EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING"

Transkripsi

1 1 EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Oleh M. PAHALA HANAFI HARAHAP PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

2 2 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata ala atas rahmat, karunia dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan. Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. Sutomo Kasiman, dr, Sp.JP (K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini. Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan,

3 3 bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan, arahan, dorongan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) sebagai pembimbing utama tesis, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K) dan dr. Farhat, Sp.THT-KL sebagai pembimbing pendamping tesis, yang telah banyak memberikan waktu, bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guruguru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL (K), Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT- KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL (K), dr. Ida Sjailendrawati H, Sp.THT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT- KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.

4 4 Yang terhormat Prof. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, dr, Sp. PA(K), para staf Departemen Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan di bidang patologi anatomi terutama mengenai pemeriksaan imunohistokimia dalam penulisan tesis ini. Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dalam pengolahan data tesis ini. Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut. Direktur dan seluruh staf THT-KL RSUD Lubuk Pakam, RS PTP XI Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit DAM-I/Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis untuk belajar selama pendidikan di rumah sakit tersebut. Kedua orangtua tercinta, Ibunda Salismi dan ayahanda dr. Amran Harahap, serta kakak dan adik penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis. Istriku Ns. Cholina Trisa Siregar MKep. Sp. KMB terima kasih atas dukungan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ananda M. Faiz Zuhairi Harahap yang terus memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5 5 Teman-teman sejawat peserta pendidikan Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher terima kasih atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin selama mengikuti pendidikan. Paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dan bekerja sama selama penulis menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata ala selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Medan, Maret 2009 M. Pahala Hanafi Harahap

6 6 Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring Abstrak Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosa pada stadium lanjut, sehingga angka survival rendah dan prognosis penderita jelek. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam progresivitas tumor dan metastase tumor adalah overekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan penting dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian ini dilakukan untuk melihat ekspresi VEGF pada KNF, serta melihat hubungan ekspresi VEGF dengan stadium dan jenis histopatologi KNF. Metode Penelitian : Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara non probability consecutive sampling mulai Maret Terhadap penderita KNF dilakukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari jaringan nasofaring yang diperoleh dari biopsi. Ekspresi VEGF dinilai pada sitoplasma yang terwarnai merah kecoklatan. Data dianalisa dengan uji korelasi Spearman dan uji chi square dengan batas kebermaknaan p < 0,05. Hasil Penelitian : Sebanyak 21 dari 28 kasus KNF (75,0%) memiliki ekspresi VEGF positif. Overekspresi VEGF dijumpai pada 10 dari 28 kasus KNF (35,7%). Tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF (p > 0,05). Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF (p > 0,05)

7 7 Kesimpulan : Ekspresi VEGF cukup tinggi pada penderita KNF. Kemungkinan VEGF berperan dalam proses angiogenesis pada KNF. Kata Kunci : KNF, VEGF, stadium, histopatologi Abstract Background : Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a malignancy that tend to diagnosed at advanced stage with low survival and prognosis rate. One of the factor that may play a role in progresivity and metastasis of tumour is overexpression of vascular endothelial growth factor (VEGF) which is a key role in tumour angiogenesis. The aim of this study is to learn the expression of VEGF in NPC, and to learn the association of VEGF expression with tumour stage and histopathologic type of NPC. Study design and methods : This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of North Sumatera / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected by non probability consecutive sampling, starting from March NPC patients underwent histophatologic examination and immunohistochemical analysis from nasopharyngeal biopsy. VEGF expression analysed by red-brown stained cytoplasm. Data was analysed by Spearman s correlation test and chi square test. Results : VEGF positive expression was found in 21 of 28 (75.0%) NPC cases. VEGF overexpression was found in 10 of 28 (35.7%) NPC cases. No significance correlation found between tumour stage and VEGF expression (p > 0.05). No significance association found between histophatologic type and VEGF expression (p > 0.05).

8 8 Conclusions : VEGF expression is relatively high in NPC patient. VEGF may play a role in the angiogenesis of NPC. Keywords : NPC, VEGF, stage, histophatology.

9 9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI... i v viii BAB 1: PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Manfaat Teoritik Manfaat Praktis... 6 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA Karsinoma Nasofaring Anatomi Nasofaring Epidemiologi Etiologi Gejala Klinik Diagnosis Histopatologi dan Stadium Terapi Vascular Endothelial Growth Factor Angiogenesis Angiogenesis Yang Diinduksi Tumor Famili VEGF Reseptor VEGF Peran VEGF Pada Angiogenesis Regulasi VEGF Overekspresi VEGF Anti VEGF BAB 3 : KERANGKA KONSEPTUAL.. 54

10 10 BAB 4 : METODE PENELITIAN Jenis dan Rancangan Penelitian Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi Sampel Besar Sampel Teknik Pengambilan Sampel Variabel Penelitian Klasifikasi Variabel Penelitian Definisi Operasional Variabel Bahan Penelitian Instrumen Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Kerangka Kerja Pelaksanaan Penelitian Analisa Data BAB 5 : ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 6 : PEMBAHASAN BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran 1. Data Sampel Penelitian Lampiran 2. Status Penelitian Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian RIWAYAT HIDUP... 96

11 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per penduduk (Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode didapati 511 penderita baru KNF (Roezin, 1995). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli Juni 2006 ditemukan 79 orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007). Diagnosis dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar dicapai karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak maupun leher (Roezin, 1995). Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada stadium I dan II, dimana belum terjadi metastase regional. Keadaan ini sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dari beberapa penyelidikan di

12 12 Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan antara 3,8%-13,9%, dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar 88,1%-96,2% (Soetjipto, 1993). Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan stadium dini (Aliandri, 2007). Radioterapi tetap merupakan modalitas terapi primer terhadap KNF (Cottrill dan Nutting, 2005; Wei dan Sham, 2005). Penderita dengan stadium I dan II mempunyai angka kesembuhan tinggi dengan pemberian radioterapi saja, dimana prognosis bagi penderita dengan metastase jauh masih buruk. Bagi penderita dengan stadium III dan IV, peran pembedahan terbatas dan pemberian radioterapi yang dikombinasikan dengan kemoterapi telah menjadi standar terapi (Agulnik dan Siu, 2005). Akan tetapi, regimen obat kemoterapi yang optimal untuk dikombinasikan dengan radioterapi masih kontroversial. Beberapa studi random telah dilakukan untuk mengevaluasi pemberian kemoterapi neoadjuvan, concurrent dan adjuvan dalam berbagai kombinasi dengan radioterapi (Cottrill dan Nutting, 2003; Agulnik dan Siu, 2005). Kanker yang kecil pada KNF memiliki angka survival yang tinggi dengan pemberian radioterapi dan kemoterapi sekitar 80%-90%. Lesi yang lebih luas tanpa penyebaran ke kelenjar limfe leher sering dapat disembuhkan dengan angka survival 50%-70%. Penderita dengan lesi lanjut, terutama dengan penyebaran ke kelenjar limfe leher, keterlibatan syaraf kranial dan destruksi tulang, sulit dilakukan kontrol lokal dengan radioterapi dengan / tanpa pembedahan dan sering berkembang menjadi metastase jauh. Walau rekurensi biasanya terjadi dalam 5 tahun setelah diagnosis, dapat pula terjadi dengan interval yang lebih lama (Cho, 2007).

13 13 Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF : EGFR, ckit c-erbb-2 (HER-2) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastase tumor (Agulnik dan Siu, 2005). Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Dalam kondisi patologi, angiogenesis dibutuhkan pada proses pertumbuhan tumor solid dan pada proses metastase (Rosen, 2002; Medinger dan Drevs, 2005; Hicklin dan Ellis, 2005). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm 3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh (Hicklin dan Ellis, 2005). Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor antiangiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). VEGF berperan penting dalam angiogenesis tumor. Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan inaktivasi gen supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin (Rosen, 2002). Aktivasi aksis VEGF/VEGF reseptor (VEGFR) memicu jaringan sinyal multipel yang menghasilkan survival sel endotel, mitogenesis, migrasi, diferensiasi dan permeabilitas

14 14 vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari sumsum tulang ke sirkulasi perifer (Hicklin dan Ellis, 2005). Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma kolorektal, karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF dibandingkan antara sampel jaringan yang diambil dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai ekspresi VEGF 10%, 40% dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan terhadap KNF stadium dini (dikutip oleh Agulnik dan Siu, 2005 dari Guang Wu, 2000). Satu studi di China dari 127 spesimen KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF 66,9% (Sha dan He, 2006). Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103 penderita KNF (Khrisna et al. 2006). Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF pada seluruh sampel (Soo et al. 2005). Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF/VEGFR telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005). Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang lebih baik daripada pemberian kemoterapi/radioterapi sendiri (Ferrara et al. 2004). 1.2 Rumusan Masalah

15 15 Di Departemen THT KL FK USU/RSUP HAM, penderita KNF sebagian besar datang dengan stadium lanjut (Stadium III dan IV). Penderita KNF stadium lanjut memiliki prognosa yang jelek, dengan kemungkinan besar terjadi rekurensi dan metastase jauh. Peneliti tertarik untuk mengetahui ekspresi VEGF pada KNF, dimana overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas dan prognosis tumor yang buruk. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring Tujuan Khusus Mengetahui ekspresi VEGF pada penderita KNF Mengetahui hubungan stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF Mengetahui hubungan jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF 1.4 MANFAAT PENELITIAN Manfaat teoritik Dapat memahami peran VEGF pada KNF dalam progresivitas dan prognosis penyakit Manfaat praktis Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam pemberian anti VEGF terhadap KNF untuk meningkatkan efek terapi dasar KNF di masa datang.

16 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Permukaan dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh badan sfenoid, basioksiput dan vertebra cervical I dan II hingga batas palatum mole. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006). Atap dan dinding posterior nasofaring Bagian atap melandai yang menyatu dengan dinding posterior. Keduanya dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen lacerum di lateral. Sinus kavernosus dengan arteri karotis interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI terletak di atas foramen laserum pada kedua sisi. Dinding posterior menutupi bagian basilar tulang oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Dibagian atas dinding posterior melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring atau adenoid). Fascia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan tulang vertebra (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

17 17 Dinding lateral nasofaring Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba dibentuk oleh fascia faringobasilar yang diperkuat di inferior oleh otot konstriktor superior. Dilihat dari cavum nasi, aspek anterior dan aspek posterior orificium tuba Eustachius ditandai dengan elevasi kartilago tuba, dimana di belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di sebelah dalam dinding lateral terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis interna, syaraf kranial IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe retrofaring (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Fascia faring dan jaringan ikat foramen laserum menyebabkan kerentanan terhadap invasi langsung tumor ganas nasofaring. Keadaan ini serta seringnya keterlibatan kelenjar limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial (Cottrill dan Nutting, 2003). Dasar nasofaring Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle, yang berhubungan dengan spingter palatofaring berperan untuk menutup ismus faring saat menelan, memisahkan nasofaring dengan orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Saluran limfe dan persyarafan nasofaring Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan mengandung berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang paling menonjol, terutama pada anak-anak, adalah tonsil faringeal (adenoid) yang terletak di garis tengah dan

18 18 menonjol ke depan dari pertemuan atap dan dinding posterior. Lokasi aliran limfe kelompok pertama adalah kelenjar retrofaring yang terletak di ruang antara dinding nasofaring posterior, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra. Kelompok kelenjar Rouviere (node of Rouviere) membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar tersebut terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus, sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke rantai jugular interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di ruang kompartemen parafaring retrostiloid disebelah dalam ujung atas otot sternomastoid. Kelenjar ini kemudian mengalir ke bawah di posterior dari kelompok syaraf aksesorius dan di anterior kelompok jugulodigastrik. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Suplai syaraf ke mukosa nasofaring berasal dari n. trigeminal divisi maksilla melalui cabang kecil, n. faringeal yang berasal dari fossa pterigopalatina, di dekat ganglion pterigopalatina (Cottrill dan Nutting, 2003) Epidemiologi Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham, 2005; Brennan 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per penduduk

19 19 (Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode didapati 511 penderita baru KNF (Roezin, 1997). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli Juni 2006 ditemukan 79 orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007). Pada daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden sekitar 0,5/ , dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Di Cina Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan angka insiden meningkat hingga 50/ Perbedaan ini berhubungan dengan subtipe patologis, di Amerika Utara terdapat WHO tipe 1 (keratinizing squamous cell carcinoma) pada 68% kasus, sementara di Timur Jauh lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3. Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo dan Alaska, dan juga meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cottrill dan Nutting, 2003). Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda dari kanker kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V. Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih terdapat insidensi yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, sehingga didapati distribusi usia bimodal, dengan puncak awalnya antara usia tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003).

20 Etiologi KNF kemungkinan merupakan hasil interaksi kompleks faktor-faktor genetik, virus dan lingkungan (Ganguly et al. 2003). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap KNF : 1. Infeksi virus Epstein-Barr Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen compleks (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et al Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting; Lutzky et al. 2008). Virus Epstein- Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien KNF di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Sinyal RNA yang dikode VEB dengan metode hibridisasi in situ dijumpai pada hampir seluruh sel tumor, dimana RNA yang dikode VEB tidak dijumpai pada jaringan normal di sekitar tumor, kecuali pada jaringan limfoid yang terbatas. Lesi premaligna di epitel nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. Gen-gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi gen selular dan pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat invasif serta pertumbuhan yang ganas dari karsinoma (McDermott et al. 2001; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei dan Sham, 2005; Lutzky et al ).

21 21 2. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa hanya konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Ganguly et al. 2003; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006). Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai bahan makanan yang diawetkan di China, Tunisia dan Greenland, dimana beberapa bahan makanan tersebut mengandung prekursor nitrosamin tingkat tinggi yang menghasilkan uap nitrosamin setelah dicerna di lambung (Chew, 1997). 3. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di Cina, Indonesia dan Kenya juga meningkatkan insiden KNF. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF di Hongkong (Chew, 1997; McDermott et al. 2001; Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan resiko KNF pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003). 4. Sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain : benzopyren, benzo anthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, asap rokok, dan beberapa ekstrak tumbuhan. Penelitian di Swedia menunjukkan pembuat gelas, pembuat sepatu, pembuat buku serta pekerja di pembakaran tanaman mempunyai risiko tinggi untuk KNF. Di Selandia Baru peningkatan resiko KNF terjadi pada pekerja kayu, penggergaji kayu dan pegawai kehutanan. Di China Selatan

22 22 suatu studi kasus kontrol menunjukkan resiko tinggi KNF pada pekerja yang terpapar bahan-bahan hasil pembakaran batu bara, arang, pengelasan serta bahan bakar cair (Chew, 1997; McDermott et al. 2001; Ganguly et al. 2003). 5. Ras dan keturunan. Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal ataupun di perantauan. Insiden tertinggi terutama di Provinsi Guangdong dan Daerah Otonom Guangxi (Roezin, 1995; Chew, 1997; Ahmad, 2002). Insiden KNF tetap tinggi pada penduduk Cina yang berimigrasi ke Asia Tenggara atau Amerika Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang lahir di Cina Selatan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei dan Sham, 2005). Insiden sedang dijumpai pada ras Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina), Eskimo (Kanada, Alaska, Greenland) dan Afrika Utara. Insiden yang jauh lebih rendah daripada insiden di Asia dijumpai di Malta, Tunisia, Aljazair, Maroko dan Sudan, tetapi insiden tetap lebih tinggi daripada di Amerika dan Eropa (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). 6. Radang kronis di nasofaring Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (McDermott, et al. 2001; Ahmad, 2002). Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung dan tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko terjadinya keganasan (McDermott, et al. 2001).

23 23 7. Profil HLA. Hubungan antara profil HLA dan KNF ditemukan pada pasien KNF di berbagai negara. Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk kemungkinan faktor penyebab bagi orang Indonesia asli (Roezin, 1996; Ahmad, 2002). Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Delfitri M, 2007) Gejala Klinik Dari segi penderita gejala dini KNF tidak khas bahkan lebih banyak menyerupai gejala rhinitis atau sinusitis. Keluhan penderita KNF sering meragukan dan baru jelas setelah tumor membesar dan stadium sudah lanjut. Kesulitan ini akibat sulitnya pemeriksaan nasofaring (Ahmad, 2002). Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan derajat penyebaran. Gejala dini sering tidak disadari oleh penderita maupun dokter sendiri. Gejala yang sering ditemukan : 1. Pembesaran kelenjar leher Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran

24 24 terdekat secara limfogen dari KNF. Kelenjar limfe retrofaring lateral (node of Rouviere) adalah penyaring limfatik pertama akan tetapi tidak dapat diraba. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastric dan kelenjar cervical posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar cervical tengah. Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri. Dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Thompson, 2005) 2. Gejala hidung Gejala pada hidung dapat merupakan gejala dini KNF akan tetapi gejala ini tidak khas, karena dapat juga dijumpai pada penyakit infeksi biasa seperti rhinitis kronis atau sinusitis. Gejala dapat berupa ingus yang dinodai darah serta ludah yang bercampur darah saat membersihkan tenggorokan. Perdarahan dapat timbul berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu atau terdapat garis-garis darah halus. Epistaksis biasanya dijumpai pada KNF stadium lanjut dengan atau tanpa erosi dasar tengkorak. Sumbat hidung biasanya gejala pada stadium lanjut. Jika dijumpai pada stadium dini biasanya akibat infeksi sekunder. Ozaena terjadi akibat nekrosis tumor dan merupakan ciri KNF stadium lanjut. (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003) 3. Gejala telinga Dapat berupa gangguan pendengaran seperti tuli hantar, rasa penuh di telinga, seperti ada cairan, tinitus atau berdenging. Hal ini karena umumnya tumor pertama kali timbul di fossa Rosenmuller dan menyumbat muara tuba Eustachius. Gejala ini merupakan gejala dini KNF. Otitis media serosa dijumpai pada 41 % pasien dari 237

25 25 pasien KNF yang didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan keluhan ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006). 4. Gejala neurologis a. Sindroma petrosfenoidal Gejala timbul akibat perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen laserum. Syaraf kranial yang terlibat berturut-turut adalah : n.vi, n. III, n.iv sedang n. II paling akhir mengalami gangguan. Parese n. II menyebabkan gangguan visus. Parese n. III menyebabkan kelumpuhan m. levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis. Parese n. III, IV dan VI akan menyebabkan gangguan berupa diplopia karena syaraf-syaraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata. Parese n. V akan menimbulkan gejala parestesi atau hipestesi pada separuh wajah. Apabila semua syaraf grup anterior (n. II n. VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002) b. Sindroma parafaring Gejala ini timbul akibat gangguan syaraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : n. IX : kesulitan menelan karena hemiparese m. konstriktor faringeus superior. N. X : gangguan motorik berupa afoni,

26 26 disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. N. XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle. N. XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah. N. VII dan n. VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002). 5. Gejala akibat metastase jauh. Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) atau bersama aliran limfe (limfogen) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Metastase jauh dijumpai pada 3-6% penderita saat pertama kali datang, tetapi dapat berkembang hingga 40% dari penderita KNF. Organ yang sering dikenai adalah tulang (48%), diikuti paru (27%) dan hati (11%). Sumsum tulang jarang terlibat akan tetapi membawa prognosis yang buruk. Metastase kelenjar limfe diluar leher jarang terjadi dan biasanya timbul pada kasus relaps. Metastase jauh merupakan stadium lanjut dan KNF dengan prognosis buruk. (Chiesa dan Paoli, 2001; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003) Diagnosis Dari sebuah penelitian pada 4768 penderita KNF, gejala yang dikeluhkan pada saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas di wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%). Tanda klinis yang ditemukan saat diagnosa ditegakkan adalah pembesaran kelenjar getah bening leher

27 27 (75%) dan kelainan syaraf kranial (20%). Syaraf kranial yang sering terkena adalah syaraf kranial III, V, VI dan XII. Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT Scan atau MRI). Diagnosis pasti KNF ditegakkan melalui biopsi nasofaring yang didukung oleh visualisasi melalui endoskopi atau pencitraan dengan potongan lintang (Wei dan Sham, 2005). Jika penderita datang dengan gejala KNF, penderita harus dievaluasi secara klinis adanya tanda-tanda fisik KNF (kelenjar limfe leher, cairan di telinga tengah, keterlibatan syaraf kranial). Anamnesa lengkap, terutama gejala neurologi dan keluhan yang menyarankan adanya metastase jauh sangat penting untuk ditanyakan kepada penderita. Karena radioterapi adalah terapi utama sangat penting untuk menanyakan faktor-faktor yang berpotensi terjadinya komplikasi yaitu riwayat radiasi sebelumnya, merokok, alkohol, gizi buruk dan kelainan gigi (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006). Pemeriksaan yang dianjurkan untuk penderita KNF : Untuk seluruh penderita : - Nasofaringoskopi langsung dan biopsi pada tumor primer - Pemeriksaan darah - Profil biokimia termasuk tes fungsi hati dan laktat dehidrogenase (LDH) - Serologi virus Epstein-Barr (IgA anti VCA, IgA anti EA) - X-ray dada - CT resolusi tinggi (dengan kontras intravena) atau scan MRI pada fossa cranii media, nasofaring, sinus paranasal, leher dan inlet dada - Orthopantomogram (Cottrill dan Nutting, 2003).

28 28 Untuk penderita dengan keterlibatan kelenjar limfe lanjut (N3) atau diduga adanya metastase jauh : - Scan tulang dan radiografi polos pada daerah yang abnormal atau daerah yang menunjukkan gejala. - Scan ultrasound hati (Cottrill dan Nutting, 2003). Pemeriksaan penunjang : - Audiometri (jika ada indikasi klinis atau pada pemberian kemoterapi platinum) - Bersihan kreatinin atau bersihan EDTA (pada pemberian kemoterapi platinum) (Cottrill dan Nutting, 2003). Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus diarahkan ke cavum nasi dan nasofaring. Pemeriksaan tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin (rinoskopi posterior), tetapi variasi anatomi pada penderita akan menganggu evaluasi yang adekwat pada daerah nasofaring. Rinoskopi posterior juga dibatasi oleh refleks faring, kerjasama penderita dan ketidakmampuan membuka mulut. Akan tetapi, pemeriksaan dengan cermin masih tetap cara tercepat untuk menilai nasofaring. Dengan bantuan nasoendoskopi kaku atau nasoendoskopi fleksibel dapat dilihat perluasan tumor primer, yang dapat tumbuh eksofitik, atau tampak hanya berkurangnya batas dari fossa Rosenmuller. Perluasan ke palatum mole, dinding faring dan orofaring harus dilihat dengan inspeksi dan palpasi. Bukti adanya defisit syaraf kranial dapat dilihat dari paralise dan atrofi palatum atau lidah. Evaluasi lengkap syaraf kranial lainnya harus

29 29 dilakukan pemeriksaan visual dan pemeriksaan membran timpani (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006) Biopsi nasofaring Konfirmasi pasti diagnosa KNF diperoleh dengan hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Prosedur standar adalah biopsi transnasal dengan panduan endoskopi. Teleskop kaku Hopkins 0 dan 30 memberikan pandangan yang baik dari nasofaring. Jika terdapat deviasi septum, endoskop 70 dimasukkan melalui cavum nasi yang berlawanan dapat memberikan visualisasi tumor yang adekwat. Endoskop 70 yang dimasukkan di belakang palatum molle dapat memberikan visualisasi atap nasofaring dan kedua muara tuba Eustachius. Endoskop kaku tidak mempunyai jalur penghisap atau jalur biopsi. Darah dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang dengan penghisap terpisah untuk mendapatkan pandangan yang jelas pada daerah patologis. Forsep biopsi harus dimasukkan bersebelahan dengan endoskop untuk mendapatkan biopsi tumor dibawah pandangan langsung (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006). Endoskop fleksibel memberikan pemeriksaan yang teliti pada seluruh nasofaring, walau dimasukkan melalui satu sisi cavum nasi. Ujungnya dapat bermanuver di belakang septum nasi ke sisi sebelah. Endoskop ini memiliki jalur penghisap dan forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya untuk mengambil biopsi tumor dibawah pandangan langsung. Walaupun demikian, gambaran visual yang diperoleh dari endoskop fleksibel kurang baik dibandingkan endoskop kaku dan ukuran forsep biopsi kecil, sehingga pengambilan jaringan tidak optimal (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006)

30 30 Pada beberapa keadaan seperti : keadaan umum kurang baik, penderita tidak kooperatif, faring terlalu sensitif, trismus atau pada anak, dilakukan eksplorasi nasofaring dimana selain dilakukan biopsi, juga dilakukan kuretase daerah nasofaring. Hal ini juga dilakukan pada penderita yang telah dilakukan biopsi dengan anestesi lokal tetapi tidak menunjukkan hasil positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF (Ahmad, 2002). Pada kasus KNF yang tidak dapat dikonfirmasi dengan biopsi endoskopi konvensional, dapat dilakukan biopsi aspirasi jarum halus di nasofaring. Tumor yang terletak dalam yang tidak dapat diambil dengan biopsi konvensional dapat dicapai oleh biopsi aspirasi jarum halus dengan hasil yang cukup akurat (Lubis, 1993). Biopsi nasofaring tetap dilaksanakan walaupun tumor primer tidak terlihat di nasofaring pada keadaan : 1. Limfadenopati kelenjar leher akibat metastase tumor ganas. 2. Parese/paralise unilateral n.iv dan n.vi dengan sebab yang tidak jelas. 3. Asimetri nasofaring pada CT scan. 4. Terdapat 2 dari 3 gejala yaitu gejala telinga, gejala hidung dan gejala neurologis (Ahmad, 2002). Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto polos dapat menilai destruksi tulang dan massa jaringan lunak yang menutupi jalan nafas atas. Akan tetapi teknik ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan hanya sedikit memberikan keterangan tentang invasi dan perluasan tumor (Ahmad, 2002; Wei dan Sham, 2005).

31 31 Pemeriksaan fisik (termasuk endoskopi) dapat memberikan informasi yang bernilai mengenai keterlibatan mukosa dan perluasan tumor ke hidung dan orofaring, tetapi tidak dapat menilai perluasan ke dalam, erosi dasar tengkorak, atau penyebaran intrakranial, kecuali terdapat gejala dan tanda ekstensi yang luas melalui jalur tersebut (Wei dan Sham, 2005). Pencitraan potong lintang telah meningkatkan efektivitas terapi pada penderita KNF. Pencitraan tumor primer yang sesuai sangat penting bukan hanya untuk menentukan stadium tetapi juga untuk perencanaan radioterapi yang akurat. Dalam menentukan stadium, CT dapat mengidentifikasi penyebaran paranasofaring yaitu jenis penyebaran yang paling sering pada KNF, dan dapat menunjukkan penyebaran perineural melalui foramen ovale yang merupakan jalur penyebaran intrakranial yang penting. Penyebaran perineural melalui foramen ovale juga diperhitungkan sebagai bukti CT adanya keterlibatan sinus kavernosa tanpa erosi dasar tengkorak (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005) MRI lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI. Dalam penentuan stadium, MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya kecuali dijumpai erosi tulang yang terlibat. Infiltrasi ke sumsum tulang dihubungkan dengan peningkatan resiko metastase jauh. Pada suatu studi komparatif, lebih banyak penderita KNF didapati dengan stadium lebih tinggi

32 32 dengan pemeriksaan CT dibandingkan MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005). Deteksi metastase jauh saat diagnosa dengan radiografi konvensional, CT dan MRI biasanya tidak berhasil. Beberapa laporan telah menyimpulkan bahwa scan tulang, scintigrafi hati, ultrasonografi abdominal dan biopsi sumsum tulang memiliki nilai yang kecil dalam pemeriksaan stadium rutin dan direkomendasikan untuk tidak digunakan (Wei dan Sham, 2005). Saat digunakan untuk memonitor kondisi penderita setelah terapi, baik CT dan MRI memiliki sensitivitas rendah dan spesifisitas sedang dalam mendeteksi rekurensi tumor, walaupun secara umum MRI lebih baik dari CT dalam menunjukkan rekurensi tumor dan komplikasi post radiasi (Wei dan Sham, 2005). Pemeriksaan Serologi Virus Epstein-Barr dapat mempengaruhi manusia dalam berbagai bentuk. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan juga berhubungan dengan limfoma Burkitt dan KNF. VEB tergolong virus herpes dan antigen spesifik VEB dapat dikelompokkan menjadi antigen replikatif awal, antigen fase laten dan antigen akhir. Pada pasien KNF, antibodi imunoglobulin A (IgA) memberikan respon terhadap early antigen (EA) dari kelompok pertama, dan viral capsid antigen (VCA) dari kelompok ketiga memiliki nilai diagnostik. Keduanya juga berperan dalam skrining bagi penderita KNF asimtomatik pada populasi resiko tinggi. IgA anti VCA lebih sensitif tetapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Walau kurang spesifik, peninggian LDH serum juga berhubungan dengan metastase (Ahmad, 2000; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

33 Histopatologi dan Stadium WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe : Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi di atasnya. Tipe 2 : differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, dimana diferensiasi skuamosa tidak terlihat pada mikroskop cahaya. Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol. Batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Thompson, 2005; Wei dan Sham, 2005; Lutzky et al. 2008). Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah menurut UICC (2002) dan Ho (1978). (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003). Klasifikasi menurut AJCC/UICC 2002 : (Brennan, 2006) Tumor Primer (T) TX T0 Tis Tumor primer tidak dapat dinilai Tidak terbukti adanya tumor primer Karsinoma in situ

34 34 Nasofaring T1 T2 Tumor terbatas di nasofaring Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau rongga hidung T2a Tanpa perluasan ke daerah parafaring T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring T3 T4 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, rongga infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. KGB Regional (N) NX N0 N1 KGB regional tidak dapat dinilai Tidak ada metastase ke KGB regional Metastase KGB unilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa supraklavikular. N2 Metastase KGB bilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa supraklavikular N3 Metastase pada KGB : N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular Metastase Jauh (M) Mx M0 Metastase jauh tidak dapat dinilai Tanpa metastase jauh

35 35 M1 Metastase jauh Kelompok stadium : 0 Tis N0 M0 I T1 N0 M0 IIA T2a N0 M0 IIB T1 N1 M0 T2a N1 M0 T2b N0 M0 T2b N1 M0 III T1 N2 M0 T2a N2 M0 T2b N2 M0 T3 N0 M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0 IVA T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 IVB setiap T N3 M0 IVC setiap T setiap N M1

36 Terapi Radioterapi Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF dan kelenjar regional yang membesar (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei dan Sham, 2005). Ini disebabkan lokasi nasofaring berdekatan dengan struktur yang penting, serta sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan sulit dilakukan. Selain itu KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay et al. 2006). Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al. 2003; Lin, 2006) Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan Gy dan pada kelenjar leher Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher dengan kelenjar negatif adalah Gy (Wei dan Sham, 2005). Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 cgy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah cgy pada tumor (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Licitra et al. 2003). Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Licitra et al. 2003; Lee, 2003; Wei, 2006).

37 37 Kemoterapi Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvan), selama (concurrent) atau setelah (adjuvan) pemberian kemoterapi. Regimen kemoterapi aktif antara lain : cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Lin, 2006). Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan tetapi, waktu pemberian, dosis, durasi dan regimen obat kemoterapi yang optimal masih tetap kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik dan Siu, 2005; Lin, 2006). Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvan/induksi kemoterapi dengan radioterapi ada 2. Pertama : reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol lokoregional. Kedua : eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi relaps metastase jauh. Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concomitant) menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga kemungkinan eradikasi mikrometastase. Akan tetapi juga menawarkan peningkatan resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvan yang diberikan setelah radioterapi adalah untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap metastase jauh. Tetapi hal ini

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM Tesis Oleh: dr. Fathma Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

Lebih terperinci

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF)

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) TUMOR NASOFARING TUMOR NASOFARING Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) - Limfoma non Hogdkin - Karsinoma kistik adenoid - Adenocarcinoma & tumor kel. ludah minor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012. HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh: DENNY SUWANTO 090100132 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring Farhat Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan Abstrak: Karsinoma

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010.

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010. KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010 Tesis Oleh: dr. Merza Maulana Muzakkir PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi

Lebih terperinci

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 Oleh Cut Elvira Novita PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14

Lebih terperinci

LAMPIRAN. VEG F HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2. No MR Nama Sex Usia Suku Std PA. Adeno P 22. Jawa. Jawa. Adenoid P 70

LAMPIRAN. VEG F HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2. No MR Nama Sex Usia Suku Std PA. Adeno P 22. Jawa. Jawa. Adenoid P 70 Lampiran 1 Data Sampel Penelitian LAMPIRAN No MR Nama Sex Usia Suku Std PA VEG F 1 7.57.97 HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2 7.72.01 SD Jawa Adeno P 22 IVb 8.4.47 SS Jawa Adenoid P 70 IVb cystic 4 8.46.18

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas pallatum molle.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). Diperkirakan ada 10.000 kasus baru

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN 2012-2014 DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA 120100414 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 GAMBARAN

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan 5 2.1 Anatomi Nasofaring BAB II KAJIAN PUSTAKA Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan pada jaringan payudara yang berasal dari epitel duktus atau lobulus. 1 Di Indonesia kanker payudara berada di urutan kedua sebagai

Lebih terperinci

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI 090100056 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 HUBUNGAN DIABETES

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang diikuti dengan timbulnya gejala ataupun tidak. WHO-IARC menggolongkan

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: Dr. Meiza Ningsih PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

1. Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung 2. Mahasiswa Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung

1. Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung 2. Mahasiswa Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung HUBUNGAN FAKTOR USIA, JENIS KELAMIN DAN GEJALA KLINIS DENGAN KEJADIAN KARSINOMA NASOFARING DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2013 2014 Resti Arania 1, Sri Maria Puji L 1, Irne Jayanti

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anteriorposterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ketujuh pada wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 239.000 kasus baru kanker ovarium dan 152.000 kasus meninggal dunia

Lebih terperinci

Kanker Nasofaring. Wulan Melani. Wulan Melani 1, Ferryan Sofyan 2. Mahasiswa F.Kedokteran USU angkatan 2009 /

Kanker Nasofaring. Wulan Melani. Wulan Melani 1, Ferryan Sofyan 2. Mahasiswa F.Kedokteran USU angkatan 2009 / Karakteristik Penderita Kanker Nasofaring di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan Tahun 2011 Characteristic Of Nasopharyng Carcinoma Patient In Adam Malik Hospital Medan In 2011 1, Ferryan Sofyan 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun sangat sering dijumpai di Cina Selatan, Afrika Utara, Alaska,

Lebih terperinci

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS Oleh : Dr. AGUSSALIM NIM. 087109002 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia (Shibuya et al., 2006).

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN NO NAMA MR UMUR SEX SUKU STADIUM PA (TIPE) EKSPRESI LMP1 1 IH 350582 43 LK BATAK IVC 3 0 2 K 405691 59 LK ACEH IVB 3 3 3 DP 351293 37 LK BATAK III 2 3 4 NS 352005 85 LK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering kedelapan di seluruh dunia. Insiden penyakit ini memiliki variasi pada wilayah dan ras yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: WULAN MELANI

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: WULAN MELANI KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011 Oleh: WULAN MELANI 090100114 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 HALAMAN PERSETUJUAN Proposal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (UADT), meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan

Lebih terperinci

GAMBARAN KANKER PAYUDARA BERDASARKAN STADIUM DAN KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN

GAMBARAN KANKER PAYUDARA BERDASARKAN STADIUM DAN KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN GAMBARAN KANKER PAYUDARA BERDASARKAN STADIUM DAN KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2013 Oleh : IKKE PRIHATANTI 110100013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung, berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi anteroposterior

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Anatomi nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Al Baqarah ayat 233: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,.

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Al Baqarah ayat 233: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Payudara merupakan salah satu bagian tubuh wanita yang memiliki kedudukan istimewa baik secara lahir dan batin. Selain memiliki nilai estetika, bagian tubuh

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan KARYA TULIS ILMIAH Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan Oleh : Todoan P Pardede 090100350 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M

Lebih terperinci

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak. BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PANDUAN PRAKTIK KLINIS KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR ISI Daftar isi... ii PANDUAN PRAKTIK KLINIS Disclaimer iii Klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berdasar Tingkat Pelayanan iv Pendahuluan... 1 Disetujui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker disebabkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan

Lebih terperinci

" The validity of the CT scan examination on Therapy Response Evaluation of Primary Carcinoma Tumor Nasofarings "

 The validity of the CT scan examination on Therapy Response Evaluation of Primary Carcinoma Tumor Nasofarings ABSTRACT " The validity of the CT scan examination on Therapy Response Evaluation of Primary Carcinoma Tumor Nasofarings " Puji Sulastri, Bambang Hariwiyanto, Sagung Rai Indrasari Departement of Otorhinolaryngology

Lebih terperinci

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN Oleh Riska Adriana 131421100503 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Karsinoma Nasofaring 2.1 Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang timbul dari sel epitel yang melindungi dan melintasi nasofaring. KNF pertama kali disebutkan oleh

Lebih terperinci

TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012

TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Taruli Hutauruk 2 Olivia Pelealu 3 Ora I. Palandeng Kandidat Fakultas Kedokteran Unsrat Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia, dimana saat ini menduduki peringkat kedua terbanyak penyakit kanker setelah kanker

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi 2.1.1. Anatomi Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari

Lebih terperinci

Ekspresi Protein p53 Mutan pada Karsinoma Nasofaring

Ekspresi Protein p53 Mutan pada Karsinoma Nasofaring Karangan Asli Ekspresi Protein p5 Mutan pada Karsinoma Nasofaring Delfitri Munir, Ramsi Lutan, Mangain Hasibuan, dan Fauziah Henny Departemen Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci