BAB II LANDASAN TEORI. dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg,
|
|
- Yulia Glenna Yuwono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Prasangka 1. Definisi prasangka Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan. Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap suatu kelompok dan anggotanya. Senada dengan Baron dan Grazino (1991), Burchell dan Fraser (2001) juga menyatakan bahwa prasangka merupakan studi tentang relasi antar 13
2 kelompok. Definisi yang dikemukakan oleh Baron dan Graziano (1991) serta Burchell dan Fraser (2001) telah mengkhususkan prasangka sebagai bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang membahas tentang dinamika kelompok, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek prasangka adalah kelompok sosial tertentu. Berdasarkan definisi prasangka menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya. 2. Komponen-komponen prasangka Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Sebagai suatu sikap, prasangka mempunyai tiga komponen dasar yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Mann dalam Azwar 2003) a. Komponen kognitif Komponen ini melibatkan apa yang dipikirkan dan diyakini oleh subjek mengenai objek prasangka. Stereotip adalah salah satu contoh bentuk dari komponen kognitif. b. Komponen afektif Komponen ini melibatkan perasaan atau emosi (negatif) individu yang berprasangka ketika berhadapan atau berpikir tentang anggota kelompok 14
3 yang tidak mereka sukai. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam dan bertahan sebagai komponen sikap. Komponen ini sering disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, perasaan pribadi seringkali dapat berbeda perwujudannya dengan perilaku aktual individu. Azwar (2003) menambahkan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan (apa yang dipercayai) sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tertentu. c. Komponen konatif Komponen ini melibatkan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu (negatif) atau bermaksud untuk melakukan tindakan (negatif) tersebut terhadap kelompok yang menjadi target prasangka. 3. Sumber prasangka Baron dan Byrne (2000) mengemukakan beberapa pandangan yang menjadi sumber dari prasangka, diantaranya yaitu : a. Efek kita versus mereka (kategori sosial sebagai dasar dari prasangka) Prasangka dapat timbul karena adanya pemisahan dunia sosial di sekitar individu menjadi kita (individu dalam kelompok yang sama) dan mereka (individu dalam kelompok yang berbeda). Pandangan ini terbatas apakah individu merupakan anggota kelompok lain (diistilahkan dengan outgroup) atau anggota di dalam kelompok yang sama dengan diri individu (diistilahkan dengan ingroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa dimensi yang mencakup ras, agama, jenis kelamin, usia, suku bangsa dan bahkan pekerjaan (Baron dan Byrne, 2000). 15
4 Linville dkk (dalam Baron dan Byrne, 2000) menambahkan bahwa individu dalam kategori kita (us) dipandang sebagai seseorang yang disukai, sedangkan individu dalam kategori mereka (them) akan dipandang secara negatif. Orang-orang dalam kategori mereka (them) akan diasumsikan memiliki sifat-sifat yang negatif, dan dipandang lebih sama (lebih homogen) daripada anggota ingroup. b. Pengalaman masa lalu (peran dari belajar sosial) Menurut pandangan Social Learning, anak mempunyai sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar dan meniru pandangan yang di ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan significant other lainnya. Anak-anak tersebut akan diberi reward (dengan pujian dan persetujuan) oleh orang tua, guru, dan significant other lainnya (oleh lingkungan) karena meniru pandangan tersebut (Baron dan Byrne 2000). Theory Social Learning menyatakan bahwa berbagai tindakan adalah dipelajari dan merupakan proses dari belajar. Fazio dan Towles-Schwen (dalam Baron dan Byrne, 2004) menambahkan bahwa pengalaman berinteraksi secara langsung dengan orang yang termasuk dalam kelompok lain juga membentuk sikap rasial. Terdapat dua aspek dari prasangka yaitu mempertahankan perilaku berdasarkan prasangka dan menahan diri ketika berinteraksi dengan orang yang berasal dari luar kelompok kita (terutama untuk menghindari pertengkaran dan kejadian yang tidak menyenangkan dengan mereka). 16
5 Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga menyatakan bahwa norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas juga berperan dalam pembentukan prasangka. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma dalam kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan untuk konform dengan norma. c. Sumber kognitif dari prasangka (stereotip dan illusory correlation) Baron dan Byrne (1991) mengatakan bahwa stereotip dan illusory correlation adalah sumber dari prasangka. Menurut Baron dan Byrne (1991), stereotip adalah kepercayaan bahwa anggota kelompok tertentu memiliki karakteristik atau sifat tertentu, sedangkan Illusory correlation adalah kecenderungan individu untuk menghubungkan (korelasi) beberapa variabel yang sebenarnya tidak ada (Hamillton dan Gillford dalam Baron dan Byrne, 1991). Illusory correlation diartikan Baron dan Byrne (2000) sebagai penerimaan hubungan antara variabel yang dikuatkan (yang sebenarnya tidak berhubungan) daripada yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut terjadi ketika masing-masing variabel berbeda, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Khususnya hubungan akan terjadi dari kombinasi yang tidak biasa sehingga lebih mudah untuk dipanggil daripada kejadian-kejadian lain. Seperti kerangka kognitif lainnya stereotip memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses penerimaan informasi. Illusory correlation berkontribusi terhadap terjadinya stereotip negatif. Sedangkan stereotip dan prasangka menurut Baron dan Byrne (1997) mempunyai hubungan yang sangat kuat. Prasangka dapat 17
6 menimbulkan stereotip, sebaliknya stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka Menurut Brigham (1986) prasangka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda. Pola interaksi antar kelompok dapat membuat anggota kelompok berprasangka. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara ingroup dan outgroup dapat meningkatkan prasangka. Perbedaan juga dapat menimbulkan prasangka. Tajfel dan Turner (dalam Brigham, 1986) menyatakan bahwa perbedaan status dapat menimbulkan etnosentrisme dan dan hal ini dapat memicu timbulnya prasangka. Rokeach (dalam Brigham 1986) juga menambahkan bahwa orang cenderung tidak suka terhadap orang lain yang tidak memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai dengan mereka. Faktor sosial dan perbedaan norma sosial juga berperan. Pettigrew (dalam Brigham, 1986) mengatakan bahwa tekanan konformitas dan norma dapat berhubungan dengan prasangka. Menurut Pettigrew, Peran norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas merupakan hal yang penting. Hampir sebagian orang memilih untuk konform terhadap norma sosial kelompok mereka. Peningkatan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain diperoleh dari kecenderungan ini (dalam Baron dan Byrne, 2000). 18
7 Prasangka bisa berhubungan dengan karakteristik kepribadian individu seperti authoritarianism dan dogmatism (Brigham, 1986). Namun, ada penelitian yang menemukan bahwa faktor demografik seperti usia, tingkat pendidikan dan wilayah di mana seseorang tinggal merupakan predikator yang sangat kuat dari prasangka daripada faktor-faktor kepribadian (Maykovich dalam Brigham, 1986). Faktor keluarga dan pengalaman masa lalu juga dapat menimbulkan adanya prasangka. Abu Ahmadi (1999), bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Lebih lanjut Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa prasangka dapat dipelajari anak dari orangtua mereka. 5. Tipe-tipe prasangka Geartner, Jones, kovel (dalam Soeboer, 1990) mengemukakan tiga tipe prasangka yaitu dominative, ambivalent, dan aversive. a. Tipe Dominative Individu dalam tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya (prasangka) secara terbuka terhadap target prasangka. Individu dapat melakukan tindakan berupa penyerangan atau perilaku-perilaku agresif pada target prasangka. Individu dalam tipe ini berusaha untuk memelihara posisi superior/ eksklusivitas kelompoknya. b. Tipe Ambivalent Individu dalam tipe ini merasa bersimpati pada target prasangka dan di waktu bersamaan juga merasa khawatir target prasangka dapat merugikan 19
8 mereka. Pada tipe ini, individu dapat mengekspresikan perasaan negatif mereka pada target prasangka. c. Tipe aversive Individu dalam tipe ini dapat berinteraksi dan mengadakan kontak dengan ramah dan sopan terhadap objek prasangka. Individu tipe ini akan menunjukkan sikap positif dan bersedia membantu anggota kelompok target prasangka. Namun, sesungguhnya Individu dalam tipe ini berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan interaksi dengan target prasangka. B. Etnis Tionghoa 1. Definisi etnis Tionghoa Istilah Cina dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi menjadi Tionghoa (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan Tiongkok untuk negara Cina dalam pers Indonesia an (Liem, 2000). Etnis Tionghoa menurut Purcell (dalam Liem, 2000) adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai Tionghoa atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. 20
9 Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. Sedangkan menurut Suryadinata (1981) istilah Tionghoa Indonesia digunakan merujuk pada etnis Tionghoa yang tinggal di negara Indonesia yang memiliki nama keluarga (marga), tanpa memandang kewarganegaraannya. 2. Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia Menurut Suryadinata dan Sanjatmiko (dalam Meinarno, 2007) etnis Tionghoa bukanlah etnis Pribumi. Rekaman sejarah juga memperlihatkan bahwa para imigran etnis Tionghoa tiba dalam gelombang-gelombang yang berbeda, dan dalam jangka waktu yang juga bervariasi. Mereka memakai bahasa mereka sendiri, dan membawa teman-teman sedarah mereka, baik yang semarga maupun yang bukan ke bumi Indonesia. Gelombang pertama datang ke bumi Nusantara diperkirakan dimulai pada abad ke 16. Pada saat itu di Nusantara telah berdiri kerajaaan-kerajaan yang telah melakukan kegiatan ekonomi antar wilayah kekuasaannya. Sejarahwan Ma- Hua (dalam Liem, 2000) menyebutkan bahwa mayoritas awak kapal Cheng-Ho yang berlayar ke Mekkah adalah muslim Hanafi. Hal ini diperkuat oleh Profesor Slamet Muljana (dalam Liem, 2000) yang menyatakan bahwa mayoritas kerajaan Jawa Utara pada abad ke 15 adalah pengikut Hanafi yang diperkenalkan oleh muslim Tionghoa melalui kegiatan misi (damai) pada dinasti Ming. 21
10 Pada saat itu, perpindahan penduduk bukan berarti perpindahan keluarga. Biasanya hanya kaum pria yang pindah ke rantau (tidak membawa istri/wanita). Dalam perkembangan kemasyarakatan Indonesia, para perantau inilah yang disebut Tionghoa Peranakan. Hal ini dikarenakan setelah mereka menetap selama beberapa waktu, mereka akhirnya menikah dengan perempuan dari etnis Pribumi. Gelombang pendatang kedua dan yang paling padat tiba pada abad ke-19. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan tanah airnya akibat kebutuhan ekonomi di bawah tekanan kolonialisme modern. Ribuan etnik Tionghoa yang merantau ini diantaranya direkrut sebagai kuli kontrak (Liem, 2000). Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang ini datang membawa serta keluarganya. Berbeda dengan Etnik Tionghoa yang datang pada gelombang pertama, ketika sampai di nusantara mereka secara fisik tidak mengadakan proses asimilasi. Mereka tetap mempertahankan gaya hidupnya, dan karena itulah mereka disebut sebagai Tionghoa totok. 3. Etnis Tionghoa di kota Medan a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung 22
11 dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur (Lubis 1995). Gelombang kedua berlangsung pada tahun Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok (Lubis, 1995). Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan (Lubis, 1995). Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa (Lubis, 1999). Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur Medan-Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial 23
12 membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik Tuan Kebon asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan (Tan, 2004 ). Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi kota yang memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain (Lubis, 1999). b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data dari penelitian Lubis (1995), Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa (Lubis, 1999). Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang (Lubis, 1995). Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan 24
13 yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas (Lubis, 1995). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suwardi Lubis (1999), bahwa etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha (Lubis, 1999). Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya (Lubis, 1999). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompokkelompok etnik di kota berfungsi sebagai kepompong atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain (Pelly dalam Lubis 1999). Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi (Lubis, 1999). 25
14 Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%). Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun, persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran Kong Hu Cu. Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Hal ini juga diperkuat dengan data yang diperoleh dalam penelitian Lubis (1995) yang menyebutkan bahwa Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa. Dalam masyarakat etnik Tionghoa di kota Medan, ada peraturan tak tertulis bahwa mereka diharapkan untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Hal ini diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh Suwardi Lubis (1995), terhadap beberapa wanita etnis Tionghoa Hokkian di kota Medan. Dalam wawancara tersebut, tersirat jelas bahwa wanita etnis Tionghoa tidak mempunyai keinginan untuk menikah dengan etnis lain. Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa suami dari etnis lain tidak akan memberikan kepuasan material (miskin). Apabila terjadi perkawinan antar etnis di luar etnis Tionghoa, maka wanita atau pria Tionghoa tersebut akan diasingkan dari pergaulan kehidupan keluarga mereka (Lubis, 1995). 26
15 Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995). C. Etnis Pribumi Etnis Pribumi adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina). Menurut (Arief 1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa. Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan 27
16 kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan. Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2000, penduduk kota Medan terdiri dari : Tabel 1 Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2000 Suku Persentase Melayu 6,59 Karo 4,10 Simalungun 0,69 Tapanuli/Toba 19,21 Mandailing 9,36 Pak-pak 0,34 Nias 0,69 Jawa 33,03 Minang 8,60 Cina 10,65 Aceh 2,78 Lainnya 3,95 Catatan : - Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll) - Mandailing mencakup suku Mandailling dan Angkola - Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura) - Warga negara asing tercakup dalam lainnya Berdasarkan tabel 1, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud etnis Pribumi di kota Medan adalah suku Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Mandailing, Jawa, Minang, dan Aceh. 28
17 D Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan Dalam sejarah sosial Indonesia, etnis Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok-olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Peristiwa-peristiwa ini tentunya akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa mereka adalah kaum minoritas yang terancam dan rapuh. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan berpotensi melahirkan prasangka. Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Brehm dan Kassim (1993) menambahkan bahwa Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial. Budi Susetyo (1999) mengamati bahwa sebenarnya hubungan antara etnik Cina dan Pribumi sejak lama memang sudah tidak baik. Generasi-generasi berikutnya dari kedua kelompok ini kemudian mewarisi perasaan tidak sukanya melalui proses sosialisasi dalam kelompok dan mengalami penguatan lewat beberapa peristiwa yang dilihat ataupun dialaminya sendiri. Hal ini diperkuat oleh Baron dan Byrne (2000) yang menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dan proses belajar merupakan salah satu sumber dari timbulnya prasangka. Menurut pandangan Social Learning, anak mendapat sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena belajar dari pandangan yang di 29
18 ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan lainnya. Kemudian hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak karena meniru pandangan mereka (Baron dan Byrne 2000). Pengalaman etnis Tionghoa dalam berinteraksi dengan sebagian etnis Pribumi dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia (terutama kejadian 1998), memperkuat prasangka yang ada. Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi tampak dari stereotip-stereotip negatif tentang etnis Pribumi yang berkembang pada etnis Tionghoa. Orang Pribumi dikatakan sebagai pemalas, hidup hanya untuk mencari kesenangan, mau cari untung tanpa keluar keringat, bodoh, pemeras, dan seterusnya (Dahana dalam Susetyo, 1999). Begitu juga halnya yang terjadi pada etnis Tionghoa di kota Medan, seperti yang dikatakan oleh Jo (20) salah satu etnis Tionghoa totok di kota Medan, bahwa larangan untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi didapatkan banyak etnis Tionghoa di kota Medan dari orang tua mereka. Stereotip tentang etnis Pribumi yang didapat dari orangtua mereka mendapat pembenaran dari kejadian-kejadian tak menyenangkan yang mereka alami dengan beberapa etnis Pribumi (Komunikasi personal, Agustus 2007 ). Baron dan Byrne (1991) mengartikan stereotip sebagai suatu kepercayaan tentang anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara prasangka dan stereotype. Prasangka dapat menimbulkan stereotip dan stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu. 30
19 Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu etnis dengan yang lain berkembang subur. Pola pemukiman kota Medan yang segretif menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999). Hal ini senada dengan pernyataan Brigham (1986) bahwa pada level kognitif membuat perbandingan ingroup (mereka) dan outgroup (kita) dapat meningkatkan prasangka. Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dapat timbul karena adanya rasa perbedaan antar kelompok Kategori ingroup (etnis Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan. Dampak yang terlihat dari penguatan rasa kesatuan etnis ini adalah kurangnya interaksi etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Etnis Tionghoa di kota Medan sebagian besar hidup, dan tumbuh dalam perkampungan Cina yang tersegresi. Mereka bersekolah dan hidup di lingkungan etnis Cina. Etnis Tionghoa di Medan lebih senang untuk menggunakan bahasa Cina dalam berkomunikasi (Manurung dan Lina, 2005). Interaksi etnik Tionghoa di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik 31
20 Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995). Keengganan untuk berinteraksi rapat dengan etnis Pribumi pada sebagian etnis Tionghoa di kota Medan tampak dalam keseharian mereka. Interaksi etnik Cina di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Cina. Mereka pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu, tetap saja dengan teman-teman sesama etnik Cina (Lubis, 1995). Penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995), juga mengatakan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Peranan norma dan lingkungan sangat mempengaruhi prasangka yang ada dan berkembang di kota Medan. Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) menyatakan bahwa norma sosial merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Di kota Medan, ada norma tak tertulis bahwa keluarga etnis Tionghoa mengharapkan anak mereka untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa yang menikahi etnis selain etnis Tionghoa akan diasingkan dari komunitas mereka (Lubis, 1999). Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa di kota Medan tercermin dari penghindaran mereka untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi. Hal ini juga diperkuat dengan stereotip-stereotip yang mereka dapatkan dari orang tua dan 32
21 lingkungan mereka tentang etnik Pribumi. Pemukiman etnis Tionghoa yang tersegresi dan eksklusif adalah salah satu faktor yang membuat prasangka yang ada berkembang subur. 33
BAB I PENDAHULUAN. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki masyarakat multi-etnis. Terdapat lebih dari 360 kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, setara dengan variasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini didiami oleh beberapa kelompok etnis yaitu Etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy
BAB II LANDASAN TEORI A. SELF-EFFICACY 1. Pengertian Self-efficacy Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan gesekan yang dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya manusia selalu berkomunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. Hidup berdampingan secara damai antara warga negara yang beragam tersebut penting bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebar dari Sabang sampai Merauke. Termasuk daerah Sumatera Utara yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang pada dasarnya adalah pribumi. Suku bangsa yang berbeda ini menyebar dari Sabang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat yang multietnis. Hal ini tampak dari banyaknya suku yang beragam yang ada di provinsi ini misalnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Ahmadi, Drs Abu. (1999). Psikologi sosial edisi revisi. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Drs Abu. (1999). Psikologi sosial edisi revisi. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta. Arief, Rudy. (1997). Persepsi terhadap perlakuan diskriminasi di dalam kondisi minoritas dan kecenderungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk kota terbesar ketiga di Indonesia. Tidak hanya besar dari segi wilayah, namun juga besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang
16 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa etnis sebagai masyarakatnya,
Lebih terperinciBAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis
BAB 5 RINGKASAN Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis atau suku bangsa tinggal di dalamnya. Salah satu etnis yang paling menonjol perannya dalam perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah satu penyumbang kemajemukan di Indonesia karena masyarakatnya yang tidak hanya terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. armada pedagang Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan etnis Cina di Medan di mulai pada abad ke-15, dimana ketika armada pedagang Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk berdagang dengan cara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
102 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Peran Cheng Ho dalam proses perkembangan agama Islam di Nusantara pada tahun 1405-1433 bisa dikatakan sebagai simbol dari arus baru teori masuknya agama Islam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislamannya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan latar belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam ciri-ciri fisik,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beranekaragam Agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan daerah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai
Lebih terperinciBAB VII RAGAM SIMPUL
BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para Teolog abad pertengahan, para filsuf seperti Locke dan Hume, matematikawan, dan dikembangkan
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat
BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif
Lebih terperinciPrasangka Mahasiswa Papua Pada Etnis Jawa Di Kota Malang
Jurnal Mediapsi 2016, Vol. 2, No. 1, 11-18 Prasangka Mahasiswa Papua Pada Etnis Jawa Di Kota Malang Klaudia Ulaan, Ika Herani, & Intan Rahmawati kla_ulaan@yahoo.co.id Program Studi Psikologi, FISIP, Universitas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa serta agama yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara yang
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN. uji linieritas hubungan variabel X dan variabel Y harus dilakukan terlebih
BAB V HASIL PENELITIAN Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment untuk mencari hubungan antara identitas sosial etnis Jawa dengan prasangka terhadap etnis Tionghoa.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari beberapa suku bangsa yang berasal dari propinsi, yaitu Fukien dan Kwantung
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakangPenelitian Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asalnya dari satu daerah di negara Cina/Tiongkok, tetapi terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama merupakan sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut membuat orang lebih berpikir maju dan berwawasan tinggi. Pendidikan. majunya teknologi informasi dalam dunia pendidikan.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pendidikan akan membawa perubahan sikap, perilaku, nilai-nilai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PRASANGKA 1. Definisi Prasangka Prasangka merupakan sedikit dari banyaknya masalah yang harus dihadapi manusia. Ketika sekelompok orang berseteru, memicu berbagai tindakan agresif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Binjai merupakan kota multi etnik yang dihuni oleh etnis Melayu,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Binjai merupakan kota multi etnik yang dihuni oleh etnis Melayu, Jawa, Batak Karo, India dan Cina. Di antara etnik tersebut terdapat dua kelompok etnik yang berasal
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN EMPANG
24 BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN EMPANG 4.1 Letak dan Keadaan Fisik Kelurahan Empang merupakan kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Secara administratif, batas-batas
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
27 BAB II LANDASAN TEORI A. PRASANGKA 1. Pengertian Prasangka Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan memiliki berbagai suku, bahasa, dan agama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang damai, dimana agama ini mengajarkan keharusan terciptanya keseimbangan hidup jasmani maupun rohani sehingga dimanapun Islam datang selalu
Lebih terperinciBab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat
Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari beribu-ribu pulau tersebut Indonesia memiliki berbagai suku, ras, agama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asal-usul suku Banjar berasal dari percampuran beberapa suku, yang menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu dapat diidentifikasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan
10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat pula dikatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arsitektur sebagai produk dari kebudayaan, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya proses perubahan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kemajukan ini di tandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya dinamai suku Karo sekarang ini (P. Sinuraya,2000: 1). Setelah hancurnya Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu Kotamadya dari 33 kabupaten
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu Kotamadya dari 33 kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Tebing Tinggi memiliki luas daerah kurang dari 31 km² dan berjarak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku bangsa Tionghoa merupakan salah satu etnik di Indonesia. Mereka menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan leluhur orang Tionghoa
Lebih terperinciBAB II DATA DAN ANALISA
BAB II DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Informasi yang terkumpul dan digunakan sebagai acuan untuk dalam tugas akhir ini didapat dari berbagai sumber, antara lain: Literatur Wawancara Dokumen Dan catatan
Lebih terperinciBAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian. Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian
BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai untuk meneliti apa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Etnis Tionghoa merupakan bahan kajian yang menarik untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Etnis Tionghoa merupakan bahan kajian yang menarik untuk diperbincangkandengan segala permasalahan yang dihadapinya. Membicarakan etnis Tionghoa adalah sesuatu yang
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret,
Lebih terperinciBAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE)
BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE) A. Pengertian Prasangka Sosial Prasangka sosial merupakan suatu maslah yang tidak dapat kita hindari di dalam hidup bermasyarakat. Apa yang dimaksud dengan prasangka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan penduduk yang berdasarkan suku bangsa, budaya, ras dan agama. Kemajemukan yang ada pada bangsa Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai kelompok-kelompok
Lebih terperinciPENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etnis Jawa merupakan salah satu etnis yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Berdasarkan analisis Suryadinata (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulilmu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Sesuai dengan yang dinyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan bagi kelangsungan warga-warga masyarakat yang berada di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deli Tua adalah sebuah kota kecil yang terletak di kecamatan Deli Tua kabupaten Deli Serdang, kota ini adalah kota yang bisa dipastikan sebagai sendisendi kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia dimana perbedaan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia dimana perbedaan sukubangsa saling berdekatan dengan perbedaan ras, maka ciri-ciri ras yang sebenarnya adalah ciri-ciri
Lebih terperinciPRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE
Modul ke: 09 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang baru menginjak usia 8 tahun ini diresmikan tepatnya pada 15
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategi Pelayanan Di dalam menjalankan bisnis, ada dua prinsip yang harus dijalankan yaitu pelayanan terhadap konsumen dan komunikasi secara personal kepada konsumen. Pelayanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang berdiri di atas empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia, dan Bhinneka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi, sensitivitas terhadap perbedaan budaya dan perubahan demografis, memberi implikasi pada semakin pentingnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain dalam satu negara. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk secara permanen dari pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di sekitar lingkungan kita. Perpindahan yang kita temukan seperti perpindahan penduduk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. telah berlangsung sejak zaman purba sampai batas waktu yang tidak terhingga.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan lalu lintas pelayaran antara Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak zaman purba sampai batas waktu yang tidak terhingga. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN
BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN a. Latar Belakang (Times New Roman 14) Menguraikan tentang alasan dan motivasi dari penulis terhadap topik permasalahan yang diteliti / dikaji. Indonesia memiliki
Lebih terperinciDINAMIKA TIONGHOA ISLAM PASCA REFORMASI DI YOGYAKARTA ( ) SKRIPSI
DINAMIKA TIONGHOA ISLAM PASCA REFORMASI DI YOGYAKARTA (1998-2010) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. islam di Nusantara. Dan proses masuknya agama Islam di Indonesia menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Penyebaran Islam yang terjadi di Asia Tenggara menghasilkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya lokal sehingga membuahkan budaya baru yang dinamis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan
Lebih terperinciBab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam
Bab II Kajian Pustaka 2.1. Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tahun 1930 (http://id.wikipedia.org/wiki/tionghoa-indonesia, 15 Juni 2011).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930 (http://id.wikipedia.org/wiki/tionghoa-indonesia,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga adalah institusi pendidikan primer, sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan di lembaga lain. Pada institusi primer inilah seorang anak mengalami pengasuhan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam sekelompok masyarakat. Masyarakat terbentuk oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu sistem yang membentuk tatanan kehidupan dalam sekelompok masyarakat. Masyarakat terbentuk oleh individu dengan individu lainnya atau antara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan akan terwujud apabila manusia menggunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah (Huntington & Harrison, 2000, hal. 227) mengatakan bahwa pada era globalisasi budaya-budaya lokal yang bersifat keetnisan semakin menguat, dan penguatan budaya
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode kehidupan penuh dengan dinamika, dimana
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Periode ini merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Di atas keanekaragaman suku bangsa inilah, konstruksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masyarakat plural, terdiri dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam. Di atas keanekaragaman suku bangsa inilah, konstruksi kebangsaan Indonesia melahirkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung antar etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah dikunjungi dari transportasi apapun sering menjadi primadona bagi pendatang yang ingin keluar dari
Lebih terperincimenghubungkan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya merupakan sebuah kebisaan yang lahir atas dasar perilaku seharihari yang dianggap berkaitan erat dengan kehidupan dan proses perilaku kebiasaan itu menjadi
Lebih terperinciKEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1]. WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang
Lebih terperinciSurvei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia
Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia Jakarta, 7 Agustus 2006 METHODOLOGI Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni
Lebih terperinciIndia di perantauan indiadiaspora.nic.ind jumlah perantauan India di seluruh
BAB I PENDAHULUAN Kota Medan adalah ibukota provinsi Sumatera Utara dan merupakan salah satu kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Sejak abad ke 19 kota Medan telah tumbuh sebagai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologis konsep tinjauan historis terdiri dari dua kata yakni tinjauan dan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Tinjauan Historis Secara etimologis konsep tinjauan historis terdiri dari dua kata yakni tinjauan dan historis. Kata tinjauan dalam bahasa Indonesia berasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan juga ada yang kasar, ada yang berterus terang dan ada juga yang
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. didominasi oleh tanah gambut dan tanah liat. dengan luas wilayah Km, dan
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Geografis Parit Hidayat memilikii kondisi geografis dengan tipologi daerah datar dan didominasi oleh tanah gambut dan tanah liat. dengan luas wilayah 517.25 Km,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia,
BAB I PENDAHULUAN Dalam pendahuluan diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Uraian secara rinci dipaparkan sebagai berikut ini. A. Latar Belakang Masalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan
Lebih terperinciI.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan
Lebih terperinciBAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Deli Serdang. Berada di jalur lintas Sumatera, desa ini terletak diantara dua kota besar di
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN II. 1 Deskripsi Desa Muliorejo Desa Muliorejo merupakan salah satu desa / kelurahan yang berada di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Berada di jalur lintas Sumatera,
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM KANTOR RESOR IMIGRASI POLONIA. Indonesia dan kota terbesar di Pulau Sumatera. Kota Medan pada awalnya merupakan
BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR RESOR IMIGRASI POLONIA Medan sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Utara adalah kota kelima terbesar di Indonesia dan kota terbesar di Pulau Sumatera. Kota Medan pada awalnya merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa sekarang banyak sistem pendidikan yang bisa diberikan oleh para orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan orangtuanya.
Lebih terperinci