MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI"

Transkripsi

1 MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 SURAT PERNYATAAN DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Merupakan hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah disajikan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2012 Syarifah Sofiah Dwikorawati P

3 ABSTRACT SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI, Model of Competitive and Sustainable Tourism Development in Puncak Area of Bogor Regency. Under supervision of ARIS MUNANDAR, SURJONO HADI SUTJAHJO, dan SUAEDI. Puncak area has a multifunctional role as a conservation as well as tourism area. The role of conservation is needed since Puncak area is located on the upstream side which is dominated by the function of protection and has a primary function as a water conservation area. However, the condition of natural characteristic of Puncak is really potential and very attractive for the development of tourism, so that it could be one of the nine leading tourist area of West Java. The increasing number of tourists who visit Puncak area, the more housing built, the increasing of garbage stack, the pollution of environment, traffic jam, loss of aesthetic due to the slum area, and the high risk of landslide are the real condition recently occurred in Puncak tourism area. If this condition is left untreated, it would lead to the decreasing of image and competitiveness of Puncak as tourism area. The purpose of this research is to analyze competitiveness and sustainability of tourism in Puncak Area also to design the model system to give the policy intervention in tourism developing in Puncak Area, Bogor Regency. Competitiveness index analysis, sustainability analysis and the analysis of dynamical systems are being used to analyze the competitiveness and sustainability of tourism in Puncak Area. The index value of competitiveness of Puncak area is 0,482 or lower when compared to the index value of competitiveness of Lembang. The Regency of West Bandung shows index value of 0,492. Likewise, the sustainability status of Puncak area is 34,74, means the status of Puncak area for tourism development is unsustainable. Dynamic model offered 3 scenarios to manage tourism in Puncak area, theirs were: Without Intervention (TI), Government Planning (RP) and Alternative (Alt). The most effective scenario to manage tourism in Puncak area are Alt. Based on dynamic model system developed in this study, the performance of Puncak area for tourism development would be better if conducted by the policy intervention towards the controll of population,vehicles number, unlicensed buildings and the increase of region s economy and financing environment. Key words: tourism, index competitiveness, sustainable, dynamic model system

4 RINGKASAN SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI, Model Kebijakan Pengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR, SURJONO HADI SUTJAHJO, dan SUAEDI. Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta membuka lapangan kerja baru. Kepariwisataan Kabupaten Bogor yaitu Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak dalam perwilayahan pariwisata Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai wilayah yang termasuk dalam satu dari sembilan kawasan wisata unggulan Provinsi Jawa Barat. Pola pemanfaatan ruang untuk Kawasan Puncak, yaitu (a) didominasi fungsi lindung; (b) pengembangan prasarana wilayah khususnya jalan raya relatif dibatasi; (c) pola pengelolaan kawasan pariwisata harus menunjang fungsi utama Kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi air dan alam serta sosial budaya, adat istiadat dan karakteristik fungsi lingkungan setempat. Kawasan Puncak memiliki multifungsi sebagai area konservasi tetapi sekaligus sebagai kawasan pariwisata. Peningkatan jumlah wisatawan yang mengunjungi Puncak berakibat pada peningkatan jumlah pemukiman, berkurangnya tutupan lahan, peningkatan timbulan sampah, pencemaran lingkungan, kemacetan lalu lintas, pemukiman kumuh serta kejadian bencana alam longsor di Kawasan Puncak. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan, kelembagaan, daya saing, daya dukung dan keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak serta mendesain struktur model untuk memberikan arahan kebijakan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Metode analisisnya menggunakan metode pengukuran indeks daya saing dengan memperhitungkan 8 indikator, indeks keberlanjutan (MDS), daya dukung, TCM (Travel Cost Method), analisis kelembagaan dengan menggunakan ISM (Intrepetive Structural Modelling), FGD (focus group discussion) dan analisis sistem dinamik, untuk mendapatkan arahan kebijakan agar pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing dan berkelanjutan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan pencatatan langsung dilapangan, diskusi, wawancara dan pengisian kuesioner terhadap 168 responden. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari berbagai sumber, seperti hasil penelitian terdahulu, studi pustaka, serta laporan dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. Selain pengumpulan data, pada kegiatan ini dilakukan pula wawancara atau diskusi dengan pihak instansi mengenai permasalahan permasalahan di setiap bidang/aspek yang menjadi kewenangannya serta menyerap informasi mengenai kebijakankebijakan dan program yang sedang dan akan dilakukan. Jumlah wisatawan di Kawasan Puncak secara total terjadi peningkatan sebesar %, yaitu dari 1,102,680 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 1,335,443 pada tahun Kunjungan wisatawan terbanyak pada tahun 2009 adalah menuju lokasi Taman Safari Indonesia Indah, atau sekitar % dari jumlah total wisatawan yang menuju Kawasan Puncak. Sementara lokasi kunjungan wisatawan terbanyak kedua dan ketiga di kawasan Puncak pada tahun 2009 adalah menuju Gunung Mas (20.61 %) dan Curug Cilember (14.34%). Wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata Puncak sekitar 40% berasal dari Jakarta sedangkan pengunjung lain berasal dari Bogor (18%), Depok (17%), Bandung (14%), Jawa Tengah (6%), dan Sumatera (5%). Wisatawan lokal maupun nusantara pada umumnya merupakan repeater (kunjungan berulang-ulang) dengan rata-rata frekuensi kunjungan sebagian besar (81%) lebih dari 3 kali dan tidak menginap (20%). Penyebab keluhan para wisatawan tentang kawasan Puncak, yaitu : % responden menyatakan kemacetan di kawasan Puncak semakin parah sehingga mengurangi jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Puncak. Kemudian % responden menyatakan bahwa pertumbuhan PKL sangat mengganggu kenyamanan dan keindahan panorama kawasan Puncak serta menimbulkan kemacetan dalam menuju lokasi obyek wisata. Saran-saran yang diberikan oleh para wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata di Kawasan Puncak, yaitu : sebanyak 59 % dari responden menyarankan agar

5 Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dapat segera menangani kemacetan di Kawasan Puncak, kemudian sebanyak 23 % dari responden menyarankan agar pengusaha obyek wisata maupun pemerintah Kabupaten Bogor dapat meningkatkan, memperbaiki dan memelihara fasilitas yang berada di lokasi obyek wisata sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan berwisata. Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa waktu tempuh memiliki hubungan yang positif dengan frekuensi kunjungan, artinya walaupun waktu tempuh menuju objek wisata bertambah, hal ini tidak menurunkan frekuensi kunjungan ke objek wisata di Kawasan Puncak. Selain itu terdapat pengaruh yang signifikan antara kondisi objek wisata terhadap frekuensi kunjungan. Artinya semakin baik kondisi objek wisata di Kawasan Puncak, maka akan meningkatkan frekuensi kunjungan para wisatawan. Perhitungan daya saing secara kumulatif berdasarkan 8 indikator pembentuk daya saing, nilai indeks daya saing Kawasan Puncak Kabupaten Bogor yaitu lebih rendah dari daya saing Kawasan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu 0.492, Puncak, Hampir seluruh nilai pada indikator yang dihitung, Lembang memiliki nilai yang lebih tinggi dari Kawasan Puncak kecuali untuk indikator Price competitiveness (PC) dan Human Tourism (HT) Lembang memiliki nilai lebih rendah dari Kawasan Puncak. Kondisi daya dukung efektif (ECC) obyek tempat wisata di Kawasan Puncak setelah mempertimbangkan kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen, pada umumnya masih dapat menampung kunjungan wisata saat ini, kecuali di tempat obyek wisata agrowisata gunung mas dan Curug Cilember yang sedikit melampaui kapasitas daya dukung efektifnya. Namun jika pihak pengelola obyek wisata dapat melakukan perbaikan manajemen di masing-masing lokasinya maka kapasitas daya dukung sebenarnya (RCC) masih sangat memadai. Selanjutnya analisis multi dimensi terhadap status keberlanjutan Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekologi sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana prasarana sebesar 27,73 dengan status tidak berkelanjutan. Proses perancangan model, dilakukan dengan membagi sistem menjadi empat sub model, yaitu: Submodel Penduduk, Submodel Transportasi dan Akomodasi, Submodel Fisik Lingkungan dan Submodel Hukum dan Kelembagaan. Hasil uji validasi untuk penduduk menunjukkan tingkat ketepatan yang sangat tinggi (sangat tepat), berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME (Absolute Mean Error) menyimpang 2,5% dan AVE (Absolute Variation Error) 8,9% untuk penduduk simulasi dari data aktual. Berdasarkan hal tersebut bahwa model yang telah dibentuk telah mampu menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Model yang telah dibentuk dan sah setelah divalidasi, kemudian disimulasikan mulai tahun 2009 sampai tahun Selanjutnya untuk melihat perilaku model, dibuat beberapa skenario model, yaitu: (1) skenario Tanpa Intervensi (TI), yaitu jika pemerintah tidak melakukan apa-apa; (2) skenario RP (Rencana Pemerintah), yaitu kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah berupa; pengendalian penduduk, peningkatan ekonomi wilayah, membuka akses jalan baru serta pengendalian bangunan tidak berizin; serta (3) skenario Alt (Alternatif), yaitu skenario yang diusulkan berupa kebijakan pengendalian penduduk, pembatasan jumlah kendaraan, peningkatan perekonomian kawasan, pengendalian bangunan tidak berizin, serta pembiayaan lingkungan. Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah kendaraan. Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak pada tahun 2009 terdapat sebanyak setahun, dengan demikian walaupun telah dilakukan pengendalian jumlah penduduk melalui intervensi pada skenario RP dan Alt, namun jumlah kendaraan yang melintas ke Kawasan Puncak, terus mengalami peningkatan. Jumlah lalu lintas harian kendaraan di Kawasan Puncak berdasarkan data dari DLLAJ adalah kendaraan/hari dan pada hari minggu mencapai kendaraan. Jika tidak dilakukan intervensi apapun

6 (TI) untuk mengurangi jumlah kendaraan yang ada, maka pada tahun 2029 jumlah kendaraan yang akan melintasi atau memasuki Kawasan Puncak akan mencapai kendaraan per tahun. Setelah dilakukan intervensi dalam skenario RP, maka jumlah kendaraan berkurang menjadi kendaraan. Selanjutnya pada skenario Alt dibuat suatu kebijakan yang prinsipnya tidak terlalu mengurangi jumlah wisatawan sebagai sumber perekonomian daerah tetapi mengurangi atau membatasi kendaraan yang masuk/melintas ke jalur Puncak karena kondisi saat ini mengalami keterbatasan kapasitas jalan. Setelah intervensi program dalam skenario Alt, maka jumlah kendaraan pada tahun 2029 adalah kendaraan, atau lebih rendah dari skenario TI dan RP. Peningkatan wisatawan ke Kawasan Puncak akan mendorong para pengusaha untuk menambah pembangunan akomodasi baik berupa hotel, vila, resort maupun wisma. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, luas obyek wisata yang ada saat ini yaitu seluas m 2, setelah diakumulasikan dengan data luas tutupan jalan, akomodasi dan penduduk, maka total luas tutupan lahan pada tahun 2009 adalah m 2. Tanpa intervensi pembatasan wisatawan dan penduduk, pengaturan ruang dan perizinan maka jumlah tutupan lahan akan terus bertambah, sehingga pada tahun 2029 luas tutupan lahan yang diperlukan mencapai m 2 atau sekitar 7,4% dari luas Kawasan Puncak ( m 2 ). Jumlah tutupan lahan yang dibutuhkan akibat perkembangan akomodasi dan infrastruktur jalan pada skenario RP dan Alt lebih sedikit jika dibandingkan skenario TI, yaitu m 2 dan m 2. Selanjutnya penambahan jumlah wisatawan akan dibatasi oleh daya dukung lokasi obyek wisata. Pada tahun 2009, kondisi obyek wisata yang ada di Kawasan Puncak dapat menampung wisatawan. Seiring dengan pertambahan waktu, kemampuan daya dukung obyek wisata untuk menampung jumlah wisatawan akan semakin berkurang/menurun. Pada tahun 2029 jumlah wisatawan yang dapat ditampung berkurang menjadi wisatawan pada skenario TI dan wisatawan pada skenario RP serta wisatawan pada skenario Alt. Penurunan daya dukung objek tempat wisata dalam menampung kunjungan wisatawan dapat disebabkan oleh kondisi infrastruktur yang buruk, kondisi obyek wisata yang tidak terpelihara serta kapasitas manajemen atau pelayanan yang menurun. Kesimpulan Model pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak melalui skenario Alternatif tepat digunakan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak mengingat telah mempertimbangkan beberapa aspek dan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Keterbatasan infrastruktur diatasi dengan pembatasan jumlah kendaraan, sehingga dapat mengurangi pencemaran udara, kebutuhan jalan, dan tutupan lahan. Peningkatan PAD masih dapat tetap dilakukan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan pengendalian pembangunan serta tersedianya alokasi dana untuk memperbaiki kualitas lingkungan di Kawasan Puncak.

7 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Judul Disertasi : MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Nama Mahasiswa : SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI Nomor Pokok : P Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3) Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Aris Munandar,MS Ketua Prof. Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS Anggota Dr. Suaedi, S.Pd, Msi Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS Dr. Ir. Dahrul Syah,Msc.Agr Tanggal Ujian : 11 Januari 2012 Tanggal Lulus:...

10 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT, berkat rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada.: 1. Dr. Ir. Aris Munandar,MS sebagai ketua komisi pembimbing, Prof.Dr.Ir Surjono Hadi Sutjahjo,MS dan. Dr.Suaedi S.Pd.,MSi, sebagai anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu dan kesabaran serta keikhlasannya dalam memberikan arahan dan petunjuk serta motivasi sejak penyusunan proposal, pengambilan data, pengolahan hingga penyusunan disertasi ini. 2. Prof.Dr. Ir.Cecep Kusmana,MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), sekretaris Program beserta staf yang senantiasa memberikan informasi dan layanan administrasi yang baik. 3. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah mendukung dan memberikan curahan waktu serta saran terutama pada saat menjadi penguji pada ujian tertutup. 4. Prof.Dr.Ir.Bambang Pramudya,M.Eng dan Dr.Ir.Setia Hadi,MS sebagai penguji luar pada saat ujian tertutup dan Dr.Ir.Ruchyat Deni Djakapermana,M.Eng dan Dr.Ir.Ernan Rustiadi sebagai penguji luar pada saat ujian terbuka. 5. Bupati Bogor, Pemerintah Kabupaten Bogor yang telah memberi kesempatan studi program S3 SPs IPB. 6. Sekretaris Daerah, para kepala dinas, serta LSM dan stakeholder pemerhati lingkungan yang berpartisipasi selama proses penelitian ini. 7. Selanjutnya, ucapan terima kasih ditujukan kepada keluarga penulis sendiri atas motivasi dukungan, doa, dan sarannya selama proses penulisan. 8. Semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung baik moril maupun materiil sampai selesainya penyusunan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, untuk itu kritik dan saran, penulis harapkan dari semua pihak guna penyempurnaan disertasi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermafaat bagi kita semua. Bogor, Januari 2012 Syarifah Sofiah Dwikorawati

11 Riwayat Hidup Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 10 Nopember 1964, sebagai anak keenam dari pasangan H.Ayip Rughby (alm) dan H.T. Sultinah (alm). Penulis menikah dengan Ir.H.Muhammad Zaini Hanafi, MM yang bekerja pada Departemen Kelautan dan Perikanan serta memiliki putra Irsyadul Ibad. Penulis menyelesaikan pendidikan pada jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan studi program S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1990 dan pertama kali bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai kepala Badan Perizinan Terpadu Pemerintah Kabupaten Bogor. Karya ilmiah berjudul Model Kebijakan Pengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor, akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB untuk penerbitan volume 35 no 1, Januari Artikel dengan judul Sistem Dinamik Kebijakan Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor akan diterbitkan oleh redaksi Majalah Ilmiah Panorama Nusantara pada edisi Januari-Juni Artikel lain berjudul Kajian Biaya Perjalanan dan Daya Dukung Pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor akan diterbitkan pada Bulan Desember 2011, pada Majalah Ilmiah Widya yang diterbitkan Kopertis Wilayah III. Publikasi ilmiah ini merupakan bagian dari penelitian disertasi.

12 Judul Disertasi : MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR Nama Mahasiswa : SYARIFAH SOFIAH DWIKORAWATI Nomor Pokok : P Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program : Doktor (S3) Penguji luar komisi ujian tertutup : 1. Prof.Dr.Ir.Bambang Pramudya, M.Eng 2. Dr.Ir.Setia Hadi, MS Penguji luar komisi ujian terbuka : 1. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng 2. Dr.Ir.Ernan Rustiadi

13 DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... i v viii xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian (Novelty)... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pariwisata Sistem Kepariwisataan Pengelolaan Pariwisata Tata Ruang Pariwisata Daya Saing Pariwisata Daya Dukung Pariwisata Dampak Kegiatan Pariwisata Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Kebijakan Pariwisata III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Data Sumber dan Jenis Data Metode Pengambilan Sampel Metode Analisis Metode Biaya Perjalanan/TCM Analisis Daya Saing Kawasan Pariwisata Analisis Daya Dukung Kawasan Wisata Analisis Multy Dimensional Scaling (MDS) Analisis Kelembagaan dengan Interpretive Structural Modelling (ISM) Analisis Isi (Content Analysis) Analisis Sistem Dinamik Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Perangkat Lunak Simulasi Simulasi Model Validasi Model Tahapan Penelitian... 69

14 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bogor Aspek Geografis dan Administratif Aspek Geomorfologis Aspek Klimatologi Aspek Demografi dan Sosial Budaya Aspek Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi Aspek Pelayanan Umum Pendidikan Kesehatan Sarana dan Prasarana Umum Kebijakan Penataan Ruang Lingkungan Hidup Gambaran Umum Kawasan Puncak Aspek Geografis dan Administrasi Aspek Klimatologi Aspek Geomorfologi Aspek Geologis Aspek Tanah Aspek Hidrologi Aspek Tutupan Lahan Kondisi Sarana Prasarana Sarana Pendidikan Sarana Kesehatan Kondisi Sosial Kependudukan Kondisi Aksesibiltas dan Transportasi Aksesibilitas Transportasi Kondisi Obyek Wisata V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK Analisis Situasi Wisatawan dan Obyek Tujuan Wisata (OTW) Analisis Kunjungan Wisatawan Analisis Karakteristik Wisatawan Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Method / TCM) Analisis Daya Saing Price Competitiveness Indicator (PCI) Human Tourism Indicator (HTI) Infrastructure Development Indicator (IDI) Environment Indicator (EI) Technology Advancement Indicator (TAI) Human Resources Indicator (HRI) Social Development Indicator (SDI) Openess Indicator (OI) Analisis Daya Dukung Kawasan (DDK) Analisis Daya Dukung Fisik (PCC) Analisis Daya Dukung Sebenarnya (RCC) Analisis Daya Dukung yang Diperbolehkan/Efektif (ECC) ii

15 VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN PARIWISATA KAWASAN PUNCAK Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Status Keberlanjutan Dimensi Sarana Prasarana Analisis Multi Dimensi Satus Keberlanjutan VII. ANALISIS STRUKTURISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK Metode Analisis Strukturisasi Kelembagaan, Permasalahan, Tujuan dan Aktivitas/Program yang diperlukan di Kawasan Puncak Elemen Lembaga yang Terkait dalam Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Elemen Kendala Kelembagaan yang dihadapi dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Elemen Tujuan yang diinginkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Elemen Aktivitas/Program yang diharapkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Pembahasan VIII. ANALISIS KEBIJAKAN DI KAWASAN PUNCAK Peraturan Perundang-Undangan Penataan Ruang dan Pariwisata Analisis Isi Kebijakan Pengaturan Ruang Pengembangan Pariwisata Pengaturan Lingkungan Kelembagaan Peran Serta Masyarakat dan Kerjasama antar Daerah Pengendalian Pembangunan IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak Penyusunan Black Box (Kotak Gelap) Model Dinamik Pengelolaan Pariwisata Submodel Penduduk Submodel Transportasi dan Akomodasi Submodel Fisik Lingkungan Submodel Hukum dan Kelembagaan Validasi Model Uji Validasi Struktur dan kinerja Simulasi Skenario Model Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Skenario Tanpa Intervensi (TI) iii

16 9.5.2 Skenario Rencana Pemerintah (RP) : Kebijakan Pengendalian penduduk, Meningkatkan perekonomian wilayah, pembangunan jalan alternatif serta meningkatkan frekuensi penertiban bangunan liar Skenario Alternatif (Alt) :Kebijakan Pengendalian penduduk, Membatasi jumlah kendaraan, Meningkatkan perekonomian wilayah, meningkatkan frekuensi penertiban bangunan tidak berizin, serta internalisasi biaya lingkungan Perbandingan antara Ketiga Skenario Kebijakan dan Pendekatan Program Kebijakan Pengendalian Penduduk Program KB dan Operasi Yustisi Program Pembatasan Kawasan Permukiman Kebijakan Peningkatan Perekonomian Kawasan Peningkatan Kualitas SDM Tenaga Kerja yang Siap Pakai Peningkatan UKM di Bidang Pertanian dan Industri Rumah tangga (Home Industry) Peningkatan Penerimaan Pajak dan Retribusi Kebijakan Pengendalian Bangunan Tidak Berizin Kebijakan Pembatasan Jumlah Kendaraan Pembiayaan Lingkungan Kawasan Puncak Simulasi Peningkatan Nilai Keberlanjutan Multi Dimensi Kawasan Puncak X. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran Daftar Pustaka Lampiran iv

17 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah bangunan ber-imb dan tidak ber-imb... 4 Tabel 2. Dampak positif dan negatif pariwisata Tabel 3. Resiko akibat kegiatan kepariwisataan Tabel 4. Prinsip-prinsip panduan kepariwisataan dalam agenda Tabel 5. Dimensi dalam pariwisata Tabel 6. Jumlah pengunjung di DTW Kawasan Puncak Tahun Tabel 7. Tujuan, jenis data, sumber, metode analisis dan output Tabel 8. Parameter, sumber data dan kegunaan Tabel 9. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen Tabel 10. Hasil reachability matrix (RM) final elemen Tabel 11. Elemen dan sub elemen dalam kajian pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak Tabel 12. Analisis kebutuhan stakeholder Tabel 13. Uraian komponen sistem kotak gelap (black box) Tabel 14. Simbol-simbol diagram alir (Muhammadi et al. 2001) Tabel 15. Banyaknya desa menurut desa perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Bogor Tahun Tabel 16. Pembagian wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan ketinggian tempat Tabel 17. Kemiringan lahan di Kabupaten Bogor Tabel 18. Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun Tabel 19. Banyaknya sekolah di Kabupaten Bogor Tahun Tabel 20. Luas wilayah di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Tabel 21. Luas DAS yang terdapat di Kawasan Puncak Tabel 22. Persentase tutupan lahan Tahun 1992, 1995, 2000 dan Tabel 23. Jumlah fasilitas pendidikan di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung Tabel 24. Jumlah fasilitas kesehatan di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung Tabel 25. Panjang jalan di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Tabel 26. Trayek, jurusan, jarak tempuh, jumlah maksimal kendaraan dan warna kendaraan angkutan umum yang melintasi Kawasan Puncak Tabel 27. Tipologi jenis dan atraksi wisata Kawasan Puncak Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Taman Safari Indonesia Tahun Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Telaga Warna Tahun Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Agro Gunung Mas Tahun v

18 Tabel 31. Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara ke Objek Wisata Curug Cilember Tahun Tabel 32. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Taman Melrimba Tahun Tabel 33. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Curug Panjang Tahun Tabel 34. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Taman Wisata Matahari tahun Tabel 35. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Taman Wisata Riung Gunung tahun Tabel 36. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Curug Cisuren tahun Tabel 37. Jumlah kunjungan wisatawan ke berbagai objek tujuan wisata dari tahun 2004 sampai dengan Tabel 38. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor (BPTi) Tabel 39. Hasil uji parsial (Uji t) frekuensi kunjungan Tabel 40. Hasil Pengujian Serentak (Uji-F) pada Frekuensi Kunjungan Tabel 41. Hasil pengujian statistik deskriptif Tabel 42. Hasil uji multikolinearitas Tabel 43. Keputusan uji autokorelasi Tabel 44. Hasil uji autokorelasi (n=168, k=5, α=0.05) Tabel 45. Hasil uji heteroskedastisitas Tabel 46. Perbandingan daya saing antara Kawasan Pariwisata Puncak dan Lembang Tabel 47. Daya dukung fisik (PCC) untuk kendaraan dan wisatawan berdasarkan lokasi objek tujuan wisata di Kawasan Puncak Tabel 48. Curah hujan dan Hari hujan di Kawasan Puncak Tabel 49. Tabel 50. Tabel 51. Tabel 52. Tabel 53. Tabel 54. Tabel 55. Tabel 56. Faktor koreksi curah hujan di lokasi objek wisata tahun Kondisi PCC dan RCC pada setiap lokasi objek tempat wisata Kondisi PCC, RCC, ECC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi objek tempat wisata Luas dan presentase Lahan Kritis di Kecamatan Ciawi,Cisarua dan Megamendung Bencana Longsor di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Luas Kerentanan Tanah di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Rasio KUKM berdasarkan data KUKM (Koperasi, UMKM dan IKM) dan jumlah penduduk Rumah tangga pelanggan dan pemakaian air minum dari PDAM di lokasi penelitian dari tahun 2005 s.d vi

19 Tabel 57. Jumlah rumah tangga pelanggan air minum tahun Tabel 58. Timbulan sampah berdasarkan pengolahan sampah Tabel 59. Jumlah Fasilitas Peribadatan Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung Tahun Tabel 60. Nilai indeks keberlanjutan kawasan puncak Kabupaten Bogor tahun Tabel 61. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Tourism Kawasan Puncak Tabel 62. Hasil Analisis RAP-TOURISM untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) Tabel 63. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan Kawasan Puncak Tabel 64. Matriks jawaban pakar untuk elemen lembaga yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 65. Reachability matriks elemen lembaga yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 66. Matriks jawaban pakar untuk elemen kendala yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 67. Matriks Reachability elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak Tabel 68. Elemen Tujuan yang diinginkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Tabel 69. Matriks jawaban pakar untuk elemen tujuan yang diinginkan yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 70. Matriks reachability elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak Tabel 71. Elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak Tabel 72. Matriks Jawaban Pakar untuk Elemen Aktivitas/Program yang Diharapkan yang Terkait dengan Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 73. Matriks reachability elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak TabeI 74. Identifikasi hierarki dan klasifikasi subelemen pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Tabel 75. Peraturan berkaitan dengan penataan Kawasan Puncak Tabel 76. Peraturan Perundang-undangan berdasarkan tujuan dan pokok-pokok yang diatur Tabel 77. Aspek kunci pada berbagai peraturan perundangundangan Tabel 78. Aspek kunci kelembagaan dan koodinasi pada peraturan perundang-undangan Tabel 79. Perbandingan Pengendalian dan Pemberian Perizinan di Kawasan Puncak berdasarkan UU 26/2007 dan Perpres 54/ Tabel 80. Keterkaitan tujuan, alat analisis dan hasil analisis dengan rumusan black box Tabel 81. Simulasi sub model penduduk Tabel 82. Simulasi sub model transportasi dan akomodasi Tabel 83. Simulasi sub model fisik lingkungan vii

20 Tabel 84. Simulasi sub model hukum dan kelembagaan Tabel 85. Data Validasi Model Berdasarkan Perkembangan Jumlah Penduduk Tabel 86. Data validasi model berdasarkan perubahan jumlah kendaraan Tabel 87. Hubungan antara Output dalam Black Box dan Pemilihan Skenario Tabel 88. Perbandingan berdasarkan skenario TI, RP dan Alt pada tahun 2009 dan Tabel 89. Rekomendasi kebijakan dan program pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak viii

21 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka pemikiran pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor... 5 Gambar 2. Perumusan masalah penelitian... 7 Gambar 3. Model komponen fungsional kunci yang membentuk dinamika dan sistem hubungan kepariwisataan Gambar 4. Indeks daya saing pariwisata (Gooroochurn dan Sugiyarto 2004) Gambar 5 Peta wilayah penelitian Gambar 6. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengembangan kawasan pariwisata dalam skala ordinasi Gambar 7. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor Gambar 9. Tahapan analisis sistem (Eriyatno 1999) Gambar 10. Tahapan penelitian dan metode analisis Gambar 11. Gateway (pintu masuk) ke Kawasan Puncak Gambar 12. Prosentase wisatawan berdasarkan daerah asal Gambar 13. Prosentase alasan wisatawan mengunjungi objek tujuan wisata di Kawasan Puncak Gambar 14. Prosentase keluhan wisatawan di Kawasan Puncak Gambar 15. Prosentase saran wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata Kawasan Puncak Gambar 16. Prosentase usulan penanganan kemacetan lalu lintas di Kawasan Puncak Gambar 17. Prosentase biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata puncak Bogor Gambar 18 Perbandingan biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor Gambar 19. Grafik uji normalitas untuk model frekuensi kunjungan Gambar 20. Bagan keputusan uji autokorelasi Gambar 21. Kondisi perbandingan antara, RCC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi objek tempat wisata Gambar 22. Kondisi perbandingan antara, ECC dan kunjungan Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan Puncak Kabupaten Bogor Atribut pengungkit dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan Puncak Kabupaten Bogor Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kawasan Puncak Kabupaten Bogor Atribut pengungkit dimensi ekologi di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan Puncak Kabupaten Bogor Atribut pengungkit dimensi ekonomi di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya kawasan Puncak Kabupaten Bogor ix

22 Gambar 30. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Gambar 31. Indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Gambar 32 Atribut pengungkit dimensi sarana prasarana pariwisata di kawasan Puncak Kabupaten Bogor Gambar 33. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan kawasan Puncak Gambar 34. Matriks driver power-dependent elemen lembaga pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 35. Strukturisasi lembaga pengelola pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 36. Matriks driver power-dependent elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 37. Strukturisasi kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 38. Matriks driver power-dependent elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 39. Strukturisasi tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 40. Matriks driver power-dependent elemen aktivitas/ program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 41. Strukturisasi aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 42. Hubungan Hierarkhi Rencana Tata Ruang Gambar 43. Diagram input-output (black box) pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 44. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Gambar 45. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model penduduk Gambar 46. Struktur Model Dinamik sub model penduduk Gambar 47. Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode Gambar 48. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model transportasi dan akomodasi Gambar 49. Struktur model dinamik sub model transportasi dan akomodasi Gambar 50. Grafik hasil simulasi jumlah kendaraan dan luas akomodasi periode Gambar 51. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model fisik lingkungan Gambar 52. Struktur Model Dinamik sub model fisik dan lingkungan Gambar 53. Grafik hasil simulasi jumlah wisatawan, dan jumlah sampah periode Gambar 54. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model hukum dan kelembagaan x

23 Gambar 55 Struktur model dinamik sub model hukum dan kelembagaan Gambar 56. Grafik hasil simulasi bangunan tidak berijin periode Gambar 57. Model pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 58. Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi Gambar 59. Grafik perbandingan jumlah kendaraan aktual dan jumlah kendaraan hasil simulasi Gambar 60. Ruas Jalan alternatif wisata di Kawasan Puncak Gambar 61. Perbandingan hasil simulasi pada ketiga skenario untuk Jml Penduduk, Jml wisatawan, Jml kendaraan, Kapasitas ECC, Biaya Lingkungan, Luas Akomodasi, Luas Tutupan Lahan, dan jml sampah Gambar 62. Titik Rawan Macet di Wilayah Puncak Gambar 63. Sketsa konsep pengaturan jalur angkutan wisata Gambar 64. Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil Simulasi Gambar 65. Analisis Monte Carlo Dimensi Hukum Kelembagaan Hasil Simulasi Gambar 66. Dimensi Ekologi Hasil Simulasi Gambar 67. Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi Hasil Simulasi Gambar 68. Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi Gambar 69. Analisis Monte Carlo Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi Gambar 70. Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi Gambar 71. Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi Gambar 71. Diagram Layang-Layang Hasil Simulasi xi

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. GLOSSARY Lampiran 2. Jenis dan Sumber Data Lampiran 3. Hotel/Vila/Wisma di Kawasan Puncak Lampiran 4 Nama Obyek Wisata di Kabupaten Bogor Lampiran 5 Data kunjungan wisatawan ke Hotel Bintang dan Melati Lampiran 6 Seni Tradisional di Kabupaten Bogor Lampiran 7. Rekapitulasi Sumber Data Daya Dukung OTW Lampiran 8. Rekapitulasi sumber data Daya Dukung OTW Lampiran 9 Hasil Pengolahan Analisis Regresi Lampiran 10. Data Pajak dan Retribusi dari Sektor Pariwisata Lampiran 11. Hasil Pengolahan Data Faktor yang Berpengaruh pada Kunjungan Wisatawan Lampiran 12. Hasil Pengolahan Data Analisis Daya Saing Kawasan Puncak Lampiran 13. Hasil Pengolahan Ranking Daya Saing Kawasan Puncak Lampiran 14. Hasil Pengolahan Ranking Daya Saing Lembang Lampiran 15. Kuesioner MDS Lampiran 16. Kuesioner ISM Lampiran 17. AVE dan AME sub model penduduk dan kendaraan Lampiran 18. Asumsi yang digunakan dalam membuat model Lampiran 19. Equation Sistim Dinamis xii

25 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal tersebut mengakibatkan daerah berlombalomba untuk memperkenalkan potensi pariwisata yang dimilikinya, sehingga dapat menarik kunjungan wisata (turis), baik lokal maupun mancanegara. Berkembangnya sektor ini akan membawa dampak yang cukup besar pada industri-industri yang terkait seperti hotel, rumah makan, biro travel dan Usaha Kecil Menengah (UKM) di daerah-daerah kunjungan pariwisata. Dampak positif yang ditimbulkan pariwisata terhadap perekonomian bukan hanya dari pengeluaran/konsumsi wisatawan mancanegara, tetapi juga berasal dari pengeluaran wisatawan nusantara dan pengeluaran wisatawan outbound (wisatawan Indonesia keluar negeri). Investasi yang dilakukan industri pariwisata seperti hotel dan restoran serta pengeluaran pemerintah pusat dan daerah di sektor pariwisata turut memberi dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Pertumbuhan sektor pariwisata juga mendorong laju pertumbuhan sektor-sektor lain termasuk pertanian, perdagangan dan jasa. Dampak pariwisata terhadap ekonomi dapat berupa pembentukan output nasional, Produk Domestik Bruto (PDB), pembayaran upah/gaji, penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja. Kepariwisataan Kabupaten Bogor dalam perwilayahan pariwisata Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai wilayah yang termasuk dalam satu dari sembilan kawasan wisata unggulan Provinsi Jawa Barat, yaitu kawasan wisata alam pegunungan puncak (Disbudpar 2008). Pola pemanfaatan ruang untuk Kawasan Puncak, ditentukan struktur pengembangannya yaitu: (a) Kawasan Puncak didominasi fungsi lindung; (b) Pengembangan prasarana wilayah khususnya jalan raya, relatif terbatas dengan maksud tidak merangsang perkembangan budidaya yang ada; (c) Pola pengelolaan kawasan pariwisata, pengaturan alokasi kawasan wisata harus menunjang fungsi utama Kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi air dan alam serta sosial budaya, adat istiadat dan karakteristik fungsi lingkungan setempat; (d) Bangunan yang diperkenankan di kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata hanya bangunan yang berfungsi

26 2 penunjang kawasan tersebut dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum 5% (Disparsenibud 2003). Persoalan lingkungan utama dalam pengembangan pariwisata Puncak adalah telah terjadinya degradasi DAS Ciliwung Hulu yang diperlihatkan dengan penambahan lahan kritis (Sabar 2004) dan peningkatan erosi serta run off (Qodariah et al. 2004, Sawiyo 2005). Hal ini disebabkan antara lain karena peningkatan luas tutupan lahan oleh bangunan. Sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000) atau meningkat sebesar 4,53%. Selanjutnya setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relatif lebih cepat selama kurun waktu 6 tahun ( ) dimana tutupan lahan meningkat sebesar 12% (Dewi 2010). Perubahan tutupan lahan tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh daya tarik kawasan sebagai daerah pariwisata. Kontribusi sektor pariwisata terhadap APBD Kabupaten Bogor, berupa pajak dan retribusi menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Nilai pajak dan retribusi yang disumbangkan dari sektor pariwisata meningkat menjadi Rp pada tahun 2009, dari Rp pada tahun Dampak aktivitas pariwisata yang nampak terlihat jelas adalah terjadinya kemacetan lalu lintas terutama pada saat-saat akhir minggu atau hari libur. Berdasarkan survey data primer (traffic counting/tc) yang dilakukan oleh DLLAJ pada tahun 2001, volume lalu lintas di jalan raya Puncak rata-rata adalah kendaraan per hari atau sekitar kendaraan per jam. Pada tahun 2009 dilakukan kembali survey data primer di pos pengamatan Ciawi dengan hasil rata-rata jumlah kendaraan yang melintas adalah sebanyak kendaraan per hari atau kendaraan per jam. Sebagian besar kendaraan adalah kendaraan ringan (kendaraan penumpang pribadi dan angkutan kota), rata-rata setiap harinya kendaraan per hari atau 897 kendaraan per jam, sedangkan bus atau truk jumlahnya kendaraan per hari atau 87 kendaraan per jam. Akibat kondisi kemacetan lalu lintas tersebut, 46,67% wisatawan menyatakan tidak menyukai kemacetan dan kondisi ini dapat menurunkan minat wisatawan untuk mengunjungi Kawasan Puncak (Disparsenibud 2003). Peran multifungsi Kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi dan pariwisata memerlukan suatu penanganan yang terpadu dan komprehensif antar berbagai sektor, lembaga dan kewenangan untuk bersama-sama merumuskan

27 3 dan mengelola Kawasan Puncak dengan baik. Pengelolaan lingkungan tersebut meliputi penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan dan pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (UU No. 32 Tahun 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian diarahkan pada topik Model Kebijakan Pengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor, melalui penelitian ini diharapkan pariwisata di Kawasan Puncak dapat berkembang dengan baik, memiliki daya saing dan berkelanjutan sebagai output dari penanganan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan unsur-unsur ekonomi, ekologi, sosial budaya, sarana prasarana, kelembagaan dan hukum. 1.2 Kerangka Pemikiran Pembangunan pariwisata di Kawasan Puncak tidak terlepas dari permintaan, sediaan dan batasan. Prospek permintaan pasar wisata di Kawasan Puncak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Puncak pada tahun 2004 adalah sebanyak orang, meningkat menjadi orang pada tahun 2009 (Disbudpar 2009). Penambahan wisatawan dan aktivitas wisata memiliki konsekuensi terhadap penambahan dan pengembangan objek/sarana/prasarana dan atraksi wisata. Selain itu diperlukan pula ketersediaan dan kesiapan pelayanan transportasi bagi wisatawan maupun non wisatawan pengguna akses transportasi tersebut. Pengembangan Kawasan Puncak selain akibat aktivitas wisata juga dipengaruhi oleh pertumbuhan kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung, sehingga mempercepat pertumbuhan daerah-daerah di Kawasan Puncak menjadi bersifat kota (Kabupaten Bogor 2003). Kawasan Puncak berdasarkan hidrologis/tata air berada pada hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, seluruh aliran sungai akan mengalir ke arah Utara dan bermuara pada Sungai Ciliwung melewati ke arah Teluk Jakarta, dengan demikian kawasan Puncak mempunyai fungsi eksternal untuk menjaga tata air Kota Jakarta sebagai wilayah hilirnya. Selain itu berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Barat yang telah didasari dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 tahun 2006, kawasan wisata alam pegunungan Puncak yang mencakup areal wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, ditetapkan sebagai Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat.

28 4 Walaupun pengembangan struktur tata ruang untuk Kawasan Puncak sudah dibatasi secara maksimal, namun masih banyaknya bangunan-bangunan fisik yang baru, baik berizin maupun tidak berizin. Sampai dengan tahun 2006 jumlah bangunan yang memiliki IMB dan tidak ber-imb di Kawasan Puncak (Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung) dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Jumlah bangunan ber-imb dan tidak ber-imb Uraian Jumlah Bangunan Ber-IMB Tidak ber-imb Villa : 1. Kecamatan Ciawi Kecamatan Megamendung Kecamatan Cisarua Rumah Tinggal PKL sepanjang Ciawi s/d batas Cianjur Jumlah Sumber : Dinas Cipta Karya, Berdasarkan jumlah bangunan tersebut, banyak bangunan yang berdiri di atas tanah negara dan tanah perkebunan serta eks perkebunan sulit untuk dikendalikan. Selain itu banyak bangunan yang melebihi ketentuan teknis tutupan bangunan, melanggar garis sempadan atau bangunan yang berubah fungsi dari rumah tinggal menjadi villa, wisma dan hotel. Permasalahan lain adalah bermunculannya PKL di sepanjang jalan Ciawi sampai dengan Cisarua. Permasalahan munculnya bangunan-bangunan tidak berizin tersebut sebagai akibat kurang intensifnya pengendalian dan pengawasan pembangunan fisik di kawasan puncak dalam kaitannya dengan fungsi Kawasan Puncak sebagai kawasan lindung (Kabupaten Bogor 2008). Peningkatan jumlah kunjungan wisata ke kawasan pariwisata Puncak, pertambahan jumlah bangunan, berkurangnya tutupan lahan, peningkatan timbulan sampah, pencemaran lingkungan, kemacetan lalu lintas, berkurangnya estetika karena lingkungan kumuh, peningkatan resiko kejadian longsor merupakan beberapa kondisi yang terjadi di kawasan pariwisata Puncak. Jika kondisi ini tidak ditangani, maka diduga akan mengakibatkan penurunan citra dan daya saing kawasan puncak sebagai kawasan pariwisata andalan. Ciri kawasan wisata akan hilang sebagai akibat adanya pengaruh urbanisasi dari

29 5 daerah-daerah disekitarnya seperti Kota Bogor, Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Kerangka pikir penelitian ini disajikan pada gambar 1. Pariwisata di Kawasan Puncak Permintaan Sediaan dan Batasan Prospek Permintaan Pasar Wisata Pergerakan Wisatawan Kebutuhan Pelayanan Transportasi Pengaruh Pertumbuhan Kota Besar (Jakarta, Bogor, Ba ndung) Pengembangan Objek, Sarana/Prasar ana dan Atraksi Wisata Prospek Permintaan Pasar Wisata Pergerakan Non Wisatawan Konflik Penggunaan Lahan Pertumbuhan dan Perkembangan bersifat Kota Peran dalam Konstelasi Willayah Kawasan Strategis Nasional (Konservasi air dan Tanah) Kawasan Andalan (Agribisnis, Pariwi sata) Kawasan Khusus Kab. Bogor (Pariwisata, Pertanian) Fungsi Ekologi Pengatur Tata Air Penyedia Air Tanah & Permukaan Keanekaraga man Hayati Penyedia Plasma Nutfah Jasa Lingkungan Keindahan Alam Degradasi Lahan Kapasitas Daya Dukung Kapasitas Sosial, Budaya Ekonomi Masyarakat Lokal Pertumbuhan Sektor Informal Menurunkan Citra dan Daya Saing Pariwisata Pengelolaan Pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. 1.3 Perumusan Masalah Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsipprinsipnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi. Berdasarkan hal tersebut maka kondisi Kawasan Puncak perlu ditinjau dari sisi lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, infrastruktur, tata ruang, hukum dan kelembagaan. Serangkaian kajian yang dilakukan tersebut dibuat suatu model yang komprehensif dan saling terkait sebagai dasar rekomendasi kebijakan

30 6 pembangunan pariwisata di Kawasan Puncak yang berdaya saing dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang perlu dipecahkan adalah: a) Kinerja pembangunan di suatu kawasan atau wilayah akan ditentukan oleh arahan pemanfaatan ruang serta perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah, sehingga perlu dilakukan pengkajian untuk mengevaluasi kembali bentuk-bentuk regulasi pemanfaatan ruang dan perizinan pariwisata yang sudah dilaksanakan di Kawasan Puncak; b) Kawasan Puncak dengan potensi alamnya menjadi andalan bagi Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat sebagai kawasan pariwisata alam pegunungan. Kegiatan pariwisata tersebut dapat berlangsung terus jika dikelola secara berkelanjutan, karenanya perlu dilakukan analisis untuk mengetahui status keberlanjutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak; c) Pengelolaan pariwisata yang baik, akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi para wisatawan serta memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal maka akan meningkatkan daya saing wisata di kawasan tersebut. Berdasarkan hal tersbut perlu dilakukan kajian untuk mengukur tingkat daya saing pariwisata di Kawasan Puncak; d) Kelembagaan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan suatu program. Pengelolaan pariwisata di suatu kawasan akan dipengaruhi oleh kondisi kelembagaan yang terkait didalamnya. Koordinasi, konsistensi dan tumpang tindih kewenangan sering menjadi permasalahan didalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan kajian untuk mengetahui kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak; e) Pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak agar berdaya saing dan berkelanjutan harus mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, ekologi, ekonomi, hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui bagaimana rancangan model pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Rumusan permasalahan pengelolaan pariwisata disajikan dalam gambar 2. berikut ini.

31 7 Pariwisata di Kawasan Puncak Nilai Strategis dalam Konstelasi Regional Jabotabek Kebijakan Makro Ekonomi Sosbud Ekologi Hukum& kelembagaan Sarpras Konflik Antar Fungsi Daya Saing dan Keberlanjutan AnalisisKebijakan Pemanfaatan Ruang dan Perizinan Pariwisata di Kawasan Puncak AnalisisDaya Saing Pariwisata di Kawasan Puncak AnalisisKeberlanjutan Pariwisata di Kawasan Puncak Model KebijakanPengelolaan Pariwisata yang Berdaya Saing& Berkelanjutan di Kawasan Puncak AnalisisKelembagaan Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Gambar 2. Perumusan masalah penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah merumuskan model kebijakan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak agar memiliki daya saing dan dapat dilaksanakan atau dikelola secara berkelanjutan. Guna mencapai tujuan utama maka dirancang beberapa sub tujuan sebagai berikut: a) Mengetahui performansi wisatawan di Kawasan Puncak; b) Menghasilkan analisis terhadap kebijakan yang mengatur penataan ruang dan pariwisata di Kawasan Puncak; c) Menghasilkan analisis tingkat daya saing pariwisata di Kawasan Puncak; d) Menghasilkan analisis daya dukung lingkungan di Kawasan Puncak; e) Menghasilkan analisis status keberlanjutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak;

32 8 f) Menghasilkan analisis kondisi kelembagaan pengelola pariwisata di Kawasan Puncak; g) Menghasilkan model kebijakan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk: a) Memberikan kontribusi positif sebagai koreksi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata; b) Sebagai acuan bagi para pelaku usaha pariwisata dalam mengembangkan usaha yang berkelanjutan; c) Sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pariwisata; d) Sebagai alternatif model bagi pengelolaan pariwisata terutama dalam memadukan unsur konservasi dan pengembangan pariwisata; e) Sebagai acuan untuk penyempurnaan kebijakan penataan ruang, perizinan, pengelolaan lingkungan, pembinaan sosial budaya, hukum dan kelembagaan, ekonomi serta sarana dan prasarana, agar dalam implementasinya dapat berkelanjutan. 1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty) Penelitian ini dilakukan di sebuah kawasan wisata yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang dikenal secara nasional. Masalah yang diteliti merupakan masalah aktual dan strategis yaitu tentang kebijakan pembangunan pariwisata di kawasan puncak yang merupakan daerah konservasi penting bagi Propinsi DKI Jakarta selaku ibukota Negara Republik Indonesia. Rekomendasi kebijakan pariwisata yang dihasilkan mempertimbangkan unsur daya saing dan berkelanjutan, sehingga metode yang digunakan harus mampu mengakomodasi dua tujuan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut maka kebaruan penelitian (novelty) terletak pada upaya untuk memadukan beberapa metode analisis secara komprehensif, yaitu metode pengukuran indeks daya saing dengan memperhitungkan 8 indikator, indeks keberlanjutan (MDS), daya dukung, Travel Cost Method (TCM), analisis kelembagaan, Focus Group Discussion (FGD) dan analisis sistem dinamik, untuk mendapatkan arahan kebijakan agar pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing dan berkelanjutan.

33 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan Pariwisata Istilah pariwisata berasal dari Bahasa Sansekerta yang komponenkomponennya terdiri atas: (1) Pari = penuh, lengkap, berkeliling; (2) Wis (man)= rumah, property, kampong, komunitas; (3) Ata = pergi terus menerus, mengembara (roaming about), bila dirangkai menjadi satu kata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampong), berkeliling terus menerus (Pendit 2002). Yoeti (1988) dan Pendit (2002), mengutip berbagai pengertian pariwisata seperti tertera dibawah ini: 1. Pariwisata adalah gabungan berbagai kegiatan, pada umumnya bidang ekonomi yang langsung berkaitan dengan kedatangan dan tinggal serta kegiatan pendatang di negara tertentu atau daerah tertentu (Schulaland, 1910); 2. Pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan pekerjaan sehariharinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat tujuan tersebut (Tourism Society in Britain 1976); 3. Pariwisata adalah suatu kegiatan kemanusiaan berupa hubungan antar orang, baik dari negara yang sama atau antar negara atau hanya dari daerah geografis yang terbatas, didalamnya termasuk tinggal untuk sementara waktu di daerah lain atau negara lain atau benua lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan, kecuali kegiatan untuk memperoleh penghasilan (Wahab 1992); 4. Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya (Robert McIntosh dan Gupta 1980); 5. Pariwisata adalah setiap peralihan tempat yang bersifat sementara dari seseorang atau beberapa orang, dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang digunakan untuk maksud tersebut (Hans Buchli); 6. Pariwisata adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain, semata-

34 10 mata sebagai konsumen dari bu ah hasil perekonomian dan kebudayaan, guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beranekaragam dari pribadinya (Kurt Morgenroth); 7. Pariwisata adalah keseluruhan hubungan antara manusia yang hanya berada untuk sementara waktu dalam suatu tempat kediaman dan berhubungan dengan manusia-manusia yang tinggal di tempat itu (Gluckmann 1998); 8. Pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang ke dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus menerus dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluankeperluan lainnya (Santoso 2000); Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Berbagai definisi yang dikutip menunjukkan beragam aspek yang menjadi titik tolak pandangan masing-masing ahli dalam mendefinisikan pengertian pariwisata. Terdapat kesamaan yang dapat ditangkap dari definisi-definisi tersebut, sehingga Yoeti (1988), mengemukakan empat faktor yang menjadi dasar pengertian pariwisata yakni: 1. Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu, sekurang-kurangnya 24 jam dan kurang dari satu tahun; 2. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain; 3. Perjalanan itu, apapun bentuknya harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi; 4. Orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat itu. Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh kegiatan perjalanan (travel) sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia yang digunakan untuk memenuhi keinginan (rasa ingin tahu) yang bersifat rekreatif dan edukatif. Adapun dalam melakukan kegiatan pariwisata seseorang mempunyai motivasi sendiri yang akan diwujudkan dalam bentuk wisata yang dipilihnya. Piknik dapat menjadi bagian dari pariwisata atau menjadi salah satu kegiatan dalam pariwisata, sedangkan rekreasi biasanya dilakukan dengan santai pada waktu luang atau sengaja meluangkan waktu untuk itu (Warpani dan

35 11 Warpani 2007). Menurut Banapon (2008), motivasi berpariwisata dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu: motivasi fisik, motivasi budaya, motivasi antar pribadi, motivasi status dan martabat. STIPAR (2006), menguraikan 8 (delapan) tipologi pariwisata berdasarkan produk pariwisata, yaitu: 1. Ecotourism (ekowisata): wisata yang bertujuan untuk menikmati kondisi alam yang unik maupun keindahan alam yang ada juga kehidupan tanaman dan binatang liar yang ada didalamnya; 2. Cultural tourism (wisata budaya): wisata untuk mendapatkan pengalaman mengenai suatu cara/gaya hidup yang sedang mengalami kepunahan atau bahkan turut serta hidup dalam cara/gaya hidup dimaksud; 3. Agri-tourism (agrowisata): wisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro; 4. Adventure tourism (wisata petualangan): wisata yang terkait dengan alam dan lingkungan seperti gunung, sungai, hutan dan sebagainya. Wisata petualang membawa wisatawan berinteraksi sangat dekat dengan alam dan merasakan tantangan alam; 5. Health tourism (wisata kesehatan): wisata yang memiliki fasilitas penyembuhan kesehatan atau manfaat yang berkaitan dengan kesehatan atau dipercaya dapat memulihkan kondisi kesehatan kembali seperti semula; 6. Religion tourism (wisata religi): wisata yang dikaitkan dengan acara keagamaan, misalnya kunjungan/ziarah ke fasilitas-fasilitas peribadatan atau tempat-tempat religius lainnya; 7. Educational tourism (wisata pendidikan): wisata yang lebih mengutamakan kepada perjalanan yang memiliki kegiatan-kegiatan formal yang berkaitan dengan pelajaran atau dunia pendidikan; 8. Shopping tourism (wisata belanja): wisata ke suatu destinasi wisata untuk memenuhi kebutuhan berbelanja. Tingkatan daur hidup produk sangat penting diketahui untuk mengukur posisi produk pariwisata saat ini. Konsep daur hidup produk dijelaskan STIPAR (2006) sebagai berikut: 1. Potential: Pada tahap ini, produk masih berupa daya tarik atau atraksi saja, tetapi produk tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan. Pada

36 12 umumnya wisatawan telah mengenal dan mengetahui tentang produk ini tetapi jumlahnya masih sedikit. Produk yang ditawarkan masih belum dikembangkan dan belum memiliki banyak pesaing; 2. Growth: Pada tahap ini, pesaing sudah mulai tertarik pada pasar yang serupa dengan produk yang ditawarkan dan keuntungan dari produk yang ditawarkan sudah mulai meningkat. Produk sudah cukup berkembang dan sudah mempunyai sarana dan prasarana pendukung. Pasar sudah mengenal produk tersebut meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Produk tersebut sudah mempunyai pasar yang tetap dan ada kemungkinan terus bertambah jumlah peminatnya (wisatawan); 3. Maturity: Pada tahap ini, produk telah berkembang dan telah mempunyai posisi yang baik di mata pasar. Sarana dan prasarana pendukung telah lengkap, sehingga dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Produk ini telah mempunyai pasar yang tetap dan akan terus bertambah, sehingga pengelola harus dapat melakukan inovasi-inovasi agar wisatawan tidak jenuh; 4. Decline: Pada tahap ini, posisi produk di pasar mengalami penurunan. Pasar telah berkurang dan cenderung sedikit. Hal ini terjadi karena atraksi yang ditawarkan produk tersebut kurang menarik atau kurang memenuhi selera dan ekspektasi wisatawan, atau terjadinya persaingan dengan produk lain yang memiliki tipologi serupa. 2.2 Sistem Kepariwisataan Pariwisata adalah suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti komponen ekonomi, ekologi, politik, sosial dan budaya. Sebagai sebuah sistem, antarkomponen dalam sistem tersebut terjadi hubungan interdependensi yang berarti bahwa perubahan pada salah satu subsistem juga akan menyebabkan terjadinya perubahan pada subsistem yang lain, sampai akhirnya kembali ditemukan harmoni yang baru. Sebagaimana dikatakan oleh Mill dan Morrison (1985) dalam Pitana dan Gayatri (2005), bahwa pariwisata adalah sistem dari berbagai elemen yang tersusun seperti sarang laba-laba. Pitana dan Gayatri (2005), mengemukakan beberapa model sistem pariwisata dari beberapa ahli yaitu:

37 13 1. Sistem pariwisata terdiri dari tiga komponen utama yaitu: (1) daerah asal (origin); (2) daerah tujuan (destination); dan (3) daerah antara (routes/ perjalanan) (Leiper 1979); 2. Sistem pariwisata terdiri dari empat komponen yaitu: (1) market; (2). travel; (3) destinasi; dan ( 4) pemasaran ( Mill dan Morrison 1985); 3. Sistem pariwisata terdiri atas tiga elemen yaitu: (1) elemen dinamis yaitu perjalanan wisatawan; (2) elemen statis, yaitu: keberadaan destinasi dan elemen konsekuensial yaitu berbagai dampak yang timbul (Mathiesen dan Wall 1982); 4. Sistem pariwisata berdasarkan aspek pemasaran pariwisata terdiri dari: (1) subsistem produksi; (2) subsistem delivery; (3) subsistem manajemen; dan (4) subsistem distribusi dan penjualan (Poon 1993). Aktor yang berperan dalam menggerakkan sistem pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu: (1) masyarakat; (2) swasta; dan (3) pemerintah. Kelompok masyarakat terdiri dari masyarakat umum yang ada pada destinasi seperti tokoh masyarakat, intelektual, LSM dan media masa. Kelompok swasta adalah asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah pada berbagai wilayah administrasi mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa (Pitana dan Gayatri 2005). Warpani dan Warpani (2007), memandang pariwisata sebagai suatu sistem dan memilahnya dalam sisi permintaan dan sediaan. Komponen permintaan terdiri atas elemen orang, ditengarai oleh hasrat orang melakukan perjalanan dan kemampuan melakukannya, sedangkan komponen sediaan adalah daya tarik wisata serta perangkutan, informasi dan promosi dan pelayanan. Hubungan antar elemen digambarkan sebagai suatu sistem kepariwisataan sebagaimana dijelaskan dalam gambar 3 berikut:

38 14 Orang Minat berwisata Kemampuan berwisata PERMINTAAN INFORMASI PROMOSI PERANGKUTAN volume dan mutu semua moda DAYA TARIK WISATA pengembangan sumber daya demi kepuasan pengunjung SEDIAAN PELAYANAN ragam dan mutu makanan, penginapan, produk Gambar 3. Model komponen fungsional kunci yang membentuk dinamika dan sistem hubungan kepariwisataan (Gunn 1988). Elemen kepariwisataan dikelompokkan menjadi elemen: (1) Utama, yakni daya tarik yang mengandung arti objek yang menjadi sasaran dan destinasi kunjungan wisata; (2) Prasyarat, yakni elemen yang merupakan prasyarat proses berlangsungnya kegiatan pariwisata, yakni perangkutan; (3) Penunjang, misalnya informasi dan promosi yang membangun dan mendorong minat berwisata; dan (4) Sarana pelayanan, yakni elemen yang membuat proses kegiatan pariwisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan berupa hotel, motel, penginapan, rumah makan dan lain-lain (Gunn 1988). 2.3 Pengelolaan Pariwisata Menurut Pitana dan Diarta (2009), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan; 2. Preservasi, proteksi dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata;

39 15 3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal; 4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal; 5. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan alam atau akseptibilitas sosial, walaupun di sisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Pacific Asia Travel Association (PATA) menyusun petunjuk pengembangan (guidelines) pariwisata yang berisi tiga substansi pokok mengenai etika pengelolaan pariwisata yang bertanggung jawab, yaitu: (1) keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang (long term profitability); (2) keberlanjutan produk pariwisata (product sustainability); dan (3) keadilan antargenerasi (equity from one generation to the next) (Pitana dan Diarta 2009). Metode pengelolaan pariwisata mencakup beberapa kegiatan sebagai berikut: (1) konsultasi dengan semua pemangku kepentingan; (2) identifikasi isu; (3) penyusunan kebijakan; (4) pembentukan dan pendanaan agen dengan tugas khusus; (5) penyediaan fasilitas dan operasi; (6) penyediaan kebijakan fiskal, regulasi dan lingkungan sosial yang kondusif; dan (7) penyelesaian konflik kepentingan dalam masyarakat (Richardson dan Fluker 2004). 2.4 Tata Ruang Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum perencanaan tata ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusia, kualitas pemanfaatan ruang, yang secara struktural menggambarkan keterikatan fungsi lokasi yang terbagi dalam berbagai kegiatan. Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana

40 16 tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengikat semua pihak (Sugandhy 1999). Dalam menata ruang wilayah tempat kehidupan dan penghidupan, Indonesia menganut konsep ruang wilayah yang terdiri atas elemen wisma, karya, marga, suka dan penyempurna; disingkat WKMSP. Wisma adalah ruang wilayah permukiman, karya adalah ruang wilayah pekerjaan, marga adalah ruang wilayah pergerakan/mobilitas, suka adalah ruang wilayah bagi fasilitas yang mencakup rekreasi dan pariwisata dan penyempurna adalah ruang wilayah bagi fasilitas sosial budaya lainnya termasuk tempat ibadah (Warpani dan Warpani 2007). Daerah/kota tidak berdiri sendiri, tetapi berinteraksi dengan daerah/kota lainnya dalam jaringan kegiatan ekonomi dan sosial-budaya. Elemen WKMSP di daerah/kota membentuk suatu jaringan saling ketergantungan, karena itu harus ditata secara terkoordinasi dalam satu satuan tata ruang wilayah. Daerah/kota bukan wilayah tertutup melainkan berhubungan satu sama lain secara fisik geografis dan juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Koordinasi tata ruang wilayah diperlukan agar terjadi keseimbangan pembangunan dan perkembangan antar daerah. Kegiatan pariwisata menempati ruang di suatu wilayah (administrasi) atau bahkan ruang kegiatannya lebih dari satu wilayah administrasi daerah sehingga keberadaanya sangat bermakna sebagai bagian tata ruang wilayah dan sebaliknya pengembangan pariwisata pun harus mengacu kepada tata ruang wilayah. Jadi harus tercipta hubungan timbal balik antara pengembangan pariwisata dan rencana tata ruang wilayah. Jarak geografis antara lokasi daya tarik wisata dengan asal wisatawan adalah salah satu aspek keruangan yang tidak dapat diabaikan. Akibat jarak geografis tersebut maka diperlukan prasarana dan sarana perangkutan untuk menunjang kegiatan pariwisata seperti, jaringan perangkutan, perhotelan, dan pelayanan lainnya, pada aspek inilah sering terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan atas ruang wilayah. Selain jarak antara daerah tujuan wisata dan wisatawan yang berjauhan, juga jarak antar daerah tujuan wisata sendiri yang tidak terkonsentrasi dalam satu lokasi tetapi terpencar pada wilayah yang cukup luas. Kondisi ini harus diperhitungkan dalam rencana tata ruang wilayah, tidak semua infrastruktur harus disediakan di setiap daerah tujuan wisata karena pada

41 17 dasarnya akan terjadi pengaruh rambatan (trickling down effect) yang biasa terjadi di wilayah yang terdapat kegiatan pariwisata (Warpani dan Warpani 2007). Pemanfaatan ruang di setiap daerah tujuan wisata harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, air serta sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang dengan pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Pendekatan perencanaan tata ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap komponen-komponennya, seperti tanah, iklim dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut waktu dan ruang (Sugandhy 1999). Sebaran lokasi DTW pada skala nasional dan/atau daya tarik wisata pada skala regional, memicu terjadinya interaksi antardaerah sebagai manifestasi hubungan sediaan-permintaan. Hubungan antara daerah asal wisatawan dengan DTW adalah dalam bentuk mobilitas orang, sedangkan hubungan antar daerah dapat menyangkut mobilitas orang dan/atau barang. Selain arus mobilitas orang dan barang, sektor kepariwisataan berdampak terhadap peredaran uang. Berkenaan dengan pariwisata mancanegara, maka arus valuta asing mempunyai makna berarti bagi perekonomian suatu negara (Warpani dan Warpani 2007). Santoso (2001), menguraikan masalah-masalah tata ruang dari mulai perencanaan, pemanfaatan sampai pengendalian ruang sebagai berikut: 1. Permasalahan perencanaan tata ruang meliputi: (1) penggunaan peta dasar, tingkat ketelitian peta dan data/informasi yang tidak seragam antar instansi/lembaga terkait; (2) penerapan kriteria teknis sektoral versus kriteria teknis ruang yang menimbulkan konflik antar instansi/lembaga dalam alokasi fungsi ruang; (3) penyusunan rencana tata ruang wilayah yang kurang mengakomodir perkembangan data/informasi sektor-sektor pengguna ruang; (4) pemahaman yang berbeda terhadap peraturan perundang-undangan; (5) pemahaman yang berbeda terhadap deliniasi fungsi ruang yang tergambar pada peta rencana tata ruang wilayah; (6) pemahaman yang berbeda terhadap keberadaan hak-hak pemanfaatan ruang yang masih belum berakhir

42 18 masa berlaku izinnya versus masa berlakunya arahan fungsi ruang didalam rencana tata ruang wilayah; 2. Masalah dalam pemanfaatan ruang meliputi: (1) belum tuntasnya penyelesaian masalah-masalah pertanahan, sehingga potensial menyebabkan kekeliruan dan/atau tumpang tindih hak atas pemanfaatan ruang wilayah; (2) kurang lengkap dan kurang jelasnya rencana tata ruang wilayah sehingga sulit menjadi acuan pembangunan, karena tidak berbasis pada evaluasi kemampuan/kesesuaian lahan serta kurang antisipatif terhadap kebutuhan pembangunan; (3) rendahnya kemampuan sektoral dan masyarakat dalam penjabaran rencana tata ruang wilayah, karena kurangnya sosialisasi dan diseminasi; (4) inkonsistensi dalam implementasi rencana tata ruang wilayah dengan pelaksanaan pembangunan prasarana wilayah, sehingga pemanfaatan ruang wilayah menjadi tidak terkendali; 3. Masalah-masalah dalam pengendalian pemanfaatan ruang meliputi: (1) tidak adanya kejelasan, wewenang dan prosedur pengawasan yang meliputi monitoring, pelaporan dan evaluasi serta penertiban dalam pemanfaatan ruang wilayah; (2) lemahnya pencatatan atau tidak tersedianya data/informasi adanya perubahan rencana tata ruang wilayah; (3) kurang tersedianya anggaran untuk pengendalian pemanfaatan ruang wilayah; (4) tidak adanya tindak lanjut hasil pengendalian oleh pihak-pihak yang kompeten; (5) kelemahan aparat dalam penerapan peraturan perundang-undangan. 2.5 Daya Saing Pariwisata Aspek daya saing merupakan cerminan kesiapan dan kemampuan produk wisata serta penguasaan terhadap pasar dan informasi yang diformulasikan secara tepat pada strategi dan program pengembangan pariwisata. Faktor-faktor yang memperlihatkan daya saing kepariwisataan Indonesia antara lain (Suwantoro 2004): 1. Pendapatan: selama kurun waktu lima tahun terakhir peringkat pertama pendapatan negara-negara Asean diraih oleh Singapura, yaitu sebesar 32,73% dari total pengeluaran wisatawan di Asean. Posisi Indonesia pada peringkat ke-3 atau sebesar 18,8%;

43 19 2. Jumlah wisatawan: jumlah wisatawan tertinggi ditempati oleh Malaysia sebesar 29,5% sedangkan Indonesia berada di urutan keempat sebesar 9,98%; 3. Lama tinggal: Filipina menduduki peringkat pertama dengan rata-rata lama tinggal 11,5 hari sedangkan Indonesia berada di urutan kedua dengan ratarata lama tinggal 10,5 hari. Posisi daya saing pariwisata Indonesia menempati peringkat ke-60 indeks daya saing perjalanan dan wisata (TTCI) dari 124 negara yang disurvei oleh forum ekonomi dunia (WEF) yang berbasis di Jenewa, Swiss. Guna mengukur daya saing tersebut digunakan 13 indikator, antara lain kebijakan peraturan dan regulasi, keselamatan dan keamanan, regulasi lingkungan, kesehatan dan hygiene, privatisasi perjalanan dan wisata serta infrastruktur transportasi. WEF (1993), menyebutkan daya saing perjalanan dan wisata nasional telah menjadi sebuah sektor kunci dalam ekonomi dunia dan menjadi sumber dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di banyak negara. Karakteristik jasa pariwisata dapat digunakan sebagai acuan pengukuran daya saing. Mihalic (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik jasa pariwisata yaitu: (1) Reliability, dimana karakteristik ini terkait dengan konsistensi dan kesesuaian pelayanan; (2) Responsiveness, karakteristik ini berhubungan dengan kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan; (3) Assurance, yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan; (4) Emphaty, yaitu terkait dengan kepedulian kepada pelanggan; dan (5) Tangible, yaitu karakteristik yang terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan berbagai media komunikasi. Studi yang dilakukan Dwyer et al. (2000) menggunakan price competitiveness indicator untuk mengukur daya saing tourist destination. Studi ini membedakan dua katagori harga yaitu travel cost dan ground cost. Travel cost berkaitan dengan cost yang dikeluarkan dari dan ke suatu destinasi dan ground cost berkaitan dengan cost komoditi pada suatu tujuan destinasi. Studi lain dilakukan oleh Inskeep (1991) dan Middleton (1997) menyatakan bahwa quality environment sebagai indikator yang penting dalam pengukuran daya saing. Studi ini juga konsisten dengan studi yang dilakukan Ritchie dan Crough (1993) dan Mihalic (2000) yang memasukkan faktor lingkungan sebagai indikator penentu daya saing pariwisata.

44 20 Ritchie dan Crough (1993) memperluas penelitian sebelumnya dengan mendasarkan pada teori comparative advantage yang menyatakan bahwa kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara (destinasi) akan mengakibatkan destinasi tersebut unggul bersaing dibandingkan dengan destinasi lainnya. Peneliti memasukkan katagori yang lebih luas yaitu human resources, knowledge resources, physical resources, infrastructure and cultural resources. Gooroochurn dan Sugiyarto (2004) serta Trisnawati et al. (2007) dalam penelitiannya menggunakan index daya saing pariwisata yang dibentuk dari 8 indikator penentu daya saing pariwisata. Kedelapan indikator tersebut seperti tercantum dalam gambar 4 berikut. Gambar 4. Indeks daya saing pariwisata (Gooroochurn dan Sugiyarto 2004). 1. Human Tourism Indicator (HTI): indikator ini menunjukkan pencapaian perkembangan ekonomi daerah akibat kedatangan turis pada daerah tersebut. Pengukuran yang digunakan adalah tourism impact index yaitu rasio antara penerimaan pariwisata dengan GDP. Ukuran lainnya adalah tourism participation index yaitu rasio antara jumlah aktivitas turis (datang dan pergi) dengan jumlah penduduk daerah destinasi; 2. Price Competitiveness Indicator (PCI): indikator ini menunjukkan harga komoditi yang dikonsumsi oleh turis selama berwisata seperti biaya akomodasi, travel, sewa kendaraan dan sebagainya. Pengukuran yang

45 21 digunakan adalah purchasing power parity sebagai proksi dari harga adalah rata-rata tarif minimum hotel yang merupakan hotel worldwide; 3. Infrastructure Development Indicator (IDI): Indikator ini menunjukkan perkembangan jalan raya, perbaikan fasilitas sanitasi dan peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas air bersih. Guna mengukur IDI terdapat kesulitan sehingga CM memproksikan IDI dengan income perkapita penduduk; 4. Environment Indicator (EI): indikator ini menunjukkan kualitas lingkungan dan kesadaran penduduk dalam memelihara lingkungannya. Pengukuran yang digunakan adalah indeks kepadatan penduduk (rasio antara jumlah penduduk dengan luas daerah) dan indeks emisi CO 2. Data Indeks emisi CO 2 dapat diperoleh dari informasi tingkat pencemaran udara pada jalan-jalan utama; 5. Technology Advancement Indicator (TAI): indikator ini menunjukkan perkembangan infrastruktur dan teknologi modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, mobile telephone dan ekspor produk-produk berteknologi tinggi. Pengukuran yang digunakan adalah telephone index (rasio penggunaan line telephone dengan jumlah penduduk) dan index export (rasio ekspor produk-produk berteknologi tinggi: komputer, produk farmasi, mesin-mesin industri dan elektronik dengan jumlah ekspor keseluruhan); 6. Human Resources Indicator (HRI): indikator ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia daerah tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada turis. Pengukuran HRI menggunakan indek pendidikan yang terdiri dari rasio penduduk yang bebas buta huruf dan rasio penduduk yang berpendidikan SD, SMP, SMU, diploma dan sarjana; 7. Openess Indicator (OI): indikator ini menunjukkan tingkat keterbukaan destinasi terhadap perdagangan internasional dan turis internasional. Pengukurannya menggunakan rasio jumlah penerimaan dari turis internasional dengan total PAD dan rasio penerimaan pajak ekspor-impor dengan jumlah seluruh penerimaan; 8. Social Development Indicator (SDI): indikator ini menunjukkan kenyamanan dan keamanan turis untuk berwisata di daerah destinasi. Ukuran SDI adalah lama rata-rata masa tinggal turis di daerah destinasi.

46 Daya Dukung Pariwisata Mathieson dan Wall (1982), mendefinisikan daya dukung sebagai maksimum jumlah manusia yang dapat ditampung di suatu lokasi tanpa mengakibatkan penurunan kualitas fisik lingkungan, tanpa mengakibatkan penurunan kualitas kenyamanan pengunjung wisata dan tanpa mengakibatkan dampak negatif terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di sekitar areal wisata. Hal serupa disampaikan oleh WTO (1995), bahwa daya dukung wilayah wisata adalah daya dukung lingkungan spesifik, sehingga secara relatif wisatawan dapat menikmati kesenangan dan memperoleh kepuasan yang diinginkan, tanpa menghilangkan kesenangan orang lain. Batasan daya dukung dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: (1) faktor pemasaran berkaitan dengan karakteristik wisatawan seperti usia, jenis kelamin, pendapatan, motivasi, sikap dan harapan. Faktor lainnya berupa level pemakaian dari fasilitas, kepadatan wisatawan, lamanya menginap, tipe/jenis aktivitas dan level kepuasan wisatawan; (2) faktor yang berkaitan dengan atribut destinasi, seperti kondisi lingkungan dan alam, struktur ekonomi dan pembangunan, struktur sosial dan organisasi, organisasi politik dan level pengembangan pariwisata (O Reilly 1991 dalam Pitana dan Diarta 2009). WTO (1995), menyebutkan pula bahwa daya dukung wilayah wisata dipengaruhi oleh dua faktor lingkungan, yaitu: (1) lingkungan fisik, misalnya ukuran ruang yang dibutuhkan. Secara fisik, jika daya dukung terlewati, akan berpengaruh terhadap kerentanan aset sumberdaya alam, karena muncul masalah seperti meningkatnya jumlah limbah dan sampah, pencemaran serta gangguan terhadap proses ekologi yang penting; (2) lingkungan sosial, misalnya ketersediaan fasilitas yang diperlukan. Secara sosial dampak negatif dari terlampauinya daya dukung akan muncul gangguan sosial dan budaya, produktivitas masyarakat turun, misalnya karena kepadatan wisatawan timbul kemacetan lalu lintas yang menghambat mobilitas masyarakat dalam beraktivitas. Terlampauinya daya dukung sosial berakibat pada perubahan sosial budaya masyarakat lokal yang rentan terhadap dampak yang merugikan. Menurut Pitana dan Diarta (2009), terdapat tiga tipe daya dukung yang dapat diaplikasikan pada pengembangan destinasi pariwisata, yaitu:

47 23 1. Physical carrying capacity Merupakan kemampuan suatu kawasan alam atau destinasi wisata untuk menampung pengunjung/wisatawan, penduduk asli, aktivitas/kegiatan wisata dan fasilitas penunjang wisata. Konsep ini sangat penting mengingat sumberdaya alam dan infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sering mengalami overused. Pemanfaatan kawasan yang melebihi daya dukung fisiknya dapat menyebabkan degradasi sumberdaya alam, penurunan kualitas hidup komunitas disekitarnya, over crowding dan sebagainya; 2. Biological carrying capacity Konsep ini merefleksikan interaksi destinasi pariwisata dengan ekosistem flora dan fauna, seperti halnya pada kegiatan ekowisata. Konsekuensinya sangat penting untuk melindungi dan menjaga ekosistem agar sedapat mungkin tetap seperti kehidupan habitat aslinya. Diperlukan peran pemerintah untuk membuat kawasan lindung dan konservasi serta pemberlakuan peraturan yang melarang perilaku destruktif seperti perburuan, penebangan hutan, pengeboman ikan, peracunan biota laut dan sebagainya; 3. Social/cultural carrying capacity Merefleksikan dampak pengunjung/wisatawan pada gaya hidup komunitas lokal. Kemampuan sebuah komunitas untuk mengakomodasi keberadaan wisatawan beserta gaya hidupnya di komunitas tertentu sangat bervariasi dari suatu budaya dengan budaya lain dan dari suatu wilayah dengan wilayah lain. Wisatawan umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik dan ingin mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan penduduk lokal dengan adat atau kebiasaan uniknya. Pitana dan Diarta (2009) mengemukakan pentingnya mengukur RCC (Recreational Carrying Capacity) yang didefinisikan sebagai suatu metoda manajemen yang didasarkan atas pemanfaatan suatu destinasi oleh aktivitas pariwisata yang tidak merusak lingkungan fisik atau menurunkan kualitas rekreasi. Dampak dari pembangunan dan pengembangan destinasi wisata pada lingkungan diteliti dan diidentifikasi tingkat kritisnya. Tingkat kritis suatu destinasi wisata mengacu pada jumlah orang yang mengunjungi kawasan tersebut per tahun atau per hari atau per sekali kunjungan. Umumnya nilai optimum kunjungan berkisar antara 10% sampai 20% dibawah jumlah maksimumnya.

48 24 Nasha dan Xilai (2010), meneliti daya dukung wisata (tourism carrying capacity/tcc) untuk mengetahui jumlah pengunjung pada level mana yang efisien untuk manajemen pariwisata tetapi tidak melebihi kapasitas suatu lokasi tertentu. Zhao (1983), meneliti Zhuozheng Garden dan menyimpulkan daya dukung pada lokasi wisata tersebut adalah orang per hari. Tran Nghi et al. (2007), meneliti Phong Nha cave dan menyimpulkan jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung adalah kunjungan per hari atau wisatawan per bulan. 2.7 Dampak Kegiatan Pariwisata Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar yaitu: (1) dampak terhadap penerimaan devisa; (2) dampak terhadap pendapatan masyarakat; (3) dampak terhadap kesempatan kerja; (4) dampak terhadap harga-harga; (5) dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan; (6) dampak terhadap kepemilikan dan kontrol; (7) dampak terhadap pembangunan pada umumnya; dan (8) dampak terhadap pendapatan pemerintah (Pitana dan Diarta 2009). Pitana dan Gayatri (2005), melakukan inventarisasi pendapat para ahli berkaitan dengan dampak sosial budaya karena aktivitas pariwisata sebagai berikut: 1. Cohen (1984), mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar yaitu: (1) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; (2) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/ kelembagaan sosial; (3) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; (4) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat; (5) dampak terhadap pola pembagian kerja; (6) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial, (7) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan, (8) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan (9) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat; serta (10) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi dan ketergantungannya; 2. Figuerola dalam Pearce (1989), mengidentifikasi ada enam kategori dampak sosial budaya akibat aktivitas pariwisata, yaitu: (1) dampak terhadap struktur

49 25 demografi; (2) dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian; (3) dampak terhadap transformasi nilai; (4) dampak terhadap gaya hidup tradisional; (5) dampak terhadap pola konsumsi; dan (6) dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial-budaya pariwisata. Sifat dan bentuk dampak sosial budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) jumlah wisatawan, baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal; (2) objek dominan yang menjadi sajian wisata dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut; (3) sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan apakah alam, situs, arkeologi, budaya atau kemasyarakatan; (4) struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW; (5) perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal; (6) perbedaan kebudayaan wisatawan dengan masyarakat lokal; (7) tingkat otonomi (baik politik, geografis dan sumberdaya) dari DTW; (8) laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata; (9) tingkat perkembangan pariwisata; (10) tingkat pembangunan ekonomi DTW; (11) struktur sosial masyarakat lokal; (12) tipe resort yang dikembangkan (open atau enclave resort); (13) peranan pariwisata dalam ekonomi DTW (Pitana dan Gayatri 2005). Selain itu Ryan (1991), mengidentifikasi terdapat 16 faktor yang mempengaruhi dampak sosial-budaya yaitu: (1) jumlah wisatawan; (2) tipe wisatawan; (3) tahap perkembangan pariwisata; (4) perbedaan tingkat perkembangan ekonomi antara negara asal wisatawan dengan negara penerima; (5) perbedaan norma budaya antara negara asal wisatawan dengan negara penerima; (6) ukuran fisik wilayah DTW yang mempengaruhi kepadatan wisatawan; (7) jumlah penduduk luar daerah (migran) yang melayani kebutuhan pariwisata; (8) besar kecilnya pembelian barang-barang properti oleh wisatawan; (9) tingkat penguasaan atau kepemilikan properti dan fasilitas pariwisata oleh masyarakat lokal; (10) perilaku lembaga pemerintah terhadap pariwisata; (11) kepercayaan masyarakat lokal dan kekuatan dari kepercayaan tersebut; (12) keterbukaan terhadap berbagai kekuatan yang mempengaruhi perubahan teknologi, sosial dan budaya; (13) pemasaran dan citra yang dibentuk lewat pemasaran terhadap DTW; (14) homogenitas masyarakat penerima; (15) aksesibilitas DTW; dan (16) kekuatan awal dari tradisi berkesenian, cerita rakyat, legenda dan sifat-sifat tradisi lainnya.

50 26 Dampak negatif pariwisata atas lingkungan fisik ada yang dapat diperbaiki, namun pada umumnya sudah tidak dapat diperbaiki lagi dan bila itu menyangkut potensi alam yang justru menjadi daya tarik wisata, dapat dikatakan bahwa pariwisata telah membunuh dirinya sendiri karena kualitas daya tarik wisata menurun justru diakibatkan oleh perkembangan pariwisata itu sendiri (Warpani dan Warpani 2007). Oleh karenanya dampak positif pariwisata patut dikembangkan, sedangkan dampak negatifnya harus dicegah atau ditekan sampai pada batas minimum. Warpani dan Warpani (2007), mengulas tentang dampak positif dan negatif pariwisata terhadap sektor ekonomi, fisik/ruang dan sosial budaya seperti dijelaskan pada tabel 2. Tabel 2. Dampak positif dan negatif pariwisata Sektor Dampak Positif Dampak Negatif EKONOMI RUANG WILAYAH Peningkatan arus barang (eksporimpor). Perluasan hubungan ekonomi antar negara dan/atau antar daerah. Pertumbuhan ekonomi lokal. Perluasan peluang kerja. Peningkatan peran industri kecil dan industri rumahan. Percepatan arus peredaran modal. Penyebaran pembangunan ke berbagai wilayah potensial. Percepatan pembangunan (fisik) daerah dengan memanfaatkan modal swasta dan/atau luar negeri. Pemanfaatan daerah tidak produktif dengan memasukkan elemen wisata. Ketergantungan pada pasokan barang tertentu dari luar. Masyarakat setempat tersisihkan dalam percaturan ekonomi. Produk setempat tidak mampu turut berperan dalam kepariwisataan. Ancaman kelestarian alam. terhadap lingkungan Pencurian plasma nutfah. Kerusakan situs sejarah. Pembangunan terkendali. tak SOSIAL BUDAYA Peningkatan hubungan budaya antar bangsa. Perubahan pola pikir ke arah modern (rasional). Perubahan citra kedaerahan yang sempit. Sumber : Warpani dan Warpani, 2007 Rusaknya tata nilai dan norma budaya bangsa. Menurunnya nasional. kepribadian Meningkatnya gaya pergaulan bebas yang melanggar norma-norma agama dan budaya setempat.

51 27 Selain dampak terhadap sosial, budaya, ekonomi dan ruang, kegiatan pariwisata menimbulkan resiko terhadap kelestarian lingkungan, seperti yang diuraikan oleh Eagles et al. (2002) dalam Warpani dan Warpani (2007) pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Elemen Ekosistem Tanah Vegetasi Air Udara Resiko akibat kegiatan kepariwisataan Contoh Resiko Akibat Kegiatan Kepariwisataan Konstruksi akomodasi, graha wisata, prasarana dan layanan lain secara langsung berdampak atas lingkungan, akibat penebangan pepohonan, gangguan pada atau penggusuran habitat satwa, dampak atas drainase. Habitat kehidupan liar barangkali lenyap (jalur migrasi, padang perburuhan, padang penangkaran dan sebagainya) tergusur oleh segala kegiatan pariwisata. Tanah yang kompak terjadi pada tempat tertentu yang digunakan secara benar. Tanah longsor dan erosi dapat terjadi justru setelah gangguan berlalu. Penggunaan yang terpusat di sekitar fasilitas berdampak negatif atas vegetasi. Perangkutan dapat berdampak negatif langsung atas lingkungan (misal: penebangan pohon, gangguan pada satwa dan sebagainya). Kebakaran sering terjadi akibat keteledoran wisatawan dan pengelolaan di DTW. Peningkatan kebutuhan akan air baku. Pembuangan sampah dan limbah ke badan sungai, danau dan laut. Tumpahan minyak dan oli dari kapal dan perahu. Putaran baling-baling kendaraan air dapat merusak kehidupan tumbuhan air dan spesies air lainnya. Emisi kendaraan bermotor menyebabkan pencemaran udara (dari pesawat terbang, kereta api, kapal, mobil dan motor). Kehidupan liar Perburuan dan penangkapan ikan yang dapat merubah populasi. Pemburu dan nelayan dapat mendatangkan spesies asing dan meningkatkan populasi satwa yang tidak dikehendaki. Dampak muncul atas serangga dan binatang melata, akibat dampak perangkutan dari spesies yang didatangkan dam sebagainya. Gangguan oleh para pengunjung dapat terjadi atas segala spesies, termasuk spesies yang tak menarik bagi pengunjung. Gangguan dapat berupa berbagai jenis suara tampakan (visual) atau kebiasaan/kesukaan mengusik. Mamalia air dapat cedera atau binasa karena putaran baling-baling. Ketergantungan pada manusia dapat mengubah kebiasaan hidup liar, misalnya mendatangi pengunjung untuk mendapatkan makanan. Sumber : Eagles et al. (2002) dalam Warpani dan Warpani (2007) 2.8 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan our common future yang disiapkan oleh world commission on environment and development (komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan), yang dikenal dengan

52 28 nama komisi Burntland. Isu utama yang disetujui oleh komisi tersebut adalah bahwa pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Secara positif, pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan ekonomi lokal. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumber daya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia, sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang. Pola pembangunan berkelanjutan tidak terbatas pada pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, namun juga mengembangkan keberlanjutan sosial (social sustainability) yang berkaitan erat dengan ketahanan sosial (social resilience). Hal ini bisa terjadi apabila proses pembangunan tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk turut berperan dalam pembangunan, sehingga tertutup kesempatan meningkatkan kualitas diri melalui perbaikan kesehatan, kesempatan pendidikan, kesempatan yang terbuka (ready access) memperoleh sumberdaya seperti tanah, lapangan kerja, modal, kredit, pendapatan dan yang serupa. Seiring dengan perkembangannya, ambang batas sosial atau daya tampung sosial (social carrying capability) dikatakan sebagai kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersamasama dalam suatu masyarakat secara harmonis (Hadi 1998). Daya tampung sosial ini dapat diukur melalui beberapa indikator baik secara kualitatif maupun kuantitatif, antara lain seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, kuantitas penduduk, kohesi sosial, peran serta atau keterlibatan masyarakat dan sebagainya.

53 29 Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa hingga kita dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika, ketika mempertahankan keterpaduan budaya, proses ekologi yang penting, keragaman biologi dan sistem pendukung kehidupan (Murphy 1994). Selanjutnya WTO (1995), menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan harus berdasarkan perkembangan hubungan antara industri pariwisata, pendukung lingkungan dan masyarakat. Hubungan ini mencakup tiga prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. Kelanjutan ekologi pembangunan yang sesuai dengan perawatan proses ekologi yang diperlukan, keragaman biologi dan sumberdaya biologi; 2. Kelanjutan sosial dan budaya pembangunan yang meningkatkan pengendalian manusia terhadap kehidupannya, yang sesuai dengan kebudayaan dan nilai-nilai manusia yang dipengaruhi pembangunan tersebut dan yang mempertahankan serta memperkuat identitas masyarakat; 3. Kelanjutan ekonomi pembangunan yang efisien secara ekonomi, dengan sumberdaya yang dikelola sedemikian rupa sehingga dapat mendukung generasi dimasa datang. National geograpic online dalam the global development research center (2002) mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) pariwisata yang memberikan penerangan; (2) pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat tujuan; (3) pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat; (4) pariwisata yang melindungi sumberdaya alam; (5) pariwisata yang menghormati budaya dan tradisi; dan (6) pariwisata yang tidak menyalahgunakan produk. Aronsson (2000), mencoba menyampaikan beberapa pokok pikiran tentang interpretasi pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) pembangunan pariwisata berkelanjutan harus mampu mengatasi permasalahan sampah lingkungan serta memiliki perspektif ekologis; (2) pembangunan pariwisata berkelanjutan menunjukkan keberpihakannya pada pembangunan berskala kecil dan yang berbasis masyarakat lokal/setempat; (3) pembangunan pariwisata berkelanjutan menempatkan daerah tujuan wisata sebagai penerima manfaat dari pariwisata, untuk mencapainya tidak harus dengan mengeksploitasi daerah setempat; (4) pembangunan pariwisata berkelanjutan menekankan pada keberlanjutan budaya, dalam hal ini berkaitan dengan upaya-upaya membangun

54 30 dan mempertahankan bangunan tradisional dan peninggalan budaya di daerah tujuan wisata. Pembangunan pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism development menurut Yaman dan Mohd (2004) ditandai dengan empat kondisi, yaitu: (1) anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembangunan pariwisata; (2) pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan pengunjung/wisatawan; (3) kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; (4) investasi pada bentuk bentuk transportasi alternatif. Indikator yang dikembangkan pemerintah RepubIik Indonesia tentang pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah: (1) kesadaran tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, bahwa strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggung jawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan; (2) peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata; (3) keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan produk pariwisata yang bisa bersaing secara internasional, dan mensejahterakan masyarakat di tempat tujuan wisata; (4) kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang bertujuan menghapus/meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik dan dominasi satu sama lain (Anonim 2000). Merujuk pada Agenda 21 untuk perjalanan dan pariwisata, diuraikan 12 prinsip yang memandu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Pitana dan Diarta 2009), seperti diuraikan pada tabel 4.

55 31 Tabel 4. Prinsip-prinsip panduan kepariwisataan dalam agenda 21 No Prinsip-Prinsip Panduan Kepariwisataan 1 Perjalanan dan pariwisata membantu manusia menuju kehidupan yang sehat dan produktif selaras dengan alam. 2 Pariwisata harus mendukung konservasi, perlindungan dan pemugaran ekosistem bumi. 3 Perjalanan dan pariwisata harus berdasarkan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. 4 Bangsa-bangsa seyogyanya bekerjasama untuk mempromosikan sistem ekonomi terbuka dimana perdagangan internasional dalam layanan perjalanan dan pariwisata dapat berlangsung secara berkelanjutan. 5 Sistem perlindungan dalam perdagangan layanan perjalanan dan pariwisata harus dihentikan atau dibalik. 6 Pariwisata, keamanan, pembangunan dan perlindungan lingkungan saling tergantung satu dengan lainnya. 7 Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan seyogyanya merupakan bagian terpadu dari proses pembangunan pariwisata. 8 Isu pembangunan pariwisata harus ditangani oleh warganegara yang bersangkutan dan keputusan perencanaan harus diambil pada tingkat lokal. 9 Bangsa-bangsa akan saling mengingatkan mengenai bencana alam yang dapat mempengaruhi wisatawan atau wilayah wisatawan. 10 Peran serta kaum wanita diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, karena itu kaum wanita selayaknya diberi kesempatan untuk bekerja dalam bidang perjalanan dan pariwisata. 11 Pengembangan pariwisata harus mengenal dan mendukung identitas, budaya dan minat dari penduduk asli. 12 Undang-undang internasional yang melindungi lingkungan harus dihormati oleh industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia. Sumber : Pitana dan Diarta, 2009 Pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumbersumber daya pariwisata itu sendiri. Tidak sedikit resort-resort eksklusif dibangun dengan mengabaikan daya dukung (carrying capacity) fisik dan sosial setempat. Jika hal itu berlanjut maka kelestarian OTW (obyek tujuan wisata) akan terancam dan pariwisata dengan sendirinya tidak akan dapat berkembang lebih lanjut. Berkenaan dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan, pembangunan sumberdaya (atraksi, aksessibilitas, amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang. Dimensi-dimensi

56 32 ekonomi, ekologi, sosial dan budaya dalam pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada tabel 5 berikut (Damanik dan Weber 2006). Tabel 5. Dimensi dalam pariwisata Dimensi Wisatawan Penyedia Jasa Ekonomi Ekologi Peningkatan kepuasan wisata Peningkatan belanja wisata di daerah destinasi. Penggunaan produk dan layanan berbasis lingkungan (green product). Kesediaan membayar lebih mahal untuk produk dan layanan wisata ramah lingkungan. Peningkatan dan pemerataan pendapatan semua pelaku wisata. Penciptaan kesempatan kerja terutama bagi masyarakat lokal. Peningkatan kesempatan berusaha/diversifikasi pekerjaan. Penentuan dan konsistensi pada daya dukung lingkungan. Pengelolaan limbah dan pengurangan penggunaan bahan baku hemat energi. Prioritas pengembangan produk dan layanan jasa berbasis lingkungan. Peningkatan kesadaran lingkungan dengan kebutuhan konservasi. Sosial Kepedulian sosial yang meningkat. Peningkatan konsumsi produk lokal. Budaya Penerimaan kontak dan perbedaan budaya. Apresiasi budaya masyarakat lokal. Sumber : Damanik dan Weber 2006 Pelibatan sebanyak mungkin stakeholder dalam perencanaan, implementasi dan monitoring. Peningkatan kemampuan masyarakat lokal dalam pengelolaan jasa-jasa wisata. Pemberdayaan lembaga-lembaga lokal dalam pengambilan keputusan pengembangan pariwisata. Menguatnya posisi masyarakat lokal terhadap masyarakat luar. Terjaminya hak-hak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata. Berjalannya aturan main yang adil dalam pengusahaan jasa wisata. Intensifikasi komunikasi lintas budaya. Penonjolan ciri atau produk budaya lokal dalam penyediaan atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Perlindungan warisan budaya, kebiasaan-kebiasaan dan kearifan lokal. 2.9 Kebijakan Pariwisata Suatu kebijakan yang strategis (strategic policy) adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan keputusannya secara relatif tidak bisa

57 33 dibalik ulang untuk beberapa tahun. Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policies) yaitu, kebijakan dimana konsekuensi dari keputusankeputusan secara relatif dapat diulang tidak menimbulkan resiko dan ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Kebijakan merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga yang digunakan untuk pengendalian atau pengaturan kepentingan umum. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum dapat diartikan sebagai suatu perangkat prinsip-prinsip yang mendasari pengambilan keputusan kebijakan publik. Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk: (1) instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan; (2) instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga; (3) petunjuk, arahan ataupun ketetapan; (4) pernyataan politik; dan (5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan implementasinya (Djogo et al. 2003). Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik (Dye 1992). Analisis kebijakan, menurut Dunn (1994) merupakan salah satu di antara sejumlah komponen dalam sistem kebijakan. Sistem kebijakan atau keseluruhan pola kelembagaan, dimana suatu kebijakan dibuat, menyangkut hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pemangku kepentingan kebijakan dan lingkungan kebijakan. Terdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan masalah yang rumit (ill-structured) (Dunn 1994). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu derajat seberapa jauh masalah merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung, perbedaan di antara masalah-masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana (wellstructured problems) adalah masalah yang melibatkan satu beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif kebijakan. Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan jangka pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang masih dapat diterima (resiko). Masalah yang agak sederhana (moderately structured problems) adalah masalah-masalah yang

58 34 melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Masalah yang rumit (illstrucured problems) adalah masalah yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan konsensus, maka karakteristik utama dari masalahmasalah yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing.

59 35 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung (gambar 5). Ketiga kecamatan ini termasuk dalam kawasan pengelolaan pariwisata (KPP) Puncak (Kabupaten Bogor 2008). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan September Gambar 5 Peta wilayah penelitian. Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, DitJen Penataan Ruang, 2008.

60 Metode Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan pencatatan langsung dilapangan, diskusi, wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari berbagai sumber, seperti hasil penelitian terdahulu, studi pustaka serta laporan dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. Selain pengumpulan data, pada kegiatan ini dilakukan pula wawancara atau diskusi dengan pihak instansi mengenai permasalahan-permasalahan di setiap bidang/aspek yang menjadi kewenangannya serta menyerap informasi mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang sedang dan akan dilakukan Sumber dan Jenis Data Sumber dan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data dan informasi yang berkaitan dengan: (1) Kebijakan spasial (produk RTR) dan kebijakan sektoral; (2) Fisik dasar, sumberdaya alam; (3) Kependudukan; (4) Sosial budaya; (5) Kecamatan dan kabupaten dalam angka; (6) Struktur dan pola pemanfaatan ruang; (7) Kegiatan perekonomian; (8) Transportasi; (9) Utilitas; (10) Pertanahan; (11) Kelembagaan; (12) Hukum dan peraturan pembangunan; (13) Pembiayaan pembangunan; (14) Kualitas lingkungan; dan (15) Kinerja pariwisata Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu pengambilan sampel secara kebetulan, yakni siapa saja pengunjung yang kebetulan ada dan dijumpai untuk diminta pendapat mereka tentang biaya perjalanan, kenyamanan dan sebagainya (Anggraeni 2009), atau cara convenience sampling yang digunakan karena tidak semua populasi dapat dideteksi dengan jelas dimana mereka berada, sehingga jika dalam satu waktu bertemu dengan wisatawan misalnya, maka langsung dapat diberikan kuesioner atau diobservasi. Guna melihat preferensi wisatawan, partisipasi masyarakat dan dampak pembangunan pariwisata terhadap kondisi lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, dilakukan terhadap sejumlah responden yang terlibat

61 37 langsung dengan objek-objek wisata di sekitar kawasan pariwisata puncak. Adapun lokasi-lokasi objek tujuan wisata (OTW) yang diamati adalah : (1) Taman Safari Indonesia; (2) Telaga Warna; (3) Wisata Agro Gunung Mas; (4) Curug Cilember; (5) Taman Melrimba; (6) Curug Panjang; dan (7) Taman Wisata Matahari. Formula penentuan sampel yang digunakan adalah sebagai berikut: N n= 1+ N ( e) n i = N N i x n n = ukuran sampel N = ukuran populasi 2 e = standar error (5-8%) n i = ukuran sample strata i N i = ukuran populasi strata i Tabel 6. Jumlah pengunjung di DTW Kawasan Puncak Tahun 2009 No Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jumlah Pengunjung (org/hari) Jumlah Sample (orang) Taman Safari Indonesia Telaga Warna Wisata Agro Gunung Mas Curug Cilember Taman Melrimba Curug Panjang Taman Wisata Matahari Total Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bogor 2009 Khusus informan kunci, diambil secara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan tujuan tertentu, dengan pertimbangan yang bersangkutan dianggap berkompeten dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden adalah seorang yang dikategorikan berdasarkan kriteria (Thamrin 2009):

62 38 1. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; 2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; 3. Memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia dan atau berada pada lokasi yang dikaji; 4. Pengakuan secara obyektif terhadap kemampuan profesional yang dimiliki oleh lingkungan akademik dan masyarakat luas. Beberapa responden yang termasuk dalam kategori pakar berdasarkan pertimbangan diatas adalah: (a) Kepala Bappeda Kabupaten Bogor; (b) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; (c) Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan; (d) Kepala Badan Perizinan Terpadu; (e) Pimpinan DPRD Kabupaten Bogor; (f) Camat Ciawi, Cisarua dan Megamendung; (g) Tokoh Masyarakat; (h) LSM; dan (i) PHRI. 3.3 Metode Analisis Berdasarkan data primer dan sekunder yang terkumpul kemudian dilakukan proses tabulasi dan pengelompokan data untuk dijadikan basis data, kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif melalui penyajian dalam bentuk tabel dan gambar. Tujuan, jenis data, sumber dan metode analisis, secara ringkas disajikan pada tabel 7.

63 39 No Tabel 7. Tujuan, jenis data, sumber, metode analisis dan output Tujuan Penelitian 1. Mengukur daya saing kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak 2. Menghasilkan analisis daya dukung objek wisata di Kawasan Puncak 3. Menghasilkan kajian kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak 4. Menghasilkan analisis tingkat keberlan jutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak 5. Menghasilkan rancangan skenario pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak Jenis Data Data jumlah wisatawan Data sarana/ prasarana Ketersediaan infrastruktur Perkembangan teknologi Pengeluaran biaya Lama tinggal Kondisi objek wisata Data Penerimaan Daerah Luas lokasi obyek wisata Waktu operasional Rata-rata waktu yang dimanfaatkan pengunjung di obyek wisata Faktor koreksi curah hujan Kapasitas infrastruktur Kapasitas manajemen yang diukur dari kebutuhan tenaga kerja, pelatihan dan proporsi anggaran pemeliharaan Sumber (Teknik Pengumpulan Data) Data survey di tempat objek wisata Data sekunder dari Dinas pariwisata Data sekunder di tempat objek wisata Pendapat pakar (survei wawancara) Survey Data sekunder, studi literatur, peraturanperaturan Data primer : Survey lokasi Kelembagaan yang Data sekunder dari terlibat dalam Dinas Pariwisata pengelolaan kawasan Data sekunder di puncak baik di tingkat tempat objek wisata nasional, provinsi Pendapat pakar maupun kabupaten (survei wawancara) Produk-produk yang Kajian kebijakan dihasilkan yang ada (studi kelembagaan tersebut literatur) terkait pengelolaan kawasan puncak Kendala dan hambatan yang dialami dalam rangka pengelolaan pariwisata Pendapat pakar terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, kelembagaan, inftrastruktur di kawasan puncak. Data-data sekunder dan primer serta wawancara para pakar. BPS dan Bappeda (survei data sekunder) Kajian kebijakan yang ada (studi literatur) Pendapat pakar (survei wawancara) Pendapat Pakar Studi Literatur Metode Analisis Data Travel Cost Methode (TCM) Indeks Daya Saing Pariwisata PCC, RCC, ECC ISM Analisis RAP- Tourism (MDS) Sistem Dinamik (Powersim) Hasil yang Diharapkan (Output) Mengukur nilai daya saing pariwisata kawasan Puncak Mengetahui nilai ekonomi lokasi objek wisata Untuk mengetahui kondisi daya dukung fisik, sebenarnya dan daya dukung efektif objek wisata di Kawasan Puncak Mengetahui kondisi kelembagaan dan faktor kunci keberhasilan pengelolaan pariwisata Merumuskan Pengelolaan pariwisata Berkelanjutan di kawasan pariwisata Puncak Merumuskan model pengelolaan pariwisata dari berbagai skenario

64 Metode Biaya Perjalanan/TCM Metode biaya perjalanan (MBP)/TCM (Travel Cost Method) adalah metode populer untuk menggambarkan permintaan jasa sumberdaya yang alami dan atribut lingkungan dan lokasi rekreasi (MPP-EAS 1999). Selanjutnya O Connor dan Spash (1998) dalam Anggraeni (2009) menyebutkan bahwa salah satu metode yang paling umum digunakan untuk mengukur manfaat lingkungan adalah metode biaya perjalanan, dimana metode ini digunakan untuk memperkirakan jumlah orang yang memperoleh akses ke tempat pemandangan yang indah dan barang lingkungan bebas. Dilakukan dengan menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan orang untuk mencapai tempat rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit terhadap upaya perubahan kualitas lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi. Metode biaya perjalanan wisata digunakan pula untuk mengetahui nilai ekonomi suatu wilayah, yang meliputi biaya transportasi pulang pergi dari tempat tinggalnya ke kawasan puncak dan pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan puncak (mencakup dokumentasi, konsumsi, parkir, karcis masuk dan lain-lain). Pendekatan ini juga berguna untuk: (1) Mengetahui permintaan jasa lingkungan pariwisata; (2) Mengukur manfaat/nilai ekonomi lingkungan; (3) Mengetahui biaya perjalanan individu; (4) Mengetahui proporsi pengeluaran biaya perjalanan. Guna menilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan MPP-EAS (1999), membagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Pendekatan sederhana melalui zonasi; 2. Pendekatan individual; 3. Pendekatan berdasarkan perjalanan pilihan/khusus. Melalui metode biaya perjalanan dengan pendekatan zonasi, pengunjung dibagi dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung dan jumlah kunjungan tiap minggu dalam penduduk di setiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk dan penelitiannya dengan menggunakan data sekunder. Guna mengetahui kurva permintaan, dibuat model permintaan yang merupakan hubungan antara jumlah kunjungan per seribu penduduk daerah asal (zona) pengunjung dengan biaya perjalanan.

65 41 Metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual menggunakan data primer yang diperoleh melalui survey. Berdasarkan kuesioner, peneliti dapat memperkirakan jumlah aktual perjalanan dan biaya yang dikeluarkan per individu. Data tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi kurva rata-rata kebutuhan individu pada setiap kunjungan. Tahapan analisisnya adalah sebagai berikut: (1) menentukan lokasi; (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan (substitusi, faktor demografi dan sebagainya); (3) menggunakan metode untuk mengestimasi biaya waktu; (4) merancang survey untuk mengumpulkan biaya perjalanan dan informasi lainya di lokasi yang dituju wisatawan; (5) melakukan survey untuk mendapatkan data yang mewakili (random) di lokasi yang dikunjungi; (6) mengestimasi kebutuhan pembiayaan; (7) mengestimasi total jumlah pengunjung di suatu tempat per musim; dan (8) menghitung consumer surplus per individu disemua lokasi. Guna menghitung biaya perjalanan dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut : BPTi = BTi + Bak+BKi + BDi + Bpi + Bli... (1) BPTi = Biaya perjalanan dari daerah i BTi = Biaya transportasi pulang pergi Bak = Biaya akomodasi BKi = Biaya konsumsi BDi = Biaya dokumentasi BPi = Biaya parkir Bli = Biaya lain-lain. Fungsi permintaan dari suatu kegiatan rekreasi dengan metode biaya perjalanan melalui pendekatan individual dapat diformulasikan sebagai berikut: Vij = f (Cij, Tij, Qij, Sij, Fij, Mi ), dimana Vij adalah jumlah kunjungan oleh individu I ketempat j, Cij adalah biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j, Tij adalah biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j, Qij adalah persepsi responden terhadap kualitas lingkungan dari tempat yang dikunjungi, Sij adalah karakteristik substitusi yang mungkin ada di daerah lain, Fij adalah faktor fasilitas-fasilitas di daerah j, Mi adalah pendapatan dari individu i. Sedangkan model biaya perjalanan pilihan/khusus digunakan untuk melihat perilaku perjalanan apakah dilaksanakan secara tidak kontinyu atau berapa kali kunjungan pada setiap musim.

66 Analisis Daya Saing Kawasan Pariwisata Guna memperoleh nilai daya saing kawasan pariwisata puncak digunakan 8 (delapan) indikator-indikator pembentuk daya saing yaitu human tourism indicator, price competitiveness indicator, infrastructure development indicator, environment indicator, technology advancement indicator, human resources indicator, openess indicator dan social development indicator. Metodologi penghitungan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dengan melakukan normalisasi indikator dengan tahapan analisis yang dilakukan adalah: Menghitung indeks pariwisata dari kedelapan indikator-indikator pembentuk Indeks daya saing yang telah dikemukakan di atas dengan formula: Normalisasi = nilai aktual nilai minimum nilai maksimum nilai minimum X c i = X c i _ minc (X c )... (2) i Max c (X c i ) Min c (X c i ) X c i adalah koefisien normalisasi suatu lokasi (c) dan variabel (i). Melakukan penghitungan index composite dari kedelapan indikator yang menentukan daya saing pariwisata. Y c k = 1/n Σ X c i... (3) Y c k adalah indeks komposit k (k = 1 sampai 8), nk adalah jumlah dari variabel dalam k, dan k adalah subset dari asosiasi indikator dalam k. Menghitung index daya saing pariwisata Z c = Σ W k Y c k.... (4) W k adalah bobot asosiasi pada setiap indikator. Nilai indek 0 menunjukan kemampuan daya saing yang rendah, sedangkan nilai 1 menunjukan kemampuan daya saing yang tinggi/baik (Craigwell 2007). Pada penelitian ini dilakukan perbandingan antara Puncak dengan Lembang. Pemilihan obyek wisata Lembang sebagai pembanding Puncak didasarkan

67 43 karena kemiripan karakteristik lokasi dan dianggap sebagai competitor Puncak terutama setelah ada akses jalan tol Cipularang. Tabel 8. Parameter, sumber data dan kegunaan No Parameter Sumber Data Kegunaan 1. Human Tourism Indicator (HTI) 2. Price Competitiveness Indicator (PCI) 3. Infastructure Development Indicator (IDI) 1. Rasio jumlah wisatawan 2. Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB 1. Pengenaan retribusi 2. Tarif hotel 3. Pendapatan perkapita 1. Volume/kapasitas jalan 2. Cakupan pelayanan air bersih Menunjukkan pencapaian perkembangan ekonomi daerah akibat kedatangan turis Harga komoditi yang dikonsumsi oleh turis selama berwisata Menunjukkan perkembangan infrastruktur. 4. Environment Indicator (EI) 1. Kepadatan penduduk Menunjukkan kualitas lingkungan dan kesadaran penduduk 5. Technology Advancement Indicator (TAI) 6. Human Resources Indicator (HRI) 1. Penggunaan telepon, internet 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Perkembangan infrastruktur dan teknologi tinggi Kualitas SDM di daerah destinasi 7. Openess Indicator (OI) 8. Social Development Indicator (SDI) 1. Jumlah wisatawan mancanegara 1. Rata-rata lama tinggal 2. Kamtibmas Tingkat keterbukaan destinasi terhadap turis internasional Menunjukkan kenyamanan dan keamanan turis berwisata Sumber data yang digunakan berasal dari data sekunder dari berbagai instansi di kedua lokasi dengan tahun perbandingan yang sama, yaitu tahun 1996 sampai dengan tahun Analisis Daya Dukung Wisata Pengembangan suatu daerah tujuan wisata akan dibatasi oleh daya dukung suatu lokasi obyek wisata. Pada penelitian ini daya dukung yang diukur adalah daya dukung di 7 obyek wisata yang diamati yaitu Taman Safari

68 44 Indonesia,Telaga Warna,Wisata Agro Gunung Mas, Curug Cilember, Taman Melrimba, Curug Panjang dan Taman Wisata Matahari. Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung fisik kawasan wisata terhadap jumlah maksimal ditentukan dengan menggunakan penghitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung sebenarnya (RCC) dan daya dukung efektif (ECC) menurut Maldonado dan Montagnini (2001) dalam Khair Uzunu (2006). Penghitungan kapasitas daya dukung kawasan meliputi: Daya dukung fisik/physical Carrying Capacity (PCC), yaitu jumlah maksimal pengunjung yang dapat secara fisik memenuhi suatu ruang yang telah ditentukan pada waktu tertentu; Daya dukung sebenarnya/real Carrying Capacity (RCC), yaitu jumlah kunjungan maksimal yang diperbolehkan untuk sebuah lokasi segera sesudah faktor-faktor koreksi diturunkan dari ciri khusus suatu tempat yang telah diberlakukan PCC; Daya dukung efektif/effective Carrying Capacity (ECC), yaitu jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh suatu tempat dengan adanya ketersediaan pengelolaan kapasitas (management capacity/mc). (1) Penghitungan PCC Perhitungan daya dukung fisik dalam bentuk formula sebagai berikut : PCC = A x V/a x Wt/Wp.... (5) Keterangan: PCC = Daya dukung fisik (orang) A = Luas areal yang tersedia untuk pemanfaatan umum V/a = Area yang dimanfaatkan oleh 1 pengguna per m 2 Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari) Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam/hari). Kriteria dan asumsi dasar yang diperhitungkan dalam menetapkan PCC adalah bahwa seseorang pada umumnya membutuhkan ruang horizontal seluas 15 m 2 untuk dapat bergerak bebas (Wong 1991 dalam Rahmawati 2009).

69 45 (2) Penghitungan RCC Daya dukung sebenarnya dihitung dengan menggunakan formula : RCC = PCC Cf1 Cf2 Cfn..... (6) Asumsi yang digunakan untuk mengukur RCC adalah : a. Faktor koreksi (Cf), diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik lingkungan dan manajemen. b. Faktor koreksi (Cf) berkaitan erat dengan kondisi spesifik dan karakteristik tiap tempat dan kegiatan. c. Faktor koreksi (Cf) diutarakan dalam bentuk persentase dengan rumus : Cf = M1 x 100 % Mt Keterangan : M1 = pembatas ukuran variabel Mt = Jumlah ukuran variabel Maka untuk mengukur daya dukung sebenarnya (RCC), digunakan rumus sebagai berikut: RCC = PCC x 100 Cf1 x 100 Cf2 x 100 Cfn......(7) (3) Penghitungan ECC Setelah diketahui RCC, selanjutnya dihitung daya dukung efektif atau yang diizinkan (ECC), dengan rumus: ECC = [ Kapasitas Infrastruktur x MC] x 100%.....(8) RCC Keterangan: ECC = Daya dukung efektif atau yang diizinkan MC = Kapasitas manajemen yang berdasarkan jumlah staf dan anggaran RCC = Daya dukung yang sebenarnya Asumsi yang digunakan untuk menentukan ECC adalah sebagai berikut : - MC didefinisikan sebagai penjumlahan kondisi yang dibutuhkan dalam pengelolaan SDA jika fungsi dan tujuan pengelolaannya dijalankan. - Ketika kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi mendukung.

70 46 - MC dikemukakan dengan persentase sebagai berikut : MC = Kapasitas staf yang ada x 100%... (9) Kapasitas staf yang diperlukan Kapasitas infrastruktur (IC) dilakukan berdasarkan data lokasi. Kapasitas infrastruktur di kawasan dirumuskan dengan : IC = [waktu buka lokasi per hari/waktu tempuh jalur dalam kawasan (menit)] x jumlah jalur + pemilik resmi + pemegang izin Berdasarkan rumus PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah diperbaiki (dikurangi ) dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar dari jumlahnya dari RCC dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC yang dapat dinotasikan dengan : PCC > RCC dan RCC ECC Persamaan diatas menjadi standar dalam menentukan kapasitas daya dukung fisik suatu kawasan. Jika ECC lebih besar dari RCC dan RCC lebih besar dari PCC, berarti jumlah pengunjung yang memasuki kawasan wisata telah melewati daya dukung fisik kawasan Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) Analisis keberlanjutan pengembangan kawasan pariwisata dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang merupakan pengembangan dari model rapfish. Model RAPFISH (rapid appraisal for fisheries) telah digunakan oleh University of British Columbia, Canada, tahun 1998 untuk menilai status keberlanjutan sistem usaha perikanan yang multi disiplin (Budiharsono 2005). Melalui RAPFISH maka status keberlanjutan sistem usaha perikanan yang kompleks dapat dinilai secara cepat, namun hasilnya cukup dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif. Penilaian dilakukan melalui pengkuantifikasian atribut-atribut berpengaruh terhadap keberlanjutan dengan skoring (Marhayudi 2006). Analisis keberlanjutan ini, dinyatakan dalam indeks keberlanjutan pengembangan kawasan pariwisata, merupakan modifikasi dari RAPFISH yang menempatkan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode multi dimensional scaling. MDS merupakan salah satu metode multi variate yang

71 47 dapat menangani data metrik (skala ordinal atau nominal). Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce space) (Thamrin 2009). Ordinasi sendiri merupakan proses ploting titik obyek di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre dalam Thamrin 2009). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. MDS juga merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah (Thamrin 2009). Dalam Rap-tourism (rapfish modified) ini, obyek yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin dengan titik asal. Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δ ij ) dengan persamaan : d ij = α + βδ ij + ε...(10) Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah dengan metoda least square yang didasarkan pada akar dari euclidian distance (squared distance) atau disebut dengan ALSCAL. Metoda ALSCAL ini mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j, k), formula nilai S-Stress dihitung sebagai berikut : ( d m ijk oijk ) 1 i j S= 4 m = k 1 oijk i j... (11) dimana jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang diberi pembobotan atau ditulis dengan : d 2 ijk = w r ( xia x ja a= 1 ka ) 2... (12)

72 48 Pengukuran tingkat kesesuaian atau kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS merupakan ukuran ketepatan (how well) dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dalam MDS ditentukan oleh nilai S- Stress yang dihasilkan dari perhitungan nilai S tersebut. Nilai stress rendah menunjukkan good of fit, sementara nilai S tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam Rap-Tourism, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S<0,25). Analisis ini dapat memungkinkan untuk menganalsis leverage (sensitivitas dari pengurangan atribut terhadap skor keberlanjutan). Leverage dihitung berdasarkan standard error perbedaan antara skor dengan atribut dan skor yang diperoleh tanpa atribut. Rapfish modified ini juga memperhitungkan aspek ketidakpastian dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis monte carlo. Ketidakpastian ini disebabkan oleh (Fauzi et al. 2005): 1. Dampak kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi; 2. Dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian; 3. Kesalahan dalam entry data; 4. Tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL. Analisis monte carlo merupakan metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak / galat (random error) dalam analisis statistik (Kavanagh dan Pitcher 2004) yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Dalam hal ini analisis monte carlo dilakukan dengan metoda scatter plot yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi. Tahapan analisis meliputi langkah-langkah sebagai berikut (Thamrin 2009 dan Suwarno 2011): a. Mengevaluasi dan menetapkan atribut dari kelima dimensi (review atribut) Atribut merupakan parameter dari dimensi yang mewakili kondisi pariwisata Kawasan Puncak. Atribut yang telah disusun kemudian dilakukan evaluasi untuk dilihat hubungan antar atribut, apakah memiliki hubungan linier atau tidak. Jika terdapat hubungan linier maka disatukan menjadi satu atribut. Evaluasi dan penetapan atribut dilakukan dengan pendekatan scientific judgement berdasarkan pendekatan keilmuan yang sesuai baik berdasarkan hasil kajian maupun penelitian maupun sumber pustaka lainnya serta

73 49 berdasarkan masukan-masukan pada saat pelaksanaan focus group discussion. Penetapan atribut juga dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data dari atribut tersebut; b. Memberikan penilaian terhadap setiap atribut yang telah disusun dari masingmasing dimensi dalam skala ordinal 0-2 Masing-masing atribut dari setiap dimensi dilakukan penilaian berdasarkan scientific judgement oleh para pakar sesuai dengan kondisi atribut terkini dibandingkan dengan standar yang berlaku maupun pada kondisi normal. Pemberian skor ordinal pada rentang 0-2, atau sesuai dengan karakter atribut yang menggambarkan strata penilaian dari terendah (0) sampai yang tertinggi (2). Skor 0 adalah buruk (bad) dan skor 2 adalah baik (good). Penilaian atribut dilakukan dengan membandingkan kondisi atribut dengan memberikan penilaian buruk (0), sedang (1), dan baik (2); c. Menghitung nilai indeks dan menilai status keberlanjutan Penilaian terhadap keseluruhan atribut dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dikategorikan kedalam baik, cukup baik, kurang baik dan buruk. Asumsi bahwa kinerja pengelolaan terletak antara 0 sampai 100 atau buruk sampai ke baik. Hasil penilaian kinerja atribut dari masing-masing dimensi dipetakan kedalam dua titik acuan yang merupakan titik buruk (bad) dan titik baik (good). Posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0 (buruk) dan 100 (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 (> 50), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50 (<50). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada gambar 6. Buruk Baik Gambar 6. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengembangan kawasan pariwisata dalam skala ordinasi.

74 50 Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada gambar 7. Dimensi Ekologi Dimensi Hukum- Kelembagaan Dimensi Ekonomi Dimensi Sarana Prasarana Dimensi Sosial-Budaya Gambar 7. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi. d. Menentukan faktor pengungkit (leverage factor) Faktor pengungkit adalah atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan. Semakin besar nilai RMS maka semakin besar peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher 2004). Analisis Rap-Tourism memungkinkan untuk menganalisis leverage (sensitivitas atribut terhadap nilai indeks keberlanjutan). Leverage dihitung berdasarkan standard error perbedaan antara skor dengan atribut dan skor yang diperoleh tanpa atribut. Faktor pengungkit dapat dilihat dari hasil olahan Rap-Tourism dengan nilai root means square (RMS) tertinggi (maksimum) sampai dengan nilai setengahnya dari tiap-tiap dimensi keberlanjutan; e. Analisis Monte Carlo Analisis monte carlo dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis monte carlo kemudian dibandingan dengan hasil analisis MDS. Berdasarkan hasil perbandingan ini jika perbedaannya kecil maka menunjukkan bahwa dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil, dampak dari variasi beberapa pemberian skor terhadap atribut relatif kecil, penilaian dengan MDS yang berulang-ulang menjadi stabil, kesalahan data atau kehilangan data menjadi relatif kecil. Membandingkan hasil analisis monte carlo (MC) dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan 5% sehingga diperoleh bahwa selisih nilai kedua analisis tersebut lebih besar (MC- MDS>5%) atau lebih kecil (MC-MDS<5%). Jika nilai selisih kedua analisis ini

75 51 >5% maka hasil analisis MDS tidak memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan dan jika nilai selisih kedua analisis tersebut <5% maka hasil analisis MDS memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan; f. Penilaian ketepatan (goodness of fit) Ketepatan analisis MDS (goodness of fit) ditentukan oleh nilai S-Stress yang dihasilkan dari perhitungan nilai S tersebut. Nilai stress rendah menunjukkan ketepatan yang tinggi (good of fit), sementara nilai S tinggi menunjukkan sebaliknya. Rap-Tourism yang dimodifikasi ini, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 dan sebaliknya jika nilai stress lebih tinggi dari 0,25 maka hasil MDS memiliki ketepatan yang rendah Analisis Kelembagaan dengan Interpretive Structural Modelling (ISM) Interpretive structural modeling pertama kali digunakan oleh J. Warfield 1973 untuk menganalisis sistem sosial dan ekonomi yang kompleks (Salimifard 2010). ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, dipakai untuk menangani kebiasaan yang sulit dirubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif (Marimin 2008). Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural (interpretive structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan kelembagaan dimasa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno 2007). Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur didalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Hierarki a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah sub elemen; b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih

76 52 dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol: V jika e ij = 1 dan e ji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j; A jika e ij = 0 dan e ji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i; X jika e ij = 1 dan e ji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama; O jika e ij = 0 dan e ji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani; Pengertian nilai e ij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai e ji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j; c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0;

77 53 Tabel 9. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen Setelah Structural Self Interaction Matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil Reachability Matrix (RM) final elemen disajikan pada tabel 10. Tabel 10. Hasil reachability matrix (RM) final elemen DP R D L Keterangan : DP = driver power R = ranking D = dependence L = level/hierarki

78 54 Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui nilai driver power, dengan menjumlahkan nilai sub elemen secara horizontal; untuk nilai ranking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. 2. Klasifikasi Sub Elemen Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam empat sektor, yaitu: a) Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (autonomous). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP 0,5 X dan nilai D 0,5 X, X adalah jumlah sub elemen; b) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP 0,5 X dan nilai D > 0,5 X, X adalah jumlah subelemen; c) Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (linkage). Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0,5 X dan nilai D > 0,5 X, X adalah jumlah subelemen; d) Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (independent). Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika Nilai DP> 0,5 X dan nilai D 0,5 X, X adalah jumlah subelemen. Analisis matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada gambar 8.

