BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 27 BAB II LANDASAN TEORI A. PRASANGKA 1. Pengertian Prasangka Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Brehm dan Kassin dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap target prasangka semata-mata berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Ini berarti bahwa prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan pada karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol. Menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap perasaan orangorang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka terdiri dari sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah

2 28 lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka yang pada mulanya hanya merupakan sikap perasaan negatif itu lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Sherif dan Sherif dalam Ahmadi (1991) mengemukakan bahwa prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Lebih lanjut Sherif menjelaskan bahwa prasangka disini dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar (outgroup). Dalam penelitian ini, prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi. Target prasangka jelas adalah golongan etnis Pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini merupakan prasangka rasial. 2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka Menurut Soeboer (1990) terdapat beberapa pendekatan teoritik yang membahas masalah prasangka dan diskriminasi. Secara garis besar, pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Pendekatan Sosial

3 29 Pendekatan sosial berusaha menerangkan bagaimana diskriminasi dilahirkan serta dipelihara oleh lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya dan terpeliharanya prasangka dan diskriminasi diantaranya dapat ditinjau dari : 1. Teori ketidaksamaan sosial (social inequalities) Teori ini beranggapan bahwa ketidak samaan status akan menghasilkan prasangka. Para budak dianggap bodoh, tidak bertanggung jawab, tidak memiliki ambisi oleh majikan mereka. Anggapan ini tetap dipertahankan agar struktur sosial yang telah mapan (menguntungkan para majikan) terpelihara. Dengan demikian prasangka terhadap kelompok bawah dapat dipakai untuk membenarkan superioritas ekonomi dan sosial bagi mereka yang kaya dan memiliki kekuasaan (Myers dalam Soeboer, 1990) 2. Teori konflik realistik (realistic conflict theory) Menurut teori ini, kompetensi antar kelompok merupakan lahan subur bagi timbulnya prasangka. Kompetisi ini lahir karena sumber daya yang dianggap bernilai oleh manusia pada kenyataannya memiliki jumlah yang terbatas. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kompetisi antar berbagai kelompok sosial untuk memperebutkan sumber daya yang dianggap berharga sekaligus terbatas tersebut. Dengan adanya kompetensi antar kelompok, individu dari kelompok tertentu akan memandang individu dari kelompok lain secara negatif. Mereka menganggap individu dari kelompok lain sebagai musuh dan menganggap kelompoknya benar (White dalam

4 30 Soeboer, 1990). Kondisi semacam ini pada akhirnya akan membawa individu dari kelompok yang satu menjadi berprasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap individu dari kelompok lain. 3. Ingroup bias Ingroup bias merupakan anggapan bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang paling baik. Ingroup bias dapat merefleksikan kesukaan terhadap ingroup, ketidaksukaan terhadap outgroup, atau kombinasi dari keduanya. Implikasinya adalah loyalitas kepada kelompoknya akan diikuti dengan penilaian yang rendah terhadap kelompok lain. Dari sinilah muncul prasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap kelompok yang dinilai negatif tersebut. 4. Konformitas norma sosial Masalah prasangka dan diskriminasi dapat dilihat dari bagaimana institusi yang ada berperan dalam masalah ini serta bagaimana norma-norma sosial masyarakat yang mendukung terjadinya prasangka dapat mendorong seseorang untuk konform dengan norma-norma tersebut. Bila prasangka merupakan norma sosial, maka akan banyak orang konform dengan norma ini. Mereka konform dengan norma ini supaya mereka disukai dan diterima (Pettigrew dalam Soeboer 1990). Dengan demikian menurut pandangan ini, prasangka bukan merupakan manifestasi dari individu yang memiliki kepribadian yang sakit, tetapi lebih disebabkan oleh normanorma yang ada adalah norma yang mendukung terjadinya prasangka.

5 31 Biasanya norma ini juga akan terwujud melalui dukungan-dukungan institusi seperti adanya pemisahan sekolah antara anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam di Amerika. 5. Teori belajar sosial (social learning theory) Menurut teori belajar sosial, prasangka terhadap kelompok lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Bandura dalam Soeboer 1990). Prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang di sekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengukuhan positif dari orang-orang tersebut bila menunjukkan sikap berprasangka. b. Pendekatan Emosional dan Psikodinamik Menurut pendekatan emosional dan psikodinamik, prasangka tidak hanya tumbuh dari pembenararan secara intelektual, tetapi dapat juga tumbuh dari emosi yang meluap-luap. Apabila ditinjau dari teori frustasi-agresi, dapat dilihat bahwa rasa frustasi pada seseorang dapat menimbulkan agresi. Atau dengan kata lain agresi merupakan respon alamiah terhadap pengalamanpengalaman frustasi. Dengan demikian individu yang mengalami frustasi akan berperilaku agresif terhadap sumber frustasi. Namun bila sumber frustasi adalah individu yang memiliki status lebih tinggi, maka tidak mungkin bagi individu yang mengalami frustasi untuk menunjukkan agresivitasnya terhadap orang tersebut karena takut akan konsekuensi yang dihadapinya. Akibatnya, ia

