PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya"

Transkripsi

1 PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll. Beberapa orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula yang bersikap negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun dari kita yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah umum untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus-menerus adalah penurunan harga diri seseorang. Prasangka dan Harga Diri Anak-anak Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya sudah berpikir tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara bermain dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih cantik dan lebih unggul. Perasaan rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap kelompoknya sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa perempuan dari budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara intelektual lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para mahasiswi untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi dan gaya penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah yang sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay). Hasilnya ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel ilmiah itu diinformasikan sebagai tulisan seorang pria. Hasil penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat. 1

2 A. DEFINISI PRASANGKA Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen: komponen afektif atau emosional, mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung). komponen kognitif, yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang membentuk sikap. komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu). Prasangka, menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya (emosional). Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan orang-orang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan sebagai: Sikap negatif terhadap individu atau sekelompok individu tertentu, yang hanya didasarkan pada keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. 1. Stereotip : Komponen Kognitif Istilah stereotype pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992). Ia menggambarkan stereotype sebagai "The little pictures we carry around inside our head", dimana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. Budaya atau kelompok tertentu dapat digambarkan dengan ciri-ciri yang sama. Contohnya, kita akan terkejut jika menjumpai supir taksi perempuan, karena profesi supir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki. Stereotype: Generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya. Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional. Stereotip tidak selalu mengarah pada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Seringkali stereotip hanyalah sebuah teknik yang kita gunakan untuk menyederhanakan dalam melihat dunia. Namun bagaimanapun juga, stereotipe tidak boleh membutakan manusia dalam melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada, karena bila demikian bersifat maladaptif, tidak adil, dan berpotensial untuk menjadi sesuatu yang melecehkan. Olahraga, Ras, dan Atribusi Potensi penyalahgunaan stereotype sebagai jalan pintas mental terlihat jelas. Contohnya, suatu etnis tertentu dianggap pemalas, dan etnis lainnya dianggap serakah. Namun potensi tersebut dapat juga terselubung, bahkan mengandung atribut positif. Contohnya, kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa orang kulit hitam mahir 2

3 dalam permainan bola basket, dan ketika menemukan seorang kulit hitam yang tidak dapat bermain basket, kita akan terkejut. Bila demikian, kita menolak individualitas orang kulit hitam tersebut. Stereotip, Atribusi, dan Gender Wanita cenderung digambarkan memiliki perilaku yang lebih sensitif secara sosial, ramah, dan lebih peduli atas kesejahteraan orang lain bila dibanding dengan pria; sedangkan pria digambarkan cenderung berperilaku dengan cara yang lebih dominan, mengontrol, dan mandiri. Fenomena stereotip gender seringkali tidak mencerminkan realitas. Misalnya, penelitian Deaux dan Emsweiler (1974) menunjukkan bahwa ketika seorang pria berhasil pada tugas yang kompleks, pengamat dari kedua jenis kelamin mengatribusi keberhasilan tsb disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain jika seorang wanita sukses dalam tugas yang sama, pengamat mengatribusi kesuksesan tersebut disebabkan keberuntungan. 2. Diskriminasi: Komponen Perilaku Ketika stereotype menimbulkan perilaku yang tidak adil terhadap orang lain, maka telah terjadi diskriminasi. Diskriminasi: Perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Di Amerika, beberapa hasil penelitian selama dua dekade lalu menunjukkan bahwa homoseksual menghadapi perlakuan diskriminatif dan antipati di hari-hari kehidupan mereka. Tidak seperti perempuan, etnis minoritas, orang cacat, homoseksual tidak dilindungi oleh hukum nasional yang melarang diskriminasi di tempat kerja. Kaum homoseksual rentan terhadap diskriminasi dalam dunia pekerjaan. Untuk melihat kemungkinan ini, Michelle Hebl dkk (2002) mengadakan suatu eksperimen lapangan dengan menggunakan enam belas mahasiswa (delapan pria dan delapan perempuan) yang mencoba untuk melamar pekerjaan di toko-toko lokal. Dalam beberapa wawancara, mahasiswamahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka homoseksual dan dalam beberapa wawancara lain mereka tidak mengakuinya. Mahasiswa-mahasiswa tersebut berpakaian jeans dan jaket yang sama. Penelitian ini menguji dua jenis diskriminasi, yaitu formal discrimination dan interpersonal discrimination. Untuk mengukur formal discrimination, peneliti mencoba melihat adanya perbedaan dalam perkataan employer mengenai ketersediaan pekerjaan, perbedaan apakah employer mengizinkan mengisi formulir pekerjaaan, perbedaan apakah employer memberikan jawaban atas lamaran kerja, dan perbedaan respon employer ketika dimintai izin untuk pcrgi ke kamar kecil. Peneliti tidak menemukan adanya perbedaan 3

4 yang signifikanmengenai hal ini. Namun peneliti melihat adanya indikasi interpersonal discrimination yang kuat terhadap kaum homoseksual. Dibandingkan interaksi dengan mahasiswa yang tidak mengaku homoseksual, employer kurang positif secara verbal, menghabiskan waktu lebih sedikit untuk wawancara, tidak terlalu banyak berbicara ketika mengobrol, dan melakukan lebih sedikit kontak mata dengan mahasiswa yang mengaku homoseksual. Perilaku para employer ini menunjukkan adanya ketidaknyamanan atau jarak terhadap orang yang mereka anggap homoseksual. B. PENYEBAB PRASANGKA 1. Cara Berpikir : Kognisi Sosial Penjelasan pertama mengenai penyebab prasangka, bahwa prasangka adalah produk sampingan yang tak terelakkan dari cara kita memproses dan mengatur informasi. Kecenderungan kita untuk mengkategorikan dan mengelompokkan informasi, membentuk skema dan menggunakannya dalam menafsirkan informasi baru atau unik, mengandalkan pada heuristicts (jalan pintas dalam penalaran mental) yang tidak akurat, dan bergantung pada proses memori yang salah, dimana semua aspek kognisi sosial tersebut dapat membawa kita membentuk stereotip negatif dan menerapkannya dengan cara diskriminatif. Berikut ini beberapa sisi gelap kognisi sosial yang terkait dengan prasangka. Kategorisasi sosial : Kita versus Mereka Langkah pertama dalam prejudice adalah terjadinya kategorisasi; mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan, etnis, dan sebagainya. Ketika bertemu orang-orang dengan karakteristik tertentu, manusia akan bergantung pada persepsi yang dibentuk di masa lalu mengenai orang dengan karakteristik tersebut untuk membantu menentukan reaksi dan perilaku untuk mengahadapi orang dengan karakteristik tersebut. Sebagai contoh, Jane Elliot (1977), seorang guru SD kelas 3 di Riceville, Iowa, mengelompokkan muridnya berdasarkan warna mata mereka untuk mengajarkan tentang prasangka, karena kehidupan muridmuridnya terlalu terlindungi dimana mereka semua berkulit putih dan penganut agama Kristen. Elliot berkata pada murid-muridnya bahwa anak-anak yang bermata biru merupakan anak-anak yang lebih superior dari anak yang hermata cokelat. Perkataan Elliot mulai menunjukkan dampak yang signifikan, kelas yang awalnya sangat kooperatif dan kohesif menjadi kelas yang sangat berbeda dari sebelumnya. Anak-anak bermata biru yang merasa lebih superior mulai mengucilkan dan tidak mau bermain bersama anak bermata cokelat. Anak-anak bermata cokelat menjadi tertekan dan menghasilkan nilai tes yang buruk pada hari itu. Hari berikutnya Elliot menyatakan bahwa pengelompokkan hari sebelumnya merupakan kesalahan besar, di mana anak bermata cokelatlah yang sesungguhnya lebih superior dari anak-anak bermata hiru. Pada hari itu suasana kelas bertukar; anak-anak bermata cokelat melakukan 'pembalasannya' terhadap anak-anak bermata biru. Pada hari ketiga, Elliot 4

5 menyatakan makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami dua hari belakangan, dan menjelaskan bahwa mereka telah belajar mengenai prasangka dan diskriminasi. Anak-anak mendiskusikan hal ini dan mereka mengerti pesan yang disampaikan oleh Elliot. Elliot mengadakan pertemuan kembali dengan muridmuridnya tsb setelah mereka berumur duapuluhan. Murid-murid Elliot menyatakan bahwa pengalaman mereka terdahulu mengenai prasangka dan diskriminasi sangat melekat dan membentuk mereka menjadi pribadi yang sadar akan buruknya prasangka dan diskriminasi. Dalam kasus Elliot, pada hari pertama murid-murid bermata biru melihat murid bermata coklat sebagai out-group, berbeda, dan lebih inferior. Sebaliknya, murid bermata cokelat menganggap diri mereka bukan anggota kelompok 'superior'. In-group Bias In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group. Henri Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha meningkatkan self~esteem dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, selfesteem hanya dapat meningkat jika individu tersebut melihat kelompoknya sebagai kelompok yang lebih superior dari kelompok lain. Sebagai contoh, bagi anggota Ku Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus dipisahkan dari ras lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas kelompok mereka agar merasa nyaman dan positif terhadap diri mereka. Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun peneliti lainnya, dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu ingin 'menang' dari out-group, hal ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem. Ketika in-group betul-betul 'menang', hal ini memperkuat harga diri dan identifikasi individu terhadap group tersebut. Homogenitas Out-group Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua universitas yang bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas ini berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri). Partisipan pria dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria berbeda yang diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video, eksperimenter menanyakan pada pria dalam video tentang jenis musik yang ingin didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia berpartisipasi dalam eksperimen mengenai persepsi auditory. Para partisipan diberitahu bahwa pria dalam video merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria tersebut adalah 5

6 anggota out-group. Setelah menyaksikan jenis musik pilihan pria dalam video, partisipan diminta untuk memprediksi persentase mahasiswa laki-laki dari universitas tersebut yang memilih jenis musik yang sama. Hasilnya, partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota out-group memprediksi persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota in-group. Hal ini mendukung hipotesis out-group homogeneity: bila kita mengetahui sesuatu mengenai seorang anggota out-group, kita cenderung merasa tahu mengenai semua anggota out-group. Out-Group Homogeneity: Persepsi bahwa individu-individu dari out-group satu sama lain cenderung sama (homogeneous) daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan dengan individu anggota in-group. Kegagalan Berpikir Logis Kegagalan berpikir logis (the failure of logic) yaitu keadaan di mana emosi seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima argumen yang logis). Orang-orang yang telah memiliki prasangka yang kuat akan suatu hal akan sangat sulit untuk diubah cara pandangnya, bahkan orang yang biasanya rasional sekalipun dapat menjadi kebal terhadap logika dan fakta ketika berbicara mengenai hal-hal yang sudah menimbulkan prasanga tertentu. Ada dua hal yang menyebabkan hal ini, yaitu aspek afektif dan kognitif dari sikap (attitude). Aspek afektif atau emosi membuat seseorang sangat susah untuk diubah cara pandang atau prasangkanya; seseorang yang telah mengembangkan perasaan/emosi tertentu mengenai suatu hal cenderung memakai emosinya daripada logika (argumen yang bersifat logis tidak efektif dalam melawan emosi). Aspek kognisi yang membuat logika gagal adalah pemrosesan informasi. Seperti yang telah dibahas, dunia terlalu rumit bagi manusia untuk memiliki pemikiran yang berbeda untuk setiap hal. Pikiran manusia pada dasarnya kurang objektif, contohnya, ketika individu telah membentuk skema mengenai kelompok tertentu, cara individu tersebut memproses informasi mengenai kelompok tersebut akan berbeda dengan cara memproses informasi mengenai kelompok lain. Ketika informasi yang diterima konsisten dengan skema yang telah terbentuk, informasi ini akan lebih diperhatikan dan akan lebih sering dilakukan atau diingat dibandingkan informasi yang berlawanan dengan skema. Kuatnya Stereotip Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal tertentu. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya pada stereotype yang ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype tersebut sebagai kepercayaan yang didukung oleh orang-orang lain. 6

7 Aktifasi Stereotip Individu dapat memiliki perasaan negatif atau sekedar mengetahui stereotip tertentu mengenai suatu hal atau orang, namun mereka dapat menekan perasaan negatif tersebut untuk menonjolkan fakta bahwa mereka adil (tidak berprasangka) dan mengesampingkan stereotip yang ada. Walaupun demikian, perasaan negatif dan stereotip sesungguhnya tetap ada dan tersembunyi di dalam diri, dan dapat diaktivasi oleh stimulus yang ada. Eksperimen yang dilakukan oleh Rogers dan Prentice-Dunn (1981) membuktikan hal tsb. Eksperimen ini dilakukan dengan partisipan siswa kulit putih. Para siswa diberitahu bahwa mereka akan diminta melakukan sengatan listrik terhadap siswa lain yang sedang belajar (the learners). Partisipan diberitahu bahwa the learners merupakan orang kulit putih dan hitam. Partisipan memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih rendah kepada orang kulit hitam daripada orang kulit putih, kemungkinan untuk menekan hasrat atau untuk menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki prasangka. Suatu saat, partisipan mendengar the learner memberikan komentar yang merendahkan terhadap mereka, yang secara alami membuat mereka marah. Sctelah itu. dengan kekuasaan mereka untuk melakukan sengatan listrik, partisipan yang bertugas untuk orang kulit hitam memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih kuat daripada partisipan yang bekerja dengan siswa kulit putih. Partisipan berhasil menekan (suppress) perasaan negatif mereka dalam kondisi normal, namun ketika merasa marah atau frustasi, atau self~esteem mereka goyah, mereka mengekspresikan prasangka secara langsung. Proses Stereotip: Otomatis dan Terkendali Patricia Devine dkk menemukan bahwa anggota masyarakat sama-sama menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya, meskipun mungkin mereka tidak mempercayai stereotip tsb. Devine dkk membedakan adanya dua pemrosesan informasi stereotip, yaitu pemrosesan otomatis dan pemrosesan terkendali. Pemrosesan otomatis: Terjadi ketika ada stimulus yang memicu, adanya anggota kelompok yang distereotip dan pernyataan yang mengandung stereotype, mengakibatkan stereotype mengenai kelompok tersebut teraktivasi. ~ Terjadinya tanpa disadari, terjadi begitu saja dipicu oleh adanya suatu stimulus. Pemrosesan terkendali: Terjadi dengan kesadaran ~ individu memutuskan untuk mengikuti stereotype yang ada atau tidak. Model Prasangka: Justification Suppression Berdasarkan penelitian-penelitian Divine dkk mengenai dua jenis pemrosesan stereotip tersebut di atas, Crandall dan Eshleman (2004) mengajukan suatu model teori yang menjelaskan bagaimana bekerjanya prasangka. Menurut model ini, kebanyakan orang berjuang di antara kebutuhan untuk mengekspresikan prasangka dan kebutuhan untuk mempertahankan konsep diri yang positif (dalam hal ini tidak berprasangka), 7

8 baik di mata mereka sendiri maupun di mata orang lain. Seperti kita ketahui, melakukan supresi (menekan) impuls prasangka akan memakan energi. Manusia selalu menghindari pemakaian energi yang konstan sehingga selalu mencari pembenaran yang valid mengenai sikap negatif mereka terhadap orang lain atau out-group (menghindari disonansi kognitif). Ketika menemukan pembenaran atas sikap negatif ini, kemudian kita dapat mengekspresikan sikap negatif kepada out-group yang dimaksud dan terhindar dari disonansi kognitif. The Illusory Correlation Hal lain yang membuat kita mengalami proses kognitif stereotip adalah karena adanya ilusi korelasi (illusory correlation), yaitu kecenderungan menghubungkan antara dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Sebagai contoh, adanya kepercayaan bahwa pasangan yang belum mempunyai anak akan dapat mempunyai anak setelah mengadopsi anak. Hal ini sebenamya sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Pasangan yang terlebih dahulu mengadopsi dapat memperoleh anak kemungkinan karena berkurangnya kecemasan dan tingkat stress-nya. Dalam konteks stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara orang-orang atau situasi tertentu (khusus) dan lebih lanjut kita anggap berlaku untuk semua anggota suatu kelompok. Dapatkah kita mengubah stereotip yang kita yakini? Para peneliti telah menemukan bahwa ketika kepada orang-orang disajikan beberapa contoh atau hal yang menyangkal stereotip yang ada, kebanyakan hal itu tidak mengubah kepercayaan umum mereka. Namun, dalam satu percobaan, beberapa orang yang disajikan dengan bukti, itu justru memperkuat keyakinan stereotip mereka, karena bukti itu menantang mereka untuk mencari alasan tambahan untuk berpegang pada keyakinan itu. 2. Bagaimana Kita Menetapkan Makna: Macam-macam Bias Atribusi Seperti halnya kita membentuk atribusi terhadap perilaku seseorang, kita pun melakukan atribusi (menyimpulkan penyebab perilaku) terhadap kelompok secara menyeluruh. Berikut ini beberapa fenomena yang menggambarkan atribusi terhadap kelompok. Penjelasan Disposisional dan Situasional Salah satu mengapa stereotype sangat melekat dalam kehidupan manusia adalah karena adanya kecenderungan untuk melakukan dispositional attribution (atribusi intemal), yaitu bahwa penyebab perilaku seseorang lebih dianggap sebagai hasil dari aspek kepribadian orang itu dan bukan aspek situasional. Kecenderungan ini biasa disebut fundamental attribution error (kesalahan atribusi mendasar). Meskipun mengatribusi perilaku orang-orang atas dasar faktor disposisional (internal) juga sering 8

9 akurat, bagaimanapun perilaku manusia juga dibentuk oleh situasi. Oleh sebab itu bila terlalu bersandar pada atribusi disposisional, seringkali membuat atribusi kita salah. Berdasarkan proses yang terjadi pada tingkat individu ini, kita dapat membayangkan masalah dan komplikasi yang muncul ketika kita melakukannya terhadap seluruh anggota kelompok pada out-group. Stereotip merupakan atribusi disposisional yang negatif. Thomas Pettigrew (1979) menyebut kecenderungan untuk membuat atribusi disposisional tentang perilaku negatif individu dan mengenakannya untuk seluruh anggota kelompok ini sebagai ultimate attribution error. Ultimate Attribution Error : Kecenderungan melakukan atribusi disposisional kepada seluruh anggota kelompok. Ancaman Stereotip Secara statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik antar berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan kelompok Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika. Mengapa hal ini terjadi? Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain faktor ekonomi, budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain, yaitu adanya kecemasan yang dihasilkan oleh stereotip negatif. Dalam serangkaian eksperimen, Claude, Steele, Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan adanya satu faktor situasional yang dominan (yang menentukan kinerja dalam tes akademik) yang didasari fenemona yang mereka sebut sebagai ancaman stereotip. Ancaman Stereotip (Stereotype Threat): Ketakutan yang dialami oleh anggota suatu kelompok bahwa perilaku mereka dapat membenarkan stereotip budaya mengenai kelompoknya. Sebagai contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi, sebagian besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif, yakni inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan Jika nilai saya buruk dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya. Harapan dan Penyimpangan Stereotip Ketika anggota kelompok lain (outgroup) berperilaku seperti yang kita harapkan, hal ini akan menegaskan dan bahkan menguatkan stereotip kita. Tapi apa yang terjadi ketika anggota suatu outgroup berperilaku dengan cara yang tak terduga (nonstereotypical)? Menurut teori atribusi, individu akan cenderung tetap menganggap 9

10 bahwa orang yang berperilaku berlawanan dengan stereotip, sebenarnya memiliki kesamaan dengan stereotype tersebut, hanya saja hal itu tidak tampak dengan jelas dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa seseorang merupakan orang yang tidak ramah, kemudian kita berinteraksi dengan orang tersebut dan menemukan bahwa orang tersebut berperilaku ramah. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung menganggap bahwa perilaku ramah orang tersebut adalah palsu, dan di balik keramahannya sebenarnya ia adalah orang yang tidak suka berteman. Dalam hal ini kita melakukan atribusi disposisional/internal (dispositional attribution), disebabkan adanya stereotip disposisional (dispositional stereotype) yang sudah tertanam di benak kita. Menyalahkan Korban Sulit bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana rasanya menjadi sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang berniat baik akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan kelompok lain yang menjadi sasaran diskriminasi. Tetapi empati saja sebenarnya tidak mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan reputasi mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan lainnya. Padahal, ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap menyalahkan korban (blaming the victim). Berlangsungnya atribusi seperti ini: Jika orang-orang Yahudi telah menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu yang memungkinkan terjadinya hal tersebut. Menyalahkan Korban (Blaming the Victim): Kecenderungan untuk menyalahkan individu atas situasi atau kejadian yang menimpanya, biasanya dimotivasi oleh cara pandang 'the world is a fair place'. Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama kerasnya dalam melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah satunya menerimaa imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun. Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau tidak ada imbalan) cenderung kembali menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan meyakinkan dirinya bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras dalam menyelesaikan tugas. Self-Fulfilling Prophecies Jika Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang bodoh, meskipun sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan 10

11 kepintaran di hadapan Anda. Keadaan seperti ini merupakan Self-Fulfilling Prophecy, yang telah dibahas pada Bab 3. Self-Fulfilling Prophecies: Keadaan di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap seseorang; (2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain tersebut; (3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku sesuai dengan ekspektasi awal individu. Bagaimana hal ini terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan mengajukan pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat ia berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar. Anda memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: Mengapa membuang energi memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal yang cerdas atau menarik? Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A, karena jika seseorang yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia akan merasa tidak nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua puisi dan kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi keyakinan awal yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup self-fulfilling prophecy. Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini untuk stereotip dan diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, & Cooper, 1974). Mahasiswa perguruan tinggi kulit putih diminta untuk mewawancarai pelamar pekerjaan; beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya orang Afrika Amerika. Tanpa disadari, para mahasiswa menampilkan ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika mewawancarai pelamar Afrika Amerika. Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap, dan mengakhiri wawancara jauh lebih cepat dibanding ketika mereka mewawancarai pelamar kulit putih. Apakah perilaku ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika? Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka mengatur perilaku pewawancara (oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi sesuai dengan cara pewawancara memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika Amerika pada percobaan pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang diwawancarai adalah kulit putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku pelamar dinilai oleh penilai independen (bukan peneliti). Dalam eksperimen kedua ini mereka menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala wawancara untuk orang Afrika Amerika, dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang efektif dibanding dengan mereka yang diwawancarai ala wawancara dengan pelamar kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan, maka cenderung merespon dengan kurang baik. 11

12 3. Prasangka dan Kompetisi: Realistic Conflict Theory Salah satu sumber konflik yang paling menonjol atas konflik dan prasangka adalah kompetisi untuk sumber daya langka, politik kekuasaan, dan status sosial. Masalah sesederhana apapun dalam fenomena ingroup vs outgroup, akan diperbesar oleh persaingan ekonomi, politik, atau status. Realistic Conflict Theory menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas menyebabkan konflik antara kelompok-kelompok dan menghasilkan prasangka dan diskriminasi (Jackson, 1993; Sherif, 1966; White, 1977). Dengan demikian sikap berprasangka cenderung meningkat saat-saat tegang dan konflik ada atas tujuan mutually.exclusive. Misalnya, Prasangka sangat tinggi di antara orang-orang Palestina dan Israel yang memperebutkan daerah teritorial. Individu mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan anggota out-group yang berkompetisi dengannya atas kelangkaan sumber daya. Realistic Conflict Theory: Paham bahwa sumber daya yang terbatas akan berujung pada konflik antar kelompok dan meningkatkan prasangka dan diskriminasi. Dalam keadaan sumberdaya yang terbatas, terdapat risiko terjadinya frustasi dan ketidakbahagiaan, diikuti kecenderungan menyerang kelompok yang tidak disukai. Hal ini disebut scapegoating (mengambinghitamkan). Mengambinghitamkan (Scapegoating): kecenderungan individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia, mengarahkan agresi kepada kelompok yang tidak disukai dan relative lemah. 4. Cara Kita Melakukan Konformitas: Aturan-aturan Normatif Penyebab terakhir prasangka adalah konformitas, baik terhadap normaa standar yang berlaku maupun terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Konformitas memiliki motif tertentu, seperti untuk memperoleh informasi (informational confijrmity) atau agar diterima oleh kelompok tertentu (normative conformity). Ketika melibatkan prejudice, maka konformitas akan menjadi berbahaya. Bila Prasangka Diinstitusikan Norma adalah aturan atau batasan yang dianggap benar oleh masyarakat. Setiap budaya memiliki norma tertentu. Ketika individu hidup di lingkungan yang mempunyai norma yang mengandung stereotip dan diskriminasi, maka individu tersebut secara tidak sadar akan mengembangkan prasangka dan diskriminasi di dalam diri. Hal ini disebut institutionalized racism dan institutionalized sexism. 12

13 Institutionalized racism: Sikap membedakan ras (rasis) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi. Institutionalized sexism: Sikap pembedaan jenis kelamin (seksisme) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi. Prasangka Modern Zaman berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap out-group. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati terhadap perilakunya dengan tidak menunjukkan prejudice kepada khayalak luar, namun tetap berpegang kepada stereotip yang diyakini. Fenomena ini dikenal sebagai modern racism. Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah 'aman', prasangka mereka akan terkuak. Prasangka Modern: Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri. Sebagai contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa mereka tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua berkulit putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras bahwa keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak ingin anak mereka menghabiskan banyak waktu di bus. Tetapi menurut John McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit putih tidak banyak banyak protes ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya hanya melalui sekolah orang kulit putih. C. BAGAIMANA CARA MENGURANGI PRASANGKA? Pettigrew dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi prasangka: Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers. 13

14 Mutual Interdependence: Keadaan dirnana dua atau lebih kelornpok saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain guna mencapai tujuan yang penting bagi mereka. Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya, maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang). Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan informal dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa stereotip yang dipercayainya ternyata salah. Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinannya tentang out-group adalah salah. Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut. Sebagai ringkasan dari ilustrasi di atas, kelompok-kelompok yang bermusuhan akan mengurangi stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam kondisi kontak (Aronson & Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978): 1. Rasa saling ketergantungan 2. Suatu tujuan bersama 3. Status seimbang 4. Kontak informal, interpersonal 5. Beberapa kontak 6. Norma sosial dan kesetaraan Kerjasama dan Salingketergantungan: The Jigsaw Classroom Tahun 1971, Elliot Aronson menerapkan sebuah konsep yang dapat membuat suasana kelas lebih harmonis yang disebut jigsaw classroom. Aronson menyusun tempat duduk murid-murid dengan pola interasial, di mana setiap kelompok berisikan murid dengan ras dan etnis yang berbeda yang mempunyai tujuan yang sarna. Melalui jigsaw lassroom, murid-murid mulai saling memperhatikan dan menghormati satu sama lain 14

15 karena adanya mutual interdependence di antara mereka. Jigsaw classroom dapat berhasil karena teknik ini membuat setiap anak berpartisipasi dalam kelompok yang kooperatif yang memecahkan persepsi in-group versus out-group, dan membuat individu mengembangkan kategori kognitif "kesatuan" antar murid. Alasan lain mengapa jigsaw classroom berhasil adalah karena jigsaw classroom mengembangkan hasil interpersonal yang positif, dimana anak mengembangkan empati melalui kegiatan kooperatif yang dilakukan dalam kelas. --oo0oo-- 15

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Modul ke: 09 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA PSIKOLOGI SOSIAL Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA Pengantar Manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak berkembang dengan sendiri. Kita tidak memiliki tempurung pelingdung, dan bulu apa yang kita miliki

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Modul ke: Fakultas Psikologi Pengertian dan jenis prasangka; pembentukan, mengatasi prasangka; Peran stereotipe; Diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Sri Wahyuning Astuti,

Lebih terperinci

Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1. Prasangka dan Diskriminasi. Fakultas PSIKOLOGI. Filino Firmansyah M. Psi. Program Studi Psikologi

Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1. Prasangka dan Diskriminasi. Fakultas PSIKOLOGI. Filino Firmansyah M. Psi. Program Studi Psikologi Modul ke: PSIKOLOGI SOSIAL 1 Prasangka dan Diskriminasi Fakultas PSIKOLOGI Filino Firmansyah M. Psi Program Studi Psikologi Bahasan definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi teori-teori mengenai penyebab

Lebih terperinci

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam Bab II Kajian Pustaka 2.1. Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok.

Lebih terperinci

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender 1 Tujuan belajar 1. Memahami arti stereotip dan stereotip gender 2. Mengidentifikasi karakter utama stereotip gender 3. Mengakui stereotip gender dalam media

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Johnson ( Supraktiknya, 1995) konflik merupakan situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa sekarang banyak sistem pendidikan yang bisa diberikan oleh para orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan orangtuanya.

Lebih terperinci

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI MODUL PERKULIAHAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Pengertian dan jenis prasangka; pembentukan, mengatasi prasangka; Peran stereotipe; Diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Fakultas Program Studi Tatap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

EMOSI DAN SUASANA HATI

EMOSI DAN SUASANA HATI EMOSI DAN SUASANA HATI P E R I L A K U O R G A N I S A S I B A H A N 4 M.Kurniawan.DP AFEK, EMOSI DAN SUASANA HATI Afek adalah sebuah istilah yang mencakup beragam perasaan yang dialami seseorang. Emosi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III Stereotip. Gender. Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari

BAB III Stereotip. Gender. Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari BAB III Stereotip Gender Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari perilaku diri sendiri

Lebih terperinci

Persepsi Sosial : Memahami orang lain

Persepsi Sosial : Memahami orang lain Persepsi Sosial : Memahami orang lain Persepsi Sosial Adl proses untuk memahami orang lain. Proses utk menginterpretasi dan mengevaluasi orang lain mengenai sifat-sifat, kualitasnya dan keadaan lain yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk kemajuan pembangunan. Salah satu lembaga pendidikan yang penting adalah perguruan tinggi.

Lebih terperinci

Pertemuan 6 20 April 2013

Pertemuan 6 20 April 2013 Pertemuan 6 20 April 2013 PERSEPSI Proses penerimaan dan pengolahan informasi dalam diri individu dimulai dari proses penerimaan informasi yang paling awal, yaitu sensasi, kemudian diikuti dengan proses

Lebih terperinci

Validitas dalam Penelitian Eksperimental

Validitas dalam Penelitian Eksperimental Validitas dalam Penelitian Eksperimental LIA AULIA FACHRIAL, M.SI Apa itu Validitas? o Validitas secara umum menyangkut dua hal VALIDITAS ALAT UKUR & VALIDITAS PENELITIAN. o Validitas alat ukur seberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn.

BAB II KAJIAN TEORI. maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang kesenian. Begitu juga terhadap mata pelajaran PKn. BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar PKn Kondisi belajar mengajar yang efekif adalah adanya minat perhatian siswa dalam belajar mata pelajaran PKn. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intergroup anxiety adalah perasaan cemas dan tidak nyaman yang mungkin dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan kelompok outgroupnya (Stephan, 2014). Perasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting

Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar Menetapkan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah dari mahasiswa untuk menyalurkan bakat dibidang olahraga. Mahasiswa juga dapat mengembangkan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti

Lebih terperinci

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi MODUL PERKULIAHAN DIRI PRIBADI Presentasi diri; Pengetahuan diri pribadi; Berpikir mengenai diri pribadi; Harga diri pribadi; Penilaian diri pribadi; Diri pribadi sebagai sasaran prasangka Fakultas Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

Kognisi Sosial. (Berpikir mengenai dunia sosial)

Kognisi Sosial. (Berpikir mengenai dunia sosial) Kognisi Sosial (Berpikir mengenai dunia sosial) adalah cara kita menginterpretasi, menganalisis, mengingat dan menggunakan informasi ttg dunia sosial. Bahasan ttg kognisi sosial meliputi: skema Heuristik

Lebih terperinci

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom.

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. AGRESI Modul ke: Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Fakultas Psikologi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. uji linieritas hubungan variabel X dan variabel Y harus dilakukan terlebih

BAB V HASIL PENELITIAN. uji linieritas hubungan variabel X dan variabel Y harus dilakukan terlebih BAB V HASIL PENELITIAN Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment untuk mencari hubungan antara identitas sosial etnis Jawa dengan prasangka terhadap etnis Tionghoa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

Hubungan Interpersonal Antara Petugas Pajak dan Wajib Pajak. Sumber: Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004

Hubungan Interpersonal Antara Petugas Pajak dan Wajib Pajak. Sumber: Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004 Hubungan Interpersonal Antara Petugas Pajak dan Wajib Pajak Sumber: Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004 Pengantar Salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai

Lebih terperinci

PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN

PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN PANDUAN MENGATASI HAMBATAN DALAM POPULASI PASIEN I Pendahuluan Rumah sakit sering kali harus melayani komunitas dengan berbagai keragaman. Ada pasien-pasien yang mungkin telah berumur, atau menderita cacat,

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

2. Konsep dan prinsip

2. Konsep dan prinsip Diskriminasi dan kesetaraan: 2. Konsep dan prinsip Kesetaraan and non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar 1. Menganalisa definisi diskriminasi di tempat kerja

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya.

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etnis Jawa merupakan salah satu etnis yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Berdasarkan analisis Suryadinata (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam pendidikan. Perguruan Tinggi diadakan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT Eva Fauziah Sonny Andrianto INTISARI Peneltian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian seorang ayah. Kematian adalah keadaan hilangnya semua tanda tanda kehidupan secara permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kuantitatif, yaitu metode yang menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 27 BAB II LANDASAN TEORI A. PRASANGKA 1. Pengertian Prasangka Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Effendy (2009: 5), komunikasi adalah aktivitas makhluk sosial. Dalam praktik komunikasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

A. Proses Pengambilan Keputusan

A. Proses Pengambilan Keputusan A. Proses Pengambilan Keputusan a) Definisi Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar

Lebih terperinci

BAB 2 KETRAMPILAN INTERPERSONAL

BAB 2 KETRAMPILAN INTERPERSONAL BAB 2 KETRAMPILAN INTERPERSONAL 1. DEFINISI KETRAMPILAN INTERPERSONAL Ketrampilan interpersonal didefinisikan sebagai ketrampilan untuk mengenali dan merespon secara layak perasaan, sikap dan perilaku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

1. Disosiasi: Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya.

1. Disosiasi: Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya. 1. Disosiasi: Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya. 2. Identifikasi: Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan mengambil/menirukan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA MATA KULIAH : PSIKOLOGI SOSIAL 1 KODE MATAKULIAH / SKS = IT / 3 sks

SATUAN ACARA PERKULIAHAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA MATA KULIAH : PSIKOLOGI SOSIAL 1 KODE MATAKULIAH / SKS = IT / 3 sks TIU : Agar Mahasiswa mampu memahami dan menganalisa perilaku manusia dalam lingkup, serta dalam fenomena yang berkaitan langsung dengan hidupan sehari-hari. 1 Pengantar A. PENGANTAR. Mimbar & tujuan pengajaran,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK Materi pembelajaran 'Motivasi Berprestasi' bertujuan untuk membekali mahasiswa/i akan pengertian, pemahaman terhadap motivasi berprestasi sebagai aspek pendorong untuk mencapai

Lebih terperinci

Discrimination and Equality of Employment

Discrimination and Equality of Employment Discrimination and Equality of Employment Pertemuan ke-3 Disusun oleh: Eko Tjiptojuwono Sumber: 1. Mathis, R.L. and J.H. Jackson, 2010. Human Resources Management 2. Stewart, G.L. and K.G. Brown, 2011.

Lebih terperinci

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE Komunikasi menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia, setiap hari manusia menghabiskan sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB 1 SIKAP (ATTITUDE)

BAB 1 SIKAP (ATTITUDE) Psikologi Umum 2 Bab 1: Sikap (Attitude) 1 BAB 1 SIKAP (ATTITUDE) Bagaimana kita suka / tidak suka terhadap sesuatu dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Sikap: - suka mendekat, mencari tahu, bergabung

Lebih terperinci

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Kode Etik Global Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari Takeda Pharmaceutical Company Limited Pasien Kepercayaan Reputasi Bisnis KODE ETIK GLOBAL TAKEDA Sebagai karyawan Takeda, kami membuat keputusan

Lebih terperinci

BAB-3 PEMAHAMAN DIRI (SELF AWARENESS) 3-1 KECAKAPAN ANTAR PERSONAL Copyright 2012 By. Ir. Arthur Daniel Limantara, MT, MM.

BAB-3 PEMAHAMAN DIRI (SELF AWARENESS) 3-1 KECAKAPAN ANTAR PERSONAL Copyright 2012 By. Ir. Arthur Daniel Limantara, MT, MM. BAB-3 PEMAHAMAN DIRI (SELF AWARENESS) 3-1 APAKAH PEMAHAMAN DIRI? Kesadaran diri adalah mengetahui motivasi, preferensi dan kepribadian serta memahami bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi penilaian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang 16 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa etnis sebagai masyarakatnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tinggi memiliki tujuan yaitu menyiapkan peserta didik menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tinggi memiliki tujuan yaitu menyiapkan peserta didik menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan tinggi memiliki tujuan yaitu menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau professional yang dapat

Lebih terperinci

PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA. Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A

PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA. Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A PANDUAN PENJURIAN DEBAT BAHASA INDONESIA Disusun oleh: Rachmat Nurcahyo, M.A DAFTAR ISI Pengantar: Lomba Debat Nasional Indonesia 1. Lembar Penilaian hal.4 a. Isi hal. 4 b. Gaya hal.5 c. Strategi hal.5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapkan pada faktor-faktor penyebab stress yang semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. dihadapkan pada faktor-faktor penyebab stress yang semakin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa-masa sekarang ini, siswa di seluruh dunia semakin banyak dihadapkan pada faktor-faktor penyebab stress yang semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan tentang teori psikologi penyakit skizofrenia yang akan saya gunakan untuk membuat analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Sub disiplin Psikologi Bidang terapan Psikologi

PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Sub disiplin Psikologi Bidang terapan Psikologi PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Pendekatan Biologi-saraf Pendekatan Perilaku Pendekatan Kognitif Pendekatan Psikoanalitik Pendekatan Phenomenologi Sub disiplin Psikologi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR

MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR Personality Questionaire PANDUAN PENGISIAN MBTI NO. A 1. Isilah dengan jujur & refleksikan setiap pernyataan yang ada ke dalam keseharian Anda 2. JANGAN terlalu banyak berpikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

MANAGEMENT SUMMARY CHAPTER 7 DECISION MAKING

MANAGEMENT SUMMARY CHAPTER 7 DECISION MAKING MANAGEMENT SUMMARY CHAPTER 7 DECISION MAKING MANAJER SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN PROSES MEMBUAT KEPUTUSAN Manajer bertugas membuat keputusan. Dan mereka ingin keputusan tersebut menjadi keputusan yang terbaik,

Lebih terperinci