BAB II PE DEKATA TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PE DEKATA TEORITIS"

Transkripsi

1 BAB II PE DEKATA TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Pemberdayaan Masyarakat Syahyuti (2006) menyatakan bahwa konsep asli empower adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang dihadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Pemberdayaan berarti mempersiapkan warga desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, memulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial, ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individu maupun komunitas. Seseorang dapat dikatakan berdaya apabila mampu memimpin dirinya sendiri. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung, bukan berorientasi terhadap hasil. Untuk itu, partisipasi harus berlangsung dalam seluruh tahapan proses pemberdayaan. Ife (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan tidak lepas dari makna kekuasaan dimana individu atau kelompok memiliki atau menggunakan kesempatan untuk meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, dalam arti meredistribusikan kekuasaan dari kaum berpunya ke kaum tidak berpunya. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged). Pernyataan ini mengandung dua konsep penting, keberdayaan dan yang dirugikan yang masing-masing perlu diperhatikan dalam setiap pembahasan mengenai pemberdayaan sebagai bagian dari suatu perspektif keadilan sosial dan HAM. Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadar-tahuan menekankan pentingnya suatu proses edukatif (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka. Ini memasukkan gagasan-gagasan peningkatan kesadaran, membantu masyarakat dalam memahami masyarakat dan struktur opresi, memberikan masyarakat kosakata dan keterampilan untuk berkerja menuju perubahan yang efektif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas

2 6 sumberdaya yang penting (Nasdian, 2006). Lebih lanjut, Nasdian (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat secara konseptual membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginannya, sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk hari depannya. Pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni partisipasi dan kemandirian. Pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation), khususnya dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mendefinisikan pemberdayaan dari penerjemahan Bahasa Inggris empowerment yang juga dapat bermakna pemberian kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi, bukan proses instan. Pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap penyadaran, target yang akan diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu. Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari diri mereka (tidak dari orang luar). Tahap kedua adalah tahap pengkapasitasan atau capacity bulding atau dalam bahasa sederhana berarti memampukan atau enabling. Proses pengkapasitasan ini berlangsung pada diri manusia, organisasi, maupun sistem nilai. Tahap ketiga adalah pemberian daya atau empowerment dalam arti sempit, dimana target diberi daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian daya ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh target. Pranaka dan Moeljarto (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan

3 7 atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Nasdian (2006), proses pemberdayaan masyarakat ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) melalui power sharing untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Pemberdayaan merupakan proses pematahan dari hubungan subyek dengan obyek, dimana proses ini melihat pentingnya mengalirkan kekuasaan (flow of power) dari subyek ke obyek. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah beralih fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Pemberdayaan dapat diukur dengan menggunakan empat indikator yang biasa dipakai dalam mengukur kualitas kesetaraan gender (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Empat indikator tersebut antara lain: Pertama, akses yang berarti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai akses akan sumberdaya yang diperlukannya untuk mengembangkan diri. Kedua, partisipasi yaitu target yang diberdayakan pada akhirnya dapat berpartisipasi mendayagunakan sumberdaya yang diaksesnya. Ketiga, kontrol dalam arti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai kemampuan mengontrol proses pendayagunaan sumberdaya tersebut. Keempat, kesetaraan dalam arti pada tingkat tertentu saat terjadi konflik, target mempunyai kedudukan sama dengan yang lain dalam hal pemecahan masalah.

4 8 Lebih lanjut, Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mengemukakan lima fungsi pemberdayaan sebagai solusi pembangunan di Indonesia, yaitu: (1) konsep pemberdayaan masyarakat dipercaya mampu menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. (2) konsep pemberdayaan dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan, (3) konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan memperkukuh ikatan sosial di antara warga negara. Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian, (4) konsep pemberdayaan secara khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khususnya kepada penduduk setempat. Pada akhirnya, proses pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat bertambah cerdas dan mampu memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintah untuk belajar memahami dan melayani rakyatnya lebih baik, dan (5) konsep pemberdayaan dalam bentuk yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat tujuan penanggulangan kemiskinan Penyuluhan Pertanian Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara melibatkan diri petani, pengusaha, dan pedagang pertanian untuk melakukan belajar menemukan sendiri (discovery learning) agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara mandiri dan independent. Penyuluhan pertanian mengandung pengertian sebagai pendidikan di luar sekolah (non formal) yang ditunjukan kepada petani-nelayan beserta keluarganya agar mereka dapat berusahatani lebih baik (better farming), menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan bermasyarakat lebih baik (better community). Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa pendefinisian penyuluhan secara sistematis dapat diartikan sebagai proses yang: (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke

5 9 depan, (2) membantu penyadaran petani terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari hasil analisis tersebut, (3) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun suatu kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat dan menurut mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Sumintaredja (1987) yang dikutip Syahyuti (2006) mengartikan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, pembendaharaan informasi yang memadai, dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian sebagai kegiatan pendidikan non formal dilaksanakan dengan menggunakan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa, yaitu: 1. Belajar secara sukarela; 2. Materi pendidikan didasarkan atas kebutuhan petani; 3. Petani mampu belajar, sanggup berkreasi, dan tidak konservatif; 4. Secara potensi, keinginan, kemampuan, kesanggupan untuk maju sudah ada pada petani sehingga kebijaksanaan, suasana, dan fasilitas yang menguntungkan akan menimbulkan kegairahan petani untuk berikhtiar; 5. Belajar dengan mengerjakan sendiri adalah efektif dan yang dikerjakan dialami sendiri akan berkesan dan melekat pada diri petani serta menjadi kebiasaan baru;

