BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Teguh Irawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anteriorposterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Witte dan Neel, 1998). Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring (Dikutip dari: Mills SE, Histology for Pathology. Lippincolt William and Wilkins; 2007 (3) :439) Batas-Batas Nasofaring Dinding anterior dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm. Dinding superior dan posterior sedikit menonjol, dinding anterior dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding posterior dibentuk oleh fasia
2 6 faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Dinding inferior merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan isthmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel, 1989). Fossa russenmuller yang merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring, merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran karsinoma nasofaring ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial (Witte dan Neel, 1998).
3 7 Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu: 1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior 2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis 3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Witte dan Neel, 1998) Perdarahan dan Persarafan Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah. Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V) (Ackerman dan Del Regato, 1984).
4 Sistem Limfatik Nasofaring Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottril, 2003). 2.2 Histologi Nasofaring Ketika lahir, epitel nasofaring tersusun atas epitel kolumner pseudokompleks yang melapisi sebagian besar jalan nafas bagian atas. Seiring dengan bertambahnya usia, area epitel tersebut digantikan oleh epitel skuamous kompleks, sehingga sebelum mencapai umur 10 tahun seluruh mukosa nasofaring kecuali yang melapisi dasar adenoid, telah digantikkan oleh epitel skuamous kompleks. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa perubahan tersebut terjadi tidak di program secara genetik, namun perubahan tersebut merupakan gambaran dari reaksi metaplastik terhadap perubahan lingkungan. Sepanjang dinding nasofaring lateral, tersisa bercak-bercak kecil epitel kolumner pseudokompleks, saling bercampur dengan mukosa skuamous kompleks di regio nasofaring, dimana dua jenis epitel ini bertemu (Witte dan Neel, 1998). 2.3 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller)
5 9 dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989). 2.4 Prevalensi Karsinoma Nasofaring Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina. Di Indonesia, karsinoma nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring (Nasir, 2009). Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2/ penduduk dengan kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3/ penduduk (Adham et al, 2012). Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas (Munir, 2006). 2.5 Etiologi Karsinoma Nasofaring 1. Faktor Genetik Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik. Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502e (CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009). Pada keluarga dengan karsinoma nasofaring, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga karsinoma nasofaring. Penelitian di Medan didapati bahwa frekwensi alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma nasofaring adalah gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang
6 10 paling berpotensi menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007). 2. Infeksi Virus Epstein - Barr Salah satu penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr. Sebagian besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi VEB primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel masih belum jelas, replikasi VEB dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (lifelong) (Yenita, 2012). Selain itu, Virus Epstein-Barr (VEB) juga berperan dalam perkembangan karsinoma nasofaring. Reaktivasi VEB pada sel B sel bisa dipicu oleh produk seluler tumor sel. Sebaliknya, VEB mungkin bertindak sebagai umpan balik untuk promoter tumorgenesis. Reaktivasi VEB dikaitkan dengan peningkatan tingkat sitokin dan faktor pertumbuhan, yaitu, interleukin-6, interleukin-10, mengubah faktor pertumbuhan-β1, dan endotel vascular faktor pertumbuhan, yang dapat berkontribusi terhadap poliferasi sel, sistem gangguan kekebalan tubuh, dan angiogenesis (Guo et al, 2014). 3. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzoanthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).
7 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring Gambar 2.2 Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan (Dikutip dari: Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.)
8 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium karsinoma nasofaring. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun 2010 (American Cancer Society, 2013). Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010: Tumor Primer (T) Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai T0: Tidak terbukti adanya tumor primer Tis: Karsinoma in situ T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator. KGB Regional (N) NX: KGB regional tidak dapat dinilai N0: Tidak ada metastasis ke KGB regional N1: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
9 13 N2: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3: Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular: N3a: Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b: Meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M) M0: Tanpa metastasis jauh M1: Metastasis jauh Stadium: Stadium 0 Tis, n0, M0 Stadium I - T1, n0, M0 Stadium IIA - T2a, n0, M0 Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), (T2b, N0, M0) Stadium III - (T1, N2, M0), (T2a, N2, M0), (T2b, N2, M0), (T3, N0, M0), (T3, N1, M0), (T3, N2, M0) Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0) Stadium IVB - Setiap T, N3, M0 Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1 2.8 Gejala Klinis Karsinoma nasofaring tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga karsinoma nasofaring sering didiagnosis saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant, 2009). Penderita karsinoma nasofaring sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial dan pembesaran kelenjar limfa leher. Lebih dari 40% dari seluruh kasus karsinoma
10 14 nasofring, keluhan adanya tumor di leher ini yang pling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002) Gejala Dini Menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa: a. Gejala Telinga Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (Roezin dan Adham, 2007 dan National Cancer Institute, 2009). b. Gejala hidung Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin dan Adham, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
11 Gejala Lanjut a. Limfadenopati Servikal Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya. b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan hipersalivasi, parese saraf XI menyebabkan atrofi otot trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese
12 16 saraf XII menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII jarang terkena karena letaknya lebih tinggi. Karsinoma nasofaring juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan masseter. Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi penderita karsinoma nasofaring, biasanya merupakan stadium terminal dari karsinoma nasofaring. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya (Witte dan Neel, 1998; Ahmad, 2002) Gejala Metastasis Jauh Metastasis jauh dari karsinoma nasofaring dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa and De Paoli, 2001). 2.9 Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring 1. Jenis Kelamin Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dengan ratio perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1 (American Cancer Society, 2013). Di Sumatera Utara, Indonesia, di dapati bahwa pada Suku Batak jumlah pasien laki-laki dengan perempuan yang menderita karsinoma nasofaring memiliki perbandingan laki-laki 60% dan wanita 40%. Kecenderungan penderita karsinoma nasofaring laki-laki lebih banyak dari perempuan dimungkinkan akibat laki-laki lebih sering beraktifitas diluar rumah sehingga lebih banyak terpapar bahan karsinogen
13 17 (Munir D, 2006). Sedangkan menurut Nasution (2008), kasus karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan didapati penderita laki-laki sebanyak 74% dan perempuan sebanyak 26%. 2. Usia Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berusia diatas 20 tahun, dengan rentang usia terbanyak antara umur tahun. Di Sumatera Utara, didapati bahwa kelompok usia tahun. Umur penderita yang paling muda adalah 21 tahun sedangkan yang paling tua 77 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), berdasarkan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan, usia terbanyak adalah pada kelompok usia tahun sebanyak 28 (29.2%) penderita. 3. Faktor Pekerjaan Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Adanya asap jenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, seringnya kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, dan asap industri, merupakan hal-hal yang didugan berperan penting dalam terjadinya karsinoma nasofaring. (Soetjipto, 1989). Menurut penelitian Nasution (2008), pasien terbanyak di Sumatera Utara yang terkena karsinoma nasofaring yang berobat ke RSUP H Adam Malik medan dan RSUP Pringadi medan adalah petani dengan jumlah dengan jumlah 31 (32.3%) kasus, sedangkan guru memiliki jumlah paling sedikit dengan jumlah 1 (1%) kasus. Menurut Munir (2007), di Sumatera Utara, golongan pekerjaan penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah petani dengan 20 (36.3%) kasus, sedangkan yang paling sedikit adalah pegawai swasta dengan 11 (20%) kasus. 4. Riwayat Keluarga Riwayat keluarga terdahulu yang pernah terkena karsinoma nasofaring akan meningkatnya faktor risiko karsinoma nasofaring. Namun masih belum di ketahui
14 18 secara pasti apakah karena genetik, pola hidup yang serupa, maupun karena keduanya (American Cancer Society, 2013). Bila ditinjau secara genetika, kerabat pertama, kedua, dan ketiga pasien karsinoma nasofaring memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring. Orang yang memiliki keluarga tingat pertama karsinoma nasofaring memiliki resiko 4 hingga 10 kali terkena karsinoma nasofaring dibanding yang tidak (Guo X et al, 2009). Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati bahwa sebanyak 96.9% penderita karsinoma nasofaring memiliki keluarga yang pernah terdiagnosa kanker (Nasution, 2008). 5. Suku dan Bangsa Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi di daerah Asia (suku mongoloid) dibandingkan di daerah Eropa. Sebagai contoh penduduk asli Cina yang berdomisili di Cina Selatan memiliki faktor risiko yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring. Namun apabila mereka berpindah ke daerah dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang lebih rendah maka faktor risiko mereka akan turun, namun tetap lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal tersebut. Serta generasi selanjutnya yang di lahirkan mereka di tempat dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang rendah akan memiliki faktor risiko yang kecil untuk terkena karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2013). Menurut Lutan dan Zachreini dalam Munir D (2006), di RSUP H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita karsinoma nasofaring ditemukan pada lima kelompok suku, dimana suku yang terbanyak menderita karsinoma nasofaring ialah Suku Batak, yaitu 46.7% dari 30 kasus. Menurut Nasution (2008), suku batak menduduki urutan pertama dengan 56.3% dari kasus yang didapati di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pringadi Medan, sedangkan suku jawa merupakan suku kedua penderita karsinoma nasofaring dengan 29.2% kasus. 6. Konsumsi Ikan Asin Ikan asin diyakini sebagai salah satu sumber nitrosamin yang memicu terjadinya karsinoma nasofaring. Nitrosamin merupakan bahan kimia yang bersifat karsinogenik dan merupakan mediator yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr
15 19 sebagai salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan sinar matahari terjadi reaksi biokimia berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin (Munir D, 2006). Penduduk Asia, dan Afrika Utara, dimana merupakan daerah yang terdapat banyak kasus karsinoma nasofaring, rata-rata penduduknya mengkonsumsi makanan makanan ikan dan daging dengan kadar garam yang tinggi (ikan asin). Namun, di Cina angka kejadian karsinoma nasofaring sudah mulai menurun dengan mulai maraknya makanan khas barat disana (American Cancer Society, 2013). Mengkonsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 hingga 7,5 kali lebih tinggi untuk terkena penyakit ini dibanding dengan yang tidak mengkonsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengonsumsi makanan fermentasi yang di awetkan. Banyaknya konsumsi nitrosamin dan nitrit yang biasa di dapatkan dari konsumsi daging, ikan, dan sayuran yang di awetkan selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring (Yang X et al, 2005). Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 74.54% dari penderita memiliki kebiasaan memakan ikan asin hampir setiap hari sebelum umur 10 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), di Sumatera Utara didapati sebanyak 79.2 % penderita karsinoma nasofaring mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun. 7. Merokok Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehyde, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan karsinoma nasofaring secara biologi cukup dapat diterima (Nasution, 2008).
16 20 Merokok merupakan faktor untuk pertumbuhan tumor, bertindak sebagai mutagen dan merusak DNA yang mengawali timbulnya tumor pada sel epitel normal. Merokok dapat menyebabkan mutasi genetik, sehingga menyebabkan transformasi sel epitel di nasofaring, suatu area berhubungan dengan senyawa yang berpotensial karsinogen pada rokok yang secara langsung melalui inhalasi. Mutasi DNA dapat mempengaruhi resistensi terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi dapat meningkatkan metsstsasis jauh yang sering menyebabkan kematian. Merokok tembakau diketahui dapat menimbulkan efek imunosupresif pada jaringan lokal melalui induksi sitokin dan kemokin pro inflamasi dan penekanan terhadap antigen. Merokok mempengaruhi berbagai sistem kekebalan tubuh bawaan dan menyebabkan perubahan dalam produksi antibodi, khususnya dalam menanggapi antigen asing pada mukosa pernapasan. Selain itu, paparan berulang asap rokok atau nikotin menyebabkan sel T berespon, dan nikotin yang ditimbulkan oleh imunosupresi sebagai efek langsung terhadap limfosit (Guo et al, 2014). Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain lama merokok, dalamnya hisapan, usia mulai merokok, dan lain-lain. Berdasarkan lamanya merokok, merokok dapat dikelompokan sebagai berikut; merokok kurang 10 tahun, merokok selama tahun, dan merokok selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan klasifikasi jumlah rokok yang di konsumsi perhari dapat dikelompokan sebagai berikut; ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari), dan berat (diatas 20 batang perhari) (Solak et al, 2005). Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 69.8% penderita karsinoma nasofaring memiliki riwayat merokok, dan sebanyak 51% penderita memulai merokok di usia tahun (Nasution, 2008).