6 32 memindahkan agresivitasnya kepada orang lain yang memiliki status yang lebih rendah (kelompok minoritas) sebagai kambing hitam sehingga konsekuensinya lebih ringan atau tanpa sanksi. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut juga sebagai scape goat theory. c. Pendekatan Kognitif Pendekatan ini menekankan bagaimana individu yang berprasangka menerima dan memproses informasi yang berkaitan dengan target prasangka (Feldman dalam Soeboer 1990). Pendekatan ini lebih memperhatikan mengenai pengalaman subjektif individu yang berprasangka terhadap dunia di sekitar mereka dan orang-orang yang hidup di dalamnya. Secara umum, pendekatan ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu: 1. Kategorisasi sosial (social categorization) Dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu kita dan mereka atau us versus them (Baron dalam Soeboer 1990). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah bahwa individu menganggap kelompok kita lebih baik dibandingkan dengan kelompok mereka. Bahkan biasanya kelompok mereka akan dipandang dengan kacamata yang negatif. Kelompok mereka dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok mereka tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok kita. Menurut Tafjel (dalam Soeboer, 1990), kekuatan yang ada dibalik

7 33 kecenderungan individu untuk mengkotak-kotakkan individu lain dalam dua kategori tersebut berasal dari keinginan individu untuk menaikkan harga diri mereka dengan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Cara ini akan berhasil hanya jika individu tersebut memandang kelompok yang dipilihnya ini sebagai lebih superior daripada kelompok lain, atau kelompok pesaing. Bila masing-masing kelompok menganggap kelompoknya lebih superior, maka yang timbul pada akhirnya adalah prasangka antar kelompok. Tafjel menamakan proses ini sebagai kompetisi sosial untuk membedakannya dari teori konflik realistik. Penelitian yang dilakukan Meindl dan Lerner (1985) menunjukkan bahwa pengalaman akan kegagalan pada individu akan mengintensifkan kebutuhan individu untuk menaikkan harga dirinya dan akan membawanya pada kategorisasi sosial. Subjek yang mengalami kegagalan akan berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menilai anggota dari kelompok lain secara ekstrim. Hasil penelitian ini mendukung adanya pandangan bahwa individu cenderung membagi dunia sosial ini menjadi dua kelompok kita dan mereka yang pada akhirnya memainkan peran dalam pengembangan prasangka rasial, etnik, atau agama. 2. Attribution error Individu yang berprasangka secara sistematik akan menyimpangkan atribusi mereka terhadap target prasangka dengan membuat atribusi yang menyenangkan mengenai kelompok mereka (kelompok mayoritas) dan membuat atribusi yang tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok

8 34 minoritas yang diprasangkai (Feldman dalam Soeboer, 1990). Menurut Pettigrew (dalam Soeboer, 1990), individu yang berprasangka cenderung membuat ultimate attribution error. Ultimate attribution error menunjukkan bahwa bila individu yang berprasangka melihat target prasangka sedang melakukan suatu tindakan yang negatif, ia akan cenderung memberikan atribusi bahwa perilakunya memang merupakan karakteristik yang stabil pada disposisinya, dan sebaliknya cenderung menganggap perilakunya yang negatif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. 3. Illusion of outgroup homogeneity Pendekatan kognitif ketiga mengenai prasangka dan diskriminasi adalah adanya kekeliruan persepsi yang terjadi pada individu yang berprasangka (Baron dalam Soeboer, 1990) yang disebut dengan istilah illusion of outgroup homogeneity. Selain itu juga terdapat istilah stereotip. Stereotip merupakan penggeneralisasian terhadap suatu kelompok tanpa melakukan pengecekan secara akurat. Pada illusion of outgroup homogeneity terdapat usaha dari individu yang berprasangka untuk menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dalam rangka mendukung pendapatnya mengenai hal-hal negatif yang terdapat pada anggota kelompok yang diprasangkai. Sedangkan pada stereotip, terdapat kecenderungan seseorang untuk menganggap anggota kelompok lain memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat umum atau homogen dibandingkan dengan sifat-sifat dari anggota kelompoknya sendiri.

9 35 3. Aspek-aspek Prasangka Menurut Ahmadi (1991), prasangka terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Aspek kognitif Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu. b. Aspek Afektif Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu. c. Aspek Konatif Prasangka merupakan suatu tendensi / kecenderungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya. 4. Kategori Prasangka Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Oskamp (2000), Oskamp mengkategorikan prasangka dalam dua kategori: orang yang memiliki prasangka tinggi dan orang yang memiliki prasangka rendah. Orang yang dikategorikan memiliki prasangka tinggi dengan orang yang dikategorikan memiliki prasangka rendah berbeda dalam beberapa hal, yaitu: 1. Kepercayaan terhadap stereotip yang ada

10 36 Orang yang memiliki prasangka tinggi percaya dan turut mendukung stereotip yang ada terhadap kelompok minoritas. Sedangkan orang yang memiliki prasangka rendah akan menunjukkan sikap yang netral dan menganggap semua orang memiliki derajat yang sama. 2. Personal Standard Orang yang memiliki prasangka yang rendah dengan orang yang memiliki prasangka yang tinggi berbeda dalam personal standard, yaitu pemikiran mereka mengenai bagaimana seharusnya kelompok yang diprasangkai (stigmatized groups) diperlakukan. Ketika kelompok yang diprasangkai diperlakukan dengan tidak baik, maka orang yang memiliki prasangka rendah merasa dirinya bertanggung jawab atas hal tersebut, bahkan apabila standard untuk tidak berprasangka (nonprejudiced standard) telah menginternalisasi, maka mereka cenderung merasa bersalah dan mengkritik diri sendiri apabila kelompok yang diprasangkai diperlakukan tidak baik. 5. Tipe-tipe Prasangka Menurut Gaertner, Jones, dan Kovel dalam Soeboer (1990) secara umum, cara individu berpikir dan bersikap terhadap kelompok tertentu dapat dibedakan menjadi tiga tipe: a. Tipe Dominative Individu tipe ini akan mengekspresikan prasangkanya secara nyata terhadap kelompok yang diprasangkainya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa

11 37 tindakan penyerangan atau agresivitas terhadap target prasangka. Kelompok tipe ini juga berusaha menempatkan kelompok yang diprasangkainya tetap pada tempatnya. b. Tipe Ambivalen Individu seperti ini dapat mengekspresikan perasaan tidak suka terhadap target prasangka tetapi pada saat yang sama bersimpati terhadap keadaan mereka. Individu seperti khawatir bila target prasangka hidup bertetangga dengannya akan mengakibatkan timbulnya tindakan destruktif dari target prasangka terhadap dirinya. c. Tipe Aversive Individu seperti ini memandang dirinya sebagai liberal, tidak berprasangka, dan menunjukkan sikap yang positif terhadap program-program yang dirancang untuk membantu anggota kelompok yang diprasangkai. Ia akan bersikap ramah dan sopan dalam mengadakan kontak dengan target prasangka. Namun demikian, dibalik tindakan tersebut sebenarnya ia berusaha sedapat mungkin menghindari interaksi dengan target prasangka. Jadi sebenarnya gambaran diri sebagai liberal yang dibuatnya tidak mencegahnya untuk melakukan perilaku tokenistik (individu yang berprasangka menunjukkan tindakan yang positif terhadap target prasangka) sebagai suatu alasan untuk menolak melakukan hubungan yang lebih intens dan serius dengan target prasangka.

12 38 6. Target Prasangka Menurut Hogg & Vaughan (2002), terdapat lima target dari prasangka yang kemudian menjalar menjadi diskriminasi, antara lain: a. Sexism Sexism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada jenis kelamin mereka. Menurut Deaux & LaFrance dalam Hogg & Vaughan (2002), penelitian tentang sexism lebih difokuskan pada prasangka dan diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dikarenakan kebanyakan korban dari sexism adalah wanita dan juga karena adanya perbedaan posisi atau jabatan antara pria dan wanita dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan. Sexism terhadap wanita berawal dari stereotype masayarakat terhadap peran wanita. Pada jaman dahulu, tugas wanita adalah menjaga rumah, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria keluar rumah seharian untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pada jaman sekarang, pekerjaan wanita juga banyak yang diasosiasikan dengan pekerjaan pelayan di restoran, operator telepon, seketaris, suster, babysitter, dan guru Sekolah Dasar ataupun Taman Kanak-kanak, sedangkan pekerjaan pria lebih diasosiasikan dengan dokter gigi, teknisi, pengacara, supir truk, akuntan, dan top executive. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diasosiasikan dengan pekerjaan wanita biasanya kurang dihargai (Greenglass dalam Hogg & Vaughan, 2002). Stereotype tersebut terus berlanjut sampai sekarang, sehingga sangat sulit bagi wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang berstatus tinggi seperti menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.

13 39 b. Racism Racism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada ras dan etnis mereka. Genocide yang pernah terjadi di Jerman, Yugoslavia, Irak, dan Rwanda merupakan salah satu akibat dari adanya diskriminasi. Racism berawal dari adanya stereotype terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda ras atau etnsis. Pada saat sekarang, racism dilihat dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dalam masyarakat. Walaupun demikian, racism tidak akan hilang begitu saja. Setiap orang dalam setiap generasi akan racist dalam hatinya, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda (Crosby, dkk dalam Hogg & Vaughan, 2002). c. Ageism Ageism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan usianya. Pada kebudayaan tertentu yang menganut sistem extended family, orang yang berusia lebih tua akan dianggap sebagai orang yang bijaksana karena lebih berpengalaman, sedangkan pada nuclear family tidak demikian. Pada nuclear family, orang-orang muda dinilai lebih baik, sedangkan orang-orang tua diberi stereotype yang kurang menarik. Orangorang tua biasanya akan dianggap tidak berharga dan lemah dan mereka juga tidak mendapatkan hak mereka. d. Prasangka Terhadap Homoseksual Pada kebanyakan masyarakat, homoseksual dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak bermoral sehingga penyiksaan terhadap homoseksual

14 40 dianggap legal dan dapat diterima. Pada sekitar tahun 1980-an, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang untuk tidak melayani orang-orang yang sesat dan menyimpang salah staunya adalah homoseksual. e. Prasangka Terhadap Penderita Cacat Fisik Pada jaman dahulu, prasangka dan diskriminasi terhadap penderita cacat fisik adalah mereka dianggap sebagai orang yang rendah. Akan tetapi pada saat sekarang orang-orang sudah mulai bisa menghargai penderita cacat fisik. Pada kebanyakan negara, disediakan tempat jalan khusus untuk penderita cacat fisik. Selain itu, penderita cacat fisik juga diperbolehkan untuk mengikuti ajang perlombaan Olimpiade. Pada dasarnya, orang-orang tidak mendiskriminasi penderita cacat fisik, hanya saja orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka karena takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka. 7. Usaha Mengurangi Prasangka Berdasarkan pendekatan teoritik mengenai diskriminasi yang telah diuarikan, maka Soeboer (1990) mengemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka dan diskriminasi: a. Mengadakan kontak atau berinteraksi dengan target prasangka Kontak yang dimaksud adalah kontak yang dilakukan dengan syarat-syarat tertentu (Baron dan Byrne, Bochner, dan Feldman dalam Soeboer 1990). Kontak antar individu yang berprasangka dengan target prasangka hanya akan

15 41 efektif bila didukung oleh beberapa kondisi atau syarat. Kontak yang diasumsikan akan efektif terjadi bila status partisipan dalam kondisi yang sama, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang intim dan bukan hubungan yang superficial, situasi kontak yang melibatkan aktivitas yang interdependen serta kooperatif, adanya tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapai, serta situasi kontak yang menyenangkan dan saling mendukung. Yang paling utama adalah adanya iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis dalam kontak tersebut. b. Melalui pendekatan belajar sosial Saran lain yang dapat diusulkan adalah mengajarkan pada anak untuk tidak membenci. Peranan orang tua, guru, media massa, atau orang dewasa yang dianggap penting bagi anak-anak (significant others) memainkan peranan penting bagi terbentuknya sikap menyukai atau tidak menyukai kelompok lain melalui contoh-contoh perilaku yang ditunjukkannnya. Dengan adanya kesadaran dari orang tua atau guru mengenai pentingnya peran mereka sebagai model yang tidak berprasangka, maka dapat diharapkan bahwa anak-anak belajar untuk tidak berprasangka melalui model dan pengukuhan positif yang diberikan oleh orang dewasa (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990). c. Belajar untuk mengerti adanya perbedaan Setiap orang lain itu berbeda sehingga kita harus belajar mengenal dan memahami orang lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, dan bukan

16 42 semata-mata berdasarkan kenaggotaan orang tersebut dalam kelompok tertentu (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990). B. TRUST 1. Pengertian Trust Menurut Holmes & Rampel (dalam Fletcher & Clark, 2001) mengatakan bahwa trust merupakan harapan bahwa seseorang bisa dipercaya dalam segala hubungan dan pekerjaan serta responsif terhadap kebutuhan orang yang mempercayainya. Fletcher & Clark (2001) menyatakan bahwa trust meliputi prediksi atau kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, kepercayaan bahwa seseorang itu memang jujur dan bisa dipercayai, serta keyakinan atau pendirian bahwa seseorang memang termotivasi secara intrinsik untuk bekerja, bahkan melebihi target kerja. Deutsch (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa trust merupakan suatu pilihan yang didasarkan pada persepsi bahwa pilihannya akan membuatnya untung, akan tetapi tidak selalu begitu. Terkadang pilihan tersebut akan membuatnya rugi. Keuntungan dan kerugian tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya, ada kemungkinan bahwa kerugian yang diperoleh lebih besar daripada keuntungan, dan sebaliknya ada juga kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada kerugian.

17 43 Dalam penelitian ini, trust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut. 2. Jenis-jenis Trust Menurut Robbins (2005) terdapat tiga jenis trust dalam hubungan organizational : a. Deterrence-Based Trust Deterrence-based trust merupakan salah satu jenis trust yang paling mudah hilang. Hanya dengan sekali melakukan kesalahan atau tidak konsisten, dapat menghilangkan trust yang dimiliki. Trust jenis ini didasarkan pada rasa takut akan hukuman dan konsekuensi yang akan timbul apabila trust tersebut tidak dijalankan dengan baik. Setiap hubungan biasanya akan diawali dengan deterrence-based trust. b. Knowledge-Based Trust Kebanyakan trust yang dimiliki dalam hubungan organizational adalah knowledge-based trust, yaitu salah satu jenis trust yang didasarkan pada pengalaman interaksi di masa lalu. Knowledge-based trust muncul dengan didasarkan pada informasi yang cukup dan akurat tentang seseorang, dan trust ini akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semakin kita

18 44 mengenal orang tersebut, maka kita akan semakin mampu untuk memprediksi orang tersebut secara akurat. Trust jenis ini tidak akan rusak karena pasangan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten. Apabila pasangan mampu memberi penjelasan yang masuk akal mengenai kesalahanya, maka dia biasanya akan dimaafkan dan kembali ke hubungan yang baik seperti semula. c. Identification-Based Trust Trust jenis merupakan trust level tertinggi yang ditandai dengan adanya ikatan emosional antara kedua belah pihak. Pihak yang satu dapat mewakili pihak yang lain dalam hubungan transaksi yang bersifat interpersonal. Trust jenis ini muncul karena kedua belah pihak saling mengerti, memahami, dan menghargai kebutuhan serta keinginan masingmasing. Kontrol dalam hubungan seperti ini sangat minimal, karena kontrol dianggap sebagai keraguan terhadap rasa kesetiaan salah satu pihak. 3. Elemen-elemen Trust Menurut Johnson & Johnson (2000) elemen-elemen trust ada lima, yaitu a. Openness Openness meliputi kesediaan untuk berbagi informasi, pemikiran, pendapat, dan reaksi terhadap hal yang sedang dibicarakan. b. Sharing

19 45 Sharing berarti kesediaan untuk menawarkan dan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama. c. Acceptance Acceptance berarti melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan. d. Support Support meliputi komunikasi dengan orang lain sehingga kita mengenal kelebihannya dan kita percaya bahwa mereka mampu mengatur secara produktif situasi dimana mereka berada. e. Cooperative Intentions Cooperative intention meliputi harapan bahwa orang lain akan bersikap kooperatif dan setiap anggota kelompok juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan kelompok. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Buliding Process Menurut Busch dan Hantusch (2000) dalam jurnal yang berjudul Recognizing The Fragility of Trust and Its Importance in The Partnering Process, terdapat beberapa hambatan dalam trust-building process yang bisa ditemukan dalam organisasi: a. Interaksi masa lalu

20 46 Interaksi masa lalu merupakan hambatan terbesar dalam trust-building process. Pengalaman interaksi yang buruk pada masa lalu akan menyebabkan kedua belah pihak saling berprasangka dan berpikir bahwa pihak lain tersebut tidak bisa dipercaya sepenuhnya. b. Kategorisasi Sosial (Social Categorization) Individu akan cenderung untuk mengkategorikan orang lain apabila dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang orang tersebut. Kategorisasi tersebut bisa berdasarkan jenis kelamin, ras, profesi, jabatan, dan sebaginya. Kategorisasi ini dibuat untuk menyederhanakan proses membuat keputusan. Dalam kehidupan berorganisasi, seseorang cenderung untuk mengkategorikan orang lain berdasarkan pada kategori tertentu, seperti kategori ini merupakan anggota dari buruh, staf, manager, kontraktor, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menilai anggota outgroup sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka, dan tidak jujur. c. Generalisasi dan Model Peran Individu cenderung untuk menggeneralisasi perbuatan seseorang dengan perbuatan keseluruhan anggota kelompoknya. Misalnya, apabila seorang karyawan berlaku tidak jujur terhadap atasanya, maka atasannya akan menilai semua karyawan tidak jujur. Demikian juga dengan model peran, apabila kelakuan seorang atasan buruk, maka semua bawahannya akan dinilai berkelakuan buruk juga, karena meniru perilaku atasannya.

21 47 4. Cara Meningkatkan Trust diantaranya : Menurut Robbins (2005), terdapat delapan cara untuk meningkat trust, a. Bersikap terbuka Dengan bersikap terbuka akan membuat orang lain percaya terhadap kita. Yang dimaksud dengan bersikap terbuka adalah bersikap terbuka terhadap informasi yang dimiliki, memberi tahu secara rasional bagaimana suatu keputusan dibuat, dan berterus terang dalam menyatakan masalah yang sedang dihadapi. b. Bersikap adil Sebelum membuat suatu keputusan, harus mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menilai objektifitas dan keadilan keputusan kita. c. Nyatakan perasaan dengan terus terang Dengan menyatakan perasaan yang sebenarnya tanpa memandang jabatan atau posisi kita dalam suatu organisasi, akan membuat orang lain lebih menghargai kita, karena semua orang adalah manusia yang memiliki masalah dan perasaan. d. Beritahukan hal yang sebenarnya

22 48 Dengan bersikap jujur, berarti kita bisa dipercaya. Apabila kejujuran merupakan hal yang penting dalam membangun trust, maka kita harus menjunjung tinggi kejujuran. e. Tunjukkan konsistensi Semua orang menginginkan sesuatu yang bisa diprediksi. Ketidakjujuran terjadi karena kita tidak mampu memprediksi sikap orang tersebut. Pikirkanlah tentang nilai dan kepercayaan yang dimiliki, kemudian biarkan nilai dan kepercayaan tersebut menjadi paduan dalam mengambil. Apabila telah diperoleh suatu tujuan yang jelas, maka sikap yang dimiliki juga bisa diprediksi. f. Tepati janji Salah satu aspek dari trust adalah orang tersebut bisa diharapkan, jadi tepatilah setiap komitmen dan janji yang telah diucapkan. g. Bersikap percaya diri Setiap orang akan mempercayai orang yang bijaksana dan bisa dipercaya. Apabila kita memberitahukan suatu rahasia kepada orang lain, maka orang lain juga akan meragukan kita, dan tidak akan memberitahu rahasianya kepada kita karena kita dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. h. Tunjukkan kompetensi Salah satu cara untuk meningkatkan trust adalah dengan membuat orang lain menghargai dan mengagumi kita. Sehingga kita juga harus

23 49 mengembangkan kompetansi kita dalam hal komunikasi, negosiasi, dan kemampuan interpersonal lainnya. C. GOLONGAN ETNIS 1. Pengertian Golongan Etnis Koentjaraningrat (1996) antroplog Indonesia mendefinisikan istilah suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka, sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri. 2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi Istilah Cina dalam bahasa Indonesia memiliki sudah memiliki makna yang negatif, sehingga pada sekitar tahun 1950-an istilah Cina diubah menjadi Tionghoa (sesuai dengan ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina dan Tiongkok untuk negara Cina. Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia merujuk kepada orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. Purcell (dalam Liem, 2000) mengungkapkan bahwa etnis Tionghoa adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang

24 50 lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkup budaya mereka. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sbagai Tionghoa atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat yang bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Dalam penelitian ini, etnis Tionghoa didefinisikan sebagai golongan masyarakat keturunan Tionghoa yang kedua orang tuanya juga merupakan keturunan etnis Tionghoa. Menurut Arief dalam Meinarno (2001), golongan Pribumi merupakan golongan masyarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari sukusuku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Dalam penelitian ini, etnis Pribumi didefinisikan sebagai kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di negara Indonesia. D. PENGUSAHA DAN KARYAWAN 1. Definisi Pengusaha Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pengusaha adalah orang yang mengusahakan (perdagangan, industri, dan sebagainya); orang yang berusaha di bidang perdagangan; saudagar; usahawan. Menurut Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003, pengusaha adalah :

25 51 a. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya; c. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Pengertian pengusaha dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Tionghoa yang menjalankan usaha jual beli barang dan / atau jasa dengan pekerjanya orang. Menurut Kuncoro (2007), industri menengah merupakan industri yang mempekerjakan orang pekerja sebagai tenaga kerjanya. Dengan kata lain, pengusaha dalam penelitian ini merupakan pengusaha yang memiliki dan menjalankan industri menengah. 2. Definisi Karyawan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), karyawan merupakan orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji atau upah; pegawai. Menurut Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003, karyawan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

26 52 Pengertian karyawan dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis pribumi yang bekerja pada pengusaha Tionghoa, serta mendapatkan gaji atau upah sebagai imbalan kerjanya. E. HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN ETNIS PRIBUMI Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan etnis minoritas dan etnis mayoritas yang kemudian akan menyebabkan munculnya prasangka antar etnis. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas yang ada di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Mendatu, 2007). Prasangka antar etnis di Indonesia bisa saja terjadi pada etnis-etnis minoritas lainnya, akan tetapi khusus untuk prasangka terhadap etnis Tionghoa, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekedar posisi mayoritas dan minoritas. Etnis Tionghoa menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Damayanti, 2008). Selain itu, konflik-konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi pada masa lalu juga turut menyumbang tumbuhnya perasaan tidak menyenangkan terhadap etnis Pribumi (Tan, 2003). Abu Ahmadi (1991) menyatakan bahwa pengalaman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka, dengan kata lain etnis Tionghoa akan berprasangka terhadap etnis Pribumi atas kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami. Hal ini kemudian diperkuat oleh

27 53 Tan (dalam Susetyo, 1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi memang terkesan tegang dan saling curiga. Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap sosial yang negatif terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang diprasangkai itu. Soeboer (1990) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sumber penyebab prasangka, diantaranya dapat dilihat melalui pendekatan sosial, pendekatan emosional dan psikodinamik, dan pendekatan kognitif. Apabila dipandang dari pendekatan kognitif, salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu kita yang dipersepsikan sebagai ingroup dan mereka yang dipersepsikan sebagai outgroup. Dalam prakteknya outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima oleh ingroup, selanjutnya outgroup akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan Chatman, 2002). Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara prasangka dan stereotip. Prasangka dapat menyebabkan munculnya stereotip dan stereotip itu sendiri akan memperkuat prasangka pada kelompok sosial tertentu. Menurut penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1999), stereotip

28 54 negatif kelompok etnis Pribumi terhadap kelompok etnis Tionghoa dan sebaliknya masih hadir sampai sekarang. Kelompok etnis pribumi menganggap bahwa orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan kelompok Pribumi tidak. Orang Tionghoa lebih kaya dari rata-rata orang pribumi, menguasai kekayaan, mengeruk kekayaan dari orang pribumi, ekslusif, kikir, dan sombong. Sedangkan golongan etnis Tionghoa merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada etnis pribumi. Golongan pribumi dikatakan sebagai pemalas, tidak dapat dipercaya, tidak pantas diberi jabatan yang tinggi, dan sebagainya. Stereotip yang diungkapkan tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang staf Human Resources dari perusahaan A, perusahaan milik etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, terutama posisi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan karena dikatakan secara jelas bahwa karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, karyawan etnis Pribumi juga dinilai sebagai karyawan yang tidak berkompeten, dan dikatakan bahwa alasan dari semua perbedaan perlakuan tersebut adalah prasangka terhadap kelompok etnis Pribumi (Komunikasi Personal, November 2008). Pada dasarnya, karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dikarenakan atasan mereka yang beretnis Tionghoa telah membuat suatu kategori sosial (social categorization). Karyawan yang beretnis Pribumi akan dianggap sebagai outgroup, dan karyawan yang beretnis Pribumi akan dinilai sebagai ingroup. Menurut Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007) social

29 55 categorization yang merupakan penyebab dari prasangka memiliki hubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota outgroup tidak bisa dipercaya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi (dalam Irmawati, 1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha akan menyebabkan pengusaha tersebut membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya. Lebih lanjut, Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi trust-building process. Prasangka yang dimiliki seseorang akibat kategorisasi sosial akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur. Hal yang diungkapkan oleh staf HR dari perusahaan A tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007), Ahmadi (dalam Irmawati, 1996) dan Busch dan Hantusch (2000) mengenai kaitan antara prasangka sebagai wujud dari social categorization dengan trust. Secara konkrit, prasangka yang dimiliki pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi akan mempengaruhi trust yang dimilikinya terhadap karyawan etnis Pribumi. Prasangka muncul sebagai akibat adanya kategorisasi sosial yaitu ingroup dan outgroup, selanjutnya, outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang disukai sehingga mereka akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan

30 56 Chatman, 2002). Sejalan dengan penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1996) bahwa anggapan (stereotip) golongan etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi sebagai pemalas, tidak berkompeten, tidak jujur, dan sebagainya pada dasarnya akan mempengaruhi trust pengusaha tersebut terhadap karyawan etnis Pribumi yang diprasangkainya. F. HIPOTESA Dalam penelitian ini akan diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Terdapat hubungan negatif antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.

31 57 Diagram 1: PARADIGMA BERPIKIR Indonesia Negara Multietnis Etnis Pribumi >< konflik Etnis Non-Pribumi Pendekatan Emosional P R A S A N G K A Pendekatan Sosial Pendekatan Kognitif : Social Categorization Ingroup Outgroup T R U S T = Terdiri dari = Mempengaruhi = Bersumber dari = Menyebabkan = Berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang 16 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa etnis sebagai masyarakatnya,

Lebih terperinci

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Modul ke: 09 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki masyarakat multi-etnis. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan variasi

Lebih terperinci

Prasangka Mahasiswa Papua Pada Etnis Jawa Di Kota Malang

Prasangka Mahasiswa Papua Pada Etnis Jawa Di Kota Malang Jurnal Mediapsi 2016, Vol. 2, No. 1, 11-18 Prasangka Mahasiswa Papua Pada Etnis Jawa Di Kota Malang Klaudia Ulaan, Ika Herani, & Intan Rahmawati kla_ulaan@yahoo.co.id Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas

Lebih terperinci

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Modul ke: Fakultas Psikologi Pengertian dan jenis prasangka; pembentukan, mengatasi prasangka; Peran stereotipe; Diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Sri Wahyuning Astuti,

Lebih terperinci

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam Bab II Kajian Pustaka 2.1. Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok.

Lebih terperinci

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI MODUL PERKULIAHAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Pengertian dan jenis prasangka; pembentukan, mengatasi prasangka; Peran stereotipe; Diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Fakultas Program Studi Tatap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg,

BAB II LANDASAN TEORI. dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, BAB II LANDASAN TEORI A. Prasangka 1. Definisi prasangka Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg,

Lebih terperinci

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis BAB 5 RINGKASAN Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis atau suku bangsa tinggal di dalamnya. Salah satu etnis yang paling menonjol perannya dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 29 BAB II LANDASAN TEORI II. A. KEPERCAYAAN (TRUST) II. A.1. Definisi Kepercayaan (Trust) Kepercayaan (trust) menggambarkan tindak keyakinan seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu dalam cara-cara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT Eva Fauziah Sonny Andrianto INTISARI Peneltian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1. Prasangka dan Diskriminasi. Fakultas PSIKOLOGI. Filino Firmansyah M. Psi. Program Studi Psikologi

Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1. Prasangka dan Diskriminasi. Fakultas PSIKOLOGI. Filino Firmansyah M. Psi. Program Studi Psikologi Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1 Prasangka dan Diskriminasi Fakultas PSIKOLOGI Filino Firmansyah M. Psi Program Studi Psikologi Bahasan definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi teori-teori mengenai penyebab

Lebih terperinci

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat sarjana S-1 Diajukan Oleh : UMIYATI F 100 050 239 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE)

BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE) BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE) A. Pengertian Prasangka Sosial Prasangka sosial merupakan suatu maslah yang tidak dapat kita hindari di dalam hidup bermasyarakat. Apa yang dimaksud dengan prasangka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya.

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etnis Jawa merupakan salah satu etnis yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Berdasarkan analisis Suryadinata (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Wiersma (dalam Sugiyono, 2006: 58) menyatakan bahwa, teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik.

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. uji linieritas hubungan variabel X dan variabel Y harus dilakukan terlebih

BAB V HASIL PENELITIAN. uji linieritas hubungan variabel X dan variabel Y harus dilakukan terlebih BAB V HASIL PENELITIAN Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment untuk mencari hubungan antara identitas sosial etnis Jawa dengan prasangka terhadap etnis Tionghoa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen bukanlah sesuatu yang bisa hadir begitu saja, karena itu untuk menghasilkan karyawan yang memiliki komitmen yang

Lebih terperinci

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: ,

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: , Negosiasi Bisnis Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: 08122035131, Email: ailili1955@gmail.co.id Hubungan Dalam Negosiasi Proses negosiasi terjadi diantara dua pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam suatu kelompok kerja (Dale, dalam Widyatmini dan Izzati, 1995). Selain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam suatu kelompok kerja (Dale, dalam Widyatmini dan Izzati, 1995). Selain 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan kesatuan proses perencanaan mulai dari penyusunan, pengembangan dan pemeliharaan suatu struktur atau pola hubungan kerja dari orangorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intergroup anxiety adalah perasaan cemas dan tidak nyaman yang mungkin dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan kelompok outgroupnya (Stephan, 2014). Perasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

PENGANTAR PSIKOLOGI. YENI WIDYASTUTI, S.Sos., M.Si PERTEMUAN I

PENGANTAR PSIKOLOGI. YENI WIDYASTUTI, S.Sos., M.Si PERTEMUAN I PENGANTAR PSIKOLOGI YENI WIDYASTUTI, S.Sos., M.Si PERTEMUAN I Psikologi Apa yang dipelajari psikologi? Ilmu jiwakah? Ilmu tingkah-lakukah? Ilmu ekspresikah? Bagian dari ilmu alam atau ilmu sosialkah? Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia pada era modern seperti saat ini sangat berbeda jika dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi Rakhmat (1992) menjelaskan bahwa komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare, yang berarti berpartisipasi untuk memberitahukan. Thoha (1983) selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategi Pelayanan Di dalam menjalankan bisnis, ada dua prinsip yang harus dijalankan yaitu pelayanan terhadap konsumen dan komunikasi secara personal kepada konsumen. Pelayanan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : NITALIA CIPUK SULISTIARI F 100 040

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan psikologis yang mengikat karyawan di dalam sebuah organisasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan juga ada yang kasar, ada yang berterus terang dan ada juga yang

Lebih terperinci

PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya

PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua. Prasangka

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN Orientasi perkuliahan, definisi dan ruang lingkup psikologi sosial Mahasiswa mengerti tujuan, arah, dan target mata kuliah, serta memahami pengertian dan ruang lingkup psikologi sosial. Ke-1 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

PERSEPSI, NILAI DAN SIKAP. DRA. SUMARNI P., Msi

PERSEPSI, NILAI DAN SIKAP. DRA. SUMARNI P., Msi PERSEPSI, NILAI DAN SIKAP DRA. SUMARNI P., Msi Persepsi Persepsi merupakan proses kognitif yang kompleks. Persepsi dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa sekarang banyak sistem pendidikan yang bisa diberikan oleh para orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan orangtuanya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 7 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Perilaku Sosial Perilaku sosial adalah perilaku yang dimiliki individu di mana perilaku itu akan muncul pada waktu individu itu berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Para ahli umumnya memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian komitmen organisasional. Priansa (2014) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para Teolog abad pertengahan, para filsuf seperti Locke dan Hume, matematikawan, dan dikembangkan

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Akulturasi merupakan proses social yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsure-unsur asing itu lambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas.

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. serta menukarkan produk yang bernilai satu sama lain (Kotler dan AB. Susanto,

II. LANDASAN TEORI. serta menukarkan produk yang bernilai satu sama lain (Kotler dan AB. Susanto, II. LANDASAN TEORI 2.1 Analisis Sikap 2.1.1 Pengertian Sikap Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dengan menciptakan dan menawarkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan. secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002).

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan. secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002). BAB II LANDASAN TEORI A. ETOS KERJA 1. Pengertian Etos Kerja Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PRASANGKA 1. Definisi Prasangka Prasangka merupakan sedikit dari banyaknya masalah yang harus dihadapi manusia. Ketika sekelompok orang berseteru, memicu berbagai tindakan agresif,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. Hal ini disebabkan penggunaan makna kepercayaan akan berbeda disetiap bahasa

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. Hal ini disebabkan penggunaan makna kepercayaan akan berbeda disetiap bahasa BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Kepercayaan (trust) Pengertian kepercayaan sampai saat ini masih banyak yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penggunaan makna kepercayaan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn.

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn. BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar PKn Kondisi belajar mengajar yang efekif adalah adanya minat perhatian siswa dalam belajar mata pelajaran PKn. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. anggota kelompok tertentu. Banyak orang yang membentuk dan memiliki

BAB II LANDASAN TEORI. anggota kelompok tertentu. Banyak orang yang membentuk dan memiliki BAB II LANDASAN TEORI A. PRASANGKA 1. Definisi Prasangka Menurut Baron & Byrne (2004) prasangka adalah sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu. Banyak orang yang membentuk dan memiliki prasangka

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab V ini akan dibahas mengenai kesimpulan, implikasi dan saran dari penelitian. 5.1 Kesimpulan Persyaratan analisis data telah terpenuhi, dengan demikian kesimpulan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam kehidupannya, setiap orang pasti membutuhkan orang lain, entah dalam saat-saat susah, sedih, maupun bahagia. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN SKRIPSI Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat sarjana S1

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Adinda Dwiastuti, F.PSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Adinda Dwiastuti, F.PSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan Kehidupan merupakan sesuatu yang bersifat kontinyu. Hal tersebut berarti segala sesuatu akan berubah dan tidak ada yang abadi. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN

PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN I Pendahuluan Rumah sakit sering kali harus melayani komunitas dengan berbagai keragaman. Ada pasien-pasien yang mungkin telah berumur, atau menderita cacat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu di masyarakat. Kemajuan pada individu bisa dilihat dari seberapa besar perkembangan

Lebih terperinci

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain. Seorang anak memerlukan waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Simalungun merupakan salah satu suku dengan ragam keunikan yang dimiliki, tanah yang subur, masyarakat yang ramah dan lemah lembut. Memiliki kekayaan warisan budaya

Lebih terperinci

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi MODUL PERKULIAHAN DIRI PRIBADI Presentasi diri; Pengetahuan diri pribadi; Berpikir mengenai diri pribadi; Harga diri pribadi; Penilaian diri pribadi; Diri pribadi sebagai sasaran prasangka Fakultas Program

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penghargaan Organisasi memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada karyawan dan masyarakat. Seiring pemenuhan kewajiban tersebut, hubungan antara organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak lagi terelakkan. Dalam organisasi-organisasi bisnis, kondisi ini terkadang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak lagi terelakkan. Dalam organisasi-organisasi bisnis, kondisi ini terkadang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan tim yang komposisinya heterogen saat ini menjadi satu keadaan yang tidak lagi terelakkan. Dalam organisasi-organisasi bisnis, kondisi ini terkadang justru

Lebih terperinci

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY Faculty of Humanities English Department Strata 1 Program 2012 MAIDS' RESISTANCE THROUGH THE BOOK TO EQUALIZE THE RIGHTS AS POTRAYED IN "THE HELP" MOVIE (2011)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA

10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA 10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA Kebijakan Hak Asasi Manusia Sebagai salah satu perusahaan global yang beroperasi di lebih 15 negara di empat benua, Indorama Ventures Public Company Limited (IVL) sangat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG. Skripsi HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MELAYANI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH ROEMANI SEMARANG Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga dalam menjalani interaksinya manusia

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga dalam menjalani interaksinya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang hidup dalam situasi lingkungan sosial. Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara

I. PENDAHULUAN. Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara agama dan sosial antara pria dan wanita. Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban,

Lebih terperinci

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu perusahaan, sehingga tenaga kerja yang ada perlu dipelihara dan dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Social Identity 1. Definisi Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial

Lebih terperinci

STRUKTUR SIKAP Komponen Kognitif Komponen Afektif Komponen Konatif

STRUKTUR SIKAP Komponen Kognitif Komponen Afektif Komponen Konatif STRUKTUR DAN PEMBENTUKAN SIKAP STRUKTUR SIKAP Komponen Kognitif Komponen Afektif Komponen Konatif Komponen Kognitif Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Berisi persepsi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intensi Merokok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intensi Merokok 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Merokok 1. Intensi Merokok Intensi diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku didasari oleh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi 1.1 Definisi Komitmen Organisasi Kata komitmen berasal dari kata latin yang berarti to connect. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA PSIKOLOGI SOSIAL Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA Pengantar Manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak berkembang dengan sendiri. Kita tidak memiliki tempurung pelingdung, dan bulu apa yang kita miliki

Lebih terperinci