PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA"

Transkripsi

1 PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 RINGKASAN AURISMARDIKA NOVESA. C Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan AGOES MARDIONO JACOEB Permintaan bawal air tawar hidup di dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Penyimpanan bawal hidup tanpa media air merupakan suatu simulasi transportasi sebelum dilakukan uji transportasi. Transportasi sistem kering adalah pengangkutan ikan yang diberi perlakuan imotilisasi dengan metode tertentu kemudian dikemas dan disimpan pada media non-air. Keunggulan sistem transportasi ini yaitu meningkatkan kepadatan biota perairan yang akan diangkut sehingga menekan biaya transportasi. Faktor suhu pembiusan ini memiliki peranan penting karena dengan pemilihan suhu pembiusan yang tepat akan menjamin tingkat kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembiusan secara bertahap dan perubahan suhu dalam kemasan terhadap kelangsungan hidup bawal air tawar (Colossoma macropomum) selama transportasi hidup sistem kering. Penelitian ini melalui beberapa tahap diantaranya tahap persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi persiapan air yang akan digunakan dan persiapan media kemasan (serbuk gergaji) serta persiapan bawal air tawar yang akan diberi perlakuan. Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi pengamatan aktivitas fisiologi bawal pada berbagai suhu dan penetuan suhu pemingsanan terbaik. Perlakuan pada penelitian utama meliputi pembiusan bawal dengan penurunan suhu secara bertahap dan uji penyimpanan. Analisis data penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu faktor lama penyimpanan dengan taraf 0, 3, 6, dan 9 jam sebanyak tiga kali ulangan dan faktor perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan. Media air laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini masih dalam standar kualitas air pemeliharaan bawal. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dari ketiga suhu pingsan yang didapat, suhu pemingsanan terbaik adalah C (pingsan berat). Pada penelitian utama, tingkat kelulusan hidup bawal air tawar yang ditransportasikan selama 0, 3, 6, dan 9 jam masing-masing sebesar 100%, 73,33%, 60%, dan 40%. Perubahan suhu yang didapat pada jam ke 0, 3, 6, dan 9 sebesar 13 C, 15,67 C, 18 C, dan 18,67 C.

3 PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

4 Judul Nama NRP : Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering : Aurismardika Novesa : C Program Studi : Teknologi Hasil Perairan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Dr.Ir.Agoes M. Jacoeb,Dipl.Biol. NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP Tanggal Lulus :.

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2012 Aurismardika Novesa C

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-nya sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis 2. Dr.Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.Biol., atas segala bantuan dan bimbingannya yang diberikan pada penulis dalam penyusunan skripsi. 3. Ir. Dadi R. Sukarsa, atas segala bantuan dan bimbingannya pada penulis. 4. Ayah dan Ibu, Adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan motivasi kepada penulis. 5. Teman-teman THP 44 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Bogor, Desember 2012 Aurismardika Novesa C

7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 November Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayah bernama Ir. Aurino R.A Djamaris MM dan ibu bernama Nani Sumarni. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari SDN Percobaan Malang pada tahun 1995 hingga tahun 2001.Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 9 Bogor. Penulis lulus SMP pada tahun Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 10 Bogor pada tahun 2004 dan lulus pada tahun Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dan Derajat Kelulusan Hidupnya Dalam Transportasi Sistem Kering di bawah bimbingan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil dan Dr.Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.Biol.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii 1 PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan klasifikasi bawal air tawar Budidaya bawal air tawar Transportasi ikan hidup sistem kering Imotilisasi Pengemasan Media pengisi kemasan METODOLOGI Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode penelitian Persiapan penelitian Penelitian pendahuluan Penelitian utama Rancangan percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter air sebagai tempat hidup ikan bawal air tawar Penelitian pendahuluan Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar Penentuan suhu pembiusan terbaik Penelitian utama Kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan x

9 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 38

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Parameter kualitas air untuk budidaya bawal air tawar Pola aktivitas ikan bawal pada berbagai suhu Metode pengukuran kualitas media air Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan bawal air tawar Respon aktivitas bawal air tawar pada berbagai penurunan suhu Hasil penelitian pendahuluan penentuan suhu pembiusan terbaik... 25

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) Diagram alir prosedur kerja penentuan suhu pembiusan terbaik Diagram alir prosedur kerja uji penyimpanan Penyusunan ikan bawal dalam stirofoam Kelulusan hidup bawal air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan Perubahan suhu media keemasan selama penyimpanan Posisi thermo-hygrometer pada percobaan Perubahan selama penyimpanan dengan metode tertutup Perubahan RH serbuk gergaji selama penyimpanan dengan metode tertutup... 32

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan Perubahan suhu media keemasan selama penyimpanan Pengukuran suhu dan RH dengan thermo-hygrometer Hasil analisis ragam perubahan suhu media kemasan Hasil analisis ragam kelulusan hidup bawal air tawar Dokumentasi penelitian... 44

13 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kesejahteraan masyarakat ternyata ikut pula meningkatkan taraf pendidikan masyarakat yang pada gilirannya ikut meningkatkan kesadaran dalam hidup sehat. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap perilaku dan preferensi masyarakat tersebut. Salah satu dampak yang tampak adalah terjadinya pergeseran pada permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi ke arah komoditi yang bermutu lebih tinggi, spesifik dan resiko pada kesehatan yang lebih kecil, meskipun dengan demikian harus diganti dengan harga yang lebih tinggi. Pergeseran tersebut juga tampak pada permintaan komoditi perikanan di pasar internasional maupun domestik yang bergeser dari bentuk beku ke bentuk segar, kemudian ke bentuk hidup. Dalam bentuk hidup, jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, misalnya kerapu harganya mencapai 3-4 kali lipat dari harga ketika mati (Nitibaskara et al. 2006). Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa merupakan pasar yang potensial untuk jenis ikan hidup Salah satu komoditas perikanan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan telah dibudidayakan secara intensif adalah ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum). Kelebihan ikan bawal ini antara lain dapat mencapai ukuran yang cukup besar, memiliki daging yang gurih, tidak banyak duri, dan rasanya tidak kalah lezat dibandingkan dengan ikan bawal air laut. Prospek pemasaran ikan bawal air tawar hidup cukup cerah, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Kendala yang umum dihadapi dalam pemasaran ikan hidup terutama adalah jarak tempuh yang cukup jauh untuk mentransportasikan ikan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempertahankan agar akan tetap dalam keadaan hidup sampai di tempat tujuan. Permintaan bawal air tawar di dalam negeri cukup tinggi, terutama di kotakota besar. Pasar lokal yang mendominasi permintaan bawal air tawar terbanyak saat ini yaitu Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diperkirakan angkanya mencapai jutaan ekor per musim. Sebagai contoh, produksi bawal air tawar dari Waduk Cirata (Cianjur) dan Jatiluhur (Purwakarta) didistribusikan ke TPI Muara Baru dan Muara Angke.

14 2 Selain pasar di Jakarta, juga dikirimkan ke Pasar Turi (Surabaya), Pasar Kobong (Semarang), Lahat (Sumsel), Bandung, Lampung, Bogor dan Cirebon. Permintaan ikan bawal air tawar sudah merambah ke mancanegara, diantaranya diekspor ke Johor Baru (Malaysia). Menurut data statistik produksi perikanan budidaya jaring apung, Indonesia memproduksi ikan bawal sebesar ton pada tahun 2009 dan meningkat hingga ton pada tahun 2010 (SIDATIK Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Peluang pasar yang masih terbuka tersebut perlu mendapat dukungan berupa teknologi penanganan transportasi biota perairan yang ekonomis, praktis dan aman. Transportasi hidup sistem kering untuk pengangkutan bawal air tawar hidup jarak jauh dalam waktu lama merupakan cara yang praktis dan aman meskipun beresiko tinggi. Transportasi biota perairan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan yang tepat apabila kondisi optimalnya diketahui sehingga kelulusan biota tetap tinggi hingga di tempat tujuan. Ikan bawal air tawar harus dipingsankan dahulu sebelum ditransportasikan. Hasil penelitian Soedibya dan Taufik (2006) pada bawal air tawar menunjukkan bahwa pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap telah diketahui titiktitik kritis suhu imotil untuk ikan bawal yaitu pada kisaran suhu C. Adapun aspek-aspek lainnya dalam penanganan dan transportasi ikan bawal air tawar hidup belum diketahui. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan teknologi transportasi bawal air tawar sistem kering yang ekonomis, praktis, danaman serta menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi dengan waktu transportasi yang lama. 1.2 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pembiusan dengan suhu rendah secara bertahap terhadap kelulusan hidup bawal air tawar (Colossoma macropomum) pada transportasi sistem kering secara statis.

15 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) Colossoma macropomum merupakan spesies ikan air tawar yang termasuk dalam Famili Characidae. Ikan ini berasal dari Brazil. Pada mulanya ikan bawal diperdagangkan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya cepat, dagingnya enak dan dapat mencapai ukuran besar, maka masyarakat menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi. Sebutan lain ikan bawal adalah gamitama (Peru), cachama (Venezuela), red belly pacu (Amerika Serikat dan Inggris). Sedangkan di negara asalnya disebut tambaqui (Kordi 2011). Bentuk ikan bawal air tawar dicantumkan dalam Gambar 1. Gambar 1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (Sumber: Anonim 2012) Klasifikasi bawal air tawar (Colossoma macropomum) menurut Cuvier (1818) adalah Filum : Chordata, Kelas : Actinopterygii, Ordo :Characiformes, Famili : Characidae, Genus : Colossoma, Spesies : C. macropomum

16 4 Habitat hidup bawal air tawar adalah sungai, banyak ditemukan di Sungai Amazon, Brazil dan Sungai Orinoco, Venezuela. Hidupnya bergerombol di daerah yang aliran sungainya deras, namun dapat ditemukan pula di daerah yang airnya tenang, terutama saat berupa benih. Ikan ini dapat hidup dengan baik pada ketinggian meter di atas permukaan laut dengan suhu air C (Kordi 2011). Ikan bawal air tawar memiliki morfologi tubuh dari samping tampak membulat dengan perbandingan antara panjang dan tinggi 2:1. Bila dipotong secara vertikal ikan bawal air tawar memiliki bentuk tubuh pipih dengan perbandingan antara tinggi dan lebar 4:1. Sisik ikan bawal air tawar berbentuk ctenoid, dimana ditengah bagian sisik belakang menutupi sisik bagian depan. Tubuh bagian vertikal dan sekitar sirip dada ikan bawal air tawar muda berwarna merah. Warna merah ini akan memudar seiring dengan pertambahan umur dan perkembangan fisik. Warna merah ini merupakan ciri khusus ikan bawal air tawar (Arie 2000). Kepala ikan bawal berukuran kecil dengan mulut terletak di ujung kepala dan agak sedikit ke atas. Matanya kecil dengan lingkaran berbentuk cincin. Rahangnya pendek dan kuat serta memiliki gigi seri yang tajam. Karena itu ikan bawal dapat menggunakan gigi serinya yang tajam untuk memotong berbagai makanan dalam ukuran besar, misal dedaunan. Giginya yang tajam ini juga dapat digunakan untuk memotong kayu dan bambu yang sudah lapuk dalam air (Kordi 2011). Ikan bawal memiliki insang permukaan, sehingga permukaan pernapasannya lebih luas dari pada jenis ikan lain. Permukaan pernapasan yang luas ini memungkinkan ikan bawal air tawar mampu bertahan hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen rendah. Pada kondisi perairan dengan kandungan oksigen terlarut kurang dari 0,5mgOz/L masih memungkinkan ikan ini dapat bertahan selama beberapa jam (Djarijah1996). Perlu diketahui bahwa ikan bawal air tawar dapat bersifat kanibal atau saling memangsa sesamanya. Sifat kanibal ini dapat muncul setelah kuning telur (yolk) pada tubuhnya habis (Kordi 2011).

17 5 2.2 Budidaya Bawal Air tawar Bawal air tawar adalah salah satu ikan air tawar penting di Indonesia. Ikan ini merupakan ikan introduksi yang awalnya didatangkan sebagai ikan hias, namun kini menjadi ikan konsumsi dan banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Sebagai ikan budidaya, bawal memiliki beberapa keunggulan yaitu pertumbuhan yang relatif cepat, kebutuhan protein dalam pakannya relatif rendah, dapat bertahan hidup pada perairan dengan kandungan oksigen yang minimum sehingga mudah dibudidayakan di berbagai lingkungan dan wadah budidaya, tahan terhadap serangan penyakit, dan dapat diproduksi sebagai ikan hias, ikan konsumsi, dan ikan kolam pemancingan. Karena keunggulan tersebut, bawal diprediksi akan menjadi salah satu ikan yang prospektif. Bawal air tawar dapat menjadi substitusi bawal laut (Stromateus niger, dan S.cinereus) yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenisikan ekonomis penting yang dihidangkan sebagai makanan hasil laut (sea food). Sebagai ikan alternatif, posisi bawal cukup strategis karena produksi bawal laut mengalami penurunan tajam pada musim barat, sehingga bawal dapat menjadi pilihan pengganti (Kordi 2012) Selain sumber dan kuantitas harus memadai, air yang digunakan untuk pemeliharaan bawal juga harus memenuhi kebutuhan optimal ikan. Dengan kata lain, air yang digunakan dalam pemeliharaan bawal air tawar harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa parameter yang dapat dijadikan indikator dalam menilai kualitas suatu perairan, sebagaimana tertera dalam Tabel 1. Tabel 1 Parameter kualitas air untuk budidaya bawal air tawar. Parameter Nilai Oksigen 4-6 ppm Karbondioksida Maks. 25 ppm ph 7-8 Amonia Maks 0,1 ppm Alkalinitas ppm Suhu C Kecerahan cm oleh plankton Warna Hijau Kecoklatan DMA 2-4,5 H2S Maks 0,1 ppm Kesadahan 3-8 dgh Sumber: Kordi (2011)

18 6 2.3 Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering Transportasi biota perairan hidup sistem kering menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi lingkungan yang minimum organisme tersebut mampu bertahan (Junianto 2003). Transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Oleh karena itu, pada sistem ini ikan dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Cara tersebut diantaranya adalah menggunakan bahan antimetabolik atau anestesi (Wibowo 1993). Pada transportasi ikan hidup sistem kering, perlu dilakukan proses penenangan terlebih dahulu. Kondisi Ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan meningkatkan kapasitas angkut. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi sehingga pemilihan metode imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006). Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006). 2.4 Imotilisasi Suhu adalah faktor pengontrol yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup biota perairan. Ikan adalah hewan berdarah dingin (poikilothermal) yaitu suhu tubuhnya dipengaruhi suhu lingkungan habitatnya sehingga metabolisme maupun kekebalan tubuhnya sangat tergantung dari suhu lingkungan (Panjaitan 2004). Pengaruh suhu berdampak pada proses kimia fisika dan biologi organisme

19 7 akuatik. Pengaruh suhu rendah pada biota perairan yaitu kemampuannya dalam mengambil oksigen (hypoxia). Menurunnya kemampuan ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung dan terganggunya osmoregulasi ikan. Suhu yang diturunkan secara mendadak dapat mengakibatkan degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi terganggu, perubahan suhu yang melebihi 3-4 C dapat mengakibatkan kejutan suhu dan kematian ikan (Boyd 1990). Imotilisasi berprinsip hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2008). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan suhu rendah (Ikasari et al.2008). Suhu air yang rendah dapat menurunkan aktivitas dan tingkat konsumsi oksigen (Coyle et al. 2004). Pada imotilisasi udang dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kondisi udang dengan aktivitas yang minimal namun tetap hidup dan sehat setelah mengalami pembugaran kembali (Wibowo dan Soekarto 1993). Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang efektif, ekonomis, dan aman dalam transportasi sistem kering. Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relatif murah, mudah didapat, dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang membahayakan bagi manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan cara merendam es batu yang telah dipersiapkan dalam sebuah kantong plastik pada air dalam bak pemingsanan. (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan kunci dalam transportasi hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan maupun krustase dapat diangkut dengan waktu lama dan tingkat kelulusan hidupnya tinggi (Berka 1986). Imotilisasi dimaksudkan agar ikan berada dalam aktivitas metabolisme dan respirasi rendah sehingga ketahanan hidup di luar habitatnya tinggi (Berka 1986). Imotilisasi menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu penurunan suhu langsung dan bertahap. Penurunan suhu hingga batas tertentu akan menurunkan tingkat metabolisme yang pada akhirnya akan menyebabkan ikan pingsan. Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti (McFarland 1959 dalam Achmadi 2005).

20 8 Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap yaitu ikan dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan menurunkan suhu air secara bertahap hingga suhu tertentu. Pada suhu yang dikehendaki, ikan dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya hingga titik imotil yang diperlukan (Nitibaskara et al. 2006). Selain itu pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Suryaningrum et al 2004). Menurut Soedibya dan Taufik (2006), aktivitas ikan bawal pada berbagai suhu secara umum memberikan respon yang terdiri dari beberapa fase sebagaimana tercantum dalam Tabel 2. Pada suhu sampai 28 C aktivitas ikan terlihat masih normal. Pada suhu 23 C-18 C ikan mulai memasuki fase kedua yaitu fase tenang. Pada suhu 18 C-13 C ikan telah memasuki fase aktivasi yang telah menjadi fase awal kegelisahan. Fase berikutnya adalah fase panik dan pingsan dimana ikan mulai mengalami kepanikan, kehilangan keseimbangan dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh. Tabel 2 Pola aktivitas ikan bawal pada berbagai suhu (penurunan suhu 5 C/jam) No SUHU AKTIVITAS KRITERIA C Ikan tenang di dasar, sesekali berenang perlahan, tubuh tegak, gerakan katup insang perlahan dan teratur, responsif terhadap Normal (Normal) gerakan di luar akuarium, sangat responsif terhadap sentuhan perlahan C Aktifitas ikan mulai berkurang dan cenderung dan cenderung diam di dasar. Respon terhadap gerakan di luar mulai Mulai tenang (Calm) berkurang, ikan mulai mudah dipegang C Aktifitas ikan tidak banyak berubah, tubuh mulai miring saat berenang dan sirip punggung mulai meregang. Respon terhadap gerakan di luar melemah dan lebih tenang saat dipegang Fase awal kegelisahan (uncontrolable) C Gerakan ikan mengarah kegelisahan, tubuh ikan mulai kaku, berlendir, tidak ada gerakan, tidak merespon terhadap sentuhan, hanya terdapat gerakan sangat lemah pada katup insang Sumber: Soedibya dan Taufik (2006) Fase panik dan pingsan (panic and unconcious)

21 9 Dari hasil tersebut di atas tampak bahwa terdapat titik-titik krusial yaitu pada suhu sekitar 23 C, 18 C dan 13 C yang muncul pada respon ikan bawal akibat turunnya suhu lingkungan. Pada titik-titik krusial ini terjadi perubahan aktivitas dan respon ikan bawal yang nyata, yang diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Hasil pengamatan karakteristik aktivitas ikan bawal menunjukkan bahwa suhu imotil dalam transportasi ikan hidup adalah 23 C-13 C. Di atas atau dibawah suhu tersebut resiko kematian selama transportasi dikhawatirkan masih cukup tinggi. Makin rendah suhu suatu media dari suhu lingkungan tentu membutuhkan penarikan panas yang cukup besar baik untuk mencapai maupun untuk mempertahankan suhu tersebut dan yang berarti juga membutuhkan biaya besar. Sementara itu, untuk transportasi ikan hidup dengan sistem basah menggunakan media air dapat menggunakan suhu lebih tinggi, karena transportasi sistem basah dapat dilakukan pada saat ikan berada pada fase tenang. Hal ini lebih menguntungkan jika dilihat dari segi teknis dan ekonomisnya. 2.5 Pengemasan Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana penyimpan dan transportasi serta alat persaingan dalam pemasaran (Hambali et al. 1990). Pengemasan berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas serta untuk mempermudah penyimpanan, pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian et al. 2004). Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm 3 dapat dipertahankan suhunya agar tetap sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus plastik di bagian atas atau bawah kemasan. Es tersebut dimasukkan ke dalam plastik kemudian ditutup dengan kertas koran, Suhu kemasan (kotak styrofoam) yang berukuran 40x60x40 cm 3 dapat dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat 0,5 kg. Kemasan dengan ukuran 30x30x40 cm 3 dan 40x30x30 cm 3 dipertahankan suhunya dengan menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es tersebut diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000; Handini 2008).

22 10 Jumlah es yang digunakan dalam media kemasan harus tepat. Apabila jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun menjadi lebih rendah dari suhu pembiusan (Suryaningrum et al. 2007). Pengemasan untuk tujuan ekspor biasanya menggunakan kotak stirofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder. Kotak stirofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah penetrasi panas yang masuk ke dalam kemasan. Kotak karton yang digunakan sebaiknya memiliki dinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Tujuan penggunaan karton adalah untuk menekan goncangan yang terjadi selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan dan estetika kemasan. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003; Herodian et al. 2004). Media pengemas dalam kemasan stirofoam yang dibantu dengan penggunaan es tidak mampu dipertahankan suhunya tetap stabil selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu kemasan yang digunakan akan terus mengalami peningkatan sehingga mempengaruhi kelulusan hidup biota yang ditransportasikan (Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji. Suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar yang terlalu tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu kemasan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006). 2.6 Media Pengisi Kemasan Media pengisi kemasan adalah bahan yang ditempatkan di antara biota hidup dalam kemasan untuk menahan atau mencekal biota tersebut dalam posisinya (Herodian et al. 2004). Syarat media pengisi kemasan yang baik adalah memiliki sifat berongga, dapat mempertahankan posisi biota dalam kemasan, tidak mudah rusak atau menimbulkan bau serta memiliki nilai ekonomis yang rendah ditinjau dari harga bahan baku (Prasetyo 1993). Media pengisi yang baik juga harus memiliki daya serap air yang tinggi, mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu relatif lama dan kondisi media harus stabil (Suryaningrum et al. 2007).

23 11 Serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan kayu. Serbuk gergaji juga memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonominya relatif rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001). Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi kemasan juga memiliki beberapa kelemahan. Serbuk gergaji merupakan media pengisi kemasan yang memiliki rongga udara yang lebih kecil dibandingkan dengan serutan kayu, rumput laut Gracilaria sp. maupun sekam padi sehingga tidak voluminuous dan jika digunakan media pengisi menjadi lebih berat serta kapasitas angkut menjadi lebih kecil (Prasetyo 1993; Sufianto 2008). Penggunaan serbuk gergaji juga menjadi kurang ekonomis karena dibutuhkan serbuk gergaji yang relatif banyak, yaitu sebesar 3-5 kg dibandingkan dengan penggunaan sekam padi sebesar 1-2,5 kg ataupun serutan kayu sebesar <1 kg (Muslih 1996). Serbuk gergaji sebelum digunakan harus dicuci terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bau/tar, kotoran serta bahan berbahaya lainnya yang terdapat pada kayu. Serbuk gergaji kemudian ditiriskan dan dijemur hingga kering. Serbuk gergaji selanjutnya dilembabkan kembali dengan air sebanyak 50-75% dari berat serbuk gergaji hingga kadar air mencapai 50-60% dan didinginkan hingga suhunya sekitar 14 o C. Pendinginan media dapat dilakukan dengan memasukan serbuk gergaji ke dalam lemari es atau menggunakan es balok yang dibungkus plastik (Suryaningrum et al. 2005). Ketebalan serbuk gergaji yang umum digunakan adalah 0,5-10 cm. Serbuk gergaji tersebut disebar secara merata membentuk lapisan tipis pada bagian dasar wadah (Junianto 2003). Lapisan dasar wadah umumnya diberi lapisan serbuk gergaji dengan ketebalan cm (Nitibaskara et al. 2006). Pemberian serbuk

24 12 gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm pada dasar kemasan dimaksudkan agar kontak langsung antara ikan dan es dapat dihindari (Suryaningrum et al. 2005). Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994) menyatakan bahwa penggunaan serbuk gergaji sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan karung goni. Bahan-bahan tersebut didinginkan menggunakan freezer terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu kemasan dijaga tetap rendah dengan menambahkan es batu pada bagian dasar kemasan. Pada lapisan dasar kemudian ditebarkan serbuk gergaji ±0,5 cm dan di atasnya ditempatkan lapisan jerami atau potongan karung goni. Sekam padi merupakan media pengisi yang memiliki tekstur yang baik dan seragam. Bentuknya menyerupai kantong yang dapat berfungsi menyimpan air (Muslih 1996). Sekam padi merupakan salah satu media pengisi yang paling efektif selain serbuk gergaji, akan tetapi penggunaan sekam padi memiliki resiko yang tinggi terhadap adanya residu pestisida. Sebelum digunakan, sekam padi harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangkan residu pestisida tersebut yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003). Serutan kayu adalah bahan pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih besar dibandingkan serbuk gergaji maupun sekam padi, akan tetapi serutan kayu masih kurang efektif jika digunakan untuk transportasi lobster ataupun udang hidup. Hal ini karena serutan kayu dapat menyebabkan kerusakan fisik pada biota yang ditransportasikan. Serutan kayu tidak dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang relatif lama sehingga suhu kemasan transportasi menjadi cepat meningkat. Bahan pengisi ini juga memiliki tekstur yang kasar dan tidak seragam (Prasetyo 1993). Bahan lain yang dapat digunakan sebagai media kemasan adalah rumput laut. Jenis rumput laut yang biasa digunakan sebagai media pengisi kemasan adalah Gracilaria sp., rumput laut jenis ini mampu mempertahankan suhu rendah lebih lama daripada bahan pengisi lainnya misalnya serbuk gergaji, serutan kayu maupun sekam padi (Prasetyo 1993). Daya serap air yang dimilikinya lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji, sekam padi, serutan kayu maupun busa sehingga mampu mempertahankan kelembapan udang atau lobster yang diangkut.

25 13 Rumput laut juga dipercaya mengandung daya awet alami yang dapat berpengaruh positif terhadap lobster atau udang (Junianto 2003; Sufianto 2008). Penggunaan Gracilaria sp. sebagai media pengisi kemasan kurang efektif karena dapat menimbulkan lendir dan bau basi setelah digunakan (Prasetyo 1993). Lendir yang dihasilkan oleh rumput laut tersebut dapat menghalangi difusi oksigen dari lingkungan dalam kemasan ke insang atau organ pernapasan biota sehingga daya tahan biota selama transportasi sistem kering akan menurun (Sufianto 2008).

26 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bawal air tawar (Colosoma macropomum) yang berasal dari Lebak Bulang, Bogor, Jawa Barat. Ikan yang digunakan dipilih yang dalam kondisi sehat, tidak cacat dan berukuran sekitar 6 ekor per kilogram (bobot rata-rata 150 g/ekor). Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian yaitu air, es batu, plastik, lakban, kertas koran, serbuk gergaji dengan ukuran 0,1-0,3 cm dari campuran jenis kayu jati (Tectona grandis), jeungjing (Albizia falcata) dan mindi (Melia azedarach) yang diperoleh dari pengrajin kayu di Dramaga-Bogor serta bahan-bahan kimia untuk pengukuran kualitas air. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari alat pengadaptasian, pemingsanan dan pengemasan. Alat yang digunakan dalam proses adaptasi ikan bawal yaitu akuarium berukuran 50x30x30 cm 3, aerator, ember plastik serta alat untuk mengukur kualitas air seperti DO-meter, ph meter, termometer, dan pipet. Alat yang digunakan dalam proses pemingsanan yaitu akuarium berukuran 50x30x20 cm 3, alat pengukur waktu (timer), termometer, penggaris dan timbangan. Alat yang digunakan dalam proses pengemasan yaitu kotak styrofoam berukuran 30x30x40 cm 3, gunting dan penggaris. 3.3 Metode Penelitian Penelitian terdiri dari tiga tahapan yaitu persiapan penelitian, penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

27 Persiapan penelitian Persiapan penelitian yang dilakukan meliputi persiapan media air, media pengisi dan bawal yang akan digunakan pada penelitian pendahuluan dan utama. a) Media air Media air terdiri dari air kolam budidaya ikan bawal dan air dari laboratorium yang telah didiamkan selama dua hari dan diuji kualitas serta kelayakannya untuk media adaptasi dan pemeliharaan bawal. Tujuan pendiaman air selama dua hari adalah untuk mengendapkan kotoran. Air dari laboratorium disaring dengan karbon aktif terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengujian dilakukan secara fisika dan kimia meliputi parameter kualitas air yaitu suhu, oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO 2 ), derajat keasaman (ph), alkalinitas, Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan nitrit (NO - 2 ). Metode pengukuran kualitas media air tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Metode pengukuran kualitas media air No Parameter Alat Cara Peneraan 1 Suhu Termometer Pembacaan Skala 2 DO DO-meter Pembacaan Skala 3 CO 2 Alat Gelas Titrasi 4 ph ph meter Pembacaan Skala 5 Alkalinitas Alat Gelas Titrasi 6 TAN Spektrofotometer Pembacaan Skala Sumber: Boyd (1982) b) Media serbuk gergaji Media pengemas yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji yang dipilih dari jenis kayu jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) yang tidak menghasilkan racun, tidak berbau tajam dan bersih. Sebelum digunakan, serbuk gergaji disaring dan dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan bau/tar, kotoran serta bahan berbahaya yang mungkin ada pada kayu. Serbuk gergaji kemudian ditiriskan dan dijemur sampai kering. Proses penjemuran dan pencucian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Selanjutnya serbuk gergaji dilembabkan kembali dengan air sebanyak 50-75% dari berat serbuk

28 15 gergaji hingga kadar air mencapai 50-60%. Sebelum digunakan sebagai media pengisi, serbuk gergaji didinginkan sehingga suhunya 9-7 C (suhu pembiusan) dalam lemari es. c) Ikan bawal air tawar uji Bawal air tawar uji yang berasal dari kolam budidaya dipindahkan ke dalam akuarium adaptasi. Bawal uji yang digunakan adalah bawal yang sehat, bugar, tidak cacat fisik, dan ikan bawal betina tidak sedang bertelur. Ikan bawal terlebih dahulu diadaptasi selama 1-2 hari, selanjutnya diberi pakan selama pemeliharaan dalam akuarium dan diberi suplai oksigen melalui aerator.ikan bawal dipuasakan 24 jam sebelum dipingsankan Penelitian pendahuluan a) Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui pengaruh penurunan suhu rendah secara bertahap terhadap perubahan aktivitas bawal air tawar. Hasil penelitian ini akan digunakan untuk menentukan suhu pembiusan bawal air tawar. Imotilisasi dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotil. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam media bawal dengan perbandingan air dan es batu (2:3) secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai (Wijaya 2008). Setelah suhu imotilnya tercapai, bawal dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas bawal diam (Ikasari et al. 2008). Pengamatan dilakukan terhadap respon bawal air tawar pada berbagai suhu selama proses pembiusan. b) Penentuan suhu pembiusan bawal air tawar secara bertahap Kisaran suhu pembiusan terbaik ditentukan berdasarkan aktivitas dan kondisi bawal saat pembiusan, pengemasan, pembongkaran dan penyadaran serta tingkat kelulusan hidup pada uji penyimpanan transportasi sistem kering selama 3 jam. Suhu pembiusan terdiri atas 3 rentang suhu hasil pengamatan aktivitas bawal pada berbagai rentang suhu, yaitu C, C dan C. Suhu pembiusan terbaik hasil percobaan tahap ini akan digunakan pada penelitian utama. Diagram alir prosedur kerja penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 2.

29 16 Bawal Hidup Pengadaptasian selama 1-2 hari Pemuasaan 24 jam Penimbangan Pemingsanan secara bertahap Suhu pembiusan o C Suhu pembiusan o C Suhu pembiusan o C Waktu pembiusan 30 menit Pengamatan aktivitas bawal Bawal imotil Pengemasan (Media serbuk gergaji) Penyimpanan 3 jam Pembongkaran Pembugaran Perhitungan survival rate (%) Gambar 2 Diagram alir prosedur kerja penentuan suhu pembiusan terbaik

30 Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu imotilisasi terbaik pada uji transportasi sistem kering secara statis terhadap tingkat kelulusan hidup bawal air tawar. Diagram alir prosedur kerja penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3. Bawal Hidup Pengadaptasian 1-2 hari Pemuasaan 24 jam Penimbangan Pemingsanan secara bertahap Suhu pembiusan terbaik Waktu pembiusan 30 menit Pengemasan dengan serbuk gergaji Penyimpanan 0, 3, 6, 9 jam Pembongkaran Penimbangan Pembugaran Penghitungan survival rate Gambar 3 Diagram alir prosedur kerja uji penyimpanan

31 18 Proses pembiusan pada rangkaian percobaan di atas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: bawal ditempatkan pada bak pembiusan, kemudian suhu air diturunkan secara bertahap sampai tercapai suhu yang diinginkan. Imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap dilakukan dengan cara menurunkan suhu media air dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotilisasi terpilih hasil penelitian pendahuluan. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu yang dibungkus plastik ke dalam media bawal secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu imotil tercapai bawal dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas bawal diam. Bawal dikatakan imotil bila diangkat diam, sirip diam dan mudah dikemas. Sebelumnya telah disiapkan serbuk gergaji dingin dan spons busa dengan suhu yang telah ditetapkan (suhu pembiusan) dan kotak stirofoam untuk pengemasan bawal. Bawal yang telah terbius (pingsan) masing-masing dimasukkan ke dalam kemasan yang telah diberi serbuk gergaji dingin dan spons busa serta ditutup dengan menggunakan lakban. Pengemasan bawal air tawar menggunakan serbuk gergaji dingin dilakukan dengan meletakkan es batu dalam plastik (±0,5 kg) yang ditutupi kertas koran dan disusun secara diagonal pada bagian dasar kotak stirofoam untuk mencegah rembesan air. Bagian atas kotak stirofoam ditaburi serbuk gergaji dengan ketebalan 5-10 cm agar kontak langsung antara es dan bawal dapat dihindari. Bawal yang telah imotil disusun dengan sistem curah (sejajar) di atas media dan di atasnya ditaburi serbuk gergaji hingga kemasan penuh. Setiap kotak styrofoam berisi 5 ekor bawal. Kemasan kemudian ditutup rapat dan direkatkan dengan lakban. Pengamatan pada setiap rangkaian percobaan di atas dilakukan terhadap aktivitas bawal selama proses pembiusan, pengemasan, pembongkaran dan pembugaran serta tingkat kelulusan hidup bawal air tawar setelah ditransportasikan. Selain itu diamati pula perubahan suhu media kemasan (serbuk gergaji dan spons busa) dan penyusutan bobot bawal selama transportasi. Pengukuran penyusutan bobot bawal dan perubahan suhu media kemasan dilakukan sebelum bawal diimotilisasi dan sesudah dilakukan uji penyimpanan. Pembugaran bawal dilakukan dengan cara mengangin-anginkan bawal yang telah dikeluarkan dari kotak stirofoam selama 2-3 menit di dalam ember. Hal

32 19 ini bertujuan agar gas amonia dan H 2 S menguap. Selanjutnya bawal baru dimasukkan ke dalam air tanpa aerasi, dengan ketinggian air tidak sampai merendam badan bawal selama 1 jam (Frose 1997). Kelulusan hidup bawal dihitung setelah bawal dibugarkan dalam air selama 1 jam, untuk melihat kemampuan bawal beradaptasi kembali dalam lingkungan yang sebenarnya (Suryaningrum et al. 2008). Setelah dibugarkan selama 1 jam, bawal dimasukkan ke dalam akuarium dengan ketinggian air cm. Tingkat kelulusan hidup bawal dihitung berdasarkan persentase bawal yang hidup setelah dilakukan pembugaran selama 1 jam. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup bawal air tawar adalah sebagai berikut: Keterangan: SR = _Ut_ Uo x 100% SR = Tingkat kelulusan hidup bawal air tawar (%) Uo Ut = Jumlah bawal hidup yang dikemas = Jumlah bawal yang hidup setelah penyimpanan Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah One-Way ANOVA dengan faktor lama penyimpanan dengan taraf 0, 3, 6, dan 9 jam dengan tingkat kelulusan hidup ikan bawal (survival rate). Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Apabila hasil analisis data menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tukey (multiple comparisons). Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan software IBM-SPSS for Windows.

33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan bawal air tawar Parameter Kolam budidaya Laboratorium Standar Satuan Suhu * o C ph 7,34 7,40 7-8* - DO 5,37 6,31 4-6* ppm CO 2 1,85 3,96 Max. 25* ppm Alkalinitas 154, * ppm Amoniak 0,03 0,05 Max. 0,1* ppm Sumber: *) Kordi (2011) Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam budidaya dan kolam laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama yaitu 26 hingga 27 o C. Suhu tersebut baik untuk kehidupan ikan bawal berdasarkan standar yang didapat. Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan senyawa dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O 2, CO 2, dan sebagainya (Irawan 2007). Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya mengakibatkan penurunan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu sebesar 10 C menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen organisme akuatik sebanyak 2-3 kali lipat (Effendi 2003). Hal ini berbanding terbalik dengan adanya penurunan suhu yang dapat mengurangi aktivitas dan proses metabolisme ikan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan untuk tujuan transportasi ikan hidup sistem kering sehingga ikan dapat bertahan lebih lama dalam lingkungan yang terbatas selama proses pengangkutan berlangsung. Hasil pengamatan kualitas air kolam budidaya dan air laboratorium memiliki ph antara 7,3 dan 7,4 yang berarti sesuai untuk kondisi lingkungan hidup ikan bawal. Ikan mampu beradaptasi di perairan yang memiliki perubahan ph yang tidak drastis (Nitibaskara et al. 2006). Nilai ph yang ideal untuk kelangsungan hidup ikan adalah 6,5 hingga 8,5.

34 21 Faktor penting yang menunjang kehidupan ikan adalah oksigen yang terlarut dalam air. Dissolve oxygen (DO) yang terkandung dalam air kolam budidaya dan air laboratorium memiliki kisaran antara 5,37 dan 6,31. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen yang terlarut dalam kedua air tersebut memiliki nilai yang cukup baik untuk kehidupan ikan bawal. Tanpa oksigen terlarut yang cukup, maka kehidupan ikan akan terganggu. Hal yang mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air salah satunya adalah kenaikan suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen akan berkurang. Peningkatan suhu senilai 1 C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10% (Effendi 2003). Kadar CO 2 yang terkandung dalam air kolam budidaya dan kolam laboratorium senilai 1,85 dan 3,96 ppm. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan bawal karena menurut Kordi (2011), kadar CO 2 yang terkandung dalam air tidak boleh melebihi batas 25 ppm. Sedangkan untuk kadar alkalinitas dan amonia yang masing-masing bernilai dan 0,03-0,05 ppm juga masih dalam batas yang normal. Hasil yang diperoleh dari pengamatan parameter kualitas air kolam budidaya dan air laboratorium yang diendapkan menunjukkan bahwa keduanya masih memiliki standar yang baik bagi kelangsungan hidup ikan bawal air tawar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air tidak mempengaruhi kondisi kesehatan dan proses pemeliharaan, pengadaptasian serta perlakuan baik dalam proses pembiusan maupun pembugaran. 4.2 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar dan menentukan suhu pembiusan bawal air tawar secara bertahap. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan pada penelitian utama Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar Bawal air tawar dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum diimotilisasi. Pemuasaan dilakukan agar organ pencernaan bawal bebas dari kotoran. Respon aktivitas bawal air tawar selama proses pembiusan secara bertahap dengan suhu rendah ditampilkan pada Tabel 5.

35 22 Tabel 5 Respon aktivitas bawal air tawar pada berbagai penurunan suhu Suhu ( o C) Waktu (menit) Aktivitas Ikan Bawal Air Tawar Ketika dimasukkan ikan meronta, gerak tutup insang cepat, ikan aktif, lincah. Gerakan sirip normal, merespon terhadap sentuhan. Aktivitas bawal mulai berkurang, lebih tenang, cenderung berenang di dasar, gerak tutup insang normal. Kriteria Normal Adaptasi Bawal cenderung diam, gerakan tutup insang dan sirip semakin lambat dan tenang, ketika disentuh respon masih ada. Bawal mulai limbung, gerakan dan respon terhadap rangsangan masih ada, posisi badan miring, mulai meregangkan sirip, mulai mudah dipegang. Bawal limbung, gerakan sirip dan tutup insang lambat, rangsang terhadap sentuhan lambat dan lebih tenang saat dipegang. Bawal tergeletak, posisi tubuh roboh, hampir tidak ada gerakan, sirip tidak bergerak dan tutup insang bergerak sangat lambat, ketika diangkat tubuh bawal melayang, respon tidak ada. Tenang Fase panik Pingsan ringan Pingsan berat Hasil pengamatan responbawal air tawar terhadap penurunan suhu rendah menunjukkan perubahan pada aktivitas tingkah lakunya. Pada suhu awal pembiusan (±27 C) atau suhu ruang, bawal berada dalam kondisi normal, tubuh tegak, sangat lincah dan responsif terhadap rangsangan serta sirip dan tutup insang masih bergerak aktif. Pembiusan secara bertahap selama ±4 menit menyebabkan suhu media pembiusan turun hingga mencapai suhu 24 C. Semua bawal yang diimotilisasi pada suhu ini terlihat masih berdiri kokoh namun aktivitasnya sudah mulai berkurang.

36 23 Aktivitas bawal ketika memasuki suhu 24 o C terlihat semakin lambat dan tenang, cenderung berenang di dasar dan gerakan tutup insang yang normal. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian bawal mulai beradaptasi dan telah merespon kondisi perubahan suhu lingkungan yang semakin rendah. Kondisi ini terus berlangsung selama ±5 menit hingga suhu pembiusan mencapai 21 o C. Bawal memasuki fase tenang pada suhu o C, bawal cenderung diam, gerakan tutup insang dan sirip semakin lambat dan tenang pada lama pembiusan menit. Ketika diberikan rangsangan sentuhan bawal masih memberikan respon. sirip dan tutup insang terlihat diam akan tetapi seluruh bawal masih dalam kondisi tegak. Bawal mulai kehilangan orientasi dan memasuki fase panik pada kisaran suhu o C. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi bawal yang mulai limbung ketika memasuki suhu 20 o C, sebagian besar bawal masih dapat berenang tegak kembali ketika posisi tubuhnya dibalik. Respon terhadap rangsangan masih ada namun bawal mulai mudah dipegang. Gerakan dan respon terhadap rangsangan bawal mulai melemah ketika suhu pembiusan mulai mencapai 18 o C, meskipun seluruh bawal yang dibius belum menunjukkan tanda-tanda pingsan. Bawal mulai memasuki fase pingsan ringan pada kisaran suhu o C. Hal ini ditunjukkan oleh hilangnya keseimbangan pada ikan bawal serta lemahnya respon terhadap rangsangan sentuhan yang diberikan. Sirip dan tutup insang bergerak lambat tetapi masih menunjukkan adanya gerakan. Ketika posisi tubuh dibalik seluruh bawal tidak dapat tegak kembali dan lebih tenang ketika dipegang. Bawal menunjukkan tanda-tanda pingsan ketika suhu media memasuki kisaran suhu o C. Sebagian bawal telah roboh kemudian pingsan, gerakan tutup insang dan sirip. Kisaran suhu o C yang dipertahankan selama 30 menit mengakibatkan seluruh bawal telah pingsan. Bawal telah tergeletak di dasar media dalam keadaan roboh, hampir tidak ada gerakan, tutup insang dan sirip bergerak sangat lambat. Ketika bawal diangkat, tubuh bawal melayang dan tidak ada respon terhadap rangsangan. Bawal yang telah pingsan tidak memberikan perlawanan ketika dikemas. Penurunan suhu secara bertahap mengakibatkan gerakan bawal yang semula aktif pada suhu normal secara perlahan-lahan direduksi menjadi tenang seiring

37 24 dengan penurunan suhu yang diberikan. Proses aklimatisasi dari metode penurunan suhu secara bertahap pada dasarnya juga dipengaruhi oleh bobot dan ukuran bawal air tawar yang digunakan. Semakin besar bobot dan ukuran bawal yang digunakan maka semakin besar nilai toleransi terhadap perubahan suhu (Wibowo et al. 1994). Hasil pengamatan aktivitas bawal pada berbagai suhu di atas menunjukkan bahwa bawal yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap akan mengalami gangguan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan pada bawal disebabkan oleh kurangnya oksigen dalam darah. Laju konsumsi oksigen pada hewan air akan menurun seiring dengan menurunnya suhu media (Berka 1986). Penurunan konsumsi oksigen pada bawal akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologi dan bawal menjadi tenang (Suryaningrum et al. 2008; Ikasari et al. 2008). Kekurangan oksigen yang lebih lanjut menyebabkan bawal menjadi pingsan dan akhirnya roboh. Hasil penelitian aktivitas bawal air tawar pada berbagai suhu menunjukkan kisaran suhu kritis bagi bawal air tawar, yaitu suhu o C (fase panik), o C (pingsan ringan) dan o C (pingsan berat) Penentuan suhu pembiusan terbaik Penentuan suhu pembiusan terbaik untuk bawal air tawar dilakukan dengan cara mengetahui pengaruh suhu pembiusan yang menyebabkan fase kritis terhadap tingkat kelulusan hidup dan kondisi saat pembugaran. Suhu pembiusan tersebut adalah o C (fase panik), o C (pingsan ringan) dan o C (pingsan berat). Hasil pengamatan pada penentuan suhu pembiusan terbaik menunjukkan bahwa perlakuan suhu pembiusan menghasilkan kondisi yang berbeda terhadap bawal yang diimotilisasi. Pembiusan secara bertahap dengan suhu o C selama 30 menit dapat membuat kondisi ikan bawal cukup tenang. Bawal yang dibius pada kisaran suhu o C terlihat dalam keadaan limbung dan mulai kehilangan keseimbangan. Bawal masih bergerak lemah dan hanya sedikit menunjukkan respon ketika diberikan rangsangan. Pada waktu dilakukan pengemasan,bawal masih meronta lemah.

38 25 Pembiusan pada suhu o C menghasilkan kondisi bawal yang berbeda dibandingkan dengan bawal yang diimotilisasi pada suhu o C. Ketika bawaldibius secara bertahap pada media air hingga suhu o C menyebabkan sebagian bawal roboh. Bawal dalam keadaan diam ketika diangkat serta tidak ada respon terhadap rangsangan yang diberikan sehingga memudahkan penanganan bawaluntuk dikemas. Untuk mengamati kedalaman fase pingsan bawal yang sudah dibius diletakkan dalam kotak stirofoam sebagaimana diagram Gambar 4. Serbuk gergaji 5cm Ikan Bawal (5 ekor) Serbuk gergaji 5cm Es sebanyak 0,5 kg yang dilapisi kantung plastik dan koran Gambar 4 Penyusunan ikan bawal dalam stirofoam Berikut adalah hasil pengamatan kelulusan hidup dan kondisi bawal setelah uji penyimpanan 3 jam dalam kemasan kering ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil penelitian pendahuluan penentuan suhu pembiusan terbaik Suhu Kondisi bawal setelah penyimpanan selama 3 jam Survivalrate pembiusan Posisi Kondisi Respon Waktu (%) ( o C) Diangkat Bergeser Sadar Ada Meronta 60 (Normal) Bergeser Sadar Lemah Meronta 80 (Lemah) Tidak Bergeser Pingsan Tidak Ada Lemah Tidak Meronta 100 Kondisi bawal air tawar yang dibius pada suhu o C dan dilakukan penyimpanan selama 3 jam mendapatkan nilai survival rate tertinggi sebesar 100%. Ketika dilakukan pembongkaran bawal tidak bergeser posisinya, berada dalam kondisi pingsan dan ketika diangkat tidak meronta. Bawal yang dibius pada

39 26 suhu o C mendapatkan survival rate senilai 80 %. Kondisi ikan sadar lemah dan meronta lemah ketika diangkat. Sedangkan bawal yang dibius pada suhu o C memiliki nilai survival rate terendah yaitu 60 %. Kondisi bawal pada suhu pemingsanan o C ketika dilakukan pembongkaran sudah berada dalam kondisi sadar, ketika diangkat meronta dan merespon terhadap rangsangan. Hasil penelitian pendahuluan membuktikan bahwa suhu memiliki nilai kelulusan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan suhu o C dan o C. Menurut Soedibya dan Taufik (2006), suhu krusial dalam pembiusan bawal berkisar antara o C. Pada titik-titik krusial ini terjadi perubahan aktivitas dan respon ikan bawal yang nyata,yang diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Karena pada dasarnya, dalam kondisi krusial makhluk hidup cenderung menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Suhu optimal untuk pembiusan bawal berkisar antara o C. Suhu diatas maupun dibawah kisaran tersebut masih beresiko menimbulkan mortalitas yang tinggi. Selain itu suhu yang digunakan untuk imotilisasi ikan cenderung pada fase pingsan berat dan pingsan ringan agar dapat menekan resiko kematian ketika transportasi. 4.3 Penelitian Utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup bawal air tawar. Pembiusan bawal air tawar pada penelitian utama menggunakan metode pembiusan secara bertahap dengan suhu pembiusan terbaik yang didapat dari hasil penelitian pendahuluan yaitu o C Kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan Kelulusan hidup bawal ditentukan setelah bawal dibugarkan dalam air selama 1 jam untuk melihat kemampuan bawal beradaptasi kembali dalam media air setelah dilakukan penyimpanan. Uji penyimpanan dilakukan sebanyak 3 pengamatan pada jam ke-0, 3, 6, dan 9. Data hasil pengamatan dicantumkan dalam Gambar 5. o C

40 27 Kelangsungan Hidup (%) Lama Penyimpanan (jam) Gambar 5 Kelulusan hidup bawal air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bawal air tawar yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 100% pada penyimpanan jam ke-0. Selanjutnya tingkat kelulusan hidup bawal turun menjadi 73% pada jam ke-3, dan 60% pada jam ke-6. Pada akhir penyimpanan jam ke-9, tingkat kelulusan hidup bawal sebesar 40%. Dapat terlihat bahwa masing-masing perlakuan lama penyimpanan memberikan hasil yang berbeda sangat nyata berdasarkan uji statistik yang dilakukan. Perlakuan lama penyimpanan pada media serbuk gergaji terlihat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup ikan bawal air tawar selama transportasi dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelulusan hidup (survival rate) bawal air tawar menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan. Menurut penelitian Suryaningrum et al. (2005) yang menggunakan bawal sebagai biota ujinya, penurunan nilai kelulusan hidup tersebut karena sebagian biota yang dibius telah tersadar pada saat disimpan sehingga aktivitas maupun metabolismenya meningkat. Hal ini juga dapat berlaku bagi bawal air tawar karena aktivitas dan metabolisme bawal yang semakin tinggi menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi pula, sedangkan ketersediaan oksigen dalam media kemasan sangat terbatas

41 28 sehingga bawal dapat mengalami kekurangan oksigen yang berakibat pada kematian. Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada jam ke-9 diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali selama berada dalam kemasan. Pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung sedikit air sehingga oksigen dapat diserap walaupun dalam jumlah yang sedikit (Utomo 2001). Tingkat kematian yang cukup tinggi pada jam penyimpanan ke-9 diduga akibat rendahnya cadangan oksigen pada katup insang sehingga mempercepat proses kematian ikan selama transportasi Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan Suhu media kemasan mengalami perubahan sejak awal hingga akhir uji penyimpanan bawal air tawar. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi selama uji penyimpanan ditampilkan pada Gambar ,0 18,7 Suhu ( C) ,0 15, Lama Penyimpanan (jam) Gambar 6 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan Pada penyimpanan selama 9 jam terlihat bahwa media kemasan dengan bahan pengisi serbuk gergaji mengalami perubahan suhu yang cukup berarti. Peningkatan suhu menjadi 15,7 o C terjadi ketika penyimpanan mencapai lama

42 29 penyimpanan 3 jam dan mencapai 18 o C pada penyimpanan selama 6 jam. Suhu media serbuk gergaji mengalami peningkatan menjadi 18,7 o C pada penyimpanan jam ke-9. Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan bawal terbukti dapat mempertahankan suhu kemasan tetap rendah ( 21 o C) hingga 9 jam penyimpanan. Serbuk gergaji terus mengalami peningkatan suhu seiring semakin lamanya durasi penyimpanan. Hal ini terjadi akibat menurunnya kemampuan es sebagai media pendingin dan adanya penetrasi panas dari suhu lingkungan (Junianto 2003). Suhu media serbuk gergaji dapat dipertahankan rendah oleh beberapa faktor, yaitu penambahan es dan penggunaan stirofoam sebagai wadah pengemas. Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu pembiusan ikan bawal. Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999) dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi ikan sistem kering berkisar atau sama dengan suhu pembiusannya. Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam transportasi ikan sistem kering dan berpengaruh terhadap kelulusan hidup ikan yang ditransportasikan. Suhu dalam kemasan harus dipertahankan sebaik mungkin dan idealnya pada akhir transportasi suhu tidak lebih dari 20 o C (Suryaningrum et al. 1994). Sampai saat ini, serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan kayu, memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonomisnya relatif rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001). Perubahan suhu yang kecil menyebabkan bawal tetap tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasi berkurang sehingga diharapkan daya tahannya cukup tinggi di luar habitatnya. Rendahnya metabolisme bawal akan menghasilkan kebutuhan energi untuk aktivitas yang juga rendah. Hal ini berarti bahwa perombakan adenosin triphosphat (ATP) menjadi adenosin

43 30 diphosphat (ADP), adenosin monophosphat (AMP) dan inosin monophosphat untuk menghasilkan energi sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan unuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah. Kadar oksigen dalam darah bawal pada akhirnya tidak turun secara drastis, sehingga bawal mampu hidup lebih lama selama proses transportasi (Karnila dan Edison 2001). Suhu kemasan memegang peran penting dalam menentukan kelulusan hidup bawal. Suhu kemasan yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menyebabkan mortalitas yang tinggi selama proses transportasi. Media yang digunakan untuk transportasi bawal air tawar sistem kering harus bersifat lembab, dengan suhu di dalam kemasan dipertahankan pada 12,9-25,4 o C. Dalam kondisi ini, transportasi Bawal air tawar akan lebih lama dan kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007). Semakin lama bahan pengisi mampu menyimpan dingin maka semakin panjang waktu dan jarak tempuh transportasi yang bisa dilakukan (Hastarini et al. 2006). Suhu media kemasan selama penyimpanan ikut menentukan ketahanan hidup ikan bawal air tawar dalam transportasi hidup sistem kering. Perubahan suhu yang cukup besar sejak awal hingga akhir transportasi akan menyebabkan bawal tersadar dari kondisi imotil sehingga aktivitas dan metabolismenya meningkat. Aktivitas dan metabolisme yang semakin tinggi akan menuntut ketersediaan oksigen yang siap dikonsumsi, akan tetapi ketersediaan oksigen di dalam media kering terbatas. Biota yang dikemas akan mengalami kekurangan oksigen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Karnila dan Edison 2001). Peningkatan suhu yang lebih cepat akan membuat ikan lebih cepat sadar sehingga metabolismenya meningkat, Hal ini berpengaruh pula terhadap nilai survival rate dalam transportasi ikan sistem kering. Untuk mengetahui tingkat kenaikan suhu media serbuk gergaji yang sebenarnya dilakukan penelitian penyimpanan dengan menggunakan thermo-hygrometer. Dalam uji yang dilakukan selanjutnya diukur tingkat suhu media serbuk gergaji dan kelembaban relatifnya (relative humidity) dengan menggunakan alat thermo-hygrometer digital dengan sensor berbentuk probe. Probe diletakkan dalam serbuk gergaji dan indikator diletakkan di luar kotak stirofoam. Posisi thermo-hygrometer dapat

44 31 dilihat pada Gambar 7. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit untuk memantau suhu dan kelembaban. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi dan kelembaban serbuk gergaji selama uji penyimpanan ditampilkan pada Gambar 8 dan 9. Gambar 7 Posisi thermo-hygrometer pada percobaan Suhu (ºC) Pengamatan ke- (tiap 30 menit) Gambar 8 Perubahan suhu serbuk gergaji selama penyimpanan dengan menggunakan thermo-hygrometer. Pengamatan suhu serbuk gergaji dengan menggunakan thermo-hygrometer digital, memperlihatkan rata-rata suhu naik dari pengamatan ke-0 hingga pengamatan ke-7 (0 hingga 3 jam 30 menit) dari suhu 13 ºC hingga 16,27 ºC.

45 32 Pada pengamatan ke-8 hingga pengamatan ke-18 (4-9 jam) terjadi kenaikan sedikit (relatif stabil) yaitu dari suhu 16,3 ºC menjadi 17,1 ºC. Relative Humidity (%) Pengamatan ke- (tiap 30 menit) Gambar 9 Perubahan RH serbuk gergaji selama penyimpanan menggunakan thermo-hygrometer. Pengamatan kelembaban menghasilkan rata-rata 73,3 % hingga 99 % pada pengamatan ke-0 sampai dengan ke-7 (0 jam hingga 3 jam 30 menit). Kemudian terlihat stabil pada kelembaban 99 % pada pengamatan ke-8 sampai ke-18 (4-9 jam). Terlihat bahwa kenaikan suhu maupun kelembaban terjadi pada pengamatan ke-0 hingga ke-7. Kelembaban relatif (relative humidity) didefinisikan sebagai rasio dari tekanan parsial uap air dalam campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada temperatur (Perry dan Green 1997). Kenaikan kelembaban yang terjadi selama transportasi ikan bawal disebabkan oleh menguapnya cadangan es yang digunakan selama transportasi. Es yang menguap sebagian berubah menjadi uap air dan meningkatkan kelembaban udara yang ada pada kemasan.

46 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pembiusan bawal air tawar dengan penurunan suhu secara bertahap menyebabkan perubahan aktivitas bawal yang semula aktif pada suhu normal secara perlahan-lahan direduksi menjadi tenang seiring dengan penurunan suhu yang diberikan. Suhu pembiusanterbaik bawal air tawar secara bertahap adalah o C dengan waktu pembiusan 30 menit. Lama penyimpanan terbukti memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup bawal selama proses tranportasi. Bawal air tawar yang dikemas dengan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 73,33% pada 3 jam penyimpanan, 60% pada 6 jam, dan 40% pada penyimpanan 9 jam. Perubahan suhu pada media pengisi juga dapat memberikan pengaruh pada kelulusan hidup bawal air tawar. Pada jam ke-3 suhu serbuk gergaji meningkat ke suhu 15,7 o C, pada jam ke-6 sebesar 18 o C, dan pada akhir penyimpanan suhu media serbuk gergaji 18,7 o C. 5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai media pengisi yang lebih baik dalam mempertahankan suhu ketika transportasi semisal spons busa, serta uji aplikasi transportasi hidup sistem kering secara dinamis agar diperoleh hasil yang lebih optimal. Ketika transportasi ikan bawal hidup, perlu adanya tindakan khusus untuk mempertahankan survival rate seperti penggantian cadangan es dalam kemasan transportasi.

47 DAFTAR PUSTAKA Achmadi Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan listrik untuk transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Andasuryani Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen peti kemas transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonim Ikan bawal adalah ikan import dari brasil yang sekarang semakin populer. [ ] Arie U Budi Daya Bawal Air Tawar Untuk Konsumsi dan Hias. Penebar Swadaya. Jakarta. Berka R The Transport of Live Fish.A Review. EIFAC Tech. Pap.FAO.(48):52. Boyd Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA: Departement of Fisheries and Aplied Aquaculture, Agricultural Experiment Station Auburn University, Alabama Water Quality in Pond for Aquaculture. Birmingham Publishing Company. Birmingham, Alabama. P: 482. Coyle SD, Durborow RM, Tidwell JH Anesthetics in Aquaculture. Southern Regional Aquaculture Center. Publication No 3900 Djarijah AS Membuat kolam ikan. Yogyakarta. Kanisius. Effendi H Telaah Kualitas Bagi Pengolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta.Kanisius Frose R How to Transport Live Fish in Plastic Bags. Technical paper FAO. Rome. 4p Hambali E, Nasution MZ, Sutedja W, Yoesoef K, Nabil M Pengantar Pengemasan. Bogor: Laboratorium Pengemasan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Handini W Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem transportasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hastarini E, Ikasari D, Suryaningrum THD Karakterisasi Media Kering sebagai Bahan Pengisi untuk Kemasan Lobster Air Tawar (Cherax

48 35 quadricarinatus) Sistim Kering. Makalah disampaikan pada Deseminasi Teknologi Pengembangan Perikanan di Lampung 4-5 Desember Herodian S, Hariyadi S, Yamin M Perancangan Sistem Transportasi Udang dan Ikan Hidup Metoda Kering dengan Sistem Kendali Otomatik. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing X Tahun Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat.Bogor Institut Pertanian Bogor. Ikasari D, Syamdidi, Suryaningrum ThD Kajian fisiologis lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk penanganan dan transportasi hidup sistem kering. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3(1): Irawan DY Pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar Cherax quadricarinatus pada sistem resirkulasi dengan kepadatan berbeda [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Jailani Mempelajari pengaruh penggunaan pelepah pisang sebagai bahan pengisi terhadap tingkat kelulusan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Junianto Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Karnila R, Edison Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambalsiam (Pangasius sutchi F.) dalam transportasi sistem kering. Jurnal Natur Indonesia III (2): Kordi KMGH Budidaya Bawal Air Tawar.Akademia. Jakarta. Kordi KMGH Panen Bawal Air Tawar dari Berbagai Kolam. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta Muslih I Rancangan media pengisi kemasan untuk transportasi udangwindu tambak (Penaeus monodon) hidup dalam media bukan air [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nitibaskara R, Wibowo S, Uju Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Panjaitan EF Pengaruh suhu air yang berbeda terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan botia (Botia macracanthus Bleeker). [skripsi]. Bogor: Fakultas perikanan dan ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Perry RH, Green DW Perry's Chemical Engineers' Handbook 7th Edition. McGraw-Hill.

49 36 Prasetyo Kajian kemasan dingin untuk transportasi udang hidup secara kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiabudi E, Sudrajat Y, Erlina MD, Wibowo S Studi penggunaan metode pembiusan langsung dengan suhu rendah dalam transportasi sistem kering udang windu (Penaeus monodon Fab.). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan (84):8-21. SIDATIK Kementerian Kelautan dan Perikanan Jumlah produksi perikanan budidaya kolam menurut jenis ikan dan provins, [ ] Soedibya PHT, Taufik BP Kajian Fisiologis Ikan Bawal Dengan Suhu Rendah: Dasar Transportasi. Seminar Bioteknologi Akuakultur. Program Sarjana Perikanan dan Kelautan UNSOED. Srikirishnadhas B, Kaleemur R Packing of live lobster the Indian experience. Infofish International Journal (81):6-21. Sufianto B Uji transportasi ikan mas koki (Carassius auratus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum TD, Setiabudi E, Muljanah I, Anggawati AM Kajian penggunaan metode pembiusan secara langsung pada suhu rendah dalam transportasi lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dalam media kering. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 79: Suryaningrum ThD, Utomo BSB, Wibowo S Teknologi Penanganan dan Transportasi Krustasea Hidup. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Suryaningrum ThD, Syamdidi, Ikasari D Teknologi penanganan dan transportasi lobster air tawar. Squalen2 (2): Suryaningrum, Ikasari D, Syamdidi Pengaruh kepadatan dan waktu transportasi sistem kering terhadap sintasan hidup lobster air tawar. (Cherax quadricarinatus). J Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol 3 No.1. DKP Jakarta Utomo SP Penerapan teknik pemingsanan menggunakan bahan anestetik alga laut Caulerpa sp. dalam pengemasan ikan kerapu (Ephinephelus suillus) hidup tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wibowo S, Soekarto TS Cara penanganan udang hidup di luar air untuk transportasi tujuan ekspor. Seminar Hasil Penelitian dan Keragaan Kegiatan Penelitian.8-9 Februari Bogor. Institut Pertanian Bogor.

50 37 Wibowo S, Setiabudi E, Suryaningrum ThD, Sudrajat Y Pengaruh penurunan suhu bertahap terhadap aktivitas lobster hijau pasir (Panulirus humarus). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan (79): Wijaya A Pembiusan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dengan metode penurunan suhu bertahap untuk transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

51 LAMPIRAN

52 39 Lampiran 1 Kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 jam Jam ke Ulangan jumlah ikan hidup Survival rate (ekor) (%) Rataan Rataan 3,67 73, Rataan Rataan 2 40

53 40 Lampiran 2 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan. Jam ke Ulangan suhu serbuk gergaji ( o C) Rataan Rataan 15, Rataan Rataan 18.67

54 41 Lampiran 3 Pengukuran suhu dan RH dengan thermo-hygrometer Pengamatan ke- Suhu RH (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,6 99

55 42 Lampiran 4 Hasil analisis ragam perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan Dependent Variable:SuhuSerbuk Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 59,333 a 3 19,778 29,667,000 Intercept 3201, , ,000,000 JamKe 59, ,778 29,667,000 Error 5,333 8,667 Total 3266, Corrected Total 64, a. R Squared =.918 (Adjusted R Squared =.887) SuhuSerbuk Subset Jam Ke N Duncan a,,b , , , ,67 Sig. 1,000 1,000,347 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) =,667. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha =,05. Homogenus subset

56 43 Lampiran 5 Hasil analisis ragam kelulusan hidup bawal air tawar Dependent Variable:SurvivalRate Tests of Between-Subjects Effects Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model,570 a 3,190 57,000,000 Intercept 5, , ,000,000 JamKe,570 3,190 57,000,000 Error,027 8,003 Total 6, Corrected Total, a. R Squared =.955 (Adjusted R Squared =.939) Homogenus subset SurvivalRate Subset Jam Ke N Duncan a,,b 9 3, , , ,0000 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) =,003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha =,05.

57 44 Lampiran 6 Dokumentasi penelitian Pemeliharaan/adaptasi bawal... Pembiusan secara bertahap Kotak stirofoam uji Pembongkaran bawal Pembugaran bawal

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2011 di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama.

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2011 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Pemeliharaan Lobster Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi,

Lebih terperinci

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) merupakan hewan avertebrata air yang memiliki pelindung tubuh berupa rangka eksoskeleton

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 Komariah Tampubolon 1 dan Wida Handini 2 ABSTRAK Penelitian ini mengkaji berbagai

Lebih terperinci

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai "4 - a II. TINJAUAN PUSTAKA 2A. \kan Jamba\S\an\ {Pangasius hypophthalmusf) Ikan jambal slam {Pangasius hypophthalmus F) merupakan ikan ekonomis tinggi, karena dagingnya mempunyai citarasa yang khas dan

Lebih terperinci

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR Satria Wati Pade, I Ketut Suwetja, Feny Mentang Pascasarjana Prodi Ilmu Pangan, UNSRAT, Manado lindapade@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR Shelf Applications in Storage Container for Freshwater Prawn (Cherax quadricarinatus)

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009)

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitlan ^ ^' ' Peiaksanaan penelitian berlangsung di Laboratorium Teknologi Budidaya Perairan Fakuttas Perikanan dan llmu Kelautan Universitas Riau. Penelitian

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian berjudul Pengujian Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku dan Industri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus ) DENGAN METODE PENURUNAN SUHU BERTAHAP UNTUK TRANSPORTASI SISTEM KERING 1 Ruddy Suwandi 2, Afiat Wijaya 2, Tati Nurhayati 2 dan Roni Nugraha 2 ABSTRACT

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING

PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DAN CARA PENGEMASANNYA PADA TRANSPORTASI HIDUP SISTEM KERING GUSTI ADI NIRWANSYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Metodologi penelitian sesuai dengan Supriyono, et al. (2010) yaitu tahap pendahuluan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan persiapan media uji bahan pemingsan dan hewan yaitu hati batang pisang dan ikan bawal air tawar. Tahap ini juga dilakukan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING 58 UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING (Survival Test of Tiger Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) with

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2010. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Basah bagian Lingkungan. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan,

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lobster air tawar (LAT) saat ini mulai marak dibudidayakan di Indonesia. Awalnya, komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, pembudidaya mulai

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah akuarium dengan dimensi 50 x 30 x 30 cm 3 untuk wadah pemeliharaan ikan, DO-meter, termometer, ph-meter, lakban, stoples bervolume 3 L,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Ikan nila yang digunakan adalah ikan nila strain BEST yang berasal dari Instalasi Riset Plasma Nutfah, Cijeruk dengan ukuran panjang 4,52±3,9 cm dan bobot 1,35±0,3

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Pada tahap pendahuluan dilakukan penentuan kemampuan puasa ikan, tingkat konsumsi oksigen,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit,

Lebih terperinci

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 2 Februari 2015 ISSN: 2302-3600 TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata)

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR UMI LAILATUL AHDIYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. : Cypriniformes. : Colossoma macropomum,

2 TINJAUAN PUSTAKA. : Cypriniformes. : Colossoma macropomum, 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum ) Ikan bawal yang telah tersebar dan berkembang serta dikenal oleh masyarakat Indonesia termasuk jenis Colossoma spp,

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR Oleh : Wida Handini C34103009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada 17 Januari 2016 di UD. Populer yang terletak di Jalan Raya Cerme Lor no. 46, Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Suhu Pembiusan Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan kelulusan hidup induk ikan jambal siam di luar habitatnya, beberapa variasi suhu

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI 1. PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan Benur udang vannamei yang digunakan dalam penelitian berasal dari Balai Benih Air Payau (BBAP) Situbondo menggunakan transportasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang akan diterapkan yaitu pemakaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Kelautan untuk membuat ekstrak daun sirih, Laboratorium Fisiologi Hewan Air (FHA) untuk

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan 1 P a g e Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan Pengasapan Ikan Menurut perkiraan FAO,2 % dari hasil tangkapan ikan dunia diawetkan dengan cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Penanganan pascapanen sangat berperan dalam mempertahankan kualitas dan daya simpan buah-buahan. Penanganan pascapanen yang kurang hati-hati dan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal.110-116, Mei-September 2014, ISSN 1411-5549 PENGARUH PEMBERIAN SUHU 8 O C TERHADAP LAMA WAKTU PINGSAN IKAN MAS (Cyprinus carpio), IKAN PATIN (Pangasius sp.), IKAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50 hari di Balai Benih Ikan (BBI) Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Pembuatan pakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR. Cecep Iman Firmansyah

PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR. Cecep Iman Firmansyah PENGGUNAAN AERATOR PADA TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) HIDUP DENGAN MEDIA AIR Cecep Iman Firmansyah PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebutnya sebagai Red Belly Pacu karena bagian perutnya yang berwarna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebutnya sebagai Red Belly Pacu karena bagian perutnya yang berwarna BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) Ikan bawal (Colossoma macropomum) berasal dari negeri Samba, Brazil. Di Negara asalnya ikan ini disebut Tambaqui. Di Amerika dan Inggris

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C34050814 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Mei 2013 dilaksanakan di Hatchery Ciparanje, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Oleh : YOLIVIA ASTRIANIEZ SEESAR F14053159 2009 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) tiga perlakuan dengan masing-masing tiga ulangan yaitu : 1) Perlakuan A dengan pergantian air

Lebih terperinci

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi 1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan Bawal (Colossoma macropomum) Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) merupakan spesies ikan yang potensial untuk dibudidayakan baik di kolam maupun di keramba.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan September 2009 bertempat di Laboratorium Sistem Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan tempat Penelitian teknologi budidaya sepenuhnya meggunakan pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) dan teknlogi budidaya menggunakan pakan pengganti berupa

Lebih terperinci

[ GROUPER FAPERIK] [Pick the date]

[ GROUPER FAPERIK] [Pick the date] PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP TINGKAT KELULUSHIDUPAN (SR) BENIH IKAN NILA ( Oreochromis Niloticus ) ENDAH SIH PRIHATINI Dosen Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan

Lebih terperinci

IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN

IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahap Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahap Penelitian 9 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Adapun tempat penelitiannya yaitu di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen

Lebih terperinci

Bisnis Budidaya Ikan Bawal

Bisnis Budidaya Ikan Bawal Bisnis Budidaya Ikan Bawal Nama : Anung Aninditha Nim : 10.11.3944 Kelas : S1.TI.2F STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAK Ikan bawal merupakan jenis ikan yang cukup poluper di pasar ikan konsumsi. Selain

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum), merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum), merupakan ikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum), merupakan ikan introduksi yang berasal dari wilayah Amazon negara bagian Amerika Serikat. Di negara asalnya ikan ini telah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan November 2011 di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Benih ikan patin siam di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Benih ikan patin siam di BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011. Benih ikan patin siam di trasportasikan dari hatchery pembenihan Balai Benih Ikan Inovatif (BBII) Provinsi

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di. Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

METODE KERJA. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di. Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. 22 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di Laboratorium Biologi Molekuler, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI Oleh : Ir. Nur Asni, MS Peneliti Madya Kelompok Peneliti dan Pengkaji Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas Media Litbang Sulteng 2 (2) : 126 130, Desember 2009 1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Usman beralamat di GG. Nusantara 1-3 Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik dan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Usman beralamat di GG. Nusantara 1-3 Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik dan BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di HatcheryUD. Populer milik Bapak Haji Usman beralamat di GG. Nusantara 1-3 Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik dan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani

I. PENDAHULUAN. tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani dengan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci