BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kriteria yang diciri-cirikan dengan kerja keras, dedikasi dan

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Keterlibatan Kerja Keterlibatan kerja mengacu kepada pekerjaan yang positif dan memenuhi kriteria yang diciri-cirikan dengan kerja keras, dedikasi dan absorbsi Schaufeli et al (2002). Kekuatan (kegiatan) ditandai oleh tingkat energi yang tinggi dan keuletan mental saat bekerja. Dedikasi mengacu kepada pengenalan yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan meliputi perasaan inspirasi, kebanggaan, antusiasme, keberartian dan tantangan. Dimensi terakhir dari keterlibatan adalah absorpsi (penyerapan), yang ditandai sebagai dimensi yang benar-benar terfokus kepada pekerjaan seseorang sehingga waktu tampak berlalu dengan cepat dan orang menganggap semakin sulit untuk tidak melibatkan seseorang dalam pekerjaan (Chughtai, 2011). Dalam penelitian (Chughtai, 2011) konsep keterlibatan kerja telah memiliki keberartian yang semakin besar karena hal ini terkait dengan hasil karyawan yang penting. Sebagai contoh, bukti penelitian mengindikasikan bahwa tingginya tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat muncul dalam kepuasan kerja yang meningkat, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan, berkurangnya turnover, semakin rendahnya angka ketidakhadiran, dan kinerja yang unggul (Saks, 2006). Karena 9

2 manfaat yang signifikan ini, para pemimpin organisasi sekarang terus menerus memeringkatkan perkembangan angkatan kerja yang terlibat sebagai sebuah prioritas organisasi (Shuck dan Wollard, 2009, hal. 2). Beberapa peneliti telah berpendapat bahwa keterlibatan kerja memiliki tumpang tindih konseptual yang kuat dengan komitmen, yang menimbulkan pertanyaan mengenai apakah kedua konsep tersebut dapat dibedakan atau tidak menurut Chughtai (2011). Akan tetapi, konsep ini secara konseptual berbeda karena komitmen merefleksikan ikatan psikologis karyawan dengan target tertentu, yang dalam konteks penelitian ini adalah supervisor langsung mereka, meskipun fokus dari keterlibatan tersebut adalah terhadap hubungan karyawan dengan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Selain itu, Hallberg dan Schaufeli (2006) secara empiris menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dan komitmen adalah dua konsep yang berbeda dan memperlihatkan pola hubungan yang berbeda dengan variabel-variabel lain. Khususnya, mereka menemukan bahwa keterlibatan lebih terkait erat dengan indikator kesehatan dan kesejahteraan, sementara komitmen merupakan prediktor yang lebih kuat dari niat berganti pekerjaan (turnover intention). Singkatnya, bukti ini menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dapat dibedakan dengan komitmen atas dasar konseptual serta empiris. 10

3 2. Komitmen Afektif Komitmen afektif dikatakan sebagai kekuatan seseorang untuk bekerja di dalam sebuah organisasi, karena mereka menyetujui dan berkeinginan untuk melakukan pekerjaan tersebut. (The strength of a person s desire to work of organization because he or she agrees with it and wants to do so). Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi Greenberg dan Baron (1993) Menurut Rhoades et al (2001) menyatakan bahwa affective commitment adalah suatu hubungan yang kuat antara individu dengan perusahaan yang diidentifikasikan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Affective Commitment menurut Rhoades et al., (2001) menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi affective commitment, yaitu : a. Dukungan (kehandalan) organisasi, yaitu sejauhmana individu merasa bahwa organisasi tempatnya bekerja dapat diandalkan dalam memperhatikan minat para anggotanya. Jika organisasi dapat diandalkan dan dipercaya memperhatikan kesejahteraan anggota, maka mereka akan merasa lebih bertanggung jawab pada organisasinya 11

4 b. Situasi organisasi (perasaan dipentingkan oleh organisasi), yaitu sejauhmana individu merasa dipentingkan atau diperlukan dalam mengemban misi organisasi. Jika organisasi dapat memberi rasa aman dan situasi yang menyenangkan, maka mereka akan lebih memiliki komitmen yang besar terhadap organisasi tersebut. Rhoades et al., (2001) mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara dukungan organisasi dan situasi organisasi. Dukungan organisasi yang dimaksudkan adalah perhatian organisasi terhadap kebutuhan individu yang meliputi keberadaan organisasi dalam memperhatikan minat dan kesejahteraan anggota organisasi. Sedangkan situasi organisasi yang dimaksudkan adalah tingkat kenyamanan individu dalam bekerja pada organisasi yang meliputi perasaan individu tersebut bila diperlukan dalam organisasi. Keduanya telah dibuktikan berpengaruh secara signifikan terhadap affective commitment. Moideenkutty et al., (2001) berpendapat bahwa affective commitment dihasilkan dari kepuasan kebutuhan karyawan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan kebutuhan psikologis dari organisasi. Rhoades et al., (2001) menyatakan bahwa organizational rewards, procedural justice dan supervisorsupport berpengaruh positif terhadap affective commitment 12

5 3. Perilaku Kerja Inovatif De Jong & Den Hartog (2003) merinci lebih mendalam proses inovasi dalam 4 tahap sebagai berikut: a. Melihat kesempatan. Bagi karyawan untuk mengidentifikasi kesempatan-kesempatan. Kesempatan dapat berawal dari ketidakkongruenan dan diskontinuitas yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian dengan pola yang diharapkan misalnya timbulnya masalah pada pola kerja yang sudah berlangsung, adanya kebutuhan konsumen yang belum terpenuhi, atau adanya indikasi trends yang sedang berubah. b. Mengeluarkan ide. Dalam fase ini, karyawan mengeluarkan konsep baru dengan tujuan menambah peningkatan. Hal ini meliputi mengeluarkan ide sesuatu yang baru atau memperbaharui pelayanan, pertemuan dengan klien dan teknologi pendukung. Kunci dalam mengeluarkan ide adalah mengombinasikan dan mereorganisasikan informasi dan konsep yang telah ada sebelumnya untuk memecahkan masalah dan atau meningkatkan kinerja. Proses inovasi biasanya diawali dengan adanya kesenjangan kinerja yaitu ketidaksesuaian antara kinerja aktual dengan kinerja potensial. c. Implementasi. Dalam fase ini, ide ditransformasi terhadap hasil yang konkret. Pada tahapan ini sering juga disebut tahapan konvergen. Untuk mengembangkan ide dan mengimplementasikan ide, karyawan harus memiliki perilaku yang mengacu pada hasil. Perilaku Inovasi 13

6 Konvergen meliputi usaha menjadi juara dan bekerja keras. Seorang yang berperilaku juara mengeluarkan seluruh usahanya pada ide kreatif. Usaha menjadi juara meliputi membujuk dan mempengaruhi karyawan dan juga menekan dan bernegosiasi. Untuk mengimplementasikan inovasi sering dibutuhkan koalisi, mendapatkan kekuatan dengan menjual ide kepada rekan yang berpotensi. d. Aplikasi. Dalam fase ini meliputi perilaku karyawan yang ditujukan untuk membangun, menguji, dan memasarkan pelayanan baru. Hal ini berkaitan dengan membuat inovasi dalam bentuk proses kerja yang baru ataupun dalam proses rutin yang biasa dilakukan. Pendapat senada dikemukakan oleh Brazeal & Herbert (1997) mengatakan bahwa inovasi adalah implementasi yang berhasil dari ide-ide kreatif. Bryd & Bryman (2003) mengatakan bahwa ada dua dimensi yang mendasari perilaku inovatif yaitu kreativitas dan pengambilan resiko. Demikian halnya dengan pendapat Amabile dkk (1996) bahwa semua inovasi diawali dari ide yang kreatif. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide baru yang terdiri dari 3 aspek yaitu keahilan, kemampuan berfikir fleksibel dan imajinatif, dan motivasi internal (Bryd & Bryman, 2003). Dalam proses inovasi, individu mempunyai ide-ide baru, berdasarkan proses berfikir imajinatif dan didukung oleh motivasi internal yang tinggi. Namun demikian sering kali, proses inovasi berhenti dalam tataran menghasilkan ide kreatif saja dan hal ini tidak dapat dikategorikan dalam perilaku inovatif. 14

7 Dalam mengimplementasikan ide diperlukan keberanian mengambil resiko karena memperkenalkan hal baru mengandung suatu resiko. Yang dimaksud dengan pengambilan resiko adalah kemampuan untuk mendorong ide baru menghadapi rintangan yang menghadang sehingga pengambilan resiko merupakan cara mewujudkan ide yang kreatif menjadi realitas (Bryd & Brown, 2003). Oleh karenanya, jika tujuan semula melakukan inovasi untuk kemanfaatan organisasi, tetapi jika tidak dikelola dengan baik justru menjadi bumerang. Adapun inovasi yang sesuai dengan perilaku inovatif adalah inovasi inkremental. Dalam hal ini, yang melakukan inovasi bukan hanya para ahli saja tetapi semua karyawan yang terlibat dalam proses inovasi tersebut. Oleh karenanya sistem pemberdayaan karyawan sangat diperlukan dalam perilaku inovatif ini. Diduga bahwa tingkat keterlibatan yang tinggi akan memicu para karyawan untuk memperlihatkan perilaku kerja yang inovatif. Hubungan antara kedua variabel ini dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka teori broaden-and-build (memperluas dan membangun) tentang emosi positif. Teori ini menyatakan bahwa emosi positif tertentu seperti kesenangan, minat dan cinta memperluas daftar pemikiran-tindakan sebentar dari orang-orang dan membangun sumberdaya personal mereka yang permanen dan tahan lama. Frederickson (1998) berpendapat bahwa pengalaman emosi positif tertentu mendorong individu untuk membuang naskah perilaku (sehari-hari) otomatis atau yang teruji waktu dan mencari jalur pikiran dan tindakan baru, yang kreatif dan seringkali tanpa naskah. 15

8 Maka dari itu, dapat dipahami bahwa mereka mungkin merasakan desakan untuk mengujicoba metode-metode penelitian baru dan menghasilkan solusi kreatif bagi permasalahan. 4. Umpan Balik Untuk Perbaikan Diri Ashford dan Tsui (1991) menyoroti dua manfaat dari pencarian umpan balik diagnostik bagi individu yang menjadi fokus.yang pertama, bentuk umpan balik mungkin terbukti lebih bermanfaat dalam mengidentifikasi kelemahan dalam kinerja dan akibatnya dapat memfasilitasi individu fokus agar mengadopsi strategi-strategi yang tepat guna mengatasi kelemahan ini. Yang kedua, apabila seseorang mencari umpan balik bagi perbaikan diri bagi atasannya, ia dapat dianggap sebagai seseorang yang sungguh-sungguh meningkatkan perilaku terkait kinerjanya. Hal ini nantinya, dapat mengarahkan para atasan untuk mengembangkan sebuah opini yang lebih positif tentang efektivitas keseluruhan dari pencari tersebut. Kesimpulannya, aksi mencari umpan balik diagnostik dapat memiliki manfaat informasi dan kesan manajemen bagi pencari. Akan tetapi, meskipun memiliki potensi keunggulan, aksi pencarian umpan balik memerlukan biaya bagi individu fokus. Sebagai contoh, VandeWaller (2003) menetapkan tiga biaya yang terkait dengan perilaku mencari umpan balik: 16

9 a. Biaya tenaga. Yang merefleksikan banyaknya usaha (tenaga) yang harus dikerahkan oleh seseorang untuk memperoleh umpan balik. b. Biaya ego. Yang mengacu kepada biaya-biaya yang didatangkan sebagai hasil dari penerimaan informasi tentang diri sendiri. c. Biaya presentasi diri. Yang mengacu kepada memperlihatkan ketidakamanan seseorang dan kebutuhan akan bantuan kepada orang lain. Maka dari itu, dikemukakan bahwa orang-orang hanya akan mencari umpan balik jika manfaat keterlibtan dalam perilaku ini lebih besar dari biayanya. Dalam penelitian (Chughtai, 2011) bahwa karyawan yang terlibat mungkin lebih terfokus kepada nilai dan tidak terlalu terfokus kepada biaya yang terkait dengan pencarian umpan balik diagnostik dan maka dari itu, akan lebih mau terlibat dalam perilaku resiko interpersonal ini. Karyawan yang terlibat berkomitmen untuk bekerja dengan standar tinggi dan memiliki keinginan yang kuat untuk belajar. Maka dari itu ada spekulasi bahwa pekerja yang terlibat dapat memahami proses pencarian informasi dan perbaikandiri sebagai sebuah peluang untuk memperbaiki kekurangan yang terkait dengan kinerja mereka dan memuaskan kegemaran belajar mereka. Pencarian akan perbaikan diri dan pembelajaran ini, nantinya dapat merangsang para karyawan untuk mencari umpan balik diagnostik. 17

10 5. Pelaporan Kesalahan Zhao dan Olivera (2006) menggunakan istilah pelaporan kesalahan untuk menggambarkan aksi orang-orang yang mengkomunikasikan kesalahan mereka kepada para manajer atau supervisor mereka, baik secara verbal (lisan) atau melalui sistem pelaporan kesalahan yang formal. Penelitian mengungkapkan bahwa kecenderungan karyawan untuk mengungkapkan kesalahan mereka dapat merangsang pembelajaran dan kinerja individu, tim,dan organisasi. Sebagai contoh, Rybowiak dkk. (1999) melaporkan bahwa pembahasan kesalahan dengan orang lain dapat membantu karyawan memahami dan mengenali penyebab kesalahan mereka, yang selanjutnya mengarah kepada perkembangan pengetahuan tugas. Seifert dan Hutchins (1992) dalam penelitiannya tentang navigasi menemukan bahwa kesalahan tidak hanya membantu untuk mengenali kebutuhan pelatihan orang-orang baru tetapi juga meningkatkan pembelajaran di tingkat kelompok. Di lain pihak, kecenderungan karyawan untuk menyembunyikan kesalahan mencegah orgnisasi mengambil tindakan perbaikan dan dapat mengakibatkan konsekuensi negatif seperti, biaya ekonomi yang lebih tinggi, publisitas negatif, berkurangnya kepuasan pelanggan dan dalam kasus yang ekstrim kecelakaan dan hilangnya nyawa manusia. Menurut Chughtai ( 2011) meskipun ada manfaat dari pelaporan kesalahan dan konsekuensi buruk terkait dengan pengungkapan kesalahan, 18

11 namun orang-orang enggan untuk terlibat dalam perilaku ini. Ini karena seperti halnya pencarian umpan balik, pelaporan kesalahan juga merupakan sebuah perilaku beresiko interpersonal, yang melibatkan banyak biaya bagi orang-orang terkait. Sebagai contoh, dengan melaporkan kesalahan, karyawan menghadapi resiko dianggap tidak kompeten, yang dapat merusak reputasi mereka dan menghambat perkembangan karir mereka didalam organisasi. Maka dari itu, para karyawan hanya akan melaporkan kesalahan-kesalahan jika mereka percaya bahwa manfaat dari keterlibatan dalam perilaku ini lebih besar dari biaya-biaya terkaitnya. Selanjutnya, Zhao dan Olivera (2006) berpendapat bahwa orangorang yang memiliki self-efficacy (keunggulan diri) tinggi cenderung mengalami emosi negatif yang lebih sedikit tentang kesalahan dan maka dari itu, lebih mungkin untuk terlibat dalam pelaporan kesalahan. Khususnya, mereka berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki keunggulan lebih terfokus kepada manfaat pembelajaran dari pelaporan kesalahan karena mereka percaya bahwa mereka dapat menerapkan pembelajaran mereka pada efek positif. Penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang terlibat memiliki gagasan yang tinggi tentang selfefficacy, yang diharapkan akan memberi mereka dorongan yang diperlukan untuk mengkomunikasikan kesalahan. 19

12 B. Hipotesis 1. Komitmen afektif dan keterlibatan kerja Hallberg dan Schaufeli (2006) secara empiris menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dan komitmen adalah dua konsep yang berbeda dan memperlihatkan pola hubungan yang berbeda dengan variabel-variabel lain. Khususnya, mereka menemukan bahwa keterlibatan lebih terkait erat dengan indikator kesehatan dan kesejahteraan, sementara komitmen merupakan prediktor yang lebih kuat dari niat berganti pekerjaan (turnover intention). Singkatnya, bukti ini menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dapat dibedakan dengan komitmen atas dasar konseptual serta empiris. Pada penelitian Chughtai (2011), komitmen yang kuat terhadap supervisor akan memperbesar keterlibatan karyawan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika karyawan menunjukkan komitmen dan loyalitas terhadap supervisor mereka, supervisor mungkin membalas dibawah norma-norma pertukaran sosial dengan menghargai mereka menggunakan banyak sumber daya yang nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) seperti meningkatnya dukungan, umpan balik yang bersifat membangun, pelatihan yang lebih baik, kontrol yang lebih besar atas pelaksanan kerja dan akses terhadap tugas-tugas yang lebih menantang (Liden et al, 1997; Siders et al, 2001). Menurut model sumber daya permintaan pekerjaan, sumber dayasumber daya ini dapat memainkan peran motivasi intrinsik karena mereka merangsang pertumbuhan dan perkembangan personal atau peran motivasi 20

13 ekstrinsik karena mereka memfasilitasi penyelesaian tugas dan pencapaian sasaran dan maka dari itu, memiliki potensi untuk meningkatkan keterlibatan dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2004; Bakker dan Demerouti, 2007). H1.Komitmen afektif akan terkait secara positif dengan keterlibatan kerj 2. Keterlibatan kerja dan perilaku kerja inovatif Janssen (2000) berpendapat bahwa perilaku kerja inovatif terdiri atas tiga tugas perilaku yang saling berkaitan yaitu: pembangkitan ide, promosi ide, dan realisasiide. Pembangkitan ide mengacu kepada perumusan ide-ide baru, yang dalam beberapa hal bermanfaat bagi organisasi atau kelompok kerja. Chughtai (2011) dalam penelitiannya tingkat keterlibatan yang tinggi akan memicu para karyawan untuk memperlihatkan perilaku kerja yang inovatif. Hubungan antara kedua variabel ini dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka teori broaden-and-build (memperluas dan membangun) tentang emosi positif. Frederickson, (2000) berpendapat teori ini menyatakan bahwa emosi positif tertentu seperti kesenangan, minat dan cinta memperluas pemikiran dan membangun sumber daya personal mereka yang permanen dan tahan lama. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa mereka mungkin merasakan desakan untuk mengujicoba metodemetode penelitian baru dan menghasilkan solusi kreatif bagi permasalahan. Penelitian terdahulu memberikan bukti empiris pendukung bahwa 21

14 keterlibatan kerja dapat meningkatkan perilaku kerja inovatif (Hakanenet al., 2008) H2. Keterlibatan kerja akan terkait secara positif dengan perilaku kerja inovatif. 3. Keterlibatan kerja dan pencarian umpan balik bagi perbaikan diri Ashford dan Tsui (1991) menyoroti dua manfaat dari pencarian umpan balik diagnostik bagi individu yang menjadi fokus.yang pertama, bentuk umpan balik mungkin terbukti lebih bermanfaat dalam mengidentifikasi kelemahan dalam kinerja dan akibatnya dapat memfasilitasi individu fokus agar mengadopsi strategi-strategi yang tepat guna mengatasi kelemahan ini. Yang kedua, apabila seseorang mencari umpan balik bagi perbaikan diri bagi atasannya, ia dapat dianggap sebagai seseorang yang sungguh-sungguh meningkatkan perilaku terkait kinerjanya. Hal ini nantinya, dapat mengarahkan para atasan untuk mengembangkan sebuah opini yang lebih positif tentang efektivitas keseluruhan dari pencari tersebut. Kesimpulannya, aksi mencari umpan balik diagnostik dapat memiliki manfaat informasi dan kesan manajemen bagi pencari. Hakanen et al.,(2008) mengidentifikasibahwa karyawan yang terlibat dalam suatu perusahaan dapat memperlihatkan keuletan dan inisiatif personal di tempat kerja mereka. Chughtai (2011) Karena sifat mereka yang ulet dan kemampuan mereka untuk mengambil inisiatif, 22

15 diduga bahwa para karyawan yang terlibat akan lebih dibekali untuk menghadapi ego dan biaya upaya mencari umpan balik bagi perbaikan diri, yang dapat meningkatkan kemauan mereka guna mencari umpan balik semacam itu. H3. Keterlibatan kerja akan terkait secara positif dengan pencarian umpan balik bagi perbaikan diri. 4. Keterlibatan kerja dan pelaporan kesalahan Zhao dan Olivera (2006) menggunakan istilah pelaporan kesalahan untuk menggambarkan aksi orang-orang yang mengkomunikasikan kesalahan mereka kepada para manajer atau supervisor mereka, baik secara verbal (lisan) atau melalui sistem pelaporan kesalahan yang formal. Penelitian mengungkapkan bahwa kecenderungan karyawan untuk mengungkapkan kesalahan mereka dapat merangsang pembelajaran dan kinerja individu, tim, dan organisasi. Penelitian Chughtai (2011) bahwa tingkat keterlibatan kerja karyawan yang tinggi akan mendorong karyawan agar melaporkan kesalahan-kesalahan. Sonnentag (2003) berpendapat bahwa para karyawan yang terlibat adalah orang-orang yang berorientasi kepada pembelajaran, yang tidak secara jelas khawatir membuat kesalahan karena mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari dan paket dari proses pembelajaran. Berdasarkan bukti ini, adalah masuk akal untuk 23

16 mengungkapkan bahwa para karyawan yang terlibat akan lebih cenderung melaporkan kesalahan-kesalahan daripada karyawan yang tidak terlibat. H4. Keterlibatan kerja akan terkait secara positif dengan pelaporan kesalahan. 5. Komitmen afektif dan perilaku kerja yang inovatif Dalam penelitiannya (Chughtai, 2011) dikatakan bahwa komitmen afektif terhadap supervisor terkait positif dengan keterlibatan kerja, yang nantinya, terkait secara positif dengan perilaku kerja yang inovatif, pencarian umpan balik bagi perbaikan diri dan pelaporan kesalahan. Selanjutnya dikatakan bahwa komitmen supervisorakan memiliki hubungan langsung dengan variabel perilaku kerja yang inovatif dan bahwa hubungan ini akan dimediasi sepenuhnya oleh keterlibatan kerja. Dalam penelitiannya (Chughtai, 2011) dijelaskan bahwa pada saat karyawan menunjukkan komitmen terhadap supervisor mereka, maka supervisor mungkin membalas dengan menawari mereka lebih banyak dukungan, yang memberikan pelatihan berkualitas, yang memberikan umpan balik konstruktif dan memberi mereka kebebasan yang lebih besar untuk menjalani peran mereka. Tindakan-tindakan positif semacam itu di pihak supervisor dapat menciptakan sebuah lingkungan kerja yang aman dan penuh sumber daya, yang dapat meningkatkan daya inovasi karyawan (Amabile et al., 1996) dan mendorong mereka untuk terlibat dalam 24

17 perilaku beresiko secara interpersonal seperti, pencarian umpan balik dan pelaporan kesalahan (Edmondson, 2004). Seperti studi yang dilakukan oleh Chughtai, (2011) keterlibatan kerja diduga memediasi pengaruh langsung dari komitmen terhadap ketiga variabel hasil. Maka dari itu, hipotesis-hipotesis berikut ini diajukan: H5. Keterlibatan kerja akan memediasi hubungan positif antara komitmen afektif dengan perilaku kerja inovatif. H6. Keterlibatan kerja akan memediasi hubungan positif antara komitmen afektif dengan pencarian umpan balik untuk perbaikan diri. H7. Keterlibatan kerja akan memediasi hubungan positif antara komitmen afektif dengan pelaporan kesalahan. C. Kerangka Pemikiran Y1 X Z Y2 Y3 25

18 Perilaku Kerja Inovatif Komitmen Afektif Keterlibatan Kerja Pencarian Umpan Balik untuk Perbaikan Diri Pelaporan Kesalahan Keterangan: Bagan 1. Kerangka Pemikiran X (Variable Independen) : Komitmen Afektif Z (Variable Pemediasi) : Keterlibatan Kerja Y1 (Variable Dependen 1) : Perilaku Kerja Inovatif Y2 (Variabel Dependen 2) : Pencarian Umpan Balik untuk Perbaikan Diri Y3 (Variabel Dependen 3) : Pelaporan Kesalahan 26