan sekitar 30% soal berbahasa Inggris dan sisanya berbahasa Indonesia. Di dalam ruangan, seperti kelas konvensional pada umumnya, guru memberikan materi atau menjelaskan teori terlebih dahulu, kemudian contoh diberikan waktu untuk bertanya, diberi kesempatan untuk berdiskusi secara kelompok, dan mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Oleh sebab itu, dalam satu hari, pemberian tugas tidak hanya berupa tugas individu tetapi juga dalam bentuk tugas kelompok.

3 39 Kelas Reguler Kelas reguler adalah kelas yang menggunakan sistem konvensional, waktu siswa untuk menempuh tingkat SMA adalah tiga tahun dan bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Untuk menjadi peserta kelas reguler, tidak ada persyaratan khusus seperti standar nilai rapor ataupun tes IQ. Siswa Kelas XI IPA 1 reguler yang menjadi contoh dalam penelitian tidak diberikan fasilitas khusus berupa pendingin ruangan seperti yang diperoleh contoh dari kelas akselerasi dan SBI. Selain itu, contoh kelas reguler tidak ada yang membawa laptop ke dalam ruangan kelas, mengingat kondisi sosial ekonomi yang berbeda dengan contoh dari kedua kelas tersebut, maka hal ini diduga menjadi alasan fasilitas yang digunakan oleh ketiga contoh berbeda. Proses KBM di dalam kelas dimulai pada pukul WIB dengan cara penyampaian materi sebagian besar guru adalah teacher centered atau guru sebagai pusat pembelajaran. Diskusi kelas biasanya berupa komunikasi dua arah antara guru dan siswa seperti tanya jawab, bukan diskusi antar siswa. Saat dilakukan pengamatan pada waktu penelitian di kelas ini, setelah jam pelajaran usai, banyak diantara siswa yang melanjutkan kegiatan ekstrakurikuler. Karakteristik Contoh Seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dirinya. Di antara faktor internal yang terdapat dalam diri anak adalah jenis kelamin, urutan kelahiran, dan usianya. Jenis Kelamin Pada penelitian ini, proporsi jenis kelamin contoh tidak seimbang karena contoh berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan contoh berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari separuh contoh di ketiga kelas berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 62,8 persen. Kelas reguler memiliki persentase contoh berjenis kelamin perempuan yang paling tinggi dibandingkan persentase contoh di dua kelas lainnya, yakni sebesar 66,7 persen (Tabel 3). Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Kelas Jenis Kelamin Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Laki-laki 10 38, , , ,2 Perempuan 16 61, , , ,8 Total , , , ,0

4 40 Urutan Kelahiran Contoh dalam penelitian ini lahir dengan posisi urutan kelahiran yang berbeda-beda. Dapat dilihat di Tabel 4 bahwa contoh yang merupakan anak sulung dari ketiga kelas memiliki persentase yang lebih tinggi yakni mencapai lebih dari setengah contoh (52,3%). Sebanyak 61,5 persen contoh dari kelas akselerasi merupakan anak sulung dan menjadi proporsi anak sulung paling banyak diantara ketiga kelas. Proporsi paling kecil ditempati oleh contoh yang merupakan anak tengah. Contoh dari kelas akselerasi yang merupakan anak tengah berjumlah paling sedikit, hanya 15,4 persen dibandingkan proporsi anak tengah diantara dua kelas lainnya. Urutan kelahiran Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran Kelas Total Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Anak sulung 16 61, , , ,3 Anak tengah 4 15,4 8 26,7 7 23, ,1 Anak bungsu 6 23,1 8 26,7 8 26, ,6 Total , , , ,0 Mean ± SD 1.62 ± 0, ± 0, ± 0, ± 0,846 P-value 0,813 Usia Contoh Karakteristik contoh dilihat dari usia contoh, rata-rata usia contoh adalah 16,2 tahun. Tabel 5 memperlihatkan bahwa rata-rata usia contoh paling kecil diperlihatkan di kelas akselerasi, hal ini dapat diartikan bahwa contoh dari kelas akselerasi adalah contoh termuda dimana dengan menggunakan uji beda One Way Anova, terlihat perbedaan nyata (p<0.01) rata-rata usia contoh di ketiga kelas. Contoh pada kelas akselerasi memiliki rata-rata usia termuda karena memang program ini adalah percepatan yang memangkas waktu belajar contoh akselerasi dari tiga tahun menjadi dua tahun. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan usia contoh Usia Contoh Kelas Akselerasi SBI Reguler Total Minimum Maksimum Rata-rata ± SD ± 0, ± 0, ± 0, ± 0,773 P-value 0,000 Karakteristik Keluarga Contoh Menurut Bronfenbrenner yang diacu dalam Brooks (2001), keluarga menjadi tempat pertama dan utama seorang anak dapat belajar karena

5 41 merupakan lingkungan interaksional yang paling dekat dengan anak. Menurut Schikendaz (1995), diacu dalam Megawangi (2007), segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter seorang anak. Proses pengasuhan sendiri tentunya berbeda-beda bergantung dari latar belakang pengasuh/keluarga anak. Pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, dan besar keluarga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengasuhan. Besar Keluarga Menurut Hurlock (1980), besar keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil ( 4 orang anggota), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Berdasarkan data pada Tabel 6, besar keluarga contoh dalam penelitian ini menyebar dari tiga sampai dengan tujuh orang anggota. Lebih dari separuh contoh di ketiga kelas (akselerasi, SBI, dan reguler) berasal dari keluarga sedang dan sisanya berasal dari keluarga kecil. Tabel 6 memperlihatkan bahwa dengan uji beda One Way Anova tidak ada satupun contoh yang berasal dari keluarga besar, baik contoh dari kelas akselerasi, SBI, maupun reguler dan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelas (p>0.05). Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Kelas Besar keluarga Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Kecil 7 26,9 7 23, , ,6 Sedang 19 73, , , ,4 Besar Total , , , ,0 P-value 0,236 Usia Orang Tua Karakteristik orang tua contoh dilihat dari usianya, rata-rata usia ayah contoh hampir mencapai 50 tahun, sementara itu usia ibu contoh juga berkisar antara usia 40 tahun-an (Tabel 7). Rata-rata usia ayah contoh yang paling muda berada di kelas reguler dan rata-rata usia ibu contoh yang termuda juga berasal dari contoh di kelas reguler. Setelah dilakukan uji beda One Way Anova, tidak diperoleh perbedaan yang nyata pada usia ayah contoh, tetapi terdapat perbedaan yang nyata pada usia ibu contoh (p<0.01). Terdapat dua ayah contoh yang telah meninggal dunia pada contoh dari kelas SBI.