6 10 6. Belajar melalui pemecahan masalah yang dihadapi adalah praktis dan kebiasaan mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik akan menjadikan seorang petani berinisiatif dan berswadaya; 7. Berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kepercayaan terhadap diri sendiri akan menimbulkan partisipasi masyarakat tani yang wajar Karakteristik Petani Ada dua kata dalam Bahasa Inggris berkenaan dengan petani yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu peasant dan farmer (Syahyuti, 2006). Peasant adalah gambaran dari petani yang subsisten (usahatani untuk konsumsi sendiri), sedangkan farmer adalah petani modern yang berusahatani dengan menetapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa, penyakap, dan buruh tani. Peasant identik dengan sikap kerjasama satu sama lain, memiliki usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri. Petani ini terbatas teknologinya, memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha lain untuk memenuhi pendapatannya. Rasionalisasi petani menurut James Scott adalah moral ekonomi mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko (Syahyuti, 2006). Menurut Chayanov dalam Syahyuti (2006), ciri khas ekonomi rumahtangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani bukan untuk mengejar produksi, namun semata untuk mencapai kesejahteraan anggota rumahtangga. Secara umum, petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya dari sektor pertanian. Di Indonesia, masalah rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya pengangguran yang ada di pertanian, telah menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Jumlah petani dengan tingkat pendididkan SD ke bawah masih menjadi proporsi terbesar. Sebaliknya kenaikan persentase kelompok pendidikan SLTP, SLTA, dan

7 11 perguruan tinggi tidak menunjukan kenaikan yang secara nyata, meskipun terjadi perbaikan komposisi tenaga kerja pertanian ke arah yang lebih positif Deskripsi Program SL-PTT Padi Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan program yang diluncurkan oleh Departemen Pertanian sebagai upaya pengembangan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) untuk meningkatkan produktivitas padi (Deptan, 2010). SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahatani menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). SL-PTT telah diperkenalkan pada tahun 2007 dan masih akan dilaksanakan pada tahun Peningkatan produksi padi yang terfokus pada penerapan SL-PTT tahun 2010 dilakukan pada lahan seluas hektar untuk padi non hibrida, padi hibrida, padi gogo, dan jagung hibrida. Selain dari SL-PTT padi, terdapat juga SL-PTT jagung, kedelai, dan kacang tanah. Di daerah Sukabumi, Kepala Bidang Ketahanan Pangan menyatakan kegiatan SL-PTT diadakan di 46 kecamatan yang telah melibatkan kelompok tani sampai dengan tahun 2009 dari kelompok tani yang ditargetkan, sedangkan sisa dari kelompok tani yang belum mendapatkan program SL-PTT akan mengikuti program tersebut pada tahun Melalui SL-PTT, diharapkan terjadi percepatan penyebaran teknologi PPT dari peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya (Deptan, 2008). PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan (Deptan, 2008). Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu terpadu (pengelolaan

8 12 sumberdaya tanaman, tanah, dan air dengan sebaik-baiknya), sinergis (memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi), spesifik lokasi (memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat), dan partisipatif (petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan). Perakitan komponen teknologi PTT dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Deptan, 2008). Langkah pertama penerapan PTT adalah pemandu lapangan bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP). Langkah kedua adalah merakit berbagai komponen teknologi PTT berdasarkan kesempatan kelompok untuk diterapkan di lahan usahataninya. Langkah selanjutnya adalah penyusunan RUK berdasarkan kesepakatan kelompok, kemudian penerapan PTT serta pengembangan PTT ke petani lainnya. Komponen dasar PTT padi terdiri dari (1) varietas unggul baru, inhibrida, atau hibrida; (2) benih bermutu dan berlabel; (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos; (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum; (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah; dan (6) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT. Adapun komponen teknologi pilihan antara lain: (1) pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2) penggunaan bibit muda (<21 hari), (3) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, (4) pengairan secara efektif dan efisien, (5) penyiangan dengan landak atau gasrok, dan (6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Deptan, 2010). Penentuan calon petani/kelompok tani SL-PTT (yang terbentuk berdasarkan SK Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten/Kota) antara lain: kelompok tani/petani yang dinamis dan bertempat tinggal dalam satu wilayah yang berdekatan, petani aktif yang memiliki lahan ataupun penggarap/penyewa dan mau menerima teknologi baru, bersedia mengikuti

9 13 rangkaian kegiatan SL-PTT (Deptan, 2010). Kelompok tani yang dimaksud adalah kelompok tani yang dibentuk berdasarkan domisili atau hamparan, diusahakan yang lokasi lahan usahataninya masih dalam satu hamparan. Luas satu unit SL- PTT adalah berkisar 25 hektar, dimana 24 hektar untuk SL-PTT dan satu hektar untuk LL. Dalam setiap unit SL-PTT perlu ditetapkan seorang ketua yang bertugas mengkoordinasikan aktivitas anggota kelompok, seorang sekretaris yang bertugas sebagai pencatat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada setiap pertemuan, dan seorang bendahara yang bertugas mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan. Peserta SL-PTT wajib mengikuti setiap tahap pertanaman dan mengaplikasikan kombinasi komponen teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi mulai dari pengolahan tanah, budidaya, penanganan panen dan pasca panen. Pada setiap tahapan pelaksanaan, petani peserta diharapkan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dan dijadwalkan, baik di petak LL maupun di lahan usahataninya. Pendampingan kegiatan SL-PTT oleh Pemandu Lapangan dan peneliti (Deptan, 2010). Pemandu Lapangan berperan sebagai pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan, dan kekuatan yang ada di lapangan dan desa. Selain itu, Pemandu Lapangan berperan juga sebagai dinamisator proses latihan SL-PTT sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan. Peran lain dari Pemandu Lapangan adalah sebagai motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta SL-PTT, juga dapat menjadi konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usahatani petani setelah kegiatan SL-PTT selesai. Mekanisme pelaksanaan SL-PTT dilakukan dengan cara (Deptan, 2010): 1. Persiapan SL-PTT, yaitu dengan mempertemukan tokoh formal dan informal serta petani calon peserta sebelum pelaksanaan SL-PTT untuk membahas analisis masalah, analisis tujuan, dan rencana kerja peningkatan produktivitas padi. Setelah itu, dilakukan penetapan langkah-langkah yang menyangkut tujuan, hasil yang diharapkan dan metode pembelajaran SL-PTT yang dilakukan bersama sebagai suatu kesepakatan. Selanjutnya, dilakukan penentuan jadwal pertemuan termasuk juga menentukan satu hari sebagai hari

10 14 lapang petani untuk memasyarakatkan dan mendeseminasikan penerapan teknologi budidaya melalui SL-PTT kepada kelompok tani dan petani sekitarnya. Selanjutnya menentukan letak petak SL-PTT yang strategis sehingga dapat dilihat dan ditiru oleh petani di luar SL-PTT; 2. Mengorganisasikan kelas SL-PTT yang dimaksudkan untuk membentuk organisasi kelompok tani peserta SL-PTT dengan memilih satu orang petani sebagai ketua, satu orang petani sebagai sekretaris, dan satu orang pertani sebagai bendahara. Selain itu, diwajibkan bagi seluruh peserta kelas SL-PTT untuk mengadakan pengamatan bersama-sama dan membahas temuan lapangan sesuai dengan topik-topik pengajaran dalam SL-PTT; 3. Menerapkan metode belajar orang dewasa, peserta SL-PTT memilih materi sesuai dengan kebutuhan teknologi spesifik lokasi, memacu peserta untuk berperan aktif dalam berdiskusi kelompok ataupun kegiatan lain dalam SL- PTT, serta melakukan proses belajar melalui pengalaman; 4. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan cara meminta beberapa peserta menceritakan pengalaman pengalaman yang lucu/berkesan dalam hidupnya. Selain itu, Pemandu Lapangan dapat menceritakan humorhumor segar sehingga suasana belajar menjadi hidup kembali; 5. Menghidupkan kembali dinamika kelompok yang dilakukan untuk saling mengenal ciri dan sifat dari masing-masing peserta sehingga dapat akrab satu dengan yang lainnya dalam SL-PTT; 6. Monitoring dan evaluasi oleh Pemandu Lapangan; 7. Membuat Pelaporan oleh Pemandu Lapangan; dan 8. Pertemuan-pertemuan kelompok dengan materi pertemuan terdiri dari: (1) teknik pengolahan tanah, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3) pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, (5) pengendalian OPT didasarkan pada prinsip PHT, (6) penanganan panen dan pascapanen dengan tepat dan benar, dan (7) mendiskusikan pemecahan masalah yang ada serta langkahlangkah yang diambil selanjutnya. Selain itu juga terdapat kegiatan lapangan yang terdiri dari kerja lapangan, pengamatan agroekosistem, mengambar dan

11 15 mempresentasikan kondisi agroekosistem, diskusi kelompok, topik khusus yang ditemui pada praktek di lapangan, serta mempraktekkan kegiatan SL-PTT lahan usahataninya Partisipasi Petani Pretty, dkk. (1995) dalam Daniel dkk. (2008) partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian, pengikutsertaan. Dengan demikian, pengertian partisipatif adalah pengambilan bagian/pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling), selanjutnya disingkat POAC. Oakley et al. (1991) dalam Ife (2005) menyatakan bahwa partisipasi sebagai tujuan mengandung arti suatu upaya memberdayakan rakyat dengan berupaya menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan. Gadi (1990, disitir dalam Kannan 2002) dalam Ife (2005) menampilkan partisipasi sebagai sebuah proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kaum tersingkir karena adanya perbedaan kekuasaan di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan beberapa alasan mengapa petani dianjurkan berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program penyuluhan, yaitu: 1. petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman mereka dengan teknologi dan penyuluhan, serta struktur sosial masyarakat mereka; 2. petani akan lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program penyuluhan jika ikut bertanggung jawab di dalamnya; 3. masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan

12 16 4. banyak permasalahan pembangunan pertanian, seperti pengendalian erosi tanah, perolehan sistem usahatani yang berkelanjutan dan pengelolaan pendekatan komersial pada pertanian, tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Nasdian (2006) menyatakan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar Kemandirian Petani Nasdian (2006) dan Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan/manajemen. Kemandirian material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi atau mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaruan dari luar sebagai guru mereka. Kemandirian petani dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya di era globalisasi ekonomi dicirikan oleh perilaku petani yang modern, efisien, dan berdaya saing tinggi. Mengacu pada pendapat Inkeles dan Smith (1974) dalam Sumardjo (1999), orang modern dicirikan oleh: (1) memiliki kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan perubahan, (2)

13 17 mempunyai kecenderungan membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar permasalahan dan pandangan lingkungannya dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah demokratis, (3) lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada massa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan diorganisasikan, (5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka pengembangan tujuan, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di dalam kontrol manusia/ tidak fatalis, (7) menyadari akan kelebihan orang lain dan menghargai hal tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9) percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau partisipasi yang diberikan, (10) berminat dan menilai tinggi pada pendidikan formal, dan (11) akan berprestasi secara penuh dan mempunyai kemampuan memilah dan memilih, serta mempunyai sifat optimistik. Petani yang mandiri (Sumardjo, 1999) juga dicirikan oleh perilakunya yang efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku efisien artinya berfikir dan bertindak disertai dengan sikap yang positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna atau berdaya guna. Kemudian yang dimaksud perilaku berdaya saing tinggi artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atau produk atau jasa yang dihasilkan. Petani berkemandirian tinggi artinya mampu mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tepat tanpa harus tergantung pada atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, serta mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan sehingga terjadi kesalingtergantungan (interdependencies) dan bukan ketergantungan. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya.

14 Hasil-Hasil Penelitian Penyuluhan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jarmie (1994), menyatakan bahwa sasaran dari penyuluhan pembangunan pertanian adalah perubahan perilaku petani. Perubahan perilaku petani didorong oleh: (1) pendidikan formal petani, (2) pendidikan formal ibu tani, (3) sumber informasi yang diterima, (4) alat baru berusahatani, dan (5) kebersamaan petani dengan penyuluh non pertanian. Adanya penerimaan ide baru pada petani Indonesia telah merubah cara pandang yang subsisten menjadi komersial, dimana perencanaan usahatani merupakan perubahan mendasar dari petani subsisten menjadi petani komersial. Dalam penerimaan ide baru berusahatani, Jarmie (1994) mengelompokkan petani ke dalam hierarki yang bervariasi. Kegiatan penyuluhan dilakukan minimal untuk menjadikan petani setidaknya tahu mensintesis (merancang, mengkombinasi, menata), mau menyusun (merumuskan, mengatur, menyesuaikan), dan bisa mengadaptasikan (mendemostrasikan, menampilkan). Bagi petani yang sudah tinggi tingkat penerimaan ide baru usahatani, masih dapat ditingkatkan lagi dengan melatih agar petani tahu menilai (mengkritik, merevisi, mempertahankan), menghayati (mengamalkan), dan bisa menciptakan (memperbaiki, membimbing pengembangan) terhadap ide baru yang diterima. Hasil penelitian Sumardjo (1999) mengenai transformasi model penyuluhan pertanian menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian harus dapat diarahkan untuk meningkatkan kemandirian petani. Asumsi dari keberhasilan aktivitas penyuluhan adalah terwujudnya kemandirian petani, menggunakan prinsip dialogis, berpihak pada petani, dan kedudukan petani ditempatkan pada sentral dalam pelaksanaan penyuluhan. Dalam penelitian ini, terdapat faktorfaktor internal petani yang berpengaruh terhadap kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling mempengaruhi adalah: (1) ciri-ciri komunikasi, (2) kualitas pribadi (SDP) petani, (3) status sosial, (4) status sosial ekonomi, (5) motivasi ekstrinsik, dan (6) motivasi intrinsik. Persepsi petani mengenai kualitas penyuluhan dipengaruhi oleh kualitas Sumberdaya Pribadi (SDP) dari petani itu sendiri. Kualitas sumberdaya pribadi petani yang tinggi cenderung ditemukan pada petani dengan usia relatif lebih muda, dengan rata-rata pengalaman usahatani yang relatif lebih pendek, tetapi memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih

15 19 tinggi dibanding petani dengan kualitas SDP rendah. Kualitas SDP petani yang tinggi juga ditandai dengan kecenderungan memiliki kemampuan mengelola usahatani dalam skala lebih luas, baik mengelola lahan milik sendiri maupun lahan sewaan. Lebih lanjut, Sumardjo (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal petani juga penting bagi perkembangan tingkat kemandirian petani. Banyak faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kemandirian petani ternyata berpengaruh positif. Beberapa diantaranya adalah: (1) kualitas penyuluhan, (2) keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, (3) aksesibilitas petani terhadap produk usahatani, (4) Aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi tepat guna, dan (5) persepsi petani terhadap kelayakan lingkungan fisik usahatani. Faktor-faktor seperti kualitas penyuluh pertanian, keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, perkembangan daya saing, keefisienan petani, dan kemoderenan petani, yang diduga mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap kemandirian petani ternyata secara signifikan memang berpengaruh positif. Tingkat kemandirian petani yang tinggi adalah hasil dari proses belajar petani yang efektif dalam mengelola usahataninya secara modern dan efisien sehingga hasil usahataninya berdaya saing tinggi secara domestik maupun global di era globalisasi ekonomi. Tingkat kemandirian tersebut terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada komodernan petani, keefisienan petani, dan daya saing petani. Hasil penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam PHT terdiri dari aspek pengetahuan, aspek sikap, aspek penerapan, dan aspek penyebaran PHT. Pengetahuan yang dimiliki petani dalam PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani yang terdiri dari intensitas pendidikan non formal dan motivasi petani. Aspek sikap dipengaruhi oleh karakteristik internal petani dalam pengalaman usahatani dengan hubungan yang negatif yang berarti semakin lama pengalaman usahatani maka sikapnya terhadap prinsip SL-PHT cenderung semakin negatif. Untuk aspek penerapan PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani berupa pendidikan non formal, pengalaman usahatani, dan kekosmopolitan, sedangkan aspek penyebaran PHT dipengaruhi oleh karakteristik

16 20 internal petani berupa pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan dan motivasi petani. Penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara nyata antara kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan kepada petani dengan cara kekeluargaan terhadap tingkat penerapan prinsip PHT, dimana semakin baik kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan secara kekeluargaan pada petani maka terdapat kecenderungan semakin tinggi pula tingkat penerapan prinsip PHT oleh petani. Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa proses belajar yang dilakukan di SL-PHT telah memberi kesempatan yang luas pada petani untuk belajar sambil berbuat, tidak hanya mendengar, namun langsung mempraktekkannya di lapangan, dan terbukti berkaitan dengan kemampuan petani dalam pengendalian hama secara terpadu. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan nyata dengan keaktifan petani dalam proses belajar di SLPHT adalah: intensitas pendidikan non formal yang diikuti petani, kekompakkan kelompok tani, observabilitas materi PHT, dan kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan pada petani. Hasil penelitian Hakim (2007), menyatakan bahwa tingkat keberdayaan kelompok dapat dilihat dari unsur-unsur dinamika kelompok tani. Pola pemberdayaan, pengembangan kepribadian, lingkungan sosial, dan akses pada informasi berhubungan positif dan nyata dengan dinamika kelompok. Keeratan hubungan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan petani dapat dikembangkan melalui dinamika kelompok sebagai wadah pembinaan, pembelajaran, dan kemampuan usahatani. Penelitian ini menjelaskan bahwa karakteristik individu meliputi umur, tingkat pendidikan, dan lamanya berusahtani kurang mendukung peningkatan dinamika kelompok tani. Salah satu variabel pada peubah karakteristik individu yang berpengaruh negatif terhadap dinamika kelompok adalah umur, dimana semakin tua umur responden maka kemampuannya dalam mengembangkan dinamika kelompok semakin menurun. Variabel yang tidak berpengaruh yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman berusahatani. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama pengalaman usahatani, maka akan semakin tidak berkontribusi dalam menumbuhkan partisipasi dan motivasi responden dalam mengembangkan

17 21 kegiatan kelompok. Namun dalam penjelasannya, karakteristik individu seperti umur ternyata berkorelasi positif dengan kepribadian petani, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kepribadian petani. Begitu juga dengan pendidikan formal yang berkorelasi positif dan nyata dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Namun, variabel pengalaman usahatani berkorelasi negatif dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang berasal dari penelitian terdahulu tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dengan menerapkan sebagian konsep yang terdapat pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian mengenai hubungan penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani. Dalam penelitian ini, penulis berpatokan pada teori pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Nasdian (2006), yang menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua elemen penting, yaitu partisipasi dan kemandirian. Dari dua elemen penting pemberdayaan ini, penulis menjadikannya sebagai variabel terpengaruh yang dipengaruhi oleh berbagai variabel pengaruh. Adapun penentuan parameter untuk variabel kemandirian sebagai salah satu variabel terpengaruh diambil dari hasil penelitian Sumardjo (1999) yang menetapkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik pada kemodernan, keefisienan, dan daya saing petani. Hanya saja, pada penelitian ini, parameter tersebut dijadikan variabel turunan yaitu menjadi tingkat kemodernan, tingkat keefisienan, dan tingkat daya saing yang secara tidak langsung di dalamnya mengadung aspek kognitif, afektif, dan daya saing secara menyatu. Hal ini dilakukan untuk menghindari terlalu banyaknya uji hubungan pada penelitian. Terkait dengan penentuan variabel-variabel pengaruh, penulis membaginya menjadi karakteristik internal petani dan karakteristik eksternal petani. Selain itu, penulis menambah satu variabel pengaruh mengenai model pemberdayaan petani SL-PTT yang dianggap mempengaruhi variabel terpengaruh. Penentuan hipotesis pada penelitian ini, disesuaikan dengan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Jarmie (1994), Sumardjo (1999), Zulvera (2002), dan Hakim (2007) dengan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan tema penelitian yang dilakukan.

18 Kerangka Pemikiran Penelitian ini merujuk pada konsep dan teori pemberdayaan masyarakat dari beberapa ahli seperti Nasdian (2006) dan Syahyuti (2006) yang mengemukakan secara garis besar bahwa pemberdayaan masyarakat mengarah pada partisipasi dan kemandirian yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kegiatan SL-PTT yang telah dilaksanakan merupakan kegiatan sekolah lapangan dengan penerapan model pemberdayaan petani. Merujuk pada tujuan pemberdayaan (Nasdian, 2006), pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yaitu partisipasi dan kemandirian, maka tingkat partisipasi (Y1) dan tingkat kemandirian (Y2) dijadikan variabel terpengaruh sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan SL-PTT dalam memberdayakan petani. Variabel-variabel turunan yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi yaitu: tingkat partisipasi dalam perencanaan (Y1.1), tingkat partisipasi dalam pelaksanaan, tingkat partisipasi dalam pemantauan (Y1.3), dan partisipasi dalam evaluasi. Variabel-variabel turunan yang digunakan dalam mengukur tingkat kemandirian petani (Sumardjo, 1999) antara lain: aspek kemodernan petani (Y2.1), aspek keefisienan petani (Y2.2), dan aspek daya saing petani (Y2.3). Variabel-variabel terpengaruh di atas diduga berhubungan dengan sejumlah variabel pengaruh (independent variables), seperti: karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan model pemberdayaan petani SL-PTT. Merujuk pada penelitian terdahulu (Zulvera 2002), variabel-variabel karakteristik internal petani yang diukur adalah: umur (X1.1), tingkat pendidikan formal (X1.2) tingkat pendidikan non formal (X1.3), tingkat pengalaman berusahatani (X1.4), tingkat kekosmopolitan (X1.5), motivasi petani (X1.6), dan luas lahan garapan (X1.7). Adapun variabel-variabel karakteristik eksternal petani yang diukur adalah: frekuensi petani mengikuti SL-PTT (X2.1), tingkat kemampuan penyuluh (X2.2), tingkat keterjangkauan sarana produksi pertanian (X2.3), dan tingkat kemampuan akses petani terhadap pasar (X2.4). Adapun variabel-variabel dalam proses pemberdayaan petani yaitu: tingkat penggunaan laboratorim lapangan (X3.1) dan tingkat penerapan komponen teknologi PTT (X3.2).

19 23 Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dapat dilihat pada Gambar 1. Variabel Pengaruh (Independent Variables) Karakteristik Internal Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Tingkat Pendidikan Formal X1.3 Tingkat Pendidikan Non Formal X1.4 Tingkat Pengalaman Berusahatani X1.5 Tingkat Kekosmopolitan X1.6 Motivasi Petani X1.7 Luas Lahan Garapan Karakteristik Eksternal Petani (X2) X2.1 Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT X2.2 Tingkat Kemampuan Penyuluh X2.3 Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian X2.4 Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar Model Pemberdayaan Petani SL-PTT (X3) X3.1 Tingkat Pengunaan Laboratorium Lapangan X3.2 Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) Tingkat Partisipasi (Y1) Y1.1 Tingkat Partisipasi dalam Perencanaan Y1.2 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Y1.3 Tingkat Partisipasi dalam Pemantauan Y1.4 Tingkat Partisipasi dalam Evaluasi Tingkat kemandirian (Y2) Y2.1 Aspek Kemodernan Petani Y2.2 Aspek Keefisienan Petani Y2.3 Aspek Daya Saing Petani Gambar 1. Kerangka Pemikiran Proses Pemberdayaan Petani SL-PTT terhadap Tingkat Kemandirian dan Tingkat Partisipasi Petani.

20 Hipotesis Penelitian 1. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 2. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 3. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 4. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 5. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 6. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 7. Tingkat partisipasi berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 2.4 Definisi Operasional Variabel-variabel dalam penelitian ini diberi batasan atau didefinisioperasionalkan agar dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasan-batasan yang digunakan dalam memperoleh data dan menganalisisnya sehubungan dengan penarikan kesimpulan. Definisi operasional dari variabelvariabel tersebut adalah: I. Karakteristik Internal Petani (X1) adalah gambaran tentang sifat-sifat atau ciri-ciri pribadi yang dimiliki petani yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, meliputi: 1.Umur (X1.1) adalah tingkat usia biologis petani pada saat penelitian dilaksanakan. Umur dihitung dalam satuan tahun dan pengukurannya dengan menggunakan skala ordinal. Dalam penelitian, umur responden diklasifikasikan dalam tiga kategori (Hurlock, 1980), yaitu: 1= dewasa awal

21 25 (18-40 tahun); 2= dewasa madya (41-60); dan 3= dewasa akhir (60 tahun ke atas). 2. Tingkat Pendidikan Formal (X1.2) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika responden mengikuti lama pendidikan 9 tahun, (2) sedang, jika responden mengikuti lama pendidikan 9<sedang 12 tahun, (3) tinggi, jika responden mengikuti lama pendidikan >12 tahun. 3. Tingkat Pendidikan Non Formal (X1.3) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan, lokakarya, SL-PTT, dan FMA, baik di tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi kegiatan PLS yang telah dilakukan, dibedakan dalam tiga kategori, : (1) rendah, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 1-3 kali, (2) sedang, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 4-6 kali, dan (3) tinggi, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 7-9 kali. 4.Tingkat Pengalaman Berusahatani (X1.4) adalah lamanya (tahun) melakukan usahatani. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan sebasaran normal dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi lamanya usahatani yang dilakukan petani, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika lamanya usahatani 1-17 tahun, (2) sedang, jika lamanya usahatani tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya usahatani tahun. 5. Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) adalah keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi, yang diamati pada penelitian ini adalah frekuensi bepergian keluar desa untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan teknologi dan inovasi usahatani, frekuensi membaca media informasi pertanian baik dengan cara membaca koran dan atau membaca majalah yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, frekuensi mendengarkan radio, frekuensi menonton televisi yang berkaitan dengan pertanian, frekuensi berhubungan dengan penyuluh, dan berhubungan dengan instansi atau lembaga yang berhubungan dengan usahatani, masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Tingkat kekosmopolitan ini dibedakan ke dalam kategori: (1)

22 26 rendah, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 6-13, (2) sedang, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 14-21, dan (3) tinggi, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi Motivasi Petani (X1.6) adalah alasan atau dorongan yang mendasari petani dalam melakukan kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) motivasi ekstrinsik, jika alasan petani dalam mengikuti SL-PTT karena lahannya termasuk ke dalam hamparan SL-PTT, diajak ketua kelompok tani, penyuluh, ataupun pihak lain sebagai alasan untuk pergaulan saja, dan (2) motivasi intrinsik, jika petani memiliki keinginan sendiri untuk menambah pengetahuan tentang PTT sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi mereka. 7. Luas Lahan Garapan (X1.7) adalah rata-rata luas lahan usahatani padi yang digarap responden dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar ; (2) sedang, jika menggarap lahan 0,5 sampai 1 hektar, dan (3) tinggi, jika menggarap lahan lebih dari 1 hektar. II. Karakteristik Eksternal Petani (X2) adalah gambaran sifat-sifat atau ciri-ciri di luar pribadi petani yang berkaitan dengan proses pemberdayaan, meliputi: 1. Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT (X2.1) adalah jumlah kehadiran (frekuensi) petani mengikuti SL-PTT yang telah berlangsung, yang dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika mengikuti 1-4 pertemuan, (2) sedang, jika mengikuti 5-8 pertemuan, dan (3) tinggi, jika mengikuti 9-12 pertemuan. 2. Persepsi Petani Terhadap Kemampuan Penyuluh (X2.2) adalah pandangan petani terhadap kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan 9 pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1=

23 27 rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1= 9-17, kategori 2=18-26, dan kategori 3= Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian (X2.4) adalah tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= sangat sulit; 2= sulit, 3=mudah, dan 4=sangat mudah. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=3-5; kategori 2=6-8; dan kategori 3= Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar (X2.5) adalah kemampuan petani dalam mencari peluang dalam menjual hasil produksinya, terbagi menjadi kategori: (1) rendah, jika pemasaran masih menggunakan jasa tengkulak, (2) sedang, jika pemasaran dilakukan petani langsung kepada pedagang di pasar namun tidak tetap (pedagang tidak berlangganan dengan petani besangkutan), (3) tinggi, jika pemasaran dilakukan petani kepada pedagang tetap (pedagang berlangganan dengan petani bersangkutan). III. Proses Pemberdayaan Petani (X3) 1. Tingkat Penggunaan Laboratorium Lapangan (X3.2) adalah tingkat pengguanaan dan pemanfaatan lahan percontohan dalam SL-PTT, terbagi menjadi kategori (1) rendah, jika petani hanya mengikuti kegiatan di LL sebanyak 1-2 kali, (2) sedang, jika petani mengikuti kegiatan di LL 3-4 kali, (3) tinggi, jika petani mengikuti kegiatan di LL 5-6 kali. 2. Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT adalah tingkat kesesuaian cara bertani padi sesuai dengan teknologi petanian yang sudah disepakati, terdiri dari 11 komponen, yaitu: varietas unggul, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik dari jerami, pengaturan populasi optimum, pemupukan sesuai proporsi yang dibutuhkan, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang per rumpun,

24 28 pengairan secara efektif dan efisien, panen tepat waktu, gabah langsung dirontokan. Tingkat penerapan komponen teknologi PTT ini erbagi menjadi empat kategori, yaitu: (0) tidak pernah, jika petani sedikitpun belum pernah menerapkan komponen PTT, (1) rendah, jika petani hanya menerapkan 1-4 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan, (2) sedang, jika petani menerapkan 5-8 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan dan (3) tinggi, jika petani menerapkan 9-11 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan. IV. Tingkat Partisipasi (Y1) dalam kegiatan SL-PTT adalah jumlah (frekuensi) keikutsertaan petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi: 1. Partisipasi dalam perencanaan (Y1.1) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam merencanakan kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam perencanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut merencanakan kegiatan persen dari total kegiatan perencanaan SL- PTT, (3) tinggi, jika ikut merencanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT. 2. Partisipasi dalam Pelaksanaan (Y1.2) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan pasca panen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika berperan serta dalam pelaksanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut melaksanakan kegiatan persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (3) tinggi, jika ikut melaksanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 3. Partisipasi dalam Pemantauan (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam memantau kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam memantau kegiatan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut memantau kegiatan persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT,

25 29 (3) tinggi, jika ikut memantau kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 4. Partisipasi dalam Evaluasi (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam menilai atau mengevaluasi kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) ikut serta, jika peserta mengikuti proses evaluasi kegiatan SL- PTT dan (2) tidak ikut serta, jika peserta tidak mengikuti proses evaluasi kegiatan SL-PTT. V. Tingkat Kemandirian (Y2): Tingkat perubahan sikap setelah mengikuti SL- PTT mencakup sikap afektif, kognitif, dan psikomotorik dalam hal kemodernan, keefisienan, dan kemampuan daya saing petani. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan, variabelvariabel turunan tersebut yaitu: 1. Tingkat Kemodernan Petani (Y2.1) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemanfaatan informasi, pemanfaatan agen pembaharu, dan sikap terhadap informasi inovatif, serta keterampilan dalam menerapkan ketepatgunaan teknologi pertanian, sehingga petani memiliki pengetahuan akan kebutuhan pasar, informasi media massa, wawasan agribisnis, dan perencanaan usaha dalam melakukan kegiatan pertanian. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=9-12. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. 2. Tingkat Keefisienan Petani (Y2.2) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemilihan jenis usaha, pemahaman cara meraih informasi harga pasar, dan pemahaman dasar peramalan produksi/pemahaman atas resiko sehingga petani mampu bersikap hemat input dan mampu menerapkan teknologi yang dapat menekan kehilangan hasil. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi telah berlangsung selama empat kali. SL-PTT yang dilaksanakan adalah SL-PTT padi.

Lebih terperinci

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 1 KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) PADI Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran 283 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kumpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA M. Eti Wulanjari dan Seno Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI Prof. Dr. Marwoto dan Prof. Dr. Subandi Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul B Tujuan Ikhtisar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah respon petani terhadap kegiatan penyuluhan PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah telah membawa perubahan pada sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini berdampak pada pembangunan. Kini pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyuluhan Menurut A.W Van Den ban dan Hawkins (1999) penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu

Lebih terperinci

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 59 BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 8.1 Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Pengambilan keputusan inovasi Prima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di 63 BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis kesesuaian, pengaruh proses pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Undang-Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan

Lebih terperinci

TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU. Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I

TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU. Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat) Oleh: MARIAM FEBRIA I

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983), II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Landasan Teori 1. Penerapan Inovasi pertanian Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian.

Lebih terperinci

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kehidupan para petani di pedesaan tingkat kesejahteraannya masih rendah.

PENDAHULUAN. kehidupan para petani di pedesaan tingkat kesejahteraannya masih rendah. PENDAHULUAN Latar Belakang Pandangan, perhatian dan pemeliharaan terhadap para petani di pedesaan sudah semestinya diperhatikan pada masa pembangunan saat ini. Kenyataannya kehidupan para petani di pedesaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tugas pokok penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd BAB IPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjadikan sektor pertanian yang iiandal dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan, perlu pembenahan berbagai aspek, salah satunya adalah faktor kualitas sumber

Lebih terperinci

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP)

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) Prof. Dr. Marwoto dan Ir Farur Rozy MS Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul A Tujuan 1. Mengumpulkan dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya pengetahuan

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010

LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010 LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010 BPP KECAMATAN CIJATI KABUPATEN CIANJUR Diserahkan kepada : DINAS PERTANIAN KABUPATEN CIANJUR Cijati,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR. KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR Diarsi Eka Yani 1 Pepi Rospina Pertiwi 2 Program Studi Agribisnis, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober8-9 Oktober 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober8-9 Oktober 2015 ISBN: KERAGAAN KOMUNIKASI DALAM DIFUSI MANAJEMEN USAHATANI PADI PESERTA SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) DI KECAMATAN INDRALAYA KABUPATEN OGAN ILIR Nukmal Hakim dan Selly Oktarina ) Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa Cibunian 4.1.1 Keadaan Alam dan Letak Geografis Desa Cibunian merupakan salah satu desa di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian 5 TINJAUAN PUSTAKA Pertanian organik Pertanian organik meliputi dua definisi, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian sempit, pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kepemimpinan kelompok merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi anggota kelompoknya, sehingga anggota kelompoknya bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelompok Tani Kelompoktani adalah kelembagaan petanian atau peternak yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Landasan berpikir penelitian ini dimulai dari pemikiran bahwa setiap insan manusia termasuk petani memiliki kemampuan dalam melaksanakan suatu tindakan/perilaku

Lebih terperinci

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Alfayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui minat petani terhadap komponen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih

PENDAHULUAN. lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah (non formal) bagi petani dan keluarganya agar berubah sikap dan perilakunya untuk bertani lebih baik (better farming),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian 37 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian Survei deskriptif korelasional yaitu melihat pada suatu kelompok dengan aspek yang diteliti adalah hubungan antara peubah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran 31 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi merupakan salah satu program pemerintah (dalam hal ini Kementrian Pertanian) untuk meningkatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN PENDAMPINGAN PROGRAM STRATEGIS KEMENTERIAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN:

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN PENDAMPINGAN PROGRAM STRATEGIS KEMENTERIAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN: 1 RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN PENDAMPINGAN PROGRAM STRATEGIS KEMENTERIAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN: PENDAMPINGAN PROGRAM SLPTT PADI DAN JAGUNG DI KABUPATEN BANTAENG LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

MEMACU PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN MENGINTENSIFKAN PENDAMPINGAN

MEMACU PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN MENGINTENSIFKAN PENDAMPINGAN MEMACU PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN MENGINTENSIFKAN PENDAMPINGAN Oleh: Rachmat Hendayana Upaya pemerintah meningkatkan produksi padi untuk memenuhi target 70,6 juta ton dilakukan melalui berbagai pendekatan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha untuk menjadikan sektor pertanian yang handal dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan diperlukan pembenahan berbagai aspek, salah satunya adalah kualitas

Lebih terperinci

DAMPAK PENYULUHAN PERTANIAN PARTISIPATIF TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELOMPOK TANI PEMULA

DAMPAK PENYULUHAN PERTANIAN PARTISIPATIF TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELOMPOK TANI PEMULA DAMPAK PENYULUHAN PERTANIAN PARTISIPATIF TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELOMPOK TANI PEMULA ( Studi kasus di kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung) Oleh : Nataliningsih Abstrak Penyuluhan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas

BAB I PENDAHULUAN. ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan perekonomian Indonesia secara keseluruhan ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas pertanian tertentu, seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padi Sawah Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman semusim yang sangat bermanfaat di Indonesia karena menjadi bahan makanan pokok. Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah mulai

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 36 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pembangunan sebagai upaya terencana untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan penduduk khususnya di negara-negara berkembang senantiasa mencurahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Individu 6.1.1. Umur BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 orang dan berada pada rentang usia 40 sampai 67 tahun. Sebaran responden hampir

Lebih terperinci

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fungsi sistem penyuluhan yaitu: 1. Memfasilitasi

Lebih terperinci

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. 66 BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu,

I. PENDAHULUAN. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi hulu sampai hilir yaitu, usahatani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Persepsi Anggota Tentang Peranan Pemimpin Kelompok. Tabel 12 menunjukkan bahwa persepsi anggota kelompok tentang peranan

PEMBAHASAN. Persepsi Anggota Tentang Peranan Pemimpin Kelompok. Tabel 12 menunjukkan bahwa persepsi anggota kelompok tentang peranan PEMBAHASAN Persepsi Anggota Tentang Peranan Pemimpin Kelompok Tabel 12 menunjukkan bahwa persepsi anggota kelompok tentang peranan pemimpin kelompok sangat dirasakan manfaatnya terutama dalam memotivasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 19 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Prima Tani merupakan salah satu program Badan Litbang Pertanian yang di dalamnya terdapat unsur inovasi. Sebagai suatu inovasi, Prima Tani diperkenalkan

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) (Studi Kasus Pada Kelompoktani Angsana Mekar Desa Cibahayu Kecamatan Kadipaten Kabupaten ) Oleh: Laras Waras Sungkawa

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. itu sendiri. Karakter-karakter tersebut yang membedakan tipe perilaku petani pada

BAB VI PEMBAHASAN. itu sendiri. Karakter-karakter tersebut yang membedakan tipe perilaku petani pada BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Petani Petani memiliki karakteristik yang beragam, karakteristik tersebut dapat berupa karakter demografis, karakter sosial serta karakter kondisi ekonomi petani itu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu masalah global yang dihadapi oleh sebagian besar negara-negara dunia ketiga pada saat ini adalah krisis pangan. Terkait dengan hal tersebut strategi ketahanan pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian Priyanto (2011), tentang Strategi Pengembangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2008, Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah meluncurkan salah satu program pemberdayaan petani dengan sebutan Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu.

Lebih terperinci

PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU

PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU 15 PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU Kausar \ Cepriadi ^, Taufik Riaunika ^, Lena Marjelita^ Laboratorium Komunikasi dan Sosiologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN SEKOLAH LAPANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SL-PHT) PADA USAHATANI MANGGIS

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN SEKOLAH LAPANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SL-PHT) PADA USAHATANI MANGGIS ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN SEKOLAH LAPANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SL-PHT) PADA USAHATANI MANGGIS (Studi Kasus pada Kelompok Tani Kencana Mekar di Desa Puspajaya Kecamatan Puspahiang

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 98 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dikemukakan hasil temuan studi yang menjadi dasar untuk menyimpulkan keefektifan Proksi Mantap mencapai tujuan dan sasarannya. Selanjutnya dikemukakan

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan sektor pertanian

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU Malina Rohmaya, SP* Dewasa ini pertanian menjadi perhatian penting semua pihak karena pertanian memiliki peranan yang sangat besar dalam menunjang keberlangsungan kehidupan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Setelah beberapa dekade pembangunan pertanian di Indonesia, ternyata pembangunan itu belum mampu meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan petani. Hal yang menjadi penyebabnya

Lebih terperinci

BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. berupa kontribusi dalam keilmuan dan implikasi kebijakan. Masing-masing

BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. berupa kontribusi dalam keilmuan dan implikasi kebijakan. Masing-masing BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil penelitian, dan selanjutnya dirumuskan implikasi penelitian berupa kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pukul 20:09 WIB] 1 [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011,

BAB I PENDAHULUAN. pukul 20:09 WIB] 1  [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan saat ini, menempatkan unsur kelembagaan sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan kesinambungan pembangunan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Gabungan Kelompok Tani (Gapokan) PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) menetapkan

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No Lampiran Halaman

DAFTAR LAMPIRAN. No Lampiran Halaman DAFTAR LAMPIRAN No Lampiran Halaman 1 Foto-Foto Penelitian... 81 xvi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan visi dan misi Provinsi Bali tahun 2009, prioritas pembangunan Provinsi Bali sesuai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi TINJAUAN PUSTAKA Padi Sebagai Bahan Makanan Pokok Padi adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta TINJAUAN PUSTAKA Monokultur Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya

Lebih terperinci

Oleh: Teti Tresnaningsih 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3 1,2,3 Fakultas Pertanian Universitas Galuh ABSTRAK

Oleh: Teti Tresnaningsih 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3 1,2,3 Fakultas Pertanian Universitas Galuh ABSTRAK TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADA USAHATANI PADI SAWAH (ORYZA SATIVA L.) (Suatu Kasus Di Desa Rejasari Kecamatan Langensari Kota Banjar) Oleh: Teti Tresnaningsih 1, Dedi

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015 BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus pada Campaka Kecamatan Cigugur Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1

Lebih terperinci

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami perubahan yang pesat. Berbagai terobosan yang inovatif di bidang pertanian telah dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.

Lebih terperinci

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA Adanya komponen waktu dalam proses difusi, dapat mengukur tingkat keinovativan dan laju

Lebih terperinci

Abstrak

Abstrak Peningkatan Produktivitas dan Finansial Petani Padi Sawah dengan Penerapan Komponen Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Studi Kasus di Desa Kandai I Kec. Dompu Kab. Dompu) Yuliana Susanti, Hiryana

Lebih terperinci