17 Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita karsinoma nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologis juga sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofaring (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002). a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002). b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005) Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru. 1. CT Scan Nasofaring, pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan. Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu
18 22 luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. 2. Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya. 3. Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham, 2005). b. Pemeriksaan serologi Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik IgG dan IgA penderita karsinoma nasofaring meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (IgA) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (Viral capsis antigen/vca) dan antigen awal (early antigen/ea) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedankan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk karsinoma nasofaring tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002). c. Biopsi Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidung disebut juga dengan blind biopsy karena dilakukan tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung, lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
19 23 Biopsi yang dilakukan melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalu hidung dan ujung dari kateter berada dalam mulut ditarik keluar lalu diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Setelah itu, dengan bantuan kaca laring kita lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca terserbut atau dengan bantuan nasofaringoskop yang dimasukan melalui hidung sehingga masa tumor dapat terlihat dengan jelas. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10% (Roezin dan Adham, 2007) Penatalaksanaan Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk yaitu: radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma nasofaring tidak dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis tengkorak). Karena itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan karsinoma nasofaring. Namun, didapati bahwa sebanyak 30% pasien mempunyai metastasis jauh setelah dilakukan radioterapi definitive primer (Huang et al, 2010). 1. Radioterapi Radioterapi sebagai terapi standar karsinoma nasofaring sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar % (Kentjono, 2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005). Penelitian di Cina melaporkan bahwa radioterapi kepala dan leher dapat menginduksi grave disease. Selain itu, disfungsi tiroid lainnya, termasuk
20 24 hipotiroidisme umumnya ditemukan setelah radioterapi kepala dan leher (Ma et al, 2013). 2. Kemoterapi Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi bersamaan radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma nasofaring lokoregional (Blanchard et al, 2015). Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan karsinoma nasofaring. Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai. Dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan (Wei dan Sham, 2005). 3. Pembedahan a. Diseksi leher radikal Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006). b. Nasofaringektomi Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakitpenyakit terlokalisir. Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumortumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama
21 25 tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006). 4. Obat-obatan Sitostatika Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne, Fluorouracyle, methotrexate, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat kombinasi dapat diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta sangat penting pada pengobatan karsinoma yang mengalami kekambuhan. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), BCMF (Bleomycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin) (Guigay J et al, 2006). 5. Obat Antivirus Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying tumor dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006) Komplikasi Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Nasir, 2009).
22 Pencegahan Salah satu pencegahan karsinoma nasofaring adalah dengan pemberian vaksinasi. Juga penerangan tentang kebiasaan hidup yang salah, megubah cara memasak dan pilihan makanan, dan menghindari berbagai faktor resiko yang ada. Bisa juga dilakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA (Roezin dan Adham, 2007) Prognosis Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun menurut AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7: Tabel 2.1 Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium Angka Harapan Hidup I 72% II 64% III 62% IV 38%
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health
Lebih terperinciKARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009
KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens
Lebih terperinciKARSINOMA NASOFARING
KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan terletak di
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas pallatum molle.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan
5 2.1 Anatomi Nasofaring BAB II KAJIAN PUSTAKA Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan
Lebih terperinciAnatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8
Anatomi dan fisiologi tenggorokan 2.3.1 Anatomi Tenggorokan 8 Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah
Lebih terperinciTUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF)
TUMOR NASOFARING TUMOR NASOFARING Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) - Limfoma non Hogdkin - Karsinoma kistik adenoid - Adenocarcinoma & tumor kel. ludah minor
Lebih terperinciKanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9
Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Karsinoma Nasofaring 2.1 Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang timbul dari sel epitel yang melindungi dan melintasi nasofaring. KNF pertama kali disebutkan oleh
Lebih terperinciLAMPIRAN. VEG F HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2. No MR Nama Sex Usia Suku Std PA. Adeno P 22. Jawa. Jawa. Adenoid P 70
Lampiran 1 Data Sampel Penelitian LAMPIRAN No MR Nama Sex Usia Suku Std PA VEG F 1 7.57.97 HY L 42 Melayu III NK SCC 2 2 7.72.01 SD Jawa Adeno P 22 IVb 8.4.47 SS Jawa Adenoid P 70 IVb cystic 4 8.46.18
Lebih terperinciLAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor
LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan
Lebih terperinciLaporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE
Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan
BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Lebih terperinciCA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL
CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,
Lebih terperinciProf.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)
TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor
Lebih terperinciBAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan
BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan seorang dokter gigi untuk mengenali anatomi normal rongga mulut, sehingga jika ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering kedelapan di seluruh dunia. Insiden penyakit ini memiliki variasi pada wilayah dan ras yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN
LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN NO NAMA MR UMUR SEX SUKU STADIUM PA (TIPE) EKSPRESI LMP1 1 IH 350582 43 LK BATAK IVC 3 0 2 K 405691 59 LK ACEH IVB 3 3 3 DP 351293 37 LK BATAK III 2 3 4 NS 352005 85 LK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui
Lebih terperinciANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL
Makalah ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL Oleh INDAH PRASETYA PUTRI 0808151325 Penguji Dr.Harianto,Sp.THT-KL KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN TELIGA HIDUNG TENGGOROKKAN KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciKanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kepala dan Leher Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, hipofaring, laring dan telinga. Yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,
Lebih terperinciPANDUAN PRAKTIK KLINIS
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR ISI Daftar isi... ii PANDUAN PRAKTIK KLINIS Disclaimer iii Klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berdasar Tingkat Pelayanan iv Pendahuluan... 1 Disetujui
Lebih terperinciKESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN Oleh Riska Adriana 131421100503 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar
Lebih terperinciKanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xerostomia Umumnya perhatian terhadap saliva sangat kurang. Perhatian terhadap saliva baru timbul apabila terjadinya pengurangan sekresi saliva yang akan menimbulkan gejala mulut
Lebih terperinciPENATALAKSANAAN RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING
PENATALAKSANAAN RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dantelinga Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor
Lebih terperinciPenyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15
Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat
Lebih terperinciKanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian
Lebih terperinciBAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.
BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi
Lebih terperinciAnatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
Lebih terperinci1. Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung 2. Mahasiswa Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung
HUBUNGAN FAKTOR USIA, JENIS KELAMIN DAN GEJALA KLINIS DENGAN KEJADIAN KARSINOMA NASOFARING DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2013 2014 Resti Arania 1, Sri Maria Puji L 1, Irne Jayanti
Lebih terperinciUpdate Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer
Makalah Lengkap Update Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer Rocky Plaza Hotel Padang 1 November 2014 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Lebih terperinciLimfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan
Lebih terperinciBAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat
BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Sendi ini dibentuk oleh kondilus mandibula
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
Lebih terperinciKanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Anatomi nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat
Lebih terperinciGambar. Klasifikasi ukuran tonsil
TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non
15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata
Lebih terperinciEKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING
1 EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri
78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker atau karsinoma merupakan istilah untuk pertumbuhan sel abnormal dengan kecepatan pertumbuhan melebihi normal dan tidak terkontrol. (World Health Organization,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,
Lebih terperinciEpistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini
Lebih terperinciBUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI
1 BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI Judul mata Kuliah : Neuropsikiatri Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi dasar : Menerapkan ilmu Kedokteran klinik pada sistem
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini berkembang semakin cepat. Di dunia ini, diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti
Lebih terperinciABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.
ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak
Lebih terperinciKANKER KEPALA LEHER TERINDUKSI RADIASI PASCA RADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING
KANKER KEPALA LEHER TERINDUKSI RADIASI PASCA RADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING REFERAT I Diajukan Oleh : SUWARDI NIM. 13/354136/PKU/13813 Pembimbing: dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KL Bagian Ilmu Kesehatan
Lebih terperinciABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016
ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 Prevalensi kanker kepala dan leher (KKL) di Indonesia cukup tinggi. Kanker kepala dan
Lebih terperinciBAB I TINJAUAN PUSTAKA
1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kanker Paru Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal,
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi 2.1.1. Anatomi Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disfungsi tuba auditiva akibat karsinoma nasofaring (KNF) dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disfungsi tuba auditiva akibat karsinoma nasofaring (KNF) dapat menyebabkan keluhan telinga terasa tersumbat. Keluhan tersebut merupakan hasil dari tekanan telinga tengah
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA PENELITIAN
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Foramen Mentale Foramen mentale adalah suatu saluran terbuka pada korpus mandibula. Melalui foramen mentale dapat keluar pembuluh darah dan saraf, yaitu arteri, vena
Lebih terperinciKanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko
Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KARSINOMA NASOFARING 2.1.1 Definisi Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.karsinoma nasofaring
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru adalah penyakit keganasan yang berasal dari sel epitel saluran napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari organ lain (tumor
Lebih terperinciTRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM
TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang diikuti dengan timbulnya gejala ataupun tidak. WHO-IARC menggolongkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang sering, insidennya masih belum diketahui dengan pasti. Massa pada leher dapat terjadi pada semua
Lebih terperinciBAB 2 DEFINISI GAG REFLEX. Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral
BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX 2.1 Definisi Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral radiography, gagging merupakan salah satu masalah terbanyak. Gagging yang juga sering disebut gag
Lebih terperinciLeukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium Patologi Anatomi FKUI melaporkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran kanker tidak terkontrol,
Lebih terperinciBAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri
BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran
Lebih terperinci