BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena itu citra RGB terbaik sudah selayaknya mampu menampilkan objek yang sebanyakbanyaknya. Citra hasil ekstraksi dengan susunan pada band blue : HH-VV, green: VV dan red: HH sudah dapat menampilkan objek yang berwarna untuk proses identifikasi penutupan lahan. Mata manusia cenderung lebih mudah membedakan objek yang berwarna daripada objek dengan tingkat keabuan (rona). Warna yang ditampilkan dari citra RGB HH - VV - HH-VV merupakan warna palsu yang digunakan untuk membedakan beberapa objek yang berbeda. Dari tampilan citra pada Gambar 13 terlihat bahwa objek tambak dan air cenderung berwarna hijau, vegetasi berwarna merah muda, tanah kosong berwarna biru muda dan rumput berwarna kuning. Gambar 13 Citra hasil ekstraksi dengan susunan RGB HH - VV - HH-VV. 5.2 Reduksi Speckle Hasil dari tampilan citra polarisasi HH dan polarisasi VV pada Gambar 13

2 39 belum dapat memperlihatkan karakteristik objek apapun. Kecuali pada objek sungai dan tambak yang masih dapat diidentifikasi secara visual berdasarkan bentuknnya, sedangkan untuk objek lainnya belum dapat diidentifikasi. Hal ini disebabkan oleh mata manusia yang sulit mengidentifikasi objek menggunakan perbedaan rona pada citra polarisasi tunggal (citra gray scale). Apalagi dengan adanya speckle akibat interferensi acak pada sel resolusi citra tersebut akan semakin mempersulit proses identifikasi. Oleh karena itu perlu dilakukan proses penajaman citra (enhancement image). Pada penelitian ini digunakan metode J.S. Lee dan Frost dalam proses spasial filter. a b Gambar 14 Scroll window citra polarisasi HH terfilter : Frost [a] dan Lee [b]. a b Gambar 15 Scroll window citra polarisasi VV terfilter : Frost [a] dan Lee [b].

3 40 Adanya speckle dapat menyebabkan piksel-piksel yang terdapat pada citra tidak dapat menampikan pola spektral yang sebenarnya dari suatu objek. Oleh karena itu, speckle perlu direduksi dengan melakukan proses pemfilteran. Dalam penelitian ini digunakan proses pemfilteran Lee dan Frost pada citra TerraSAR-X dual polarization dengan jendela filter 3x3. Pemilihan jendela filter 3x3 memiliki pengertian bahwa noise yang berupa speckle pada wilayah yang diamati (interest site) pada citra akan direduksi pada luas wilayah pemfilteran sebesar 9 piksel. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove dijadikan sebagai wilayah yang diamati (interest site) pada citra. Luas pemfilteran tersebut diduga cukup sesuai dengan luasan kawasan mangrove di lokasi penelitian. Hal ini diharapkan mampu menonjolkan keberadaan dan perbedaan objek mangrove dibandingkan objek lainnya pada citra. Hasil tampilan objek mangrove yang dapat diidentifikasi dari obyek lainnya akan mempermudah proses ekstraksi kawasan mangrove pada citra yang telah dilakukan proses filter. Pada citra hasil pemfilteran, objek-objek yang nampak dalam citra terfilter Lee pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih tajam dibandingakan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Frost (Gambar 15). Citra terfilter Lee juga tetap mempertahankan tingkat kecerahan pada citra aslinya. Sedangkan objek-objek yang nampak dalam citra terfilter Frost pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih cerah dibandingkan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Lee (Gambar 14). Namun tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Frost masih berada di bawah tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Lee. Filter Frost menganggap bahwa piksel-piksel yang berada di pinggir objek dan menjadi batas dengan objek lainnya sebagai speckle. Tampilan pada Zoom (4x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Frost yang serupa dengan proses generalisasi objek. Efek dari filter Frost menghilangkan objek yang memiliki luasan kecil pada citra polarisasi. Sedangkan pada filter Lee, piksel yang dianggap sebagai speckle adalah piksel yang memiliki nilai intensitas sangat tinggi dari area terang dan nilai intensitas sangat rendah dari area gelap. Zoom (4x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Lee yang serupa dengan proses smoothing tekstur

4 41 objek. Efek dari filter Lee justru akan memperjelas tampilan objek yang memiliki luasan sempit pada citra polarisasi. Dalam mengamati kawasan mangrove, luasan tajuk yang nampak pada citra akan membantu dalam proses identifikasi jenis spesies mangrove tersebut. Luasan tajuk yang nampak per pohon tersebut memiliki luasan yang sempit, yaitu diduga ditampilkan dengan bentuk bulat yang tidak beraturan. Dengan demikian proses pengolahan citra selanjutnya akan menggunakan citra polarisasi HH dan VV yang terfilter Lee. 5.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Citra TerraSAR-X Penafsiran Visual Penutupan Lahan Suatu objek di permukaan bumi pada citra satelit dapat dikenali secara visual dengan mengetahui karakteristik atau atribut masing-masing objek. Karakteristik objek pada citra disebut elemen interpretasi citra. Elemen yang digunakan yaitu tone (warna), bentuk, ukuran, tekstur, pola, site (lokasi), dan asosiasi. Penafsiran visual dilakukan pada citra TerraSAR-X pada perekaman tahun 2007 di Desa Sawohan dengan luasan 247,4 Ha dengan bantuan citra Quickbird yang terdapat pada google earth. Proses klasifikasi visual ini menggunakan klasifikasi manual pada software ENVI v4.7. Dalam melakukan penafsiran citra secara visual, terutama proses digitasi poligon, tingkat kemampuan menafsir citra tergantung kepada kemampuan mengidentifikasikan perubahan elemen interpretasi sebagai parameter citra yang dipengaruhi oleh perbedaan spektral setiap objek. Salman (2001) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil penafsiran visual, yaitu ragam jenis tutupan lahan, keberadaan alat bantu, dan penafsir. Ragam jenis tutupan lahan dapat dikategorikan tetap dikarenakan pada suatu wilayah ragam jenis tutupan lahan cenderung tetap. Desa Sawohan memiliki ragam jenis tutupan lahan yang tidak terlalu banyak, yaitu berupa tambak dan mangrove sebagai penutupan lahan yang dominan pada daerah tersebut. Sementara penafsir pada umumnya memiliki kemampuan yang berbeda pada tiap individu. Keberadaan manual sebagai alat bantu penafsiran visual menjadi penting ketika penafsir yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Kualitas hasil penafsiran tutupan lahan

5 42 kemudian ditentukan oleh kualitas alat bantu penafsiran, dalam hal ini manual penafsiran tutupan lahan. Hasil penafsiran visual menghasilkan 5 jenis tutupan lahan, yaitu: padang rumput, tanah terbuka, sungai, vegetasi mangrove, dan tambak. Hasil penafsiran visual dapat dilihat pada gambar 16. Gambar 16 Peta hasil penafsiran visual citra TerraSAR-X high resolution di Kabupaten Sidoarjo. Kelas interpretasi badan air merupakan seluruh kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, dan padang lamun (lumpur pantai) (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa badan air yang terdapat di lapangan hanya berupa sungai, yaitu sungai Bluru. Sungai pada citra RGB HH - VV - HH-VV memiliki kenampakan warna hijau atau hijau gelap mendekati hitam, bentuknya berkelak-kelok cenderung tidak teratur dengan ukuran kecil memanjang dengan tekstur halus. Tambak memiliki warna hajau atau hijau gelap mendekati hitam, dimana warna ini sama seperti pada objek sungai, namun berbeda dalam hal bentuk. Tambak memiliki bentuk kotak atau persegi dengan pola yang lebih teratur dan berkelompok. Persamaan warna (tone) pada objek sungai dan tambak disebabkan karena kedua objek sama-sama terdiri atas air sebagai media penyusunnya, sehingga pada wahana penerima (receiver) dikenali sebagai objek yang sama dan mempunyai nilai digital number yang mirip.

6 43 Kelas interpretasi hutan mangrove merupakan seluruh kenampakan hutan bakau, nipah dan nibung (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa hutan mangrove terdapat di lapangan berupa tegakan pohon mangrove di pinggir sungai dan galangan tambak yang bercampur dengan pohon lain sebagai pelindung. Secara umum kawasan mangrove memiliki warna ungu, merah muda hingga merah keputih-putihan dan merah kekuning-kuningan. Bentuknya adalah poligon tidak beraturan dengan ukuran kecil mengelompok dan bertekstur kasar. Kelas interpretasi lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) dan lahan terbuka bekas kebakaran (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa lahan terbuka yang terdapat di lapangan berupa area galangan tambak yang tidak bervegetasi dan area tambak yang telah mengering sehingga akan tampak pada citra sebagai suatu area tanah kosong. Tutupan lahan terbuka umumnya memiliki penampakan warna biru hingga biru muda dengan bentuk poligon yang tidak beraturan dan pola yang menyebar. Kelas interpretasi padang rumput merupakan kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput kadang dengan sedikit semak atau pohon (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa padang rumput di lapangan terdapat pada area tambak yang sudah tidak dipakai lagi dan dibiarkan, sehingga ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Selain itu pada galangan tambak juga ditumbuhi oleh rumputrumput pendek yang diselingi dengan pohon mangrove. Tutupan lahan rumput ini umumnya memiliki penampakan warna kuning hingga kuning keputihan dengan bentuk poligon tidak beraturan dan pola yang menyebar. Dari hasil penafsiran visual tersebut diperoleh luasan masing-masing tutupan lahan pada daerah penelitian yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luasan hasil interpretasi visual tutupan lahan Jenis tutupan lahan Luas (Ha) Persentase (%) Padang rumput 15,3 6,2 Tanah terbuka 7,93 3,2 Sungai 11,8 4,8 Vegetasi mangrove 76,5 30,9 Tambak 135,9 54,9 Total 247,4 100

7 44 Data luasan penutupan lahan Desa Sawohan pada Tabel 6 merupakan hasil dari digitasi poligon pada citra TerraSAR-X. Hasilnya menunjukkan bahwa tambak merupakan objek yang terluas dalam penutupan lahan pada area penelitian ini dengan luas total 135,9 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa 54,9 % dari 247,4 Ha keseluruhan luas area penelitian merupakan tambak. Sementara hutan mangrove yang masuk ke dalam kelas area bervegetasi dengan luasan 76,5 Ha atau sebesar 30,9 % dari luas total area penelitian. Area bervegetasi ini selain terdiri dari mangrove juga terdapat semak belukar yang tingginya mencapai 5 meter dan campuran vegetasi mangrove atau pohon besar dengan rerumputan pendek. Sementara untuk rumput yang terdapat pada galangan tambak maupun yang tumbuh di tengah-tengah tambak mempunyai luasan 15,3 Ha atau sebesar 6,2 %. Sungai Bluru dan tanah kosong yang tidak ditumbuhi vegetasi apapun masingmasing hanya mempunyai luasan sebesar 11,8 Ha dan 7,9 Ha. Beberapa tutupan lahan yang telah diamati di lapangan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Beberapa pengamatan penutupan lahan di lapangan No Penutupan Tampilan pada citra Pengamatan di lapangan lahan TerraSAR-X 1 Tanah kosong 2 Sungai

8 45 Tabel 8 (lanjutan) 3 Tambak 4 Vegetasi mangrove dominasi Avicennia sp. 5 Vegetasi mangrove dominasi Rhizophora sp. 6 Vegetasi mangrove dominasi Hibiscus tiliaceus

9 46 Tabel 8 (lanjutan) 7 Vegetasi mangrove dominasi Xylocarpus sp. 8 Rumput Klasifikasi Digital Citra TerraSAR-X Analisis Digital Analisis digital digunakan untuk memperoleh informasi mengenai besarnya kisaran nilai digital (digital number/dn) dari masing-masing kelas tutupan lahan. Dalam konteks ini kelas-kelas tersebut adalah region of interest yang telah ditentukan dari masing-masing kelas. Dengan diketahuinya besaran kisaran nilai digital number tersebut maka akan diketahui karakteristis spektral dari setiap kelas tutupan lahan terhadap band yang dimiliki oleh suatu sensor satelit. Karakteristik spektral setiap kelas dari citra TerraSAR-X dapat dilihat pada Gambar 17.

10 47 a b Gambar 17 Histogram masing-masing kelas pada polarisasi HH [a] dan VV [b]. Berdasarkan pada gambar 16, nilai digital number pada polarisasi HH dan VV dapat membedakan kepekaan terhadap obyek vegetasi dengan obyek yang lain. Nilai digital number obyek vegetasi pada polarisasi HH atau VV mempunyai selang nilai yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pada polarisasi HH maupun VV obyek vegetasi mempunyai karakteristik spektral yang sangat bervariasi karena vegetasi tersebut tersusun atas spesies vegetasi yang sangat bervariasi pula. Namun dari nilai digital number yang bervariasi ini, frekuensinya mengumpul ke suatu nilai. Hal ini dapat menjelaskan nilai digital number pada vegetasi yang dominan pada area tersebut. Tampak pada gambar di atas bahwa pada polarisasi HH mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada suatu nilai digital number tertentu dibandingkan dengan polarisasi VV. Pada obyek rumput terlihat nilai digital number antara polarisasi HH dan VV sangat kontras. Rumput pada polarisasi HH nilai digital numbernya menjulur ke kiri yang menyatakan nilainya mengumpul di angka yang rendah, sehingga pada citra tampak lebih gelap. Sedangkan rumput pada band VV nilai digital numbernya mengumpul di angka yang tinggi, sehingga pada citra tampak lebih terang. Selang nilai digital number pada polarisasi HH juga terlihat lebih panjang dibandingkan dengan polarisasi VV. Pada obyek tanah kosong nilai digital number juga kontras antara band HH dan VV, namun tidak begitu mencolok. Hal ini dikarenakan frekuensinya lebih rendah bila dibanding dengan obyek rumput. Pada polarisasi HH nilainya cenderung menjulur ke kanan dengan nilai frekuensi

11 48 yang hampir merata. Sedangkan pada polarisasi VV cenderung ke kiri dengan nilai frekuensinya sedikit mengumpul di suatu nilai. Pada objek sungai dan tambak mempunyai bentuk histogram yang hampir sama. Sehingga dari visual terlihat tidak ada perbedaan antara polarisasi HH dan polarisasi VV. Namun perbedaan objek tersebut antar polarisasi dapat dilihat lebih detail dari nilai statistiknya. Nilai statistik setiap kelas tutupan lahan ditampilkan pada tabel 9. Tabel 9 Nilai DN hasil analisis statistik setiap kelas tutupan lahan Kelas Polarisasi DN Min DN Max DN Mean Std dev Tambak HH ,0 13,1 VV ,9 13,4 Rumput HH ,2 44,45 VV ,1 82,5 Tanah HH ,6 81,9 VV ,6 35,2 Sungai HH ,1 13,9 VV ,0 12,2 Mangrove HH ,4 83,5 VV ,6 81,7 Pada band HH terlihat perbedaan yang sangat kontras antara nilai digital number rata-rata obyek yang bervegetasi dan tidak. Obyek yang bervegatasi menunjukkan nilai digital number rata-rata yang tinggi. Sedangkan objek yang tidak bervegetasi menunjukkan nilai rata-rata digital number yang cenderung lebih rendah. Namun hal ini berbeda pada objek tanah kosong, nilai digital number pada polarisasi HH ini cenderung lebih tinggi, yaitu mencapai 180 dan menyerupai nilai digital number pada objek vegetasi. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai standar deviasinya yang tinggi yaitu 91,4. Sedangkan pada objek yang tidak bervegetasi lainnya, yaitu pada objek tambak dan sungai mempunyai nilai digital number yang cenderung lebih rendah dan nilainya di bawah 50. Pada band VV perbedaan nilai digital number antara obyek yang bervegetasi dan tidak bervegetasi tidak begitu kontras. Pada areal yang bervegetasi nilai digital number rata-ratanya mencapai 212,0. Sementara untuk obyek tanah, nilai digital number rata-ratanya lebih besar dibanding dengan obyek rumput, yaitu sebesar 179,2, sedangkan untuk obyek rumput sebesar 82,5. Pada obyek tambak dan sungai nilai digital number rata-ratanya masing-masing sebesar 51,5 dan 93,9.

12 Analisis Separabilitas Analisis separabilitas ini merupakan analisis dalam klasifikasi untuk mengetahui tingkat atau daya keterpisahan bagi semua pasangan kelas yang disajikan dalam bentuk matriks. Tujuan dari analisis separabilitas ini adalah untuk membuat kelas-kelas penutupan lahan yang benar-benar terpisahkan satu dengan yang lain. Semakin besar nilai keterpisahan antar kelas berarti semakin baik hasil klasifikasi tersebut dan setiap kelas dapat dibedakan dengan jelas. Evaluasi separabilitas dari 5 kelas penutupan lahan dari hasil penafsiran secara visual pada citra TerraSAR-X menggunakan metode transformed divergence dapat dilihat dalam tabel 10. Tabel 10 Nilai separabilitas transformed divergence pada citra TerraSAR-X Kelas Tambak Rumput Tanah Sungai Mangrove Tambak - 1,999 1,939 0,011* 1,877 Rumput 1,999-1,999 1,999 1,619 Tanah 1,939 1,999-1,963 1,803 Sungai 0,011* 1,999 1,923-1,890 Mangrove 1,877 1,619 1,803 1,890 - Pengelompokan piksel pada citra TerraSAR-X ke dalam 5 kelas penutupan lahan yang berbeda pada kombinasi band HH dan VV dengan metode transformed divergence memberikan nilai separabilitas yang berkisar dari 0 sampai 2,0. Hal ini menunjukkan seberapa baik keterpisahan antara pasangan kelas penutupan lahan. Nilai yang lebih besar dari 1,9 menunjukkan bahwa pasangan kelas penutupan lahan terpisah dengan sangat baik. Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan tambak dan sungai bernilai sangat kecil, yaitu sebesar 0,011. Hal itu berarti kedua obyek tersebut sulit untuk dipisahkan karena sifat medianya yang sama yaitu air. Akan tetapi jika diinterpretasi secara visual menggunakan kunci interpretasi pola dan bentuk kedua objek tersebut dapat dibedakan dengan jelas. Sungai yang mempunyai pola berliku-liku tidak teratur dan memanjang sedangkan tambak mempunyai pola yang lebih teratur dan berbentuk segi empat. Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan berupa rumput dan mangrove juga menunjukkan nilai yang kecil, yaitu sebesar 1,619. Nilai keterpisahan yang paling besar pada kedua metode tersebut ditunjukkan pada

13 50 kelas penutupan lahan rumput dengan tambak, tanah terbuka dan sungai, yaitu sebesar 1,999. Hal itu menunjukkan kedua obyek tersebut dapat dibedakan dengan sangat baik. Secara umum, urutan pasangan kelas yang dimulai dari tidak dapat dipisahkan hingga dapat dipisahkan dengan sangat baik adalah tambak-sungai, rumput-mangrove, sungai-mangrove, tambak-mangrove, tambak-rumput, tanahmangrove, rumput-sungai, tanah-sungai, tambak-tanah dan rumput-tanah. Ratarata nilai keterpisahan kelas penutupan lahan pada metode metode Transformed Divergence sebesar 1,710. Hal tersebut dikarenakan beberapa kelas tutupan lahan yang kurang dapat dipisahkan dengan baik, terutama kelas tutupan lahan tambak dengan sungai dan rumput dengan mangrove Metode Klasifikasi Terbimbing Citra TerraSAR-X Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi kuantitatif dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Beberapa model klasifikasi terbimbing diterapkan untuk mencari nilai akurasi yang paling tinggi dengan menggunakan data dari hasil penafsiran visual pada citra TerraSAR-X sebagai data acuannya. Diantaranya adalah metode klasifikasi maximum likelihood, mahalanobis distance, minimum distance, parallelepiped dan Support Vector Machine (SVM). Besarnya nilai overall accuracy dan koefisien kappa pada masing-masing model terdapat dalam tabel 11. Tabel 11 Nilai overall accuracy dan koefisien kappa setiap model Metode klasifikasi terbimbing Overall accuracy Koefisien kappa (%) Maximum likelihood 71,10 0,4963 Mahalanobis distance 68,39 0,4927 Minimum distance 73,74 0,5352 Parallelepiped 70, Support Vector Machine (SVM) 77,93* 0,5885* Evaluasi keakuratan hasil penafsiran visual tutupan lahan digunakan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan

14 51 besarnya persentase keakuratan hasil penafsiran. Terlihat pada tabel 11 bahwa nilai overall accuracy atau akurasi secara keseluruhan metode Support Vector Machine (SVM) adalah paling besar, yaitu 77,93 % dengan akurasi kappa sebesar 58,85 %. a. Support Vector Machine (SVM) Support vector machine (SVM) adalah sistem pembelajaran yang menggunakan ruang hipotesis berupa fungsi-fungsi linier dalam sebuah ruang fitur (feature space) berdimensi tinggi, dilatih dengan algoritma pembelajaran yang didasarkan pada teori optimasi dengan mengimplementasikan learning bias yang berasal dari teori pembelajaran statistik (Christianini dalam Sembiring 2007). Support Vector Machine (SVM) pertama kali diperkenalkan oleh Vapnik pada tahun 1992 sebagai rangkaian harmonis konsep-konsep unggulan dalam bidang pattern recognition. Learning machine SVM bekerja atas prinsip structural risk minimization (SRM) dengan tujuan menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan dua buah class pada input space. Pattern recognition merupakan salah satu bidang dalam komputer sains, yang memetakan suatu data ke dalam konsep tertentu yang telah didefinisikan sebelumnya. Konsep tertentu ini disebut class atau category. Berbagai metode dikenal dalam pattern recognition, seperti linear discrimination analysis, hidden markov model hingga metode kecerdasan buatan seperti artificial neural network. Namun salah satu metode yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian sebagai state of the art dalam pattern recognition adalah Support Vector Machine (SVM). b. Akurasi Support Vector Machine (SVM) Berdasarkan hasil penelitian JAXA pada tahun 2009 tentang klasifikasi penutupan lahan di Riau dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, metode Support Vector Machine (SVM) merupakan metode klasifikasi terbaik. Secara prinsip SVM adalah linear classifier, pattern recognition dilakukan dengan mentransformasikan data pada input space ke ruang yang berdimensi lebih tinggi, dan optimisasi dilakukan pada ruang vector yang baru tersebut. Hal ini membedakan SVM dari solusi pattern recognition pada

15 52 umumnya, yang melakukan optimisasi parameter pada ruang hasil transformasi yang berdimensi lebih rendah daripada dimensi input space. Hasil confusion matrix dari klasifikasi Support Vector Machine (SVM) dengan menggunakan citra TerraSAR-X polarisasi HH dan VV rekaman tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12 Confusion matrix ground truth pada metode Support Vector Machine (SVM) No Kelas Tambak dan Padang Tanah Vegetasi Total sungai rumput lapang mangrove (piksel) (piksel) (piksel) (piksel) (piksel) 1 Tambak dan sungai (piksel) Padang rumput (piksel) Tanah lapang (piksel) Vegetasi mangrove (piksel) Total (piksel) Producer s accuracy (%) User s accuracy (%) Overall accuracy(%) Kappa accuracy (%) 58,85 Nilai akurasi umum (overall accuracy) untuk hasil klasifikasi terbimbing menggunakan metode Support Vector Machine (SVM) pada citra TerraSAR-X adalah sebesar 77,93 %, sedangkan untuk nilai akurasi kappa adalah sebesar 58,85 %. Perhitungan akurasi kappa dilakukan karena nilai akurasi umum cenderung over estimate (Liu et al. 2009). Akurasi kappa ini dihitung menggunakan semua elemen dalam matriks kesalahan, sehingga perhitungan akurasinya lebih baik. Agar hasil penafsiran visual kelas tutupan lahan tersebut dapat digunakan, maka besarnya nilai akurasi harus lebih besar dari 85%. Hasil akurasi yang diperoleh ternyata masih kurang dari 85%. Kecilnya nilai akurasi ini disebabkan karena adanya kesalahan pada proses klasifikasi. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai kesalahan komisi yang berarti deliniasi objek yang dilakukan kurang tepat. Contohnya pada objek tanah yang memiliki nilai akurasi pengguna hanya sebesar 23,29 %. Semakin tingginya resolusi citra dapat memungkinkan suatu objek akan terciri dengan sangat detail, sehingga akan

16 53 menuntut proses digitasi poligon untuk lebih detail lagi. Misalnya pada daerah tambak atau sungai. Adanya gulma atau tanaman yang di atas perairan tambak akan terekam pada citra sebagai rumput karena nilai digital number hampir sama, sehingga dalam evaluasi akurasi akan dihitung sebagai suatu kesalahan, karena dalam penafsiran secara visual masuk ke dalam kelas tambak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Adanya rumput atau gulma pada tengah tambak juga akan sangat menyulitkan pada proses digitasi poligon, karena keberadaannya merata dan tidak mengelompok, tetapi menyebar dengan jumlah yang kecil-kecil. Selain itu ada juga tambak yang telah mengering karena sudah melewati masa panen ikan dan belum dilakukan irigasi kembali, sehingga mempunyai nilai digital number yang hampir sama dengan tanah kosong. Jumlah polarisasi yang hanya dual polarization yaitu HH dan VV menyebabkan terbatasnya resolusi spektral pada citra TerraSAR-X ini. Dibandingkan dengan citra optik seperti citra landsat jumlah bandnya jauh lebih sedikit. Citra landsat mempunyai jumlah band sebanyak 7. Sedangkan citra radar yang ada sampai sekarang ini adalah full polarization dengan jumlah polarisasi sebanyak 4. Terbatasnya resolusi spektral ini menyebabkan tampilan pada citra banyak terdapat noise, sehingga walaupun suat citra radar mempunyai resolusi spasial yang tinggi akan terlihat sebagai objek yang berbintil-bintil. Hal ini dapat mengurangi tingkat akurasi pada saat proses klasifikasi citra.

17 54 Tabel 13 Objek di lapangan yang mempengaruhi keakuratan hasil klasifikasi No Keterangan Objek Tampilan TerraSAR-X Tampilan Quickbird 1 Tambak yang telah mengering 2 Tampilan di lapangan Gulma yang ada di tambak 54

18 Metode Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra TerraSAR-X Klasifikasi tidak terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu sendiri. Metode klasifikasi tidak terbimbing yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode k-means. Pada metode ini, menurut Henry (2011) klaster yang harus disediakan agar algoritma ini dapat mengelompokkan data adalah k. Pengelompokan dilakukan berdasarkan centroid atau titik pusat massanya. Titik pusat massa ini berupa rerata (mean) dari sekumpulan data yang telah dikelompokkan ke beberapa klaster. Sehingga nilai pusat titik massa ini akan berubah-ubah hingga mencapai titik dimana pusat titik massa tidak lagi mengalami perubahan. Kelas awal yang dibentuk pada klasifikasi k-means dalam penelitian ini sebanyak 4 kelas. Gambar 18 Hasil klasifikasi k-means dengan 4 kelas tutupan lahan. Berdasarkan hasil klasifikasi k-means dengan menggunakan 4 kelas, seperti yang tampak pada Gambar 18, nilai overall accuracy didapatkan sebesar 45,09 % dan kappa coefficient sebesar 0,27. Nilai akurasi ini lebih kecil jika dibandingkan dengan proses klasifikasi terbimbing. Hal ini disebabkan dengan banyaknya kesalahan yang terjadi baik pada kesalahan komisi maupun keslahan omisi. Besarnya nilai kesalahan-kesalahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.

19 56 Tabel 14 Confusion matrix ground truth pada metode k-means No Kelas Tambak Padang Tanah Vegetasi Total dan sungai rumput lapang mangrove (piksel) (piksel) (piksel) (piksel) (piksel) 1 Tambak dan sungai (piksel) Padang rumput (piksel) Tanah lapang (piksel) Vegetasi mangrove (piksel) Total (piksel) Producer s accuracy (%) 38,16 25,15 24,22 64,76 User s accuracy (%) 97,30 4,56 4,37 79,55 Overall accuracy(%) 45,09 Kappa accuracy (%) 27,34 Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pada tanah lapang memiliki nilai akurasi yang terkecil dengan akurasi pengguna hanya sebesar 4,37 %. Sedangkan untuk akurasi pembuatnya, tanah lapang memiliki akurasi hanya sebesar 24,22 %. Besarnya nilai kedua akurasi ini rata-rata kecil. Hanya pada objek tambak dan sungai yang mempunyai nilai akurasi yang besar, yaitu sebesar 97,30 % pada akurasi penggunanya. Sedangkan untuk akurasi pembuatnya objek tambak dan sungai masih memiliki akurasi yang kecil yaitu hanya 38,16 %. Dengan besarnya nilai-nilai akurasi tersebut menghasilkan akurasi secara keseluruhan hanya sebesar 45,09 %. Hasil ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing. Kecilnya akurasi klasifikasi tidak terbimbing ini disebabkan karena dalam proses klasifikasi tidak mempertimbangkan kehomogenan dari piksel-piksel yang diklasifikasi. Pada area badan air seperti tambak dan sungai masih banyak terdapat piksel yang teridentifikasi rumput. Sedangkan dalam proses penafsiran visual, adanya rumput atau gulma yang terdapat di tengah tambak diabaikan. Hal ini karena jumlah rumput atau gulmanya berbentuk kecil-kecil dan menyebar merata, sehingga sangat menyulitkan dalam proses digitasi poligon. 5.4 Klasifikasi dan Identifikasi Spesies Hutan Mangrove Mangrove merupakan tumbuhan tropis dan komunitas tumbuhnya di daerah pasang surut sepanjang garis pantai seperti tepi pantai, muara, laguna, dan

20 57 tepi sungai sehingga pada waktu pasang sedang naik mudah tergenangi air laut, itu sebabnya hutan ini disebut hutan pasang atau mangrove. Hutan mangrove yang terletak di Desa Sawohan, Sidoarjo adalah contoh hutan yang berada di tepi sungai, dekat dengan muara sungai. Hal ini sesuai dengan pernyataan FAO (1982) dan Nontji (1993) yaitu mangrove tersusun atas jenis tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove hanya bisa ditemukan di pantai yang terlindung dan terletak diantara garis pasang-surut pada daerah estuari, pulau tengah laut yang terlindung dan beberapa pulau karang mangrove sangat jarang ditemukan di daerah yang terbuka Analisis Separabilitas Pada citra RGB dengan susunan HH - VV - HH-VV menampilkan sejumlah objek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan berdasarkan spektral dari objek, sehingga dapat ditafsir secara visual keberadaan kawasan mangrove kemudian dilakukan pemotongan pada kawasan tersebut. Objek-objek yang mampu diinterpretasi dari citra RGB tersebut dengan bantuan data hasil ground check di beberapa titik di lapangan tersaji pada Tabel 15. Identifikasi ini memberikan informasi jenis spesies penyusun mangrove di lapangan. Tabel 15 Identifikasi objek mangrove pada citra RGB dengan susunan HH - VV - HH-VV No Objek Identifikasi objek 1 Avicennia sp. Warna merah keunguan, tekstur kasar, bentuk poligon tidak beraturan kecil dan menyebar 2 Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. Warna merah muda, tekstur agak kasar, bentuk poligon tidak beraturan dan besar 3 Hibiscus tiliaceus Warna merah keputihan, tekstur halus, bentuk poligon tidak beraturan dan mengumpul 4 Semak dan rerumputan Warna kekuning-kuningan, tekstur agak kasar, bentuk poligon tidak beraturan kecil dan menyebar Pada penelitian ini, proses ekstraksi kawasan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi yang menghasilkan nilai akurasi terbesar pada proses analisis penutupan lahan sebelumnya. Metode yang menghasilkan nilai akurasi terbesar ternyata adalah metode Support Vector Machine (SVM) pada klasifikasi terbimbing, sehingga setelah ditentukan daerah yang akan dijadikan sebagai training area kemudian dilakukan proses klasifikasi Support Vector Machine (SVM). Tabel nilai separabilitas dapat dilihat pada Tabel 16.

21 58 Tabel 16 Nilai separabilitas transformed divergence pada hutan mangrove X.molucensis Avicennia Hibiscus Kelas dan alba tiliaceus R.mucronata Semak dan rerumputan Avicennia sp. - 0,943* 1,999 1,999 Xylocarpus sp dan Rhizophora sp. 0,943* - 1,925 1,984 Hibiscus tiliaceus 1,999 1,925-1,754 Semak dan rerumputan 1,999 1,984 1,754 - Dari hasil analisis separabilitas dengan metode transformed divergence, objek Avicennia sp. dengan objek Xylocarpus sp. maupun Rizophora sp. kurang dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai separabilitas menggunakan kedua metode nilainya di bawah 1. Sehingga kedua objek ini perlu digabung menjadi satu kelas. Sedangkan pada objek Hibiscus tiliaceus dan semak menunjukkan bahwa kedua objek tersebut masih dapat dipisahkan dengan cukup baik. Pola yang dibentuk dan rona dari kedua jenis spesies tersebut memang mirip, hal ini sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Pada spesies waru bentuk tajuknya sangat rimbun dan tidak terlalu tinggi. Sedangkan pada semak-semak yang terdiri dari bermacam-macam spesies semak tajuknya juga rimbun. Sehingga pada citra tampak kedua objek ini hampir mirip, namun masih dapat dipisahkan Pengamatan Objek Mangrove Nilai intensitas piksel-piksel dari citra yang berada pada salah satu lapisan citra RGB memiliki pola fluktuasi yang khas untuk objek tertentu. Pengamatan tersebut dapat dilihat menggunakan horizontal profile. Horizontal profile (HP) adalah grafik yang menggambarkan nilai intensitas piksel dari beberapa sampel yang terentang searah sumbu x, pada suatu line tertentu dari citra (Pusparini 2010). Pada citra gray scale, baik citra dual polarimetry maupun citra sintetik, nilai intensitas digambarkan dengan satu garis grafik. Fluktuasi nilai intensitas pada citra tersebut menunjukkan tingkat kecerahan citra rona dari pikselpikselnya. Pengamatan horizontal profile dan citra gray scale menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai intensitas suatu piksel, maka rona pada citra tersebut semakin cerah. Pada citra RGB, horizontal profile digambarkan dengan 3 garis grafik dengan warna berbeda. Nilai intensitas piksel-piksel pada citra yang menempati lapisan red, green dan blue masing-masing digambarkan dengan garis grafik berwarna merah, hijau dan biru.

22 59 Tabel 17 Hasil pengamatan setiap kelas mangrove pada citra, horizontal profile dan di lapangan No Kelompok Objek di citra Horizontal profile mangrove TerraSAR-X 1 Avicennia sp. Objek di lapangan 59

23 60 Tabel 17 (lanjutan) 2 Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. 60

24 61 Tabel 17 (lanjutan) 3 Hibiscus tiliaceus 61

25 62 Tabel 17 (lanjutan) 4 Semak dan rerumputan 62

26 63 Hasil pengamatan horizontal profile pada Tabel 17 menunjukkan 3 buah garis, yaitu garis merah mewakili lapisan red dengan band HH, garis hijau mewakili lapisan green dengan band VV dan garis biru putus-putus mewakili lapisan blue dengan band HH-VV. Dari grafik tersebut dapat kita ketahui pola dari masing-masing polarisasi terhadap objek-objek yang berbeda. Objek Avicennia sp.yang telah diamati di lapangan penyebarannya berada di galangan tambak atau batas tambak dan sungai. Keberadaan spesies ini jarang dijumpai bercampur dengan spesies lain. Umumnya sejenis dan menggerombol namun tidak terlalu banyak. Spesies Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. Di lapangan keberadaannya memang pada umumnya saling bercampur. Sehingga kedua spesies ini memiliki pola yang tidak teratur. Hal ini memungkinkan adanya spesies lain yang hidup diantara spesies ini. Namun kedua spesies ini mempunyai dominasi yang tinggi. Tanah tempat tumbuh kedua spesies ini umumnya tergenang oleh air. Spesies Hibiscus tiliaceus yang ada di lapangan memiliki pola yang menggerombol sangat besar dan mendominasi tempat tersebut. Jarang dijumpai spesies lain pada gerombolan spesies ini. Kalaupun ada itu adalah tumbuhan bawah yang mampu tumbuh di sela-sela Hibiscus tiliaceus. Semak dan rerumputan yang ada pada kawasan mangrove sedikit berbeda dengan rerumputan yang ada pada bekas tambak atau galangan tambak. Jenis rumput yang tumbuh pada bekas tambak atau galangan tambak lebih pendek dibandingkan jenis rumput yang tumbuh bersama semak-semak pada kawasan mangrove Akurasi Klasifikasi Hutan Mangrove Pada penelitian ini, proses klasifikasi hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi yang menghasilkan nilai akurasi terbesar pada proses analisis penutupan lahan sebelumnya. Metode yang menghasilkan nilai akurasi terbesar ternyata adalah metode Support Vector Machine (SVM) pada klasifikasi terbimbing. Pada proses klasifikasi terbimbing menggunakan metode Support Vector Machine (SVM) kelompok kelas mangrove Avicennia sp. dan kelompok kelas mangrove Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. dijadikan satu kelas. Sehingga dalam proses analisis akurasi hanya menggunakan 3 kelas. Hal tersebut karena dalam analisis separabilitas dan horizontal profile untuk kelas mangrove Avicennia sp. dan kelas mangrove Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp.

27 64 kurang dapat dipisahkan dengan baik. Tabel confusion matrix dari hasil klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Confusion matrix ground truth mangrove pada metode Support Vector Machine (SVM) No Kelas Avicennia sp, Xylocarpus sp dan Hibiscus tiliaceus Semak dan rerumputan Total (piksel) Rhizophora sp (piksel) (piksel) (piksel) 1 Avicennia sp, Xylocarpus sp dan Rhizophora sp (piksel) Hibiscus tiliaceus (piksel) Semak dan rerumputan (piksel) Total (piksel) Producer s accuracy (%) 82,72 86,32 95,49 User s accuracy (%) 84,95 84,64 95,53 Overall accuracy(%) 90,7453 Kappa accuracy (%) 84,30 Untuk melihat besarnya akurasi klasifikasi area contoh mangrove, pada matriks akurasi dari data training area memiliki akurasi pembuat (producer s accuracy) dan akurasi pengguna (user s accuracy). Pada tabel 14 terlihat besarnya nilai akurasi pembuat maupun pengguna sudah cukup baik. Namun masih ada yang nilainya kecil. Pada kelompok jenis Avicennia sp. Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. mempunyai nilai akurasi pembuat yang paling kecil, yaitu hanya sebesar 82,72 %. Dengan kecilnya nilai akurasi pembuat maupun akurasi pengguna ini mampu menghasilkan akurasi secara umum sebesar 90,74 % dan akurasi kappa sebesar 84,30 %. Nilai akurasi umum yang cukup tinggi tersebut, yaitu sebesar 90,74 %, diperoleh dari metode klasifikasi dua tahap. Yaitu klasifikasi penutupan lahan secara umum dahulu kemudian klasifikasi suat penutupan lahan secara lebih khusus, dalam kasus ini adalah hutan mangrove. Dengan melakukan klasifikasi secara bertahap atau sering disebut sebagai two stage classification, objek yang bukan merupakan daerah yang sedang fokus diamati dihilangkan. Hal ini dapat mengurangi klasifikasi. besarnya kesalahan yang terjadi pada saat dilakukan proses

28 65 Gambar 19 Peta sebaran kelas mangrove dengan metode klasifikasi support vector machine Pada Gambar 19 menunjukkan sebaran kelompok spesies mangrove yang terdapat pada Desa Sawohan Kecamatan Sidoarjo. Pada daerah tersebut hutan mangrove didominasi oleh rumput dan semak belukar. Rumput dan semak ini juga terdapat pada galangan tambak. Sedangkan untuk jenis Hibiscus tiliaceus mempunyai pola yang menggerombol pada suatu lokasi. Keberadaan kelompok jenis ini juga dapat dikatakan merata. Sedangkan untuk kelompok jenis mangrove Avicennia sp, Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. tidak terlalu dominan pada hutan mangrove di tempat tersebut. Jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan spesies lain dan hidup di antara spesies Hibiscus tiliaceus. Kadang-kadang ketiga spesies ini terdapat pada galangan tambak sebagai pohon pelindung dan batas antar tambak. Hasil dari two stage classification yang berupa klasifikasi penutupan lahan secara umum dan klasifikasi hutan mangrove secara khusus menghasilkan total 7 kelas penutupan lahan. Gambar 20 menunjukkan hasil two stage classification pada seluruh kelas penutupan lahan. Besarnya akurasi klasifikasi keseluruhan ini merupakan rata-rata dari akurasi klasifikasi tahap pertama dan akurasi klasifikasi tahap kedua, yaitu akurasi umum sebesar 84,34 % dan akurasi kappa sebesar 71,58 %.

29 66 Gambar 20 Hasil two stage classification pada seluruh kelas penutupan lahan. 66

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BUDURAN, KABUPATEN SIDOARJO, PROPINSI JAWA TIMUR, DENGAN CITRA TERRASAR-X HIGH RESOLUTION

KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BUDURAN, KABUPATEN SIDOARJO, PROPINSI JAWA TIMUR, DENGAN CITRA TERRASAR-X HIGH RESOLUTION KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BUDURAN, KABUPATEN SIDOARJO, PROPINSI JAWA TIMUR, DENGAN CITRA TERRASAR-X HIGH RESOLUTION Rudi Eko Setyawan*), Nining Puspaningsih *), Muhammad Buce

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth. menggunakan data latih kedua band citra berbasis rona (tone, sehingga didapatkan pohon keputusan untuk citra berbasis rona. Pembentukan rule kedua menggunakan data latih citra berbasis rona ditambah dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN 25 3.1 Eksplorasi Data Lapangan III HASIL DAN PEMBAHASAN Data lapangan yang dikumpulkan merupakan peubah-peubah tegakan yang terdiri dari peubah kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI 3.1 Permasalahan CBIR ( Content Based Image Retrieval) akhir-akhir ini merupakan salah satu bidang riset yang sedang berkembang pesat (Carneiro, 2005, p1). CBIR ini menawarkan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

Sumber bacaan 4/30/2012. Minggu 10: Klasifikasi Data Citra KOMBINASI WARNA

Sumber bacaan 4/30/2012. Minggu 10: Klasifikasi Data Citra KOMBINASI WARNA Minggu 10: Klasifikasi Data Citra Proses Sebelum Klasifikasi Koreksi Geometri Koreksi Radiometri Koreksi Topografi Penajaman Citra Minggu 9 Klasifikasi Pemilihan Kombinasi warna Teknik Klasifikasi Visual

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu kelompok tumbuhan berkayu, yang tumbuh di zona tropika dan subtropika terlindung dan memiliki semacam bentuklahan pantai, bertipe tanah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Prinsip Kerja Sistem Prinsip kerja sistem yaitu dengan melakukan pengambilan data berupa foto fisik dari permukaan buah manggis kemudian melakukan sampling data

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA HASNAH(12110738) Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, STMIK Budidarma Medan Jl. Sisingamangaraja No. 338

Lebih terperinci

DETEKSI NOMINAL MATA UANG DENGAN JARAK EUCLIDEAN DAN KOEFISIEN KORELASI

DETEKSI NOMINAL MATA UANG DENGAN JARAK EUCLIDEAN DAN KOEFISIEN KORELASI DETEKSI NOMINAL MATA UANG DENGAN JARAK EUCLIDEAN DAN KOEFISIEN KORELASI Marina Gracecia1, ShintaEstriWahyuningrum2 Program Studi Teknik Informatika Universitas Katolik Soegijapranata 1 esthergracecia@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB II TI JAUA PUSTAKA BAB II TI JAUA PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menunjang tugas akhir ini. Antara lain yaitu pengertian citra, pengertian dari impulse noise, dan pengertian dari reduksi noise.

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Image Enhancement Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA Copyright @ 2007 by Emy 2 1 Kompetensi Mampu membangun struktur data untuk merepresentasikan citra di dalam memori computer Mampu melakukan manipulasi citra dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Istilah citra biasanya digunakan dalam bidang pengolahan citra yang berarti gambar. Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, di mana dan adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Oktober, 2013) ISSN: 2301-9271 Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 Latri Wartika

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PRAKTEK INDERAJA TERAPAN

LAPORAN PRAKTIKUM PRAKTEK INDERAJA TERAPAN LAPORAN PRAKTIKUM PRAKTEK INDERAJA TERAPAN Dosen Pengampu : Bambang Kun Cahyono S.T, M. Sc Dibuat oleh : Rahmat Muslih Febriyanto 12/336762/SV/01770 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK GEOMATIKA SEKOLAH VOKASI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengolahan Citra Digital [3] Citra atau gambar didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi, f(x,y), di mana x dan y adalah koordinat bidang datar, dan harga fungsi f di setiap

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Citra menurut kamus Webster adalah suatu representasi atau gambaran, kemiripan, atau imitasi dari suatu objek atau benda, contohnya yaitu foto seseorang dari kamera yang

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN

PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB 4 HASIL DAN ANALISA BAB 4 HASIL DAN ANALISA 4. Analisa Hasil Pengukuran Profil Permukaan Penelitian dilakukan terhadap (sepuluh) sampel uji berdiameter mm, panjang mm dan daerah yang dibubut sepanjang 5 mm. Parameter pemesinan

Lebih terperinci

Operasi dalam Erdas 12/18/2011 IMAGE ENHANCEMENT (PENAJAMAN CITRA) A. Radiometric Enhancement. a. Histogram Match Mengapa perlu Histogram Match :

Operasi dalam Erdas 12/18/2011 IMAGE ENHANCEMENT (PENAJAMAN CITRA) A. Radiometric Enhancement. a. Histogram Match Mengapa perlu Histogram Match : IMAGE ENHANCEMENT (PENAJAMAN CITRA) Lilik Budi Prasetyo Email : lbpras@indo.net.id http://lbprastdp.staff.ipb.ac.id Mengapa perlu image enhancement? Tujuan : untuk memudahkan memahami citra dan melakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan 36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan minyak Montara yang dipasang di Laut Timor. Laut Timor merupakan perairan yang

Lebih terperinci

Metode Klasifikasi Digital untuk Citra Satelit Beresolusi Tinggi WorldView-2 pada Unit Pengembangan Kertajaya dan Dharmahusada Surabaya

Metode Klasifikasi Digital untuk Citra Satelit Beresolusi Tinggi WorldView-2 pada Unit Pengembangan Kertajaya dan Dharmahusada Surabaya JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Metode Klasifikasi Digital untuk Citra Satelit Beresolusi Tinggi WorldView-2 pada Unit Pengembangan Kertajaya dan Dharmahusada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS Pada penelitian ini, citra kajian dibagi menjadi dua bagian membujur, bagian kiri (barat) dijadikan wilayah kajian dalam penentuan kombinasi segmentasi terbaik bagi setiap objek

Lebih terperinci

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a Lilik Budi Prasetyo Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan-IPB, PO.Box 168 Bogor, Email

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... v HALAMAN PERNYATAAN... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii INTISARI... viii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Prinsip Kerja Sistem Prinsip kerja sistem diawali dengan pembacaan citra rusak dan citra tidak rusak yang telah terpilih dan dikumpulkan pada folder tertentu.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengolahan data Biomassa Penelitian ini dilakukan di dua bagian hutan yaitu bagian Hutan Balo dan Tuder. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan diperoleh dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Subset citra QuickBird (uint16).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Subset citra QuickBird (uint16). 5 Lingkungan Pengembangan Perangkat lunak yang digunakan pada penelitian ini adalah compiler Matlab versi 7.0.1. dengan sistem operasi Microsoft Window XP. Langkah persiapan citra menggunakan perangkat

Lebih terperinci