INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA"

Transkripsi

1 INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA MUHAMMAD AZRAI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan Judul Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Bogor, 18 Januari 2007 Muhammad Azrai NPM. A ii

3 ABSTRAK MUHAMMAD AZRAI. Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, dan JAJAH KOSWARA. Jagung bermutu protein tinggi (QPM= Quality Protein Maize) merupakan salah satu sumber protein nabati yang diperlukan oleh manusia dan ternak monogastric karena mengandung gen mutan opaque-2 yang mengekspresikan peningkatan lisin dan triptofan pada endosperma menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Kendala pengembangan QPM di Indonesia adalah semua koleksi QPM yang ada rentan penyakit bulai. Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection) untuk mengintrogresikan gen mutan opaque-2 ke galur elit resisten terhadap Peronosclerospora maydis dapat mempercepat pembentukan populasi atau hibrida QPM komersial yang resisten terhadap penyakit tersebut. Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan kandidat varietas jagung hibrida QPM, resisten terhadap penyaki bulai dan hasil tinggi. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat bagian percobaan. Penelitian pertama: Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis. Dibuat masing-masing 7 macam populasi (P 1, P 2, F 1, F 2, BC 1 P 1, BC 1 P 2 dan F 3 ) dari set persilangan CML161 x MR10 dan CML161 x Nei9008 kemudian diinokulasi dengan konidia P. maydis secara semi buatan, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketahanan penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat kuantitatif dan tingkat ketahanannya secara nyata diperankan oleh aksi gen-gen aditif, dominan dengan pengaruh interaksi epistasis komplementer pada set persilangan MR10 x CML161 dan interaksi epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161. Penelitian kedua: Introgresi gen resesif mutan o2 ke galur jagung resisten penyakit bulai dengan pendekatan MAS-1. Galur CML 161 (tetua donor gen o2), Nei9008 dan MR10 (tetua resisten penyakit bulai), progeninya (BC 1 F 1, BC 2 F 1, BC 3 F 1, BC 3 F 2, ) disaring di laboratorium, menggunakan marka SSR umc1066 dan phi057 dengan metode MAS 1 (Parsial). Galur yang tersaring dengan MAS, dievaluasi penampilannya dengan rancangan perbesaran. Diperoleh 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 dan beberapa diantaranya memiliki potensi hasil lebih tinggi dari galur asalnya. Penelitian ketiga: Seleksi dan uji daya gabung galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk ketahanan penyakit bulai. Terseleksi 8 Nei9008+o2 sebagai lini dan 8 MR10+o2 sebagai tester yang resisten P. maydis dengan kandungan lisin dan triptofan meningkat hingga lebih dua kali lipat dari tetua silang baliknya. Kemudian dibentuk 64 hibrida silang tunggal dengan metode lini x tester. Lini Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71 dan tester MR10+o2-30 merupakan penggabung umum yang baik terhadap ketahanan P. maydis dan 7 kombinasi persilangan mempunyai DGK nyata. Penelitian keempat: Evaluasi daya gabung galur dan potensi karakter hasil QPM. Genotip uji terdiri atas delpan lini, delapan tester, hibrida hasil persilangan lini x tester dan 4 varietas cek, ditata dengan RAK, masing-masing dua ulangan di Lahan Sawah, Lapeccang (Bone) dan Lahan Kering Bajeng (Gowa). Interaksi genotip x lokasi nyata untuk karakter bobot tongkol panen dan hasil. Galur Nei9008+o2-09 dan MR10+o2-31 merupakan penggabung yang baik untuk karakter hasil dan hibridanya memberikan hasil biji tertinggi dan berbeda nyata dengan semua pembanding. Diperoleh 8 pasang persilangan dengan nilai daya gabung khusus nyata untuk karakter hasil. Pada akhir percobaan, teridentifikasi 3 hibrida QPM dengan sifat daya hasil tinggi, dan resisten terhadap P. maydis, yaitu Nei9008+o2-27//MR10+o2-13 (rerata hasil 8.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%), Nei9008+o2-09// MR10+o2-26 (rerata hasil 7.7 t/ha dan infeksi bulai 14.4%) dan Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%). Sedangkan varietas pembanding: hibrida C7 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 48.7%), hibrida Bima 1 (rerata hasil 6.3 t/ha dan infeksi bulai 45%), hibrida Bima 1q iii

4 (rerata hasil 4.9 t/ha dan infeksi bulai 64.4%) dan komposit Srikandi Kuning-1 (rerata hasil 5.3 t/ha dan infeksi bulai 100%). Kata kunci: jagung, gen opaque-2, ketahanan penyakit bulai, analisis genetik, daya gabung iv

5 ABSTRACT MUHAMMAD AZRAI. Integression of opaque-2 Gene into Downy Mildew Resistance Lines, Utilizing Marker Assisted Selection (MAS) in Developing Hybrid Maize. Under advisory of HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, and JAJAH KOSWARA. Quality protein maize (QPM) is one of the sources of plant protein that is necessary for human and monogastric livestock because the QPM contains opaque-2 mutant gene that expresses increased lysine and tryptophan in maize endosperm as compared to normal maize. One problem of QPM development in Indonesia is that all QPM collections were susceptible to downy mildews (DM). Application of marker-assisted selection (MAS) for introgression of the opaque-2 mutant to downy mildew resistance (DMR) elite lines faster developing of commercial QPM population or hybrids carrying DMR gene. The goals of this research were to generate QPM hybrid varieties having downy mildew resistance and high yield. The study consisted of four experiments. First: Estimate of genetic variance and genetic models to downy mildew resistance in maize. Each seven kinds of populations (P 1, P 2, F 1, F 2, BC 1 P 1, BC 1 P 2, and F 3 ) from crosses CML161 x MR10 and CML161 x Nei9008 was developed then evaluated for DMR under artificial screening nursery using randomize bock design (RBD). The results of the experiment showed that DMR was controlled by quantitative genes and the level of its resistance was significantly played by gene action of additive and dominant. Complementary epitasis interaction and duplicate epitasis interaction observed for the cross of MR10 x CML161 and Nei9008 x CML161. Second: Introgression of o2 recessive mutant gene to downy mildew resistance maize lines with MAS-1 approach. Lines CML161, Nei9008 and 36 MR10, its progenies (BC 1 F 1, BC 2 F 1, BC 3 F 1, BC 3 F 2 ) were screened in the laboratory using specific markers umc1066 and phi057 with Partial MAS 1 method. The selected lines were evaluated for its performance using augmented design. There were 42 of Nei9008+o2 and 36 MR10+o2 lines and some lines showed higher yield potential compared to their original lines. Third: Selection and combining ability of lines containing homozygote recessive opaque2 gene for downy mildew resistance. Eight Nei9008+o2 lines, and eight MR10+o2 testers to DMR character having twice lysine and of tryptophan content compared to their backcross parental lines were screened. The lines were recombined to develop 64 single cross hybrids. Lines Nei9008+o2-11 and Nei9008+o2-71, and tester of MR10+o2-30 were identified have significant for general combining abilities and seven-cross combinations showed significance for specific combining abilities. Fourth: Evaluation of combining ability, yield potentials, yield components, and agronomy characters of lines and testers containing opaque-2 recessive homozygous gene. Genotype test consisted of eight lines, eight testers, hybrid crosses of lines x testers and four check varieties. The experiment was arranged in randomized block design, with two replications under lowland farm, Lapeccang (Bone) and upland farm, Bajeng (Gowa). Results showed that genotype x locations were significant for ears weight and yield characters. Line Nei9008+o2-09 and tester MR10+o2-31 were good combiner for yield and their hybrid gave highest yield and significantly different from all checks. Eight new hybrids of good and significant specific combining abilities for yield were selected. At the end, we identified three new QPM hybrids, having high yield potential, and resistant to downy mildew. The new QPM hybrids are Nei9008+o2-27//MR10+o2-13 (mean yield is 8.4 t/ha and DM infections is 2.2%), (Nei9008+o2-09// MR10+o2-26, (mean yield is 7.7 t/ha, and DM infections is 14.4%) and Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (mean yield is 7.4 t/ha and DM infections is 2.2%). The check varieties were three hybrid varieties and one open pollinated variety, with following performances: hybrid C7 (yield mean is 7.4 t/ha and DM infections is 48.7%), hybid Bima t/ha and 45%), hybrid Bima 1q (4.9 t/ha and 64.4%), and Srikandi Kuning-1 (5.3 t/ha and 100%), respectively. Key words: maize, opaque-2 gene, downy mildew resistance, genetic analysis, combining ability. v

6 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Peranian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi, microfilm dan sebagainya. vi

7 INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA OLEH : MUHAMMAD AZRAI Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 vii

8 Judul Penelitian Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida : Muhammad Azrai : A : Agronomi Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Anggota Dr. Memen Surahman, M.Sc. Anggota Mengetahui 2. Ketua Program Studi Agronomi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 25 Januari 2007 Tanggal Lulus: viii

9 PRAKATA Segala puja, puji dan syukur bagi Allah S.W.T., atas segala limpahan berkah, rahmat, hidayah dan inayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi berjudul Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M. Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Jajah Koswara dan Dr. Memen Surahman, M. Sc., sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran dan motivasi yang diberikan sejak penulis mengikuti pendidikan, penelitian dan penulisan hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr. Bonny P. Wahyu Soekarno, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof Dr. Alex Hartana dan Dr. Firdaus Kasim, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbang Tanaman Pangan, Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia dan Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, juga disampaikan ucapan terima kasih atas izin belajar dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis juga ditujukan kepada Dr. Maria Luz Geoge selaku Kordinator Proyek AMBIONET, Dr. Kevin V. Pixley selaku Direktur Program Ekosistem Tropis CIMMYT, Dr. Firdaus Kasim, Dr. Sutrisno, dan Dr. Marsum Dahlan (Almarhum) sebagai pemimpin AMBIONET Indonesia, yang telah membantu pengadaan bahan kimia dan peralatan di Laboratorium dan mendorong penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan doktor di IPB. Penulis sangat menyadari bahwa keberhasilan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari rekan-rekan peneliti dan teknisi di Lab Biologi Molekuler dan KP. Cikeumeuh Balai Besar Litbang Biogen serta di Balai Penelitian Tanaman Serealia. Untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka, terutama kepada Reflinur, M.Si, Marcia B. Pabendon. MP., Joko Prasetyono, M.Si., Tri Joko, M.Si, Andi Takdir Makkulawu, MP, Amin Nur, SP., Sri Sunarti, SP., Hasnah, SP., Ahmad Dadang, SP., Ma suma, M. Toha, dan Arifuddin. Kepada Pimpinan dan Dosen SPs IPB, penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas segala bimbingan dan pembinaannya selama ini, terutama kepada Ibu Ketua Program Studi Agronomi dan staf yang telah membantu penulis selama mengikuti studi di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama penulis mengikuti studi di SPs IPB. Rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan tiada henti penulis sampaikan kepada Ibunda Nurkaya, A.Md dan Ayahanda Mahmud (Almarhum), serta mertua penulis Drs. H. Nurdin dan Dra. Hj. Barlian atas doa restu, dorongan dan motivasinya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk istriku tercinta Asni, S. Ag., M.Hi. dan anandaku tersayang Muhammad Rais Kamil atas segala doa, dorongan, kesabaran serta keikhlasannnya sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Kepada adik-adikku serta keluarga dan sahabat-sahabatku yang banyak memberikan bantuan dan dukungannya, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pemuliaan tanaman di Indonesia. Bogor, Januari 2007 Penulis ix

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Walenreng, Kabupaten Bone, Sul-Sel, pada tanggal 20 Janjuari 1972 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Mahmud (Almarhum) dan Ibu Nurkaya. Penulis telah menikah dengan Asni, S. Ag., M.Hi, pada tanggal 22 Desember 2003 dan di Karunia seorang putra yaitu Muhammad Rais Kamil yang lahir pada tanggal 8 Oktober Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun Pada tahun 2000, penulis mendapat beasiswa dari Badan Litbang, Departemen Pertanian untuk melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran pada Program Studi Ilmu Tanaman dengan Minat Utama Pemuliaan Tanaman, dan lulus pada tahun Pada tahun 2004, penulis mendapat izin belajar dari Kepala Badan Litbang Pertanian untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai staf peneliti bidang pemuliaan tanaman dan plasmanutfah di Balai Penelitian Tanaman Serealia sejak tahun 1999 sampai sekarang. Tiga varietas jagung bersari bebas yang telah dirilis yaitu Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1 dan Anoman-1, dimana penulis menjadi salah seorang anggota Tim Pemulianya, dan menjadi Pemulia Utama pada perilisan jagung hibrida NT 10 dan N35. Selain itu, juga menjadi pemulia utama pada dua calon varietas jagung hibrida baru yang sedang dalam proses perilisan di Departemen Pertanian. Selama mengikuti program S3, penulis sempat mengikuti magang selama tiga minggu di Lab Service AMBIONET, IRRI, Los Banos, Filipina pada bulan Februari Selain itu, juga mendapat kesempatan mengikuti workshop Greater impact through participatory approaches to variety development and delivery. dan the 9 th Asian regional maize workshop (ARMW) pada bulan Oktober 2005 di Beijing. x

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTRA GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM)... 4 Marka SSR... 6 Konversi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR... 7 Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai Daya Gabung dan Metode Lini x Tester Heterosis Heritabilitas Interaksi Genotip x Lingkungan, Heritabilias dan Potensi Tanaman Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten terhadap Penyakit Bulai PENDUGAAN RAGAM DAN MODEL GENETIK KARAKTER KETAHAN TERHADAP PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG 21 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan... 33

12 INTROGRESIKAN GEN RESESIF MUTAN o2 KE GALUR JAGUNG RESISITEN TERHADAP PENYAKIT BULAI DENGAN PENDEKATAN MAS 35 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan SELEKSI DAN UJI DAYA GABUNG GALUR-GALUR HASIL INTROGRESI GEN RESESIF MUTAN o2 UNTUK KARAKTER KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BULAI 50 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan EVALUASI DAYA GABUNG DAN POTENSI KARAKTER HASIL, KOMPNEN HASIL DAN AGRONOMIS GALUR-GALUR HASIL INTROGERSI GEN MUTAN O2 66 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM. 94 KESIMPULAN DAN SARAN. 102 DAFTAR PUSTAKA. 104 xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada pasangan persilangan galur jagung Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F 3 pasangan persilangan galur jagung Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P.maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung Uji χ 2 dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada uji χ 2 untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua pasangan persilangan galur jagung Parameter genetik untuk karakter ketahanan dua pasangan persilangan galur jagung terhadap P. maydis Komposisi larutan bufer isolasi DNA jagung 39 9 Komposisi reaksi PCR untuk mikrosatelit Nilai Chi-kuadrat rata-rata untuk derajat kecocokan nisbah segregasi silang balik dan silang dalam terhadap beberapa nisbah hipotetik Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Nei9008 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Mr10 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK Analisis ragam dengan menggunakan model lini x tester dengan model random Persentase penularan patogen penyakit bulai dan mutu protein galur-galur hasil introgresi yang terseleksi sebagai kandidat tetua persilangan metode lini x tester

14 15 Nilai varians karakter ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan model random Efek daya gabung umum karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester Efek daya gabung khusus karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester Fenomena heterosis karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model random Analisis ragam gabungan di dua lokasi pengujian menggunakan model random Analisis ragam untuk daya gabung beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK Efek daya gabung umum gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK Efek daya gabung khusus gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK Parameter genetik karakter agronomis, komponen hasil dan hasil menggunakan metode lini x tester Hasil biji (k.a 15%) genotip uji dan cek pada dua lokasi pengujian, MK Karakter agronomis genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK Karákter komponen hasil genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK Skor penampilan tanaman, klobot dan tongkol genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK xiv

15 DAFTAR GAMBAR 1 Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a), serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b). Halaman 2 Teknik marka SSR untuk seleksi gen opaque-2 pada jagung Konidium cendawan P. maydis dan P. Philippinensis Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada pada jagung di KP Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B)... 5 Alur kegiatan penelitian Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F 3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei Profil DNA jagung pada agarose 0.80% yang diekstraksi dengan metode CITAB... 8 Profil DNA tanaman yang telah diencerkan pada agarose 0.75% dengan kuantitas 10 ng/ l... 9 Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC 2 F 1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC 2 F 1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid gel Agarose dengan menggunakan primer SSR spesifik umc Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC 3 F 1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC 3 F 1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid gel Agarose dengan menggunakan primer SSR spesifik umc Penampilan tongkol galur jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F Penamnpilan biji jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3 di atas cahaya lampu Skema persilangan galur-galur jagung grup B x A mengikuti model persilangan design II (factorial design) Bentuk penutupan kelobot dan nilai skor Histogram sebaran frekuensi hasil biji kering (k.a 15%) 64 hibrida hasil introgresi gen o2 di Bone dan Bajeng, MK xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan menggunakan dua ulangan Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan rancangan perbesaran, tanpa ulangan Tata letak percobaan pengujian daya gabung, efek heteosis, dan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi Persentase infeksi galur-galur Nei9008-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH Persentase infeksi galur-galur Mr10-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH Nilai tengah varians gabungan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi, MK Karakteristik fisik dan kimia tanah lokaksi evaluasi daya gabung dan potensi hasil di Lahan kering KP. Bajeng dan Lahan Sawah Lapeccang, Bone. MK Kandungan lisin, tiptofan dan protein kasar pada galur-galur hasil introgresi gen opaque di Laboratorium CIMMYT, Mexico, Diskripsi galur resisten terhadap penyakit bulai dan galur QPM xvi

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Riset pengembangan jagung dunia akhir-akhir ini selain diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, juga diarahkan untuk peningkatan nilai nutrisinya seperti kandungan mutu protein dan minyak. Menurut Untoro (2002), penduduk Indonesia yang menderita kekurangan gizi protein sekitar 100 juta jiwa. Akibat gizi buruk tersebut, dampaknya sudah mulai terasa yaitu munculnya penyakit busung lapar yang menimpa anak-anak pada beberapa daerah di Indonesia. Kenyataan tersebut merupakan suatu indikator bahwa peningkatan mutu protein pada bahan pangan sangat diperlukan. Salah satu bahan pangan sebagai sumber protein adalah jagung dengan kandungan protein berkisar 8% - 11% (Vasal, 2001). Namun demikian, jagung normal tersebut masih kekurangan dua asam amino esensial yaitu lisin dan triptofan dengan kandungan masingmasing hanya 0,225% dan 0,05% (Cordova, 2001). Jika jagung tersebut digunakan sebagai pangan, maka manusia yang mengkonsumsinya juga akan kekurangan asam amino lisin dan triptofan. Selain manusia, kedua asam amino tersebut juga sangat dibutuhkan oleh ternak, terutama oleh ternak monogastric seperti unggas dan babi yang tidak dapat menghasilkan lisin dan triptofannya sendiri sehingga harus disuplai dari bahan makanannya untuk produksi protein hewani. Gen mutan Opaque-2 yang mampu meningkatkan kadar lisin dan triptofan pada endosperma jagung telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produk riset yang disebut Quality Protein Maize (QPM). Produk riset tersebut mampu mengatasi kelemahan kualitas protein jagung biasa (Directorat of Maize Research, 2001; Prasanna et al., 2001). Namun demikian, awalnya QPM tidak diminati karena pengaruh pleiotrofik sifat fisik endospermnya yang lunak, rentan hama gudang dan busuk tongkol, hasil rendah, dan biji lama mengering. Peneliti jagung dan terigu internasional (CIMMYT = Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz y Trigo) telah berhasil menggabungkan gen mutan o2 dengan o-2 endosperm modifier gene (Vasal et al., 1980). Melalui program seleksi berulang (recurrent selection) dengan beberapa siklus seleksi, kemudian dihasilkan QPM dengan endosperma lebih keras (Bjarnason and Vasal, 1992). Selain kandungan triptofan dan lisin QPM meningkat berturut-turut menjadi 0,11% dan 0,475%, sebagian genotip juga meningkat kandungan proteinnya dari 8% - 11% menjadi 11,0% - 13,5% dengan sifat yang hampir sama dan bahkan ada beberapa QPM yang mampu

18 memberikan produktivitas hasil lebih tinggi daripada jagung biasa (Cordova, 2001). Selanjutnya, pengujian dan penanaman QPM jenis sintetik dan hibrida secara komersial meluas di negara-negara seperti Brazil, Coloumbia, India, USA, Afrika Selatan, dan Hungaria (Bjarnason dan Vasal, 1992). Oleh karena karakter QPM dikendalikan oleh gen homosigot resesif Opaque2 (o2) (AMBIONET, 2002), maka dengan metode pemuliaan secara konvensional untuk menyeleksi galur-galur potensial unggul QPM tidak dapat dilakukan dalam kondisi heterosigot, sehingga memerlukan penyerbukan sendiri pada setiap generasi silang balik karena ekspresi alel o2 tertutupi oleh alel O2 yang merupakan protein pengatur (regulatory protein) dengan motif leucine zipper (Schmidt et al., 1990). Selain itu, dengan pemuliaan konvensional murni, kegiatan persilangan butuh waktu yang lebih lama dan jumlah materi persilangan yang lebih besar karena diperlukan tambahan generasi penyerbukan sendiri pada setiap hasil silang balik untuk mendeteksi secara fenotipik individu tanaman pembawa opaque-2 homosigot resesif. Untuk itu, diperlukan terobosanterobosan baru untuk mengatasi masalah yang muncul pada pemuliaan konvensional dan salah satu diantaranya adalah pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection). Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti bidang molekuler tanaman jagung telah berhasil mengindentifikasi tiga marka SSR (Simple Sequence Repeat) pada kromosom 7, bin 7.01 yang didesain dari daerah sequen gen Opaque-2 itu sendiri. Marka SSR tersebut adalah phi057 dan phi112 yang dikembangkan oleh Pioneer Hibrid serta umc1066 yang dikembangkan oleh Proyek Jagung Universitas Missouri-Columbia, dengan amplifikasi produk sekitar bp (Chin et al., 1996). Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya materi genetik asal introduksi tidak resisten terhadap penyakit bulai. Hasil penelitian di Kebun Percobaan Cikemeuh-Bogor, Natar-Lampung, dan Maros-Sulawesi Selatan dari bulan November 2003 sampai Juli 2004 menunjukkan bahwa dari beberapa genotip QPM introduksi asal CIMMYT yang diuji, semuanya rentan terhadap penyakit bulai (Azrai dan Kasim, 2005a). Penyakit bulai di Indonesia umumnya disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100 persen atau puso seperti yang pernah terjadi di Lampung pada tahun 1996 (Subandi et al., 1996). Upaya pencegahan penyakit bulai biasanya dilakukan melalui perlakuan benih dengan menggunakan fungisida berbahan aktif metalaksil. Namun demikian, penggunaan fungisida ini tidak efektif pada kultivar yang rentan dan di lingkungan pertanaman dimana terdapat penularan bulai yang cukup tinggi. Selain itu, penggunaan fungisida 2

19 tersebut dapat menimbulkan dampak negatif karena residunya dapat mencemari lingkungan dan merupakan salah satu penyebab mahalnya harga benih jika diaplikasikan pada benih jagung komersial sebelum dipasarkan, terutama benih hibrida di tingkat petani (Azrai, 2002). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian pemanfaatan marka SSR sebagai alat bantu seleksi untuk mengintrogresikan gen mutan resesif opaque- 2 pada galur-galur jagung yang sudah mengalami seleksi dan teridentifikasi resisten terhadap penyakit bulai di beberapa daerah endomik penyakit bulai Indonesia (Kasim et al., 2002). Galur-galur hasil introgresi yang akan diperoleh masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk karakter ketahanannya terhadap penyakit bulai dan potensinya untuk karakter komponen hasil dan hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya. Beberapa parameter genetik yang terkait dengan pengujian tersebut adalah daya gabung, fenomena heterosis, heritabilitas keragaan hasil dan komponen hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya. Daya gabung yang baik dapat mendukung perolehan nilai heterosis yang tinggi. Untuk memperoleh informasi awal potensi galurgalur hasil introgresi perlu dilakukan pengujian penampilan dan daya adaptasi hibridanya pada tipologi lahan yang berbeda. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi model genetik dan pewarisan karakter ketahanan tanaman jagung terhadap P. maydis pada progeni CML161 x MR10 dan CML161 x Nei Mengintrogresikan gen mutan o2 dari galur CML161 ke galur MR10 dan Nei9008 yang resisten terhadap P. maydis. 3. Menyeleksi galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai sebagai calon tetua hibrida dan mengetahui efek daya gabung dan heterosisnya. 4. Mendapatkan informasi daya gabung galur dan potensi karakter hasil, komponen hasil dan penampilan agronomis penting hibrida silang tunggal dari galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 dan terseleksi resisten terhadap P. maydis. 5. Mendapatkan satu atau lebih calon hibrida silang tunggal yang mempunyai potensi hasil dan mutu protein tinggi serta resisten terhadap P. maydis. TINJAUAN PUSTAKA 3

20 Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM) Jagung merupakan tanaman multiguna, karena hampir seluruh bagian tanaman tersebut bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh ternak dan manusia pada berbagai stadia tumbuh. Sebagai bahan pangan dan pakan, jagung adalah sumber energi dan protein penting. Kandungan protein jagung biasanya sekitar 8%-11%, namun kandungan lisin dan triptofannya masing-masing hanya sekitar % dan 0.05% sehingga masih kurang dari separuh yang disarankan oleh Food and Agriculture Organization (FAO, 1992). Upaya peningkatan kadar protein pada biji jagung sudah lama dilakukan. Publikasi klasik tentang QPM pertama kali dilakukan oleh Dudley et al. (1974) yang melaporkan keberhasilan peningkatan kadar protein jagung dari 10,9% (populasi asal) menjadi 26,6% pada galur jagung Ilinois High Protein.Selain itu, juga dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kenaikan kadar protein dengan hasil. Komposisi biji jagung yang matang secara fisiologis terdiri atas perikarp (6%), endosperma (82%), dan lembaga (12%). Pada lembaga, kadar dan mutu proteinnya tinggi tetapi pada endosperma mutu proteinnya rendah. Berdasarkan kelarutannya, protein pada endosperma biji jagung terdiri atas fraksi-fraksi albumin-larut dalam air, globulin-larut dalam larutan garam, prolamin atau zein-larut dalam alkohol, dan glutelin-larut dalam asam atau basa (Bjarnason and Vasal, 1992). Proporsi fraksi zein pada endosperma cukup tinggi yakni sekitar 60%, tetapi tidak terdapat lisin dan triptofan, sedangkan pada ketiga fraksi lainnya, komposisi asam amino cukup seimbang. Hal ini menjadi penyebab sehingga mutu protein pada jagung biasa rendah (Vasal, 2000; Vasal, 2001). Untuk itu, pemuliaan jagung bermutu protein tinggi perlu diarahkan pada perbaikan genetik endospermanya. Awal dari perbaikan genetik terhadap mutu protein dipicu oleh penemuan gen-gen opaque dan floury yang dilaporkan dapat mengubah kandungan lisin dan triptofan pada endosperma biji (Zuber, et al., 1975). Dari sejumlah gen yang telah berhasil diidentifikasi, hanya gen opaque-2 (o2) dan floury2 (fl2) yang sering dimanfaatkan dalam memperbaiki sifat endosperma jagung (Mertz et al., 1964; Nelson et al., 1965). Pada awalnya, CIMMYT menggunakan kedua gen tersebut, namun dalam perkembangan berikutnya lebih memfokuskan kepada pemanfaatan gen o2 (Vasal, 2000). Pemanfaatan gen o2 dan fl2 dalam kegiatan pemuliaan jagung mulai intensif pada dekade 1970-an. Untuk mentransfer kedua gen tersebut ke bahan genetik target, biasanya 4

21 digunakan metode seleksi silang balik. Biji yang mengandung gen o2 dan fl2 memperlihatkan sifat lunak berkapur (soft chalky), namun fenotip yang lunak dan berkapur inilah yang merupakan penanda atau marka morfologis yang efektif dalam seleksi gen o2 pada populasi yang bersegregasi (Vasal, 2001). Oleh karena sifatnya yang resesif, maka pada setiap tahap silang balik masih diperlukan satu generasi silang dalam untuk identifikasi individu tanaman yang mengandung gen homosigot resesif opaque2. Walaupun fenotip biji yang lunak dan berkapur merupakan marka morfologis yang efektif, namun sifat tersebut merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh QPM saat itu (Bjarnason dan Vasal, 1992). Hal ini terkait dengan pengaruh pleiotropi sehingga kelemahan tersebut juga terekspresi pada biji sehingga hasilnya rendah, rentan terhadap hama gudang dan penyakit busuk tongkol. Kelemahan lainnya adalah biji jagung opaque tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengeringkannya setelah masak fisiologis. Penampilan biji yang lunak, dan kusam tidak disukai oleh petani jagung yang sudah biasa dengan tipe endosperma keras dan jernih (Kasim, 2004). Dengan munculnya karakter yang tidak dikehendaki dari mutan fl2, penggunaan materi genetik QPM saat itu semakin berkurang. Untuk itu, selama satu dekade penelitian, CIMMYT menitikberatkan program konversi QPM ke jagung normal, baik jenis varietas sintetik maupun inbrida elit untuk menjadi genotip QPM. Upaya pemuliaan QPM berendosperma keras dimulai dengan mencari sumber gen baru. Walaupun teridentifikasi mutan-mutan lain, seperti o6 dan fl3 akan tetapi mutan tersebut belum bisa mengungguli gen o2 dalam meningkatkan mutu protein. Gen o2 dan fl2 secara tunggal hanya akan menghasilkan fenotip dengan endosperma lunak. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, para peneliti mencoba menggabungkan dua gen (o2 dan fl2 atau o2 dan su2) dan penggunaan secara serempak gen o2 dengan gen modifier o2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen modifier o2 yang pertama sekali dilaporkan oleh Paez et al. (1969) cukup efektif untuk mengubah kekerasan edosperma biji setelah digabungkan dengan gen o2. Bahan genetik hasil perbaikan tersebut juga memperlihatkan proporsi berbeda antara fenotip yang opaque (buram) dan yang transluscent (jernih). Hal yang lebih penting dari semua itu, penggabungan gen o2 dengan modifier o2 telah terbukti dapat mengubah fenotipe biji dengan tetap mempertahankan mutu biji protein (Bjarnason dan Vasal, 1992). Untuk mendapatkan genotip dengan warna biji yang lebih jernih, maka kriteria seleksi perla diperketat, yaitu hanya memilih biji-biji terbaik dari tongkol terpilih yang digunakan pada generasi-generasi seleksi selanjutnya dan membuang sifat biji yang 5

22 tampilannya kabur dan kurang menarik serta tongkol-tongkol dengan biji renggang (Gambar 1). Jika program pemuliaan dilakukan secara konvensional murni, biji QPM yang jernih dengan biji jagung normal sulit dibedakan sehingga mutu protein, terutama kandungan lisin dan triptofan endosperma biji harus selalu dimonitor di laboratorium (Vasal, 2000; Vasal, 2001). Gambar 1. Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a) serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b). (Gambar dikutip dari Prasanna et al. (2001)) Marka SSR Marka SSR (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan berulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan menyelimuti seluruh genom, terutama pada inti genom eukariotik. Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamada et al., 1982; Powell et al., 1996). Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et al., 1996). Marka SSR juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga penggunaan marka SSR lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotipgenotip yang berbeda (Senior et al., 1998). Keunggulan lain adalah selain produk PCR dari SSR dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat dielektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid terutama pada alel suatu karakter memiliki tingkat 6

23 polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan. Dengan demikian, gel akrilamid mampu mendeteksi lebih lebih banyak alel per lokus daripada gel agarose (Macaulay et al., 2001). Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotip, evaluasi kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman jagung, padi, anggur, kedelai, jawawut, gandum, dan tomat (Gupta et al., 1996; Powel et al., 1996). Dalam program MAS, marka SSR juga merupakan salah satu marka DNA yang cukup menarik untuk digunakan. Hal ini disebabkan karena pengenalan awal dari marka SSR sifatnya kodominan sehingga meskipun genotip dalam kondisi heterosigot, marka tersebut tetap dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan alel resesif. Selain itu, marka SSR sangat informatif dan mudah dideteksi karena dapat membedakan polimorfisme antara dua karakter yang jarak genetiknya lebih dekat, sedangkan marka lain tidak dapat mendeteksinya. Oleh karena itu, marka SSR sangat baik digunakan untuk menganalisis genetik yang sederhana pada tanaman jagung (Taramino dan Tingey, 1996). Konversi dan Selaksi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR Gen mutan opaque2 (o2) pada jagung yang pertama ditemukan oleh Singleton dan Jones pada tahun 1935 (Soave et al, 1981), dengan fenotipe endosperma yang buram dan lembut telah digunakan sebagai penanda morfologi. Dalam analisis protein pada endosperma mutan pada jagung tersebut yang dilakukan oleh Mertz et al (1964) terdeteksi kandungan lisin 69% lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Sejak itu, mutan o2 telah digunakan sebagai sumber genetik untuk memperbaiki kualitas protein jagung (Vasal et al, 1980; Gevers dan Lake, 1992; Magnavaca, 1992; Bockholt dan Rooney, 1992; Shi et al., 2001). Gen o2 telah diklon dengan beberapa metode sejak 1987 (Schmidt et al., 1987; Motto et al., 1988; Thomson dan Salmini, 1988; Hartings et al., 1989; Schmidt et al., 1990). Metode tersebut telah ditetapkan sebagai dasar untuk studi genetik, ragam, evolusi, 7

24 dan aplikasi studi-studi tersebut yang terkait dengan alel resesif mutan o2. Sebagai contoh, Bernard et al. (1994) melaporkan karakterisasi beberapa alel-alel mutan o2 pada DNA, RNA, dan level protein yang menghasilkan spektrum mutan o2 yang luas dengan ukuran yang bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, diusulkan tata nama gen o2 sesuai dengan perbedaan panjangnya potongan fragmen hasil situs enzim restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphism = RFLP), transkripsi, dan variasi alel yang dihasilkannya. Kata et al. (1994) membangun suatu sistem teknik untuk MAS dengan marka RFLP pada lokus o2 dengan menggunakan pelacak cdna O2. Pelacak tersebut dihibridisasi ke genom DNA yang digesti dengan enzim HindIII sehingga genotip-genotip O2/O2, O2/O2, dan o2/o2 dapat diidentifikasi. Hartings et al. (1995a, 1995b) membagi 10 alel resesif (o2) dari sumber yang bebas ( o2-r, o2-m[r], o2-columbian, o2-agroceres, o2-261, o2-mh, o2-33, o2-go2-charentes, o2-italian, dan o2-crow) ke dalam 6 kelompok yang polimorfis melalui analisis Southern dengan 2 pelacak molekuler ke ujung 5 dan ujung 3 pada cdna O2. Dengan memperbandingkan urutan genom alelalel resesif dengan apa yang ada pada tipe liar, ditemukan subsitusi, penyisipan, dan penghapusan nukleotida dalam alel-alel o2. Pada tahun 2001, sekuen primer untuk tiga marka SSR, yaitu: phi 112, umc1066 dan phi057 pada lokus o2, telah dirilis pada situs Lokasi phi 112 berlokasi antara G box dan ujung pangkal 3 pengkode protein (upstream open reading frames = uorf) (Schmidt et al., 1990) dalam sekuen leader pada gen O2, dan mutasinya dapat mempengaruhi transkripsi gen O2. SSR umc1066 berada pada ekson 1 dan phi057 berada pada ekson 6, dan merupakan ekson yang paling besar diantar 6 ekson di dalam gen O2 ( nomor aksesi bank gen X15544 dan X16618). Mutasi yang terjadi pada kedua ekson ini akan meningkatkan atau mengurangi jumlah prolin di dalam protein O2 dan mempengaruhi aktivitas protein O2 sebagai aktivator transkripsial. Hal ini disebabkan karena posisi residu prolin mempengaruhi tingkat dan arah putaran pada struktur 3-dimensi protein O2 (Shen dan Wang, 1998; Yang et al, 2004). Pada sisi lain, Lazzari et al (2002) mengemukakan bahwa diantara alel-alel gen O2 yang berbeda memiliki tingkat homologi yang sangat tinggi, kecuali pada dua daerah yang sangat bervariasi (hypervariable) di dalam ekson 1. Oleh karena itu, penggunaan marka phi112, umc1066, dan phi057 dapat menggambarkan variasi di dalam gen O2 dengan variasi alelik SSR yang terjadi pada daerah pengorganisasian serta daerah 5 dan daerah 3 pada gen O2. 8

25 Gambar 2. Teknik marka SSR untuk seleksi gen opaque-2 pada jagung (dikutip dari Dreher et al., 2000). Analisis marka SSR untuk mengkonversi gen resesif mutan o2 dari isolasi DNA hingga analisis separasi fragmen DNA disajikan pada Gambar 2. Primer yang mengapit daerah yang mengandung SSR di dalam gen opaque2 kemudian digunakan untuk mengamplifikasi sampel dengan menggunakan PCR (membuat jutaan kopi segmen DNA yang diapit oleh primer). Ketika jumlah sekuen berulang diantara apitan primer berbedabeda dalam alel opaque2 normal dan alel opaque2 mutant, fragmen-fragmen DNA yang diamplifikasi panjangnya bervariasi. Fragmen-fragmen DNA yang teramplifikasi 9

26 diseparasi dengan menggunakan elektroforesis untuk menentukan individu-individu tanaman QPM dan non-qpm berdasarkan pola pita yang dihasilkan. Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung terhadap Patogen Bulai Penyakit bulai yang disebabkan oleh cendawan jenis P. maydis terdapat hampir di seluruh Indonesia, sedangkan P. philippinensis hanya ditemukan di Sulawesi Utara. Cendawan P. maydis dan P. philippinensis termasuk ke dalam famili Peronosporacea yang merupakan kelompok cendawan penyebab downy mildew (bulai) dan semua spesies anggota dari famili tersebut bersifat parasit obligat. Konidium jamur P. maydis yang masih muda berbentuk bulat sedangkan yang sudah masak dapat menjadi jorong. Konidia P. maydis berukuran x µm dengan rata-rata 19,2 x 17,0 µm, sedangkan konidium P. philippinensis lebih oval dengan diameter berkisar (14-15 x 8-10 µm (Gambar 3). Konidium tumbuh dengan membentuk buluh kecambah (Semangun, 1996 dan Shurtleff, 1980). P. maydis A=Konidia B=konidofor P. maydis P. philppinensis Gambar 3. Konidium cendawan P. maydis dan P. philippinensis Gejala yang ditimbulkan oleh patogen P. maydis saat menginfeksi tanaman jagung adalah munculnya garis-garis sejajar dengan tulang daun berwarna putih sampai kuning klorosis diikuti dengan garis-garis coklat pada permukaan daun jika infeksinya berlanjut (Gambar 4). Penularan pada tanaman muda (umur satu sampai tiga minggu) merupakan penyebab terjadinya gejala sistemik. Periode tanaman sangat rentan bulai, yaitu saat tanaman berumur satu minggu hingga satu bulan setelah tanam. Jika tanaman tertular penyakit bulai pada periode tersebut, pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan menyebabkan kematian tanaman. Tanaman yang terinfeksi pada umur lebih dari satu bulan, tidak mati, namun pada umumnya tidak dapat menghasilkan biji. Oleh karena infeksi dari spora yang tersebar di udara, maka tanaman yang terinfeksi bulai di lapangan biasanya dimulai pada daun keempat dari bawah. Pada permukaan bawah daun terdapat banyak spora berwarna putih, terutama pada pagi hari (Gambar 4). 10

27 Penyebaran patogen P. maydis terutama ditularkan melalui perantaraan angin dan perkembangannya sangat didukung oleh adanya kelembaban yang tinggi, yaitu lebih dari 95% (Mikoshiba, 1983). Suhu dan energi merupakan dua faktor penting yang dibutuhkan dalam proses sporulasi. Proses sporulasi P. maydis mulai dari keluarnya calon konidofor hingga terlepasnya konidia. Petani jagung di sentra-sentra jagung, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Madura dan Lampung umumnya menanam jagung di lahan tegal pada musim hujan dan di lahan sawah pada saat musim kemarau sehingga sangat mendukung siklus perkembangan penyakit bulai. Hal ini disebabkan karena tanaman yang terinfeksi bulai pada salah satu musim akan menjadi sumber inokulum bagi pertanaman di musim berikutnya (Mikoshiba, 1983). Infeksi cendawan pada tanaman melalui stomata dan selanjutnya cendawan dapat berkembang secara lokal ataupun sistemik. B B A B Gambar 4. Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada jagung di KP Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B). Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan pada tanaman yang terinfeksi bulai, maka upaya perakitan tanaman resisten terhadap penyakit bulai perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Ciri penting ketahanan genetik tanaman jagung terhadap suatu penyakit adalah kestabilannya dalam berproduksi, baik pada saat ada penyakit maupun pada saat tidak ada penyakit. Ketahanan genetik harus dapat memberikan perlindungan yang baik dan menyeluruh dari kemungkinan kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu penyakit (Soetopo dan Saleh, 1992). Selain itu, ketahanan genetik sangat berguna bagi program pemuliaan dalam memperbaiki karakter ketahanan terhadap tanaman dalam proses pelepasan varietas unggul baru yang sedang dirilis atau dapat digunakan sebagai sumber gen untuk memperbaiki karakter ketahanan varietas tanaman yang masih rentan, dengan syarat bahwa karakter tersebut dapat diwariskan. Pewarisan karakter ketahanan genetik terhadap suatu penyakit dapat berupa karakter monogenik atau sederhana (Allard, 1960) dan dapat berupa karakter oligogenik atau 11

28 poligenik (Simmonds, 1972). Dari beberapa kasus, diduga bahwa terdapat gen-gen minor atau gene modifier yang ikut berinteraksi dengan gen-gen mayor dalam menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit (Hooker 1967; Zaumeyer dan Meiners, 1975). Tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai beragam dan dapat dinyatakan secara kualitatif yaitu resisten, agak resisten, dan rentan. Dalam kondisi lingkungan yang sengaja diberi perlakuan dengan inokulasi buatan, tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai menurut Aday (1974), dapat dibagi ke dalam empat kelompok sebagai berikut : - Sangat resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida tidak lebih dari 25 persen. - Resisten jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 25 persen hingga 50 persen. - Agak resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 50 persen hingga 75 persen. - Rentan, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 75 persen. Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai Informasi mengenai kendali genetik ketahanan penyakit bulai dari beberapa hasil penelitian di Indonesia sampai saat ini tidak konsisten sehingga penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai masih diperlukan. Sebagian peneliti menyimpulkan bahwa ketahanan penyakit bulai di Indonesia dikendalikan oleh gen-gen mayor sehingga bersifat kualitatif, namun juga ada yang menyimpulkan bahwa penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen minor sehingga bersifat kuantitatif. Hakim dan Dahlan (1972) telah melakukan penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai di Jawa. Populasi yang digunakan adalah F 1 dan F 2 serta silang baliknya (BC 1 P 1 dan BC 1 P 2 ) dibandingkan dengan induk-induk yang resisten dan yang rentan. Hasil pengujian populasi F 1, F 2, BC 1 P 1 dan BC 1 P 2 menunjukkan bahwa persentase tanaman yang terinfeksi bulai sesuai dengan dugaan aksi gen aditif. Selain itu, hasil persilangan dari 30 pasangan tetua kemudian diuji resistensinya terhadap penyakit bulai menunjukkan frekuensi infeksi penyakit bulai mengikuti distribusi normal. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pola pewarisan resistensi tanaman jagung yang diuji terhadap penyakit bulai di Jawa bersifat kuantitatif dengan aksi gen aditif. 12

29 Serangkaian penelitian tentang varians interaksi genotip jagung dan lingkungan terhadap penyakit bulai pada beberapa lokasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1974 sampai 1980 oleh Subandi et al. (1982). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari enam set varietas jagung yang digunakan, semua varietas dalam setiap set meperlihatkan reaksi yang sangat nyata, dua set memperlihatkan interaksi varietas dengan lingkungan sangat nyata dan satu set memperlihatkan interaksi yang nyata serta tiga set yang lain tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kendali genetik dari varietas terhadap penyakit bulai tidak konsisten. Informasi tentang interaksi genotip dan lingkungan yang sangat nyata terhadap penyakit bulai juga didukung oleh penelitian menggunakan populasi RIL progeni CML 139 x Ki3 yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2003) pada dua lokasi yang berbeda serta populasi BC 1 F 2 progeni Mr-4 x AMATLCOHS B yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2005b) pada tiga lokasi yang berbeda. Pengujian kendali genetik tanaman jagung terhadap penyakit bulai yang dilakukan oleh Takdir et al. (2003) menggunakan tiga pasangan persilangan yaitu: Ki3 x CML357, Nei9008 x CML270, dan AMATL-COHS B x CML358. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit mengikuti pola segregasi 3 : 1 dengan nilai derajat dominansi antara 1 dan 0, aksi gennya adalah dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Mochizuki (1974); Aday (1974), yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan dengan derajat dominansi berada dalam over dominance. Hal yang berbeda dikemukakan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi gen aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Daya Gabung dan Metode Lini x Tester Konsep daya gabung yang diperkenalkan oleh Sprague dan Tatum pada tahun 1941 (Hallauer dan Miranda, 1981) terbagi atas daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung (combining ability) merupakan suatu ukuran kemampuan suatu tetua persilangan menghasilkan hibrida dengan penampilan tetuanya atau sebaliknya. 13

30 Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari suatu tetua yang disilangkan dengan tetua-tetua lain dibandingkan dengan rata-rata umum. DGU merupakan simpangan dari rata-rata seluruh persilangan sehingga dapat bernilai positif maupun negatif (Hallauer dan Miranda, 1981). Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi dari suatu pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper, 1995). Kombinasi tetua persilangan yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al, 1993). Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi memberikan indikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan non aditif. Hasil pipilan suatu hibrida F 1 yang tinggi dapat diperoleh bila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi (Setiyono dan Subandi, 1996). Penelitian Rifin et al (1984) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata di dalam heterosis, DGU, dan DGK untuk semua karakter yang diamati, yaitu hasil pipilan 10 tanaman, waktu pembungaan, tinggi tanaman, tinggi tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, dan bobot 100 biji. Tidak semua nilai daya gabung yang positif bermakna lebih baik, tetapi beberapa karakter yang menguntungkan dengan nilai daya gabung negatif seperti umur masak, dimana efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas yang berumur genjah. Mochizuki et al. (1980) yang melakukan analisis dialel terhadap sembilan galur dan 36 F 1 menyimpulkan bahwa galur-galur yang mempunyai DGK tinggi mempunyai keturunan yang resisten terhadap penyakit bulai dan ketahanannya dikendalikan oleh gengen dominan. Callaway (1990) telah melakukan penelitian ketahanan jagung terhadap penyakit antraknos dan rebah batang melalui persilangan dialel dengan simpulan bahwa galur jagung yang memiliki karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan rebah batang memiliki daya gabung umum tinggi, dan karakter ketahanan tersebut dikendalikan oleh efek gen aditif. Sedangkan Lamb (1992) yang melakukan persilangan dialel antara galur jagung yang resisten dengan galur yang rentan terhadap busuk tongkol, menyimpulkan bahwa galur jagung yang memiliki karakter ketahanan terhadap busuk tongkol ditandai dengan daya gabung umum dan daya gabung khusus tinggi. 14

31 Metode analisis lini x tester yang diperkenalkan oleh Kempthorne pada tahun 1957 (Singh dan Chaudary, 1979) merupakan pengembangan dari metode persilangan top cross yang menggunakan beberapa tester. Metode analisis tersebut mampu memberikan informasi mengenai DGU maupun DGK tetua yang digunakan dan pada saat yang sama sangat membantu dalam mengestimasi berbagai macam komponen genetik. Metode lini x tester mirip dengan model persilangan design II (factorial design) menggunakan beberapa genotip sebagai lini (female) dan beberapa genotip sebagai tester (male). Jumlah lini maupun tester bervariasi, tergantung pada kebutuhan atau ketersediaan materi genetik. Heterosis Fenomena heterosis pertama kali diperkenalkan oleh Shull pada tahun 1908 yang didukung oleh East tahun 1936 dan Hull tahun 1945 dan peneliti yang lain sesudahnya (Fehr, 1987). Heterosis merupakan superioritas dalam penampilan individu-individu hibrida dibandingkan dengan tetuanya. Fenomena heterosis dapat muncul apabila tetua dari hibrida memiliki alel yang berbeda dan terdapat beberapa tingkat dominansi diantara alel-alel tersebut (Falconer, 1996). Penampilan suatu hibrida secara relatif terhadap tetuanya dapat diekspresikan dalam dua hipotesis yaitu hipotesis dominan dan over dominan. Hipotesis dominan menjelaskan bahwa fenomena heterosis muncul sebagai akibat terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant genes) dalam satu genotip tanaman. Hipotesis over dominan menjelaskan bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterozigositas terhadap homozigositas atau dengan kata lain bahwa individu yang penampilannya superior adalah individu yang memiliki jumlah alel dalam keadaan heterosigos yang terbanyak (Baihaki, 1989). Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk varietas hibrida. Keberhasilan jagung memanfaatkan fenomena heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman lain, seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain (Dahlan et al, 1998). Heritabilias Heritabilitas untuk suatu karakter penting dari suatu materi pemuliaan perlu diketahui, terutama untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan 15

32 dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Heritabilitas merupakan gambaran besarnya konstribusi genetik suatu karakter yang terlihat di lapangan, dan dijadikan sebagai ukuran mudahnya suatu karakter untuk diwariskan. Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan daripada faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya, bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Fehr, 1987). Interaksi Genotip x Lingkungan dan Potensi Tanaman Potensi genetik tanaman yang terekspresi secara fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi faktor genetik dan lingkungan (Simms dan Rausher, 1995). Interaksi genotip dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi ekspresi tanaman (Vargas et al., 1998) dan umumnya penampilan fenotip dari suatu genotip akan optimal bila didukung oleh kondisi lingkungan yang juga optimal. Interaksi genotip dan lingkungan pada pemuliaan tanaman merupakan gambaran kegagalan genotipe untuk berpenampilan sama pada kondisi lingkungan yang berbeda (Soemartono et al., 1992). Penampilan suatu karakter dari materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kerentanannya terhadap lingkungan dan pada kebanyakan seleksi memberikan penampilan yang tinggi pada lingkungan yang baik, dan sebaliknya pada lingkungan yang jelek memperlihatkan penampilan yang kurang baik (Kearsey dan Pooni, 1996). Penampilan fenotip diperlukan sebagai dasar dalam pemilihan genotip unggul, yaitu genotip yang dapat mempertahankan tingkat penampilan yang tinggi pada lingkup lingkungan yang luas. Genotip yang memiliki daya adaptasi yang luas merupakan genotip yang dikehendaki dalam program pemuliaan tanaman (Hill et al, 1998). Seleksi secara fenotip pada jagung bertujuan untuk memaksimumkan karakterkarakter penting, selain mempertahankan sifat lain pada tingkat yang sama atau di atas standar minimum untuk diterima sebagai varietas komersial. Sebagai contoh adalah karakter hasil yang merupakan tujuan utama dari kegiatan pemuliaan tanaman, maka keragaman genetik populasi untuk potensi hasil harus tinggi, tetapi karakter lainnya seperti umur berbunga, umur panen, ketahanan terhadap penyakit, dan kualitasnya harus lebih seragam (Halloran et al, 1978). 16

33 Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten Penyakit Bulai Dalam hal penelitian pemuliaan jagung berprotein tinggi perlu diarahkan pada kegiatan konversi gen homosigot resesif opaque-2 ke materi jagung unggul nasional untuk meningkatkan mutu proteinnya. Kegiatan ini perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Bahan genetik nasional yang hendak dikonversi menjadi jenis QPM adalah populasi atau galur yang memiliki sifat baik dan resisten penyakit bulai. Program konversi jagung normal menjadi QPM dapat dilakukan dengan menggunakan skema seleksi silang balik secara konvensional dengan bantuan marka molekuler. Pada masa mendatang tampaknya teknologi genetika molekuler akan semakin berperan dalam riset QPM (Prasanna et al.,2001). Strategi penelitian pemuliaan hibrida QPM nasional hendaknya mengarah kepada program yang menghasilkan galur-galur unggul untuk menghasilkan varietas bersari bebas sintetik atau dan hibrida. Keuntungan program QPM berorientasi hibrida adalah: Karena adanya heterosis potensi genetik hibrida yang lebih tinggi daripada varietas bersari bebas Kemurnian mutu protein dari QPM lebih terjamin karena kemurnian galurnya lebih terkontrol. Fenotip biji lebih seragam dan hasilnya lebih stabil. Oleh karena sifat resesif dari gen o-2 maka penanganan produksi benih dan pengendalian mutu protein dari QPM mesti dilakukan dengan hati-hati dan secermat mungkin. Walaupun teknik produksi benih QPM tidak berbeda dengan produksi benih jagung biasa (dalam hal isolasi), tetapi mutu protein biji QPM mesti terkontrol terutama untuk kelas benih penjenis dan benih dasar. Dalam kaitannya untuk pembentukan hibrida, galur QPM yang ada di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya dan merupakan galur introduksi dari CMMYT-Mexico. Sebagai produk riset introduksi yang memiliki nilai tambah dan sekaligus kelemahan sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasil populasi, sintetik, maupun galur QPM asal CIMMYT. Pengalaman penulis saat melakukan perbanyakan benih di Kebun Percobaan (KP) Cikeumeuh selama tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk memperbanyak galur-galur QPM cukup sulit karena rentan bulai, walaupun telah diberi perlakuan fungisida berbahan aktif metalaksil. 17

34 Dari hasil penyaringan galur-galur resisten bulai pada beberapa agroekosisitem di Indonesia yang dilakukan oleh Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), teridentifikasi beberapa galur yang resisten terhadap penyakit bulai, diantaranya adalah MR10, Nei9008, Ki3, P345C4S2B46, AMATLCOHS-115, AMATLCOHS-9, dan Nei9202 (Kasim et al., 2002). Dari hasil penyaringan tersebut, dipilih dua galur yang paling resisten dan stabil pada semua lokasi pengujian, yaitu MR10 dan Nei9008. MR10 merupakan salah satu galur elit Balitsereal yang dikembangkan dari populasi Suwan-2, sedangkan Nei9008 merupakan galur introduksi dari Thailand dengan pedigree SW1(s)C9-germplasm/(DA9-1(s) x SW C9)-S (Grudloyma et al., 2004). Dengan tersedianya galur QPM sebagai sumber gen homosigot resesif opaque-2 (CML 161) dan resisten bulai (Nei9008 dan Mr10), maka perakitan varietas unggul baru yang bermutu protein tinggi dan resisten penyakit bulai dapat dilakukan (diskripsi galur disajikan pada Lampiran 10). Salah satu teknik yang dapat dilakukan sebagai langkah awal adalah mengintrogresikan gen o2 dari galur-galur QPM ke galur jagung resisten bulai melalui pendekatan MAS dalam metode silang balik (Gambar 5). Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat bagian sebagai berikut : 1. Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung. Penelitian ini menggunakan dua pasang tetua yaitu: CML161x MR10 dan CML161 x Nei9008 dan turunannya yang terdiri atas: populasi F 1, F 2, F 3, BC 1 P 1 dan BC 1 P 2. Pada bagian ini setiap famili dari setiap populasi genetik diuji sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan inokulasi semi buatan. Analisis data mencakup penghitungan rata-rata, ragam, galat baku, pendugaan parameter genetik, sebaran frekuensi, pendugaan model genetik (Mather dan Jinks, 1982), dan uji kesesuaian model genetik dengan metode 2 (Simon, 1994). 2. Introgresikan gen mutan resesif mutan o2 ke galur jagung resisten terhadap penyakit bulai dengan pendekatan MAS pada metode silang balik. Pada bagian penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan galur-galur BC 3 F 3 yang telah memiliki gen resesif homozigot o2. Galur-galur tersebut kemudian dievaluasi penampilannya untuk karakter tinggi tanaman dan letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, bobot tongkol panen dan 1000 biji serta hasil biji kering pada kadar air 15%. 3. Seleksi dan uji daya gabung galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Penyaringan galur-galur hasil introgresi gen o2 untuk ketahanan terhadap penyakit bulai dilakukan dengan inokulasi semi 18

35 buatan. Galur yang dinyatakan resisten terhadap penyakit bulai adalah kelompok galur MR10 + o2 (set A) dan Nei o2 (set B) disilangkan mengikuti model persilangan lini x tester untuk membentuk hibrida silang tunggal. Hibrida silang tunggal yang diperoleh akan dievaluasi daya gabung dan efek heterosisnya untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Sebagian biji dari galur-galur yang dijadikan sebagai tetua persilangan tersebut dikirim ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT-Mexico untuk mengecek kuantitas lisin dan triptofannya. 4. Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa karakter agronomis penting dari galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2. Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah sama dengan bagian tiga di atas. 19

36 Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap P. maydis pada Jagung Introgresi gen resesif mutan opaque-2 Populasi 1. Populasi 2. MR10 x CML 161 F 1 x MR10 : BC 1 F 1 x MR10 : BC 2 MAS F 1 x MR10 : BC 3 MAS BC 3 F 1 MAS BC 3 F 2 MAS BC 3 F 3 : Galur MR10 + gen opaque-2 Nei 9008 x CML 161 F 1 x Nei 9008 : BC 1 F 1 x Nei 9008 : BC 2 MAS F 1 x Nei 9008 : BC 3 MAS BC 3 F 1 MAS BC 3 F 2 MAS BC 3 F 3 : Galur Nei gen opaque-2 Introgresikan gen resesif mutan o2 ke galur jagung resisten terhadap P. maydis melalui pendekatan MAS pada metode silang balik Seleksi, analisis daya gabung, dan efek heterosis galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk ketahanan terhadap P. maydis Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa karakter agronomis penting dari galurgalur hasil introgresi gen resesif mutan o2. Luaran yang diharapkan: Diperoleh satu atau lebih hibrida silang tunggal berdaya hasil tinggi, bermutu protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai Publikasi Ilmiah pada Jurnal Terakreditasi Gambar 5. Alur kegiatan penelitian 20

37 Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 90 persen (Mikoshiba, 1983) dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (Semangun, 1996; Subandi et al., 1996). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wakman dan Kontong (2000) di Lanrang (Sulawesi Selatan) serta Azrai dan Kasim (2005a) di Maros, Bogor, dan Lampung menunjukkan bahwa ketahanan dari beberapa varietas jagung unggul nasional terhadap penyakit bulai masih bervariasi, yaitu dari sangat rentan hingga resisten. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, tergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu karakter yang diinginkan (Prasanna, 2002). Upaya perakitan jagung yang resisten terhadap penyakit bulai terus dilakukan melalui penyaringan plasmanutfah yang dilanjutkan dengan kegiatan persilangan antara tetua terpilih. Kegiatan tersebut telah lama dilakukan oleh pemulia jagung, akan tetapi sejauh ini belum banyak dilaporkan mengenai model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Pengetahuan tentang sifat dan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter sangat penting terutama dalam hal keefektifan penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen tunggal (Chang dan Cheng, 1968; Chang, 1972; Handoo et al. 1970; Takdir et al., 2004), sedangkan beberapa peneliti yang lain melaporkan melaporkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) (Francis, 1967; Carangal et al. 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Peerasak, 1974; Ruswandi, 2001). Salah satu contoh kasus perbedaan hasil penelitian yang paling menonjol adalah studi tentang kendali genetik terhadap P. philippinensis. Aday (1974), melaporkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan 21

38 dengan derajat dominansi berada dalam over dominan. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Perbedaan tersebut diduga kuat karena perbedaan tingkat ketahanan dari tetua persilangan, jumlah generasi, dan besarnya genotip yang diteliti. Untuk itu, informasi tentang model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia dirasa perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, terbagi atas dua tahap, yaitu pembentukan genotip uji dan pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. Pembentukan genotip dilaksanakan dari Agustus 2004 sampai April Pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai berlangsung dari bulan Januari- Maret Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini masing-masing terdiri atas 7 macam populasi pada dua set persilangan dan progeninya, yaitu: masing-masing 10 genotip (tongkol) tetua persilangan yaitu P 1 (CML161) sebagai tetua rentan (donor gen opaque-2) dan P 2 (MR10 dan Nei9008) sebagai tetua resisten (silang balik = recurrent), masing-masing 20 genotip dari generasi F 1, F 2, BC 1 P 1, dan BC 1 P 2 serta 100 genotip dari generasi F 3. CML161 merupakan galur yang bermutu protein tinggi (QPM = Quality Protein Maize) yang diintroduksi dari CIMMYT-Mexico. Nei9008 diintroduksi dari Thailand melalui Jaringan Kerjasama Bioteknologi Jagung Asia (AMBIONET = Asian Maize Biotechnology Network) dan MR10 merupakan salah satu galur elit Balitseral yang digunakan sebagai tetua hibrida Semar 8. Selain itu, juga digunakan Varietas Anoman-1 sebagai cek rentan dan tanaman baris penyebar konidia bulai. Varietas Anoman-1 22

39 merupakan salah satu varietas bersari bebas milik Balitsereal yang sangat rentan terhadap penyakit bulai (Azrai, 2006). Pembentukan Genotip Uji Pembentukan genotip uji dilakukan dengan cara melakukan silang balik antara tanaman F 1 dengan kedua tetuanya untuk membentuk masing-masing 20 genotip BC 1 P 1 dan BC 1 P 2 dan mensegregasikan tanaman F 1 untuk membentuk 20 genotip F 2. Benih genotip F 2 masing-masing ditanam dua baris kemudian dilakukan penyerbukan sendiri sebanyak 10 tanaman per genotip. Setelah panen, dipilih 5 tongkol per genotip sehingga diperoleh 100 tongkol benih F 3. Dengan demikian telah tersedia masing-masing 7 macam populasi dari dua set persilangan untuk dievaluasi sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai. Pengujian Karakter Ketahanan terhadap P. maydis Masing-masing set persilangan diuji karakter ketahanannya terhadap P. maydis dengan teknik inokulasi pada tanaman baris penyebar dan pada genotip uji. Saat tanaman baris penyebar >80% terinfeksi bulai, masing-masing set persilangan ditanam sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), dua ulangan (Petersen, 1994), kemudian 5 hari setelah kecambah muncul dipermukaan tanah, genotip uji disemprot dengan konidia bulai dan 3 hari setelah penyemprotan pertama dulangi lagi dengan cara yang sama dengan penyemprotan sebelumnya. Faktor pertama adalah dua set persilangan dan faktor kedua adalah 7 macam populasi uji. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase tanaman terinfeksi per genotip, sedangkan metode penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 3. Tata letak Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Waktu pengamatan yaitu saat tanaman berumur 14, 21, 28, 35 dan 42 hari setelah tanam (hst). Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan setiap pengamatan tersebut, kemudian dikonversi ke dalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b 23

40 keterangan : P a b = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah tanaman tumbuh Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 42 hst penularannya sudah jarang terjadi. Analisis Ragam Analisis Data Analisis ragam meliputi ragam genetik per generasi dari masing-masing set persilangan. Estimasi ragam genetik dan fenotip dianalisis berdasarkan nilai kuadrat tengah genotip (M 2 ), nilai tengah galat (M 1 ), dan ulangan (r), dengan persamaan sebagai berikut, (Bernardo, 2002): 2 g = 2 e = M 1 2 f = M 2 M 1 r 2 g + 2 e Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan variabilitasgenetik ( ) dan standar deviasi variabilitasgenetik ( ) menurut Anderson 2 g dan Brancoff (1952), dikutip Wahdah et al. (1995) sebagai berikut : 2 g 2 = g M 2 M 1 2 r dbgenotipe 2 dbgalat 2 keragaman genetik luas jika 2 g >2 Analisis Data Sebaran Frekuensi 2 g dan sempit jika 2 g 2 2 g Untuk mempelajari pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut, dilakukan dengan uji normalitas berdasarkan aturan Sturgers (Siregar, 2004): keterangan : f i e i 2 i 1 f i e e i i 2 = jumlah fenotip ke i menurut hasil pengamatan = jumlah fenotip ke-i yang diharapkan 24

41 Kriteria keputusan sesuai dengan hipotesis yakni jika nilai peluang (p-v) > 0.05 maka data dinyatakan berdistribusi normal. Uji Kesesuaian Model Genetik Untuk menentukan model genetik yang sesuai terhadap sifat ketahanan dari kedua set persilangan, dilakukan analisis rata-rata generasi. Model genetik aditif dominan yang sesuai untuk pola pewarisan kuantitatif, digunakan untuk menduga pengaruh gen-gen yang mengendalikan karakter ketahanan untuk kedua genotip yang digunakan. Selanjutnya model aditif dominan diuji untuk menentukan kesesuaiannya dengan uji t (Hill et al., 1998). Jika hasil uji skala menunjukkan adanya pengaruh interaksi antar lokus, maka model interaksi ditentukan kesesuaiannya dengan uji skala gabungan (Joint Scalling Test) dengan menggunakan seluruh generasi secara bersama-sama (Mather dan Jinks, 1982). Enam parameter genetik dari model yang menyertakan pengaruh interaksi adalah m = pengaruh rata-rata generasi, [d] = pengaruh aditif, [h] = pengaruh dominan, [I] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan, dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Jadi model genetik yang menyertakan pengaruh interaksi adalah [m][d][h][i]; [m][d][h][j]; [m][d][h][l]; [m][d][h][i][j]; [m][d][h][i][l] dan [m][d][h][i][j][l]. Setiap model diuji kebaikan suainya dengan 2 terboboti. Koefisien dari parameter genetik yang digunakan dalam model lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi. Parameter Genetik Generasi m [d] [h] [i] [j] [l] P P F F2 1 0 ½ 0 0 ¼ F3 1 0 ¼ 0 0 1/16 BCP1 1 ½ ½ ¼ ¼ ¼ BCP2 1 - ½ ½ ¼ - ¼ ¼ Analisis selanjutnya adalah pendugaan komponen ragam yang ditentukan sesuai dengan persamaan menurut Kearsey dan Pooni, (1996) sebagai berikut : V P1 = E 1 V P2 = E 2 V F1 = E 3 V F2 = E 4 25

42 V F3 = V A + V D +¼V E2 + ½V E3 V BCP1 = ½V A + V D ½V I + ½V E1 + ½V E3 V BCP2 = ½V A + V D + ½ V I + ½V E2 + ½V E3 V P1, V P2, V F1, V F2, V F3, V BCP1, V BCP2 masing-masing adalah ragam P 1, P 2, F 1, F 2, F 3, BCP 1 dan BCP 2. Awal pendugaan parameter dilakukan dengan menduga nilai E = (V P1 + V P2 + V F1 + V F2 )/4. Selanjutnya Nilai E disubstitusikan ke persamaan, sehingga diperoleh nilai V A, V D dan V F. Nilai V E adalah jumlah ragam lingkungan, V A adalah jumlah ragam aditif, V D adalah jumlah ragam dominan, dan V I adalah jumlah ragam interaksi aditif dan dominan. Parameter yang diduga adalah : a. Heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability): h 2 ns = VA VA + VD + E b. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability): h 2 bs = VA+ VD VA + VD + E HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Genetik Hasil analisis ragam genetik ketahanan dari set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis disajikan pada Tabel 2. Kedua tetua dari masingmasing set persilangan memperlihatkan reaksi ketahanan yang sangat berbeda. Galur MR10 dan Nei9008 sebagai tetua donor gen resisten memperlihatkan reaksi yang sangat resisten, sedangkan galur CML161 sebagai tetua donor gen opaque-2 (gen pengendali lisin dan triptofan tinggi) sangat rentan terhadap patogen P. maydis. Perbedaan karakter ketahanan penyakit bulai yang ekstrim antara kedua tetua sangat bermanfaat untuk melihat frekuensi sebaran karakter kuantitatif ketahanan genotip terhadap patogen penyakit bulai yang terekspresi pada progeninya (Namkong, 1979; Hoisington dan Coe, 1990; Prasanna, 2002). 26

43 Nilai tengah antar generasi dari set persilangan yang sama maupun dari set persilangan yang berbeda memperlihatkan reaksi ketahanan terhadap penyakit bulai yang beragam. Progeni Nei9008 x CML161 lebih resisten dibandingkan dengan progeni MR10 x CML161. Hal ini diduga karena pada pengujian ini, Nei9008 sangat resisten dan bahkan tidak terinfeksi bulai sama sekali. Dari beberapa pengujian sebelumnya, Nei9008 sangat resisten bulai di Sulawesi Selatan, Bogor, dan Lampung (Kasim et al., 2004). Selain resisten terhadap P. maydis, Nei9008 juga resisten terhadap P. zeae dan P. philippinensis (Ruswandi, 2002 dan Grudloyma et al, 2004). Tabel 2. Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada set persilangan galur jagung Generasi Rerata ± SD MR10 x CML161 Interval (%) 2 g Set Persilangan 2 x 2 g Rerata ± SD Nei9008 x CML161 Interval (%) 2 2 x g 2 g P ± 0.2 tn ± 0.0 tn P ± 0.6 tn ± 0.3 tn F ± 2.0 tn ± 1.3 tn F ± 1.5 tn ± 1.4 tn F ± 0.8 ** ± 0.6 ** BC 1 P ± 1.0 tn ± 0.9 tn BC 1 P ± 1.7 tn ± 1.3 tn Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi 2 2 g = Keragaman genetik; g = standar deviasi keragaman genetik; H bs = Heritabilitas dalam arti luas; - = data tidak dianalisis karena tidak ada infeksi bulai Nilai duga ragam genetik yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa variabilitas genetik dari setiap generasi pada kedua set persilangan menurut kriteria Anderson dan Brancoff (1952) tergolong sempit, kecuali pada generasi F 3 yang tergolong luas. Hal ini menunjukkan bahwa segregasi puncak terjadi pada generasi F 3. Kejadian ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data persentase antar famili, bukan berupa skoring terhadap individu tanaman, sehingga secara teoritis variabilitas genetik yang timbul pada tetua, F 1, generasi silang balik, dan F 2 adalah keragaman antara individu dalam famili yang sama yang ditimbulkan oleh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Takdir (2003) yang melaporkan bahwa tidak ditemukan 27

44 adanya keragaman genetik yang nyata antar famili pada generasi P 1, P 2, F 1, F 2, BC 1 P 1, dan BC 1 P 2. Variabiliatas genetik dapat terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen pada generasi tersebut sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Sebaran Frekuensi Generasi F 3 Uji normalitas untuk pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut tingkat penularan penyakit bulai menurut aturan Sturgers (Siregar, 2004) disajikan pada Tabel 3. Sebaran frekuensi generasi F 3 dari kedua set persilangan disajikan pada Gambar 6. Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F 3 dari kedua set persilangan menyebar normal Tabel 3. Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F 3 set persilangan galur jagung Parameter MR10 x CML161 Set Persilangan Nei9008 x CML161 Rerata Simpangan baku (S) χ tn 7.4 tn p-v Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; n = tidak nyata; Nilai chi-square 0.05 : db 7 = 14.07; Nilai chi-square 0.01 : db 7 = 12.02; p-v = nilai peluang (p-v > 0.05 = sesuai dengan hipotesis) t Frekuensi MR10 Nei9008 MR10 Nei CML161 Gambar 6. Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F 3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei

45 Pada Gambar 6 terlihat bahwa pola distribusi penularan penyakit bulai pada genotip uji untuk generasi F 3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan. Namun demikian, dari hasil analisis statistik sebaran normal mengindikasikan bahwa terdapat gen-gen bersifat kuantitatif yang mengendalikan ketahanan penyakit bulai. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung dikendalikan oleh gen-gen minor atau poligenik dan bersifat aditif (Handoo et al., 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Pamin 1980; Ruswandi et al., 2002; Azrai dan Kasim, 2003). Kesesuaian Model Genetik Untuk mengetahui model aksi gen yang mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari dua set persilangan yang diuji, diperlukan uji χ 2. Model genetik yang paling sederhana adalah model genetik aditif dominan yang terdiri atas komponen rata-rata tetua (m), pengaruh aksi gen aditif [d], dan pengaruh aksi gen dominan [h]. Hasil uji skala (scalling test) terhadap rata-rata generasi sesuai dengan metode Singh dan Chaudary (1979) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung Skala Set Persilangan MR10 x CML161 Ragam Nei9008 x CML161 Ragam A 2.83 ± 2.81 tn ± 2.13 ** 4.54 B ± 3.96 tn ± 2.90 ** 8.38 C ± 7.13 * ± 6.14 * D ± 4.47 tn ± 3.85 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; A = 2BC 1 P 1 -P 1 -F 1 ; B= 2BC 1 P 2 -P 2 -F 1 ; C = 4F 2-2F 1 -P 1 -P 2 ; D = 4F 3-2F 2 -P 1 -P 2 ; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji skala pada Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai skala C pada set persilangan MR10 x CML161 berbeda nyata dengan hipotesis nol, sedangkan nilai skala A, B, dan D tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa model aksi gen ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan tersebut tidak cukup dijelaskan dengan mengikuti model aksi gen aditif-dominan. Demikian pula halnya dengan set persilangan antara Nei9008 x CML161, nilai skala A, B, dan C masing-masing berbeda sangat nyata dengan nol, sedangkan nilai skala D tidak berbeda nyata. Dengan adanya nilai skala yang berbeda nyata pada kedua set persilangan tersebut, menunjukkan adanya pengaruh 29

46 interaksi antar lokus (non alelik) sehingga untuk menguji kesesuaian model interaksinya diperlukan uji skala gabungan dengan menggunakan seluruh generasi secara bersamasama (Mather dan Jinks, 1982). Hasil uji skala gabungan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk kedua set persilangan yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Uji χ 2 dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik Persilangan Model genetik χ 2 MR10 x CML161 m [d] ** m [d] [h] ** m [d] [h] [i] 7.49 tn m [d] [h] [j] 7.77 tn m [d] [h] [l] 8.14 * m [d] [h] [i] [j] 4.93 tn m [d] [h] [i] [l] 7.38 * m [d] [h] [j] [l] 6.11 * m [d] [h] [i] [j] [l] * Nei9008 x CML161 m [d] ** m [d] [h] ** m [d] [h] [i] 5.06 tn m [d] [h] [j] * m [d] [h] [l] ** m [d] [h] [i] [j] 2.40 tn m [d] [h] [i] [l] 0.34 tn m [d] [h] [j] [l] * m [d] [h] [i] [j] [l] 0.01 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji chi-square 1%; * = nyata pada taraf uji chi-square 5% tn = tidak nyata; Nilai chi-square 0.05 : db 5 = 11.07; db 4 = 9.49; db 3 = 7.82; db 2 = 5.99; db 1 = 3.84 Beberapa model genetik memperlihatkan nilai kebaikan suai yang cukup kontras antara kedua set persilangan pada generasi yang sama. Dari hasil analisis χ 2 diketahui bahwa penyebab perbedaan tersebut disebabkan karena adanya penyimpangan nilai yang cukup besar antara nilai pengamatan dengan nilai duganya sehingga menimbulkan selisih nilai yang tinggi. Dari uji kebaikan suai untuk set persilangan MR10 x CML161 diperoleh tiga model genetik yang sesuai yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [j]; m [d] [h] [i] [j]. Hal ini menunjukkan bahwa komponen genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk set persilangan tersebut terdiri atas gen aditif, dominan, interaksi aditif x aditif, dan interaksi aditif x dominan. Model aksi gen yang sesuai dengan set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [i] [j]; m [d] [h] [i] [l], dan m [d] [h] [i] [j] [l]. Model aksi gen tersebut menunjukkan bahwa aksi gen aditf, dominan, interaksi aditif x aditif, 30

47 interaksi aditif x dominan, dan interaksi dominan x dominan berkontribusi untuk ketahanan genetik pada set persilangan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis. Untuk mengetahui komponen genetik yang berkontribusi nyata terhadap karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua set yang digunakan, dilakukan uji t. Uji t untuk komponen dari model-model genetik yang digunakan adalah model genetik yang mempunyai komponen yang paling lengkap seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada uji X 2 untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua set persilangan galur jagung. Persilangan Model yang sesuai Komponen genetik MR10 x CML161 m [d] [h] [i] [j] m = ± 1.26 [d] = ± 0.35 ** [h] = 7.12 ± 2.14 ** [i] = ± 1.11 * [j] = 5.22 ± 3.26 tn Nei9008 x CML161 m [d] [h] [i] [j] [l] m = ± 3.30 [d] = ± 9.07 ** [h] = ± ** [i] = ± 6.33 ** [j] = ± tn [l] = ± tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji t pada Tabel 6, menunjukkan bahwa gen-gen aditif [d] dan dominan [h] berkontribusi sangat nyata pada kedua set persilangan yang digunakan. Selain itu, komponen interaksi gen aditif x aditif [i] masing-masing sangat nyata dan nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Nilai komponen genetik aditif yang bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif pada set persilangan MR10 x CML161 menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis komplomenter, sedangkan pada set persilangan Nei9008 x CML161 komponen genetik aditif bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat (Hill et al, 1998) Kontribusi gen-gen aditif untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis lebih tinggi daripada gen-gen dominan pada set persilangan MR10 x CML161 dan sebaliknya pada set persilangan Nei9008 x CML161 relatif seimbang (Tabel 6). Selain itu, interaksi gen aditif x aditif masing-masing berkontribusi nyata dan sangat nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan set persilangan Nei9008 x CML161. Kontribusi yang nyata dari interaksi gen aditif x aditif pada set persilangan tersebut dapat meningkatkan 31

48 variasi antara famili generasi F 3 dan ini dapat difiksasi (Singleton, 1967). Ragam aditif mencerminkan nilai pewarisan (breeding value) yang merupakan penyebab utama kemiripan antara famili sehingga menjadi penentu utama dalam penurunan suatu sifat, sedangkan ragam dominan dapat dimanfatkan jika varietas hibrida yang menjadi tujuan program pemuliaan (Hallauer dan Miranda, 1981). Parameter Genetik Gabungan Generasi Nilai parameter genetik dari kedua set persilangan disajikan pada Tabel 7. Pada set persilangan MR10 x CML161 memiliki nilai ragam genetik (dominan dan aditif), ragam lingkungan dan fenotip serta ragam interaksi genetik x lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan ragam pada set persilangan Nei9008 x CML161. Kedua set persilangan yang digunakan juga mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas yang tergolong tinggi berdasarkan kriteria yang digunakan oleh McWhirter (1979) yaitu masing-masing sebesar 0.78 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.76 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Berbeda halnya dengan nilai duga heritabilitas dalam arti sempit, dimana kedua set persilangan menunjukkan nilai heritabilitas yang tergolong sedang yaitu masing-masing sebesar 0.46 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.47 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Nilai duga heritabilitas merupakan suatu ukuran sampai sejauh mana fenotip yang tampak sebagai refleksi genotip, atau hubungan antara keragaman genetik dengan keragaman fenotipiknya (Fehr, 1987). Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dari faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Sjamsudin, 1990). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong sedang pada kedua set persilangan yang digunakan menunjukkan bahwa faktor lingkungan cukup berpengaruh pada pewarisan ketahanan terhadap P. maydis sehingga seleksi akan lebih efektif jika dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan keberadaan interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161, maka disarankan proses seleksi dilakukan secara hati-hati dan tidak dilakukan pada generasi awal yang masih bersegregasi (Stoskpf, 1993). 32

49 Tabel 7. Parameter genetik untuk karakter ketahanan pada dua pasang persilangan galur jagung terhadap P. maydis Parameter Set Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 V A V D V E V P V I H bs H ns H ns /H bs (%) Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; V A = jumlah ragam aditif; V D = jumlah ragam dominan; V E = jumlah ragam lingkungan; V I = jumlah ragam interaksi genetik x lingkungan; V p = jumlah ragam fenotip; H bs = Heritabilitas dalam arti luas; H ns = Heritabilitas dalam arti sempit Efek dominansi berdasarkan rasio heritabilitas disajikan pada Tabel 7. Menurut Moeljopawiro (1986), nisbah antara nilai heritabilitas dalam arti sempit terhadap nilai heritabilitas dalam arti luas menggambarkan besarnya porsi ragam aditif terhadap total ragam genetik. Karakter yang mempunyai nisbah H ns /H bs < 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan, dan bila mempunyai nilai nisbah H ns /H bs > 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif. Berdasarkan kriteria tersebut, aksi gen-gen aditif mempunyai porsi yang lebih besar dalam mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan yang digunakan. Oleh karena kedua set persilangan yang digunakan memiliki ragam aditif yang lebih tinggi daripada ragam dominan, maka peluang pewarisan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua persilangan tersebut cukup tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam proses seleksi untuk mengintrogresikan gen resisten ke galur jagung rentan terhadap penyakit tersebut, namun punya nilai ekonomis tinggi, seperti pada galur-galur QPM. KESIMPULAN 1. Estimasi variabilitas genetik dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong sempit, kecuali generasi F 3 yang tergolong luas. 2. Nilai duga heritabilitas dalam arti sempit dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong rendah sampai sedang, kecuali generasi F 3 yang tergolong luas. Dari hasil analisis gabungan rata-rata generasi pada kedua pasang persilangan diperoleh nilai duga heritabilitas dalam arti luas tergolong tinggi, sedangkan dalam arti sempit tergolong sedang. 33

50 3. Pola distribusi penularan konidia patogen bulai genotip uji pada generasi F 3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan dari set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan, namun keduanya berdistribusi normal. Terdapat gengen yang bersifat kuantitatif dalam mengontrol ketahanan penyakit bulai. 4. Model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis yang sesuai untuk set persilangan MR10 x CML161 adalah m [d] [h] [i] [j], sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i] [j] [l]. 5. Aksi gen aditif dan dominan dari kedua set persilangan berkontribusi nyata untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan. Set MR10 x CML161 diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis dan non alelik aditif duplikat epistasis pada set persilangan Nei9008 x CML

51 Penelitian II: Introgresi Gen Resesif Mutan o2 ke Galur Jagung Resisten tehadap Penyakit Bulai dengan Pendekatan MAS Pendahuluan Kegiatan pemuliaan dengan cara konvensional untuk merakit jagung yang bermutu protein tinggi cukup rumit karena memerlukan waktu yang lama dan bahan genetik yang banyak. Hal ini disebabkan karena alel-alel mutan o2 dikendalikan oleh gen resesif (AMBIONET, 2002), sehingga menyulitkan seleksi galur-galur potensial unggul QPM dalam kondisi heterosigot. Kemajuan di bidang pemuliaan molekuler (molecular breeding) dengan memanfaatkan marka DNA sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection) diharapkan dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi dalam pemuliaan konvensional. Salah satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu marka DNA dalam kegiatan MAS untuk mengintrogresikan alel-alel yang dinginkan adalah posisi marka tersebut sangat dekat dengan gen target, dan akan lebih baik lagi jika DNA berbasis marka diperoleh dari sekuen gen target itu sendiri. Untuk kegiatan MAS pada kegiatan pemuliaan jagung bermutu protein tinggi menggunakan marka SSR yang didesain dengan menggunakan informasi sekuen DNA yang tersedia untuk alel opaque-2 yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada biji jagung. Ketiga marka DNA tersebut terletak pada kromosom 7, bin 7.01 yaitu: phi057 dan phi 112 yang dikembangkan oleh Pioneer Hibreed, serta umc1066 yang dikembangkan oleh proyek jagung Universitas Missouri, Columbia (Chin et al. 1996). Sekuen ketiga pasangan primer tersebut dapat diperoleh dari situs sebagai berikut: Phi112 F: 5 -TGCCCTGCAGGTTCACATTGAGT-3 R: 5 -AGGAGTACGCTTGGATGCTCTTC-3 Umc1066 F: 5 - ATGGAGCACGTCATCTCA ATGG-3 R: 5 - AGCAGCAGCAACGTCTATGACACT-3 Phi057 F: 5 - CTCATCAGT GCCGTCGTCCAT-3 R: 5 - CAGTCGCAAGAAACCGTTGCC-3 Primer phi057 memiliki tingkat polimorfisme yang rendah sehingga polimorfisnya hanya dapat divisualisasi dengan menggunakan gel poliakrilamid, sedangkan phi112, dan umc1066 selain dapat divisualisasi dengan gel poliakrilamid, juga dapat divisualisasi 35

52 dengan menggunakan super fine agarose (metafor) dengan konsentrasi 3 4 % (Mereille, 2002). Ketiga marka SSR tersebut memiliki kemampuan untuk membedakan alel mutant o2 dengan alel O2 sehingga kegiatan introgresi gen o2 dari galur QPM ke galur jagung normal yang resisten terhadap penyakit bulai pada skema silang balik dapat menjadi lebih efektif dan efisien. Oleh karena ketiga marka DNA tersebut di desain dari daerah amplifikasi sekuen DNA yang tersedia untuk alel opaque-2, maka tingkat akurasi deteksinya cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dipilih dua marka SSR yaitu phi057 dan umc1066 sebagai alat bantu seleksi genotip yang membawa alel resesif mutan opaque-2 pada setiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri. Tujuan penelitian ini adalah mengintrogresikan gen resesif mutan opaque-2 dari galur QPM ke galur jagung normal yang resisten terhadap penyakit bulai dengan menggunakan marka SSR sebagai alat bantu seleksi dan mengevaluasi penampilan galur-galur yang telah memilik gen homosigot resesif opaque-2. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan di Kebun Percobaan Cikeumeuh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BBPP Biogen), Laboratorium AMBIONET di IRRI, Los Banos dan Laboratorium Tanah dan Biokimia CIMMYT, Mexico. Kegiatan penelitian MAS (Marker Assisted Selection) berlangsung dari September tahun 2004 sampai Februari 2006, sedangkan kegiatan penampilan galur yang terseleksi memiliki gen homosigot opaque-2 berlangsung dari akhir Februari Juni Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan untuk introgresi gen resesif o2 adalah galur CML 161 sebagai tetua donor gen o2 (oo), galur resisten terhadap penyakit bulai sebagai tetua pemulih, yaitu Nei9008 dan MR10, hibrida CML-161 x Mr-10 dan CML-161 x Nei 9008 serta progeni silang balik CML-161 x Mr-10 // Mr-10 dan CML-161 x Nei 9008 // Nei 9008 (BC 1 F 1, BC 2 F 1, BC 3 F 1, BC 3 F 2 ). Diskripsi galur-galur tetua persilangan disajikan pada Lampiran 10. Marka SSR yang digunakan sebagai marka penyeleksi gen opaque-2 36

53 adalah umc1066 untuk menyeleksi progeni CML 161 x Mr-10 dan phi057 untuk menyeleksi progeni CML 161 x Nei9008. Pemilihan marka didasarkan pada studi pendahuluan dimana marka tersebut secara konsisten polimorfis antara masing-masing alel opaque2 dari tetua persilangan yang digunakan. Materi genetik yang digunakan pada penelitian evaluasi penampilan agronomis galur-galur hasil introgresi gen homosigot resesif o2 adalah 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek yaitu CML161, MR10, Nei9008 dan CML165. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian menggunakan metode MAS 1 (Parsial) (Dreher et al, 2000) seperti yang disajikan pada skema penelitian Lampiran 1. Kegiatan penelitian terdiri atas: 1) introgresi gen resesif o2 dengan metode silang balik; 2) deteksi gen resesif o2 pada individu tanaman generasi silang balik dengan mengunakan marka SSR; 3) evaluasi penampilan agronomis dari galur-galur yang terseleksi memiliki gen homosigot resesif o2 Introgresi gen resesif o2 dengan metode silang balik Dua puluh satu genotip (tongkol) galur CML161 (tetua donor gen oo) dan masingmasing lima galur MR10 dan Nei9008 (tetua pemulih) ditanam pada petakan baris tunggal dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Galur CML 161 masing-masing disilangkan dengan tetua pemulihnya untuk mendapatkan masing-masing 105 tongkol F 1, kemudian benih tersebut ditanam kembali dan disilangkan dengan tetua pemulihnya untuk membentuk genotip silang balik (BC 1 F 1 ). Individu tanaman BC 1 F 1 yang teridentifikasi memiliki gen heterosigot untuk gen opaque (Oo) dengan menggunakan marka SSR spesifik, disilang balik ke tetua pemulihnya untuk membentuk BC 2 F 1. Kegiatan seperti ini diulangi untuk membentuk BC 3 F 1. Individu tanaman BC 3 F 1 yang teridentifikasi memiliki gen heterosigot untuk gen opaque disegregasikan untuk membentuk genotip BC 3 F 2, kemudian benih BC 3 F 2 ditanam kembali untuk diskrining dengan menggunakan marka SSR spesifik untuk gen opaque. Tanaman BC 3 F 2 yang teridentifikasi memiliki gen homosigot resesif untuk gen opaque (oo) diserbuksendirikan untuk membentuk galur BC 3 F 3. 37

54 Deteksi gen resesif o2 pada individu tanaman generasi silang balik dengan mengunakan marka SSR Kegiatan di laboratorium meliputi isolasi DNA, analisis PCR dan elektroforesis. Isolasi DNA daun jagung dilakukan dengan cara miniprep berdasarkan metode Saghai- Maroof et al. (1984) yang telah dimodifikasi oleh AMBIONET Service Laboratory untuk tanaman jagung (George dan Regalado, 2003). Isolasi DNA dilakukan pada setiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri. Daun muda dengan panjang kurang lebih 10 cm dipanen paling lambat 30 hari setelah tanam. Daun yang dipanen dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberi nomor sesuai dengan nomor label yang ada di lapangan, kemudian dimasukkan ke dalam box berisi es. Sampel daun tersebut diisolasi DNAnya dengan bantuan liquid nitrogen di laboratorium. Sampel daun per nomor digerus sampai terbentuk serbuk halus dalam tabung eppendorf berukuran 2.0 ml dengan menggunakan sumpit. Setelah daun menjadi serbuk halus, ditambahkan 0.5 ml buffer ekstraksi CTAB (Cetyltrimethylammonium bromide) panas yang mengandung -mercaptoethanol dengan konsentrasi 2 l/ml larutan (komposisi larutan pada Tabel 8) kemudian diinkubasi pada suhu 65 o C dalam waterbath selama 30 menit. Selama proses inkubasi, tabung ependorf dijentik-jentik setiap 10 menit. Setelah proses inkubasi selesai, tabung ependorf dikeluarkan dari waterbath dan didinginkan pada suhu ruang ( 10 menit) kemudian ditambahkan 500 l Chloroform isoamylalcohol (Chisam, 24:1 v/v). Tabung ependorf dijentik-jentik hingga larutan tercampur dengan baik kemudian disentrifugasi pada rpm selama 10 menit. tabung ependorf steril 1.5 Supernatan DNA (larutan bening bagian atas) dipindahkan ke ml dan ditambahkan 500 l isoprophanol dingin kemudian disimpan dalam freezer -20 o C selama 2 jam hingga satu malam. Tabung digoyang secara perlahan hingga muncul DNA berupa untaian benang berwarna putih. DNA yang terbentuk dipisahkan dari larutan supernatan dan isoprophanol dengan cara mengeluarkan larutan tersebut dari tabung ependorf. Endapan DNA dicuci dengan ethanol absolut dingin kemudian diulangi dengan ethanol 70% dingin. Setelah DNA dicuci kemudian dikeringkan dengan cara membalik tabung ependorf yang berisi DNA di atas meja yang telah dialasi tissu. Setelah pelet DNA tersebut kering, DNA dilarutkan dalam buffer 1xTE sesuai dengan besar kecilnya endapan. Untuk menguji kualitas dan kuantitas DNA, dilakukan pengecekan dengan teknik elektroforesis menggunakan agarose 0,8% (0,8 gram agarose dilarutkan dalam 100 ml 0,5 X TBE). Sebanyak 4 l DNA dan 2 l loading dye dicampur di atas microplate kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing hole (sumur) gel agarose yang telah dicetak 38

55 sebelumnya yang dimulai pada sumur ke empat. Pada tiga sumur pertama dimasukkan DNA standar masing-masing pada konsentrasi 10 ng/ l, 20 ng/ l dan 100 ng/ l yang telah dicampur dengan 2 l loading dye untuk mengestimasi konsentrasi sampel DNA yang dirunning. Elektoforesis dilakukan pada tegangan listrik 100 volt selama 1,5 jam. Setelah proses elektroforesis selesai, gel direndam dalam ethidium bromida dan dipotret dengan menggunakan gel doc. DNA yang bagus akan memiliki gumpalan besar di dekat sumur gel. Tabel 8. Komposisi larutan buffer isolasi DNA jagung (George dan Regalado, 2003). Reagen Konsentrasi akhir Kuantitas per 500 ml CTAB 2,0% 10,00 g 5 M NaCl 1,4 M 40,91 g 1 M Tris, ph 8,0 100,0 mm 50,00 ml 0,5 M EDTA, ph 8,0 20,0 mm 20,00 ml dd H 2 O 379,09 ml Konsentrasi DNA dapat ditentukan dengan membandingkan DNA sampel dengan DNA standar. Sebagian sampel DNA diencerkan dengan TE 1X menjadi 10 ng/ l sebanyak 50 l sebagai larutan DNA kerja dan disimpan pada freezer 4 o C, sedangkan untuk stok DNA disimpan pada freezer -20 o C. Larutan DNA sebagai stok kerja di PCR dengan campuran untuk satu reaksi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi reaksi PCR untuk mikrosatelit Reagan Kosentrasi Stok Volume ( l) Konsentrasi akhir ddh2o steril --- 9, Taq buffer (10X; Mg-free) 10X 1,50 1X MgCl 2 50 mm 0,75 2,5 mm dntpmix 2,5 mm 0, M Primer mix (F + R) 5,0 0,90 0,3 M * Taq Enzim 5 unit/ l 0,20 1 unit DNA 10 ng/ l 1,50 10 ng/ l Total 15 * Kedua primer sudah dicampur terlebih dahulu pada tabung yang sama PCR diset sebanyak 30 siklus dengan tahapan sebagai berikut: Denaturasi pertama 1 94 o C selama 2 menit Denaturasi 1 94 o C selama 30 detik Annealing o C selama 1 menit Extension 3 72 o C selama 1 menit Final extension 1 72 o C selama 5 menit Penyimpanan 1 4 o C sampai tak terhingga 39

56 Hasil PCR dicek pada gel agarose 1%. Bila didapatkan pita maka separasi akan dilanjutkan pada gel agarose super fine resolution untuk menyeleksi progeni CML 161 x Mr-10 dan pada gel polyacrilamide untuk menyeleksi progeni CML 161 x Nei Separasi hasil PCR sampel DNA progeni CML 161 x Mr-10 dilakukan pada gel agarose 3% yang merupakan campuran agarose metaphor dan agarose seakem dengan perbandingan 2:1. Agarose tersebut dilarutkan pada buffer TBE 1 X kemudian dimasukkan dalam cetakan gel elektroforesis menggunakan 4 comb, 200 sumur dengan jarak migrasi masing-masing sekitar 6 cm. Hasil PCR diberi loading buffer sebanyak 4 l per sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur cetakan masing-masing 10 l. Selanjutnya sampel dielektroforesis dengan daya 130 Volts sekitar 2 jam atau bromofenol dari loading buffer telah bermigrasi ke gel berikutnya. Setelah selesai dielekroforesis, gel tersebut di de-staining ke dalam etidium bromida selama 15 menit kemudian difoto pada gel doc. Hasil PCR sampel DNA progeni CML 161 x Nei9008 diseperasi pada gel polyacrilamide 6%. Gel dicetak pada alat pencetak gel (glass plate) merek BioRad. Hasil PCR dipindahkan ke mikroplet yang lain, masing-masing sebanyak 4 l kemudian ditambahkan loading buffer 2 l pada setiap lubang mikroplet tersebut. Sampel didenaturasi pada mesin PCR dengan suhu 94 o C selama 5 menit. Setelah proses denaturasi selesai, secepat mungkin dimasukkan ke dalam box berisi es. Sampel dielektroforesis pada suhu 50 o C dengan daya 60 watt selama menit, atau bromophenol dari loading buffer telah mencapai bagian bawah plate. Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining. Plat kaca yang mengandung gel berisi DNA direndam dalam baki yang berisi larutan asam asetat glacial 10% (larutan fiksasi) kemudian digoyang selama 20 menit, atau warna loading buffer pada gel menjadi hilang. Plat kaca dicuci dalam ultra pure water (air yang disuling dua kali) sebanyak 2 kali masing-masing 5 menit. Plat kaca direndam dalam larutan pewarna (silver staining) di atas shaker selama 30 menit, kemudian dibilas dalam air ultra pure selama 10 detik. Plat kaca kemudian direndam dalam larutan developer sehingga akan muncul pita-pita. Setelah itu secepatnya direndam dalam larutan asam asetat selama 5 menit dan dibilas dengan air ultra pure lagi, dan dikering anginkan. Seleksi individu tanaman progeni silang balik bergenotip heterozygot (Oo) didasarkan pada munculnya dua pita pada DNA individu yang dianalisis, sedangkan untuk menyeleksi individu tanaman hasil penyerbukan sendiri yang bergenotip homosigot 40

57 resesif (oo) didasarkan pada munculnya pita hanya satu, yaitu pada posisi pita yang sama dengan tetua donor opaque-2. Hanya tanaman yang bergenotip Oo disilang balik lebih lanjut hingga diperoleh benih BC 3 F 1. Benih tanaman BC 3 F 1 ditanam lalu dilakukan analisis DNA untuk mendeteksi tanaman bergenotip Oo yang akan disegregasikan lebih lanjut untuk mendapatkan biji BC 3 F 2. Biji BC 3 F 2 ditanam untuk menyeleksi tanaman bergenotip oo. Hanya tanaman yang terseleksi yang akan disilangkan untuk memperoleh benih BC 3 F 3. Evaluasi penampilan hasil dan agronomis dari galur-galur yang terseleksi bergenotip homosigot resesif o2 Sebanyak 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek (CML161, MR10, Nei9008 dan CML165) diuji penampilan hasil dan agronomisnya di Kebun Percobaan Cikemeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor pada MK Galur-galur tersebut masing-masing ditanam 2 baris dengan jarak tanam 70 cm antar baris dan 20 cm dalam baris, menggunakan rancangan perbesaran, tanpa ulangan (Augmented design). Parameter agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, bobot tongkol panen, kadar air, bobot 1000 biji. Hasil biji kering pada kadar air 15% dianalisis dengan menggunakan persamaan (CIMMYT, 1994): KA Hasil (kg/ha) = x x B x 0,80 L.P K.A =Kadar Air biji waktu panen L.P = Luas Panen (m2). B = Bobot Tongkol Kupasan (kg) R = Rata-rata rendemen (shelling percentage) HASIL DAN PEMBAHASAN DNA genomik Secara umum, kualitas DNA yang dihasilkan pada setiap isolasi cukup baik (Gambar 7). Dengan kualitas DNA genomik yang cukup baik tersebut pola pita DNA dapat terdeteksi secara optimal dengan metode SSR, terutama pada hasil PCR yang divisualisasi dengan menggunakan agarose super fine resolution. Berbeda halnya dengan 41

58 visualisasi hasil PCR dengan menggunakan gel polyacrilamide, dimana dengan DNA berkualitas rendah sampai sedang masih cukup optimal untuk divisualisasi (Lee, 1998). Gambar 7. Profil DNA pada agarose 0.80% dari tanaman yang telah diekstraksi dengan metode CTAB. No 1 dan 2 adalah DNA dengan konsentrasi masingmasing 100 dan 10 ng/ l. Kuantitas DNA yang diperoleh seperti yang disajikan pada Gambar 7 masih bervariasi mulai dari 10 ng sampai 200 ng/μl. Oleh karena itu masih diperlukan pengenceran sehingga kuantitas DNA yang diperoleh untuk kegiatan PCR berkisar ng/μl (Gambar 8). Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya penyebab terjadinya kegagalan amplifikasi produk PCR adalah karena konsentrasi DNA-nya yang tidak tepat Gambar 8. Profil DNA tanaman yang telah diencerkan pada agarose 0.75% dengan menggunakan pembanding 1= 25 ng/ l dan 2 = 10 ng/ l. DNA nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya sudah siap untuk di analisis PCR. Seleksi individu heterosigot opaque (Oo) dengan bantuan marka SSR spesifik Sebelum tanaman disilangkan pada setiap generasi silang balik, DNA yang sudah diencerkan dengan konsentrasi ng/μl diamplifikasi dengan mesin PCR. Untuk generasi silang balik CML 161 x Nei9008 menggunakan primer phi057 dan divisualisasi dengan gel poliakrilamid (vertikal) 6% (Gambar 9), sedangkan untuk generasi silang balik CML 161 x MR10 menggunakan primer umc1066 dan divisualisasi dengan agarose metafor 3% (Gambar 10). Daerah amplikasi kedua primer tersebut berada antara 140 (alel o)-160 bp (alel O). Pemilihan marka SSR spesifik phi057 didasarkan pada hasil survei sebelumnya, dimana marka tersebut memberikan amplifikasi yang polimorfis antara galur CML161 sebagai tetua donor gen resesif opaque-2 dengan galur Nei9008 (Pabendon et al., 2006). Dari penelitian pendahuluan, ternyata hasil produk PCR dengan menggunakan marka SSR spesifik phi057, gen resesif dan dominan opaque-2 hanya dapat diserperasi dengan 42

59 menggunakan PAGE, sedangkan pada agarose metafor 3% visualisasinya monomorfis. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan deteksi gel agarose super fine resolution hanya terbatas pada alel dengan polimorfisme yang cukup tinggi. Oleh karena tingkat resolusi gel akrilamid lebih tinggi dari pada gel agarose, maka gel tersebut mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mendeteksi sejumlah besar alel per lokus (Macaulay et al., 2001). 200 bp o M P1 P2 O 100 bp Gambar 9. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC 2 F 1 (progeny CML 161 (P2) x Nei9008 (P1) // Nei9008) hasil PCR yang divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057 Walaupun penggunaan gel agarose super fine resolution dalam visualisasi hasil produk PCR SSR memiliki keterbatasan (terutama pada DNA dengan panjang fragmen >4 bp (pasang basa)), namun jika suatu fragmen DNA dapat divisualisasi tingkat folimorfisnya dengan agarose, maka pekerjaan teknik SSR bisa lebih cepat dan relatif lebih mudah dilakukan (Prasanna dan Gark, 2002). P P2 Gambar 10. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC 2 F 1 (progeny CML 161 (P2) x Mr-10 (P1) // MR10) hasil PCR yang divisualisasi pada pada gel Agarose Methapor 3% dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066. Pada Gambar 9 dan 10, terlihat pola pita ganda yang berarti salah satu alelnya sama dengan tetua donor dan alel yang lainnya sama dengan tetua pemulihnya. Individu tanaman yang memiliki heterosigositas (Oo) diseleksi untuk disilangbalikkan lebih lanjut sampai terbentuk genotip BC 3 F 1. Sedangkan pola pita tunggal artinya adalah alel genotip silang balik tersebut mengikuti pola alel tetua pemulihnya (Nei9008 atau Mr-10) yaitu individu homosigot dominan untuk alel opaque. 43

60 Seleksi individu homosigot opaque (oo) dengan bantuan marka SSR spesifik Benih BC 3 F 2 yang diperoleh pada kegiatan percobaan sebelumnya ditanam masingmasing satu baris per genotip untuk menyaring idividu-individu tanaman yang telah memiliki gen homosigot resesif opaque-2 (oo) kemudian disilangdalamkan untuk membentuk genotip BC 3 F 3. Visualisasi hasil PCR genotip BC 3 F 3 disajikan pada Gambar 11 dan 12. P2 P Gambar 11. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC 3 F 2 (progeni CML 161 (P2) x Nei9008 (P1) // Nei9008) hasil PCR yang divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057 individu tanaman terseleksi P M P2 56 Gambar 12. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC 2 F 1 (progeny CML 161 (P2) x Mr-10 (P1) // MR10) hasil PCR yang divisualisasi pada pada gel Agarose Methapor 3% dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066. Tabel 10. Nilai Chi-kuadrat rata-rata untuk derajat kecocokan nisbah segregasi silang balik dan penyerbukan sendiri terhadap beberapa nisbah hipotetik. Persilangan Generasi Nisbah yang diuji Jumlah tanaman bergenotip OO Oo oo CML161 x Nei9008 BC1F1 1 : BC2F1 1 : BC3F1 1 : BC3F2 1 : 2 : CML161 x MR10 BC1F1 1 : BC2F1 1 : BC3F1 1 : BC3F2 1 : 2 : Kegiatan MAS pada Gambar 11 dan 12 memperlihatkan bahwa kegiatan seleksi dilakukan dengan cara menyaring individu tanaman yang memiliki pola pita tunggal yang sama dengan tetua donor gen opaque-2 (oo). Jumlah genotip yang tersaring berdasarkan X 2 P 44

61 pola pita DNAnya adalah 50 dari 200 individu tanaman genotip BC 3 F 2 dari progeni CML161 x Nei9008 dan 42 dari 201 individu tanaman genotip B 3 F 2 dari progeni CML161 x MR10 (Tabel 10). Berdasarkan hasil uji Chi-kuadrat, nisbah segregasi genotip BC 3 F 2 dari kedua pasangan persilangan tersebut sesuai dengan nisbah 1 : 2 : 1. Nisbah segregasi tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Babu (2005) yang menggunakan marka spesifik yang sama untuk menyaring materi genetik yang berbeda pada generasi BC 2 F 2. Penampilan agronomis galur hasil introgresi Untuk mengetahui penampilan dari galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo), telah dilakukan evaluasi lapangan terhadap beberapa karakter agronomis dan hasil. Dari 50 progeni CML161 x Nei9008 dan 42 progeni CML161 x MR10 yang tersaring, masing masing hanya 42 dan 36 genotip yang bisa ditanam kembali. Hal ini disebabkan karena beberapa tongkol yang bijinya tidak bisa dipanen karena busuk dan atau kurang berisi. Hasil evaluasi beberapa karakter agronomis dan potensi hasil biji dari galur-galur hasil introgresi gen opaque-2 (oo) disajikan pada Tabel 11 dan 12. Komponen agronomi yang diamati meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur keluar serbuk sari dan rambut. Pada pengamatan tinggi tanaman, hanya beberapa genotip yang nyata lebih tinggi dari salah satu pembanding (CML161), yaitu MR10+o2-17, MR10+o2-25, MR10+o2-26, dan MR10+o2-35. Tidak satupun genotip yang memiliki tinggi letak tongkol yang berbeda nyata dari galur pembanding. Galur MR10+o2 umumnya memiliki tinggi tanaman yang relatif lebih tinggi dari galur Nei9008+o2. Hal ini berarti bahwa jika terdapat salah satu pasangan heterotik yang sesuai antara kedua kelompok galur ini, maka galur MR10+o2 sangat cocok untuk dijadikan sebagai tanaman pejantan. Pada karakter 50% umur berbunga, hanya galur Nei9008+o2-13 dan Nei9008+o2-37 yang nyata lebih genjah dibandingkan dengan kedua pembanding. Hasil Uji LSI untuk karakter hasil seperti yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa beberapa galur Nei9008+o2 yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari salah satu dan atau kedua galur pembanding. Tiga galur memperlihatkan hasil biji nyata lebih tinggi dari kedua galur pembanding yaitu Nei9008+o2-12 (3.8 t/ha), Nei9008+o2-15 dan Nei9008+o2-12 (3.9 t/ha). Berbeda halnya dengan hasil uji LSI pada Tabel 12, tidak terdapat galur MR10+o2 yang memiliki potensi hasil yang nyata lebih tinggi dari pembanding. 45

62 Tabel 11. Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Nei9008 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK Genotip TT T_Tk UBJ UBB Bobot KA Y Bobot 1000 biji cm cm hari hari Tkl % t/ha g Nei9008+o a a Nei9008+o a Nei9008+o a 21.5 ab 3.3 a Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o a Nei9008+o ab Nei9008+o a ab Nei9008+o a a Nei9008+o Nei9008+o ab Nei9008+o a 21.1 ab 3.8 ab a Nei9008+o ab 3.3 a 20.6 ab 3.5 a Nei9008+o a 20.7 ab 3.6 a Nei9008+o ab ab Nei9008+o Nei9008+o ab Nei9008+o a a Nei9008+o Nei9008+o a 21.2 ab 3.4 a ab Nei9008+o a a Nei9008+o ab ab Nei9008+o a a ab Nei9008+o a a Nei9008+o Nei9008+o a a Nei9008+o Nei9008+o ab Nei9008+o a a Nei9008+o a a ab Nei9008+o a b ab Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o ab ab Nei9008+o a a Nei9008+o a Nei9008+o a Nei9008+o a a Nei9008+o a a CML161 (Cek-1) Nei9008 (Cek-2) LSI 5% KK % a =nyata lebih baik dari cek-1(cml161) dan b = nyata lebih baik dari cek-2 (Nei9008) pada taraf 5 % LSI. Keterangan: TT = Tinggi tanaman (cm), (2) T_Tkl = Tinggi letak tongkol (cm), UBJ = Umur 50 % keluarnya pollen (hari), UBB = Umur50 % keluarnya rambut (hari), KA = kadar air, Y = hasil biji pada kadar air 15 %, (5) Bbj = bobot 1000 biji pada kadar air 15 % (g); Inf = Infeksi. 46

63 Tabel 12. Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x MR10 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK Genotip TT T_Tk UBJ UBB Bobot KA Y Bobot 1000 biji cm cm hari hari Tkl % t/ha g MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o a MR10+o MR10+o MR10+o b MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o a MR10+o a MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o a MR10+o a a MR10+o CML161 (cek-1) MR10 (Cek-2) LSI 5% KK % a = nyata lebih tinggi dari cek-1(cml161) dan b = nyata lebih baik dari cek-2 (MR10) pada taraf 5 % LSI. Keterangan: TT = Tinggi tanaman (cm), (2) T_Tkl = Tinggi letak tongkol (cm), UBJ = Umur 50 % keluarnya pollen (hari), UBB = Umur50 % keluarnya rambut (hari), KA = kadar air, Y = hasil biji pada kadar air 15 %, Pengetahuan tentang potensi hasil galur sangat penting karena terkait dengan produksi benih hibrida. Salah satu kendala yang sering muncul dalam produksi benih hibrida adalah karena induk betina merupakan galur penyerbukan sendiri yang pada 47

64 umumnya memiliki produktivitas rendah (Poespodarsono, 1988). Galur yang memiliki potensi hasil tinggi juga memberi produktivitas benih hibrida yang tinggi. Permasalahan yang sering muncul di lapangan adalah tidak selamanya galur yang potensi hasilnya tinggi mendapatkan pasangaan heterotik yang sesuai untuk mendapatkan potensi hasil benih hibrida yang tinggi. A B C Gambar 13. Penampilan tongkol galur jagung Nei9008 hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC 3 F 3 Tampak dari kiri ke kanan (A) biji dengan opaque berwarna buram, (B) biji dengan opaque-semi buram dan (C) modifikasi opaque sempurna. Selain potensi hasil, penampilan biji juga perlu mendapat perhatian dalam seleksi karena terkait dengan kelemahan penampilan biji dari QPM yaitu fenotipe biji yang lunak dan berkapur (Bjarnason dan Vasal, 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna biji yang diperoleh bervariasi yaitu modifikasi biji opaque kurang dari 25%, modifikasi biji opaque 25% - 50%, modifikasi biji opaque diatas 50% dan modifikasi opaque sempurna (Gambar 13 dan 14). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat lorelasi positif antara warna biji dengan ketahanan galur-galur terhadap penyakit bulai. Galur-galur yang terseleksi resisten terhadap penyakit bulai, juga memililiki warna biji yang lebih jernih, sebaliknya galur yang berwarna biji buram lebih rentan terhadap penyakit bulai. 48

65 A B C D Gambar 14. Penampilan biji jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3 di atas cahaya lampu. Tampak dari kiri ke kanan (A) biji jagung normal, (B) biji dengan opaque diatas 50%, (C) biji dengan opaque kurang dari 50% dan (D) modifikasi opaque sempurna. KESIMPULAN 1. Marka SSR spesifik phi057 dan umc1066 secara berturut-turut terbukti efektif dan efisien digunakan menyeleksi galur-galur progeni CML 161 x Nei9008 dan CML 161 x MR10 yang telah terintrogresikan dengan gen homosigot resesif opaque-2 (oo). 2. Uji Chi-kuadrat ( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada tiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri pada penelitian ini sesuai dengan nisbah hipotetik yaitu masing-masing 1 : 1 dan 1 : 2 : 1 3. Dari 50 progeni CML161 x Nei9008 tersaring dengan bantuan marka spesifik phi057, diperoleh 42 galur Nei9008+o2 yang bisa dievaluasi lebih lanjut, dan dari 42 progeni CML161 x MR10 yang tersaring dengan marka spesifik umc1066, diperoleh 36 galur MR10+o2. 4. Diperoleh beberapa galur Nei9008+o2 yang memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dari salah satu dan atau kedua galur pembanding, sedangkan pada galur MR10+o2 potensi hasilnya tidak berbeda nyata dengan pembanding. 5. Penampilan warna biji galur hasil introgresi yang diperoleh bervariasi yaitu modifikasi biji opaque kurang dari 25%, modifikasi biji opaque 25% - 50%, modifikasi biji opaque diatas 50% dan modifikasi opaque sempurna. 49

66 Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Pendahuluan Penyakit bulai merupakan salah satu penyakit utama tanaman jagung di Indonesia terutama pada sentra-sentra produksi seperti Pulau Jawa, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi. Jenis patogen yang paling banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman jagung di sentra-sentra produksi jagung tersebut adalah Peronosclerospora maydis (De- Leon, 1984). Perakitan varietas jagung resisten terhadap penyakit bulai melalui pemuliaan merupakan program cara yang paling aman dan efektif dalam mengatasi penularan penyakit tersebut. Syarat utama yang diperlukan untuk merakit varietas unggul baru yang resisten terhadap penyakit bulai adalah tersedianya materi genetik yang memiliki variabilitas genetik yang luas. Variabilitas genetik timbul dari gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen lain. Pada individu-individu generasi awal, sebagian besar gen masih mengalami segregasi sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Oleh karena itu, seleksi untuk suatu karakter yang dikendalikan secara poligenik, umumnya dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan demikian, fiksasi gen-gen kuantitatif pada suatu individu tanaman dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Untuk merakit hibrida jagung resisten terhadap penyakit bulai memerlukan rekombinasi tetua (galur-galur inbrida) yang memiliki daya gabung baik. Salah satu cara untuk mengetahui daya gabung galur adalah melalui model persilangan design II atau line x tester. Daya gabung merupakan suatu ukuran kemampuan suatu genotip tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman unggul. Dengan mengetahui daya gabung dari kandidat tetua hibrida, dapat diperoleh informasi tentang kombinasi-kombinasi persilangan yang mampu menghasilkan turunan resisten terhadap penyakit bulai. Hasil analisis dialel yang dilakukan oleh Mochizuki, et al. (1974) terhadap sembilan galur dan 36 F 1 menyimpulkan bahwa galur dengan daya gabung khusus tinggi mempunyai keturunan yang resisten terhadap penyakit bulai dan ketahanannya dikendalikan oleh gen-gen dominan. Sedangkan menurut Rifin (1983) yang melakukan evaluasi daya gabung umum terhadap empat galur resisten melalui persilangan puncak dengan menggunakan tiga galur rentan sebagai tester, menyimpulkan bahwa galur yang 50

67 memiliki efek daya gabung umum negatif dan nilai heterosis tinggi lebih resisten terhadap penyakit bulai. Berkaitan dengan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini akan dilakukan penyaringan galur-galur inbrida hasil introgresi gen mutan o2 untuk resistensi terhadap penyakit bulai dari dua set sebagai kandidat tetua hibrida. Galur-galur yang tersaring sebagai kandidat tetua persilangan tersebut perlu dianalisis kandungan lisin dan triptofannya. Kombinasi persilangan dari galur-galur terseleksi yang berasal dari suatu set galur yang berbeda akan diuji daya gabungnya berdasarkan persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai pada blok pengujian dengan menggunakan teknik tanaman baris penyebar. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menyeleksi galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 yang resisten terhadap penyakit bulai untuk dijadikan sebagai kandidat tetua hibrida, mendapatkan informasi kandungan lisin dan triptofan kandidat tetua hibrida, serta menguji daya gabung dan heterosis untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Bahan dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua musim yaitu pada musim pertama dilakukan seleksi galur-galur hasil introgresi untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dan pembentukan hibrida F 1 dari galur-galur terseleksi dengan metode lini x tester. Masingmasing delapan galur dari kedua set genotip yang terseleksi resisten bulai saling disilangkan untuk membentuk hibrida F 1. Pada musim kedua dilakukan evaluasi daya gabung karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dengan menggunakan hibrida F 1 yang dihasilkan pada musim pertama. Kegiatan musim pertama berlangsung dari bulan Maret hingga Juli 2006 di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor. Kegiatan musim kedua berlangsung dari bulan Juli hingga September 2006 di Kebun Percobaan Bajeng (Gowa, Sulawesi Selatan), Balai Penelitian Tanaman Serealia. Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan pada musim pertama adalah 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2. Sebagai cek digunakan CML 161 dan CML 165 (cek rentan), serta MR10 dan Nei9008 (cek resisten). Pada musim kedua digunakan masing-masing 8 galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten bulai, 64 F 1 dari hasil 51

68 silangannya, dan Varietas cek: Varietas Hibrida: C7, Bima 1, Bima 1q dan Varietas Komposit Srikandi Kuning-1. Pelaksanaan Penelitian Musim Tanam Pertama : Seleksi ketahanan galur-galur hasil introgresi gen mutan homosigot resesif o2 terhadap penyakit bulai dan pembentukan hibrida silang tunggal Sebanyak 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek (CML161, MR10, Nei9008 dan CML165) diuji ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan menggunakan rancangan perbesaran (Augmented Design) tanpa ulangan di Kebun Percobaan Cikemeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor pada MH Materi genetik masing-masing ditanam 2 baris dengan jarak tanam 70 cm antar baris dan 20 cm dalam baris. Evaluasi ketahanan terhadap penyakit bulai dilakukan dengan cara menginokulasi tanaman baris penyebar dan genotip uji. Teknik penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). Tata letak percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 4. Kegiatan ini dilanjutkan dengan melakukan persilangan antar set galur. Masingmasing 8 galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten bulai saling disilangkan mengikutimodel persilangan design II (factorial design) untuk membentuk hibrida silang tunggal (Gambar 15). A 1 A 2 A 3 A 4 A 5 A 6 A 7 A 8 B 1 B 1 A 1 B 1 A 2 B 1 A 3 B 1 A 4 B 1 A 5 B 1 A 6 B 1 A 7 B 1 A 8 B 2 B 2 A 1 B 2 A 2 B 2 A 3 B 2 A 4 B 2 A 5 B 2 A 6 B 2 A 7 B 2 A 8 B 3 B 3 A 1 B 3 A 2 B 3 A 3 B 3 A 4 B 3 A 5 B 3 A 6 B 3 A 7 B 3 A 8 B 4 B 4 A 1 B 4 A 2 B 4 A 3 B 4 A 4 B 4 A 5 B 4 A 6 B 4 A 7 B 4 A 8 B 5 B 5 A 1 B 5 A 2 B 5 A 3 B 5 A 4 B 5 A 5 B 5 A 6 B 5 A 7 B 5 A 8 B 6 B 6 A 1 B 6 A 2 B 6 A 3 B 6 A 4 B 6 A 5 B 6 A 6 B 6 A 7 B 6 A 8 B 7 B 7 A 1 B 7 A 2 B 7 A 3 B 7 A 4 B 7 A 5 B 7 A 6 B 7 A 7 B 7 A 8 B 8 B 8 A 1 B 8 A 2 B 8 A 3 B 8 A 4 B 8 A 5 B 8 A 6 B 8 A 7 B 8 A 8 Keterangan: A = MR10+o2; B = Nei9008+o2 Gambar 15. Skema persilangan galur-galur Nei9008+o2 x MR10+o2 mengikuti model persilangan design II (factorial design). 52

69 Galur-galur MR10+o2 dijadikan sebagai tetua jantan sedangkan galur-galur Nei9008+o2 dijadikan sebagai tetua betina. Jumlah tanaman yang disilangkan adalah 5-7 tanaman per kombinasi persilangan. Setelah panen, dipilih masing-masing 3-4 tongkol per kombinasi persilangan kemudian dicampur untuk digunakan sebagai materi pengujian berikutnya. Evaluasi kandungan lisin dan triptofan Untuk analisis kandungan lisin dan triptofan, digunakan masing-masing delapan galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten terhadap penyakit bulai serta CML 161, Nei9008 dan MR10 sebagai cek. Masing-masing 25 biji per galur dikirim sampelnya ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT, Mexico untuk dianalisis kandungan lisin, triptofan dan protein kasarnya. Musim Tanam Ke dua: Evaluasi daya gabung kombinasi persilangan antar kedua set galur resisten terhadap penyakit bulai Hibrida silang tunggal yang diperoleh pada musim pertama dan tetuanya serta Varfietas cek (Varietas Hibrida: C7, Bima 1, Bima 1q dan Varietas Komposit Srikandi Kuning-1) dievaluasi ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan (Lampiran 3). Benih ditanam dua biji per lubang pada satu baris plot per genotip dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm. Panjang plot baris 3 m sehingga pada setiap plot ditanam 60 biji per ulangan. Pada setiap 10 baris genotip uji juga ditanam satu baris cek rentan (Varietas Srikandi Kuning 1) untuk mengetahui sebaran konidia patogen bulai di lahan pengujian. Metode inokulasi dan evaluasi tingkat ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai sama dengan metode evaluasi pada penelitian satu dan dua. Pengamatan Cara pengamatan kegiatan musim pertama dan kedua pada prinsipnya sama yaitu dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 14, 21, 28 dan 35 hari setelah tanam. Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan pertama, ke dua, ke tiga dan keempat, lalu dikonversi kedalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b 53

70 keterangan : P a b = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah tanaman pada umur 14 hst Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 35 hst penulannya sudah jarang terjadi dan tanaman biasanya masih mampu menghasilkan tongkol dan biji. Analisis Data Analisis Ragam Data evaluasi bulai yang diperoleh pada musim pertama dianalisis ragam menurut rancangan perbesaran, tanpa ulangan, sedangkan data hasil pengamatan evaluasi bulai pada musim kedua dianalisis ragam dan daya gabung mengikuti model analisis lini x tester, dimana Set B sebagai lini (tetua betina) dan Set A sebagai tester (tetua jantan). Tabel 13. Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model random Sumber Variasi Derajat Bebas (DB) KT Nilai Harapan KT F.Hit. Ulangan (R) r - 1 Genotip g-1 Tetua p-1 Silangan (F 1 ) lt-1 Tetua vs. F 1 1 Lini (L) l -1 M r tl rt l M 4 /M Tester (T) t - 1 M 3 r tl rl t M 3 /M L x T (l - 1) (t - 1) M 2 r tl M 2 /M 1 2 Galat (l t - 1)(r - 1) M 1 e Total l t r 1 e e e Untuk mengetahui adanya variasi yang nyata diantara genotip, dilakukan analisi varians menggunakan uji-f dengan tingkat kepercayaan 1% dan 5%. Apabila hasil analisis varians menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan analisis lini x tester (Tabel 13) untuk menduga nilai daya gabung dan komponen varians genetiknya Singh dan Chaudhary, 1979). 54

71 Analisis Daya Gabung Daya gabung yang dianalisis adalah daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Estimasi efek daya gabung tersebut menggunakan formula sebagai berikut (Singh dan Chaudary, 1979): DGU lini: DGU tester: g i x i. x.. tr ltr DGK: g g keterangan : i i x. j tr xij r x.. ltr x x i j x.. tr lr ltr x i. : Total lini ke-i x. : Total tester ke-j pada semua lini j x ij x.. r l t : Total persilangan lini ke-i dan tester ke-j : Grand total : jumlah ulangan : jumlah lini : jumlah tester Untuk menentukan adanya beda nyata DGU dan DGK terhadap rata-rata umum digunakan uji t dengan menggunakan formula sebagai berikut (Baihaki et al., 1999; Petersen, 1994): x x 1 2 t S d db t-tabel = n - 2 Keterangan: n S d = ragam gabungan = jumlah data pada x i. untuk DGU tester, dan pada x.j untuk DGK dan pada x ij untuk DGK x 1 = rata-rata x i. untuk DGU lini, pada x. j untuk DGU tester, dan pada x ij untuk DGK x 2 = rata-rata x.. 55

72 t = t-hitung dengan ketentuan bahwa jika: t-hitung < t-tabel, maka nilai DGU atau DGK nyata t-hitung > t-tabel, maka nilai DGU atau DGK tidak nyata. Analisis Heterosis Analisis heterosis dilakukan dengan dua cara, yaitu nilai heterosis rata-rata tetua (mid parent heterosis) dan heterosis tetua terbaik (heterobeltiosis), sebagai berikut (Fehr, 1987): F Heterosis rata-rata tetua (%) 1 P1 P 2 / 2 h P1 P 2 /2 x 100 Heterosis tetua terbaik (%) F 1 h - HP HP x 100 Keterangan : F1 P1 P2 rata-rata penampilan hibrida (F1) rata-rata penampilan tetua pertama rata-rata penampilan tetua kedua HP = rata-rata penampilan tetua terbaik Hasil dan Pembahasan Seleksi ketahanan penyakit bulai dari galur-galur hasil introgersei gen mutan o2 Data presentase bulai galur-galur yang telah diintrogresikan gen mutan o2 disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Presentase infeksi penyakit bulai pada galur-galur MR10+o2 sangat bervariasi antara 0.6% 83.9%, sedangkan pada Nei9008+o2 variasinya cukup sempit yaitu antara 0% %. Dari hasil penyaringan tersebut, terseleksi masing-masing 8 galur resiste terhadap penyakit bulai untuk digunakan sebagai tetua persilangan berikutnya (Tabel 14). Galur-galur terseleksi memiliki tingkat ketahanan yang cukup tinggi yaitu > 10%. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh kombinasi persilangan yang resisten terhadap penyakit bulai. 56

73 Galur-galur yang terseleksi sebagai kandidat tetua rekombinasi dengan metode lini x tester, sebagian bijinya (25 biji per genotip) dikirim ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT untuk dianalisis mutu proteinnya. Hasil analisis kandungan lisin dan triptofan dari galur-galur terseleksi tersebut, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase penularan patogen penyakit bulai dan mutu protein galur-galur hasil introgresi yang terseleksi sebagai kandidat tetua persilangan metode lini x tester. No Genotip Infeksi Bulai (%) Mutu Protein (%) Progeni vs Tetua Silang Balik (%) Protein Total (%) Indeks Kualitas Tript Lisin Tript Lisin Lini 1 Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o Nei9008+o CML Nei LSI 12.1 KK (%) 9.9 Tester 1 MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o MR10+o CML MR LSI 5% 11.3 KK (%) 10 Keterangan: Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; Protein = %N x Factor (6.25); Quality Index = %Try %Protein x 100. Lisin, triptofan dan protein total dianalisis di Laboratorium Analsis Tanah dan Tanaman, CIMMYT Mexico pada periode 17 Oktober 17 November, 2006 Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan triptofan galur-galur Nei9008+o2 berkisar antara 211.1% hingga 229.8%, sedangkan kandungan lisinnya berkisar antara 183.1% sampai dibandingkan dengan galur asalnya (Nei9008). Galur MR10+o2 57

74 yang dianalisis memiliki kandungan triptofan dan lisin masing-masing berkisar antara 127.6% dan dibandingkan dengan galur asalnya (MR10). Dari hasil analisis tersebut, terungkap bahwa marka SSR cukup efektif digunakan untuk menyeleksi tanaman yang memiliki gen mutan resesif homosigot opaque-2 dengan biji yang jernih dimana seleksi secara fenotipik (visual) dengan ligh table tidak bisa dilakukan. Dengan demikian, pemanfaatan marka SSR phi057 dan umc1066 dapat mempercepat proses seleksi untuk pembentukan hibrida yang berkualitas protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai. Analisis Ragam Hasil analisis varians pada Tabel 15, menunjukkan bahwa penampilan karakter ketahanan terhadap penyakit bulai antar genotip, silangan (F 1 ), tetua betina (lini) dan tetua jantan (tester) berbeda nyata pada tarafuji α 1%. Nilai kuadrat tengah lini dan tester untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai yang nyata menunjukkan varians aditifnya merata, sedangkan nilai kuadrat tengah silangan yang nyata menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik karakter tersebut diantara F 1. Nilai kuadrat tengah yang tidak nyata pada tetua vs F1 dan antara lini x tester disebabkan karena baik lini maupun tester telah mengalami seleksi dan dinyatakan resisten terhadap penyakit bulai. Sebaran konidia patogen bulai pada lokasi pengujian cukup merata karena varietas Srikandi Kuning-1 sebagai cek rentan yang ditanam pada setiap 10 baris genotip uji, semuanya terinfeksi penyakit bulai (terinfeksi 100%). Tabel 15. Nilai varians karakter ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan model random Sumber Variasi Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F hitung Replikasi Genotip ** Tetua Silangan (F 1 ) ** Tetua vs. (F 1 ) Silangan ** Lini ** Tester ** LinixTester Galat Total Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi 58

75 Analisis Daya Gabung Nilai duga efek daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dari masing-masing galur disajikan pada Tabel 16 dan 17. Beberapa genotip memiliki nilai efek DGU dan DGK relatif tinggi untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai (nilai negatif lebih tinggi daripada nilai positif). Tabel 16. Efek daya gabung umum karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester No Genotip Nilai tengah (%) Efek DGU t.uji Lini 1 Nei9008+o2-09 (L1) Nei9008+o2-11 (L2) * Nei9008+o2-14 (L3) Nei9008+o2-15 (L4) Nei9008+o2-24 (L5) Nei9008+o2-26 (L6) Nei9008+o2-27 (L7) Nei9008+o2-41 (L8) * Tester 1 MR10+o2-08 (T1) MR10+o2-13 (T2) MR10+o2-21 (T3) MR10+o2-24 (T4) MR10+o2-26 (T5) MR10+o2-30 (T6) ** MR10+o2-31 (T7) MR10+o2-32 (T8) Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi * nyata menurut uji t pada tarafα= 5% (-1.96); ** nyata menurut uji t pada tarafα= 1% (-2.58) Pada Tabel 16 terlihat bahwa lini yang memiliki daya gabung umum yang nyata adalah Nei9008+o2-11 (-7.16) dan Nei9008+o2-71 (-6.71). Kedua lini tersebut juga memiliki nilai tengan persentase infeksi bulai yang sangat rendah dari semua kombinasi persilangannya dengan tester. Lini yang memiliki nilai DGU yang nyata berarti bahwa genotip tersebut baik digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Selain itu, dari delapan tester yang digunakan, hanya MR10+o2-30 yang memiliki daya gabung umum yang nyata dengan nilai sebesar -3.8 dan nilai tengah infeksi bulai sebesar 10.2%. Nilai DGU nyata tersebut menunjukkan bahwa MR10+o2-30 mempunyai kemampuan sebagai penggabung umum yang baik untuk menghasilkan hibrida jagung resisten terhadap penyakit bulai. Pada penelitian 59

76 sebelumnya, Rifin (1983) yang melakukan evaluasi DGU dengan metode persilangan puncak melaporkan bahwa galur-galur inbrida jagung yang memiliki DGU negatif mampu menghasilkan turunan yang resisten terhadap penyakit bulai. Persilangan antara dua galur penggabung umum yang baik belum tentu menunjukkan daya gabung khusus yang baik pula, tetapi penggabung umum yang sedang atau kurang juga dapat menunjukkan daya gabung khusus yang baik (Maurya dan Singh, 1977; Silitonga et al., 1993). Daya gabung khusus merupakan deviasi dari suatu hibrida dari nilai yang diharapkan berdasarkan penampilan tetuanya dan menggambarkan aksi gengen non aditif (non fixable genes). Hasil analisis daya gabung khusus tanaman jagung terhadap penyakit bulai dengan metode persilangan lini x tester disajikan pada Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat bahwa hanya lini Nei9008+o2-41 (L8) dan tester MR10+o2-30 (T6) yang masing-masing memiliki DGU yang nyata, dan setelah berrekombinasi juga memiliki DGK yang nyata. Selain itu, beberapa lini yang DGU-nya nyata setelah disilangkan dengan tester yang DGU-nya tidak nyata (Nei9008+o2-41 (L8) // MR10+o2-08 (T1), Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-26 (T5) dan Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-31 (T7) menunjukkan DGK yang nyata. Demikian pula halnya dengan lini Nei9008+o2-24 (L5) yang memiliki DGU tidak nyata, tetapi setelah disilangkan dengan tester MR10+o2-30 (T6) yang DGU-nya nyata, juga menunjukkan DGK yang nyata. Menurut Virmani (1994), hibrida yang menunjukkan DGK yang tinggi, biasanya dihasilkan dari rekombinasi persilangan dimana paling sedikit satu tetuanya memiliki DGU yang tinggi. Namun demikian, beberapa dari rekombinasi persilangan yang salah satu atau kedua tetuanya memiliki DGU tinggi, namun setelah dipasangkan dalam persilangan, DGK-nya rendah dan bahkan bisa juga terjadi suatu rekombinasi persilangan yang DGK-nya tinggi, meskipun kedua tetuanya memiliki DGU tinggi. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian ini, dimana dari hasil analisis DGU dan DGK, teridentifikasi bahwa lini Nei9008+o2-11 (L2) dan tester MR10+o2-30 (T6) yang masingmasing memiliki DGU yang nyata, namun setelah disilangkan DGK-nya tidak nyata. Sebaliknya, lini dan tester yang DGU-nya tidak nyata, namun setelah disilangkan menunjukkan DGK yang nyata yaitu Nei9008+o2-14 (L3) // MR10+o2-26 (T5) dan Nei9008+o2-27 (L7) // MR10+o2-08 (T1). Kejadian tersebut diduga karena keterlibatan dari gen-gen non aditif yang saling melengkapi pada lokus yang berbeda sehingga hanya dapat terekspresi pada hibrida dari rekombinasi persilangan tertentu untuk karakter ketahanan tanaman terhadap penyakit bulai. Selain itu, faktor lingkungan juga memiliki 60

77 pengaruh yang cukup besar dalam pendugaan nilai DGU sehingga untuk menjadikan DGU sebagai suatu parameter, pengaruh faktor lingkungan perlu diminimalisasi melalui analisis berdasarkan hasil pengujian pada beberapa lokasi (Virmani, 1999). Tabel 17. Efek daya gabung khusus karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester No Silangan % Infeksi Efek DGK No Silangan % Infeksi Efek DGK 1 L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T * 5 L1/T * 39 L5/T L1/T L5/T L1/T L6/T L1/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T * 47 L6/T L2/T L6/T L2/T * 49 L7/T * 16 L2/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T * 55 L7/T L3/T L7/T L3/T L8/T * 24 L3/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T C 1 C L4/T C 2 Bima L5/T C 3 Bima 1q L5/T C 4 Srikandi K Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi, * nyata menurut uji t pada taraf α = 5% (-1.96); ** nyata menurut uji t pada taraf α = 1% (-2.58) 61

78 Nilai DGK tertinggi diperoleh pada rekombinasi persilangan antara Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-31 (T7). Nei9008+o2-11 (L2) memiliki DGU tinggi (nilai tengah infeksi patogen bulai rendah) sedangkan MR10+o2-31 (T7) memiliki DGU rendah (nilai tengah infeksi patogen bulai tertinggi). Singh dan Kumar (2004) melaporkan bahwa nilai DGK yang tinggi dapat terjadi dari persilangan antara dua galur karena adanya interaksi antara alel positif (gen ketahanan) dari tetua DGU tinggi dengan alel negatif dari tetua dengan DGU yang rendah. Nilai DGK terendah diperoleh pada persilangan antara lini yang memiliki DGU terendah (Nei9008+o2-09 (L1) dengan tester yang juga memiliki DGU terendah (MR10+o2-31 (T7). Selain nilai DGK-nya terendah, Nei9008+o2-09 (L1) memiliki nilai DGU terendah pada kelompok lini dan MR10+o2-31 (T7) memiliki nilai DGU terendah pada kelompok tester. Hal ini diduga karena persilangan antara dua galur yang meliliki nilai DGU terendah tersebut tidak menimbulkan adanya efek dominan sehingga DGK-nya rendah. Tabel 18. Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester. Parameter Nilai Duga 2 DGU DGK Aditif Do min an Konstribusi Lini (%) Konstribusi Tester (%) Konstribusi Lini x Tester (%) Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi Nilai duga parameter genetik berdasarkan analisis lini x tester untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai disajikan pada Tabel 18. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai duga varians DGK lebih besar dibanding dengan varians DGU, sedangkan nilai duga varians dominan lebih tinggi dibandingkan dengan varians aditif (nilai negatif lebih tinggi daripada nilai positif). Hal ini menunjukkan bahwa aksi gen-gen non-aditif (alel-alel dominan dan dominan sebagian) yang saling melengkapi pada berbagai lokus yang berbeda pada hibrida F1 memberikan pengaruh yang cukup besar dalam 62

79 mengendalikan ketahanan tanaman uji terhadap penyakit bulai. Konstribusi lini terhadap varians total mencapai 43.0%, lebih tinggi daripada konstribusi tester yang mencapai 20.7% dan lini x tester yang mencapai 36.3%. Heterosis Nilai heterosis terhadap rata-rata tetua pada 64 persilangan F 1 berkisar antara sampai 26.7%, sedangkan nilai heterosis terhadap tetua tertinggi berkisar antara -47.2% sampai 22.8% (Tabel 19) (analisis berdasarkan tanaman sehat, nilai positif lebih tinggi dari negatif). Beberapa rekombinasi persilangan memiliki nilai heterosis positif, yaitu 54 rekombinasi (54.7% dari semua kombinasi) untuk nilai heterosis terhadap rata-rata tetua dengan kisaran 0.6% sampai 26.7% dan 21 rekombinasi (32.8% dari semua kombinasi) dan untuk nilai heterosis terhadap tetua tertinggi dengan kisaran 0.9% sampai 22.8%. Nilai heterosis tertinggi diperoleh dari rekombinasi persilangan lini Nei9008+o2-24 (L5)// MR10+o2-30 (T6). Nei9008+o2-24 (L5) memiliki nilai DGU tidak nyata, sedangkan tester MR10+o2-30 (T6) nilai DGU-nya nyata tertinggi. Hasil persilangan dari kedua galur tersebut menunjukkan DGK yang nyata, tetapi bukan merupakan DGK tertinggi. Menurut Poehlman dan Borthakur (1977), persilangan antara galur/tetua yang yang memiliki latar belakan genetik yang jauh akan menghasilkan keturunan silang tunggal yang mempunyai nilai heterosis tinggi dibanding tetua yang latar belakang genetiknya yang dekat. Dengan demikian, diduga bahwa rekombinasi persilangan lini dan tester yang memiliki nilai heterosis tinggi pada penelitian ini memiliki jarak genetik yang jauh. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pabendon et al. (2006) dilaporkan bahwa hasil analisis kekerbatan genetik berdasarkan 39 lokus SSR, galur Nei9008 dan MR10 berada pada klaster yang berbeda. Dengan demikian, secara gentik, galur asal dari kedua kelompok inbrida yang digunakan pada penelitian ini memiliki kekerabatan yang jauh. Beberapa rekombinasi lini x tester yang memiliki nilai heterosis negatif diduga karena kedua galur asal yang digunakan pernah disilangkan dengan CML161 sebagai sumber gen mutan resesif homosigot opaque-2 sebelum dilakukan silang balik sehingga didug beberapa diantara kelompok lini dan tester masih memiliki jarak genetik yang dekat. Rekombinasi persilangan yang mempunyai nilai heterosis tertinggi bukan berasal dari rekombinasi yang memiliki efek DGK tertinggi. Namun demikian, rekombinasi persilangan yang efek DGK-nya nyata, pada umumnya memiliki nilai heterosis yang positif. Dengan demikian, galur yang mempunyai efek DGK lebih tinggi belum tentu 63

80 nilai heterosisnya juga lebih tinggi karena nilai heterosis relatif terhadap tetuanya sedangkan DGK relative terhadap galur-galur yang diuji. Tabel 19. No Fenomena heterosis karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester. Silangan Heterosis % Heterobeltiosis % No Silangan Heterosis % Heterobeltiosis % 1 L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L1/T L5/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L2/T L6/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L3/T L7/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T L4/T L8/T Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang sehat 64

81 KESIMPULAN 1. Galur galur Nei9008+o2 lebih resisten terhadap penyakit bulai dibandingkan dengan Galur galur MR10+o2. Dari hasil penyaringan, masing-masing delapan galur hasil introgresi gen mutan o2 terseleksi sebagai tetua persilangan metode lini x tester. Galur-galur hanya terinfeksi ringan P. maydis yaitu <10%. 2. Lini dan tester memiliki kandungan lisin dan triptofan meningkat hingga diatas dua kali lipat dibandingkan dengan tetua pemulihnya. Sebagian besar lini Nei9008+o2 memiliki kandungan lisin dan triptofan lebih tinggi daripada tester MR10+o2. 3. Lini Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71 memiliki efek DGU nyata, sedangkan untuk tester adalah MR10+o2-30. Tuju kombinasi persilangan mempunyai efek efek DGK nyata. 4. Terdapat 54 rekombinasi persilangan (54.7% dari semua kombinasi) memiliki nilai heterosis terhadap terhadap rata-rata tetua dan 21 rekombinasi (32.8% dari semua kombinasi) untuk nilai heterosis terhadap tetua tertinggi. 5. Hasil analisis memperlihatkan pengaruh yang besar dari aksi gen-gen non aditif terhadap karakter ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. 65

82 Penelitian IV: Evaluasi Daya Gabung dan Potensi Karakter Hasil, Komponen Hasil dan Agronomis Galur-Galur Hasil Introgersi Gen Mutan o2 PENDAHULUAN Swasembada jagung tahun 2007 yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan suatu tantangan untuk menjawab permasalahan pangan dan kemiskinan yang saat ini masih melanda bangsa kita. Selain sebagai bahan pangan kedua setelah padi, jagung juga merupakan bahan baku industri, terutama pakan ternak sehingga kebutuhan jagung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya kebutuhan jagung di Indonesia ternyata tidak diikuti oleh peningkatan produksi. Pemenuhan kebutuhan jagung dari produksi domestik untuk pangan baru mencapai 40%, sedangkan untuk bahan baku industri pakan untuk pengembangan peternakan baru mencapai 42% (Badan Pusat Statistik, 2002). Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran jagung semakin strategis, sehingga kekurangan pasokan perlu diatasi melalui peningkatan produksi. Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung nasional adalah mengintensifkan kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Jagung hibrida memanfaatkan gen non aditif dan aditif sehingga mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan jagung komposit, diantaranya adalah potensi hasil yang lebih tinggi, lebih seragam, dan penampilannya lebih menarik. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan mutu dan nilai gizi produk-produk pertanian, maka dalam penelitian jagung selain diarahkan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dengan daya adaptasi yang luas, juga untuk perbaikan nilai gizinya seperti peningkatan mutu kandungan protein. Hal ini dapat dilakukan setelah ditemukannya gen mutan opaque 2 yang dapat digabungkan dengan gen opaque 2 pada jagung normal sehingga mampu meningkatkan kandungan lisin dan triptofan jagung hingga dua kali lipat dengan fenotip endosperma yang keras (Bjarnason dan Vasal, 1992; Paez et. al, 1973). Selain itu, jagung hasil modifikasi tersebut juga memiliki sifat yang hampir sama dan malah beberapa genotip lebih tinggi hasilnya daripada varietas unggul yang sudah ada (Babu, et al 2002, Cordova, 2001, Azrai et. al., 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, pada kegiatan penelitian sebelumnya telah dilakukan inrogresi gen mutan opaque-2 pada dua galur tahan bulai yang berasal dari lembaga penelitian yang berbeda yaitu Balitsereal dan CIMMYT. Hasil penelitian pendahuluan 66

83 menunjukkan bahwa kedua galur tersebut berada pada grup heterotik yang berbeda sehingga diduga berkerabat jauh (Pabendon et. al., 2006). Hubungan kekerabatan yang jauh dan daya gabung yang baik akan memunculkan fenomena heterosis yang tinggi (Rifin et al., 1984; Setiyono dan Subandi, 1996). Fenomena heterosis hasil persilangan antara galur dapat memberikan potensi hasil yang tinggi dan penampilan karakter agronomis penting yang baik (Vacaro et. al., Saat ini telah diperoleh dua set galur-galur inbrida yang telah memiliki gen homosigot resesif o2 dan terseleksi resisten terhadap P. maydis. Kedua set galur-galur inbrida tersebut belum diketahui daya gabungnya dan penampilan beberapa karakter agronomis, komponen hasil dan hasil, sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan informasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan penampilan beberap karakter agronomis hibrida silang tunggal dari galur-galur yang telah memiliki gen homosigot resesif o2 dan terseleksi tahan terhadap P. maydis pada dua lingkungan tumbuh yang berbeda. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi, yaitu lahan kering di Kebun Percobaan Balitsereal di Bajeng (Gowa, Sulawesi Selatan) dan lahan sawah di Lapeccang, Kabupaten Bone yang berlangsung dari Juli Oktober Kebun percobaan Balitsereal di Bajeng terletak pada ketinggian ± 50 meter dari permukaan laut, jenis tanah ultisol dengan tipe curah hujan C2 (menurut Smith Ferguson, 1951). Lokasi pengujian di Lapeccang terletak pada ketinggian ± 100 meter dari permukaan laut, jenis tanah aluvial dengan tipe curah hujan D2 (menurut Smith Ferguson, 1951). Kedua jenis lahan pengujian tersebut memiliki beberapa sifat kimia dan fisik yang berbeda (Lampiran 8). Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan dalam penelitian adalah 8 lini Nei9008+o2 dan 8 tester MR10+o2 dari hasil seleksi galur untuk ketahanan penyakit bulai, dan 64 F 1 dari hasil silangannya. Sebagai pembanding untuk evaluasi potensi genotip uji digunakan tiga varietas hibrida yaitu C7, Bima 1 dan Bima 1q, serta satu varietas komposit, yaitu Srikandi Kuning-1. 67

84 Pelaksanaan Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan. Setiap genotip ditanam dua biji per lubang pada petakan dua baris, panjang petak 5 m, jarak tanam: antar baris 70 cm dan dalam baris 20 cm. Dua minggu setelah tanam, dilakukan penjarangan dengan menyisakan satu tanaman per rumpun sehingga terdapat 25 tanaman per baris. Aplikasi pupuk buatan dilakukan dua kali yaitu pada saat tanam dengan dosis 100 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha, dan pada umur 30 hari setelah tanam dengan dosis 200 kg urea/ha. Untuk mencegah serangan hama digunakan insektisida dengan bahan aktif carbofuran dengan dosis 8 kg/ha yang diaplikasikan pada lubang tanaman, bersamaan saat tanam dan pada pucuk daun tanaman, saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomis sebagai berikut (CIMMYT, 1994): 1. Umur berbunga (hari) 50% umur berbunga betina diamati sejak rambut mulai keluar dengan panjang >2 cm hingga mencapai 50% dari jumlah tanaman per nomor plot baris. 2. Tinggi tanaman (cm) Diamati setelah fase berbunga dan dipilih lima tanaman secara acak di setiap petakan. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan. 3. Tinggi Tertancapnya Tongkol (cm) Dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman terhadap lima sampel yang sama digunakan pada pengukuran tinggi tanaman. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas atau tongkol yang lebih normal perkembangannya. 4. Menutupnya kelobot (husk cover) Penutupan kelobot diberi skor 1 (baik) sampai 5 (jelek), sesuai dengan gambar penutupan kelobot sebagai berikut: 68

85 Gambar 16. Bentuk penutupan kelobot dan nilai skor Keterangan: Skor 1 : Kelobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa tongkol dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol Skor 2 : Kelobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja Skor 3 : Kelobot menutup agak longgar di ujung tongkol Skor 4 : Kelobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat Skor 5 : Kelobot menutup tongkol sangat jelek, sebahagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. 5. Jumlah tanaman saat dipanen per plot baris Dicatat jumlah tanaman panen menjelang pelaksanaan panen. 6. Jumlah tongkol panen. Dicatat jumlah tongkol yang diperoleh saat melakukan panen. 7. Bobot tongkol kupasan basah Tongkol-tongkol yang dipanen, dikupas kemudian ditimbang beratnya per plot. Data ini digunakan untuk menghitung hasil per plot, selanjutnya dikonversi ke satuan berat per satuan luas. 8. Kadar air Panen. Setelah diperoleh data bobot kupasan tongkol di lapangan, diambil 5 tongkol sampel per petak kemudian dipipil bijinya ± 3-4 baris per tongkol. Hasil pipilan dicampur kemudian diukur kadar air dengan alat pengukur kadar air digital pada hari yang sama dengan pengukuran berat tongkol kupasan basah. 9. Komponen Hasil Data ukuran komponen hasil diambil dari sejumlah tongkol sampel untuk parameter sebagai berikut : Berat 1000 biji dalam kadar air 15 % yaitu menimbang biji yang sudah diambil kadar airnya kemudian dikonversi dengan berat pada kadar air 15 % Panjang tongkol diukur dari pangkal sampai keujung tongkol yang berbiji. Lingkaran tongkol diukur di pertengahan tongkol 69

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Pendahuluan Penyakit bulai merupakan salah satu penyakit utama

Lebih terperinci

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK BAB. V Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi,

Lebih terperinci

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit

Lebih terperinci

Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial)

Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Galur: DMR tetua pemulih x QPM donor (oo) (OO) 21 baris 5 baris F1 x DMR 105 baris 3 baris BC 1 F 1 MAS 105 baris satu marka SSR untuk

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Introgresi Gen Resesif Mutan o2 ke Galur Jagung Resisten tehadap Penyakit Bulai dengan Pendekatan MAS

Introgresi Gen Resesif Mutan o2 ke Galur Jagung Resisten tehadap Penyakit Bulai dengan Pendekatan MAS Penelitian II: Introgresi Gen Resesif Mutan o2 ke Galur Jagung Resisten tehadap Penyakit Bulai dengan Pendekatan MAS Pendahuluan Kegiatan pemuliaan dengan cara konvensional untuk merakit jagung yang bermutu

Lebih terperinci

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK BAB. VI Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK Galur yang akan digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung adalah salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan komoditas penting kedua dalam ekonomi tanaman pangan di Indonesia setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, dimana

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan terpenting yang memiliki peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas

Lebih terperinci

Pembentukan dan Evaluasi Inbrida Jagung Tahan Penyakit Bulai

Pembentukan dan Evaluasi Inbrida Jagung Tahan Penyakit Bulai Pembentukan dan Evaluasi Inbrida Jagung Tahan Penyakit Bulai Sri G. Budiarti, Sutoro, Hadiatmi, dan Haeni Purwanti Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian ABSTRAK Varietas hibrida

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x 144 PEMBAHASAN UMUM Penelitian introgresi segmen Pup1 ke dalam tetua Situ Bagendit dan Batur ini memiliki keunikan tersendiri. Kasalath dan NIL-C443 yang sebagai tetua sumber segmen Pup1 memiliki karakteristik

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG Burhanuddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Tanaman

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL D. Ruswandi, M. Saraswati, T. Herawati, A. Wahyudin, dan N. Istifadah Lab. Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian,

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA Genetika Jagung Manis (Sweet Corn) Jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) merupakan salah satu sayurmayur yang populer di negara-negara maju seperti Amerika, Brasil, Prancis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

[ ] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai

[ ] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai [1.04.04] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai [BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang terbentuk akibat jagung biasa yang mengalami mutasi secara alami. Terdapat gen utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pangan kedua setelah padi di Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan sebagai pakan ternak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman asli dari daerah tropis Amerika yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Heller 1996). Di Indonesia, jarak pagar dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jagung Manis LASS Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas jagung sintetik bernama Srikandi. Varietas LASS juga merupakan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida 6 TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Jagung (Zea mays L., 2n = 20) merupakan tanaman berumah satu (monoceous) dan tergolong ke dalam tanaman menyerbuk silang. Penyerbukannya terjadi secara acak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Varietas unggul padi telah tersebar di seluruh dunia untuk dijadikan bibit yang digunakan oleh para petani. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan lebih dari

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2009

LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2009 LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2009 UJI ADAPTASI POPULASI-POPULASI JAGUNG BERSARI BEBAS HASIL PERAKITAN LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA Peneliti

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA Jagung Pulut (waxy corn) Pemanfaatan jagung pulut di beberapa daerah adalah sebagai jagung rebus dan jagung bakar karena rasanya enak dan gurih. Kegenjahan umur dari jagung pulut

Lebih terperinci

YASIN ET AL.: KONVERSI INBRED TETUA JAGUNG HIBRIDA. Konversi Inbred Tetua Jagung Hibrida Menggunakan Donor Jagung QPM Gen Opaque-2

YASIN ET AL.: KONVERSI INBRED TETUA JAGUNG HIBRIDA. Konversi Inbred Tetua Jagung Hibrida Menggunakan Donor Jagung QPM Gen Opaque-2 YASIN ET AL.: KONVESI INBED TETUA JAGUNG HIBIDA Konversi Inbred Tetua Jagung Hibrida Menggunakan Donor Jagung QPM Gen Opaque-2 Djamaluddin dan M. Yasin HG Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. atulangi

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

Sumber : Lampiran SK Menteri Pertanian No.76/Kpts/SR.120/2/2007, tanggal 7 Pebruari 2007.

Sumber : Lampiran SK Menteri Pertanian No.76/Kpts/SR.120/2/2007, tanggal 7 Pebruari 2007. 76 Lampiran 1. Deskripsi varietas jagung hibrida Bima3 DESKRIPSI VARIETAS JAGUNG HIBRIDA BIMA3 Tanggal dilepas : 7 Februari 2007 Asal : Silang tunggal antara galur murni Nei 9008 dengan galur murni Mr14.

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA

PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA Upaya perakitan varietas unggul serealia saat ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan spesifik lingkungan, diantaranya jagung spesifik wilayah dengan curah hujan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2012

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2012 KODE PENELITIAN: X.71 Pengembangan Jagung Hibrida berkadar Nutrisi Tinggi, Tahan Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis L.), dan Hama Gudang (Sitophilus zeamais) Potensi Hasil 11 t/ha Peneliti/Perekayasa:

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT

PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT (waxy corn) TOLERAN KEKERINGAN DAN INTROGRESI GEN opaque-2 (oo) DENGAN MARKA SSRs (Simple Sequence Repeats) ANDI TAKDIR MAKKULAWU SEKOLAH

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

Pemuliaan Jagung Khusus

Pemuliaan Jagung Khusus Pemuliaan Jagung Khusus M. Azrai, Made J. Mejaya, dan M. Yasin H.G. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros PENDAHULUAN Kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan, pangan, dan industri lainnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan diolah menjadi berbagai bahan pangan seperti tahu, tempe dan sari kedelai, dan lainnya, yang dikonsumsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

Salah satu upaya peningkatan produksi jagung

Salah satu upaya peningkatan produksi jagung Daya Gabung Galur-galur Jagung Berkualitas Protein Tinggi Muhammad Azrai 1, Made Jana Mejaya 2, dan Hajrial Aswidinnoor 3 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi No. 274 Maros, Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT

PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT PENGEMBANGAN METODE SELEKSI GALUR MURNI TETUA HIBRIDA JAGUNG PULUT (waxy corn) TOLERAN KEKERINGAN DAN INTROGRESI GEN opaque-2 (oo) DENGAN MARKA SSRs (Simple Sequence Repeats) ANDI TAKDIR MAKKULAWU SEKOLAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI Metode Pemuliaan Introduksi Seleksi Hibridisasi penanganan generasi bersegregasi dengan Metode silsilah (pedigree) Metode curah (bulk) Metode silang balik (back

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

Penyaki jamur parasitik pada jagung dapat dikelompokkan. Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai

Penyaki jamur parasitik pada jagung dapat dikelompokkan. Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai Andi Takdir M. 1, R. Neni Iriany M. 1, Marsum M. Dahlan 1, Achmad Baihaki 2, Neni Rostini 2, dan Subandi 3 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2012

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2012 KODE PENELITIAN: X.75 Pengembangan Varietas Hibrida Jagung Pulut (waxy corn), Tahan Penyakit Bulai (Perenosclerospora maydis L.), dan Toleran Kekeringan (Drought Tolerance) Memiliki Potensi Hasil Tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Tanaman jagung disamping sebagai bahan baku industri pakan dan pangan pada daerah tertentu di Indonesia dapat juga sebagai makanan pokok. Karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 5 Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 1. Tanaman menyerbuk sendiri 2. Dasar genetik Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB VII PEMBAHASAN UMUM BAB VII PEMBAHASAN UMUM Kajian tentang potensi jarak pagar sebagai penghasil bahan bakar nabati telah banyak dilakukan. Sebagai penghasil bahan bakar nabati, secara teknis banyak nilai positif yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi dan harga yang relatif murah. Kedelai

Lebih terperinci

Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung. Penampilan Jagung Protein Tinggi di Dua Lingkungan Tumbuh

Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung. Penampilan Jagung Protein Tinggi di Dua Lingkungan Tumbuh Penampilan Jagung Protein Tinggi di Dua Lingkungan Tumbuh Firdaus Kasim 1, M. Yasin HG 1, Evert Hosang 2, dan Koesnang 1 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD Herdiyana Fitriani Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP

Lebih terperinci

Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai. M. Azrai dan F. Kasim

Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai. M. Azrai dan F. Kasim Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai M. Azrai dan F. Kasim Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros ABSTRACT. The Analysis of the Variants and Heritability

Lebih terperinci

BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida

BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida BAB. IV Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR (Single Sequence Repeats) yang efektif dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Dusun Pabuaran, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Cimanggu, Kotamadya Bogor. Adapun penimbangan bobot tongkol dan biji dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Julianti 11082201605 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM

Lebih terperinci

Agrivet (2015) 19: 30-35

Agrivet (2015) 19: 30-35 Agrivet (2015) 19: 30-35 Keragaan Sifat Agronomi dan Hasil Lima Kedelai Generasi F3 Hasil Persilangan The agronomic performance and yield of F3 generation of five crosses soybean genotypes Lagiman 1),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Varietas Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA Varietas Jagung Hibrida 6 TINJAUAN PUSTAKA Varietas Jagung Hibrida Varietas atau kultivar adalah sekelompok individu tanaman yang dapat dibedakan berdasarkan sifat morfologi, fisiologis, atau sifat lainnya apabila diproduksi

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM

VII. PEMBAHASAN UMUM VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon

Lebih terperinci

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci