BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Robbins & Judge (2007) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut mencapai kesuksesan. Mangkunegara (2011) mengartikan motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Sedangkan Munandar (2014) motivasi berprestasi adalah dorongan yang kuat untuk berhasil, dimana individu hanya berfokus untuk mengejar prestasi dari pada imbalan terhadap keberhasilan, individu juga akan lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan selalu menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, Woolfolk (1995) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan untuk meraik kesuksesan dan keunggulan dengan menggunakan daya kemampuan yang dimiliki secara maksimal. Mylsidayu (2015) mendefinisikan 13

2 14 bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan yang terjadi dalam diri individu untuk senantiasa meningkatkan kualitas tertentu dengan sebaik-baiknya atau lebih dari biasa dilakukan. Siagian (2004), motivasi berprestasi adalah orang yang berusaha berbuat sesuatu lebih baik dibandingkan dengan orang-orang lain dengan cara memperlihatkan keunggulannya. Menurut As ad (2004) motivasi berprestasi merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses yang diukur berdasarkan standar kesempurnaan dalam diri seseorang. Kebutuhan ini, berhubungan dengan pekerjaan dan mengarah ke tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi. Berdasarkan uraian beberapa penjelasan diatas tentang definisi motivasi berprestasi. Maka peneliti menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi ialah usaha tiap individu dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencapai tujuan karena tujuan yang akan dicapai merupakan tanggung jawabnya. 2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009) orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi ditandai dengan hal-hal berikut: a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan menjadikan setiap tidakan yang diambil merupakan tanggung jawab pribadi. Jika gagal, ia tidak akan menyalahkan orang lain atas kegagalan tersebut, tetapi hal itu dinilai dan dirasakannya sebagai tanggung jawabnya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha untuk menyelesaikan setiap tugas yang dilakukan dan tidak akan meninggalkan tugas itu sebelum berhasil menyelesaikannya.

3 15 Individu akan merasa berhasil apabila telah menyelesaikan tugas dan gagal bila ia tidak dapat menyelesaikannya. b. Mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya Individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan menggunakan umpan balik dalam perbuatannya. Hal ini ia lakukan untuk mengetahui apakah tindakannya selama ini memiliki manfaat yang dapat berguna bagi individu lainnya atau tidak. Dengan menggunakan evaluasi tersebut ia dapat meningkatkan efektivitas tingkah lakunya untuk mencapai suatu prestasi. Pada individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi ini, pemberian umpan balik atas hasil kerja yang telah dilakukan sangatlah disukai. Umpan balik yang diberikan ini selanjutnya akan diperhatikan dan dilaksanakan untuk perbaikan hasil kerja yang akan datang. c. Adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang dalam melakukan tugasnya. Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan melaksanakan suatu tugas yang ada tantangannya, tetapi yang dapat dicapai secara nyata. Ia tidak menyukai tugas yang terlalu mudah ataupun yang terlalu sukar, tetapi tugas yang disesuaikan dengan kemampuannya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi mempertimbangkan resiko yang akan dihadapinya sebelum memulai suatu pekerjaan. Ia akan memilih tugas dengan derajat kesukaran sedang, yang menantang kemampuannya untuk mengerjakan namun masih memungkinkannya untuk berhasil menyelesaikannya dengan baik.

4 16 d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, tidak terikat pada suatu yang bersifat statis tetapi cenderung bertindak secara aktif mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapinya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung bertindak kreatif, dengan mencari cara baru untk menyelesaikan tugas seefisien dan seefektif mungkin. Ia tidak menyukai pekerjaan rutin dengan pekerjaan yang sama. Bila dihadapkan pada tugas yang bersifat rutin, ia akan berusaha mencari cara lain untuk menghindari rutinitas tersebut namun tetap dapat menyelesaikan tugasnya itu. Selain itu menurut Menurut Robbins & Judge (2007) orang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi ditandai dengan: a. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas dengan taraf kesulitan sedang dan dianggap realistis dengan kemampuannya untuk melakukan tuntutan pekerjaan. b. Bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara pribadi terhadap kinerjanya. Mereka akan memperoleh

5 17 kepuasan setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawabnya. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum selesai. c. Menerima umpan balik Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat memberikan informasi apakah seseorang hasil kerjanya telah berhasil mencapai seperti apa yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut serta dapat dengan mudah menentukan apakah dirinya berkembang atau tidak ketika bekerja. Mangkunegara (2011) berpendapat bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ditandai dengan: a. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya tindakan yang diambil dalam sesuatu hal. b. Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya, individu selalu memiliki kemampuan dalam hal penyusunan tugas dan segala sesuatunya akan dikerjakan dan diselesaikan sesuai apa yang dijanjikannya, hal ini terkait dengan efektivitas individu terhadap pekerjaannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi akan memiliki efektivitas pada program yang telah disusunya hingga dapat diselesaikan secara singkat dan tetap menghasilkan hasil yang memuaskan.

6 18 c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya, individu selalu mengambil risiko yang dapat menjadikan dirinya berpeluang untuk lebih berprestasi. Hal tersebut yang terjadi jika individu memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. d. Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, individu selalu berusaha menyelesaikan tugas yang sudah dipilih dengan hasil yang memuaskan karena individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mengerahkan segala kemampuannya untuk berprestasi. e. Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu, individu selalu ingin menjadi yang lebih baik sehingga memiliki keinginan untuk menguasai segala hal yang masih dapat mencakup kemampuan yang di miliki diri individu tersebut. Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan aspek-aspek tentang motivasi berprestasi yaitu menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009) adalah memiliki tanggung jawab yang besar, mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya, adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Sedangkan aspekaspek motivasi berprestasi menurut Robbins & Judge (2007) yaitu menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya, dan menerima umpan balik. Selain, kedua tokoh tersebut Mangkunegara (2011) memberikan aspek-aspek individu yang memiliki motivasi

7 19 berprestasi yang tinggi yaitu memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya, melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, dan mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu. Penjelasan dari aspek-aspek diatas, maka peneliti memilih aspek menurut McClelland yaitu memiliki tanggung jawab yang besar, mempergunakan feed back (umpan balik) dalam perbuatannya, adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Peneliti memilih aspek tersebut karena lebih komprehensif dan aspek-aspek tersebut mengarahkan kepada individu untuk memiliki sikap yang tidak mudah menyerah dalam mencapai kesuksesan dengan menentukan standar prestasi dari dirinya sendiri. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi : a. Kemungkinan untuk sukses, Situasi dimana individu akan mengejar kesuksesan secara maksimal untuk mendapatkan kepuasan dari melakukan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya

8 20 sendiri. Ketika situasi tersebut memungkinkan untuk sukses pada individu tersebut, maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi. b. Ketakutan akan kegagalan, Mengacu pada perasaan individu tentang ketakutan akan sebuah kegagalan sehingga akan membuat individu untuk semakin termotivasi mencari upaya agar dapat mengatasi kegagalan dan meningkatkan motivasinya untuk berprestasi. c. Value, Value merupakan nilai ketika individu akan mencapai tujuan dan tujuan tersebut benar-benar bernilai baginya, maka akan semakin termotivasi untuk berprestasi dalam hal ini individu akan cenderung melihat uang sebagai value yang dijadikan tujuan bagi individu untuk termotivasi berprestasi. d. Self-efficacy, Mengarah pada keyakinan individu pada dirinya sendiri untuk mampu mencapai keberhasilan. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi. e. Usia, Usia dapat menjadikan seorang individu memiliki perkembangan ego, kematangan emosi dan kematangan berfikir sehingga seorang individu dapat menggunakan kematangan usianya untuk termotivasi agar dapat berprestasi. f. Pengalaman, Pengalaman mampu menjadikan seorang individu mengingat kemampuan yang dimiliki pada masa lalu, memiliki keberagamaan akan sesuatu yang

9 21 diperoleh dari pengalamannya, dan dijadikan sebagai acuan untuk membantunya lebih termotivasi untuk berprestasi. g. Jenis kelamin Jenis kelamin mempengaruhi individu dalam memperoleh prestasi. Pria lebih memiliki motivasi berprestasi dibandingkan wanita didasari pada jenis kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan, pria lebih memiliki pekerjaan yang lebih beragam dibanding wanita. Sementara faktor eksternal meliputi: a. Lingkungan Lingkungan mempengaruhi motivasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Motivasi individu akan menurun jika kondisi lingkungannya tidak mendukung individu yang berada di dalamnya. Dalam organisasi ataupun perusahaan, seorang pegawai dapat memiliki motivasi berprestasi apabila dalam lingkungan organisasi atau perusahaan tersebut terjadi interaksi antar pegawai. Interaksi tersebut dapat berlangsung pada seorang pegawai dengan pegawai yang lainnya dan juga dengan atasan. Motivasi berprestasi individu meningkat dipengaruhi oleh anggota yang berada dalam lingkungan perusahaan tersebut. b. Sosial Faktor sosial yaitu faktor yang menjelaskan tentang pengaruh dari orangorang disekitar individu. Pengaruh motivasi individu dipengaruhi oleh orangorang di sekitarnya/kelompok. Motivasi individu akan menurun jika satu atau dua anggota kelompok tidak memiliki kemampuan kerja kelompok yang baik. Seperti dalam suatu kelompok jika individu satu dengan yang lainnya tidak memiliki

10 22 hubungan yang baik maka akan menurunkan motivasi individu yang berada dikelompok tersebut. c. Hubungan individual Hubungan individual menjelaskan faktor-faktor dari dalam diri individu yang mempengaruhi motivasi seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup kemampuan, talenta, keahlian, dan pengetahuan. Kemampuan tersebut yang menjadi bekal bagi individu untuk memiliki hubungan antar individu satu dengan individu lainnya. Ketika individu memiliki intensitas hubungan maka individu tersebut memiliki objek dan termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya agar lebih baik dari individu lainnya. Selain itu menurut Mangkunegara (2011), faktor-faktor motivasi berprestasi dibagi menjadi dua faktor diantaranya: a. Tingkat kecerdasan (IQ) Orang yang mempunyai motivasi prestasinya tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai. Hal ini karena IQ merupakan kemampuan potensi, apabila terpenuhi maka individu akan mengerahkan segala kemampuannya dan kemampuannya dapat tersalurkan dengan baik untuk mencapai tujuannya secara maksimal. b. Kepribadian Kepribadian yang dewasa akan mampu mencapai prestasi yang maksimal. Hal ini dikarenakan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

11 23 Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan faktor-faktor tentang motivasi berprestasi yaitu menurut McClelland (1987). Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value, selfefficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Selain itu faktor faktor motivasi berprestasi juga dijelaskan oleh Mangkunegara (2011) yaitu dibagi menjadi dua faktor diantaranya tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. Penjelasan dari faktor-faktor diatas, maka yang dipilih oleh peneliti adalah faktor menurut McClelland. Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value, self-efficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Peneliti memilih faktor sosial. Faktor sosial yang dimaksud yaitu persepsi terhadap kohesivitas kelompok karena faktor sosial mempunyai pengaruh pada motivasi individu yang berada di dalam suatu kelompok. kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya. B. Persepsi terhadap kohesivitas kelompok 1. Pengertian Persepsi terhadap Kohesivitas kelompok Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui panca indera untuk memberikan arti bagi lingkungan mereka. Menurut Walgito

12 24 (2003) persepsi yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Sehingga persepsi dapat didefinisikan dengan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang menyeluruh dari dalam diri individu. Baron & Bryne (2003), mengatakan bahwa persepsi merupakan proses yang digunakan oleh individu untuk mencoba mengetahui dan memahami perilaku orang lain. Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu (a) adanya objek yang harus dipersepsi, (b) adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, (c) adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus dan (d) saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. Berbagai uraian tentang persepsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera dengan menafsirkan informasi tersebut hingga menghasilkan arti bagi lingkungan mereka. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi salah satunya adanya objek yang harus dipersepsi dan objek yang akan dipersepsi adalah individu dalam kelompok antara lain kohesivitas kelompok.

13 25 Carron, Bray, & Eys (2002) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai proses dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan kelompok dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat ketertarikan antar anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya dengan menjadi seperti orang-orang di dalam kelompok tersebut. Kesamaan dengan orang-orang di dalam satu kelompok tersebut akan menjadikan anggota satu lebih kompak dengan anggota lain dalam kehidupan berkelompok. Menurut Levi (2001) mendefinisikan cohesiveness yaitu peningkatan komitmen, interaksi dan ketertarikan pada diri individu untuk bergabung di dalam suatu kelompok. Walgito (2003) kohesivitas kelompok merupakan interaksi antara anggota kelompok yang dapat saling mempengaruhi, saling menyukai dan melekat satu sama lain hoingga menyelesaikan tugas yang merupakan tujuan dari kelompok tersebut. Beberapa uraian diatas yang menjelaskan tentang kohesivitas kelompok maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok dimana adanya rasa kelekatan dan kebersatuan kelompok secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok demi pencapaian tujuan. Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya. Persepsi terhadap kohesivitas kelompok merupakan penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera terhadap

14 26 anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. 2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok Carron, Bray, & Eys (2002) mengemukakan bahwa ada empat aspek kohesivitas kelompok, yaitu: a. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask) adalah individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok. Tugas tersebut memiliki kepentingan pada tujuan terhadap kelompok. Ketika dalam kelompok, anggota kelompok tersebut memiliki kenyamanan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan kelompok. b. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social) adalah individu tertarik terhadap kelompok yang diikutinya. Ketika dalam kelompok memiliki agenda rutin untuk kumpul bersama, maka anggota tersebut memiliki rasa nyaman untuk hadir dalam agenda tersebut. c. Kesatuan kelompok dalam tugas (group integration-task) adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. Anggota kelompok sama-sama memiliki keinginan bahwa kegiatan-kegiatan dan tugas yang di kerjakan demi mencapai tujuan kelompok. d. Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social) adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain.

15 27 Kelompok sebagai sarana interaksi bagi seluruh anggota kelompok yang dapat menumbuhkan kenyamanan dan lebih dari tempat mencapai tujuan kelompok tersebut. Menurut Levi (2001) aspek-aspek kohesivitas kelompok diantaranya: a. Komitmen terhadap kelompok Kohesivitas kelompok yang tinggi memiliki anggota yang berkomitmen tinggi terhadap kelompoknya. Selalu berada di dalam kelompoknya dalam kondisi dan situasi apapun. b. Menyukai tugas yang dilakukan kelompok Individu yang memiliki kohesivitas tinggi akan menyukai tugas-tugas yang ada di dalam kelompoknya. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan hingga tercapainya tujuan dari kelompok tersebut. c. Menikmati proses kerja sama di dalam kelompok Kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi, di dalamnya memiliki individu yang keinginan lebih besar untuk bekerja sama agar tercapainya tujuan dari kelompok. d. Memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok Individu memiliki kelompok tersebut sehingga individu merasa kelompoknya merupakan salah satu bagian dari keluarga, tim atau komunitasnya. Aspek lain yang juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan oleh Walgito (2003), adalah: a. Individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok, dalam kelompok yang kohesivitasnya tinggi, setiap anggota kelompok tersebut

16 28 memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan kelompoknya dalam keadaan kelompok tersebut sedang baik ataupun dalam keadaan dilanda masalah. b. Individu tertarik dengan kelompok, kelompok yang kohesivitasnya tinggi memiliki individu yang memiliki ketertarikan terhadap kelompoknya sehingga individu tersebut memilih untuk masuk di dalam kelompok. c. Kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas, jumlah anggota berkorelasi positif dengan pelaksanaan tugas. Yakni, makin banyak anggota makin besar jumlah pekerjaan yang diselesaikan. Sehingga semakin banyak tugas yang ada maka pemenuhan untuk timbulnya kohesivitas yang tinggi akan terbuka lebar. d. Adanya interaksi yang positif di dalam kelompok, kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain harus dapat saling toleran, menghormati dan menyayangi orang lain serta bersikap santun. Tujuannya agar interaksi sosial yang dilakukan dapat menciptakan suasana yang tertib, teratur, dan dinamis di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menimbulkan kondisi kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi. Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan aspek-aspek tentang persepsi terhadap kohesivitas kelompok yaitu menurut Carron, Bray, & Eys (2002) adalah ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara

17 29 sosial (group intregation-social). Sedangkan aspek-aspek persepsi terhadap kohesivitas kelompok menurut Levi (2001) yaitu komitmen terhadap kelompok, menyukai tugas yang dilakukan kelompok, menikmati proses kerja sama di dalam kelompok, memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok. Aspek lain yang juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan oleh Walgito (2003) diantaranya individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok, individu tertarik dengan kelompok, kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas, dan adanya interaksi yang positif di dalam kelompok. Berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok diatas maka peneliti memilih aspek menurut Carron, Bray, & Eys (2002) yaitu ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social). Beberapa penelitian sebelumnya juga menggunakan aspek kohesivitas kelompok menurut Carron, dkk (2002) seperti penelitian (Saidah, 2016). C. Hubungan antara Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok dengan Motivasi Berprestasi pada Atlet Sepak Bola Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui panca indera guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Sedangkan kohesivitas kelompok menurut Carron, Bray, dan Eys (2002) adalah proses

18 30 dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan kelompok dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat ketertarikan antar anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya dengan menjadi seperti orang-orang di dalam kelompok tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok adalah penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera terhadap anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. Kohesivitas kelompok sangat berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Hal ini di perjelas oleh (Sakdiah dan Astuti, 2015) bahwa kohesivitas kelompok memiliki pengaruh positif dengan motivasi berprestasi pada atlet. Kohesivitas kelompok ditunjukkan di saat atlet sedang peformance dan dampak dari adanya hal tersebut motivasi berprestasi atlet meningkat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Suryabrata (dalam Sakdiah dan Astuti, 2015) atlet sepak bola dianjurkan untuk memiliki interaksi sesama atlet sepak bola lainnya. Berdasarkan interaksi tersebut timbul suatu persepsi. Persepsi akan timbul apabila ada objek yang dipersepsi (Sunaryo, 2004). Objek persepsi adalah antara individu sebagai atlet sepak bola dengan kelompok atau tim yang dibelanya. Persepsi yang positif pada individu terhadap kohesivitas kelompok membuat antar atlet sepak bola merasakan kesatuan anggota dalam tim untuk tetap terikat, menyatu atau tetap tinggal dalam tim dan mencegahnya meninggalkan tim (Walgito, dalam Sakdiah dan Astuti,

19 ). Sebaliknya, bila atlet sepak bola memiliki persepsi negatif terhadap kohesivitas kelompoknya maka yang terjadi adalah atlet sepak bola tersebut merasa tidak nyaman di dalam kelompoknya, dan ingin meninggalkan kelompoknya untuk mencari kelompok yang baru. Carron, Bray, dan Eys (2002) menjelaskan kohesivitas kelompok terbagi menjadi empat aspek yaitu ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social). Motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), yaitu usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Sedangkan menurut Robbins & Judge (2007), motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut mencapai kesuksesan. Lebih lanjut McClelland (1987), membagi aspek-aspek motivasi berprestasi menjadi empat yaitu mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya, mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya, kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), merupakan daya tarik individu terhadap tujuan kelompok dan kinerja

20 32 kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Ketertarikan individu pada tugas kelompok juga dapat diartikan individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Safitri dan Arninda, 2012). Pada atlet sepak bola, apabila ketertarikan individu pada tugas kelompok dapat di persepsikan positif maka setiap individu di dalam anggota kelompok akan memandang bahwa, segala sesuatu hal yang dikerjakan di dalam kelompok akan berdampak kepada pemenuhan tujuan dari kelompok tersebut. Dampak kepada atlet sepak bola adalah kohesivitas di dalam kelompok tersebut dapat meningkat hingga berpengaruh kepada peningkatan motivasi berprestasi setiap atlet sepak bola (Sakdiah dan Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada tugas kelompok di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet tidak akan peduli terhadap pemenuhan tujuan dari kelompok, atlet akan mementingkan dirinya sendiri dan tujuan dari tim sukar untuk tercapai (Muniroh, 2013). Dampaknya dapat meluas ke atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan penurunan motivasi berprestasi. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), merupakan individu yang tertarik terhadap kelompok yang diikutinya. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Selain itu, ketertarikan individu pada kelompok secara sosial adalah dorongan kekuatan atau keinginan individu untuk tetap berada dikelompoknya berdasar kepada penerimaan dirinya secara baik di dalam kelompoknya (Muniroh, 2013). Pada atlet sepak bola, ketertarikan individu pada kelompok secara sosial apabila dapat di persepsikan secara positif maka atlet

21 33 sepak bola akan cenderung aktif dalam berinteraksi dengan sesama anggota kelompoknya seperti pada saat evaluasi yang diadakan pelatih dengan bertanya maupun memberikan pendapat mengenai pola permainan kelompok dan kemampuan individu dalam kelompok (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya terjadi peningkatan kohesivitas kelompok diikuti dengan meningkatnya motivasi berprestasi dikarenakan interaksi antar individu terjalin dengan baik hingga mengarah ke peformance saat bertanding, tidak terjadi miss komunikasi antar atlet sepak bola ketika pertandingan dan menimbulkan rasa percaya diri antar sesama atlet sepak bola sehingga dapat meraih hasil pertandingan yang baik (Sakdiah dan Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada kelompok secara sosial di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet pasif, jarang berinteraksi, atlet akan menjadi individualis yang sebagaimana mestinya atlet sepak bola bekerja bersama tim (Kurniawati, 2016). Dampaknya dapat meluas ke atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan kondusifitas di dalam tim bermasalah dan mengarah ke penurunan motivasi berprestasi. Kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Penjelasan lain tentang kesatuan kelompok dalam tugas adalah individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama dalam pemenuhan tujuan kelompok (Muniroh, 2013). Ketika kesatuan kelompok dalam tugas dapat di persepsikan secara positif maka akan berdampak kepada berjalannya kerja sama secara baik di dalam kelompok. Hal ini jika dikaitkan dengan atlet sepak bola, maka dapat meningkatkan hasil dari

22 34 pemenuhan tujuan kelompok. Atlet sepak bola yang notabene merupakan atlet cabang olahraga beregu dan mengandalkan kolektivitas serta kerja sama tim akan membutuhkan anggota-anggotanya memiliki kemauan untuk menyelesaikan pertandingan dengan hasil yang baik (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya akan meningkatkan kohesivitas secara kerja sama tim dan beriringan dengan meningkatnya motivasi berprestasi dengan memiliki kemauan untuk menyelesaikan pertandingan dengan hasil yang baik. Sebaliknya, apabila kesatuan kelompok dalam tugas di persepsikan negatif dampaknya kondisi dalam tim mengalami penurunan motivasi berprestasi karena tidak ada atlet yang peduli terhadap tujuan kelompok, seharusnya dalam olahraga seperti sepak bola dibutuhkan kerja sama tim yang baik. Apabila tidak ada kerja sama tim yang baik maka timbul permasalahan tidak terpenuhinya tujuan dari tim (Kurniawati, 2016). Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social), keseluruhan anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Lebih lanjut dijelaskan kesatuan kelompok secara sosial adalah individu memiliki keterkaitan terhadap kelompoknya (Kurniawati, 2016). Apabila dikaitkan dengan atlet sepak bola, perasaan saling memiliki, kedekatan antar atlet sepak bola, dan tumbuh rasa kebersamaan antar atlet sepak bola demi kelompoknya sangat dibutuhkan. Atlet akan saling bercerita mengenai pengalaman kompetisi maupun mengenai kehidupan mereka diluar kompetisi dan latihan, menumbuhkan juga rasa percaya terhadap rekan satu tim sehingga membuat atlet fokus pada permainan untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok atlet yang mempersepsikan kesatuan kelompok secara sosial dengan baik

23 35 cenderung akan melakukan kerjasama secara terorganisir. Maka hasil yang di dapat beriringan dengan tujuan kelompoknya (Sakdiah dan Astuti, 2015). Atas dasar itu jika aspek ini dapat di persepsikan secara positif maka meningkatkan kohesivitas kelompok serta beriringan dengan meningkatnya motivasi berprestasi. Sebaliknya, apabila kesatuan kelompok secara sosial di persepsikan negatif yang terjadi kepedulian terhadap tim menurun karena setiap atlet tidak merasa memiliki atau tidak merasa bangga dalam membela timnya (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya, muncul kesenjangan dan mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang terjalin dengan baik antar sesama atlet di dalam tim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakdiah dan Astuti (2015) terhadap 149 atlet cabang olahraga sepakbola diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kohesivitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada atlet cabang olahraga beregu. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Safitri dan Arninda (2012) terhadap 80 pegawai kelurahan di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa hubungan positif yang signifikan antara kohesivitas kelompok dengan motivasi kerja. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek persepsi terhadap kohesivitas kelompok diatas dan pengaruhnya dengan motivasi berprestasi. Maka peneliti menyimpulkan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok mempunyai hubungan positif dengan motivasi berprestasi. Ketika persepsi terhadap kohesivitas kelompok meningkat maka diiringi dengan meningkatnya motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. Begitupun sebaliknya, ketika persepsi terhadap

24 36 kohesivitas kelompok menurun maka diiringi dengan menurunnya motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan yang positif antara persepsi terhadap kohesivitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. Semakin positif persepsi terhadap kohesivitas kelompok maka semakin tinggi juga motivasi berprestasi pada atlet sepak bola, sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap kohesivitas kelompok maka semakin rendah juga motivasi berprestasi pada atlet sepak bola.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan olahraga sepak bola dan bulutangkis. Peminat olahraga hoki

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan olahraga sepak bola dan bulutangkis. Peminat olahraga hoki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Olahraga hoki merupakan salah satu cabang permainan bola kecil yang dapat dimainkan baik oleh pria maupun wanita. Cabang olahraga hoki mulai berkembang di sejumlah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Kemandirian 2.1.1. Pengertian Kemandirian Menurut Sumahamijaya, 2003 Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantungpada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata movere yang berarti dorongan atau daya gerak. Motivasi adalah penting karena dengan adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Kepuasan Kerja Guru Robbins & Judge (2012) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penulis mengangkat teori Atribusi dari Kelley dan teori motivasi berprestasi dari David McClelland sebagai grand theory. Penemuan fakta lapangan akan didukungan pula dengan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk kemajuan pembangunan. Salah satu lembaga pendidikan yang penting adalah perguruan tinggi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir 1. Definisi Persepsi Pengembangan Karir Sunarto (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan

Lebih terperinci

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI Danu Hoedaya Ilustrator: Didin Budiman Kementerian Negara Pemuda & Olahraga Republik Indonesia Bidang Peningkatan Prestasi dan Iptek Olahraga Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Flow Akademik 1. Definisi Flow Akademik Menurut Bakker (2005), flow adalah suatu keadaan sadar dimana individu menjadi benar-benar tenggelam dalam suatu kegiatan, dan menikmatinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja 1. Pengertian kinerja Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat diartikan sebagai manusia yang bekerja dalam suatu perusahaan. Sumber daya manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya. Untuk mencapai hal itu, maka orang tua

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi

BAB II LANDASAN TEORI. dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Berprestasi 1. Definisi Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang, yang mendorong seseorang untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan yang terjadi semakin ketat, individu dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena BAB II LANDASAN TEORI A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha Fishbein dan Ajzein (Sarwono, 2002) mengembangkan suatu teori dan metode untuk memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap.

Lebih terperinci

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK Materi pembelajaran 'Motivasi Berprestasi' bertujuan untuk membekali mahasiswa/i akan pengertian, pemahaman terhadap motivasi berprestasi sebagai aspek pendorong untuk mencapai

Lebih terperinci

PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK

PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK 1 PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK Danu Hoedaya FPOK UPI Materi Penyajian Pelatihan Pelatih Fisik Sepak Bola Se-Jawa Barat FPOK-UPI, 14-17 Februari 2007 2 PENGANTAR Materi Psikologi Kepelatihan pada Pelatihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Pertumbuhan di berbagai aspek pun ikut terjadi seperti kemajuan teknologi, pendidikan, kesehatan,

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak zaman dulu, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak zaman dulu, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak zaman dulu, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang membawa manfaat baik bagi pelaku olahraga maupun orang yang menonton. Manusia merupakan kesatuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja Menurut Kinicki dan Kreitner (2014 : 169) kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih kompetitif. Tidak bisa hanya mempertahankan status quo, organisasi harus berubah terus-menerus dan perubahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Berprestasi 1. Definisi Motivasi berprestasi Menurut Mc. Clelland (1987) motivasi berprestasi adalah sebuah kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui standar pribadi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. korelasional. Menurut Arikunto (2002:23) Penelitian kuantitatif adalah penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. korelasional. Menurut Arikunto (2002:23) Penelitian kuantitatif adalah penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Dalam penelitian ini kami menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Menurut Arikunto (00:3) Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang datanya berupa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Motif Berprestasi Ditinjau dari asal katanya, motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang dialami Indonesia pada saat ini menyebabkan keterpurukan dunia usaha di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mata Kuliah Psikodiagnostik merupakan mata kuliah khas dari program studi Psikologi. Mata kuliah ini menjadi khas karena hanya program studi Psikologi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan memiliki karakteristik pola

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan memiliki karakteristik pola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Total Bangun Persada Tbk. adalah sebuah perusahaan di bidang konstruksi dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan memiliki karakteristik pola operasional pekerjaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Suatu prestasi atau achievement berkaitan erat dengan harapan (expection). Inilah yang membedakan motivasi berprestasi dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Bekerja 1. Pengertian Motivasi Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar adalah motif ( motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jawab atas dirinya sendiri terutama saat berhubungan dengan kepentingan

1. PENDAHULUAN. jawab atas dirinya sendiri terutama saat berhubungan dengan kepentingan 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Tuhan tidak hanya sebagai mahkluk individu akan tetapi sebagai mahkluk sosial juga. Sebagai mahkluk individu, manusia bertanggung jawab atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas.

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), karena secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Terbentuknya persepsi positif pekerja terhadap organisasi, secara teoritis merupakan determinan penting terbentuknya motivasi kerja yang tinggi. Para pekerja adalah manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia olahraga, motivasi berprestasi, lebih populer dengan istilah competitiveness merupakan modal utama dalam mencapai keberhasilan penampilan. Tidak mengherankan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi 1.1 Definisi Komitmen Organisasi Kata komitmen berasal dari kata latin yang berarti to connect. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

Lebih terperinci

BAB XIII TEKNIK MOTIVASI

BAB XIII TEKNIK MOTIVASI BAB XIII TEKNIK MOTIVASI Tim LPTP FIA - UB 13.1 Pendahuluan Tantangan : 1. Volume kerja yang meningkat 2. Interaksi manusia yang lebih kompleks 3. Tuntutan pengembangan kemampuan sumber daya insani 4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sepakbola adalah olahraga yang dimainkan secara beregu dan terdiri dari dua kesebelasan. Sepak bola moderen mulai berkembang di Inggris dan mulai digemari di seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Junaidi (2000) dengan judul Pengaruh motivasi terhadap prestasi kerja karyawan bagian produksi

Lebih terperinci

Persiapan Tim Hockey Jabar Menuju PON 2008

Persiapan Tim Hockey Jabar Menuju PON 2008 MOTIVASI BERPRESTASI Persiapan Tim Hockey Jabar Menuju PON 2008 BABAK KUALIFIKASI PON 2008, JAKARTA APAKAH ANDA TERMOTIVASI? YA - TIDAK Motivasi: arah dan kuatnya usaha seseorang dalam melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. keberadaan objek, hubungan, dan kejadian yang diperoleh atas kepemilikkanindera,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. keberadaan objek, hubungan, dan kejadian yang diperoleh atas kepemilikkanindera, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi 2.1.1. Definisi Persepsi Menurut Chaplin (2008) persepsi adalah proses atau hasil menjadi paham atas keberadaan objek, hubungan, dan kejadian yang diperoleh atas kepemilikkanindera,

Lebih terperinci

budaya, alam sekitar, dan meningkatkan pengetahuan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan

budaya, alam sekitar, dan meningkatkan pengetahuan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sarana yang sangat penting dalam pembangunan nasional, karena dengan pendidikan dapat menciptakan sumber daya manusia berkualitas yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan belajar mengajar pada hakekatnya merupakan serangkaian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan belajar mengajar pada hakekatnya merupakan serangkaian 1 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kegiatan belajar mengajar pada hakekatnya merupakan serangkaian kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mendewasakan anak didik, dan mempersiapkan mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Hierarki Kebutuhan Terdapat berbagai macam teori motivasi, salah satu teori motivasi yang umum dan banyak digunakan adalah Teori Hierarki Kebutuhan. Teori

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Turnover Intention Keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan yakni mengenai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. motivasi dan prestasi yang membentuk suatu kesatuan makna dan. berprestasi adalah usaha seseorang dalam menguasai tugasnya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. motivasi dan prestasi yang membentuk suatu kesatuan makna dan. berprestasi adalah usaha seseorang dalam menguasai tugasnya, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Berprestasi Istilah motivasi berprestasi merupakan perpaduan dari dua istilah motivasi dan prestasi yang membentuk suatu kesatuan makna dan intepretasi. Menurut Murray

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK. Katolik Soegidjapranata Semarang dengan judul Perbedaan motivasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK. Katolik Soegidjapranata Semarang dengan judul Perbedaan motivasi 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK A. Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap hasil kajian penelitian yang ada sebelumnya, ditemukan beberapa hasil peneliti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

Bab 1 Kewirausahaan. 1. Kewirausahaan dalam Perspektif Sejarah

Bab 1 Kewirausahaan. 1. Kewirausahaan dalam Perspektif Sejarah K e w i r a u s a h a a n 1 Bab 1 Kewirausahaan Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menguasai terkait latar belakang kewirausahaan dan perkembangannya. K emakmuran dari suatu negara bisa dinilai dari

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma (2015), mengerjakan tugas merupakan sebuah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan bola voli di Indonesia merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat, karena dapat dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan salah satu wadah bagi mahasiswa untuk dapat melatih tanggungjawab, belajar bekerjasama dan mengembangkan soft skill yang dimiliki. Melalui

Lebih terperinci

Bisma, Vol 1, No. 7, Nopember 2016 FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA PADA PD JAYA HARDWARE DI PONTIANAK

Bisma, Vol 1, No. 7, Nopember 2016 FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA PADA PD JAYA HARDWARE DI PONTIANAK FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA PADA PD JAYA HARDWARE DI PONTIANAK Lily Indriani Email: lily.indriani99@yahoo.com Program Studi Manajemen STIE Widya Dharma Pontianak ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era globalisasi ini kompetisi antar bank menjadi sangat ketat. Perkembangan bisnis yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyediaan fasilitas untuk industri minyak yang mencakup jasa penguliran

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyediaan fasilitas untuk industri minyak yang mencakup jasa penguliran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah PT. Citra Tubindo Tbk merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam penyediaan fasilitas untuk industri minyak yang mencakup jasa penguliran pipa dan pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Efektivitas Kepemimpinan Pelatih 2.1.1. Kepemimpinan Pelatih Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memepengaruhi, memberi petunjuk dan mampu menentukan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu fondasi yang menentukan ketangguhan dan kemajuan suatu bangsa. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dituntut untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu diperlukan obat tersedia

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Sejak manusia dilahirkan, manusia sudah membutuhkan kasih sayang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran Menurut Kotler yang dikutip oleh Kurniasari (2013:17) Pemasaran adalah proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga merupakan aktifitas fisik yang sering kali dilakukan dengan tujuan menunjang kesehatan. Ada pula yang dilakukan dengan tujuan kesenangan atau rekreasi.

Lebih terperinci

DEFINISI MOTIVASI. Proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha seorang. Komponen Motivasi : Intensitas, arah dan ketekunan

DEFINISI MOTIVASI. Proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha seorang. Komponen Motivasi : Intensitas, arah dan ketekunan MOTIVASI DEFINISI MOTIVASI Proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha seorang individu untuk mencapai suatu tujuan. Komponen Motivasi : Intensitas, arah dan ketekunan INTENSITAS Berhubungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Motivasi Belajar 2.1.1. Pengertian Motivasi Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif/daya menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai

Lebih terperinci

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN GUIDED NOTE TAKING

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN GUIDED NOTE TAKING 0 EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN GUIDED NOTE TAKING DAN QUESTIONS STUDENTS HAVE DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VII SEMESTER II TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 73 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis utama dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple regression), maka hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. muda. Berdasarkan laporan yang dirilis NBL Indonesia, untuk tahun ini NBL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. muda. Berdasarkan laporan yang dirilis NBL Indonesia, untuk tahun ini NBL BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga bola basket akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang sangat pesat, yaitu dengan banyaknya perkumpulan dan pertandingan serta banyaknya jumlah penonton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan bangsa. Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Robert K Merton menulis beberapa pernyataan penting tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Robert K Merton menulis beberapa pernyataan penting tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Struktural Fungsional Robert K Merton menulis beberapa pernyataan penting tentang fungsionalisme struktural dalam sosiologi (Sztompka, 2000;Tiryakin, 1991). Merton menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prestasi akademik yang tinggi pada umumnya dianggap sebagai

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prestasi akademik yang tinggi pada umumnya dianggap sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat seseorang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah Perguruan Tinggi, salah satu tujuan yang ingin dicapainya adalah memiliki prestasi akademik yang memuaskan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan data dan hasil analisis yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk BAB 2 Tinjauan Pustaka 2. Tinjauan Pustaka 2. 1 Kepuasan Kerja Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang besar. Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki 13.466 pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi. Kesemua unsur-unsur pembelajaran tersebut sangat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi. Kesemua unsur-unsur pembelajaran tersebut sangat mempengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan belajar mengajar merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa atau pembelajar beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya. Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan adalah kohesivitas kelompok yang dikemukakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan adalah kohesivitas kelompok yang dikemukakan oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan adalah kohesivitas kelompok yang dikemukakan oleh Carron, Brawley, dan Widmeyer (2009). Kinerja karyawan menurut Stewart dan Brown

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, dan membantu

Lebih terperinci

Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia)

Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) a. Ingin memberikan yang terbaik bagi perusahaan. b. Ingin mengembangkan pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) pernah dilakukan Marfirani (2008) dengan judul penelitian Hubungan Kepuasan Kerja dengan Organizational

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri, motivasi diri

BAB II LANDASAN TEORI. bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri, motivasi diri BAB II LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja 1. Pengertian Semangat Kerja Chaplin (1999) menyatakan bahwa semangat kerja merupakan sikap dalam bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri,

Lebih terperinci