79 55 Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai alternatif penyusunan skenario pengembangan pariwisata di Kawasan Puncak. Pengumpulan data primer untuk menggali pendapat pakar tentang kelembagaan pengelolaan pariwisata dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Pemilihan elemen dan subelemen, diperoleh berdasarkan hasil focus group discussion dengan berbagai instansi pemerintah LSM, Tokoh Masyarakat, perguruan tinggi dan asosiasi. Selain itu digunakan pula data-data sekunder berupa laporan dan hasil penelitian sebelumnya. Elemen dan sub elemen yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

80 56 Tabel 11. Elemen dan subelemen dalam kajian pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak No Elemen Sub Elemen 1 Lembaga 1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 11. Satpol PP yang terkait 2. Kepolisian 12. PHRI dalam 3. Dinas Tata Ruang dan Pertanahan 13. LSM pengelolaan 4. DLLAJ 14. Perum Perhutani pariwisata di 5. Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman 15. ASITA kawasan 6. Bappeda 16. BPD Puncak 7. Badan Perizinan Terpadu 17. Badan Lingkungan Hidup 8. Pemerintah Kecamatan 18. Kelompok Budayawan 9. Pemerintah Provinsi Jawa Barat 19. Pemerintah Pusat 10. Pemerintah Desa 20. Perbankan 2 Kendala dalam Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak 3 Tujuan yang diinginkan terhadap kelembagaan pengelola pariwisata di kawasan Puncak 4 Aktivitas/ program yang diperlukan dalam mendukung pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak 1. Tumpang tindih kewenangan antar instansi vertikal maupun horisontal 2. Keterbatasan pendanaan 3. Lemahnya sistem pendataan dan pelaporan 4. Rendahnya kualitas SDM 5. Lemahnya penerapan sangsi dan penghargaan 6. Rendahnya keterlibatan kelembagaan diluar pemerintah 7. Lemahnya standar operasional prosedur lembaga 8. Tidak adanya manajemen terintegrasi dalam pengelolaan pariwisata 9. Rendahnya dukungan sarana dan prasarana 10. Belum adanya target kinerja yang disepakati di setiap lembaga 11. Penyusunan program dan rencana kerja yang tidak tepat sasaran 12. Lemahnya aktivitas evaluasi dan pengendalian 1. Terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam aktivitas wisata 3. Tersusunnya perencanaan program pariwisata yang komprehensif/holistik dan berkelanjutan 4. Penyelesaian kendala dan permasalahan dapat dilaksanakan lebih cepat dan tepat 5. Meningkatnya pelayanan kepada masyarakat 6. Terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasan puncak yang efisien dan efektif 7. Terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di kawasan puncak 8. Terlaksananya penegakan hukum secara tegas dan jelas 9. Terkoordinirnya pendataan dan pelaporan sebagai bahan kebijakan lebih lanjut 10. Terkoordinirnya pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak 11. Terwujudnya satu peraturan yang komprehensif yang memadukan berbagai peraturan yang ada 1. Peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata 2. Peningkatan sarana dan prasarana pengelola pariwisata 3. Membentuk institusi khusus yang menangani pengelolaan kawasan puncak secara terpadu 4. Menyusun pola perencanaan pengelolaan pariwisata terpadu di Kawasan Puncak 5. Inventarisasi/pendataan seluruh kondisi dan potensi kawasan Puncak 6. Kerjasama pendanaan lintas sektoral/lembaga 7. Evaluasi kebijakan/peraturan yang diberlakukan di kawasan Puncak 8. Sinkronisasi visi, misi, program dan target 9. Meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata 10. Pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi 11. Menyusun dan mengintegrasikan berbagai regulasi dan juklak/juknis pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak

81 Analisis Isi (Content Analysis) Analisis Isi (content analysis) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah teks. Teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Sesuai tujuannya, maka metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Beberapa pertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan metode Analisis Isi, yaitu: (1) Pertanyaan tentang prioritas/hal penting dari isi teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari peristiwa yang direpresentasikan; (2) Pertanyaan tentang bias informasi dalam teks, seperti komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan dalam berbagai representasi; (3) Perubahan historis dalam modus representasi. Penelitian Analisis Isi kuantitatif adalah jenis penelitian teks media kuantitatif, yang digunakan untuk menganalisa kata (word), Gerak (action) dan gambar (picture). Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis; satu kata tunggal, kalimat, adegan, gagasan, tema, bahkan keseluruhan isi pesan. Content analysis is a tool for objective, systematic study of message content (analisis isi adalah teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak (Creswell dan John, 2007) Menurut Krippendorff (1991) Analisis Isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi (cara data dikaitkan dengan konteksnya) yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Sedangkan menurut Stemler (2001) content analysis merupakan teknik kualitatif yang menganalisis frekuensi kata, frasa atau kalimat yang terkandung dalam dokumen tertulis dan mengasumsikan bahwa frekuensi yang tinggi dapat diartikan sebagai refleksi suatu perhatian yang besar terhadap variabel tersebut Analisis Sistem Dinamik Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari

82 58 sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Melalui berfikir kesisteman dan pendekatan sistem ini kita akan dapat melihat permasalahan dengan perspektif yang lebih menyeluruh yang mencakup struktur, pola serta keterkaitan antara komponen-komponen atau kejadiankejadian yang ada padanya, jadi tidak hanya kepada kejadian yang tunggal dan langsung dihadapi. Berdasarkan perspektif yang luas ini kita akan dapat mengidentifikasi seluruh rangkaian sebab-akibat yang ada dalam permasalahan tersebut dan menentukan dimana sebaiknya kita harus memulai tindakan pemecahannya (Tunas 2007). Analisis model dinamik dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak Powersim. Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Muhammadi et al. 2001). Analisis dan simulasi sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program Powersim Constructor. Pada pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem,

83 59 pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada gambar 9. Gambar 9. Tahapan analisis sistem (Eriyatno 1999 ) Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan yang merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang pengambil keputusan (decision maker) terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat seorang ahli, diskusi, observasi lapangan dan sebagainya (Eriyatno 1999). Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk mendefinisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam pengembangan pariwisata Puncak sebagai berikut: a. Wisatawan, kebutuhan wisatawan adalah: (a) merasakan kenyamanan dalam berwisata; (b) kebersihan lingkungan di tempat wisata; (c) tidak menemui kemacetan lalu lintas ke daerah destinasi; (d) dapat memanfaatkan sarana dan prasarana wisata yang lengkap; (e) mendapatkan pelayanan yang baik; (f) tidak mendapatkan gangguan keamanan dan ketertiban selama berwisata;

84 60 b. Masyarakat, kebutuhan masyarakat adalah: (a) meningkatnya pendapatan; (b) mendapatkan kesempatan bekerja dan berusaha di daerah wisata; (c) kegiatan wisata tidak menimbulkan dampak negatif terhadap budaya lokal; (d) lingkungan tetap terjaga walaupun banyak kunjungan wisata; (e) kesehatan masyarakat terjaga; (f) tingginya jumlah wisatawan tidak mengakibatkan kemacetan lalu lintas; c. Pengusaha Wisata, kebutuhannya adalah: (a) keuntungan yang meningkat; (b) tingginya jumlah kunjungan wisata; (c) lancarnya sarana transportasi menuju tempat wisata; (d) tersedianya jaringan infrastruktur seperti listrik, telepon, air bersih; (e) mudahnya perizinan wisata; (f) kepuasan para wisatawan; (g) terjaganya keamanan dan ketertiban lingkungan; (h) Mudahnya mendapatkan tenaga kerja setempat yang terampil; d. Pemerintah, kebutuhannya adalah: (a) meningkatnya pendapatan daerah; (b) berkurangnya pengangguran dan kemiskinan; (c) meningkatnya citra kawasan pariwisata puncak; (d) kebersihan lingkungan; (e) kenyamanan berwisata; (f) meningkatnya jumlah kunjungan wisata; (g) tidak adanya konflik sosial budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal; (h) berkurangnya bangunan liar dan PKL; dan (i) tidak terjadinya pencemaran lingkungan. Bentuk tabulasinya adalah sebagai berikut:

85 61 No Komponen info Tabel 12. Analisis kebutuhan stakeholder Stakeholder Pemerintah wisatawan masyarakat Pengusaha 1 Pendapatan Daerah VV Berkurangnya pengangguran VV - V 3 Citra kawasan puncak VV - V V 4 Berkurangnya kemiskinan VV - - V 5 Kebersihan lingkungan V V V V 6 Kenyamanan berwisata 7 Jumlah kunjungan wisata 8 Tidak ada konflik sosbud 9 Berkurangnya bangunan liar dan PKL 10 Tidak terjadi pencemaran V VV V V V V VV VV V V VV VV V V V VV V V V 11 Keuntungan meningkat V VV 12 Tidak terjadi kemacetan V VV VV V 13 Jaringan infrastruktur V VV V VV 14 Mudahnya perizinan wisata 15 Layanan Informasi iklim dan cuaca 16 Stabilitas, ketertiban dan keamanan V VV V VV V VV V VV V VV 17 Kepuasan wisatawan V VV V 18 Kualitas SDM tenaga kerja V 19 Pengaturan ruang VV V 20 Pelayanan wisata VV V 21 Pendapatan masyarakat 22 Penyediaan lapangan kerja V V VV VV VV Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem.

86 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi Guna memahami struktur dan perilaku sistem digunakan diagram lingkar sebab akibat (causal loops) dan diagram alir (flow chart). Diagram lingkar sebab akibat dibuat dengan cara menentukan peubah penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke peubah akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua peubah saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram lingkar sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis. Pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah proses perumusan mekanisme peubah-peubah yang bekerja dalam suatu sistem ke dalam bahasa gambar, sekaligus merupakan langkah awal dari identifikasi sistem yang digunakan untuk menyederhanakan kerumitan dalam rangka menciptakan sebuah konsep model. Dua terminologi penting dalam pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah keadaan (level) dan proses (rate). Prinsip dasar pembuatan diagram lingkar sebab-akibat dalam penerapan berfikir sistem adalah dengan logika: proses sebagai sebab yang menghasilkan keadaan (proses keadaan), atau sebaliknya keadaan sebagai sebab yang menghasilkan proses (keadaan proses). Informasi tentang hal ini menghasilkan pengaruh sebabakibat yang dapat secara searah ( ) maupun berlawanan arah ( ). 1. Level Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Dalam konsep sistem, level dikenal sebagai state variable. Level dapat dibayangkan sebagai suatu tangki air yang mengakumulasikan perbedaan air masuk dengan air keluar. Dalam diagram alir system dynamics, level dilukiskan dengan simbol persegi panjang (Hartrisari 2007); Persamaan powersim untuk aliran level adalah: Init LEV = Kondisi awal Flow LEV =-dt*(rk) + dt*(rm)

87 63 Keterangan : LEV = level (unit) RM = rate (laju) masukan RK = rate (laju) keluaran dt = interval waktu simulasi (suatu waktu) Init = initial = nilai awal Flow = Flow (aliran) untuk variabel level; 2. Rate Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level. Oleh sebab itu rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan simbol katup dan panah yang menuju level. Sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katup yang dihubungkan dengan panah yang menunjuk pada sink; 3. Source dan Sink Simbol awam menunjukkan source dan sink suatu material yang mengalir ke dalam dan ke luar suatu level; 4. Information Link Aliran informasi dalam powersim dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel di dalam suatu sistem, jika suatu aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level; 5. Variable Auxiliary Variable auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate. Atau dapat pula dikatakan bahwa variable auxiliary adalah suatu variabel yang membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variable auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh; 6. Parameter (konstanta) Konstanta adalah suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi. Konstanta dalam powersim digambarkan dengan simbol belah ketupat; 7. Delay Dalam menggambarkan delay dibutuhkan penghubung panah bergaris yang menunjukkan delay dan panah sebagai aliran informasi, jika nilai awal delay

88 64 sama dengan variabel input. Jika nilai awalnya ditetapkan terlepas dari variabel input maka hanya dibutuhkan satu panah delay sebagai penghubung. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebabakibat (causal loop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Pada langkah identifikasi sistem, terdapat konsep black box (kotak gelap), yang tidak diketahui apa yang terjadi didalamnya, tetapi hanya diketahui dari input yang masuk dan output yang keluar dari kotak gelap tersebut. Dalam menyusun kotak gelap harus diketahui tiga informasi yaitu, peubah input, peubah output, dan paremeter yang membatasi sistem (Eriyatno 1999). Diagram kotak gelap terdiri dari input lingkungan, input terkendali dan tidak terkendali, output dikehendaki dan tidak dikehendaki, parameter dan manajemen pengendalian (Eriyatno 2003). Uraian komponen sistem dari kotak gelap tersebut adalah sebagai berikut:

89 65 Tabel 13. Uraian komponen sistem kotak gelap (black box) NO KOMPONEN SISTEM URAIAN A. Input Sistem 1 Input Lingkungan (Eksogenous) 1. Mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi sistem 2. Tergantung pada jenis sistem yang ditelaah 2 Input yang endogen (yang terkendali dan tidak terkendali ) 1. Merupakan peubah yang sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsinya yang dikehendaki 2. Sebagai peubah untuk mengubah kinerja sistem dalam pengoperasiannya a. Input yang terkendali 1. Dapat bervariasi selama pengoperasian sistem untuk mencapai kinerja yang dikehendaki atau untuk menghasilkan output yang dikehendaki 2. Perannya sangat penting untuk mengubah kinerja sistem selama pengoperasian 3. Dapat meliputi aspek manusia, bahan, energi, modal dan informasi b. Input yang tidak terkendali 1. Tidak cukup penting perannya dalam mengubah kinerja sistem 2. Tidak diperlukan agar sistem dapat berfungsi 3. Bukan merupakan input lingkungan (eksogenous) karena disiapkan oleh perancang B Output Sistem 1 Output yang dikehendaki 1. Merupakan respon sistem terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan (dalam analisis kebutuhan) 2. Merupakan peubah yang harus dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang telah diidentifikasi 2 Output yang tidak dikehendaki 1. Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki 2. Selalu diidentifikasikan dalam tahap identifikasi sistem, terutama semua pengaruh negatif yang potensial dapat dihasilkan oleh sistem yang diuji 3. Sering merupakan kebalikan dari keluaran yang dikehendaki. C Parameter 1. Digunakan untuk menetapkan struktur sistem 2. Merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi kebutuhan yang ditetapkan 3. Dalam beberapa kasus kadang-kadang perlu merubah peubah ini selama pengoperasian sistem untuk membuat kemampuan sistem bekerja lebih baik dalam keadaan lingkungan berubah-ubah 4. Tiap sistem memiliki paremeter rancangan khas tersendiri untuk identifikasi D. Manajemen Pengendali Merupakan faktor pengendalian (kontrol) terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki

90 Pemodelan Sistem Pemodelan sistem merupakan simplifikasi dari sistem yang dihadapi. Model dapat juga didefinisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspek-aspek tertentu. Pendekatan kesisteman merupakan penerapan sistem ilmiah dalam manajemen yang dapat memberikan dasar untuk memahami adanya penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Melalui pendekatan kesisteman dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi (Marimin 2004). Perilaku sistem dikelompokan menjadi empat (Muhammadi et al. 2001), yaitu : a. Pembelajaran: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas kemampuan sistem untuk menciptakan keluaran berdasarkan proses sebelumnya; b. Emerjensi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas pemunculan realitas baru yang tidak terduga dalam sistem; c. Ko-evolusi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas perilaku mikro mempengaruhi perilaku makro; d. Non Linearitas: proses perubahan tidak berbanding lurus, non linearitas merupakan perilaku hasil dari terjadinya kombinasi antara simpul positif dan simpul negatif, dimana simpul negatif mengalami waktu tunda. Bentuk lain dari non linearitas adalah random Perangkat Lunak Simulasi Untuk melakukan simulasi dari sebuah model, diperlukan perangkat lunak (software) yang secara cepat dapat melihat perilaku dari model yang telah dibuat. Ada berbagai macam perangkat lunak yang dapat digunakan untuk keperluan ini, seperti Vensim, Dynamo, Ithink, Stella dan Power Simulation (Kholil dan Dwiharyadi 2008). Tetapi dalam penelitian ini, software yang digunakan adalah power simulation (powersim). Powersim digunakan untuk membangun dan melakukan simulasi suatu model dinamik. Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik dan sudah merupakan bagian dari dirinya. Pada waktu mensimulasikan model, variabel-variabel akan saling

91 67 dihubungkan membentuk suatu sistem yang dapat menirukan kondisi sebenarnya. Pada perangkat lunak powersim, suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara variabel-variabel itu dinamakan stock flow diagram. Model yang dibangun dengan menggunakan perangkat lunak powersim berbentuk simbol-simbol dan simulasinya mengikuti suatu metode yang dinamakan dinamika sistem yang telah dikembangkan pada sekitar awal an. Simbol yang digunakan ditampilkan pada tabel 14. Tabel 14. Simbol-simbol diagram alir (Muhammadi et al. 2001) Simulasi Model Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses dimasa depan. Guna membuat simulasi diperlukan tahapan berikut: (a) penyusunan konsep; (b) pembuatan model; (c) simulasi dan validasi hasil simulasi Validasi Model Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari suatu pekerjaan ilmiah, kegiatan yang dilakukan untuk menilai kesesuaian antara keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem nyata atau untuk memeriksa kesesuaian antara perilaku model matematik dengan perilaku sistem yang diwakili (Eriyatno dan Sofyar 2006). Validasi bertujuan untuk proses yang ditirukan. Dalam validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi

92 68 kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaraan yang taat data empiris. Model dapat dikatakan baik jika mudah dikomunikasikan, dapat memberikan pemahaman terhadap perilaku model, dan masih terbuka untuk perbaikan sistem. Adapun rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE (Barlas 1996) seperti di bawah ini. a) AME b) AVE S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual dan interval waktu pengamatan. Ss dan SA adalah nilai standar deviasi simulasi dan nilai standar deviasi aktual.

93 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Rumusan Masalah Analisis Wisatawan INPUT LINGKUNGAN Tujuan Penelitian Analisis Biaya Perjalanan Analisis Daya Saing Analisis Daya Dukung Analisis Kelembagaan I N P U T BLACK BOX OUTPUT Tidak dikehend aki Dikehen daki Analisis Kebijakan SKENARIO Analisis Keberlanjutan KEBIJAKAN PROGRAM KEGIATAN Gambar 10. Tahapan penelitian dan metode analisis.

94 70 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bogor Aspek Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Bogor terletak antara 6 o 19 6 o 47 LS dan 106 o o 103 BT. Sebelah Utara, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kota Depok dan DKI Jakarta, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan tengah-tengah terletak Kota Bogor. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, sebelah Barat Daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang serta di sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± ,304 Ha, dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian Utara hingga dataran tinggi di bagian Selatan, yaitu sekitar 29,28% berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian meter dpl, 8,43% berada pada ketinggian meter dpl dan 0,22% berada pada ketinggian meter dpl. Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 428 Desa/Kelurahan, RW dan RT. Mayoritas desa di Kabupaten Bogor mempunyai ketinggian kurang dari 500 m pada permukaan laut, yaitu sebanyak 234 desa, sedangkan diantara m terdapat 144 desa dan selebihnya sekitar 50 desa berada lebih dari 500 m dari permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi daerah, yang dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial di wilayah Kabupaten Bogor terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 96 desa dan desa pedesaan sebanyak 332 desa.

95 71 Tabel 15. Banyaknya desa menurut desa perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Bogor Tahun 2008 No. Kecamatan Desa Perkotaan Desa Pedesaan Jumlah 1 Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakanmadang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Parung Panjang Kabupaten Bogor Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Bogor 2009

96 Aspek Geomorfologis Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor. Dataran rendah Kabupaten Bogor terletak di bagian Utara Kabupaten Bogor, tepatnya di lembah Sungai Ciliwung dan Cisadane, sedangkan dataran tinggi terletak di wilayah bagian Selatan, berupa pegunungan, dengan puncak Gunung Halimun (1.764 m), Gunung Salak (2.211 m) serta Gunung Pangrango (3.018 m), yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Kabupaten Bogor terletak pada ketinggian m dari permukaan laut. Desa yang tersebar di Kabupaten Bogor mayoritas memiliki ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut. Rincian ketinggian dan persentase wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 16. Pembagian wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan ketinggian tempat No Pembagian Wilayah Ketinggian Tempat (m DPL) Persentase (%) 1 Wilayah Dataran Rendah ,28 2 Wilayah Dataran bergelombang ,62 3 Wilayah Pegunungan ,53 4 Wilayah Pegunungan Tinggi ,34 5 Wilayah Puncak Gunung ,22 Sumber: Rencana Strategi Kabupaten Bogor Kemiringan lahan di Kabupaten Bogor cukup bervariasi dari 0% - 100% dan dikelompokkan menjadi empat, selengkapnya dapat dilihat pada tabel 17.

97 73 Tabel 17. Kemiringan lahan di Kabupaten Bogor Kelompok Kemiringan Kecamatan 1 0 5% Nanggung, Cigudeg dan Gunung Sindur % Jonggol, Rumpin, Cariu, Parung Panjang, Tenjo, Pamijahan, Leuwiliang dan Jasinga % Cijeruk, Ciempea, Dramaga, Bojonggede, Parung, Megamendung, Cisarua, Cibungbulang, Caringin, Ciomas, Cileungsi dan Kemang % Citeureup, Ciawi, Sukaraja, Gunung Putri dan Cibinong Sumber: Rencana Strategi Kabupaten Bogor Aspek Klimatologi Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah (tipe A) di bagian Selatan dan iklim tropis basah (tipe B) di bagian Utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, kecuali di wilayah bagian Utara dan sebagian kecil wilayah Timur curah hujan kurang dari mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25 C. Iklim panas hampir meliputi semua wilayah Kabupaten Bogor, baik Bogor bagian Barat, Bogor Tengah maupun Bogor Timur. Sementara iklim sejuk dan sejuk sekali berada di beberapa wilayah Bogor Barat dan Bogor Tengah, seperti di Kecamatan Rumpin, Cijeruk, Leuwiliang, Nanggung, Pamijahan, Cigudeg, Nanggung, Ciawi dan Cisarua. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/bulan. Curah hujan tahunan berkisar antara mm sampai lebih dari mm/tahun Aspek Demografi dan Sosial Budaya Kependudukan Kabupaten Bogor sebagian besar terdiri dari etnik suku bangsa Sunda dan sebagian suku Betawi. Bahasa utama adalah bahasa Sunda. Pembangunan daerah bidang kesejahteraan sosial berkaitan dengan kualitas manusia dan masyarakat Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut tercermin pada kuantitas dan kualitas penduduk seperti pendidikan, kesehatan, tingkat kemiskinan, kesempatan kerja, pemuda, olahraga, kebudayaan dan tingkat kriminalitas.

98 74 Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan menitikberatkan pada upaya rintisan akselerasi penuntasan program wajib belajar 9 tahun melalui pendidikan formal maupun non formal. Pada rentang tahun , indeks pendidikan meningkat dari 75,60 pada tahun 2003 menjadi 78,39 pada tahun 2010 atau sebesar 2,79 poin. Pencapaian indeks pendidikan merupakan gabungan dari Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). AMH meningkat dari 92,80% pada tahun 2003 menjadi 95,02% pada tahun Rata-rata lama sekolah meningkat dari 6,18 tahun pada tahun 2003 menjadi 7,98 tahun pada tahun 2010 atau sebesar 1,80 poin. Indeks pendidikan menunjukkan tingkat kualitas SDM Kabupaten Bogor. Walaupun terjadi peningkatan indeks pendidikan Kabupaten Bogor yang ditunjukkan oleh Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), namun capaian ini belum cukup untuk dapat mengakses peluang kerja yang tercipta di sektor industri pengolahan yang menyumbang 60,12% PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini berdampak kepada angka pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor sebesar 10,64% pada tahun Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebanyak jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan penduduk perempuan sebanyak jiwa atau rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 laki-laki. Struktur penduduk akan mempengaruhi angka beban tanggungan (dependency ratio), pada tahun 2010 setiap 100 penduduk usia produktif di Kabupaten Bogor akan menanggung sekitar 54 orang penduduk usia tidak produktif. Berkenaan dengan pembangunan kualitas hidup penduduk Kabupaten Bogor, perkembangan kualitas sumberdaya manusia Kabupaten Bogor menunjukkan kondisi yang semakin membaik. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung berdasarkan tiga indikator, yaitu: indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. IPM Kabupaten Bogor meningkat sebesar 4,35 dari angka 67,81 pada tahun 2003 menjadi 72,16 pada tahun Secara rinci nilai tersebut merupakan kontribusi dari komponen pembentuknya, terdiri dari angka harapan hidup (68,86 tahun), angka melek huruf (95,02%), rata-rata lama sekolah (7,98 tahun) dan kemampuan daya beli masyarakat sebesar Rp / kapita/bulan.

99 75 Pada periode secara umum terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin dari menjadi (naik 18,86%). Selanjutnya dari tahun 2006 sampai tahun 2010 jumlah penduduk miskin cenderung mengalami penurunan yaitu dari menjadi (turun 11,06%). Persentase jumlah penduduk miskin pada periode secara umum mengalami kenaikan dari 12,54% menjadi 13,83% dan mengalami penurunan pada periode dari 13,83% menjadi 9,97%. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebanyak jiwa, sedangkan tahun 2010 jumlahnya meningkat mencapai jiwa. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dalam kurun waktu sepuluh tahun, rata-rata adalah 3,15%. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada tabel 18.

100 76 Tabel 18. Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Parung Panjang Kabupaten Bogor Sumber : Hasil Sensus Penduduk 2010 (BPS Kabupaten Bogor, 2011).

101 77 Kepadatan penduduk mencerminkan banyaknya penduduk tiap satuan luas wilayah. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah hampir 18 orang per ha. Adapun kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi adalah Kecamatan Ciomas yaitu mencapai 91 orang per ha, disusul kecamatan Bojonggede sebanyak 80 orang per ha dan Kecamatan Cibinong sebanyak 75 orang per ha Aspek Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor pasca krisis tahun 1997 menunjukkan kecenderungan meningkat, yang dikontribusikan oleh tiga sektor utama yaitu sektor primer, sekunder dan tersier. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan masih tingginya jumlah pengangguran dan penduduk miskin. PDRB Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku pada tahun 2010 mencapai Rp 73,80 triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun 2006 yaitu sebesar Rp 44,79 triliun. Nilai PDRB berdasarkan harga konstan, yaitu semula sebesar Rp 26,54 triliun pada tahun 2006, kemudian naik menjadi Rp 32,53 triliun pada tahun Sedangkan pendapatan per kapita menurut PDRB harga berlaku, pada tahun 2007 sebesar Rp /kapita/tahun meningkat menjadi Rp /kapita/tahun pada tahun Selama lima tahun terakhir, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan pada setiap tahun, yaitu semula LPE adalah 4,81% pada tahun 2003, meningkat menjadi 4,32% pada tahun 2009 dan 5,09% pada tahun Kondisi ini mengungkapkan bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang menggembirakan di wilayah Kabupaten Bogor, dengan kontribusi terbesarnya berasal dari sektor sekunder. Kondisi struktur ekonomi Kabupaten Bogor pada tahun 2010, bila dilihat berdasarkan nilai PDRB harga berlaku, maka kelompok sektor sekunder (industri manufaktur, listrik, gas dan air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar 67,23%, kemudian sektor tersier (perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa lainnya) yakni sebesar 27,18% dan kontribusi terkecil adalah dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu hanya 5,59% dari total PDRB Kabupaten Bogor dan kontribusi dari sektor primer ini menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dari tahun ke tahun.

102 78 Pertumbuhan ekonomi akan berarti peningkatan kesejahteraan apabila tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut lebih besar dari tingkat inflasi di setiap tahun yang sama. Tingkat inflasi Jawa Barat yang tercatat pada tahun 2008 sebesar 11,11% atau naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (5,1%). Tingkat inflasi di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi nasional selama tahun 2008 yang sebesar 11,06% Aspek Pelayanan Umum Pendidikan Kondisi kinerja pembangunan bidang pendidikan mengalami perubahan fluktuatif. Berdasarkan data pada Bappeda Kabupaten Bogor Tahun 2010, angka partisipasi kasar SD/MI sebesar 127,27%, sementara angka partisipasi murni SD/MI sebesar 109,34%. Pada tingkat SMP/MTs, angka partisipasi kasar sebesar 93,67% dan angka partisipasi murni sebesar 81,98%. Sementara itu pada tingkat SMA/MA, angka partisipasi kasar sebesar 42,25% dan angka partisipasi murninya sebesar 40,70%. Banyaknya sekolah di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19. Banyaknya sekolah di Kabupaten Bogor Tahun Jumlah Sekolah Negeri Swasta Negeri Swasta SD SLTP SLTA Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Kesehatan Status kesehatan penduduk dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah layanan kesehatan. Efektifitas layanan kesehatan secara makro ditentukan oleh aksesibilitas sarana serta tenaga pemberi layanannya. Sarana kesehatan yang digunakan masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskemas dan balai pengobatan. Sedangkan pemberi layanan di antaranya adalah dokter, perawat, bidang dan apoteker. Aksesibilitas juga dipengaruhi oleh luas wilayah layanan serta jumlah yang harus dilayani. Semakin luas wilayah layanan, maka semakin berat upaya yang harus dilakukan untuk menjangkau masyarakat dan dijangkau masyarakat. Demikian pula semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin besar beban tugas yang harus dilakukan.

103 79 Berdasarkan data pada Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2010, rasio cakupan pelayanan kesehatan dasar penduduk dimana perbandingan puskesmas dengan penduduk adalah 1 : dan perbandingan pustu dengan penduduk sebesar 1 : Selain itu pada tahun 2010, cakupan pelayanan kesehatan dasar gakin sebesar 29,7%, angka kesembuhan TB baru mencapai 59,10%; ibu hamil gizi baik sebesar 91,5%, balita kurang energi protein sebesar 9,9%, balita gizi baik sebesar 88,9%. Pada tahun 2010, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang berkompetensi baru mencapai 58,05% dan cakupan pelayanan UCI desa/ baru mencapai 67,76% Sarana dan Prasarana Umum Panjang ideal jalan dalam melayani pergerakan masyarakat berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dan PDRB Kabupaten Bogor adalah 3.680,60 km. Sedangkan panjang jalan yang ada adalah km atau 47,77% dari kebutuhan ideal, yang terdiri dari jalan nasional sepanjang km, jalan provinsi km dan jalan kabupaten yang bernomor ruas sepanjang km. Selain itu, terdapat pula jalan-jalan yang tidak bernomor ruas dan jalan-jalan desa dengan jumlah yang terus bertambah pada setiap tahun, akibat pembukaan jalan baru atau peningkatan jalan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat ataupun pengusaha. Panjang jalan di Kabupaten Bogor sampai dengan bulan Desember 2007 dalam kondisi mantap (kondisi baik dan sedang) adalah sepanjang 1.032,60 km atau 68,54%, sedangkan sisanya sepanjang 473,97 km atau sebesar 31,46% dalam kondisi rusak. Belum maksimalnya infrastruktur transportasi dalam memfasilitasi pergerakan masyarakat disebabkan rendahnya jumlah jalan mantap dan pembangunan jalan-jalan baru serta belum maksimalnya struktur konstruksi jalan. Kondisi tersebut diperburuk dengan tingginya beban lalu lintas yang sering melampaui kapasitas. Berdasarkan data jumlah bangunan rumah tinggal yang layak huni sebanyak bangunan yang ada di Kabupaten Bogor, sampai saat ini yang memiliki IMB baru mencapai 52% sedangkan bangunan lainnya sebanyak bangunan antara lain bangunan industri, bangunan perdagangan dan bangunan peribadatan serta perkantoran yang memiliki IMB sebanyak ± 74,2%. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana permukiman seperti, perumahan dan cakupan layanan air bersih sangat penting bagi masyarakat.

104 80 Jumlah rumah di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 sebanyak unit, dengan jumlah rumah terbanyak terdapat di Kecamatan Ciampea sebanyak unit (rumah permanen unit dan rumah tidak permanen unit), dan jumlah rumah paling sedikit di Kecamatan Rancabungur sebanyak unit. Permukiman kumuh tersebar di 187 lokasi pada luas lahan 240 Ha dengan jumlah bangunan sebanyak unit dan dihuni oleh keluarga (KK). Jumlah rumah yang berdiri di daerah limitasi sebanyak rumah dan dihuni oleh KK, yaitu terletak di bantaran sungai sebanyak rumah dihuni KK serta terletak di bawah jaringan listrik tegangan tinggi sebanyak rumah dihuni KK Kebijakan Penataan Ruang Pola pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor mencakup pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya. Sebagian besar wilayah di sebelah selatan sepanjang perbatasan Kabupaten Bogor menjadi kawasan lindung karena memiliki hutan yang cukup lebat, topografi, elevasi dan curah hujan yang tinggi. Sedangkan kawasan budidaya tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor. Secara umum, tata ruang Kabupaten Bogor terbentuk dengan struktur ruang wilayah yang menggambarkan rencana sistem pusat pelayanan permukiman perdesaan dan perkotaan serta sistem perwilayahan pengembangan, merupakan bentuk/gambaran sistem pelayanan berhirarki, yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan pelayanan serta mendorong pertumbuhan kawasan perdesaan dan perkotaan di wilayah Kabupaten Bogor. a. Sistem perdesaan yang meliputi pola penggunaan lahan budidaya yang terdiri atas penggunaan hutan, perkebunan, kebun campuran, semak/belukar, tanah kosong, pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan dengan luasan untuk kegiatan kebun campuran ,5 Ha (28,48%), pemukiman ,2 Ha (15,99%), semak belukar ,1 Ha (15,03%), hutan vegetasi lebat dan perkebunan/tanaman tahunan ,3 Ha (19,33%), sawah irigasi/ tadah hujan Ha (7,95%), tanah kosong ,9 Ha (12,15%). Masalah yang dihadapi adalah meningkatnya konversi lahan dari pertanian ke non pertanian yaitu peningkatan luas permukiman sebesar Ha dan menjadi tanah kosong seluas Ha, kebun campuran seluas Ha, sebagian besar menggunakan lahan

105 81 semak/belukar seluas Ha, sawah irigasi seluas Ha, kebun campuran seluas 552,6 Ha, sawah tadah hujan seluas 676 Ha, perkebunan 712 Ha, hutan/vegetasi lebat 126 Ha dan badan air 242 Ha. Areal lahan yang mengalami penurunan yaitu pada lahan sawah irigasi seluas Ha, sawah tadah hujan seluas Ha, perkebunan seluas Ha, hutan seluas Ha dan badan-badan air seluas 707 Ha; b. Sistem perkotaan, tingginya konversi lahan dari pertanian untuk permukiman perkotaan dalam kurun waktu 5 tahun mencapai ± Ha. Penggunaan lahan dari kebun campuran Ha (17,6%), sawah tadah hujan Ha (17%), perkebunan Ha (16%) dan sawah irigasi Ha (13%), hutan/vegetasi lebat 720 Ha (6,8%) dan badan air 124 Ha (1,2%); c. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor dikelompokkan menjadi hutan/vegetasi lebat, perkebunan, kebun campuran, semak/belukar, tanah kosong, kawasan terbangun/pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan. Penggunaan tanah yang dominan adalah penggunaan tanah kebun campuran yaitu mencapai luasan ,5 Ha (28,48%), kawasan terbangun/pemukiman ,2 Ha (15,99%), semak belukar ,1 Ha (15,03%), hutan vegetasi lebat/perkebunan ,3 Ha (19,33%), sawah irigasi/tadah hujan Ha (7,95%), tanah kosong ,9 Ha (12,15%). Komposisi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006, yaitu untuk kawasan hutan lindung Ha (13,30%), kawasan lahan basah Ha (17,94%), kawasan lahan kering Ha (15,06%), kawasan tanaman tahunan Ha (7,82%), kawasan hutan produksi Ha (16,25%), kawasan pariwisata Ha (0,53%), kawasan permukiman perdesaan Ha (6,41%), kawasan permukiman perkotaan Ha (16,41%), kawasan pengembangan perkotaan Ha (4,60%), kawasan peruntukan industri Ha (1,68%) Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor mempunyai daerah kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung atau produksi. Daerah hutan lindung umumnya terdapat di daerah dataran tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan produksi relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan Klapanunggal. Luas kawasan hutan Kabupaten Bogor seluas ,02 Ha atau sebesar 28,12% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan

106 82 fungsinya dari ,02 Ha kawasan hutan tersebut sebesar 8,67% atau sebesar ,29 Ha merupakan hutan produksi dan sisanya sebesar 19,45% atau sebesar ,73 Ha merupakan hutan lindung. Daerah kawasan hutan tersebut saat ini cenderung berkurang tutupan hutannya. Berdasarkan citra landsat tahun 1999, diketahui kawasan yang bervegetasi hutan adalah seluas ,03 ha atau 37,05%, sedangkan sisanya sebesar 62,95% atau ,27 Ha merupakan kawasan hutan yang tidak berhutan (non hutan yang merupakan sawah, pemukiman, tegalan, tanah terbuka), semak dan belukar. Jika dilihat kondisi citra landsat 2002, maka daerah kawasan lindung yang berhutan tinggal 60%, sedangkan daerah berhutan di kawasan hutan produksi tinggal 20%. Berdasarkan penutupan vegetasinya, kawasan hutan yang berhutan (bervegetasi hutan) adalah seluas ,03 Ha (37,05%), sedangkan sisanya sebesar 62,95% atau ,27 Ha merupakan kawasan hutan yang tidak berhutan (non hutan yang merupakan sawah, pemukiman, tegalan, tanah terbuka), semak dan belukar. Kondisi fisik sungai-sungai di DAS dan Sub DAS di bagian Selatan umumnya memiliki beda tinggi antara dasar sungai dengan lahan di sekitar berkisar antara 3 5 m, sehingga aliran sungai berpotensi untuk meluap di sekitarnya, baik akibat banjir maupun arus balik akibat pembendungan. Sedangkan untuk bagian Utara-Barat (Cimanceuri dan Cidurian Hilir) beda tinggi antara dasar sungai dan lahan bantaran di sekitarnya umumnya > 5 m, sehingga umumnya menyulitkan untuk pengambilan langsung maupun pembendungan. Berdasarkan hasil studi Preliminary Study on Ciliwung Cisadane Flood Control Project, 2001 di Kabupaten Bogor terdapat lokasi yang berpotensi untuk pembuatan waduk, yaitu Waduk Sodong dan Waduk Parung Badak. Waduk ini berfungsi sebagai pengendali banjir maupun irigasi. Rencana waduk Sodong berlokasi di Sungai Cikaniki Kecamatan Leuwiliang, anak sungai Cisadane dengan potensi genangan km² dan volume juta m³. Sedangkan Waduk Parung Badak berada di bagian Hulu Sungai Cisadane di Kecamatan Rancabungur, dengan potensi genangan 2,75 km² dan volume juta m³. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai tahun 2007 diketahui bahwa :

107 83 - Sungai Ciliwung, kadar rata-rata parameter BOD melampaui kelas mutu I dan II tetapi memenuhi untuk kelas mutu III dan IV; - Sungai Cileungsi, kadar rata-rata dari parameter BOD melampaui kelas mutu I IV; - Sungai Cisadane, kadar rata-rata dari parameter BOD melampaui kelas mutu I dan II tetapi memenuhi kelas mutu II dan IV; - Sungai Kalibaru, kadar rata-rata parameter BOD melampaui kelas mutu I, II dan III tetapi memenuhi untuk kelas mutu IV; - Sungai Cikeas, kadar rata-rata parameter BOD melampaui kelas mutu I, II dan III tetapi memenuhi untuk kelas mutu IV; - Sungai Cikaniki, kadar rata-rata parameter BOD melampaui kelas mutu I dan II tetapi memenuhi untuk kelas mutu III; - Sungai Cibeet, kadar rata-rata parameter BOD melampaui kelas mutu I, II dan III tetapi memenuhi untuk kelas mutu IV; - Sungai Cipamingkis, kadar rata-rata parameter BOD memenuhi untuk kelas mutu IV. Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga dan Pengairan tahun 2006 di Kabupaten Bogor terdapat sejumlah mata air terdapat danau atau situ sebanyak 95 buah dengan luas 496,28 Ha. 4.2 Gambaran Umum Kawasan Puncak Aspek Geografis dan Administrasi Luas total Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2009 adalah seluas Ha. Batas wilayahnya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Babakan Madang; Sebelah Barat : Kecamatan Ciomas dan Cijeruk; Sebelah Timur : Kecamatan Sukamakmur; Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Luas masing-masing desa yang berada di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 20.

108 84 Tabel 20. Luas wilayah di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung No Kecamatan Kelurahan/Desa Luas Lahan (Ha) 1 Ciawi Banjarwangi 110,00 Banjarwaru 197,00 Bantarsari 138,00 Bendungan 133,00 Bitungsari 147,00 Bojongmurni 160,00 Ciawi 75,00 Cibedug 260,00 Cileungsi 701,00 Citapen 268,00 Jambuluwuk 101,00 Pandansari 189,00 Telukpinang 125,00 Total 2.604,00 2 Cisarua Batulayang 226,00 Tugu Utara 1.703,00 Cibeureum 1.129,00 Cilember 200,00 Cisarua 200,00 Citeko 603,00 Jogjogan 154,00 Kopo 435,00 Leuwimalang 135,00 Tugu Selatan 1.713,00 Total 6.498,00 3 Megamendung Cipayungdatar 775,00 Cipayunggirang 235,00 Gadog 194,00 Megamendung 1.200,00 Kuta 180,00 Sarimahi 196,00 Sukagalih 247,00 Sukakarya 339,00 Sukamaju 210,00 Sukamanah 181,00 Sukaresmi 249,00 Total 4.006,00 Jumlah ,00 Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2009.

109 Aspek Klimatologi Berdasarkan klasifikasi Oldeman tipe iklim di Kawasan Puncak termasuk pada tipe B2 dan C1. Setiap tipe iklim menunjukkan perbedaan kondisi bulan basah dan bulan kering. Tipe iklim B2 merupakan daerah yang mempunyai 7 sampai 9 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4 bulan kering. Sedangkan tipe iklim C1 yaitu daerah yang mempunyai 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering. Bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Tipe iklim B2 terdapat di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung. Sedangkan tipe ikllim C1 terdapat di Kecamatan Ciawi. Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun pengamatan Dramaga, jumlah curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten Bogor tercatat cukup tinggi, yaitu mencapai mm. Sedangkan pada stasiun pengamatan Citeko, jumlah curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten Bogor mencapai mm. Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa rata-rata jumlah curah hujan pada Kecamatan Cisarua, Kecamatan Ciawi dan Kecamatan Megamendung adalah 292,59 mm. Curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Cisarua, yaitu 324 mm/tahun. Kecamatan Megamendung memiliki curah hujan, yaitu 316,25 mm/tahun dan curah hujan pada Kecamatan Ciawi yaitu 247,51 mm. Suhu udara di daerah penelitian 14,8 0 Celsius Celsius. Suhu terendah pada umumnya terjadi pada bulan November dan Desember, sedangkan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan April sampai Mei. Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, suhu udara mempunyai hubungan dengan ketinggian, suhu udara rata-rata terendah (14,8 0 C) terdapat di sekitar Gunung mas, sedangkan suhu udara tertinggi terjadi di Kecamatan Ciawi Aspek Geomorfologi Berdasarkan kondisi lereng dan beda tinggi, terdapat 4 (empat) satuan morfologi yaitu pedataran tinggi, bergelombang landai, perbukitan terjal dan pegunungan. Uraian kondisi setiap satuan morfologi tersebut sebagai berikut: 1) Morfologi pedataran tinggi Satuan morfologi ini mempunyai lereng kurang dari 8% terletak pada elevasi antara 800 dan meter di atas muka laut. Batuan penyusun morfologi

110 86 pedataran tinggi adalah lahar dan breksi hasil erupsi Gunung Gede. Sungaisungai yang mengalir berpola sub-dendritik dengan lembah-lembah sungai yang landai; 2) Morfologi bergelombang landai Kabupaten Bogor berada pada elevasi sampai meter dari muka laut. Morfologi bergelombang umumnya merupakan kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Kemiringan lereng pada morfologi bergelombang landai umumnya antara 8-25%. Batuan penyusun morfologi ini lava dan breksi dengan sungai-sungai yang terdapat pada morfologi bergelombang landai adalah dendritik-paralalel dengan lembah-lembahnya yang curam; 3) Morfologi perbukitan terjal Morfologi perbukitan terdapat dibagian tengah Kawasan Puncak, berada di antara satuan morfologi bergelombang landai dan pegunungan terjal. Morfologi ini mempunyai kemiringan lereng berkisar dari 2% sampai lebih 40%, tersusun oleh satuan breksi dan tufa. Elevasi terendah pada morfologi perbukitan terjal adalah meter dari muka laut dan elevasi tertinggi yaitu meter dari muka laut. Sungai-sungai yang mengalir berpola sub radialsub paralel. Secara administratif morfologi ini termasuk Kecamatan Cisarua; 4) Morfologi pegunungan sangat terjal Morfologi pegunungan terjal merupakan bagian lereng daerah pegunungan. dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Telaga (1.725 meter dpl), Gunung Halang (1.253 meter dpl) dan Gunung Cadasgantung (1.115 meter dpl). Elevasi berkisar antara 825 dan meter di atas muka laut dengan kemiringan lereng > 40%. Satuan morfologi ini tersusun oleh endapan volkanik seperti tufa dan breksi. Sungai-sungai yang mengalir pada satuan morfologi ini berpola dendritik Aspek Geologis Stratigrafi Zona Bogor terdiri dari urutan-urutan pelapisan sedimen neogen yang tebal dengan batuan dasar tidak diketahui. Zona Bogor disusun oleh batuan klastika, yaitu batu pasir, batu lempung, napal dan konglomerat dengan lensa-lensa batu gamping serta endapan hasil kegiatan gunung api. Kawasan perencanaan pada dasarnya tersusun oleh enam satuan litologi. dimana sifat umum dari setiap satuan litologi tersebut adalah:

111 87 1) Breksi dan lahar Umumnya tersingkap dalam keadaan lapuk sehingga komponennya mudah lepas. berwarna coklat tua. Breksi yang segar berwarna abu-abu kecoklatan, sangat keras dan kompak, permeabilitasnya rencah (orde 10 7 cm/detik), stabil pada kedudukan lereng sangat curam. Lahar umumnya berwarna abu-abu agak kecoklatan, agak terkonsolitasi atau lepas, permeabilitasnya rendah hingga besar, umumnya membentuk lereng landai, agak mudah digali dengan peralatan sederhana seperti cangkul dan lainnya. Tanah pelapukannya berupa lempung hingga lempung pasiran setempat bercampur kerikil berwarna coklat hingga coklat tua kemerahan, plastik bila lembab, keras bila kering, permeabilitasnya sangat rendah, di daerah lereng landai datar, yaitu pada punggungan lereng Gunung Gede ketebalannya bervariasi antara 2-15 meter; 2) Lava Bersusunan andesit atau basalt. umumnya tersingkap baik agak lapuk. Batu segar dijumpai setelah penggalian tanah pelapukan setebal 1-5 meter yang segar biasanya berkekar atau berongga abu-abu tua, kompak dan sangat keras. Permeabilitasnya sangat rendah, peresapan air hujan hanya dapat terjadi melalui bidang-bidang kekar dan rongga. Tanah pelapukannya berupa lempung laterik yang bersifat plastis dengan permeabilitasnya rendah. berwarna coklat kemerahan; 3) Tufa Umumnya telah melapuk menjadi lempung, biasanya bercampur dengan batu apung dan pasir, mudah hancur atau gembur, permeabilitas sedang; 4) Batu Pasir Kuarsa Batu pasir kuarsa yang segar berwarna coklat kelabu hingga kuning kecoklatan. bersifat sangat kompak dan keras, biasanya berkekar, stabil pada kedudukan lereng curam, permeabilitas rendah, penerusan air hanya terjadi melalui bidang-bidang kekar atau rekahan. Tanah pelapukannya berupa lempung pasiran hingga pasir lempungan. merah kecoklatan, gembur, permeabilitas rendah hingga sedang, ketebalannya antara 1-6 meter;

112 88 5) Tufa dan Breksi Berwarna coklat kelabu, kompak, setempat dijumpai berkekar, keras, permeabilitas rendah. Tanah pelapukannya berupa lempung hingga lempung pasiran coklat kemerahan dan plastis; 6) Breksi Aliran Tersingkap lapuk. masih bersifat kompak dan agak keras membentuk daerah perbukitan tinggi berlereng curam. Tanah pelapukannya berupa lempung coklat merah, plastis, ketebalan antara 0-3 meter Aspek Tanah Kawasan Puncak tersusun oleh tiga jenis tanah, yaitu regosol, andosol dan latosol. Sifat-sifat umum dari jenis tanah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Regosol Regosol terbentuk dari hasil pelapukan abu/pasir volkan. membentuk morfologi perbukitan terjal dan pegunungan sangat terjal (geomorfologi perbukitan dan pegunungan volkanik). Pada Kawasan Puncak jenis tanah ini terdapat di puncak perbukitan dan pegunungan volkan. Jenis tanah ini berwarna coklat tua (7.5 YR 3/2) dengan tekstur lempung berliat, gumpal bersudut, plastis (basah), gembur (lembab) dan keras (kering). Kesuburan jenis tanah ini rendah dengan kandungan bahan organik sangat rendah sampai sedang (0,37-2,41%). kapasitas tukar kation (KTK) rendah sampai sedang (7,0-17,8%), kejenuhan basa (KB) rendah sampai tinggi (35-71%), P 2 O 5 sangat rendah (1-8 ppm) dan K 2 O tinggi sampai sangat tinggi (42-62 ppm); 2) Andosol Jenis tanah ini membentuk morfologi perbukitan terjal dan pegunungan sangat terjal. tersusun dari hasil pelapukan abu/pasir volkan. Warna tanah coklat kemerahan (5 YR 3/2), kelabu (5 YR 3/3), coklat tua (7,5 YR 3/2) dan coklat sangat tua kekelabuan (10 YR 3/2). Tekstur liat berdebu, gumpal, tidak lekat dan tidak plastis sampai plastis (basah) dan gembur (lembab). Kesuburan jenis tanah ini rendah dengan ph masam sampai netral masam (ph=5,5 7,0) kandungan bahan organik rendah sampai sedang (1,64 2,63%), Kapasitas Tukar Kation (KTK) tinggi (31,2 33,9), kejenuhan basa

113 89 rendah (23-25%), P 2 O 5 sangat rendah sampai rendah (3-20 ppm) dan K 2 O sangat rendah sampai sedang (5-25 ppm); 3) Latosol Latosol terbentuk dari hasil pelapukan abu/pasir volkan, membentuk morfologi dataran tinggi, bergelombang halus dan perbukitan terjal. Warna tanah ini merah kotor (2,5 YR 3/2), coklat tua kemerahan (5 YR 3/2, 5 YR 3/3) dan coklat tua kekuningan (5 YR 3/2), coklat tua sampai merah tua kekelabuan (7,5 YR 4/2 5 YR 4/2) dan coklat tua (7,5 YR 4/2), liat, agak remah dan agak plastis. Kesuburan jenis tanah ini rendah dengan ph masam sampai agak masam (ph = 5,5 6,5), kandungan bahan organik sangat rendah sampai rendah (0,37 2,46%), kapasitas tukar kation (KTK) tinggi (15,7 30,8), kejenuhan basa (KB) rendah (24 42%). P 2 O 5 sangat rendah sampai rendah (2-16 PPM) dan K 2 O sangat rendah sampai rendah (0,37 2,46 ppm) Aspek Hidrologi Secara hidrologi Kawasan Puncak terbagi dalam dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung di Kawasan Puncak Bogor dan DAS Citarum/Sub DAS Cikundul di Kawasan Puncak Cianjur Kedua DAS tersebut berbatasan hampir di tengah-tengah, sehingga aliran Sungai Ciliwung mengalir ke Utara ke Teluk Jakarta dan Sungai Cikundul mengalir ke Selatan dan bermuara ke Waduk Cirata. DAS Ciliwung yang berada di Kawasan Puncak Bogor memiliki 19 anak sungai. dengan total panjang anak-anak sungai Ciliwung di Kecamatan Ciawi: 47 km dan di Kecamatan Cisarua/ Megamendung: 68,5 km. Debit air sungai DAS Ciliwung di Kawasan Puncak bervariasi sungai Ciliwung mempunyai debit maksimum 42,2 m 3 /detik sedang debit-debit anak sungainya mempunyai debit minimum 3,2 m 3 /detik. Sungai yang ada di Kawasan Puncak Cianjur adalah Sungai Cikundul, Sungai Cisarua, Sungai Cianjur, Sungai Cibeet. Secara umum sifat fisik air sungai di bagian tengah dan hilir berwarna agak keruh. Hal ini disebabkan pengaruh limbah domestik (rumah tangga), sedangkan air sungai di bagian hulu cukup jernih dan tidak berbau. Pemanfaatan air sungai selain untuk keperluan rumah tangga juga dipakai untuk pengairan pesawahan, baik melalui irigasi tradisional, semi teknis maupun teknis. Tataan air tanah di kawasan Puncak akan diuraikan sebagai berikut:

114 90 1) Air Tanah Dangkal Pada Wilayah Ciawi, muka air tanah secara berangsur ke arah Utara semakin dangkal dengan kisaran 0,5 15 di bawah permukaan tanah setempat, dengan kedalaman sumur antara 1 9 m umumnya akan searah dengan kemiringan lereng dan membentuk pola yang relatif radial; 2) Air Tanah Dalam Lapisan pembawa air (aquifer) air tanah dalam pada umumnya terdiri dari batu pasir kurang padu. batupasir tufaan, berumur tersier dan kwarter tua. Lapisan pembawa air di Ciawi relatif lebih tipis dibandingkan dengan daerah lainnya dalam lingkup Kabupaten Bogor; 3) Air Permukaan Kawasan Puncak (Kecamatan Cisarua, Kecamatan Ciawi dan Kecamatan Megamendung) yang termasuk dalam DAS Ciliwung memiliki total panjang anak-anak sungai Ciliwung di Kecamatan Ciawi sepanjang ± 47 km serta Kecamatan Cisarua dan Megamendung ± 68,5 km. Debit air maksimum sungai DAS Ciliwung 42,2 m³/detik sedang debit-debit minimum anak sungainya 3,2 m³/detik. Pemanfaatan air sungai selain untuk keperluan rumah tangga juga dipakai untuk pengairan persawahan, baik melalui irigasi tradisional, semi teknis maupun teknis. Luas untuk masingmasing DAS/sub DAS yang terdapat di Kawasan Puncak dapat dilihat pada tabel 21.

115 91 Tabel 21. Luas DAS yang terdapat di Kawasan Puncak Kecamatan Kelurahan/Desa DAS Sub DAS Luas (Ha) CIAWI Banjarwangi Ciliwung Ciliwung 3,34 Cisadane Cipinang 108,43 Banjarwaru Ciliwung Ciliwung 56,56 Cisadane Cipinang 91,14 Bantarsari Ciliwung Ciliwung 76,64 Cisadane Cipinang 97,39 Bendungan Ciliwung Ciliwung 155,47 Cisadane Cipinang 0,38 Bitungsari Cisadane Cipinang 169,66 Bojongmurni Ciliwung Ciliwung 931,42 Cisadane Cipinang 481,8 Ciawi Ciliwung Ciliwung 66,37 Cisadane Cipinang 79,14 Cibedug Cisadane Cipinang 526,39 Cileungsi Cisadane Cipinang 843,21 Citapen Cisadane Cipinang 290,3 Jambuluwuk Ciliwung Ciliwung 40,17 Cisadane Cipinang 317,28 Pandansari Ciliwung Ciliwung 225,48 Telukpinang Cisadane Cipinang 155,2 Total 4.715,77 CISARUA Batulayang Ciliwung Ciliwung 273,9 Cibeureum Ciliwung Ciliwung 1.111,17 Cilember Ciliwung Ciliwung 296,68 Cisarua Ciliwung Ciliwung 246,97 Citeko Ciliwung Ciliwung 583,06 Jogjogan Ciliwung Ciliwung 236,31 Kopo Ciliwung Ciliwung 659,47 Leuwimalang Ciliwung Ciliwung 131,54 Tugu Selatan Ciliwung Ciliwung 2.662,38 Tugu Utara Ciliwung Ciliwung 1.192,76 Total 7.394,24 MEGAMENDUNG Cipayungdatar Cileungsi Cikeas 19,98 Ciliwung Ciliwung 953 Cipayunggirang Ciliwung Ciliwung 192,69 Gadog Ciliwung Ciliwung 191,58 Kuta Ciliwung Ciliwung 552,49 Megamendung Cileungsi Cikeas 18,36 Ciliwung Ciliwung 2.476,97 Sukagalih Ciliwung Ciliwung 405,65 Sukakarya Ciliwung Ciliwung 435,04 Sukamahi Ciliwung Ciliwung 258,22 Sukamaju Ciliwung Ciliwung 247,8 Sukamanah Ciliwung Ciliwung 175,12 Cisadane Cipinang 14,49 Sukaresmi Ciliwung Ciliwung 238,14 Cisadane Cipinang 63,37 Total 6.242,90

116 92 Selain sungai. badan air lainnya adalah situ atau telaga. Terdapat dua buah situ yang terletak di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua, yaitu Situ Ciburial (luas 0,75 Ha dengan kondisi baik) serta Situ Telaga Warna (luas 1,50 Ha dengan kondisi baik) Aspek Tutupan Lahan Sebelum tahun 2000, kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat yaitu dari 3,96% pada tahun 1992 menjadi 8,49% pada tahun 2000, atau meningkat sebesar 4,53%, akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relatif lebih cepat selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2000 sampai dengan 2006, tutupan lahan permukiman meningkat sebesar 12%, dengan data pada tabel 22 sebagai berikut: Tabel 22. Persentase tutupan lahan Tahun 1992, 1995, 2000 dan 2006 No Penggunaan 1992 (%) 1995 (%) 2000 (%) 2006 (%) 1. Permukiman 3,96 5,72 8,49 20,17 2. Vegetasi lebat/hutan 41,62 39,73 37,76 29,55 3. Perkebunan 14,93 13,15 13,41 12,80 4. Lahan Kering 35,85 36,62 36,42 33,80 5. Lahan basah/badan air 2,00 4,78 3,35 3,67 6. Lain-lain 1,84 0,00 0,57 0,00 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Dewi Kondisi Sarana Prasarana Sarana Pendidikan Fasilitas pendidikan pada tiga kecamatan di Kawasan Puncak pada tahun 2008 didominasi oleh fasilitas pendidikan Sekolah Dasar. Fasilitas pendidikan dengan jumlah terkecil adalah fasilitas pendidikan SMU. Fasilitas pendidikan SD terbanyak terdapat di Kecamatan Megamendung yaitu di Desa Cipayung Datar dengan jumlah 12 unit. Sementara jumlah fasilitas pendidikan terkecil terdapat di Desa Kuta dan Desa Sukaresmi masing-masing hanya 1 unit. Fasilitas pendidikan SD di Kecamatan Cisarua terbanyak di Desa Cisarua sebanyak 6 unit, sedangkan jumlah fasilitas terkecil di Desa Batulayang dan Desa Leuwimalang sebanyak masing-masing 1 unit. Jumlah SD Kecamatan Ciawi seluruhnya adalah 29 unit dengan jumlah terbanyak di Desa Bendungan sebanyak 5 unit dan terkecil di Desa Bojongresmi, Bitungsari dan Banjarwaru

117 93 Sukaresmi masing-masing sebanyak 1 unit. Jumlah fasilitas pendidikan di Kawasan Puncak dapat dilihat pada tabel 23 berikut. Tabel 23. Jumlah fasilitas pendidikan di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung KECAMATAN TK SD SLTP SLTA CISARUA CIAWI MEGAMENDUNG Sumber : BPS Kab Bogor Sarana Kesehatan Fasilitas kesehatan di wilayah penelitian didominasi oleh fasilitas posyandu. dengan jumlah terbanyak di Kecamatan Megamendung sebanyak 136 unit. Sementara fasilitas kesehatan dengan jumlah terkecil adalah rumah sakit, yaitu masing-masing 1 unit di Kecamatan Cisarua dan Ciawi. Fasilitas kesehatan terbanyak di Kecamatan Ciawi terdapat di Desa Banjarwaru dan Desa Bendungan masing-masing sebanyak 15 unit dan terendah di Desa Banjarwangi sebanyak 8 unit. Fasilitas kesehatan terbanyak di Kecamatan Megamendung terdapat di Desa Cipayung Datar sebanyak 26 unit, sedangkan jumlah fasilitas terkecil di Desa Sukakarya sebanyak 4 unit. Fasilitas kesehatan di Kecamatan Cisarua jumlah terbesar terdapat di Desa Kopo sebanyak 30 unit. Sedangkan jumlah terkecil terdapat di Desa Leuwimalang sebanyak 8 unit. Data selengkapnya tercantum pada tabel 24. Tabel 24. Jumlah fasilitas kesehatan di Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung Kecamatan Rumah Sakit Puskesmas Posyandu Pos KB Balai Pengobatan Cisarua Ciawi Megamendung Sumber : BPS Kab Bogor Kondisi Sosial Kependudukan Penduduk di wilayah penelitian pada akhir tahun 2008 sebanyak jiwa dengan kepadatan sebesar jiwa/km 2. Perkembangan tertinggi terdapat di Kecamatan Cisarua yaitu sebesar 4,06% per tahun. Kecamatan lainnya

118 94 berturut-turut Kecamatan Cisarua ( jiwa), Megamendung ( jiwa) dan Ciawi ( jiwa). Kawasan Puncak memiliki karakteristik sosial yang khas. Terdapat lebih dari 300 majelis taklim dan pesantren yang tersebar di sepanjang koridor jalan di kawasan Puncak sehingga membentuk masyarakat Puncak menjadi religius. Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap jenis aktifitas wisata yang dikembangkan yang harus sejalan dengan karakteristik masyarakat Puncak. Contoh nyata dari pentingnya memperhatikan kondisi masyarakat setempat dalam mengembangkan jenis dan daya tarik wisata di kawasan Puncak yaitu terjadinya resistensi/penolakan terhadap aktifitas wisata malam/hiburan malam, seperti: pub, diskotik, cafe/karaoke dan lain-lain. Kawasan Puncak merupakan daerah tujuan wisata dengan pasar wisatawan utama berasal dari Jakarta yang memiliki beranekaragam latar belakang kondisi sosial budaya. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. baik pengaruh positif maupun negatif. Proses alih mata pencaharian yang dulunya sebagai petani dan pemilik lahan menjadi penjaga villa akibat alih fungsi lahan dan alih kepemilikan lahan merupakan salah satu contoh dampak dari keberadaan Puncak sebagai kawasan wisata terhadap masyarakat setempat. Aspek sosial budaya masyarakat lokal pada akhirnya menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam setiap rencana pengembangan pariwisata. baik dalam fasilitas dan prasarana pendukung wisata serta pemilihan jenis daya tarik dan atraksi wisata karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rencana produk wisata yang ditawarkan Kondisi Aksesibiltas dan Transportasi Aksesibilitas Kawasan wisata Puncak memiliki tiga gateway utama. yakni: (1) Ciawi dan Megamendung di Utara tepatnya pintu keluar tol Jagorawi di Gadog dan Ciawi untuk wisatawan dari arah Bogor. Jakarta dan sekitarnya; (2) Cisarua, daerah batas Bogor Cianjur untuk pintu masuk wisatawan dari arah Cianjur, Bandung dan sekitarnya; dan (3) Cijeruk, daerah batas Bogor-Sukabumi untuk wisatawan dari Sukabumi dan sekitarnya.

119 95 gateway Hinterland Kelompok atraksi / objek wisata Koridor wisata Hinterland Hinterland Hinterland PPP gateway Koridor wisata gateway Hinterland Gambar 11. Gateway (pintu masuk) ke Kawasan Puncak (Kab.Bogor, 2008). Pusat pelayanan pariwisata kawasan Puncak eksisting saat ini secara administratif adalah di Kecamatan Cisarua dan Megamendung yang berada pada koridor jalan raya Bogor-Puncak-Cianjur. Elemen-elemen pusat pengembangan pariwisata berupa fasilitas pelayanan dan prasarana pendukung pariwisata di Kawasan Wisata Puncak terkonsentrasi di kedua kecamatan tersebut. Lokasi fasilitas pelayanan dan prasarana pariwisata terpusat pada koridor jalan raya Puncak di kawasan perkotaan Cisarua dan Megamendung. Fasilitas pelayanan dan prasarana pariwisata tersebut pada dasarnya melayani kebutuhan masyarakat lokal (fasilitas perkotaan) dan juga melayani kebutuhan wisatawan Transportasi Berkenaan dengan konstelasi regional, sistem jaringan jalan di Kawasan Puncak, yaitu mulai dari Kota Bogor sampai dengan Kota Cianjur melalui Ciawi. Cisarua dan Cipanas ditetapkan sebagai jaringan jalan kolektor primer. Pada sisi pengelolaan jalan, ruas jalan tersebut masuk dalam pengelolaan jalan provinsi artinya sistem perencanaan. pembangunan dan pemeliharaan jalan tersebut diprioritaskan didanai APBD Provinsi Jawa Barat. Pada jaringan jalan kolektor primer tersebut, volume lalu lintas akan meningkat dengan cepat pada waktu akhir minggu (week end), terutama pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Intensitas kegiatan tersebut sering menimbulkan kemacetan dalam bentuk antrian yang sangat panjang di Kawasan Puncak. Kondisi ini sangat merugikan terutama bagi masyarakat yang akan melakukan pergerakan menerus tanpa harus melakukan maksud kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak.

120 96 Upaya pengaturan lalu-lintas dilakukan dalam bentuk pengaturan sistem pergerakan satu arah pada jam-jam tertentu dan sistem pengalihan arus lalulintas, terutama untuk kendaraan besar (seperti bus dan truk) untuk tidak melalui Kawasan Puncak melainkan melalui jalur Sukabumi. Terdapat empat fungsi jalan yang berada di wilayah Kawasan Puncak, yaitu: a. Arteri Primer Jalan regional yang terdapat di Kecamatan Ciawi sebagai jalan penghubung menuju jalan tol. Panjang jalan ini adalah sekitar 0,22% dari total panjang jalan di Kawasan Puncak. Selain jalan regional yang berfungsi sebagai jalan arteri tersebut, wilayah ini pun dilalui oleh jalan tol yang terdapat di Kecamatan Ciawi. Panjang jalan tol tersebut adalah sekitar 0,68% dari total panjang jalan; b. Kolektor Kolektor primer Jalan regional yang menghubungkan Kota Cianjur Kota Bogor; Kolektor sekunder Meliputi jalan Desa Teluk Pinang Banjarwangi Jambuluwuk. Jalan Desa Bendungan Sukamaju. Jalan Gadog Sukamahi Sukamanah Sukagalih Kuta Kopo. Jalan Desa Cilember Jogjogan Cisarua; c. Lokal sekunder Meliputi jalan-jalan desa yang menghubungkan desa pusat pertumbuhan (DPP) dengan jaringan jalan kolektor primer dan Jalan kolektor sekunder; d. Jalan setapak Guna lebih jelasnya mengenai panjang jalan di wilayah Puncak dapat dilihat pada tabel 25.

121 97 Tabel 25. Panjang jalan di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung No Kecamatan Kelas Jalan Panjang (m) 1 Ciawi Jalan Arteri 1.610,13 Jalan Kolektor 3.382,50 Jalan Lokal ,98 Jalan Setapak ,22 Jalan Toll 5.121, ,12 2 Cisarua Jalan Kolektor ,80 Jalan Lokal ,55 Jalan Setapak ,36 375,198,71 3 Megamendung Jalan Kolektor 6.229,12 Jalan Lokal ,83 Jalan Setapak , ,02 Jumlah Total ,85 Sumber : Kab. Bogor, Kemacetan yang sering terjadi adalah akibat dari bertumpuknya pergerakan lokal dengan pergerakan langsung (regional) di pusat kegiatan perkotaan Kawasan Puncak, yaitu terutama di Ciawi (sekitar perempatan ke arah Bogor - Sukabumi - Puncak dan Megamendung), kemudian di sekitar Megamendung (di sekitar pasar Cipayung), di Cisarua (terutama disekitar Pasar Cisarua sampai dengan Taman Safari) dan di sekitar Cipanas (mulai dari Pasar Cipanas sampai dengan pertigaan ke kantor Kecamatan Pacet). Selain itu kemacetan disebabkan juga oleh kurangnya disiplin pengendara terutama pengendara angkutan umum serta pengaruh dari hambatan samping jalan yang cukup tinggi. Jalan Raya Puncak sebagai jaringan jalan utama (kolektor primer) merupakan pembentuk struktur Kawasan Puncak, sehingga dengan hanya mengandalkan satu ruas jalan (single line) ini maka bentuk kawasan perkotaan yang terjadi, cenderung mengarah pada pola linier. Secara umum terdapat beberapa trayek angkutan umum yang melintasi Kawasan Puncak. Berdasarkan Peraturan Bupati Bogor No. 16 Tahun beberapa trayek angkutan umum yang melintasi wilayah perencanaan diantaranya dapat dilihat pada tabel 26.

122 98 Tabel 26 Trayek, jurusan, jarak tempuh, jumlah maksimal kendaraan dan warna kendaraan angkutan umum yang melintasi Kawasan Puncak No Kode Trayek Lintasan Trayek Jarak Tempuh (Km) Jumlah Maksimal Kendaraan Warna Kendaraan Dasar Strip 1 20 Ciawi - Cigombong Biru Biru Tua 2 02.C Pasir Muncang - Ciawi Biru Biru Tua 3 T.02.A Ciawi Toll Jagorawi Gunung Putri Biru Biru Tua 4 T.02 Ciawi Toll Jagorawi - Cileungsi 47 50/25 Biru Biru Tua Sumber: Kab. Bogor,2008. Kemacetan lalu lintas yang sering terjadi di Kawasan Puncak saat ini salah satunya ditimbulkan oleh banyaknya parkir kendaraan di badan jalan. sehingga berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemampuan jalan dalam menampung kendaraan. Kegiatan perdagangan dan jasa tersebar secara linier tidak diimbangi dengan keberadaan lokasi parkir yang memadai. Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap penurunan kapasitas jalan : Lebar perkerasan makin sempit Jalur lalu lintas 2 arah lebih berpengaruh dari pada 1 arah; Jalur parkir 2 tepi lebih berpengaruh dari pada 1 tepi; Sudut parkir makin besar sudut parkir makin berpengaruh Kondisi Obyek Wisata Kawasan Puncak memiliki banyak objek-objek wisata, baik objek wisata yang sudah definitif, non definitif maupun potensi objek-objek wisata yang masih belum dikembangkan. Objek-objek wisata di Kawasan Puncak sebagian besar menawarkan daya tarik wisata alam. Hal ini karena kawasan Puncak memiliki lingkungan pendukung alam pegunungan dengan kondisi suhu udara yang sejuk dengan suasana yang hijau dan asri. Identifikasi aktifitas wisata ditujukan untuk mengetahui lebih lanjut jenis wisata dari objek wisata yang terdapat di Kawasan Wisata Puncak berdasarkan tipologi jenis dan daya tarik atraksi. baik objek wisata definitif, non definitif dan potensi objek wisata. Objek-objek wisata di kawasan Puncak berdasarkan karakteristiknya didominasi oleh objek wisata alam (ecotourism) dengan daya

123 99 tarik yang ditawarkan berupa atraksi alam. Daya tarik ecotourism tersebut sesuai dengan definisinya tercantum pada tabel 27 sebagai berikut: NO Tabel 27. Tipologi jenis dan atraksi wisata Kawasan Puncak OBJEK WISATA SIFAT PENGELOLAAN TIPOLOGI AKTIFITAS WISATA KAWASAN 1 Taman Safari Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi ditunjang oleh wisata alam nature related 2 Wisata Agro Gunung Mas Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang tidak dilindungi 3 Curug Cilember Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi 4 Panorama Alam Riung Gunung Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang tidak dilindungi 5 Telaga Warna Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi 6 Taman Bunga Melrimba 7 Taman Rekreasi Megamendung Permai 8 Wisata Agro Ciliwung 9 Wana Wisata Citamiang Definitif Definitif Potensi Potensi Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi Jenis wisata alam dalam kawasan yang tidak dilindungi Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi 10 Curug Panjang Potensi Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi 11 Koridor Jalan Raya Puncak Bogor (kebun teh) 12 Taman Wisata Matahari Sumber: Disbudpar, Keterangan: Non Definitif Definitif Jenis wisata alam dalam kawasan yang dilindungi Jenis wisata alam dalam kawasan yang tidak dilindungi JENIS ATRAKSI pengamatan satwa, jalan (safari trek), taman rekreasi dan permainan tea walk, terbang laying, melihat pemandangan, taman bermain, camping pengamatan satwa dan flora, melihat pemandangan, camping melihat pemandangan, tea walk pengamatan flora dan satwa, melihat pemandangan, ziarah pengamatan flora taman rekreasi dan permainan melihat pemandangan, tea walk, outbond melihat pemandangan. tea walk. camping melihat pemandangan belanja buahbuahan/sayuran, melihat pemandangan Definitif (dicirikan dengan adanya pengelola khusus dan dikenakan retribusi/tiket) Non Definitif (tidak dikelola khusus, tidak dikenakan retribusi namun menjadi tujuan wisata) Potensi (berupa potensi objek wisata yang dapat dikembangkan

124 100 Ecotourism merupakan salah satu segmen dari pariwisata alam yang mengutamakan elemen alam sebagai atraksinya yang dapat dibagi lebih lanjut dalam: (1) wisata di kawasan yang dilindungi (protected areas), seperti taman nasional, hutan wisata dan hutan raya wisata dan juga kawasan milik swasta seperti perkebunan, kebun raya dan sebagainya; (2) wisata di kawasan wisata yang tidak dilindungi. Ecotourism lebih lanjut didefinisikan melakukan perjalanan ke kawasan alam yang relatif masih asli dan tidak tercemar, dengan minat khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan tumbuhan liar, satwa liar dan manifestasi budaya dengan pengalaman yang dicari wisatawan adalah berkunjung ke tempat alami dan eksotik, kesempatan bersatu dengan alam dan budaya lokal, menjauh dari rimba beton dengan hal-hal mewah dari kehidupan modern. Objek wisata di Kawasan Pariwisata Puncak didominasi oleh objek wisata alam. Hal tersebut tak terlepas dari karakteristik lingkungan pendukungnya, yakni: berada pada daerah perbukitan yang berhawa sejuk, lokasi yang mudah dicapai, memiliki areal kebun teh yang menjadi ciri khas Kawasan Puncak. Gambaran kondisi beberapa objek tempat wisata di Kawasan Puncak adalah sebagai berikut: 1) Taman Safari Indonesia Taman Safari Indonesia (TSI) merupakan taman margasatwa yang dikombinasikan dengan rekreasi alam buatan dan merupakan kawasan perlindungan alam nutfah eks-situ. Beragam binatang jinak maupun buas didatangkan dari seluruh benua, jumlah binatang diperkirakan sekitar ekor. TSI berlokasi di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua. Taman Safari merupakan objek wisata yang menjadi tujuan utama wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Puncak. Hal ini terlihat dari data kunjungan wisatawan dengan jumlah yang paling dominan. Jumlah wisatawan per tahun mencapai lebih dari 1 juta baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. TSI ditunjang dengan berbagai sarana hiburan dan berbagai bentuk wahana permainan yang lengkap seperti jet coaster, mini kora-kora, sepeda air, kereta api, cangkir raksasa, bianglala, go kart, kereta anak serta karnaval tempat menginap, restoran dan trek safari bagi peminat hiking. Jalur jalan

125 101 untuk mencapai lokasi TSI dapat ditempuh dengan rute Bandung-Cianjur- Puncak-Taman Safari Indonesia (99,5 Km) atau Bogor-Ciawi-Cisarua-Taman Safari Indonesia (22,5 Km). Perkembangan jumlah kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara ke Taman Safari Indonesia dapat dilihat pada tabel 28 berikut: Tabel 28. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Taman Safari Indonesia Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Telaga Warna Telaga warna adalah objek dan daya tarik wisata berupa telaga atau danau kecil yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Kawasan utama yang ditawarkan yaitu telaga dan wisata ziarah dan dibuka untuk umum pada bulan Juni Telaga Warna terletak disekitar Puncak Pass dan tidak jauh dari jalan Raya Bogor Cianjur masuk kedalam wilayah Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua. Jarak dari pintu keluar tol Jagorawi (Gadog) ± 20 km. Aksesibilitas menuju Telaga Warna tergolong baik. tempat ini dengan mudah dapat dicapai oleh berbagai jenis kendaraan dari Kota Jakarta, Bogor, Sukabumi. Cianjur dan Bandung. Secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Keadaan topografi kawasan CA/TWA Telaga Warna bergelombang dengan ketinggian kurang lebih meter di atas permukaan laut. Kawasan hutan Telaga Warna ditetapkan sebagai cagar alam (CA) berdasarkan SK Mentan No.481/Kpts/um/6/1981 tanggal seluas 368,25 Ha. Kemudian sebagian areal yang meliputi sebuah telaga berubah fungsinya menjadi taman wisata alam (TWA) seluas 2-5 Ha. Data kunjungan wisatawan nusantara dapat dilihat pada tabel 29 berikut.

126 102 Tabel 29. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Telaga Warna Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Wisata Agro Gunung Mas Kawasan Agrowisata Gunung Mas terletak di Desa Tugu Selatan. Kecamatan Cisarua. dikelola oleh PT.Perkebunan Nusantara VIII sebagai bagian dari Perkebunan Gunung Mas. Perkebunan ini berada pada ketinggian m dari permukaan laut dengan rata-rata o C dengan luas area 2.551,43 Ha. Lahan produktif yang dijadikan kawasan agrowisata memiliki luas 892,7 Ha. Lahan yang tidak produktif tetapi berperan menunjang agro wisata seluas 17,73 Ha dan sejumlah 5,2 Ha dikhususkan untuk kawasan karyawan. Pengunjung yang akan berkunjung dapat dengan mudah mencapai Wisata Agro Gunung Mas karena hanya berjarak + 80 km dari Jakarta ke arah Puncak atau sekitar 1,5-2 jam perjalanan dalam kondisi lancar. Data kunjungan wisatawan di Gunung Mas tercantum pada tabel 30 berikut. Tabel 30. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Agro Gunung Mas Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Curug Cilember Curug Cilember dengan kawasan seluas + 7 Ha terletak di Desa Jogjogan dibawah pengelolaan RPH Cipayung BKPH Bogor KPH Bogor. Curug

127 103 Cilember secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cisarua. pada ketinggian m dari permukaan laut dengan kemiringan lereng >30% dan temperature mencapai 18 o -23 o C. kawasan ini mempunyai curah hujan mm/tahun. Objek wisata ini berdiri pada tahun 1980 dan dibuka pada tahun 1995 serta mulai dikembangkan pada tahun Objek wisata Curug Cilember berada sekitar 2,5 km dari jalan raya Puncak dan 21 km dari kota Bogor. Disini dapat dilihat 12 spesies satwa kupu-kupu di taman bunga. Terdapat pula Laboratorium penangkaran kupu-kupu yang akan melengkapi pengetahuan tentang satwa kupu-kupu dari berbagai jenis. Data kunjungan wisatawan di Curug Cilember dapat dilihat pada tabel 31 berikut. Tabel 31. Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara ke Objek Wisata Curug Cilember Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Taman Melrimba Taman Bunga Melrimba berlokasi di Jalan Raya Puncak Km. 87 Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua. Pada tahun 1970-an kawasan ini adalah lokasi pabrik. Selanjutnya pada tahun 2006 dirubah menjadi Taman Wisata Melrimba Garden. Taman ini terdapat di sebuah kawasan yang dilengkapi dengan restoran yaitu Melrimba Kitchen, showroom bunga yaitu Melrimba Phalaenopsis yang menyediakan bibit tanaman terutama anggrek dan factory outlet yaitu tempatation. Luas Taman Bunga Melrimba yakni 5 Ha. Data kunjungan wisatawan di Taman Melrimba dapat dilihat pada tabel 32 berikut.

128 104 Tabel 32. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Taman Melrimba Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Curug Panjang Curug Panjang berlokasi di Desa Megamendung dengan jarak tempuh dari jalan raya sekitar 11 Km yang dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Objek wisata ini memiliki luas sekitar 3 Ha berada pada ketinggian 830 dari permukaan laut dengan suhu udara C. Kawasan Curug panjang mulai dikelola pada tahun Wana wisata ini menawarkan daya tarik pesona air terjun yang indah serta suasana yang asri dan sejuk. Data kunjungan wisatawan di Curug Panjang dapat dilihat pada tabel 33 berikut. Tabel 33. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Curug Panjang Tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Taman Wisata Matahari Taman Wisata Matahari terletak di Jl. Megamendung No. 37. Kecamatan Cisarua. Akses masuk ke Taman Wisata Matahari melalui dua jalan alternatif, yaitu melalui jalan masuk menuju kawasan wisata Curug Cilember dan melalui samping Rumah Makan Jago Rasa yang berada di sebelah kiri dari arah Ciawi menuju Puncak. Taman ini merupakan tempat rekreasi dan pendidikan dengan luas area 30 Ha, dengan hanya daya tarik utama berupa kawasan rekreasi keluarga. Berada di daerah pegunungan dan merupakan kawasan yang dilewati Sungai Ciliwung dengan panorama yang indah dan

129 105 sejuk, Taman ini dikelola PT. Taman Wisata matahari (bagian dari Matahari Group) yang mulai dikelola sejak tahun Data kunjungan wisatawan di Taman Wisata Matahari dapat dilihat pada tabel 34 berikut. Tabel 34. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Taman Wisata Matahari tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Taman Wisata Riung Gunung Taman Wisata Riung Gunung berlokasi di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua. Tepatnya di Jalan Raya Puncak + 17 km dari pintu tol Ciawi. Taman Wisata Riung Gunung berada pada ketinggian di atas m dpl dengan udara yang bersih dan sejuk. Topografi dengan kemiringan lereng bervariasi. sebagian besar di atas 30% memberikan potensi pemandangan alam perbukitan/ pegunungan. Taman wisata ini baru dibuka tahun 2006 dan dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. Data kunjungan wisatawan di Taman Wisata Riung Gunung dapat dilihat pada tabel 35 berikut. Tabel 35. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke objek wisata Taman Wisata Riung Gunung tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, ) Curug Cisuren Curug Cisuren terletak di Desa Batulayang Kecamatan Cisarua. Memiliki pemandangan yang indah dan lingkungan yang masih alami. Fasillitas di wisata ini diantaranya arena perkemahan dilengkapi fasilitas toilet, mushola dan shelter. Aktifitas wisata yang dapat dinikmati pada lokasi wisata Curug

130 106 Cisuren yaitu air terjun, berkemah dan rekreasi alam. Data kunjungan wisatawan di obyek wisata Curug Cisuren dapat dilihat pada tabel 36 berikut. Tabel 36. Kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke Objek Wisata Curug Cisuren tahun TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH Sumber : Disbudpar, 2009

131 107 V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK 5.1 Analisis Situasi Wisatawan dan Obyek Tujuan Wisata (OTW) Analisis Kunjungan Wisatawan Tingkat kunjungan wisatawan ke Kawasan Puncak meningkat terutama pada saat akhir pekan. Pada tabel 37 ditampilkan perkembangan jumlah kunjungan wisatawan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 berdasarkan objek tujuan wisata yang diamati. Tabel 37. Jumlah kunjungan wisatawan ke berbagai objek tujuan wisata dari tahun 2004 sampai dengan 2009 No Objek Tujuan Wisata TSI Telaga Warna Gn Mas Riung Gunung Curug Cilember 6 Taman Melrimba Citamiang Curug Kembar Curug Cisuren Curug Panjang Taman Wisata Matahari JUMLAH Secara total terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebesar 21,11%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi pada tahun Kunjungan wisatawan terbanyak pada tahun 2009 adalah menuju lokasi Taman Safari Indonesia Indah, atau sekitar 47,92% dari jumlah total wisatawan yang menuju Kawasan Puncak. Kunjungan wisatawan terbanyak kedua dan ketiga adalah menuju Gunung Mas (20,61%) dan Curug Cilember (14,34%). Lokasi

132 108 yang paling sedikit dikunjungi wisatawan di kawasan Puncak adalah Curug Cisuren (0,11%) dan Curug Kembar (0,13%). Apabila dilihat dari trend kunjungan wisatawan ke Kawasan Puncak antara tahun adalah sebagai berikut: (1) Telaga Warna mengalami penurunan kunjungan wisatawan sebesar 69,80%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; (2) Taman Safari Indonesia mengalami penurunan kunjungan wisatawan sebesar 12,32%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; (3) Taman Melrimba mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 29,32%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; (4) Gunung Mas mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 69,01%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; (5) Curug Cilember mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 83,47%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; (6) Riung Gunung mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 101,36%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun 2009; dan (7) Citamiang mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 144,77%, yaitu dari wisatawan pada tahun 2004 menjadi wisatawan pada tahun DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang dan daerah sekitarnya merupakan pasar potensial bagi objek dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Bogor khususnya Kawasan Puncak. Perbedaan tipologi produk yang terdapat antara daerah asal wisatawan dengan tipologi produk yang dimiliki Kawasan Puncak, menjadi penyebab kunjungan wisatawan Analisis Karakteristik Wisatawan Karakteristik wisatawan diketahui berdasarkan jawaban kuisioner yang disebarkan pada 168 responden yang sedang berada di Kawasan Puncak. Pertanyaan selain untuk melihat profil wisatawan juga bersifat menggali pendapat dan opini mengenai berbagai hal terkait daya tarik, kondisi obyek wisata, masalah dan usulan penanganan, kebutuhan pelayanan, dan fasilitas. Berdasarkan asal pengunjung, 40% wisatawan yang mengunjungi Kawasan Puncak berasal dari Jakarta sedangkan pengunjung lain berasal dari Bogor (18%), Depok (17%), Bandung (14%), Jawa Tengah (6%) dan Sumatera (5%).

133 109 Wisatawan lokal maupun nusantara pada umumnya merupakan repeater (kunjungan berulang-ulang) dengan rata-rata frekuensi kunjungan sebagian besar (81%) lebih dari 3 kali dan tidak menginap (20%). Gambar 12. Prosentase wisatawan berdasarkan daerah asal. Pengunjung umumnya datang secara rombongan (52%) dengan menggunakan kendaraan sewa, bersama teman atau kerabat (35,2%), datang bersama keluarga (7,2%) atau sendiri (5,6%). Banyaknya pengunjung yang datang secara rombongan dengan menggunakan kendaraan sewaan disebabkan kendaraan umum ke tempat ini relatif jarang dan pada umumnya untuk mencapai lokasi, dari tempat pemberhentian masih harus berjalan kaki. Gambar 13. Prosentase alasan wisatawan mengunjungi objek tujuan wisata di Kawasan Puncak. Alasan wisatawan mengunjungi obyek tujuan wisata di Kawasan Puncak, adalah: 76% karena ingin melihat pemandangan, 13% karena menganggap fasilitas pendukung pariwisata di kawasan Puncak lengkap, 7% karena menilai kawasan Puncak memiliki obyek wisata yang beragam serta 4% karena jarak ke obyek wisata relatif dekat sehingga mudah dijangkau.

134 110 Gambar 14. Prosentase keluhan wisatawan di Kawasan Puncak. Keluhan wisatawan tentang Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak 43,01% menyatakan kemacetan lalu lintas; (2) sebanyak 30,33% responden menyatakan pertumbuhan PKL (pedagang kaki lima) mengganggu kenyamanan dan keindahan panorama Kawasan Puncak; (3) sebanyak 13,33% responden mengeluhkan tentang banyaknya reklame yang simpang siur; (4) sebanyak 3,33% mengeluhkan banyaknya fasilitas yang kurang terpelihara; dan (5) sebanyak 1% mengeluhkan tentang pertumbuhan bangunan liar. Gambar 15. Prosentase saran wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata Kawasan Puncak. Saran yang diberikan oleh wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata di Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak 59% menyarankan agar pemerintah menangani kemacetan di Kawasan Puncak; (2) sebanyak 23% menyarankan peningkatan pemeliharaan fasilitas obyek wisata; (3) sebanyak 10% menyarankan peningkatan kelestarian lingkungan; (4) sebanyak 6% menyarankan peningkatan pelayanan; dan (5) sebanyak 2% menyarankan peningkatan kualitas SDM dan penurunan tarif obyek wisata.

135 111 Gambar 16. Prosentase usulan penanganan kemacetan lalu lintas di Kawasan Puncak Usulan wisatawan terhadap permasalahan kemacetan lalu lintas di Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak 40% mengusulkan membuka jalan alternatif dalam upaya mengatasi masalah kemacetan di Kawasan Puncak; (2) sebanyak 20% mengusulkan pelebaran jalan-jalan utama menuju lokasi obyek wisata; (3) sebanyak 35% mengusulkan untuk melakukan pengaturan lalu lintas seperti jam buka tutup pada waktu-waktu sibuk/macet dan memberdayakan Polisi lalu Lintas dalam mengatur lalu lintas di kawasan Puncak; dan (4) sebanyak 5% mengusulkan untuk membuka jalan tol ke arah Puncak Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Method /TCM) Nilai ekonomi kawasan Puncak diduga dengan menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel cost method). Secara prinsip metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan orang untuk mencapai tempat rekreasi guna mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas lingkungan. Berdasarkan pola pengeluaran konsumen, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan. Perbandingan biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata puncak Bogor digambarkan sebagai berikut:

136 112 Gambar 17. Prosentase biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata puncak Bogor. Prosentase terbesar yang dikeluarkan oleh pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor yakni biaya penginapan sebesar 34,93%, disusul biaya transportasi sebesar 16,53%, biaya makanan/minuman sebesar 16,22% dan biaya untuk belanja sebesar 15,48%. Sedangkan biaya yang relatif kecil dikeluarkan yakni untuk biaya lainnya sebesar 8,22%, aktivitas wisata sebesar 7,87% dan biaya parkir sebesar 0,74%. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pengunjung pada berbagai objek wisata di Kawasan Puncak ditampilkan pada tabel 38 sebagai berikut: Tabel 38. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor (BPTi) Lokasi Biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor Mkn/Mnm Aktivitas Belanja Transpor Penginapan Parkir Lainlain BPTi T. Safari T. Warna G. Mas C. Cilember T. Melrimba C. Panjang T. Matahari Perbandingan alokasi biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor sebagaimana tertera pada gambar 18.

137 113 Gambar 18. Perbandingan biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor. Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung berdasarkan tempat wisata, menunjukkan biaya tertinggi pengeluaran di lokasi Taman Safari, Taman Melrimba, Agrowisata Gunung Mas dan Taman Wisata Matahari, sedangkan pengeluaran terkecil adalah di lokasi Curug Panjang, Curug Cilember dan Telaga Warna. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung bersedia membayar atau mengeluarkan biaya lebih tinggi pada lokasi-lokasi objek wisata yang sudah dikelola dengan baik dengan sarana dan prasarana yang memadai disertai aktivitas wisata yang beragam seperti Taman Safari, Taman Melrimba, Gunung Mas dan Taman Matahari. Perbandingan biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor menunjukkan bahwa, pengeluaran terbesar pada biaya penginapan yakni pada lokasi Wisata Taman Safari, Telaga Warna, Agrowisata Gunung Mas, Curug Cilember dan Taman Matahari. Pengeluaran terbesar di lokasi Wisata Taman Melrimba yakni pada makanan dan minuman karena pada lokasi tersebut merupakan pusat restoran yang menyediakan wisata alam bagi para pengunjungnya, sedangkan pada Wisata Curug Cilember karena lokasinya yang agak jauh dari jalan poros dan medannya yang cukup berat menyebabkan biaya pengeluaran terbesar yang disiapkan oleh pengunjung adalah biaya transportasi. Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan individu di kawasan puncak digunakan analisis regresi linier berganda dengan

138 114 enam variabel utama yaitu variabel jumlah kunjungan (Y), biaya perjalanan (TC), waktu tempuh (H), pendapatan individu (I), umur (A) dan kondisi objek wisata (F). Pengujian ini menggunakan t-test dan F-test dengan taraf α = 5 %. Uji t (Uji individu) adalah pengujian koefisien regresi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dengan hipotesa sebagai berikut: H 0 : β 1 = 0 (masing-masing variabel X (Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y) H 1 : β 1 0 (Masing-masing variabel X (Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y) Jika p-value > 0,05 dan t-hitung < t-tabel Maka H 0 diterima dan H 1 ditolak, berarti variabel yang diuji tidak berpengaruh pada frekuensi kunjungan. Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan dari variabel-variabel dependent yang bertujuan apakah secara bersama-sama ada minimal satu variabel independent mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependent. Adapun hipotesa yang diajukan adalah: H 0 : β 1 = β 2 = β 3 = β 4 = β 5 = 0, diduga secara simultan Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y. H 1 : β 1 β 2 β 3 β 4 β 5 0, diduga secara simultan Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y. Jika F statistik < 0,05 atau F hitung > F tabel maka H 0 ditolak, yang berarti minimal ada satu variabel independent yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependent. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda, didapat hasil uji t untuk frekuensi kunjungan ditampilkan pada tabel 39 sebagai berikut:

139 115 Tabel 39. Hasil uji parsial (Uji t) frekuensi kunjungan Model Frekuensi Kunjungan t-hit Sig. Ket Konstanta -3,093 0,002 Signifikan Biaya perjalanan (TC) 2,778 0,006 Signifikan Waktu tempuh (H) -3,685 0,000 Signifikan Pendapatan Individu (I) 1,539 0,126 Tidak Signifikan Umur (A) -0,832 0,407 Tidak Signifikan Kondisi objek wisata ( F) 2,579 0,011 Signifikan R 2 0,145 N 168 Berdasarkan tabel 39, dapat dijelaskan bahwa biaya perjalanan hasil uji t menunjukkan p-value 0,006 lebih kecil dari 0,05, maka H 0 ditolak, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara biaya perjalanan terhadap frekuensi kunjungan, hubungan antar keduanya adalah positif, artinya walaupun biaya perjalanan meningkat, hal ini tidak menimbulkan penurunan frekuensi kunjungan ke objek wisata di Kawasan Puncak. Variabel waktu tempuh hasil uji t diketahui bahwa p-value 0,000 lebih kecil dari 0,05, maka H 0 ditolak, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu tempuh terhadap frekuensi kunjungan. Waktu tempuh memiliki hubungan yang negatif dengan frekuensi kunjungan, artinya jika waktu tempuh menuju objek wisata bertambah, hal ini akan menurunkan frekuensi kunjungan ke objek wisata tersebut. Sedangkan untuk variabel pendapatan hasil uji t menunjukkan bahwa p- value 0,126 lebih besar dari 0,05, maka H 0 diterima, yang artinya tidak terdapat pengaruh antara pendapatan dengan frekuensi kunjungan. Kemudian untuk variabel umur hasil uji t menunjukkan bahwa p-value 0,407 lebih besar dari 0,05, maka H 0 diterima, yang artinya tidak terdapat pengaruh antara umur dengan frekuensi kunjungan. Pada variabel kondisi wisata hasil uji t diketahui bahwa p- value 0,011 lebih kecil dari 0,05, maka H 0 ditolak, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara kondisi objek wisata terhadap frekuensi kunjungan. Artinya semakin baik kondisi objek wisata di Kawasan Puncak, maka akan meningkatkan frekuensi kunjungan para wisatawan.

140 116 Berdasarkan hasil pengolahan regresi berganda pada frekuensi kunjungan diketahui bahwa koefisien determinasi R 2 = 0,145. Artinya seluruh variabel independent, yaitu: Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan (I), Umur (A), dan Kondisi Wisata (F), yang mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen (Frekuensi Kunjungan) sebesar 14,5% sedangkan sisanya (85,5%) dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam model. Hasil pengujian serentak ditampilkan pada tabel 40 berikut. Tabel 40. Hasil Pengujian Serentak (Uji-F) pada Frekuensi Kunjungan Variabel F Sig Keterangan Frekuensi Kunjungan 5,478 0,000 Signifikan Berdasarkan tabel 40, diketahui bahwa p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, maka H 0 ditolak, yang berarti secara bersama-sama terdapat minimal satu variabel yang berpengaruh signifikan diantara seluruh variabel independen (Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan (I), Umur (A), dan Kondisi Wisata (F)) terhadap variabel dependen (Frekuensi Kunjungan). Hasil pengujian statistik dapat dilihat pada tabel 41 berikut. Tabel 41. Hasil pengujian statistik deskriptif Variabel N Satuan Min Max Mean Std. Deviation Kunjungan (V) 168 Frek Biaya Rekreasi (TC) 168 Rp Waktu Tempuh (H) 168 Jam Pendapatan (I) 168 Rp Umur (A) 168 Tahun Kondisi Wisata (F) 168 Skala Likert Sumber : Data kuesioner diolah dengan SPSS 17 Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan p-plot test. Pengujian normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik normal. Dasar pengambilan keputusannya jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonalnya, maka model regresi

141 117 memenuhi asumsi normalitas dan sebaliknya jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Gambar 19. Grafik uji normalitas untuk model frekuensi kunjungan. Dilihat dari grafik normalitas diatas (normal p-plot of regression standardized residual) terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi sudah memenuhi asumsi normalitas. Multikolinearitas menunjukkan bahwa antar variabel independen mempunyai hubungan langsung. Multikolinearitas terjadi jika nilai variance inflation factor (VIF) melebihi 10. Variance inflation factor (VIF) merupakan indikator yang menunjukkan bahwa variabel independen lain masih dalam standar error dengan koefisien regresi. Perumusan hipotesisnya adalah: H 0 : Tidak ada multikolinearitas; H 1 : Ada multikolinearitas. Dasar pengambilan keputusan, yaitu jika VIF < 10, maka H 0 diterima (tidak ada multikolinearitas) dan sebaliknya. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil seperti tercantum pada tabel 42 sebagai berikut: Tabel 42. Hasil uji multikolinearitas Variabel VIF Kesimpulan Ln TC Tidak ada Multikolinearitas Ln H Tidak ada Multikolinearitas Ln I Tidak ada Multikolinearitas Ln A Tidak ada Multikolinearitas Ln F Tidak ada Multikolinearitas

142 118 Berdasarkan tabel 42, diketahui bahwa seluruh variabel independen mempunyai nilai VIF < 10, yang berarti tidak ada multikolinearitas sehingga model regresi untuk frekuensi kunjungan yang digunakan dalam penelitian dapat dilanjutkan. Autokorelasi menunjukkan bahwa ada korelasi antara error dengan error periode sebelumnya dimana pada asumsi klasik hal ini tidak boleh terjadi. Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan durbin watson seperti tercantum pada tabel 43. Perumusan hipotesis adalah: H 0 : tidak ada autokorelasi; H 1 : ada autokorelasi. Tabel 43. Keputusan uji autokorelasi Hipotesa Nol (H 0) Keputusan Kriteria Keterangan Tdk ada autokorelasi positif H 0 ditolak 0 < DW <d L autokorelasi positif Tdk ada autokorelasi positif tdk ada keputusan d L DW d U tdk dapat disimpulkan Tdk ada autokorelasi negatif H 0 ditolak 4-d L < DW < 4 autokorelasi negative Tdk ada autokorelasi negatif tdk ada keputusan 4-d U DW 4-d L tdk dapat disimpulkan Tdk ada autokorelasi H 0 diterima d U < DW < 4-d U Tidak ada autokorelasi Gambar 20. Bagan keputusan uji autokorelasi. Berdasarkan hasil regresi, diketahui pada frekuensi kunjungan memiliki nilai DW = 1,562 terletak diantara (0 < DW <d L ), sehingga data dalam penelitian berada pada daerah ada autokorelasi positif, sehingga model regresi yang digunakan masih belum memenuhi uji asumsi klasik, untuk uji autokorelasi. Namun demikian pengaruhnya terhadap hasil regresi tidak terlalu besar sehingga

143 119 model regresi yang digunakan masih layak untuk dilanjutkan. Hasil uji autokorelasi tercantum pada tabel 44 berikut: Tabel 44. Hasil uji autokorelasi (n=168, k=5, α=0.05) Model d L du 4-dU 4-dL DW Kesimpulan Frekuensi Kunjungan Ada autokorelasi positif Heteroskedastisitas menunjukkan bahwa varian dari setiap error bersifat heterogen yang berarti melanggar asumsi klasik yang mensyaratkan bahwa varian dari error harus bersifat homogen. Pengujian dilakukan dengan uji glejser, dengan cara meregresikan seluruh variabel independen dengan nilai absolute residual sebagai dependennya. Perumusan hipotesisnya adalah: H 0 : tidak ada heteroskedastisitas, H 1 : ada heteroskedastisitas. Jika signifikan < 0,05, maka H 0 ditolak (ada heteroskedastisitas) dan sebaliknya. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 45 berikut. Tabel 45. Hasil uji heteroskedastisitas Variabel Residual Frekuensi Kunjungan Kesimpulan Ln TC 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas Ln H 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas Ln I 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas Ln A 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas Ln F 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas Berdasarkan tabel 45, dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada frekuensi kunjungan, karena semua variabel independennya tidak ada yang memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 terhadap residualnya. Hasil regresi antara Frekuensi Kunjungan (Y) dengan variabel-variabel bebas Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan (I), Umur (A), dan Kondisi Wisata (F) dapat dilihat sebagai berikut: Ln Y = -3,090+ 0,093 Ln TC 0,283 Ln H + 0,101 Ln I 0,110 Ln A + 0,503 Ln F Sig = (0,002) (0,006) (0,000) (0,126) (0,407) (0,011)

144 120 Berdasarkan persamaan diatas dapat disimpulkan bahwa dari enam variabel yang digunakan terdapat tiga variabel bebas yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat (frekuensi kunjungan) yaitu variabel biaya perjalanan, waktu tempuh dan kondisi objek wisata. Sedangkan dari pengujian secara simultan diperoleh hasil bahwa semua variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya (jumlah kunjungan individu). Hasil regresi menunjukkan terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap frekuensi kunjungan, yaitu: total biaya, waktu tempuh dan kondisi wisata. Faktor total biaya berpengaruh positif terhadap frekuensi kunjungan wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,006 (P = 0,006 < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan total biaya akan meningkatkan frekuensi berkunjung sebesar exp (0,093) atau 1,10 kali kunjungan. Faktor waktu tempuh berpengaruh negatif terhadap frekuensi kunjungan wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (P = 0,000 < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan waktu tempuh akan mengurangi frekuensi berkunjung sebesar exp (0,283) atau 0,75 kali kunjungan. Faktor kondisi wisata berpengaruh positif terhadap frekuensi kunjungan wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,011 (P = 0,011< 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan kondisi wisata akan meningkatkan frekuensi berkunjung sebesar exp (0,503) atau 1,65 kali kunjungan. 5.2 Analisis Daya Saing Penghitungan indeks daya saing pariwisata di Kawasan Puncak dilakukan dengan memasukkan seluruh indikator daya saing dari WWTC sebanyak 8 indikator. Selain mengukur daya saing wisata di Kawasan Puncak, dilakukan pula studi komparasi dengan indeks daya saing daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Dipilihnya destinasi Lembang sebagai perbandingan adalah dengan pertimbangan mempunyai kemiripan dengan objek wisata di kawasan puncak yaitu berupa alam pegunungan. Analisis daya saing ini penting dilakukan untuk memberikan gambaran posisi daya saing pariwisata di Kawasan Puncak serta berimplikasi pada kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam

145 121 pengembangan sektor pariwisata. Dengan memperhatikan indikator-indikator penentu daya saing dapat dikaji kelebihan dan kekurangan suatu destinasi dalam mengembangkan industri pariwisata sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang potensial. Hasil analisis mengenai kedudukan atau posisi daya saing pariwisata di Kawasan Puncak dapat dijelaskan secara ringkas dalam tabel 46 berikut ini: Tabel 46. Perbandingan daya saing antara Kawasan Pariwisata Puncak dan Lembang No INDIKATOR KAWASAN PUNCAK LEMBANG 1 Price competitiveness (PC) 0,106 0,063 2 Human Tourism (HT) - Tourism Impact Index (TII) - Tourism Participation Index (TPI) 0,036 0,033 3 Infrastruktur Development Indicator (IDI) 0,028 0,038 4 Environment Indicator (EI) 0,043 0,044 5 Technology Advancement Indicator (TAI) 0,091 0,097 6 Human Resources Indicator (HRI) 0,119 0,123 7 Social Development Indicator (SDI) 0,014 0,025 8 Openess Indicator (OI) 0,045 0,068 Indeks Daya Saing 0,482 0,492 Berdasarkan hasil perhitungan daya saing yang ditampilkan pada tabel 46, secara kumulatif berdasarkan 8 indikator pembentuk daya saing, nilai indeks daya saing Lembang, Kabupaten Bandung Barat yaitu 0,492, lebih tinggi dari daya saing Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor yaitu 0,482. Hampir seluruh nilai pada indikator yang dihitung, Lembang memiliki nilai yang lebih tinggi dari Kawasan Puncak kecuali untuk indikator price competitiveness (PC) dan human tourism (HT) Lembang memiliki nilai lebih rendah dari Kawasan Puncak. Beberapa penyebabnya dapat dijelaskan pada setiap indikator yang membentuk indeks daya saing di sektor pariwisata di bawah ini: Price Competitiveness Indicator (PCI) Indikator ini menunjukkan harga komoditi yang dikonsumsi oleh turis selama berwisata seperti biaya akomodasi, travel, sewa kendaraan dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan atau dikonsumsi oleh wisatawan di

146 122 Kawasan Puncak telah dianalisis pada bab V. Berdasarkan hasil survey dan analisis biaya perjalanan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh rata-rata biaya perjalanan wisatawan di kawasan Puncak adalah Rp dan bila dikalikan jumlah wisatawan serta rata-rata lama tinggal di kawasan Puncak dalam satu tahun, maka total dana yang dikeluarkan wisatawan dan beredar di kawasan Puncak adalah Rp Komparasi dengan Lembang tidak digunakan data biaya perjalanan, mengingat tidak dilakukan pengambilan sampel pada tempat objek wisata di Lembang. Pengukuran yang digunakan adalah purchasing power parity (PPP) sebagai proksi dari harga adalah rata-rata tarif minimum hotel. Harga hotel berasal dari hotel Safari Garden dan Hotel Seruni di Kawasan Puncak dan Hotel Grand Lembang di Lembang. PPP dihitung dari jumlah turis suatu daerah x rata-rata tarif hotel x rata-rata masa tinggal. Hasil indeks PPP ini juga menunjukkan bahwa indeks PPP lebih tinggi di Kawasan Puncak dibandingkan dengan Lembang. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah turis yang datang ke Kawasan Puncak dibandingkan ke Lembang. Selain faktor jumlah turis, faktor rata-rata masa tinggal turis di daerah destinasi juga merupakan indikator untuk menentukan indeks PPP ini. Rata-rata masa tinggal turis di destinasi Kawasan Puncak adalah 1,8 hari sedangkan di destinasi Lembang adalah 2,1 hari. Perbedaan rata-rata masa tinggal ini sangat ditentukan oleh kenyamanan turis dan daya tarik pariwisata yang ditawarkan destinasi tersebut. Masa tinggal turis juga sangat ditentukan oleh kenyamanan hotel dan keramahan penduduk di daerah destinasi. Secara kuantitas jumlah hotel/wisma/bungalow di Kawasan Puncak lebih banyak dari Lembang, yaitu 141 unit di Kawasan Puncak dan 47 unit di Lembang Human Tourism Indicator (HTI) Human tourism indicator (HTI) merupakan indikator yang menunjukkan pencapaian perkembangan ekonomi daerah akibat kedatangan turis pada daerah tersebut. Pengukuran yang digunakan adalah tourism participation index (TPI) yaitu rasio antara jumlah wisatawan dengan jumlah penduduk daerah destinasi dan tourism impact index (TII) yaitu rasio antara penerimaan pariwisata dengan PDRB. Jumlah wisatawan di Kawasan Puncak lebih banyak daripada di Lembang. Pada tahun 2009 jumlah wisatawan di Kawasan Puncak mencapai orang, sedangkan di Lembang sebanyak orang dan

147 123 Kabupaten Bandung Barat sebanyak orang. Hal tersebut terlihat dari angka tourism participation index dengan melihat seberapa besar rasio antara pertambahan jumlah wisatawan dengan pertambahan jumlah penduduk di daerah tujuan wisata. Hasilnya angka TPI Kawasan Puncak yaitu 0,387 lebih tinggi dari TPI Lembang yaitu 0,372. Pertambahan jumlah wisatawan di suatu destinasi akan memberikan dampak baik secara ekonomi maupun sosial bagi masyarakat setempat. Secara ekonomi dapat terlihat dari nilai tourism impact index (TII) yang dihitung dari penerimaan pariwisata dengan PDRB. Nilai TII di Kawasan Puncak yaitu 0,423, sedangkan nilai TII di Lembang lebih kecil yaitu Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan wisatawan di Kawasan Puncak secara ekonomi memberikan kontribusi terhadap PDRB lebih besar daripada di Lembang. Selain itu sektor pariwisata, juga memberikan kontribusi pendapatan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi yang dipungut pemerintah baik di bidang hotel, restoran, hiburan dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan pariwisata. Penerimaan PAD dari sektor pariwisata di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2005 penerimaan dari sektor pariwisata adalah Rp , meningkat menjadi Rp pada tahun Peningkatan penerimaan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat Infrastructure Development Indicator (IDI) Infrastruktur merupakan faktor penunjang perkembangan pariwisata yang secara langsung akan berpengaruh pada pola pencaran arus wisatawan menuju daerah tujuan wisata dan selanjutnya menuju objek wisata. Ketersediaan infrastruktur akan memperkuat daya tarik daerah tujuan wisata, terutama bila akses ke daerah tujuan wisata tersebut sangat dipermudah, karenanya dalam pengukuran indikator ini digambarkan dengan kondisi jalan raya dan cakupan pelayanan air bersih sebagai faktor penting untuk perkembangan pariwisata. Infrastructure development indicator (IDI) Lembang mempunyai nilai lebih tinggi daripada Kawasan Puncak dengan perbandingan 0,038 : 0,028. Keunggulan infrastruktur Lembang adalah tersedianya berbagai moda angkutan yang dapat dipilih oleh wisatawan untuk menuju Bandung. Moda angkutan tersebut meliputi angkutan kendaraan pribadi maupun umum, moda angkutan kereta api dan moda angkutan pesawat udara. Sedangkan untuk

148 124 mencapai Bogor hanya bisa dilalui moda angkutan kendaraan pribadi/umum dan kereta api. Selain itu, akses untuk mencapai destinasi Lembang dapat ditempuh melalui 7 jalur jalan yaitu: (1) Padalarang-Jln Pasir Halang- Cisarua Lembang; (2) Cimahi Kol Masturi Cisarua Lembang; (3) Cimahi Cihanjuang Parongpong Lembang; (4) Kota Bandung Setiabudi Lembang; (5) Dago Cibodas Maribaya Lembang; (6) Pucrut Cijeruk Lembang; dan (7) Subang Tangkuban Perahu Panorama Lembang, sedangkan di Kawasan Puncak untuk mencapai Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua bisa ditempuh dari tiga pintu masuk (inlet) yaitu dari arah Cianjur, Sukabumi dan Bogor tetapi ketika mencapai tujuan tempat objek wisata hanya dilayani oleh satu jalur jalan, sehingga jika lalu lintas padat/macet tidak dapat dihindari karena tidak ada alternatif jalan lain. Jalan Raya Puncak sebagai jaringan jalan utama (kolektor primer) merupakan pembentuk struktur Kawasan Puncak, sehingga dengan hanya mengandalkan satu ruas jalan (single line) ini maka bentuk perkotaan yang terjadi di Kawasan Puncak cenderung mengarah pada pola linier. Pertambahan panjang jalan yang relatif sedikit tidak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan yang menuju Kawasan Puncak, baik untuk tujuan wisata ataupun hanya melintasi Kawasan Puncak untuk tujuan ke Cianjur atau Bandung. Pada tahun 2009 DLLAJ melakukan survey data primer di pos pengamatan Ciawi dengan hasil rata-rata jumlah kendaraan yang melintas adalah sebanyak kendaraan per hari atau 1649 kendaraan per jam. Penambahan kendaraan ini cukup tinggi dibandingkan tahun 2001 yang mencapai kendaraan per hari atau sekitar kendaraan per jam. Kemacetan lalu lintas di Kawasan Puncak diperparah dengan banyaknya gangguan samping akibat penggunaan bahu jalan untuk parkir dan pedagang kaki lima (PKL). Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan Dinas Cipta Karya tahun 2006, sepanjang jalur jalan dari Ciawi sampai dengan batas Cianjur terdapat sekitar 446 PKL. Hal ini sangat mengganggu baik dari estetika, kenyamanan, keselamatan dan kelestarian lingkungan Environment Indicator (EI) Indikator ini menunjukkan kualitas lingkungan dan kesadaran penduduk dalam memelihara lingkungannya. Data yang digunakan adalah indeks kepadatan penduduk (rasio antara jumlah penduduk dengan luas daerah) dan

149 125 tingkat kebisingan (dba). Indeks ini memberi implikasi bahwa jika suatu daerah destinasi tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi maka diasumsikan kualitas lingkungan di destinasi tersebut akan rendah. Kualitas lingkungan akan mempengaruhi kenyamanan turis yang datang ke destinasi tersebut. Secara umum mereka menginginkan destinasi yang bersih, nyaman dan aman maupun suasana alam yang menyegarkan. Indeks lingkungan di Lembang sedikit lebih baik daripada Kawasan Puncak dengan nilai 0,044 untuk Lembang dan Kawasan Puncak 0,043. Hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wisata di Kawasan Puncak adalah dengan mengendalikan pertambahan penduduk karena saat ini kepadatan penduduk di Kawasan Puncak cukup tinggi yaitu jiwa/km 2 di Kawasan Puncak sedangkan kepadatan penduduk di Lembang berada di bawah Kawasan Puncak yaitu jiwa/km 2. Kepadatan penduduk yang terlalu tinggi dapat menurunkan kualitas lingkungan yang pada akhirnya menurunkan kenyamanan berwisata. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup tahun 2009, diperoleh data tingkat kebisingan pada dua lokasi di kawasan Puncak terdeteksi sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan,yaitu tertinggi mencapai 85,7 dba sedangkan yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 41 tahun 1999 adalah 60 dba. Berdasarkan data-data diatas maka perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas lingkungan melalui peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menjaga lingkungan sehingga lingkungan menjadi bersih dan indah yang pada akhirnya akan menambah masa tinggal turis di daerah destinasi Technology Advancement Indicator (TAI) Indikator ini menunjukkan perkembangan infrastruktur dan teknologi modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, dan telephone. Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks teknologi di daerah destinasi Lembang lebih tinggi dibandingkan destinasi Kawasan Puncak yaitu 0,097: 0,091. Kemajuan alat telekomunikasi telepon dan internet sangat penting artinya bagi perkembangan daerah tujuan wisata. Kedua alat komunikasi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai media promosi bagi daerah tujuan wisata untuk menarik kunjungan wisatawan.

150 Human Resources Indicator (HRI) Indikator ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia daerah tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wisatawan. Pengukuran HRI menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM mencakup tiga komponen yaitu peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan hidup layak (living standards). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir, pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada paritas daya beli (BPS 2009). Angka IPM Lembang Kabupaten Bandung Barat sebesar 75,02 sedangkan IPM Kabupaten Bogor berada dibawahnya yaitu 71,63. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM penduduk Kabupaten Bandung Barat lebih baik daripada Kabupaten Bogor, rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bandung Barat mencapai 8,34 tahun atau setara dengan kelas 2 SLTP sedangkan di Kabupaten Bogor baru 7,53 tahun atau setara dengan kelas 1 SLTP. IPM dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu wilayah dikategorikan maju, berkembang atau terbelakang serta digunakan untuk mengukur pengaruh dari kebijakan pembangunan terhadap kualitas hidup. Indeks ini memberi implikasi bahwa semakin tinggi kualitas SDM penduduk di daerah destinasi maka diasumsikan akan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada turis di daerah destinasi. Semakin baik pelayanan maka dapat meningkatkan rata-rata lama tinggal wisatawan sehingga memberikan banyak manfaat bagi daerah destinasi. Salah satu manfaat yang diperoleh adalah pendapatan daerah yang berasal dari sektor pariwisata Social Development Indicator (SDI) Indikator ini menunjukkan kenyamanan dan keamanan turis untuk berwisata di daerah destinasi. Ukuran social development indicator (SDI) yang digunakan dalam penghitungan ini adalah kejadian kriminalitas atau gangguan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan lama rata-rata masa tinggal turis di daerah destinasi. Asumsinya semakin sedikit gangguan kamtibmas maka akan meningkatkan rasa aman dan nyaman para wisatawan. Indeks gangguan kamtibmas Lembang adalah 0,304 sedangkan gangguan kamtibmas Kawasan Puncak adalah 0,426. Berdasarkan angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejadian gangguan kamtibmas atau keamanan

151 127 Lembang lebih baik daripada Kawasan Puncak. Gangguan kamtibmas yang kerapkali terjadi di Kawasan Puncak adalah pencurian (kendaraan, ringan, berat, kekerasan) sebanyak 62 kejadian di Kecamatan Ciawi, 29 kejadian di Kecamatan Megamendung dan 102 kejadian di Kecamatan Cisarua (BPS 2009). Kenyamanan turis atau wisatawan tinggal di suatu destinasi salah satunya ditunjukkan oleh rata-rata lama tinggal. Angka rata-rata lama tinggal di lembang berkisar antara 1,7 sampai 2,4 hari sedangkan di Kawasan Puncak berkisar antara 1,5 sampai dengan 2,1 hari. Selain itu ukuran rata-rata lama tinggal memberi implikasi bahwa semakin lama turis tinggal di daerah destinasi maka akan lebih banyak perbelanjaan atau konsumsi yang dikeluarkan di daerah tersebut. Berdasarkan data yang tertera pada tabel 48, nilai SDI Lembang (0,025) lebih tinggi daripada Kawasan Puncak (0,014). Hal ini sebagai indikasi perkembangan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di Lembang lebih baik daripada di Kawasan Puncak Openess Indicator (OI) Indikator ini menunjukkan tingkat keterbukaan destinasi terhadap perdagangan internasional dan turis internasional, namun karena kesulitan mencari data-data perdagangan internasional di daerah, maka pendekatan untuk menunjukkan tingkat keterbukaan atau OI adalah dengan menggunakan data jumlah wisatawan mancanegara. Asumsinya adalah dengan bertambahnya kedatangan jumlah wisatawan mancanegara atau internasional maka menyebabkan terjadinya perdagangan atau transaksi antara kedua bangsa, yaitu bangsa asal turis dan bangsa destinasi tujuan wisata. Selain itu, pertambahan jumlah wisatawan asing yang mengunjungi suatu destinasi, maka menunjukkan bahwa destinasi tersebut berada dalam kondisi aman dan nyaman serta sebagai indikator keterbukaan masyarakat, pemerintah maupun pelaku wisata dalam berinteraksi dengan wisatawan mancanegara. Memperhatikan data pada tabel 48, kondisi destinasi di Lembang lebih terbuka dari Kawasan Puncak, hal ini ditunjukkan dengan nilai OI Lembang (0,068) yang lebih tinggi dari OI Kawasan Puncak (0,045). Jumlah wisman di Lembang pada tahun 2009 adalah wisatawan dan di Kawasan Puncak wisatawan. Faktor yang mendukung kemudahan wisatawan mancanegara mendatangi suatu destinasi tidak terlepas dari ketersediaan moda

152 128 transportasi. Keunggulan Kabupaten Bandung Barat adalah dekat dengan lapangan terbang internasional Husein Sastranegara. 5.3 Analisis Daya Dukung Kawasan (DDK) Analisis Daya Dukung Fisik (PCC) Daya dukung fisik/physical Carrying Capacity (PCC) adalah jumlah maksimal pengunjung yang dapat secara fisik memenuhi suatu ruang yang telah ditentukan pada waktu tertentu. Hasil penghitungan PCC terhadap objek wisata yang diamati dapat dilihat pada tabel 47. Tabel 47. Daya dukung fisik (PCC) untuk kendaraan dan wisatawan berdasarkan lokasi objek tujuan wisata di Kawasan Puncak No. LOKASI PCC PARKIR PCC RUANG 1 Taman Safari Indonesia Telaga Warna Agrowisata Gunung Mas Curug Cilember 167 6,000 5 Taman Melrimba Curug Panjang Taman Wisata Matahari PCC yang diukur dalam penelitian ini meliputi PCC untuk tempat parkir dan PCC untuk ruang berwisata, PCC tempat parkir dinyatakan dengan jumlah kendaraan yang dapat ditampung di areal parkir selama masa operasional wisata. Ukuran kendaraan yang digunakan diasumsikan berukuran 2 x 3 m dengan perkiraan 54 m2 cukup untuk 3 mobil atau 18 m 2 /mobil. Lokasi objek wisata Taman Safari Indonesia menempati urutan terbanyak dalam hal kemampuan menampung kendaraan yaitu kendaraan dalam kurun waktu 8 jam waktu operasional wisata dengan waktu pemanfaatan rata-rata pengunjung selama 6 jam. Terbanyak kedua adalah Taman Wisata Matahari dengan jumlah kendaraan kendaraan selama waktu operasional 9,5 jam dengan rata-rata waktu yang dimanfaatkan pengunjung 8 jam. Diantara 7 lokasi yang diamati, objek wisata Taman safari Indonesia dan Taman Wisata Matahari merupakan objek wisata yang menyediakan lahan parkir terluas yaitu masing-masing m 2 dan m 2. Kapasitas daya tampung

153 129 kendaraan terendah terdapat pada objek wisata Telaga Warna dan Curug Cilember dengan kapasitas masing-masing 100 dan 167 kendaraan dalam kurun waktu rata-rata pemanfaatan selama 5 jam dan 8 jam dengan areal luas lahan parkir masing-masing m 2 dan m 2. Berdasarkan gambaran jumlah kendaraan tersebut dapat menjadi alat pengendali bagi pihak manajemen dan pemerintah daerah dalam pengaturan luas lahan parkir dan kapasitas kendaraan yang diperbolehkan atau diizinkan. Daya dukung fisik (PCC) adalah jumlah maksimal pengunjung yang dapat ditampung secara fisik di suatu OTW akan tergantung dari: (1) Luas areal OTW; 2) Luas areal OTW yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata; (3) Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari); (4) Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung; serta 5) Area yang dimanfaatkan oleh 1 pengguna per m 2. Nilai PCC diperoleh setelah mengidentifikasi dan pengumpulan data kepada responden serta data-data sekunder tentang OTW yang bersangkutan. Data-data luas lahan keseluruhan dan luas lahan yang benar-benar dimanfaatkan wisatawan serta data waktu operasional OTW diperoleh dari hasil wawancara dengan manajemen OTW sedangkan waktu pengunjung menghabiskan waktu berwisata diperoleh dari hasil wawancara dengan pengunjung di lokasi OTW tersebut. Adapun batasan atau standar potensi ekologis seorang pengunjung per luasan tertentu diperoleh dari referensi. Berdasarkan pendapat Wong (1991) dalam Rahmawati (2009), standar kelas rendah kebutuhan ruang berwisata didaerah pesisir adalah 10 m 2 /orang, kelas menengah adalah 15 m 2 /orang, kelas mewah 20 m 2 dan kelas istimewa 30 m 2 /orang. Pada penelitian ini digunakan standar kelas menengah 15 m 2 /orang dengan pertimbangan sebagian besar pengunjung ke Kawasan Puncak berada pada kondisi tersebut, salah satu cirinya adalah kedatangan pengunjung berwisata secara berombongan atau keluarga yang tidak terlalu membutuhkan ruang terlalu luas/mewah. Berdasarkan batasan tersebut maka OTW Taman Safari mempunyai kapasitas menampung pengunjung yang terbesar dibandingkan 6 OTW lain yang diamati yaitu dapat menampung sebanyak pengunjung pada luasan lahan 100 ha dalam waktu operasional sekitar 8 jam dengan waktu pemanfaatan rata-rata pengunjung selama 6 jam. Terbanyak kedua adalah pada OTW Taman Wisata Matahari dengan nilai PCC sebesar artinya dapat menampung

154 pengunjung selama waktu operasional 9,5 jam dengan rata-rata waktu yang dimanfaatkan pengunjung 8 jam pada lahan yang disediakan seluas 20 ha. Sebaliknya untuk luas lahan yang relatif sempit tidak dapat menampung kunjungan dalam jumlah banyak seperti halnya di lokasi Curug Cilember dan Telaga Warna yang hanya dapat menampung dan pengunjung pada luasan lahan masing-masing 3 ha dan 2 ha Analisis Daya Dukung Sebenarnya (RCC) Daya dukung sebenarnya/real Carrying Capacity (RCC) adalah jumlah kunjungan maksimal untuk sebuah lokasi setelah mempertimbangkan faktorfaktor koreksi yang terjadi di suatu lokasi. Faktor koreksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah curah hujan dengan pertimbangan bahwa curah hujan merupakan faktor yang dapat menghambat kunjungan wisata. Perhitungan RCC di lokasi pengamatan didasarkan data curah hujan di tiga kecamatan seperti yang tampak pada tabel 48. Tabel 48. Curah hujan dan Hari hujan di Kawasan Puncak No. IKLIM Cisarua Ciawi Megamendung Rata-rata 1. Curah Hujan (mm/bln) 278,8 49, ,7 2. Hari Hujan (hh) ,7 Sumber : Kecamatan Dalam Angka, 2009 Berdasarkan klasifikasi Oldeman tipe iklim di Kawasan Puncak termasuk pada tipe B2 dan C1. Tipe iklim B2 merupakan daerah yang mempunyai 7 sampai 9 bulan basah dan 2 sampai 4 bulan kering. Sedangkan tipe iklim C1 yaitu daerah yang mempunyai 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering. Bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Tipe iklim B2 terdapat di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Sedangkan tipe ikllim C1 terdapat di Kecamatan Ciawi. Curah hujan di Kawasan Puncak rata-rata 125,7 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 18,7 hh. Berdasarkan data curah hujan, didapati waktu hujan turun rata-rata 6 jam per hari per tahun. Hasil hitungan faktor koreksi curah hujan disajikan pada tabel 49.

155 131 Tabel 49. Faktor koreksi curah hujan di lokasi objek wisata tahun 2009 Lokasi Faktor Koreksi (%) Taman Safari Indonesia 61,37 Telaga Warna 22,74 Agrowisata Gunung Mas 73,65 Curug Cilember 46,03 Taman Melrimba 92,05 Curug Panjang 40,91 Taman Wisata Matahari 46,03 Faktor koreksi merupakan faktor pembatas yang dapat mempengaruhi jumlah pengunjung berdasarkan daya dukung fisik (PCC). Keberadaan faktor pembatas yang mengoreksi jumlah kunjungan berdasarkan daya dukung fisik (PCC), maka daya dukung untuk kunjungan wisatawan yang realistis atau sebenarnya pada setiap lokasi yang diamati, dapat dilihat pada tabel 50. Tabel 50. Kondisi PCC dan RCC pada setiap lokasi objek tempat wisata No. LOKASI PCC (kunjungan/hari) RCC (kunjungan/hari) 1 Taman Safari Indonesia Telaga Warna Agrowisata Gunung Mas Curug Cilember Taman Melrimba Curug Panjang Taman Wisata Matahari ,545 Berdasarkan hasil perhitungan PCC dan RCC diatas, terdapat perbedaan kapasitas daya tampung pengunjung per hari antara sebelum dan setelah diperhitungkan faktor pembatas. Setelah diperhitungkan faktor pembatas berupa faktor koreksi dari curah hujan, maka kapasitas daya dukung pengunjung pada setiap OTW menjadi lebih kecil atau berkurang. Rata-rata pengurangan dari nilai PCC (daya dukung fisik) menuju RCC (daya dukung sebenarnya) adalah antara 1,7 sampai 12,5 kali lipat. Pengurangan terkecil terjadi di OTW Curug Panjang sedangkan terbesar adalah di OTW Taman Melrimba. Perbedaan kelipatan

156 132 pengurangan PCC ke RCC dipengaruhi oleh faktor lamanya pengunjung berada di suatu OTW. Rendahnya pengurangan PCC menjadi RCC di OTW Taman Melrimba dipengaruhi masa kunjungan yang relatif pendek di lokasi tersebut yaitu sekitar 4 jam yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan makan di restoran, sedangkan waktu kunjungan di OTW yang lain lebih lama yaitu sekitar 6 sampai 9 jam, sehingga faktor pembatas curah hujan tidak seluruhnya mengganggu atau membatasi aktivitas wisata Analisis Daya Dukung yang Diperbolehkan/Efektif (ECC) Setelah mengukur RCC maka dilanjutkan dengan penghitungan ECC atau analisis daya dukung efektif yang dihitung dengan mempertimbangkan kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen. Kapasitas infrastruktur didasarkan pada lamanya rata-rata pemanfaatan waktu operasional suatu objek wisata oleh pengunjung dibandingkan dengan waktu jarak tempuh dari jalan arteri ke lokasi objek wisata, sedangkan kapasitas manajemen adalah kemampuan pengelola dalam menjalankan usaha wisatanya agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Perbandingan hasil analisis PCC,RCC dan ECC dapat dilihat pada tebel 51 berikut. Tabel 51. Kondisi PCC, RCC, ECC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi objek tempat wisata No. LOKASI PCC (kunjungan/ hari) RCC (kunjungan/ hari) ECC (kunjungan/ hari) Kunjungan Wisatawan (kunjungan/ hari) 1 Taman Safari Indonesia Telaga Warna Agrowisata Gunung Mas Curug Cilember Taman Melrimba Curug Panjang Taman Wisata Matahari Unsur manajemen yang diamati pada penghitungan ini meliputi kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia pegawai dan alokasi anggaran bagi pemeliharaan objek wisata tersebut. Ketiga unsur ini sangat penting karena selain berkaitan dengan kondisi fisik tempat objek wisata yang terpelihara

157 133 dengan baik juga dengan kemampuan pelayanan pengelola terhadap pengunjung demi menciptakan kenyamanan berwisata. Gambaran kondisi PCC, RCC dan ECC serta kondisi kunjungan wisatawan disajikan pada gambar 21. Gambar 21. Kondisi perbandingan antara, RCC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi objek tempat wisata. Pada saat kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi yang mendukung. Berdasarkan uraian PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah diperbaiki (dikurangi) dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat dinotasikan dengan: PCC > RCC dan RCC > ECC (Khair Uzunu 2008). Gambar 22. Kondisi perbandingan antara, ECC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi objek tempat wisata.

158 134 Persamaan diatas dijadikan standar dalam menentukan kapasitas daya dukung fisik di Kawasan Puncak. Jika ECC lebih besar dari RCC dan RCC lebih besar PCC berarti jumlah pengunjung yang memasuki kawasan wisata telah melewati daya dukung fisik kawasan. Manning (1992) dalam Khair Uzunu ((2008) mengatakan ketika indikator variabel tidak sesuai dengan standar yang dibuat, berarti daya dukung terlampaui sehingga diperlukan langkah-langkah kegiatan pengelolaan kawasan. Berdasarkan data yang ditampilkan pada tabel 51 dan gambar 22, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Taman Safari Indonesia Dibandingkan dengan tempat objek wisata lainnya di Kawasan Puncak, Taman Safari Indonesia memiliki PCC dan RCC yang lebih tinggi, yaitu kunjungan/hari dan kunjungan/hari. Hal ini sesuai dengan luas lahan objek wisata Taman Safari Indonesia yang dimanfaatkan untuk wisata memiliki luas sekitar 100 ha dengan durasi waktu operasional sekitar 8 jam, sehingga walaupun ada kendala hujan yang turun pada hari-hari hujan tertentu, masih mampu menampung kunjungan wisatawan yang lebih tinggi dari lokasi wisata lainnya. Namun jika dilihat dari nilai ECC, maka daya dukung efektif di Taman Safari bernilai lebih rendah dari Taman Melrimba. Hal ini disebabkan karena terdapatnya perbedaan faktor pembatas kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen yang dimiliki oleh lokasi wisata tersebut. Faktor jarak antara jalan arteri primer ke lokasi wisata menjadi faktor yang berpengaruh terhadap rotasi kunjungan wisata. Waktu tempuh dari jalan propinsi ke Taman Melrimba lebih singkat dari waktu tempuh menuju Taman Safari Indonesia, sehingga rotasi kunjungan pun menjadi lebih tinggi. Demikian pula dari kapasitas manajemen, Taman Safari masih membutuhkan penambahan personil karena luasnya areal wisata serta banyaknya ragam atraksi wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Saat ini jumlah pegawai yang bekerja di Taman Safari berjumlah 630 orang. Berbeda halnya dengan Taman Melrimba, karena lokasinya yang tidak luas dengan kegiatan utama wisatanya berupa restoran dan taman bunga, maka tidak memerlukan karyawan yang banyak sehingga dengan jumlah pegawai berjumlah 65 orang sudah dirasakan cukup. Berdasarkan nilai PCC, RCC dan ECC maka diketahui bahwa nilai ECC Taman safari lebih kecil dari nilai RCC dan lebih kecil dari PCC. Berdasarkan

159 135 hal tersebut maka kapasitas daya dukung Taman Safari masih memadai. Indikator lain yang menunjukkan bahwa kapasitas pengunjung di Taman Safari belum melampaui daya dukung adalah dengan membandingkan nilai ECC dengan data jumlah wisatawan yang mengunjungi Taman Safari per hari. Nilai ECC Taman Safari yaitu sedangkan jumlah kunjungan wisatawan eksisiting adalah atau sekitar 98% dari nilai ECC. Berdasarkan perbandingan ECC dengan data jumlah pengunjung eksisting, walaupun belum melampaui daya dukung efektifnya, namun memiliki selisih angka tidak jauh atau hampir mencapai kapasitas daya dukung efektif. Jika membandingkan jumlah pengunjung eksisting dengan RCC maka kapasitas daya dukung real masih bisa menampung sekitar 19 kali lipat jumlah pengunjung saat ini. Berkenaan dengan hal tersebut persoalan yang membatasi daya dukung pengunjung adalah kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen. Perbaikan kapasitas infrastruktur dapat dilakukan dengan cara menjaga kondisi infrastruktur dari jalan utama menuju lokasi Taman Safari, sedangkan kapasitas manajemen dapat dilakukan dengan meningkatkan pelayanan dengan cara meningkatkan kuantitas maupun kualitas SDM dan meningkatkan pemeliharaan areal OTW Taman Safari dengan cara menambah proporsi pemeliharaan pada alokasi anggaran. 2) Telaga Warna Telaga Warna mempunyai nilai PCC dan RCC terkecil jika dibandingkan dengan objek wisata lainnya yaitu masing-masing dan 633 kunjungan per hari, hal ini sesuai dengan luas areal wisata Telaga Warna yang memiliki luas terkecil yaitu seluas 2 ha. Kapasitas daya dukung sebenarnya (RCC) berkurang sekitar 3,8 kali dari kapasitas daya dukung fisik sebelum meperhitungkan faktor pembatas curah hujan. Namun berbeda halnya dengan nilai ECC yang ternyata tidak memiliki pola yang sama. Nilai ECC Telaga Warna (600 kunjungan/hari) memiliki angka kunjungan yang lebih tinggi dari Curug Cilember (423 kunjungan/hari), Curug Panjang (532 kunjungan/hari) dan Taman Wisata Matahari (591 kunjungan/hari). Daya dukung Telaga Warna dipandang lebih efektif karena faktor jarak dan waktu tempuh dari jalan raya ke lokasi yang lebih dekat dibandingkan Curug Cilember, Curug Panjang dan Taman Wisata Matahari.

160 136 Nilai daya dukung efektif Telaga Warna kurang lebih sekitar 600 kunjungan per hari, bila dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada tahun 2009 sebesar 42 wisatawan, maka kondisi objek wisata Telaga Warna saat ini masih dapat menampung kunjungan wisatawan karena belum melampaui daya dukung efektifnya. 3) Agrowisata Gunung Mas Luas areal Agrowisata Gunung Mas seluruhnya adalah 16,2 ha, namun luas yang dapat dimanfaatkan untuk wisata adalah 8,1 Ha, sehingga nilai PCC nya adalah kunjungan/hari. Apabila diperhitungkan faktor koreksi curah hujan sebagai penghambat kehadiran wisatawan di lokasi Gunung Mas, maka nilai RCC nya berkurang menjadi kunjungan/hari. Berdasarkan data kunjungan wisata yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2009, wisatawan yang berkunjung ke Agrowisata Gunung Mas sebanyak 754 orang/hari. Bila dibandingkan dengan nilai ECC sebesar 714 orang/hari, maka saat ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gunung Mas sudah melampaui daya dukung efektifnya. Jika pengunjung eksisting dibandingkan dengan daya dukung sebenarnya (RCC) sebesar maka secara fisik walaupun sudah diperhitungkan faktor pembatas curah hujan masih dapat menampung pengunjung namun kondisi ini perlu disikapi dengan hati-hati. Jika ingin meningkatkan kapasitas daya dukung efektif dari nilai 714 kunjungan/hari, maka pihak pengelola Gunung Mas harus memperbaiki manajemen pengelolaan wisatanya dengan menambah jumlah pegawai dari saat ini sekitar 100 Orang menjadi seperti yang ditargetkan yaitu 105 orang. Demikian pula pelaksanaan diklat pegawai harus ditingkatkan dari 1 kali/tahun menjadi seperti yang ditargetkan yaitu 2 kali/tahun. Pemeliharaan sarana dan prasarana wisata saat ini dianggarkan sekitar 15% dari total anggaran. Pihak pengelola merasakan dengan proporsi ini masih dirasakan kurang optimal sehingga kedepan akan dilakukan peningkatan proporsi anggaran pemeliharaan menjadi 25%. 4) Curug Cilember PCC dan RCC Curug Cilember mempunyai nilai masing-masing dan kunjungan per hari, hal ini sesuai dengan luas areal wisata Curug

161 137 Cilember yang hanya seluas 3 ha. Setelah memperhitungkan kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen, ternyata niilai daya dukung efektif (ECC) Curug Cilember berada pada urutan nilai terkecil dibandingkan dengan tempat objek wisata lainnya yaitu sebesar 424 orang/hari. Faktor utama yang mengakibatkan kecilnya daya dukung efektif Curug Cilember adalah karena kondisi infrastruktur yang jauh jaraknya dari jalan raya, dengan lebar jalan yang sempit dan kualitas jalan yang kurang baik. Nilai daya dukung efektif Curug Cilember bila dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada tahun 2009 sebesar 525 wisatawan, maka kondisi objek wisata Curug Cilember saat ini sudah melampaui daya dukung efektifnya. 5) Taman Melrimba Daya dukung fisik (PCC) di Taman Melrimba mencukupi untuk menampung kunjungan/hari. Hal ini sesuai dengan luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata yaitu seluas 3,5 ha dari total luas seluruhnya yaitu 5 ha. Setelah dikoreksi dengan curah hujan yang terjadi di sekitar wilayah objek wisata tersebut, maka nilai daya dukung sebenarnya menjadi 695 pengunjung/hari. Kapasitas infrastruktur dan manajemen Taman Melrimba relatif lebih baik dari tempat objek wisata lainnya mengingat jarak lokasi Taman Melrimba sangat dekat dengan jalan raya. Jumlah pegawai dan anggaran pemeliharaan pun dinyatakan cukup memadai oleh para pengelola manajemen mengingat lokasi objek wisata yang tidak terlalu luas dan jenis aktivitas wisata yang tidak banyak ragamnya. Kegiatan wisata yang disediakan Taman Melrimba meliputi wahana flora, outbound dan restoran. Dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisata ke Taman Melrimba pada tahun 2009 sebanyak 167 pengunjung/hari maka masih belum melampaui nilai daya dukung efektif (ECC) sebanyak pengunjung/hari atau sekitar 9,2%. 6) Curug Panjang Berdasarkan luas areal tempat objek wisata Curug Panjang dan waktu ratarata lama pengunjung berada di lokasi tersebut, maka kapasitas daya dukung fisik Curug Panjang dapat menampung sekitar pengunjung/hari. Setelah dipertimbangkan dengan faktor koreksi curah hujan yang menjadi faktor penghambat kehadiran pengunjung di lokasi wisata, maka nilai daya

162 138 dukung sebenarnya (RCC) berkurang menjadi pengunjung/hari. Nilai RCC tersebut menjadi berkurang lagi manakala kapasitas manajemen dan kapasitas infrastruktur diperhitungkan sebagai faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata. Jumlah wisatawan yang dapat berkunjung atau angka kunjungan/hari berdasarkan daya dukung efektifnya adalah sebesar 532 pengunjung/hari. Bila membandingkan nilai daya dukung efektif (ECC) dengan data kunjungan wisatawan ke Curug Panjang selama tahun 2009, maka dapat diketahui apakah kondisi objek wisata Curug Panjang ini sudah melampaui daya dukung atau tidak. Berdasarkan tabel 52 diperoleh data ECC adalah 532 kunjungan/hari sedangkan jumlah wisatawan yang mengunjungi Curug Panjang adalah 47 pengunjung/hari. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa jumlah wisatawan yang berkunjung ke Curug Panjang masih dapat ditampung secara fisik dan masih terlayani dengan baik oleh pihak manajemen di Curug Panjang. 7) Taman Wisata Matahari (TWM) Taman Wisata Matahari (TWM) merupakan tempat objek wisata yang relatif masih baru, yaitu mulai operasional pada tahun Kehadiran TWM menimbulkan kemacetan lalu lintas karena tingginya wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut disebabkan banyaknya wahana yang ditawarkan dengan tarif yang relatif murah. Jumlah wisatawan yang berkunjung setahun setelah dibuka sudah mencapai wisatawan, dan bertambah menjadi wisatawan pada tahun Berdasarkan daya dukung fisik dengan mempertimbangkan luas lahan serta rotasi pengunjung berdasarkan rata-rata waktu pemanfaatan maka diperoleh angka PCC sebesar pengunjung/hari. Setelah dikoreksi dengan faktor curah hujan, maka kapasitas daya dukung nya berkurang menjadi kunjungan per hari. Selanjutnya dilakukan perhitungan ECC yang mempertimbangkan kapasitas pelayanan staf dan kemampuan anggaran untuk pemeliharaan lokasi. Manajemen pengelolaan TWM saat ini sudah cukup baik bila dilihat dari jumlah pegawai dan anggaran pemeliharaan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka nilai ECC Taman Wisata Matahari adalah 591 pengunjung/hari. Bila dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan tahun 2009, maka jumlah wisatawan yang berkunjung ke TWM tersebut belum melampaui ECC yang diperkenankan.

163 139 VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN PARIWISATA KAWASAN PUNCAK Analisis status keberlanjutan menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin (multi disiplinary rapid appraisal), yaitu Multy Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak rapfish. Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data-data yang berkaitan dengan kondisi objek wisata, wisatawan, kebijakan dan permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan pariwisata. Sumber data primer terdiri atas: observasi lapangan, kuesioner dan wawancara/diskusi dengan para pakar serta diambil dari hasil analisis bab sebelumnya. Data sekunder berupa dokumen dari berbagai instansi. Ridwan (2006), melakukan analisis keberlanjutan dengan menggunakan analisis MDS pada 6 dimensi yaitu dimensi ekonomi, ekologi, hukum, kelembagaan, teknologi dan sosial budaya. Perbedaannya terletak pada analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis input output antar wilayah. Sedangkan Marhayudi (2006), meneliti keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan menggunakan analisis MDS pada enam dimensi kemudian dilanjutkan dengan analisis sistem dinamik dan prospektif. Thamrin (2009) meneliti keberlanjutan di Kalimantan Barat dengan menggunakan MDS pada enam dimensi yang sama, namun dengan tambahan analisis kesesuaian lahan, kelayakan finansial dan prospektif. Penelitian keberlanjutan kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor, dilakukan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu: (1) dimensi hukum dan kelembagaan; (2) dimensi ekologi; (3) dimensi ekonomi; (4) dimensi sosial budaya; dan (5) dimensi sarana prasarana, dengan atribut dan nilai scoring hasil pendapat pakar dan data sekunder seperti pada lampiran hasil penelitian. Terhadap semua dimensi tersebut telah dievaluasi dan ditetapkan atribut-atribut penyusunnya. Hasil penetapan atribut dimensi keberlanjutan pariwisata Kawasan Puncak diperoleh 45 atribut yaitu dimensi Hukum dan kelembagaan sebanyak 10 atribut, dimensi ekologi 10 atribut, dimensi ekonomi 9 atribut, dimensi sosial budaya 8 atribut, dan dimensi sarana prasarana 8 atribut. Berdasarkan data pada kondisi eksisting, setiap atribut pada masing-masing dimensi tersebut telah dinilai dan dianalisis untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi. Indeks keberlanjutan gabungan antar dimensi ditentukan melalui proses

164 140 pembobotan terhadap masing-masing dimensi. Pembobotan dilakukan oleh stakeholders didasarkan pada scientific judgement sesuai dengan karakteristik wilayah. Nilai keberlanjutan pada masing-masing dimensi adalah sebagai berikut: 6.1 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1) frekuensi sosialisasi kebijakan dan program tentang pariwisata dan ruang; (2) kebijakan insentif dan disinsentif pengelolaan pariwisata Puncak; (3) frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak; (4) ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak; (5) jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak; (6) ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi; (7) prosentase jumlah sumber daya manusia yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan; (8) jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata di kawasan Puncak; (9) jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak; dan (10) frekuensi pembinaan dan pengendalian pemerintah kepada pengelola wisata di kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Hasil analisis MDS dengan rap-tourism Puncak menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor sebesar 31,86 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 23. RAP-TOURISM PUNCAK Dimensi Hukum dan Kelembagaan UP Other Distingishing Features BAD DOWN GOOD Nilai Indikator Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan R ap-t ourism Puncak Real Value References Anchors Gambar 23. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

165 141 Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima atribut yang bernilai rendah, yaitu kebijakan insentif dan disinsentif pengelolaan pariwisata Puncak, frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak, jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak, ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi serta prosentase jumlah SDM yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan. Atribut yang telah dilaksanakan dengan baik adalah frekuensi sosialisasi kebijakan dan program tentang pariwisata dan ruang, ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata serta jumlah kebijakan dan kelembagaan yang mengatur pariwisata di kawasan Puncak. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 7 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu: ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi (8,57%), jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata (8,35%), ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak (8,28%), prosentase jumlah sumber daya manusia yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan (7,63%), jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak (7,46%), jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak (5,38%), dan frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (4,72%). Berdasarkan pendapat pakar dan praktisi serta hasil analisis leverage, maka dapat diketahui pentingnya ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi untuk memaduserasikan antara berbagai kebijakan dan kelembagaan yang cukup banyak berperan dan mengatur pengelolaan kawasan Puncak. Demikian pula untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pariwisata sangat penting dikelola oleh lembaga secara terintegratif serta didukung dengan ketersediaan pedoman teknis dan operasional pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang komprehensif. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 24.

166 142 Leverage of Attributes Dimensi Hukum dan Kelembagaan Rap-Tourism Puncak FREKUENSI PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN 3.97 JUMLAH LEMBAGA YG TERKAIT PARIWISATA 5.38 Attribute JUMLAH KEBIJAKAN YG MENGATUR PARIWISATA PERSENTASE SDM YG TLH BEKERJA YG DILATIH PARIWISATA KETERSEDIAAN LEMBAGA YG MENANGANI SECARA INTEGRATIF JML BANGUNAN TDK BERIZIN YG DITERTIBKAN KETERSEDIAAN PEDOMAN TEKNIS OPERASIONAL FREKUENSI KOORDINASI DLM PENGELOLAAN PUNCAK 4.72 KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF FREKUENSI SOSIALISASI KEBIJAKAN Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 24. Atribut pengungkit dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan Puncak Kabupaten Bogor. 6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1) kandungan COD (mg/liter); (2) kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ); (3) kepadatan lalu lintas (jumlah kendaraan/luas jalan); (4) luas tutupan lahan hutan (%); (5) kadar total colliform (jumlah/100 ml); (6) jumlah timbulan sampah; (7) daya dukung kawasan wisata; (8) tingkat kebisingan (dba); (9) frekuensi kejadian bencana alam; dan (10) luas lahan kritis di zona lindung (%). Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi di kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 25. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50% ini menunjukkan buruknya kondisi ekologi wilayah. Kemampuan ekologi untuk mendukung aktivitas di wilayah tersebut semakin berkurang. Bilamana daya dukung ekologis ini dibiarkan maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi lainnya.

167 143 RAP-TOURISM PUNCAK Dimensi Ekologi 60 UP 40 Other Distingishing Features BAD GOOD Real Value References Anchors DOWN -60 Nilai Indikator Keberlanjutan Dimensi Ekologi Rap-Tourism Puncak Gambar 25. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan dari sepuluh atribut dimensi ekologi yang dinilai, terdapat 6 atribut yang bernilai rendah (buruk) yaitu, kandungan COD, kepadatan penduduk, kepadatan lalu lintas, luas tutupan lahan hutan, kadar total colliform dan tingkat kebisingan. Sementara itu atribut yang bernilai baik adalah daya dukung wisata, frekuensi kejadian bencana alam dan luas lahan kritis di zona lindung. Hasil pengukuran kualitas udara ambien yang diukur oleh Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup pada tahun 2008 serta pengukuran oleh Badan Lingkungan Hidup pada Bulan Desember 2009 di dua titik yang sama yaitu di depan PT Honoris Kecamatan Ciawi dan perempatan Ciawi menunjukkan nilai tingkat kebisingan yang melampaui ambang batas berdasarkan Keputusan MENLH no. 48 tahun Hasil pengukuran kebisingan menunjukkan kisaran angka 75,2 sampai 85,7 dba sedangkan yang diperkenankan adalah sampai 70 dba. Penurunan kualitas udara di Kawasan Puncak tidak didukung dengan penambahan ruang terbuka hijau. Tutupan lahan hutan menurun dari 41,62% pada tahun 1992 menjadi 29,55% pada tahun 2006 (Dewi 2010). Analisis pengungkit (leverage) terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi menghasilkan 8 atribut yang sensitif bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan wisata di Kawasan Puncak yaitu: daya dukung kawasan wisata dengan nilai perubahan RMS (10,29%), frekuensi kejadian bencana alam (7,88 %), luas lahan

168 144 kritis di zona lindung (6,09%), kandungan COD (mg/liter) (5,86%), kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ) (5,85%), kepadatan lalu lintas (5,40%), kadar total colliform (5,31%) dan luas tutupan lahan (5,22%). Perubahan terhadap ke-8 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 26. Leverage of Attributes Dimensi Ekologi Rap-Tourism Puncak LUAS LAHAN KRITIS DI ZONA LINDUNG 6.09 FREKUENSI KEJADIAN BENCANA ALAM 7.88 TINGKAT KEBISINGAN 2.64 DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA Attribute JUMLAH TIMBULAN SAMPAH KADAR TOTAL COLLIFORM LUAS TUTUP AN LAHAN KEPADATAN LALU LINTAS KEPADATAN PENDUDUK KANDUNGAN COD Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 26. Atribut pengungkit dimensi ekologi di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor Kepadatan penduduk di kecamatan Cisarua (1.724 jiwa/km 2 ), Ciawi (3.589 jiwa/km 2 ) dan Megamendung (2.283 jiwa/km 2 ) tergolong tinggi bila dibandingkan dengan kepadatan rata-rata Kabupaten Bogor, yaitu jiwa/km 2 (BPS 2009). Demikian pula dengan kepadatan kendaraan di sepanjang jalur menuju kawasan Puncak yang diamati oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor pada tahun 2009 di pos pengamatan Ciawi, dengan jumlah kendaraan yang melintas adalah sebanyak kendaraan per hari atau 16 kendaraan per jam. Daya dukung kawasan wisata diukur melalui analisis daya dukung wisata di tujuh objek tempat wisata yaitu Taman Safari Indonesia (TSI), Taman Wisata Matahari (TWM), Taman Melrimba, Agrowisata Gunung Mas, Curug Cilember, Curug Panjang, dan Telaga Warna. Sesuai hasil analisis daya dukung obyek wisata pada bab IV, diperoleh hasil bahwa kunjungan wisatawan ke lokasi Curug Cilember dan Agrowisata Gunung Mas telah melampaui daya dukung efektif (ECC) yang dimiliki oleh kedua lokasi wisata tersebut. Berdasarkan data

169 145 kunjungan wisata yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2009, wisatawan yang berkunjung ke Agrowisata Gunung Mas sebanyak 754 orang/hari, bila dibandingkan dengan nilai ECC sebesar 714 orang/hari, maka saat ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gunung Mas sudah melampaui daya dukung efektifnya. Demikian pula wisatawan yang berkunjung ke Curug Cilember adalah 525 orang/hari sedangkan kapasitas daya dukung efektifnya adalah 424 orang per hari. Terlampauinya kapasitas daya dukung kedua obyek tempat wisata tersebut dibandingkan obyek tempat wisata lainnya adalah karena faktor pemeliharaan dan pelayanan wisata yang belum optimal. Hasil pengujian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor pada bulan Desember 2009 yang dilakukan di Sungai Ciliwung pada lima titik yaitu Masjid Atta awun (Cisarua), Jembatan Katulampa (Ciawi), Jembatan Gadog (Megamendung), Jembatan Leuwimalang (Cisarua) dan Hotel Ever Green (Cisarua) menunjukkan tingginya kandungan COD, dan kadar total colliform. Kandungan COD tertinggi terdapat di sekitar Jembatan Kalimalang sebesar 221 mg/l sedangkan yang diperkenankan berdasarkan kriteria mutu air PPRI no 82 tahun 2001 adalah sebesar 10 dan 25 mg/l. Demikian pula dengan kadar total colliform yang diperkenankan adalah sebesar dan jml/100 ml sedangkan hasil pengukuran di kelima titik tersebut diperoleh nilai terendah jml/100 ml dan tertinggi jml/100 ml yang terdeteksi di lokasi sekitar Jembatan Gadog dan Jembatan Leuwimalang. Kualitas air Sungai Ciliwung hulu dengan menggunakan metode Storet, Sistem Penilaian Environmental Protection Agency (EPA US) dan kriteria lingkungan hidup (PP No. 82 tahun 2001 tentang kualitas air dan perlindungan pencemaran air), bahwa kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai air minum (kelas I) karena tergolong sudah tercemar berat (kualitas buruk). Air tercemar berat karena adanya pembatas utama pencemaran ini adalah tingginya kadar BOD (Biological Oxiygen Demand) antara mg/lt dan kadar COD (Chemical Oxygen Demand) sebesar mg/lt (SLHD Bogor 2010 dalam Suwarno 2011). Lahan kritis yang tersebar di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung adalah seluas 2.394,53 ha, sebagian besar adalah dalam kategori mulai kritis. Angka tersebut diperoleh berdasarkan perbedaan indeks konservasi alami (Ika) dan indeks konservasi aktual (Ikc) yang menunjukkan kondisi hidrologi/tingkat kekritisan lahan berdasarkan kemampuan meresapkan

170 146 air hujan ke dalam tanah, bukan berdasarkan besarnya erosi tanah yang terjadi (Departemen PU 2010). Berdasarkan hasil perhitungan indeks konservasi, maka didapatkan luas lahan yang dikategorikan normal kritis pada tabel dibawah ini. Data luas lahan kritis dapat dilihat pada tabel 52 berikut. Tabel 52. Luas dan presentase Lahan Kritis di Kecamatan Ciawi,Cisarua dan Megamendung Kondisi Lahan Ciawi (Ha) % Cisarua (ha) % Megamendung (ha) % Normal 1.714,61 36, ,65 50, ,11 39,39 Mulai Kritis 1.963,20 42, ,66 27, ,97 45,83 Agak Kritis 272,65 5,9 584,69 0,8 260,02 4,2 Kritis 687,82 14, ,55 14,34 658,16 10,59 Jumlah 4.638, , ,26 Sumber : Departemen PU 2008 Kejadian bencana alam di Kawasan Puncak didominasi oleh kejadian longsor. Pada tahun 2007 bencana tanah longsor terjadi di 2 desa di Kecamatan Ciawi, 12 desa di Kecamatan Megamendung, serta 6 desa di Kecamatan Cisarua. Sementara data bencana tanah longsor tahun 2008 sampai dengan bulan juni terjadi di 2 desa di Kecamatan Cisarua dan 4 desa di Kecamatan Megamendung. Data bencana tanah longsor yang terjadi di Kawasan Puncak dapat dilihat pada tabel 53 berikut ini. Tabel 53. Bencana Longsor di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Tahun 2007 Tahun 2008 No Kecamatan Jumlah Desa Terkena Longsor Jumlah Terjadi Bencana Longsor Jumlah Desa Terkena Longsor Jumlah Terjadi Bencana Longsor 1 Ciawi Cisarua Megamendung Sumber : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, Secara umum Kabupaten Bogor memiliki daerah-daerah kerentanan tanah, yang dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu kerentanan tanah tinggi, menengah, rendah dan sangat rendah. Sementara untuk kerentanan tanah di

171 147 Kawasan Puncak dapat diklasifikasikan kedalam 3 jenis, yaitu kerentanan tanah tinggi, kerentanan tanah menengah dan kerentanan tanah rendah. Secara umum kerentanan tanah di Kawasan Puncak didominasi oleh kerentanan tanah menengah (50,59 %) dan kerentanan tanah rendah (48,64%). Data kerentanan tanah yang terdapat di Kawasan Puncak dapat dilihat pada tabel 54 berikut ini. Tabel 54. Luas Kerentanan Tanah di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung No Kecamatan Kerentanan Tanah Rendah Menengah Tinggi Sungai/Danau/ Setu/Waduk Luas (Ha) Ha % Ha % Ha % Ha % 1 Ciawi 3306,68 70, ,17 29,77 5,78 0, ,62 2 Cisarua 3.992,92 54, ,71 45,84 11,63 0, ,26 3 Megamendung 1916,81 30, ,08 68,53 21,17 0,34 26,82 0, ,87 Sumber : Departemen PU, Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1) daya saing wisata; (2) perkembangan kontribusi PAD dari sektor pariwisata terhadap total PAD; (3) rata-rata biaya perjalanan wisata; (4) status kawasan; (5) purchasing power parity; (6) rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap PAD pariwisata; (7) jumlah KUKM di kawasan Puncak; (8) jumlah kunjungan wisata di kawasan Puncak; dan (9) jumlah industri besar dan sedang; (10) jumlah keluarga sejahtera (KS II, III dan III plus). Hasil analisis MDS dengan menggunakan rap-tourism Puncak menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi di kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor sebesar 67,87. Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di kawasan Puncak memiliki status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 27. Status berkelanjutan tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung dimensi ekonomi yang diamati terdapat lima atribut termasuk kategori baik, yaitu atribut perkembangan kontribusi PAD dari sektor pariwisata terhadap total PAD, rata-rata biaya perjalanan wisata di Puncak, status kawasan, purchasing power parity dan jumlah kunjungan wisata di kawasan Puncak. Sementara itu atribut

172 148 yang termasuk kategori buruk (rendah) adalah daya saing wisata, jumlah KUKM di Kawasan Puncak, jumlah industri besar dan sedang serta jumlah keluarga sejahtera (KS II, III dan III +). 80 RAP-TOURISM PUNCAK Dimensi Ekonomi 60 UP Other Distingishing Features BAD GOOD Real Value References Anchors -40 DOWN -60 Nilai Indikator Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Rap-Tourism Puncak Gambar 27. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Kawasan wisata alam pegunungan Puncak dalam perwilayahan pariwisata Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai wilayah yang termasuk dalam satu dari sembilan kawasan wisata unggulan Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini memicu peningkatan ekonomi wilayah yang terlihat dari peningkatan penerimaan daerah dari sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Penerimaan daerah dari sektor pariwisata berasal dari pajak dan retribusi yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata seperti kegiatan hotel, restoran dan tempat hiburan. Jumlah penerimaan pariwisata mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2006 sebesar Rp meningkat menjadi Rp pada tahun Selain penerimaan dari sektor pariwisata yang dipungut oleh pemerintah melalui pajak dan retribusi, terdapat pengeluaran langsung wisatawan dalam bentuk biaya perjalanan wisata. Berdasarkan hasil survey dan analisis biaya perjalanan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh rata-rata biaya perjalanan wisatawan di kawasan Puncak adalah Rp dan bila dikalikan jumlah wisatawan serta rata-rata lama tinggal di kawasan Puncak dalam satu

173 149 tahun, maka total dana yang dikeluarkan wisatawan dan beredar di kawasan Puncak atau purchasing power parity pariwisata adalah Rp Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 6 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: jumlah KUKM di kawasan Puncak (10,65%), jumlah industri besar dan sedang (6,83%), purchasing power parity pariwisata (5,86%), rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap PAD pariwisata (5,79%), daya saing wisata (5,37%) dan rata-rata biaya perjalanan wisata (5,36%). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 28. Berdasarkan data-data sekunder dan hasil analisis, penilaian untuk atribut jumlah KUKM dan jumlah industri menunjukkan nilai rendah, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan agar secara ekonomi perkembangan di wilayah puncak akan semakin baik. Data KUKM yang diperoleh dari Dinas Koperasi, Perdagangan dan Industri Kabupaten Bogor tahun 2010 tertera pada tabel 55. Tabel 55. Rasio KUKM berdasarkan data KUKM (Koperasi, UMKM dan IKM) dan jumlah penduduk No. Kecamatan Koperasi UMKM IKM KUKM Jumlah Penduduk Rasio KUKM:pddk 1. Ciawi , Cisarua , Megamendung , Kab.Bogor , Rata-rata Kab Bogor ,0027 Jumlah KUKM (Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) yang ada di setiap wilayah dapat dijadikan salah satu indikator pertumbuhan dan pemerataan kegiatan ekonomi di masyarakat. Walaupun aktivitas pariwisata baik di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung berperan sebagai sektor unggulan dan memberikan kontribusi yang selalu meningkat tiap tahunnya terhadap PAD dan PDRB, namun dilihat dari aktivitas masyarakat setempat untuk berusaha di koperasi dan UKM masih kurang. Hal ini terlihat dari jumlah KUKM dan rasio KUKM terhadap penduduk.

174 150 Jumlah KUKM di Kecamatan Cisarua dan Megamendung dibawah ratarata jumlah KUKM di tingkat Kabupaten, sedangkan jumlah KUKM di Ciawi lebih banyak dari jumlah rata-rata tingkat kabupaten, atau jika dibuat rata-rata tiga kecamatan tersebut maka jumlah KUKM di Kawasan Puncak (262 buah) masih lebih rendah dari rata-rata kabupaten (288 buah). Jika diamati dari rasio jumlah KUKM terhadap jumlah penduduk setempat, maka keberadaan KUKM masih dirasakan sangat kurang. Rasio KUKM di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung masing-masing adalah 3,4 permil, 2,4 permil dan 2,3 permil artinya dari seribu jumlah penduduk baru terdapat atau dilayani oleh 2-3 KUKM. Keberadaan atribut KUKM, industri dan purchasing power parity pariwisata (tourist expenditure) menjadi atribut yang sangat sensitif yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan di Kawasan Puncak. Sumbangan pendapatan sektor pariwisata yang tinggi baik berasal dari retribusi, pajak maupun belanja wisatawan (purchasing power parity) akan semakin dirasakan manfaatnya jika ditunjang dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh BPS tahun 2009, jumlah Keluarga Sejahtera di tiga kecamatan pada Kawasan Puncak terdapat sebanyak keluarga masih lebih rendah daripada rata-rata keluarga sejahtera di tingkat Kabupaten yaitu keluarga. Hal ini mengindikasikan perlunya dilakukan program-program pemberdayaan masyarakat melalui KUKM yang dikaitkan dengan pertumbuhan aktivitas wisata di Kawasan Puncak. Leverage of Attributes Dimensi Ekonomi Rap-Tourism Puncak JUMLAH KELUARGA SEJAHTERA (KS II, III, III+) 4.45 JUMLAH INDUSTRI BESAR DAN SEDANG 6.83 JUMLAH KUNJUNGAN WISATA DI KAWASAN PUNCAK 4.84 JUMLAH KUKM DI KAWASAN PUNCAK Attribute RATA-RATA PENGELUARAN WISATAWAN PUNCAK THDP PAD PARIWISATA PURCHASING POWER PARITY PARIWISATA STATUS KAWASAN RATA-RATA BIAYA PERJALANAN WISATA PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PAD PARIWISATA THD TOTAL PAD DAYA SAING WISATA Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 28. Atribut pengungkit dimensi ekonomi di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

175 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial budaya terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1) jumlah penduduk miskin (pra KS); (2) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat; (3) jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan; (4) laju pertumbuhan penduduk; (5) jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata; (6) lama masa tinggal wisatawan; (7) gangguan kriminalitas; dan (8) jumlah seni tradisional. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya di kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 29. Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung dimensi ekonomi yang diamati terdapat empat atribut dengan kategori buruk yaitu: jumlah penduduk miskin (pra KS), jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan, laju pertumbuhan penduduk dan gangguan keamanan ketertiban masyarakat. Sedangkan empat atribut lainnya termasuk kategori sedang, yaitu: tingkat pendidikan rata-rata masyarakat, jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata, lama masa tinggal wisatawan dan jumlah seni tradisional. Gambar 29. Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: jumlah tenaga kerja di

176 152 sektor pariwisata (5,63%), laju pertumbuhan penduduk (5,40%) dan lama masa tinggal wisatawan (5,18%), jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan (4,89%) dan jumlah seni tradisional (3,18%). Guna meningkatkan indeks keberlanjutan sosial budaya dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak maka diperlukan upaya meningkatkan cakupan tenaga kerja di sektor pariwisata, menurunkan laju pertumbuhan penduduk, meningkatkan lama masa tinggal wisatawan, meningkatkan kesehatan masyarakat dan meningkatkan pembinaan seni tradisional. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 30. Gambar 30. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan persyaratan penting bagi terciptanya iklim pariwisata yang kondusif. Kondisi destinasi wisata yang aman dan nyaman menjadi pertimbangan utama para wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat wisata. Penanganan yang kurang baik terhadap ketiga atribut yaitu laju pertumbuhan penduduk, jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata dan lama masa tinggal wisatawan dapat menjadi pemicu penurunan kualitas pariwisata di Kawasan Puncak. Rata-rata lama tinggal wisatawan di suatu tempat destinasi merupakan salah satu indikator kualitas destinasi, baik dari segi kualitas lingkungan, keamanan, keramah-tamahan dalam pelayanan wisata dan sebagainya. Ratarata lama tinggal wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun nusantara di Kawasan Pariwisata Puncak berada pada angka 1,8 hari. Jika diamati berdasarkan asal daerah, wisatawan yang berasal dari Jakarta, Kota Bogor,

177 153 Tangerang dan Bekasi pada umumnya tidak menginap atau kurang dari satu hari. Namun untuk wisatawan mancanegara pada umumnya menginap lebih dari 5 hari. Angka rata-rata lama tinggal di Kawasan Puncak sebesar 1,8 hari masih lebih rendah dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung sebanyak 2,1 hari dan Yogyakarta sebanyak 2,4 hari (Trisnawati et al., 2008). Berdasarkan hasil penelitian STIPAR (2006), wisatawan yang menginap pada umumnya memiliki pendapatan yang cukup tinggi dan termasuk pada wisatawan kalangan menengah ke atas namun jumlahnya tidak terlalu besar. Berdasarkan fakta tersebut maka dapat menjadi peluang bagi Kabupaten Bogor dalam program pemasaran pariwisata agar diarahkan kepada segmen wisatawan tersebut. Jumlah penduduk di tiga kecamatan di Kawasan Puncak adalah sebesar jiwa dengan rincian jiwa di Kecamatan Ciawi, jiwa di Kecamatan Cisarua dan jiwa di Kecamatan Megamendung. Rata-rata jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor adalah jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Ciawi melebihi rata-rata jumlah penduduk di Kabupaten Bogor, sedangkan Kecamatan Cisarua dan Megamendung masih berada dibawah rata-rata Kabupaten Bogor. Walaupun jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua dan Megamendung masih lebih rendah dari rata-rata jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor, tetap harus diwaspadai karena berdasarkan luas wilayah, kepadatan penduduk di tiga kecamatan termasuk padat yaitu jiwa/km2 di Kecamatan Ciawi, jiwa/km2 di Kecamatan Cisarua dan jiwa/km2 di Kecamatan Megamendung. Sedangkan kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah jiwa/km2. Jika tidak dikendalikan maka pertambahan penduduk akan menjadi beban yang berat bagi lingkungan dan dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan daya tarik bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Kawasan Puncak. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan maka akan memperbesar jumlah atau angka pengangguran. Jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata pada tahun 2008 berjumlah orang atau sekitar 0,9% dari jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja ( orang). Prosentase tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang tersedia. Oleh karenanya perlu peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan yang didukung dengan penyiapan tenaga kerja yang berkualitas dan memenuhi

178 154 kompetensi yang dibutuhkan. Berdasarkan komposisi penduduk menurut struktur usia, rasio ketergantungan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk non produktif di tiga kecamatan yang diamati, adalah 1 : 0,56 (Asumsi yang digunakan adalah usia angkatan kerja antara 15 tahun hingga 64 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa 1 orang usia produktif hanya menanggung kurang dari 2 jiwa usia non produktif atau tiap tenaga kerja produktif hanya mencari nafkah untuk kurang dari 3 jiwa termasuk dirinya sendiri. Adapun variasi rasio ketergantungan ini tidak terlalu signifikan perbedaannya antar Kecamatan Ciawi (1 : 0,52), Kecamatan Cisarua (1 : 0,57) dan Kecamatan Megamendung (1 : 0,59). 6.5 Status Keberlanjutan Dimensi Sarana Prasarana Atribut yang digunakan untuk menganalisis dimensi sarana prasarana adalah: (1) jumlah sarana pendidikan SD, SLTP dan SLTA; (2) penambahan panjang jalan (km); (3) ketersediaan angkutan umum (smp); (4) ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan puncak; (5) jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM; (6) ketersediaan fasilitas penanganan persampahan; (7) jumlah fasilitas akomodasi wisata (hotel); (8) jumlah sarana kesehatan (RS, Puskesmas, Pustu). Hasil nilai MDS dengan menggunakan Rap-Tourism Puncak menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana untuk pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah 27,73. Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan, angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi sarana prasarana untuk pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak menunjukkan status tidak berkelanjutan. Gambar 31. Indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

179 155 Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima atribut yang bernilai rendah, yaitu: jumlah sarana pendidikan SD, SLTP dan SLTA, ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan Puncak, jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM, jumlah fasilitas akomodasi dan jumlah sarana kesehatan (RS, Puskesmas dan Pustu). Sedangkan atribut yang memperoleh nilai sedang ada tiga, yaitu ketersediaan angkutan umum, penambahan panjang jalan dan ketersediaan fasilitas penanganan sampah. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana, yaitu: ketersediaan fasilitas penanganan persampahan (7,22%), penambahan panjang jalan (6,23%), jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM (5,29%), ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan Puncak, dan ketersediaan angkutan umum (4,37%). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 32. Gambar 32 Atribut pengungkit dimensi sarana prasarana pariwisata di kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Secara umum penyediaan air bersih di Kabupaten Bogor dilayani sistem perpipaan dan non perpipaan. Penyediaan air bersih sistem perpipaan yang dilayani oleh PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dengan cakupan pelayanan meliputi 25 Kecamatan. Cakupan pelayanan PDAM Tirta Kahuripan di daerah pelayanan Kabupaten Bogor, baru mencapai sekitar 15% penduduk. Angka ini masih jauh dari yang diharapkan, apalagi jika berpegang pada target perkotaan 80% cakupan pelayanan. Namun demikian, alternatif pengganti

180 156 sumber air terutama air tanah masih layak digunakan, karena pada umumnya kondisi air tanah di Kabupaten Bogor relatif masih baik. Berdasarkan data dari BPS tahun 2009 jumlah rumah tangga pelanggan air minum dan pemakaian air minum dari PDAM disajikan pada tabel 56. Tabel 56. Tahun Rumah tangga pelanggan dan pemakaian air minum dari PDAM di lokasi penelitian dari tahun 2005 s.d 2008 Pelanggan (RT) Ciawi Cisarua Megamendung Pemakaian (M 3 ) Pelanggan (RT) Pemakaian (M 3 ) Pelanggan (RT) Pemakaian (M 3 ) Pada tahun 2008, rumah tangga pelanggan air minum yang terbesar adalah di Kecamatan Cisarua sebanyak Rumah Tangga, sedangkan yang terkecil adalah di Kecamatan Megamendung sebanyak 142 Rumah Tangga. Penambahan jumlah rumah tangga pelanggan air minum setiap tahunnya baik di Kecamatan Ciawi, Cisarua maupun Megamendung cenderung konstan. Demikian pula untuk pemakaian air bersih dari tahun 2005 sampai dengan 2008 di tiga kecamatan tersebut cenderung konstan, kecuali di Megamendung terjadi peningkatan pemakaian hampir dua kali lipat dari m 3 pada tahun 2007 menjadi m 3 pada tahun Jumlah rumah tangga pelanggan air minum di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 57. Tabel 57. Jumlah rumah tangga pelanggan air minum tahun No. KECAMATAN Pelanggan Th Pelanggan Th Pelanggan Th Pelanggan Th.2008 Jumlah Rumah Tangga % Terlayani 1. Ciawi ,4 2. Cisarua ,6 3. Mega mendung ,6 Kab. Bogor ,6 Sumber : KBDA (2009)

181 157 Sumber timbulan sampah yang ada pada umumnya berasal dari rumah tangga, perdagangan, pariwisata, perkantoran dan industri rumah tangga. Pengelolaan sampah di wilayah tiga kecamatan tersebut, sebagian kecil sudah dilayani pemerintah daerah dalam hal ini dikelola oleh dinas kebersihan dan pertamanan untuk sampah-sampah di rumah dan fasilitas umum serta PD Pasar Tohaga untuk sampah pasar. Namun demikian wilayah pelayanannya baru menjangkau daerah sekitar kawasan perdagangan. Sebagian besar pengelolaan dilakukan secara individual dengan membakar atau menimbun disekitar pekarangan rumah, bahkan sebagian masyarakat masih membuang sampah ke aliran sungai atau lahan-lahan kosong (Departemen PU 2008). Pada saat ini pengelolaan sampah belum dapat dikelola dengan baik, dalam arti bahwa ketersediaan prasarana belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tetapi untuk kawasan yang berada di sepanjang jalan jalur regional, sistem pengelolaan sampah sudah cukup baik, dimana di sepanjang permukiman penduduk telah terdapat bak-bak sampah di setiap rumah. Data timbulan sampah berdasarkan pengolahan sampah dapat dilihat pada tabel 58. Tabel 58 Timbulan sampah berdasarkan pengolahan sampah No Kecamatan Timbulan Sampah (m3/hari) Dibakar/ditimbun (m3/hari) Diangkut petugas (m3/hari) 1 Cisarua Ciawi Megamendung Sumber : Departemen PU 2008 Fasilitas peribadatan di Kawasan Puncak didominasi oleh masjid dan surau/langgar, karena jumlah muslim lebih banyak daripada non muslim. Jumlah gereja kristen sebanyak 3 unit, dan vihara 2 unit. Jumlah fasilitas peribadatan dapat dilihat pada tabel 59.

182 158 Tabel 59. Jumlah Fasilitas Peribadatan Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung Tahun 2009 No Kecamatan Mesjid Mushola Gereja Kristen Pura Vihara 1 Cisarua Ciawi Megamendung Total Sumber : KBDA Analisis Multi Dimensi Satus Keberlanjutan Analisis multi dimensi terhadap status keberlanjutan Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekologi sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana prasarana sebesar 27,73 dengan status tidak berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan seperti tercantum dalam tabel 60 berikut. Tabel 60. Nilai indeks keberlanjutan kawasan puncak Kabupaten Bogor tahun 2010 No Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks INDIKATOR 1 HUKUM KELEMBAGAAN 31,86 TIDAK BERKELANJUTAN 2 EKOLOGI 31,38 TIDAK BERKELANJUTAN 3 EKONOMI 67,87 BERKELANJUTAN 4 SOSIAL BUDAYA 32,43 TIDAK BERKELANJUTAN 5 SARANA PRASARANA 27,73 TIDAK BERKELANJUTAN Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan, ekologi, ekonomi, sosial budaya dan sarana prasarana.

183 159 Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah. Adapun gambar diagram layang-layang hasil analisis keberlanjutan seperti pada gambar 33. Gambar 33. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan kawasan Puncak. Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor pada taraf kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis rap-tourism (Multy Dimensional Scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini relatif kecil (dibawah 2,5 poin) dan proses analisis data yang dilakukan secara berulangulang stabil serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada tabel 61. Tabel 61. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Tourism Kawasan Puncak Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo Perbedaan HUKUM DAN KELEMBAGAAN 31,86 34,10 2,24 EKOLOGI 31,38 32,09 0,71 EKONOMI 67,87 65,90 1,93 SOSIAL BUDAYA 32,43 34,12 1,69 SARANA PRASARANA 27,73 29,12 1,39

184 160 Hasil analisis rap tourism menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan untuk kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13% sampai 14% dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh berkisar antara 0,92 dan 0,95. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) mendekati nilai 1,0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti tabel 62. Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis leverage masing-masing dimensi sebanyak 29 atribut. Atribut-atribut tersebut perlu diperbaiki dengan tujuan untuk meningkatkan status keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak. Perbaikan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai atau status keberlanjutan, sedangkan untuk atribut yang menimbulkan permasalahan bagi keberlanjutan suatu dimensi, maka dapat diupayakan semaksimal mungkin dengan cara memperbaiki kinerja atribut tersebut. Selanjutnya dari 29 atribut tersebut akan menjadi masukan atau input dalam penyusunan suatu sistem pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan di Kawasan Puncak. Tabel 62. Hasil Analisis RAP-TOURISM untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) Parameter Dimensi Keberlanjutan A B C D E Stress 0,1336 0,1310 0,1305 0,1390 0,1352 R 2 93,73% 95,08 % 94,27 % 95,10 % 94,92 % Keterangan : A = Dimensi Hukum dan Kelembagaan, B = Dimensi Ekologi, C = Dimensi Ekonomi, D= Dimensi Sosial-Budaya dan E = Dimensi Sarana Prasarana Faktor pengungkit (leverage factor) perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks tingkat keberlanjutan dari masingmasing dimensi keberlanjutan. Faktor pengungkit yang diperoleh sebanyak 29 faktor. Ke-29 faktor ini berasal dari dimensi hukum dan kelembagaan 7 faktor, ekologi 8 faktor, Ekonomi 6 faktor, Sosial Budaya 5 faktor serta Sarana dan Prasarana 5 faktor. Terhadap 29 faktor pengungkit tersebut dapat ditingkatkan kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna meningkatkan indeks

185 161 keberlanjutan pariwisata Kawasan Puncak. Faktor pengungkit tersebut adalah disajikan pada tabel 63. Tabel 63. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan Kawasan Puncak No. Dimensi Faktor Pengungkit (leverage factor) RMS 1 Hukum dan Kelembagaan (7) 1. Ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi 2. jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata 3. ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak 4. prosentase jumlah sumber daya manusia yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan 5. jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak 6. jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak 7. frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stake holder dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. 2 Ekologi (8) 1. daya dukung kawasan wisata 2. frekuensi kejadian bencana alam 3. luas lahan kritis di zona lindung 4. kandungan COD 5. kepadatan penduduk 6. kepadatan lalu lintas 7. kadar total colliform 8. luas tutupan lahan 3 Ekonomi (6) 1. jumlah KUKM di kawasan Puncak 2. jumlah industri besar dan sedang 3. purchasing power parity pariwisata 4. rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap PAD pariwisata 5. daya saing wisata 8,57 8,35 8,28 7,63 7,46 5,38 4,72 10,29 7,88 6,09 5,86 5,85 5,40 5,31 5,22 10,65 6,83 5,86 5,79 5,37 6. rata-rata biaya perjalanan wisata 5,36 4 Sosial Budaya (5) 1. jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata 2. laju pertumbuhan penduduk 3. lama masa tinggal wisatawan 4. jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan 5. jumlah seni tradisional 5 Sarana dan Prasarana (5) 1. ketersediaan fasilitas penanganan persampahan 2. penambahan panjang jalan 3. jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM 4. ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan Puncak 5. ketersediaan angkutan umum 5,63 5,40 5,18 4,89 3,18 7,22 6,23 5,29 4,37

186 162 VII. ANALISIS STRUKTURISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK 7.1 Metode Analisis Strukturisasi Kelembagaan, Permasalahan, Tujuan dan Aktivitas/Program yang diperlukan di Kawasan Puncak Hasil analisis pada bab VI menyimpulkan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan kawasan pariwisata Puncak termasuk dalam katagori tidak berkelanjutan dengan nilai indeks 31,86. Atribut yang diamati yaitu: (1) frekuensi sosialisasi kebijakan dan program tentang pariwisata dan ruang; (2) kebijakan insentif dan disinsentif pengelolaan pariwisata Puncak; (3) frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak; (4) ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak; (5) jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di Kawasan Puncak; (6) ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi; (7) prosentase jumlah sumber daya manusia yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan; (8) jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata di Kawasan Puncak; (9) jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak; dan (10) frekuensi pembinaan dan pengendalian pemerintah kepada pengelola wisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Guna mengetahui peran kelembagaan, tujuan yang diinginkan serta kendala yang dihadapi, maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan alat analisis lainnya. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis Interpretive Structural Modelling (ISM). Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural (interpretive structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. lnterpretive structural modeling adalah sebuah alat (tool) yang dapat menganalisis dan membantu pengambilan keputusan terhadap pemahaman atau ide dalam situasi yang rumit dengan cara mengelompokkan dan membuat link yang tertuang dalam sebuah peta. interpretive structural modeling merupakan sebuah inklusif alat (tool), dimana tidak melakukan penolakan atau eliminasi terhadap sebuah ide tetapi ide tersebut dibuat links dan dianalisa. Hal ini menjadi keuntungan

187 163 tersendiri, dimana ide dan penyelesaian dipahami dan dianalisa secara bersamaan (Tabrizi et al. 2010). Interpretive structural modeling mengorganisasi beberapa bagian dari permasalahaan yang rumit, menjadikan model sebagai pengambilan keputusan dan menyederhanakan perencanaan dalam mencari solusi terhadap permasalahan. Interpretive structural modeling sangat fleksibel untuk digunakan terhadap masalah yang didalamnya terdapat ratusan elemen. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen (Eriyatno 2003). Keluaran analisis ISM dalam bentuk hirarki sub-elemen serta diagram matriks driver power-dependence yang diharapkan mampu menggambarkan keterkaitan antar sub-elemen dalam elemen yang ditetapkan serta dapat menghasilkan sub-sub elemen yang menjadi pendorong bagi sub elemen lain. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui apa yang menjadi fokus perbaikan kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Kelembagaan diartikan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat dan dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi. Kelembagaan diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan. Pada kelembagaan terdapat faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial dan insentif untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2003). Menurut Saxena 1994 dalam Marimin (2005) serta berdasarkan hasil kajian pendapat pakar, maka dipilih 4 elemen yang dipakai untuk mengukur kelembagaan pengelola pariwisata di Kawasan Puncak, yaitu: (1) elemen lembaga yang terdiri dari 20 sub elemen; (2) elemen kendala kelembagaan, yang terdiri dari 12 sub elemen; (3) elemen tujuan yang diharapkan, yang terdiri dari 11 sub elemen; dan (4) elemen aktivitas/program yang diperlukan, yang terdiri dari 11 sub elemen. Keempat elemen hasil kajian ini, kemudian pada setiap elemennya dijabarkan menjadi rincian sejumlah sub elemen. Hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM). Pakar yang terlibat dalam brain storming dan melakukan penilaian pada penelitian ini adalah para

188 164 pakar yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah serta pengelolaan pariwisata yaitu kepala Bappeda, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, praktisi tata ruang, pakar lingkungan dan masyarakat lokal. Hasil analisis ISM dituangkan dalam Matriks driver-power dan diagram struktur fungsi suatu lembaga. Matriks DP-D (driver-power-dependence) menggambarkan klasifikasi sub-elemen dengan empat kategori, yaitu bersifat berdiri sendiri (autonomous), terikat (dependent), berkaitan (linkage) dan bersifat bebas (independent). Keempat kategori ini menggambarkan posisi dan peran lembaga serta kebijakan yang dianalisis. Berikut ini adalah hasil hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen yang digambarkan dalam bentuk terminologi sub-ordinat yang mengacu pada perbandingan berpasangan antar sub elemen, dimana terkandung suatu arahan pada hubungan tersebut (Eriyatno 1998) Elemen Lembaga yang Terkait dalam Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Identifikasi elemen lembaga dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak menghasilkan 20 sub elemen yaitu: (1) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; (2) Kepolisian; (3) Dinas Tata Ruang dan Pertanahan; (4) DLLAJ; (5) Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman; (6) BAPPEDA; (7) Badan Perizinan Terpadu; (8) Pemerintah Kecamatan; (9) Pemerintah Provinsi Jawa Barat, (10). Pemerintah Desa; (11) SATPOL PP; (12) PHRI; (13) LSM; (14) Perum Perhutani; (15) ASITA; (16) BPD; (17) Badan Lingkungan Hidup; (18) Kelompok Budayawan; (19) Pemerintah Pusat; dan (20) Perbankan. Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM berupa: (1) Matriks jawaban pakar (VAXO), yang disajikan pada tabel 60; (2) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen lembaga, yang disajikan pada tabel 61; (3) Diagram model struktural ISM dari elemen lembaga, seperti disajikan pada gambar 35; dan (4) Matriks driver power-dependence untuk elemen lembaga, disajikan pada gambar 34.

189 165 Tabel 64. Matriks jawaban pakar untuk elemen lembaga yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak DISBUDPAR POLISI DTRP DLLAJ DTBP BAPPEDA BPT PEM.KECMT PEMPROV PEMDES SATPOLPP PHRI LSM PERHUTANI ASITA BPD BLH BUDAYAWAN PEM.PUSAT BANK DISBUDPAR X X X X X X X X X X X V X X X X X X X POLISI X X X X X X X X X X A A X A X X X X DTRP X X A X X X X V V V V V X X V X X DLLAJ X A A A X X X V V X X X X X X X DTBP X X O X X X O O X 0 X X X X X BAPPEDA V V X V V V X X V X V V X X BPT 0 X X X X X X V X X X X X PEM.KECMT X X X A X X X V A X X X PEMPROV V X X X A X X X X X X PEMDES A A X X X A X X X X SATPOLPP X X X X V A V X X PHRI X X X V X X X X LSM X X X X X X X PERHUTANI X X X X X X ASITA V X X X X BPD V V X 0 BLH X X V BUDAYAWAN A V PEM.PUSAT O BANK Berdasarkan matriks jawaban pakar, kemudian disusun reachability matriks sebagaimana tertera pada tabel 65. Tabel 65. Reachability matriks elemen lembaga yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak DISBUDPAR POLISI DTRP DLLAJ DTBP BAPPEDA BPT PEM.KECMT PEMPROV PEMDES SATPOLPP PHRI LSM PERHUTANI ASITA BPD BLH BUDAYAWAN PEM.PUSAT BANK DP RANK DISBUDPAR POLISI DTRP DLLAJ DTBP BAPPEDA BPT PEM.KECMT PEMPROV PEMDES SATPOLPP PHRI LSM PERHUTANI ASITA BPD BLH BUDAYAWAN PEM.PUSAT BANK DEPT RANK Selanjutnya, gambaran dari elemen lembaga yang terkait dengan pengelolaan pariwisata, disusun berdasarkan matriks driver power dan dependent sebagaimana dapat dilihat pada gambar 34.

190 Matriks Driver Power vs Dependent Kelembagaan di Kawas an Pariwis ata Punc ak 20 L18 L10 Independent L14 Linkage 19 L9 L1 L2 18 L15 L20 L4 L19 Driver Power L8 Autonomous L16 L5 L12 L13 L17 L11 L7 Dependent 14 L Dependent Gambar 34. Matriks driver power-dependent elemen lembaga pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Berdasarkan gambar 34, sub elemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Lembaga yang termasuk ke dalam sektor autonomous terdapat tujuh lembaga, yaitu: (1) Kepolisian (L2); (2) Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) (L5); (3) Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) (L11); (4) Persatuan Hotel dan Restoran Seluruh Indonesia (PHRI) (L12); (5) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (L13); (6) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) (L16); dan (7) Badan Lingkungan Hidup (BLH) (L17). Ketujuh lembaga ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan yang rendah, jadi tidak tergantung pada sub elemen lain dalam mempengaruhi sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Lembaga yang masuk ke dalam sektor dependent ada dua sub elemen, yaitu: (1) Dinas Tata Ruang dan Pertanahan (DTRP) (L3); dan (2) Badan Perizinan Terpadu (BPT) (L7). Kedua lembaga ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan yang tinggi, sehingga sangat tergantung pada lembaga lain dan tidak dapat mendorong lembaga lain (kedudukannya lemah dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak). Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kedua sub elemen lembaga yang berada di sektor dependent sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Berdasarkan strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent.

191 167 Berdasarkan hasil analisis, yang termasuk kedalam sektor linkage ada empat lembaga, yaitu: (1) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (L1); (2) Kepolisian (L2); (3) Pemerintah Provinsi Jawa Barat (L9); dan (4) Pemerintah Pusat (L19). Pada sektor linkage, keempat lembaga ini sangat tergantung pada lembaga lain untuk dapat mendorong lembaga lain dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Namun keempat lembaga ini di masa mendatang sebenarnya potensial apabila dikelola dengan baik, karena memiliki daya dorong yang tinggi/kuat, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap lembaga lain dapat ditekan. Berdasarkan hasil analisis, yang termasuk kedalam sektor independent ada tujuh lembaga, yaitu: (1) Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) (L4); (2) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) (L6); (3) Pemerintah Desa (L10); (4) Perum Perhutani (L14); (5) Association of Indonesian travel agencies (ASITA) (L15); (6) Kelompok budayawan (L18); dan (7) Perbankan (L20). Berkenaan dengan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, keberadaan Perum Perhutani dan association of Indonesian travel agencies (ASITA), kelompok budayawan dan perbankan tidak mempunyai hubungan hierarkhi yang kuat dengan pemerintah daerah, namun demikian keempat lembaga ini mempunyai daya dorong yang kuat dalam sistem pengelolaan pariwisata dan tingkat dependensi yang rendah atau lebih mandiri. Berkaitan dengan ketujuh lembaga tersebut, ternyata yang berperan sebagai sektor kunci dalam matriks driver power-dependent adalah pemerintah desa (L10) dan kelompok budayawan (L18). Kedua sub elemen lembaga tersebut berada pada sektor independent dengan nilai driver power-dependence memiliki ranking tertinggi, yang berarti dalam strategi pengelolaan kawasan pariwisata Puncak berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem, karena merupakan garda terdepan bagi lembaga pengelola pariwisata di Kawasan Puncak. Hasil analisis menggunakan model ISM menghasilkan struktur hirarki sub elemen lembaga dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak seperti yang disajikan pada gambar 35. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat enam level, dimana level pertama adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, yang memiliki daya dorong yang paling besar atau merupakan sektor kunci kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

192 168 Peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bogor terhadap pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak lebih besar dibandingkan Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, BAPPEDA, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Perhutani dan Pemerintah Pusat yang berada pada level kedua sehingga Disbudpar menjadi instansi utama yang memberikan masukan dalam menangani urusan pariwisata termasuk didalamnya urusan penataan ruang dan pertanahan, perencanaan pembangunan, kehutanan dan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat serta pemerintah pusat yang masuk ke kawasan pariwisata Puncak. Level 6 L8 L10 L16 L18 Level 5 L12 L13 L15 L20 Level 4 L2 L4 L5 L11 L17 Level 3 L7 Level 2 L3 L6 L9 L14 L19 Level 1 L1 Gambar 35. Strukturisasi lembaga pengelola pariwisata di Kawasan Puncak. Kemudian Perum Perhutani bertugas mengawasi kawasan hutan agar dapat berjalan sesuai fungsinya. Pemerintah Provinsi Jawa Barat berwenang untuk memfasilitasi kawasan pariwisata Puncak sebagai kawasan pariwisata yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan kawasan konservasi lingkungan yang terkait dengan daerah hulu-hilir agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang berakibat fatal bagi daerah di sekitar Kawasan Puncak akibat dari kesalahan pengelolaan pariwisata yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Apabila ditemukan bangunan liar yang dibangun di kawasan hutan, maka berkoordinasi dengan DTBP, SatPol PP dan Kepolisian untuk melakukan tindakan penertiban. Pada level ketiga terdiri dari Badan Perizinan Terpadu, merupakan instansi yang lebih operasional dalam rangka memberikan perizinan di Kawasan Puncak. Kinerja instansi yang berada dalam level 3 sangat membantu untuk suksesnya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang berada pada level selanjutnya (level 4), yaitu Kepolisian, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan

193 169 Jalan, Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman, Satuan Polisi among Praja serta Badan Lingkungan Hidup. Kepolisian dan DLLAJ bertugas untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di sekitar Kawasan Puncak. Dinas Tata Bangunan bertugas mengawasi perizinan yang dihasilkan BPT apakah dalam pelaksanaannya sudah sesuai site plan atau tidak, selain itu fungsi Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman juga melakukan pengawasan terhadap seluruh bangunan di Kawasan Puncak apakah memiliki izin atau tidak. SatPol PP bertugas untuk menertibkan bangunan liar di Kawasan Puncak dan penegakan peraturan daerah tentang pariwisata dan tata ruang. Badan Lingkungan Hidup yang menangani urusan pengendalian kualitas lingkungan hidup di kawasan pariwisata Puncak. Tugas dan fungsi instansi dari level 1 sampai 4 membantu kinerja instansi yang berada pada level 5 dan 6 secara bertahap yaitu Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Association of Indonesian Travel Agencies (ASITA) dan perbankan. Informasi dan peran serta PHRI sangat berguna bagi instansi lainnya dalam rangka pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Kondisi pariwisata di Kawasan Puncak akan berjalan baik jika kerjasama dengan LSM dapat terlaksana harmonis. Beberapa LSM di Kawasan Puncak antara lain LSM Puncak Lestari memberikan banyak masukan kepada instansi pemerintah untuk terus peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup agar pengelolaan pariwisata dapat terus berkelanjutan. Association of Indonesian Travel Agencies (ASITA) turut berperan dalam menyampaikan aspirasi tentang pariwisata di Kawasan Puncak. Sementara perbankan merupakan instansi yang diharapkan berperan aktif dalam pembiayaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Selanjutnya level kelima akan mendorong level keenam, yaitu pemerintah desa dan kecamatan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Kelompok Budayawan. Pemerintah Desa dan Kecamatan menjadi garda terdepan dan berperan aktif dalam menangani permasalahan yang terjadi khususnya yang berkaitan dengan sosial budaya dan perekonomian masyarakat di Kawasan Puncak. Pemerintah desa dan kecamatan memotivasi kelompok budayawan untuk terus mempertahankan kelestarian seni dan budaya serta mengembangkan atraksi-atraksi kesenian pada tempat-tempat objek wisata. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga turut berperan dalam pengelolaan

194 170 pariwisata di Kawasan Puncak, terutama dalam memberikan dukungan kebijakan kepada pemerintah desa dan pemerintah kabupaten. Selanjutnya aspirasi dan program-program BPD harus lebih berpihak pada masyarakat setempat dan kelestarian lingkungan, sehingga dapat memperhatikan dan berperan dalam pembangunan dan pengendalian lingkungan di Kawasan Puncak Elemen Kendala Kelembagaan yang dihadapi dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Berdasarkan hasil kajian pendapat pakar pada tabel 62, maka disusunlah struktur tolok ukur untuk menuju keberhasilan pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak, yang terdiri dari 12 sub elemen kendala kelembagaan yang dihadapi, yaitu: (1) Tumpang tindih kewenangan antar instansi vertikal maupun horisontal; (2) Keterbatasan pendanaan; (3) Lemahnya sistim pendataan dan pelaporan; (4) Rendahnya kualitas SDM; (5) Lemahnya penerapan sanksi dan penghargaan; (6) Rendahnya keterlibatan kelembagaan di luar pemerintah; (7) Lemahnya standar operasional prosedur lembaga; (8) Tidak adanya manajemen terintegrasi dalam pengelolaan pariwisata; (9) Rendahnya dukungan sarana dan prasarana; (10) Belum adanya target kinerja yang disepakati di setiap lembaga; (11) Penyusunan program dan rencana kerja yang tidak tepat sasaran; dan (12) Lemahnya aktivitas evaluasi dan pengendalian. Hasil pendapat pakar dapat dilihat pada tabel 66 berikut. Tabel 66. Matriks jawaban pakar untuk elemen kendala yang terkait dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak X X X X X X X X A X X 2 X A X X X X X A X X 3 X A X X X V X A A 4 X X X X X X X V 5 V X A A A A V 6 X X X X X X 7 X X X X X 8 X X X X 9 A X A 10 X A 11 A 12

195 171 Berkenaan dengan jawaban dari pakar, maka dibuat reachability matrix untuk elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, sebagaimana tertera pada tabel 67. Tabel 67. Matriks Reachability elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak DP RANK DEPT RANK Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala kelembagaan menempati empat kuadran seperti terlihat pada gambar 36. Pada gambar tersebut, sub elemen yang termasuk dalam kuadran I atau autonomous adalah sub elemen lemahnya penerapan sanksi dan penghargaan (K5) dan sub elemen lemahnya aktivitas evaluasi dan pengendalian (K12). Kedua sub elemen ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan yang rendah, sehingga tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak atau mempunyai hubungan yang sedikit dan pada umumnya tidak berkaitan dengan sistem. Seharusnya evaluasi dan pengendalian memiliki kekuatan yang tinggi jika pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak ingin berjalan dengan baik. Lemahnya penerapan sanksi dan penghargaan dapat menyebabkan motivasi dan semangat kerja pegawai menjadi rendah sehingga kualitas SDM menurun.

196 172 Kegiatan evaluasi dan pengendalian menjadi sulit untuk dilaksanakan tanpa adanya dukungan faktor komitmen organisasi, ketersediaan dana, sarana dan prasarana serta kurangnya koordinasi yang baik dengan lembaga lain. Sementara itu hasil evaluasi dan pengendalian, baik berupa data maupun informasi sangat dibutuhkan oleh suatu lembaga untuk memberikan umpan balik kinerja kelembagaan dan kinerja pembangunan wilayah, apakah sudah berjalan dengan baik atau masih perlu perbaikan program dan peningkatan capaian kinerja. 14 Matriks Driver Power vs Dependent Kendala yang Dihadapi di Kawasan Pariwisata Puncak 13 Independent 12 K4 K8 K7 Driver P ower K10 K12 K11 K6 K1 K2 9 Autonomous K3 K9 8 K Dependent Gambar 36. Matriks driver power-dependent elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Sub elemen kendala kelembagaan yang masuk ke dalam sektor dependent (kuadran II) ada tiga sub elemen, yaitu: (1) Keterbatasan pendanaan (K2); (2) Lemahnya sistim pendataan dan pelaporan (K3); (3) dukungan sarana prasarana (K9). Pada kuadran II ini daya dukungnya rendah sehingga kurang diperhitungkan dalam pelibatan strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Selain daya dukung yang rendah, ketiga sub elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi didalam sistem, sehingga sangat tergantung pada sub elemen lain dalam penyelesaian kendala kelembagaan di bidang pariwisata Puncak. Berdasarkan strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent. Ketiga sub elemen kendala kelembagaan ini memiliki daya dorong yang rendah

197 173 dan tingkat ketergantungan terhadap kendala kelembagaan lainnya dalam bidang pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak tinggi, sehingga kurang diprioritaskan dalam penyelesaian kendala kelembagaan di kawasan pariwisata Puncak. Penempatan sub elemen pada kuadran ini dapat diartikan bahwa untuk mengatasi kendala pada sub elemen tersebut tidak bisa berdiri sendiri atau diperlukan dukungan yang kuat dari sub elemen lainnya. Pada sektor linkage terdiri dari empat kendala kelembagaan, yaitu: (1) Tumpang tindih kewenangan antar instansi vertikal maupun horisontal (K1); (2) Rendahnya keterlibatan kelembagaan di luar pemerintah (K6); (3) Lemahnya standar operasional prosedur lembaga (K7); (4) Tidak adanya manajemen terintegrasi dalam pengelolaan pariwisata (K8). Keempat kendala ini memiliki daya dorong yang tinggi tetapi tingkat ketergantungannya terhadap kendala lain juga tinggi sehingga tidak mandiri atau dengan kata lain sangat tergantung pada kendala lain untuk dapat mendorong penyelesaian kendala kelembagaan lain dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Kendala kelembagaan ini dimasa mendatang sebenarnya potensial diprioritaskan apabila dikelola dengan baik, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap kendala lain dapat ditekan. Persoalan tumpang tindih kewenangan antar instansi vertikal maupun horizontal tidak dapat diselesaikan secara sendiri tetapi harus bersama-sama dengan berbagai instansi/lembaga yang berwenang dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengendalian dan pengawasan aktivitas di Kawasan Puncak termasuk didalamnya aktivitas pariwisata. Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal penanganan transportasi yang merupakan faktor penting bagi pengembangan pariwisata. Mulai dari perencanaan jaringan jalan sampai kepada pembangunan dan pemeliharaan jalan arteri di Kawasan Puncak berada dalam kewenangan Provinsi Jawa Barat, sehingga jika ada keluhan kualitas jalan maupun kapasitas jalan yang disampaikan masyarakat, tidak dapat langsung ditangani oleh pemerintah setempat tetapi harus diteruskan ke pemerintah Provinsi Jawa Barat. Setelah itu dalam pemanfaatan jalan untuk pengaturan lalu lintas dan angkutan dikelola oleh tiga lembaga yaitu DLLAJ Kabupaten Bogor, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat dan Kepolisian setempat. Tugas dan fungsi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun apabila tidak dikoordinasikan

198 174 dengan baik, dapat terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga pemerintah daerah dalam hal ini instansi DLLAJ dalam hal pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas. Sub elemen apapun yang berada pada kuadran ini harus dikaji secara hati-hati, termasuk didalamnya lemahnya standar operasional prosedur lembaga dan rendahnya keterlibatan kelembagaan di luar pemerintah, karena hubungan antara subelemen tidak stabil. Walaupun keempat sub elemen ini memiliki kekuatan yang tinggi dan strategis, namun dalam pelaksanaannya harus hati-hati karena tingkat ketergantungannya yang tinggi terhadap sub elemen lain. Pembentukan manajemen terintegrasi dalam pengelolaan pariwisata dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk, yaitu dengan membentuk suatu forum atau lembaga koordinasi. Sub elemen ini sebenarnya penting bagi berjalannya suatu lembaga seperti dukungan pendanaan serta sarana dan prasarana, karena merupakan syarat bagi berjalannya suatu lembaga. Keterbatasan pendanaan serta sarana dan prasarana akan berpengaruh pada penyusunan program dan implementasi pengelolaan pariwisata. Sebagai contoh, anggaran penertiban bangunan yang tidak berizin yang terdapat di lembaga SatPol PP porsinya hanya 10% dari anggaran belanja tidak langsung, dana tersebut tidak hanya digunakan untuk penertiban bangunan di Kawasan Puncak tapi digunakan untuk 40 kecamatan di seluruh Kabupaten Bogor. Demikian pula sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan penertiban yang dimiliki lembaga, kondisinya sangat jauh dari mencukupi untuk menjangkau penertiban bangunan tidak berizin, baik di Kawasan Puncak, maupun di seluruh Kabupaten Bogor. Namun demikian karena sub elemen pada kuadran III ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lain, maka walaupun penting dan memiliki daya dukung yang tinggi terhadap elemen kendala kelembagaan, tetapi karena sangat tergantung pada sub elemen lain, menyebabkan kurang berpengaruh secara nyata dalam strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Sub elemen yang terletak pada kuadran IV memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam membentuk kelembagaan yang berperan penting dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dengan tingkat ketergantungan (independent) yang rendah terhadap sub elemen kendala kelembagaan lainnya. Sub elemen yang termasuk dalam kuadran IV adalah: (1)

199 175 Rendahnya kualitas SDM (K4); (2) Belum adanya target kinerja yang disepakati di setiap lembaga (K10); (3) Penyusunan program dan rencana kerja yang tidak tepat sasaran (K11). Apabila ketiga sub elemen tersebut tidak ditangani dengan baik maka hal itu akan menjadi persoalan besar dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak karena kelembagaan yang terlibat dalam penanganan pariwisata tidak bisa bekerja secara optimal. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa ketiga sub elemen kendala kelembagaan yang berada di sektor independent tidak tergantung pada sub elemen lain, berpengaruh dominan pada sistem dan mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Berkaitan dengan ketiga lembaga tersebut, ternyata yang berperan sebagai sektor kunci dalam matriks driver power-dependent adalah rendahnya kualitas SDM (K4), karena itu yang perlu ditangani secara prioritas adalah kendala rendahnya kualitas SDM di bidang pariwisata, dengan cara mengadakan pelatihan di bidang kepariwisataan, sehingga dapat dihasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas menangani urusan kepariwisataan dan budaya di Kawasan Puncak. Level 7 K5 Level 6 K3 K9 Level 5 K6 Level 4 K2 K12 Level 3 K4 Level 2 K1 K10 K11 Level 1 K7 K8 Gambar 37. Strukturisasi kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Strukturisasi sub elemen kendala kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak terbagi dalam tujuh level, dimana level pertama

200 176 yang merupakan sektor kunci dan kendala dalam bidang kelembagaan yang diprioritaskan untuk diselesaikan pada tahap pertama pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah: kendala lemahnya standar operasional prosedur lembaga (K7) dan kendala tidak adanya manajemen terintegrasi dalam pengelolaan pariwisata (K8). Apabila kedua kendala ini dituntaskan akan mampu mendorong penyelesaian kendala kelembagaan pada level kedua, yaitu: tumpang tindih kewenangan antar instansi vertikal maupun horizontal (K1), belum adanya target kinerja yang disepakati di setiap lembaga (K10) dan penyusunan program dan rencana kerja yang tidak tepat sasaran ( K 11). Selanjutnya perbaikan kinerja pada level kedua terutama perbaikan dalam penyusunan program dan rencana kerja akan turut memperbaiki level ketiga, yaitu kendala rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) (K4) dan selanjutnya mendukung pada level keempat, yaitu kendala keterbatasan pendanaan (K2) dan lemahnya aktivitas evaluasi dan pengendalian (K12). Apabila kedua kendala tersebut telah dapat ditangani maka tahap selanjutnya akan dapat menyelesaikan kendala tahap kelima, yaitu: kendala rendahnya keterlibatan kelembagaan diluar pemerintah,seperti ASITA, PHRI, LSM dan sebagainya (K6) dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dapat teratasi. Pada level keenam terdiri dari kendala lemahnya sistem pendataan dan pelaporan di bidang pariwisata (K3) dan kendala rendahnya dukungan sarana dan prasarana kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (K9). Pada tahap akhir apabila kedua kendala telah mampu diatasi, maka level keenam akan mampu mendorong level ketujuh, yaitu kendala lemahnya sanksi dan penghargaan di bidang pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (K5) Elemen Tujuan yang diinginkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Sub elemen dalam elemen tujuan yang diinginkan pada pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, sebagaimana tertera pada tabel 68.

201 177 Tabel 68. Elemen Tujuan yang diinginkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak No Elemen Sub elemen 1 Tujuan yang diinginkan terhadap kelembagaan pengelola pariwisata di Kawasan Puncak 1. Terwujudnya pengelolaan pariwisata yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam aktivitas wisata 3. Tersusunnya perencanaan program pariwisata yang komprehensif/holistik dan berkelanjutan 4. Penyelesaian kendala dan permasalahan dapat dilaksanakan lebih cepat dan tepat 5. Meningkatnya pelayanan kepada masyarakat 6. Terlaksananya pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang efisien dan efektif 7. Terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di Kawasan Puncak 8. Terlaksananya penegakan hukum secara tegas dan jelas 9. Terkoordinirnya pendataan dan pelaporan sebagai bahan kebijakan lebih lanjut 10. Terkoordinirnya pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak 11. Terwujudnya satu peraturan yang terintegrasi dengan memadukan berbagai peraturan yang ada Berdasarkan hasil kajian pendapat pakar maka disusunlah struktur tolok ukur untuk menuju keberhasilan pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak, yang terdiri dari 11 sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Secara lengkap elemen dan sub elemen tujuan yang diinginkan terlihat pada tabel 69. Tabel 69. Matriks jawaban pakar untuk elemen tujuan yang diinginkan yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak A A X X X X X X X X 2 V X X V A X X X O 3 X X V X X X X X 4 X X A V X A A 5 V A X A A A 6 A X X X X 7 X X X X 8 A A X 9 X X 10 X 11

202 178 Berkenaan dengan jawaban dari pakar, maka dibuat reachability matrix untuk elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, sebagaimana tertera pada tabel 70. Tabel 70. Matriks reachability elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak DP RANK DEPT RANK Selanjutnya, gambaran dari sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak berdasarkan matriks driver power dan dependent sebagaimana dapat dilihat pada gambar Matriks Driver Power vs Dependent Tujuan yang Diinginkan di Kawasan Pariwisata Puncak Independent T7 T10 T9 Linkage Driver Power T2 T11 T3 T4 T1 T8 7 A utonomous T5 T6 Dependent Dependent Gambar 38. Matriks driver power-dependent elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

203 179 Berdasarkan gambar 39, sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Terdapat satu sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang masuk ke dalam sektor autonomous, yaitu sub elemen tujuan meningkatnya partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam aktivitas wisata (T2). Sub elemen ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan yang rendah, sehingga tidak diperhitungkan dalam strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang masuk ke dalam sektor dependent ada lima sub elemen, yaitu: (1) Penyelesaian kendala dan permasalahan dapat dilaksanakan lebih cepat dan tepat (T4); (2) Meningkatnya pelayanan kepada masyarakat (T5); (3) Terlaksananya pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang efisien dan efektif (T6); (4) Terlaksananya penegakan hukum secara tegas dan jelas (T8); dan (5) Terwujudnya satu peraturan yang terintegrasi dengan memadukan berbagai peraturan yang ada (T11). Kelima sub elemen tujuan yang diinginkan ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan terhadap tujuan lainnya dalam bidang pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang tinggi, sehingga kurang diprioritaskan dalam tujuan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kelima sub elemen tujuan yang diinginkan ini, yang berada di sektor dependent sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Berdasarkan strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent. Sementara itu dari hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis ISM, tidak ada sub elemen tujuan yang masuk dalam kuadran III atau sektor linkage. Sedangkan yang termasuk dalam kuadran IV atau sektor independent ada lima sub elemen tujuan yang diinginkan, yaitu: (1) Tersusunnya perencanaan program pariwisata yang komprehensif/holistik dan berkelanjutan (T3); (2) Terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di Kawasan Puncak (T7); (3) Terkoordinirnya pendataan dan pelaporan sebagai bahan kebijakan lebih lanjut (T9); (4) Terkoordinirnya

204 180 pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (T10); dan (5) Terwujudnya satu peraturan yang terintegrasi dengan memadukan berbagai peraturan yang ada (T11). Kelima sub elemen tujuan tersebut berada pada sektor independent, yang berarti dalam strategi pengelolaan kawasan pariwisata Puncak berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. Berkaitan dengan kelima sub elemen tujuan tersebut, ternyata yang berperan sebagai sektor kunci dalam matriks driver power-dependent adalah terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di Kawasan Puncak (T7). Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan ISM, maka nilai driver power tertinggi pada elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah: (1) terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di Kawasan Puncak (T7); (2) terkoordinirnya pendataan dan pelaporan (T9); dan (3) terkoordinirnya pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak sebagai bahan kebijakan lebih lanjut (T10). Hal ini terlihat dalam matriks driver power dan dependent dimana ketiga tujuan tersebut masuk ke dalam kuadran IV (independent), bersama-sama dengan tujuan tersusunnya perencanaan program pariwisata yang komprehensif/holistik dan berkelanjutan (T3) dan terwujudnya satu peraturan yang terintegrasi dengan memadukan berbagai peraturan yang ada (T11). Sementara itu diagram model struktural ISM dari sub elemen tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, seperti disajikan pada gambar 39. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan ISM, diperoleh strukturisasi tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak sebanyak 6 level, dimana level pertama yang merupakan sektor kunci pada tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah: terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan (T1); terlaksananya pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang efisien dan efektif (T6); dan terlaksananya penegakan hukum secara tegas dan jelas (T8). Ketiga tujuan ini akan mendorong tujuan penyelesaian kendala dan permasalahan (T4), sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat dan tepat pada level kedua.

205 181 Level 6 T7 Level 5 T9 Level 4 T2 T10 Level 3 T3 T5 T11 Level 2 T4 Level 1 T1 T6 T8 Gambar 39. Strukturisasi tujuan yang diinginkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Selanjutnya level kedua ini akan mendorong tersusunnya perencanaan program pariwisata yang komprehensif/holistik dan berkelanjutan (T3), meningkatnya pelayanan pada masyarakat (T5) dan terwujudnya suatu peraturan yang komprehensif yang memadukan berbagai peraturan yang ada (T11), pada level ketiga. Kemudian level ketiga akan mendorong level keempat, yaitu meningkatnya partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam aktivitas wisata (T2) serta terkoordinirnya pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (T10). Kedua tujuan ini akan mendorong terkoordinirnya pendataan dan pelaporan sebagai bahan kebijakan lebih lanjut (T9) pada level kelima dan pada akhirnya level kelima akan mendorong terwujudnya kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) pariwisata di Kawasan Puncak (T10) yang berada pada level keenam Elemen Aktivitas/Program yang diharapkan dalam Pengelolaan Pariwisata Kawasan Puncak Berdasarkan hasil kajian pendapat pakar maka disusunlah struktur tolok ukur untuk menuju keberhasilan pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak, yang terdiri dari 11 sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Secara lengkap elemen dan sub elemen aktivitas/program yang diharapkan, sebagaimana tertera pada tabel 71.

206 182 Tabel 71. Elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak No Elemen Sub elemen 1 Aktivitas/ program yang diperlukan dalam mendukung pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak 1. Peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata 2. Peningkatan sarana dan prasarana pengelola pariwisata 3. Membentuk institusi khusus yang menangani pengelolaan Kawasan Puncak secara terpadu 4. Menyusun pola perencanaan pengelolaan pariwisata terpadu di Kawasan Puncak 5. Inventarisasi/pendataan seluruh kondisi dan potensi Kawasan Puncak 6. Kerjasama pendanaan lintas sektoral/lembaga 7. Evaluasi kebijakan/peraturan yang diberlakukan di Kawasan Puncak 8. Sinkronisasi visi, misi, program dan target 9. Meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata 10..Pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi 11. Menyusun dan mengintegrasikan berbagai regulasi dan juklak/juknis pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak Sementara itu matriks jawaban pakar untuk elemen aktivitas/program yang diharapkan yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, sebagaimana tertera pada tabel 72. Tabel 72. Matriks Jawaban Pakar untuk Elemen Aktivitas/Program yang Diharapkan yang Terkait dengan Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak X V V X X X X X X X 2 V V X 1 X V X X X 3 A X X X X X X X 4 X X X X X X X 5 X X X A X X 6 X X X X X 7 X X X X 8 X A X 9 X V 10 V 11

207 183 Berkenaan dengan jawaban dari pakar, maka dibuat reachability matrix untuk elemen kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, sebagaimana tertera pada tabel 69. Hal ini disebabkan menurut pendapat pakar aktivitas/program yang paling diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah bagaimana regulasi dan juklak/juknis pariwisata yang selama ini ada dapat dijadikan bahan acuan kebijakan pengelolaan pariwisata yang terintegrasi dan berkelanjutan di Kawasan Puncak. Tabel 73. Matriks reachability elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata Kawasan Puncak DP RANK DEPT RANK Selanjutnya, gambaran dari sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak berdasarkan matriks driver power dan dependent sebagaimana dapat dilihat pada gambar 40, Berdasarkan gambar tersebut sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent.

208 Matriks Driver Power vs Dependent Aktivitas yang Diperlukan di Kawasan Pariwisata Puncak 12 Independent Linkage Driver Power A1 A9 A2 A10 A4 Autonomous A5 A6 A7 A8 A11 A3 Dependent Dependent Gambar 40. Matriks driver power-dependent elemen aktivitas/ program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Terdapat satu sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang masuk ke dalam sektor autonomous, yaitu aktivitas/program menyusun pola perencanaan pengelolaan pariwisata terpadu di Kawasan Puncak (A4). Sub elemen aktivitas/program ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan yang rendah terhadap sub elemen aktivitas/program lainnya dalam sistem. Sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang masuk kedalam sektor dependent ada dua sub elemen, yaitu: (1) membentuk institusi khusus yang menangani pengelolaan Kawasan Puncak secara terpadu (A3); dan (2) menyusun dan mengintegrasikan berbagai regulasi dan juklak/juknis pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (A11). Kedua sub elemen aktivitas/program yang diharapkan ini memiliki daya dorong yang rendah dan tingkat ketergantungan terhadap aktivitas/program lainnya dalam bidang pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak tinggi, sehingga kurang diprioritaskan dalam aktivitas/program pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kedua sub elemen aktivitas/program yang diharapkan ini, yang berada di sektor dependent sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Berdasarkan strategi pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent.

209 185 Pada sektor linkage terdiri dari empat sub elemen aktivitas/program yang diharapkan, yaitu: inventarisasi/pendataan seluruh kondisi dan potensi Kawasan Puncak (A5); (2) kerjasama pendanaan lintas sektoral (A6); (3) evaluasi kebijakan/peraturan yang diberlakukan di Kawasan Puncak (A7); dan (4) sinkronisasi visi, misi, program dan target (A8). Sub elemen aktivitas/program yang diharapkan pada kuadran III ini memiliki daya dorong yang tinggi tetapi tingkat ketergantungannya terhadap aktivitas/program lain juga tinggi, sehingga tidak mandiri atau dengan kata lain sangat tergantung pada aktivitas/program lain dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Sub elemen aktivitas/ program yang diharapkan ini di masa mendatang sebenarnya potensial diprioritaskan apabila dikelola dengan baik, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap aktivitas/program lain dapat ditekan. Berdasarkan hasil analisis, yang termasuk ke dalam sektor independent ada empat aktivitas/program yang diharapkan, yaitu: (1) peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata (A1); (2) peningkatan sarana dan prasarana pengelola pariwisata (A2); (3) inventarisasi/pendataan seluruh kondisi dan potensi Kawasan Puncak; (4) meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata (A9); dan (5) pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi (A10). Keempat sub elemen aktivitas/program tersebut berada pada sektor independent berarti dalam strategi pengelolaan kawasan pariwisata Puncak berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. Berkaitan dengan keempat aktivitas/program tersebut, ternyata yang berperan sebagai sektor kunci dalam matriks driver power-dependent adalah tujuan peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata (A1) dan tujuan meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata (A9). Sementara itu diagram model struktural ISM dari sub elemen aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, seperti disajikan pada gambar 41.

210 186 Level 6 A2 A5 A10 Level 5 A1 Level 4 A6 A9 Level 3 A4 Level 2 A8 Level 1 A3 A7 A11 Gambar 41. Strukturisasi aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan ISM, diperoleh strukturisasi aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak sebanyak enam level, dimana level pertama yang merupakan sektor kunci pada aktivitas/program yang diharapkan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, yaitu: (1) membentuk institusi khusus yang menangani pengelolaan Kawasan Puncak secara terpadu (A3); (2) evaluasi kebijakan/peraturan yang diberlakukan di Kawasan Puncak (A7); dan (3) menyusun dan mengintegrasikan berbagai regulasi dan juklak/juknis pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak (A11). Ketiga aktivitas/program ini akan mendorong aktivitas/ program sinkronisasi visi, misi, program dan target (A8), pada level kedua. Selanjutnya level kedua ini akan mendorong aktivitas menyusun pola perencanaan pengelolaan pariwisata terpadu di Kawasan Puncak (A4), pada level ketiga. Kemudian level ketiga akan mendorong level keempat, yaitu aktivitas/program kerjasama pendanaan lintas sektoral/lembaga (A6) dan aktivitas/program meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata (A9). Kedua aktivitas/program ini akan mendorong aktivitas/program peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata (A1) yang berada pada level kelima. Akhirnya aktivitas/program pada level kelima ini akan mendorong tiga aktivitas/program pada level keenam, yaitu: (1) peningkatan sarana dan prasarana pengelola pariwisata (A2); (2) inventarisasi/

211 187 pendataan seluruh kondisi dan potensi Kawasan Puncak (A5); dan (3) pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi (A10). 7.2 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis teknik permodelan Interpretasi struktural dapat digambarkan potret kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang cukup kompleks. Pendapat para pakar yang kemudian diolah dengan teknik ISM menetapkan bahwa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata adalah instansi yang berperan sebagai faktor kunci artinya bertanggung jawab terhadap kinerja pariwisata di Kawasan Puncak. Namun demikian jika diamati pada klasifikasi subelemen, Disbudpar berada pada sektor 3 atau linkage. Hal ini menunjukkan bahwa Disbudpar memiliki kekuatan atau kewenangan yang tinggi tetapi tingkat ketergantungan terhadap instansi lain juga tinggi sehingga dapat menimbulkan hubungan antar elemen yang tidak stabil dan jika tidak disikapi dengan hati-hati dapat berdampak terhadap kegagalan program. Kewenangan yang diberikan pemerintah terhadap Disbudpar dalam menangani pariwisata sudah cukup kuat, hal ini sesuai dengan tupoksi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang tertuang dalam Perda nomor 24 tahun 2004 Namun demikian walaupun kewenangan yang tinggi apabila tingkat ketergantungan terhadap instansi lain masih tinggi, maka keberhasilan program pariwisata akan ditentukan oleh seberapa besar instansi lain mempengaruhi kewenangan Disbudpar. Diharapkan Disbudpar tampil sebagai leading sector atau insntasi yang dapat menjadi pemimpin bagi instansi lainnya dalam hal pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Disbudpar perlu memiliki blue print atau grand design pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Khusus untuk Kawasan Puncak yang dicanangkan sebagai kawasan pariwisata yang mengedepankan konservasi, maka semua instansi harus bersedia tunduk terhadap ketentuan yang dituangkan dalam rencana tersebut. Dalam rangka menyusun grand design yang baik, Disbudpar perlu mempertimbangkan masukan dari berbagai stakeholder sehingga hasilnya akan lebih komprehensif dan diterima serta didukung semua pihak. Hubungan antara hierarki dengan faktor kuncinya dan klasifikasi subelemen dalam empat sektor disajikan dalam tabel 74 berikut ini.

212 188 TabeI 74. Identifikasi hierarki dan klasifikasi subelemen pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. ELEMEN FAKTOR KUNCI Lembaga Disbudpar DTBP, PHRI, Satpol PP, LSM,BPD, BLH, Kecamatan Kendala Tujuan Aktivitas/ Program 1. Lemahnya SOP 2. Manajemen tdk Terintegrasi 1. Terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak yang efisien dan efektif 2. Penegakan hukum 3. Terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu, terintegrasi & berkelanjutan 1. Membentuk institusi khusus 2. Evaluasi kebijakan/ peraturan 3. Integrasikan regulasi AUTONOMOUS DEPENDENT LINKAGE INDEPENDENT 1. Evdal lemah 2. Sanksi & Penghargaan yang masih lemah Meningkatnya Partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam aktivitas wisata Menyusun pola perencanaan pengelolaan pariwisata terpadu di Kawasan Puncak DTRP, BPT 1. Dana terbatas 2. Lemahnya sistem data & pelaporan 3, Rendahnya dukungan sarpras 1. Penyelesaian kendala dan permasalahan dapat dilaksanakan lebih cepat dan tepat 2. Meningkatnya pelayanan kepada masyarakat 3..Terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasanpunca k yang efisien dan efektif 4. Penegakan hukum 5. Terwujudnya satu regulasi 1. Membentuk institusi khusus 2. Integrasikan regulasi Disbudpar, Polres, Pemprov, Pem.Pusat 1. Tumpang tindih kewenangan 2. Rendahnya keterlibatan lembaga diluar pemerintah 3. Lemahnya SOP 4. Manajemen tidak terintegrasi DLLAJ, Bappeda, Pemerintahan Desa, Perhutani, ASITA, Perbankan, Budayawan 1. Rendahnya kualitas SDM 2. Belum ada target kinerja yang disepakati di setiap lembaga 3. Penyusunan program dan rencana kerja yang tidak tepat sasaran - 1. Tersusunnya perencanaan 2. program pariwisata yang 3. komprehensif/holistik 4. dan berkelanjutan 5. Terwujudnya kegiatan penelitian pengembangan (research andf development) pariwisata di kawasanpuncak 6. Terkoordinirnya pendataan dan 7. pelaporan sebagai bahan kebijakan lebih lanjut 8. Terkoordinirnya pelaksanaan Monitoring evaluasi dan pengendalian pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak 1. Inventarisasi/pe ndataan seluruh kondisi dan potensi Kawasan Puncak 2. Kerjasama pendanaan lintas sektoral/ lembaga 3. Evaluasi kebijakan/perat uran 4. Sinkronisasi visi, misi, program dan target 1. Peningkatan kualitas SDM kelembagaan pengelola pariwisata 2. Peningkatan sarana dan prasarana pengelola pariwisata 3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan lembaga lokal dalam pengelolaan pariwisata 4. Pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi

213 189 Tujuan yang menjadi faktor kunci, dan diharapkan dapat terwujud terkait dengan pelaksanaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah: (1) Terlaksananya pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang efisien dan efektif; (2) Penegakan hukum; (3) Terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. Ketiga tujuan tersebut dapat diwujudkan jika dikelola oleh lembaga yang bekerja efektif dan efisien. Khusus untuk tujuan butir ketiga, berdasarkan matriks driver-power, untuk mencapai tujuan tersebut ternyata ketergantungannya sangat tinggi terhadap tujuan lainnya serta memiliki daya dorong yang rendah, sehingga untuk memprioritaskan pencapaian tujuan kunci ini diperlukan upaya yang kuat dengan menyelesaikan elemen tujuan yang berada di sektor independent. Faktor kunci kendala yang dihadapi dalam rangka mewujudkan berjalannya fungsi kelembagaan yang efektif dan efisien adalah: (1) Lemahnya SOP; dan (2) Manajemen yang tidak terintegrasi. Kedua kendala yang menjadi faktor kunci untuk mengatasi kendala lainnya perlu diupayakan untuk segera diatasi. Lembaga Disbudpar walaupun telah memiliki rencana pembangunan jangka panjang (RPJM), renstra (rencana strategis) dan renja (rencana kerja), tanpa dilengkapi dengan SOP (Standar Operation Procedure) yang lebih rinci terutama dalam SOP pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, maka pelayanan yang dihasilkan tidak memiliki alat ukur dan standar yang jelas. Manakala Disbudpar sudah memiliki SOP maka seluruh pimpinan dan staf yang ada didalamnya digerakan oleh sebuah sistem yang sudah terstandar sehingga memudahkan dalam rangka pencapaian kinerja organisasi dan memudahkan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian pula dengan kendala manajemen yang tidak terintegrasi dan saling tumpang tindih kewenangan serta target kinerja yang tidak jelas antara masing-masing instansi merupakan kendala utama yang menjadi faktor kunci dan sering dilontarkan para stakeholder pada saat pelaksanaan FGD (Focus Group Discussion). Dalam rangka mencapai tujuan sekaligus menyelesaikan kendala yang ada, maka disusunlah beberapa rancangan program atau kegiatan. Berdasarkan pendapat para pakar, program yang ditetapkan sebagai faktor kunci adalah: (1) Membentuk institusi khusus; (2) Evaluasi kebijakan/peraturan; dan (3) Mengintegrasikan regulasi. Program yang diharapkan menjadi faktor kunci dan memiliki daya dorong yang tinggi termasuk dalam sektor dependent dan linkage. Artinya walaupun sudah ditetapkan sebagai faktor kunci namun dalam

214 190 pelaksanaannya harus tetap hati-hati karena program ini perlu didukung dengan pelaksanaan program yang lainnya. Sebagai contoh, pada saat ditetapkan program membentuk institusi khusus yang diharapkan sebagai trigger bagi pelaksanaan program lainnya, maka program-program seperti peningkatan kualitas SDM, Peningkatan sarana prasarana, pendataan, penyusunan rencana pengelolaan terpadu harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.

215 191 VIII. ANALISIS KEBIJAKAN DI KAWASAN PUNCAK 8.1 Peraturan Perundang-Undangan Penataan Ruang dan Pariwisata Kebijakan merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga, yang digunakan untuk pengendalian atau pengaturan kepentingan umum. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum, dapat diartikan sebagai suatu perangkat prinsip-prinsip yang mendasari pengambilan keputusan kebijakan publik. Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk: (1) instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan; (2) instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga; (3) petunjuk, arahan ataupun ketetapan; (4) pernyataan politik; dan (5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatan dan implementasinya (Djogo et al. 2003). Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik. Pengertian ini mengandung makna bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kebijakan dalam bentuk peraturan tentang penataan ruang di Kawasan Puncak telah dimulai sejak tahun 1963 melalui Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda) provinsi dan kabupaten, maupun peraturan gubernur dan bupati. Berbagai peraturan yang telah diterbitkan dalam rangka penataan Kawasan Puncak tertera pada tabel 75 berikut ini.

216 192 Tabel 75. Peraturan berkaitan dengan penataan Kawasan Puncak No Peraturan Perundangan Substansi 1. Perpres RI No. 13 tahun 1963 Mengatur ketertiban pembangunan baru disepanjang jalan antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur. 2. Keppres No. 48 Tahun 1983 Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor- Puncak-Cianjur. 3. Keppres No. 79 Tahun 1985 Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak. 4. SK.Gubernur KDH Tk.I Jawa Barat No /SK.295- Huk/ Perda Kab.Bogor No 3 Tahun 1988 Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada kawasan pariwisata jalur jalan Bogor- Puncak-Cianjur. RDTR Kawasan Puncak Bogor 6. Permendagri No 22 Tahun 1989 Tata laksana Pengendalian dan penertiban Kawasan Puncak. 7. Keppres No. 32 Tahun 1990 Pengelolaan kawasan lindung - Kriteria Kawasan: hutan lindung, resapan air, sempadan sungai, sempadan danau, sempadan mata air. - Kriteria kawasan rawan bencana ; Kewenangan pengendalian kawasan lindung. 8. SK Gubernur Jabar No /SK/222-Huk/1991 Kriteria lokasi dan standar teknis pelaksanaan ruang di Kawasan Puncak. 9. Perda Kab.Bogor No 3 Tahun 1993 RDTR Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor: cakupan isi RDTR sama dengan RDTR Kawasan Puncak Bogor Tahun PP No 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan yang memerlukan penanganan khusus dan mempunyai nilai strategis yaitu kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya yaitu wilayah Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Banten. 11. Keppres No 114 Tahun 1999 Penataan Ruang Kawasan Bopunjur. - Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua yang berada di DAS Ciliwung Hulu ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan. - Kegiatan budidaya tidak melampaui ketersediaan sumberdaya alam dan energi. 12. SK Bupati Kab.Bogor No.503/Kpts/Huk/ SK Bupati Kab.Bogor No.503/Kpts/Huk/ Perda Kab.Bogor No.19 Tahun 2000 Susunan Tim pertimbangan Pemberian Izin Lokasi - Mengkoordinasikan dinas/instansi terkait dalam rangka proses penerbitan izin lokasi. - Pembentukan tim pertimbangan - Tugas dan tanggungjawab tim pertimbangan - Susunan tim pertimbangan RTRW Kabupaten Bogor Kecamatan Cisarua, Megamendung dan Ciawi yang berada di DAS Ciliwung Hulu ditetapkan sebagai kawasan permukiman perdesaan, permukiman perkotaan dan pengembangan perkotaan. Retribusi IPPT - Objek dan subjek retribusi - Cara mengukur tingkat penggunaan jasa berdasarkan luas, jenis peruntukan dan lokasi. - Struktur dan besarnya tarif, ketentuan perijinan

217 193 No Peraturan Perundangan Substansi 15. Perda Kab.Bogor No.23 Tahun Perda Kab.Bogor No.24 Tahun Keputusan Bupati No. 19 Tahun Keputusan Bupati No. 20 Tahun SK Bupati Kab.Bogor No.60/266/Kpts/Huk/ Perda Prov.Jabar No.2 Tahun Keputusan Presiden No. 34 Tahun Peraturan Bupati Bogor No. 2 Tahun Peraturan Bupati Bogor No. 14 Tahun Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 4 Tahun 2007 (*) IMB: Digunakan untuk pengawasan dan pengendalian bangunan. Retribusi IMB: Dalam rangka pengawasan dan pengendalian IMB secara teknis dan adiministratif mendirikan bangunan. Juklak IMB: Persyaratan permohonan IMB dan jangka waktu penyelesaian IMB Juklak retribusi IMB: Kewajiban retribusi, tata cara perhitungan retribusi, tata cara pemungutan retribusi. Prosedur tetap pemrosesan dokumen adm pelayanan umum di bidang tata ruang dan lingkungan hidup - Memberikan kejelasan pada masyarakat dan sebagai standar pelayanan minimal (SPM) bagi instansi terkait, - Jenis perizinan dan pelayanan di bidang TRLH (Izin lokasi, ippt, Izin usaha (HO), SIPAL, UKL/UPL, Amdal - Instansi pemroses - Persyaratan administrasi - Mekanisme pemrosesan - Jangka waktu penyelesaian RTRW Provinsi Jawa Barat Das Ciliwung Hulu merupakan bagian dari kawasan andalan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata. Kebijakan Nasional di bidang pertanahan. Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kewenangan tersebut adalah: - Pemberian izin lokasi dan izin membuka tanah - Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. - Penyelesaian masalah; sengketa tanah garapan, ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, tanah ulayat, tanah kosong; - Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah ansentee, tanah ulayat. - Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota Kriteria lokasi dan standar Teknis Pemanfaatan Ruang. - Mengakomodasi dinamika pembangunan secara terkendali - Sebagai pedoman untuk pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan. Pedoman pengesahan master plan, site plan dan Peta Situasi. Dalam upaya peningkatan pelayanan di bidang pengesahan rencana tapak guna mewujudkan tertib pemanfaatan ruang. Pengelolaan Usaha Pariwisata Pengelolaan usaha pariwisata diarahkan untuk ter wujudnya tertib administrasi, kepastian hukum, pe ngembangan investasi, memperluas lapangan kerja dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 25. UU No. 26 Tahun 2007 Penataan Ruang, ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai.

218 194 No Peraturan Perundangan Substansi 26. PP No. 26 Tahun 2008 RTRWN - Bopunjur merupakan kawasan andalan - Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi dan wilayah sungai strategis nasional memperhatikan pola pengelolaan sumberdaya air. - Kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur merupakan Kawasan Strategis Nasional. 27. Perpres 54 Tahun 2008 Penataan Ruang Jabodetabekpunjur - Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung hulu berada pada zona B3,B4 dan B5. - Kawasan budidaya di DAS merupakan kawasan prioritas - RTRW dijabarkan menjadi Rencana Detail yang ditetapkan dengan Perda - RTR Kawasan Jabodetabekpunjur memuat pengaturan zonasi, rencana teknik bangunan dan lingkungan dan persyaratan teknis lainnya. - Penyusunan rencana detail oleh daerah dikonsultasikan dengan daerah lainnya dibawah koordinasi Menteri. 28. Perda Kabupaten Bogor No. 19 Tahun Peraturan Bupati Bogor No. 75 Tahun UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 (*) 31. Peraturan Bupati Bogor 83 Tahun 2009 (*) 32. Perda Prov.Jabar No. 22 Tahun 2010 (*) Sumber: Dewi (2010), RTRW Kabupaten Bogor merupakan pedoman dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan tata ruang di wilayah Kabupaten Bogor. Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang merupakan pedoman teknis untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan. Kepariwisataan. Berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang merupakan pedoman teknis untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan. - Tata cara memperoleh data lapangan - Penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) - Prinsip penempatan/peletakan kegiatan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun Merupakan matra spasial dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang nasional, Daerah, dan Kabupaten/Kota serta sebagai acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Daerah. (*) ditambahkan dengan peraturan terbaru dan peraturan lain yang berkaitan. 8.2 Analisis Isi Kebijakan Jenis kebijakan yang akan diamati melalui analisis isi (Content Analysis) adalah berbentuk peraturan perundang-undangan sesuai hirarkinya baik berupa

219 195 undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah maupun peraturan bupati. Peraturan perundang-undangan berisi tiga landasan utama yaitu landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Landasan filosofis ialah landasan yang memberikan justifikasi filosofis/ideologis dari suatu peraturan perundangundangan berisikan pandangan filosofis mengenai eksistensi dari sebuah peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis mensyaratkan bahwa peraturan perundang-undangan dibuat oleh instansi yang berwenang dan harus tersusun mengikuti suatu hirarki tertentu yang tidak saling bertentangan. Landasan sosiologis yaitu landasan yang mencerminkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa masalah, kebutuhan, tuntutan dan harapan. Peraturan perundang-undangan memiliki dua fungsi yaitu fungsi internal dan eksternal. Fungsi internal adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum seperti penciptaan, pembaharuan dan kepastian hukum, sedangkan fungsi eksternal disebut juga fungsi sosial hukum yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi dan fungsi kemudahan (BPT 2010). Muatan teks yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengandung makna tersendiri yang dapat direpresentasikan sebagai penyampaian sebuah pesan sebagai gejala simbolik yang ingin dikomunikasikan antara lembaga dengan masyarakat yang diaturnya. Sesuai tujuannya, maka metode analisis isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010), dikemukakan bahwa sejak tahun 1963 jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penataan ruang dan pemukiman di DAS Ciliwung Hulu termasuk didalamnya Kawasan Puncak, terdapat sebanyak 32 peraturan. Namun dalam penelitian ini dipilih 8 peraturan perundang-undangan yang berdasarkan pengamatan dan pendapat pakar, banyak digunakan dalam pengaturan, penerbitan perizinan, pengawasan, pemantauan dan pengelolaan di Kawasan Puncak terutama berkaitan dengan pengelolaan pariwisata. Kebijakan yang sering digunakan dalam pengelolaan Kawasan Puncak terutama dalam pengelolaan pariwisata tercantum dalam tabel 76.

220 196 Tabel 76. Peraturan Perundang-undangan berdasarkan tujuan dan pokokpokok yang diatur. Peraturan Perihal Pokok- Pokok yang diatur Tujuan PP 26/2008 Perpres 54 / 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,B ekasi, Puncak, Cianjur - Tujuan kebijakan dan strategi penataan ruang nasional. - Rencana struktur ruang wilayah nasional - Rencana pola ruang wilayah nasional - Penetapan kawasan strategis nasional - Arahan pemanfaatan ruang wilayah nasional - Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional - Kebijakan dan strategi penataan ruang - Rencana tata ruang Kawasan Jabodetabekpunjur - Arahan pemanfaatan ruang kawasan - Arahan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan - Pengawasan pemanfaatan ruang kawasan - Kelembagaan,peran masyarakat, dan pembinaan Sebagai pedoman (a) penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; (b). penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; (c). pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; (d). pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keseimbangan antarsektor; (e). penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; (f).penataan ruang kawasan strategis nasional; dan (g). penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. - Mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan. - mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, - Untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; mengembangkan perekono mian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.

221 197 Peraturan Perihal Pokok- Pokok yang diatur Tujuan Perda Prov.Jabar 22/2010 Perda Kab. Bogor 19/2008 Perbup Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang - Asas, tujuan dan sasaran - Fungsi dan kedudukan - Luas, dan batas wilayah provinsi - Rencana tata ruang wilayah provinsi - Rencana wilayah pengembangan - Penetapan kawasan strategis provinsi - Arahan pemanfaatan ruang wilayah - Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah - Kelembagaan - Peran masyarakat - Pembinaan, pengawasan dan pengendalian - Larangan - Arahan sanksi - Penyidikan - Asas,tujuan,kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah - Rencana struktur dan pola ruang wilayah - Kawasan strategis - Rencana pemanfaatan ruang wilayah - Arahan pengendalian pemanfaatan ruang - Hak,kewajiban,peran serta masyarakat dan kelembagaan - Ketentuan pidana - Pedoman operasional pemanfaatan ruang. - Tata cara memperoleh data lapangan - Penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) - Prinsip penempatan/peletakan kegiatan RTRWP merupakan matra spasial dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang nasional, Daerah, dan Kabupaten/Kota serta sebagai acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Daerah. Terselenggaranya pemanfaat an ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif, efektif dan efisien, melalui pemberian Building Coverage Ratio (BCR) yang rendah pada kawasan yang memiliki nilai konservasi; Terwujudnya pedoman opera sional pemanfaatan ruang sebagai arahan pengendalian, pengawasan dan pelaksanaan pembangunan dan investasi.

222 198 Peraturan Perihal Pokok- Pokok yang diatur Tujuan UURI Kepariwisata - Asas, fungsi dan tujuan Kepariwisataan berfungsi 10/2009 an - Prinsip memenuhi kebutuhan jasmani, penyelenggaraan rohani, dan intelektual setiap kepariwisataan wisatawan dengan rekreasi dan - Pembangunan kepariwisataan - Kawasan strategis Perjalanan serta meningkatkan - Usaha pariwisata pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan - Hak,kewajiban dan rakyat. larangan - Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah - Koordinasi - Badan Promosi Pariwisata Indonesia - Gabungan industri pariwisata Indonesia - Pelatihan SDM, standardisasi,sertifikasi dan tenaga kerja - Pendanaan - Sanksi administratif - Ketentuan pidana UURI 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup - Asas, tujuan dan ruang lingkup - Perencanaan - Pemanfaatan - Pengendalian - Pemeliharaan - Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun - Sistem informasi - Tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah - Hak kewajiban dan larangan - Peran masyarakat - Pengawasan dan sanksi administratif - Penyelesaian sengketa lingkungan - Penyidikan dan pembuktian - Ketentuan pidana Melindungi wilayah Negara Kesatuan RI dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini, dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan pemanfaatan SDA secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mengantisipasi isu lingkungan global.

223 199 Peraturan Perihal Pokok- Pokok yang diatur Tujuan Perda Kab. Bogor 4/2007 Pengelolaan Usaha Pariwisata - Prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata - Penggolongan usaha pariwisata - Perizinan - Peran serta masyarakat - Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan - Penyidikan - Sanksi Pengelolaan usaha pariwisa ta diarahkan untuk ter wujudnya tertib administrasi, kepastian hukum,pengembangan investasi, memperluas lapangan kerja dan peningkatan pelayanan ke pada masyarakat. Tabel 77. Aspek kunci pada berbagai peraturan perundang-undangan. NO. ASPEK KUNCI 1 Puncak/ Kawasan Puncak 2 Kawasan strategis 3 Pariwisata/ wisata PP 26/2008 Perpres 54 / 2008 Perda Prov.Jabar 22/2010 Perda Kab. Bogor 19/2008 Perbp 83/ 2009 UURI 10/2009 UURI 32/ 2009 Perda Kab. Bogor 4/ Berkelanjutan Konservasi Pengelolaan Insentif desinsentif Penertiban Daya dukung lingkungan 10 Kesejahteraan Kelembagaan Transportasi Partisipasi/peran masyarakat 14 Koordinasi Pemantauan Pembinaan Perizinan Daya saing Pajak& retribusi tenaga kerja Infrastruktur Air bersih Jalan Angkutan Teknologi

224 200 NO. ASPEK KUNCI PP 26/2008 Perpres 54 / 2008 Perda Prov.Jabar 22/2010 Perda Kab. Bogor 19/2008 Perbp 83/ 2009 UURI 10/2009 UURI 32/ 2009 Perda Kab. Bogor 4/ Akomodasi wisata 27 Sampah Hutan Kenyamanan lahan kritis Bencana alam Daya tarik Sumberdaya manusia 34 Keamanan Sosialisasi Pedoman teknis Bangunan tidak berizin 38 Terintegrasi Pengendalian Manajemen terpadu 41 Lalulintas Penduduk miskin 43 LPP Lama masa tinggal wisatawan 45 Budaya Pengaturan Ruang Jenis rencana tata ruang dibedakan menurut hirarki administrasi pemerintahan, fungsi wilayah serta kawasan, dan kedalaman rencana. Definisi dan cakupan wilayah perencanaan, maksud, dan skala ketelitian peta yang digunakan setiap tingkatan rencana tata ruang berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dapat dilihat pada gambar 42.

225 201 Gambar 42. Hubungan hierarkhi rencana tata ruang. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan penataan ruang di Kawasan Puncak adalah PP no 26 Tahun 2008, Perpres 58 Tahun 2008, Perda Provinsi Jabar No. 22 tahun 2010, Perda Kabupaten Bogor No. 19 Tahun 2008 dan Peraturan Bupati no 83 tahun Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional merupakan pedoman dalam pembuatan rencana tata ruang di seluruh Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu pusat kegiatan nasional (PKN) yang secara sistem kewilayahan menjadi bagian dari Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur. Kabupaten Bogor dalam sistem Kawasan Jabodetabekpunjur merupakan daerah semi perkotaan dan pinggiran perkotaan yang berfungsi mendukung pengembangan kota inti dan kota satelit di Jabodetabekpunjur dan mendukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan di wilayah Jabodetabekpunjur. Selain itu sebagian dari Kabupaten Bogor juga merupakan bagian dari kawasan andalan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) yang memiliki peran strategis dalam pengembangan agribisnis dan pariwisata, sekaligus memiliki potensi permasalahan lingkungan yang perlu dijaga sebagai hinterland kawasan ibukota DKI Jakarta. Puncak atau Kawasan Puncak termasuk dalam Kawasan Jabodetabekpunjur berdasarkan peraturan presiden no 54 tahun Selain Puncak yang termasuk dalam kawasan ini adalah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Cianjur. Tujuan penataan ruang Jabodetabekpunjur adalah (1). Mewujudkan

226 202 keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan; (2). Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan; (3). Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan. Pasal 49 Perpres No 58 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi, kabupaten dan kota yang berada di kawasan Jabodetabekpunjur harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) Jabodetabekpunjur. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor telah disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam RTRK Jabodetabekpunjur dan diundangkan menjadi Perda Kabupaten Bogor No. 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor. Untuk melaksanakan ketentuan dalam Perda Kabupaten Bogor No 19 Tahun 2008 tersebut, Bupati Bogor telah mengeluarkan Peraturan Bupati Bogor No. 75 Tahun 2008 yang telah diperbaharui menjadi Peraturan Bupati Bogor No. 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Jabodetabekpunjur ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Walaupun secara kuantitatif frekuensi puncak/jabodetabekpunjur muncul hanya satu kali, namun secara kualitatif pesan yang disampaikan peraturan tersebut sangat penting yaitu menetapkan status puncak sebagai kawasan strategis nasional. Kawasan strategis nasional didefinisikan sebagai wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud meliputi: (1) pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; (2). peningkatan fungsi

227 203 kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara; (3) pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional; (4) pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (5) pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa; (6) pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan (7) pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan. Selaras dengan peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 yang menetapkan puncak sebagai kawasan strategis nasional, peraturan daerah Provinsi Jawa Barat no 22 tahun 2010 juga menetapkan puncak sebagai Kawasan Strategis Propinsi (KSP). Teks puncak muncul sebanyak 5 kali dengan penekanan penjelasan bahwa puncak termasuk dalam kawasan pengembangan ekowisata serta termasuk dalam kawasan yang diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lindung di KSN Jabodetabekpunjur. Berdasarkan penjelasan tersebut baik peraturan di tingkat nasional maupun provinsi menempatkan puncak sebagai kawasan strategis yang perlu dikelola dengan baik. Pesan tersebut perlu dilanjutkan dan diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Berdasarkan tabel 60, ditemukan 7 kali pemunculan teks puncak pada peraturan daerah nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Substansi yang relevan dengan peraturan hirarki diatasnya terdapat pada: (1) Pasal 49 menyatakan bahwa puncak termasuk kawasan strategis, pengelolaannya diarahkan untuk terselengaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir, meliputi Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung; (2) pasal 6 menjelaskan kawasan strategis Puncak dikembangkan sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan pariwisata melalui pembatasan pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien; (3) pasal 15 menjelaskan bahwa kawasan strategis Puncak dikembangkan sebagai kawasan wisata dan konservasi dengan tetap mempertahankan pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa kawasan puncak mempunyai nilai penting dan strategis dari prespektif nasional dan regional.

228 204 Sampai pada tahapan RTRW Kabupaten Bogor, keberadaan kawasan puncak masih diamati secara khusus dalam beberapa pasal. Perda RTRW masih makro dan bersifat arahan-arahan kebijakan ruang, perlu dilanjutkan dengan rencana detail tata ruang beserta pengaturan zonasinya. Rencana detail tata ruang merupakan kebijakan pemanfaatan ruang dengan memperhatikan kebijakan rencana tata ruang diatasnya (rencana tata ruang nasional, rencana tata ruang provinsi maupun rencana tata ruang kota/kabupaten). RDTR ini terdiri dari rencana struktur dan strategi pengembangan dan disusun serta ditetapkan untuk menjadi konsistensi perkembangan kawasan secara internal serta sebagai dasar bagi penyusunan program-program pembangunan kota lintas sektoral dan daerah dalam jangka panjang di dalam batas wilayah administrasi yang bersangkutan. Isi dari RDTR memuat rumusan tentang kebijakan pengembangan wilayah perencanaan, rencana pemanfaatan ruang, rencana struktur tingkat pelayanan, rencana sistem utama transportasi, rencana utama jaringan utilitas, rencana pemanfaatan air baku, indikasi unit pelayanan dan rencana pengelolaan pembangunan. Pembuatan rencana RDTR dilengkapi peta-peta skala 1 : dan skala 1 : Namun karena Pemerintah Kabupaten Bogor belum memiliki Perda RDTR, maka disusun Peraturan Bupati nomor 83 tahun 2008 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Perbup 83/2008 hanya mencantumkan satu teks yang menyinggung kawasan puncak, itupun tidak muncul pada batang tubuh peraturan tetapi hanya pada pasal awal menimbang yang menyitir rujukan peraturan yang mengatur kawasan Jabodetabekpunjur yaitu PP no 54 tahun Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kawasan Puncak dalam berbagai hierarki peraturan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan RTRWN, dimana pengembangan Kawasan Puncak dalam konstelasi metropolitan Jabodetabekpunjur memiliki fungsi sebagai PKN; 2. Kebijakan RTRW Provinsi Jawa Barat, dimana Kawasan Puncak memiliki fungsi strategis serta sebagai salah satu pusat pertumbuhan utama (lingkup Metropolitan Bodebek); 3. Kebijakan perpres Jabodetabekpunjur, dimana Kawasan Puncak memiliki arahan fungsi sebagai kawasan lindung, budidaya terbatas, serta sebagai kawasan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan yang diprioritaskan;

229 Kebijakan RTRW Kabupaten Bogor, dimana pengembangan Kawasan Puncak dikendalikan secara ketat karena terkait fungsinya sebagai kawasan perlindungan bagi wilayah bawahnya. Kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten dengan adanya rencana tata ruang kawasan berjenjang demikian adalah keterbatasan kemampuan di dalam menyusun semua jenjang rencana serta tidak fleksibelnya rencana tata ruang kawasan di dalam menghadapi perkembangan yang terjadi; termasuk pula di dalam menjembatani rencana-rencana tata ruang tersebut ke dalam langkah operasional pelaksanaan pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan penyusunan rencana detail tata ruang untuk kawasan puncak secara khusus serta program tindak pelaksanaan dan pengendaliannya agar sesuai dengan rencana tata ruang Pengembangan Pariwisata Kebijakan pengembangan pola ruang di Kabupaten Bogor berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor meliputi: (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung; (2) Kebijakan pengembangan kawasan budi daya; dan (3) Kebijakan pengembangan kawasan strategis. Kawasan strategis tersebut meliputi kawasan strategis industri, pertambangan, lintas administrasi dan kawasan strategis Puncak. Kawasan strategis Puncak sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan pariwisata melalui pembatasan pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien. Pemanfaatan Kawasan Puncak diarahkan untuk pengembangan pariwisata namun harus tetap mempertahankan pelestarian lingkungan hidup, serta daerah resapan air dan pengendali banjir. Pada pasal 52 ayat 9 dalam Peraturan Daerah no 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor dijelaskan mengenai pengelolaan pariwisata yang harus sesuai arahan: (1). Tetap melestarikan alam sekitar untuk menjaga keindahan obyek wisata; (2) Tidak melakukan pengrusakan terhadap obyek wisata alam; (3) Menjaga dan melestarikan peninggalan bersejarah; (4) meningkatkan pencarian/penelusuran terhadap benda bersejarah untuk menambah koleksi budaya; (5) Peningkatan dan pengendalian pembangunan sarana dan prasarana transportasi ke obyekobyek wisata alam, budaya, dan minat khusus pada obyek yang tidak memiliki akses yang cukup; (6) Merencanakan kawasan wisata sebagai bagian dari

230 206 urban/regional desain untuk keserasian lingkungan; (7) Meningkatkan daya tarik wisata melalui penetapan jalur wisata, kalender wisata, informasi, dan promosi wisata; dan (8) Menjaga keserasian lingkungan alam dan buatan sehingga kualitas visual kawasan wisata tidak terganggu; (9) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian obyek wisata, dan daya jual/saing; dan (10) Mengembangkan kegiatan pariwisata yang dilengkapi dengan fasilitas penunjang dan pendukung pariwisata. Sejauhmana pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Bogor memperhatikan pelestarian lingkungan akan tergambar pada seberapa intensif pembahasan lingkungan diinternalisasikan kedalam pengembangan pariwisata. Kata atau teks yang dipilih untuk menggambarkan aktivitas lingkungan seperti yang tercantum pada tabel 60, antara lain konservasi, berkelanjutan, rehabilitasi, daya dukung lingkungan, kawasan lindung. Internalisasi teks lingkungan dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2007 tentang Pengelolaan Usaha Pariwisata tercantum dalam dua pasal yaitu: (1) pada Bab II yang menjelaskan prinsipprinsip pengelolaan usaha pariwisata pada pasal 3 yaitu: pengelolaan usaha pariwisata harus memperhatikan aspek pelestarian dan upaya peningkatan mutu obyek dan daya tarik wisata, mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi, nilai-nilai agama, kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup ; kemudian (2) Pada pasal 29 butir g tentang kewajiban pemegang izin yaitu melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan usaha yang dilakukan. Aspek pelestarian lingkungan sebaiknya tidak dimunculkan hanya sebagai prinsip-prinsip yang sifatnya tidak operasional tetapi perlu pasal-pasal yang lebih tegas dan implementatif yang mengatur seluruh komponen yang terlibat dalam kegiatan pariwisata. Seperti halnya kebijakan kepariwisataan yang diterbitkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2009 yang memperhatikan lingkungan pada beberapa pasal. Kewajiban memelihara lingkungan tidak saja dilekatkan pada pengusaha wisata tetapi juga menjadi kewajiban bagi pengunjung/wisatawan, pada pasal 27 dijelaskan mengenai pasal larangan yaitu setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata yang dimaksudkan merusak fisik adalah kegiatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, menghilangkan spesies, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata.

231 Pengaturan Lingkungan Pengaturan insentif dan disinsentif banyak dibahas pada kebijakan yang mengatur penataan ruang seperti rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi Jawa Barat, rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor dan penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Berdasarkan Undang-Undang 32 tahun 2008 insentif atau desinsentif termasuk dalam instrumen ekonomi lingkungan antara lain diterapkan dalam bentuk pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup, penerapan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan hidup, pembayaran jasa lingkungan hidup, pengembangan asuransi lingkungan hidup, pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup, serta sistem penghargaan kinerja dibidang PPLH. Berdasarkan RTRW Nasional diamanatkan bahwa pemberian insentif dan disinsentif dimaksudkan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi, sedangkan disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya. Insentif kepada masyarakat diberikan, antara lain, dalam bentuk: (1) keringanan pajak; (2) pemberian kompensasi; (3). imbalan; (4) sewa ruang; (5) urun saham; (6) penyediaan infrastruktur; (7) kemudahan prosedur perizinan; dan (8) penghargaan, sedangkan disinsentif dari Pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk: (1) pengenaan pajak yang tinggi; (2) pembatasan penyediaan infrastruktur; (3) pengenaan kompensasi; dan (4) penalti. Arahan pemberian insentif dan disinsentif yang diamanatkan dalam RTRW Nasional ditindaklanjuti dalam RTRW Provinsi. Arahan pemberian insentif dan disinsentif merupakan alat pengendalian pemanfaatan ruang bersama-sama dengan arahan peraturan zonasi, perizinan dan arahan pemberian sanksi. Selaras dengan peraturan di atasnya maka pemberian insentif yang diatur dalam Perda RTRW Provinsi disesuaikan dengan kewenangannya. Insentif kepada dunia usaha dan masyarakat diberikan dalam bentuk: (1) keringanan retribusi daerah; (2) kompensasi; (3) kerjasama pendanaan; (4) penyediaan infrastruktur; (5) kemudahan prosedur perizinan; dan (6) penghargaan. Disinsentif dapat dikenakan dalam bentuk: (1) penyediaan

232 208 infrastruktur secara terbatas; (2) pengenaan kompensasi; (3) pembatalan insentif; (4) rekomendasi pencabutan izin; dan (4) sanksi administratif. Berdasarkan peraturan tersebut, kegiatan yang dapat diberikan insentif adalah kegiatan yang mendukung pelestarian dan perwujudan kawasan lindung serta upaya untuk mewujudkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Sesuai dengan arahan yang diamanatkan dalam RTRWN dan RTRW Provinsi Jawa Barat maka dalam peraturan RTRW Kabupaten Bogor pun telah memuat ketentuan tentang pemberian insentif dan disinsentif. Sesuai dengan pasal 92 ayat 2 bahwa pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dikoordinasikan oleh Bupati, artinya diperlukan peraturan bupati yang secara khusus mengatur tata cara dan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat. Namun demikian pada Perbup nomor 83 tahun 2008 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang yang merupakan penjabaran dari perda RTRW Kabupaten Bogor, tidak terdapat pasal yang membahas dan mengatur tentang insentif dan disinsentif. Berdasarkan PP 26 Tahun 2008, Kawasan Puncak dinyatakan sebagai kawasan strategis nasional. Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria: (1) merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; (2) merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; (3) memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara; (4) memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; (5) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan memperhatikan pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan. Demikian pula dalam Perpres 54 / 2008 tentang Jabodetabekpunjur pengendalian tentang daya dukung diatur dalam beberapa pasal dengan arahan (1) penataan ruang diarahkan untuk mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; (2) kegiatan budi daya tidak melampaui daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam dan energi; (3)

233 209 mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan Kelembagaan Berdasarkan pendapat para pakar tentang kelemahan dalam penanganan Kawasan Puncak adalah terletak pada kelembagaan dan koordinasi. Mencermati kedua hal tersebut, maka pada tabel 78, dilakukan analisis isi kebijakan berikut penjelasan atau uraian teks sebagai berikut: Tabel 78. Aspek kunci kelembagaan dan koodinasi pada peraturan perundangundangan. Aspek kunci Perpres 54 / 2008 Perda Prov.Jabar 22/2010 Perda Kab. Bogor 19/2008 Perbup Kelembagaan dan koordinasi - Koordinasi teknis penataan ruang Kawsn Jabodetabekpunjur sbg kawasan strategis nasional dilkukan oleh Menteri. - Koordinasi kelembagaan dan kebijakan krjsama antardaerah di Kwsn Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerja sama antardaerah. - Pengaturan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan melalui koordinasi antarinstansi Pemerintah dan pemerintah daerah. - Dalam rangka koordinasi penyelenggaraan penataan ruang di Daerah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah - Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah ditetapkan oleh Keputusan Gubernur Tidak diatur Tidak diatur Kelembagaan dan koordinasi merupakan faktor kunci yang penting dalam suksesnya pengelolaan Kawasan Puncak. Berdasarkan Perpres 54 tahun 2008 yang mengatur Jabodetabekpunjur, dinyatakan bahwa koodinasi secara teknis dilakukan oleh menteri tetapi koordinasi yang menyangkut kelembagaan dan kebijakan kerjasama antardaerah di kawasan jabodetabekpunjur difasilitasi oleh badan kerjasama antar daerah. Dalam peraturan tersebut tidak diungkapkan menteri teknis yang menjadi koordinator Jabodetabekpunjur dengan demikian semua menteri teknis dapat menjadi koordinator dibidangnya terhadap persoalan

234 210 teknis di Kawasan Jabodetabekpunjur. Jika ada bidang-bidang atau kebijakan yang akan dikerjasamakan maka akan difasilitasi oleh badan kerjasama antarderah yang saat ini ditangani oleh BKSP Jabodetabekpunjur. Pola kerjasama yang dilakukan BKSP Jabodetabekpunjur bertujuan untuk 1). Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antar sektor, 2). Mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang dan 3). Upaya menyelesaikan konflik yang bersifat lintas batas. Sejak didirikan pada tahun 1976 sampai saat ini fasilitasi yang dilakukan oleh Institusi BKSP Jabodetabekpunjur belum berjalan optimal. Beberapa persoalan yang dihadapi adalah: 1) belum siapnya pemerintah dalam merencanakan dan membiayai program yang integral antar wilayag, 2) belum terciptanya interkoneksitas yang kuat antar daerah dalam hal pengelolaan wilayah, 3) belum adanya kesamaan persepsi, kepentingan dan prioritas bersama tentang pentingnya penanganan Jabodetabekpunjur, 3) kurangnya koordinasi yang terbina antara institusi pemerintah, masyarakat lokal dan seasta, 4) belum siapnya kapasitas SDM, 5) belum tercapainya kesetaraan perangkat daerah dan 6) perlunya instrumen RPJM Kawasan Jabodetabekpunjur. Selanjutnya amanat mengenai kelembagaan dan koordinasi jabodetabekpunjur tidak diatur kembali dalam RTRW Provinsi Jawa Barat. Pengaturan kelembagaan dan koordinasi yang dijelaskan dalam Perda RTRW tersebut lebih bersifat internal di Jawa Barat terhadap pengaturan ketataruangan di Provinsi Jawa Barat yang ditangani oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Jawa Barat. Koordinasi dan kelembagaan di Kawasan Puncak yang termasuk dalam kawasan strategis provinsi dan kawasan strategis nasional tidak diatur secara khusus baik dalam Perda Kabupaten Bogor nomor 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor dan Peraturan Bupati nomor 83 tahun 2008 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Pasal 53 perpres 54/2008, Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh bupati/walikota berdasarkan arahan dan rekomendasi gubernur dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh gubernur masing-masing wilayah. Pelaksanakan koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang, gubernur berkonsultasi dengan Menteri. Gubernur menyampaikan laporan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang secara berkala kepada Presiden melalui Menteri.

235 Peran Serta Masyarakat dan Kerjasama antar Daerah Peran serta atau partisipasi masyarakat merupakan hal penting bagi kelangsungan pembangunan. Sesuai UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk 1) mengetahui rencana tata ruang, 2) menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, 3) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan tata ruang, 4) mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang dan 5) mengajukan tuntutan pembatalan izin. Namun demikian tidak semua regulasi atau kebijakan menyinggung atau mengatur tentang peran serta atau partisipasi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis isi terhadap peraturan yang berlaku di kawasan puncak, hanya pada Perpres 54 tahun 2008 tentang Jabodetabekpunjur, Perda Kab. Bogor 19 tahun 2008 dan Undang-Undang 32 Tahun 2008, yang membahas tentang peran serta masyarakat, sedangkan pada PP 26 Tahun 2008 serta Perbup 83 tahun 2009 sama sekali tidak menyinggung tentang pentingnya partisipasi atau peran serta masyarakat. Berdasarkan Perda 19 tahun 2008 tentang RTRW Kab Bogor, peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang, dapat berbentuk: (1) Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang, termasuk pemberian informasi atau laporan mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang; dan (2) Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang. Demikian pula halnya pada Perpres 54 tahun 2008 tentang Jabodetabekpunjur, diarahkan agar partisipasi masyarakat dilibatkan dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan, serta pengelolaan sampah dan limbah. Peran masyarakat dalam UU 32/2008 dilakukan dengan tujuan untuk: (1) meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (2) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; (3) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (4) menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan (5) mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Menjaga keberadaan dan kelestarian lingkungan memerlukan pembiayaan yang besar, kerenanya diperlukan kerjasama antar daerah dalam

236 212 rangka pengelolaannya. Berdasarkan pasal 106 dan 107 Perda Provinsi Jawa Barat no 22 tahun 2010, pemerintah daerah dapat memfasilitasi pengaturan insentif dan pembagian peran dalam pembiayaan (role sharing) antar kabupaten/kota yang secara geografis terletak di daerah hulu dan hilir DAS, yang ditetapkan melalui pola kerjasama antar daerah. Selain itu untuk mewujudkan 45% kawasan lindung, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan keuangan dan/atau jasa lingkungan kepada kabupaten/kota dengan pertimbangan proporsi luas kawasan lindung dan apresiasi terhadap upaya perwujudan program pencapaian luas kawasan lindung di wilayahnya Pengendalian Pembangunan Pengendalian adalah merupakan subsistem dari sistem penataan ruang, bersama-sama dengan sub sistem perencanaan dan pemanfaatan tata ruang. Pengendalian juga merupakan salah satu unsur dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang tertuang dalam UU PPLH no 32/2009. Dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, maka diperlukan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal tersebut tertuang pada pasal 3 Bab II, PP 26 Tahun 2006 dinyatakan bahwa RTRWN menjadi pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui: (1) Peraturan zonasi; (2) Perizinan; (3) Pemberian insentif dan disinsentif; serta (4) Pemberian sanksi. Sejalan dengan peraturan pemerintah tersebut maka arahan pengendalian pemanfaatan ruang juga telah dicantumkan pada pasal 51 Perpres 54 tahun 2008 tentang Penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Selanjutnya dalam Peraturan Daerah no. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor, arahan pengendalian ruang ditambahkan dengan arahan pemanfaatan jasa lingkungan, hal ini sebagai komitmen daerah bahwa dalam rangka pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata perlu dilakukan pengendalian agar tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam yang ada. Kawasan lindung yang terdapat di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua diprioritaskan untuk dilakukan rehabilitasi dan revitalisasi sebagaimana tertuang dalam pasal 58 Perpres 58 tahun Kawasan lindung berdasarkan UUPR 26 tahun 2008, Perda Provinsi Jabar 22 tahun 2010 serta Perpres 58

237 213 tahun 2008 merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Pada kawasan lindung tidak diperkenankan dibangun permukiman baik berupa kawasan perdesaan maupun perkotaan. Namun berbeda halnya dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor nomor 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor yang membolehkan dibangunnya permukiman pedesaan yang berada di dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan (PD2) dan kawasan permukiman perkotaan kepadatan rendah (Pp 3) Kawasan permukiman perdesaan yang berada didalam kawasan lindung diluar kawasan hutan (PD) diarahkan untuk hunian kepadatan rendah (jarang), bangunan yang tidak memiliki beban berat terhadap tanah, dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa maupun terhadap potensi lingkungannya (pertanian, peternakan, kehutanan, pariwisata/agrowisata). Sedangkan kawasan permukiman perkotaan kepadatan rendah (Pp 3) merupakan kawasan permukiman perkotaan yang berada dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan, yang diarahkan untuk hunian rendah sampai sangat rendah/jarang, merupakan bangunan tunggal, yang berorientasi terhadap lingkungannya (pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan, agrowisata dan pariwisata) melalui rekayasa teknologi dan serta bangunan yang tidak memiliki beban berat terhadap tanah. Salah satu tujuan diterbitkannya pengaturan khusus Kawasan Jabodetabekpunjur adalah menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir. Pengendaliannya diarahkan melalui upaya: (1) rehabilitasi hutan dan lahan serta penghijauan kawasan tangkapan air; (2) penataan kawasan sempadan sungai dan anak-anak sungainya; (3) normalisasi sungai-sungai dan anak-anak sungainya; (4) pengembangan waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ serta daerah retensi air; (5) pembangunan prasarana dan pengendali banjir; dan (6) pembangunan prasarana drainase. Selain upaya tersebut di atas, dalam Perda 19 tahun 2006 tentang RTRW Kabupaten Bogor, dalam rangka pengendalian ditambahkan dengan upaya pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, pengisian air pada sumber air, serta pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu.

238 214 Berdasarkan arahan pengendalian tersebut, tampak telah terjadi sinkronisasi arahan pengendalian yang tercantum dalam peraturan perundangundangan mulai dari peraturan RTRWN, Kawasan Jabodetabekpunjur sampai ke peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Bogor. Bahkan dalam perda RTRW Kabupaten Bogor tersebut tercantum pesan kesadaran daerah dalam menjaga pentingnya fungsi Kawasan Puncak dalam mengendalikan banjir yaitu melalui pengaturan pengolahan tanah di daerah hulu. Namun demikian dalam tatanan implementasinya tidak mudah karena melibatkan berbagai sektor dan kepentingan/konflik spasial, sehingga perlu mendapat dukungan semua pihak. Perizinan merupakan salah satu alat pengendalian, pemberian perizinan bangunan di Kawasan Puncak, hendaknya dipertimbangkan secara seksama berdasarkan berbagai ketentuan yang ada. Berdasarkan Perpres 54 tahun 2008 diamanatkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau publik perkotaan di Kawasan Jabodetabekpunjur paling rendah adalah 20% dari luas wilayah perkotaan. Selanjutnya terdapat pengendalian yang ketat untuk pemanfaatan zona B6 dan B7 yaitu segala kegiatan pembangunan di zona tersebut harus dilakukan kajian mendalam dan setelah mendapat rekomendasi dari ketua Badan yang tugas dan fungsinya mengkoordinasikan penataan ruang Nasional, kemudian kawasan lindung di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung harus di rehabilitasi dan revitalisasi. Saat ini kondisi eksisting di Kawasan Puncak sudah tidak sesuai dengan arahan dalam peraturan perpres tersebut, karena pada kawasan lindung telah banyak berdiri bangunan baik berizin maupun tidak berizin termasuk rumah-rumah penduduk yang sudah berdiri turun temurun. Sebagai perbandingan arahan perizinan/ pengendalian bangunan berdasarkan Undang- Undang 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang dan Perpres 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur dapat dilihat pada tabel 79. Berdasarkan pasal-pasal yang diatur dalam kedua peraturan perundangundangan tersebut tersebut, maka untuk penertiban dan pengendalian bangunan di Kawasan Puncak diperlukan pendataan yang detail dan komprehensif, kemudian dilakukan kategorisasi berdasarkan ketentuan tersebut untuk menentukan tindak lanjut yang harus dilakukan. Faktor pendanaan atau pembiayaan merupakan hal penting yang harus dibahas mengingat akan diperlukan pembiayaan yang besar untuk membiayai 1) kegiatan pendataan, 2) kegiatan penertiban bangunan bagi bangunan yang tidak sesuai dengan

239 215 ketentuan, 3) dana kompensasi atau penggantian bagi bangunan yang secara yuridis berdasarkan ketentuan tersebut harus dilakukan penggantian. Tabel 79. Perbandingan Pengendalian dan Pemberian Perizinan di Kawasan Puncak berdasarkan UU 26/2007 dan Perpres 54/2008 Undang-Undang 26 Tahun 2007 Perpres 54 tahun Izin pemanfaatan ruang (IPR) yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - IPR yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. - IPR yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. - Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin. - IPR yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. - Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan IPR dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. a. izin pemanfaatan ruang pada masing-masing daerah yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini: - untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin terkait disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana rinci tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; - untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, - pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; dan - untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; - Pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan Presiden ini dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan dalam rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; c. pemanfaatan ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut: - yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden ini, pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkanoleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; - yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan; - masyarakat yang menguasai tanahnya berdasarkan hak adat dan/atau hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, yang karena Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur ini pemanfaatannya tidak sesuai lagi, maka penyelesaiannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

240 216 IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK No. 9.1 Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak Pada bab ini dilakukan sintesis dari keseluruhan alat analisis yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kompilasi alat analisis beserta hasil dan penjelasan lainnya dicantumkan pada tabel 80 berikut ini. Tabel 80. Keterkaitan tujuan, alat analisis dan hasil analisis dengan rumusan black box TUJUAN 1 Mengukur daya saing kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak 2 Menghasilkan analisis daya dukung obyek wisata Kawasan Puncak. di 3 Menghasilkan kajian kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. ALAT ANALISIS travel cost methode (TCM) indeks daya saing Pariwisata analisis daya dukung (PCC, RCC, ECC) HASIL ANALISIS Wisatawan bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap lokasilokasi obyek wisata yang terpelihara dan mampu memberikan pelayanan wisata yang baik. Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing yang cukup tetapi bila dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang memiliki karakteristik alam yang hampir sama, posisi tingkat daya saing Kawasan Puncak masih berada dibawah Lembang. Berdasarkan perhitungan daya dukung sebenarnya (real carrying capacity) kondisi ke-7 obyek tujuan wisata (OTW) yang diamati masih memadai untuk menampung jumlah kunjungan wisatawan saat ini. Namun setelah mempertimbangkan aspek manajemen yang dilakukan pihak pengelola OTW, maka kemampuan daya dukung OTW menjadi lebih rendah. Dari tujuh OTW yang diamati, obyek agrowisata Gn Mas dan Curug Cilember kondisi daya dukung efektifnya (ECC) sudah terlampaui. ISM Tujuan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. Lembaga yang berperan sebagai faktor kunci dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata RUMUSAN BLACK BOX INPUT : Laju pertumbuhan ekonomi Aktivitas penertiban Tarif wisata Jml penduduk Kapasitas jalan OUTPUT : Meningkatnya daya saing Puncak Meningkatnya Pendapatan masyarakat Peningkatan PAD Peningkatan kamtibmas Meningkatnya kualitas lingkungan Lalu lintas lancar INPUT : Kualitas SDM Kapasitas infrastruktur Jml wisatawan Luas areal obyek wisata Anggaran pemeliharaan lingkungan OUTPUT : Meningkatnya daya dukung pariwisata INPUT : Peran Lembaga Anggaran Regulasi Kualitas SDM Sarana dan prasarana

241 217 No. TUJUAN 4 Menghasilkan analisis tingkat keberlanjutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak. 5 Menghasilkan analisis kebijakan pemanfaatan ruang dan perizinan pariwisata di Kawasan Puncak. ALAT ANALISIS Analisis RAPtourism (MDS) content analysis (Analisis Isi) (Disbudpar). HASIL ANALISIS Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Puncak adalah tidak adanya manajemen yang terintegrasi serta belum adanya Standar Operasional Prosedur dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Untuk mengatasi kendala serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka program prioritasnya adalah membentuk institusi/forum khusus, evaluasi kebijakan/peraturan dan integrasi regulasi. Secara umum kondisi Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki status tidak berkelanjutan, terutama pada dimensi hukum kelembagaan, ekologi, sosial budaya dan sarana prasarana. Atributatribut sensitif yang muncul dalam analisis ini dijadikan masukan/input dalam sistem. - Kawasan Puncak dalam PP dan Perpres dinyatakan sebagai kawasan strategis nasional, dalam Perda Provinsi dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Provinsi begitu pula dalam Perda Kab.Bogor dinyatakan sbg KS kabupaten, namun arahannya masih bersifat makro dan tidak ditindaklanjuti dengan rencana detail yang lebih operasional. - Amanat mengenai kelembagaan dan koordinasi jabodetabekpunjur tidak diatur kembali dalam RTRW Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten. RUMUSAN BLACK BOX Peran serta masyarakat Kerjasama lintas sektoral OUTPUT: Pengelolaan pariwisata puncak yang terintegrasi INPUT: Jumlah penduduk Kelembagaan Kebijakan/regulasi Jumlah akomodasi wisata Kapasitas jalan Timbulan sampah Pelayanan bersih OUTPUT: air Perluasan lapangan kerja Lalu lintas lancar Pariwisata berkelanjutan INPUT: yang Kebijakan/regulasi Kerjasama lintas sektoral Kelembagaan OUTPUT : Tersusunnya RDTR Kawasan Puncak Meningkatnya kualitas lingkungan Hasil analisis pada tabel diatas merupakan data dan informasi yang sangat berguna sebagai variabel input dan output yang diperhitungkan dalam black box sebagai suatu sistem. Dijelaskan bahwa untuk memperbaiki output nilai indeks daya saing pariwisata Kawasan Puncak, maka 8 (delapan) indikator pembentuk daya saing menjadi input yang dikendalikan dalam sistem

242 218 pengelolaan pariwisata Puncak. Input tersebut antara lain belanja wisatawan yang dinyatakan dengan tarif wisata, jumlah penduduk, jumlah wisatawan, kapasitas jalan dan Kualitas SDM. Berdasarkan hasil analisis daya dukung wisata didapatkan fakta bahwa walaupun secara umum kapasitas daya dukung di tempat-tempat obyek wisata masih memadai, namun dalam jangka waktu kedepan, kapasitas ini sudah tidak memadai lagi, bahkan saat ini untuk obyek wisata Gunung Mas dan Curug Cilember sudah melampaui daya dukung efektifnya. Harapan untuk meningkatkan daya dukung wisata di tempat-tempat obyek wisata harus dilakukan dengan mengendalikan variabel input antara lain jumlah wisatawan, luas areal obyek wisata, kualitas SDM, anggaran pemeliharaan lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Kondisi iklim berupa curah hujan menjadi faktor pembatas daya dukung wisata, namun dalam sistem ini variabel curah hujan dikategorikan sebagai input lingkungan diluar sistem. Kelembagaan selalu menjadi isu penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kejadian kerusakan alam dan degradasi lingkungan seringkali terjadi karena konflik kepentingan antar lembaga, tumpang tindih kewenangan, koordinasi yang tidak berjalan dan komitmen yang lemah. Melalui alat analisis ISM (Interpretive Structural Modelling) dihasilkan strukturisasi kelembagaan, kendala, tujuan dan aktivitas/program yang diperlukan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Elemen tujuan yang menjadi faktor kunci yaitu terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan; terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasan puncak yang efisien dan efektif dan terlaksananya penegakan hukum secara tegas dan jelas. Output yang dikehendaki dalam black box merupakan manifestasi dari elemen tujuan yang diinginkan sekaligus penyelesaian atau solusi atas kendala yang dihadapi. Berdasarkan faktor kunci elemen tujuan serta elemen kendala maka variabel outputnya adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata yang terintegrasi. Variabel input yang dimasukan dalam sistem diperoleh dari elemen program dan elemen lembaga antara lain; peningkatan peran lembaga, ketersediaan anggaran, penyusunan regulasi, peningkatan kualitas SDM, penyediaan sarana dan prasarana, peningkatan peran serta masyarakat serta kerjasama lintas sektoral.

243 219 Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa hingga kita dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dan ekologi. Output yang diharapkan dari aktivitas pariwisata pada dasarnya adalah pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan artinya tidak terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, ditandai dengan empat kondisi yaitu: (1) anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembangunan pariwisata; (2) pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan wisatawan; (3) kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; (4) investasi pada bentuk bentuk transportasi alternatif (Yaman dan Mohd 2004). Status keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak berdasarkan analisis Rap-tourism Multi Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekologi sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana prasarana sebesar 27,73 dengan status tidak berkelanjutan. Untuk mencapai status berkelanjutan, maka kinerja pariwisata di Kawasan Puncak harus dibenahi dari berbagai dimensi dengan cara menentukan atribut-atribut yang paling sensitif untuk dijadikan variabel input dalam sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Variabel input diantaranya adalah kelembagaan, pertumbuhan penduduk, kesempatan kerja, kebijakan/regulasi, kapasitas jalan, cakupan pelayanan air bersih dan timbulan sampah. 9.2 Penyusunan Black Box (Kotak Gelap) Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja sistem yang digambarkan dalam bentuk diagram input-output (Manetch dan Park,1977). Diagram input-output atau dikenal dengan sebutan diagram I-O tersebut meliputi: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan; (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkendali; (4) variabel input yang tak terkendali; (5) variabel input lingkungan; dan (6) variabel umpan balik sistem.

244 220 Sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak digambarkan dalam diagram input-output, yang terdiri dari input terkontrol, input tidak terkontrol, output dikehendaki dan output tidak dikehendaki. Melalui mekanisme pengelolaan pariwisata output yang tidak dikehendaki diubah menjadi input terkontrol yang masuk ke dalam sistem pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan. Input merupakan masukan yang diberikan pada sistem pengelolaan pariwisata untuk mempengaruhi kinerja sistem secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai tujuan. INPUT TAK TERKENDALI Perubahan Sosial-budaya Kebijakan Nasional dan Regional Dinamika perubahan ekonomi global INPUT TERKENDALI INPUT LINGKUNGAN Kondisi geografis, Kondisi iklim cuaca, Bencana alam, Peraturan pemerintah MODEL PENGELOLAAN PARIWISATA YANG BERDAYA SAING DAN BERKELANJUTAN OUTPUT YANG DIKEHENDAKI Peningkatan Pendapatan masyarakat Peningkatan PAD Perluasan lapangan kerja Lalu lintas lancar Peningkatan kualitas lingkungan Peningkatan kamtibmas Berkurangnya jml bangli dan PKL Penanganan puncak yang terintegrasi Meningkatnya daya saing kawasan Pariwisata berkelanjutan Jumlah penduduk Jumlah kendaraan Jumlah akomodasi wisata Kapasitas jalan Laju pertumbuhan ekonomi Jml wisatawan Aktivitas penertiban Kelembagaan Anggaran Tarif wisata Kualitas SDM Kebijakan pemerintah daerah Kesempatan kerja Timbulan sampah Pelayanan air bersih Kerjasama lintas sektoral Peran serta masyarakat PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Peningkatan jumlah sampah Penurunan jumlah investasi Penurunan kesehatan masyarakat Meningkatnya kriminalitas Kerusakan tata nilai budaya Meningkatnya tutupan lahan menurunnya daya dukung lingkungan Gambar 43. Diagram input-output (black box) pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.

245 221 Input tidak terkendali pada sistem ini merupakan input yang sulit dikendalikan langsung sehingga tidak dimasukan atau diikutsertakan dalam sistem, perannya dianggap tidak terlalu mempengaruhi kinerja sistem, seperti halnya, perubahan sosial-budaya, dinamika perubahan informasi dan ekonomi global. Sedangkan input terkendali seperti halnya jumlah penduduk, wisatawan, kendaraan, akomodasi, jalan dan sebagainya merupakan input yang penting diatur dan dikendalikan karena sangat besar pengaruhnya pada kinerja sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Input lingkungan adalah peubah yang mempengaruhi sistem akan tetapi sistem itu sendiri tidak dapat mempengaruhinya, seperti halnya kondisi cuaca dan iklim serta kebijakan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur dan Peraturan Pemerintah 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam perancangan model diagram black box perlu ditentukan suatu parameter rancangan sistem. Seperti yang diungkapkan oleh Eriyatno (2003), parameter rancangan sistem digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi kebutuhan yang ditetapkan. Peubah ini dapat dirubah selama pengoperasian sistem untuk membuat kemampuan sistem bekerja lebih baik dalam keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Parameter rancangan sistem dapat berupa lokasi fisik, ukuran fisik dari sistem dan komponen sistem. Sebagai contoh, dalam suatu sistem pabrik teh, yang dimaksud parameter perancangan sistem adalah sebuah SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dibuat oleh pihak manajemen sebagai acuan bagi pekerja dalam rangka mewujudkan tujuan dari sistem produksi (Tindao 2009). Namun untuk pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak karena belum dikelola dalam manajemen terpadu sehingga melibatkan banyak sektor dan lembaga dengan berbagai kewenangan, maka parameter rancangan sistem dimaksud berasal dari beberapa kebijakan yang terkait langsung dan sangat intensif mengatur pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dari mulai kebijakan umum, tujuan sampai kepada program-program dan target kinerja. Pengukuran produktifitas atau pencapaian target dan sasaran merupakan cara terbaik dalam menilai kemampuan atau kinerja pengelolaan pariwisata di

246 222 Kawasan Puncak. Proses transformasi input dan parameter rancangan sistem akan menghasilkan output. Output terdiri dari output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki adalah peningkatan pendapatan PAD dan masyarakat, perluasan lapangan kerja, lalu lintas lancar, peningkatan kualitas lingkungan dan kamtibmas, berkurangnya PKL dan bangunan liar, penanganan Kawasan Puncak yang terintegrasi, peningkatan daya saing Kawasan Puncak serta mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Output yang tidak dikehendaki dari sistem ini merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan output yang dikehendaki dan sering merupakan kebalikan dari output yang dikehendaki. Output yang tidak dikehendaki dalam sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah peningkatan jumlah sampah, tutupan lahan dan kriminalitas, menurunnya daya dukung lingkungan, kesehatan masyarakat dan jumlah investasi serta kerusakan tata nilai budaya. Manajemen pengawasan dan pengendalian merupakan umpan balik dalam jalannya sistem. Proses transformasi dari input menjadi output sering terdapat perbedaan harapan yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, diperlukan umpan balik agar hal-hal yang menimbulkan perbedaan harapan yang tidak sesuai dapat ditangani dan disesuaikan dengan harapan dan tujuan semula (Tindao,2009). Berdasarkan hasil identifikasi sistem dan sintesis analisis terhadap beberapa dimensi yang berpengaruh terhadap pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, maka dapat digambarkan dalam diagram lingkar sebab-akibat dan kotak gelap. Diagram lingkar sebab-akibat dapat dilihat pada gambar Pembangunan Daerah + Kualitas Lingkungan - Pendapatan Daerah Tutupan Lahan Pendapatan Masyarakat + + Pengembangan Pariwisata + Sarana Akomodasi + + Kenyaman Stabililtas Keamanan - - Kemacetan Lalin + Kerawanan Sosbud Jumlah Kendaraan + + Perubahan Sosbud Jumlah Wisatawan + Gambar 44. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

247 223 Pengembangan pariwisata akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata, yang kemudian diikuti dengan penambahan sarana akomodasi wisata seperti restoran, vila, hotel. Penambahan sarana dan prasarana tersebut akan membutuhkan lahan. Jika tidak dilakukan pengendalian pertumbuhan tutupan lahan yang baik maka akan mengakibatkan terlampauinya daya dukung lingkungan sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Selain itu, penambahan wisatawan akan diikuti dengan penambahan jumlah kendaraan dan fasilitas jalan yang pada akhirnya sering menimbulkan kemacetan sebagai akibat terlampuinya kapasitas jalan yang ada. Kondisi ini akan menurunkan kenyamanan wisatawan dalam berwisata yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap pengembangan pariwisata di kawasan puncak. Demikian pula dengan perubahan kondisi sosial budaya akan dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan dengan segala budaya yang dimilikinya. Apabila tidak dilakukan penanganan yang baik maka dihawatirkan terjadi konflik sosial atau kerawanan sosial budaya yang akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Kondisi ini akan menurunkan kenyamanan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pengembangan pariwisata. Disisi lain pengembangan pariwisata berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan berkontribusi positif terhadap peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan daerah, termasuk pendanaan untuk memperbaiki kualitas lingkungan. 9.3 Model Dinamik Pengelolaan Pariwisata Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi. Struktur model dinamik yang dikembangkan merupakan gambaran dari interaksi antara elemen-elemen dalam sistem. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model dan dapat memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata, untuk memudahkan proses perancangan model, maka dilakukan pembagian sistem secara keseluruhan menjadi beberapa sub sistem yaitu sub sistem: (1) Submodel Penduduk; (2) Submodel Transportasi dan Akomodasi; (3) Submodel Fisik Lingkungan dan (4). Submodel Hukum dan kelembagaan. Setiap struktur dari masing-masing sub sistem menunjukkan ketergantungan sebab akibat dari perilaku masing-masing sub sistem.

248 224 Penyusunan model dinamik pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak menggunakan asumsi : (1) Pertambahan penduduk dihitung berdasarkan kelahiran dan migrasi masuk serta kematian dan migrasi keluar per tahun (2) Jumlah wisatawan yang menginap/bermalam di Kawasan Puncak adalah sebesar 20% dari seluruh jumlah wisatawan. (3) Komitmen pemerintah diperhitungkan berdasarkan frekuensi penertiban bangunan tidak berizin, jumlah aparatur pelaksana penertiban dan frekuensi sosialisasi. (4) Kebijakan perangkutan dan aksesibilitas tidak mengalami perubahan. (5) Laju pertumbuhan ekonomi Kawasan Puncak menggunakan angka laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor. (6) Laju pertumbuhan penduduk Kawasan Puncak menggunakan laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. (7) Perkembangan ekonomi diwakili oleh kondisi retribusi dan pajak serta Laju Pertumbuhan Ekonomi. (8) Perkembangan lingkungan diwakili oleh kondisi timbulan sampah, pertambahan kendaraan, pertambahan CO 2, tutupan lahan dan daya dukung lingkungan di obyek wisata. (9) Perkembangan sosial budaya diwakili oleh kondisi penyediaan lapangan pekerjaan, pengangguran, penertiban bangunan, komitmen pemerintah, laju pertumbuhan penduduk. (10) Pengelolaan pariwisata di masa yang akan datang masih tetap seperti pengelolaan saat ini. (11) Tidak terjadi upaya secara besar-besaran dalam penertiban bangunan PKL dan bangunan tanpa izin lainnya. (12) Asumsi lain berkaitan dengan penyusunan model dinamik dicantumkan dalam lampiran Submodel Penduduk Penduduk merupakan salah satu aset pembangunan yang paling dominan yang dimiliki banyak negara berkembang pada umumnya. Berdasarkan hasil Registrasi dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, pada Tahun 2009 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah jiwa

249 225 dan perempuan jiwa dengan ratio jenis kelamin 106. Pertimbangan untuk memasukkan variabel penduduk disebabkan karena fenomena kecenderungan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah akan mempengaruhi terhadap pertambahan tutupan lahan karena pertambahan pemukiman, infrastruktur dan fasilitas perkotaan lainnya. Pertambahan penduduk yang berdasarkan deret ukur tersebut, menjadi dasar pertimbangan diberlakukannya berbagai macam kebijakan untuk mengendalikan atau mengurangi jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dipengaruhi oleh kelahiran (natalitas) dan migrasi masuk sedangkan yang mengurangi jumlah penduduk adalah karena adanya kematian (mortalitas) dan migrasi keluar (emigrasi). Pertambahan penduduk merupakan selisih antara kelahiran ditambah migrasi masuk dikurangi kematian ditambah migrasi keluar. Hubungan antara laju pertumbuhan penduduk dengan jumlah penduduk membentuk loop positif (reinforcing) saling menguatkan artinya dengan semakin tingginya laju pertambahan penduduk maka akan meningkatkan jumlah penduduk. Sebaliknya, pengurangan jumlah penduduk membentuk loop negatif (balancing), artinya semakin tinggi laju pengurangan penduduk maka jumlah penduduk akan semakin menurun. Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu, terutama terhadap persebaran dan densitas (kepadatan). Pada tahun 2009 kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk di atas jiwa/km 2 sebanyak 20 kecamatan, termasuk didalamnya adalah kecamatan Ciawi dan Megamendung di Kawasan Puncak. Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk berumur 15 tahun lebih disebut dengan partisipasi angkatan kerja. Tahun 2008 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor secara total adalah 55,24%. Peningkatan TPAK tidak terlepas karena adanya peningkatan kinerja perekonomian daerah yang diperlihatkan dari peningkatan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

250 226 - Migrasi Keluar + - Kelahiran + Penduduk + Kematian Migrasi Masuk + Gambar 45. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model penduduk. Komponen penduduk dalam model ini dianggap sebagai suatu level (akumulasi) yang bisa bertambah dan berkurang karena dinamika angka kelahiran dan kematian. Dinamika aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level disebut flow atau rate. Pada model ini faktor kelahiran dan migrasi masuk (inmigration) adalah unsur rate penambah. Rate pengurang jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kematian dan migrasi keluar (outmigration). Konstruksi sub model penduduk disajikan pada gambar 46. Gambar 46. Struktur Model Dinamik sub model penduduk Faktor penambah jumlah penduduk pada tiga kecamatan di Kawasan Puncak berasal dari laju migrasi masuk (inmigration) yaitu rata-rata sebesar 1,5% per tahun sementara itu, kelahiran alamiah (natalitas) menyumbang sekitar

251 227 2,5% per tahun. Faktor pengurang pertambahan penduduk berasal dari migrasi penduduk keluar sebesar 0,4% per tahun dan mortalitas sebesar 0,3% per tahun. Simulasi model dinamik pada sub model penduduk seperti gambar 38. berawal dari jumlah penduduk di wilayah studi sebesar jiwa pada tahun 2009 dengan tingkat natalitas sebesar 2,5% dan tingkat mortalitas sebesar 0,3% maka diperkirakan jumlah penduduk di tiga kecamatan pada tahun 2029 akan mencapai jiwa. Jumlah penduduk pada awalnya menunjukkan pertumbuhan akibat proses reinforcing oleh karena adanya positif feedback atau loop positive akan tetapi dengan semakin bertambahnya waktu, terjadi proses balancing oleh loop negative sehingga diperoleh keseimbangan. Faktor pembatas yang menahan pertambahan penduduk adalah karena keterbatasan lahan. Pertambahan jumlah penduduk mempunyai hubungan timbal balik negatif (negative feedback) dengan ketersediaan lahan artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka kecenderungannya akan mengurangi ketersediaan lahan yang kosong atau memiliki hubungan positif (positive feedback) dengan peningkatan tutupan lahan terbangun. Namun demikian, karena keterbatasan ketersediaan lahan, sedangkan penduduk pertambahannya cukup cepat, maka pada suatu saat akan terjadi pertumbuhan yang melambat sampai pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Fenomena model ini mengikuti pola dasar (archetype) limit to growth dalam sistem dinamik. Pada tahun 2009 terdapat jumlah penduduk sebanyak jiwa, dari jumlah penduduk tersebut, didapatkan penduduk yang tidak bekerja sebanyak jiwa. Berdasarkan asumsi jumlah penduduk tidak bekerja adalah 14% dari jumlah penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2029 penduduk yang tidak bekerja bertambah menjadi jiwa. Pola penambahan jumlah penduduk tidak bekerja mengikuti pola pertambahan penduduk dengan loop positif yang saling memperkuat. Namun perubahan angka pengangguran sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi daerah yang diindikasikan dengan perubahan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) berdasarkan kinerja sektor dalam Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB). Asumsinya dengan peningkatan LPE akan memicu peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat disediakan

252 228 untuk penduduk angkatan kerja. LPE disini berperan sebagai faktor koreksi untuk mengendalikan pertambahan jumlah pengangguran. Jika terjadi perkembangan ekonomi yang baik disertai pengendalian penduduk terutama dari kelahiran yang ketat, maka jumlah penduduk yang tidak bekerja akan berkurang atau sebagian besar penduduk mendapatkan pekerjaan sehingga kinerja pembangunan daerah akan semakin baik dan masyarakat semakin sejahtera. Perkembangan sektor pariwisata memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja atau penyediaan kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pariwisata diperoleh dari kegiatan akomodasi baik hotel/wisma/vila/resort, juga kegiatan hiburan dan restoran. Pada tahun 2009 kesempatan kerja pada sektor pariwisata di Kawasan Puncak dapat menyerap tenaga kerja, diperkirakan pada tahun 2029 akan tersedia kesempatan kerja di sektor pariwisata untuk tenaga kerja. Namun demikian, bila dibandingkan antara jumlah pengangguran dengan kesempatan kerja yang dapat disediakan dari aktivitas pariwisata, masih sangat kecil yaitu baru sekitar 3,6%. Tabel 81. Simulasi sub model penduduk

253 229 Gambar 47. Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode Submodel Transportasi dan Akomodasi Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi berupa kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, demikian pula dengan peningkatan jumlah kendaraan akan membutuhkan penyediaan fasilitas jalan yang memadai. Pemeliharaan, peningkatan, pembangunan jalan baru maupun manajemen lalu lintas akan meningkatkan kapasitas jalan terhadap pengguna jalan khususnya kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan yang diikuti dengan penambahan ruas jalan baru akan membutuhkan lahan-lahan baru untuk membangun jalan-jalan alternatif. Demikian pula dengan penambahan obyek wisata dan akomodasi, baik berupa hotel, villa maupun wisma akan menambah kebutuhan lahan-lahan baru. Apabila tidak dilakukan pengendalian berdasarkan peruntukan ruang, maka dapat menjadi ancaman bagi penyediaan ruang terbuka hijau atau areal-areal yang harus dikonservasi. + Jumlah Wisatawan + Kendaraan Objek Wisata Akomodasi Kebutuhan Lahan Jalan + Gambar 48. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model transportasi dan akomodasi.

254 230 Berdasarkan konstelasi regional, sistem jaringan jalan di Kawasan Puncak, yaitu mulai dari Kota Bogor sampai dengan Kota Cianjur melalui Ciawi, Cisarua dan Cipanas ditetapkan sebagai jaringan jalan kolektor primer. Volume lalu lintas akan meningkat dengan cepat pada waktu akhir minggu (week end), terutama pada hari jum at, sabtu dan minggu. Pergerakan lalu lintas di Kawasan Puncak sangat tinggi, sering terjadi kemacetan dalam bentuk antrian yang sangat panjang. Kondisi ini sangat merugikan bagi masyarakat yang akan melakukan pergerakan menerus tanpa harus melakukan maksud kegiatan pariwisata. Pengaturan lalu-lintas yang dilakukan aparat kepolisian dan DLLAJ adalah dalam bentuk pengaturan sistem pergerakan satu arah pada jam-jam tertentu dan sistem pengalihan arus lalu-lintas, terutama untuk kendaraan besar (seperti bus dan truk) untuk tidak melalui Kawasan Puncak melainkan melalui jalur Sukabumi. Gambar 49. Struktur model dinamik sub model transportasi dan akomodasi. Pada sub-model transportasi dan akomodasi, variabel yang ditentukan sebagai variabel level terdiri dari, jumlah kendaraan, jumlah akomodasi dan jumlah penduduk. Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak berdasarkan data dari DLLAJ adalah kendaraan/hari dan jumlah kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dihitung dari pos pengamatan Ciawi pada saat week end diperoleh jumlah kendaraan adalah kendaraan. Berdasarkan data lalu lintas harian rata-rata dan hasil survey pada saat week end kemudian dikonversi dalam satu tahun, maka jumlah kendaraan yang melintas kurang lebih adalah kendaraan.

255 231 Berdasarkan hasil studi DLLAJ selama tiga tahun, diperoleh data penambahan jumlah kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dipantau dari pos pengamatan yang sama adalah 2,5%. Berdasarkan simulasi model dinamik, maka pada tahun 2029 penambahan kendaraan akan menjadi kendaraan per tahun. Pertambahan jumlah kendaraan ini akan dibatasi oleh pengaturan lalu lintas karena kondisi jalan yang pertambahannya sangat lambat/sedikit, sehingga pada suatu saat akan terjadi penurunan jumlah kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak. Demikian pula dengan penambahan jumlah wisatawan akan meningkatkan jumlah akomodasi berupa penginapan dan sarana obyek wisata. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009 luas total akomodasi yang tersedia saat ini adalah sekitar m 2. Diperkirakan pada saat tahun 2029 kebutuhan lahan untuk akomodasi berupa penginapan dan jalan menjadi m 2 Tabel 82. Simulasi sub model transportasi dan akomodasi

256 232 Gambar 50. Grafik hasil simulasi jumlah kendaraan dan luas akomodasi periode Submodel Fisik Lingkungan Jumlah penduduk yang semakin meningkat ditambah pula dengan kedatangan wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat obyek wisata dan bermalam di tempat-tempat akomodasi wisata seperti hotel, villa dan wisma, akan semakin memperbesar beban lingkungan di Kawasan Puncak. Penambahan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah angkutan transportasi atau kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan akan menimbulkan kemacetan lalu lintas karena tidak memadainya antara kapasitas jalan dengan jumlah pengguna jalan. Peningkatan jumlah kendaraan akan menurunkan kualitas udara yang disebabkan emisi dari kendaraan bermotor dan kebisingan yang ditimbulkan dari suara kendaraan. Pencemaran udara tersebut selain menyebabkan menurunnya kualitas udara juga mengganggu kenyamanan dan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu: menurunnya fungsi paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen dan beberapa penyakit lainya. Selain itu pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, pada tahun 2010 jumlah penderita ISPA di Kecamatan Ciawi sebanyak orang, Kecamatan Cisarua sebanyak orang dan Kecamatan Megamendung sebanyak orang.

257 233 Penambahan jumlah penduduk dan peningkatan kunjungan wisatawan akan meningkatkan volume sampah yang dihasilkan. Keterbatasan sarana prasarana pengelolaan sampah baik dalam bentuk tempat pembuangan sementara (TPS), maupun tempat pembuangan akhir (TPA) serta keterbatasan armada angkutan dan petugas kebersihan (pesapon) akan semakin menurunkan kondisi sanitasi lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan kesehatan masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat setempat dan sanitasi lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kunjungan wisatawan ke suatu destinasi. Informasi terjadinya wabah penyakit di suatu destinasi yang tersampaikan kepada wisatawan merupakan propaganda buruk bagi tempat destinasi tersebut. Penambahan jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi selain menimbulkan peningkatan penggunaan jalan dan kemacetan juga dapat menimbulkan kesesakan atau kepadatan wisatawan di suatu tempat obyek wisata. Peningkatan kunjungan wisatawan yang tidak mempertimbangkan daya dukung fisik, faktor pembatas dan kapasitas manajemen dapat melampaui kapasitas daya dukung efektifnya, sehingga kondisi berwisata di lokasi tersebut menjadi sesak (overcrowded) dan tidak nyaman. + Kendaraan + - Pengunjung / Wisatawan + + Kenyamanan Wisata Kemacetan Lalin - Daya Dukung OTW - Kepadatan - Sampah Sanitasi Lingkungan Kesehatan Masyarakat Kualitas Udara + Gambar 51. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) lingkungan sub model fisik

258 234 Gambar 52. Struktur Model Dinamik sub model fisik dan lingkungan Simulasi model dinamik pada sub model fisik dan lingkungan seperti gambar 52, menjelaskan bahwa penambahan wisatawan ke Kawasan Puncak akan memberikan dampak negatif dan positif bagi daerah. Dampak positifnya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi yang dibayarkan para pelaku wisata. Pada tahun 2009, jumlah wisatawan di Kawasan Puncak terdapat sebanyak orang yang memberikan kontribusi terhadap PAD sebanyak Rp Perolehan PAD akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan, namun peningkatan jumlah wisatawan juga memiliki konsekuensi terhadap penurunan kualitas udara dan penambahan sampah. Pada tahun 2029 diperkirakan sampah di kawasan Puncak yang berasal dari penduduk maupun wisatawan terdapat sebanyak ,21 kg atau sekitar ton/thn. Penambahan jumah sampah ini membutuhkan peningkatan kapasitas layanan dan penanganan persampahan dari pemerintah. Tabel 83. Simulasi sub model fisik lingkungan

259 235 Gambar 53. Grafik hasil simulasi jumlah wisatawan, dan jumlah sampah periode Submodel Hukum dan Kelembagaan Industri pariwisata merupakan industri yang mengutamakan menjual citra lingkungan dan pelayanan. Untuk menciptakan lingkungan dan pelayanan yang baik di suatu destinasi akan sangat tergantung pada kualitas kelembagaan dan penegakan hukum. Aparatur dengan komitmen dan integritas yang tinggi akan ditunjukkan dengan sikap patuh dan taat terhadap regulasi yang telah ditetapkan. Penerapan perizinan yang sesuai aturan hukum disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang terus menerus akan meningkatkan kualitas pengendalian tata ruang dan mengurangi jumlah bangunan yang tidak berizin atau bangunan berizin tetapi menyimpang dari ketentuan ruang yang ada. Kondisi ruang di Kawasan Puncak yang terkendali akan berkontribusi terhadap perbaikan kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan menjadi faktor utama yang menjadi daya tarik wisata. Integritas dan komitmen aparatur akan tergantung dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang merupakan faktor penting untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, seperti halnya persoalan koordinasi antar lembaga atau antar stakeholder. Apabila koordinasi stakeholder berjalan dengan baik, maka akan mengatasi persoalan tumpang tindih kewenangan, karena dari awal penentuan tugas pokok dan fungsi kelembagaan sudah dibicarakan secara bersama. Peningkatan SDM baik aparatur pemerintah maupun pelaku pengelola wisata berkontribusi terhadap perbaikan pelayanan di bidang pariwisata. Perbaikan pelayanan kepariwisataan akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan daya tarik wisata di Kawasan Puncak.

260 236 Penerapan Sanksi + + Pengendalian Tata Ruang Penerapan Regulasi + Bangunan Berizin Kualitas Lingkungan Tumpang Tindih Kewenangan Pemberian Izin + Daya Tarik WIsata - + Koordinasi Stakeholders Komitmen Aparatur SDM + + Pelayanan Gambar 54. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model hukum dan kelembagaan Gambar.55 Struktur model dinamik sub model hukum dan kelembagaan. Dinamika perubahan jumlah wisatawan ke Kawasan Puncak akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Pertambahan jumlah wisatawan akan menarik masyarakat baik masyarakat lokal atau pendatang untuk berdagang menyediakan berbagai komoditi untuk dijual kepada para wisatawan. Selain itu perkembangan jumlah wisatawan dapat memicu terjadinya bangunan tanpa izin, walaupun peningkatannya tidak terlalu drastis. Pada awal tahun simulasi jumlah bangunan tidak berizin terdapat sebanyak bangunan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.912

261 237 bangunan pada tahun Peningkatan ini selain disebabkan karena perilaku menyimpang masyarakat juga karena kurangnya jumlah aparatur pengawas lapangan yang bertugas menegur dan menertibkan bangunan tidak berizin tersebut. Tabel 84. Simulasi sub model hukum dan kelembagaan Gambar 56. Grafik hasil simulasi bangunan tidak berijin periode Pada gambar 57, ditampilkan suatu tiruan perilaku sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak secara keseluruhan yang merupakan hubungan antara sub model kependudukan, sub model fisik lingkungan, sub model transportasi dan akomodasi serta sub model hukum dan kelembagaan.

262 238 Gambar 57. Model pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. 9.4 Validasi Model Validasi merupakan tahap terakhir dalam pengembangan model untuk memeriksa model yang dirancang apakah keluaran model sesuai dengan sistem nyata. Rancangan model harus memenuhi syarat kecukupan struktur model. Karena itu, perlu dilakukan uji validasi terhadap perilaku yang dihasilkan oleh struktur model tersebut. Validasi perilaku dilakukan dengan membandingkan antara perilaku yang dihasilkan oleh model dengan perilaku sistem nyata. Validasi model dapat dilakukan melalui dua pengujian, yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. Uji validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Uji ini dibedakan atas dua jenis yaitu validasi konstruksi dan kestabilan struktur. Validasi konstruksi adalah keyakinan

263 239 terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan kestabilan struktur adalah keberlakuan atau kekuatan (robustness) struktur dalam dimensi waktu (Muhammadi et al. 2001). Uji validasi kinerja/output model lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Uji ini merupakan aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan, sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah dengan membandingkan kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al 2001). Model yang baik adalah model yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output model dengan data empirik. Penyimpangan terhadap output model dan dengan data empirik dapat diketahui dengan uji statistik yaitu menguji penyimpangan: (1) Absolute mean error (AME) yaitu penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual; (2) Absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi (variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima atau ditolelir adalah antara 5-10% (Muhammadi et al 2001) Uji Validasi Struktur dan kinerja Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik dan bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Uji validasi kinerja dalam penelitian ini menggunakan uji AME dengan menggunakan data aktual perkembangan jumlah penduduk periode tahun Adapun jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi di Kawasan Puncak seperti pada tabel 81.

264 240 Tabel 85. Data Validasi Model Berdasarkan Perkembangan Jumlah Penduduk TAHUN PENDUDUK AKTUAL PENDUDUK SIMULASI AME PENDUDUK 0,025 AVE PENDUDUK 0,089 Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 2,5% dan AVE 8,9% untuk penduduk simulasi dari data aktual. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan atau dapat disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik dan dapat diterima secara ilmiah. Secara visual kecenderungan model dengan dunia nyata atau fakta di lapangan dapat ditampilkan dalam bentuk grafis seperti tertera pada gambar 58. Gambar 58. Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi. Demikian juga perilaku yang dihasilkan oleh model lainnya memiliki pola yang sama dengan perilaku sistem nyata maka model dapat dikatakan telah dapat digunakan. Berikut masing-masing sub model yang menjelaskan grafik

265 241 perbandingan perilaku berdasarkan hasil simulasi dan kondisi aktual pada masing-masing variabel. Tabel 86. Data validasi model berdasarkan perubahan jumlah kendaraan TAHUN JML KENDARAAN AKTUAL JML KENDARAAN SIMULASI AME KENDARAAN 0,001 AVE KENDARAAN 0,064 Hasil uji validasi menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,1% dan AVE 6,4%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan, seperti tertera secara visual pada gambar 59. Gambar 59. Grafik perbandingan jumlah kendaraan aktual dan jumlah kendaraan hasil simulasi. 9.5 Simulasi Skenario Model Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Puncak Analisis kebijakan merupakan pekerjaan intelektual yang memilah dan mengelompokkan upaya atau tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem, untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau dengan kata lain adalah sebagai pengetahuan tentang cara

266 242 mempengaruhi sistem. Pengetahuan dengan menggunakan metode sistem dinamis digunakan untuk menangani sistem yang rumit, berubah dan non linier. Analisis kebijakan juga dimaksudkan untuk memahami pola kebijakan ataupun perubahan faktor eksternal yang menjadi masukan sistem. Melalui analisis kebijakan ini akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan parameter atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Menirukan perilaku sistem nyata maka, proses analisis akan lebih cepat, bersifat menyeluruh, hemat dan dapat dipertanggungjawabkan (Muhammadi et al. 2001). Melalui analisis kebijakan ini akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan parameter atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji. Selanjutnya dilakukan uji sensitivitas model dengan membuat skenario-skenario model untuk menentukan agenda kebijakan kedepan. Model yang telah dibentuk dan sah setelah divalidasi, kemudian disimulasikan dimana tahun 2009 merupakan titik awal simulasi (t = 0). Simulasi ini memungkinkan kita untuk melihat situasi pada tahun yang diinginkan, untuk memudahkan menentukan bentuk perencanaan yang akan ditetapkan. Hasil simulasi tersebut digunakan dalam membuat peringkat skenario yang mencerminkan urutan skenario yang yang akan dipilih sebagai kebijakan lebih lanjut. Skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Skenario kebijakan diterapkan mulai tahun 2009 dan dalam penelitian ini simulasi ditetapkan sampai tahun Untuk melihat perilaku model, dibuat beberapa skenario model dicobakan untuk sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Skenario dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel penduduk, transportasi dan akomodasi, fisik Lingkungan serta hukum dan kelembagaan. Beberapa skenario kebijakan yang dicoba dalam simulasi ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengelola pariwisata di Kawasan Puncak agar memiliki daya saing dan berkelanjutan. Dalam memilih skenario kebijakan didasarkan pada parameter rancangan sistem dalam black box yang digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang

267 243 merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi kebutuhan yang ditetapkan. Output yang diinginkan dari sistem Pengelolaan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan adalah (1). Peningkatan Pendapatan masyarakat, (2). Peningkatan PAD, (3). Perluasan lapangan kerja, (4). Lalu lintas lancar, (5). Peningkatan kualitas lingkungan, (6).Peningkatan kamtibmas, (7). Berkurangnya jumlah bangunan liar dan PKL, (8). Penanganan puncak yang terintegrasi, (9). Meningkatnya daya saing kawasan dan (10). Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan. Skenario yang dipilih untuk mencapai output yang dikehendaki tersebut adalah dengan merancang tiga buah skenario: (1) skenario tanpa intervensi (TI), yaitu jika pemerintah tidak melakukan apa-apa; (2) skenario RP (rencana pemerintah), yaitu kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah berupa; pengendalian penduduk, peningkatan ekonomi wilayah, membuka akses jalan baru serta pengendalian bangunan tidak berizin; serta (3) skenario Alt (Alternatif), yaitu skenario yang diusulkan berupa kebijakan pengendalian penduduk, pembatasan jumlah kendaraan, peningkatan perekonomian kawasan, pengendalian bangunan tidak berizin, serta pembiayaan lingkungan, (Skenario RP dan Alt disusun untuk memenuhi output seperti yang tertera pada black box). Tabel 87. Hubungan antara Output dalam Black Box dan Pemilihan Skenario NO OUTPUT YANG DIKEHENDAKI SKENARIO RP SKENARIO ALT Peningkatan Pendapatan masyarakat Peningkatan PAD Perluasan lapangan kerja - Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE) - Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE) 4. Lalu lintas lancar Membuka akses jalan baru - Membatasi jumlah kendaraan Peningkatan kualitas lingkungan Peningkatan kamtibmas Berkurangnya jml bangli dan PKL - Pengendalian penduduk - penertiban bangunan liar penertiban liar penertiban liar bangunan bangunan - Pengendalian penduduk - penertiban bangunan liar - internalisasi biaya lingkungan penertiban bangunan liar penertiban bangunan liar Meningkatnya daya saing kawasan Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan Seluruh kebijakan Seluruh kebijakan Seluruh kebijakan Seluruh kebijakan

268 Skenario Tanpa Intervensi (TI) Pada model ini tidak dilakukan intervensi apapun, perkembangan pengelolaan pariwisata dibiarkan seperti kondisi awal (tahun 2009). Keadaan ini menunjukkan ketidakaktifan pemerintah dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Pada kondisi ini diasumsikan tidak ada program pengendalian penduduk, tidak ada pembatasan kendaraan yang masuk/melintasi Kawasan Puncak, pertumbuhan ekonomi berjalan konstan, tidak dilakukan pengendalian pertumbuhan bangunan akomodasi wisata, tidak ada upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan serta tidak ada upaya untuk penertiban bangunan tidak berizin (bangunan liar) Skenario Rencana Pemerintah (RP): Kebijakan Pengendalian penduduk, Meningkatkan perekonomian wilayah, pembangunan jalan alternatif serta meningkatkan frekuensi penertiban bangunan liar. Skenario RP (rencana pemerintah) adalah simulasi kebijakan yang telah maupun akan direncanakan oleh pemerintah. Intervensi yang dilakukan pemerintah adalah dengan (1) Mengendalikan pertambahan penduduk dengan menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi 2% per tahun; (2) Pemerintah menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui berbagai program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring dengan pertumbuhan LPE maka pemerintah memandang perlu menaikan penerimaan pajak dan retribusi dari sektor pariwisata, sehingga berdampak pada peningkatan pengeluaran wisatawan; (4) Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas diusulkan membuka akses jalan baru; (5) penegakan hukum dan penertiban bangunan liar, dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui program nobat (nongol babat) dengan frekuensi penertiban satu kali dalam setahun. Salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi solusi dari kondisi kemacetan lalu lintas adalah dengan membuka akses jalan baru. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang akan melewati jalur utama jalan raya puncak yang berasal dari jalan Tol Jagorawi dan jalan raya Sukabumi. Potensi jalan alternatif yang diusulkan dibagi dalam 2 wilayah yaitu jalan alternatif utara dan jalur alternatif selatan. Alternatif akses jalan yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas pada jalur Puncak antara lain melalui (FPS 2009):

269 Ruas jalan Jalur Utara: a. Jalur Cilember Batulayang Tugu Selatan. Jalur Cilember-Batulayang-Tugu Selatan merupakan jalur yang saat ini sudah dimanfaatkan oleh pengguna jalan untuk menghindari kemacetan di sekitar tanjakan Leuwimalang, Pasar Cisarua dan jalur masuk ke Taman Safari. Kondisi jalan ini umumnya merupakan perkerasan aspal kecuali sekitar persimpangan Ciburial yang memiliki perkerasan batu sepanjang 50 meter dengan lebar 3 meter. Di lokasi Ciburial ini pun hampir sepanjang 500 meter kondisi sekitar jalan (samping kiri dan kanan) merupakan tembok rumah penduduk sehingga kemungkinan lebih sulit untuk memperlebar jalan juga terdapat beberapa tanjakan dalam jalur jalan tersebut. Total panjang ruas jalan ini sampai dengan keluar ke Jalan Raya Puncak di sekitar Restoran Hegar (sebelum Green Garden) yaitu + 8 km. b. Jalur Bukit Sentul Cijayanti Megamendung Cilember Batulayang TuguSelatan PTP Gunung Mas. Jalur ini menggunakan ruas tol Jagorawi melalui pintu keluar Sentul Selatan, maka titik-titik rawan kemacetan seperti di Ciawi, Gadog dan Cibogo, Pasar Cisarua sampai dengan Taman Safari tidak dilalui sebagaimana lintasan saat ini. Untuk jalur utara ini jalan yang sudah ada masih memerlukan peningkatan terutama ruas jalan Cijayanti menuju Megamendung, Megamendung Cilember dan Tugu Selatan PTP Gunung Mas. Peningkatan jalan ini dapat dilakukan melalui peningkatan perkerasan dan pelebaran jalan dan pembangunan jembatan. Jalur Sentul ini akan bertemu dengan ruas jalan Cilember tepatnya di sekitar Jalan Pesantren dan mengikuti alternatif jalur pertama. Namun untuk menghubungkan ke jalur Jalan Raya Puncak tidak keluar di Restoran Hegar tetapi di Sekitar Pabrik Teh Ciliwung Desa Tugu Selatan (kurang lebih 500 meter sebelum ex Kantor Diparda) dan masuk mengikuti jalur kebun teh dan keluar di sekitar Mesjid Attaawun. Kondisi jalur Sentul sampai dengan Cijayanti sebagian berupa perkerasan batu sedangkan antara Cijayanti dengan Cipayung (dekat Komplek Pertamina) berupa perkerasan batu dan tanah. Dari Cipayung ke Megamendung (Pusdikintel) berupa perkerasan aspal dengan lebar jalan 3 meter. Dari komplek Pertamina ke Ujung Jalan (Curug) sepanjang 7,2 km terdapat perkerasan jalan batu sepanjang sekitar 150 meter menjelang akhir ruas jalan. Dari Ujung jalan

270 246 tersebut untuk menembus ke jalan Pesantren terdapat jalan batu dengan lebar 2 meter dan melewati sungai. Saat ini jalan tersebut tidak dapat dilalui dengan kendaraan mobil sepanjang + 2 km. Kondisi jalur Megamendung Jalan Pesantren ini disamping terjal juga jalanya kecil. Untuk menghubungkan jalur Tugu Selatan (Ciburial) ke lokasi pabrik Teh Ciliwung melalui komplek villa dan sekitar meter dihubungkan dengan jalan setapak dan melalui sungai (belum ada jembatan). Lebar jalan dalam komlpeks ini rata-rata 3 meter dan sekitarnya berupa tanaman tahunan. 2. Ruas jalan Jalur Selatan: Jalur selatan terbagi menjadi 3 jalur utama: a. Jalur Gadog (BPLP) simpang Restoran Ibu Cirebon (Jalan raya puncak) sepanjang + 16,5 km b. Jalur Restoran Ibu Cirebon simpang Paragajen (Cibeureum/Taman Safari) sepanjang + 3,6 km (Jalan Raya Puncak dan Jalan Raya Taman Safari) c. Jalur Simpang Paragajen PTP Gunung Mas sepanjang + 5 km Beberapa gambar alternatif akses jalan adalah sebagai berikut. Salah satu jalan masuk menuju Desa Cipayung yang dapat menghubungkan Wilayah Cijayanti Bukit Sentul atau Desa Gunung Geulis dengan kondisi perkerasan batu dan tanah. Bagian jalan dari arah akhir ruas jalan Megaindah atau Pusdikintel yang dapat menghubungkan/menuju Jalan Pesantren Cilember dengan kondisi sebagian jalan batu dan terdapat jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Kondisi jalan menuju Komplek Villa di Tugu Selatan, melalui Jembatan Sungai Citamiang. Gambar 60. Ruas Jalan alternatif wisata di Kawasan Puncak

271 Skenario Alternatif (Alt): Kebijakan Pengendalian penduduk, Membatasi jumlah kendaraan, Meningkatkan perekonomian wilayah, meningkatkan frekuensi penertiban bangunan tidak berizin, serta internalisasi biaya lingkungan. Skenario AIt adalah skenario alternatif berupa modifikasi skenario RP dengan beberapa penambahan kebijakan secara komprehensif/holistik dari berbagai dimensi baik dari dimensi sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan serta lingkungan. Intervensi yang dilakukan adalah: (1) Mengendalikan pertambahan penduduk dengan menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi 2% per tahun, angka kematian dianggap tetap dan migrasi keluar dianggap tetap; (2) Pemerintah menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui berbagai program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring dengan pertumbuhan LPE dan dalam rangka pengendalian pembangunan maka pemerintah memandang perlu menaikan pajak dan retribusi ; (4) Peningkatan pajak dan retribusi tersebut dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan lingkungan; (5) penertiban PKL dan bangunan liar dengan frekuensi penertiban di Kawasan Puncak sebesar 2 kali/tahun; (6) Konsekuensinya perlu menambah jumlah aparatur dan sarana/prasarana; (7) Sebagai upaya menanggulangi kemacetan maka pemerintah menerapkan regulasi pembatasan jumlah dan jenis kendaraan yang masuk/melintas pada setiap week end dan hari libur ke Kawasan Puncak. 9.6 Perbandingan Antara Ketiga Skenario Ketiga skenario tersebut selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui skenario mana yang dapat memberikan kinerja terbaik. Perbandingan antara ketiga skenario pada tahun awal simulasi (tahun 2009) dan tahun akhir simulasi (2029) dapat dilihat selengkapnya pada tabel 88 berikut.

272 248 Tabel 88. Perbandingan berdasarkan skenario TI, RP dan Alt pada tahun 2009 dan 2029 Indikator Tahun 2009 Jumlah penduduk (jiwa) Jumlah wisatawan (jiwa) Jumlah kendaraan (unit) Kebutuhan jalan (km) Volume sampah (lt/th) Kebutuhan akomodasi wisata (m 2 ) Tutupan lahan (m 2 ) Perolehan pajak dan retribusi (Rp) Daya dukung wisata (jiwa) Biaya lingkungan ( Rp) Skenario tahun 2029 TI RP Alt Keterangan : TI = Tanpa Intervensi, RP = Rencana Pemerintah, Alt = Alternatif

273 249 Gambar 61. Perbandingan hasil simulasi pada ketiga skenario untuk Jml Penduduk, Jml wisatawan, Jml kendaraan, Kapasitas ECC, Biaya Lingkungan, Luas Akomodasi, Luas Tutupan Lahan, dan jml sampah. Jumlah penduduk pada saat awal simulasi adalah jiwa, apabila tidak dilakukan intervensi pengendalian penduduk, maka penduduk di kawasan puncak akan mencapai jiwa pada tahun Sejalan dengan pertambahan penduduk maka jumlah penduduk yang tidak bekerja (menganggur) meningkat menjadi jiwa pada tahun 2029 dari jiwa pada tahun Pertambahan penduduk pada skenario RP dan Alt dikendalikan dengan menekan angka kelahiran sampai 2%. Angka pertambahan penduduk pada skenario RP dan Alt lebih rendah dari skenario TI. Perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2029 sebesar jiwa, terjadi peningkatan 42,87% dari kondisi tahun Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah kendaraan. Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak pada tahun 2009 terdapat sebanyak setahun. Jumlah penduduk yang tinggal di Kawasan Puncak lebih sedikit dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke OTW di Kawasan Puncak. Jumlah wisatawan mencapai jiwa sedangkan penduduk Kawasan Puncak hanya mencapai jiwa atau hanya 23,9%. Dengan demikian walaupun telah dilakukan pengendalian jumlah penduduk melalui intervensi pada skenario RP dan Alt namun jumlah kendaraan yang melintas ke Kawasan Puncak, terus mengalami peningkatan. Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak berdasarkan data dari DLLAJ adalah kendaraan/hari dan pada hari minggu mencapai kendaraan.

274 250 Jika tidak dilakukan intervensi apapun (TI) untuk mengurangi jumlah kendaraan yang ada, maka pada tahun 2029 jumlah kendaraan yang akan melintasi atau memasuki Kawasan Puncak akan mencapai kendaraan per tahun. Setelah dilakukan intervensi dalam skenario RP maka jumlah kendaraan berkurang menjadi kendaraan. Selanjutnya pada skenario Alt dibuat suatu kebijakan yang prinsipnya tidak terlalu mengurangi jumlah wisatawan sebagai sumber perekonomian daerah tetapi mengurangi atau membatasi kendaraan yang masuk/melintas ke jalur Puncak karena kondisi saat ini mengalami keterbatasan kapasitas jalan. Setelah intervensi program dalam skenario Alt, maka jumlah kendaraan pada tahun 2029 adalah kendaraan atau lebih rendah dari skenario TI dan RP. Konsekuensi penambahan jumlah kendaraan akan berakibat terhadap kebutuhan sarana infrastruktur jalan. Jika tidak dilakukan intervensi program (TI) maka pada akhir tahun simulasi diperkirakan kebutuhan infrastruktur jalan mencapai ,17 m 2 atau jika dikonversikan ke satuan panjang setelah dibagi luas jalan rata-rata sekitar 5 m, maka panjang jalan yang diperlukan adalah sekitar 105,7 km. Demikian pula setelah dilakukan skenario RP dengan membuat jalan alternatif, walaupun mungkin dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, namun jumlah kendaraan masih mengalami peningkatan sehingga diperlukan penambahan jalan seluas m 2 atau sepanjang 131,2 km. Selanjutnya jika disimulasikan program pembatasan kendaraan pada skenario Alt, sehingga jumlah kendaraan berkurang, maka panjang jalan yang dibutuhkan adalah sekitar 99,5 km atau seluas ,07 m 2. Ditinjau dari segi efisiensi anggaran dan kelestarian lingkungan terhadap tutupan lahan, maka skenario Alt lebih baik dari skenario RP dan TI. Berdasarkan standar analisa belanja pemerintah Kabupaten Bogor, biaya pembuatan 1 m2 jalan hotmiks adalah Rp Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menggunakan skenario Alt anggaran belanja pemerintah dapat dihemat antara 7 milyar sampai dengan 15 milyar rupiah setiap tahunnya. Sejalan dengan dinamika perubahan jumlah kendaraan yang memasuki Kawasan Puncak, maka akan berpengaruh terhadap sumbangan CO 2 ke udara dari kendaraan. Berdasarkan hasil pengujian terhadap kendaraan bermotor jenis niaga (Buchari 2010), sebuah kendaraan mengeluarkan emisi CO 2 sebesar 134 gr/km/kendaraan. Jumlah CO 2 yang dilepaskan ke udara pada tahun 2009 yang

275 251 berasal dari kendaraan yang melintasi puncak adalah gr. Apabila tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan emisi, maka pada tahun 2029 penambahan jumlah emisi CO 2 dari kendaraan yang dilepaskan ke udara di Kawasan Puncak akan mencapai gr. Peningkatan wisatawan ke kawasan Puncak akan mendorong para pengusaha untuk menambah pembangunan akomodasi baik berupa hotel, vila, resort, maupun wisma. Selanjutnya berdasarkan hasil survey terhadap responden diperoleh data bahwa tidak semua wisatawan menginap di Kawasan Puncak, kurang lebih sekitar 20% dari jumlah wisatawan yang menginap di Kawasan Puncak. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, luas obyek wisata yang ada saat ini yaitu seluas m 2, setelah diakumulasikan dengan data luas tutupan jalan, akomodasi dan penduduk, maka total luas tutupan lahan pada tahun 2009 adalah m 2. Tanpa intervensi pembatasan wisatawan dan penduduk, pengaturan ruang dan perizinan maka jumlah tutupan lahan akan terus bertambah, sehingga pada tahun 2029 luas tutupan lahan yang diperlukan mencapai m 2 atau sekitar 7,4% dari luas Kawasan Puncak ( m 2 ). Jumlah tutupan lahan yang dibutuhkan akibat perkembangan akomodasi dan infrastruktur jalan pada skenario RP dan Alt lebih sedikit jika dibandingkan skenario TI yaitu ,8 m 2 dan m 2. Pengurangan tutupan lahan ini salah satunya sebagai dampak kebijakan penertiban bangunan liar yang dilaksanakan secara intensif. Selanjutnya penambahan jumlah wisatawan akan dibatasi oleh daya dukung lokasi obyek wisata. Pada tahun 2009, kondisi obyek wisata yang ada di Kawasan Puncak dapat menampung wisatawan. Seiring dengan pertambahan waktu, kemampuan daya dukung obyek wisata untuk menampung jumlah wisatawan akan semakin berkurang/menurun. Pada tahun 2029 jumlah wisatawan yang dapat ditampung berkurang menjadi wisatawan pada skenario TI dan wisatawan pada skenario RP serta wisatawan pada skenario Alt. Penurunan daya dukung objek tempat wisata dalam menampung kunjungan wisatawan dapat disebabkan oleh kondisi infrastruktur yang buruk, kondisi obyek wisata yang tidak terpelihara serta kapasitas manajemen atau pelayanan yang menurun. Pertambahan penduduk dan wisatawan akan mengakibatkan peningkatan timbulan sampah. Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan

276 252 Kebersihan (2009), sampah yang dihasilkan per orang di wilayah Kabupaten Bogor adalah sebesar 2,5 ltr. Selain penduduk setempat, sampah pun dihasilkan dari aktivitas wisatawan. Asumsinya jika penduduk menghasilkan sampah sebanyak 2,5 ltr/hari, maka jika wisatawan berada di kawasan wisata dari pukul 9 sampai dengan pukul (10 jam), maka sampah yang dihasilkan wisatawan adalah 10/24 x 2.5 liter atau sekitar 0,9 liter/org/hari. Berdasarkan data jumlah penduduk dan wisatawan di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung akan diperoleh jumlah sampah sebanyak lt pada tahun Apabila pemerintah tidak melakukan intervensi apapun dalam pengendalian penduduk dan wisatawan maka pada tahun 2029 sampah yang berasal dari penduduk dan wisatawan mencapai lt. Jumlah timbulan sampah akan berkurang pada saat dilakukan pengendalian jumlah penduduk dan wisatawan pada skenario RP dan Alt yaitu masing-masing jumlah sampah pada tahun akhir simulasi menjadi lt dan lt. Pertambahan jumlah wisatawan di Kawasan Puncak dapat memicu pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) dan vila atau bangunan akomodasi lainnya yang tidak berizin. Hal ini kerapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas dan suasana kumuh menutupi keindahan pemandangan di Kawasan Puncak. Pertambahan atau pengurangan PKL dan bangunan tidak berizin salah satunya dipengaruhi seberapa intensif aktivitas sosialisasi, penertiban dan intensitas pengawasan bangunan yang dilakukan pemerintah. Pada kondisi skenario tanpa intervensi, bangunan PKL dan bangunan tidak berizin akan meningkat sekitar 3,98% menjadi bangunan pada tahun Pada skenario RP, komitmen aparatur pemerintah dalam rangka penegakan hukum dilaksanakan melalui pengawasan dan penertiban bangunan tidak berizin walaupun pelaksanannya hanya satu kali dalam satu tahun, sehingga penambahan bangunan liar tersebut dapat sedikit dikendalikan walaupun diperkirakan masih terjadi kenaikan dari bangunan pada tahun 2009 menjadi bangunan pada tahun 2029 atau bertambah sekitar 2,5%. Penertiban bangunan tidak berizin, selain memerlukan kesiapan aparatur dari segi kecukupan jumlah petugas, juga kesiapan sarana dan prasarana serta penyediaan anggaran. Kegiatan penertiban bangunan tidak berizin berdasarkan standar anggaran belanja daerah Kabupaten Bogor, adalah Rp per bangunan. Jika pemerintah daerah mengalokasikan dana penertiban bangunan di Kawasan Puncak sebesar Rp 1 milyar per tahun maka melalui skenario alternative,

277 253 bangunan tidak berizin dapat ditertibkan seluruhnya pada tahun Percepatan penertiban bangunan tidak berizin dapat dilakukan dengan menambah frekuensi penertiban dan meningkatkan jumlah alokasi anggaran setiap tahunnya. Penertiban bangunan tidak berizin di Kawasan Puncak akan mengurangi tutupan lahan, namun dengan kebijakan membuka jalan baru diduga akan menambah tutupan lahan dan memicu tumbuhnya bangunan-bangunan lahan baru baik berizin maupun tidak berizin. Sehingga diperkirakan tutupan lahan pada tahun 2029 akan mencapai m 2. Pada skenario alternatif, frekuensi penertiban ditingkatkan sehingga diperkirakan sampai akhir tahun simulasi jumlah bangunan tidak berizin dapat ditekan sampai bangunan atau pertambahannya bisa dikendalikan sampai 1,9%. Dampak positif peningkatan aktivitas wisata adalah meningkatkan penerimaan daerah berasal dari pajak dan retribusi. Peningkatkan penerimaan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi dari sektor pariwisata dapat dilakukan melalui ekstensifikasi dan peningkatan tarif wisata di obyek wisata dan maksimalisasi pajak hotel dan restoran. Penerimaan pajak dan retribusi pada skenario TI diperkirakan akan meningkat dari Rp pada tahun awal simulasi menjadi Rp pada tahun Kebijakan peningkatan penerimaan pajak dan retribusi di Kawasan Puncak seperti yang diterapkan pada skenario RP dan Alt selain untuk meningkatkan penerimaan daerah sekaligus sebagai alat pengendalian pertambahan jumlah wisatawan. Disimulasikan pada skenario RP dan Alt penambahan penerimaan daerah pada tahun 2029 menjadi Rp dan Rp Pada skenario alternatif, penerimaan daerah dari pajak dan retribusi tidak seluruhnya digunakan pemerintah untuk membiayai belanja langsung dan tidak langsung tetapi dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan lingkungan, sehingga kelestarian Kawasan Puncak dapat terjaga. 9.7 Kebijakan dan Pendekatan Program Berdasarkan ketiga skenario model kebijakan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, skenario dengan kinerja terbaik adalah skenario alternatif (Alt). Skenario alternatif dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan dan program seperti tercantum pada tabel 84.

278 254 Tabel 89. Rekomendasi kebijakan dan program pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak No KEBIJAKAN PROGRAM 1. Pengendalian penduduk 1. Optimalisasi Operasi yustisi dan Keluarga Berencana 2. Pembatasan kawasan pemukiman Peningkatan perekonomian kawasan Pembatasan jumlah kendaraan 3. Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai 4. Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga (home industry) 5. Peningkatan penerimaan dari pajak dan retribusi Penggunaan angkutan masal 4. Pengendalian bangunan tidak berizin 5. Peningkatan pembiayaan lingkungan Optimalisasi pelaksanaan operasi wibawa praja Internalisasi/penambahan biaya lingkungan dalam pajak/retribusi Kebijakan Pengendalian Penduduk Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu, utamanya terhadap persebaran dan densitasnya (kepadatan). Kepadatan penduduk mencerminkan banyaknya penduduk tiap satuan luas wilayah. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 18 orang per ha. Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: (1) Memperberat beban penduduk pada lahan; (2) Menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; (3) Menurunkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga maka akan meningkatkan pengeluaran/biaya (BPS 2010). Secara umum angka distribusi penduduk di Kabupaten Bogor lebih tinggi dari 4%, dengan angka beban tanggungan sebesar 53,75. Berdasarkan data-data kependudukan menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bogor dengan potensi yang dimilikinya mampu menarik penduduk untuk tinggal atau datang ke wilayah ini. Perkembangan usaha industri, pemukiman dan wisata telah menarik minat untuk bekerja, bertempat tinggal dan berwisata di Kabupaten

279 255 Bogor. Kondisi tersebut mengakibatkan konsekuensi terhadap tingginya kepadatan penduduk Program Keluarga Berencana dan Operasi Yustisi Pertambahan jumlah penduduk disebabkan karena pertambahan alamiah (kelahiran) dan pertambahan karena migrasi masuk. Pengendalian penduduk merupakan kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dilakukan dengan mengurangi jumlah kelahiran yang dikenal dengan program keluarga berencana. Berdasarkan data sensus ekonomi daerah (Suseda) tahun 2008, angka kelahiran total (TFR) masih berkisar 2,51 dan rata-rata usia kawin pertama wanita adalah 17,9 tahun. Situasi kependudukan di Kabupaten Bogor tersebut merupakan fenomena yang memerlukan perhatian dan penanganan sungguhsungguh dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengendalikan jumlah penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk. Hal ini antara lain dilakukan dengan menggalakan dan meneguhkan kembali Program operasi yustisi dan Keluarga Berencana Nasional di semua tingkatan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Kegiatan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor, diarahkan pada 5 (lima) kegiatan strategis yaitu: (1) program Pemberdayaan Keluarga (PK); (2) Program KB dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR); (3) Program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan); (4) Program Penguatan kelembagaan keluarga kecil berkualitas; dan (5) Program pengembangan sistem informasi data mikro keluarga. Perkembangan pelaksanaan Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 menunjukan hasil yang baik yaitu pencapaian total peserta KB sebanyak peserta atau 96,61% dari Perkiraan Permintaan Masyarakat (PPM) sebesar peserta. Jumlah peserta KB Aktif (PA) sebanyak akseptor, jika dibandingkan dengan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak PUS maka PA/PUS menjadi 72,34%. Sedangkan jika dilihat berdasarkan mix kontrasepsi maka persentase pencapaian peserta KB baru terhadap PPM per mix kontrasepsi adalah sebagai berikut: akseptor IUD

280 256 (83,78% dari PPM), peserta MOW (182,82% dari PPM), peserta implant (127,49% dari PPM), dan peserta suntikan (96,96% dari PPM). Pelaksanaan KB di Kawasan Puncak pada khususnya dan Kabupaten Bogor pada umumnya sudah dilaksanakan dengan baik. Realisasi peserta KB baru di Kawasan Puncak melebihi target yaitu masing-masing 106,14 % untuk Kecamatan Megamendung dan 113,86% untuk Kecamatan Cisarua, sedangkan Kecamatan Ciawi realisasinya adalah 93,68%. Prioritas kegiatan yang perlu dilanjutkan dan tingkatkan dimasa yang akan datang adalah: a. Rata-rata Usia Kawin di Kabupaten Bogor masih rendah yaitu 17,9 tahun, sedangkan Provinsi Jawa Barat 18,05 tahun dan Nasional sudah mencapai 20 tahun. Perlu upaya dan kerja keras untuk memberikan motivasi/dorongan agar para remaja mampu menunda usia perkawinannya hingga usia yang dapat dikatakan matang baik dari sisi kesehatan fisik, psikis, ekonomi maupun sosialnya. Wahana atau forum yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan remaja untuk dapat menunda perkawinan adalah dengan memberikan pengetahuan dan wawasan tentang kesehatan reproduksi melalui wadah konseling PIK KRR (Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) yang telah dibentuk di masing-masing kecamatan; b. Menambah jumlah petugas lapangan pengelola KB, petugas lapangan merupakan ujung tombak dalam pencapaian keberhasilan program. Saat ini jumlah petugas lapangan KB baru 184 orang untuk melayani 428 desa/kelurahan, sehingga masih kekurangan petugas lapangan KB sebanyak 244 orang; c. Meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap KB melalui peningkatan peran serta Pos KB dan Sub Pos KB dalam pelaksanaan program KB; d. Meningkatkan frekuensi penyuluhan dan melaksanaan pembinaan untuk menekan angka drop out (DO) peserta KB, karena saat ini angka DO peserta KB untuk tingkat kabupaten termasuk tinggi yaitu 12,05%, bahkan untuk kecamatan di Kawasan Puncak memiliki angka DO yang lebih tinggi yaitu 12,34% (Kecamatan Ciawi), 14,05% (Kecamatan Cisarua) dan 19,32% (Kecamatan Megamendung);

281 257 e. Perlu penanganan yang komprehensif dan khusus serta berkesinambungan terhadap segmen remaja, mengingat kehidupan remaja yang sangat rawan terhadap resiko penyimpangan seksualitas, HIV/AIDS dan Narkoba; f. Meningkatkan pelembagaan dan pembudayaan KB, salah satunya dengan melanjutkan program Kampung KB ; g. Peningkatan cakupan pelayanan KB gratis bagi keluarga miskin; h. Optimalisasi pelaksanaan operasi yustisi secara konsisten Program Pembatasan Kawasan Permukiman Peningkatan jumlah penduduk salah satu penyebabnya adalah terjadinya peningkatan pembangunan kawasan pemukiman. Berdasarkan penelitian Dewi (2010), sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000), atau meningkat sebesar 4,53%, akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relative lebih cepat selama kurun waktu , tutupan lahan permukiman meningkat 12%. Demikian pula hasil penelitian Suwarno (2011), selama 9 tahun terakhir ( ) mengalami kenaikan dari 1.261,62 ha menjadi 3.356,73 ha atau rata-rata 18,45% per tahun. Peningkatan luas lahan permukiman 18,45% ini berarti lebih tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk 3,28% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan lahan untuk diubah menjadi lahan terbangun sangat besar (laju permukiman lebih dari 5 kali laju pertumbuhan penduduk). Peningkatan kawasan pemukiman/terbangun akan meningkatkan kepadatan penduduk. Berdasarkan arahan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2008, kepadatan penduduk untuk kategori sustainable (rendah) adalah < 50 jiwa/ha, kepadatan sedang jiwa/ha, kepadatan tinggi (kritis) adalah jiwa/ha, serta destruktif > 200 jiwa/ha. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk Kecamatan Ciawi adalah 41 jiwa/ha, Kecamatan Cisarua adalah 18 jiwa/ha dan Kecamatan Megamendung adalah 29 jiwa/ha. Berdasarkan model simulasi jumlah penduduk di Kawasan Puncak pada tahun 2029 diperkirakan mencapai jiwa dengan kepadatan sekitar 35 jiwa/ha. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kepadatan penduduk di wilayah Puncak dikategorikan kepadatan sedang. Namun demikian khusus untuk Kawasan Puncak tidak hanya berdasarkan kepadatan penduduk, tetapi harus mempertimbangkan kunjungan wisatawan yang jumlahnya dalam satu tahun melebihi angka jumlah penduduk

282 258 definitif di Kawasan Puncak, yaitu mencapai jiwa atau berdasarkan skenario TI, diproyeksikan pada tahun 2029 wisatawan bertambah menjadi jiwa. Jika dijumlahkan antara penduduk dengan wisatawan maka jumlahnya menjadi jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut, maka kepadatan penduduk dan wisatawan menjadi 264 jiwa/ha atau termasuk dalam kepadatan tinggi dan mempunyai kecenderungan destruktif. Walaupun sifatnya tidak menetap, namun pada saat-saat tertentu kondisi ini akan menimbulkan suasana tidak nyaman dan dapat membebani serta merusak lingkungan. Berdasarkan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya dapat dikenakan kebijakan disinsentif. Disinsentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk: pembatasan penyediaan infrastruktur; pengenaan kompensasi; dan/atau penalti. Berdasarkan kondisi, permasalahan dan ketentuan yang mengatur Kawasan Puncak, maka implementasi pembatasan kawasan pemukiman terbangun dapat dilaksanakan melalui: 1) Pengenaan pajak bumi dan bangunan yang tinggi secara selektif terutama terhadap bangunan-bangunan baru; 2) Pembatasan penyediaan infrastruktur dan utilitas lain terutama terhadap daerah-daerah dengan peruntukan non pemukiman; 3) Pengenaan retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang tinggi untuk setiap bangunan di Kawasan Puncak, sebagai upaya menurunkan animo masyarakat mendirikan bangunan di Kawasan Puncak; 4) Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semi-permanen maupun permanen; 5) Pengendalian yang ketat terhadap pemberian izin (IPPT/ILOK/IMB); 6) Distribusi penduduk di dalam kawasan dan distribusi wisatawan didalam kawasan maupun keluar kawasan melalui pengembangan destinasi wisata alternatif selain Kawasan Puncak. Distribusi penduduk dalam kawasan dapat dilakukan dengan membuat rencana zonasi yang membagi penduduk atas aktivitas ruang. Pengaturan penduduk pada masing-masing Zona ditujukan agar dapat dicapai keseimbangan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan. Pengaturan ini

283 259 ditentukan berdasarkan intensitas kegiatan struktur ruang dan fisik lahan yang dapat dikembangkan pada masing-masing Zona. Hal ini didasari pula oleh kecenderungan, dimana semakin dekat dengan pusat kegiatan, maka kecenderungan kepadatan penduduk semakin tinggi. Distribusi wisatawan didalam kawasan dapat dilakukan melalui pengaturan zonasi wisata dan manajemen wisata kawasan berdasarkan kemampuan daya dukung masingmasing Obyek Tujuan Wisata (OTW). Perencanaan zonasi wisata di Kawasan Puncak sudah disusun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun Zona wisata di Kawasan Puncak terbagi atas zona A, B, C, dan D dengan masing-masing fungsi, arahan pengembangan wisata yang diperbolehkan dan komponen penataannya. Kecamatan Ciawi termasuk dalam zona A, merupakan lokasi strategis menjadi pintu gerbang menuju objek wisata di jalur Bopunjur (kawasan wisata Puncak) dan objek wisata di jalur Bogor-Sukabumi. Sebagian besar Kecamatan Cisarua dan Megamendung termasuk pada zona C dengan arahan pengembangan antara lain pengembangan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan, fungsi pertanian lahan basah dan kawasan perkebunan, meningkatkan aksesibilitas objek wisata dengan pusat akomodasi wisata, membentuk keterkaitan antara aktifitas pariwisata dengan aktifitas masyarakat setempat, mempertahankan fungsi daerah resapan/ruang terbuka hijau pada daerah dengan kelerengan curam, pengembangan prasarana dan sarana pendukung pariwisata, pengaturan pemanfaatan villa/wisma yang disewakan, mengendalikan perkembangan villa pada daerah-daerah yang tidak sesuai peruntukkan dan menciptakan keterkaitan antara pusat akomodasi wisata dengan objek-objek wisata. Implementasi pengaturan wisata melalui zonasi wisata ini belum berjalan maksimal, salah satu kendalanya adalah karena produk perencanaan ini tidak mengikat masyarakat dan pemerintah karena tidak dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Disarankan perlu dilakukan review kembali dan dituangkan dalam bentuk peraturan daerah rencana detail dan zonasi Kawasan Puncak yang memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat menjadi pedoman bagi pemerintah yang memiliki otoritas perizinan sekaligus sangsi bila terjadi pelanggaran. Distribusi wisatawan didalam Kawasan Puncak selain melalui pengaturan zonasi, juga dapat dilakukan melalui manajemen pariwisata secara

284 260 menyeluruh di Kawasan Puncak, salah satu alat pengendalinya adalah kapasitas atau daya dukung pada setiap OTW. Distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak perlu dilakukan setelah memperhatikan kondisi infrastruktur yang semakin terbatas serta terjadinya peningkatan tutupan lahan yang dapat mengancam konservasi lingkungan di DAS Ciliwung. Sesuai dengan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, Kawasan Puncak termasuk kedalam kawasan strategis nasional (KSN). Salah satu kebijakannya adalah pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional. Dengan demikian pengembangan pembangunan di Kawasan Puncak harus dibatasi sehingga untuk mengalihkan sebagian wisatawan terutama wisatawan repeater ke Kawasan Puncak perlu didistribusikan ke wilayah destinasi lainnya. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor yang saat ini sedang mempersiapkan alternatif puncak di wilayah Kabupaten Bogor sebelah Timur (Kawasan Puncak 2/Puncak Raya), merupakan langkah tepat sebagai salah satu upaya memecah arus wisatawan atau distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak, walaupun untuk mewujudkan rencana ini memerlukan pendanaan yang besar dan jangka waktu yang cukup lama Kebijakan Peningkatan Perekonomian Kawasan Kawasan Puncak walaupun termasuk wilayah konservasi alam, namun juga dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata baik skala lokal kabupaten Bogor maupun skala regional Provinsi Jawa Barat. Kebijakan peningkatan ekonomi pendapatan daerah di Kawasan Puncak perlu direncanakan secara cermat dan hati-hati agar tidak bersifat eksploitatif yang dapat mengakibatkan kerusakan atau degradasi lingkungan. Peningkatan ekonomi di Kawasan Puncak yang merupakan kawasan wisata dapat dilaksanakan melalui (1) Peningkatan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi; (2) Peningkatan kualitas SDM siap pakai; (3) Kemitraan antara pengusaha wisata dan masyarakat setempat; (4) kerjasama dan keterkaitan dari aktivitas hulu-hilir.

285 Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai Permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Bogor adalah kelebihan pasokan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan serapan tenaga kerja pada lapangan usaha. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) total Kabupaten Bogor tahun 2010 sebesar 59,60 artinya 59,60% dari penduduk usia kerja terlibat dan berusaha dalan kegiatan produktif menghasilkan barang dan jasa. Berdasarkan angka total angkatan kerja yang ada di Kabupaten Bogor pada tahun 2010, sebanyak jiwa (89%) adalah mereka yang aktif bekerja, sedangkan sisanya jiwa (11%) merupakan pengangguran terbuka. Penduduk angkatan kerja yang bekerja di Kawasan Puncak sebagian besar bekerja di sektor jasa (53%) serta perdagangan, hotel dan restoran (20%). Tingginya proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut sesuai dengan pengembangan Kawasan Puncak sebagai destinasi wisata. Namun demikian berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari pengusaha hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI, kualitas tenaga kerja di Kawasan Puncak masih belum memadai dan perlu ditingkatkan kualitasnya. Prioritas kegiatan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Kawasan Puncak adalah melalui: 1) Pelatihan keterampilan bagi para calon tenaga kerja di tempat-tempat balai latihan kerja (BLK) yang dilanjutkan dengan kegiatan magang; 2) Pelatihan customer service excelent bagi para pekerja wisata secara berkesinambungan; 3) Mendirikan sekolah pariwisata, untuk mencetak/menghasilkan tenaga-tenaga baru yang siap pakai; 4) Peningkatan jumlah aparatur dan pelaku wisata yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kepariwisataan, termasuk keterampilan berbahasa asing Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga (home industry) Kawasan Puncak merupakan pusat kegiatan wisata di Kabupaten Bogor, dimana sebagian besar potensi wisata, atraksi wisata dan fasilitas wisata berada pada kawasan ini. Berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor pada tahun 2008 terdapat 168 akomodasi yang terdiri dari 7 hotel bintang dan 161 hotel melati (termasuk wisma dan villa). Hotel bintang adalah Safari

286 262 Garden Hotel, Parama Hotel, Jayakarta Hotel, Grafika Mas Prioritas Hotel, Permata Alam Hotel, Cipayung Asri hotel dan Citra Cikopo. Pada tahun 2008, berdasarkan data Dispenda terdapat 121 rumah makan yang menawarkan menu tradisional dan lokal. Selain potensi berupa fasilitas wisata, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Puncak pada tahun 2009 adalah sebanyak Potensi wisata Puncak yang demikian besar perlu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan wisata dari mulai kebutuhan konsumsi (pangan), akomodasi, transportasi, industri, kerajinan dan jasa. Permasalahan yang pada umumnya terjadi di daerah wisata adalah terjadinya kebocoran wisata sehingga terjadi capital flight ke daerah lain dan masyarakat setempat tidak menerima keuntungan dan manfaat dari aktivitas wisata. Prioritas kegiatan yang perlu dipersiapkan adalah: 1) Pendataan dan pemetaan UKM untuk mengetahui jumlah, lokasi, jenis usaha, kekuatan permodalan, permasalahan dan sebagainya; 2) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan para UKM di bidang pertanian, industri dan jasa; 3) Membentuk forum UKM di Kawasan Puncak dengan tujuan untuk memudahkan koordinasi, pengorganisasian dan penyampaian informasi; 4) Meningkatkan kemitraan antara UKM dengan para pelaku usaha di Kawasan Puncak; 5) Menerapkan penggunaan teknologi informasi untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara UKM dan pengusaha wisata Peningkatan Penerimaan Pajak dan Retribusi Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat sekaligus sebagai sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pungutan pajak mempunyai tiga fungsi atau tujuan, yaitu: (1) Fungsi penerimaan (budgetair), pajak dikenakan dengan tujuan untuk mengumpulkan penerimaan Negara dalam rangka membiayai kegiatan pemerintah; (2) Fungsi pengaturan (regulator), berkaitan dengan dikenakannya pajak untuk mengatur transaksi ekonomi yang terkait dengan obyek pajak; dan (3) Fungsi distribusi, pajak dikenakan dalam rangka menciptakan pemerataan pendapatan antar warga negara (Bappeda, 2007).

287 263 Kegiatan pariwisata yang dikenakan pajak adalah hotel, restoran dan hiburan. Pajak hotel adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran oleh pribadi atau badan. Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang diberikan konsumen kepada hotel (omzet). Besarnya tarif pajak hotel adalah 10 persen dengan cara menghitung pajak hotel yaitu: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan. Demikian pula pajak restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran oleh orang pribadi atau badan. Cara penghitungannya adalah: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan (jumlah pembayaran yang dilakukan konsumen kepada restoran (omzet). Pajak hiburan adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dikelompokan menjadi retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi di sektor pariwisata seperti retribusi izin usaha sarana pariwisata, retribusi izin usaha obyek wisata dan retribusi izin jasa usaha wisata termasuk dalam kelompok retribusi perizinan tertentu. Ketiga retribusi tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2007 tentang Pengelolaan Usaha Pariwisata. Selain pajak dan retribusi yang berkaitan dengan pariwisata terdapat pajak dan retribusi lainnya seperti PBB, IMB dan sebagainya. Peningkatan penerimaan pajak dan retribusi dilaksanakan melalui prioritas kegiatan:

288 264 1) Pendataan objek pajak dan retribusi kepada seluruh wajib pajak dan retribusi di Kawasan Puncak; 2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas pemungut pajak dan retribusi pada lokasi-lokasi pemungutan pajak dan retribusi; 3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana berupa komputer, sarana mobilitas dsb. untuk pemungutan pajak dan retribusi; 4) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap para wajib pajak dan retribusi; 5) Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan kepada para wajib pajak dan retribusi agar sadar dan tepat waktu dalam pembayaran pajak dan retribusi; 6) Meningkatkan biaya pajak dan retribusi Kebijakan Pengendalian Bangunan tidak Berizin Bangunan tidak berizin terdiri atas beberapa katagori yaitu:(1) Bangunan yang didirikan pada lahan yang tidak bermasalah dan sesuai dengan pengaturan ruang tetapi belum mengurus perizinan; (2) Bangunan didirikan di atas lahan yang bermasalah dan tidak sesuai dengan pengaturan ruang sehingga tidak dapat mengurus perizinan; (3) Bangunan yang sudah berizin namun melakukan perluasan bangunan yang tidak diurus izinnya; 4) Bangunan tidak permanen PKL (pedagang kaki lima). Jumlah bangunan tidak berizin terus bertambah tidak sebanding dengan ketersediaan aparatur yang bertugas mengawasi dan menertibkan bangunan tidak berizin. Selama pelaksanaan penertiban, ditemukan berbagai kendala sebagai berikut: (1) Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) baik secara kualitas maupun kuantitas apabila dibandingkan dengan cakupan wilayah Kabupaten Bogor. Ditinjau dari luas wilayah dan banyaknya penduduk maka jumlah anggota Polisi Pamong Praja yang ideal berjumlah 500 orang dengan perbandingan 1 orang personil berbanding penduduk; (2) Masih kurangnya sarana dan prasarana yang memadai apabila dibandingkan dengan banyaknya kegiatan serta luasnya Kabupaten Bogor; (3) Besarnya biaya untuk melaksanakan penertiban; (4) Masih lemahnya koordinasi antar intansi terkait serta (5) perlawanan yang sangat kuat dari pihak masyarakat luar. Masyarakat luar ini umumnya mantan pejabat tinggi, pengusaha menengah-besar atau mitra / kolega pejabat pemerintah lokal. Dalam pelaksanaan kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor melakukan koordinasi lintas sektoral dengan

289 265 aparat keamanan yang terdiri dari Polres Bogor, Kodim 0621, Polisi Militer, Koramil dan Polsek setempat. Dengan melakukan koordinasi lintas sektoral dengan beberapa instansi tersebut maka diharapkan dapat membantu dan mempermudah pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjaga ketentraman dan ketertiban umum di wilayah Kabupaten Bogor. Program yang perlu dilakukan adalah optimalisasi operasi wibawa praja melalui kegiatan: 1. Penyuluhan/ sosialisasi kepada masyarakat; 2. Meningkatkan sarana, prasarana dan jumlah personil yang menangani penertiban; 3. Melaksanakan aktivitas pengawasan dan penertiban secara intensif, konsisten dan persisten; 4. Melaksanaan pendataan dan menyusun database bangunan tidak berizin; 5. Memberikan efek jera melalui penayangan pemilik bangunan tidak berizin di media massa sebagai sangsi sosial; 6. Bekerjasama dengan instansi lain untuk membatasi ketersediaan infrastruktur seperti akses jalan, listrik dan telekomunikasi bagi bangunan yang tidak berizin Kebijakan Pembatasan Jumlah Kendaraan Sebagai salah satu lintasan Bogor-Cianjur Bandung, jalur jalan raya Puncak memiliki beban yang cukup berat terutama karena lintasannya dimanfaatkan juga sebagai jalur wisata menuju beberapa obyek wisata di Kabupaten Bogor maupun di Kabupaten Cianjur. Kondisi tersebut mengakibatkan volume kendaraan di jalur jalan raya Puncak sangat padat dengan LHR (laju harian rata-rata) saat ini rata-rata SMP/hari (SMP = satuan mobil penumpang) serta V/C (Volume/Capacity) >1,0, maka dapat dikategorikan sebagai jalur yang perlu diberikan alternatif penurunan volume lalu lintas (Disbudpar, 2003).

290 266 3 Gambar 62. Titik Rawan Macet di Wilayah Puncak Sumber : Kasat Lantas Polres Bogor Kemacetan lalu lintas diakibatkan sebagian besar wisatawan bertujuan untuk mengunjungi daya tarik wisata Taman safari Indonesia, Taman wisata matahari, wana wisata Curug Cilember, dan lainnya yang semua akses jalurnya melewati jalan raya puncak. Hal ini mengakibatkan intensitas kendaraan yang melewati jalan raya Puncak semakin padat dan akhirnya mengakibatkan kemacetan. Selain itu diperparah juga dengan terdapatnya pasar di sisi jalan raya Puncak, Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, dimana badan jalan dipakai untuk parkir kendaraan dan angkutan umum serta bahu jalan di pakai pedagang kaki lima untuk tempat berdagang. Titik pusat kemacetan di jalan raya Puncak, Kabupaten Bogor berada pada Gadog, Pasar Cisarua, dan pertigaan tugu Taman Safari Indonesia. Solusi saat ini yang dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya Puncak adalah dengan menerapkan sistem buka tutup. Sistem buka tutup biasanya dilakukan pada akhir pekan dan hari libur dimana pada jam-jam tertentu dilakukan jalan satu arah (one way) secara bergantian dari arah lampu merah keluar pintu tol Ciawi sampai pertigaan tugu Taman Safari Indonesia dan berganti dari arah sebaliknya. Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak pada tahun 2009 terdapat sebanyak setahun. Apabila tidak dilakukan pembatasan jumlah kendaraan, maka diperkirakan pada tahun 2029 jumlah kendaraan menuju Kawasan Puncak akan mencapai kendaraan per

291 267 tahun. Kapasitas jalan yang ada saat ini sangat tidak memadai untuk menampung jumlah kendaraan sebanyak itu, sehingga diperlukan penambahan panjang jalan sekitar 55,2 km. Melalui program pembatasan kendaraan menuju Kawasan Puncak dianggap lebih efektif dipandang dari segi keamanan, kenyamanan dan konservasi lingkungan. Pembatasan kendaraan dapat dilakukan melalui penggantian moda angkutan dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan masal. Berdasarkan hasil diskusi melalui focus group discussion dan pendapat pakar baik eksekutif maupun legislatif (anggota DPRD), penanganan transportasi di Kawasan Puncak melalui pembatasan kendaraan dengan penggantian moda di masa yang akan datang, dapat dilakukan dengan menyediakan kendaraan bis wisata atau kendaraan monorail/sky train. Simulasi sketsa konsep pengaturan jalur wisata dapat dilihat pada gambar 63 berikut. Gambar 63. Sketsa konsep pengaturan jalur angkutan wisata. Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa penggantian moda (stop over) diusulkan untuk ditempatkan di sekitar wilayah Kecamatan Ciawi tidak jauh dari mulut pintu tol jagorawi. Jalur wisata dibagi menjadi tiga buah stasiun yaitu stasiun Taman Wisata Matahari, stasiun Taman Safari Indonesia serta Stasiun Gunung Mas. Pengunjung atau wisatawan dapat memilih

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Lebih terperinci

DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK

DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK 216 IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK No. 9.1 Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak Pada bab ini dilakukan sintesis dari keseluruhan alat analisis yang sudah diuraikan

Lebih terperinci

V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK

V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK 107 V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK 5.1 Analisis Situasi Wisatawan dan Obyek Tujuan Wisata (OTW) 5.1.1 Analisis Kunjungan Wisatawan Tingkat kunjungan wisatawan ke Kawasan Puncak meningkat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS INDIKATOR DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH VALENTINO PANJAITAN

SKRIPSI ANALISIS INDIKATOR DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH VALENTINO PANJAITAN SKRIPSI ANALISIS INDIKATOR DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH VALENTINO PANJAITAN 10050142 PROGRAM STUDI STRATA 1 EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH ACKORY NATALIA MALAU

SKRIPSI ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH ACKORY NATALIA MALAU SKRIPSI ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SAMOSIR OLEH ACKORY NATALIA MALAU 120501148 PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS NURILLAH UTAMI NIM :

HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS NURILLAH UTAMI NIM : HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN Berdasarkan analisis data dan informasi yang telah dilakukan, analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. global. Peningkatan suhu ini oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate

I. PENDAHULUAN. global. Peningkatan suhu ini oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim merupakan isu global yang menjadi sorotan dunia saat ini. Perubahan iklim ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata bumi secara global. Peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 55 III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI Oleh ARISA SANTRI H14050903 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu bidang pembangunan yang semakin hari semakin besar kontribusinya dalam pembangunan. Hal ini dibuktikan dengan besarnya penyerapan tenaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL

7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL 7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL 7.1 Pendahuluan Air adalah sumberdaya alam yang penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Masalah kekurangan jumlah air maupun kualitas air dapat menimbulkan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, memiliki ruang lingkup, komponen dan proses pengelolaan tersendiri. Terkait dengan sistem

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab pertama studi penelitian ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup yang mencakup ruang lingkup materi dan ruang lingkup

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini ditandai dengan kemajuan teknologi dimana menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini ditandai dengan kemajuan teknologi dimana menghasilkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi saat ini ditandai dengan kemajuan teknologi dimana menghasilkan berbagai kemudahan komunikasi dan informasi yang mengakibatkan kondisi persaingan bisnis

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR P. Negara, November 2011 BAPPEDA DAN PENANAMAN MODAL KABUPATEN JEMBRANA KEPALA,

KATA PENGANTAR P. Negara, November 2011 BAPPEDA DAN PENANAMAN MODAL KABUPATEN JEMBRANA KEPALA, KATA PENGANTAR P uji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas berkat dan rahmat-nya buku Profil Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2011 dapat disusun. Penyusunan

Lebih terperinci

5.1. Analisis Dayasaing Industri Pariwisata Kabupaten Cianjur. Competitiveness Monitor bisa dilihat pada tabel 5.1 berikut ini.

5.1. Analisis Dayasaing Industri Pariwisata Kabupaten Cianjur. Competitiveness Monitor bisa dilihat pada tabel 5.1 berikut ini. V. PEMBAHASAN 5.1. Analisis Dayasaing Industri Pariwisata Kabupaten Cianjur Hasil analisis dayasaing Kabupaten Cianjur dengan menggunakan Competitiveness Monitor bisa dilihat pada tabel 5.1 berikut ini.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi PENENTUAN JALUR WISATA BERDASARKAN POTENSI OBYEK DI KABUPATEN KULONPROGO MELALUI PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1 Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Putri Amelia dan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 43 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Destinasi Wisata Cibodas 1. Letak dan Luas III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Destinasi Wisata (DW) Cibodas secara administratif termasuk Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Lokasi

Lebih terperinci

VII KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU

VII KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU 137 VII KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN DI DAS CILIWUNG HULU 7.1 Pendahuluan Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sumberdaya alam milik bersama atau Common pool resources (CPRs). Sebagai CPRs,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG

IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG SKRIPSI HESTI FANNY AULIA SIHALOHO H34066060 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H14050184 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG Abstrak Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster.

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah wisatawan internasional dari tahun ke tahun terus mengalami

I. PENDAHULUAN. Jumlah wisatawan internasional dari tahun ke tahun terus mengalami I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah wisatawan internasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1990, jumlah wisatawan internasional hanya sekitar 439 juta, maka dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan paradigma pengembangan wilayah dari era comparative advantage ke competitive advantage, menjadi suatu fenomena baru dalam perencanaan wilayah saat ini. Di era kompetitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN. devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor penting untuk meningkatkan devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah yang memiliki industri

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN TABEL PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH TERHADAP CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN

PROVINSI BANTEN TABEL PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH TERHADAP CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI BANTEN TABEL PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH TERHADAP CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PERIODE : 2017-2022 NO 1 1 1106 ASPEK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Fokus Kesejahteraan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dokumen Layanan Persampahan Kota Bogor merupakan dokumen yang memuat keadaaan terkini kondisi persampahan Kota Bogor. Penyusunan dokumen ini pada dasarnya ditujukan pada pendayagunaan segenap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 35 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung (gambar 5). Ketiga kecamatan ini termasuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output)

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) OLEH DWI PANGASTUTI UJIANI H14102028 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN 1-1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN 1-1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR xi I PENDAHULUAN 1-1 1.1 LATAR BELAKANG 1-2 1.2 DASAR HUKUM PENYUSUNAN 1-3 1.3 HUBUNGAN ANTAR DOKUMEN 1-5 1.4 SISTEMATIKA PENULISAN

Lebih terperinci

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN 10.1. Program Transisii P roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, berlangsung secara terus menerus. RPJMD Kabupaten Kotabaru

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET

MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET MODEL HIDROGRAF SATUAN SINTETIK MENGGUNAKAN PARAMETER MORFOMETRI (STUDI KASUS DI DAS CILIWUNG HULU) BEJO SLAMET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci