Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan"

Transkripsi

1 Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 90 persen (Mikoshiba, 1983) dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (Semangun, 1996; Subandi et al., 1996). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wakman dan Kontong (000) di Lanrang (Sulawesi Selatan) serta Azrai dan Kasim (005a) di Maros, Bogor, dan Lampung menunjukkan bahwa ketahanan dari beberapa varietas jagung unggul nasional terhadap penyakit bulai masih bervariasi, yaitu dari sangat rentan hingga resisten. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, tergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu karakter yang diinginkan (Prasanna, 00). Upaya perakitan jagung yang resisten terhadap penyakit bulai terus dilakukan melalui penyaringan plasmanutfah yang dilanjutkan dengan kegiatan persilangan antara tetua terpilih. Kegiatan tersebut telah lama dilakukan oleh pemulia jagung, akan tetapi sejauh ini belum banyak dilaporkan mengenai model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Pengetahuan tentang sifat dan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter sangat penting terutama dalam hal keefektifan penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen tunggal (Chang dan Cheng, 1968; Chang, 197; Handoo et al. 1970; Takdir et al., 004), sedangkan beberapa peneliti yang lain melaporkan melaporkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) (Francis, 1967; Carangal et al. 1970; Hakim dan Dahlan, 197; Peerasak, 1974; Ruswandi, 001). Salah satu contoh kasus perbedaan hasil penelitian yang paling menonjol adalah studi tentang kendali genetik terhadap P. philippinensis. Aday (1974), melaporkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan 1

2 dengan derajat dominansi berada dalam over dominan. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (00) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Perbedaan tersebut diduga kuat karena perbedaan tingkat ketahanan dari tetua persilangan, jumlah generasi, dan besarnya genotip yang diteliti. Untuk itu, informasi tentang model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia dirasa perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, terbagi atas dua tahap, yaitu pembentukan genotip uji dan pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. Pembentukan genotip dilaksanakan dari Agustus 004 sampai April 005. Pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai berlangsung dari bulan Januari- Maret 006. Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini masing-masing terdiri atas 7 macam populasi pada dua set persilangan dan progeninya, yaitu: masing-masing 10 genotip (tongkol) tetua persilangan yaitu P 1 (CML161) sebagai tetua rentan (donor gen opaque-) dan P (MR10 dan Nei9008) sebagai tetua resisten (silang balik = recurrent), masing-masing 0 genotip dari generasi F 1, F, BC 1 P 1, dan BC 1 P serta 100 genotip dari generasi F 3. CML161 merupakan galur yang bermutu protein tinggi (QPM = Quality Protein Maize) yang diintroduksi dari CIMMYT-Mexico. Nei9008 diintroduksi dari Thailand melalui Jaringan Kerjasama Bioteknologi Jagung Asia (AMBIONET = Asian Maize Biotechnology Network) dan MR10 merupakan salah satu galur elit Balitseral yang digunakan sebagai tetua hibrida Semar 8. Selain itu, juga digunakan Varietas Anoman-1 sebagai cek rentan dan tanaman baris penyebar konidia bulai. Varietas Anoman-1

3 merupakan salah satu varietas bersari bebas milik Balitsereal yang sangat rentan terhadap penyakit bulai (Azrai, 006). Pembentukan Genotip Uji Pembentukan genotip uji dilakukan dengan cara melakukan silang balik antara tanaman F 1 dengan kedua tetuanya untuk membentuk masing-masing 0 genotip BC 1 P 1 dan BC 1 P dan mensegregasikan tanaman F 1 untuk membentuk 0 genotip F. Benih genotip F masing-masing ditanam dua baris kemudian dilakukan penyerbukan sendiri sebanyak 10 tanaman per genotip. Setelah panen, dipilih 5 tongkol per genotip sehingga diperoleh 100 tongkol benih F 3. Dengan demikian telah tersedia masing-masing 7 macam populasi dari dua set persilangan untuk dievaluasi sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai. Pengujian Karakter Ketahanan terhadap P. maydis Masing-masing set persilangan diuji karakter ketahanannya terhadap P. maydis dengan teknik inokulasi pada tanaman baris penyebar dan pada genotip uji. Saat tanaman baris penyebar >80% terinfeksi bulai, masing-masing set persilangan ditanam sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), dua ulangan (Petersen, 1994), kemudian 5 hari setelah kecambah muncul dipermukaan tanah, genotip uji disemprot dengan konidia bulai dan 3 hari setelah penyemprotan pertama dulangi lagi dengan cara yang sama dengan penyemprotan sebelumnya. Faktor pertama adalah dua set persilangan dan faktor kedua adalah 7 macam populasi uji. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase tanaman terinfeksi per genotip, sedangkan metode penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (000). percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 3. Tata letak Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Waktu pengamatan yaitu saat tanaman berumur 14, 1, 8, 35 dan 4 hari setelah tanam (hst). Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan setiap pengamatan tersebut, kemudian dikonversi ke dalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b 3

4 keterangan : P a b = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai = jumlah tanaman tumbuh Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 4 hst penularannya sudah jarang terjadi. Analisis Ragam Analisis Data Analisis ragam meliputi ragam genetik per generasi dari masing-masing set persilangan. Estimasi ragam genetik dan fenotip dianalisis berdasarkan nilai kuadrat tengah genotip (M ), nilai tengah galat (M 1 ), dan ulangan (r), dengan persamaan sebagai berikut, (Bernardo, 00): g = e = M 1 f = M M 1 r g + e Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan variabilitasgenetik ( ) dan standar deviasi variabilitasgenetik ( ) menurut Anderson g dan Brancoff (195), dikutip Wahdah et al. (1995) sebagai berikut : g = g M M 1 r dbgenotipe dbgalat keragaman genetik luas jika g > Analisis Data Sebaran Frekuensi g dan sempit jika g g Untuk mempelajari pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut, dilakukan dengan uji normalitas berdasarkan aturan Sturgers (Siregar, 004): keterangan : f i e i i 1 f i e e i i = jumlah fenotip ke i menurut hasil pengamatan = jumlah fenotip ke-i yang diharapkan 4

5 Kriteria keputusan sesuai dengan hipotesis yakni jika nilai peluang (p-v) > 0.05 maka data dinyatakan berdistribusi normal. Uji Kesesuaian Model Genetik Untuk menentukan model genetik yang sesuai terhadap sifat ketahanan dari kedua set persilangan, dilakukan analisis rata-rata generasi. Model genetik aditif dominan yang sesuai untuk pola pewarisan kuantitatif, digunakan untuk menduga pengaruh gen-gen yang mengendalikan karakter ketahanan untuk kedua genotip yang digunakan. Selanjutnya model aditif dominan diuji untuk menentukan kesesuaiannya dengan uji t (Hill et al., 1998). Jika hasil uji skala menunjukkan adanya pengaruh interaksi antar lokus, maka model interaksi ditentukan kesesuaiannya dengan uji skala gabungan (Joint Scalling Test) dengan menggunakan seluruh generasi secara bersama-sama (Mather dan Jinks, 198). Enam parameter genetik dari model yang menyertakan pengaruh interaksi adalah m = pengaruh rata-rata generasi, [d] = pengaruh aditif, [h] = pengaruh dominan, [I] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan, dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Jadi model genetik yang menyertakan pengaruh interaksi adalah [m][d][h][i]; [m][d][h][j]; [m][d][h][l]; [m][d][h][i][j]; [m][d][h][i][l] dan [m][d][h][i][j][l]. Setiap model diuji kebaikan suainya dengan terboboti. Koefisien dari parameter genetik yang digunakan dalam model lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi. Parameter Genetik Generasi m [d] [h] [i] [j] [l] P P F F 1 0 ½ 0 0 ¼ F3 1 0 ¼ 0 0 1/16 BCP1 1 ½ ½ ¼ ¼ ¼ BCP 1 - ½ ½ ¼ - ¼ ¼ Analisis selanjutnya adalah pendugaan komponen ragam yang ditentukan sesuai dengan persamaan menurut Kearsey dan Pooni, (1996) sebagai berikut : V P1 = E 1 V P = E V F1 = E 3 V F = E 4 5

6 V F3 = V A + V D +¼V E + ½V E3 V BCP1 = ½V A + V D ½V I + ½V E1 + ½V E3 V BCP = ½V A + V D + ½ V I + ½V E + ½V E3 V P1, V P, V F1, V F, V F3, V BCP1, V BCP masing-masing adalah ragam P 1, P, F 1, F, F 3, BCP 1 dan BCP. Awal pendugaan parameter dilakukan dengan menduga nilai E = (V P1 + V P + V F1 + V F )/4. Selanjutnya Nilai E disubstitusikan ke persamaan, sehingga diperoleh nilai V A, V D dan V F. Nilai V E adalah jumlah ragam lingkungan, V A adalah jumlah ragam aditif, V D adalah jumlah ragam dominan, dan V I adalah jumlah ragam interaksi aditif dan dominan. Parameter yang diduga adalah : a. Heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability): h ns = VA VA + VD + E b. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability): h bs = VA+ VD VA + VD + E HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Genetik Hasil analisis ragam genetik ketahanan dari set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis disajikan pada Tabel. Kedua tetua dari masingmasing set persilangan memperlihatkan reaksi ketahanan yang sangat berbeda. Galur MR10 dan Nei9008 sebagai tetua donor gen resisten memperlihatkan reaksi yang sangat resisten, sedangkan galur CML161 sebagai tetua donor gen opaque- (gen pengendali lisin dan triptofan tinggi) sangat rentan terhadap patogen P. maydis. Perbedaan karakter ketahanan penyakit bulai yang ekstrim antara kedua tetua sangat bermanfaat untuk melihat frekuensi sebaran karakter kuantitatif ketahanan genotip terhadap patogen penyakit bulai yang terekspresi pada progeninya (Namkong, 1979; Hoisington dan Coe, 1990; Prasanna, 00). 6

7 Nilai tengah antar generasi dari set persilangan yang sama maupun dari set persilangan yang berbeda memperlihatkan reaksi ketahanan terhadap penyakit bulai yang beragam. Progeni Nei9008 x CML161 lebih resisten dibandingkan dengan progeni MR10 x CML161. Hal ini diduga karena pada pengujian ini, Nei9008 sangat resisten dan bahkan tidak terinfeksi bulai sama sekali. Dari beberapa pengujian sebelumnya, Nei9008 sangat resisten bulai di Sulawesi Selatan, Bogor, dan Lampung (Kasim et al., 004). Selain resisten terhadap P. maydis, Nei9008 juga resisten terhadap P. zeae dan P. philippinensis (Ruswandi, 00 dan Grudloyma et al, 004). Tabel. Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada set persilangan galur jagung Generasi Rerata ± SD MR10 x CML161 Interval (%) g Set Persilangan x g Rerata ± SD Nei9008 x CML161 Interval (%) x g g P 1. ± 0. tn ± 0.0 tn P 99.6 ± 0.6 tn ± 0.3 tn F ±.0 tn ± 1.3 tn F 59.0 ± 1.5 tn ± 1.4 tn F ± 0.8 ** ± 0.6 ** BC 1 P ± 1.0 tn ± 0.9 tn BC 1 P 78. ± 1.7 tn ± 1.3 tn Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi g = Keragaman genetik; g = standar deviasi keragaman genetik; H bs = Heritabilitas dalam arti luas; - = data tidak dianalisis karena tidak ada infeksi bulai Nilai duga ragam genetik yang disajikan pada Tabel, menunjukkan bahwa variabilitas genetik dari setiap generasi pada kedua set persilangan menurut kriteria Anderson dan Brancoff (195) tergolong sempit, kecuali pada generasi F 3 yang tergolong luas. Hal ini menunjukkan bahwa segregasi puncak terjadi pada generasi F 3. Kejadian ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data persentase antar famili, bukan berupa skoring terhadap individu tanaman, sehingga secara teoritis variabilitas genetik yang timbul pada tetua, F 1, generasi silang balik, dan F adalah keragaman antara individu dalam famili yang sama yang ditimbulkan oleh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Takdir (003) yang melaporkan bahwa tidak ditemukan 7

8 adanya keragaman genetik yang nyata antar famili pada generasi P 1, P, F 1, F, BC 1 P 1, dan BC 1 P. Variabiliatas genetik dapat terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen pada generasi tersebut sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Sebaran Frekuensi Generasi F 3 Uji normalitas untuk pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut tingkat penularan penyakit bulai menurut aturan Sturgers (Siregar, 004) disajikan pada Tabel 3. Sebaran frekuensi generasi F 3 dari kedua set persilangan disajikan pada Gambar 6. Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F 3 dari kedua set persilangan menyebar normal Tabel 3. Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F 3 set persilangan galur jagung Parameter MR10 x CML161 Set Persilangan Nei9008 x CML161 Rerata Simpangan baku (S) χ 8. tn 7.4 tn p-v Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; n = tidak nyata; Nilai chi-square 0.05 : db 7 = 14.07; Nilai chi-square 0.01 : db 7 = 1.0; p-v = nilai peluang (p-v > 0.05 = sesuai dengan hipotesis) t Frekuensi MR10 Nei9008 MR10 Nei CML161 Gambar 6. Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F 3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 8

9 Pada Gambar 6 terlihat bahwa pola distribusi penularan penyakit bulai pada genotip uji untuk generasi F 3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan. Namun demikian, dari hasil analisis statistik sebaran normal mengindikasikan bahwa terdapat gen-gen bersifat kuantitatif yang mengendalikan ketahanan penyakit bulai. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung dikendalikan oleh gen-gen minor atau poligenik dan bersifat aditif (Handoo et al., 1970; Hakim dan Dahlan, 197; Pamin 1980; Ruswandi et al., 00; Azrai dan Kasim, 003). Kesesuaian Model Genetik Untuk mengetahui model aksi gen yang mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari dua set persilangan yang diuji, diperlukan uji χ. Model genetik yang paling sederhana adalah model genetik aditif dominan yang terdiri atas komponen rata-rata tetua (m), pengaruh aksi gen aditif [d], dan pengaruh aksi gen dominan [h]. Hasil uji skala (scalling test) terhadap rata-rata generasi sesuai dengan metode Singh dan Chaudary (1979) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung Skala Set Persilangan MR10 x CML161 Ragam Nei9008 x CML161 Ragam A.83 ±.81 tn ±.13 ** 4.54 B ± 3.96 tn ±.90 ** 8.38 C ± 7.13 * ± 6.14 * D -.78 ± 4.47 tn ± 3.85 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; A = BC 1 P 1 -P 1 -F 1 ; B= BC 1 P -P -F 1 ; C = 4F -F 1 -P 1 -P ; D = 4F 3 -F -P 1 -P ; ** = nyata pada taraf uji t 1% =.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji skala pada Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai skala C pada set persilangan MR10 x CML161 berbeda nyata dengan hipotesis nol, sedangkan nilai skala A, B, dan D tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa model aksi gen ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan tersebut tidak cukup dijelaskan dengan mengikuti model aksi gen aditif-dominan. Demikian pula halnya dengan set persilangan antara Nei9008 x CML161, nilai skala A, B, dan C masing-masing berbeda sangat nyata dengan nol, sedangkan nilai skala D tidak berbeda nyata. Dengan adanya nilai skala yang berbeda nyata pada kedua set persilangan tersebut, menunjukkan adanya pengaruh 9

10 interaksi antar lokus (non alelik) sehingga untuk menguji kesesuaian model interaksinya diperlukan uji skala gabungan dengan menggunakan seluruh generasi secara bersamasama (Mather dan Jinks, 198). Hasil uji skala gabungan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk kedua set persilangan yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Uji χ dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik Persilangan Model genetik χ MR10 x CML161 m [d] ** m [d] [h] ** m [d] [h] [i] 7.49 tn m [d] [h] [j] 7.77 tn m [d] [h] [l] 8.14 * m [d] [h] [i] [j] 4.93 tn m [d] [h] [i] [l] 7.38 * m [d] [h] [j] [l] 6.11 * m [d] [h] [i] [j] [l] * Nei9008 x CML161 m [d] ** m [d] [h] ** m [d] [h] [i] 5.06 tn m [d] [h] [j] * m [d] [h] [l] ** m [d] [h] [i] [j].40 tn m [d] [h] [i] [l] 0.34 tn m [d] [h] [j] [l] * m [d] [h] [i] [j] [l] 0.01 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji chi-square 1%; * = nyata pada taraf uji chi-square 5% tn = tidak nyata; Nilai chi-square 0.05 : db 5 = 11.07; db 4 = 9.49; db 3 = 7.8; db = 5.99; db 1 = 3.84 Beberapa model genetik memperlihatkan nilai kebaikan suai yang cukup kontras antara kedua set persilangan pada generasi yang sama. Dari hasil analisis χ diketahui bahwa penyebab perbedaan tersebut disebabkan karena adanya penyimpangan nilai yang cukup besar antara nilai pengamatan dengan nilai duganya sehingga menimbulkan selisih nilai yang tinggi. Dari uji kebaikan suai untuk set persilangan MR10 x CML161 diperoleh tiga model genetik yang sesuai yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [j]; m [d] [h] [i] [j]. Hal ini menunjukkan bahwa komponen genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk set persilangan tersebut terdiri atas gen aditif, dominan, interaksi aditif x aditif, dan interaksi aditif x dominan. Model aksi gen yang sesuai dengan set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [i] [j]; m [d] [h] [i] [l], dan m [d] [h] [i] [j] [l]. Model aksi gen tersebut menunjukkan bahwa aksi gen aditf, dominan, interaksi aditif x aditif, 30

11 interaksi aditif x dominan, dan interaksi dominan x dominan berkontribusi untuk ketahanan genetik pada set persilangan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis. Untuk mengetahui komponen genetik yang berkontribusi nyata terhadap karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua set yang digunakan, dilakukan uji t. Uji t untuk komponen dari model-model genetik yang digunakan adalah model genetik yang mempunyai komponen yang paling lengkap seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada uji X untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua set persilangan galur jagung. Persilangan Model yang sesuai Komponen genetik MR10 x CML161 m [d] [h] [i] [j] m = ± 1.6 [d] = ± 0.35 ** [h] = 7.1 ±.14 ** [i] = -.0 ± 1.11 * [j] = 5. ± 3.6 tn Nei9008 x CML161 m [d] [h] [i] [j] [l] m = ± 3.30 [d] = ± 9.07 ** [h] = ± ** [i] = 0.7 ± 6.33 ** [j] = ± tn [l] = ± 1.11 tn Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji t 1% =.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata Hasil uji t pada Tabel 6, menunjukkan bahwa gen-gen aditif [d] dan dominan [h] berkontribusi sangat nyata pada kedua set persilangan yang digunakan. Selain itu, komponen interaksi gen aditif x aditif [i] masing-masing sangat nyata dan nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Nilai komponen genetik aditif yang bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif pada set persilangan MR10 x CML161 menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis komplomenter, sedangkan pada set persilangan Nei9008 x CML161 komponen genetik aditif bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat (Hill et al, 1998) Kontribusi gen-gen aditif untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis lebih tinggi daripada gen-gen dominan pada set persilangan MR10 x CML161 dan sebaliknya pada set persilangan Nei9008 x CML161 relatif seimbang (Tabel 6). Selain itu, interaksi gen aditif x aditif masing-masing berkontribusi nyata dan sangat nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan set persilangan Nei9008 x CML161. Kontribusi yang nyata dari interaksi gen aditif x aditif pada set persilangan tersebut dapat meningkatkan 31

12 variasi antara famili generasi F 3 dan ini dapat difiksasi (Singleton, 1967). Ragam aditif mencerminkan nilai pewarisan (breeding value) yang merupakan penyebab utama kemiripan antara famili sehingga menjadi penentu utama dalam penurunan suatu sifat, sedangkan ragam dominan dapat dimanfatkan jika varietas hibrida yang menjadi tujuan program pemuliaan (Hallauer dan Miranda, 1981). Parameter Genetik Gabungan Generasi Nilai parameter genetik dari kedua set persilangan disajikan pada Tabel 7. Pada set persilangan MR10 x CML161 memiliki nilai ragam genetik (dominan dan aditif), ragam lingkungan dan fenotip serta ragam interaksi genetik x lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan ragam pada set persilangan Nei9008 x CML161. Kedua set persilangan yang digunakan juga mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas yang tergolong tinggi berdasarkan kriteria yang digunakan oleh McWhirter (1979) yaitu masing-masing sebesar 0.78 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.76 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Berbeda halnya dengan nilai duga heritabilitas dalam arti sempit, dimana kedua set persilangan menunjukkan nilai heritabilitas yang tergolong sedang yaitu masing-masing sebesar 0.46 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.47 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Nilai duga heritabilitas merupakan suatu ukuran sampai sejauh mana fenotip yang tampak sebagai refleksi genotip, atau hubungan antara keragaman genetik dengan keragaman fenotipiknya (Fehr, 1987). Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dari faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Sjamsudin, 1990). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong sedang pada kedua set persilangan yang digunakan menunjukkan bahwa faktor lingkungan cukup berpengaruh pada pewarisan ketahanan terhadap P. maydis sehingga seleksi akan lebih efektif jika dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan keberadaan interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161, maka disarankan proses seleksi dilakukan secara hati-hati dan tidak dilakukan pada generasi awal yang masih bersegregasi (Stoskpf, 1993). 3

13 Tabel 7. Parameter genetik untuk karakter ketahanan pada dua pasang persilangan galur jagung terhadap P. maydis Parameter Set Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 V A V D V E V P V I H bs H ns H ns /H bs (%) Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; V A = jumlah ragam aditif; V D = jumlah ragam dominan; V E = jumlah ragam lingkungan; V I = jumlah ragam interaksi genetik x lingkungan; V p = jumlah ragam fenotip; H bs = Heritabilitas dalam arti luas; H ns = Heritabilitas dalam arti sempit Efek dominansi berdasarkan rasio heritabilitas disajikan pada Tabel 7. Menurut Moeljopawiro (1986), nisbah antara nilai heritabilitas dalam arti sempit terhadap nilai heritabilitas dalam arti luas menggambarkan besarnya porsi ragam aditif terhadap total ragam genetik. Karakter yang mempunyai nisbah H ns /H bs < 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan, dan bila mempunyai nilai nisbah H ns /H bs > 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif. Berdasarkan kriteria tersebut, aksi gen-gen aditif mempunyai porsi yang lebih besar dalam mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan yang digunakan. Oleh karena kedua set persilangan yang digunakan memiliki ragam aditif yang lebih tinggi daripada ragam dominan, maka peluang pewarisan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua persilangan tersebut cukup tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam proses seleksi untuk mengintrogresikan gen resisten ke galur jagung rentan terhadap penyakit tersebut, namun punya nilai ekonomis tinggi, seperti pada galur-galur QPM. KESIMPULAN 1. Estimasi variabilitas genetik dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong sempit, kecuali generasi F 3 yang tergolong luas.. Nilai duga heritabilitas dalam arti sempit dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong rendah sampai sedang, kecuali generasi F 3 yang tergolong luas. Dari hasil analisis gabungan rata-rata generasi pada kedua pasang persilangan diperoleh nilai duga heritabilitas dalam arti luas tergolong tinggi, sedangkan dalam arti sempit tergolong sedang. 33

14 3. Pola distribusi penularan konidia patogen bulai genotip uji pada generasi F 3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan dari set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan, namun keduanya berdistribusi normal. Terdapat gengen yang bersifat kuantitatif dalam mengontrol ketahanan penyakit bulai. 4. Model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis yang sesuai untuk set persilangan MR10 x CML161 adalah m [d] [h] [i] [j], sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i] [j] [l]. 5. Aksi gen aditif dan dominan dari kedua set persilangan berkontribusi nyata untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan. Set MR10 x CML161 diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis dan non alelik aditif duplikat epistasis pada set persilangan Nei9008 x CML

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Pendahuluan Penyakit bulai merupakan salah satu penyakit utama

Lebih terperinci

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai. M. Azrai dan F. Kasim

Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai. M. Azrai dan F. Kasim Analisis Varians dan Heritabilitas Ketahanan Galur Jagung Rekombinan terhadap Penyakit Bulai M. Azrai dan F. Kasim Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros ABSTRACT. The Analysis of the Variants and Heritability

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan

Lebih terperinci

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2 II. KOMPONEN VARIAN SIFAT KUANTITATIF Kuswanto, 2012 1.Statistik sifat kuantitatif Karena sifat kuantitatif akan membentuk distribusi kontinyu dari penotip, maka sifat-sifat tersebut dianalisis dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

Disusun Oleh Muhammad Azrai / AG Program Studi Agronomi Minat Pemuliaan Tanaman

Disusun Oleh Muhammad Azrai / AG Program Studi Agronomi Minat Pemuliaan Tanaman Makalah Individu/Pengantar Falsafah Sains (PPS70)/Muhammad Azrai/004 Muhammad Azrai Posted 19 December 004 Makalah Individu Semester Ganjil 004 Pengantar Falsafah Sains (PPS70) Program S3 Desemberr 004

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang terbentuk akibat jagung biasa yang mengalami mutasi secara alami. Terdapat gen utama

Lebih terperinci

Penyaki jamur parasitik pada jagung dapat dikelompokkan. Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai

Penyaki jamur parasitik pada jagung dapat dikelompokkan. Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai Kendali Genetik Ketahanan Jagung terhadap Patogen Bulai Andi Takdir M. 1, R. Neni Iriany M. 1, Marsum M. Dahlan 1, Achmad Baihaki 2, Neni Rostini 2, dan Subandi 3 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM

VII. PEMBAHASAN UMUM VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial)

Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Galur: DMR tetua pemulih x QPM donor (oo) (OO) 21 baris 5 baris F1 x DMR 105 baris 3 baris BC 1 F 1 MAS 105 baris satu marka SSR untuk

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada penelitian F 5 hasil persilangan Wilis x B 3570 ini ditanam 15 genotipe terpilih dari generasi sebelumnya, tetua Wilis, dan tetua B 3570. Pada umumnya

Lebih terperinci

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 20 Jurnal Agrotek Tropika 1(1):20-24, 2013 Vol. 1, No. 1: 20 24, Januari 2013 DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif Tabel 4 menunjukkan kuadrat nilai tengah pada analisis ragam untuk tinggi tanaman, tinggi tongkol

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

Topik 9 Genetika Kuantitatif

Topik 9 Genetika Kuantitatif Topik 9 Genetika Kuantitatif 9.1. Sifat Kuantitatif Sejauh ini pembicaraan tentang suatu fenotipe diasumsikan menggambarkan fenotipenya. Fenotipe sifat-sifat demikian mudah dibedakan, misalnya wama kulit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi dan harga yang relatif murah. Kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

VI. PENGGUNAAN METODE STATISTIKA DALAM PEMULIAAN TANAMAN. Ir. Wayan Sudarka, M.P.

VI. PENGGUNAAN METODE STATISTIKA DALAM PEMULIAAN TANAMAN. Ir. Wayan Sudarka, M.P. VI. PENGGUNAAN METODE STATISTIKA DALAM PEMULIAAN TANAMAN Ir. Wayan Sudarka, M.P. 6.1. Pendahuluan Pemuliaan tanaman memerlukan bantuan statistika untuk menduga ragam dalam populasi awal ataupun populasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung adalah salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PENDAHULUAN Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

SELEKSI NOMOR- NOMOR HARAPAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merril) GENERASI F 5. HASIL PERSILANGAN WILIS x MLG 2521

SELEKSI NOMOR- NOMOR HARAPAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merril) GENERASI F 5. HASIL PERSILANGAN WILIS x MLG 2521 J Agrotek Tropika ISSN 337-4993 4 Jurnal Agrotek Tropika 3(1):4-9, 015 Vol 3, No 1: 4 9, Januari 015 SELEKSI NOMOR- NOMOR HARAPAN KEDELAI (Glycine max [L] Merril) GENERASI F 5 HASIL PERSILANGAN WILIS x

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG Burhanuddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Tanaman

Lebih terperinci

1. Gambar dan jelaskan bagan seleksi masa dan seleksi tongkol-baris!

1. Gambar dan jelaskan bagan seleksi masa dan seleksi tongkol-baris! Nama : Bramantia Setiawan NIM : 125040200111105 Kelas : D Dosen : IZMI YULIANAH, SP.,MP. PPT. 7 (Metode Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Silang) A. Latihan dan diskusi 1. Gambar dan jelaskan bagan seleksi masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penanaman di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga Bogor. Kebun percobaan memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata sama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO BAB 11 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis adalah tanaman herba monokotil dan tanaman semusim iklim panas. Tanaman ini berumah satu dengan bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel)

Lebih terperinci

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 5 Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 1. Tanaman menyerbuk sendiri 2. Dasar genetik Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO BAB 10 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

PEWARISAN SIFAT KETAHANAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP PENYAKIT BULAI INHERITANCE OF RESISTANCE TRAIT OF MAIZE TO DOWNY MILDEW

PEWARISAN SIFAT KETAHANAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP PENYAKIT BULAI INHERITANCE OF RESISTANCE TRAIT OF MAIZE TO DOWNY MILDEW 99 PEWARISAN SIFAT KETAHANAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP PENYAKIT BULAI INHERITANCE OF RESISTANCE TRAIT OF MAIZE TO DOWNY MILDEW Sri Hartatik Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida 6 TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Jagung (Zea mays L., 2n = 20) merupakan tanaman berumah satu (monoceous) dan tergolong ke dalam tanaman menyerbuk silang. Penyerbukannya terjadi secara acak

Lebih terperinci

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI Metode Pemuliaan Introduksi Seleksi Hibridisasi penanganan generasi bersegregasi dengan Metode silsilah (pedigree) Metode curah (bulk) Metode silang balik (back

Lebih terperinci

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK BAB. V Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman.

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman berkaitan erat dengan proses seleksi. Seleksi hanya dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Yunita et al.: Pendugaan Komponen Genetik, Daya Gabung, dan Segregesi Biji 25 Vol. 1, No. 1: 25 31, Januari 2013 PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia kedelai

Lebih terperinci

(1) Kebun Percobaan (KP) Muara, untuk pengadaan benih. (persilangan-persilangan) dan menanam tanaman makanan

(1) Kebun Percobaan (KP) Muara, untuk pengadaan benih. (persilangan-persilangan) dan menanam tanaman makanan 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilakukan di dua tempat pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, yaitu : (1) Kebun Percobaan (KP) Muara, untuk pengadaan benih (persilangan-persilangan)

Lebih terperinci

Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521

Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521 Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521 Maimun Barmawi, Nyimas

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai dengan Juli 2009 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl dengan

Lebih terperinci

KERAGAMAN KARAKTER TANAMAN

KERAGAMAN KARAKTER TANAMAN MODUL I KERAGAMAN KARAKTER TANAMAN 1.1 Latar Belakang Tujuan akhir program pemuliaan tanaman ialah untuk mendapatkan varietas unggul baru yang sesuai dengan preferensi petani dan konsumen. Varietas unggul

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL Estimation of genetic parameters chilli (Capsicum annuum L.) seeds vigor with half diallel cross

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam hal penyediaan pangan, pakan dan bahan-bahan industri, sehingga telah menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL D. Ruswandi, M. Saraswati, T. Herawati, A. Wahyudin, dan N. Istifadah Lab. Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan diolah menjadi berbagai bahan pangan seperti tahu, tempe dan sari kedelai, dan lainnya, yang dikonsumsi

Lebih terperinci

LAPORAN INSENTIF RISET TERAPAN 2007

LAPORAN INSENTIF RISET TERAPAN 2007 PERAKITAN VARIETAS KACANG PANJANG TAHAN HAMA APHID DAN VIRUS MOSAIK SERTA BERDAYA HASIL TINGGI LAPORAN PROGRAM INSENTIF RISET TERAPAN 2007 Oleh : Kuswanto Budi Waluyo Aminudin Afandhi Heru Kuswantoro Lembaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies cabai yang telah dikenal, diantaranya C. baccatum, C. pubescent,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan daerah tropis. Ubi kayu menjadi tanaman pangan pokok ketiga setelah padi dan jagung.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Dusun Pabuaran, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Cimanggu, Kotamadya Bogor. Adapun penimbangan bobot tongkol dan biji dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai mengandung sekitar 40% protein, 20% lemak, 35% karbohidrat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Nilai rata-rata konsumsi cabai per kapita di Indonesia adalah 2,9 kg.tahun -1

Lebih terperinci

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK BAB. VI Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK Galur yang akan digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.) Abdullah B. Arif 1*, Linda Oktaviana 2, Sriani Sujiprihati 3, dan Muhamad

Lebih terperinci

AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO

AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO GENE ACTIONS AND HERITABILITY OF ANTOCIANIN CONTENT

Lebih terperinci

[ ] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai

[ ] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai [1.04.04] Pengembangan Varietas Jagung Putih untuk Pangan, Berumur Genjah dan Toleran Kekeringan Muhammad Azrai [BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA

PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA Upaya perakitan varietas unggul serealia saat ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan spesifik lingkungan, diantaranya jagung spesifik wilayah dengan curah hujan

Lebih terperinci

ANALISIS RATA-RATA GENERASI HASIL PERSILANGAN TOMAT LV 6123 DAN LV 5152

ANALISIS RATA-RATA GENERASI HASIL PERSILANGAN TOMAT LV 6123 DAN LV 5152 66 AGRIVITA VOLUME 3 No JUNI-009 ISSN : 06-0537 ANALISIS RATA-RATA GENERASI HASIL PERSILANGAN TOMAT LV 63 DAN LV 55 (ANALYSIS OF MEAN GENERATIONS OF CROSSING BETWEEN LV 63 AND LV 55 TOMATO LINES) Farah

Lebih terperinci

Kuswanto-2012 Macam Mating Design Mating Design I 2 faktor, nested (tersarang) Mating Design II 2 faktor, faktorial Mating Design III ull faktorial Mixed ull nested Dialel Mating !! " " #! Apakah nested

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 1. Evaluasi respon ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 1. Evaluasi respon ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Kebun UF IPB, Tajur dan di rumah kaca kedap serangga Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB, Cikabayan, dari bulan Juli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai termasuk salah satu komoditas yang dibutuhkan, karena protein yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai termasuk salah satu komoditas yang dibutuhkan, karena protein yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai termasuk salah satu komoditas yang dibutuhkan, karena protein yang dikandung cukup tinggi dan harganya tidak terlalu mahal, sehingga kedelai disukai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu tanaman pangan pengasil protein

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu tanaman pangan pengasil protein II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Sejarah Singkat Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu tanaman pangan pengasil protein nabati. Tanaman ini berasal dari daratan Cina

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia tinggi, akan tetapi produksinya sangat rendah (Badan Pusat Statistik,

I. PENDAHULUAN. Indonesia tinggi, akan tetapi produksinya sangat rendah (Badan Pusat Statistik, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kedelai merupakan salah satu contoh dari komoditas tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan kedelai di Indonesia

Lebih terperinci

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN Dasar Genetik Tanaman Penyerbuk Silang Heterosigot dan heterogenous Satu individu dan individu lainnya genetis berbeda Keragaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jagung Manis LASS Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas jagung sintetik bernama Srikandi. Varietas LASS juga merupakan hasil

Lebih terperinci

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto KERAGAMAN GENETIK DAN HERITABILITAS KARAKTER KOMPONEN HASIL PADA POPULASI F2 BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS INTRODUKSI DENGAN VARIETAS LOKAL GENETIC VARIABILITY AND HERITABILITY

Lebih terperinci

PERAKITAN VARIETAS TANAMAN KACANG PANJANG (Vigna sesquipedalis (L). Fruwirth) TOLERAN HAMA APHID DAN BERDAYA HASIL TINGGI

PERAKITAN VARIETAS TANAMAN KACANG PANJANG (Vigna sesquipedalis (L). Fruwirth) TOLERAN HAMA APHID DAN BERDAYA HASIL TINGGI PERAKITAN VARIETAS TANAMAN KACANG PANJANG (Vigna sesquipedalis (L). Fruwirth) TOLERAN HAMA APHID DAN BERDAYA HASIL TINGGI Kuswanto, Lita Soetopo, Aminudin Afandhi, Budi Waluyo Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer dan Palmer, 1990). Tinggi tanaman jagung berkisar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Solanes, famili Solanaceae, dan genus Capsicum. Tanaman ini berasal

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Hajimena, Lampung Selatan pada bulan September 2009 sampai bulan Januari

III. METODOLOGI PENELITIAN. Hajimena, Lampung Selatan pada bulan September 2009 sampai bulan Januari III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Politeknik Negeri Lampung, Desa Hajimena, Lampung Selatan pada bulan September 009 sampai bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Class : Dicotyledoneae, Ordo : Polypetales, Familia : Papilionaceae,

Lebih terperinci

TINDAK GEN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT KARAT (Pucinnia arachidis, Speg.) PADA KACANG TANAH GENE ACTION OF THE RUST DISEASE RESISTANCE IN GROUNDNUT

TINDAK GEN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT KARAT (Pucinnia arachidis, Speg.) PADA KACANG TANAH GENE ACTION OF THE RUST DISEASE RESISTANCE IN GROUNDNUT ISSN 1411 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9, No. 2, 2007, Hlm. 172-177 172 TINDAK GEN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT KARAT (Pucinnia arachidis, Speg.) PADA KACANG TANAH GENE ACTION OF THE

Lebih terperinci