KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ABSTRAK AFRA D.N. MAKALEW. Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan SUBAGYO HARDJO-SUBROTO. Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol (70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian. Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik (andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat, batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik). Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2, Pasircabe- Jonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang (Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003). Hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) Karakteristik tanah dengan horison penimbunan liat berbeda-beda pada setiap jenis bahan induk, baik yang berkembang dari batuan sedimen maupun batuan volkanik, jumlah peningkatan kandungan liat, ketebalan horison penimbunan liat, dan bukti adanya iluviasi liat sebagai kriteria argilik, hanya dijumpai pada pedon AM7 dan AM8 (perudik) yang berkembang dari bahan Volkanik-Andesitik, serta pedon AM10 (akuik) berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik. Horison penimbunan liat pedon-pedon AM1, AM2, dan AM3 (batuliat), AM4,AM5, dan AM6 (batukapur), dan AM9 (bahan volkanik-dasitik diidentifikasi sebagai horison kambik. (2) Horison argilik relatif lebih tebal terdapat pada pedon AM8 (125 cm) dengan letak 20 cm dari permukaan tanah, pada pedon AM10 (114 cm) terletak relatif lebih dalam, yakni pada 26 cm dari permukaan tanah, sedangkan pedon AM7 (86 cm) terletak pada ii

3 kedalaman 19 cm. Sedangkan ketebalan horison kambik paling tebal terdapat pada pedon AM1 dan AM3 yang berkembang dari batuliat, yakni 120 cm. Paling tipis dijumpai pada pedon AM2 (perudik) yang berkembang dari batuliat, yakni 99 cm dari permukaan tanah. Rata-rata jumlah peningkatan liat total 48,9%, merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang berkembang dari batuliat sebesar 37,9%, volkanik-andesitik sebesar 34,4%. Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada pedonpedon dari batukapur. Peningkatan liat total tersebut cenderung lebih tinggi pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. Hasil pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat (berdasarkan ada tidaknya laminasi) terlihat dengan urutan tingkat perkembangan : dari sangat berkembang sampai kurang berkembang. Urutan tingkat perkembangannya dari yang sangat berkembang adalah bahan volkanikdasitik (AM10) kemudian volkanik-andesitik (AM8). Selaput liat yang paling tebal dijumpai pada pedon AM10 (volkanik-dasitik), kemudian AM8 (volkanikandesitik). Berdasarkan pengamatan ketiga sifat horison penimbunan liat (terutama ketebalan dan jumlah peningkatan liat halus), dapat disimpulkan bahwa genesis horison argilik dan bukan argilik sangat dipengaruhi oleh faktor bahan induk, yang berinteraksi dengan faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim dan topografi. (3) Adanya horison argilik dapat menimbulkan aliran air bawah permukaan, sehingga sifat-sifat penting horison penimbunan liat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol adalah letak dan ketebalannya. iii

4 ABSTRACT AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO HARDJOSUBROTO. A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay accumulation horizon, i.e. on the thickness, depth, position of maximum fine and total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the sedimentation processes. Some important results of this research showed that (1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents, i.e. 48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%, andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of parent material together with other soil forming factors (climate and topography) affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons from the soil surface are the main properties that most related to management of Alfisols, Ultisols, and Inceptisols. Key words : Clay accumulation horizon, Elluviation, Illuviation, Argillic, Cambic, Ultisols, Alfisols, Inceptisols, Sedimentary and Volcanic rocks. iv

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya v

6 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2006 Afra Donatha Nimia Makalew NRP vi

7 KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 vii

8 Judul : Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik Nama : Afra Donatha Nimia Makalew N r p : Program Studi : Ilmu Tanah Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc Ketua Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc Anggota Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc Anggota Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS Tanggal Ujian : 12 September 2006 Tanggal Lulus : viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965 sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun Pada tahun 1992, penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan BPPS Dikti (Tahun ). Penulis bekerja sebagai Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado sejak 1988 sampai 1994, dan sebagai Dosen KOPERTIS Wilayah III ditempatkan di Fakultas Pertanian (sekarang Fakultas Manajemen Agribisnis) Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta sejak tahun 1995 sampai sekarang. ix

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik. Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing 2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing 3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing 4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi Pembimbing 5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 6. Program Beasiswa BPPS-Dikti 7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi, seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis UMB Jakarta 8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB 10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB 11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta 13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan 99, dan rekan-rekan kelompok G Orangtua, suami, dan anak-anak Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca. Bogor, Desember 2006 Penulis x

11 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN... x xii xiii xiv PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat. 5 Genesis Horison Penimbunan Liat Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Bahan Induk Tanah Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Penelitian Metodologi Penelitian Analisis Data KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Geologi Topografi Iklim Penggunaan Lahan Vegetasi HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Morfologi dan Fisika tanah Sifat Kimia Tanah Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat Horison Diagnostik Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil Karakteristik Horison Argilik dan Kambik Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-Pedon Pewakil Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun) di daerah penelitian Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan di daerah Kabupaten Bogor, diwakili stasiun Darmaga (259 dpl) ( ) Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batuliat Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batukapur Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil (Batuliat) Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil (Batukapur) Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi...76 xii

13 14. Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum setiap Pedon Pewakil Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat (Argilik) Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada Masing-masing Pedon Pewakil Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada Pedon Pewakil Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Beberapa Pedon Pewakil..110 xiii

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor) Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang) Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan Volkanik- Andesitik Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat xiv

15 12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur a. HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4) Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik xv

16 20. Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4 dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik Andesitik Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik Dasitik Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta Batas Argilik (Argillic line) pada Pedon AM8 dan AM Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari Batuliat Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari Batukapur xvi

17 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Deskripsi Profil Pedon AM Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah Stasiun Cimulang Stasiun Pasirmaung Stasiun Jonggol Stasiun Dramaga Stasiun Jasinga Stasiun Serang xvii

18 PENDAHULUAN Latar belakang Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya. Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses-proses yang dominan pada pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003). Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas tanah menjadi terhambat (Afandi et al., 1997).

19 Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian (Subagjo et al., 2003). Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat. 2

20 Tanah Alfisol dan Ultisol keduanya mempunyai horison penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik, dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik, dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol. Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut. Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard, 1985), pada tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972). Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (1986), serta Stolt dan Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976). Tetapi adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada regim kelembaban tanah akuik masih diperdebatkan (Smeck et al., 1981). 3

21 Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan prosesproses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia masih sangat kurang. Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia. Tujuan (1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan sediment (batuliat, dan batukapur) dan batuan volkanik. 4

22 (2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan prosesproses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik. (3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun Inceptisol. Hipotesis (1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan, ketebalan, adanya tidaknya selaput liat maupun tingkat perkembangannya. (2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik. (3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat, batukapur, maupun bahan volkanik. 5

23 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat. Horison Argilik Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) disebutkan bahwa horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan kandungan liat horison eluviasi. Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut : 1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut : (a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka ketebalan minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau skeletal berpasir, maka ketebalan minimum 15 cm; atau (3) Jika

24 horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15 cm atau lebih; dan (b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2 kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan 2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi (lithologic discontinuity) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut : (a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau (b) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison eluviasi; atau 6

25 (c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 42 persen vs 50 persen). Horison Kambik Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut. Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih. Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus memenuhi semua syarat berikut: 1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus; dan 2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu bentuk berikut : a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan semua sifat berikut: (1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan pada lebih dari setengah volume tanah; dan (2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara; dan (3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di dalam matriks sebagai berikut: (a) Value warna 3 atau kurang dan kroma 0; atau 7

26 (b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau kurang; atau (c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan terdapat konsentrai redoks; atau b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab, sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih sifat berikut: (1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi, warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau horison yang berada di atasnya; atau (2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat atau gipsum; dan 3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, placik, atau spodik; dan 4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap (tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak bersifat rapuh. Genesis Horison Penimbunan Liat Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik merupakan penciri utama untuk tanah Alfisol dan Ultisol. Namun demikian, kedua 8

27 ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu 35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam 125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah. Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah Alfisol sebagai tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah tanah-tanah dengan horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih kecil dari 35%. Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan, ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses pelapukan in situ. Namun menurut Soil Survey Staff (1999) tidak semua proses dapat dipahami, atau dijelaskan secara lengkap. Tanah-tanah yang menunjukkan 9

28 perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi, serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin akan berpengaruh pada pengelolaan tanah. Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980). Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1) eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butirbutir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di lapisan bawah (Buol et al., 1980) Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2) terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B. Dispersi Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan 10

29 bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik, bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980). Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai ph 4,5. Besi sebagai flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat dibebaskan. Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah, karena suhu yang cukup tinggi (>22 0 C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral yang mudah lapuk. Translokasi Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler. Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah 11

30 dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permukaan tanah, akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen. Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah. Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik, sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan air dan proses pemindahan liat. Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi, terlihat jelas. Sehingga kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa membentuk partikel yang berukuran liat. Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana proses pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi. Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan sodik-alkalin, sedangkan pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan liat, pada Ultisol sering disertai pemindahan seskuioksida (Al 2 O 3 dan Fe 2 O 3 ) dan bahan organik. 12

31 Pengendapan Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2) butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat; (4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam, kation Al 3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak, apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter, agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal dengan selaput liat (clay skin). Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat iluviasi yang terorientasi, yang oleh Buol dan Hole (1961) disebut dengan clay skin dan oleh Brewer (1976) disebut illuviation argillan untuk mendeskripsi adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi. 13

32 Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Tanah Ultisol Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh partikel iluviasi. Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi, dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids. Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai pengisi pada pori yang berukuran kecil. Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison B, seringkali dalam bentuk microlaminated yang secara umum bentuk laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan halus atau plasmik fabriknya (plasmic fabric) cenderung insepik atau undulik, 14

33 plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit. Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi, maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat. Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/ mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori. Tanah Alfisol Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan mikromorfologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir, butiran partikel pada horison argilik diselaputi dan dihubungkan oleh liat yang 15

34 teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat, tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi. Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang sangat jelas dengan matriks tanah. Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968) mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa, komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada permukaan ped dan sekitar lubang akar. Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit, sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik. Dikatakan pula bahwa papule umum dijumpai pada tanah yang berdrainase sangat buruk, sebaliknya sangat sedikit pada tanah-tanah yang berdrainase baik. 16

35 Tanah Inceptisol Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut, maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai berikut: Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur. Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular. Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya adalah tubular. Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanahtanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan. Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya mengandung fragmen besi yang berwarna merah, fragment bahan organik yang 17

36 berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric. Bahan Induk Tanah Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk dan potensinya untuk pertanian. Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama. Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen batuan volkanik dan biotit menjadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru (neoformation). Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah Darmaga, yang terbentuk dari bahan induk volkan dengan batas atas horison Bt 18

37 pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit. Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult, Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf. Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan sekitarnya) Witjaksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf dan Aquic Tropudalf (Bt cm), dan Vertic Tropudalf (Bt cm), mineral yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada tanahtanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih sangatlah terbatas. Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat Tanah Alfisol Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan. Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus sehingga menyebabkan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus membentuk tanah Alfisol. 19

38 Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan struktur yang jelas. Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun koloidkoloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada permukaan struktur, di dalam pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell (1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus memiliki selaput liat. Tanah Ultisol Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui sebagai Ultisol. 20

39 Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus, mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang berasal dari subtropik. Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik. Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH 4 OAc) biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik. Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah kation) yang cukup rendah (< 35%). Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180 cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif pada Ultisol dan juga menempatkan kedalaman yang cukup untuk 21

40 mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan tanah. Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al. (1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang, umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi pembasahan dan pengeringan yang berulang, beberapa dari bercak merah tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 15% dari volume horison tanah. Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968); Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas. Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan. Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat kekuningan, dan coklat kemerahan. Secara ideal horison yang ada pada tanah 22

41 Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter. Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol. Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi mineral sangat berpengaruh pada perkembangan Ultisol. 23

42 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol); dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1, Gambar 2) diambil di desa Cipocok. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan di Labortorium Tanah, Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai pada bulan Juni 2003 Juni Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon Pewakil. No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban Tanah AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 Kabupaten Bogor : Cendali Cijayanti-1 Cijayanti-2 Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Jasinga Ciampea Batuliat Batuliat Batuliat Batukapur Batukapur Batukapur Volkanik-Andesitik Volkanik-Andesitik Akuik Perudik Akuik Perudik Perudik Akuik Perudik Perudik AM9 AM10 Kabupaten Serang : Cipocok Cipocok Volkanik-Dasitik Volkanik-Dasitik Ustik Akuik

43 Gambar 1. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor. 25

44 Gambar 2. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang. 26

45 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison. Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik. Metodologi Penelitian Penelitian Lapangan Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: (Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1 : (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor, skala 1: (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi, Leuwiliang, dan Serang, skala 1: (Bakosurtanal, 1998). Kegiatan pengamatan lapang dilakukan untuk menentukan pedon pewakil. Kegiatan pengamatan diawali dengan melakukan pemboran tanah dan pembuatan mini pit, dan akhirnya menentukan titik pedon yang memenuhi syarat sebagai pewakil. Pedon pewakil yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, adalah yang memiliki horison penimbunan liat (Bt) dan berkembang dari bahan induk batuan sedimen dan/atau bahan volkanik, serta mempunyai regim kelembaban akuik, perudik/udik, atau ustik. Selanjutnya dilakukan pembuatan profil tanah, yang kemudian dideskripsikan dan diambil contoh tanah dari masing-masing horison 27

46 mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993). Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing-masing profil meliputi semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi, warna, karatan, selaput liat, dan kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil. Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg, untuk kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah. Contoh tanah utuh (tidak terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam topografi, dan informasi penunjang lainnya) didokumentasikan pada lembar isian yang sudah disiapkan sebelumnya Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili tanah. Penelitian Laboratorium : (1) Analisis fisika dan kimia Untuk keperluan analisis fisika dan kimia tanah digunakan contoh tanah terganggu yang berasal dari masing-masing horison dari setiap pedon pewakil. Contoh-contoh tanah tersebut setelah dikering-anginkan, dicampur agar merata, 28

47 kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus < 2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang dilakukan, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian. No. Sifat tanah Metode Kegunaan 1 Tekstur Pipet Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah 2 C-Organik Walkley and Black Genesis & Klasifikasi tanah 3 Kapasitas Tukar Kation (KTK) 1N NH 4 OAc, ph7 Klasifikasi tanah 4 Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity) BaCl 2 -TEA, ph 8,2 Klasifikasi tanah 5 Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd) 1N NH 4 Oac, ph7 Klasifikasi tanah 6 Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity) 1 N KCl Klasifikasi tanah 7 Besi Bebas (Fe 2 O 3 ) Ditionit-sitratbikarbonat Akumulasi besi, (Genesis tanah ) 8 Mineral liat X-ray Diffraction Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah ) 9 Mineral pasir total Line counting Jenis mineral pasir (Genesis tanah) 10 Mikromorfologi tanah Irisan tipis (Bullock et al., 1985) Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah) (2) Analisis mineralogi Identifikasi mineral liat menggunakan analisa X-ray diffraction (XRD) dilakukan pada masing-masing contoh tanah terpilih, yang mewakili horison eluviasi dan iluviasi maksimum dari setiap pedon pewakil. Analisis terhadap contoh liat dilakukan menggunakan 4 perlakuan standar yaitu penjenuhan dengan kation (1) Mg, (2) Mg, ditambah gliserol, (3) K, dan (4) K dan pemanasan 550 o C. 29

48 (3) Analisis Mikromorfologi Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada masingmasing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada masingmasing pedon. Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah orientasi horizontal. Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mikromorfologi lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan halus dari soil fabric dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric (bfabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985). Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif/kualitatif. Cara kualitatif dilakukan terhadap data sifat-sifat horison penimbunan liat hasil pengamatan di lapang, data sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi hasil analisis laboratorium horison penimbunan liat yang diperoleh. 30

49 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2). Geologi Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : (Direktorat Geologi, 1968), dan Geologi Lembar Serang skala 1 : (Rusmana et al., 1991) dan disajikan pada Gambar 3 dan 4. Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojongmanik Tmb (Tertiary miosen Bojongmanik), yakni endapan tersier zaman Miosen yang terdiri dari endapan batugamping, tuff batuapung, dan batuliat. Daerah Cijayanti (pedon AM2 dan AM3) merupakan endapan batu napal dan batu serpih berumur awal Miosen dari formasi Jatiluhur Tmj (Tertiary Miosen Jatiluhur). Pedon AM1, AM2, dan AM3 pada Gambar 3 berada pada fasies Sedimen Pliosen (warna kuning). Daerah Pasircabe, Jonggol (pedon AM4, AM5, dan AM6) berasal dari bahan endapan laut dan sungai (kuarter), serta kapur pada tertier muda. Di daerah Jasinga (pedon AM7) terbentuk dari bahan Volkanik-Andesitik. Daerah Ciampea (pedon AM8) terbentuk dari batuan volkan (Qvst) (gunung Salak) merupakan endapan kuartier. Pada Gambar 3, pedon AM8 dan AM7 berada pada batuan Andesit (warna merah bata).

50 Gambar 3. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor) 34

51 Gambar 4. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang) 35

52 Lokasi pedon pewakil di Kabupaten Serang, Banten: daerah Cipocok Serang (Pedon AM9 dan AM10). Geologi di daerah Serang dipengaruhi oleh aktivitas gunung berapi sejak akhir tersier (late Tertiary). Berdasarkan peta geologi Serang dan sekitarnya, skala 1: oleh Rusmana et al. (1991) (Gambar 4), daerah penelitian dimana pedon AM9 dan AM10 tersebut, umumnya terbentuk dari bahan volkanik pada masa kuarter (Quaternary), yang membentuk kompleks bahan volkanik, berupa bahan tufa Banten Qpvb (Quarternary pleistosin volkanik Banten) atau dikenal dengan Tuf Banten yang terbentuk dari bahan-bahan tuf, breksi batuapung dan batupasir tufan. Topografi Topografi wilayah penelitian di Kabupaten Bogor: Daerah Cendali (AM1) terdiri dari topografi yang agak datar sampai bergelombang. Daerah Cijayanti, Bukit Sentul bertopografi berbukit (AM2) dan agak datar (AM3). Daerah Pasircabe, Jonggol (AM4, AM5, dan, AM6), memiliki topografi yang berombak yang merupakan kompleks perbukitan kapur. Di daerah Jasinga (AM7)dan Ciampea (AM8) merupakan daerah berbukit. Topografi di daerah Serang (AM9 dan AM10) merupakan bagian dataran rendah pantai Utara Jawa Barat, yang berketinggian kira-kira 25 meter dpl, dan umumnya memiliki topografi datar sampai berombak. Lokasi pengambilan contoh tanah merupakan daerah yang datar (AM10) dan berombak (AM9). Adapun posisi topografi masing-masing pedon pewakil disajikan pada Gambar 5. 36

53 Cendali (AM1) Cijayanti-1 (AM2) Cijayanti-2 (AM3) Pasircabe (AM4) (AM5) (AM6) Ciampea (AM8) Jasinga (AM7) Cipocok (AM9) AM10 Gambar 5. Lokasi Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah, melalui faktor suhu dan curah hujan. Dimana keduanya secara langsung berpengaruh terhadap bahan induk sebagai sumber utama bahan pembentuk tanah. Data iklim diambil dari stasiun yang terdekat dengan daerah lokasi pengambilan pedon dalam penelitian dan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Menurut perhitungan dengan pendekatan model yang dikemukakan oleh Newhall (1972), dalam Wambeke (1985) maka, regim suhu tanah daerah penelitian memiliki regim suhu tanah isohipertermik (Lampiran 12). Pendekatan tersebut diperoleh dengan rumus Suhu tanah = 2,5 + suhu udara rata-rata tahunan ( o C). Isohipertemik adalah regim suhu tanah di mana, suhu tanah rata-rata tahunan 37

54 adalah 22 o C atau lebih tinggi, dan perbedaan antar suhu tanah musim panas ratarata dan musim dingin rata-rata, adalah kurang dari 6 o C. Pada daerah penelitian di Kabupaten Bogor, regim kelembaban tanah yang ada adalah akuik, dan perudik serta ustik di Kabupaten Serang. Akuik (bahasa Latin, aqua, atau air) adalah suatu regim reduksi dalam tanah yang jenuh oleh air dan bebas oksigen. Lamanya waktu tanah jenuh air sekurang-kurangnya beberapa hari (Soil Survey Staff, 2003). Perudik (bahasa Latin, per atau pada keseluruhan waktu dan udus, atau lembab) apabila penggal penentu (control section) kelembaban tanah tidak pernah kering (lebih basah dari udik) di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam setahun (Soil Survey Staff, 1999). Dalam klasifikasi tanah, regim kelembaban perudik jarang digunakan, sehingga dalam penelitian ini digunakan udik sebagai regim kelembaban tanah. Ustik adalah regim kelembaban tanah (bahasa Latin, ustus, terbakar, menyatakan kekeringan) di mana penampang kontrol kelembaban kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih, dalam setahun. Penggunaan lahan Di daerah penelitian Kabupaten Bogor, penggunaan lahan umumnya untuk usahatani padi sawah, bila ketersediaan air cukup (air tanah dangkal). Sedangkan pada lokasi yang memiliki air tanah dalam, usahatani umumnya palawija. Di daerah penelitian Kabupaten Serang, khususnya di daerah dataran (plain) yang sering dijenuhi air, musim basah dimanfaatkan untuk usahatani 38

55 Tabel 3. Data Curah Hujan (mm) Bulanan Daerah Sekitar Penelitian (Rata-rata 10 Tahun). & & & & & & & & & & & Pedon AM8 : 5 Dramaga 220m dpl Perudik Pedon AM9 dan AM10 : Ustik (AM9) 6 Serang 25m dpl Akuik (AM10) Keterangan: Sumber data Badan Geofisika dan Meteorologi Jakarta, Tahun Regim KT = Regim Kelembaban Tanah, Regim ST = Regim Suhu Tanah (lihat Lampiran 12).

56 Tabel 4. Data Suhu Udara Maksimum, Minimum, dan Rata-rata Bulanan Daerah Kabupaten Bogor, Diwakili Stasiun Darmaga (250 dpl) ( ). Bulan Suhu udara ( o C) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember maksimum minimum Rata-rata , , , , , , Rata-rata ,5 padi sawah. Pada musim kering, penggunaan tanah beralih ke industri bata atau genteng. Untuk lokasi yang bertopografi berombak di mana air tanah dijumpai lebih dalam, penggunaan lahan umumnya adalah usahatani palawija serta buah-buahan. Vegetasi Di semua lokasi penelitian, baik di Kabupaten Bogor maupun Serang sudah tidak dijumpai vegetasi asli, kecuali di perbukitan kapur di dekat lokasi pedon AM-4 dan AM-5 (Pasircabe, Jonggol) masih terdapat vegetasi rumput alami, berupa tumbuhan babadotan (Ageratum conyzoides), harendong (Melastoma malabatricum), kirinyuh (Eupathorium odoratum), dan alang-alang (Imperata cylindrica). Selain lokasi tersebut, vegetasi yang dijumpai umumnya berupa tanaman pertanian seperti padi, palawija, dan tanaman tahunan (buahbuahan). Pada saat penelitian di daerah Pasircabe, Jonggol, yang merupakan kebun percobaan Fakultas Peternakan IPB, tidak diusahakan untuk tanaman 40

57 pertanian, karena lokasi tersebut digunakan untuk peternakan dengan vegetasi rumput. Selain itu tanaman di sekitar kebun percobaan yang dijumpai umumnya padi sawah, singkong, dan kelapa. 41

58 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat-sifat Tanah Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil berbahan induk batuliat disajikan pada Tabel 5. Adapun deskripsi profil tanah masingmasing pedon disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3. Pedon AM1. Susunan horison pedon ini terdiri dari horison Ap yang sangat tipis (10 cm), dan horison Bt pada kedalaman 10 cm sampai 130 cm, serta horison peralihan BC pada kedalaman cm. Hasil pengamatan terhadap warna tanah menunjukkan bahwa horison permukaan (Ap) memiliki warna kelabu kecoklatan (10YR 5/1), sama dengan warna horison Bt bagian atas. Sedangkan bagian bawah Bt, berwarna kelabu sampai kelabu terang kecoklatan (10YR 6/1 6/2), warna yang sama dijumpai sampai pada horison peralihan BC. Dapat dikatakan bahwa, warna horison Bt dan BC pedon ini, dipengaruhi oleh kondisi reduksi dengan dijumpainya air tanah yang dangkal pada kedalaman kurang dari 100 cm. Karatan berwarna coklat dan merah kekuningan ditemukan pada horison permukaan sampai di bagian tengah horison Bt. Hal tersebut menunjukkan adanya kondisi oksidasi dan reduksi pada bagian pedon tersebut, didukung oleh penggunaan lahannya sebagai sawah tadah hujan. Perbedaan warna yang tidak menonjol antara horison permukaan dan bagian atas horison Bt membuat batas horison terlihat berangsur, sedangkan batas horison jelas terlihat pada keseluruhan horison Bt. Adapun tekstur pada horison permukaan adalah lempung berliat (CL) dan pada horison Bt adalah liat (C), sedangkan tekstur pada horison peralihan adalah liat berdebu (SiC). Perubahan tekstur tanah yang jelas terlihat antara horison permukaan dan horison Bt.

59 Tabel 5. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat. Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Liat halus Kelas Tekstur (Cm) (lembab) liat Lindak (cc/g) Pasir Debu Liat Kasar Liat Halus Liat Total / liat total AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap YR5/1 CL 2.5YR4/6, m f bs 2 m sbk gs ,83 3, Lempung berliat Bt YR5/1 C 5YR 5/8, m f bs 2 m/c abk cs ,73 27,58 9, Liat Bt YR6/1 C 7.5YR5/8, m f bs 2 m abk cs ada ,75 31,25 4, Liat Bt YR6/2 C 7.5YR5/6, m f bs 2m/c abk cs ada ,38 23,65 4, Liat Btg YR6/2 C - 2m/c abk gs ada ,22 35,90 11, Liat BCg YR6/2 SiC - 2m/c abk - ada ,47 42,70 14, Liat berdebu AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik) Ap YR5/4 SiC - 2 f sbk gs ,09 44,12 14, Liat berdebu BA YR5/8 C - 2 f/m sbk cs ,56 37,85 16, Liat Bt YR5/8 C - 2 m sbk cs ada ,25 38,74 13, Liat Bt YR5/8 C 5YR5/6, m f bs 2 m/c sbk cs ada , Liat Bt YR5/6 C 10Y2/1, m m bs 1 f/m sbk cs ada ,30 28,75 21, Liat BC YR5/6 C 2,5YR4/8, m m bs 2 f /m sbk cs ada ,91 47,30 16, Liat berdebu AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap YR4/6 C - 1 f sbk ,59 15, Liat berdebu Bt YR4/6 C - 1/2 f/m sbk ,53 44,12 16, Liat berdebu Bt YR5/2 C 5YR5/8 1 m sbk ada Liat berdebu Bt YR5/2 C 5YR5/8 2 m sbk ada Liat berdebu Btg YR5/1 C 2.5YR3/6 2 m sbk ada Liat berdebu Btg YR5/1 C 7.5YR5/8 2 m sbk ada Liat BC YR4/1 C - 2 m sbk ada ,53 47,44 18, Liat berdebu Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, SiC=liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata. 41

60 Adapun struktur tanah horison Bt adalah gumpal bersudut dengan konsi stensi teguh, sebaliknya struktur gembur dijumpai pada horison Ap yang berada di atasnya. Nilai kerapatan lindak horison Ap adalah relatif lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan lindak horison Bt (bagian tengah sampai bawah) dan menurun pada horison BC. Peningkatan tersebut seiring dengan terjadinya peningkatan liat terutama kandungan liat halus pada horison Bt tersebut. Pedon AM2. Pedon dengan regim kelembaban tanah perudik ini tersusun oleh horison permukaan (Ap) dengan ketebalan 18 cm, yang diikuti dengan horison peralihan BA sampai kedalaman 37 cm. Horison Bt dijumpai dari 37 cm sampai pada kedalaman 130 cm, serta horison peralihan BC dijumpai pada kedalaman cm. Peralihan horison terjadi secara berangsur dan rata pada horison Ap ke horison BA, kemudian secara nyata dan rata pada horison Bt dan BC. Warna coklat kekuningan (10YR 5/4) terlihat pada horison Ap, dan warna coklat (7,5YR 5/8) sampai coklat kekuningan 10YR 5/6-5/8 dijumpai pada seluruh bagian horison Bt maupun horison BC di bawahnya. Warna tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oksidatif pedon ini di mana air tanah tidak dijumpai sampai kedalaman pengamatan (200 cm). Namun demikian, karatan besi dan mangan, dijumpai pada bagian bawah pedon yang berkembang dari batuliat ini. Hal ini diduga bahwa pada bagian bawah pedon, ada saat, dimana air tertahan dan menjenuhi bagian-bagian tanahnya sehingga, terjadi kondisi reduktif, dan pada saat adanya udara, dapat memungkinkan terjadi oksidasi terhadap besi dan mangan. Tekstur dijumpai berbeda pada setiap horison. Pada horison Ap liat berdebu (SiC) dan pada Bt liat (C), sedangkan pada horison BC adalah liat berdebu (SiC). Struktur gumpal membulat dengan ukuran halus sampai medium terjadi pada seluruh horison, dengan tingkat perkembangannya sedang. Adapun konsistensi gembur dijumpai pada horison Ap, dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt dan BC. Nilai kerapatan lindak horison Bt meningkat pada bagian tengah horison, dan relatif lebih 43

61 tinggi dari horison Ap. Sedangkan pada bagian atas dan bawah horison Bt cenderung lebih rendah dibanding dengan kerapatan lindak horison Ap. Pedon AM3. Susunan horison pedon ini adalah horison Ap yang berwarna coklat kekuningan (10YR 4/6) dengan ketebalan 15 cm, dan di bawahnya diikuti langsung oleh horison Bt sampai kedalaman 135 cm, yang bagian atasnya memiliki warna masih sama dengan horison Ap. Warna coklat kelabu sampai kelabu (10YR 5/1 5/2) dijumpai pada bagian tengah Bt sampai pada horison BCg. Warna horison Bt mendukung keadaan reduksi, dimana terdapat air tanah agak dangkal, yakni kurang dari 150 cm. Kondisi akuik jelas terlihat dengan adanya warna tanah berkroma rendah, 2 dan value yang tinggi 4. Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu mulai horison Ap sampai pada bagian tengah Bt, dan liat pada bagian bawah horison Bt sampai dengan horison BCg. Struktur pada horison Ap adalah gumpal membulat berukuran halus, dengan perkembangan yang sedang. Struktur yang sama terdapat pada horison Bt maupun horison-horison BCg, namun ukuran lebih besar (medium) daripada struktur horison permukaan. Konsistensi gembur pada horison Ap dan teguh sampai sangat teguh di horison Bt dan BCg yang masif. Nilai kerapatan lindak pedon ini cenderung hampir sama dengan pedon AM1 di mana pada bagian atas Bt cenderung lebih rendah dari horison atas. Nilai kerapatan lindak terlihat meningkat pada bagian tengah horison Bt, dan cenderung menurun tidak teratur pada bagian bawah horison Bt sampai BCg. Dapat dikatakan bahwa pedon AM1 dan AM3 sama-sama memiliki regim kelembaban akuik, karena pada kedua pedon tersebut terdapat sifat morfologi yang sesuai dengan sifat akuik. Perbedaan terlihat pada penyebaran kroma yang rendah berbeda, pada pedon AM1 berada di bagian atas, sedangkan pada AM3 terjadi pada bagian bawah solum. Hal tersebut menunjukkan penyebaran zona reduksi terjadi pada kedalaman yang berbeda. Dibandingkan dengan pedon AM2, maka pedon AM1 dan 44

62 AM3 jelas lebih tereduksi, karena ditunjukkan oleh adanya air tanah yang dangkal, serta terlihat dari warna tanahnya. Perbedaan tekstur antara horison permukaan (Ap) dan horison Bt pada semua pedon pewakil berbahan induk batuliat ini, bukan merupakan perbedaan bahan (lithologic discontinuity). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis mineralogi, baik mineral fraksi pasir (total) maupun mineral liat (dibahas kemudian) yang, membuktikan bahwa terjadi kesamaan jenis mineral yang menyusun tanah, baik horison Bt maupun Ap di atasnya. Peningkatan kerapatan lindak pada bagian tengah horison Bt terlihat pada ketiga pedon pewakil berbahan induk batuliat. Peningkatan tersebut seiring dengan terjadinya peningkatan liat, terutama kandungan liat halus pada horison Bt. Pada tanah yang memiliki regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3), nilai kerapatan lindak relatif lebih rendah, dibandingkan dengan pada tanah yang memiliki regim kelembaban perudik (AM2). Dengan demikian perbedaan regim kelembaban tanah pada pedonpedon yang berkembang dari bahan induk batuliat ini berpengaruh terhadap beberapa sifat tanah. Perbedaan tersebut terutama pada warna tanah dan kerapatan lindak, baik pada horison Bt maupun horison lainnya. Pedon Berbahan Induk Batukapur Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon berbahan induk batukapur disajikan pada Tabel 6. Adapun deskripsi pedon-pedon pewakil diuraikan pada Lampiran 4, 5, dan 6. Pedon AM4. Pedon ini tersusun dari horison permukaan (A) dengan ketebalan agak tipis yaitu 15 cm, yang diikuti oleh horison peralihan AB sampai kedalaman 31 cm, 45

63 Tabel 6. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur. Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Liat halus Kelas Kelas Ukuran (Cm) (lembab) liat Lindak (cc/g) Pasir Debu Liat Kasar Liat Halus Liat Total / liat total Tekstur Butir AM4 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik) A YR4/4 C - 1 f/m sbk gs - 0,97 13,6 22,3 11,94 52,1 64,1 0,81 Liat Sangat Halus AB YR5/4 C 7.5YR5/8, f f bs 1 f/m sbk cs - 1,03 8,6 29,24 12,83 49,3 62,2 0,79 Liat Sangat Halus Bt YR4/6 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,06 8,0 18,0 7,8 65,2 73,0 0,89 Liat Sangat Halus Bt YR5/4 C 5 YR 5/8, m s bs 2 m/c sbk cs ada 1,23 4,3 16,3 9,3 70,0 79,3 0,88 Liat Sangat Halus Bt YR7/2 C 7.5YR 6/8, m s bs 2 m/c abk cs ada 1,25 5,4 19,7 11,0 64,0 75,0 0,85 Liat Sangat Halus BC YR7/2 C 7,5YR5/8, f f/m bs 2 m/c abk - - 1,00 5,3 19, ,6 74,0 0,86 Liat Sangat Halus AM5 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik) A YR3/2 C - 1 f/m sbk cs - 1,32 8,8 29,7 4,3 57,3 61,5 0,93 Liat Sangat Halus Bt YR4/6 C 7.5YR5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,25 5,91 21,1 8,8 64,3 73,0 0,88 Liat Sangat Halus Bt YR5/4 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 1,18 4,52 28,8 6,1 60,6 66,7 0,91 Liat Sangat Halus Bt YR5/2 C 5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs ada 0,91 0,52 21,7 4,2 73,6 77,8 0,95 Liat Sangat Halus BC Y6/4 C 2 m/c sbk cs - 0,91 0,7 31,4 17,9 50,0 67,9 0,74 Liat Sangat Halus AM6 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap YR3/2 C - 1 f/m sbk - 1,00 4,6 39,9 8,1 47,5 55,5 0,85 Liat Halus Bt Y4/0 C 2.5YR 4/6, m f bs 1 m sbk - 1,50 7,1 26,1 5,5 61,4 66,8 0,92 Liat Sangat halus Bt Y6/0 C 5 YR 5/8, m f bs 2 f/m sbk ada 0,99 6,5 23,7 8,9 61,0 69,9 0,87 Liat Sangat halus Bt Y5/0 C 10R 4/8, m f bs 2 m sbk ada 1,01 8,9 26,2 8,2 56,8 64,9 0,87 Liat Sangat halus Bt Y5/0 C 10R 4/8, m f bs 2 m sbk ada 1,02 5,5 29,7 6,0 58,9 64,8 0,91 Liat Sangat halus BC Y5/0 C ,97 6,8 19,0 7,4 66,8 74,2 0,92 Liat Sangat halus Keterangan : C=liat; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata. 46

64 dan horison Bt dari 31 cm sampai 130 cm, serta horison peralihan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna horison permukaan adalah coklat gelap kekuningan (10YR 4/4), sedangkan warna horison Bt adalah coklat kekuningan sampai coklat gelap kekuningan 10YR 4-5/4-6. Warna kelabu terang (10YR 7/2) dijumpai pada bagian bawah horison Bt sampai horison BC. Warna tersebut tidak diiringi oleh adanya kondisi reduktif maupun air tanah dangkal, sehingga disimpulkan warna tersebut lebih dipengaruhi oleh warna bahan induk batukapur. Adanya sejumlah karatan pada keseluruhan horison Bt dan BC, menunjukkan bahwa ada saat dimana air pernah tertahan pada bagian horison tersebut. Tekstur tanah pada seluruh horison yang berkembang dari bahan induk batukapur ini adalah liat (C). Struktur gumpal membulat terdapat dari horison A sampai pada BC. Horison permukaan memiliki konsistensi gembur, sedangkan horison Bt dan BC berkonsistensi teguh dan sangat teguh. Nilai kerapatan lindak cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman horison Bt, dan menurun pada horison BC. Pedon AM5. Pedon ini terdiri dari horison permukaan A yang agak tipis (16 cm), dan Bt yang berada langsung di bawahnya, sampai kedalaman 122 cm dan horison peralihan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna coklat kelabu (10YR 4-5/2-6) dijumpai pada horison Bt, coklat sangat gelap keabuan (10YR 3/2) pada horison permukaan, dan coklat terang kekuningan (2,5Y 6/4) pada horison BC. Hal tersebut menunjukkan bahwa horison Bt dan horison di atasnya lebih bersifat oksidatif, sedangkan bagian bawahnya bersifat reduktif. Dijumpai karatan terutama pada horison Bt. Namun sama halnya dengan pedon AM4, pada pedon ini tidak dijumpai air tanah yang dangkal, sehingga rendahnya kroma dan atau warna tanah pucat cenderung lebih disebabkan oleh pengaruh dari warna bahan induk batukapur. 47

65 Tekstur masing-masing horison adalah liat (C). Struktur tanah horison permukaan gumpal membulat dengan ukuran sedang sampai kasar dengan konsistensi gembur. Struktur yang sama juga dijumpai pada horison Bt dan BC, tetapi konsistensinya teguh. Pada pedon ini nilai kerapatan lindak cenderung menurun dengan meningkatnya kedalaman. Adanya rekahan-rekahan yang cukup besar sampai kedalaman 100 cm, tapi secara morfologi tidak terlihat adanya struktur baji pada pedon ini. Hal ini menandakan bahwa pedon ini belum memenuhi kriteria sifat vertik. Pedon AM6. Susunan horisonnya terdiri dari Ap dengan ketebalan 18 cm, horison Bt langsung di bawahnya sampai pada kedalaman 136 cm, dan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna horison Ap adalah coklat kelabu sangat gelap (10YR3/2), sedangkan keseluruhan horison Bt berwarna kelabu (2,5YR 5/0) dengan kroma sangat rendah dan value tinggi, yang menunjukkan ciri-ciri kondisi akuik. Hal ini didukung oleh adanya air tanah dangkal (77 cm) sehingga dikategorikan memiliki regim kelembaban tanah akuik. Karatan merah kekuningan dijumpai pula pada semua pedon yang terbentuk dari bahan induk batukapur, terutama pada horison Bt. Hal ini menunjukkan bahwa pada horison tersebut cenderung terjadi kondisi basah dan kering yang bergantian, atau ada kondisi di mana air sempat tertahan. Demikian pula antara Bt dan horison atasnya terdapat kecenderungan yang sama, yakni horison permukaan memiliki konsistensi gembur, dan horison Bt ke bawah berkonsistensi teguh dan sangat teguh. Tekstur tanah pada keseluruhan horison adalah liat (C). Pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik ini mempunyai nilai kerapatan lindak yang tinggi, yang dijumpai di bagian atas horison Bt. Penggunaan tanah pedon ini adalah disawahkan, sehingga dijumpai lapisan yang padat dan keras, yang mungkin sebagai lapisan tapak bajak, selain merupakan horison penimbunan liat. Perbedaan yang terlihat menonjol antara AM4 dan AM5, dan pedon AM6 adalah horison Bt pedon AM6 48

66 terdapat kroma rendah (yakni 0), sedangkan pada AM4 dan AM5 memiliki kroma 2-6. Hal tersebut menunjukkan pengaruh regim kelembaban tanah terhadap warna tanah. Kondisi akuik cenderung memiliki warna tanah yang pucat dibanding kondisi perudik. Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil disajikan pada Tabel 7. Sedangkan deskripsi profil diuraikan dalam Lampiran 7 dan 8. Pedon AM7. Pedon ini tersusun oleh horison A yang agak tipis (19 cm), horison Bt dari 19 cm sampai kedalaman 105 cm, dan horison BC sampai kedalaman 130 cm. Horison C dijumpai sampai kedalaman 200 cm. Warna tanah horison A adalah coklat kemerahan (5YR 3/2). Horison Bt bervariasi dari coklat kemerahan (2,5YR4/4) sampai coklat gelap (7,5YR 4-6/2-4). Sedangkan horison BC dan C warnanya sama, adalah Kelabu-merah muda (7,5YR 6/2). Karatan dijumpai pada bagian tengah horison Bt sampai bagian bawah. Adapun tekstur horison permukaan adalah liat berdebu (SiC), horison Bt adalah liat (C), horison BC dan C adalah liat berdebu (SiC). Struktur gumpal membulat terjadi pada horison Bt maupun horison lainnya. Konsitensi gembur pada horison permukaan dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt, serta teguh pada bagian bawah pedon ini. Kerapatan lindak horison pada pedon ini terlihat relatif yang paling rendah di antara pedon-pedon lain dalam penelitian ini. Pedon AM8. Pedon ini tersusun oleh horison Ap dengan tebal 20 cm, yang berwarna coklat gelap kemerahan (5YR 3/3), horison Bt sampai pada kedalaman 145 cm berwarna coklat kemerahan (5YR 3-4/2-4), dan horison BC sampai kedalaman 200 cm. Pada bagian tengah horison Bt dijumpai adanya mangan dalam bentuk konkresi, menunjukkan adanya pengaruh air dimana pedon ini pernah disawahkan. 49

67 Tabel 7. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik. Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Rasio liat Kelas Tekstur Kelas Ukuran (Cm) (lembab) liat Lindak(g/cc) Pasir Debu Liat kasar Liat halus Liat total halus/total Butir AM7 - Andic Dystrudept (perudik) A YR3/2 C - 2 f sbk cs - 0,81 3,5, 43,0 39,64 13, ,26 Liat berdebu Halus Bt YR3/4 C - 2 m sbk gs ada 0,90 4,9 26,5 21,12 47, ,69 Liat Sangat Halus Bt YR4/4 C 7.5YR6/2, f f bs 2 m sbk gs ada 0,97 3,7 37,2 27,84 31, ,53 Liat Halus Bt YR4/4 C 7.5YR6/2, f f bs 2 m sbk gs ada 0,88 1,8 14,9 11,84 71, ,86 Liat Sangat Halus Bt YR6/2 SiC 2.5YR4/8, m c bs 1 f/m sbk gs ada 0,96 1,9 42,8 22,00 34, ,61 Liat berdebu Halus C YR6/2 SiC 7.5YR 5/8 dan ,96 1,8 52,6 23,68 21, ,48 Liat berdebu Halus AM8 - Typic Haplohumult (perudik) 10 YR 3/3 m c bs Ap YR3/3 SiC - 1/2 f sbk cs - 1,00 6,2 48,1 15,9 29,8 45,7 0,65 Liat berdebu Halus Bt YR4/4 C mangan 1 f/m sbk cs ada 1,07 5,9 38,8 19,4 35,9 55,2 0,65 Liat Halus Bt YR3/2 C mangan 2 f/m sbk cs ada 1,1 5,4 32,2 6,5 55,9 64,4 0,87 Liat Sangat Halus Bt YR4/3 C mangan 2 m sbk cs ada 1,08 3,9 19,3 6,0 70,8 76,8 0,92 Liat Sangat Halus Bt YR4/4 SiCL - 2 m sbk gs ada 0,97 3,6 28,5 15,8 52,3 68,1 0,77 Liat Halus Bt YR4/4 C - 2 m sbk ds ada 0,91 4,7 15,1 16,5 63,7 80,2 0,79 Liat Sangat Halus Bt YR4/4 C - 2 m sbk - ada 1,07 3,2 36,6 12,3 48,2 60,2 0,80 Liat Sangat Halus Keterangan : C=liat, SiC=liat berdebu, SiCL=Lempung liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata. 50

68 Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu (SiC) pada horison permukaan, sedangkan pada horison Bt adalah liat (C) dan lempung liat berdebu (SiCL). Struktur tanah adalah gumpal membulat, baik pada horison Bt maupun horison di atas dan bawahnya. Konsistensi gembur pada horison permukaan dan teguh pada horison Bt, sedangkan pada horison di bawah Bt memiliki konsistensi yang agak teguh. Kerapatan lindak cenderung meningkat sampai bagian tengah dan menurun di bagian bawah horison Bt. Dengan demikian walaupun kedua pedon ini memiliki bahan induk dan regim kelembaban tanah yang sama (perudik), cenderung memiliki sifat morfologi dan fisika yang hampir sama. Perbedaan terlihat bahwa pedon AM7 memiliki kerapatan lindak yang relatif rendah dibanding AM8. Demikian pula adanya konkresi mangan pada pada horison Bt, dikarenakan bahwa tanah tersebut adalah lahan bekas sawah. Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil berbahan induk Volkanikdasitik disajikan pada Tabel 8. Adapun deskripsi profil disajikan pada Lampiran 9 dan 10. Pedon AM9. Susunan horison pedon ini adalah horison A dengan tebal 22 cm, Bt dari 22 cm sampai kedalaman 140 cm, dan BC sampai kedalaman 200 cm. Horison permukaan memiliki warna coklat gelap kemerahan (5YR 3/4), horison Bt coklat kemerahan sampai merah (2,5YR 3/6-4/6) dan horison peralihan BC merah (2,5YR4/6). Tekstur liat (C) terlihat dominan pada seluruh horison dari pedon ini. Struktur gumpal bersudut dijumpai hampir pada seluruh horisonnya. Konsistensi gembur pada horison permukaan dan agak teguh sampai sangat teguh pada horison Bt. Horison BC memiliki konsistensi yang sama, yakni sangat teguh, dengan bagian bawah horison Bt. Kenyataan ini diiringi dengan kandungan liat yang relatif tinggi. Nilai kerapatan lindak 51

69 Tabel 8. Beberapa Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik. Horison Kedalaman Warna Tekstur Karatan Struktur Batas Selaput Kerapatan Tekstur (%) Rasio liat Kelas Tekstur Kelas Ukuran (Cm) (lembab) liat Lindak(g/cc) Pasir Debu Liat kasar Liat halus Liat total halus/total Butir AM9 - Fluventic Dystrudept (ustik) A YR4/3 C - 2 f sbk cs - 0,98 15,5 28,6 12,6 43,3 55,9 0,77 Liat Halus AB YR3/6 C - 2 f/m sbk gs - 1,08 8,6 18,9 13,6 58,9 72,4 0,81 Liat Sangat Halus Bt YR3/6 C - 2 f/m sbk cs ada 1,22 6,5 17,2 9,2 67,0 76,3 0,88 Liat Sangat Halus Bt YR4/6 C - 2 m abk gs ada 1,19 4,0 11,9 9,9 74,2 84,1 0,88 Liat Sangat Halus Bt YR4/6 C mangan 2 f/m abk gs ada 1,16 2,8 8,2 8,4 80,6 89,0 0,91 Liat Sangat Halus Bt YR4/4 C mangan 2 m abk cs ada 1,06 6,0 11,0 7,1 75,9 83,0 0,91 Liat Sangat Halus BC YR4/6 C 10YR4/6, m f/m bs 1/2 m sbk - - 1,06 10,9 13,7 12,8 62,5 75,4 0,83 Liat Sangat Halus AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik) A Y7/1 L - 1 f abk as - 1,13 37,4 42,4 1,4 18,8 20,2 0,93 Lempung Berlempung Halus Adir 20-Dec 10YR5/6 L - 2 f/m sbk cs - 1,44 42,6 38,7 1,0 17,7 18,7 0,95 Lempung Berlempung Halus BMn YR2/0,5/0 L - 2 f/m sbk cs - 1,53 31,7 48,2 1,1 19,1 20,2 0,95 Lempung Berlempung Halus Bt YR2/0,5/0 CL 7.5YR5/6 2 m abk ds ada 1,53 24,7 41,5 6,5 27,3 33,8 0,81 Lempung berliat Berlempung Halus Bt YR6/0 CL - ds ada 1,44 21,5 43,6 8,6 26,3 34,8 0,75 Lempung berliat Berlempung Halus Bt YR5/1 CL 5YR5/8,m m/c bs cs ada 1,45 28,8 33,4 9,8 28,1 37,8 0,74 Lempung berliat Halus Bt YR5/1 C 5YR5/8,m f/m bs cs ada 1,44 33,1 25,6 3,8 37,5 41,3 0,91 Liat Halus BCg YR5/1 SCL 5YR5/8,m f/m bs cs - 1,41 58,0 8,8 3,0 30,3 33,2 0,91 Lem.liat berpasir Berlempung Halus BCg YR5/1 SCL 5YR5/8,m f/m bs - - 1,41 60,2 18,0 3,0 18,8 21,8 0,86 Lem.liat berpasir Berlempung Halus Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, L=lempung;SCL=Lempung liat berpasir; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; sbk=gumpal membulat, abk=gumpal bersudut; as=sangat jelas dan rata, gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata. 52

70 meningkat pada bagian tengah horison Bt dan kemudian menurun sampai ke bawah solum. Pedon AM10. Pedon ini memiliki susunan horison yang terdiri dari horison permukaan A dan A dir, dengan ketebalan 20 cm. Warna 5Y 7/1 terlihat pada horison A dan perubahan warna menonjol pada A dir yakni berwarna 10YR 5/6, di mana warna tersebut merupakan pengaruh dari adanya karatan besi. Di bawah horison A terdapat horison B mn yang berwarna kelabu (7,5YR 5/0) dan adanya massa terkonsentrasi berwarna hitam (7,5YR 2/0) yang diidentifikasi sebagai akumulasi karatan mangan. Horison berikutnya adalah Bt dengan hue 2,5-7,5YR dengan kroma yang rendah dan value tinggi, sedangkan horison BCg yang masif dengan warna yang tidak berbeda dengan horison di atasnya. Pada pedon ini dijumpai air tanah yang dangkal, pada kedalaman 130 cm. Karatan besi dijumpai pada horison Bt terutama pada bagian bawahnya sampai pada kedalaman 200 cm. Pada horison BC dijumpai adanya warna glei. Tekstur horison A adalah lempung (L), horison Bt memiliki tekstur lempung berliat (CL) seiring dengan peningkatan jumlah liatnya, dan pada bagian bawah horison Bt teksturnya adalah liat (C). Horison peralihan BC memiliki tekstur lempung liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang agak menonjol pada horison-horison tersebut, berdasarkan hasil analisis mineral liat pada fraksi pasir total dan fraksi liat, tidak terbukti oleh karena adanya perbedaan bahan sehingga dapat dikatakan tidak ada indikasi perbedaan bahan induk (lithologic discontinuity). Pedon ini memiliki struktur gumpal membulat hanya pada horison A dir dan B mn yang sangat tipis, sedangkan pada horison lainnya memiliki struktur gumpal bersudut. Pada bagian bawah horison BC dijumpai struktur yang masif dan konsistensi sangat teguh. Keadaan struktur gumpal bersudut ini didukung oleh kerapatan lindak yang relatif lebih tinggi (Tabel 8). Pedon AM10 yang bersifat akuik ini memiliki kerapatan 53

71 lindaknya relatif tertinggi, baik di antara pedon pewakil berbahan volkanik, maupun terhadap pedon-pedon dari bahan induk lainnya. Hal tersebut sangat didukung oleh hasil pengamatan di lapang, bahwa pedon ini memiliki konsistensi yang teguh sampai sangat teguh, dengan struktur tanah gumpal bersudut hampir di seluruh bagian horison Bt. Perbedaan tekstur tanah terjadi sangat menonjol pada dua pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik dasitik (AM9 dan AM10). Pedon AM10 memiliki tekstur lempung (L) pada bagian atas solum atau horison Ap, sedangkan pada horison Bt adalah lempung berliat (CL), dan bagian bawah solum atau peralihan BC bertekstur lempung liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang sangat nyata ini (abrupt) tidak disertai bukti jenis mineral yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi mineral memang relatif sama. Dengan demikian perbedaan tekstur tersebut, bukan sebagai perbedaan bahan induk (lithology discontinuity). Bila dibandingkan dengan AM10, lokasi pedon ini tidak terlalu jauh, tetapi secara topografi kedua pedon ini terletak pada kondisi yang sangat berbeda. Pedon AM9 dijumpai di bagian atas lereng dengan regim kelembaban tanah ustik, dan AM10 terletak pada bagian bawah lereng dengan regim kelembaban tanah akuik. Sehingga perbedaan kandungan liat yang sangat menonjol antara kedua pedon ini ditunjang oleh lingkungan pembentukan yang berbeda pula. Diduga pedon AM9 lebih terlapuk daripada AM10. Berdasarkan hasil pengamatan sifat-sifat fisik dan morfologi seluruh pedon dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan warna horison Bt ternyata berkaitan erat dengan kondisi regim kelembaban tanah. Regim kelembaban akuik cenderung memberi warna kelabu pada horison Bt dari semua jenis bahan induk. Jenis bahan induk terlihat menonjol, berpengaruh memberi warna berbeda pada horison Bt dari tanah-tanah dengan regim kelembaban perudik. Warna horison Bt pada pedon-pedon berbahan induk batuan sedimen (batuliat dan batukapur) adalah kekuningan, sedangkan pada tanah berbahan induk volkanik (baik dasitik maupun 54

72 andesitik) adalah kemerahan. Hal tersebut terlihat pada hue yang lebih merah pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik. Sedangkan pedon yang me miliki regim kelembaban akuik, cenderung menunjukkan warna pucat dengan pengaruh bahan induk tetap terlihat, yakni hue lebih merah pada tanah berbahan induk volkanik. Dengan demikian, jenis bahan induk yang berbeda memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Antara lain, sifat-sifat morfologi tanah pada bahan induk batukapur yang cenderung lebih seragam dibanding sifat-sifat morfologi tanah yang berkembang dari batuliat. Konsistensi antara horison Bt dengan horison A di permukaan jelas sangat berbeda, yakni lebih teguh pada horison Bt dan yang gembur pada horison A atau Ap. Perbedaan tersebut cenderung sama pada semua pedon yang diteliti, dan digunakan sebagai dasar penamaan horison Bt pada semua subhorison yang diidentifikasi. Sifat Kimia Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Analisis beberapa sifat kimia tanah masing-masing pedon pewakil dalam penelitian ini bertujuan antara lain, untuk mengetahui apakah sifat-sifat kimia tanah yang ada berkaitan dengan proses-proses pedogenesis pedon yang diamati. Selain itu untuk mengetahui sifat-sifat seperti distribusi C-organik dan Fe-bebas yang erat hubungannya dengan proses iluviasi liat. Hasil analisis terhadap sifat-sifat kimia tanah masing-masing horison disajikan pada Tabel 9. Pedon AM1 dengan regim kelembaban tanah akuik, memiliki nilai ph yang tergolong masam (4,2 4,6) pada keseluruhan horisonnya. Horison permukaan memiliki ph yang paling rendah (4,2) dan sedikit meningkat (4,5-4,6) pada horison Bt. Peningkatan nilai ph tersebut terlihat berkurang pada bagian bawah profil, yaitu pada horison Btg dan horison peralihan BC. Sebaliknya, nilai ph yang relatif tinggi (4,6) dijumpai di horison permukaan pada pedon 55

73 Tabel 9. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat. Pedon Kedalaman ph-tanah C-organik Basa-basa dapat tukar Jumlah Kemasaman Kemasaman dapat tukar Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Fe2O3 - Ca Mg K Na Basa-dd terekstrak Al H ph-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total ph-7 Jum.Kation bebas (cm) Tabel 16 (%) cmol(+)/kg tanah cmol(+)/kg tanah (%) % AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap ,2 1,14 4,0 2,1 0,2 0,5 6,8 41,0 4,0 0,3 21,3 49,0 11,1 68,1 37 0, ,19 Bt ,2 0,94 3,5 2,1 0,2 0,4 6,2 41,4 3,6 0,3 21,1 49,9 10,1 47,3 36 0, ,61 Bt ,5 1,02 3,9 1,3 0,2 0,3 5,7 41,8 4,9 0,5 23,8 48,8 11,0 49,5 46 0, ,31 Bt ,6 0,78 5,7 1,8 0,4 0,5 7,4 42,6 2,2 0,3 54,4 52,4 10,9 105,2 22 1, ,25 Btg ,5 0,63 0,7 0,3 0,1 0,2 1,3 50,9 13,4 0,8 51,0 53,7 15,4 95,2 91 0, ,60 BCg ,4 0,43 0,9 0,5 0,1 0,3 1,8 51,7 11,5 0,6 49,5 68,5 14,0 89,6 86 0, ,85 AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik) Ap ,4 0,47 3,3 1,1 0,3 0,4 5,1 40,2 3,7 0,3 17,2 46,8 9,1 34,4 42 0, ,13 BA ,6 1,41 1,2 0,4 0,1 0,2 1,9 41,4 3,6 0,3 17,0 44,8 5,8 29,6 65 0, ,13 Bt ,7 1,14 1,0 0,3 0,1 0,2 1,6 40,5 3,9 0,4 15,1 43,5 5,9 25,8 70 0, ,22 Bt ,8 1,06 1,0 0,3 0,2 0,2 1,9 40,6 3,6 0,3 29,4 43,7 5,5 32,9 65 1, ,40 Bt ,7 0,43 1,0 0,5 0,2 0,3 2,0 40,2 3,2 0,2 21,1 43,6 5,4 32,9 61 0, ,67 BC ,7 0,55 1,5 0,5 0,2 0,3 2,5 40,6 2,4 0,3 17,5 44,3 5,1 34,7 48 0, ,39 AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap ,6 1,22 5,2 2,9 0,2 0,4 6,7 36,6 3,0 0,2 22,8 46,7 11,9 46,2 30 0, ,97 Bt ,5 1,10 3,4 2,0 0,2 0,3 5,9 37,4 4,8 9,4 22,8 42,6 11,0 41,7 44 0, ,83 Bt ,4 0,90 3,2 1,1 0,2 0,3 4,8 34,6 7,0 0,5 22,6 40,6 12,3 42,6 59 0, ,03 Bt ,4 0,94 3,6 2,7 0,2 0,3 6,8 35,0 5,3 0,5 22,3 42,9 12,4 38,6 43 0, ,94 Btg ,5 1,25 3,6 2,4 0,2 0,4 6,6 35,4 4,0 0,3 21,6 43,1 10,8 40,2 37 0, ,41 Btg ,7 1,25 3,0 2,8 0,2 0,4 6,4 35,0 2,1 0,3 25,3 42,6 8,8 42,5 24 0, ,48 BCg ,5 1,29 4,1 3,3 0,2 0,4 8,0 35,8 2,6 0,2 27,2 44,9 10,7 55,9 24 0, ,18 56

74 AM3 yang sama-sama memiliki regim kelembaban tanah akuik. Nilai ph tergolong masam dijumpai pada seluruh horison, yakni berkisar antara 4,4 4,7. Terjadi penurunan ph pada horison Bt bagian atas, namun kemudian naik pada bagian bawah, dan menurun kembali pada horison terbawah (BC). Walaupun nilai ph cenderung sedikit lebih tinggi berkisar antara 4,4 4,8, pada pedon AM2 yang memiliki regim kelembaban perudik, namun sama halnya dengan kedua pedon sebelumnya, kemasaman tanahnya tergolong masam. Nilai ph horison Ap relatif paling rendah, dibanding ph horison Bt dan BC. Nilai tertinggi terlihat pada bagian tengah horison Bt, dan menurun kembali sampai pada horison terbawah (BC). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, nilai ph horison Bt pada ketiga pedon berbahan induk batuliat ini cenderung lebih tinggi dibanding, baik nilai ph horison A di atasnya maupun horison BC di bawahnya. Perbedaannya adalah bahwa, tanah-tanah dari bahan induk batuliat yang regim kelembabannya akuik (AM1 dan AM3) cenderung sedikit lebih masam dibanding tanah dengan regim kelembaban perudik (AM2). Dari data yang ada dapat dikatakan bahwa nilai ph tanah cenderung masam, karena asal bahan induk yang masam, terlihat dari kandungan Al-dd dan ion H yang relatif tinggi (Tabel 9). Kejenuhan basa (KB-jumlah kation) dari pedon pewakil yang berasal dari batuliat ini secara keseluruhan lebih kecil dari 35%. Namun demikian, jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai KB antara pedon yang memiliki regim akuik dengan perudik. Pedon AM1 dan AM3 (akuik) memiliki nilai KB yang relatif lebih tinggi, masingmasing 2-31% (rata-rata = 17,7%) dan 21 38% (rata-rata = 26,8%) dibanding pedon AM2 (perudik) yaitu 4 11% (rata-rata = 13,6%). Terlihat pula (Tabel 9) bahwa jumlah basa-basa pedon AM2 lebih rendah dibanding jumlah basa-basa pedon AM1 dan AM3. Untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya penimbunan C-organik bersamaan dengan penimbunan liat di horison Bt, maka dilakukan analisis di setiap horison (Tabel 9). Penyebaran C-organik, Fe-bebas, dan total liat menurut kedalaman di dalam pedon AM1, AM2, dan AM3 diilustrasikan pada Gambar 6. Secara 57

75 keseluruhan kandungan C-organik pada setiap horison di masing-masing pedon yang berkembang dari batuliat, cenderung memiliki pola yang tidak teratur. Pada pedon AM1 kandungan C-organik tertinggi dijumpai pada horison A dan menurun pada horison peralihan BA di bawahnya. Sedangkan pada horison Bt, kandungan C-organik terlihat meningkat dan selanjutnya menurun secara teratur sampai bagian bawah solum. Berbeda dengan pedon AM2, kandungan C-organik relatif rendah terdapat pada horison Ap, dan meningkat mulai pada horison peralihan BA sampai bagian tengah horison Bt. Selanjutnya secara tidak teratur dari bagian bawah Bt sampai pada horison peralihan BC. Pola sebaran C-organik pada pedon AM3 agak berbeda dengan kedua pedon sebelumnya, di mana kandungan C-organik relatif tinggi terdapat pada horison permukaan kemudian menurun sampai pada bagian atas Bt, dan selanjutnya meningkat terus dengan semakin meningkatnya kedalaman (Tabel 9). Kandungan C-organik yang tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman tersebut, merupakan ciri bahan sedimen, yang mana bahan-bahanya terbentuk akibat sedimentasi atau pengendapan. Penimbunan C-organik pada AM1, terjadi pada horison Bt1 pada kedalaman cm, sedangkan pada AM2 pada horison BA pada kedalaman cm dan cm. Penimbunan C-organik pada pedon AM3 terjadi pada bagian bawah profil, yakni pada kedalaman cm, cm, dan cm (Gambar 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi penimbunan bahan organik, walaupun dalam jumlah relatif sedikit, seiring dengan meningkatnya kandungan liat pada horison Bt. Penimbunan tersebut dijumpai pada semua pedon, baik yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, maupun perudik. Sama halnya dengan kandungan C-organik, maka dilakukan pula analisis kandungan Fe-bebas dalam tanah (Tabel 9, Gambar 6), untuk melihat apakah terjadi penimbunan besi seiring dengan penimbunan liat. Kandungan besi pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batuliat, cenderung meningkat dan menumpuk 58

76 Gambar 6. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari Bahan Induk Batuliat. 59

77 pada bagian bawah horison Bt. Pedon AM1 dan AM2 terlihat memiliki kecenderungan distribusi Fe-bebas yang sama, di mana kandungan besi bebas memiliki pola yang meningkat dari horison A sampai bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada horison peralihan BC. Berbeda dengan pedon AM3, peningkatan kandungan Febebas memiliki pola yang tidak teratur, yaitu peningkatan Fe-bebas terjadi pada bagian atas dan bawah Bt, sedangkan penurunan terlihat pada bagian tengah Bt dan juga pada horison BC. Dapat disimpulkan bahwa pada pedon-pedon dari batuliat penimbunan Fe-bebas yang cenderung terjadi, dan penimbunan tertinggi terdapat pada horison Bt. Penimbunan tersebut berturut-turut untuk pedon AM1, AM2, dan, AM3 (Gambar 9) terdapat sebesar 4,60% pada horison Btg ( cm); 3,67% pada horison Bt3 ( cm), dan 3,48% pada horison Btg2 ( cm). Nilai KTK liat pedon AM1 (Tabel 9) menunjukkan bahwa, KTK-liat horison A lebih rendah dibanding KTK-liat pada horison Bt2 yang cenderung tinggi mencapai 105,2 cmol (+) /kg liat, dan sedikit menurun pada bagian bawah solum. Sangat berbeda dengan AM1, secara keseluruhan horison-horison pada pedon AM2 memiliki nilai KTK liat cenderung lebih rendah, yakni sebesar 25,8-32,9 cmol (+) /kg liat. Pada pedon ini horison Bt bagian atas memiliki nilai KTK liat yang lebih rendah dibanding horison A di atasnya, namun kemudian meningkat sampai horison peralihan BC. Pada pedon AM3 dijumpai kisaran nilai KTK liat antara 38,6-42,62 cmol (+) /kg liat, dan horison Bt memiliki nilai relatif lebih rendah dibanding horison permukaan maupun horison peralihan BC. Terlihat bahwa nilai KTK liat pada ketiga pedon tersebut sangat berkaitan dengan jenis mineral liatnya (dibahas pada sifat mineralogi). Pedon Berbahan Induk Batukapur Data hasil analisis sifat-sifat kimia tanah masing-masing horison pada pedon pewakil tanah-tanah berbahan induk batukapur disajikan pada Tabel

78 Tabel 10. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-Masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur. Pedon Kedalaman ph-tanah C-organik Basa-basa dapat tukar Jumlah Kemasaman Kemasaman dapat tukar Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Fe2O3- Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H ph-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total ph-7 Jum.Kation bebas (cm) (H2O) (%) cmol(+)/kg tanah cmol(+)/kg tanah (%) (%) AM4 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik) A ,0 0,94 24,7 5,6 0,4 0,6 31,3 39,8 0 0,2 42,2 72,2 31,5 64,5 0 0, ,29 AB ,1 0,63 20,7 4,2 0,4 0,5 25,8 38,5 0 0,2 44,4 65,6 26,0 70,5 0 0, ,59 Bt ,8 0,63 31,3 3,6 0,6 0,9 36,4 35,4 0 0,1 48,3 72,7 36,4 65,3 0 0, ,38 Bt ,4 0,63 42,4 5,0 0,4 0,7 48,45 24,6 0 0,2 51,2 73,7 48,6 63,9 0 0, ,48 Bt ,0 0,78 48,4 6,3 0,5 0,7 55,9 23,6 0 0,1 50,7 80,3 56,0 66,7 0 0, ,47 BC ,8 0,71 55,3 1,1 0,4 0,8 57,6 20,4 0 0,1 50,4 0 0, ,30 AM5 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik) A ,8 0,55 44,8 6,2 0,5 0,9 61,4 21,8 0 0,1 44,4 74,7 52,4 71,3 0 0, ,61 Bt ,5 0,71 52,7 6,5 0,6 1,0 61,0 21,4 0 0,1 56,6 82,9 60,9 76,5 0 0, ,27 Bt ,1 1,25 46,3 5,7 0,5 0,9 53,4 22,2 0 0,1 51,0 76,2 53,3 75,0 0 0, ,66 Bt ,9 1,18 70,4 8,2 0,6 1,1 80,3 23,0 0 0,1 49,8 104,0 80,3 63,0 0 0, ,76 BC ,3 0,55 65,6 7,6 0,5 1,1 74,9 24,0 0 0,1 54,6 99,5 74,7 80,0 0 0, ,85 AM6 - Fluvaquentic Epiaquent (akuik) Ap ,8 1,49 71,4 5,4 0,6 1,0 78,4 21,2 0 0,1 55,4 100,2 78,5 97,0 0 1, ,37 Bt ,2 1,02 50,6 5,0 0,4 0,5 56,5 21,8 0 0,1 44,4 78,9 56,5 65,1 0 0, ,59 Bt ,9 0,78 52,4 5,7 0,4 0,9 59,4 21,0 0 0,1 46,6 81,0 59,4 65,6 0 0, ,67 Bt ,4 0,86 50,0 5,3 0,4 0,8 56,5 22,0 0 0,1 48,1 79,1 56,6 72,7 0 0, ,81 Bt ,2 1,65 58,4 6,0 0,5 0,9 65,8 23,0 0 0,1 53,9 89,3 65,9 80,7 0 0, ,38 BC ,3 0,78 55,2 5,5 0,5 0,6 61,8 25,2 0 0,1 52,2 87,7 61,8 69,3 0 0, ,97 61

79 Nilai ph tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 cenderung tergolong agak masam sampai netral (ph 4,8 6,5). Nilai ph pada pedon AM4 adalah agak masam, dan cenderung naik-turun secara tidak teratur di dalam pedon. Pada bagian tengah horison Bt, ph tanah terlihat lebih tinggi dibanding pada bagian atas maupun bawahnya, kemudian meningkat pada horison BC. Nilai ph pada pedon AM5 bervariasi antara 5,8-6,5. Nilai ph pada horison A lebih rendah dibanding horison Bt, yang kemudian menurun pada bagian bawahnya, tetapi kemudian meningkat lagi pada horison peralihan BC. Nilai ph tertinggi yaitu 6,5 dijumpai pada horison Bt1. Pedon AM6 dengan regim kelembaban akuik memiliki ph 5,2-6,2. Pada pedon ini terlihat penurunan nilai ph secara teratur dengan kedalaman dimulai dari bagian atas horison Bt sampai bagian bawahnya, namun terdapat sedikit peningkatan pada horison peralihan BC. Nilai ph tertinggi, yakni 6,2, dijumpai pada horison Bt bagian atas (Bt1). Gambar 7 menunjukkan distribusi kandungan C-organik, Fe-bebas, dan liat total dalam tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 yang berkembang dari batukapur. Terlihat bahwa terjadi penimbunan C-organik pada setiap pedon, baik yang memiliki regim kelembaban akuik maupun perudik. Kandungan C-organik horison A pada pedon AM4, cenderung lebih tinggi daripada horison Bt, namun peningkatan yang relatif kecil terlihat pada bagian bawah horison Bt, dan menurun kembali pada horison peralihan (BC) paling bawah. Kandungan C-organik tertinggi sebesar 0,78%, terjadi pada horison Bt3 ( cm). Pada pedon AM5, kandungan C-organik pada horison permukaan (A) lebih rendah dari horison Bt secara menyeluruh. Nilai tertinggi sebesar 1,25% terjadi pada horison Bt2 (38 86 cm), sementara penurunan yang nyata terlihat pada horison peralihan BC. Sama halnya dengan pedon sebelumnya, maka pada pedon AM6 kandungan C-organik yang cukup tinggi ditemukan pada horison Ap dan Bt bagian atas, yang kemudian menurun dan meningkat kembali pada bagian bawah horison Bt. Penimbunan tertinggi dijumpai pada kedalaman cm (horison Bt4) sebesar 1,65%. Data di atas dapat disimpulkan bahwa penimbunan C-organik pada 62

80 Gambar 7. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari Bahan Induk Batukapur. 63

81 tanah berbahan induk kapur terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda. Penimbunan pada kedalaman terdalam ditemukan pada pedon AM6 (akuik). Pada keadaan regim kelembaban tanah perudik penimbunan C-organik terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal. Kandungan Fe-bebas pada pedon yang berkembang dari batukapur (AM4, AM5, dan AM6) (Tabel 10 dan Gambar 7) memperlihatkan bahwa penimbunan Febebas terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda dan umumnya terjadi pada horison Bt. Kandungan Fe-bebas pada horison A atau Ap, cenderung rendah. Peningkatan kandungan Fe-bebas terjadi pada horison Bt bagian atas, kemudian menurun pada bagian tengahnya. Penimbunan Fe-bebas tertinggi pada pedon AM4, AM5, dan AM6 berturut-turut terjadi pada horison Bt3 ( cm) sebesar 3,47%, Bt1(16 38 cm) sebesar 3,27%, dan Bt3 ( cm) sebesar 2,81%. Nilai KTK-liat secara keseluruhan terlihat sangat berbeda, yakni relatif lebih tinggi dibanding dengan pedon berbahan induk lainnya. Kenyataan ini sangat didukung oleh diidentifikasi adanya jenis mineral liat 2:1 (smektit) yang mendominasi setiap horison Bt. Nilai KTK-liat horison Bt bervariasi antara 63,9-70,5 cmol (+) /kg liat pada pedon AM4, antara 63,0 80,0 cmol (+) /kg liat pedon AM5 dan antara 65,1 97,0 cmol (+) /kg liat pedon AM6. Tingginya nilai KTK-liat pada pedon-pedon ini terlihat relatif sama pada kondisi akuik maupun perudik, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh jenis bahan induk terhadap nilai KTK-liat lebih menonjol dibandingkan dengan pengaruh regim kelembaban tanah. Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Data sifat-sifat kimia masing-masing horison pada pedon AM7 dan AM8 yang berkembang dari bahan Volkan-Andesitik disajikan pada Tabel 11. Pedon AM7 (perudik) memiliki reaksi tanah seluruh horison yang tergolong masam, yakni ph 4,7 5,1. Pada horison A dijumpai nilai ph yang paling rendah dan 64

82 Tabel 11. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Insuk Volkanik-Andesitik. Pedon Kedalaman ph-tanah C-organik Basa-basa dapat tukar Jumlah Kemasaman Kemasaman dapat tukar Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Fe2O3- Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H ph-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total ph-7 Jum.Kation bebas (cm) (H2O) (%) cmol(+)/kg tanah cmol(+)/kg tanah (%) (%) AM7 - Andic Dystrudept (perudik) A ,5 1,25 3,6 2,4 0,2 0,4 6,6 33,0 15,4 0,6 41,0 40,7 22,5 97,0 70 0, ,93 Bt ,8 1,10 3,8 1,4 0,2 0,3 5,7 33,0 20,1 0,8 40,8 39,8 26,6 65,0 78 0, ,47 Bt ,8 0,94 0,6 0,2 0,1 0,1 1,0 33,8 18,6 0,8 43,5 35,9 20,4 65,6 94 0, ,38 Bt ,7 1,73 1,1 0,5 0,1 0,2 1,9 29,0 28,7 0,9 45,2 31,9 31,4 72,7 94 0, ,99 BC ,7 0,78 0,7 0,3 0,1 0,2 1,3 31,8 30,0 1,0 47,6 34,2 32,3 80,7 96 0, ,82 C ,1 0,78 0,9 0,3 0,1 0,1 1,4 31,8 25,5 0,8 51,0 34,2 27,7 69,3 95 1, ,96 AM8 - Typic Haplohumult (perudik) Ap ,8 1,76 4,3 1,1 0,3 0,4 6,1 21, ,3 6,1 104,6 0 1, ,18 Bt ,5 1,65 6,0 1,1 0,2 0,3 7,6 21, ,5 7,7 24,7 0 0, ,69 Bt ,6 1,10 6,7 1,3 0,3 0,4 8,7 21, ,6 8,8 25,8 0 0, ,59 Bt ,7 0,78 8,3 2,0 0,3 0,4 11,0 22, ,3 11,1 20,8 0 0, ,40 Bt ,8 0,71 6,2 2,0 0,2 0,4 8,8 23, ,8 8,8 36,6 0 0, ,04 Bt ,8 0,63 6,3 2,0 0,3 0,4 9,0 18, ,9 9,1 20,1 0 0, ,96 BC ,8 0,55 5,5 2,1 0,3 0,5 8,4 18, ,4 8,5 22,9 0 0, ,69 65

83 meningkat dengan kedalaman. Hal yang sama juga dijumpai pada pedon AM8 (perudik), di mana nilai ph relatif rendah terdapat pada horison permukaan (Ap) dan meningkat dengan kedalaman. Nilai ph tergolong agak masam, baik pada horison Ap, Bt, maupun horison C, dengan kisaran 5,5-5,8. Nilai kejenuhan basa (KB-jumlah kation) pada pedon AM7 cenderung tinggi pada horison A, namun dengan meningkatnya kedalaman, nilainya menurun sangat rendah, yakni 3%. Sedangkan pada pedon AM8, nilai KB-jumlah kation masing-masing horison hampir tidak jauh berbeda, berkisar 22 32%. C-organik pada pedon AM7 terlihat relatif tinggi pada bagian atas permukaan yakni pada horison Ap dan sedikit menurun pada bagian atas horison Bt. Pada Gambar 8, terlihat bahwa penumpukan C-organik sebesar 1,73% terjadi pada Bt3 dengan kedalaman cm. Sedangkan pada AM8 tidak terlihat penimbunan seiring dengan menurunnya kandungan C-organik dengan meningkatnya kedalaman, yakni tertinggi dijumpai pada horison Ap dan sedikit menurun pada horison Bt sampai pada horison C. Kandungan Fe-bebas terlihat pola yang berbeda antara pedon AM7 dan AM8. Kandungan Fe-bebas pada pedon AM7 terlihat relatif rendah pada horison A, yang kemudian meningkat pada bagian atas horison Bt. Selanjutnya terjadi penurunan kembali pada horison Bt bagian bawah, dan meningkat pada horison peralihan BC sampai C. Berbeda dengan AM8 dimana pada bagian permukaan tanah besi bebas relatif tinggi dibanding dengan horison Bt bagian atas dan bawah, namun pada bagian tengah horison Bt terlihat meningkat. Dengan demikian terjadi penumpukan Fe-bebas sejumlah 3,47% pada Bt1 (19 47 cm) dan sebesar 4,40% pada Bt3 (65 90 cm) berturut-turut untuk pedon AM7 dan AM8. Jumlah penumpukan besi tersebut dapat dikatakan tertinggi di antara semua pedon yang diteliti. Hal ini 66

84 Gambar 8. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Andesitik. 67

85 dapat dikatakan bahwa pedon-pedon ini mengalami pelapukan yang menghasilkan besi relatif lebih banyak. Pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang mendominasi horison permukaan A atau Ap dan horison Bt terhadap nilai KTK-liat dijumpai pula pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk bahan volkanik andesitik ini. Pada pedon AM7 dijumpai nilai KTK-liat cenderung tinggi pada semua horisonnya. Tertinggi terjadi pada horison A kemudian menurun pada bagian atas horison Bt. Terjadi kenaikan KTK-liat di bagian bawah horison Bt dan pada horison BC dan menurun kembali pada horison C. Pada horison Bt dijumpai KTK liat sebesar 65,0-72,7 cmol (+) /kg liat dan pedon AM8 dijumpai lebih rendah yakni sebesar 20,1-36,6 cmol (+) /kg liat. Kedua pedon ini memiliki dominasi mineral liat yang berbeda yakni pada AM7 mineral liat campuran dan pada AM8 didominasi oleh kaolinit (1:1). Sehingga nilai KTK-liat pada kedua pedon ini didukung oleh jenis mineralnya (dibahas kemudian pada mineral liat). Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Pada Tabel 12 disajikan data sifat-sifat kimia pedon AM9 dan AM10 yang berke mbang dari bahan induk volkanik dasitik. Pedon AM9 (ustik) nilai ph relatif tergolong agak masam dengan ph adalah 5,2-5,4. Nilai ph horison A relatif lebih tinggi dibanding pada horison Bt maupun BC. Perbedaan kemasaman tanah terlihat jelas pada pedon AM10 (akuik) yang memiliki nilai ph yang relatif tinggi dan tergolong netral yakni 5,7-6,1, dimana pada horison Ap nilai ph cenderung rendah dibanding dengan horison Bt dan horison BC. Jelas terlihat bahwa ph pada horison Bt relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah mempengaruhi kemasaman horison Bt pada tanah berbahan induk bahan volkanik-dasitik di mana pengaruh yang sama kurang menonjol pada bahan induk batuan sedimen. Hubungan antara kemasaman tanah (ph) dengan horison Bt dapat terjadi dalam kaitannya dengan pencucian liat. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Buol et 68

86 Tabel 12. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik. Pedon Kedalaman ph tanah C-organik Basa-basa dapat tukar Jumlah Kemasaman Kemasaman dapat tukar Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kejenuhan KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Fe2O3- Ca Mg K Na basa-dd terekstrak Al H ph-7 Jum.Kat. KTK Ef. Liat Al (%) % liat total ph-7 Jum.Kation bebas (cm) (H2O) (%) cmol(+)/kg tanah cmol(+)/kg tanah (%) (%) AM9 - Fluventic Dystrudept(ustik) A ,5 1,02 4,0 1,7 0,3 0,4 6,4 18, ,1 16,0 25,2 6,5 26,8 0 0, ,41 Bt ,3 0,78 1,9 0,7 0,2 0,2 3,0 18,3 0,4 0,3 12,1 21,3 3,6 15,7 11 0, ,30 Bt ,4 0,71 1,4 0,6 0,1 0,2 2,3 15,9 1,0 0,4 13,1 18,1 3,6 16,3 30 0, ,64 Bt ,2 0,47 2,9 0,5 0,1 0,2 3,7 17,2 0,6 0,3 14,1 20,8 4,5 16,2 13 0, ,59 B ,4 0,39 2,4 0,9 0,2 0,3 3,8 16,3 9,9 0,9 15,5 19,9 14,4 17,0 72 0, ,57 Bt ,3 1,41 1,9 0,5 0,2 0,2 2,8 18,1 26,2 1,0 14,6 20,8 29,8 15,9 90 0, ,60 BC ,2 0,94 1,3 0,3 0,1 0,2 1,8 18,3 30,3 1,5 8,3 20,2 33,6 9,7 94 0, ,25 AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik) Ap ,6 2,16 1,0 0,4 0,2 0,3 1,9 8,4 3,4 0,5 6,3 6,8 10,2 31,4 35 0, ,32 Adir ,5 1,68 2,9 0,8 0,3 0,4 4,4 6,1 1,8 0,3 7,1 7,3 10,4 37,8 29 0, ,26 Bmn ,1 2,03 5,2 2,0 0,4 0,5 8,1 7,4 0,5 0,2 9,2 9,3 11,8 45,4 6 0, ,34 Bt ,2 1,92 5,5 2,3 0,3 0,4 8,5 7,5 0,0 0,2 8,6 8,8 15,5 25,5 0 0, ,32 Bt ,0 1,60 5,4 2,4 0,3 0,4 8,5 8,8 0,0 0,1 9,4 9,5 17,3 27,0 0 0, ,49 Bt ,0 1,43 8,5 3,2 0,4 0,5 12,6 12,9 0,0 0,2 15,6 15,8 21,8 41,3 0 0, ,36 Bt ,7 2,00 9,5 4,1 0,4 0,5 14,5 12,9 0,4 0,2 18,6 18,9 25,4 45,1 0 0, ,36 BCg ,6 2,32 7,6 3,9 0,3 0,5 12,3 9,8 0,5 0,2 13,9 14,1 24,2 41,9 2 0, ,09 BCg ,7 1,54 5,4 2,8 0,3 0,4 8,9 7,3 1,0 0,3 15,5 15,9 19,6 71,1 11 0, ,35 69

87 al. (1973) bahwa terjadinya proses dispersi liat berkaitan dengan pencucian basa-basa yang mengikat partikel tanah. Pencucian basa-basa akan menurunkan nilai ph tanah dan memungkinkan terbentuknya proses penimbunan liat ke horison B. Kejenuhan Basa-jumlah kation pada pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik-dasitik ini sangat berbeda. Pada pedon AM9 dijumpai nilai KB-jumlah kation yang sangat rendah terutama di bawah horison permukaan A. Sedikit peningkatan terjadi pada bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada horison BC. Sebaliknya pada pedon AM10 jelas terlihat bahwa, nilai KB-jumlah kation adalah rendah pada horison Ap, kemudian meningkat sampai pada horison Bt3. Penurunan terjadi pada bagian bawah horison Bt dan meningkat kembali pada horison BC. Hal ini menunjukkan bahwa pedon ini memenuhi KB- jumlah kation sebesar lebih atau sama dengan 35% pada kedalaman 180 cm sehingga dapat digolongkan pada tanah Alfisol. Perbedaan bahan induk jelas berpengaruh pada kemasaman horison Bt, dimana tanah yang berasal dari bahan induk masam (batuliat dan volkanik-dasitik) cenderung menghasilkan tanah dengan ph yang masam. Kecuali pada AM10 (akuik) dengan nilai ph 6,2 sampai 6,4. Sedangkan tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur tergolong pada agak-masam sampai netral. Horison Bt pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik memiliki KB relatif lebih tinggi dibanding dengan tanah yang memiliki regim kelembaban tanah perudik. Sebaliknya pengaruh regim kelembaban tanah cenderung mempengaruhi nilai KB horison Bt. Pada pedon dengan regim kelembaban tanah akuik nilai KB cenderung lebih tinggi daripada perudik. Kandungan C-organik pada pedon berbahan induk volkanik dasitik (Tabel 12 dan Gambar 9), terlihat bahwa pada horison A pedon AM9 (ustik) memiliki nilai yang tinggi dibanding horison Bt bagian atas dan tengah. Penurunan kandungan C-organik terjadi sampai pada bagian bawah horison Bt4. Sedangkan pada bagian bawah Bt terjadi penumpukan C-organik sebesar 1,41% pada horison Bt5 ( cm). Pada 70

88 pedon AM10 (akuik) kandungan C-organik relatif tinggi hampir di setiap horisonnya, yakni sebesar 2%, dan tertinggi dibanding dengan pedon-pedon lainnya. Penimbunan tersebut dijumpai pada horison Bt4 ( cm). Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan regim kelembaban tanah berpengaruh pada kandungan C-organik terutama pada tanah yang berbahan induk bahan volkanik dasitik ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa penimbunan C-organik berbeda antara pedon yang berbahan induk bahan volkanik-dasitik maupun-andesitik (yang terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal). Pada beberapa pedon terlihat terjadi penimbunan C-organik yang tidak teratur, yang pada ordo tanah Inceptisol dapat termasuk dalam kriteria fluventic yakni adanya pengaruh perbedaan penimbunan bahan oleh air. Pada tanah Ultisol, kandungan C- organik digunakan sebagai kriteria dalam mengklasifikasikan sub-ordonya. Disimpulkan bahwa penimbunan C-organik yang relatif sangat sedikit, terjadi seiring dengan terjadinya penimbunan liat. Hal tersebut terlihat pada pedon berbahan induk batuliat yang hanya terjadi pada pedon AM1 dan AM3 keduanya akuik, kemudian pada semua pedon berbahan batukapur (AM4, AM5, dan AM6), dan juga pada pedon yang berbahan induk volkanik-andesitik (AM7), serta berbahan induk volkanik-dasitik yakni AM9 dan AM10. Hasil analisis terhadap kandungan Fe-bebas pada pedon AM9 (Tabel 12 dan Gambar 9), menunjukkan bahwa kandungan besi bebas pada horison A cenderung lebih rendah dibanding dengan Bt dan BC. Terlihat bahwa penumpukan besi bebas terjadi pada horison Bt2 (35-57 cm) sebesar 3,64% dan pada Bt5 ( cm) maupun pada horison peralihan (BC) sebesar masing-masing 3,60% dan 4,25%. Hal yang sangat berbeda terlihat pada pedon AM10 yang berkembang dari bahan induk yang sama dengan AM9, tetapi memiliki regim kelembaban tanah akuik. Secara keseluruhan pedon ini memiliki kandungan Fe- bebas yang sangat rendah dibanding dengan semua pedon pewakil yang ada. 71

89 Gambar 9. Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Dasitik. 72

90 Namun demikian terlihat bahwa horison Ap memiliki kandungan besi bebas yang lebih rendah dibanding dengan horison Bt, dan cenderung lebih tinggi dari horison peralihan BC. Penimbunan terlihat pada horison Bt2 (59 75 cm) sebesar 0,49%. Kandungan jumlah besi bebas yang relatif sangat sedikit pada AM10 diduga akibat jenis bahan induk yang mengandung sedikit besi (tufa Banten) seperti yang diungkapkan dalam Djunaedi (1976). Fe-bebas merupakan salah satu indikator ciri perkembangan tanah. Senyawa ini berkaitan erat dengan aktifitas air dalam tanah. Hasil analisis terhadap senyawa Fe 2 O 3 disimpulkan bahwa, terjadi akumulasi dengan jumlah yang berbeda-beda pada setiap pedon pewakil. Akumulasi dapat merupakan akibat dari perbedaan permeabilitas tanah yang dari cepat menjadi lambat pada daerah dimana kandungan liat tinggi. Dengan adanya perbedaan tekstur tersebut mengakibatkan air sering tertahan pada batas lapisan yang berbeda ini dan mengakibatkan tertumpuknya besi. Jumlah Fe-bebas yang relatif tinggi terlihat pada pedon-pedon yang berasal dari bahan induk volkanik kecuali pedon AM10, dan menunjukkan tanah tersebut lebih berkembang dibanding lainnya. Pedon yang berasal dari bahan dasitik terlihat memiliki nilai KTK-liat yang berbeda. Nilai KTK-liat pada pedon AM9 cenderung rendah, dan ditemukan relatif tinggi pada horison permukaan Ap, dan menurun sampai pertengahan Bt, juga pada BC. Sedangkan pada bagian bawah Bt terlihat adanya penumpukan sebesar 17,0 cmol (+) /kg liat pada Bt4. Pada horison Ap sebesar 26,8 cmol (+) /kg liat. Pada pedon AM10 dijumpai cenderung lebih tinggi dan bervariasi antara horisonnya, yakni sebesar 25,5-45,12 cmol (+) /kg liat. Nilai KTK-liat yang relatif lebih tinggi pada pedon AM10 dipengaruhi oleh mineral campuran antara liat 2:1 dan 1:1 dibanding dengan AM9 yang mineral liatnya didominasi oleh tipe 1:1 (kaolinit). Hubungan antara nilai KTK-liat dengan horison penimbunan liat lebih kepada jenis mineral liat yang mendominasi horison tersebut. Sedangkan nilai KTK-tanah (ph-7) digunakan untuk mendapatkan kelas KTK pada 73

91 klasifikasi tanah pedon pewakil yang dijumpai dominasi mineral liat campuran pada penelitian ini. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah terlihat tidak langsung mempengaruhi sifat tanah ini, melainkan akibat pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang dijumpai pada masing-masing pedon. Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi Mineral Fraksi Pasir Data hasil analisis mineral fraksi pasir total dengan menggunakan metode Line Counting pada contoh tanah yang mewakili horison pencucian liat dan penimbunan liat maksimum disajikan pada Tabel 13. Analisis mineral fraksi pasir total bertujuan, antara lain, untuk mengetahui komposisi dan cadangan mineral yang ada dalam tanah, juga untuk menduga jenis bahan induk tanah (Hendro, 1990). Pada penelitian ini, analisis mineral fraksi pasir total dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi dan cadangan mineral yang ada pada horison permukaan (A atau Ap) dan horison Bt, dan untuk menduga proses-proses pelapukannya. Secara keseluruhan dijumpai bahwa susunan mineral fraksi pasir pada horison Bt masing-masing pedon pewakil adalah sama dengan horison permukaan (A atau Ap), yakni horison pencucian yang berada di atas horison penimbunan liat tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa cadangan mineral, yaitu mineral mudah lapuk (weatherable mineral), yang dikandung masing-masing horison bervariasi satu sama lain. Mineral-mineral mudah lapuk yang dijumpai pada pedon-pedon pewakil, antara lain, adalah gelas volkan, oligoklas, andesine, labradorit, orthoklas, sanidin, hornblende, augit, dan hiperstin. 74

92 Tabel 13. Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi dan Iluviasi. Pedon/Hor. Pedon AM1: OP ZI KK KB KF LI OS ZE WM WR VG OL AN LB OR SA HO AU HY TM Ap (0-10 cm) Bt2 (55-95 cm) Pedon AM2: Ap (0-18 cm) Bt3 ( cm) Pedon AM3: Ap (0-15 cm) Bt2 (30-50 cm) Pedon AM4: AB (15-31 cm) Bt2 (45-66 cm) Pedon AM5: A (0-16 cm) Bt3 ( cm) Pedon AM6: Ap (0-16 cm) Bt2 (50-77 cm) Pedon AM7: A (0-19 cm) Bt3 ( cm) Pedon AM8: A (0-20 cm) Bt3 (65-90 cm) Pedon AM9: A (0-10 cm) Bt3 (57-80 cm) Pedon AM10: Keterangan : OP=opak, Zi=sirkon, KK=kuarsa keruh, KB=kuarsa bening, KF= K-feldspar, LI=limonit, OS=organik silika, ZE=zeolit, WM= mineral lapuk, WR= batuan lapuk, VG=gelas volkan, OL=oligoklas, AN=anortit, LB=labradorit, OR=ortoklas, SA=sanidin, HO=hornblende, AU=augit, HY=hiperstin, dan TM=total mineral mudah lapuk. Pedon Berbahan Induk Batuliat Pada pedon yang berkembang dari batuliat (AM1, AM2, dan AM3), jumlah mineral mudah lapuk di horison Bt lebih sedikit ataupun berkurang, dibanding dengan horison eluviasi. Pada pedon AM1 penurunan tersebut sangat nyata dari 12% menjadi 2% dan pada pedon AM3 dari 30% menjadi 18%. Penurunan tersebut terlihat juga 75

93 pada pedon AM2 dari 9% menjadi 4%. Pedon AM1 didominasi oleh kuarsa bening, yang relatif lebih tinggi daripada AM2, yang lebih didominasi oleh kuasa keruh. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah ini sudah mengalami pelapukan yang intensif, karena kuarsa adalah mineral merupakan mineral yang tahan terhadap pelapukan. Jumlah kuarsa (bening dan keruh) meningkat pada horison Bt dibanding dengan horison di atasnya, terlihat sangat menonjol pada pedon AM3. Hal ini sejalan dengan pendapat Nettleton et al. (1975) yang mengatakan bahwa pelapukan yang cukup memadai untuk menghasilkan horison Bt adalah ditunjukkan oleh peningkatan kandungan kuarsa dalam fraksi non liat yang diiringi dengan berkurangnya jumlah mineral lapuk. Pedon Berbahan Induk Batukapur Kuarsa merupakan mineral fraksi pasir yang mendominasi pedon AM4 dengan jumlah kuarsa keruh hampir sama dengan horison pencucian di atasnya. Pedon AM5 terjadi penurunan jumlah mineral lapuk sangat nyata, yaitu dari 24% pada horison pencucian dan menjadi 8% pada horison Bt. Sedangkan pada pedon AM6, kuarsa bening terlihat relatif lebih tinggi sama halnya pada pedon AM5. Pada pedon-pedon dari bahan induk batukapur ini, memiliki kandungan batuan lapuk yang relatif tinggi dari pedon-pedon lainnya, baik pada horison Bt maupun horison di atasnya. Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Pada tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik-andesitik (pedon AM7 dan AM8), terlihat bahwa dominasi mineral opak sangat menonjol dibanding pedonpedon lainnya, yaitu melebihi 60%. Sebaliknya, kuarsa bening relatif lebih sedikit dibanding pada pedon yang berasal dari batuliat dan batukapur. Dengan dijumpainya mineral tahan lapuk dalam jumlah relatif lebih kecil, maka dapat disimpulkan bahwa, tanah-tanah ini relatif belum mengalami pelapukan lanjut dibanding pedon yang 76

94 berkembang dari batuan sedimen. Hal ini seiring dengan sifat bahan induk intermedier dengan kandungan Fe-bebas yang relatif tinggi dibanding pedon lainnya. Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Kandungan kuarsa bening dijumpai relatif sangat tinggi pada pedon AM9, baik pada horison Bt maupun horison A. Dilihat dari regim kelembaban tanah yang tergolong ustik, seharusnya tanah relatif belum mengalami pencucian lanjut. Kandungan kuarsa yang tinggi diperkirakan lebih disebabkan oleh pengaruh bahan induk yang mengandung kuarsa tinggi, yaitu tufa Banten. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa susunan mineral fraksi pasir tanah-tanah yang diteliti lebih dipengaruhi bahan induknya, bukan pengaruh regim kelembaban tanah yang berbeda. Kesamaan susunan mineral pada horison Bt dan horison permukaan (A atau Ap) pada masing-masing pedon pewakil, mendukung pendapat bahwa bahan penyusun horisonhorison tersebut adalah sama. Hal ini berarti juga mendukung kesimpulan bahwa sumber liat sebagai bahan iluviasi pada horison Bt berasal dari horison pencucian di atasnya. Dominasi kuarsa bening tertinggi terdapat pada pedon yang berasal dari bahan volkanik-dasitik, kemudian batukapur, batuliat, dan paling rendah pada bahan volkanikandesitik. Dapat dikatakan bahwa tanah-tanah yang berasal dari bahan volkanik-dasitik telah mencapai tingkat hancuran iklim yang lanjut, sehingga mempengaruhi tingkat perkembangan horison Bt pada tanah tersebut. Namun demikian, banyak sedikitnya jumlah kandungan kuarsa tidak lepas daripada pengaruh jenis bahan induk itu sendiri. Adanya pengaruh bahan induk volkanik terlihat pada pedon-pedon yang berkembang dari batuan sedimen dengan melihat susunan mineral fraksi pasirnya yang tidak dijumpai lagi mineral-mineral penciri batuan sedimen. Mohr dan Van Baren (1972) mengatakan bahwa, mineral resisten seperti kuarsa banyak dijumpai pada batuan sedimen, selain zirkon, rutil, turmalin, dan magnetit yang tidak ditemukan pada 77

95 penelitian ini. Hal ini menyebabkan sulitnya menginterpretasi asal bahan induk yang sebenarnya. Sebagai dasar penentuan jenis bahan induk dalam penelitian ini adalah menggunakan informasi dalam peta geologi daerah Bogor dan Serang, Banten. Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi Data hasil analisis mineral liat pada horison pencucian (A atau Ap) dan horison penimbunan liat maksimum (Bt) setiap pedon pewakil disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviasi Setiap Pedon Pewakil. Pedon Horison / Jenis Mineral Liat Kedalaman (cm) Smektit Illit Kaolinit Haloisit Kuarsa Kristobalit Gibsit Goethit Feldspar Batuliat : AM1 Ap (0-10 cm) (+) Bt3 (55-95 cm) AM2 Ap (0-18 cm) (+) (+) - Bt3 ( cm) AM3 Ap (0-15 cm) (+) + Bt3 (30-50 cm) + (+) (+) (+) Batukapur : AM4 AB (15-31 cm) (+) Bt2 (45-66 cm) AM5 A (0-16 cm) Bt3 ( cm) AM6 Ap (0-18 cm) ++++ (+) Bt2 (50-77 cm) ++++ (+) Volkanik-andesitik : AM7 A (0-19 cm) (+) Bt3 ( cm) AM8 Ap (0-20 cm) (+) - (+) (+) - Bt3 (65-90 cm) (+) - (+) (+) - Volkanik-dasitik : AM9 A (0-22 cm) Bt3 (57-80 cm) AM10 A (0-12 cm) Bt4 ( cm) Keterangan : ++++ = dominan; +++ = banyak; ++ = sedang; + = sedikit; (+) = sangat sedikit 78

96 Pedon Berbahan Induk Batuliat Difraktogram Sinar-X (X-ray Difactogram, XRD) fraksi liat dari horison A atau Ap dan horison argilik (Bt) masing-masing pedon disajikan pada Gambar 10 (AM1) sampai Gambar 19 (AM10). Perlakuan standar fraksi liat yang digunakan adalah dengan penjenuhan Mg 2+, Mg 2+ + gliserol, K +, dan K + plus C. Adapun identifikasi jenis mineral berdasarkan puncak difraksi sinar-x (X-ray Difraction peaks) seperti yang dikemukakan dalam Dixon et al. (1989). Horison Bt dan horison Ap pada tanah yang berkembang dari batuliat di daerah Cendali (AM1), yang mempunyai regim kelembaban akuik didominasi mineral liat smektit (2:1) dan sedikit kaolinit. Hal ini ditunjukkan oleh puncak 16 Å pada perlakuan dengan penjenuhan kation Mg 2+, yang berubah menjadi 18 Å pada penjenuhan kation Mg 2+ ditambah pemberian gliserol. Selanjutnya puncak smektit mengecil menjadi 12,5 Å pada perlakuan penjenuhan dengan kation K, dan menjadi 10 Å setelah dipanaskan pada 550 o C (Gambar 10). Kecuali itu, ditemukan juga sedikit kaolinit (1:1) di horison Ap, yang meningkat jumlahnya di horison Bt2. Adanya mineral liat kaolinit ditunjukkan oleh puncak 7,2 Å pada penjenuhan dengan Mg 2+, Mg 2+ - gliserol, dan penjenuhan dengan K +. Namun dengan perlakuan pemanasan 550 o C, puncak tersebut hilang. Dua pedon lain, AM2 dan AM3 yang juga berkembang dari batuliat, baik yang mempunyai regim kelembaban perudik maupun akuik, didominasi oleh mineral liat kaolinit (Gambar 11 dan 12). Puncak 7,2 Å sangat nyata terlihat pada perlakuan dengan Mg 2+, Mg 2+ - gliserol, maupun penjenuhan dengan K +. Adanya kaolinit diperkuat oleh intensitas kuat dari puncak ordo kedua kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu, mineral kuarsa (3,34 Å) terlihat sangat jelas. Juga pada pedon AM2 ditemukan gibsit (4,5 Å) dan goethite (4,21 Å) dalam jumlah sedikit. Hal lain yang menarik adalah ditemukannya sedikit mineral smektit di horison Bt pada pedon AM3 yang memiliki regim kelembaban akuik (AM3) dan sedikit kristobalit pada AM1. 79

97 Gambar 10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM1 Berbahan Induk Batuliat. Gambar 10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM1 Berbahan Induk Batuliat. 80

98 Gambar 11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat. Gambar 11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat. 81

99 Gambar 12a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison (Ap) Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat. Gambar 12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat. 82

100 Pedon Berbahan Induk Batukapur Tanah yang berkembang dari bahan induk kapur, AM4, AM5, dan AM6, dijumpai di daerah Pasircabe, Jonggol, memiliki regim kelembaban tanah perudik dan akuik. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa mineral liat smektit dan sedikit kaolinit mendominasi susunan fraksi liat, baik pada horison Bt maupun horison pencucian (A atau Ap), Tabel 14. Gambar 13 (AM4), 14 (AM5), dan 15 (AM6) menunjukkan bahwa pada perlakuan penjenuhan dengan kation Mg 2+, puncak difraksi sinar X yang didentifikasi adalah sebesar 15,3 16 Å, yang dengan penambahan gliserol meningkat menjadi 18 Å. Puncak tersebut bergeser menjadi 12 Å setelah diperlakukan dengan penjenuhan kation K +, dan kemudian menjadi 10 Å setelah pemanasan pada 550 o C. Puncak difraksi berikutnya yang teridentifikasi adalah kaolinit (7,26 Å) yang relatif stabil terlihat pada tiga perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K + plus pemanasan dengan 550 o C, puncak ini menghilang. Adanya orde kedua dari kaolinit yang ditunjukkan oleh puncak 3,58 Å memperkuat adanya mineral tersebut pada horison Bt dan horison A/Ap. Selain kedua mineral utama tersebut ditemukan pula dalam jumlah sedikit mineral illit (10 Å), kuarsa (3,34 Å) dan kristobalit (4,05 Å). kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu, mineral kuarsa (3,34 Å) terlihat sangat jelas. 83

101 Gambar 13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (AB) Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur. Gambar 13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur. 84

102 Gambar 14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur. Gambar 14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur. 85

103 Gambar 15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur. Gambar 15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur. 86

104 Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Hasil analisis mineral liat dengan XRD pada pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik-andesitik, AM7 dan AM8, yang berasal dari daerah Jasinga dan Ciampea disajikan pada Tabel 14. Puncak-puncak difraksi sinar X-nya disajikan pada Gambar 16 (AM7) dan 17 (AM8). Pada pedon AM7 (Gambar 16) dengan perlakuan penjenuhan dengan kation Mg 2+, mineral liat yang diidentifikasi adalah smektit dengan puncak difraksi 15,8 Å, yang meningkat menjadi 18 Å dengan penambahan gliserol. Puncak tersebut bergeser menjadi 10 Å setelah penjenuhan dengan kation K + ditambah pemanasan pada 550 o C. Puncak berikutnya yang teridentifikasi adalah 7,26 Å yang relatif stabil pada tiga perlakuan, kecuali pada perlakuan penambahan kation K + plus pemanasan 550 o C puncak tersebut hilang. Mineral liat tersebut adalah kaolinit (1:1). Keberadaan mineral ini diperkuat dengan adanya puncak difraksi ordo kedua 3,6 Å, yang jelas terlihat pada horison Bt dan horison A. Analisis XRD pada pedon AM7 dengan demikian menunjukkan bahwa fraksi liat horison Bt dan A didominasi oleh smektit dan sedikit kaolinit. Pedon AM8 (Ciampea) menunjukkan XRD yang agak berbeda. Gambar 17 menunjukkan bahwa mineral liat yang diidentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) sebagai mineral liat dominan. Di samping itu dalam jumlah yang sangat sedikit, dijumpai mineral kuarsa (3,34 Å), gibsit (4,5Å), dan goethit (4,12 Å), baik pada horison Bt maupun horison Ap. Fraksi liat horison Bt dan Ap dengan demikian (Tabel 21), didominasi oleh mineral haloisit dengan sedikit kuarsa, gibsit, dan goethit. 87

105 Gambar 16a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM7 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. Gambar 16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM7 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. 88

106 Gambar 17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. Gambar 17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik. 89

107 Pedon Berbahan induk Volkanik-Dasitik Hasil analisis XRD pada mineral liat pedon AM9 dan AM10 dari Cipocok, Serang yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik, disajikan pada Gambar 18 (AM9) dan 19 (AM10). Pada kedua Gambar tersebut terlihat bahwa, puncak-puncak difraksi XRD cenderung sama antara horison Bt dan horison A/Ap di atasnya. Pada Gambar 18 (AM9) terlihat bahwa, pada perlakuan penjenuhan dengan kation Mg 2+, puncak difraksi yang teridentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) yang relatif stabil pada tiga perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K + plus pemanasan 550 o C puncak tersebut menghilang. Adanya difraksi ordo kedua dari mineral tersebut pada 3,6 Å memperkuat keberadaan mineral haloisit pada horison Bt dan horison A. Mineral lainnya dalam jumlah lebih sedikit yang teridentifikasi adalah adalah kristobalit (4,05 Å) dan kuarsa (3,34 Å). Gambar 18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik. 90

108 Gambar 18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik. Pada pedon AM10 (Gambar 19) menunjukkan XRD yang agak berbeda. Gambar 19 menunjukkan bahwa mineral kaolinit (7,2 Å) terdapat dalam jumlah yang dominan, baik pada horison Bt maupun horison Ap di atasnya. Dalam jumlah yang agak banyak terdapat kristobalit (4,05 Å ), dan kuarsa (3,34 Å) dalam jumlah yang sedikit. 91

109 Gambar 19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik. Gambar 19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt4 Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik. 92

110 Berdasarkan hasil analisis mineral liat dengan XRD seperti telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan jenis-jenis mineral liat yang dominan pada horison Bt dan horison A/Ap pada semua pedon yang diteliti, seperti tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Mineral Liat yang Dominan pada Horison Penimbunan Liat dan Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil. Pedon Jenis Mineral liat yang dominan Horison eluviasi Horison iluviasi Batuliat : AM1(akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Smektit dan kaolinit Kaolinit Kaolinit Smektit dan kaolinit Kaolinit Kaolinit dan smektit Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik-Andesitik : AM7 (perudik) AM8 (perudik) Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Haloisit Haloisit Bahan Volkanik-Dasitik: AM9 (ustik) AM10 (akuik) Haloisit Kaolinit Haloisit Kaolinit Horison Permukaan Horison Diagnostik Dalam Soil Survey Staff (1999) dinyatakan bahwa, horison permukaan tanah dapat diklasifikasikan sebagai epipedon okrik, apabila horison tersebut tidak memenuhi syarat untuk tujuh epipedon lainnya. Sifat morfologi utama yang mempengaruhi adalah karena horison permukaan bersifat terlalu tipis, terlalu kering, warnanya memiliki value dan kroma terlalu tinggi, dan atau kandungan C-organiknya terlalu rendah. Dari kriteria ketebalan, warna tanah, dan lain-lain maka disimpulkan horison permukaan seluruh pedon pewakil adalah okrik. 93

111 Horison Bawah Permukaan Identifikasi horison Bt pada seluruh pedon dalam penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah horison tersebut adalah horison argilik. Kriteria yang digunakan sebagai dasar identifikasi ini adalah sifat-sifat argilik seperti yang disampaikan dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Sifat-sifat tersebut adalah sifat morfologi dan fisika (kandungan liat dan ketebalan masing-masing horison), serta sifat mikromorfologi (selaput liat). Kandungan Liat Data tekstur tanah berupa kandungan liat halus dan liat total, serta rasio liat halus terhadap liat total masing-masing horison disajikan pada Tabel 5, 6, 7, dan 8. Banyaknya liat halus yang dipindahkan oleh proses iluviasi terlihat pada data rasio liat halus terhadap liat total dan merupakan indikasi intensitas proses iluviasi liat. Rasio liat ini merupakan salah satu hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam identifikasi horison argilik (Cremeens et al., 1986). Menurut Smith dan Wilding (1972) rasio liat halus terhadap liat total merupakan salah satu kriteria pembanding yang dapat membedakan antara horison argilik dengan horison di atasnya. Bahan Induk Batuliat. Tabel 5 (halaman 38) menyajikan peningkatan kandungan liat halus dari horison Ap ke horison Bt1 pada pedon yang berbahan induk batuliat mencapai berturut-turut 6,9% dan 15,3% untuk pedon AM1 dan AM3 yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, dan 9,3% pada pedon AM2 yang memiliki regim kelembaban tanah perudik. Dapat dikatakan bahwa proses iluviasi pada ketiga pedon tersebut hampir sama tingkat intesitasnya, yang didukung oleh rasio liat halus terhadap liat total yang tinggi. Peningkatan kandungan liat halus yang relatif paling rendah di antara ketiga pedon pewakil dari bahan induk batuliat dijumpai pada AM1, dan tertinggi pada pedon AM3. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah yang ada saat ini, tidak terlihat mempengaruhi perbedaan jumlah 94

112 liat yang teriluviasi, dimana pada kondisi regim kelembaban tanah yang sama memberikan peningkatan liat yang jumlahnya berbeda. Bahan induk Batukapur. Pada Tabel 6 (halaman 42) disajikan bahwa, pedonpedon berbahan induk batukapur memiliki peningkatan kandungan liat halus dari horison cenderung hampir sama antara pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik dan akuik. Pedon AM4 (perudik) memiliki peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 yang lebih tinggi, yakni 15,9% dibanding pedon AM6 (dari horison Ap ke horison Bt1) yakni 13,9%. Pedon AM5 yang memiliki regim kelembaban perudik, peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 adalah 7,0%, paling rendah di antara ketiga pedon tersebut. Sehingga sama halnya pada pedonpedon berbahan induk batuliat, regim kelembaban tanah yang berbeda tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah perpindahan liat. Bahan induk Volkanik-Andesitik. Tabel 7 (halaman 46) menunjukkan bahwa, peningkatan kandungan liat halus pada pedon yang berasal dari bahan Volkanikandesitik sangat menonjol pada pedon AM7. Hal ini sangat didukung oleh data tekstur bahwa peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 sekitar 33,3% terjadi pada pedon AM7. Tingginya kandungan liat halus pada pedon AM7 ini menunjukkan telah terjadinya pelapukan yang intensif dan ekstensif yang menghasilkan penimbunan liat yang relatif tinggi. Pada pedon AM8 yang berbahan induk bahan volkanik andesitik, peningkatan kandungan liat halus dari horison Ap ke horison Bt1 sebesar 6,1% dan tidak terlalu menonjol seperti pada pedon pewakil lainnya. Bahan induk Volkanik-Dasitik. Tabel 8 (halaman 48) menyajikan, pedon berbahan induk volkanik dasitik AM9 dan AM10 yang memiliki regim kelembaban tanah ustik dan akuik, menunjukkan bahwa penimbunan liat pada horison Bt1 relatif lebih tinggi pada AM9 yaitu 15,6% dan pada AM10 relatif sedikit yakni 8,2%. Disimpulkan bahwa bahan induk volkanik yang berbeda memberi pengaruh yang 95

113 berbeda terhadap jumlah peningkatan liat. Bahan volkanik-dasitik cenderung memiliki peningkatan liat yang lebih banyak dibanding andesitik. Secara keseluruhan bahan volkanik memiliki peningkatan liat yang relatif tinggi dibanding bahan induk batukapur, dan batuliat. Rata-rata jumlah peningkatan liat paling rendah dimiliki oleh pedon-pedon berbahan induk Batuliat. Jumlah liat total pada horison iluviasi harus lebih banyak dibanding horison eluviasi di atasnya di dalam jarak kurang dari 30 cm (Soil Survey Staff, 2003). Dengan demikian, penentuan jumlah liat total yang harus dipenuhi sebagai horison argilik pada masing-masing pedon dapat ditentukan berdasarkan jumlah liat total pada horison A/Ap atau AB. Berdasarkan jarak kurang dari 30 cm dari horison eluviasi setiap pedon pewakil, maka horison Bt1 digunakan sebagai dasar pembandingan. Berdasarkan data tekstur tanah masing-masing pedon, maka diperoleh data kandungan liat total pada horison eluviasi yang berada di antara 15% - 40%, adalah pedon AM1 dan AM10. Untuk kedua pedon ini kandungan liat total sebagai horison argilik harus minimal 1,2 kali kandungan liat total pada horison eluviasinya. Pedon yang memiliki kandungan liat di atas 40%, adalah pedon AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, AM7, AM8, dan AM9. Pada masing-masing pedon tersebut, kandungan liat total sebagai horison argilik harus minimal 8% (absolut) lebih banyak, dari kandungan liat total pada horison eluviasinya. Data jumlah liat total pada Tabel 16 menunjukkan bahwa, kandungan liat total pada horison Bt seluruh pedon yang diteliti, melebihi batas minimal kandungan liat total sebagai horison argilik. 96

114 Tabel 16. Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, Serta Jumlah Minimal Liat Total Sebagai Horison Argilik. Pedon Liat Total (%) Minimal Liat Total Hor. Eluviasi Hor.Iluviasi sebagai horison (A atau Ap) (Bt1) Argilik (%) Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) 29,7 45,8 40,8 42,7 54,0 52,0 35,6 53,8 48,8 Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) 64,1 61,5 55,5 73,0 73,0 66,8 72,1 69,5 63,5 Bahan Volkanik-andesitik : AM7(perudik) AM8(perudik) 53,5 45,7 68,6 55,2 61,5 53,9 Bahan Volkanik-dasitik : AM9(ustik) AM10 (akuik) 55,9 20,2 72,4 33,8 63,9 24,2 Ketebalan Horison Iluviasi Data pada Tabel 17 terlihat bahwa, pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batuliat dengan regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3) menunjukkan kedalaman horizon iluviasi yang relatif sama, yakni pada kedalaman 10 cm dan 15 cm dari permukaan tanah. Dijumpai pula bahwa, batas bawah horison iluviasi terletak pada kedalaman lebih dari 100 cm, yakni 135 cm (AM1) dan 135 cm (AM3). Masih pada bahan induk yang sama, tetapi regim kelembaban tanah perudik, pedon AM2 memiliki letak horison iluviasi terletak lebih dalam yakni 37 cm, dari permukaan. Sedangkan batas bawahnya dijumpai pada kedalaman 130 cm atau sama dengan AM1 dan relatif lebih dangkal dibandingkan pedon AM3. Dengan demikian terlihat bahwa ketebalan horison iluviasi pada tanah berbahan induk batuliat berbeda. Pada pedon dengan regim kelembaban tanah akuik memiliki ketebalan sama, yaitu cm = 120 cm dan cm = 120 cm, 97

115 Tabel 17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Penimbunan Liat pada Masing - masing Pedon Pewakil. Pedon Pewakil Batas atas dari permukaan tanah (cm) Batas bawah dari permukaan tanah (cm) Ketebalan horison penimbunan liat (cm) Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik) Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik) Bahan Volkanik: AM7 (andesitik-perudik) AM8 (andesitik-perudik) AM9 (dasitik-ustik) AM10 (dasitik-akuik) sedangkan dengan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik relatif lebih dangkal yaitu cm = 93 cm. Pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur, batas atas horison iluviasi ditemukan pada kedalaman lebih bervariasi. Pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi dijumpai pada kedalaman 31 cm (AM4) dan 16 cm (AM5) dengan batas bawah pada kedalaman 130 cm (AM4) dan 122 cm (AM5). Sedangkan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik (AM6), batas atas horison iluviasi berada pada kedalaman 18 cm, dengan batas bawah pada kedalaman 136 cm dari permukaan tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa horison iluviasi pada ketiga pedon yang berkembang dari bahan induk batukapur ini memiliki ketebalan yang berbeda satu sama lain. Pedon AM4 (perudik) memiliki tebal cm = 113 cm, pedon AM5 (perudik) adalah cm = 106 cm, sedangkan pedon AM6 (akuik) cm = 118 cm. 98

116 Batas atas horison iluviasi pada pedon-pedon yang berbahan induk bahan volkanik dijumpai berbeda satu sama lain. Pada pedon AM7 dan AM8 yang bersifat andesitik dengan regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi terdapat pada kedalaman 19 cm (AM7) dan 20 cm (AM8) dari permukaan tanah. Sedangkan batas bawahnya masing-masing pada kedalaman 105 cm dan 145cm. Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik, menunjukkan letak batas atas dan batas bawah horison iluviasi pada kedalaman 22 cm dan 140 cm untuk AM9. Ketebalan horison iluviasi pada pedon ini yakni relatif agak tipis, yakni 118 cm. Dibandingkan dengan pedon AM10 yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, batas atas horison iluviasinya dijumpai pada kedalaman 26 cm dari permukaan tanah, atau lebih dalam dari AM9. Sedangkan batas bawah horison iluviasinya terletak pada kedalaman 143 cm dari permukaan tanah, se hingga ketebalan horison iluviasi adalah 114 cm. Selaput Liat (Clay Skin) Hasil analisis irisan tipis pada beberapa horison iluviasi yang teridentifikasi memiliki selaput liat (pedon AM8 dan AM10) disajikan pada Tabel 18. Menurut salah satu kriteria horison argilik (Soil Survey Staff, 2003), bahwa pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi, berjumlah lebih dari 1%. Identifikasi irisan tipis pada penelitian ini dilakukan pada pedon AM8 (bahan Volkanik Andesitik), dan AM10 (bahan Volkanik-Dasitik). Karakterisasi horison iluviasi pada tanah berbahan induk batuan Volkanik- Andesitik dengan regim kelembaban perudik (AM-8), menunjukkan adanya selaput liat dengan jumlah sedikit sampai sedang, orientasi tidak kontinyu (Gambar 22). Dalam Brewer (1974) dikatakan bahwa, orientasi selaput liat yang tidak kontinyu tersebut mengindikasikan perkembangan yang lemah. Selanjutnya dikatakan bahwa, liat iluviasi (argilan) yang orientasinya tidak kontinu menunjukkan laminasi yang kurang jelas. 99

117 Tabel 18. Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada Horison Penimbunan Liat Masing- masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10. Pedon Tebal selaput (mikron) Jumlah selaput Perkembangan (laminasi) AM8 Bt2 Bt3 Bt4 Bt sedang -banyak sedikit banyak sedikit Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas AM10 Bt2 Bt3 Bt sedikit-sedang sedang banyak Ada/jelas Ada/sangat jelas Ada/sangat jelas Keterangan: Kt=kuning terang, Kp=kuning, Ca=Coklat keabu-abuan. Sedikit = <5%, sedang= 5-10%, banyak= >10%. PPL=Plane Polarized Light, XPL=Cross Polarized Light. Sama halnya dengan pola perkembangan argilan yang diperoleh Cremeens dan Mokma (1986) yang menunjukkan adanya penurunan tingkat orientasi dari kuat pada tanah yang berdrainase baik (perudik), sampai lemah pada tanah yang berdrainase buruk (akuik). Hal demikian tidak tercermin pada pedon AM10, sehingga dapat disimpulkan bahwa regim kelembaban tanah yang ada sekarang tidak mempengaruhi perkembangan selaput liat pada tanah tersebut. Dengan kata lain, terbentuknya horison iluviasi liat pada pedon AM10 tidak terjadi pada lingkungan regim kelembaban tanah yang ada saat ini. 100

118 Gambar 20. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat. Gambar 21. Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur. 101

119 Gambar 22. Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM8 Berbahan Induk Volkanik-Andesitik (PPL = atas, XPL = bawah). 102

120 Gambar 23. Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM10 Berbahan Induk Volkanik-Dasitik (PPL = atas, XPL = bawah). 103

KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW

KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK OLEH : AFRA D. N. MAKALEW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK AFRA D.N. MAKALEW.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar belakang. Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat

PENDAHULUAN. Latar belakang. Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat PENDAHULUAN Latar belakang Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya. Horison ini dapat terbentuk akibat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Horison Penimbunan Liat. horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya.

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Horison Penimbunan Liat. horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sifat-sifat Tanah. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah. Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sifat-sifat Tanah. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah. Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat-sifat Tanah Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil berbahan induk batuliat disajikan

Lebih terperinci

GELISOLS. Pustaka Soil Survey Staff Soil Taxonomy, 2 nd edition. USDA, NRCS. Washington. 869 hal.

GELISOLS. Pustaka Soil Survey Staff Soil Taxonomy, 2 nd edition. USDA, NRCS. Washington. 869 hal. GELISOLS Gelisols adalah tanah-tanah pada daerah yang sangat dingin. Terdapat permafrost (lapisan bahan membeku permanen terletak diatas solum tanah) sampai kedalaman 2 meter dari permukaan tanah. Penyebaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seperti tekstur tanah (misalnya lempung, tanah liat atau pasir) atau bahan induk

TINJAUAN PUSTAKA. seperti tekstur tanah (misalnya lempung, tanah liat atau pasir) atau bahan induk TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah pada awalnya didasarkan pada karakteristik individu seperti tekstur tanah (misalnya lempung, tanah liat atau pasir) atau bahan induk (misalnya tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata

TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata lebih dari 8ºC. Ultisol adalah tanah dengan horison argilik bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tebal. Dalam Legend of Soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian

TINJAUAN PUSTAKA. tebal. Dalam Legend of Soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah kering sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal. Dalam Legend of Soil

Lebih terperinci

PENGAMATAN MINIPIT DI LAPANG DAN KLASIFIKASI TANAH

PENGAMATAN MINIPIT DI LAPANG DAN KLASIFIKASI TANAH .1 PENDAHULUAN Dasar utama melakukan klasifikasi dan memahami tanah adalah diskripsi profil tanah yang dilakukan di lapang. Pengamatan di lapang pada dasarnya dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu; 1)

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH Profil Tanah Irisan / penampang tegak tanah yang menampakan semua horizon sampai ke bahan induk; dalam profil tanah, bagian

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan terdahulu dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Perbedaan tekstur tanah dan elevasi, tidak menyebabkan perbedaan morfologi

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Tektur Tanah = %pasir, debu & liat dalam tanah Tektur tanah adalah sifat fisika tanah yang sangat penting

Lebih terperinci

KLASIFIKASI TANAH INDONESIA

KLASIFIKASI TANAH INDONESIA Klasifikasi Tanah Indonesia KLASIFIKASI TANAH INDONESIA (Dudal dan Supraptoharjo 1957, 1961 dan Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor 1982) Sistem klasifikasi tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tingkat Perkembangan Tanah. daerah tropika: 1. Tahap awal bahan induk yang tidak terkikis; 2. Tahap yuwana

TINJAUAN PUSTAKA. Tingkat Perkembangan Tanah. daerah tropika: 1. Tahap awal bahan induk yang tidak terkikis; 2. Tahap yuwana TINJAUAN PUSTAKA Tingkat Perkembangan Tanah Mohr dan Van Baren mengenal 5 tahap dalam perkembangan tanah di daerah tropika: 1. Tahap awal bahan induk yang tidak terkikis; 2. Tahap yuwana pengikisan telah

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan AM10)

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 KLASIFIKASI TANAH 8.1 Pengertian Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah adalah usaha untuk mengelompokkan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 KLASIFIKASI TANAH 8.1 Pengertian Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah adalah usaha untuk mengelompokkan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR

PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR Profil dan Solum Tanah Profil Tanah penampang melintang (vertikal) tanah yang terdiri aas lapisan tanah (solum) dan lapisan bahan induk Solum Tanah bagian dari profil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V HSIL DN PEMHSN 5.1 Sebaran entuk Lahan erdasarkan pengamatan di lokasi penelitian dan pengkelasan lereng berdasarkan peta kontur, bentuk lahan di lokasi penelitian sangat bervariasi. entuk lahan diklasifikasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah masam yang terbentuk dari bahan bahan induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 8.1 Pengertian Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah adalah usaha untuk mengelompokkan tanah atas dasar

Lebih terperinci

Modul ini mencakup bahasan tentang sifat fisik tanah yaitu: 1.tekstur, 2. bulk density, 3. porositas, 4. struktur 5. agregat 6. warna tanah 7.

Modul ini mencakup bahasan tentang sifat fisik tanah yaitu: 1.tekstur, 2. bulk density, 3. porositas, 4. struktur 5. agregat 6. warna tanah 7. Modul ini mencakup bahasan tentang sifat fisik tanah yaitu: 1.tekstur, 2. bulk density, 3. porositas, 4. struktur 5. agregat 6. warna tanah 7. Konsistensi Warna merupakan petunjuk untuk beberapa sifat

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN. Tabel 3.1. Ciri-ciri Horison Generik pada klasifikasi tanah. Nilai Indikator Horison O A E B. Indikator

BAB III PERANCANGAN. Tabel 3.1. Ciri-ciri Horison Generik pada klasifikasi tanah. Nilai Indikator Horison O A E B. Indikator BAB III PERANCANGAN Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai perancangan sistem untuk menentukan jenis klasifikasi tanah tanah yang terdiri dari perancangan sistem untuk menentukan Horison Generiknya,

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Tanah Profil tanah Tanah yang kita ambil terasa mengandung partikel pasir, debu dan liat dan bahan organik terdekomposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

Klasifikasi Tanah USDA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Bayu Prasetiyo B-01

Klasifikasi Tanah USDA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Bayu Prasetiyo B-01 Klasifikasi Tanah USDA 1975 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang Bayu Prasetiyo 125 080 500 111 045 B-01 Klasifikasi Tanah USDA 1975 Dr. Ir. Abdul Madjid, MS Salah satu sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK dan MORFOLOGI TANAH

SIFAT-SIFAT FISIK dan MORFOLOGI TANAH III. SIFAT-SIFAT FISIK dan MORFOLOGI TANAH Sifat morfologi tanah adalah sifat sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Sebagian dari sifat morfologi tanah merupakan sifat fisik dari tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah sebagai media tumbuh tanaman Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair, dan gas yang mempunyai sifat dan perilaku yang dinamik.

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang dipergunakan sebagai kriteria pengklasifikasian tidak di

TINJAUAN PUSTAKA. yang dipergunakan sebagai kriteria pengklasifikasian tidak di TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanah Entisol Berdasarkan sifat dan ciri tanah yang ada menunjukkan bahwa dalam tanah tidak menunjukkan adanya gejala pembentukan horizon penciri, sehingga horizon yang dipergunakan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN. E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN. E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia ABSTRACT This study is aimed at identifyimg the characteristics

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Proses Geomorfik Proses geomorfik secara bersamaan peranannya berupa iklim mengubah bahan induk dibawah pengaruh topografi dalam kurun waktu tertentu menghasilkan suatu lahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol 18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon argilik atau kandik dengan nilai kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa (jumlah kation basa) pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

PEDOGENESIS DAN MORFOLOGI TANAH. Ida Ayu Suty Adnyani, dkk

PEDOGENESIS DAN MORFOLOGI TANAH. Ida Ayu Suty Adnyani, dkk PEDOGENESIS DAN MORFOLOGI TANAH Ida Ayu Suty Adnyani, dkk PEDOGENESIS DAN MORFOLOGI TANAH PENDAHULUAN PENDEKATAN PEDOGENESIS PROSES PELAPUKAN DAN PEMBENTUKAN TANAH TANAH SEBAGAI SUATU SISTEM TERBUKA MORFOLOGI

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan demikian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada 43

Universitas Gadjah Mada 43 6) Silikat Sekunder 6.1) Struktur Struktur lempung silikat serupa dengan struktur silikat primer eg. silikat lembaran (sheet silicate). Mineral sekunder terdiri atas lembaran silikon tetrahedral, lembaran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Seisme/ Gempa Bumi Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Berdasarkan peta diatas maka gempa bumi tektonik di Indonesia diakibatkan oleh pergeseran tiga lempeng besar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman mengenai Pembentukan Tanah Entisol Yang disusun oleh: Agung Abdurahmansyah Anggita

Lebih terperinci

Warna tanah sangat ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan

Warna tanah sangat ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan SIFAT FISIK TANAH WARNA TANAH Warna Tanah Warna tanah adalah salah satu sifat tanah yang mudah dilihat Warna tanah merupakan gabungan berbagai warna komponen penyusun tanah. Warna tanah berhubungan langsung

Lebih terperinci

SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG. Oleh: ANDITIAS RAMADHAN

SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG. Oleh: ANDITIAS RAMADHAN SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG Oleh: ANDITIAS RAMADHAN 07113013 JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013 DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah TINJAUAN PUSTAKA Erodibilitas Indeks kepekaan tanah terhadap erosi atau erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah hujan pada sebidang tanah

Lebih terperinci

Bahan diskusi minggu ke-1

Bahan diskusi minggu ke-1 Bahan diskusi minggu ke-1 1. Peta skala besar dan skala kecil? Peta skala besar adalah peta yang mempunyai skala 1:5000 sampai 1:250.000. Peta skala besar disebut juga sebagai peta yang sangat detail yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ini tercatat melakukan erupsi terakhir pada tahun muda. Perkembangan tanah masih terbatas dan tekstur tanah kasar beralih ke

TINJAUAN PUSTAKA. ini tercatat melakukan erupsi terakhir pada tahun muda. Perkembangan tanah masih terbatas dan tekstur tanah kasar beralih ke TINJAUAN PUSTAKA Gunung Api Burni Telong Gunung api Burni Telong merupakan gunung berapi aktif di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Secara geografis puncak gunung Burni Telong adalah 4

Lebih terperinci

DASAR ILMU TANAH. Materi 04: Pembentukan Tanah

DASAR ILMU TANAH. Materi 04: Pembentukan Tanah DASAR ILMU TANAH Materi 04: Pembentukan Tanah Faktor Pembentuk Tanah Konsep Pembentukan Tanah model proses terbuka tanah merupakan sistem yang terbuka sewaktu-waktu tanah dapat menerima tambahan bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari tanah tidak terlepas dari pandangan, sentuhan dan perhatian kita. Kita melihatnya, menginjaknya, menggunakannya dan memperhatikannya. Kita

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok dibudidayakan didaerah tropis. Tanaman ini berasal dari amerika selatan ( Brazilia). Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menerus menyebabkan kerusakaan sifat fisik tanah dan selanjutnya akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. menerus menyebabkan kerusakaan sifat fisik tanah dan selanjutnya akan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik (Effluent Sapi) Pemakaian pupuk buatan (anorganik) yang berlebihan dan dilakukan secara terus menerus menyebabkan kerusakaan sifat fisik tanah dan selanjutnya akan

Lebih terperinci

BAB 2 KOMPONEN FISIK DAN MORFOLOGI TANAH

BAB 2 KOMPONEN FISIK DAN MORFOLOGI TANAH BAB 2 KOMPONEN FISIK DAN MORFOLOGI TANAH 1. Sifat dasar Akibat pelapukan dan proses penghancuran yang lain, bahan mineral tanah akan menjadi butir primer ( zarah, partikel, butir tunggal) dengan berbagai

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR

PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR FAKTOR PEMBENTUKAN TANAH Iklim Faktor Lain Topogr afi Tanah Waktu Bahan Induk Organi sme Konsep Pembentukan Tanah Model proses terbuka Tanah merupakan sistem yang terbuka

Lebih terperinci

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanah Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Pengamatan sebaiknya dilakukan pada profil tanah yang baru dibuat. Pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

Some Specific Soil Characteristics of Andisoh as Series Mfferentiae: A Case Study of Cikajang and Cikole Regions, West Java

Some Specific Soil Characteristics of Andisoh as Series Mfferentiae: A Case Study of Cikajang and Cikole Regions, West Java Jurnal Tanah dan Lingkungan, Vol. 6 No. 1, April 2004: 14-21 ISSN 1410-7333 1 BEBERAPA SIFAT SPESIFIK ANDISOL UNTUK PEMBEDA KLASIFIKASI PADA TINGKAT SERI: L. STUD1 KASUS DI DAERAH CIKAJANG DAN CIKOLE,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

ACHMAD MJR BACHTIAR. Oleh : A JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANAN BOGOR

ACHMAD MJR BACHTIAR. Oleh : A JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANAN BOGOR PENGARUH PEMBERIAN Bm ORGANIK DAN KAPUR TERHADAP KETERSEDIAAN DAN KEHILANGAN UNSUR HARA (N, P, K, Ca, Mg, Na) PADA MODEL TERAS BANGKU MASYARAKAT SELAMA SAW MUSIM TANAM KEDELAI (Glycine mat- (L) Merr.)

Lebih terperinci

ACHMAD MJR BACHTIAR. Oleh : A JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANAN BOGOR

ACHMAD MJR BACHTIAR. Oleh : A JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANAN BOGOR PENGARUH PEMBERIAN Bm ORGANIK DAN KAPUR TERHADAP KETERSEDIAAN DAN KEHILANGAN UNSUR HARA (N, P, K, Ca, Mg, Na) PADA MODEL TERAS BANGKU MASYARAKAT SELAMA SAW MUSIM TANAM KEDELAI (Glycine mat- (L) Merr.)

Lebih terperinci

PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA

PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA , PIERELAAHAN SIFAT - SlFAT HORISOH KAMBlK PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA Oleh ASEP NAlLILFACHRIE FAKULTAS PERTANIAN, JURUSAN TANAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah pupuk adalah salah satu akar permasalahan yang akan sangat luas dampaknya terutama disektor ketahanan pangan di Indonesia yang jumlah penduduknya tumbuh pesat

Lebih terperinci

2

2 APLIKASI ANALISIS LANSEKAP SEBARAN JENIS TANAH PADA LANSEKAP LABORATORIUM PJP FP UNIBRAW 1 2 ALFISOL Memiliki horison argilik, kandik atau natrik tetapi tidak memiliki fragipan Ada fragipan dibahwah horison

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam Tanah tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo ksisol dan Ultisol. Tanah tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan

Lebih terperinci

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Deskripsi profil dan hasil analisis tekstur tiap kedalaman horison disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

Klasifikasi Dan Pemetaan Famili Tanah Berdasarkan Sistem Taksonomi Tanah di Desa Penatih Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur

Klasifikasi Dan Pemetaan Famili Tanah Berdasarkan Sistem Taksonomi Tanah di Desa Penatih Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur Klasifikasi Dan Pemetaan Famili Tanah Berdasarkan Sistem Taksonomi Tanah di Desa Penatih Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur IDA AYU SRI MAS ARY SUSANTHI I MADE MEGA *) KETUT SARDIANA Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi Profil

Lampiran 1. Deskripsi Profil Lampiran 1. Deskripsi Profil A. Profil pertama Lokasi : Desa Sinaman kecamatan Barus Jahe Kabupaten Tanah Karo Simbol : P1 Koordinat : 03 0 03 36,4 LU dan 98 0 33 24,3 BT Kemiringan : 5 % Fisiografi :

Lebih terperinci

PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA

PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA , PIERELAAHAN SIFAT - SlFAT HORISOH KAMBlK PADA SABUAN TANAH DYSTWOPEPT DARl KECAMATAH BAHUGA, KOTWBAWU, LAMPURG UTARA Oleh ASEP NAlLILFACHRIE FAKULTAS PERTANIAN, JURUSAN TANAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium Sentraldan Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Vermikompos adalah pupuk organik yang diperoleh melalui proses yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Vermikompos adalah pupuk organik yang diperoleh melalui proses yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vermikompos Vermikompos adalah pupuk organik yang diperoleh melalui proses yang melibatkan cacing tanah dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organiknya. Walaupun sebagian

Lebih terperinci

IV. SIFAT FISIKA TANAH

IV. SIFAT FISIKA TANAH Company LOGO IV. SIFAT FISIKA TANAH Bagian 2 Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS SIFAT SIFAT FISIKA TANAH A. Tekstur Tanah B. Struktur Tanah C. Konsistensi Tanah D. Porositas Tanah E. Tata Udara Tanah F. Suhu

Lebih terperinci

DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI JENIS TANAH DI WILAYAH SAGALAHERANG, SUBANG

DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI JENIS TANAH DI WILAYAH SAGALAHERANG, SUBANG DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI JENIS TANAH DI WILAYAH SAGALAHERANG, SUBANG Asep Mulyono 1, Dedi Mulyadi 2, dan Rizka Maria 2 1 UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana Liwa LIPI E-mail: asep.mulyono@lipi.go.id

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di 7 lokasi lahan kering di daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan perbedaan

Lebih terperinci

KARAKTERISITK SIFAT FISIK TANAH PADA LAHAN PRODUKSI RENDAH DAN TINGGI DI PT GREAT GIANT PINEAPPLE

KARAKTERISITK SIFAT FISIK TANAH PADA LAHAN PRODUKSI RENDAH DAN TINGGI DI PT GREAT GIANT PINEAPPLE J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 278 Jurnal Agrotek Tropika 3(2):278-282, 2015 Vol. 3, No. 2: 278-282, Mei 2015 KARAKTERISITK SIFAT FISIK TANAH PADA LAHAN PRODUKSI RENDAH DAN TINGGI DI PT GREAT GIANT

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. induknya (Hardjowigeno, 1993). Tanah Inceptisols yang terdapat di dataran rendah, solum

II TINJAUAN PUSTAKA. induknya (Hardjowigeno, 1993). Tanah Inceptisols yang terdapat di dataran rendah, solum II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Inceptisols Inceptisols adalah tanah yang belum matang dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah yang matang dan masih memiliki sifat yang menyerupai

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami proses dan faktor pembentukan tanah. 2. Memahami profil,

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN B. PROFIL TANAH

BAB II PEMBAHASAN B. PROFIL TANAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adapun yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, yaitu karena masih banyak diantara kita yang sudah sering melihat serta memanfaatkan tanah dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

Soal UTS Klasifikasi Tanah dan Evaluasi Lahan Dikumpul Pada hari Jum at 26 Afril 2013 Batas pengumpulan Pukul Wib

Soal UTS Klasifikasi Tanah dan Evaluasi Lahan Dikumpul Pada hari Jum at 26 Afril 2013 Batas pengumpulan Pukul Wib Soal UTS Klasifikasi Tanah dan Evaluasi Lahan Dikumpul Pada hari Jum at 26 Afril 2013 Batas pengumpulan Pukul 11.00 Wib 1. Jelaskan pengertian klasifikasi tanah dan evaluasi lahan...?? Jawaban : Klasifikasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH ACARA III DERAJAT KERUT TANAH

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH ACARA III DERAJAT KERUT TANAH LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR ILMU TANAH ACARA III DERAJAT KERUT TANAH Semester : Genap 2011/2012 Disusun Oleh : Nama : Bagus Satrio Pinandito NIM : A1C011072 Rombongan : 12 Asisten : KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara pedologi, tanah didefinisikan sebagai bahan mineral ataupun organik di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara pedologi, tanah didefinisikan sebagai bahan mineral ataupun organik di 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah dan Faktor yang Mempengaruhinya. Secara pedologi, tanah didefinisikan sebagai bahan mineral ataupun organik di permukaan bumi yang telah dan akan mengalami perubahan yang

Lebih terperinci