6 42 Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua Usia Ayah Kelas Akselerasi SBI Reguler Total Minimum Maksimum Rata-rata 47,77 ± 5,078 50,21 ± 6,332 47,09 ± 8,962 48,21 ± 5,248 P-value 0,900 Usia Ibu Minimum Maksimum Rata-rata 44,19 ± 3,666 45,43 ± 4,248 41,83 ± 2,925 43,80 ± 3,922 P-value 0,001 Pendidikan Ayah Pendidikan orang tua contoh dilihat berdasarkan tingkat terakhir orang tua contoh menamatkan pendidikan formalnya. Tabel 8 menunjukkan bahwa dari seluruh kelas, lebih dari separuh ayah contoh mencapai jenjang pendidikan tertinggi S1/S2/S3 (55,8%), dan hanya sebagian kecil yang tidak menamatkan pendidikan dasarnya. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah Pendidikan ayah Kelas Total Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Tidak tamat SD , ,3 Tamat SD/sederajat ,7 2 2,3 Tamat SMP/sederajat ,3 2 6,7 3 3,5 Tamat SMA/sederajat 3 11,5 6 20, , ,0 D1/D2/D3 4 15,4 2 6,7 1 3,3 7 8,1 S1/S2/S , , , ,8 Total , , , ,0 P-value 0,001 Proporsi ayah contoh dari kelas akselerasi yang menamatkan pendidikan tertinggi (S1/S2/S3) lebih banyak dibandingkan ayah contoh yang menamatkan jenjang pendidikan lebih rendah, hal ini dibuktikan bahwa sebanyak 73,1 persen ayah contoh telah menamatkan pendidikannya minimal di tingkat S1. Begitu pula dengan ayah contoh di kelas SBI, lebih dari separuh contoh memiliki ayah yang berpendidikan tinggi (63,3%), sedangkan setengah dari contoh di kelas reguler (50%), berasal dari ayah yang berpendidikan pada jenjang tamat SMA, lalu proporsi terbesar kedua kelas reguler (33,3%) diraih oleh contoh yang ayahnya menamatkan jenjang S1/S2/S3. Tabel 8 memperlihatkan dengan uji beda Kruskal-Wallis memang terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat pendidikan ayah contoh diantara ketiga kelas (p<0.01).

7 43 Pendidikan Ibu Sama halnya seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu contoh dilihat dari jenjang terakhir ibu contoh menamatkan pendidikan formalnya. Tabel 9 memperlihatkan bahwa lebih dari seperempat ibu contoh merupakan tamatan S1/S2/S3. Sementara itu, jika pada ayah contoh masih ada yang tidak menamatkan sekolah dasarnya, ibu contoh memperlihatkan hal yang sebaliknya, yakni tidak ada sama sekali ibu contoh yang tidak menamatkan pendidikan dasar. Pendidikan yang paling tinggi ditempuh oleh ibu contoh dari kelas akselerasi adalah jenjang S1/S2/S3 sekaligus merupakan proporsi paling besar diantara jenjang pendidikan lainnya (69,2%). Untuk kelas SBI, proporsi ibu contoh yang merupakan tamatan S1/S2/S3 sama dengan ibu contoh yang merupakan tamatan SMA (43,3%). Ibu contoh dari kelas reguler yang merupakan tamatan SMA menempati jumlah terbanyak (50,0%) di kelas tersebut (Tabel 9). Dengan menggunakan uji beda Kruskal-Wallis, terlihat bahwa diantara kelas akselerasi, SBI dan reguler, terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ibu contoh (p<0.01). Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu Pendidikan ibu Kelas Total Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat ,7 3 10,0 5 5,8 Tamat SMP/sederajat ,3 7 8,2 Tamat SMA/sederajat 3 11, , , ,0 D1/D2/D3 5 19,2 2 6,7 2 6,7 9 10,5 S1/S2/S , ,3 3 10, ,5 Total , , , ,0 P-value 0,000 Pekerjaan Ayah Pekerjaan ayah merupakan aktivitas yang dilakukan ayah contoh yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian keluarga. Hampir separuh contoh memiliki ayah yang bekerja di sektor swasta (40,7%). Ayah contoh dari kelas akselerasi yang bekerja di sektor swasta mencapai 46,2 persen, lalu disusul ayah contoh yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (42,3%). Di kelas SBI dapat dilihat bahwa sektor swasta juga ditempati dengan jumlah terbanyak karena sektor ini ditempati sebanyak 36,7 persen dari jumlah ayah contoh kelas SBI. Begitu juga dengan ayah contoh kelas

8 44 reguler, pekerjaan di sektor swasta menduduki peringkat pertama (40,0%) sebagai sumber mata pencaharian ayah contoh (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah Kelas Pekerjaan ayah Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Tidak bekerja , ,5 Wiraswasta 1 3,8 6 20,0 3 10, ,6 PNS 11 42,3 7 23,3 9 30, ,4 Swasta 12 46, , , ,7 ABRI ,7 3 10,0 5 5,8 Buruh ,7 2 2,3 Pensiunan 1 3, ,3 Dokter 1 3, ,2 Supir ,2 Total , , , ,0 Pekerjaan Ibu Proporsi terbesar ibu contoh diantara ketiga kelas merupakan ibu yang tidak bekerja, yakni mencapai lebih dari separuh ibu contoh (60,4%). Tabel 11 menunjukkan proporsi terbesar ibu contoh yang tidak bekerja berada di kelas reguler. Sebagian besar ibu contoh (90%) dari kelas reguler merupakan ibu yang tidak bekerja atau bisa dikatakan sebagai ibu rumah tangga. Selanjutnya lebih dari separuh ibu contoh di kelas SBI merupakan ibu yang tidak bekerja. Dibandingkan dua kelas sebelumnya, proporsi ibu contoh yang tidak bekerja berada paling sedikit di kelas akselerasi. Namun di kelas akselerasi sendiri, ibu contoh yang tidak bekerja tetap merupakan proporsi terbesar diantara ibu contoh yang bekerja dengan berbagai jenis pekerjaan (30%). Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu Kelas Pekerjaan ibu Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Tidak bekerja 8 30, , , ,4 Wiraswasta 3 11,5 2 6,7 1 3,3 6 7 PNS 7 26,9 8 26,7 2 6, ,8 Swasta 7 26,9 2 6, ,5 ABRI Buruh Pensiunan Dokter 1 3,8 1 3, ,3 Supir Total , ,0 3 10, ,0 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan penghasilan per bulan yang diperoleh dalam keluarga contoh dan dinilai dengan satuan rupiah. Tabel 12

9 45 memperlihatkan bahwa pendapatan keluarga contoh dari kelas akselerasi, SBI, dan reguler hampir separuhnya memiliki pendapatan lebih dari Rp Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Kelas Pendapatan Total Akselerasi SBI Reguler keluarga n % n % n % n % < Rp ,3 1 1,2 Rp Rp 9 10, ,7 7 23, Rp Rp 5 5, ,7 3 10, Rp Rp 14 16,3 1 3,8 3 10, , Rp Rp 15 17,4 7 26,9 5 16,7 3 10, > Rp , ,0 6 20, ,8 Total , , , ,0 P-value 0,000 Pendapatan keluarga contoh di kelas akselerasi berada pada tingkat pendapatan lebih dari Rp (69,2%). Sama halnya dengan pendapatan yang diperoleh keluarga contoh dari kelas SBI, lebih dari separuh contoh di kelas ini mendapatkan pemasukan lebih dari Rp perbulannya. Tetapi tidak begitu dengan contoh dari kelas reguler karena pendapatan perbulan yang diperoleh lebih dari seperempat contoh berkisar antara Rp sampai Rp Terlihat dalam tabel bahwa pendapatan keluarga contoh di ketiga kelas memiliki perbedaan yang nyata (p<0.01). Tingkat Perkembangan Nilai Moral Tingkat perkembangan moral contoh dilihat berdasarkan tiga dimensi moral yakni nilai kebaikan (kindness), nilai kejujuran (honesty), dan nilai kontrol diri (self control). Data yang diperlihatkan oleh Tabel 13 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh dari ketiga kelas memiliki tingkat perkembangan moral yang rendah (55,8%). Total contoh mengumpul di titik rendah pada total moral, dimensi kebaikan, dimensi kejujuran, dan dimensi kontrol diri. Dimensi kebaikan (kindness) dari contoh didominasi di tingkat rendah pada semua kelas, baik contoh dari kelas akselerasi, kelas SBI, maupun kelas reguler karena hampir separuh contoh (45,4%) memiliki tingkat kebaikan yang rendah. Jika dilihat per kelas, contoh kelas reguler memiliki rata-rata nilai kebaikan yang paling tinggi, dan rata-rata terendah diperoleh contoh dari kelas

10 46 akselerasi. Walaupun begitu, Tabel 13 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara dimensi kebaikan di kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Dimensi moral yang kedua adalah kejujuran. Sebagian besar contoh dari ketiga kelas memiliki nilai kejujuran yang rendah (90,7%). Sebagian besar contoh kelas akselerasi (84,6%) memiliki nilai kejujuran yang rendah dan hanya sebagian kecil yang memiliki nilai kejujuran tinggi (7,7%), sedangkan contoh dari dua kelas lainnya hampir seluruh contoh menempati posisi kejujuran tingkat rendah (SBI 96,7%, reguler 90,0%) dan tidak ada satupun contoh dari dua kelas tersebut yang memiliki kejujuran tingkat tinggi. Dilihat dari rata-rata di setiap kelas, contoh kelas SBI mempunyai nilai kejujuran yang paling rendah diantara contoh lainnya, sedangkan rata-rata tertingginya dimiliki oleh contoh dari kelas akselerasi. Namun tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada nilai kejujuran contoh diantara ketiga kelas. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat perkembangan nilai moral Tingkat Perkembangan Nilai Moral Kelas Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Total Tinggi (>80) 2 7, ,0 5 5,8 Sedang (60-80) 12 46, , , ,4 Rendah (<60) 12 46, , , ,8 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 56,08 ± 17,289 51,83 ± 14,064 56,93 ± 15,556 55,25± 15,583 P-Value 0,436 Kebaikan Tinggi (>80) 5 19,2 4 13,3 7 23, ,6 Sedang (60-80) 10 38, , , ,0 Rendah (<60) 11 42, , , ,4 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 60,00 ± 27,568 61,00 ± 20,569 66,33 ± 21,732 62,55 ± 2,317 P-Value 0,541 Kejujuran Tinggi (>80) 2 7, ,3 Sedang (60-80) 2 7,7 1 3,3 3 10,0 6 7,0 Rendah (<60) 22 84, , , ,7 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 45,00 ± 21,401 36,33 ± 17,711 36,67 ± 20,398 39,07 ± 1,998 P-Value 0,195 Kontrol Diri Tinggi (>80) 7 26,9 7 23, , ,2 Sedang (60-80) 10 38,5 7 23,3 8 26, ,1 Rendah (<60) 9 34, , , ,7 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 62,59 ± 21,868 58,50 ± 19,454 67,53 ± 19,076 63,319 ± 2,236 P-Value 0,220 Dimensi kontrol diri ketiga kelas memiliki proporsi terbesar juga di tingkat rendah. Hampir separuh contoh (40,7%) berada pada tingkat kontrol diri yang

11 47 rendah. Contoh di kelas reguler mencapai rata-rata kontrol diri tertinggi dibanding dua kelas lainnya sedangkan rata-rata kontrol diri terendah dimiliki oleh contoh dari kelas SBI (Tabel 13). Hasil uji beda One Way Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara dimensi kontrol diri di kelas akselerasi, kelas SBI, maupun kelas reguler. Motivasi Belajar Motivasi belajar contoh terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Dilihat dari motivasi intrinsik, lebih dari separuh contoh di ketiga kelas memiliki motivasi intrinsik dengan kategori sedang (74,4%), begitu juga dengan motivasi ekstrinsiknya. Sebagian besar contoh juga memiliki motivasi ekstrinsik dengan kategori sedang (81,4%). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar Motivasi Kelas Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Intrinsik Tinggi (>80) 2 7,7 8 26, , ,3 Sedang (60-80) 23 88, , , ,4 Rendah (<60) 1 3, ,3 2 2,3 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 43,35 ± 4,039 47,60 ± 4,628 47,93 ± 4,749 46,40 ± 4,888 P-Value 0,000 Ekstrinsik Tinggi (>80) 4 15,4 6 20, ,6 Sedang (60-80) 22 84, , ,4 Rendah (<60) Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 46,12 ± 4,484 45,40 ± 4,065 45,33 ± 3,367 45,59 ± 3,942 P-Value 0,724 Tabel 14 menunjukkan bahwa contoh dari kelas reguler memiliki rata-rata motivasi intrinsik yang paling tinggi diantara ketiga kelas. Contoh kelas reguler memiliki tingkat motivasi intrinsik kategori tinggi dengan persentase 33,3 persen contoh, lebih tinggi dari contoh dua kelas lainnya. Jika dilihat dari rata-ratanya, contoh dari kelas reguler memiliki motivasi intrinsik tertinggi dan contoh kelas akselerasi memperoleh rata-rata terendah. Untuk motivasi ekstrinsik contoh, tidak ada satupun contoh yang mempunyai tingkat motivasi ekstrinsik yang rendah, lebih dari separuh contoh di ketiga kelas memiliki motivasi ekstrinsik kategori sedang. Berkebalikan dengan motivasi intrinsik, pencapaian motivasi ekstrinsik kelas reguler menduduki peringkat terendah karena rata-ratanya paling kecil diantara ketiga kelas sedangkan rata-rata tertinggi dimiliki oleh contoh kelas

12 48 akselerasi. Hasil uji beda One Way Anova memperlihatkan perbedaan yang nyata pada motivasi intrinsik contoh di ketiga kelas. Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan intrapersonal merupakan bagian dari kecerdasan personal yang dimiliki oleh seseorang selain kecerdasan interpersonal. Dari Tabel 15 dilihat bahwa kecerdasan intrapersonal sebagian besar contoh di ketiga kelas menempati kategori sedang (81,4%). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan intrapersonal Kecerdasan Intrapersonal Kelas Total Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Tinggi (>80) 2 7,7 5 16,7 3 10, ,6 Sedang (60-80) 21 80, , , ,4 Rendah (<60) 3 11,5 1 3,3 2 6,7 6 7,0 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 42,12 ± 4,719 43,57 ± 5,250 43,90 ± 7,179 43,24 ± 4,792 P-Value 0,749 Dilihat dari rata-rata kelas, contoh dari kelas reguler memiliki kecerdasan intrapersonal yang paling tinggi dibandingkan contoh dari dua kelas lainnya, namun demikian setelah diuji beda One Way Anova hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga kelas tersebut (p>0.05). Kecerdasan Interpersonal Sama seperti tingkat kecerdasan intrapersonal yang diperoleh contoh, kecerdasan interpersonal contoh juga menumpuk pada tingkat sedang (66,3%). Tabel 16 menunjukkan bahwa contoh di kelas reguler memiliki rata-rata kecerdasan interpersonal tertinggi dibandingkan contoh dari dua kelas lainnya namun demikian, tidak ada perberbedaan nyata di antara ketiganya (p>0.05). Kecerdasan Interpersonal Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan interpersonal Kelas Total Akselerasi SBI Reguler n % n % n % n % Tinggi (>80) 7 26, , , ,5 Sedang (60-80) 19 73, , , ,3 Rendah (<60) , ,2 Total , , , ,0 Rata-rata ± SD 46,19 ± 4,030 47,03 ± 6,245 47,20 ± 8,410 46,84 ± 5,197 P-Value 0,347

13 49 Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Tingkat Perkembangan Nilai Moral Hasil uji korelasi Spearman yang ditunjukkan oleh Tabel 17 membuktikan bahwa dalam penelitian ini, karakteristik keluarga contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat perkembangan nilai moral. Begitu pula tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan ketiga dimensi moralnya. Tabel 17 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan tingkat perkembangan nilai moral Variabel Tingkat Perkembangan Nilai Moral Kebaikan Kejujuran Kontrol Diri Usia contoh 0,094 0,099-0,098 0,180 Usia ayah -0,0192-0,177-0,174-0,136 Usia Ibu -0,026-0,078-0,064 0,006 Besar Keluarga 0,119 0,166-0,040 0,111 Pendidikan ayah 0,015-0,044 0,019 0,012 Pendidikan ibu -0,072-0,093 0,000-0,109 Pendapatan keluarga -0,018-0,004 0,060-0,096 Urutan kelahiran -0,114-0,033-0,137-0,105 Pekerjaan Ayah (dummy) -0,068-0,018-0,057-0,086 Pekerjaan Ibu (dummy) 0,048-0,055 0,109 0,002 Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Motivasi Belajar Uji korelasi Spearman pada Tabel 18 menunjukkan bahwa karakteristik keluarga yang berhubungan signifikan dengan motivasi intrinsik contoh adalah usia contoh, besar keluarga, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Selain itu, tidak ada variabel karakteristik lainnya yang berhubungan signifikan dengan motivasi ekstrinsik contoh. Besar keluarga memiliki koefisien hubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik contoh, ini artinya semakin besar/banyak anggota keluarga, maka akan semakin tinggi motivasi intrinsik contoh. Selain itu, usia contoh juga berhubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik, ini artinya semakin bertambah usia contoh maka semakin meningkat motivasi intrinsiknya. Lain halnya dengan pendidikan ibu yang berhubungan negatif sangat signifikan dengan motivasi intrinsik contoh. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin rendah motivasi intrinsik contoh. Begitu pula dengan pekerjaan ibu, semakin tinggi intensitas ibu bekerja maka semakin rendah motivasi intrinsik contoh.

14 50 Tabel 18 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan motivasi belajar Variabel Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik Usia contoh 0,453 ** -0,178 Usia ayah 0,105 0,031 Usia Ibu -0,086-0,051 Besar Keluarga 0,221 * -0,135 Pendidikan ayah -0,119 0,130 Pendidikan ibu -0,330 ** 0,032 Pendapatan keluarga -0,204 0,135 Urutan kelahiran 0,009-0,143 Pekerjaan Ayah (dummy) -0,055 0,119 Pekerjaan Ibu (dummy) -0,264 * 0,146 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99% Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh dengan Kecerdasan Intrapersonal dan Interpersonal Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh dengan kecerdasan personal baik intrapersonal maupun interpersonal dapat dilihat pada Tabel 19. Di dalam tabel diperlihatkan bahwa diantara karakteristik contoh maupun karakteristik keluarga contoh, tidak ada satupun variabel yang berhubungan dengan kecerdasan intrapersonal. Selain itu, karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh pun tidak berhubungan dengan kecerdasan interpersonal contoh. Tabel 19 Koefisien korelasi Spearman karakteristik contoh dan keluarga contoh dengan kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal Variabel Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan Interpersonal Usia contoh 0,043-0,032 Usia ayah -0,147-0,170 Usia Ibu -0,188-0,134 Besar Keluarga 0,080 0,194 Pendidikan ayah -0,009 0,125 Pendidikan ibu -0,182 0,026 Pendapatan keluarga 0,055 0,203 Urutan kelahiran -0,054 0,033 Pekerjaan Ayah (dummy) 0,131 0,146 Pekerjaan Ibu (dummy) -0,072-0,026 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

15 51 Hubungan Tingkat Perkembangan Nilai Moral dengan Motivasi Belajar, Kecerdasan Intrapersonal, dan Kecerdasan Interpersonal Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat perkembangan nilai moral contoh memiliki hubungan positif signifikan dengan motivasi intrinsik contoh. Tabel 20 memperlihatkan bahwa analisis uji korelasi Pearson untuk hubungan antara tingkat perkembangan nilai moral dan motivasi intrinsik memiliki hubungan positif signifikan (p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat perkembangan nilai moral maka akan semakin tinggi motivasi intrinsik contoh. Selain itu juga terdapat hubungan yang positif signifikan antara dimensi moral kebaikan dan motivasi intrinsik contoh (p<0.05). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kebaikan contoh maka akan semakin tinggi juga motivasi intrinsiknya. Hasil analisis uji hubungan Pearson pada Tabel 20 juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara motivasi belajar contoh, baik itu motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik, dengan kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi intrinsik dan kecerdasan intrapersonal contoh (p<0.01). Dapat diartikan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka semakin tinggi kecerdasan intrapersonal contoh. Selain itu, terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi intrinsik dan kecerdasan interpersonal. Hal ini didefinisikan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka kecerdasan interpersonal contoh juga semakin tinggi. Tabel 20 Hasil uji korelasi Pearson tingkat perkembangan nilai moral dengan motivasi, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal Variabel Moral Kebaikan Kejujuran Kontrol Diri Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan Interpersonal Moral 1 0,801 ** 0,599 ** 0,796 ** 0,217 * 0,031 0,115 0,021 Kebaikan 0,801 ** 1 0,193 0,522 ** 0,252 * 0,089 0,204 0,179 Kejujuran 0,599 ** 0, ,199 0,030 0,091-0,026-0,199 Kontrol Diri 0,796 ** 0,522 ** ,183-0,106 0,059 0,037 Motivasi Intrinsik 0,217 * 0,252 * 0,030 0, ,437 ** 0,459 ** ** Motivasi Ekstrinsik 0,031 0,089 0,091-0,106 0,437 ** 1 0,419 ** 0,278 ** Kecerdasan Intrapersonal 0,115 0,204-0,026 0,059 0,459** 0,419 ** 1 0,536 ** Kecerdasan Interpersonal 0,021 0,179-0,199 0,037 0,342** 0,278 ** 0,536 ** 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

16 52 Terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi ekstrinsik dan kecerdasan intrapersonal. Hal ini diartikan semakin tinggi motivasi ekstrinsik maka akan semakin tinggi juga kecerdasan intrapersonal contoh. Begitu pula dengan hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan kecerdasan interpersonal, data keduanya berhubungan positif sangat signifikan, yang diartikan bahwa semakin tinggi motivasi ekstrinsik maka semakin tinggi juga kecerdasan interpersonal contoh (Tabel 20). Selain itu juga terdapat hubungan yang positif signifikan antara kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal dimana semakin tinggi kecerdasan intrapersonal contoh maka akan semakin tinggi pula kecerdasan interpersonalnya, begitu juga sebaliknya. PEMBAHASAN Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah (Santrock 2007). Menurut Megawangi (2007), moral merupakan pengetahuan tentang hal baik dan buruk sedangkan perilaku sehari-hari atau tabiat hasil pengetahuan moral seseorang disebut karakter. Dalam teori kognitif sosial, peran dari faktor kognitif dalam ketahanan terhadap godaan dan kontrol diri menggambarkan bagaimana kognisi menjembatani pengalaman dengan lingkungan dan perilaku moral. Lingkungan contoh menjadi faktor penting perilaku moral. Dilihat dari lingkungan keluarga dan sekolahnya, contoh dari kelas akselerasi, SBI, dan reguler memperlihatkan standar yang berbeda. Letak sekolah dari contoh akselerasi dan SBI yang berada di tengah perkotaan menimbulkan gaya hidup contoh yang berbeda, berlawanan dengan letak sekolah dari contoh kelas reguler yang berada di wilayah kabupaten. Berdasarkan data passing grade Sekolah Menengah Atas di Bogor tahun 2008 masing-masing sekolah pun terdapat perbedaan, sekolah dari contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki poin dan sekolah dari contoh kelas reguler memperoleh poin Hal tersebut mengindikasikan adanya kompetisi kognitif yang berbeda pada setiap sekolah. Selain itu terdapat beberapa perbedaan nyata diantara contoh ketiga kelas seperti usia contoh, usia ibu contoh, pendidikan ayah contoh, pendidikan ibu contoh, dan pendapatan keluarga contoh. Pendapatan keluarga contoh di ketiga kelas memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa contoh dari kelas akselerasi dan SBI memang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi daripada contoh kelas reguler. Hal ini berkaitan dengan perbedaan pendidikan orang tua

17 53 yang cukup signifikan karena pada hakikatnya, terdapat hubungan antara pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang diperoleh suatu keluarga. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, kemungkinan pekerjaan yang diperoleh pun lebih baik, dan pendapatan yang diterima dapat lebih besar ketimbang orang tua yang berpendidikan lebih rendah. Maka tidak mengherankan jika contoh dari kelas akselerasi dan SBI mendapatkan fasilitas penunjang akademik yang lebih baik dibandingkan contoh kelas reguler. Hal ini sejalan dengan Gunarsa S dan Gunarsa Y (2004) yang menyatakan bahwa orang tua yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi cenderung mengembangkan diri dan pengetahuannya dengan cara lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan informasi dan perkembangan masyarakat dibandingkan orang tua yang berpendidikan lebih rendah. Contoh dari kelas akselerasi yang diharuskan menempuh pendidikan menengah atas hanya dalam waktu dua tahun serta contoh kelas SBI yang disyaratkan berbahasa dominan bahasa Inggris tentu akan memperoleh perlakuan berbeda dengan contoh dari kelas reguler yang menempuh pendidikan selama tiga tahun dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kognitif sosial tentang moralitas berfokus pada pembedaan antara kompetensi moral individu (kemampuan untuk melakukan perilaku moral) dan performa moral (melakukan perilaku tersebut dalam situasi tertentu). Kompetensi moral menurut Santrock (2007) adalah pengetahuan, kemampuan, kesadaran seseorang tentang aturan moral dan kemampuan kognitif seseorang untuk mengkonstruksi perilaku. Jika kompetisi kognitif yang berbeda dapat mempengaruhi perilaku moral, maka penelitian ini menunjukkan hasil yang sebaliknya karena tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara moral contoh dari ketiga kelas yang berbeda model pembelajarannya, begitu juga dengan motivasi belajar contoh yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan, hanya motivasi intrinsik saja yang memperlihatkan adanya perbedaan signifikan diantara ketiga kelas yang diteliti. Contoh dari ketiga kelas menduduki tingkat perkembangan nilai moral yang rendah. Ketiga dimensi moral pun turut memperlihatkan kategori yang rendah dari ketiga kelas. Dimensi moral kebaikan, kejujuran, dan kontrol diri mendapat skor rendah terbanyak di ketiga kelas, sedangkan dimensi moral kejujuran memiliki kategori rendah terbanyak dibandingkan dimensi moral lainnya karena hampir seluruh contoh menempati posisi tingkat kejujuran yang rendah. Walaupun tidak memiliki perbedaan yang nyata, tetapi dapat dilihat

18 54 kecenderungan tingkat perkembangan moral yang paling baik diantara ketiga kelas dimiliki contoh yang berasal dari kelas reguler jika dilihat dari rata-rata tingkat perkembangan nilai moral yang paling tinggi berada pada kelas reguler. Selain itu kedua dimensi moral, yakni kebaikan dan kontrol diri contoh kelas reguler, menunjukkan rata-rata yang paling tinggi diantara kedua kelas lainnya. Hanya dimensi kejujuran yang rata-rata tertingginya diperoleh contoh kelas akselerasi. Alasan tingkat perkembangan nilai moral contoh yang berada pada kategori rendah adalah contoh yang masih tergolong remaja menurut Kohlberg (1967) yang diacu dalam Vasta et al (1999) masih berada pada tahapan perkembangan moral orientasi konformitas dan relasi interpersonal pada tingkatan konvensional. Tahapan perkembangan moral ini memperlihatkan bahwa seseorang yang berorientasi mencari penerimaan dari orang lain. Remaja yang kerap kali diliputi oleh pengaruh teman sebayanya membuat mereka cenderung mengikuti arus pergaulan karena remaja menjalin hubungan persahabatan yang terikat oleh kesamaan nilai dan minat yang dapat dimengerti oleh sesamanya, yang membuat mereka merasa aman dan nyaman, sehingga nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya merupakan nilai yang penting untuk diadopsi walaupun nilai-nilai tersebut bertentangan dengan prinsip moral. Ditambah lagi dengan paparan media yang gencar menyebarkan berbagai nilai negatif seperti keegoisan, kekejaman, ketidakpedulian dan banyak lagi yang menciptakan krisis pada nilai-nilai kebaikan remaja (Borba 2001). Papalia et al (2008) juga menyatakan bahwa walaupun sebenarnya remaja tahu dan bisa membedakan konsep benar dan salah, tetapi karena lingkungan pertemanan yang mengarahkan untuk tetap berada di jalur yang sama, maka sebagian remaja terpaksa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang diketahuinya demi melebur dengan teman-temannya. Sama seperti yang dinyatakan Lickona (diacu dalam Megawangi 2007) bahwa moral remaja pada tingkatan ini berada pada fase ingin menjaga kelompoknya, maksudnya adalah orientasi kebenaran bagi remaja adalah dengan menjalankan tanggung jawab sosial maka remaja merupakan bagian dari sistem soisal tersebut. Agar remaja bisa menjadi bagian dalam sistem yang menaunginya, maka remaja harus menghargai segala yang dilakukan sistem sosialnya. Masalahnya terjadi ketika sistem sosialnya menganut prinsip moral yang sudah terlanjur terdegradasi, maka remaja pun dengan sendirinya terpaksa menjalankan perannya agar dapat bertahan di dalam sistem yang salah tersebut.

19 55 Tidak hanya remaja, menurut Lickona (diacu dalam Megawangi 2007) orang dewasa yang sudah mengerti prinsip moral pun akan kesulitan mengikuti prinsip kebenaran jika sistem yang ada mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Orang dewasa pun dapat merasa bodoh jika mereka tidak mengikuti orang lain yang berhasil mendapatkan keuntungan dari perbuatan amoralnya. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, hal ini dapat berubah karena remaja sadar bahwa prinsip-prinsip yang sebelumnya dikorbankan perlu diaplikasikan dalam kehidupan nyata karena sesungguhnya konsep benar dan salah yang diabaikan sebelumnya ternyata memang bermanfaat untuk diri sendiri, tapi tentu hal ini akan berbeda pada setiap orang, bergantung pada kekuatan prinsip setiap individunya (Papalia et al 2008). Tingkat perkembangan moral contoh yang rendah yang ditemukan dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Fuad (2008) yang menemukan bahwa tekanan akademik yang tinggi menciptakan suasana kompetensi individual yang berhubungan negatif dengan kemampuan sosial dan moral para siswanya. Hal ini disebabkan konsentrasi siswa yang hanya berpusat pada peningkatan sisi akademik. Penelitian ini didukung oleh pendapat Southern dan Jones (1991) diacu dalam Fuad (2008) bahwa program akselerasi juga dapat berpotensi negatif terhadap para siswa-siswanya, meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan tidak berkembang secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu. Hal inilah yang diduga mendasari rendahnya tingkat perkembangan moral contoh dari ketiga kelas. Kondisi ini terjadi diduga karena kurikulum yang ada di Indonesia memakai asumsi egaliter dimana kemampuan anak dianggap seragam, yaitu IQ diatas 110, pelajaran disusun sesulit mungkin hanya untuk anak-anak terpandai, orientasi pendidikan hanya berpusar pada teori semata tanpa anak diajarkan manfaat aplikasi ilmu untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar siswa semata-mata untuk mencapai nilai tinggi. Ditambah lagi tujuan pendidikan yang diciptakan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (fokus terlalu dipusatkan ke pengembangan otak kiri anak) dengan mengabaikan potensi anak yang lain sehingga pembangunan kualitas siswa tidak dibarengi dengan pembangunan moral, kalaupun ada penanaman nilai moral hanyalah berupa hapalan yang lagilagi memaksa sistem kognitif siswa (Megawangi 2004). Tekanan akademik yang tinggi dan persaingan individual yang sangat kuat menyebabkan contoh kelas akselerasi terbilang egois, hal ini dapat

20 56 ditemukan dalam pernyataan yang ada di kuesioner penelitian (Lampiran 1). Bagi contoh, membuat orang lain bahagia tidak perlu dilakukan dengan susah payah karena setiap orang harus mengusahakan sendiri kebahagiaannya. Selain itu, contoh kelas akselerasi lebih merasa kesulitan untuk memaafkan orang lain dibandingkan dengan contoh dari kelas lainnya. Lain lagi dengan contoh kelas SBI yang dapat dikatakan oportunis dan sulit untuk bertindak jujur. Proporsi terbesar dari contoh kelas SBI merasa bahwa dalam menolong atau membantu orang lain perlu ada timbal baliknya, contoh menganggap insentif dalam membantu orang lain itu sangat penting. Selain itu dalam membantu pun, contoh lebih selektif karena memilih dan memilah orang yang akan dibantu, apakah itu teman atau bukan. Berdasarkan kuesioner, untuk contoh kelas reguler, contoh reguler lebih terlihat lebih mementingkan hubungan personal dibandingkan contoh akselerasi maupun SBI, contoh reguler akan mendukung temannya yang dirasa perlu dibela walaupun temannya itu melakukan perbuatan yang tidak benar. Dalam hal kejujuran, contoh di ketiga kelas memang berada pada kategori rendah. Jika ditelusuri lebih lanjut dari pernyataan dalam kuesioner, nilai kejujuran bagi contoh bukan jalan untuk mencapai tujuan, bahkan kebohongan diperlukan untuk membuat suasana yang menyenangkan. Perilaku amoral yang terjadi diantara contoh seperti berbohong dianggap biasa dan tidak bermasalah. Maka akibat-akibat seperti inilah yang muncul jika berbagai pemaksaan/tekanan akademik diberikan tanpa arahan nilai-nilai moral. Dengan menciptakan sistem pendidikan yang berfokus pada kemampuan kognitif, sekolah secara tidak langsung membuat anak-anak yang memiliki potensi lebih bukan pada sisi kognitifnya menjadi tertekan dan tidak termotivasi. Hal ini bertentangan dengan perspektif humanitis motivasi yang menitikberatkan pada kapasitas murid guna mengembangkan kepribadian dan kebebasan untuk memilih nasib murid. Anak-anak yang dipaksa belajar dengan cara yang tidak sesuai dengan perkembangan dan potensinya tentu akan sulit menerima pelajaran dengan optimal (Santrock 2008). Akibat dari sistem pendidikan seperti ini, maka dapat dilihat pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa motivasi contoh, baik instrinsik maupun ekstrinsiknya hanya berada pada kategori sedang. Motivasi sendiri merupakan dorongan yang memberi semangat, arah, dan kegigihan dalam perilaku seseorang. Terdapat dua jenis motivasi yang dimiliki oleh seseorang, yakni motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik timbul sebagai akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan atau dorongan dari luar diri individu, melainkan karena kesadaran dan keinginan

21 57 dari dalam diri sendiri. Lain halnya dengan motivasi ekstrinsik yang muncul karena dipengaruhi insentif ekternal baik positif maupun negatif (Santrock 2008). Motivasi ini tentu berkaitan dengan potensi yang dimiliki setiap orang. Dilihat dari tingkat motivasi intrinsik dan ekstrinsiknya, sebagian besar contoh dari ketiga kelas masih berada pada kategori sedang. Rata-rata motivasi intrinsik contoh akselerasi merupakan rata-rata terendah diantara ketiga contoh dan memiliki perbedaan yang nyata. Rata-rata tertingginya diperoleh contoh kelas reguler. Sementara itu, contoh kelas akselerasi sendiri memiliki rata-rata motivasi ekstrinsik yang paling tinggi diantara contoh lainnya. Contoh dari kelas akselerasi yang memiliki rata-rata motivasi intrinsik yang rendah tetapi memiliki rata-rata motivasi ekstrinsik yang lebih tinggi dibandingkan kelas lainnya mengindikasikan bahwa proses belajar contoh di kelas akselerasi merupakan dorongan dari luar atau ada kemungkinan merupakan paksaan dari orang tua atau guru contoh. Contoh tidak menganggap bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan sehingga kegiatan belajar yang dilakukannya tidak bisa dinikmati serta dirasa tidak penting dan bermanfaat untuk dirinya (Lampiran 2). Selain itu, dorongan luar yang diterima contoh akselerasi bisa berupa persaingan yang ketat diantara contoh akselerasi sendiri mengingat tekanan kompetisi individu yang ada di kelas ini sangat besar. Seperti yang dinyatakan Santrock (2008) bahwa motivasi eksternal timbul salah satunya karena mengikuti arus persaingan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses belajar yang berlangsung dengan pendekatan behaviorisme, yakni anak diasumsikan sebagai kertas kosong (tabula rasa) yang menerima pelajaran karena ada stimuli dari luar dirinya sehingga anak diposisikan sebagai pihak yang pasif dan semua perilakunya disebabkan oleh stimuli eksternal, oleh sebab itulah motivasi anak untuk belajar disetir dari luar atau dengan kata lain terjadi pemaksaan kepada anak dengan adanya beban belajar yang sangat berat tapi tidak dapat dirasa menyenangkan (Megawangi 2007). Motivasi belajar baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik contoh dari kelas SBI masih berada pada kategori sedang. Menurut Dharma (2010), masalah ini timbul salah satunya adalah penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kelas SBI yang justru secara empirik ternyata kebijakan ini dapat menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi siswa di bidang studi yang diajarkan. Riset yang dilakukan oleh TIMSS/ Trends in International Mathematics and Science Study (2007) diantaranya adalah mengkaji pengalaman sekolahsekolah di Malaysia selama hampir delapan tahun yang ternyata menunjukkan

22 58 bahwa penggunaan bahasa Inggris (asing) untuk bidang studi IPA dan Matematika justru menurunkan mutu siswa. Selain itu, Dharma (2007) menyatakan bahwa tidak mungkin mengharapkan guru-guru yang belum memiliki kompetensi bahasa Inggris yang sesuai standar untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan materi pelajaran. Berdasarkan hasil test TOEIC pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari mereka berada pada level paling rendah kemampuan Bahasa Inggrisnya. Maka mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah kemampuan bahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan Matematika dalam bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak bertanggungjawab (Dharma 2007). Oleh karena itu, kompetensi guru dalam berbahasa Inggris seharusnya diperhatikan karena berkaitan sekali dengan efektifitas proses penyampaian materi pelajaran untuk siswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Astuti (2009) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap kompetensi guru dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas XI dan XII program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di SMA Negeri 1 Purworejo. Motivasi yang senantiasa dipelihara akan tumbuh dengan sendirinya di dalam diri seorang individu. Motivasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi seorang pembelajar sejati atau sebaliknya. Jika sistem pendidikan di sekolah dilaksanakan sejalan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki seseorang, maka proses belajar mengajar akan lebih mudah dijalankan oleh siswa. Sesuai dengan teori Gardner (1983) bahwa pada hakikatnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan yang berbedabeda kadarnya. Diantara sekian banyak kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, ada kecerdasan yang saling terkait erat satu dengan lainnya dibandingkan hubungan kecerdasan yang lain, mereka adalah kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Kecerdasan personal baik intrapersonal maupun interpersonal contoh menempati kategori sedang. Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan intrapersonal sedang dan lebih dari separuh contoh menduduki kategori sedang untuk kecerdasan interpersonal. Rata-rata tertinggi dari kedua kecerdasan personal ini diraih oleh contoh dari kelas reguler. Hasil ini sejalan dengan pengamatan peneliti saat berada di lapang. Contoh dari kelas reguler memperlihatkan kecerdasan intrapersonal yang baik seperti mampu bekerja sendiri yaitu tanpa meminta pertimbangan contoh yang lain seperti yang terjadi di

23 59 kelas SBI. Selain itu juga contoh dari kelas reguler mampu berinteraksi baik dengan peneliti, tersenyum ramah, menyapa peneliti, mudah diajak bekerja sama, hal ini berseberangan dengan yang terjadi ketika penelitian dilakukan di kelas SBI. Contoh dari kelas SBI sangat mudah mengeluh karena malas masuk kelas yang saat itu pendingin ruangannya sedang dalam keadaan mati, tidak memperhatikan peneliti yang sedang menerangkan kuesioner di depan kelas, tidak bisa memutuskan jawaban sendiri atau seringkali bertanya jawaban kuesioner contoh lain sebelum mengisi jawaban sendiri. Kondisi lapang sekilas memperlihatkan kecerdasan personal contoh kepada peneliti. Jika ditelusuri pernyataan di kuesioner yang memiliki proporsi paling besar dijawab oleh contoh kelas SBI adalah rasa empati contoh yang terbilang minim. Misalnya contoh yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap teman-temannya yang tidak mampu membayar uang SPP. Selain itu contoh juga tidak memiliki kepekaan yang tinggi karena masih banyak contoh yang belum bisa mengenali dan membedakan suasana hati orang lain. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena rasa superior contoh yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Kemudian muncullah sikap manja/berpangku tangan contoh kelas SBI seperti pernyataan yang banyak dipilih dalam kuesioner, yakni contoh seringkali menyerah sebelum mencoba/berusaha semaksimal mungkin. Contoh lebih senang berpasrah diri tanpa merencanakan atau mengatur secara sistematis aktivitas yang dapat berguna bagi masa depannya (Lampiran 3). Diduga penyebab lebih rendahnya pencapaian kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal contoh kelas akselerasi dan SBI dibandingkan contoh dari kelas reguler adalah karena persaingan di dalam kelas dan jam akademik contoh yang jauh berbeda. Kelas akselerasi yang menuntut kompetisi individual yang tinggi sehingga menciptakan atmosfer persaingan yang begitu kental membuat contoh lebih berfokus pada sisi akademiknya saja dan bisa jadi hal inilah yang membuat contoh kesulitan mengeksplorasi bagian-bagian lain di dalam dirinya. Berdasarkan pernyataan dalam kuesioner, contoh akselerasi yang memang memiliki motivasi intrinsik yang lebih rendah, merasa bahwa karena kondisi yang penuh paksaan itu membuat contoh cenderung pasrah dan tidak terarah. Semestinya di tengah himpitan jadwal akademik yang padat, contoh harus bisa mengatur segala aktivitasnya sedemikian rupa agar berjalan lancar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, contoh tidak memikirkan dan menyusun rencana serius untuk mencapai cita-citanya, selain itu contoh cenderung tidak

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan

Lebih terperinci

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga

Lebih terperinci

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1.

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1. 20 KERANGKA PEMIKIRAN Menurut seorang pakar ekologi keluarga yaitu Bronfenbrener menyatakan bahwa anak adalah salah sebuah unsur dalam lingkungan. Hal tersebut ditinjau dari sudut pandang dalam perpsektif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil survei Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia menunjukkan bahwa Indonesia hanya menduduki urutan 109 dari 179 negara di dunia. Survei tersebut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. SMP Negeri 1 Dramaga. Siswa kelas 8 (9 kelas) Siswa kelas 8.4 dan 8.6 n= siswa laki-laki 30 siswa perempuan

METODE PENELITIAN. SMP Negeri 1 Dramaga. Siswa kelas 8 (9 kelas) Siswa kelas 8.4 dan 8.6 n= siswa laki-laki 30 siswa perempuan 18 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian interaksi keluarga yang memfokuskan pada interaksi antara ibu dengan anak. Desain yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut:

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut: METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan metode survei. Penelitian dengan desain cross sectional study adalah penelitian yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Sebanyak 125 mahasiswa STIS yang menjadi responden penelitian, 40 (32.00%) di antaranya laki-laki dan 85 (68.00%) lainnya perempuan. Rasio mahasiswa laki-laki

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya dan mampu mengembangkan kemampuan intelektual yang mereka miliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya adalah tantangan pekerjaan yang menuntut kriteria-kriteria tinggi yang menimbulkan persaingan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 65 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN1) Bogor merupakan satusatunya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Kota Bogor yang beralamat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan, jarak dan ruang yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan

Lebih terperinci

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai PEMBAHASAN Penelitian ini didasarkan pada pentingnya bagi remaja mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa sehingga dapat mengelola tanggung jawab pekerjaan dan mampu mengembangkan potensi diri dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih dalam naungan serta pengawasan pemerintah. Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat. Dengan berkembangnya jaman, pendidikan turut serta berkembang. Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup dari penelitian.

I. PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup dari penelitian. I. PENDAHULUAN Secara umum pada bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membicarakan remaja seperti tidak akan pernah ada habisnya, hal ini disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan eksistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Masih banyak sekolah yang menerapkan betapa pentingnya kecerdasan IQ (Intelligence Question) sebagai standar dalam kegiatan belajar mengajar. Biasanya, kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Pada bab tiga ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, subjek dan sampel penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, prosedur dan langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan segala usia (Soedijarto,2008). Di Indonesia, pendidikan terdiri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan segala usia (Soedijarto,2008). Di Indonesia, pendidikan terdiri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana mewujudkan proses belajar sepanjang hayat, menyentuh semua sendi kehidupan, semua lapisan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN 67 BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecemasan dengan motivasi berprestasi dalam menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMAN unggulan berdasarkan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memerlukan inovasi-inovasi yang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan ilmu peserta didik tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia di dunia.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 231 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kualitas remaja mencakup kecerdasan intelektual (IQ), status gizi (IMT/U), dan kecerdasan emosi. a) Analisis deskriptif terhadap kecerdasan intelektual menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan

BAB I Pendahuluan. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan BAB I Pendahuluan 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini menjadi kebutuhan yang cukup mendasar bagi manusia.untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Hal ini senada dengan S. C. Sri Utami

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Hal ini senada dengan S. C. Sri Utami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting saat ini dimana masyarakat dituntut menjadi SDM yang berkualitas. Hal tersebut bisa didapat salah satunya melalui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Barat beribukota Waikabubak, mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dan mempertahankan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan formal, warga negara juga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Modal utama dalam menghadapi persaingan global yang semakin kompleks ialah dengan meningkatkan ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Artinya, ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu ciri masyarakat modern adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu saja menyangkut berbagai hal tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Pada era globalisasi ini seiring perkembangan zaman juga

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Pada era globalisasi ini seiring perkembangan zaman juga BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Pada era globalisasi ini seiring perkembangan zaman juga menuntut perkembangan kualitas di segala bidang, baik bidang sosial, politik, budaya maupun di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam kesuksesan yang akan diraih seseorang. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/ PAUD,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Perbedaan Kecerdasan..., Muhammad Hidayat, FPSI UI, 2008

I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Perbedaan Kecerdasan..., Muhammad Hidayat, FPSI UI, 2008 I. PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang rendah berhubungan dengan meningkatnya penggunaan obat-obatan terlarang dan kekerasan, terutama pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional Indonesia menyatakan perlunya masyarakat melaksanakan program pembangunan nasional dalam upaya terciptanya kualitas manusia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, serta mampu

I. PENDAHULUAN. Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, serta mampu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Model Pembelajaran

TINJAUAN PUSTAKA. Model Pembelajaran 9 TINJAUAN PUSTAKA Model Pembelajaran Joyce dan Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman yang dijabarkan dengan prosedur sistematis dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dengan begitu perkembangan yang ada dapat dikuasai, dimanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dengan begitu perkembangan yang ada dapat dikuasai, dimanfaatkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini semakin pesat. Hal ini menuntut adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dengan

Lebih terperinci

2014 ANALISIS KESIAPAN UJIAN NASIONAL SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI

2014 ANALISIS KESIAPAN UJIAN NASIONAL SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era modern ini pendidikan menjadi kunci dari perubahan dan perkembangan zaman, karena pendidikan yang menjadi penentu dan tolak ukur dari kemajuan era saat ini. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi sekarang ini, setiap orang dihadapkan pada berbagai macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut maka setiap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu. Pemillihan tempat dilakukan dengan cara pupossive, yaitu

Lebih terperinci

Lampiran 1 Sebaran tingkat perkembangan nilai moral contoh yang mendapat skor nol

Lampiran 1 Sebaran tingkat perkembangan nilai moral contoh yang mendapat skor nol LAMPIRAN 75 77 Lampiran 1 Sebaran tingkat perkembangan nilai moral contoh yang mendapat skor nol No. Deskripsi Situasi Moral Akselerasi SBI Reguler % % % 2 (K+) Apa yang kamu lakukan terhadap teman yang

Lebih terperinci

R Sq Linear = 0.02 R Sq Linear = 0.007 R Sq Linear = 0.027 150 pendidikan ibu, relasi gender, manajemen keuangan, kesejahteraan keluarga subjektif, sebaliknya berhubungan negatif nyata dengan usia ibu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berbudaya. Kegiatan belajar dilaksanakan hari Senin sampai dengan Sabtu.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berbudaya. Kegiatan belajar dilaksanakan hari Senin sampai dengan Sabtu. 54 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran umum lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di SDN Brajan yang terletak di Desa Brajan salah satu wilayah Kelurahan Tamantirto.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berakal dan berhati nurani. Kualifikasi sumber daya manusia (SDM) yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berakal dan berhati nurani. Kualifikasi sumber daya manusia (SDM) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya untuk membentuk sumber daya manusia sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Selain itu, melalui pendidikan akan dibentuk manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 17 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pengaruh pola penggunaan jejaring sosial terhadap motivasi dan alokasi waktu belajar siswa SMPN 1 Dramaga, menggunakan desain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat memasuki dunia kerja, demikian halnya dengan pendidikan di SMA. Kurikulum SMA dirancang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan untuk mempunyai kehidupan yang lebih layak. Era globalisasi, perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. dan untuk mempunyai kehidupan yang lebih layak. Era globalisasi, perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini pendidikan sudah menjadi suatu kebutuhan primer. Setiap orang berusaha meraih tingkat pendidikan yang tinggi agar dapat diakui lingkungannya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Bloom (1966) prestasi belajar siswa mencakup tiga domain yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Bloom (1966) prestasi belajar siswa mencakup tiga domain yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Bloom (1966) prestasi belajar siswa mencakup tiga domain yaitu kognitif, efektif, dan psikomotorik. Karakteristik kognitif siswa dipengaruhi oleh perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia dapat dikatakan cukup rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation Development Programme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

PROSIDING ISBN :

PROSIDING ISBN : P 26 PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI, INTELIGENSI QUOTIENT, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP PRESTASI OLIMPIADE SAINS DI SMA NEGERI 1 BANTUL TAHUN AJARAN 2011/2012 ARY WIDAYANTO SMA N 1 BANTUL ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. 1 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah memprogramkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai acuan dan pedoman bagi pelaksanaan

Lebih terperinci

HASIL. Faktor Internal

HASIL. Faktor Internal Jenis Kelamin HASIL Faktor Internal Lebih dari separuh konsumen (66,9%) berjenis kelamin perempuan, sementara 33,1 persen sisanya laki-laki. Dapat dilihat bahwa konsumen perempuan lebih mendominasi pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dari waktu ke waktu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi makin pesat mengikuti arus globalisasi yang semakin hebat. Akibat dari fenomena ini antara lain

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A. Analisis Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 3 Warungasem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17 54 BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17 5.1 Faktor Individu Sesuai dengan pemaparan pada metodologi, yang menjadi responden pada penelitian ini adalah warga belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu remaja diharapkan dapat mengembangkan potensi diri secara optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan peserta

BAB I PENDAHULUAN. depan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan peserta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini, tetapi sudah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan 60 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika sering dipakai dalam kegiatan sehari-hari seperti dalam kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian pentingnya, matematika juga

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi tentang..., Aris Roosnila Dewi, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Studi tentang..., Aris Roosnila Dewi, FISIP UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang. Namun sampai saat ini masih banyak penduduk miskin yang memiliki

Lebih terperinci

Universitas Kristen Maranatha

Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan atau proses pembelajaran mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan Bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hendaknya memiliki kemampuan untuk memberi kesan yang baik tentang

BAB I PENDAHULUAN. hendaknya memiliki kemampuan untuk memberi kesan yang baik tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja dalam perannya sebagai siswa Sekolah Menengah Atas, hendaknya memiliki kemampuan untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya (dalam Pusparia, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pemenuhan tugas perkembangan tersebut, banyak remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pemenuhan tugas perkembangan tersebut, banyak remaja yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase perkembangan dari kehidupan individu. Pada fase ini terdapat sejumlah tugas perkembangan yang harus dilalui, untuk menjadi

Lebih terperinci

apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical

apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kurikulum pendidikan nasional, mata pelajaran matematika selalu diajarkan di setiap jenjang pendidikan dan tingkatan kelas dengan proporsi waktu yang jauh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengumpulan data penelitian, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengumpulan data penelitian, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan kegiatan penelitian, pengumpulan data penelitian, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian tersebut, akan menjawab perumusan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pemilihan Pondok Pesantren Modern Purposive. Santri telah tinggal 1 tahun di pondok pesantren. Laki-laki. Perempuan.

METODE PENELITIAN. Pemilihan Pondok Pesantren Modern Purposive. Santri telah tinggal 1 tahun di pondok pesantren. Laki-laki. Perempuan. 27 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan paling penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa terlepas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 19 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode survey dengan desain cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 6 Bogor. Penentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Kepuasan Kerja Guru Robbins & Judge (2012) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam proses perkembangan peserta didik. Pendidikan juga sebagai sebuah upaya untuk mempersiapkan peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kualitas pendidikan di Indonesia selalu berusaha untuk ditingkatkan agar mencapai hasil yang semakin baik kedepannya. Pendidikan merupakan aspek terpenting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini kemajuan perekonomian bangsa ditambah dengan perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini kemajuan perekonomian bangsa ditambah dengan perkembangan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kemajuan perekonomian bangsa ditambah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kesadaran berbagai pihak seperti pemerintah,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di 6 sekolah yang terdiri dari SMA dan SMK negeri dan swasta di Kota Bogor.

Lebih terperinci

Gaya Hidup - aktivitas - minat - opini

Gaya Hidup - aktivitas - minat - opini 15 KERANGKA PEMIKIRAN Gaya hidup merupakan aktivitas, minat, dan pendapat individu dalam kehidupan sehari-hari yang diukur menggunakan teknik psikografik. Berbagai faktor dapat memengaruhi terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang berarti pertumbuhan menuju kedewasaan. Dalam kehidupan seseorang, masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan (Kartono, 2007). Pendidikan di Indonesia diatur dengan jelas pada pasal

Lebih terperinci