KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN."

Transkripsi

1 KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN Oleh Erlangga C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN ERLANGGA. C Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Pada Penyimpanan Suhu Chilling Dengan Perlakuan Cara Kematian. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES M. JACOEB. Ikan lele dumbo banyak dinikmati oleh masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Ikan lele diekspor ke luar negeri dalam bentuk utuh maupun bentuk fillet atau irisan daging. Untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri yang kian meningkat maka fillet ikan harus tingkat mutu yang tinggi. Akan tetapi fillet ikan merupakan produk hasil perikanan yang bersifat mudah rusak atau high perishable sehingga memerlukan penanganan yang baik. Studi mengenai pengaruh penanganan terhadap penurunan mutu serta karakteristik dari fillet ikan perlu diteliti sebagai bahan masukan dalam upaya untuk mempertahankan kesegaran serta peningkatan mutu fillet ikan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan interval waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran fillet ikan menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif (TPC, TVB dan ph). Uji organoleptik dilakukan selama 15 hari. Uji TPC, TVB dan ph dilakukan pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Fillet ikan diberi perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Sampel yang digunakan berasal dari kolam ikan di Sindang Barang, Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 kali ulangan. Ikan lele dumbo dengan berat dan panjang total sebesar 120,70 ± 1,62 g dan 256,85 ± 7,00 mm memiliki berat dan panjang fillet sebesar 40,01 ± 0,81 g dan 184,25 ± 6,73 mm. Rendemen ikan lele dumbo adalah kepala 27,49 %,; tulang 14,61 %; jeroan 6,49 %; insang 6,06 %; sirip 3,47 %; kulit 6,06 %; daging merah 3 % dan daging putih 32,82 %. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo adalah kadar air 79,45 %; abu 1,65 %; lemak 0,84 %; protein 17,80 % dan karbohidrat 0,26 %. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 72, 204 dan 336. Selama 15 hari atau 360 jam penyimpanan pada suhu chilling, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 5,3x10 5 koloni/g dan TVB sebesar 40,82 mg N/100 g dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 1,1x10 6 koloni/g dan TVB sebesar 44,37 mg N/100 g. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami perubahan ph yang lebih lambat dibandingkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan pada suhu chilling. Berdasarkan hasil uji organoleptik, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 13 hari sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 12 hari.

3 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Februari 2009 Erlangga C

4 KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh Erlangga C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 Judul Nama NIM : KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN : Erlangga : C Menyetujui, Komisi Pembimbing, Pembimbing I Pembimbing II Ir. Nurjanah, MS NIP Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP Tanggal lulus:

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga skripsi dengan judul Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian ini dapat diselesaikan oleh penulis. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak, Ibu, Kakak-Kakakku (Mas Bison, Mba Popi, Mas Danet, Mas Andi, Mba Indah, Mba Nty) dan Adikku (Iyong) atas dukungan moril dan materil, kasih sayang, serta doa selama ini kepada penulis. 2. Ibu Ir. Nurjanah, M.S dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran kepada penulis selama ini. 3. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji, atas saran serta bimbingannya kepada penulis. 4. Bapak Uju, S.Pi, M.Si sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama ini. 5. Bapak Ir. Djoko Poernomo, B.Sc yang telah meluangkan waktu untuk menjadi moderator pada saat seminar hasil penelitian. 6. Seluruh Staft Dosen dan Staft Adminstrasi THP (Mas Ipul, Mas Zaki, Bang Mail, Bu Ema, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Mba Heni dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 7. Afiat Wijaya dan Yugha Subagja, terima kasih atas pertemanan dan persahabatannya selama ini. 8. Deden dan Andi Patria yang telah banyak membantu selama ini, terima kasih. 9. Pasukan Genk Lab (Windi, Nzul, Anang, An im, Hangga, Bucek, Bay) 10. THP Ikhwan (Gilang, Deri, Haris, Yudha, Dhias, Opick, Gori, Daler, Boby, Wahyu, Dika, Ferry, Sait, Yayandi, Deboy, Ucok, Harvey, Ujang 40, Tomi 40, Windo 40, Tobi 40) 11. THP Akhwat (Vika, Amel, Iis, Ranti, Etid, Yantie, Nia, Eka, Ika, Dila, Ari, Enif, Ima, Vera).

7 12. Segenap Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Februari 2009 Erlangga

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Februari 1985 sebagai anak ke 7 dari 8 bersaudara dari pasangan Bapak Soeharto (alm) dan Ibu Adawiyah. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Panaragan 1 Bogor ( ), SLTP Negeri 2 Bogor ( ) dan SMU Negeri 4 Bogor ( ). Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kepanitian diantaranya OMBAK ( ), PORIKAN ( ), GMI (2007) dan berbagai seminar. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi HIMASILKAN ( ) dan Fisheries Processing Club (FPC) ( ). Selain itu penulis juga menjadi asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan ( ). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian dibawah bimbingan Ir. Nurjanah, MS dan Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb.

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman viii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Deskripsi Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Kimia Fillet Ikan Mutu Fillet Ikan Metode Pengukuran Kesegaran Fillet Ikan Kemunduran Mutu Fillet Ikan Perubahan pre rigor mortis Perubahan rigor mortis Perubahan post rigor Metode Pendinginan METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Pengamatan Uji organoleptik (SNI ) TPC (Fardiaz 1992) TVB (AOAC 1995) ph (Apriyantono et al 1989) Analisis proksimat Kadar air (AOAC 1995) Kadar abu (AOAC 1995) Kadar protein (AOAC 1995) Kadar lemak (AOAC 1995) Rancangan Percobaan dan Analisis Data ix x

10 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Ukuran dan rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Penelitian Utama TPC (Total Plate Count) TVB (Total Volatile Base) Nilai derajat keasaman (ph) Uji organoleptik Penampakan Bau Tekstur Hubungan antar parameter kesegaran fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Hubungan nilai organoleptik dengan log TPC Hubungan nilai organoleptik dengan TVB Hubungan log TPC dengan TVB KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 51

11 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya Komposisi kimia proksimat, energi dan kolesterol fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar Standar Kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB Ciri-ciri fillet ikan segar dan tidak segar Ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air

12 No. DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Proses glikolisis pada daging ikan Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Diagram alir penentuan titik pengamatan Diagram penelitian utama Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik perubahan log TPC pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik perubahan nilai TVB pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik perubahan nilai ph pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik rata-rata nilai organoleptik penampakan pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik rata-rata nilai organoleptik bau pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Grafik rata-rata nilai organoleptik tekstur pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan segera Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan segera Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan setelah 12 jam tanpa media air Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan segera Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air... 44

13 No. DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (SNI ) Data mentah ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo Uji Kruskall Wallis dan hasil perangkingan fillet ikan lele dumbo a. Uji Kruskall Wallis b. Perangkingan Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TPC fillet ikan lele dumbo a. Data mentah TPC b. Data TPC setelah transformasi akar c. Tabel uji normalitas TPC d. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera e. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air f. Tabel analisis ragam TPC Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TVB fillet ikan lele dumbo a. Data mentah TVB b. Data TVB setelah transformasi akar c. Tabel uji normalitas TVB d. Grafik uji normalitas TVB fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera e. Grafik uji normalitas TVB fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air f. Tabel analisis ragam TVB Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji ph fillet ikan lele dumbo a. Data mentah ph b. Data ph setelah transformasi akar c. Tabel uji normalitas ph d. Grafik uji normalitas ph fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera e. Grafik uji normalitas ph fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air f. Tabel analisis ragam ph... 60

14 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat berguna bagi manusia dan dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk dunia. Oleh karena itu seiring dengan pertumbuhan populasi dunia, konsumsi ikan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini lebih kurang seperempat bagian dari ikan yang dikonsumsi oleh penduduk dunia adalah berasal dari budidaya dan persentase ini akan terus meningkat, sementara produk hasil tangkapan dari laut dan danau akan terus menurun disebabkan overfishing dan kerusakan lingkungan (Kurnia 2006). Produksi perikanan hasil budidaya saat ini menyumbang sekitar 45 % dari total produksi ikan dunia dan negara-negara Asia Pasifik mendominasi sekitar 90 % produksi ikan budidaya dunia. Negara Cina sejauh ini memimpin produksi ikan hasil budidaya dengan menyumbang sekitar 3,4 juta ton/tahun. Kemudian diikuti oleh India 2,8 juta ton/tahun dan Indonesia diurutan ketiga dengan menyumbang sekitar 2,7 juta ton/tahun (DKP a 2007). Dalam kurun waktu , volume produksi perikanan budidaya Indonesia mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 19,56 % dengan nilainya meningkat ratarata per tahun sebesar 10,85 %, yaitu dari 2,16 juta ton senilai Rp 21,45 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi 2,7 juta ton, dengan nilai sebesar Rp 26,36 triliun pada tahun 2007 (DKP b 2008). Potensi perikanan budidaya secara nasional diperkirakan 15,59 juta hektar (ha) yang terdiri potensi air tawar 2,23 juta ha, air payau 1,22 juta ha dan budidaya laut 12,14 juta ham, sedangkan pemanfaatannya hingga saat ini masingmasing baru 10,1 % untuk budi daya air tawar, 40 % pada budi daya air payau dan 0,01 % untuk budi daya laut (DKP a 2007). Salah satu langkah yang ditempuh dalam pengembangan budidaya ikan air tawar yaitu pengembangan budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Produksi ikan lele dumbo di Indonesia meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, dari sekitar ton tahun 2004, menjadi ton pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi ton (SIMPATIK 2008) a.

15 Ikan lele dumbo menjadi komoditas unggulan karena mudah dibudidayakan, dapat dipelihara dengan padat tebar yang tinggi dalam lahan terbatas di kawasan marginal dan hemat air. Selain itu, ikan lele memiliki pertumbuhan yang cepat, relatif tahan terhadap penyakit, teknologi budidaya ikan lele dumbo relatif mudah dikuasai masyarakat, modal usaha dan pemasaran relatif rendah. Sehingga ikan lele bisa diproduksi secara besar-besaran, dan bisa diekspor ke mancanegara dalam jumlah besar (Mahyuddin 2008). Ikan lele dumbo diekspor dalam bentuk fillet atau irisan daging dengan ukuran minimal 800 g per ekor. Fillet merupakan bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor (Peterson 2007). Nilai ekspor untuk fillet ikan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2005 nilai ekspor fillet ikan sebesar 49 juta kg dan terus meningkat pada tahun 2006 sebesar 51 juta kg (SIMPATIK 2008) b. Untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat maka fillet ikan harus memiliki tingkat mutu yang tinggi. Seperti komoditas perikanan lainnya, fillet ikan juga merupakan produk hasil perikanan yang bersifat mudah rusak atau high perishable sehingga memerlukan penanganan yang baik (Afrianto dan Liviawaty 1989). Kualitas produk hasil perikanan identik dengan kesegaran. Fillet ikan yang baik adalah fillet yang mempunyai daging yang berwarna putih, cemerlang dan bersih; bau sangat segar; dan tekstur yang padat, kompak dan elastis (BSN 2006). Menurut Silva et al (2001), lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada fillet ikan tergantung dari jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, dan suhu penyimpanan. Suhu dan kelembaban yang tinggi di Indonesia menyebabkan proses kerusakan fillet ikan berlangsung dengan cepat. Proses penurunan mutu ini akan dipercepat dengan penanganan yang tidak tepat, sanitasi dan higienis yang tidak memadai serta terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran. Oleh karena itu diperlukan peningkatan sistem penanganan sehingga menghasilkan fillet ikan dengan mutu yang baik. Penelitian tentang kemunduran mutu fillet ikan penting dilakukan karena kualitas fillet ikan tergantung pada tingkat kesegarannya. Data-data mengenai

16 karakteristik dari fillet ikan juga penting untuk dikaji. Suatu komoditi dapat dijadikan sebagai standar international apabila terpenuhinya data-data mengenai deskripsi komoditi meliputi data biologi dan genetik, potensi, pengolahan, pemasaran dan evaluasi sensori. Studi mengenai pengaruh penanganan terhadap penurunan mutu serta karakteristik dari fillet ikan tawar terutama fillet ikan lele dumbo perlu diteliti sebgai bahan masukan dalam upaya untuk mempertahankan kesegaran dan meningkatkan mutu fillet ikan. Penelitian ini merupakan kajian awal dengan harapan dimasa yang akan datang informasi-informasi yang didapat ini dapat dikembangkan dan digunakan untuk peningkatan penganganan, pengelolaan, pengolahan dan pengembangan fillet ikan lele dumbo Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Mempelajari karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) meliputi ukuran, rendemen dan komposisi kimia. 2. Mempelajari interval waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir, pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. 3. Membandingkan mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air, secara objektif yaitu uji TPC, TVB dan ph.

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Saanin (1986) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias gariepinus Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dumbo termasuk ke dalam genus Clarias yang memiliki ciri tubuh licin memanjang dan tidak bersisik, sirip punggung menyatu dengan sirip ekor dan sirip anus, tulang kepala keras dengan mata yang kecil dan mulut lebar yang terletak di ujung moncong, dilengkapi dengan empat pasang sungut atau kumis (Catfish). Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari (Mahyuddin 2008). Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Gambar ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

18 2.2 Deskripsi Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Fillet ikan adalah bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor (Peterson 2007). Gambar fillet ikan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Berbagai tipe fillet adalah fillet berkulit (skin-on fillet), fillet tidak berkulit (skinless fillet), fillet tunggal (single fillet) yaitu daging ikan yang disayat memanjang tulang belakang, dan fillet kupu-kupu (butterfly fillet) yakni dua fillet tunggal yang dihubungkan sesamanya oleh bagian yang tidak dipotong (Ilyas 1983). Ikan juga dapat dibentuk menjadi beberapa jenis fillet, antara lain (Rogers et al 2004): a) Block fillet, yaitu bagian daging ikan yang berasal dari kedua sisi tubuh ikan, biasanya kedua bagian daging ikan tersebut tidak putus. b) Cross-cut fillet yaitu fillet yang berasal dari ikan yeng berbentuk pipih, dimana pada masing-masing tubuh ikan dibuat sebuah fillet. c) Quarter-cut fillet, yaitu fillet yang berasal dari daging ikan yang berbentuk pipih, dimana bagian daging ikan dari masing-masing sisi tubuh ikan dibuat menjadi dua bagian fillet. d) Single fillet, yaitu fillet yang berasal dari satu sisi tubuh ikan. Jenis dan tipe fillet ikan yang biasa digunakan pada ikan lele dumbo adalah jenis single fillet dan tipe skinless fillet (Silva et al 2001). Pada umumnya fillet ikan lele dumbo disajikan di restoran-restoran atau rumah makan dalam bentuk direbus, digoreng atau dipanggang.

19 2.3 Komposisi Kimia Fillet Ikan Daging ikan memiliki komposisi kimia yang tergantung dari jenis ikan, antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Komposisi kimia daging juga dapat berbeda-beda tergantung dari umur, habitat, dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari % kadar air, % protein, 1-10 % kadar lemak, 0,1-1 % karbohidrat dan 1-1,5 % mineral (Okada 1990). Kandungan protein pada daging ikan bervariasi tergantung dari jenis ikan (Salawu et al 2004). Protein daging ikan banyak mengandung asam amino essensial yang sangat mudah mengalami denaturasi, penggumpalan dan perubahan mutu yang disebabkan oleh proses pengolahan (Conceicao et al 1998). Selain protein, daging ikan juga banyak mengandung asam lemak tak jenuh (Ali dan Jauncey 2005). Asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan lemak pada daging ikan lebih mudah teroksidasi sehingga menyebabkan ketengikan. Ketengikan yang berlarutlarut akan membebaskan peroksida dan menurunkan mutu ikan. Ikan dapat dikelompokkan dalam 4 golongan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya (Stansby 1963). Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya Golongan ikan Kadar Lemak (%) Kadar Protein (%) Lemak rendah-protein sedang < Lemak sedang-protein sedang Lemak tinggi-protein tinggi >15 >15 Lemak rendah-protein tinggi <5 >20 Sumber: Stansby (1963) Komposisi kimia daging ikan lele dumbo lebih besar setelah mengalami proses pengolahan seperti direbus, digoreng atau dipanggang (Rosa et al 2007). Komposisi proksimat, energi dan kolesterol ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) mentah, direbus, digoreng dan dipanggang dapat dilihat pada Tabel 2.

20 Tabel 2. Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Mentah Rebus Goreng Panggang Kadar air (%) 75,68 71,08 63,32 65,76 Protein (%) 16,80 21,14 21,82 24,28 Lemak (%) 5,70 5,90 9,30 6,88 Kadar abu (%) 1,00 1,20 2,30 2,62 Sumber : Rosa et al (2007) 2.4 Mutu Fillet Ikan Ikan adalah bahan biologis yang sangat cepat menurun mutunya ke arah pembusukan. Sesudah dipanen, setiap spesies ikan akan mengalami proses penurunan mutu (deteriorasi) yang berlainan polanya. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi mutu ikan adalah penerapan suhu rendah (pendinginan), kecermatan, kebersihan (higiene) serta kecepatan kerja (faktor waktu) (Pearson dan Dutson 1996). Kesegaran bahan mentah ikan merupakan kriteria kualitas paling penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari produk yang dibekukan (Ilyas 1983). Ikan dikatakan baik jika masih dalam kondisi segar. Ikan segar adalah ikan yang baru ditangkap atau ikan yang masih memiliki sifat-sifat seperti ikan yang baru ditangkap dan belum mengalami kerusakan. Tingkat kesegaran ikan adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang mempunyai nilai mutu yang baik dan nilai mutu yang jelek (FAO 1995). Kriteria ikan segar dan ikan yang tidak segar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar Parameter Ikan segar Ikan tidak segar Daging Kenyal dan dalam kondisi lentur Lunak dan tidak lentur Mata Cerah dan menonjol keluar Cekung dan terdapat rongga Insang Merah cerah Merah gelap dan kecoklatan Sisik Cerah dan kuat melekat Kusam dan mudah lepas Kulit Tidak banyak lendir Banyak lendir Bau Segar spesifik jenis Busuk menyengat Sumber: BSN (2006) b Kesegaran ikan dapat juga diukur berdasarkan hasil uji Total Volatile Base (TVB). Uji TVB adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan

21 kesegaran ikan yang didasarkan pada menguapnya senyawa-senyawa basa. Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB-nya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB Mutu Ikan Nilai TVB (mg N/100 g daging ikan) Sangat segar < 10 Segar Batas dapat dimakan Busuk > 30 Sumber : Farber (1965) Mutu fillet ikan yang baik adalah ketika terjadi perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika belum mengalami perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu fillet ikan antara lain metode preparasi fillet, kebersihan (higiene), dan lama penyimpanan (Silva et al 2005). Kriteria mutu fillet ikan yang segar dan tidak segar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Ciri-ciri fillet ikan segar dan tidak segar Parameter Fillet ikan segar Fillet ikan tidak segar Penampakan Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea Daging kehijauan menyeluruh, sangat suram, sangat tidak menarik, garis tulang belakang maupun linea lateralis coklat dan terbelah lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah Bau Bau sangat segar, spesifik jenis Bau amoniak keras dan bau busuk Tekstur Elastis, padat dan kompak. Sangat tidak elastis dan membubur Sumber: BSN (2006) b 2.5 Metode Pengukuran Kesegaran Fillet Ikan Kesegaran ikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan harus menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, akan tetapi juga membahayakan kesehatan bila dimakan. Mutu ikan yang akan dikonsumsi harus

22 terjamin agar tidak menimbulkan efek negatif. Pemeriksaan mutu ikan dapat dilakukan dengan tiga cara (FAO 1995), yaitu: 1. Pemeriksaan organoleptik atau sensori. 2. Pemeriksaan di laboratorium (Secara fisik, kimia, dan mikrobiologis). 3. Menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester. Metode sensori (organoleptik) relatif lebih murah dan cepat dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium yang memerlukan banyak waktu dan biaya. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan secara kasar ikan yang busuk dan ikan yang segar dengan melihat tanda-tanda pada tubuh ikan (Liviawaty 2001). Proses kerusakan akibat aktivitas bakteri dapat dideteksi menggunakan indera manusia seperti penglihatan, peraba, penciuman, dan peraba. Panelis yang terlatih akan dapat mengenali ciri perubahan dari sampel fillet ikan yang diuji. Lembar penilaian (score sheet) digunakan pada uji organoleptik sebagai pegangan panelis dalam memberikan nilai kepada fillet ikan yang diperiksa berdasarkan keadaan fisik fillet ikan. Score sheet yang digunakan adalah yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dengan SNI Lembar penilaian organoleptik fillet ikan segar dapat dilihat pada Lampiran1. Penilaian secara sensori banyak menimbulkan variasi yang menyebabkan diperlukan cara untuk memperkuat penilaian tersebut yaitu dengan metode non sensori. Analisis non sensori dilakukan untuk menentukan nilai mutu ikan dengan lebih teliti. Analisis ini meliputi metode uji mikrobiologi atau TPC (total plate count), ph, TMA, TVB (total volatile base) dan lain-lain (Sakaguchi 1990). Tingkat kesegaran fillet ikan dapat ditentukan dengan metode total plate count (TPC), yaitu menghitung jumlah bakteri yang terdapat dalam fillet ikan. Metode pengujian ini dilakukan dengan menghitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada suatu media pertumbuhan bakteri (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1987). Batas maksimum bakteri untuk fillet ikan segar menurut SNI sebesar 5 x 10 5 koloni/g. Ikan yang sudah tidak segar memiliki ph daging yang tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Menurut Kristoffersen et al (2006), hal ini terjadi karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amoniak,

23 trimetialamin, dan senyawa volatil lainnya. Berbagai macam senyawa tersebut akan terakumulasi pada daging sesaat setelah ikan mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Berbagai macam senyawa yang terakumulasi tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesegaran ikan (Sakaguchi 1990). Pengujian menggunakan metode total volatile base (TVB) merupakan salah satu indikator untuk menentukan tingkat kesegaran ikan (AOAC 1995). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar yaitu sebesar 30 mg N/100 g (Farber 1965). Penentuan nilai derajat keasaman (ph) merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan ph daging ikan disebabkan karena adanya proses autolisis dan penyerangan bakteri (Fardiaz 1992). Menurut Erikson dan Misimi (2008), reaksi anaerob yang terjadi setelah ikan mati akan memanfaatkan ATP dan glikogen sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang. Akibatnya, ph tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalan). 2.6 Kemunduran Mutu Fillet Ikan Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada fillet ikan. Menurut Erikson dan Misimi (2008) fillet ikan akan mengalami pengkerutan pada bagian daging akibat tidak adanya rangka yang mampu menyangga bagian daging fillet serta kontraksi otot yang terjadi pada daging. Proses perubahan pada fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun (Weeber et al 2008). Penurunan tingkat kesegaran fillet ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada fillet ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi (Afrianto dan Liviawaty (1989) Perubahan pre rigor mortis Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di sekeliling tubuh ikan (Erikson dan Misimi 2008). Kondisi daging ikan

24 pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan (Eskin 1990) Perubahan rigor mortis Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase rigor (Eskin 1990). Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai ph. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin 1990). Proses glikolisis yang menguraikan glukosa menjadi asam laktat disajikan pada Gambar 3. Glukosa Heksokinase Glukosa-6-fosfat Fosfoglukosa isomerase Fruktosa-6-fosfat Fosfofruktokinase Fruktosa-1,6-difosfat Aldolase Dihidroksi asetonfosfat Asam laktat Laktat dehidrogenase D-gliseraldehida-3-fosfat Asam piruvat Gambar 3. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990) Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai ph daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6

25 dari ph mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya ph awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa menguap. Nilai ph daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir (Farber 1965) Perubahan post rigor Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (FAO 1995). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) ini berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati. Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Rehbein 1979) Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnya ph. Protein dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. Protein terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada proses autolisis yang menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Baker dan Davies 1996). Penguraian protein dan lemak karena proses autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan fillet ikan. Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri. Pertumbuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga berjalan semakin cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan bakteri lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim. Penguraian oleh bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Afrianto dan Liviawaty 1989).

26 Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asamasam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator pembusukan (Kristoffersen et al 2006). Jenis bakteri yang umum ditemukan pada fillet ikan antara lain Pseudomona, Achrombacter dan Flavobacterium (Kwaadsteniet et al 2008) Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah coklat kusam. Aroma tengik ini dapat menurunkan mutu dan daya jualnya (Liviawaty 2001). 2.7 Metode Pendinginan Kemuduran mutu fillet ikan berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, sehingga dibutuhkan penanganan tepat yang dapat menghambat proses pembusukan baik yang terjadi secara kimiawi maupun enzimatis (Rehbein 1979). Cara paling mudah untuk menghambat pembusukan ikan adalah dengan menggunakan suhu rendah. Penggunaan suhu rendah pada produk-produk perikanan mampu menghambat aktivitas enzim dan pertumbuhan bakteri sehingga kemunduran mutu ikan akan berjalan jauh lebih lambat dan ikan akan tetap segar dalam jangka waktu yang lama (Ilyas 1983). Menurut Stein et al (2005) fillet ikan yang diberi perlakuan penyimpanan suhu rendah dapat diperpanjang daya awetnya hingga mencapai 1-4 minggu, tergantung jenis ikan dan cara penanganannya. Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan dengan suhu dingin (chilling) adalah untuk mempertahankan kesegaran mutu ikan dan menghambat kegiatan mikroorganisme serta proses-proses fisik-kimia ikan. Suhu yang digunakan dalam penyimpanan suhu chilling adalah berkisar C (Ilyas 1983). Kemampuan suhu chilling untuk mempertahankan ikan tetap segar sangat ditentukan oleh mutu awal ikan, metode pendinginan dan penerapan suhu rendah tersebut hingga ikan siap digunakan (sistem rantai dingin). Metode pendinginan yang biasa digunakan dalam industri perikanan antara lain (Ilyas 1983):

27 1. Metode pendinginan dengan es atau pengesan (icing) 2. Metode pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air) 3. Metode pendinginan dengan air yang didinginkan (chilling in water) Metode pendinginan dengan es atau pengesan adalah metode yang paling luas dan umum diterapkan dalam industri perikanan. Keunggulan penggunan es dalam industri perikanan antara lain, harganya yang murah, mudah diperoleh dan mudah dalam penerapannya. Fungsi es adalah untuk mempertahankan suhu ikan tetap dingin, menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah dan bakteri dari permukaan badan ikan, dan mempertahankan keadaan berudara pada ikan selama disimpan pada palka (Ilyas 1983). Es dapat dibedakan menjadi 2 jenis menurut jenis es yang dihasilkan, yaitu es balok dan es curai. Metode pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air) adalah menciptakan udara dingin melalui suatu lilitan atau gulungan pipa evaporator dari suatu unit refrigerasi mekanik pada kamar dingin atau refrigerator. Untuk mempercepat pendinginan produk, refrigerator dilengkapi dengan kipas untuk menghasilkan gerakan udara dingin konveksi (Ilyas 1983). Ikan yang didinginkan dengan udara dingin akan mengalami pengeringan. Pengeringan ini terjadi karena menguapnya air dari ikan dan akan mengendap menjadi salju pada permukaan lilitan pipa evaporator. Menurut Gatlin (2001) hal ini dapat diatasi dengan menutupi ikan dengan kertas alumunium atau ditutupi dengan sedikit hancuran es. Metode pendinginan dengan air yang didinginkan (chliing in water) adalah memanfaatkan air yang didinginkan sebagai medium pendinginan guna menurunkan suhu ikan basah serendah mungkin. Keunggulan penggunaan metode ini adalah penyerapan panas yang lebih besar dari ikan karena sekujur tubuh ikan berkontak langsung dengan air dingin sehingga pergantian panas antara air dingin dan ikan berlangsung cepat (Ilyas 1983).

28 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2008 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Teknologi Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan PAU (Pusat Antar Universitas), Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, alat tusuk, alat destilasi kjeldahl, buret, termomether, ph meter, pisau, alat-alat gelas, refrigerator, cawan petri, cawan conway, oven, inkubator, score sheet untuk uji organoleptik, dan kertas alumunium. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kolam budidaya ikan lele dumbo yang beralamat di Jalan Poras Ujung RT 08/ RW 08, Sindang Barang, Bogor. Secara keseluruhan kolam budidaya ikan lele dumbo tersebut memiliki luas satu hektar dan terdapat 8 kolam yang digunakan untuk pembibitan dan pembesaran. Kolam budidaya ikan lele dumbo tersebut berada di tengah-tengah areal persawahan yang dialiri sungai-sungai kecil sebagai sumber air. Panen dilakukan setelah ikan lele dumbo berumur 2-3 bulan dengan ukuran g/ekor. Ikan lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini berumur 2 bulan 3 minggu dan dipanen pada bulan Juni Setelah dipanen ikan lele dumbo disortasi dan diperoleh ikan lele dumbo sebanyak 20 ekor yang memiliki panjang dan berat cukup seragam yaitu berkisar g/ekor. Bahan-bahan lain dalam penelitian ini adalah Natrium Agar (NA), aquades, NaOH 2 M, garam fisiologis 0,85 % steril, HCl, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, alkohol, metilen merah dan biru, buffer ph 4 dan 7, heksana, trikloroasetat (TCA) 7 %, H 2 SO 4 0,01 N, K 2 CO 3 jenuh, dan asam borat 1 %.

29 3.3 Metode Penelitian Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan diawali dengan penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo dan rentang waktu terjadinya tiap fase post mortem fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan pada suhu chilling sebagai patokan untuk uji TPC, TVB dan ph. Penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo meliputi panjang total ikan, panjang baku ikan, rendemen ikan, berat total ikan, panjang fillet, berat fillet dan komposisi kimia. Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 4. Ikan lele Dimatikan Fillet Ikan Ditentukan karakteristik fillet Morfometrik Rendemen Proksimat Berat total Panjang total Panjang baku Rendemen Berat fillet Panjang fillet Insang Jeroan Sirip Kulit Tulang Kepala Daging merah Daging putih Kadar air Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat Gambar 4. Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo diberi dua perlakuan yaitu dimatikan segera dengan cara menusukkan alat penusuk pada bagian medulla oblongata dan dimatikan dengan

30 cara membiarkan ikan pada wadah yang tidak berisi air selama 12 jam kemudian dimatikan dengan cara ditusuk pada bagian medulla oblongata. Ikan lele tersebut diasumsikan mengalami kondisi stres sebelum mengalami kematian. Ikan lele dumbo yang telah mati kemudian dipreparasi menjadi fillet dengan tipe single dan skinless fillet. Fillet ikan lele dumbo tersebut dibungkus dengan kertas aluminium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan berkisar antara C. Pengamatan terhadap mutu organoleptik dilakukan setiap 6 jam sekali hingga fillet ikan tersebut secara organoleptik di tolak oleh panelis sehingga didapat titik waktu post mortem fillet ikan lele dumbo meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir. Titik-titik tersebut selanjutnya digunakan pada uji objektif pada penelitian utama. Diagram alir penentuan titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5. Ikan lele Dimatikan Ditusuk pada bagian medula oblongata Dibiarkan tanpa media air selama 12 jam kemudian ditusuk pada medula oblongata Fillet ikan Fillet ikan dibungkus dengan kertas alumunium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan C. Di uji secara subjektif (organoleptik) setiap 6 jam sekali hingga fillet ikan secara organoleptik ditolak dan didapat interval fase post mortem Gambar 5. Diagram alir penentuan titik pengamatan

31 Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara kematian terhadap kemunduran mutu fillet ikan lele. Pengamatan terhadap fillet ikan lele dilakukan dengan metode subjektif dan objektif. Metode subjektif yang digunakan adalah uji organoleptik (SNI ) yang dilakukan dengan melihat penampakan, bau, dan tekstur. Uji organoleptik dilakukan selama 15 hari. Metode objektif yang digunakan adalah TPC (Fardiaz 1992), ph (Apriyantono et al 1989), dan TVB (AOAC 1995). Pengambilan contoh dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yaitu pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Waktu ini merupakan titiktitik untuk fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor awal dan post-rigor akhir dari fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 6. Ikan lele Dimatikan Ditusuk pada bagian medula oblongata Di biarkan tanpa media air selama 12 jam kemudian ditusuk pada medula oblongata Fillet ikan Fillet ikan dibungkus dengan kertas alumunium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan C. Di uji secara subjektif (organoleptik) pada hari ke-0 hingga 15 Di uji secara objektif (TPC, TVB dan ph) pada Jam ke-0, 78, 222 dan 360 Gambar 6. Diagram alir penelitian utama

32 3.4 Pengamatan Uji organoleptik (SNI ) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, dan tekstur TPC (Fardiaz 1992) Untuk uji mikrobiologi dilakukan perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 g sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril, lalu dihomogenkan. Dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran Banyaknya pengenceran disesuaikan dengan keperluan penelitian. Pada penelitian ini digunakan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), diamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 35 0 C dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara koloni. Jumlah koloni dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

33 3.4.3 TVB (AOAC 1995) Sampel fillet ikan sebanyak 15 g digiling dan ditambahkan 45 ml larutan TCA 7 % kemudian dihomogenkan selama 1 menit. Hasil yang didapat disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway ldan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan menggunakan pipet lain, 1 ml filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K 2 CO 3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K 2 CO 3 tidak bercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Di samping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 0 C selama 2 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N. Dengan menggunakan magetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel yang berisi sampel dititrasi dengan menggunakan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB dapat dihitung dengan rumus: Keterangan : i = volume titrasi sampel (ml) j = volume titrasi blanko FP = faktor pengenceran ph (Apriyantono et al 1989) Untuk pengukuran ph dilakukan dengan menggunakan ph meter dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel fillet ikan sebanyak 10 g digiling dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilat. Kemudian ph homogenat diukur dengan ph meter yang sebelumnya dikalibrasi dengan buffer standar ph 4 dan 7.

34 3.4.5 Analisis proksimat 1) Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu o C selama lebih kurang 10 hingga 15 menit. Kemudian cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih kurang 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang. Cawan dan fillet ikan seberat 5 g ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu o C selama kurang lebih jam. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai didapat berat yang konstan. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus: Keterangan: A = Berat cawan dengan fillet ikan (g) B = Berat cawan dengan fillet ikan setelah dikeringkan (g) 2) Kadar abu (AOAC 1995) Metode yang digunakan pada kadar abu sama dengan yang digunakan pada kadar air, perbedaannya hanya pada rumus perhitungannya. Perhitungan kadar abu dapat dihitung dengan rumus: Keterangan: A = Berat cawan dengan fillet ikan (g) B = Berat cawan dengan fillet ikan setelah dikeringkan (g) 3) Kadar protein (AOAC 1995) Tahap yang dilakukan terdiri dari tahap destruksi, destilasi dan titrasi. a) Tahap destruksi Fillet ikan ditimbang sebanyak 0,3 g untuk daging kering sedangkan untuk daging basah 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam

35 tabung Kjeldahl. Satu buah tablet Kjeldahl dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H 2 SO 4. tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening. b) Tahap destilasi Proses destilasi terdiri dari 2 tahap yaitu: Tahap pertama adalah tahap persiapan alat yaitu kran air dibuka dan dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tangki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakan pada tempatnya. Tombol power (pada Kjeldahl sistem) ditekan dan dilanjutkan dengan penekanan tombol stream dan ditunggu beberapa saat sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan kemudian tabung Kjeldahl dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat Kjeldahl sistem. Tahap kedua adalah tahap persiapan sampel yaitu tabung berisi fillet ikan yang sudah didestruksi diletakkan ke dalam Kjeldahl sistem beserta erlenmeyer yang sudah diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 200 ml. c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCL 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink, selanjutnya kadar protein dari fillet ikan dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan: o C 4) Kadar lemak (AOAC 1995) Fillet ikan sampel seberat 3 g (W 1 ) dimasukkan ke dalam kertas saring, dimasukkan ke dalam selongsong lemak, dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W 2 ) dan disambungkan dengan tabung

36 soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sohxlet dan disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzene). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 o C menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam tabung lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan oven pada suhu 105 o C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W 3 ). Kadar lemak pada fillet ikan diketahui menggunakan rumus: Keterangan: W 1 = Berat fillet ikan sampel (g) W 2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W 3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 ulangan, dengan faktor A adalah cara mati dengan dua taraf yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Model rancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Keterangan: Y ij = Respon percobaan karena pengaruh cara mati taraf ke-i, ulangan ke-j µ = Pengaruh umum rata-rata A i = Pengaruh taraf ke-i, perlakuan cara mati = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan ke-i, ulangan ke-j Data TVB, TPC dan ph yang didapat diuji normalitas terlebih dahulu. Data dianalisis secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA) apabila data telah normal. Analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan apabila hasil ANOVA

37 berbeda nyata. Analisa non parametrik yang dilakukan dalam pengujian organoleptik adalah metode uji Kruskall Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2002) yaitu: a) Merangking data dari yang terkecil hingga yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter. b) Menghitung total dan rata-ratanya untuk setiap perlakuan dengan rumus: Keterangan: H = Nilai Uji Kruskall Wallis n = Jumlah total data n i = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i R i = Jumlah rangking dalam contoh ke-i T = Banyaknya pengamatan yang seri H = H yang terkoreksi c) Uji lanjut Multiple Comparison dilakukan apabila uji Kruskall Wallis berbeda nyata dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: R i = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i R j = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j K = Banyaknya ulangan N = Jumlah total data Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah: H 0 = Perlakuan cara mati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fillet ikan lele dumbo.

38 H 1 = Perlakuan cara mati memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fillet ikan lele dumbo Analisis Regresi Sederhana (Simple Regression Analysis) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter kesegaran fillet ikan lele dumbo. Analisis regresi sederhana ini juga dapat digunakan untuk melihat pengaruh antar parameter. Model regresi sederhana dapat dinyatakan sebagai persamaan linier berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002): y i = β 0 + β 1 x i + ε i Persamaan untuk mengestimasi nilai β 0 dan β 1 digunakan metode kuadrat terkecil (least square method) berdasarkan: ŷ i = b 0 + b 1 x i adalah: Bentuk hipotesis untuk menguji koefisien β 0 dan β 1 dengan α = 0,05 H 0 : β 0 = 0 H 1 : β 0 0 H 0 : β 1 = 0 H 1 : β 1 0

39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari fillet ikan lele dumbo meliputi ukuran, berat dan komposisi kimia serta penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo pada penyimpanan suhu chilling Ukuran dan rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Tabel 6. Hasil pengamatan ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6. Ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Parameter Nilai Berat ikan (g) 120,70 ± 1,62 Panjang ikan (mm) 256,85 ± 7,00 Panjang baku ikan (mm) 235,60 ± 6,54 Panjang fillet (mm) 184,25 ± 6,73 Berat fillet (g) 40,01 ± 0,81 Keterangan: nilai diambil dari rata-rata 20 ekor ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ikan lele dumbo memiliki berat fillet sekitar 30 % dari berat ikan. Menurut Liviawaty (2001), Mahyuddin (2008) dan Utama (2008), ikan lele dumbo memiliki rendemen daging sekitar % dari keseluruhan tubuhnya. Hal ini terjadi karena ikan lele dumbo memiliki rendemen kepala dan tulang yang cukup besar yaitu sekitar 27,49 % dan 14,61 %. Rendemen bagian tubuh lele dumbo lainnya dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Diagram pie rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

40 4.1.2 Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi kimia setiap ikan berbeda-beda baik, jenis ikan, antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Selain itu perbedaan komposisi kimia daging juga tergantung dari umur, habitat dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari kadar air %; protein %; lemak 1-10 %; karbohidrat 0,1-1 % dan mineral 1-1,5 % (Okada 1990). Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Senyawa Jumlah (%) Air 79,45 Abu 1,65 Lemak 0,84 Protein 17,80 Karbohidrat (by different) 0,26 Ikan dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan berdasarkan kadar lemak dan proteinnya (Tabel 1). Ikan digolongkan dengan lemak rendah protein sedang apabila memiliki kadar lemak <5 % dan protein % (Stansby 1963). Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan fillet ikan lele dumbo termasuk ke dalam fillet ikan golongan lemak rendah-protein sedang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utama (2008), Rosa et al (2007), Salawu et al (2004), Klemeyer et al (2007) dan Robinson et al (2001) diketahui bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki komposisi kimia yaitu kadar air sebesar %; abu 1-1,5 %; lemak 0,5-5 %; dan protein %. Menurut Robinson et al (2001), daging ikan lele mengandung protein yang sedang, lemak dan kolesterol yang rendah Penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada fillet ikan. Setelah ikan mati dan difillet akan mengalami fase post mortem, hal ini ditandai dengan daging ikan yang melunak (Erikson dan Misimi 2008). Interval

41 waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Grafik waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 78, 222, dan 360. Sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 72, 204, dan 336. Hal ini terjadi karena ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media akan mengalami stres sesaat sebelum mati. Menurut Stein et al (2005) perbedaan waktu fase post mortem pada ikan dikarenakan jumlah kandungan glikogen yang berbeda antara ikan yang mati normal dengan ikan yang mati stres. Fase post mortem akan berlangsung cepat jika ikan mati dalam keadaan lapar dan kandungan glikogen sedikit atau dalam keadaan stres. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air akan lebih cepat mengalami pelunakan daging dibandingkan fillet ikan lele dumbo dimatikan segera. Menurut Peterson (2008) Ikan yang dipreparasi menjadi fillet dalam keadaan stress, akan menghasilkan daging ikan yang kaku dan dapat menghasilkan fillet yang jelek serta mengkerut ketika dipisahkan dari tulang. Pengamatan organoleptik dan gambar fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.

42 Tabel 8. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera Fase Pre-Rigor (jam ke-0 hingga 78) Rigor Mortis (jam ke-78 hingga 222) Postrigor Post Rigor Awal (jam ke-222 hingga 360) Post Rigor Akhir (mulai jam ke- 360) Dimatikan segera Pengamatan Organoleptik Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar, Elastis dan padat. Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis. Cukup elastis dan agak lunak Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah. Bau kurang segar, sedikit bau amoniak Kurang elastis dan lunak Daging putih kehijauan, garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah. Bau busuk Tidak elastis, sangat lunak Gambar

43 Tabel 9. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Fase Pre-Rigor (jam ke-0 hingga 72) Rigor Mortis (jam ke-72 hingga 204) Postrigor Post Rigor Awal (jam ke-204 hingga 336) Post Rigor Akhir (mulai jam ke- 336) Dimatikan segera Pengamatan Organoleptik Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar Elastis dan padat. Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis. Cukup elastis dan agak lunak Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah. Bau kurang segar, sedikit bau amoniak Kurang elastis dan lunak Daging putih kehijauan, garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah. Bau busuk Tidak elastis, sangat lunak Gambar

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI Oleh: Rahadian Hardja Utama C34103042 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokiomia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2009 sampai Bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat dan penurunan mutu produk kopi instan formula a. Kadar air (AOAC, 1995) Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip dari metode

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Bahan dan Alat

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Bahan dan Alat 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) Oleh : Dwi Sartika C34104025 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Oleh: Dhias Wicaksono C34104028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu. 3.2 Bahan dan Alat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan dan

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu. 3.2 Bahan dan Alat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan dan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan dan Laboratorium Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Jurusan THP Fak. Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Penanganan dan Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu dilakukan pada bulan Agustus 2009 Januari 2010 yang

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp Oleh : M.Teddy.S C34101062 Skripsi PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Bahan dan Alat. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang bulu

III. METODOLOGI Bahan dan Alat. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang bulu III. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang bulu (Anadara inequivalvis) segar yang diperoleh dari Pasar Sukaramai Pekanbaru. Sebagai bahan pembantu

Lebih terperinci

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT) ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT) Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan untuk pembuatan produk, menguji total bakteri asam

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Penentuan Formulasi Bubur Instan Berbasis Tepung Komposit : Tepung Bonggol Pisang Batu dan Tepung Kedelai Hitam Tujuan: - Mengetahui

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp)

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) Anna C.Erungan 1, Winarti Zahiruddin 1 dan Diaseniari 2 Abstrak Ikan cucut merupakan ikan yang potensi produksinya cukup

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental. Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rempah basah (bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, dan jahe) serta rempah kering (kemiri, merica,

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor, faktor pertama terdiri dari 3 perlakuan, sedangkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yaitu dari bulan Oktober 2011 sampai Mei 2012. Lokasi penelitian di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Terpadu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu (uji kimia dan mikrobiologi) dan di bagian Teknologi Hasil Ternak (uji organoleptik), Departemen Ilmu Produksi dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 14 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Pengolahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013. Pelaksanaan proses pengeringan dilakukan di Desa Titidu, Kecamatan Kwandang, Kabupaten

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan di Laboratorium Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C34103001 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 19 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010, bertempat di Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Mikrobiologi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai pengambilan sampel di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dan dianalisis

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang untuk pengujian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 12 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu pada Bulan April sampai Juli 2014. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Che-Mix Pratama,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG M.

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG M. PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG M. AZWAR HARIS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari 2017

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari 2017 19 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari 2017 untuk pengujian TPC di Laboratorium Mikrobiologi PPOMN (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional), Badan

Lebih terperinci

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Lampiran 1. Lembar Uji Hedonik Nama : Usia : Pekerjaan : Pengujian organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa dan kekentalan yoghurt dengan metoda uji kesukaan/hedonik. Skala hedonik yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

PENGOLAHAN PASTA LAOR (Eunice viridis) DENGAN BERBAGAI KONSENTRASI GARAM

PENGOLAHAN PASTA LAOR (Eunice viridis) DENGAN BERBAGAI KONSENTRASI GARAM PENGOLAHAN PASTA LAOR (Eunice viridis) DENGAN BERBAGAI KONSENTRASI GARAM Komariah Tampubolon 1), Djoko Purnomo 1), Masbantar Sangadji ) Abstrak Di wilayah Maluku, cacing laut atau laor (Eunice viridis)

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 32 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015 di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dantempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sidomakmur Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian pengaruh konsentrasi larutan tawas terhadap protein terlarut dan kandungan asam amino pada ikan tongkol adalah melalui eksperimen di bidang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian uji organoleptik dilaksanakan di kampus Universitas Negeri Gorontalo,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian uji organoleptik dilaksanakan di kampus Universitas Negeri Gorontalo, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini diaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012. Penelitian uji organoleptik dilaksanakan di kampus Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci