HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan SBI berasal dari sekolah yang sama, sedangkan kelas reguler diambil dari sekolah yang berbeda. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini, mulai tahun ajaran 2002/2003 diberi kepercayaan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk membuka kelas akselerasi yaitu kelas percepatan untuk siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA dalam waktu hanya dua tahun saja. Program akselerasi ini dilatarbelakangi oleh perlunya mengubah strategi pelayanan pembelajaran guna memberi pelayanan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa dan mengelompokkan siswa dalam kelas akselerasi. Karena layanan pembelajaran yang menyamaratakan kemampuan siswa dirasa bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan layanan kepada anak berbakat untuk mewujudkan bakat dan kemampuannya secara optimal, memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kreativitas secara optimal dan menyelesaikan pendidikan lebih awal selama dua tahun. Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah siswa dilayani secara individual, adanya bimbingan konseling, pelaksanaan program remedial, sekali sebulan diadakan belajar di luar sekolah, dan siswa yang hasil belajarnya kurang dari tujuh dipindahkan ke kelas reguler. Selain program akselerasi, di sekolah tersebut juga menyelenggarakan kelas Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Latar belakang penyelenggaraannya adalah adanya keinginan untuk menjadi wadah dalam upaya mewujudkan inovasi di bidang pendidikan yang mencetak lulusan berdaya saing tinggi, daya saing internasional. Program pendidikannya adalah lama peserta didik selama 3 tahun, menggunakan bahasa pengantar bilingual dan model pembelajaran mendorong siswa kreatif, inovasi, dinamis dan mandiri. Didukung oleh fasilitas belajar seperti: ruang kelas yang memenuhi standar internasional, pembelajaran berbasis ICT, laboratorium IPA dan bahasa, tersedia akses internet, serta ruang multi media.

2 38 Lokasi penelitian yang kedua adalah sekolah yang hanya memiliki kelas reguler dan tidak menyelenggarakan program akselerasi maupun SBI. Sekolah tersebut didirikan pada tanggal 5 Oktober 1994 yang diresmikan oleh kepala kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Memiliki luas areal sebesar 5000 m2 dengan luas bangunan 1267 m2, terdiri dari 52 ruangan yang 16 diantaranya merupakan ruang kelas. Untuk mendukung aktivitas akademik dan non akademik sekolah tersebut dibina oleh 57 guru tetap, delapan guru tidak tetap, sepuluh orang tata usaha, tiga orang keamanan, satu orang pegawai perpustakaan, dan satu orang pegawai kebersihan. Jumlah siswa yang terdaftar sampai tahun ajaran 2009/2010 adalah kelas X berjumlah 360 orang, kelas X1 sebanyak 358 orang dan kelas XII sejumlah 360 orang. Sekolah tersebut memiliki sejumlah prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Adapun visi dari sekolahnya adalah menjadi sekolah yang nyaman dengan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berwawasan teknologi berlandaskan iman dan taqwa. Sedangkan misinya adalah meningkatkan prestasi akademik lulusan, membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, meningkatkan prestasi ekstrakurikuler, menumbuhkan minat baca, meningkatkan kemampuan berbahsa inggris, meningkatkan wawasan teknologi bagi pendidik dan peserta didik. Memiliki tujuan umum yaitu meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Selain itu juga meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam. Karakteristik Keluarga Usia Orangtua Usia orangtua dalam penelitian ini mengacu pada pembagian usia menurut Hurlock (1980) yang terdiri dari tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh ayah contoh pada ketiga kelompok masuk dalam kategori usia madya (96,2% pada kelas akselerasi, 86,6% pada kelas SBI

3 39 dan 93,3% pada kelas reguler). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) usia ayah contoh pada ketiga kelompok contoh. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Usia Akselerasi SBI Reguler Total Ayah Dewasa muda (18-40 tahun) 1 3, ,7 3 3,4 Dewasa madya (41-60 tahun) 25 96, , , ,9 Dewasa lanjut (>60 tahun) , ,3 Total ,4* ,6* Min-maks (tahun) Rataan ± standar deviasi 47,77±5,078 50,21±6, ,73±3, ,18±5,308 Ibu p value 0,900 Dewasa muda (18-40 tahun) 2 7,7 2 6,7 8 26, ,9 Dewasa madya (41-60 tahun) 24 92, , , ,1 Dewasa lanjut (>60 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Min-maks (tahun) Rataan ± standar deviasi ,19±3, ,43±4, ,83±2, ,80±3,922 p value 0,001** Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal **=signifikan pada level 0,05 Usia ibu contoh pada ketiga kelas pun memiliki kategori yang sama, yaitu ketiganya masuk pada kategori dewasa madya (92,3% pada kelas akselerasi, 93,3% pada kelas RSBI dan 73,3% pada kelas reguler). Terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antara kelas SBI dengan kelas reguler berdasarkan hasil uji beda one way anova. Usia ibu contoh kelas SBI lebih tinggi dibandingkan dengan usia ibu contoh kelas reguler (dapat dilihat pada lampiran 4). Tingkat Pendidikan Orangtua Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Pendidikan ayah contoh dalam penelitian ini umumnya adalah tamat perguruan tinggi. Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh dari kelas akselerasi (73,1%) dan SBI (63,3%) paling banyak memiliki ayah yang tamat perguruan tinggi (sarjana), sedangkan 50 persen contoh dari kelas reguler memiliki ayah yang tamat SMA. Contoh dari kelas reguler lebih

4 40 banyak yang memiliki ayah tidak meneruskan ke perguruan tinggi (63,4%) jika dibandingkan dengan kelas akselerasi (11,5%) dan kelas SBI (30%). Berdasarkan hasil uji beda kruskal wallis, terdapat perbedaan (p<0,05) tingkat pendidikan antara ayah contoh dari kelas akselerasi dengan kelas SBI, dan kelas reguler. Ayah contoh pada kelas akselerasi memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah contoh pada kelas SBI dan reguler (dapat dilihat pada lampiran 10). Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Tingkat Pendidikan Akselerasi SBI Reguler Total Ayah Tidak tamat SD 0 0, ,0 0 0,0 SD/sederajat 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3 SMP/sederajat 0 0,0 1 3,3 2 6,7 3 3,5 SMA/sederajat 3 11,5 6 20, , ,9 D1/D2/D3 4 15,4 2 6,7 1 3,3 7 8,2 S1/S2/S , , , ,8 Total ,9* ,7* p value 0,001** Ibu Tidak tamat SD 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 SD/sederajat 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 SMP/sederajat 0 0,0 0 0,0 7 23,3 7 8,1 SMA/sederajat 3 11, , , ,1 D1/D2/D3 5 19,2 2 6,7 2 6,7 9 10,5 S1/S2/S , ,3 3 10, ,5 p value 0,000** Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal, **=signifikan pada level 0,05 Tidak jauh berbeda dengan pendidikan ayah, pendidikan ibu contoh dari kelas akselerasi sebanyak 69,2 persen merupakan tamatan perguruan tinggi (sarjana), sedangkan separuh contoh kelas reguler memiliki ibu dengan pendidikan tamat SMA. Hampir separuh ibu contoh (43,3%) pada kelas SBI merupakan tamatan SMA dan perguruan tinggi. Contoh dari kelas reguler memiliki ibu yang berpendidikan sampai tamat SMA dan tidak meneruskan ke perguruan tinggi lebih banyak (83,3%) dibandingkan dengan kelas SBI dan kelas akselerasi. Hasil uji beda kruskal wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

5 41 (p<0,05) antara pendidikan ibu contoh pada ketiga kelas. Ibu contoh pada kelas akselerasi memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu contoh kelas SBI dan reguler (dapat dilihat pada lampiran 10). Jenis Pekerjaan Orangtua Jenis pekerjaan ayah contoh cukup beragam, Tabel 5 menunjukkan bahwa ayah contoh pada ketiga kelas memiliki pekerjaan utama paling banyak di bidang swasta (46,2% pada kelas akselerasi, 36,7% pada kelas SBI dan 40% pada kelas reguler). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua Pekerjaan Ayah Akselerasi SBI Reguler Total Ayah Tidak bekerja 0 0,0 1 3,3 0 0,0 1 1,2 Wiraswasta 1 3,8 6 20,0 3 10, ,6 PNS 11 42,3 7 23,3 9 30, ,4 Swasta 12 46, , , ,7 ABRI 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Buruh 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3 Pensiunan 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Dokter 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 Supir 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2 Total * 93,3* ,7* Ibu Tidak bekerja 8 30, , , ,5 Wiraswasta 3 11,5 2 6,7 1 3,3 6 7,0 PNS 7 26,9 8 26,7 2 6, ,7 Swasta 7 26,9 2 6,7 0 0,0 9 10,5 ABRI 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Pensiunan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dokter 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Supir 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal Pekerjaan ibu contoh dari ketiga kelas pun memiliki kategori yang sama, yaitu paling banyak ibu contoh dari ketiga kelas tidak bekerja. Namun, jika dilihat dari status pekerjaannya, ibu contoh dari kelas akselerasi (69,1%) dan kelas SBI

6 42 (43,3%) lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan kelas reguler (10%) (Tabel 5). Besar Keluarga Besar keluarga dalam penelitian ini mengacu pada pembagian besar keluarga menurut Hurlock (1980) yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu, keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar ( 8 orang). Gambar 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas masuk dalam kategori keluarga sedang dan kelas SBI paling banyak masuk dalam kategori keluarga sedang dibandingkan kelas akselerasi dan kelas reguler yaitu sebesar 73,3%. Pada ketiga kelas tidak terdapat contoh yang masuk dalam kategori keluarga besar dan hasil uji beda one way anova, menunjukkan tidak terdapat perbedaan (p>0,05) besar keluarga antara ketiga kelas. 73,30% 42,30% 57,70% 26,70% 53,30% 46,70% keluarga kecil keluarga sedang keluarga besar 0% 0% 0% Akselerasi SBI Reguler Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga (n=86) Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan yang diamati dalam penelitian ini adalah pendapatan keluarga yaitu penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga. Perbedaan latar belakang pendidikan berhubungan dengan pendapatan keluarga (dapat dilihat pada lampiran 11), hal ini juga terlihat dari perbedaan (p<0,05) pendapatan yang dimiliki oleh keluarga contoh pada ketiga kelas. Keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelas reguler (dapat dilihat pada lampiran 5). Lebih dari separuh keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan diatas Rp ,00 sedangkan sebagian besar keluarga contoh kelas reguler memiliki

7 43 pendapatan berkisar antara Rp ,00 hingga Rp ,00. Kelas akselerasi dan SBI dengan segala fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan kelas reguler menyebabkan biaya untuk pendidikannya pun lebih mahal dibandingkan dengan kelas reguler, sehingga sangat wajar apabila contoh pada kelas akselerasi dan SBI berasal dari keluarga dengan pendapatan yang tinggi. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Akselerasi SBI Reguler Total Pendapatan keluarga/bulan Rp ,00 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2 Rp ,00 - Rp ,00 0 0,0 2 6,7 7 23,3 9 10,5 Rp ,00 - Rp ,00 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Rp ,00 - Rp ,00 1 3,8 3 10, , ,3 Rp ,00 Rp , ,9 5 16,7 3 10, ,4 >Rp , , ,0 6 20, ,8 p value 0,000* Keterangan: *= signifikan pada level 0,05 Jenis Kelamin Karakteristik Contoh Contoh dari penelitian ini berjumlah 86 orang yang terdiri dari tiga kelas berbeda. Sebanyak 26 orang kelas akselerasi, 30 orang kelas SBI dan 30 orang kelas reguler. Ketiga kelas tersebut memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari dua sekolah yang berbeda. Gambar 4 menunjukkan bahwa contoh pada ketiga kelas paling banyak berjenis kelamin perempuan (61,5% pada kelas akselerasi, 60,0% pada kelas SBI dan 66,7% pada kelas reguler). 61,50% 60% 66,70% 38,50% 40% 33,30% laki-laki perempuan Akselerasi SBI Reguler Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin (n=86).

8 44 Usia Contoh Contoh masuk dalam kategori remaja yang berkisar antara 14 tahun sampai dengan 18 tahun. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007) remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi. Menurut teori psikososial Erickson (Santrock 2002) pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs Identity Confusion. Artinya pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya dan pada fase ini remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya.. Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (65,4%) pada kelas akselerasi berusia 15 tahun. Sedangkan kelas SBI dan reguler memiliki paling banyak jumlah contoh dengan usia yang sama (16 tahun) yaitu sebesar 53,3 persen. Usia paling muda adalah 14 tahun dan terdapat pada kelas akselerasi (3,8%) dan usia contoh paling tinggi adalah 18 tahun berada pada kelas SBI (3,3%). Usia contoh kelas akselerasi lebih muda dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler, hal ini diduga karena terdapat contoh pada kelas akselerasi ketika SMP merupakan siswa akselerasi pula. Perbedaan tersebut didukung oleh hasil uji beda one way anova yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) usia contoh kelas akselerasi dengan dua kelas lainnya. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia contoh Usia Akselerasi SBI Reguler Total 14 tahun 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 15 tahun 17 65,4 0 0,0 0 0, ,7 16 tahun 8 30, , , ,5 17 tahun 0 0, , , ,4 18 tahun 0 0,0 1 3,3 0 0,0 1 1,2 Min-mak (tahun) Rataan ± standar deviasi 15,27±0,533 16,50±0,572 16,47±0,507 16,12±0,773 P value 0,000* Keterangan: *=signifikan pada level 0,05

9 45 Urutan Contoh dalam Keluarga Contoh pada ketiga kelas merupakan anak sulung dan contoh pada kelas akselerasi paling banyak masuk dalam kategori anak sulung dibandingkan contoh pada kelas akselerasi dan kelas SBI yaitu sebesar 61,5 persen. Pada kelas SBI terdapat contoh yang merupakan anak tengah dan bungsu dengan jumlah yang sama yaitu sebesar 26,7 persen (Gambar 5) 61,50% 46,60% 50% 15.40% 23,10% 26,70% 26,70% 26,70% 23,30% anak sulung anak tengah anak bungsu Akselerasi SBI Reguler Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran (n=86). Gaya Pengasuhan Gaya pengasuhan yang dipakai dalam penelitian ini adalah gaya pengasuhan menurut Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) yang terdiri dari tiga tipe gaya pengasuhan yaitu: otoriter, permissif dan otoritatif. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (69,2%) dan kelas reguler (60,0%) memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Sedangkan 46,7 persen contoh pada kelas SBI memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif. Pada ketiga kelas tidak terdapat perbedaan (p>0,05) persepsi gaya pengasuhan orangtua berdasarkan hasil uji beda kruskal wallis. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan Kategori Akselerasi SBI Reguler Total Otoriter 18 69, , , ,0 Permissif 2 7,7 3 10,0 2 6,7 7 8,1 Otoritatif 6 23, , , ,9 p value 0,471

10 46 Secara keseluruhan, sebagian besar contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan yang otoritatif, artinya anak dibesarkan dengan kehangatan yang rendah tetapi memiliki kontrol yang sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat dari jawaban contoh (lampiran 1), sebesar 64,0 persen contoh menjawab sangat sering terhadap pernyataan orangtua memberikan hukuman tanpa memberi kesempatan kepada contoh untuk menjelaskan duduk persoalannya (otoriter, kontrol tinggi). Lebih dari separuh contoh (60,5%) contoh menjawab sangat sering atau selalu terhadap pernyataan orangtua menentukan dengan siapa contoh harus bergaul, tanpa mempertimbangkan perasaannya (otoriter, kontrol tinggi dan kehangatan rendah) dan terdapat 60,5 persen contoh yang menjawab sangat sering terhadap pernyataan orangtua memaksa contoh untuk mengikuti les tambahan tanpa memperhatikan kegiatan ia yang lain (otoriter, kehangatan rendah dan kontrol tinggi). Selain itu juga lebih dari separuh contoh (57,0%) menjawab sering terhadap pernyataan orangtua membebaskan kemapa pun contoh pergi sesuai dengan kebutuhannya (permissif, kehangatan tinggi dan kontrol rendah). Sebanyak 65,1 persen contoh menjawab sering terhadap pernyataan orangtua akan mentoleransi perbedaan pendapat antara contoh dan orangtuanya (otoritatif, kehangatan dan kontrol tinggi). Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Hassan (Elias & Yee 2009) yang menunjukkan bahwa sebagain besar pelajar di Kelantan Malaysia mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoriter. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Dornbusch, et al. (Elias & Yee 2009) bahwa orangtua di beberapa keluarga Asia dan percampuran Asia-Amerika yang tinggal di Amerika cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang otoritatif. Hal ini dikarenakan keluarga Asia-Amerika merupakan kelompok minoritas di Amerika, sehingga orangtua merasa perlu untuk menjaga identitas dari negara asalnya (Lim dalam Elias & Yee 2009). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Rahmaisya (2011) yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMA mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif yang berarti sebagian besar contoh diasuh oleh orangtuanya dengan kontrol dan kehangatan yang tinggi.

11 47 Konsep Diri Konsep diri merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, termasuk didalammya persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya. Fitts (1971) juga menyatakan bahwa terdapat dua dimensi diri yaitu dimensi internal diri yang terdiri dari tiga bagian (pengamatan identitas, tingkah laku dan kepuasan) dan dimensi eksternal yang terdiri dari lima bagian (fisik, etik moral, personal, keluarga dan sosial). Kedua dimensi ini beserta bagian-bagian diri yang ada saling berhubungan membentuk suatu kepribadian. Dimensi fisik. Dimensi fisik merupakan persepsi individu mengenai dirinya yang berhubungan dengan keadaan secara fisik seperti kesehatan jasmani dan penampilan Tabel 9 menunjukkan bahwa pada bagian identitas diri fisik, tingkah laku fisik, dan kepuasan diri fisik, lebih dari separuh contoh masuk dalam kategori yang positif. Kepuasan diri fisik memiliki persentase kategori positif yang lebih besar dibandingkan dengan bagian tingkah laku fisik dan identitas diri fisik, yaitu sebesar 83,7 persen dan sisanya 16, 3 persen masuk dalam kategori yang negatif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) identitas diri fisik, tingkah laku fisik, dan kepuasan diri fisik. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi fisik Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total Identitas diri fisik positif 14 53, , , ,4 negatif 12 46,2 5 16,7 5 16, ,6 p value 0,084 Tingkah laku diri fisik positif 16 61, , , ,3 negatif 10 38,5 8 26, , ,7 p value 0,372 Kepuasan diri fisik positif 22 84, , , ,7 negatif 4 15,4 5 16,7 5 16, ,3 p value 0,546 Total Dimensi Fisik positif 18 69, , ,9 negatif 8 30,7 5 16, ,1 p value 0,232

12 48 Dimensi etik moral. Dimensi etik moral merupakan persepsi individu terhadap dirinya yang berhubungan dengan suatu hal yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya (konsep moral baik dan tidak baik). Hampir seluruh contoh (95,3%) memiliki identitas diri etik moral yang masuk pada kategori positif dan tidak ada satu pun contoh dari kelas reguler yang masuk dalam kategori negatif. Begitu pun pada bagian kepuasan etik moral, hampir seluruh contoh (95,3%) masuk dalam kategori yang positif dan tidak ada contoh dari kelas SBI yang masuk dalam kategori negatif. Pada bagian tingkah laku etik moral, lebih dri separuh contoh (74,4%) memiliki kategori yang positif dan sisanya (25,6%) masuk dalam kategori yang negatif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) identitas diri etik moral, tingkah laku etik moral, dan kepuasan diri etik moral contoh pada ketiga kelas (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi etik moral Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total Identitas diri etik moral positif 24 92, , ,3 negatif 2 7,7 2 6,7 0 0,0 4 4,7 p value 0,536 Tingkah laku diri etik moral positif 17 65, , , ,4 negatif 9 34, ,3 3 10, ,6 p value 0,477 Kepuasan diri etik moral positif 23 88, , ,3 negatif 3 11,5 0 0,0 1 3,3 4 4,7 p value 0,211 Total Dimensi Etik Moral positif 24 92, , ,5 negatif 2 7,7 1 3,3 0 0,0 3 3,5 p value 0,722

13 49 Dimensi personal. Dimensi personal merupakan persepsi individu terhadap dirinya yang berhubungan dengan afeksi atau perasaan yang sebenarnya ada di dalam dirinya, tidak terlihat namun dapat dirasakan. Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki kategori yang positif untuk identitas diri personal, tingkah laku diri personal, dan kepuasan diri personal. Kepuasan diri personal memiliki persentase kategori positif yang lebih besar dibandingkan dengan identitas diri dan tingkah laku diri personal, yaitu sebesar 81,4 persen dan pada kategori negatif nya memiliki persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 18,6 persen. Berdasarkan hasil uji beda, tidak ditemukan perbedaan (p>0,05) antara indentitas diri personal, tingkah laku diri personal, dan kepuasan diri personal. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi personal. Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total Identitas diri personal positif 22 84, , , ,2 negatif 4 15, ,3 3 10, ,8 p value 0,488 Tingkah laku diri personal positif 21 80, , , ,9 negatif 5 19,2 8 26,7 6 20, ,1 p value 0,763 Kepuasan diri personal positif 21 80, , , ,4 negatif 5 19,2 5 16,7 6 20, ,6 p value 0,956 Total Dimensi Personal positif 22 84, , , ,4 negatif 4 15,4 8 26,7 4 13, ,6 p value 0,623 Dimensi keluarga. Dimensi keluarga merupakan persepsi individu yang berhubungan dengan penilaian diri atas keberadaannya di lingkungan keluarga, persepsi dirinya terhadap keberadaan anggota keluarga lainnya dan juga pandangan atas penilaian anggota keluarga terhadap dirinya. Hampir separuh contoh memiliki identitas diri keluarga, tingkah laku diri keluarga, dan kepuasan diri keluarga yang positif dengan masing-masing persentase 93 persen, 91,9

14 50 persen, dan 86 persen. Tidak ada satu pun contoh dari kelas akselerasi yang memiliki identitas diri keluarga yang negatif dan tidak ada pula contoh yang memiliki tingkah laku diri negatif dari kelas reguler. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) tingkah laku diri contoh pada ketiga kelas. Kelas reguler memiliki tingkah laku diri keluarga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkah laku diri keluarga contoh pada kelas akselerasi dan SBI (dapat terlihat pada lampiran 7). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi keluarga Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total Identitas diri keluarga positif , , ,0 negatif 0 0,0 3 10,0 3 10,0 6 7,0 p value 0,212 Tingkah laku diri keluarga positif 22 84, , ,9 negatif 4 15,4 3 10,0 0 0,0 7 8,1 p value 0,041* Kepuasan diri keluarga positif 23 76, , , ,0 negatif 3 11,5 8 26,7 1 3, ,0 p value 0,655 Total Dimensi Keluarga positif 25 96, , ,7 negatif 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 p value 0,658 Keterangan: *=signifikan pada level 0,05 Dimensi sosial. Dimensi sosial merupakan persepsi individu mengenai hubungan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Hampir seluruh contoh memiliki identitas diri sosial dan kepuasan diri sosial yang positif dengan persentase identitas diri sosial lebih besar dibandingkan dengan kepuasan diri sosial, yaitu sebesar 93 persen. Berbeda dengan identitas diri dan kepuasan diri sosial, pada tingkah laku diri sosial kebanyakan contoh berada dalam kategori yang negatif, yaitu sebesar 70,9 persen dan hanya 29,1 persen yang masuk dalam kategori positif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat

15 51 perbedaan (p>0,05) identitas diri sosial, tingkah laku diri sosial, dan kepuasan diri sosial pada ketiga kelas. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi sosial Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total Identitas diri sosial positif 24 92, , , ,0 negatif 2 7,7 3 10,0 1 3,3 6 7,0 p value 0,102 Tingkah laku diri sosial positif 9 34,6 9 30,0 7 23, ,1 negatif 17 65, , , ,9 p value 0,553 Kepuasan diri sosial positif 23 88, , , ,0 negatif 3 11,5 5 6,7 4 13, ,0 p value 0,823 Total Dimensi Sosial positif 25 96, ,8 negatif 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 p value 0,255 Semua dimensi, lebih dari separuh contoh masuk dalam kategori yang positif, terkecuali pada dimensi tingkah laku diri sosial. Sebanyak 70,9 persen memiliki tingkah laku diri sosial yang negatif dan sisanya masuk dalam kategori yang positif. Dimensi etik moral, keluarga dan sosial yang positif memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh memiliki kepuasan yang tinggi terhadap sikap dengan lingkungan luar dan interaksi sosialnya serta contoh mampu mengenali keberadaan diri dan hubungan di dalam keluarganya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1980) bahwa remaja akan selalu berusaha memperbaiki diri, menonjolkan apa yang dia miliki untuk pendapatkan penilaian yang baik serta penerimaan dari kelompok sosialnya. Lebih lanjut Hurlock menyatakan remaja membentuk kode moral berdasarkan konsep benar dan salah, mereka akan terus mencari kekonsistenan konsep benar yang salah demi memperoleh dukungan sosial. Remaja akan merasa

16 52 bersalah bila menyadari bahwa perilakunya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya. Dalam hubungan dengan keluarga, seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang tersebut dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh tersebut sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk sesama jenisnya. Konsep diri. Hampir seluruh contoh (97,7%) memiliki konsep diri yang positif. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh contoh memiliki persepsi yang baik terhadap dirinya sendiri, juga dapat mengenali dirinya dengan baik. Hanya terdapat 2,3 persen contoh yang memiliki konsep diri negatif berada pada kelas akselerasi dan SBI. Tidak ada satu orang contoh pun dari kelas regular yang memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh contoh pada ketiga kelas cukup baik dan contoh dapat mengenali serta memahami dirinya sendiri dengan baik pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sukmanti (2005) yang menyatakan bahwa remaja memiliki konsep diri yang cenderung positif. Remaja yang memiliki konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, akan tetapi bukan berarti dirinya tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri. Selain dapat menerima dirinya sendiri, remaja yang memiliki konsep diri positif juga dapat menerima penilaian orang lain. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) konsep diri contoh diantara ketiga kelas (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri Konsep Diri Akselerasi SBI Reguler Total positif 25 96, , ,7 negatif 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 p value 0,827 Motivasi Belajar Motivasi belajar merupakan suatu dorongan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yaitu dalam hal ini mengarahkan kepada perbuatan belajar. Menurut Santrock (2007) terdapat dua macam motivasi, yaitu

17 53 motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Motivasi intrinsik. Tabel 15 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas memiliki motivasi intrinsik yang masuk dalam kategori sedang. Walaupun ketiganya berada dalam kategori yang sama, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler, yaitu sebasar 88,4 persen. Tidak ada satu orang contoh pun dari kelas SBI yang masuk dalam kategori rendah. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) motivasi intrinsik diantara ketiga kelas. Motivasi intrinsik contoh pada kelas reguler dan kelas SBI lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi intrinsik contoh pada kelas akselerasi (dapat terlihat pada lampiran 8). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Akselerasi SBI Reguler Total rendah (<60) 1 3,8 0 0,0 1 3,3 2 2,3 sedang (60-80) 23 88, , , ,4 tinggi (>80) 2 7,7 8 26, , ,3 Min-maks Rataan±standar deviasi 43,35±4,039 47,60±4,628 47,83±4,749 46,40±4,888 p value 0,000* Keterangan: *=signifikan pada level 0,05 Motivasi ekstrinsik. Pada motivasi ekstrinsik, lebih dari separuh contoh ada ketiga kelas masuk dalam kategori sedang, dan kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dibanding dua kelas lainnya, yaitu sebesar 84,6 persen. Sebesar 15,4 persen contoh pada kelas akselerasi yang memiliki motivasi ektrinsik masuk dalam kategori tinggi. Tidak ada satu orang contoh pun pada ketiga kelas yang masuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil uji beda one way annova, tidak ditemukan perbedaan (p>0,05) motivasi ektrinsik pada ketiga contoh.

18 54 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Akselerasi SBI Reguler Total rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 22 84, , , ,4 tinggi (>80) 4 15,4 6 20,0 6 20, ,6 Min-maks Rataan±standar deviasi 46,12±4,484 45,40±4,065 45,33±3,367 45,59±3,942 p value 0,724 Motivasi. Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas memiliki motivasi belajar yang masuk dalam kategori sedang. Walaupun ketiganya berada dalam kategori yang sama, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dalam kategori sedang dibandingkan dengan kelas SBI dan kelas akselerasi yaitu sebesar 84,6 persen. Berdasarkan hasil uji beda one way anova tidak terdapat perbedaan (p>0,05) motivasi belajar diantara ketiga kelas. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan motivasi Kategori Akselerasi SBI Reguler Total rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 22 84, , , ,0 tinggi (>80) 4 15, , , ,0 Min-maks Rataan±standar deviasi 89.46± ± ± ±7.469 p value 0,120 Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, dan mengarahkan perbuatan belajar. Sejalan dengan pernyataan Halim (2005) bahwa dalam belajar,tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang akan semakin kuat motivasi belajarnya. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yag

19 55 diberikan oleh guru. Prestasi siswa yang dalam penelitian ini diamati dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif serta pengukurannya menggunakan nilai rapor siswa. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar Kategori Akselerasi SBI Reguler Total Kognitif rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0, , ,7 tinggi (>80) ,3 0 0, ,3 Min-maks Rataan±standar deviasi 83,07±1,840 80,30±2,050 76,93±0,868 79,65±2,990 p value 0,000* Psikomotorik rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0,0 1 3, ,0 tinggi (>80) ,7 0 0, ,0 Min-maks Rataan±standar deviasi 84,00±0,864 81,16±0,936 77,79±0,779 80,84±2,662 p value 0,000* Afektif rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 tinggi (>80) Min-maks 3,3-3,8 3,1-3,8 3,5-3,9 3,1-3,9 Rataan±standar deviasi 3,57±0,171 3,40±0,171 3,72±0,119 3,56±0,201 p value 0,000* Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 Seluruh contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi belajar (kognitif, psikomotorik, dan afektif) yang tergolong dalam kategori tinggi. Seluruh contoh kelas reguler berada dalam kategori sedang (kognitif dan psikomotorik) dan prestasi afektifnya berada dalam kategori tinggi. Kelas SBI memiliki prestasi psikomotorik dan afektif yang tergolong pada kategori tinggi, sedangkan prestasi kognitifnya berada dalam kategori sedang yaitu sebesar 56,7 persen. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) prestasi antara kelas akselerasi, kelas SBI dan kelas reguler. Kelas akselerasi memiliki

20 56 prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler dalam aspek kognitif dan psikomotorik, sebaliknya dalam aspek afektif kelas reguler memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas akselerasi dan SBI (dapat terlihat pada lampiran 9). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan lingkungan atau metode pembelajaran serta kemampuan terhadap penguasaan materi antara kelas akselerasi dengan kelas SBI dan reguler. Pada dasarnya program akselerasi merupakan layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keterbakatan akademik istimewa serta memungkinkan siswa untuk mempercepat penguasaan bahan-bahan secara tuntas (Hawadi et al. 2001). Hubungan antar Variabel Hubungan Karakteristik Keluarga dan Karakteristik Contoh dengan Gaya Pengasuhan Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhannya, terdapat hubungan negatif antara usia ayah dengan gaya pengasuhan permissif. Artinya, semakin tinggi usia ayah maka gaya pengasuhan yang diterapkan semakin tidak permissif. Hal ini diduga terkait dengan usia yang dimiliki orangtua dalam penelitian ini merupakan usia yang tergolong dalam kategori dewasa madya. Menurut Hurlock (1980) usia dewasa madya merupakan usia yang biasanya memiliki anak dalam tahap usia remaja dan salah satu tugas perkembangan usia madya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga adalah membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab dan bahagia. Melihat pernyataan tersebut, maka diduga orangtua terutama ayah masih menerapkan kontrol terhadap anaknya yang dilakukan untuk melatih anaknya menjadi seorang yang dewasa dan bertanggungjawab. Terlebih dalam tahapan remaja, individu lebih terpengaruh oleh lingkungan teman sebayanya dan tidak sedikit bahaya yang mengancam selama berada pada tahapan remaja, sehingga orangtua terutama ayah lebih menerapkan kontrol untuk melindunginya.

21 57 Karakteristik keluarga yang juga berhubungan dengan tipe gaya pengasuhan adalah status pekerjaan ibu. Status pekerjaan ibu berhubungan negatif dengan gaya pengasuhan permissif. Hal ini menggambarkan ibu yang bekerja cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang semakin tidak permissif dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Long dan Long (1983) diacu dalam Santrock (2007) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa sebagian besar remaja yang memperlihatkan kenakalan, penggunaan obat dan alkohol, serta permasalahan di sekolah adalah mereka yang kurang memiliki pengawasan dan tanpa batasan dari orangtua tua karena ibu yang bekerja (latchkey). Kurangnya pengawasan orangtua pada jam-jam setelah sekolah dimana orangtua masih bekerja merupakan salah satu masalah utama dewasa ini. Orangtua perlu memberikan perhatian khusus pada bagaimana kehidupan mereka dapat dipantau dengan efektif. Pemantauan orangtua dan pengasuhan orangtua yang bersifat otoritatif dapat membantu remaja untuk dapat lebih mampu mengatasi permasalahan remaja, khususnya menolak pengaruh dari teman sebaya. Melihat kenyataan tersebut, diduga ibu contoh yang bekerja memiliki rasa kekhawatiran dan peduli yang masih tinggi terhadap contoh sehingga ibu mengurangi gaya pengasuhan yang permissif dan meskipun ibu bekerja tetap menerapkan kontrol serta pengawasan terhadap contoh. Tabel 19 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dan contoh dengan gaya pengasuhan Variabel Tipe Gaya Pengasuhan Otoriter Permissif Otoritatif Besar keluarga 0,103 0,048 0,028-0,070 Usia ayah -0,069-0,271* 0,039 0,014 Usia ibu -0,039-0,052-0,075-0,148 Pendidikan ayah 0,150 0,019 0,050 0,056 Pendidikan ibu -0,054-0,093-0,182 0,027 Status pekerjaan ibu -0,078-0,243* -0,186 0,070 Pendapatan keluarga per -0,203 0,064 0,115 0,044 bulan Jenis Kelamin 0,029* 0,356 0,376 0,143 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

22 58 Hasil uji korelasi juga menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan otoiter. Hal ini diduga karena orangtua yang memiliki anak perempuan memiliki kekhawatiran yang lebih besar dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak laki-laki, sehingga orangtua yang memiliki anak perempuan bersikap lebih ketat dalam mengawasi anak perempuannya dan memperhatikan perilaku mereka lebih dekat. Papini dan Sebby (1988) diacu dalam Santrock (2003) menyatakan orangtua memperlakukan anak laki-laki lebih mandiri daripada anaka perempuan, dan lebih memperhatikan tentang kerawanan seksual anak perempuan yang mengakibatkan orangtua terus memperhatikan perilaku mereka lebih dekat dan memastikan bahwa anak perempuannya diawasi. Keluarga yang memiliki anak remaja perempuan menunjukkan bahwa mereka mengalami lebih banyak konflik tentang seks, pemilihan teman, dan jam malam daripada keluarga yang memiliki anak remaja laki-laki. Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Konsep Diri Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan berhubungan dengan konsep diri (r=0,041; α=0,05) dan jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhannya pun terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dengan konsep diri dan gaya pengasuhan otoritatif juga berhubungan dengan konsep diri. Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter, maka konsep diri contoh semakin positif. Demikian pula dengan orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif, maka semakin positif pula konsep diri yang dimiliki contoh. Persamaan yang dimiliki antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif terletak pada adanya arahan yang diberikan kepada anak, hal tersebut lah yang diduga berhubungan dengan konsep diri. Arahan yang diberikan oleh orangtua yang otoriter dan otoritatif meskipun disampaikan dengan cara yang berbeda, dapat menjadi pegangan anak untuk menentukan suatu sikap terhadap dirinya, sehingga dapat mengenali dan mempercayai dirinya. Menurut Baumrind (1967), gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Sementara itu anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap patuh dan akan menyesuaikan

23 59 dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah diterapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatik dibandingkan kelompok teman sebayanya. Tabel 20 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (92,8%) yang memiliki konsep diri yang positif, dibesarkan oleh orang tua dengan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dan otoritatif. Tidak ada contoh satu orang pun yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoritatif yang memiliki konsep diri negatif. Tabel 20 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan konsep diri Konsep diri Gaya pengasuhan positif negatif r n % n % Otoriter 48 57,1 1 50,0 0,272* Permissif 6 7,2 1 50,0 0,057 Otoritatif 30 35,7 0 0,0 0,235* Total ,041* Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Motivasi Belajar Menurut Dimyati (2002) motivasi belajar mudah diperkuat salah satunya oleh kondisi rumah beserta hubungan yang terdapat di dalamnya, yaitu interaksi orangtua dengan anak dan bagaimana orangtua memperlakukan anak. Hasil uji korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif berkorelasi positif dengan motivasi intrinsik (r=0,297, α=0,01). Artinya, semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif maka semakin besar pula motivasi yang datang dari diri sendiri. Hampir separuh contoh (45%) dari contoh yang memiliki motivasi intrinsik tinggi dibesarkan dengan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif, dan tidak ada satu orang contoh pun yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoritatif memiliki motivasi intrinsik yang rendah.

24 60 Tabel 21 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Gaya pengasuhan rendah sedang tinggi r n % n % n % Otoriter 1 50, , ,0 0,065 Permissif 1 50,0 5 7,8 1 5,0 0,127 Otoritatif 0 0, ,8 9 45,0 0,297** Total ,156 Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 Tidak terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter, permissif, maupun otoritatif dengan motivasi ekstrinsik. Contoh yang memiliki motivasi ekstrinsik dengan kategori tinggi, dibesarkan dengan gaya pengasuhan orangtua yang cenderung otoriter dan otoritatif. Sebanyak 10 persen contoh yang memiliki motivasi ekstrinsik sedang berasal dari orangtua dengan gaya pengasuhan yang cenderung permissif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki motivasi ektrinsik yang masuk dalam kategori rendah. Tabel 22 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Gaya pengasuhan Rendah sedang tinggi r n % n % n % Otoriter 0 0, ,1 9 56,3-0,089 Permissif 0 0, ,0 0,018 Otoritatif 0 0, ,9 7 43,7 0,075 Total ,151 Secara umum, motivasi belajar tidak berhubungan dengan gaya pengasuhan. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhan, motivasi belajar berhubungan positif dengan gaya pengasuhan otoritatif. Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang otoritatif, maka motivasi belajar semakin tinggi. Hal tersebut diduga karena dengan gaya pengasuhan orangtua yang terbuka, fleksibel, menerapkan kehangatan kepada anak menimbulkan suasana yang nyaman, sehingga anak pun merasa nyaman pada saat belajar. Selain itu orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif memungkinkan untuk memberikan dukungan bagi anaknya sehingga hal tersebut menjadi salah satu motivasi eksternal anak. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Irmawati (2004) yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang lebih

25 61 dapat mendorong anak untuk sebuah pencapaian prestasi atau belajar adalah gaya pengasuhan otoriter yang mengarahkan anak kepada tujuan dengan kontrol dan kekuasaan yang dimiliki orangtua. Lebih dari separuh contoh (59,7%) contoh yang memiliki motivasi belajar dalam kategori sedang dibesarkan oleh orangtua yang memiliki gaya pengasuhan cenderung otoriter. Sedangkan separuh contoh (50%) yang memiliki motivasi belajar tinggi berasal dari keluarga dengan orangtua yang memiliki gaya pengasuhan cenderung otoritatif. Tidak ada satu orang pun contoh yang memiliki motivasi belajar dalam kategori rendah. Tabel 23 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi Motivasi Gaya pengasuhan Rendah sedang Tinggi r n % N % n % Otoriter 0 0, , ,0-0,004 Permissif 0 0,0 7 11,3 0 0,0 0,092 Otoritatif 0 0, , ,0 0,233* Total 0 0, ,181 Keterangan: ** = signifikan pada level 0,05 Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi intrinsik (r=0,522; α=0,01). Artinya semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh, maka semakin tinggi motivasi yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Contoh yang cenderung memiliki motivasi intrinsik yang tergolong dalam kategori sedang dan tinggi merupakan contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki konsep diri negatif dengan motivasi ekstrinsik yang rendah dan tinggi. Tabel 24 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Konsep Diri rendah sedang tinggi n % n % n % positif , negatif 0 0,0 2 3,1 0 0,0 Total Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 r 0,522**

26 62 Terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi ekstrinsik (r=0,306; α=0,01). Artinya semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh, maka semakin tinggi pula motivasi ekstrinsik yang dimilikinya. Contoh yang cenderung memiliki motivasi ekstrinsik yang tergolong dalam kategori sedang dan tinggi merupakan contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki motivasi ekstrinsik yang rendah dan tidak ada satu orang pun contoh dengan konsep diri yang negatif memiliki motivasi ekstrinsik yang rendah atau pun tinggi. Tabel 25 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Konsep Diri rendah sedang tinggi r n % n % n % Positif 0 0, , Negatif 0 0,0 2 2,9 0 0,0 0,306** Total 0 0, Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 Moss dan Kegen diacu dalam Calhoun & Acocella (1990) menyatakan bahwa keinginan untuk berhasil juga dipengaruhi oleh konsep diri yang dimiliki individu. Uji korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi belajar. Ini berarti semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh maka akan semakin tinggi pula motivasi yang dimilikinya. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam bertingkah laku. Tabel 26 menunjukkan bahwa seluruh contoh yang memiliki motivasi belajar tinggi adalah contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Hanya terdapat 3,2 persen contoh yang memiliki konsep diri negatif dan memiliki motivasi belajar yang masuk dalam kategori sedang. Tabel 26 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi Motivasi Konsep Diri rendah sedang tinggi n % n % n % Positif 0 0, , Negatif 0 0,0 2 3,2 0 0,0 Total 0 0, Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 r 0,501**

27 63 Hubungan Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Gunarsa dan Gunarsa (2004) mengemukakan bahwa cara orangtua bertindak sebagai orangtua yang melakukan pola asuh terhadap anak memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina motivasi belajar meraih prestasi pada anak dan remaja. Selain itu juga konsep diri turut berperan dalam mendorong individu untuk meraih prestasi melalui persepsi terhadap kemampuan yang dimilikinya. Pernyataan tersebut tidak sejalan dengan penelitian ini karena secara umum hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat korelasi antara gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar dengan prestasi. Jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhan, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif). Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter maka semakin tinggi pula prestasi (kognitif) nya. Hal ini diduga karena orang tua menerapkan sejumlah peraturan atau tuntutan dan disiplin yang tinggi untuk belajar kepada contoh, sehingga contoh berusaha untuk memenuhi tuntutan orangtua dan belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai atau prestasi yang tinggi. Hasil penelitian juga menemukan hubungan negatif antara motivasi intrinsik dengan prestasi (kognitif dan psikomotorik). Artinya semakin tinggi motivasi intrinsiknya, maka prestasi (kognitif dan psikomotorik) nya semakin kecil. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asih (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa. Tabel 27 Koefisien korelasi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar dengan prestasi belajar Variabel Prestasi Belajar Kognitif Psikomotorik Afektif Gaya pengasuhan otoriter 0,230* 0,201 0,087 Gaya pengasuhan permissif 0,032 0,048-0,137 Gaya pengasuhan otoritatif 0,131 0,052-0,049 Gaya pengasuhan 0,029 0,096-0,004 Konsep diri -0,065-0,023 0,000 Motivasi intrinsik -0,217* -0,256* 0,145 Motivasi ekstrinsik 0,038 0,007 0,026 Motivasi -0,169 0,174 0,184 Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian

Lebih terperinci

HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi

HASIL Profil Kelas Kelas Akselerasi 37 HASIL Profil Kelas Contoh dalam penelitian ini berasal dari tiga model pembelajaran yang berbeda dan terdiri atas contoh kelas akselerasi, kelas SBI, dan kelas reguler. Kelas akselerasi dan kelas SBI

Lebih terperinci

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1.

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1. 20 KERANGKA PEMIKIRAN Menurut seorang pakar ekologi keluarga yaitu Bronfenbrener menyatakan bahwa anak adalah salah sebuah unsur dalam lingkungan. Hal tersebut ditinjau dari sudut pandang dalam perpsektif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut:

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut: METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan metode survei. Penelitian dengan desain cross sectional study adalah penelitian yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai PEMBAHASAN Penelitian ini didasarkan pada pentingnya bagi remaja mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa sehingga dapat mengelola tanggung jawab pekerjaan dan mampu mengembangkan potensi diri dengan

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah SMA Negeri Ragunan Jakarta merupakan sekolah yang didirikan untuk atlet, dimana mereka tidak hanya mendalami bidang yang mereka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat mengembangkan potensi-potensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih dalam naungan serta pengawasan pemerintah. Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Jenis Kelamin 7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun (Santrock, 2003: 31). Lebih rinci, Konopka dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan tersebut begitu terasa dan terus meningkat ke arah yang semakin maju. Untuk mengantisipasinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan dari seni dan budaya manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu perubahan atau perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya agar mampu bertahan dalam berbagai aspek kehidupan. Individu dituntut mampu menjadi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, kecerdasan dan keterampilan manusia lebih terasah dan teruji dalam menghadapi dinamika kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, bidang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan penting. Pendidikan dapat mengembangkan kemampuan serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, pendidikan mampu melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan manusia dapat belajar demi kelangsungan hidupnya. Bagoe (2014, h.1) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Tujuan pendidikan itu adalah untuk mengembangkan individu baik jasmani maupun rohani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai suatu proses untuk menyiapkan generasi masa depan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai suatu proses untuk menyiapkan generasi masa depan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai suatu proses untuk menyiapkan generasi masa depan yang berorientasi pada wawasan kehidupan mendatang. Pendidikan merupakan wadah untuk mencetak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional pada Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003, Triana, 2015:

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional pada Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003, Triana, 2015: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan diadakan untuk mengembangkan kemampuan setiap individu yang terlibat di dalamnya agar menjadi manusia yang berkembang dan bertanggung jawab dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Isni Agustiawati,2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Isni Agustiawati,2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan keharusan bagi manusia serta mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik sebagai makhluk individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Passer & Smith, 2008). Fase remaja menunjukkan perkembangan transisional yang pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya pendidikan, manusia dapat merubah tingkah lakunya menjadi pribadi yang bermartabat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang berkualitas. Maka untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah secara

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan sebagai suatu wadah dalam menyiapkan generasi bangsa yang mempunyai kemampuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian SMP-RSBI RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) adalah sekolah yang melaksanakan atau menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional, dimana baru sampai

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus dikembangkan bukan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan tidak dapat hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain. Manusia membutuhkan kerjasama antara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Barat beribukota Waikabubak, mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan dunia ini tidak ada apa-apanya, karena semua berasal dari pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI

GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI 1 GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Tengah di PalangkaRaya ini memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan sangat menentukan bagi perkembangan serta kualitas diri individu dimasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu proses kegiatan berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan dalam dunia

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Usia contoh berkisar antara 14 sampai 18 tahun dan dikategorikan ke dalam kelompok remaja awal (14 sampai 16 tahun) dan remaja akhir (17 sampai 18 tahun). Dari jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya dan mampu mengembangkan kemampuan intelektual yang mereka miliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Peranan bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. SMP Negeri 1 Dramaga. Siswa kelas 8 (9 kelas) Siswa kelas 8.4 dan 8.6 n= siswa laki-laki 30 siswa perempuan

METODE PENELITIAN. SMP Negeri 1 Dramaga. Siswa kelas 8 (9 kelas) Siswa kelas 8.4 dan 8.6 n= siswa laki-laki 30 siswa perempuan 18 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian interaksi keluarga yang memfokuskan pada interaksi antara ibu dengan anak. Desain yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal penting untuk membangun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Hasil Profil SMA Negeri 20 Bandung. SMA Negeri 20 Bandung terletak di Jl. Citarum No. 23 Bandung dan resmi berdiri pada 5 Juni 1986. Sejak berdiri pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dan mempertahankan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya. Bahkan keduanya saling

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan

METODE PENELITIAN. Sekolah di Kota Bogor SMAN 1. Kelas Bertaraf Internasional. 12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan 60 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia. Pendidikan dapat dilakukan baik secara formal maupun non formal. Setiap pendidikan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dengan ilmu,

BAB I PENDAHULUAN. berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dengan ilmu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia. Ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1

PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI PADA SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 1 PURWANTORO TAHUN AJARAN 2013/2014 NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Piaget, remaja usia 11-20 tahun berada dalam tahap pemikiran formal operasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pernah berjaya pada Sea Games periode tahun 1977-1999, namun hal ini terus menurun seiring dengan berjalannya waktu. Sungguh ironi ketika nama Indonesia pernah begitu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG A. Analisis tentang Upaya Guru PAI dalam Membina Moral Siswa SMP Negeri 1 Kandeman Batang Sekolah adalah lingkungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya perkembangan IPTEK pada era globalisasi sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, karena dengan pendidikan suatu bangsa dapat mempersiapkan masa

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, karena dengan pendidikan suatu bangsa dapat mempersiapkan masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, karena dengan pendidikan suatu bangsa dapat mempersiapkan masa depannya

Lebih terperinci

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi Kekhususan Psikologi Pendidikan Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemutusan hubungan kerja atau kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli

BAB I PENDAHULUAN. pemutusan hubungan kerja atau kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis moneter yang berkepanjangan di negara kita telah banyak menyebabkan orang tua dan keluarga mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan saat ini semakin mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia. Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, pendidikan mampu melakukan proses pengubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD Negeri Wirosari sekolah yang unggul, kreatif, inovatif, kompetitif dan religius. Sedangkan misinya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Penelitian ini memberikan gambaran tentang pola asuh orang tua dan motivasi berprestasi yang dimiliki oleh anak. Sebelum melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perencanaan Karir 2.1.1. Pengertian Karir Bekerja merupakan konsep dasar yang menunjuk pada sesuatu yang kita lakukan karena kita menginginkannya dengan harapan dapat kita nikmati.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan seseorang atau individu menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus mendapatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting. Semua orang dari kalangan mana pun akan membenarkan pernyataan ini. Berbekal pendidikan yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hlm Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung : 2005, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. hlm Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung : 2005, hlm. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Semakin baik pendidikan suatu bangsa, semakin baik pula kualitas bangsa, itulah asumsi secara umum terhadap program pendidikan suatu bangsa. Pendidikan menggambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku organisasi yang merupakan pencerminan dari perilaku dan sikap orang-orang yang terdapat dalam organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi. Oleh : Fistika Sari A

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi. Oleh : Fistika Sari A PENGARUH LINGKUNGAN PERGAULAN REMAJA DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN EKONOMI PADA SISWA SMA KELAS XI IPS SMA AL-ISLAM 3 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 SKRIPSI Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sangat pesat dari waktu ke waktu. Sehingga saat ini. semakin maju taraf hidup dan kesejahteraan penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sangat pesat dari waktu ke waktu. Sehingga saat ini. semakin maju taraf hidup dan kesejahteraan penduduknya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap manusia yang telah dimulai sejak dari buaian hingga ke liang lahat. Oleh sebab itu, setiap manusia wajib untuk belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran pendidikan bagi pembentukan karakter bangsa sangat strategis tujuannya. Pendidikan karakter saat ini merupakan topik yang banyak digerakkan dikalangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan (Kartono, 2007). Pendidikan di Indonesia diatur dengan jelas pada pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan merupakan kunci dari masa depan manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran. Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penelitian, kegunaan penelitian dan diakhiri dengan ruang lingkup penelitian.

I. PENDAHULUAN. penelitian, kegunaan penelitian dan diakhiri dengan ruang lingkup penelitian. I. PENDAHULUAN Pada bab 1 ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, individu

Lebih terperinci

2014 PENGARUH PAI DAN KEGIATAN EKSTRAKULIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PENINGKATAN AKHLAK MULIA SISWA

2014 PENGARUH PAI DAN KEGIATAN EKSTRAKULIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PENINGKATAN AKHLAK MULIA SISWA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Manusia tentunya diberi akal oleh Allah SWT. untuk berpikir, yakni tempat yang

Lebih terperinci