TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C"

Transkripsi

1 TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN DAN PRATISARI. C Transportasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah secara Langsung. Dibawah bimbingan: DADI R. SUKARSA dan KOMARIAH TAMPUBOLON. Penanganan ikan hidup saat ini mulai dikembangkan di masyarakat Indonesia sejalan dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hidup. Salah satu jenis ikan yang potensial untuk dipasarkan dalam keadaan hidup adalah ikan nila. Cara untuk menekan biaya transportasi ikan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengangkutan sistem kering. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan secara langsung terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam transportasi tanpa media air (sistem kering). Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan penelitian, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi: 1) persiapan akuarium, 2) persiapan ikan nila, 3) persiapan media air yang terdiri dari air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yang diukur kualitas airnya, 4) persiapan media bahan pengisi berupa serbuk gergaji dan 5) persiapan kemasan berupa styrofoam. Penelitian pendahuluan meliputi: 1) penentuan jumlah es untuk pembiusan ditentukan dengan cara melakukan percobaan perbandingan volume air pembius sebanyak 1 liter dengan jumlah es tertentu, 2) penentuan suhu pembiusan ikan nila secara bertahap untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila. Penelitian utama terdiri dari pembiusan suhu rendah secara langsung pada fase pingsan ringan (9-10 o C), pingsan berat (7-9 o C) dan roboh (6-7 o C) selanjutnya dilakukan penyimpanan (transportasi) ikan nila yang terdiri dari 4 taraf waktu yaitu 0, 3, 6 dan 9 jam. Pada setiap perlakuan waktu penyimpanan terdiri dari 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Kualitas air kolam asal ikan nila hampir sama dengan kualitas air laboratorium yang belum diendapkan serta air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari sehingga layak digunakan untuk adaptasi, pemuasaan, pembiusan dan pembugaran. Hasil perbandingan volume air 1 liter dengan jumlah es sebanyak 2 kg mampu menurunkan suhu media air lebih cepat hingga mencapai suhu 3 o C selama 12 menit. Hasil pembiusan ikan nila secara langsung pada fase pingsan ringan (9-10 o C) dengan waktu pembiusan selama 20 menit, memiliki tingkat kelulusan hidup yang tertinggi setelah penyimpanan selama 3 jam yaitu sebesar 67 %. Ikan nila yang dibius pada fase pingsan berat (7-9 o C) selama 15 menit memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 33 % selama penyimpanan 3 jam, sedangkan ikan nila yang dibius pada kondisi fase roboh (6-7 o C) selama 10 menit, memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 0 % selama penyimpanan 3 jam. Perubahan suhu media pengisi kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran: o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, 9-14 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh.

3 TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

4 Judul Skripsi Nama NRP : TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG : Dan Pratisari : C Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Ir. Dadi R. Sukarsa NIP Ir. Komariah Tampubolon, MS NIP Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil NIP Tanggal lulus :

5 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Transportasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah secara Langsung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Dan Pratisari NRP C

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah SAW. Penyusunan skripsi yang berjudul Transportasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah secara Langsung merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada: 1. Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ibu Ir. Komariah Tampubolon, MS selaku komisi pembimbing atas segala saran, kritik, arahan dan motivasi. 2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji atas segala saran dan arahan. 3. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan. 4. Ayahku Muhammad Zainul Arifin, Ibuku Lathifah Hanim, Kakakku Gelar Pratama dan Mbabuk (nenekku tersayang) yang telah memberikan kasih sayang dan semangat yang luar biasa. 5. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan atas bimbingannya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Bogor, Januari 2010 Penulis

7 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada: 6. Yulia Kusuma Wardhani, Inka Santika, Irma Soraya, A. Galih Hardita dan Safrina Dyah H. atas kasih sayang, perhatian serta persahabatan yang indah dan tak terlupakan. 7. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si, Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA, Ibu Ir. Nurjanah, MS, Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Bapak Dr. Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol atas doa, kasih sayang dan perhatiannya. 8. Prof. Komar Sumantadinata selaku dosen penanggung jawab kolam percobaan babakan, Pak Wawan dan Pak Iwan. 9. Mokhammad Rifai yang telah memberikan semangat serta doa yang luar biasa. 10. Kakak kelasku THP 40: Mbak Wida, Mbak Dian, Aris dan Rama. 11. Kakak kelasku THP 41: Mas An im, Kak Andi, Gilang, Windy, Anang, Kak Yayan, Mbak Ika dan Dede. 12. Teman-temanku THP 42: Ary, Uut, Pur, Seno, Pus, Dewi, Ado, Anggi, Sugara, Ale, Fathu, Rodi, Rinto, Jamal, Rustam, Zen, Melda, Mirza, Ipang, Pril, Sena, Evi, Rizka, Tia, Adrian, Ika, Anne, Niken, Ita, Ifa dan Fuad. 13. Adik-adik kelasku THP 43: Deksu, Umi, Wati, Uu dan Joha. 14. Rekan-rekan kolam Babakan (BDP 41): Sahel, Dodi dan Firman. 15. Teman-teman IPB: Tejo (BDP 41), Adi dan Jijah (BDP 42), Faruq (BDP 43), Erys (MSP 42), Mbak Ting dan Ali (THH 41), Sapek (TEP 44), Mas Tio (ITK 40), Dedi dan Hafiz (STK 42 dan 43), Mega dan Januar (KIMIA 42), Nanda (ITP 42) dan Torik (TIN 42). 16. Pak Yus dan Pak Wawan yang baik hati. Mangkos, Batak, Rian, Away dan Ando yang telah bersedia membantu dalam penelitian saya. 17. Mas Abe (BDP), Mas Zaky, Bang Ipul, Pak Ade, Bang Mail, Pak Tatang dan Umi.

8 18. Keluarga besar THP, staf dosen dan Tata Usaha (TU) serta temantemanku THP 40, 41, 42, 43, dan 44 yang telah memberikan dorongan dan semangat serta persahabatan yang indah. 19. Keluarga besar Kostan Kawah Kelud, Pak Yok, Mas Aris dan keluarga, Mas Alfa, Mbak Ulfa, Mbak Ila, Mbak Ika, Mbak Ting-ting, Mas Ali, Fa i, Eto o, Dedy, Ulie, Tyas, Sapek, Yoga, Ikka, Jo, Herry dan Keluarga besar Bapak Sugandhi atas kasih sayang, nasehat dan dukungannya. 20. TIM KELULUSAN THP 42 terima kasih atas persahabatan yang sangat indah selama ini. 21. Sahabatku Oliv, Hamdi, Nuryadin, Rizal, Danniar, Eka, Iva dan Dyah. 22. Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gresik, pada tanggal 28 Januari 1987 dari pasangan Bapak Drs. Muhammad Zainul Arifin dan Ibu Lathifah Hanim sebagai anak ke dua dari dua bersaudara. Pendidikan formal dimulai di TK Bhakti I Gresik dan lulus pada tahun Pada tahun 1999, penulis lulus dari sekolah dasar di SD Muhammadyah I Gresik. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Gresik. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Manyar Gresik. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis masuk kepengurusan Himpunan Profesi HIMASILKAN periode dan periode divisi Pengembangan Sumber Daya Masyarakat (PSDM), Redaksi Majalah Peduli Pangan dan Gizi (EMULSI) IPB divisi Promosi dan Distribusi periode , dan Ketua kelulusan angkatan THP 42. Penulis juga menjadi koordinator asisten mata kuliah Penanganan Hasil Perairan periode dan serta asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan tahun Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Transportasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hidup Sistem Kering dengan Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah secara Langsung dengan dosen pembimbing yaitu Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ir. Komariah Tampubolon, MS.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Aspek Ekonomi Ikan Nila Penanganan Ikan Hidup Transportasi Ikan Hidup Imotilisasi dengan Suhu Rendah Pengemasan METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur dan Tahap Penelitian Persiapan penelitian Metode penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Penelitian Pendahuluan Penentuan jumlah es untuk pembiusan Penetuan suhu pembiusan ikan nila Penelitian Utama Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penyimpanan x

11 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 46

12 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu bertahap Respon aktivitas fisiologi lobster air tawar pada berbagai suhu Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah 8 o C secara langsung Parameter kualitas air, alat dan cara peneraannya Klasifikasi respon tingkah laku ikan selama pembiusan Data hasil pengamatan kualitas air Hubungan suhu dengan tingkah laku ikan nila yang dibius dengan suhu rendah Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah penyimpanan Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan... 39

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Penyusunan ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam kemasan Diagram alir penyimpanan ikan nila dalam serbuk gergaji dingin Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata penurunan suhu Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan Grafik persentase kelulusan hidup rata-rata ikan nila pada berbagai tingkat pembiusan... 38

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Ukuran ikan nila (Oreochromis niloticus) Pengukuran kualitas air a. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter kualitas media air b. Gambar alat-alat analisis air Penentuan jumlah es untuk pembiusan a. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:1 (1 liter air : 0,5 kg es) b. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:2 (1 liter air : 1 kg es) c. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:3 (1 liter air : 1,5 kg es) d. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:4 (1 liter air : 2 kg es) Gambar penentuan perbandingan jumlah air dengan jumlah es untuk pembiusan Penentuan suhu pembiusan ikan nila secara bertahap Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah Pembiusan ikan nila secara langsung Data waktu proses pembugaran ikan nila setelah pembugaran Data persentase kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan Data perubahan suhu media pengisi kemasan... 61

15 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk transportasi ikan hidup yang paling populer dan sederhana di Indonesia adalah cara pengangkutan ikan hidup dengan menggunakan media air (sistem basah). Tujuan kegiatan yang bersifat tradisional ini pada mulanya untuk mendukung kegiatan budi daya dalam pendistribusian benih ikan. Namun, dalam perkembangannya telah meluas untuk tujuan distribusi ikan konsumsi, misalnya ikan mas, gurame, lele, nila dan sebagainya. Sistem transportasi lainnya yaitu transportasi tanpa media air (sistem kering). Saat ini transportasi ikan hidup sistem kering semakin berkembang terutama untuk crustacea, tetapi untuk ikan masih merupakan hal yang baru dan belum berkembang di masyarakat. Teknik ini perlu dikembangkan terutama untuk tujuan ekspor karena dapat mengurangi berat dan resiko kebocoran di pesawat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam transportasi ikan hidup tanpa media air adalah jenis media pengemas, perlakuan ikan sebelum dikemas (imotilisasi atau hibernasi), suhu media selama pengangkutan dan kemungkinan penggunaan anti metabolit (zat anestesi). Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses penanganan atau pemingsanan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat meningkat. Metode pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan cara menggunakan zat anestesi atau dapat juga menggunakan penurunan suhu. Zat anestesi yang biasa digunakan untuk proses pemingsanan ikan yaitu, berupa bahan kimia seperti MS-222 (tricaine methane sulphonate), CO 2 dan quinaldine serta bahan alami seperti eksrak biji karet dan ekstrak cengkeh. Penggunaan bahan kimia seperti MS-222 cukup popular digunakan, tetapi harganya mahal. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode pemingsanan harus memperhatikan

16 aspek kesehatan. Metode pemingsanan menggunakan penurunan suhu menjadi salah satu pilihan yang aman karena tidak mengandung residu kimia di dalamnya. Proses pemingsanan menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu pemingsanan dengan penurunan suhu bertahap dan pemingsanan dengan penurunan suhu langsung. Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode pemingsanan dengan penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Teknologi transportasi ikan hidup sistem kering ini tidak dapat distandarkan untuk semua jenis ikan, karena tingkat kelulusan hidup (survival rate) ikan selama transportasi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga setiap jenis ikan memerlukan perlakuan yang spesifik. Salah satu jenis ikan yang potensial untuk dipasarkan dalam keadaan hidup adalah ikan nila. Cara yang biasa dilakukan dalam pengangkutan ikan nila hidup adalah dengan sistem basah. Cara ini untuk keperluan jarak dekat dan kurang efektif jika digunakan untuk jarak jauh, karena dibutuhkan tempat yang lebih besar sehingga menjadi berat. Transportasi ikan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan untuk distribusi ikan nila hidup dengan waktu pengangkutan yang relatif lebih lama. Beberapa penelitian transportasi sistem kering untuk ikan nila hidup sudah dilakukan yaitu, ikan nila dipingsankan menggunakan arus listrik 120 volt selama 3 menit memiliki tingkat kelulusan hidup 100 % untuk waktu kemas 1 jam dan memiliki tingkat kelulusan hidup 10 % untuk waktu kemas 4 jam (Achmadi 2005). Ikan nila yang dipingsankan menggunakan ekstrak Caulerpa racemosa 48 % memiliki tingkat kelulusan hidup 100 % selama waktu kemas 2 jam (Pramono 2002), sedangkan pemingsanan menggunakan gas CO 2 15 mmhg memiliki tingkat kelulusan hidup 66,67 % selama waktu kemas 2 jam (Hidayah 1998). Rendahnya tingkat kelulusan hidup ikan nila dalam waktu kemas yang tidak lama menunjukkan bahwa masih perlu dicoba metode pembiusan lainnya agar ikan tetap hidup dalam waktu yang relatif lebih lama. Pada penelitian

17 ini akan dilakukan pembiusan menggunakan suhu rendah secara langsung pada sistem transportasi ikan nila (Oreochromis niloticus) hidup tanpa media air. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pembiusan secara langsung terhadap tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam transportasi tanpa media air (sistem kering).

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan nila banyak dibudidayakan, terutama Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di Indonesia, ikan ini sudah tersebar hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air (Amri dan Khairuman 2003). Ikan nila termasuk famili Cichlidae yang mempunyai sifat menyimpan telur dan larvanya di dalam mulut. Secara umum klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1980), diacu dalam Suyanto (2003) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009) Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang agak panjang dengan warna tubuh hitam agak keputihan, memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada,

19 sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Pada sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip punggung memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah, sedangkan sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah. Sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah (Suyanto 2003). Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini telah tersebar ke negaranegara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Syamsudin 2001). Ikan nila dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu o C. Ikan nila dapat hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran ph 5-11 (Arie 2000). Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal 5 mg/l, kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih rendah 0,1 mg/l) dan tingkat alkalinitas air berkisar mg/l (BPPAT DKP 2001). 2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang sangat populer karena ikan ini berasal dari luar Indonesia yang hampir mirip dengan ikan mujair. Usaha budi daya ikan nila dilakukan di kolam-kolam (tergenang atau mengalir), sawah dan karamba jaring apung. Usaha pembudidayaan ikan nila kini tidak hanya sebagai usaha sampingan, melainkan sudah pada tahap budi daya secara intensif. Pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan adanya penemuan-penemuan genetika yang baru seperti nila merah, nila gift dan nila TA (Pearson 2009). Ikan nila merah dikenal juga sebagai nila nifi atau nirah. Semula ada yang menduga nila merah adalah nila biasa yang mengalami penyimpangan genetika warna tubuh sehingga menjadi albino, tetapi dugaan itu ternyata keliru. Nila merah adalah varietas tersendiri. Dalam perkembangannya, nila merah disebut juga dengan nila hibrida. Penamaan ini untuk membedakan dengan nila lokal

20 dalam hal pertumbuhan karena nila merah mempunyai laju pertumbuhan yang cepat (Amri dan Khairuman 2003). Nila gift merupakan hasil persilangan beberapa varietas ikan nila. Nila gift memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan lebar dibandingkan dengan nila lokal. Tanda lainnya yang membedakan nila gift dengan nila lokal adalah warna tubuh. Warna tubuh nila gift hitam agak putih. Bagian bawah tutup insangnya berwarna putih. Nila TA tergolong baru sehingga belum banyak dikenal secara luas oleh masyarakat. Bentuk tubuhnya sangat mirip dengan nila gift. Namun, jumlah garis-garis vertikal di tubuh nila TA lebih sedikit dibandingkan nila gift (Amri dan Khairuman 2003). Hal lain yang menyebabkan ikan nila sangat diminati oleh petani ikan adalah rendahnya biaya produksi, sehingga petani dengan modal kecil dapat mengusahakan kegiatan budi daya ikan nila ini. Kebutuhan pasar ikan nila ukuran konsumsi tidak hanya di pasar lokal, tetapi ikan ini mampu menembus pasar ekspor Singapura, Jepang, Hong Kong, Arab Saudi, Amerika dan negara-negara Eropa dalam bentuk fillet. Pada pasar lokal, minat konsumsi ikan masyarakat Indonesia terhadap ikan nila menempati posisi kedua setelah ikan mas. Hal ini disebabkan harga ikan nila cukup bersaing dengan harga ikan mas. Ikan untuk konsumsi lokal pada umumnya memiliki ukuran gram/ekor atau ukuran 5 4 ekor/kg, sedangkan untuk pangsa pasar ekspor dibutuhkan ikan nila dengan ukuran minimal 500 gram/ekor. Hal ini dikarenakan ekspor ikan nila dalam bentuk fillet, sehingga untuk mendapatkan daging yang banyak dibutuhkan ukuran ikan yang lebih besar pula (Pearson 2009). Penanganan pasca panen ikan nila dapat dilakukan dengan cara penanganan ikan hidup maupun ikan segar (Syamsudin 2001). 1) Penanganan ikan hidup Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam keadaan hidup. Hal yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke konsumen dalam keadaan hidup, segar dan sehat antara lain: a. Dalam pengangkutan menggunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 o C. b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari. c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.

21 2) Penanganan ikan segar Ikan segar merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan kesegaran antara lain: a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka. b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dari lendir. c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Pengangkutan jarak dekat (2 jam perjalanan), dapat menggunakan keranjang yang dilapisi dengan daun pisang atau plastik. Pengangkutan jarak jauh menggunakan kotak dan seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg dengan tinggi kotak maksimum 50 cm. d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 o C. Gunakan es berupa potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan jumlah es dan ikan (1:1). Dasar kotak dilapisi es setebal 4-5 cm. Ikan disusun di atas lapisan es setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es lagi dan seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga antara ikan dengan penutup kotak. 2.3 Penanganan Ikan Hidup Prinsip dari penanganan ikan hidup adalah mempertahankan kelangsungan hidup ikan semaksimal mungkin sampai ikan tersebut diterima oleh konsumen. Terdapat beberapa tahap penanganan untuk mencapai maksud tersebut yaitu penanganan ikan sebelum diangkut, selama pengangkutan dan setelah pengangkutan (Junianto 2003). Menurut Arie (2000), terdapat beberapa kegiatan penanganan ikan hidup setelah dilakukan pemanenan, yaitu: penyeleksian, penimbangan, pemberokan dan pengangkutan. a. Penyeleksian, dilakukan karena dalam satu periode pemanenan biasanya ukuran ikan sangat beragam. Ikan perlu diseleksi dan dipisahkan menurut ukurannya. Ikan yang berukuran kecil sebaiknya dipelihara kembali dalam kolam pembesaran. b. Penimbangan, ikan yang telah diseleksi ditimbang untuk mengetahui bobot ikan dari satu periode pemeliharaan, maka dari bobot tersebut dapat diketahui pendapatan dan keuntungan yang diperoleh.

22 c. Pemberokan, dapat diartikan sebagai kegiatan penyimpanan sementara sebelum ikan dipasarkan dengan tujuan untuk membuang kotoran dalam tubuh ikan. Pemberokan dapat dilakukan dalam bak, selama pemberokan ikan tidak diberi pakan. Pemberokan dilakukan selama 24 jam untuk perjalanan yang lebih dari 12 jam (Mangunkusumo 2009). Pemberokan dilakukan 1-2 hari untuk ikan ukuran konsumsi (Junianto 2003). d. Pengangkutan, untuk ikan konsumsi dapat diangkut dengan berbagai cara, tergantung tujuan pasar lokal, luar daerah ataupun ekspor. Angkutan lokal biasanya menggunakan sistem basah, sedangkan untuk luar daerah yang jauh dan ekspor dilakukan dengan sistem kering. 2.4 Transportasi Ikan Hidup Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan ikan dalam suatu lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak (Hidayah 1998). Ada dua sistem transportasi yang digunakan untuk hasil perikanan hidup di lapangan. Sistem transportasi tersebut terdiri dari transportasi sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003). Menurut Jailani (2000), pada transportasi sistem basah, ikan diangkut di dalam wadah tertutup atau terbuka yang berisi air laut atau air tawar tergantung jenis dan asal ikan. Pada pengangkutan dengan wadah tertutup, ikan diangkut di dalam wadah tertutup dan suplai oksigen diberikan secara terbatas yang telah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama pengangkutan. Pada pengangkutan dalam wadah terbuka, ikan diangkut dengan wadah terbuka dengan suplai oksigen secara terus menerus dan aerasi selama perjalanan. Transportasi basah biasanya digunakan untuk transportasi hasil perikanan hidup selama penangkapan di tambak, kolam dan pelabuhan ke tempat pengumpul atau dari satu pengumpul ke pengumpul lainnya. Menurut Achmadi (2005), transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Pada transportasi ikan hidup tanpa media air, ikan dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Transportasi sistem kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan

23 dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air (Suryaningrum et al. 2007). Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses penenangan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat ditingkatkan lagi. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006). Syarat utama dalam pengangkutan ikan hidup adalah kesehatan ikan. Ikan harus dalam keadaan sehat, tidak berpenyakit dan dalam kondisi prima. Ikan yang sehat dan bugar biasanya sangat gesit, aktif, responsif sesuai dengan karakter masing-masing ikan (Nitibaskara et al. 2006). Menurut Achmadi (2005), ikan dalam keadaan hidup normal memiliki ciri-ciri reaktif terhadap rangsangan luar, keseimbangan dan kontraksi otot normal. Ikan yang kurang sehat atau lemah mempunyai daya tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama pemingsanan dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008). Menurut Achmadi (2005), ikan hidup yang akan dikirim dipersyaratkan dalam keadaan sehat dan tidak cacat. Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan mortalitas yang tinggi, sedangkan adanya cacat seperti cacat sirip, mata, kulit rusak dan sebagainya dapat menurunkan harga. Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan hidup yang tinggi. Sedangkan menurut Praseno (1990), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan.

24 2.5 Imotilisasi dengan Suhu Rendah Imotilisasi berprinsip pada hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2004). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan suhu rendah (Ikasari et al. 2008). Suhu air yang rendah dapat menurunkan aktifitas dan tingkat konsumsi oksigen ikan (Coyle et al. 2004). Pada imotilisasi ikan dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kondisi ikan dengan aktivitas ikan seminimal mungkin akan tetapi masih dapat hidup dengan sehat setelah mengalami pembugaran kembali (Wibowo 1993). Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif, ekonomis dan aman dalam mempersiapkan transportasi lobster air tawar (Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik pada air bak pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah satu kunci dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dengan waktu yang lama dan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Imotilisasi dimaksudkan agar ikan berada dalam aktivitas metabolisme dan respirasi yang rendah sehingga ketahanan hidup di luar habitat hidupnya tinggi (Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Imotilisasi menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu imotilisasi dengan penurunan suhu bertahap dan imotilisasi dengan penurunan suhu langsung. Penurunan suhu sampai batas tertentu akan menurunkan tingkat metabolisme dan akhirnya akan menyebabkan ikan pingsan. Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti (Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005). Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap, yaitu ikan dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan

25 menurunkan suhu air secara bertahap sampai suhu tertentu (Nitibaskara et al. 2006). Pada suhu tertentu yang dikehendaki, ikan dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya sampai mencapai titik imotil yang diperlukan (Nitibaskara et al. 2006). Selain itu, pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk transportasi. Metode ini secara praktis agak merepotkan, terutama jika udang atau lobster yang akan dikemas banyak (Suryaningrum et al. 2004). Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu secara bertahap hingga mencapai suhu pembiusan terbaik 15 o C disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu bertahap Waktu Suhu Kondisi dan aktivitas udang (menit) ( o C) 0 26,0 Udang normal, aktif dan berdiri kokoh 10 23,5 Udang masih berdiri, sebagian mulai lamban 19 20,0 Udang mulai tenang, tidak ada pergerakan 25 18,7 Udang melemah, respon mulai berkurang 29 17,5 Sebagian tenang dan lemah 37 16,3 Respon lemah, mulai limbung, sebagian miring 43 15,7 Udang mulai panik, kaki renang masih bergerak lemah 52 15,0 Udang merebah, semakin lemah, pingsan Sumber: Gayatri (2000) Hasil penelitian Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum et al. (2007), memberikan informasi mengenai perubahan fisiologis lobster air tawar pada berbagai suhu. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan suhu imotil dan suhu media selama transportasi. Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu imotilisasi. Adapun respon fisiologis lobster air tawar terhadap penurunan suhu yang dilakukan secara bertahap disajikan pada Tabel 2.

26 Tabel 2. Respon aktivitas fisiologis lobster air tawar pada berbagai suhu No Suhu ( o C) Perubahan aktivitas 1 30,4-25,4 Lobster bergerak aktif, kaki jalan, kaki renang dan kaki capit bergerak aktif, lobster cenderung bergerombol (normal) 2 25,4-19,4 Aktivitas lobster mulai berkurang, kaki jalan, kaki renang dan kaki capit bergerak perlahan-lahan, ekor melipat ke dalam, lobster cenderung diam (tenang) 3 19,4-15,4 Lobster gelisah, bergerak tidak beraturan dengan menyentaknyentakkan tubuhnya mundur ke belakang, setelah panik lobster tenang kembali, respon terhadap rangsang lemah (panik) 4 15,4-12,9 Lobster mulai hilang keseimbangan, gerakan lobster lemah, respon terhadap rangsangan lemah, ketika posisi tubuh dibalik tidak dapat tegak kembali 5 12,9-10,4 Lobster hilang keseimbangan, posisi tubuh rebah atau terbalik, kaki jalan dan kaki renang diam 6 10,4-9,8 Keseimbangan lobster tidak ada, posisi tubuh terbalik, kaki jalan, kaki renang dan capit kaku tidak bergerak, ekor melipat kea rah abdomen, respon terhadap rangsangan tidak ada (pingsan) Sumber: Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum et al. (2007) Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku tersebut disebabkan adanya perubahan suhu. Menurut Phillips et al. (1980), diacu dalam Suryaningrum et al. (1997), laju konsumsi oksigen hewan air akan menurun dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologis dan lobster menjadi lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997). Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung, yaitu dilakukan dengan cara memasukkan ikan hidup dalam media air dingin pada suhu tertentu selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Waktu dan suhu imotilisasi dipengaruhi oleh ukuran, umur dan jenis ikan. Melalui imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung ini ikan akan mengalami shock dan langsung berada dalam tingkat aktivitas, respirasi dan metabolisme yang rendah. Selain itu, pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Nitibaskara et al. 2006). Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah 8 o C secara langsung disajikan pada Tabel 3.

27 Tabel 3. Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah 8 o C secara langsung Waktu (menit) Suhu ( o C) Kondisi dan aktivitas lobster 0 8 Aktivitas normal 5 8 Ikan kelihatan panik, bergerak tidak beraturan 10 8 Ikan shock ditandai dengan gerakan tak terkendali, kemudian ikan mulai oleng 15 8 Ikan rebah disertai operkulum bergerak lambat. Ikan tidak bergerak jika disentuh 20 8 Tidak ada aktivitas, operkulum bergerak lemah disertai terjadinya kekejangan otot yang mulai kaku Sumber: Jailani (2000) Beberapa komoditas hasil perikanan yang dapat ditransportasikan dalam keadaan hidup dan dikemas dalam media tanpa air (transportasi sistem kering) menggunakan metode pembiusan suhu rendah adalah ikan, lobster dan udang. Udang yang memiliki nilai jual yang tinggi di Jepang, yaitu Penaeus japonicas, karena udang tersebut ditransportasikan hidup dengan pembiusan suhu rendah dalam kemasan serbuk gergaji dingin (Shigueno 1975, diacu dalam Salin 2005). Beberapa Penaeid lainnya diantaranya adalah Penaeus esculentus (Haswell), P. monodon (Fabricus), P. semisulcatus (De Haan) dan Melicertus (Penaeus) plebejus (Hess) telah dicoba di Australia sebagai spesies alternatif untuk M. japonicus dalam pemasaran hidup ke Jepang (Goodrick, Paterson dan Grauf 1995, diacu dalam Salin 2005). Menurut Salin dan Vadhyar (2001) percobaan penyimpanan hidup P. monodon tanpa media air dengan suhu pembiusan 14 ± 1 o C dalam serbuk gergaji dingin telah sukses. Teknologi pengangkutan hidup yang sama tersebut juga telah dicobakan pada udang air tawar. Udang air tawar hidup biasanya masih menggunakan media pengangkutan air yang kurang aman, beresiko tinggi dan kurang efisien. Transportasi dengan sistem kering dapat menjadi pilihan tepat, apabila kondisi optimalnya diketahui dan merupakan cara yang efisien dan aman meskipun beresiko tinggi. Ikan mas dapat dipingsankan dengan suhu rendah secara bertahap selama 30 menit dan secara langsung selama 10 menit pada suhu 6-7 o C dengan tingkat kelulusan hidup sebesar 40% setelah 7 jam penyimpanan. Ikan kakap dapat dipingsankan dengan suhu rendah pada suhu o C (Nitibaskara et al. 2006).

28 Ikan mas yang dipingsankan dengan suhu rendah secara langsung pada suhu 8 o C dan dikemas dalam styrofoam berukuran 30x30x40 cm 3 dengan kepadatan 5 ekor ikan selama 5 jam memiliki tingkat kelulusan hidup 40 % (Jailani 2000). Udang yang dipingsankan pada suhu 18 o C secara langsung selama 15 menit memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 40 % setelah dikemas selama 22 jam (Nitibaskara et al. 2006). Udang windu tambak yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu o C dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya sebesar 93,75 % di dalam media serbuk gergaji dingin dalam uji transportasi selama 16 jam (Setiabudi et al. 1995). Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu o C selama 20 menit dapat bertahan hidup selama 20 jam dengan kelulusan hidup 100 % (Suryaningrum at al. 1994). Lama pembiusan yang terjadi pada proses pembiusan berbeda-beda. Hal ini disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan. Menurut Karnila dan Edison (2001), fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). Pada fase panik, respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Tingkat respirasi yang cukup rendah menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring (Suryaningrum et al. 2008). Pada kondisi shock, ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat mengalami kematian karena ikan yang stres akan mengalami peningkatan asam laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu dalam Utomo 2001). Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor penyebab stress pada ikan (Lerner 2004). Parameter penting dalam pembiusan pada suhu rendah yang cukup berpeluang dalam menunjang kelulusan hidup ikan adalah metode pembiusan, waktu pembiusan dan suhu pembiusan yang digunakan (Suryaningrum et al. 1994). Imotilisasi dengan suhu rendah memiliki keuntungan

29 diantaranya ekonomis karena es mudah didapat dan aman karena tidak terdapat residu bahan kimia (Suryaningrum et al. 1997). Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Tingkat keberhasilan transportasi ikan hidup diukur dari besarnya nilai tingkat kelulusan hidupnya (survival) atau nilai kematiannya (mortalitas). Pada transportasi ikan hidup sistem kering, setelah ikan ditransportasikan kemudian ikan disadarkan kembali (proses pembugaran) dengan aerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Penggunaan aerasi bertujuan untuk membantu penambahan udara ke dalam air sehingga kadar oksigen terlarut dalam air menjadi cukup (Boyd 1982). Piper et al. (1982), diacu dalam Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di atas 5 mg/l dapat menjamin ikan tidak akan mengalami stress. Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Suhu media pembugaran disesuaikan dengan habitat ikan (Achmadi 2005). Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004). Menurut Achmadi (2005), ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit waktu pembugaran dianggap tidak lulus hidup. 2.6 Pengemasan Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi, distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran.

30 Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas udang atau lobster dalam satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang masing-masing diselingi serbuk gergaji, setelah itu kotak pengemas disegel dengan lakban. Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm 3 agar dapat dipertahankan sama dengan suhu pembiusan maka disarankan untuk menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Cara lainnya adalah meletakkan es ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam yang berukuran 40x60x40 cm 3 dapat dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat 0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm 3 dan 40x30x30 cm 3 dengan menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000; Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008). Pengangkutan ikan hidup sistem media bukan air menggunakan bahan pengisi atau media. Macam bahan pengisi yang dapat digunakan antara lain sekam padi, serutan kayu, serbuk gergaji dan rumput laut. Fungsi utama bahan pengisi dalam pengangkutan hidup media bukan air adalah untuk mencegah udang atau lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu rendah agar udang tetap pingsan atau imotil dan memberi lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster. Bahan media kemasan yang digunakan harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik imotil. Hal ini disebabkan suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan tingkat terbiusnya udang atau lobster selama pengangkutan sehingga ikut mempertahankan ketahanan hidup udang atau lobster dalam media bukan air (Junianto 2003). Menurut Suryaningrum et al. (1994), suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 o C. Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Pada proses pengemasan, kertas koran dapat digunakan sebagai pembungkus ikan. Penggunaan kertas koran

31 sebagai pembungkus ikan dapat memberikan keuntungan yaitu kondisi ikan tetap bersih setelah ikan dibongkar dan mencegah serbuk gergaji masuk ke dalam insang (Nitibaskara at al. 2006). Bahan pengisi yang paling efektif dan efisien dalam pengangkutan organisme hidup adalah serbuk gergaji karena teksturnya baik dan seragam. Serbuk gergaji yang akan digunakan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran atau terpenten (bau) yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003). Secara umum ketebalan serbuk gergaji yang digunakan berkisar antara 0,5 cm sampai 10 cm. Menurut Junianto (2003), pada dasar wadah diisi bahan pengisi yang disebar merata membentuk lapisan tipis dengan tebal 0,5-1 cm. Menurut Nitibaskara et al. (2006), lapisan dasar wadah ditaburkan serbuk gergaji dengan tebal cm. Menurut Suryaningrum et al. (2004), di atas koran ditaburi serbuk gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak langsung antara ikan dan es dapat dihindari. Menurut Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994), penggunaan serbuk gergaji sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan karung goni. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan didinginkan dalam freezer, setelah bahan pengisi disiapkan maka perlu disiapkan es batu untuk membantu menjaga suhu kemasan tetap rendah. Pada lapisan dasar kotak pengemas disebarkan serbuk gergaji kira-kira 0,5 cm, kemudian di atasnya ditempatkan lapisan jerami.

32 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai Mei Penelitian dilakukan di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, penggaris, aerator, akuarium untuk pembiusan berukuran 76x52x41 cm 3, akuarium berukuran 21x15,5x15,5 cm 3 untuk penentuan jumlah es untuk pembiusan dan ember plastik serta peralatan pengukuran kualitas air, yaitu termometer, ph-meter, DO-meter, spektrofotometer dan pengukur waktu. Bahan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) ukuran 5-6 ekor/kg atau ± 200 gram/ekor yang diperoleh dari kolam ikan di desa Situdaun, Bogor. Ukuran ikan nila yang digunakan disajikan pada Lampiran 1. Bahan pembantu yang digunakan adalah air tawar untuk aklimatisasi, media pemingsanan dan sebagai bahan pembuatan es batu (untuk pendingin dalam kemasan dan penurunan suhu media air saat pemingsanan), kertas koran untuk pembungkus es dan ikan dalam kemasan, kantong plastik ukuran 15x25 cm 2 (berkapasitas 1000 gr) sebagai wadah untuk membungkus es batu, serbuk gergaji digunakan sebagai bahan pengisi dalam kemasan, kotak styrofoam ukuran 30x30x40 cm 3 digunakan sebagai wadah pengemas, karet gelang dan lakban. 3.3 Prosedur dan Tahap Penelitian Persiapan penelitian a. Pengukuran kualitas air Kualitas air yang digunakan dalam percobaan ini perlu diketahui dengan melakukan pengukuran suhu, kadar oksigen terlarut (DO), CO 2, ph, amoniak dan alkalinitas terhadap air kolam tempat ikan hidup, air laboratorium yang belum diendapkan serta air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Tujuan

33 pengukuran kualitas air yaitu untuk memastikan bahwa kualitas air tersebut dalam kondisi yang layak untuk kelangsungan hidup ikan nila sehingga tidak mempengaruhi pada saat ikan nila dipelihara dan diadaptasikan serta diberi perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran. Alat dan cara peneraannya dalam pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 4. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter kualitas media air tersebut dicantumkan pada Lampiran 2. Tabel 4. Parameter kualitas air, alat dan cara peneraannya No Parameter Alat Cara peneraan 1 Suhu air Termometer Pembacaan skala 2 DO DO-meter Pembacaan skala 3 CO 2 Alat gelas Titrasi 4 ph ph-meter Pembacaan skala 5 Amoniak Spektrofotometer Pembacaan skala 6 Alkalinitas Alat gelas Titrasi Sumber: Handini (2008) b. Media serbuk gergaji dingin Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji. Serbuk gergaji sebelum digunakan dicuci dengan air tawar kemudian dijemur. Proses pencucian dan penjemuran ini dilakukan sebanyak tiga kali. Serbuk gergaji kering kemudian direndam dengan air tawar di dalam ember yang kemudian ditambahkan sejumlah es batu dan diaduk sampai suhu serbuk gergaji sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila. c. Ikan nila yang diuji Ikan yang dipilih dalam kondisi yang sehat dan tidak cacat, gerakannya aktif dan responsif terhadap rangsangan. Ikan yang baru dibeli dalam keadaan hidup dari kolam dipindahkan pada akuarium yang diberi aerasi untuk dilakukan adaptasi (2x24 jam) kemudian dipuasakan (24 jam). Pada saat ikan baru dipindahkan pada akuarium, ikan tidak diberi pakan terlebih dahulu, karena ikan berada dalam lingkungan yang baru sehingga perlu penyesuaian diri terhadap lingkungannya tersebut. d. Media kemasan Media kemasan yang digunakan yaitu styrofoam. Persiapan media kemasan dilakukan pada pelaksanaan percobaan. Kemasan dipersiapkan bersamaan dengan

34 berlangsungnya proses pembiusan dengan penurunan suhu rendah terhadap ikan nila. Pada saat pembiusan ikan nila telah dilakukan, pengemas sudah disiapkan sesuai dengan teknik pengemasan sistem kering. Serbuk gergaji yang sudah siap digunakan dimasukkan ke dalam styrofoam yang pada bagian dasarnya diberi butiran es batu sebanyak kurang lebih 500 gram yang dibungkus dalam kantong plastik agar serbuk gergaji tetap dingin selama penyimpanan ikan (Subasinghe 1997). Penyusunan ikan nila di dalam kemasan secara berurutan dengan melapisi bagian dasar dengan es batu sebanyak 500 gram yang dibungkus plastik yang di atasnya dilapisi kertas koran dan serbuk gergaji dengan ketebalan 3 cm kemudian ikan dibungkus dengan kertas koran diletakkan dengan posisi miring di atasnya kemudian ditaburi kembali dengan serbuk gergaji sampai tertutup semua. Penyusunan ikan dalam kemasan dapat dilihat pada Gambar 2. Serbuk gergaji Ikan nila 5 ekor dibungkus kertas koran Serbuk gergaji Kertas koran Es batu yang dibungkus plastik Gambar 2. Penyusunan ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam kemasan Metode Penelitian a. Penelitian pendahuluan 1) Penentuan jumlah es untuk pembiusan Sebanyak 4 buah akuarium yang berukuran 21x15,5x15,5 cm 3 diisi dengan 1 liter air dan dilengkapi dengan aerasi. Aerasi bertujuan untuk mempercepat penyebaran suhu pengesan di dalam akuarium (Salin 2005). Masing-masing akuarium diberi es yang dibungkus dengan plastik sebanyak 0,5 kg, 1 kg, 1,5 kg dan 2 kg. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan penurunan suhu media air dan kemampuan es menurunkan suhu media air yang akan digunakan untuk pembiusan ikan nila pada perbandingan volume media air pembius dan jumlah es tertentu tanpa ikan nila. Penurunan suhu media air yang mencapai kisaran suhu

35 terendah untuk pembiusan ikan nila akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya. 2) Penentuan suhu pembiusan ikan nila Akuarium yang digunakan pada penentuan suhu pembiusan ikan nila memiliki ukuran 76x52x41 cm 3. Perbandingan jumlah es sebanyak 2 kg dengan volume air sebanyak 1 liter berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka diperlukan 40 kg es dengan 20 liter air dan ditambahkan 5 ekor ikan dilengkapi dengan aerasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila. Pada proses pembiusan, tingkah laku ikan diamati sampai ikan mengalami pingsan. Pada penelitian tahap ini akan diketahui suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila yang akan digunakan pada penelitian utama. Klasifikasi respon tingkah laku ikan secara umum selama pembiusan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Klasifikasi respon tingkah laku ikan selama pembiusan Fase Respon tingkah laku Normal Reaktif terhadap rangsangan luar, keseimbangan dan kontraksi otot normal Pingsan ringan Reaktivitas terhadap rangsangan luar lambat, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif Pingsan berat Reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, pergerakan operkulum lambat Roboh Gerak operkulum tidak ada atau sangat lemah, respon terhadap rangsang luar tidak ada, gerak renang tidak ada Sumber : Mc Farland (1959), diacu dalam Achmadi (2005) b. Penelitian utama 1) Pembiusan ikan nila dengan suhu rendah secara langsung Ikan nila yang akan dibius diseleksi terlebih dahulu kondisi fisik dan kesehatannya, karena akan mempengaruhi keberhasilan penerapan teknik pembiusan untuk ditransportasikan dalam keadaan hidup tanpa media air. Ikan nila dibius dengan penurunan suhu secara langsung sesuai dengan suhu pembiusan yang mencapai fase pingsan ringan, fase pingsan berat dan fase roboh pada penelitian pendahuluan. Teknik pembiusan dilakukan dengan memasukkan ikan secara langsung dalam media air yang suhunya telah ditentukan pada suhu pembiusan ikan nila. Akuarium ukuran 76x52x41 cm 3 sebanyak 3 buah untuk masing-masing perlakuan diisi air sebanyak 20 liter dengan aerasi dan diberi es sebanyak 40 kg untuk

36 mengatur suhu media air sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila kemudian ikan nila dimasukkan setelah suhu media air telah mencapai suhu pembiusan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup ikan jika dibius secara langsung dengan suhu sesuai dengan fase pingsan ikan nila. Pada tahap ini dilakukan pencatatan waktu, suhu dan pengamatan tingkah laku ikan nila selama proses pembiusan tersebut berlangsung. 2) Penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus) Kotak styrofoam kosong terlebih dahulu diberi es batu dalam kantong plastik sebanyak kurang lebih 0,5 kg yang kemudian ditutup kertas koran. Media serbuk gergaji lembab dan dingin sesuai dengan suhu pembiusan ikan nila, ditaburkan setebal 3 cm di atas kertas koran. Ikan yang telah imotil masing-masing dibungkus kertas koran dan disusun miring di atas serbuk gergaji kemudian ditaburi kembali dengan serbuk gergaji sampai tertutup semua. Tahap selanjutnya kotak ditutup rapat dan dilakban untuk menghindari pengaruh suhu lingkungan luar terhadap isi kemasan. Pada saat proses penyimpanan tersebut dilakukan pengamatan dan pengukuran beberapa parameter yang berpengaruh terhadap tingkat mortalitas ikan nila, yaitu : a. Interval lama penyimpanan Lama penyimpanan ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari 4 taraf waktu, yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Pada setiap perlakuan waktu penyimpanan terdiri dari 3 kali ulangan. b. Pengukuran suhu media pengisi Pengukuran suhu media serbuk gergaji dilakukan sebelum ikan dikemas dalam kemasan styrofoam dan sesudah dilakukan penyimpanan ikan dalam kemasan media serbuk gergaji dingin menggunakan termometer. c. Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) Perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) dilakukan setelah disimpan dengan interval waktu lama penyimpanan, kemudian dilakukan proses pembugaran dengan cara membongkar kemasan. Tahap selanjutnya ikan dibersihkan dan dilakukan proses pembugaran. Pada proses pembugaran ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang berisi air tawar disertai

37 dengan aerasi secara terus-menerus. Suhu media pembugaran disesuaikan dengan habitat ikan nila yaitu o C. Tingkat kelulusan hidup ikan dihitung berdasarkan persentase ikan yang hidup setelah penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup ikan adalah : M = Ut/Uo x 100 % Keterangan : M : Tingkat kelulusan hidup (%) Ut : Jumlah ikan yang hidup pada akhir periode (ekor) Uo : Jumlah ikan yang hidup pada awal periode (ekor)

38 Ikan nila hidup Adaptasi 2 hari Penyeleksian kesehatan ikan nila Pemuasaan 24 jam Penentuan jumlah es untuk pembiusan Penentuan suhu pembiusan ikan nila Pembiusan secara langsung (pingsan ringan 9-10 o C) Pembiusan secara langsung (pingsan berat 7-9 o C) Pembiusan secara langsung (roboh 6-7 o C) Pengemasan Penyimpanan (0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam) Pembongkaran Pembugaran Pengamatan dan perhitungan Gambar 3. Diagram alir penyimpanan ikan nila dalam serbuk gergaji dingin

39 3.4 Analisis Data Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan yang dilakukan. Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis secara deskriptif menggunakan tabel dan grafik.

40 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan ikan nila yaitu ph air, temperatur, oksigen terlarut, karbondioksida, amoniak dan alkalinitas (BPPAT DKP 2001). Parameter kualitas air yang diamati meliputi ph air, suhu, DO, CO 2, NH 3 dan alkalinitas. Pengamatan kualitas air meliputi kualitas air kolam asal ikan, kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan kualitas air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Hasil pengamatan kualitas air disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Data hasil pengamatan kualitas air Parameter kualitas air Sumber air A B C Standar ph Suhu ( o C) DO (mg/l) Min 4 CO 2 (mg/l) Maks 5 NH 3 (mg/l) 0,1 0,1 0,1 < 0,1 Alkalinitas (mg/l) Sumber standar: BPPAT DKP (2001) *Keterangan: Air A = Air kolam asal ikan Air B = Air laboratorium yang belum diendapkan Air C = Air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari Pada Tabel 6 tampak bahwa, air kolam asal ikan nila memiliki ph 7, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 4 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 137 mg/l. Kualitas air laboratorium yang belum diendapkan memiliki ph 6, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 5 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 155 mg/l, sedangkan kualitas air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu ph 7, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 5 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 166 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air yang diuji masih berada dalam taraf yang baik untuk kelangsungan hidup ikan nila.

41 Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan dan kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama, yaitu 29 o C. Suhu tersebut baik untuk pertumbuhan ikan nila seperti yang dinyatakan Boyd (1982), bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan di daerah tropis adalah o C. Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan senyawa-senyawa di dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O 2, CO 2 dan sebagainya (Wulandari 2006, diacu dalam Irawan 2007). Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu sebesar 10 o C menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi 2003). Hal ini berbanding terbalik dengan adanya penurunan suhu yang dapat mengurangi aktifitas dan proses metabolisme ikan. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan transportasi ikan hidup sistem kering sehingga ikan dapat bertahan lebih lama di dalam lingkungan yang terbatas selama proses transportasi berlangsung. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapakan selama 2 hari memiliki ph antara 6-7 yang berarti sesuai untuk kondisi lingkungan ikan hidup. Ikan mampu beradaptasi terhadap perubahan ph lingkungan dengan baik ketika perubahan yang terjadi tidak drastis (Nitibaskara et al. 2006). Nilai ph yang ideal untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5 sampai 8,5. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan ikan adalah oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup, termasuk ikan. Oksigen yang dibutuhkan oleh ikan adalah oksigen terlarut di dalam air. Kandungan oksigen terlarut air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yaitu 4 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut cukup baik untuk kondisi lingkungan hidup ikan nila. Tanpa oksigen terlarut dalam jumlah cukup maka kehidupan ikan akan terganggu. Oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh

42 suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 1 o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 % (Brown 1987, diacu dalam Effendi 2003). Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung pada toleransi terhadap tekanan lingkungan, suhu air, ph, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti amoniak. Air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kandungan CO 2 berkisar 4-5 mg/l. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan nila, karena menurut Effendi (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, dengan tetap disertai kadar oksigen yang cukup. Kadar alkalinitas dan amoniak yang diperoleh dari pengamatan kualitas air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari berkisar mg/l dan 0,1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kadar alkalinitas dan amoniak masih layak digunakan untuk kehidupan ikan nila selama proses adaptasi dan pemuasaan ikan. Hasil pengamatan kualitas air yang telah dilakukan baik untuk air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan bahwa hasil kualitas air yang diperoleh masih memenuhi syarat kondisi lingkungan hidup bagi ikan nila. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak mempengaruhi kondisi kesehatan dan proses pemeliharaan, pengadaptasian ikan nila serta pada saat diberi perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran. 4.2 Penelitian Pendahuluan Penentuan jumlah es untuk pembiusan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan waktu penurunan suhu dan kemampuan es menurunkan suhu media air yang akan digunakan untuk pembiusan ikan nila, pada perbandingan volume media air pembius dan jumlah es tertentu tanpa ikan nila serta untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila. Hasil penelitian pendahuluan tersebut akan digunakan dalam penelitian utama.

43 Teknologi transportasi ikan hidup yang berkembang saat ini adalah transportasi sistem kering. Transportasi sistem kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air (Suryaningrum et al. 2007). Teknik pembiusan atau imotilisasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan suhu rendah. Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif, ekonomis dan aman (Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik pada air bak pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah satu kunci dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dalam waktu yang lama dengan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Jumlah es yang digunakan dalam teknik pembiusan ikan akan berpengaruh terhadap penurunan suhu. Penentuan jumlah es untuk pembiusan ditentukan dengan cara melakukan percobaan perbandingan volume air pembius sebanyak 1 liter dengan jumlah es tertentu. Penyebaran suhu pengesan di dalam akuarium dibantu dengan adanya aerasi. Hasil percobaan tersebut disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 3. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa perbandingan 1 liter air dengan 0,5 kg es (2:1) dan 1 liter air dengan 1 kg es (2:2) hanya dapat mencapai suhu terendah 6 o C pada menit ke-67 dan menit ke-39. Perbandingan 1 liter air dengan 1,5 kg es (2:3) dan 1 liter air dengan 2 kg es (2:4) dapat mencapai suhu terendah yaitu 3 o C pada menit ke-33 dan menit ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan suhu media air yang dapat digunakan untuk suhu pembiusan ikan nila adalah perbandingan volume air dan jumlah es sebanyak 2:3 dan 2:4. Jumlah es sebanyak 1,5 kg dan 2 kg mampu menurunkan media air sebanyak 1 liter sampai suhu 3 o C dibandingkan dengan rasio jumlah es sebanyak 0,5 kg dan 1 kg. Pada penelitian selanjutnya perbandingan air dan es 2:4 akan digunakan untuk penentuan suhu pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut juga digunakan untuk pembiusan ikan

44 nila dengan suhu rendah secara langsung. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan waktu selama percobaan. Perbandingan air dan es 2:1 dan 2:2 tidak dapat menyebabkan suhu air mendekati suhu pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut hanya mampu mencapai suhu terendah 6 o C lalu suhunya meningkat lagi karena es sudah mencair. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah es yang semakin banyak di dalam suatu media air dengan volume tertentu akan dapat menurunkan suhu lebih cepat dan mampu mencapai suhu yang paling rendah. Suhu ( o C) Gambar 4. Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata penurunan suhu Penentuan suhu pembiusan ikan nila Pada percobaan sebelumnya diperoleh hasil terbaik penentuan jumlah es untuk pembiusan ikan nila yaitu perbandingan air dan es 2:4 yang memiliki kemampuan untuk menurunkan suhu media pembius sampai suhu 3 o C sehingga dapat digunakan untuk mengetahui respon ikan nila terhadap berbagai tingkat suhu pembiusan Waktu (menit) 1 L air : 0,5 kg es 1 L air : 1 kg es 1 L air : 1,5 kg es 1 L air : 2 kg es Penelitian selanjutnya yaitu penentuan suhu pembiusan ikan nila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembiusan serta mengetahui fase imotil ikan nila. Pada proses pembiusan, tingkah laku ikan diamati hingga ikan pingsan. Hasil penelitian tahap ini diketahui suhu pembiusan untuk ikan nila yang akan digunakan pada penelitian utama

45 Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka diperlukan 40 kg es dengan 20 liter air agar suhu air mencapai 3 o C sehingga dapat digunakan untuk membius 5 ekor ikan. Penambahan 5 ekor ikan bertujuan untuk mempermudah pengamatan. Hasil penentuan suhu pembiusan ikan nila disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 5. Tabel 7 menunjukkan bahwa ikan nila mengalami beberapa fase imotil yaitu fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan nila mengalami fase pingsan ringan pada kisaran suhu 9-10 o C, fase pingsan berat pada kisaran suhu 7-9 o C dan roboh pada kisaran suhu 6-7 o C. Fase pingsan ringan ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap rangsangan luar rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif. Fase pingsan berat ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan pergerakan operkulum lambat, sedangkan pada fase roboh ikan nila ditandai dengan kondisi pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah, gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsangan dari luar tidak ada. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan nila merupakan ikan yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan. Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku tersebut disebabkan adanya perubahan suhu. Terganggunya keseimbangan ikan nila tersebut diduga disebabkan karena kurangnya oksigen dalam darah. Menurut Phillips et al. (1980), diacu dalam Suryaningrum et al. (1997) laju konsumsi oksigen hewan air akan menurun dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan bekurangnya aktivitas fisiologis dan lobster menjadi lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997). Kekurangan oksigen lebih lanjut akan menyebabkan terganggunya sistem keseimbangan tubuh sehingga ikan menjadi pingsan dan roboh.

46 Tabel 7. Hubungan suhu dengan tingkah laku ikan nila yang dibius dengan suhu rendah Suhu ( o C) Lama waktu pencapaian suhu (menit) 26 0 Kondisi Normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap rangsangan luar tinggi dan gerak renang aktif) 22 1 Normal 13 4 Panik (gerak tidak beraturan, respon terhadap rangsangan luar sangat cepat) 10 6 Pingsan ringan (reaktivitas terhadap rangsangan luar rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif) 9 8 Pingsan ringan 8 9 Pingsan berat (reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan pergerakan operkulum lambat) 7 11 Pingsan berat 6 13 Roboh (pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah, gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsang luar tidak ada) Pada penelitian selanjutnya, ikan nila yang telah dibius secara langsung akan mengalami 3 macam kondisi yaitu pingsan ringan dengan kisaran suhu pembiusan 9-10 o C, pingsan berat dengan kisaran suhu pembiusan 7-9 o C dan fase roboh dengan kisaran suhu pembiusan 6-7 o C. Kemudian ikan tersebut masing-masing dikemas di dalam kotak styrofoam dengan 4 taraf waktu penyimpanan yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam. 4.3 Penelitian Utama Penelitian utama yang dilakukan meliputi pengamatan perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung dengan suhu rendah dan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan. Suhu pembiusan yang digunakan pada penelitian utama ini merupakan hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah Ikan nila yang digunakan pada penelitian ini dipilih yang kondisinya sehat dan tidak cacat. Ikan hidup yang akan ditransportasi dipersyaratkan dalam kondisi yang sehat dan tidak cacat. Ikan yang kurang sehat atau lemah mempunyai daya

47 tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama pemingsanan dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008). Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu dilakukan untuk mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi. Pada proses pembiusan ini dilakukan juga pengamatan terhadap perilaku ikan nila selama memasuki fase-fase imotil. Hasil pengamatan perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 6. Tabel 8 menunjukkan bahwa ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu antara 9-10 o C dapat menyebabkan ikan mengalami fase pingsan ringan pada menit ke-20. Perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu 9-10 o C pada menit ke-0 menunjukkan kondisi dan aktivitas Tabel 8. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C Waktu Kondisi (menit) A B C 0 Normal Panik Panik 5 Panik Pingsan ringan Pingsan berat 10 Respon terhadap Ikan berada di dasar rangsangan luar cepat akuarium Roboh 15 Operkulum dan sirip mulai melemah Pingsan berat 20 Pingsan ringan Keterangan : A = Pingsan ringan (9-10 o C) B = Pingsan berat (7-9 o C) C = Roboh (6-7 o C) yang masih normal. Pada menit ke-5 kondisi ikan mulai panik dan gerak mulai tidak beraturan. Menit ke-10 kondisi ikan ditandai dengan gerak renang aktif dan respon terhadap rangsangan luar cepat. Pada menit ke-15 operkulum dan sirip ikan mulai melemah, sedangkan pada menit ke-20 ikan sudah mengalami fase pingsan ringan yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak renang masih aktif. Hal ini menunjukkan ikan nila merupakan ikan yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Pembiusan ikan nila secara langsung menggunakan suhu rendah 7-9 o C menyebabkan ikan nila mengalami fase pingsan berat pada menit ke-15. Pada menit ke-0 kondisi ikan nila mulai panik dan bergerak tidak beraturan.

48 Selanjutnya pada menit ke-5 gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah dan gerak renang aktif (pingsan ringan). Pada menit ke-10 ikan berada di dasar akuarium, sedangkan pada menit ke-15 ikan memasuki fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 7-9 o C merupakan suhu ekstrim bagi ikan nila karena pada saat ikan nila dibius menunjukkan respon ikan mulai panik dan bergerak tidak beraturan pada menit ke-0 dan ikan sudah mengalami fase pingsan ringan pada menit ke-5. Ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu rendah 6-7 o C dapat menyebabkan ikan mengalami fase roboh pada menit ke-10. Ikan nila pada menit ke-0 kondisinya panik dan bergerak tidak beraturan. Pada menit ke-5 ikan mengalami fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah. Pada menit ke-10 ikan nila roboh yang ditandai dengan gerak operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada dan gerak renang tidak ada. Ikan yang dibius pada suhu pembiusan 9-10 o C mengalami fase panik pada menit ke-5 sedangkan ikan yang dibius pada suhu pembiusan 7-9 o C dan 6-7 o C mengalami fase panik pada menit ke-0. Fase panik yang terjadi pada masingmasing perlakuan pembiusan dipengaruhi oleh suhu pembiusan yang digunakan (Lampiran 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Karnila dan Edison (2001), bahwa fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Lama pembiusan yang terjadi pada masing-masing fase pembiusan berkisar menit. Hal ini disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan berbeda-beda. Pada fase panik, respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Menurut Suryaningrum et al. (2008), tingkat respirasi yang cukup rendah menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring. Ikan nila yang mengalami proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah sesuai dengan fase imotilnya diharapkan memiliki ketahanan hidup

49 yang tinggi selama berada di luar lingkungan hidupnya. Ikan nila yang mengalami fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat respirasi dan metabolisme yang rendah Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penyimpanan Proses penyimpanan ikan nila dalam kemasan styrofoam dilakukan setelah ikan mengalami pembiusan pada berbagai fase imotil (fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pembiusan menggunakan suhu rendah secara langsung, yaitu dilakukan dengan memasukkan ikan dalam media air yang suhunya diatur pada suhu pembiusan ikan nila (fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti (Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005). Ikan yang telah dibius dikemas di dalam kotak styrofoam. Pada bagian bawah kotak styrofoam diletakkan bongkahan-bongkahan es kecil yang dibungkus plastik seberat ± 0,5 kg kemudian dilapisi dengan kertas koran. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan suhu kemasan sama seperti suhu pembiusan ikan nila. Media pengisi kemasan yang sudah didinginkan sesuai dengan suhu pembiusan diletakkan di atas kertas koran. Ikan yang telah pingsan dibungkus dengan kertas koran untuk menghindari menempelnya serbuk gergaji dan mempermudah proses pembugaran, kemudian dilapisi kembali dengan serbuk gergaji dan kemasan ditutup dengan penutup kemasan lalu direkatkan. Kemasan dibongkar setelah ikan disimpan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam kemudian ikan disadarkan (proses pembugaran) di dalam akuarium yang diaerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Ikan yang dibugarkan secara umum memiliki aktivitas yang sama, yaitu diawali dengan adanya gerakan operkulum yang sangat lambat kemudian sedikit demi sedikit normal. Kondisi ini dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh yang lain seperti gerakan sirip, kemudian ikan berangsur-angsur dapat berenang normal meskipun masih dalam kondisi lemah. Hasil pengamatan pada saat proses pembugaran disajikan pada Gambar 5 dan Lampiran 8.

50 Proses pembugaran ikan membutuhkan waktu menit. Durasi waktu selama 30 menit tersebut bertujuan untuk menekankan bahwa ikan benar-benar tidak dapat hidup kembali setelah proses penyimpanan. Menurut Achmadi (2005) menyatakan bahwa selama proses pembugaran maka ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit dianggap tidak lulus hidup. Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004). Waktu proses pembugaran (menit) jam 3 jam 6 jam 9 jam Waktu penyimpanan Pingsan ringan Pingsan berat Roboh Gambar 5. Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan Hasil pengamatan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam diperoleh hasil bahwa selama penyimpanan 0 jam ikan nila hidup semua (5 ekor) yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan-ikan tersebut setelah proses pembugaran selama 15 menit masih dapat bertahan hidup 100 % selama 2 jam. Persentase rata-rata tingkat kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 9.

51 Tabel 9. Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah penyimpanan Fase pembiusan Jumlah ikan nila yang hidup (%) 0 jam 3 jam 6 jam 9 jam Pingsan ringan Pingsan berat Roboh Ikan nila yang dibius pada suhu rendah mencapai fase pingsan ringan, pingsan berat dan fase roboh dalam kemasan kotak styrofoam hanya dapat bertahan hidup selama 6 jam dengan tingkat kelulusan hidup 40 % yaitu ikan nila yang dikemas pada saat pingsan ringan (9-10 o C) (Gambar 6). Hal ini diduga karena ikan tersebut selama proses pembiusan masih dapat menyesuaikan diri dengan suhu pembiusan. Kondisi ini ditandai adanya aktivitas ikan yang masih normal pada saat menit ke-0 dan pada menit ke-5 ikan sudah mulai panik. Penyimpanan selama 3 jam pada saat ikan pingsan ringan memiliki persentase tingkat kelulusan hidup 67 % sedangkan penyimpanan selama 6 jam akan mengakibatkan ikan yang hidup hanya 40 % dan setelah proses pembugaran selama 22 menit dan 30 menit masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Waktu penyimpanan sangat mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan. Ikan yang dikemas selama 6 jam jumlah kelulusan hidupnya lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang dikemas selama 3 jam. Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada perlakuan lama penyimpanan selama 6 jam diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali ketika masih berada di dalam kemasan. Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan kematian beberapa ikan yang dikemas pada kondisi pingsan ringan. Hal ini diduga karena cadangan oksigen yang terdapat pada katup insang dan media pengisi kemasan tidak mencukupi kebutuhan oksigen ikan.

52 Persentase kelulusan hidup ratarata ikan nila (%) Gambar 6. Grafik persentase rata-rata kelulusan hidup ikan nila pada berbagai tingkat pembiusan Ikan yang dikemas pada saat pingsan berat hanya mampu bertahan hidup selama 3 jam dengan tingkat kelulusan hidup 33 % setelah proses pembugaran selama 14 menit dan masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Ikan yang dikemas pada saat kondisi roboh tidak ada yang mampu bertahan hidup selama proses penyimpanan 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini maka durasi penyimpanan tidak diperpanjang sampai 12 jam, karena pada penyimpanan selama 9 jam ikan yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat kelulusan hidup 0 % (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena ikan mengalami shock pada saat proses pembiusan. Ikan pada kondisi pingsan berat dibius pada suhu 7-9 o C dan ikan pada kondisi roboh dibius pada suhu 6-7 o C dimana ikan langsung mengalami perubahan suhu lingkungan yang sangat berbeda dengan suhu lingkungan hidup ikan nila (14-38 o C), hal ini karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). 0 Pada kondisi shock ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat mengalami kematian karena pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu dalam Utomo 2001) jam 3 jam 6 jam 9 jam Waktu penyimpanan Pingsan ringan Pingsan berat Roboh

53 Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam transportasi ikan hidup. Media pengisi kemasan mengalami perubahan suhu sejak dari awal hingga akhir proses penyimpanan. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 10. Waktu penyimpanan (jam) Tabel 10. Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan Pingsan ringan ( o C) Pingsan berat ( o C) Roboh ( o C) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Pada hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan dapat dilihat bahwa suhu dalam kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, suhu 9-14 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh. Peningkatan suhu media pengisi kemasan diduga akibat mencairnya es selama proses penyimpanan. Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu imotilisasi ikan nila. Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu imotilisasi. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelulusan hidup ikan yang akan ditransportasi dengan sistem kering, sehingga selama transportasi suhu harus dipertahankan sebaik mungkin. Menurut Suryaningrum et al. (1994) suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 o C. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa suhu media dan penyimpanan ikut menentukan ketahanan hidup ikan di dalam media serbuk gergaji dingin. Adanya perubahan suhu yang cukup besar mulai dari awal transportasi sampai akhir transportasi juga mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan tersebut. Tingginya suhu ini akan menyebabkan ikan sadar dan aktivitas tinggi. Makin tinggi aktivitas ikan, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan oksigen yang siap dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen

54 terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian (Karnila dan Edison 2001). Perubahan suhu yang kecil menyebabkan ikan tetap tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasinya berkurang sehingga diharapkan daya tahan hidup ikan cukup tinggi. Rendahnya metabolisme ikan maka kebutuhan energi untuk aktivitas ikan juga akan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perombakan ATP menjadi ADP dan AMP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan untuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam darah ikan tidak turun secara drastis, sehingga ikan mampu hidup lebih lama (Karnila dan Edison 2001). Pada transportasi sistem kering, tingkat kelulusan hidup ikan selain dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh tingkat kesehatan ikan yang akan ditransportasikan. Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan hidup yang tinggi. Menurut Praseno (1990), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan. Pada penelitian ini, ikan diambil dari kolam ikan kemudian ditransportasikan dan diberok di laboratorium sehingga tingkat kesehatan ikan tidak sebaik jika langsung dikemas di kolam ikan.

55 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang dibius pada suhu 9-10 o C lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila yang dibius pada suhu 7-9 o C dan 6-7 o C. Ikan nila yang dibius dengan suhu 9-10 o C secara langsung selama 20 menit dan dikemas dalam media serbuk gergaji dingin dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya selama 3 jam sebesar 67 % dan selama 6 jam sebesar 40 %. 5.2 Saran Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan cara untuk mempertahankan suhu media pengisi kemasan agar tetap rendah (sesuai dengan suhu pembiusan) dan mengamati perubahan suhu media pengisi kemasan setiap interval waktu. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai aplikasi transportasi ikan hidup yang sebenarnya agar diperoleh hasil yang optimal bagi tingkat kelulusan ikan yang dikemas.

56 DAFTAR PUSTAKA Achmadi D Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan listrik untuk transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Amri K, Khairuman Budi daya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta: Agromedia Pustaka. Andasuryani Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada peti kemas transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Arie U Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Jakarta: Penebar Swadaya. [BPPAT DKP ] Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Departemen Kelautan dan Perikanan Nila Gift (Tilapias) [01 Januari 2009]. Boyd CE Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA: Department of Fisheries and Allied Aquaqultures, Agricultural Experiment Station Auburn University, Alabama. Coyle SD, Durborow RM, Tidwell JH Anesthetics in Aquaculture. Southern Regional Aquaculture Center. Publication No Effendi H Telaah Kualitas Bagi Pengolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Gayatri D Studi pola penurunan suhu pada bak pemingsanan udang windu (Penaeus monodon Fab.) tipe batch [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Handini W Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem transportasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hidayah AM Studi Penggunaan Gas CO 2 sebagai Bahan Pembius untuk Transportasi Ikan Nila Merah ( Oreochromis sp. ). [01 Januari 2009]. Ikasari D, Syamsidi, Suryaningrum TD Kajian fisiologis lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk penanganan dan transportasi hidup sisitem kering. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3:45-53.

57 Irawan DY Pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar Cherax quadricarinatus pada sistem resirkulasi dengan kepadatan berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Jailani Mempelajari pengaruh penggunaan pelepah pisang sebagai bahan pengisi terhadap tingkat kelulusan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Junianto Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Karnila R, Edison Pengaruh suhu dan waku pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam ransportasi sistem kering. Jurnal Natur Indonesia III (2): (2001). Kuncoro EB Nila, Mujair dan Kerabat Dekatnya. [19 Jnuari 2010]. Lerner A Guidelines for the Use of Fishes in Research. Publications Manager American Fisheries Society. Mangunkusumo AS Transportasi Ikan Hidup. [01 Januari 2009] Nitibaskara R, Wibowo S, Uju Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Pearson C Bubidaya Ikan Nila Merah. [01 Januari 2009]. Pramono Penggunaan ekstrak Caulerpa racemosa sebagai bahan pembius pada pra transportasi ikan nila (Oreochromis niloticus) hidup [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ Standard methods for the examination of water and wastewater. 14 th Ed. Washington, DC: APHA, 1015 Eighteenth Street NW. Salin KR, Vadhyar-Jayasree K Effect of different chilling rates for cold anesthetization of Penaeus monodon (Fabricus) on the survival, duration and sensory quality under live storage in chilled sawdust. Aquaculture Research, Volume 32, Issue 2, P: 145.

58 Salin KR Live transportation of Macrobrachium rosenbergii (De Man) in chilled sawdust. Aquaculture Research, Volume 36, Issue 3, P: 300. Setiabudi E, Sudrajat Y, Erlina MD, Wibowo S Studi penggunaan metoda pembiusan langsung dengan suhu rendah dalam transportasi sistem kering udang windu tambak (Penaeus monodon) Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 84: Srikirishnadhas B, Kaleemur RMd Packing of live lobster the Indian experience. Infofish International (81): India. Subasinghe S Live fish-handling and transportation. Infofish International Edisi 2/97. India. Sufianto B Uji transportasi ikan mas koki (Carassius auratus Linnaeus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum TD, Setiabudi E, Muljanah I, Anggawati AM Kajian penggunaan metode pembiusan secara langsung pada suhu rendah dalam transportasi lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dalam media kering. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 79: Suryaningrum TD, Setiabudi E, Erlina MD Pengaruh penurunan suhu bertahap terhadap aktivitas dan sintasan lobster hitam (Panulirus penicullatus) selama transportasi sistem kering. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2: Suryaningrum TD, Bagus SSBU Pengaruh suhu media serbuk gergaji dingin terhadap sintasan udang windu (Penaeus monodon) dalam kemasan kering. Di dalam: Penelitian dan Diseminasi Ekologi Budi Daya Laut dan Pantai. Prosiding Seminar Nasional; Jakarta, 2 Desember Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm Suryaningrum TD, Utomo BSB, Wibowo S Teknologi Penanganan dan Transportasi Krustasea Hidup. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Suryaningrum TD, Syamsidi, Ikasari D Teknologi penanganan dan transportasi lobster air tawar. Squalen. Vol 2 No. 2. Suryaningrum TD, Ikasari D, Syamsidi Pengaruh kepadatan dan durasi dalam kondisi transportasi sistem kering terhadap kelulusan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 2: Suyanto AR Nila. Jakara: Penebar Swadaya.

59 Syamsudin U Bubidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus). [01 Januari 2009]. Utomo SP Penerapan teknik pemingsanan menggunakan bahan anestetik alga laut Caulerpa sp. dalam pengemasan ikan kerapu (Epinephelus suillus) hidup tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wibowo S Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup di Indonesia. Jakarta: Sub Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan.

60 LAMPIRAN

61 Lampiran 1. Ukuran ikan nila (Oreochromis niloticus) No UL 1 Panjang total (cm) Panjang baku (cm) Bobot (gram) UL 2 UL 3 UL 1 UL 2 UL 3 UL 1 UL 2 UL 3 Ratarata Ratarata Ratarata Keterangan: UL 1: Ulangan 1 UL 2: Ulangan 2 UL 3: Ulangan 3

62 Lampiran 2. Pengukuran kualitas air Lampiran 2a. Prosedur cara peneraan dari masing-masing parameter kualitas media air 1) Pengukuran ph dan suhu (Bates 1973, diacu dalam Rand et al. 1975) Pengukuran ph dan suhu dilakukan dalam satu alat yaitu menggunakan ph-meter. Pengukuran ph dan suhu air ini dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. 2) Pengukuran oksigen terlarut (DO) (Winkler 1888, diacu dalam Rand et al. 1975) Pengukuran DO dilakukan menggunakan DO-meter. Adapun cara kerja pengukuran DO dengan DO-meter adalah sebagai berikut: DO-meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan air dari hasil analisis metode Winkler, kemudian DO-meter nilainya dibuat nol. Contoh air sebanyak 100 ml diambil dan dimasukkan ke dalam gelas piala 125 ml serta diberi magnetik stirer, kemudian gelas piala tersebut diletakkan di atas stirer. Stik atau batang DO-meter dicelupkan ke dalam air contoh tersebut, dinyalakan stirer dan DO-meter secara bersamaan, dicatat nilai DO yang terbaca pada alat tersebut. 3) Pengukuran CO 2 (Dye 1958, diacu dalam Rand et al. 1975) Pengukuran CO 2 adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak 25 ml dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator pp ditambahkan sebanyak 2-3 tetes ke dalam masing-masing sampel tersebut, setelah itu dititrasi dengan Na 2 CO 3 0,0454 N 50 ml hingga terjadi perubahan warna menjadi pink. Volume titran yang digunakan dicatat. Perhitungan : Keterangan : A = ml Na 2 CO 3 N = Normalitas Na 2 CO 3 Ppm CO 2 = A x N x 44/2 x 1000 ml air sampel 4) Pengukuran total amoniak nitrogen (Weatherburn 1967, diacu dalam Rand et al. 1975) Pengukuran amoniak dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama

63 2 hari menggunakan spektrofotometer. Adapun pengukuran amoniak sebagai berikut: sampel air sebanyak 25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam beker gelas 100 ml. larutan standar NH 4 Cl disiapkan sebanyak 25 ml dari larutan standar amoniak. Blanko dibuat, yaitu dari 25 ml aquades. MnSO 4 sebanyak 1 tetes, chlorox 0,5 ml dan reagen fenat 0,6 ml ditambahkan ke dalam larutan standar sampai warna biru kehijauan, serta ke dalam sampel air dan blanko, kemudian ketiga larutan tersebut dibiarkan sampai 15 menit. Dengan larutan blanko pada panjang gelombang 630 nm, spektrofotometer diset pada absorbansi 0,000, kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar. Perhitungan : TAN (mg/l) = Cst x As Ast Keterangan : Cst = Konsentrasi larutan standar (0,3 ppm) AS = Nilai absorban sampel Ast = Nilai absorban standar 5) Pengukuran alkalinitas (Rand et al. 1975) Pengukuran alkalinitas dilakukan pada sampel air kolam, air laboratorium yang belum diendapkan, dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut: air sampel sebanyak 25 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Indikator BCG-MR ditambahkan sebanyak 2 tetes ke dalam sampel air hingga berubah warna menjadi biru. Sampel air tersebut lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N 50 ml hingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi bening dan volume titran yang digunakan. Perhitungan: Alkalinitas (ppm CaCO 3 ) = A x N x 100/2 x 1000 ml sampel Keterangan : A = ml HCl N = Normalitas HCl

64 Lampiran 2b. Gambar alat-alat analisis air Alat titrasi DO-meter Spektrofotometer

65 Lampiran 3. Penentuan jumlah es untuk pembiusan 3a. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:1 (1 liter air : 0,5 kg es) Suhu Menit ke- ( o C) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata

66 3b. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:2 (1 liter air : 1 kg es) Suhu Menit ke- ( o C) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata

67 3c. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:3 (1 liter air : 1,5 kg es) Suhu Menit ke- ( o C) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata

68 3d. Fluktuasi suhu air dengan perbandingan air dan es 2:4 (1 liter air : 2 kg es) Suhu Menit ke- ( o C) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata

69 Lampiran 4. Gambar penentuan perbandingan jumlah air dengan jumlah es untuk pembiusan Air:Es = 2:1 (b/b) Air:Es = 2:2 (b/b) Air:Es = 2:3 (b/b) Air:Es =2:4 (b/b)

70 Lampiran 5. Penentuan suhu pembiusan ikan nila secara bertahap

71 Lampiran 6. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah A. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C Waktu (menit) Kondisi 0 Aktivitas ikan normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap rangsangan luar tinggi dan gerak renang aktif) 5 Ikan mulai panik, gerak tidak beraturan 10 Gerak renang aktif, respon terhadap rangsangan luar cepat 15 Operkulum dan sirip mulai melemah 20 Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak renang masih aktif (pingsan ringan) B. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 7-9 o C Waktu Kondisi (menit) 0 Ikan mulai panik, gerak tidak beraturan Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak 5 renang aktif (pingsan ringan) 10 Ikan berada di dasar akuarium Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali 15 dengan tekanan kuat, gerak renang lemah (pingsan berat) C. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 6-7 o C Waktu Kondisi (menit) 0 Ikan panik, gerak tidak beraturan Gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali 5 dengan tekanan kuat, gerak renang lemah (pingsan berat) Gerak operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada, 10 gerak renang tidak ada (roboh)

72 Lampiran 7. Pembiusan ikan nila secara langsung Suhu 9-10 o C Suhu 7-9 o C Suhu 6-7 o C

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009)

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 Komariah Tampubolon 1 dan Wida Handini 2 ABSTRAK Penelitian ini mengkaji berbagai

Lebih terperinci

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR Satria Wati Pade, I Ketut Suwetja, Feny Mentang Pascasarjana Prodi Ilmu Pangan, UNSRAT, Manado lindapade@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama.

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2011 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR Oleh : Wida Handini C34103009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA TEPUNG CANGKANG KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) YULIA KUSUMA WARDHANI C

KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA TEPUNG CANGKANG KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) YULIA KUSUMA WARDHANI C KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA TEPUNG CANGKANG KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) YULIA KUSUMA WARDHANI C34051025 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Pemeliharaan Lobster Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2011 di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai "4 - a II. TINJAUAN PUSTAKA 2A. \kan Jamba\S\an\ {Pangasius hypophthalmusf) Ikan jambal slam {Pangasius hypophthalmus F) merupakan ikan ekonomis tinggi, karena dagingnya mempunyai citarasa yang khas dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) merupakan hewan avertebrata air yang memiliki pelindung tubuh berupa rangka eksoskeleton

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman P. guajava var. pomifera Sumber: Parimin (2007)

Gambar 1 Tanaman P. guajava var. pomifera Sumber: Parimin (2007) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Kimia dan Aplikasi Daun P. guajava var. pomifera Jambu biji (Psidium guajava) merupakan salah satu produk hortikultura yang termasuk komoditas internasional. Lebih dari

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA

PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR. Cecep Iman Firmansyah

PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR. Cecep Iman Firmansyah PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR Cecep Iman Firmansyah PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR I KETUT SUWETJA 1, FENY MENTANG 2, SATRIA WATI PADE 3 1) STAF DOSEN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNSRAT 2) STAF

Lebih terperinci

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR Shelf Applications in Storage Container for Freshwater Prawn (Cherax quadricarinatus)

Lebih terperinci

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp Oleh : M.Teddy.S C34101062 Skripsi PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian berjudul Pengujian Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku dan Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan,

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lobster air tawar (LAT) saat ini mulai marak dibudidayakan di Indonesia. Awalnya, komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, pembudidaya mulai

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus ) DENGAN METODE PENURUNAN SUHU BERTAHAP UNTUK TRANSPORTASI SISTEM KERING 1 Ruddy Suwandi 2, Afiat Wijaya 2, Tati Nurhayati 2 dan Roni Nugraha 2 ABSTRACT

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal.110-116, Mei-September 2014, ISSN 1411-5549 PENGARUH PEMBERIAN SUHU 8 O C TERHADAP LAMA WAKTU PINGSAN IKAN MAS (Cyprinus carpio), IKAN PATIN (Pangasius sp.), IKAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan persiapan media uji bahan pemingsan dan hewan yaitu hati batang pisang dan ikan bawal air tawar. Tahap ini juga dilakukan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR UMI LAILATUL AHDIYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING 58 UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING (Survival Test of Tiger Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) with

Lebih terperinci

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Oleh : YOLIVIA ASTRIANIEZ SEESAR F14053159 2009 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) Oleh : Dwi Sartika C34104025 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME (Osphronemous gouramy Lac.) PADA MEDIA PEMELIHARAAN BERSALINITAS 3 ppt ADHI KURNIAWAN

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM ADITYA PRIMA YUDHA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN Pangasius hypophthalmus UKURAN 1 INCI UP (3 CM) DALAM SISTEM RESIRKULASI FHEBY IRLIYANDI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG Oleh : Rizki Andriyanti C34050241 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING

PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING GUSTI ADI NIRWANSYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitlan ^ ^' ' Peiaksanaan penelitian berlangsung di Laboratorium Teknologi Budidaya Perairan Fakuttas Perikanan dan llmu Kelautan Universitas Riau. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 75, 100 DAN 125 EKOR/M2 DAN RASIO SHELTER

PENGARUH PADAT PENEBARAN 75, 100 DAN 125 EKOR/M2 DAN RASIO SHELTER PENGARUH PADAT PENEBARAN 75, 100 DAN 125 EKOR/M 2 DAN RASIO SHELTER 1 DAN 0,5 TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER AIR TAWAR, Cherax quadricarinatus Erik Sumbaga SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. Populer yang terletak di Jalan Raya Cerme Lor no. 46, Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik

Lebih terperinci

MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI

MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTERMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan Benur udang vannamei yang digunakan dalam penelitian berasal dari Balai Benih Air Payau (BBAP) Situbondo menggunakan transportasi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Metodologi penelitian sesuai dengan Supriyono, et al. (2010) yaitu tahap pendahuluan

Lebih terperinci

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 2 Februari 2015 ISSN: 2302-3600 TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata)

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI KEONG MATAH MERAH (Cerithidea obtusa)

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI KEONG MATAH MERAH (Cerithidea obtusa) UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI KEONG MATAH MERAH (Cerithidea obtusa) Oleh : Tyas Triyanto Prabowo C34104037 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS. Oleh: Nama : Fandhi Achmad Permana NIM : Kelas : 11-S1TI-11 Judul : Bisnis Budidaya Ikan Nila

KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS. Oleh: Nama : Fandhi Achmad Permana NIM : Kelas : 11-S1TI-11 Judul : Bisnis Budidaya Ikan Nila KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Oleh: Nama : Fandhi Achmad Permana NIM : 11.11.5412 Kelas : 11-S1TI-11 Judul : Bisnis Budidaya Ikan Nila STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 / 2012 BISNIS BUDIDAYA IKAN NILA

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara

Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara Standar Nasional Indonesia Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Nila 1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut: Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus

PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus DYAH KESWARA MULYANING TYAS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

Lebih terperinci

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI i PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA POTENSI : - daya adaptasi tinggi (tawar-payau-laut) - tahan terhadap perubahan lingkungan - bersifat omnivora - mampu mencerna pakan secara efisien

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah akuarium dengan dimensi 50 x 30 x 30 cm 3 untuk wadah pemeliharaan ikan, DO-meter, termometer, ph-meter, lakban, stoples bervolume 3 L,

Lebih terperinci

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC.

PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC. PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC. UKURAN 2 CM Oleh : Giri Maruto Darmawangsa C14103056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN PADA PRODUK SABUN CAIR. Oleh : Hangga Damai Putra Gandasasmita C

PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN PADA PRODUK SABUN CAIR. Oleh : Hangga Damai Putra Gandasasmita C PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN PADA PRODUK SABUN CAIR Oleh : Hangga Damai Putra Gandasasmita C34104075 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Pada tahap pendahuluan dilakukan penentuan kemampuan puasa ikan, tingkat konsumsi oksigen,

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Penanganan pascapanen sangat berperan dalam mempertahankan kualitas dan daya simpan buah-buahan. Penanganan pascapanen yang kurang hati-hati dan

Lebih terperinci

PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F

PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F14102011 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS MIKROSKOPIS DAN FITOKIMIA SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl (Marsileaceae) STEFANUS SENOADI KRISTIONO C

ANALISIS MIKROSKOPIS DAN FITOKIMIA SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl (Marsileaceae) STEFANUS SENOADI KRISTIONO C ANALISIS MIKROSKOPIS DAN FITOKIMIA SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl (Marsileaceae) STEFANUS SENOADI KRISTIONO C34051482 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M : LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS NAMA KELAS : IMADUDIN ATHIF : S1-SI-02 N.I.M : 11.12.5452 KELOMPOK : G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat

Lebih terperinci

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L. KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.) Oleh : REZKI YUNIKA F14051372 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

MODUL: PEMANENAN DAN PENGEMASAN

MODUL: PEMANENAN DAN PENGEMASAN BDI-L/1/1.3 BIDANG BUDIDAYA IKAN PROGRAM KEAHLIAN BUDIDAYA IKAN AIR LAUT PENDEDERAN KERAPU: KERAPU BEBEK MODUL: PEMANENAN DAN PENGEMASAN DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) DARI SITU GEDE,BOGOR AKIBAT PROSES PENGUKUSAN PURWATI NINGSIH C

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) DARI SITU GEDE,BOGOR AKIBAT PROSES PENGUKUSAN PURWATI NINGSIH C KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) DARI SITU GEDE,BOGOR AKIBAT PROSES PENGUKUSAN PURWATI NINGSIH C34050182 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PEMBEKUAN UDANG MENGGUNAKAN STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) STUDI KASUS : DI PT LOLA MINA JAKARTA UTARA.

PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PEMBEKUAN UDANG MENGGUNAKAN STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) STUDI KASUS : DI PT LOLA MINA JAKARTA UTARA. PENGENDALIAN MUTU PADA PROSES PEMBEKUAN UDANG MENGGUNAKAN STATISTICAL PROCESS CONTROL (SPC) STUDI KASUS : DI PT LOLA MINA JAKARTA UTARA Oleh: HERNITA SAULINA S C34052091 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit,

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014 ISSN: 2302-3600 PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi dan distribusi benih dari pusat pembenihan ke lokasi pembesaran

I. PENDAHULUAN. Transportasi dan distribusi benih dari pusat pembenihan ke lokasi pembesaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi dan distribusi benih dari pusat pembenihan ke lokasi pembesaran merupakan salah satu kegiatan dalam budidaya ikan nila merah. Permasalahan yang sering dihadapai

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C34101028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LARUTAN NUTRIEN YANG DIBAWA OLEH SERAT JAGUNG DALAM BUDIDAYA IKAN MAS Cyprinus carpio L. DI KERAMBA JARING APUNG

PEMANFAATAN LARUTAN NUTRIEN YANG DIBAWA OLEH SERAT JAGUNG DALAM BUDIDAYA IKAN MAS Cyprinus carpio L. DI KERAMBA JARING APUNG PEMANFAATAN LARUTAN NUTRIEN YANG DIBAWA OLEH SERAT JAGUNG DALAM BUDIDAYA IKAN MAS Cyprinus carpio L. DI KERAMBA JARING APUNG Oleh : Asep Permana C01400003 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

Lebih terperinci

Dadi Sukarsa 1. Abstrak

Dadi Sukarsa 1. Abstrak PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI MENGGUNAKAN EKSTRAK ALGA LAUT (Caulerpa sertularioides) DALAM TRANSPORTASI IKAN KERAPU (Epinephelus suillus) HIDUP TANPA MEDIA AIR Dadi Sukarsa 1 Abstrak Ekstrak Caulerpa sertularioides

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN PELAPIS DAN PLASTIK KEMASAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SIMPAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Oleh WATI ANGGRAENI A

PENGGUNAAN BAHAN PELAPIS DAN PLASTIK KEMASAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SIMPAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Oleh WATI ANGGRAENI A PENGGUNAAN BAHAN PELAPIS DAN PLASTIK KEMASAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SIMPAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Oleh WATI ANGGRAENI A34303004 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Benih ikan patin siam di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Benih ikan patin siam di BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011. Benih ikan patin siam di trasportasikan dari hatchery pembenihan Balai Benih Ikan Inovatif (BBII) Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS MIKROSKOPIS DAN VITAMIN SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl. (Marsileaceae) Oleh : WIDI SULISTIONO C

ANALISIS MIKROSKOPIS DAN VITAMIN SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl. (Marsileaceae) Oleh : WIDI SULISTIONO C ANALISIS MIKROSKOPIS DAN VITAMIN SEMANGGI AIR Marsilea crenata Presl. (Marsileaceae) Oleh : WIDI SULISTIONO C34051535 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS LOBSTER

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS LOBSTER KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS LOBSTER NAMA : ARIS SUPRIANTORO NIM : 10.01.2770 D3 TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAK Karya ilmiah in berjudul

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2010. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Basah bagian Lingkungan. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp.

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. YENI GUSTI HANDAYANI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa

STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU. Ria Mariana Mustafa STUDI EFEKTIVITAS BAHAN PENGAWET ALAMI DALAM PENGAWETAN TAHU Ria Mariana Mustafa PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN RIA MARIANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya alam di Indonesia cukup melimpah dan luas termasuk dalam bidang kelautan dan perikanan, namun dalam pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang optimal mengakibatkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK. drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com

BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK. drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK WADAH BENIH AIR PERLAKUAN BIOFLOK PAKAN BOBOT WADAH / KOLAM WADAH / KOLAM Syarat wadah: Tidak

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMBEROKAN UNTUK MENGHILANGKAN BAU LUMPUR PADA IKAN PATIN Pangasius sp. Oleh : Rio Wijaya Mukti C

TEKNOLOGI PEMBEROKAN UNTUK MENGHILANGKAN BAU LUMPUR PADA IKAN PATIN Pangasius sp. Oleh : Rio Wijaya Mukti C TEKNOLOGI PEMBEROKAN UNTUK MENGHILANGKAN BAU LUMPUR PADA IKAN PATIN Pangasius sp. Oleh : Rio Wijaya Mukti C01400077 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci