APLIKASI TUMBUHAN AIR Mayaca fluviatilis DENGAN SISTEM KANAL DALAM BIOREMEDIASI LIMBAH ORGANIK DARI WADUK CIRATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI TUMBUHAN AIR Mayaca fluviatilis DENGAN SISTEM KANAL DALAM BIOREMEDIASI LIMBAH ORGANIK DARI WADUK CIRATA"

Transkripsi

1 APLIKASI TUMBUHAN AIR Mayaca fluviatilis DENGAN SISTEM KANAL DALAM BIOREMEDIASI LIMBAH ORGANIK DARI WADUK CIRATA ILMAN FATUROCHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Aplikasi Tumbuhan Air Mayaca fluviatilis dengan Sistem Kanal dalam Bioremediasi Limbah Organik dari Waduk Cirata adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2012 Ilman Faturochman C

3 RINGKASAN Ilman Faturochman. C Aplikasi Tumbuhan Air Mayaca fluviatilis dengan Sistem Kanal dalam Bioremediasi Limbah Organik dari Waduk Cirata. Di bawah bimbingan Niken T.M. Pratiwi dan Inna Puspa Ayu. Pencemaran yang terjadi di perairan merupakan salah satu bukti bahwa kualitas lingkungan perairan sudah menurun. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas air yang berwawasan ekosistem dan berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut adalah penerapan sistem pengolahan air limbah melalui metode bioremediasi. Tumbuhan air dalam sistem bioremediasi limbah organik berperan sebagai filter biologis. Salah satu tumbuhan air yang berfungsi sebagai agen bioremediasi dan mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi adalah Mayaca fluviatilis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan kualitas air hasil proses bioremediasi oleh tumbuhan air M. fluviatilis yang ditumbuhkan pada media air yang telah diberi perlakuan limbah organik dari Waduk Cirata pada tingkat pencemaran yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Plankton, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB, selama 21 hari, yaitu pada tanggal 9 sampai 30 September Penelitian dilaksanakan dalam skala laboratorium dengan tiga perlakuan berbeda, yaitu perlakuan A (tercemar ringan), B (tercemar sedang), dan C (tercemar berat) dengan kondisi lingkungan yang telah disesuaikan. Analisis data yang digunakan meliputi penentuan doubling time, persentase perubahan kualitas air, dan analisis statistik menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), untuk mengetahui pengaruh parameter biologi, kimia, dan fisika, serta waktu pengamatan terhadap aplikasi bioremediasi limbah organik Waduk Cirata oleh M. fluviatilis. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa secara umum perubahan setiap parameter yang dianalisis bervariasi menurut waktu dan perlakuannya. Faktor lingkungan dalam penelitian ini cenderung stabil dengan kisaran nilai suhu dan ph masih dalam kriteria yang baik untuk pertumbuhan M. fluviatilis dan untuk keberlangsungan proses dekomposisi bahan organik. Hasil pengamatan pada parameter biologi menunjukkan semakin besar kandungan bahan organik pada perlakuan, maka akan memberikan pertambahan bobot basah dengan perubahan yang lebih positif. Perubahan parameter kualitas air dari awal sampai akhir pengamatan cenderung fluktuatif, dengan persentase perubahan selama pengamatan pada masing-masing paramater adalah: COD perlakuan A 15,16%, B 38,26%, C 77,11%; TAN perlakuan A 82,17%, B 77,98%, C 94,45%; nitrit perlakuan A 49,84%, B 1,13%, C 95,30%; nitrat perlakuan A 66,65%, B 108,96%, C 167,76%; dan orthophospat perlakuan A 68,18%, B 82,94%, C 88,79%. Berdasarkan persentase perubahan kualitas air dan hasil uji statistik (P<0,05), parameter yang paling memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya adalah COD dan TAN pada perlakuan C atau tercemar berat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bioremediasi oleh M. fluviatilis terhadap limbah organik Waduk Cirata dengan sistem akuarium kanal, mampu mengatasi masalah pencemaran perairan.

4 APLIKASI TUMBUHAN AIR Mayaca fluviatilis DENGAN SISTEM KANAL DALAM BIOREMEDIASI LIMBAH ORGANIK DARI WADUK CIRATA ILMAN FATUROCHMAN C Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa Nomor Induk Program Studi : Aplikasi Tumbuhan Air Mayaca fluviatilis dengan Sistem Kanal dalam Bioremediasi Limbah Organik dari Waduk Cirata : Ilman Faturochman : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si. Inna Puspa Ayu, S.Pi, M.Si. NIP NIP: Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP Tanggal ujian : 16 Desember 2011

6 PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Aplikasi Tumbuhan Air Mayaca fluviatilis dengan Sistem Kanal dalam Bioremediasi Limbah Organik dari Waduk Cirata. Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si. selaku dosen pembimbing pertama dan Inna Puspa Ayu, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing kedua, Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji, serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari adanya berbagai keterbatasan menyebabkan tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan. Namun demikian, Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Februari 2012 Penulis

7 UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. dan Inna Puspa Ayu, S.Pi., M.Si., masingmasing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku dosen penguji dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil. selaku komisi pendidikan S1 MSP, atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. 3. Taryono Kodiran, S.Pi., M.Si., selaku pembimbing akademik atas segala arahan dan nasehatnya kepada penulis. 4. Bapak Sutiawan, Ibu Adawiah, dan adik-adikku tercinta (Aini, Suci, dan Dehil) yang selalu mendo akan, mendukung, dan memberi semangat. 5. Reza Zulmi atas kerjasama bantuan, perjuangan, dan kebersamaan selama penelitian dan kuliah di MSP. 6. Seluruh staf Tata Usaha dan dosen MSP yang telah banyak memberikan arahan dan masukan terhadap skripsi ini. 7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa MSP (41-45) khususnya MSP 44 yang telah memberikan semangat serta bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Sahabat-sahabat Greentech EOC (Mar ah, Ridhwan, Risa, Wina, dan Azis) yang selalu mengingatkan untuk tetap semangat sampai tuntas. 9. Keluarga BPRT Al-Hurriyyah yang selalu ikhlas menasehati dan berbagi. 10. Keluarga besar Tanoto Foundation yang telah membantu baik secara moril maupun materil selama menyelesaikan S1 di Institut Pertanian Bogor (IPB).

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pandeglang, Banten, pada tanggal 29 Desember 1989, dari pasangan Bapak Sutiawan dan Ibu Adawiah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK Pertiwi (1994), SD Pandeglang 4 Pandeglang (1995), SLTP 1 Pandeglang (2001), dan SMAN 1 Pandeglang (2004). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI) di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Perairan pada tahun , Metode Statistika pada tahun , dan Metode Penarikan Contoh pada tahun Penulis juga aktif mengikuti kegiatan organisasi seperti Bendahara Umum UKM Pramuka IPB , Badan Pengelola Harian Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun , Kepala Divisi HRD Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM FPIK) pada tahun , dan Ketua Lembaga Pengajaran Al-Qur an IPB pada tahun Selain itu penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan dan mengikuti seminar di lingkungan kampus IPB. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul Aplikasi Tumbuhan Air Mayaca fluviatilis dengan Sistem Kanal dalam Bioremediasi Limbah Organik dari Waduk Cirata.

9 ix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan Bioremediasi Agen Bioremediasi Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Bioremediasi oleh Tumbuhan Air Faktor lingkungan Unsur hara Fosfor Nitrogen METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Analisis Data Analisis pertumbuhan Mayaca fluviatilis Persentase pertumbuhan karakteristik limbah Analisis statistik Rancangan acak kelompok (RAK) Uji beda nyata terkecil (BNT) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertambahan bobot basah Mayaca fluviatilis Suhu ph DO COD TAN Nitrit Nitrat Ortofosfat Pembahasan xi xii xiii ix

10 x 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 xi DAFTAR TABEL Halaman 1. Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai COD Metode dan alat untuk mengukur parameter kualitas air Nilai konsentrasi COD masing-masing perlakuan dalam penelitian utama Analisis sidik ragam rancangan acak kelompok xi

12 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah aplikasi Mayaca fluviatilis dengan sistem kanal dalam bioremediasi limbah organik dari Waduk Cirata Mayaca fluviatilis Skema akuarium dengan sistem kanal (a) akuarium berkanal (b) akuarium tanpa sekat Tumbuhan air uji pada penelitian pendahuluan Sedimen yang telah dibungkus Pertambahan bobot Mayaca fluviatilis pada ketiga perlakuan Nilai suhu pada ketiga perlakuan Nilai ph pada ketiga perlakuan Nilai DO pada ketiga perlakuan Nilai COD pada ketiga perlakuan Nilai total amonia nitrogen pada ketiga perlakuan Nilai nitrit pada ketiga perlakuan Nilai nitrat pada ketiga perlakuan Nilai ortofosfat pada ketiga perlakuan xii

13 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Nilai rataan dan doubling time pertambahan bobot Cabomba sp., Egeria densa, dan Mayaca fluviatilis Nilai rataan pertambahan bobot basah dan analisis sidik ragam Mayaca fluviatilis Nilai rataan suhu, ph, dan DO Nilai rataan, analisis sidik ragam, dan uji lanjut BNT COD Nilai rataan, analisis sidik ragam, dan uji lanjut BNT TAN Nilai rataan dan analisis sidik ragam Nitrit Nilai rataan dan analisis sidik ragam Nitrat Nilai rataan dan analisis sidik ragam Ortofosfat Perbandingan nilai kualitas air dengan sedimen 300 gram antara sistem kanal tanpa Mayaca fluviatilis dengan sistem kanal menggunakan Mayaca fluviatilis xiii

14 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan lingkungan yang umum terjadi pada lingkungan perairan adalah pencemaran. Sumber utama pencemaran adalah kegiatan di sekitar perairan, seperti permukiman, pertanian, peternakan, dan perhotelan, serta kegiatan di badan air danau, yaitu kegiatan karamba jaring apung (KJA). Waduk Cirata adalah salah satu perairan dengan kondisi kualitas air yang semakin menurun akibat masuknya bahan pencemar, baik bahan organik maupun anorganik yang berasal dari berbagai sumber. Masuknya bahan organik yang berlebihan, menyebabkan proses pengayaan nutrien tidak terkendali, sehingga keseimbangan ekosistem terganggu dan kualitas air di perairan menurun. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas air yang berwawasan ekosistem dan berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan sistem pengolahan air limbah. Secara umum, pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Berdasarkan karakteristik untuk limbah organik, metode pengolahan limbah yang sesuai adalah secara biologi, seperti bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses penyehatan secara biologis dengan bantuan manusia terhadap komponen lingkungan yang telah tercemar. Salah satu agen biologis yang memiliki potensi sebagai bioremediator adalah tumbuhan air (Yusuf 2008). Tumbuhan air dalam sistem bioremediasi limbah organik berperan sebagai filter biologis. Bahan organik yang telah terurai secara kimiawi di perairan berubah menjadi nutrien tertentu, seperti amonia, amonium, nitrat, dan ortofosfat, yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan tumbuhan air (Surya 1998). Salah satu tumbuhan air yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi adalah Mayaca fluviatilis (Philipps 2010). Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dilakukan aplikasi M. fluviatilis dengan sistem kanal dalam bioremediasi limbah organik dari Waduk Cirata pada tingkat pencemaran yang berbeda, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai perbedaan perubahan kualitas air dari aplikasi tumbuhan air tersebut.

15 Perumusan Masalah Pencemaran air terjadi apabila masukan zat organik maupun anorganik ke dalam suatu perairan melampaui batas kemampuan ekosistem untuk mengasimilasi zat tersebut. Salah satu contoh penyebab pencemaran perairan adalah tingginya kegiatan budidaya ikan secara intensif, yang menyebabkan kuantitas limbah organik yang terendapkan dari sisa pakan dan feses ikan di perairan semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas air yang berwawasan ekosistem dan berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut adalah peningkatan kualitas air menggunakan aplikasi tumbuhan air yaitu M. fluviatilis, karena secara umum pertumbuhan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kandungan unsur hara N dan P serta bahan organik di perairan. Limbah organik yang digunakan dalam media percobaan ini berasal dari substrat Waduk Cirata yang merupakan salah satu perairan dengan kuantitas budidaya karamba jaring apung yang tinggi. Penumbuhan M. fluviatilis pada media air dengan sistem kanal pada tingkat pencemaran yangberbeda (ringan, sedang, dan berat), diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan M. fluviatilis dalam mengurangi tingkat pencemaran limbah organik pada media yang dipersiapkan (Gambar 1). Kualitas air (COD, DO, N, dan P) Media air limbah organik Waduk Cirata pada tingkat pencemaran yang berbeda Aplikasi Mayaca fluviatilis Gambar 1. Skema perumusan masalah aplikasi Mayaca fluviatilis dengan sistem kanal dalam bioremediasi limbah organik dari Waduk Cirata - Bioremediasi oleh Mayaca fluviatilis + Perubahan Kualitas Air (COD, DO, N, dan P) 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan kualitas air yang merupakan hasil dari proses bioremediasi oleh tumbuhan air M. fluviatilis yang ditumbuhkan pada media air dengan sistem kanal yang telah diberi perlakuan limbah organik dari Waduk Cirata pada tingkat pencemaran yang berbeda, yaitu tercemar ringan, sedang, dan berat.

16 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran perairan merupakan peristiwa masuknya senyawa-senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia ke lingkungan perairan, sehingga menyebabkan perubahan yang buruk terhadap kekhasan fisik, kimia, biologis, dan estetika (Miller dan Connell 1995). Perairan Waduk Cirata diduga telah tercemar oleh limbah anorganik terutama logam-logam berat yang dibuang oleh industri-industri yang ada di sepanjang Sungai Citarum dan limbah organik yang berasal dari kegiatan domestik, pertanian, dan perikanan. Sumber pencemar utama yang diakibatkan oleh limbah organik di waduk tersebut berasal dari kegiatan perikanan di karamba jaring apung (KJA) (Garno 1999). Beban limbah KJA yang berasal dari pakan dan feses yang dihasilkan merupakan limbah yang kaya akan nutrien dan bahan organik. Pakan ikan yang kaya akan N dan P hanya 15-30% yang akan diretensikan ke dalam daging dan sisanya terbuang serta mengendap di lingkungan perairan (Krisanti dan Imran 2006). Komponen limbah organik secara normal tersusun dari ikatan-ikatan karbon, hidrogen, oksigen, dan terkadang bersama-sama dengan nitrogen. Bahan-bahan organik ini selanjutnya akan didekomposisi oleh bakteri dekomposer. Hasil dekomposisi ini adalah unsur-unsur hara yang bisa dimanfaatkan oleh organisme autotrof seperti tanaman air maupun fitoplankton. Namun apabila unsur hara tersebut tersedia dalam jumlah yang berlebihan, sedangkan oksigen tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, maka akan terjadi eutrofikasi dan pencemaran perairan (Metcalf dan Eddy 2004). Proses penyuburan perairan ditunjukan dengan perkembangbiakan yang tinggi dari alga dan tanaman akuatik, yang kemudian berakumulasi dalam badan air dengan jumlah yang berlebihan. Akumulasi ini dapat menghasilkan perubahan-perubahan yang merusak kualitas air dan populasi biota akuatik serta mengganggu pemanfaatan sumberdaya perairan (Ryding dan Rast 1989). Parameter yang umumnya digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran pada limbah organik, diantaranya adalah chemical oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), nitrogen total, amonia-nitrogen, klorida, alkalinitas, dan

17 4 padatan total (Carr dan Neary 2006). COD merupakan parameter yang mampu menggambarkan dengan baik jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik bahan organik yang dapat didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis (Boyd 1982). COD diukur dengan mengkonversi semua bahan organik pada air contoh menjadi karbondioksida dan air melalui proses oksidasi dengan melibatkan potassium dikromat dan asam sulfat. Sumber dari bahan organik ini biasanya berasal dari alam maupun aktivitas rumah tangga dan industri. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar pada umumnya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l (Boyd 1982). Secara umum penentuan kriteria tingkat pencemaran berdasarkan parameter COD di perairan menurut PP No. 82 tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai COD Parameter Belum Tercemar Tercemar Tercemar Tercemar Ringan Sedang Berat Kadar COD (mg/l) > Bioremediasi Teknologi bioremediasi adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran melalui metode biologis dengan memanfaatkan potensi metabolisme mikroorganisme dalam mendegradasi berbagai senyawa organik. Menurut Citroreksoko (1996), proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh bakteri dan jamur heterotrofik. Keuntungan dari teknik bioremediasi adalah penggunaan biaya yang lebih efisien dibandingkan dengan teknik konvensional, sedangkan kelemahannya adalah bahwa proses bioremediasi lebih lama dibandingkan teknik konvensional. Berdasarkan strategi pemanfaatannya, teknik bioremediasi terbagi menjadi empat macam, yaitu monitoring natural recovery (MNR), biostimulation, bioaugmentation, dan phytoremediation. Fitoremediasi adalah teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan dan alga dalam menanggulangi pencemaran. Mekanisme fitoremediasi meliputi proses biofisik dan biokimia, seperti adsorpsi, transportasi, dan translokasi,

18 5 serta transformasi mineral oleh enzim yang terdapat pada tumbuhan (Perelo 2009). Tumbuhan air dalam sistem bioremediasi limbah organik berfungsi untuk membantu meningkatkan kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi limbah, karena tumbuhan air mampu menetralisir komponen-komponen tertentu di perairan sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses dalam pengolahan limbah. Bagian tumbuhan yang ada di dalam kolom air (akar dan batang) berfungsi sebagai tempat penyerapan dan tumbuhnya bakteri, sedangkan bagian di permukaan air (daun dan batang) berfungsi untuk proses fotosintesis dan transportasi gas (EPA 1988). Secara alamiah laju bioremediasi menggunakan faktor biologis saja tidak cukup untuk melindungi lingkungan dari tingkat pencemaran yang lebih serius. Proses bioremediasi sangat diperlukan karena dapat melibatkan peran serta manusia dan kemajuan teknologi terutama bidang bioteknologi (Ronen et al. 1996). Salah satu inovasi bioremediasi dengan bantuan teknologi adalah sistem kanal perifiton yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan pencemaran dan juga sebagai media penumbuhan perifiton (Nofdianto 2009) Agen Bioremediasi Agen-agen biologis yang digunakan dalam proses bioremediasi memiliki kemampuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang tercemar. Agen bioremediasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mayaca fluviatilis. M. fluviatilis adalah tumbuhan dari jenis monokotil yang tumbuh di bawah permukaan air. M. fluviatilis dapat berkembang biak secara generatif dan vegetatif dengan ratarata waktu 6 minggu untuk dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik di dalam air (Ludwig 1886 dalam DEEDI 2010). Fragmen batang M. fluviatilis sepanjang 2 cm dapat menghasilkan akar baru dan tunas (Yakandawala 2010). Karakteristik dari M. fluviatilis adalah memiliki batang yang tegak, daun yang memanjang, dan berbunga. Berdasarkan distribusinya, M. fluviatilis berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta telah dinaturalisasi juga di Sri Lanka dan Singapura. Secara ekologi, tumbuhan ini mampu hidup di daerah beriklim tropis dan subtropis, pada habitat air tawar, lahan basah yang dangkal, daerah rembesan, tepian danau, kolam, dan sungai (DEEDI 2010). Di Indonesia, tumbuhan air ini terdapat di tempat-tempat usaha budidaya tumbuhan air yang meliputi berbagai wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Wilayah yang menjadi

19 6 sentra utama usaha tumbuhan air adalah di sekitar dataran tinggi Gunung Salak, Bogor (BI 2008). Taksonomi dari tumbuhan air dengan nama dagang Bog Moss atau nama lokal Mayaka ( dapat dilihat pada Gambar 2. Kingdom : Plantae Phylum : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Commelinales Family : Mayacaceae Genus : Mayaca Species : Mayaca fluviatilis Aubl. Gambar 2. Mayaca fluviatilis M. fluviatilis adalah tumbuhan air yang dikenal sebagai aerator biologis yang efisien dan juga sebagai indikator yang dapat diandalkan untuk menunjukkan kandungan zat besi yang cukup di suatu perairan (Prescott 1969). Di Florida, M. fluviatilis biasanya ditemukan di danau dengan ph yang rendah serta kandungan fosfor dan nitrogen yang rendah juga (Hanlon et al. 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Philipps (2010) menunjukkan bahwa M. fluviatilis mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Bioremediasi oleh Tumbuhan Air Faktor lingkungan Suhu air merupakan parameter yang penting karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan akuatik dan reaksi kimia dalam suatu perairan (Tchobanoglous dan Burton 1991). Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Tumbuhan air, termasuk M. fluviatilis, dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu o C (DEEDI 2010). Suhu air juga dapat mempengaruhi proses nitrifikasi di perairan. Nitrosomonas memiliki toleransi yang lebih besar terhadap suhu dibandingkan Nitrobacter, sehingga pada saat suhu air rendah kegiatan pembentukan nitrat dari nitrit akan berkurang, sedangkan produksi nitrit dari amonia tidak banyak berpengaruh (Boyd 1982).

20 7 Nilai ph menggambarkan konsentrasi dari ion hidrogen. Toksisitas dari suatu senyawa kimia juga dipengaruhi oleh ph. Batas toleransi organisme perairan terhadap ph bervariasi dan dipengaruhi antara lain oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, kandungan kation dan anion, maupun jenis serta tempat hidup organisme. Meningkatnya ph salah satunya dapat disebabkan oleh adanya oksidasi karbondioksida (CO 2 ) yang bersifat basa, sehingga semakin tinggi difusi oksigen ke dalam badan air diduga angka ph akan semakin tinggi (Goldman dan Horne 1983). Perairan yang ideal bagi pertumbuhan organisme akuatik termasuk tumbuhan air adalah 6,8-8,5 (Pescod 1973). Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, serta dibutuhkan juga untuk mengoksidasi bahanbahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1982). Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air serta difusi dari udara (Eaton et al. 2005). Landau (1991) menyebutkan bahwa kondisi badan air dengan kandungan oksigen yang belum jenuh masih memungkinkan terjadinya proses difusi secara terus menerus, sebaliknya ketika kondisi badan air sudah melewati titik jenuh, oksigen bisa terlepas dengan sendirinya dari badan air. Keseimbangan ekosistem masih dapat dikendalikan dengan proses reoksigenasi melalui difusi oksigen dari udara. Namun bila bahan-bahan organik yang memasuki perairan terus meningkat, maka oksigen terlarut akan turun secara drastis sehingga ekosistem perairan akan terganggu. Sebagian besar spesies biota air mampu tumbuh dengan baik pada konsentrasi oksigen terlarut minimum sebesar 5 ppm (Kordi dan Tancung 2005) Unsur hara Unsur hara adalah salah satu unsur penting untuk kehidupan terutama tumbuhan. Unsur hara utama atau makronutrien yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhan organisme adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, potasium, belerang, magnesium, dan kalsium. Di dalam suatu ekosistem perairan, nitrogen dan fosfor adalah dua unsur hara yang paling sering menjadi faktor pembatas untuk biomassa alga dan tumbuhan air (produsen primer) (Carr dan Neary 2006).

21 Fosfor Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat yang ada dalam perairan berasal dari dekomposisi biologis dan limpasan dari aktivitas manusia di daerah perkotaan dan pertanian. Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup membutuhkan fosfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai sumber energi untuk metabolisme sel. Fosfor terdapat di alam dalam bentuk ion fosfat (fosfor yang berikatan dengan oksigen). Fosfor dalam bentuk bebas di perairan tidak ditemukan sebagai unsur, tetapi dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut seperti ortofosfat dan polifosfat. Ortofosfat secara biologis tersedia untuk produsen primer untuk proses produksi dan telah dibuktikan menjadi nutrisi penting sebagai faktor pembatas pertumbuhan (Carr dan Neary 2006). Konsentrasi ortofosfat akan meningkat seiring meningkatnya eutrofikasi. Namun apabila kandungan oksigen terlarut sudah kurang memadai dapat menyebabkan proses dekomposisi bahan organik untuk pembentukan ortofosfat tidak optimal (Nugroho et al. 2008). Ortofosfat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air. Penyerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat daripada penyerapan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982) Nitrogen Pada kegiatan budidaya ikan dengan pemberian pakan yang intensif, akumulasi limbah organik di perairan sangat tinggi. Limbah tersebut merupakan bahan organik dengan kandungan protein tinggi yang diuraikan menjadi polipeptida, asam-asam amino, dan akhirnya amonia sebagai produk akhir, yang terakumulasi di perairan. + Amonia di dalam air terdapat dalam dua bentuk, yaitu NH 4 biasa disebut ionized ammonia yang kurang beracun dan NH 3 atau unionized ammonia yang beracun. Metode analisis yang digunakan untuk menemukan proporsi amonia dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang bervariasi terhadap ph dan suhu disebut dengan metode amonia nitrogen-total (total ammonium nitrogen/tan) (Floyd dan Watson 1996).

22 9 Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut serta peningkatan ph dan suhu air. Amonia dalam bentuk molekul dapat menembus bagian membran sel lebih cepat daripada ion amonium (Colt dan Amstrong 1981 dalam Kordi dan Tancung 2005). Toksisitas amonia akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai ph, dan pada ph 7 amonia dalam perairan berada dalam bentuk ion amonium (NH + 4 ) yang tidak berbahaya (Goldman dan Horne 1983). Amonia berada dalam air karena pemupukan, kotoran ikan, dan hasil kegiatan mikroorganisme di dalam penguraian bahan organik yang kaya akan nitrogen (protein) (Surya 1998). Senyawa ini dapat digunakan oleh fitoplankton dan tumbuhan air setelah diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri dalam proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Pada proses ini, terjadi oksidasi amonia menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas (nitritasi), dan oksidasi nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter (nitratasi). Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera berubah dan diubah ke dalam bentuk nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup. Oleh karena itu, nitrit dapat dengan mudah dioksidasikan menjadi nitrat. Sifat nitrat yang mudah larut dalam air serta bersifat stabil menjadikan nitrat sebagai senyawa dari nitrogen yang paling dibutuhkan oleh tumbuhan air. Nitrat pada konsentrasi tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan autotrof. Nitrat yang berlebih dari sisa pemupukan akan mengalir bersama air atau terakumulasi, sehingga menyebabkan pencemaran (Thomson et al. 2003). Oksidasi nitrit menjadi amonia ditunjukan dalam persamaan a) dan oksidasi nitrit menjadi nitrat ditujukan dalam persamaan b). 2NH 3 + 3O 2 Nitrosomonas 2NO H + + 2H 2 O a) 2NO O 2 Nitrobacter 2NO 3 b)

23 10 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Plankton, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan penelitian utama pada bulan September-Oktober Analisis Fisika-Kimia dan Biologi dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan dan Laboratorium Bio-Mikro I, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Alat dan Bahan Alat yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium dengan sistem kanal (Gambar 3) yang terdiri dari akuarium tanpa sekat berukuran 30 x 30 x 30 cm 3 dan akuarium berkanal berukuran 15 x 30 x 75 cm 3, serangkaian perlengkapan untuk resirkulasi, serta peralatan yang digunakan untuk pengambilan contoh air dan substrat. Cara kerja sistem ini adalah sebagai berikut: Air yang mengandung limbah dari akuarium tanpa sekat diresirkulasikan menuju akuarium berkanal yang telah diisi dengan tumbuhan air Mayaca fluviatilis. Air tersebut kemudian mengalir melewati kanal-kanal sampai outlet yang pada akhirnya diteruskan kembali menuju akuarium tanpa sekat. aliran air a inlet b outlet Gambar 3. Skema akuarium dengan sistem kanal (a) akuarium berkanal (b) akuarium tanpa sekat

24 11 Selain penerapan sistem kanal dan kegiatan pengambilan contoh air, dilakukan juga pengukuran terhadap parameter-parameter kualitas air yang terdiri dari parameter biologi (bobot basah M. fluviatilis), fisika (suhu), dan parameter kimia (ph, COD, DO, nitrat, nitrit, amonia, dan ortofosfat). Metode dan alat yang digunakan untuk mengukur parameter kualitas air disajikan pada Tabel 2. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian disajikan pada Lampiran 1. Tabel 2. Metode dan alat untuk mengukur parameter kualitas air Parameter Unit Metode Alat ukur Biomassa Timbangan digital (Adam Gram Timbangan Mayaca PW 254 ketelitian ) Suhu o C Probe elektroda Termometer digital (Lutron DO-5510 ketelitian 0,1) DO mg/l Probe elektroda DO meter (Lutron DO-5510 ketelitian 0,1) ph - ph meter (Thermo Sc Probe elektroda Orion 3 star ketelitian 0,1) COD mg/l Heat of dilution procedure* Titrimetrik Nitrit mg/l Indophenol* Spektrofotometer Nitrat mg/l Brucine* Spektrofotometer Amonia mg/l Phenate* Spektrofotometer Ortofosfat mg/l Molybdate Ascorbic Acid* Spektrofotometer *Sumber: Eaton et al. (2005) 3.3. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pengambilan sedimen, penentuan konsentrasi limbah, dan penentuan tumbuhan air yang akan dimanfaatkan untuk penelitian utama. Pengambilan sedimen dilakukan di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Cianjur, di bagian hulu Waduk Cirata, tepatnya di areal padat karamba jaring apung. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sedimen dengan kandungan N dan P yang tinggi. Tingginya kandungan N dan P tersebut dipengaruhi oleh pakan yang diberikan pembudidaya ikan di kawasan KJA. Karakteristik dari sedimen yang diperoleh adalah lumpur basah berwarna hitam dan memiliki bau yang kurang sedap. Kemudian sedimen yang diambil dengan menggunakan Van-Veen Grab tersebut dikeringkan dan dihaluskan agar homogen. Tahapan selanjutnya adalah penentuan konsentrasi limbah sedimen Waduk Cirata berdasarkan nilai COD. Konsentrasi limbah yang akan digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan tingkat pencemaran (ringan, sedang, dan berat).

25 12 Konsentrasi limbah dengan kriteria tercemar sedang digunakan sebagai perlakuan pada penelitian pendahuluan untuk menentukan tumbuhan air yang akan digunakan pada penelitian utama. Berdasarkan hasil pengujian kualitas air dari 150 gram sedimen Waduk Cirata yang dilarutkan dalam 35 liter air baku dan diberi aerasi selama 3 hari, didapatkan nilai COD sebesar 27,5 mg/l. Nilai COD tersebut termasuk dalam kriteria tercemar ringan berdasarkan PP NO.82 tahun 2001 (Tabel 1). Kadar COD sebesar 27,5 mg/l dijadikan dasar dalam penentuan komposisi sedimen yang akan dipakai pada penelitian utama. Komposisi sedimen yang dipakai untuk perlakuan di penelitian utama, masing-masing adalah 150 gram (tercemar ringan), 300 gram (tercemar sedang), dan 700 gram (tercemar berat), dalam 35 liter air baku. Nilai konsentrasi COD masing-masing perlakuan untuk penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai konsentrasi COD masing-masing perlakuan dalam penelitian utama Parameter Kadar COD (mg/l) Perlakuan A (Sedimen 150 gram) Perlakuan B (Sedimen 300 gram) Perlakuan C (Sedimen 700 gram) 27,5 55,05 128,45 Pada tahap selanjutnya dilakukan studi kemampuan adaptasi tumbuhan air terhadap konsentrasi limbah dengan kriteria tercemar sedang. Pemilihan tumbuhan air didasarkan pada informasi dari petani di Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Bogor. Berdasarkan informasi tersebut, diketahui bahwa dari 180 jenis tumbuhan air yang dibudidayakan, terdapat tiga jenis tumbuhan air yang memiliki daya tahan dan pertumbuhan paling baik dibandingkan tumbuhan air lainnya. Ketiga jenis tumbuhan air tersebut adalah Cabomba sp., Egeria densa, dan Mayaca fluviatilis (Gambar 4). a. Mayaca fluviatilis b. Cabomba sp. c. Egeria densa Gambar 4. Tumbuhan air uji pada penelitian pendahuluan

26 13 Ketiga jenis tumbuhan air tersebut kemudian diujikan pada limbah dengan konsentrasi tercemar sedang selama 21 hari. Berdasarkan hasil percobaan, tumbuhan air yang memiliki kemampuan adaptasi dan pertumbuhan yang paling optimal adalah Mayaca fluviatilis. Hal ini ditunjukkan oleh waktu penggandaan (doubling time) M. fluviatilis yang paling cepat bila dibandingkan dengan Cabomba sp. dan Egeria densa (Lampiran 2) Penelitian Utama Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian utama terdiri dari tiga perlakuan berbeda, dengan masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Ketiga perlakuan tersebut didasarkan kriteria pencemaran perairan yang berbeda yakni tercemar ringan, sedang, dan berat. Penelitian utama ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama adalah kegiatan sebelum menggunakan akuarium kanal dan tanpa M. fluviatilis. Tahap kedua adalah kegiatan setelah menggunakan akuarium kanal dan aplikasi M. fluviatlis. Teknis pelaksanaan pada tahap pertama diawali dengan membungkus sedimen menggunakan kain kasa (Gambar 5). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengendapan yang akan mengganggu proses resirkulasi air pada saat penelitian berlangsung. Sedimen yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam akuarium tanpa sekat sesuai dengan perlakuan yang diinginkan (150, 300, dan 700 gram) dan dibiarkan selama 3 hari tanpa aplikasi akuarium kanal dan M. fluviatilis. Gambar 5. Sedimen yang telah dibungkus Pada tahap kedua diterapkan aplikasi akuarium kanal dan M. fluviatilis secara seragam di setiap perlakuan. Pada awal perlakuan bobot basah total M. fluviatilis yang ditumbuhkan di setiap akuarium kanal adalah sebesar 9 gram. Hal tersebut didasarkan

27 14 pada informasi mengenai doubling time dari penelitian pendahuluan dan penyesuaian kapasitas dari dimensi akuarium kanal yang digunakan. Pengambilan contoh air dilakukan setiap tiga hari selama 21 hari pengamatan, yaitu pada awal perlakuan (T 0 ), hari ke-3 (T 3 ), hari ke-6 (T 6 ), hari ke-9 (T 9 ), hari ke-12 (T 12 ), hari ke-15 (T 15 ), hari ke-18 (T 18 ), dan hari ke-21 (T 21 ). Pada awalnya sedimen yang telah disiapkan tersebut dimasukkan ke dalam media penelitian tanpa adanya sistem kanal dan tumbuhan air tiga hari sebelum T 0 (T -3 ). Penerapan sistem kanal dilakukan setelah pengambilan contoh air pertama pada hari ke-0 (T 0 ), sedangkan untuk pengisian kanal oleh tumbuhan air dilakukan pada hari ke-3 (T 3 ). Proses ini bertujuan agar terjadi penguraian bahan organik sehingga nutrien di dalam air sudah dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan air Analisis Data Analisis pertumbuhan Mayaca fluviatilis Laju pertumbuhan adalah laju pertumbuhan berat basah tumbuhan seluruhnya dengan dasar satuan berat per luasan petak. Dalam menentukan doubling time atau waktu penggandaan biomassa tanaman air digunakan rumus relative growth rate/rgr (Mitchell 1974). Tujuan penentuan doubling time adalah untuk membantu menyetarakan biomassa dengan luas penutupan tumbuhan air yang akan digunakan serta membantu menentukan lama waktu pengamatan. Keterangan : RGR (Relative Growth Rate) : pertumbuhan spesifik harian (gram/hari) X t : biomassa setelah waktu ke-t X 0 : biomassa awal t : waktu pengamatan ke- DT (Doubling time) : waktu penggandaan biomassa (hari) Persentase perubahan konsentrasi limbah Tingkat penurunan nilai konsentrasi limbah dinyatakan dalam persen. Nilai persentase tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus berikut (Sukirno 1985). perubahan a b a 100

28 15 Keterangan : a = nilai tiap parameter dari karakteristik limbah sebelum perlakuan b = nilai tiap parameter dari karakteristik limbah sesudah perlakuan Analisis statistik Rancangan acak kelompok (RAK) Analisis statistika terhadap parameter kualitas air dilakukan untuk menguji kemampuan bioremediasi Mayaca fluviatilis terhadap ketiga perlakuan tingkat pencemaran yang berbeda. Analisis tersebut didasarkan pada percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Keterangan : Model Observasi : Y ij = µ + ԏ i + ß j + ԑ ij Y ij : nilai pengamatan perlakuan tingkat pencemaran dan kelompok waktu pengamatan µ : rata-rata umum populasi : pengaruh aditif dari perlakuan tingkat pencemaran ke-i ԏ i ß j ԑ ij : pengaruh aditif dari kelompok pengamatan ke-j : galat percobaan dari pengaruh perlakuan tingkat pencemaran ke-i dan kelompok waktu pengamatan ke-j Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan acak kelompok (RAK) adalah pengaruh perlakuan dan pengaruh kelompok. Bentuk hipotesisnya dapat ditulis sebagai berikut. Pengaruh perlakuan setiap tingkat pencemaran: H 0 H 1 : tidak ada ԏ i (perlakuan tingkat pencemaran) yang memberikan hasil berbeda nyata dari seluruh perlakuan. : minimal ada satu ԏ i (perlakuan tingkat pencemaran) yang memberikan hasil berbeda nyata dari seluruh perlakuan. Pengaruh kelompok waktu pengamatan: H 0 H 1 : tidak ada ß j (kelompok pengamatan) yang memberikan hasil berbeda nyata dari seluruh perlakuan. : minimal ada satu ß j (kelompok pengamatan) yang memberikan hasil berbeda nyata dari seluruh perlakuan. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hipotesis tersebut adalah apabila F hitung <F tabel, maka gagal tolak Ho, yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata pada nilai parameter kualitas air dari ketiga perlakuan yang diukur. Jika F hitung > F tabel, maka tolak Ho, yang berarti ada perbedaan yang nyata nilai parameter kualitas air dari ketiga perlakuan. Pengaruh perlakuan tingkat pencemaran dan kelompok waktu pengamatan

29 16 terhadap bioremediasi limbah organik oleh M. fluviatilis dapat dilihat dengan melakukan uji F pada taraf nyata tertentu menggunakan analisis sidik ragam. Tabel analisis sidik ragam rancangan acak kelompok disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis sidik ragam rancangan acak kelompok Sumber Keragaman db JK KT F hitung F tabel Perlakuan i-1 JKP KTP KTP/KTS Fα(dbp, dbs) Kelompok j-1 JKK KTK KTK/KTS Fα(dbk, dbs) Sisa (ij-1)-(i-1)- (j-1) JKS KTS Total ij-1 JKT Uji beda nyata terkecil (BNT) Uji BNT merupakan prosedur pengujian perbedaan di antara rata-rata perlakuan yang paling sederhana dan paling umum digunakan. Uji BNT digunakan untuk menguji perlakuan secara berpasang-pasangan dengan atribut yang diperlukan, yaitu nilai kuadrat tengah galat (KTG), taraf nyata, derajat bebas (db) galat, dan tabel t, untuk menentukan nilai kritis uji perbandingan. Jika masing-masing perlakuan memiliki ulangan yang sama, maka untuk semua pasangan perlakuan hanya memerlukan satu nilai BNT sebagai pembanding. Kriteria pengambilan keputusan dari hasil pengujian adalah jika beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari BNT ( Y i -Y i > BNT), maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf α. Formula untuk uji BNT adalah: LSD = t ( α/2, dbs) x ( ) Ketrangan: n : jumlah ulangan t α/2 : tabel BNT KTS : kuadrat tengah sisa

30 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pertambahan bobot basah Mayaca fluviatilis Mayaca fluviatilis adalah salah satu tumbuhan air yang mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi (Philipps 2010). Berdasarkan kemampuan adaptasi tersebut, M. fluviatilis mampu meningkatkan pertumbuhannya sebagai hasil penyerapan unsur hara yang terdapat dalam perairan. Pada penelitian ini, pertumbuhan M. fluviatilis dihitung berdasarkan perubahan bobot basah total selama pengamatan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 3a. Bobot Mayaca fluviatilis (gram) 12,0 11,5 11,0 10,5 10,0 9,5 Perlakuan A 9,0 Perlakuan B 8,5 Perlakuan C 8,0 7,5 7, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 6. Pertambahan bobot Mayaca fluviatilis pada ketiga perlakuan Berdasarkan Gambar 6, pertambahan bobot M. fluviatilis selama pengamatan cenderung fluktuatif. Pada tiga hari pertama, seluruh M. fluviatilis pada setiap perlakuan mengalami peningkatan dengan pertambahan bobot paling tinggi pada perlakuan C, sedangkan pada hari selanjutnya sampai hari terakhir pengamatan, terjadi fluktuasi penurunan dan pertambahan bobot yang bervariasi. Pada akhir pengamatan diperoleh bobot basah total paling tinggi pada perlakuan C sebesar 11,19 gram dengan doubling time selama 57 hari, disusul oleh perlakuan B dengan bobot basah total sebesar 10,47 gram dengan doubling time selama 83 hari, dan pertambahan bobot yang paling rendah adalah perlakuan A dengan bobot basah total di akhir pengamatan sebesar 10 gram dengan doubling time selama 119 hari.

31 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pengendalian kondisi perairan. Metabolisme biota akan meningkat jika terjadi kenaikan suhu hingga batas tertentu. Variasi suhu untuk masing-masing perlakuan cenderung sama setiap pengamatan. Hal ini dipengaruhi oleh pengaturan suhu yang terkontrol di tempat penelitian karena menggunakan air conditioner. Pengukuran parameter suhu dilakukan setiap tiga hari. Suhu yang tercatat berkisar antara o C, seperti yang terlihat pada Gambar 7 dan Lampiran 4a. Suhu ( C) Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 7. Nilai suhu pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Penurunan suhu terjadi dari pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-9, dan setelah hari ke-9 sampai hari ke-21 suhu cenderung konstan. Nilai suhu rata-rata selama pengamatan dari perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 23,97 o C, 24,23 o C, dan 24,52 o C, sehingga masih berada pada kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan M. fluviatilis (20-30 o C) (DEEDI 2010) ph Nilai ph menggambarkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu perairan. Nilai ph pada suatu lingkungan berkaitan erat dengan kandungan karbondioksida dalam lingkungan tersebut. Semakin tinggi nilai ph, semakin rendah kadar karbondioksida dalam air. M. fluviatilis tumbuh optimal pada kisaran ph Pengukuran ph dilakukan tiga hari sekali (Gambar 8 dan Lampiran 4b).

32 19 ph 10,0 9,5 9,0 8,5 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0 5,5 5, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 8. Nilai ph pada ketiga perlakuan MF-150 MF-300 MF-700 Selama pengamatan nilai ph cenderung fluktuatif dengan kisaran rata-rata antara 7,5-8,1. Nilai ph terendah tercatat pada hari ke-9, sedangkan nilai tertinggi tercatat pada hari ke-15. Nilai ph rata-rata selama pengamatan dari perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 7,52, 7,67, dan 7,64. Berdasarkan variasi nilai ph yang masih berada pada kisaran 6,8-8,5, maka kriteria perairan masih termasuk ideal bagi pertumbuhan organisme akuatik termasuk tumbuhan air (Pescod 1973) DO Dissolved oxygen (DO) adalah nilai dari kandungan oksigen terlarut di dalam air yang berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air serta difusi dari udara (Eaton et al. 2005). Hasil pengukuran COD disajikan pada Gambar 9. DO (mg/l) 9 8,5 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5 4, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 9. Nilai DO pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

33 20 Gambar 9 menunjukkan variasi nilai DO yang sangat signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai DO pada perlakuan A, B, dan C, masingmasing adalah 7,2 mg/l, 5,3 mg/l, dan 4,5 mg/l. Pada tahap dua ternyata nilai DO pada seluruh perlakuan cenderung naik dan berada konstan pada kisaran 8-8,57 mg/l. Berdasarkan nilai perubahan tersebut ternyata semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin rendah nilai oksigen terlarut yang terukur (Lampiran 4c) COD Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan parameter yang mampu dengan baik menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik bahan organik yang dapat didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (nonbiodegradable) (Boyd 1992). Pengukuran COD dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan pengaruh bioremediasi M. fluviatilis dari masing-masing perlakuan dengan kandungan bahan organik pada tingkat pencemaran yang berbeda. Hasil pengukuran COD disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 5a. COD (mg/l) Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 10. Nilai COD pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Pada Gambar 10 dapat dilihat adanya perbedaan perubahan nilai COD yang signifikan antara penelitian tahap pertama tanpa sistem kanal (hari ke-0) dengan penelitian tahap kedua yang telah menggunakan sistem kanal (hari ke-3 sampai hari ke-21). Dapat dilihat dengan jelas pada tahap awal sebelum penggunaan sistem

34 21 kanal, seluruh nilai COD dari setiap perlakuan mengalami penurunan menjadi sebesar 20 mg/l, yang berarti bahwa tingkat pencemaran seluruh perlakuan berada pada kriteria belum tercemar (Tabel 1). Pada tahap kedua setelah adanya sistem kanal dan pemberian M. fluviatilis, dapat dilihat bahwa ketiga perlakuan memiliki kecenderungan nilai COD yang sama, yakni mengalami kenaikan dan penurunan hingga pengamatan terakhir. Penurunan nilai COD paling tinggi untuk perlakuan A yang terjadi pada pengamatan hari ke-9, yaitu sebesar 8,5 mg/l. Selanjutnya, penurunan paling tinggi pada perlakuan B dan C, yaitu pada pengamatan hari ke-15 dengan nilai COD masingmasing sebesar 14,3 mg/l dan 15 mg/l. Kisaran nilai COD seluruh perlakuan mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-21 adalah sebagai berikut. Perlakuan A memiliki kisaran 8,5-28,67 mg/l, perlakuan B 14,3-55 mg/l, dan perlakuan C ,45 mg/l. Persentase perubahan nilai COD dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan C adalah sebesar 15,16%, 38,26%, dan 77,11% Nitrogen dari amonia total (Total ammonia nitrogen/tan) Penentuan nilai TAN (Total Amnonia Nitrogen) adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menentukan proporsi amonia dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang bervariasi terhadap ph dan suhu (Floyd dan Watson 1996). Amonia merupakan salah satu senyawa dari hasil proses dekomposisi bahan organik di perairan. Senyawa ini dapat dimanfaatkan tumbuhan air setelah diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri dalam proses nitrifikasi (Kordi dan Tancung 2005). Secara umum, selama 21 hari pengamatan, nilai amonia untuk semua perlakuan mengalami perubahan secara fluktuatif dengan kecenderungan terjadi penurunan. Berdasarkan grafik pada Gambar 11, dapat dilihat adanya penurunan dan kenaikan yang signifikan, masing-masing pada hari ke-6 dan hari ke-12. Pada mulanya nilai amonia mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6, kemudian meningkat tajam dari hari ke-6 sampai hari ke-12. Pada hari ke-12, amonia seluruh perlakuan berada pada nilai yang paling tinggi dengan nilai 0,72 mg/l untuk perlakuan A; 1,14 mg/l untuk B; dan 2,34 mg/l untuk C. Persentase perubahan nilai amonia dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan

35 22 C adalah sebesar 82,17%, 77,98%, dan 94,45%. Hasil pengukuran TAN disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 6a. 4,00 3,50 3,00 TAN (mg/l) 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 0, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 11. Nilai total amonia nitrogen pada ketiga perlakuan Nitrit Nitrit merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitritasi atau oksidasi amonia (NH 3 ) menjadi nitrit (NO - 2 ) oleh bantuan bakteri Nitrosomonas. Goldman (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera berubah menjadi nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa nilai nitrit selama pengamatan cenderung fluktuatif. Hasil pengukuran nitrit disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 7a. Nitrit (mg/l) 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 12. Nilai nitrit pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

36 23 Pada perlakuan A, nilai nitrit cenderung menurun dari hari ke-0 sampai hari ke-18, namun terjadi peningkatan di hari ke-21 sebesar 0,1243 mg/l. Pada perlakuan B nilai nitrit mengalami fluktuasi dengan penurunan terjadi dari hari ke-0 sampai hari ke-6 dan di hari ke-9 sampai hari ke-15, sedangkan peningkatan terjadi di hari ke-9 dan dari hari ke-15 sampai hari ke-21, dengan nilai nitrit pada akhir pengamatan sebesar 0,1640 mg/l. Pada perlakuan C nilai nitrit juga mengalami fluktuasi dengan peningkatan terjadi dari hari ke-3 sampai hari ke-6 dan hari ke-9 sampai hari ke-15, sedangkan penurunan terjadi dari hari ke-0 sampai hari ke-3 dan dari hari ke-15 sampai hari ke-21 dengan nilai nitrit pada akhir pengamatan sebesar 0,2374 mg/l. Persentase perubahan nilai nitrit dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan C adalah sebesar 49,84%, 1,13%, dan 95,30% Nitrat Nitrat merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitratasi atau proses oksidasi senyawa nitrit (NO - 2 ) menjadi nitrat (NO 3 ) oleh bantuan bakteri Nitrobacter. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera diubah ke dalam bentuk nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup, dan dialam air nitrat bersifat lebih stabil dibandingkan nitrit. Hasil pengukuran nitrat disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 8a. Nitrat (mg/l) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 13. Nilai nitrat pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

37 24 Gambar 13 menunjukkan nilai nitrat yang cenderung fluktuatif dengan perubahan yang sangat tajam antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai nitrat pada perlakuan A, B, dan C, masing-masing adalah 0,2542 mg/l, 0,2408 mg/l, dan 0,1851 mg/l. Pada tahap dua nilai nitrat pada seluruh perlakuan meningkat pada hari ke-3 yang kemudian terus menurun sampai hari ke-12 untuk perlakuan A dan hari ke-15 untuk perlakuan B dan C. Pada hari selanjutnya nilai nitrat pada seluruh perlakuan cenderung mengalami peningkatan sampai hari ke-21, dengan nilai akhir nitrat perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 0,4236 mg/l, 0,5032 mg/l, dan 0,4956 mg/l. Selanjutnya, persentase perubahan setiap perlakuan adalah 66,65% untuk perlakuan A, 108,96 % untuk perlakuan B, dan 167,76% untuk perlakuan C Ortofosfat Ortofosfat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air. Penyerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat daripada penyerapan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Penyerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat daripada penyerapan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Hasil pengukuran ortofosfat disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 9a. 0,14 0,12 Ortofosfat (mg/l) 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 0, Waktu pengamatan (hari ke-) Gambar 14. Nilai ortofosfat pada ketiga perlakuan

38 25 Gambar 14 menunjukkan variasi nilai ortofosfat untuk perlakuan A dan B sangat signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai ortofosfat pada perlakuan A dan B masing-masing adalah 0,0462 mg/l dan 0,0405 mg/l, yang kemudian meningkat dengan cepat pada hari ke-3, masing-masing dengan nilai 0,1155 mg/l dan 0,0941 mg/l. Pada hari selanjutnya, mulai dari hari ke-3 sampai hari ke-21, nilai ortofosfat cenderung menurun. Pada perlakuan C, mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-21, nilai ortofosfat cenderung menurun dan tidak mengalami kenaikan. Persen perubahan nilai ortofosfat seluruh perlakuan selama pengamatan adalah 68,18% untuk perlakuan A; 82,94% perlakuan B; dan 88,79% perlakuan C Pembahasan Prinsip bioremediasi oleh tumbuhan air adalah terjadinya proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tumbuhan air, serta proses pertukaran dan penyerapan ion terlarut yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tumbuhan air itu sendiri (Reed 2005 in Yusuf 2008). M. fluviatilis adalah salah satu agen bioremediasi limbah perairan dari jenis tumbuhan monokotil yang tumbuh di bawah permukaan air dan mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi (Philipps 2010). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa M. fluviatilis mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik di seluruh perlakuan. Hal ini didasarkan pada pertambahan bobot basah dari M. fluviatilis selama penelitian yang diduga memiliki hubungan dengan keberadaan bahan organik pada media penelitian. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin besar pertambahan bobot basah M. fluviatilis, karena unsur hara hasil penguraian dari bahan organik tersebut semakin banyak dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya. Hal ini didukung juga oleh Metcalf dan Eddy (2004) yang menyatakan bahwa unsur-unsur hara dari hasil dekomposisi bahan organik akan dimanfaatkan oleh organisme autotrof, seperti tanaman air maupun fitoplankton. Berdasarkan analisis statistik (p<0,05) untuk parameter pertambahan bobot basah M. fluviatilis (Lampiran 3b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap pertambahan bobot basah M. fluviatilis berbeda nyata, sedangkan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot basah M. fluviatilis tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa

39 26 pertambahan bobot M. fluviatis tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Perkembangbiakan tumbuhan air secara generatif mulai dari biji membutuhkan waktu selama 6 minggu untuk mampu tumbuh dan beradaptasi di dalam air. Demikian pula untuk perkembangbiakan secara vegetatif yang membutuhkan waktu sama untuk adaptasi dan tumbuh dengan baik di dalam air (Ludwig 1886 in DEEDI 2010). Kisaran suhu dan ph selama pengamatan masih termasuk pada kondisi lingkungan yang baik untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan air termasuk M. fluviatilis. Hal ini sesuai dengan DEEDI (2010) yang menyatakan bahwa tumbuhan air dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu o C; dan ph 6,8-8,5; suatu kondisi perairan yang masih termasuk ideal bagi pertumbuhan organisme akuatik termasuk tumbuhan air (Pescod 1973). Nilai DO atau oksigen terlarut masing-masing perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin rendah nilai DO yang terukur, sedangkan pada tahap dua nilai DO pada seluruh perlakuan cenderung sama dan stabil. Hal tersebut terjadi karena sebelum diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan oksigen terlarut yang tersedia di media sudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme dekomposer untuk mendekomposisi bahan organik yang ada. Dengan pasokan oksigen dari lingkungan yang sangat sedikit dan kandungan bahan organik yang semakin banyak, nilai DO yang terukur semakin rendah. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, serta dibutuhkan juga untuk mengoksidasi bahanbahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1982). Pada saat setelah diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan oksigen terlarut di dalam air semakin tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan dekomposisi bahan organik. Hal tersebut terjadi karena adanya proses resirkulasi yang meningkatkan difusi oksigen dari udara serta hasil fotosintesis oleh M. fluviatilis (Eaton et al. 2005). Hal tersebut didukung oleh Landau (1991) yang menyebutkan bahwa apabila kondisi badan air memiliki kandungan oksigen yang belum jenuh, maka masih

40 27 memungkinkan untuk terjadinya proses difusi secara terus menerus. Sebaliknya ketika kondisi badan air sudah melewati titik jenuh, oksigen bisa terlepas dengan sendirinya dari badan air. Berdasarkan hasil pengukuran COD pada Gambar 10 dapat dilihat adanya perbedaan perubahan nilai COD yang signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Tingginya nilai COD pada tahap satu dikarenakan belum diterapkannya sistem kanal dan agen bioremediasi, sehingga kandungan oksigen terlarut di media lebih kecil dan beragam dibandingkan pada tahap dua yang sudah menerapkan sistem kanal dan agen bioremediasi M. fluviatilis. Pada tahap dua, seluruh nilai COD dari setiap perlakuan mengalami penurunan menjadi kisaran nilai COD sebesar 20 mg/l, yang berarti tingkat pencemaran seluruh perlakuan berada pada kriteria belum tercemar (Tabel 1). Hal tersebut terjadi karena pada saat setelah diterapkannya sistem kanal, kandungan oksigen terlarut di dalam air semakin tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan mikroorganisme dekomposer untuk mengoksidasi bahan organik, sehingga proses dekomposisi tersebut berlangsung optimal dan mampu menurunkan nilai COD dengan signifikan. Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan parameter yang mampu dengan baik menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik bahan organik yang dapat didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis (Boyd 1982). Selain itu, faktor utama dari penurunan tingkat pencemaran tersebut adalah adanya teknik bioremediasi dengan cara fitoremediasi yaitu teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan dan algae, yang juga mampu menanggulangi pencemaran di lingkungan perairan (Perelo 2009). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter COD (Lampiran 5b dan 5c), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai COD berbeda nyata. Pada uji lanjut BNT didapatkan perlakuan C (sedimen 700 gram) berbeda nyata dengan perlakuan A (sedimen 150 gram) dan perlakuan B (sedimen 300 gram). Kesimpulan yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut adalah bahwa perubahan nilai COD ternyata dipengaruhi oleh perlakuan tingkat pencemaran yang diberikan dan dipengaruhi juga oleh lamanya waktu proses perlakuan tersebut berlangsung.

41 28 Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diperlukan informasi untuk mengetahui peranan yang paling besar antara sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis dalam penurunan bahan organik pada penelitian utama. Pencarian informasi itu dilakukan melalui penelitian lanjutan dengan membandingkan perlakuan bahan organik menggunakan sistem kanal dengan M. fluviatilis, dan sistem kanal tanpa M. fluviatilis selama 18 hari. Informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa sistem kanal memiliki pengaruh yang lebih besar untuk menurunkan kandungan bahan organik dan mengatasi pencemaran dibandingkan penyerapan nutrien oleh M. fluviatilis (Lampiran 10). Penggunaan sistem kanal pada proses bioremediasi seperti ini didukung juga oleh penelitian Nofdianto (2009) untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut pada teknik bioremediasi dalam penelitiannya yang menggunakan perifiton. Fungsi utama dari sistem kanal adalah untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan menjaganya agar stabil, sehingga memadai untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Penentuan nilai TAN (Total Ammonia Nitrogen) adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menemukan proporsi amonia dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang bervariasi terhadap ph dan suhu (Floyd dan Watson 1996). Hasil pengukuran menunjukkan terjadinya perubahan nilai TAN secara fluktuatif dengan kecenderungan menurun, walaupun pada hari ke-12 pada perlakuan tercemar berat mengalami peningkatan. Hal tersebut disebabkan oleh turunnya kandungan oksigen terlarut dan naiknya suhu serta ph pada hari yang sama. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut serta peningkatan ph dan suhu air (Colt dan Amstrong 1981 dalam Kordi dan Tancung 2005). Secara umum, penurunan nilai amonia yang terjadi diakibatkan oleh perubahan senyawa amonia menjadi nitrit dan nitrat melalui proses nitrifikasi (Kordi dan Tancung 2005). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter TAN (Lampiran 6b dan 6c), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai TAN berbeda nyata. Pada uji lanjut BNT didapatkan perlakuan C (sedimen 700 gram) berbeda nyata dengan perlakuan A (sedimen 150 gram) dan perlakuan B (sedimen 300 gram). Kesimpulan yang diperoleh dari hasil uji statistik

42 29 tersebut adalah bahwa perubahan nilai TAN ternyata dipengaruhi oleh perlakuan tingkat pencemaran yang diberikan dan dipengaruhi juga oleh lamanya waktu proses perlakuan tersebut berlangsung. Salah satu faktor utama yang menyebabkan perubahan tersebut adalah adanya teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan air yang mampu menanggulangi pencemaran di lingkungan perairan (Perelo 2009), karena terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tumbuhan air, serta proses pertukaran dan penyerapan ion terlarut yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tumbuhan air tersebut (Reed 2005 dalam Yusuf 2008). Nitrit merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitritasi atau proses oksidasi amonia (NH 3 ) menjadi nitrit (NO - 2 ). Pada tahap satu tanpa adanya sistem kanal dan tumbuhan air, nilai nitrit cenderung tinggi. Hal tersebut terjadi karena pada saat yang sama amonia pun berada pada nilai yang tinggi akibat adanya proses nitrifikasi. Selanjutnya, pada saat sistem kanal diterapkan, nilai nitrit mengalami penurunan yang signifikan, yang diduga akibat kandungan oksigen terlarut yang meningkat sehingga proses perubahan nitrit menjadi nitrat semakin tinggi juga. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera diubah ke dalam bentuk nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup. Secara umum, berdasarkan hasil pengamatan untuk perlakuan A dan B pada Gambar 12, nilai nitrit cenderung mengalami penurunan di awal sampai pertengahan pengamatan. Namun setelah itu nilai nitrit mengalami peningkatan sampai pengamatan terakhir, sedangkan untuk perlakuan C, nilai nitrit cenderung naik di awal sampai pertengahan pengamatan. Setelah itu terus menurun sampai akhir pengamatan. Hal tersebut diduga karena aktivitas bakteri nitrifikasi di setiap perlakuan berbeda. Pada kondisi aerobik, bakteri Nitrosmonas (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit sehingga pada saat tersebut diduga akan terjadi kenaikan nilai nitrit. Selanjutnya, pada kondisi oksigen yang memadai, proses nitrifikasi akan berlanjut menjadi proses nitratasi, yaitu proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter, sehingga pada saat itulah diduga akan terjadinya penurunan nilai nitrit (Badjoeri dan Widiyanto 2008). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter nitrit (Lampiran 7b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai nitrit tidak berbeda nyata. Salah satu faktor yang menyebabkan

43 30 tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata tersebut diduga terjadi karena lebih tingginya aktivitas mikroorganisme dalam media penelitian dalam mendekomposisi bahan organik, dibandingkan dengan bioremediasi yang dilakukan oleh M. fluviatilis. Hal tersebut didukung oleh adanya pasokan oksigen terlarut yang relatif sama dan stabil selama pengamatan, sehingga semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin tinggi pula proses nitrifikasi yang dilakukan oleh mikroorganisme (Thomson et al. 2003). Nitrat merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitratasi atau proses oksidasi senyawa nitrit menjadi nitrat (NO 3 ) oleh bakteri Nitrobacter. Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 13 menunjukkan variasi nilai nitrat yang cenderung fluktuatif dengan perubahan yang sangat signifikan antara tahap satu sebesar 0,2 mg/l dengan tahap dua sebesar 0,8 mg/l. Pada tahap satu atau hari ke-0, nilai nitrat untuk seluruh perlakuan berada pada nilai terendah. Hal tersebut diduga terjadi karena kandungan oksigen terlarut tidak memadai, sehingga proses nitratasi tidak terjadi secara optimal (Goldman dan Horne 1983). Selanjutnya, setelah diterapkannya sistem kanal, nitrat mengalami peningkatan. Hal tersebut diduga terjadi karena proses dekomposisi bahan organik yang meningkat akibat pasokan oksigen terlarut yang semakin tinggi. Pada tahap dua, dengan kondisi oksigen terlarut yang stabil, kenaikan maupun penurunan nilai nitrat tidak terlalu besar. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai nitrat dari hari ke-3 terus menurun sampai hari ke-12 untuk perlakuan A, dan hari ke-15 untuk perlakuan B dan C. Hal tersebut diduga terjadi karena nitrat yang ada di dalam air media dimanfaatkan langsung dan dibutuhkan lebih banyak oleh M. fluviatilis untuk mempertahankan daya adaptasinya dengan lingkungan yang baru, karena nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Kordi dan Tancung 2005). Setelah terjadi penurunan sampai hari ke-15, secara umum nilai nitrat mengalami peningkatan dan cenderung mulai konstan di saat pengamatan terakhir. Hal tersebut terjadi diduga karena daya adaptasi dari M. fluviatilis sudah mulai stabil sehingga nitrat yang tidak termanfaatkan atau berlebih akan mengalir kembali bersama air dan terakumulasi sehingga meningkatkan pencemaran (Hardiningtyas 2006). Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh peningkatan nitrit pada saat yang sama, karena pada kondisi aerobik dengan kondisi oksigen yang

44 31 memadai, proses nitritasi akan berlanjut menjadi proses nitratasi yaitu proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (Badjoeri dan Widiyanto 2008). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter nitrat (Lampiran 8b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap perubahan nilai nitrat berbeda nyata, sedangkanpengaruh perlakuan terhadap perubahan nilai nitrat tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai nitrat tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, akan tetapi perubahan nitrat tersebut sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Hal tersebut diduga terjadi karena produksi nitrat sangat bergantung pada proses nitrifikasi. Dari ketiga perlakuan yang dicobakan, tidak semua perlakuan mengalami proses nitrifikasi yang sama pada saat yang sama, sementara nitrat selalu dimanfaatkan langsung dan dibutuhkan oleh M. fluviatilis, karena nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Kordi dan Tancung 2005). Ortofosfat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air. Hasil pengukuran ortofosfat pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai ortofosfat untuk perlakuan B dan C mengalami kenaikan yang signifikan dari hari ke-0 sampai hari ke-3. Hal tersebut diduga terjadi karena kandungan oksigen terlarut kurang memadai akibat belum diterapkannya sistem kanal dan agen bioremediasi pada media yang menyebabkan proses dekomposisi bahan organik untuk pembentukan ortofosfat tidak optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugroho et al. ( 2008). Pada tahap dua, setelah diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan ortofosfat dari seluruh perlakuan cenderung mengalami penurunan sampai hari terakhir pengamatan. Hal tersebut terjadi karena ortofosfat dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya, karena tumbuhan dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter ortofosfat (Lampiran 9b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap perubahan nilai nitrat berbeda nyata, sedangkan pengaruh perlakuan terhadap perubahan nilai ortofosfat tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai ortofosfat tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan.

45 32 Akan tetapi perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Hal tersebut diduga terjadi karena tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan nilai ortofosfat di setiap perlakuan, sedangkan setiap harinya kandungan ortofosfat di seluruh perlakuan pengalami penurunan karena selalu dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya (Carr dan Neary 2006). Pada dasarnya setiap perairan sudah memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan proses pulih diri (self purification). Limbah yang masuk ke perairan akan dimanfaatkan oleh dekomposer sehingga dapat terurai menjadi unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh produsen primer seperti alga dan tumbuhan. Namun apabila beban limbah dan frekuensi limbah yang masuk melebihi kemampuan proses pulih diri, maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, secara umum terlihat bahwa pengaruh sistem kanal terhadap bioremediasi limbah organik dari Waduk Cirata sangat besar. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya perbedaan nilai kualitas air pada saat perpindahan dari tahap satu (tanpa kanal dan M. fluviatilis) ke tahap dua (aplikasi kanal dan M. fluviatilis). Hasil analisis statistik (P<0,05) menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap perubahan COD dan TAN berbeda nyata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bioremediasi limbah organik menggunakan M. fluviatilis dengan sistem kanal mampu mengubah kualitas air yang tercemar, sehingga pengembangan teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan air dan sistem kanal, perlu dilakukan sebagai alternatif metode yang baik dalam upaya penanggulangan masalah pencemaran perairan.

46 33 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Proses bioremediasi oleh tumbuhan air Mayaca fluviatilis melalui sistem kanal mampu mengubah kualitas air pada tingkat pencemaran yang berbeda. Parameter yang paling memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap perlakuan adalah COD dan TAN. Berdasarkan hasil uji lanjut dari kedua parameter tersebut, perlakuan yang paling berbeda dibandingkan perlakuan lainnya adalah perlakuan tercemar berat dengan nilai persentase perubahan COD sebesar 77,11% dan TAN 94,45% Saran Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini di antaranya adalah aplikasi tumbuhan air dengan sistem bioremediasi dapat diterapkan pada skala yang lebih besar, seperti kolam budidaya ikan. Selain itu, biomassa tumbuhan air yang digunakan dalam sistem ini dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias dalam akuarium atau pakan ternak, sehingga dapat bernilai ekonomis.

47 34 DAFTAR PUSTAKA Badjoeri M & Widiyanto T Penggunaan bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi dan pengaruhnya terhadap konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang. Puslit Limnologi. LIPI. Bogor. Bank Indonesia Industri tanaman air. Biro pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Jakarta. Boyd CE Water quality management for pond fish culture. Elsevier Science Publishers B. V. New York. p Carr GM & Neary JP Water quality for ecosystem and human health. Global environment monitoring system. UNEP. National Water Research Institute 867 Lakeshore Road Burlington. Ontario. L7R 4A6 Canada. Citroreksoko P Pengantar bioremediasi. Prosiding Lokakarya : Peranan bioremediasi dalam pengelolaan lingkungan Indonesia. Puslitbang Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Hanns Seidel Foundation Jerman. Cibinong. Bogor. DEEDI (Departement of Employment,Economic Development and Innovation) Bog moss Mayaca fluviatilis Aubl. Queensland government. North Quessland. Eaton Ad, SC Lenore, WR Eugene, EG Arnold, HF Mary Standard Methods for the Examination of Water & Wastewater: Centennial Edition. 21 st Edition. American Public Health Association, American Water Works Association, Association and Water Pollution Control Federation. Washington DC. EPA (Environmental Protection Agency) Constructed wetlands and aquatic plant systems for municipal wastewater treatment. Center for Environmental Research Information (CERI). Cincinnati. Ohio. Floyd RF & Watson C Ammonia. Florida Cooperative Extension Service. University of Florida. Florida. Garno YS Status dan strategi pengendalian pencemaran waduk multiguna Cirata. Direktorat Lingkungan BPP Teknologi. Prosiding semiloka nasional Pengelolaan dan pemanfaatan danau dan waduk Universitas Padjadjaran 7 November Bandung. Goldman CR & Horne AJ Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York. Toronto.

48 35 Hanlon SG, Hoyer MV, Cichra CE, & Canfield DE Evaluation of macrophyte control in 38 Florida Lakes using triploid grass carp. Aquatic Plant Manage. Vol 38 no Hardiningtyas N Parameter udara dan air; lemak, minyak, nitrat, nitrit, fosfat, Nox. Universitas Diponegoro. Semarang. Kordi MGHK & Tancung AB Pengelolaan kualitas air dalam budidaya perairan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 208 hal. Krisanti M & Imran Z Daya dukung lingkungan perairan Teluk Ekas untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Pert.Indon. Bogor. Vol. 11(2). Landau M Introduction to aquaculture. John Willey and Sons Inc. New York Metcalf dan Eddy Wastewater engineering treatment and reuse. McGraw-Hill Book Company. New Delhi. Miller GJ & Connel DW Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. UI Press. Jakarta. Mitchell D.S The development of excessive populations of aquatic plants. In Mitchell, D.S. (editor). Aquatic vegetation ang its use and control. UNESCO. Paris. Nofdianto Model Aplikasi Substrat Perifiton dalam Teknologi Pemurnian Air di Daerah Rawan Eutrofik dan Pesisir/ Mangrove. Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Bogor. Nugroho YA, Siswoyo E, & Juliani A Penurunan kadar phospate (PO 4 ) pada limbah cair laundry dengan menggunakan reaktor biosand filter diikuti dengan reaktor activated carbon. Teknik Lingkungan UII. Yogyakarta. Perelo LW In situ and bioremediation of organic pollutants in aquatic sediments. Journal of hazardous materials. Brazil. Vol 177 no Pescod MB Investigation of rational effluent stream standards for tropical countries. AIT. Bangkok. Philipps TC Stream bogmoss (Mayaca fluviatilis Aubl.), Plant of the week. USDA forest service celebrating wildflowers. [terhubung berkala]. [08 Aug 2011]. Prescott GW The aquatic plants. University of Montana Biological Station. WM C Brown company publishers. United States of America.

49 36 Ronen Z, Bollag JM, Hsu CH, & Young JC Feasibility of bioremediation of a ground water polluted with alkylpyridines. Ground water. Pennsylvania. Vol 34 no 2. Ryding SO & Rast W The control of eutrophication of lakes and reservoirs. The Parthenon Publishing Group. International Publishers in Science. Technology and Education. Sukirno S Pengantar teori mikroekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Bima Grafika. Jakarta. Hal Surya B Pesona tanaman aquarium air tawar. Aquarista. Jakarta. Tchobanoglous G & Burton FL Wastewater engineering: treatment, disposal, and reuse. McGraw-Hill, Inc. New York p. Thomson BM, Cressey PJ, Shaw IC Dietary exposure to xenoestrogens in New Zealand. Journal of enviromental monitoring. Vol 5: s. Yakandawala K Mayaca fluviatilis Aubl : an ornamental aquatic with invasive potential in Sri Lanka. Springer Science+Business Media BV. Sri Lanka. Hydrobiologia (2010) 656: Yusuf G Bioremediasi limbah rumah tangga dengan sistem simulasi tanaman air. Universitas Islam Makassar. Jurnal Bumi Lestari. Vol 2: Mayaca fluviatilis. [terhubung berkala]. com /species/mayaca-fluviatilis. [08 Aug 2011].

50 LAMPIRAN 37

51 38 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Akuarium kanal Mayaca fluviatilis Sedimen Waduk Cirata Akuarium 30x30x30 cm 3 Resirkulator Botol sampel DO-meter ph-meter Timbangan digital Spektrofotometer Buret Akuades Alat kaca Pipet larutan Bahan kimia

Gambar 3. Skema akuarium dengan sistem kanal (a) akuarium berkanal (b) akuarium tanpa sekat

Gambar 3. Skema akuarium dengan sistem kanal (a) akuarium berkanal (b) akuarium tanpa sekat 10 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Plankton, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dibagi ke dalam dua bagian, yaitu kegiatan observasi awal (pendahuluan) dan penelitian utama. Observasi awal dilakukan pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Pelaksanaan Penelitian Penentuan stasiun

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Pelaksanaan Penelitian Penentuan stasiun 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei Agustus 2011 di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido terletak pada koordinat posisi 106 48 26-106 48

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS Cabomba caroliniana, Egeria densa, DAN Mayaca fluviatilis BERKAITAN DENGAN PEMANFAATAN NUTRIEN N DAN P DARI SEDIMEN WADUK CIRATA

PRODUKTIVITAS Cabomba caroliniana, Egeria densa, DAN Mayaca fluviatilis BERKAITAN DENGAN PEMANFAATAN NUTRIEN N DAN P DARI SEDIMEN WADUK CIRATA PRODUKTIVITAS Cabomba caroliniana, Egeria densa, DAN Mayaca fluviatilis BERKAITAN DENGAN PEMANFAATAN NUTRIEN N DAN P DARI SEDIMEN WADUK CIRATA REZA ZULMI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA

PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA PENGGUNAAN BAKTERI Bacillus sp. dan Chromobacterium sp. UNTUK MENURUNKAN KADAR MINYAK NABATI DALAM AIR YEYEN EFRILIA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica)

PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) WIDIA NUR ULFAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November - Desember 2009. Bertempat di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 1 Oktober 2014 ISSN: 2302-3600 EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN Riska Emilia Sartika

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH KARAKTERISTIK LIMBAH Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban dan konsistensinya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota besar,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota besar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota besar, telah mendorong peningkatan kebutuhan akan perumahan. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand) Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO

STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO STUDI LEPASAN UNSUR HARA DARI SUBSTRAT ZEOCRETE DENGAN TINGKAT RASIO N:P YANG BERBEDA WIDIATMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan lele merupakan salah satu jenis usaha budidaya perikanan yang semakin berkembang. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan teknologi budidaya yang relatif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dengan cara memutar air secara terus-menerus melalui perantara sebuah

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (Lampiran 6 ) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kascing dengan berbagai sumber berbeda nyata terhadap tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pesatnya perkembangan industri di berbagai daerah di tanah air

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pesatnya perkembangan industri di berbagai daerah di tanah air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini pesatnya perkembangan industri di berbagai daerah di tanah air memberikan dampak bagi lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

Karakteristik Limbah Ternak

Karakteristik Limbah Ternak Fakultas Peternakan UNHAS Karakteristik Limbah Ternak Dr.Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P 2014 J l. P e r i n t i s K e m e r d e k a a n K m. 1 0 M a k a s s a r KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Dr. Muhammad

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian LAMPIRAN 55 56 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Kegiatan Alat Bahan Pengambilan contoh Alat aerasi hipolimnion Generator System GPS Van Dorn water sampler Tali berskala ph meter

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci