TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU. Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU. Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I"

Transkripsi

1 TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat) Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I DEPARTEME SAI S KOMU IKASI DA PE GEMBA GA MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MA USIA I STITUT PERTA IA BOGOR 2010

2 ii ABSTRACT Agriculture development approach carried out centrally and top down. Failure in reaching development agriculture efforts, made the expert at that time said it was very important to change paradigm of agriculture development to sustainable bottom up approach. Field School (SL-PTT) is as a part of agriculture extension activities, is pointed to empower the farmers, it is one of the way to reach development agriculture point, so it has been more interesting to learn as far. The aim of the present research was to analyse correlation farmer empowerment model of SL-PTT with level of participation and autonomy. This research used quantitative method and was supported with qualitative data. The quantitative data were collected by using survey method on 42 farmers participant of SL-PTT. The respondents were selected by applying a stratified random sampling method. In other hand, the qualitative data were collected with in-dept interview. The results show that activity of SL-PTT had a significant correlation with level participation and autonomy farmers. Most farmers were in middle participation level and autonomy. Keyword: field school, extension, empowerment, participation, autonomy

3 iii RI GKASA MARIAM FEBRIA I BUDIMA. TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU. Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan DWI SADO O). Kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian, menjadikan banyak ahli pembangunan pertanian menyatakan perlunya merubah paradigma pembangunan pertanian dari konvensional ke paradigma baru, yakni pembangunan berkelanjutan (Mugniesyah, 2006). Departemen Pertanian berusaha untuk menyempurnakan sistem penyuluhan pertanian sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian, salah satunya adalah dengan mendirikan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Tujuan penelitian ini yaitu: untuk mengetahui karakteristik petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT, menganalisis proses penerapan model pemberdayaan petani yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT, serta menganalisis sejauh mana hubungan model pemberdayaan petani SL-PTT dengan tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian petani. Penulis melakukan penelitian di Gapoktan Sawargi yang berada di Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penulis menggunakan metode penelitian kuantitatif dalam proses pengumpulan datanya dan didukung dengan data kualitatif. Responden dipilih sebanyak 42 orang dengan cara stratified random sampling dengan membedakan responden ke dalam responden yang memiliki posisi sebagai pengurus di kelompok tani dan responden yang berasal dari anggota kelompok tani. Data kuantitatif diperoleh melalui pengisian kuesioner, sedangkan data kualitatif diperoleh melalui informan yang berasal dari 12 responden yang memiliki kedudukan sebagai pengurus di kelompok tani. Data yang diperoleh dari hasil survai kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 17. Data dianalisis melalui uji statistik korelasi rank Spearman dan tabulasi silang. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan data sekunder digunakan untuk mendukung alasan-alasan

4 iv yang menjelaskan ada tidaknya hubungan antara variabel dalam hipotesis kerja penelitian ini. Hasil analisis data kualitatif dan kuantitatif kemudian disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian. Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa separuh (50 persen) petani peserta SL-PTT memiliki tingkat partisipasi yang sedang, sedangkan sisanya adalah petani dengan tingkat partisipasi tinggi sebesar 26,2 persen dan tingkat partisipasi rendah sebesar 23,8 persen. Berdasarkan hasil analisis, terdapat hubungan yang nyata antara beberapa variabel turunan pada karakteristik internal petani dengan tingkat partisipasi petani peserta SL-PTT, variabel tersebut yaitu: tingkat pendidikan non formal, tingkat kekosmopolitan, dan motivasi. Pada karakteristik eksternal petani, terdapat hubungan yang nyata antara variabel turunan frekuensi mengikuti SL-PTT dengan tingkat partisipasi. pada model pemberdayaan petani SL-PTT, tingkat penggunaan LL dan tingkat penerapan teknologi PTT berhubungan nyata dengan variabel tingkat partisipasi. Dilihat dari variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi, maka petani dengan tingkat kekosmopolitan tinggi cenderung memiliki motivasi intrinsik untuk mengikuti kegiatan penyuluhan sebagai kesadaran yang muncul dalam diri sehingga memiliki kemungkinan untuk lebih aktif mengikuti lebih banyak kegiatan penyuluhan (pendidikan non formal) dan lebih cepat mengadopsi teknologi baru dibandingkan petani lainnya. Variabel-variabel karakteristik internal petani yang tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi yaitu: umur, tingkat pendidikan formal, lama berusahatani, dan luas lahan garapan. Pada karakteristik eksternal petani, variabel turunan yang tidak berhubungan nyata dengan variabel tingkat partisipasi yaitu: kemampuan penyuluh, tingkat keterjangkauan Saprodi, dan tingkat kemampuan akses terhadap pasar. Sebagian besar (69 persen) petani peserta SL-PTT memiliki tingkat kemandirian yang sedang, sisanya adalah petani dengan tingkat kemandirian tinggi (19 persen) dan rendah (14,9 persen). Sebagian besar dari petani ini memiliki kategori yang rendah dalam hal pengetahuan akan agribisnis, analisis usahatani, akses terhadap informasi pasar, strategi dalam mengurangi hasil, memperkirakan harga pasar, dan perluasan pemasaran. Oleh karena itu, masih banyak dari petani yang belum memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Pada karakteristik eksternal petani, terdapat beberapa variabel yang berhubungan secara nyata dengan variabel tingkat kemandirian, yaitu: frekuensi

5 v petani mengikuti SL-PTT dan tingkat kemampuan akses terhadap pasar. Variabel tingkat penggunaan LL dan tingkat penerapan teknologi PTT merupakan variabel pada model pemberdayaan petani SL-PTT yang berhubungan nyata dengan variabel tingkat kemandirian. Tingkat kemandirian tidak berhubungan nyata dengan variabel-variabel turunan pada variabel karakteristik internal petani yaitu: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, lama usahatani, tingkat kekosmopolitan (keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi), motivasi petani, dan luas lahan garapan. Tingkat kemampuan penyuluh dan tingkat keterjangkauan Saprodi merupakan variabel turunan pada karakteristik eksternal petani yang tidak berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian. Pelaksanaan SL-PTT ini belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang khusus dalam melakukan pendekatan kepada peserta SL-PTT sehingga dapat membangkitkan partisipasi dan tanggung jawab dalam diri petani dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT sebagai upaya dalam meningkatkan kemandirian petani. Selain itu, kebijakan yang dibuat terkait dengan program SL-PTT seharusnya diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang baik, selain itu perlu diadakan sekolah lapangan dalam satu musim tanam sesuai siklus tanaman sehingga petani memiliki kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang penuh dan dapat beradaptasi pada kondisi apapun, sehingga teknologi PTT dapat berlangsung secara berkelanjutan. Penentuan peserta SL-PTT harus dipilih lebih selektif sehingga kegiatan SL-PTT berikutnya dapat menghasilkan keluaran yang sesuai dengan target dan tujuan yang ingin dicapai.

6 vi TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat) Oleh: MARIAM FEBRIA I BUDIMA I Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEME SAI S KOMU IKASI DA PE GEMBA GA MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MA USIA I STITUT PERTA IA BOGOR 2010

7 vii DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Judul : Mariam Febriani Budiman : I : Tingkat Partisipasi dan Kemandirian Petani Alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Dwi Sadono, M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP Tanggal Lulus Ujian:

8 viii PER YATAA DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I ALUM I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Agustus 2010 Mariam Febriani Budiman I

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 09 Februari Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak A. Mansyur dan Ibu Wawat Budiawati. Semenjak memasuki usia sekolah penulis tinggal di kawasan Cibolang, Sukabumi. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Al-Masturiyah tahun 1994, SDN Cisaat Gadis tahun 2000, SMPN 1 Cisaat tahun 2003, dan SMAN 3 Sukabumi tahun Kemudian pada tahun 2006, penulis diterima menjadi Mahasiswa IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjalani aktivitas perkuliahan, penulis tergabung dalam beberapa organisasi dan kepanitiaan diantaranya FORSIA (Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia) Divisi Syi ar periode 2007/2008, kemudian tergabung dalam kepengurusan BEM-I (Badan Eksekutif Mahasiswa Ekologi Manusia IPB) kabinet Laskar Pelangi, Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup periode 2007/2008. Penulis menjadi ketua dalam kepanitian Kemah Riset FEMA 2008 serta menjadi PJK MPF dan MPD. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum pada tahun ajaran 2009/2010 semester ganjil.

10 x KATA PE GA TAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkat Partisipasi dan Kemandirian Petani Alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Skripsi ini bertujuan mengetahui karakteristik petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses penerapan model pemberdayaan petani yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT dan hubungan model pemberdayaan petani SL-PTT dengan tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian petani peserta SL-PTT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat diterima oleh pihak yang terkait dan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis

11 xi UCAPA TERIMA KASIH Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril dan atau materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai dosen pembimbing, atas segala bimbingan, motivasi, saran, waktu, dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si dan Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen penguji. 3. Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si sebagai dosen Pembimbing Akademik yang selalu mengarahkan penulis untuk selalu berprestasi. 4. Dosen-dosen pada Departemen Sains KPM yang telah memberikan pengajaran kepada penulis selama perkuliahan. 5. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Acun Mansyur dan Ibu Wawat Budiawati yang telah memberikan segenap kasih sayangnya, motivasi, dukungan moril dan materil serta kesabaran yang penuh sehingga penulis tidak kekurangan suatu apapun dan selalu bersemangat dalam menjalani hari-hari, begitupun dengan kakakku Firmansyah Budiman dan adikku tersayang Ridha Nur Fathimah yang selalu memberikan perhatian dan motivasi sehingga penulis dapat selalu berusaha menjadi pribadi yang baik. Terima kasih atas untaian doa yang tidak pernah putus sampai saat ini. 6. Bapak Ir. Tony Hartus, M.Si selaku Kepala Bidang Padi Palawija Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, dan Bapak Hasan, SP, M.Si selaku Kasubid Metodologi Penyuluhan di BP4K Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan informasi dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat melakukan penelitian mengenai SL-PTT di Gapoktan Sawargi. 7. Bapak Odang selaku kepala BP3K Kecamatan Kebon Pedes serta Bapak Rus dan Bu Imas yang selalu memberikan kesempatan, perhatian, bimbingan,

12 xii bantuan, dan informasi yang penuh sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian di Gapoktan Sawargi. 8. Bapak Ujang Jaenudin selaku Ketua Gapoktan Sawargi, Bapak Apud, Bapak Ahmad, dan Bapak Cece selaku ketua kelompok tani yang telah memberikan perhatian dan informasi sehingga penulis dapat memperoleh data yang dibutuhkan untuk mendukung penulisan skripsi. 9. Keluarga besar Alm. Aki Ustman dan Alm. Aki Empud yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, dan dukungan moril yang penuh kepada penulis. 10. Sahabat-sahabat dari KPM 43, terutama: Evi, Lingga, Pitaloka, Septiani, Sulastri, Raisita, terima kasih atas kasih sayang, semangat, dukungan moril, dan persahabatan yang penuh warna. 11. Sahabat-sahabat lain yang selalu memberikan nasehat dan semangat yang tulus: Weuning, Rahma, Kak Ari, Teh Iki, Icha, Erna, dan Gege, terima kasih atas perhatian, nasehat, serta semangat yang luar biasa. 12. Teman-teman seperjuangan serta pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak dapat diungkapkan satu persatu.

13 xiii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xiii xvi xix BAB I PE DAHULUA Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Kegunaan... 4 BAB II PE DEKATA TEORITIS Tinjauan Pustaka Pemberdayaan Masyarakat Penyuluhan Pertanian Karakteristik Petani Deskripsi Program SL-PTT Padi Partisipasi Petani Kemandirian Petani Hasil-Hasil Penelitian Penyuluhan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional BAB III PE DEKATA LAPA G Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data BAB IV GAMBARA UMUM Keadaan Umum Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Keadaan Perkembangan Tingkat Penerapan Usahatani Pola hubungan Kerja dan Sistem Pengupahan Keadaan Sarana Prasarana dan Infrastruktur Keadaan Petugas/Penyuluh dan Potensi Penunjang Kegiatan Penyuluhan... 44

14 xiv BAB V KARAKTERISTIK PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Karakteristik Internal Petani Umur Tingkat Pendidikan Formal Tingkat Pendidikan Non Formal Tingkat Pengalaman Berusahatani Tingkat Kekosmopolitan Tingkat Motivasi Petani Luas Lahan Garapan dan Status Kepemilikan Karakteristik Eksternal Persepsi Petani Terhadap Kinerja Penyuluh Akses Petani terhadap Sarana Produksi (Saprodi) Kemampuan Petani dalam Memasarkan Hasil Produksi 56 BAB VI TI GKAT PARTISIPASI DA TI GKAT KEMA DIRIA PETA I PESERTA SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT Hubungan Karakteristik Internal dengan Tingkat Partisipasi Petani Hubungan Karakteristik Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Petani Hubungan Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Tingkat Kemandirian Petani Peserta SL-PTT Hubungan Karakteristik Internal Petani dengan Tingkat Kemandirian Petani Hubungan Karakteristik Eksternal Petani dengan Tingkat Kemandirian Hubungan Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Kemandirian BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Pelaksanaan SL-PTT di Gapoktan Sawargi Pelaksanaan SL-PTT Kelompok Tani Sawargi Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Yudistira Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Pamoyanan Analisis Pelaksanaan Model Pemberdayaan Petani Program SL- PTT Berdasarkan Konsep Pemberdayaan Masyarakat... 77

15 xv Proses Partisipasi dalam SL-PTT Penerapan Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Pendidikan Orang Dewasa di Dalam SL-PTT Tingkat Kemandirian Petani SL-PTT BAB VIII KESIMPULA DA SARA Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRA... 95

16 xvi DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks Tabel 1 Pemanfaatan Lahan di Desa Kebon Pedes Data. 35 Tabel 2 Kepemilikan Ternak di Desa Kebon Pedes Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia Produktif Tenaga Kerja di Desa Kebon Pedes Tabel 4 Data Kualitas Angkatan Kerja di Desa Kebon Pedes.. 38 Tabel 5 Komposisi Penduduk Bedasarkan Mata Pencaharian di Desa Kebon Pedes.. 39 Tabel 6 Rata-rata Luas Lahan Garapan KK Tani di Desa Kebon Pedes Tabel 7 Rata-Rata Tingkat Pendapatan Petani Per Musim Tanam di Desa Kebon Pedes.. 41 Tabel 8 Komposisi Tingkat Produktivitas Kegiatan Penyuluhan yang Dicapai Tabel 9 Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Desa Kebon Pedes Tabel 10 Komposisi Petani Peserta SL-PTT Menurut Kate-gori Umur di Desa Kebon Pedes 47 Tabel 11 Tingkat Pendidikan Formal Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 12 Tingkat Pendidikan Non Formal Petani PesertaSL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 13 Tingkat Pengalaman Berusahatani Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 14 Tingkat Kekosmopolitan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 15 Motivasi Petani dalam Mengikuti Kegiatan SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 16 Luas Lahan Garapan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 17 Status Lahan Garapan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 18 Tingkat Kemampuan Penyuluh Pertanian di Desa Kebon Pedes Tahun Tabel 19 Tingkat Kemampuan Akses Petani SL-PTT terhadap Saprodi di Desa Kebon Pedes

17 xvii Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tingkat Kemampuan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes dalam Memasarkan Hasil Produksi Tahun Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa 59 Kebon Pedes... Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes... Korelasi Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes.. Tabel 25 Tingkat Kemandirian Petani peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tabel 26 Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes.. 66 Tabel 27 Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes Tabel 28 Korelasi Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani PesertaSL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes.. 70 Tabel 29 Korelasi Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Kemandirian Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes 71 Tabel 30 Kurikulum SL-PTT Padi Sawah Lampiran Lampiran 3 Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen)... Lampiran 4 Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen). Lampiran 5 Hubungan Antara Variabel variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisi-pasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen)

18 xviii Lampiran 6 Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen).. Lampiran 7 Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen).. Lampiran 8 Hubungan Antara Variabel variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Ke-mandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (da-lam persen)

19 xix DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks Gambar 1. Kerangka Pemikiran Proses Pemberdayaan Petani SL-PTT terhadap Tingkat Kemandirian dan Tingkat Partisipasi Petani.. 23 Gambar 2. Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes 78 Gambar 3. Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes. 79 Gambar 4. Tingkat Partisipasi Peserta dalam Evaluasi SL-PTT di Desa Kebon Pedes dalam Perencanaan SL-TT Gambar 5. Tingkat Kemodernan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Gambar 6. Tingkat Keefisienan Petani Peserta SL-PTT Gambar 7. Tingkat Daya Saing Petani Peserta SL-PTT 89 Lampiran Lampiran 1. Sketsa Kabupaten Sukabumi.. 97 Lampiran 2. Sketsa Kebon Pedes kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi 98 Lampiran 9. Dokumentasi

20 BAB I PE DAHULUA 1.1 Latar Belakang Departemen Pertanian Republik Indonesia (2001) mengemukakan bahwa selama ini pembangunan pertanian di Indonesia terfokus hanya pada pembangunan usahatani dengan sasaran utama peningkatan produksi. Adapun pendekatan pembangunan yang dilakukan pada saat itu sangat sentralistik (terpusat) dan top down. Adanya kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian, menjadikan banyak ahli pembangunan pertanian menyatakan perlunya merubah paradigma pembangunan pertanian dari konvensional ke paradigma baru, yakni pembangunan berkelanjutan (Mugniesyah, 2006). Paradigma baru tersebut memandang petani sebagai prioritas dimana mereka mempunyai pengatahuan dan kearifan sendiri (indigenous knowledge), sehingga pendekatan pembangunan lebih memperhatikan pengetahuan dan pengalaman petani (bottom up) Berkaitan dengan strategi untuk mencapai pembangunan pertanian Indonesia, pemerintah telah melakukan revitalisasi pertanian yang disyahkan pada tahun Salah satu cara pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian tersebut adalah dengan memperbaiki sistem penyuluhan melalui penetapan Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun Revitalisasi pertanian tersebut dilakukan dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya. Dalam hal ini, Departemen Pertanian berusaha untuk menyempurnakan sistem penyuluhan melalui berbagai program, salah satunya dengan mendirikan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada tahun SL-PTT sebagai program yang menerapkan model pemberdayaan petani diharapkan dapat menjadi langkah yang tepat dalam mencapai peningkatan kemampuan petani. Dikaitkan dengan hal tersebut, pembangunan pertanian Indonesia tahun memiliki beberapa tujuan (Mugniesyah, 2006), yaitu: (1) membangun SDM aparatur profesional, petani mandiri dan kelembagaan

21 2 pertanian yang kokoh, (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan, (3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan, (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian, (5) menumbuhkembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan, dan (6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani. Adanya model pemberdayaan petani dalam kegiatan SL- PTT diharapkan dapat memunculkan partisipasi dan kemandirian petani sehingga pembangunan pertanian berhasil berpihak kepada petani. Hal ini dikaitkan dengan konsep pemberdayaan masyarakat menurut Nasdian (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni partisipasi dan kemandirian. Pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation) khususnya dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Dikaitkan dengan Program SL-PTT dengan model pemberdayaan petani yang telah berlangsung sejak tahun 2007, maka sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai sejauh mana konsep pemberdayaan masyarakat diterapkan dalam kegiatan tersebut. Oleh karena itu, Tingkat Partisipasi dan Tingkat Kemandirian Petani Alumni Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu akan menjadi kajian lebih lanjut dalam penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah SL-PTT adalah tempat pendidikan non formal bagi petani dari petani, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, model pemberdayaan petani diterapkan melalui SL-PTT ini. Model pemberdayaan petani dalam SL-PTT terdiri dari penerapan akan falsafah SL-PTT dan prinsip SL-PTT dalam melaksanakan kegiatan pertanian. Dalam pelaksanaannya, terdapat

22 3 laboratorium lapangan (LL) yang berfungsi sebagai tempat belajar, tempat pertemuan kelompok tani dan percobaan penerapan teknologi PTT. Adapun percontohan komponen teknologi PTT ini terdiri dari penggunaan benih unggul bermutu, tanam jejer legowo, penggunaan pupuk sesuai kebutuhan tanaman, pemberian pupuk organik, melakukan PHT, efisiensi air, dan penanganan panen. Komponen PTT tersebut akan dipercobakan pada LL seluas I ha, yang kemudian akan diterapkan pada lahan SL-PTT seluar 24 ha. Menurut Daniel dkk. (2008), penyuluhan merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat. Tujuan penyuluhan pertanian sebagai pencetak manusia pembelajar, penemu ilmu dan teknologi, manusia pengusaha agribisnis yang unggul, manusia pemimpin masyarakatnya, manusia guru dari petani lain yang bersifat mandiri dan interdependent. Nasdian (2006) menjelaskan adanya dua elemen pokok pada proses pemberdayaan yaitu partisipasi dan kemandirian. Dikaitkan dengan program SL-PTT maka perumusan masalah yang dikaji yaitu: 1. Bagaimana karakteristik petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT? 2. Sejauh mana tingkat partisipasi dan kemandirian petani peserta SL- PTT? 3. Bagaimana proses penerapan model pemberdayaan petani yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT? 1.3 Tujuan Berdasarkan pada permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui karakteristik petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT. 2. Menganalisis sejauh mana tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian petani peserta SL-PTT. 3. Menganalisis proses penerapan model pemberdayaan petani yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT.

23 4 1.4 Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti tentang hubungan proses pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan SL-PTT dengan tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian petani. Bagi civitas akademik diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan dalam khasanah ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan mengenai pemberdayaan petani. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan dalam menyusun konsep pemberdayaan petani pada kegiatan penyuluhan pertanian, khususnya Program SL-PTT yang akan dilaksanakan ke depannya, sehingga petani dapat memiliki tingkat partisipasi dan kemandirian yang tinggi dalam melaksanakan usahatani dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

24 BAB II PE DEKATA TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Pemberdayaan Masyarakat Syahyuti (2006) menyatakan bahwa konsep asli empower adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang dihadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Pemberdayaan berarti mempersiapkan warga desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, memulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial, ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individu maupun komunitas. Seseorang dapat dikatakan berdaya apabila mampu memimpin dirinya sendiri. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung, bukan berorientasi terhadap hasil. Untuk itu, partisipasi harus berlangsung dalam seluruh tahapan proses pemberdayaan. Ife (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan tidak lepas dari makna kekuasaan dimana individu atau kelompok memiliki atau menggunakan kesempatan untuk meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, dalam arti meredistribusikan kekuasaan dari kaum berpunya ke kaum tidak berpunya. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged). Pernyataan ini mengandung dua konsep penting, keberdayaan dan yang dirugikan yang masing-masing perlu diperhatikan dalam setiap pembahasan mengenai pemberdayaan sebagai bagian dari suatu perspektif keadilan sosial dan HAM. Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadar-tahuan menekankan pentingnya suatu proses edukatif (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka. Ini memasukkan gagasan-gagasan peningkatan kesadaran, membantu masyarakat dalam memahami masyarakat dan struktur opresi, memberikan masyarakat kosakata dan keterampilan untuk berkerja menuju perubahan yang efektif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas

25 6 sumberdaya yang penting (Nasdian, 2006). Lebih lanjut, Nasdian (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat secara konseptual membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginannya, sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk hari depannya. Pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni partisipasi dan kemandirian. Pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation), khususnya dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mendefinisikan pemberdayaan dari penerjemahan Bahasa Inggris empowerment yang juga dapat bermakna pemberian kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi, bukan proses instan. Pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap penyadaran, target yang akan diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu. Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari diri mereka (tidak dari orang luar). Tahap kedua adalah tahap pengkapasitasan atau capacity bulding atau dalam bahasa sederhana berarti memampukan atau enabling. Proses pengkapasitasan ini berlangsung pada diri manusia, organisasi, maupun sistem nilai. Tahap ketiga adalah pemberian daya atau empowerment dalam arti sempit, dimana target diberi daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian daya ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh target. Pranaka dan Moeljarto (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan

26 7 atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Nasdian (2006), proses pemberdayaan masyarakat ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) melalui power sharing untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Pemberdayaan merupakan proses pematahan dari hubungan subyek dengan obyek, dimana proses ini melihat pentingnya mengalirkan kekuasaan (flow of power) dari subyek ke obyek. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah beralih fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Pemberdayaan dapat diukur dengan menggunakan empat indikator yang biasa dipakai dalam mengukur kualitas kesetaraan gender (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Empat indikator tersebut antara lain: Pertama, akses yang berarti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai akses akan sumberdaya yang diperlukannya untuk mengembangkan diri. Kedua, partisipasi yaitu target yang diberdayakan pada akhirnya dapat berpartisipasi mendayagunakan sumberdaya yang diaksesnya. Ketiga, kontrol dalam arti target yang diberdayakan pada akhirnya mempunyai kemampuan mengontrol proses pendayagunaan sumberdaya tersebut. Keempat, kesetaraan dalam arti pada tingkat tertentu saat terjadi konflik, target mempunyai kedudukan sama dengan yang lain dalam hal pemecahan masalah.

27 8 Lebih lanjut, Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) mengemukakan lima fungsi pemberdayaan sebagai solusi pembangunan di Indonesia, yaitu: (1) konsep pemberdayaan masyarakat dipercaya mampu menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. (2) konsep pemberdayaan dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan, (3) konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan memperkukuh ikatan sosial di antara warga negara. Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian, (4) konsep pemberdayaan secara khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khususnya kepada penduduk setempat. Pada akhirnya, proses pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat bertambah cerdas dan mampu memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintah untuk belajar memahami dan melayani rakyatnya lebih baik, dan (5) konsep pemberdayaan dalam bentuk yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat tujuan penanggulangan kemiskinan Penyuluhan Pertanian Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara melibatkan diri petani, pengusaha, dan pedagang pertanian untuk melakukan belajar menemukan sendiri (discovery learning) agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara mandiri dan independent. Penyuluhan pertanian mengandung pengertian sebagai pendidikan di luar sekolah (non formal) yang ditunjukan kepada petani-nelayan beserta keluarganya agar mereka dapat berusahatani lebih baik (better farming), menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan bermasyarakat lebih baik (better community). Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa pendefinisian penyuluhan secara sistematis dapat diartikan sebagai proses yang: (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke

28 9 depan, (2) membantu penyadaran petani terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari hasil analisis tersebut, (3) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun suatu kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat dan menurut mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Sumintaredja (1987) yang dikutip Syahyuti (2006) mengartikan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, pembendaharaan informasi yang memadai, dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian sebagai kegiatan pendidikan non formal dilaksanakan dengan menggunakan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa, yaitu: 1. Belajar secara sukarela; 2. Materi pendidikan didasarkan atas kebutuhan petani; 3. Petani mampu belajar, sanggup berkreasi, dan tidak konservatif; 4. Secara potensi, keinginan, kemampuan, kesanggupan untuk maju sudah ada pada petani sehingga kebijaksanaan, suasana, dan fasilitas yang menguntungkan akan menimbulkan kegairahan petani untuk berikhtiar; 5. Belajar dengan mengerjakan sendiri adalah efektif dan yang dikerjakan dialami sendiri akan berkesan dan melekat pada diri petani serta menjadi kebiasaan baru;

29 10 6. Belajar melalui pemecahan masalah yang dihadapi adalah praktis dan kebiasaan mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik akan menjadikan seorang petani berinisiatif dan berswadaya; 7. Berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kepercayaan terhadap diri sendiri akan menimbulkan partisipasi masyarakat tani yang wajar Karakteristik Petani Ada dua kata dalam Bahasa Inggris berkenaan dengan petani yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu peasant dan farmer (Syahyuti, 2006). Peasant adalah gambaran dari petani yang subsisten (usahatani untuk konsumsi sendiri), sedangkan farmer adalah petani modern yang berusahatani dengan menetapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa, penyakap, dan buruh tani. Peasant identik dengan sikap kerjasama satu sama lain, memiliki usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri. Petani ini terbatas teknologinya, memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha lain untuk memenuhi pendapatannya. Rasionalisasi petani menurut James Scott adalah moral ekonomi mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko (Syahyuti, 2006). Menurut Chayanov dalam Syahyuti (2006), ciri khas ekonomi rumahtangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani bukan untuk mengejar produksi, namun semata untuk mencapai kesejahteraan anggota rumahtangga. Secara umum, petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya dari sektor pertanian. Di Indonesia, masalah rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya pengangguran yang ada di pertanian, telah menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Jumlah petani dengan tingkat pendididkan SD ke bawah masih menjadi proporsi terbesar. Sebaliknya kenaikan persentase kelompok pendidikan SLTP, SLTA, dan

30 11 perguruan tinggi tidak menunjukan kenaikan yang secara nyata, meskipun terjadi perbaikan komposisi tenaga kerja pertanian ke arah yang lebih positif Deskripsi Program SL-PTT Padi Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan program yang diluncurkan oleh Departemen Pertanian sebagai upaya pengembangan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) untuk meningkatkan produktivitas padi (Deptan, 2010). SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahatani menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). SL-PTT telah diperkenalkan pada tahun 2007 dan masih akan dilaksanakan pada tahun Peningkatan produksi padi yang terfokus pada penerapan SL-PTT tahun 2010 dilakukan pada lahan seluas hektar untuk padi non hibrida, padi hibrida, padi gogo, dan jagung hibrida. Selain dari SL-PTT padi, terdapat juga SL-PTT jagung, kedelai, dan kacang tanah. Di daerah Sukabumi, Kepala Bidang Ketahanan Pangan menyatakan kegiatan SL-PTT diadakan di 46 kecamatan yang telah melibatkan kelompok tani sampai dengan tahun 2009 dari kelompok tani yang ditargetkan, sedangkan sisa dari kelompok tani yang belum mendapatkan program SL-PTT akan mengikuti program tersebut pada tahun Melalui SL-PTT, diharapkan terjadi percepatan penyebaran teknologi PPT dari peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya (Deptan, 2008). PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan (Deptan, 2008). Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu terpadu (pengelolaan

31 12 sumberdaya tanaman, tanah, dan air dengan sebaik-baiknya), sinergis (memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi), spesifik lokasi (memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat), dan partisipatif (petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan). Perakitan komponen teknologi PTT dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Deptan, 2008). Langkah pertama penerapan PTT adalah pemandu lapangan bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP). Langkah kedua adalah merakit berbagai komponen teknologi PTT berdasarkan kesempatan kelompok untuk diterapkan di lahan usahataninya. Langkah selanjutnya adalah penyusunan RUK berdasarkan kesepakatan kelompok, kemudian penerapan PTT serta pengembangan PTT ke petani lainnya. Komponen dasar PTT padi terdiri dari (1) varietas unggul baru, inhibrida, atau hibrida; (2) benih bermutu dan berlabel; (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos; (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum; (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah; dan (6) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT. Adapun komponen teknologi pilihan antara lain: (1) pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2) penggunaan bibit muda (<21 hari), (3) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, (4) pengairan secara efektif dan efisien, (5) penyiangan dengan landak atau gasrok, dan (6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Deptan, 2010). Penentuan calon petani/kelompok tani SL-PTT (yang terbentuk berdasarkan SK Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten/Kota) antara lain: kelompok tani/petani yang dinamis dan bertempat tinggal dalam satu wilayah yang berdekatan, petani aktif yang memiliki lahan ataupun penggarap/penyewa dan mau menerima teknologi baru, bersedia mengikuti

32 13 rangkaian kegiatan SL-PTT (Deptan, 2010). Kelompok tani yang dimaksud adalah kelompok tani yang dibentuk berdasarkan domisili atau hamparan, diusahakan yang lokasi lahan usahataninya masih dalam satu hamparan. Luas satu unit SL- PTT adalah berkisar 25 hektar, dimana 24 hektar untuk SL-PTT dan satu hektar untuk LL. Dalam setiap unit SL-PTT perlu ditetapkan seorang ketua yang bertugas mengkoordinasikan aktivitas anggota kelompok, seorang sekretaris yang bertugas sebagai pencatat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada setiap pertemuan, dan seorang bendahara yang bertugas mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan. Peserta SL-PTT wajib mengikuti setiap tahap pertanaman dan mengaplikasikan kombinasi komponen teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi mulai dari pengolahan tanah, budidaya, penanganan panen dan pasca panen. Pada setiap tahapan pelaksanaan, petani peserta diharapkan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dan dijadwalkan, baik di petak LL maupun di lahan usahataninya. Pendampingan kegiatan SL-PTT oleh Pemandu Lapangan dan peneliti (Deptan, 2010). Pemandu Lapangan berperan sebagai pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan, dan kekuatan yang ada di lapangan dan desa. Selain itu, Pemandu Lapangan berperan juga sebagai dinamisator proses latihan SL-PTT sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan. Peran lain dari Pemandu Lapangan adalah sebagai motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta SL-PTT, juga dapat menjadi konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usahatani petani setelah kegiatan SL-PTT selesai. Mekanisme pelaksanaan SL-PTT dilakukan dengan cara (Deptan, 2010): 1. Persiapan SL-PTT, yaitu dengan mempertemukan tokoh formal dan informal serta petani calon peserta sebelum pelaksanaan SL-PTT untuk membahas analisis masalah, analisis tujuan, dan rencana kerja peningkatan produktivitas padi. Setelah itu, dilakukan penetapan langkah-langkah yang menyangkut tujuan, hasil yang diharapkan dan metode pembelajaran SL-PTT yang dilakukan bersama sebagai suatu kesepakatan. Selanjutnya, dilakukan penentuan jadwal pertemuan termasuk juga menentukan satu hari sebagai hari

33 14 lapang petani untuk memasyarakatkan dan mendeseminasikan penerapan teknologi budidaya melalui SL-PTT kepada kelompok tani dan petani sekitarnya. Selanjutnya menentukan letak petak SL-PTT yang strategis sehingga dapat dilihat dan ditiru oleh petani di luar SL-PTT; 2. Mengorganisasikan kelas SL-PTT yang dimaksudkan untuk membentuk organisasi kelompok tani peserta SL-PTT dengan memilih satu orang petani sebagai ketua, satu orang petani sebagai sekretaris, dan satu orang pertani sebagai bendahara. Selain itu, diwajibkan bagi seluruh peserta kelas SL-PTT untuk mengadakan pengamatan bersama-sama dan membahas temuan lapangan sesuai dengan topik-topik pengajaran dalam SL-PTT; 3. Menerapkan metode belajar orang dewasa, peserta SL-PTT memilih materi sesuai dengan kebutuhan teknologi spesifik lokasi, memacu peserta untuk berperan aktif dalam berdiskusi kelompok ataupun kegiatan lain dalam SL- PTT, serta melakukan proses belajar melalui pengalaman; 4. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan cara meminta beberapa peserta menceritakan pengalaman pengalaman yang lucu/berkesan dalam hidupnya. Selain itu, Pemandu Lapangan dapat menceritakan humorhumor segar sehingga suasana belajar menjadi hidup kembali; 5. Menghidupkan kembali dinamika kelompok yang dilakukan untuk saling mengenal ciri dan sifat dari masing-masing peserta sehingga dapat akrab satu dengan yang lainnya dalam SL-PTT; 6. Monitoring dan evaluasi oleh Pemandu Lapangan; 7. Membuat Pelaporan oleh Pemandu Lapangan; dan 8. Pertemuan-pertemuan kelompok dengan materi pertemuan terdiri dari: (1) teknik pengolahan tanah, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3) pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, (5) pengendalian OPT didasarkan pada prinsip PHT, (6) penanganan panen dan pascapanen dengan tepat dan benar, dan (7) mendiskusikan pemecahan masalah yang ada serta langkahlangkah yang diambil selanjutnya. Selain itu juga terdapat kegiatan lapangan yang terdiri dari kerja lapangan, pengamatan agroekosistem, mengambar dan

34 15 mempresentasikan kondisi agroekosistem, diskusi kelompok, topik khusus yang ditemui pada praktek di lapangan, serta mempraktekkan kegiatan SL-PTT lahan usahataninya Partisipasi Petani Pretty, dkk. (1995) dalam Daniel dkk. (2008) partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian, pengikutsertaan. Dengan demikian, pengertian partisipatif adalah pengambilan bagian/pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling), selanjutnya disingkat POAC. Oakley et al. (1991) dalam Ife (2005) menyatakan bahwa partisipasi sebagai tujuan mengandung arti suatu upaya memberdayakan rakyat dengan berupaya menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan. Gadi (1990, disitir dalam Kannan 2002) dalam Ife (2005) menampilkan partisipasi sebagai sebuah proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kaum tersingkir karena adanya perbedaan kekuasaan di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan beberapa alasan mengapa petani dianjurkan berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program penyuluhan, yaitu: 1. petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman mereka dengan teknologi dan penyuluhan, serta struktur sosial masyarakat mereka; 2. petani akan lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program penyuluhan jika ikut bertanggung jawab di dalamnya; 3. masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan

35 16 4. banyak permasalahan pembangunan pertanian, seperti pengendalian erosi tanah, perolehan sistem usahatani yang berkelanjutan dan pengelolaan pendekatan komersial pada pertanian, tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Nasdian (2006) menyatakan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar Kemandirian Petani Nasdian (2006) dan Daniel dkk. (2008) menyatakan bahwa sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan/manajemen. Kemandirian material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi atau mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaruan dari luar sebagai guru mereka. Kemandirian petani dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya di era globalisasi ekonomi dicirikan oleh perilaku petani yang modern, efisien, dan berdaya saing tinggi. Mengacu pada pendapat Inkeles dan Smith (1974) dalam Sumardjo (1999), orang modern dicirikan oleh: (1) memiliki kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan perubahan, (2)

36 17 mempunyai kecenderungan membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar permasalahan dan pandangan lingkungannya dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah demokratis, (3) lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada massa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan diorganisasikan, (5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka pengembangan tujuan, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di dalam kontrol manusia/ tidak fatalis, (7) menyadari akan kelebihan orang lain dan menghargai hal tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9) percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau partisipasi yang diberikan, (10) berminat dan menilai tinggi pada pendidikan formal, dan (11) akan berprestasi secara penuh dan mempunyai kemampuan memilah dan memilih, serta mempunyai sifat optimistik. Petani yang mandiri (Sumardjo, 1999) juga dicirikan oleh perilakunya yang efisien dan berdaya saing tinggi. Berperilaku efisien artinya berfikir dan bertindak disertai dengan sikap yang positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna atau berdaya guna. Kemudian yang dimaksud perilaku berdaya saing tinggi artinya dalam berfikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atau produk atau jasa yang dihasilkan. Petani berkemandirian tinggi artinya mampu mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tepat tanpa harus tergantung pada atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, serta mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan sehingga terjadi kesalingtergantungan (interdependencies) dan bukan ketergantungan. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya.

37 Hasil-Hasil Penelitian Penyuluhan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jarmie (1994), menyatakan bahwa sasaran dari penyuluhan pembangunan pertanian adalah perubahan perilaku petani. Perubahan perilaku petani didorong oleh: (1) pendidikan formal petani, (2) pendidikan formal ibu tani, (3) sumber informasi yang diterima, (4) alat baru berusahatani, dan (5) kebersamaan petani dengan penyuluh non pertanian. Adanya penerimaan ide baru pada petani Indonesia telah merubah cara pandang yang subsisten menjadi komersial, dimana perencanaan usahatani merupakan perubahan mendasar dari petani subsisten menjadi petani komersial. Dalam penerimaan ide baru berusahatani, Jarmie (1994) mengelompokkan petani ke dalam hierarki yang bervariasi. Kegiatan penyuluhan dilakukan minimal untuk menjadikan petani setidaknya tahu mensintesis (merancang, mengkombinasi, menata), mau menyusun (merumuskan, mengatur, menyesuaikan), dan bisa mengadaptasikan (mendemostrasikan, menampilkan). Bagi petani yang sudah tinggi tingkat penerimaan ide baru usahatani, masih dapat ditingkatkan lagi dengan melatih agar petani tahu menilai (mengkritik, merevisi, mempertahankan), menghayati (mengamalkan), dan bisa menciptakan (memperbaiki, membimbing pengembangan) terhadap ide baru yang diterima. Hasil penelitian Sumardjo (1999) mengenai transformasi model penyuluhan pertanian menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian harus dapat diarahkan untuk meningkatkan kemandirian petani. Asumsi dari keberhasilan aktivitas penyuluhan adalah terwujudnya kemandirian petani, menggunakan prinsip dialogis, berpihak pada petani, dan kedudukan petani ditempatkan pada sentral dalam pelaksanaan penyuluhan. Dalam penelitian ini, terdapat faktorfaktor internal petani yang berpengaruh terhadap kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling mempengaruhi adalah: (1) ciri-ciri komunikasi, (2) kualitas pribadi (SDP) petani, (3) status sosial, (4) status sosial ekonomi, (5) motivasi ekstrinsik, dan (6) motivasi intrinsik. Persepsi petani mengenai kualitas penyuluhan dipengaruhi oleh kualitas Sumberdaya Pribadi (SDP) dari petani itu sendiri. Kualitas sumberdaya pribadi petani yang tinggi cenderung ditemukan pada petani dengan usia relatif lebih muda, dengan rata-rata pengalaman usahatani yang relatif lebih pendek, tetapi memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih

38 19 tinggi dibanding petani dengan kualitas SDP rendah. Kualitas SDP petani yang tinggi juga ditandai dengan kecenderungan memiliki kemampuan mengelola usahatani dalam skala lebih luas, baik mengelola lahan milik sendiri maupun lahan sewaan. Lebih lanjut, Sumardjo (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal petani juga penting bagi perkembangan tingkat kemandirian petani. Banyak faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kemandirian petani ternyata berpengaruh positif. Beberapa diantaranya adalah: (1) kualitas penyuluhan, (2) keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, (3) aksesibilitas petani terhadap produk usahatani, (4) Aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi tepat guna, dan (5) persepsi petani terhadap kelayakan lingkungan fisik usahatani. Faktor-faktor seperti kualitas penyuluh pertanian, keterjangkauan petani terhadap sarana penunjang pertanian, perkembangan daya saing, keefisienan petani, dan kemoderenan petani, yang diduga mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap kemandirian petani ternyata secara signifikan memang berpengaruh positif. Tingkat kemandirian petani yang tinggi adalah hasil dari proses belajar petani yang efektif dalam mengelola usahataninya secara modern dan efisien sehingga hasil usahataninya berdaya saing tinggi secara domestik maupun global di era globalisasi ekonomi. Tingkat kemandirian tersebut terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada komodernan petani, keefisienan petani, dan daya saing petani. Hasil penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam PHT terdiri dari aspek pengetahuan, aspek sikap, aspek penerapan, dan aspek penyebaran PHT. Pengetahuan yang dimiliki petani dalam PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani yang terdiri dari intensitas pendidikan non formal dan motivasi petani. Aspek sikap dipengaruhi oleh karakteristik internal petani dalam pengalaman usahatani dengan hubungan yang negatif yang berarti semakin lama pengalaman usahatani maka sikapnya terhadap prinsip SL-PHT cenderung semakin negatif. Untuk aspek penerapan PHT dipengaruhi oleh karakteristik internal petani berupa pendidikan non formal, pengalaman usahatani, dan kekosmopolitan, sedangkan aspek penyebaran PHT dipengaruhi oleh karakteristik

39 20 internal petani berupa pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan dan motivasi petani. Penelitian Zulvera (2002) menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara nyata antara kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan kepada petani dengan cara kekeluargaan terhadap tingkat penerapan prinsip PHT, dimana semakin baik kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan secara kekeluargaan pada petani maka terdapat kecenderungan semakin tinggi pula tingkat penerapan prinsip PHT oleh petani. Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa proses belajar yang dilakukan di SL-PHT telah memberi kesempatan yang luas pada petani untuk belajar sambil berbuat, tidak hanya mendengar, namun langsung mempraktekkannya di lapangan, dan terbukti berkaitan dengan kemampuan petani dalam pengendalian hama secara terpadu. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan nyata dengan keaktifan petani dalam proses belajar di SLPHT adalah: intensitas pendidikan non formal yang diikuti petani, kekompakkan kelompok tani, observabilitas materi PHT, dan kemampuan penyuluh dalam melakukan pendekatan pada petani. Hasil penelitian Hakim (2007), menyatakan bahwa tingkat keberdayaan kelompok dapat dilihat dari unsur-unsur dinamika kelompok tani. Pola pemberdayaan, pengembangan kepribadian, lingkungan sosial, dan akses pada informasi berhubungan positif dan nyata dengan dinamika kelompok. Keeratan hubungan tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan petani dapat dikembangkan melalui dinamika kelompok sebagai wadah pembinaan, pembelajaran, dan kemampuan usahatani. Penelitian ini menjelaskan bahwa karakteristik individu meliputi umur, tingkat pendidikan, dan lamanya berusahtani kurang mendukung peningkatan dinamika kelompok tani. Salah satu variabel pada peubah karakteristik individu yang berpengaruh negatif terhadap dinamika kelompok adalah umur, dimana semakin tua umur responden maka kemampuannya dalam mengembangkan dinamika kelompok semakin menurun. Variabel yang tidak berpengaruh yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman berusahatani. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama pengalaman usahatani, maka akan semakin tidak berkontribusi dalam menumbuhkan partisipasi dan motivasi responden dalam mengembangkan

40 21 kegiatan kelompok. Namun dalam penjelasannya, karakteristik individu seperti umur ternyata berkorelasi positif dengan kepribadian petani, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kepribadian petani. Begitu juga dengan pendidikan formal yang berkorelasi positif dan nyata dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Namun, variabel pengalaman usahatani berkorelasi negatif dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang berasal dari penelitian terdahulu tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dengan menerapkan sebagian konsep yang terdapat pada hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian mengenai hubungan penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani. Dalam penelitian ini, penulis berpatokan pada teori pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Nasdian (2006), yang menyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua elemen penting, yaitu partisipasi dan kemandirian. Dari dua elemen penting pemberdayaan ini, penulis menjadikannya sebagai variabel terpengaruh yang dipengaruhi oleh berbagai variabel pengaruh. Adapun penentuan parameter untuk variabel kemandirian sebagai salah satu variabel terpengaruh diambil dari hasil penelitian Sumardjo (1999) yang menetapkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik pada kemodernan, keefisienan, dan daya saing petani. Hanya saja, pada penelitian ini, parameter tersebut dijadikan variabel turunan yaitu menjadi tingkat kemodernan, tingkat keefisienan, dan tingkat daya saing yang secara tidak langsung di dalamnya mengadung aspek kognitif, afektif, dan daya saing secara menyatu. Hal ini dilakukan untuk menghindari terlalu banyaknya uji hubungan pada penelitian. Terkait dengan penentuan variabel-variabel pengaruh, penulis membaginya menjadi karakteristik internal petani dan karakteristik eksternal petani. Selain itu, penulis menambah satu variabel pengaruh mengenai model pemberdayaan petani SL-PTT yang dianggap mempengaruhi variabel terpengaruh. Penentuan hipotesis pada penelitian ini, disesuaikan dengan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Jarmie (1994), Sumardjo (1999), Zulvera (2002), dan Hakim (2007) dengan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan tema penelitian yang dilakukan.

41 Kerangka Pemikiran Penelitian ini merujuk pada konsep dan teori pemberdayaan masyarakat dari beberapa ahli seperti Nasdian (2006) dan Syahyuti (2006) yang mengemukakan secara garis besar bahwa pemberdayaan masyarakat mengarah pada partisipasi dan kemandirian yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kegiatan SL-PTT yang telah dilaksanakan merupakan kegiatan sekolah lapangan dengan penerapan model pemberdayaan petani. Merujuk pada tujuan pemberdayaan (Nasdian, 2006), pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yaitu partisipasi dan kemandirian, maka tingkat partisipasi (Y1) dan tingkat kemandirian (Y2) dijadikan variabel terpengaruh sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan SL-PTT dalam memberdayakan petani. Variabel-variabel turunan yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi yaitu: tingkat partisipasi dalam perencanaan (Y1.1), tingkat partisipasi dalam pelaksanaan, tingkat partisipasi dalam pemantauan (Y1.3), dan partisipasi dalam evaluasi. Variabel-variabel turunan yang digunakan dalam mengukur tingkat kemandirian petani (Sumardjo, 1999) antara lain: aspek kemodernan petani (Y2.1), aspek keefisienan petani (Y2.2), dan aspek daya saing petani (Y2.3). Variabel-variabel terpengaruh di atas diduga berhubungan dengan sejumlah variabel pengaruh (independent variables), seperti: karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan model pemberdayaan petani SL-PTT. Merujuk pada penelitian terdahulu (Zulvera 2002), variabel-variabel karakteristik internal petani yang diukur adalah: umur (X1.1), tingkat pendidikan formal (X1.2) tingkat pendidikan non formal (X1.3), tingkat pengalaman berusahatani (X1.4), tingkat kekosmopolitan (X1.5), motivasi petani (X1.6), dan luas lahan garapan (X1.7). Adapun variabel-variabel karakteristik eksternal petani yang diukur adalah: frekuensi petani mengikuti SL-PTT (X2.1), tingkat kemampuan penyuluh (X2.2), tingkat keterjangkauan sarana produksi pertanian (X2.3), dan tingkat kemampuan akses petani terhadap pasar (X2.4). Adapun variabel-variabel dalam proses pemberdayaan petani yaitu: tingkat penggunaan laboratorim lapangan (X3.1) dan tingkat penerapan komponen teknologi PTT (X3.2).

42 23 Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dapat dilihat pada Gambar 1. Variabel Pengaruh (Independent Variables) Karakteristik Internal Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Tingkat Pendidikan Formal X1.3 Tingkat Pendidikan Non Formal X1.4 Tingkat Pengalaman Berusahatani X1.5 Tingkat Kekosmopolitan X1.6 Motivasi Petani X1.7 Luas Lahan Garapan Karakteristik Eksternal Petani (X2) X2.1 Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT X2.2 Tingkat Kemampuan Penyuluh X2.3 Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian X2.4 Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar Model Pemberdayaan Petani SL-PTT (X3) X3.1 Tingkat Pengunaan Laboratorium Lapangan X3.2 Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) Tingkat Partisipasi (Y1) Y1.1 Tingkat Partisipasi dalam Perencanaan Y1.2 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Y1.3 Tingkat Partisipasi dalam Pemantauan Y1.4 Tingkat Partisipasi dalam Evaluasi Tingkat kemandirian (Y2) Y2.1 Aspek Kemodernan Petani Y2.2 Aspek Keefisienan Petani Y2.3 Aspek Daya Saing Petani Gambar 1. Kerangka Pemikiran Proses Pemberdayaan Petani SL-PTT terhadap Tingkat Kemandirian dan Tingkat Partisipasi Petani.

43 Hipotesis Penelitian 1. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 2. Karakteristik internal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 3. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 4. Karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 5. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 6. Model pemberdayaan petani SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 7. Tingkat partisipasi berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. 2.4 Definisi Operasional Variabel-variabel dalam penelitian ini diberi batasan atau didefinisioperasionalkan agar dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasan-batasan yang digunakan dalam memperoleh data dan menganalisisnya sehubungan dengan penarikan kesimpulan. Definisi operasional dari variabelvariabel tersebut adalah: I. Karakteristik Internal Petani (X1) adalah gambaran tentang sifat-sifat atau ciri-ciri pribadi yang dimiliki petani yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, meliputi: 1.Umur (X1.1) adalah tingkat usia biologis petani pada saat penelitian dilaksanakan. Umur dihitung dalam satuan tahun dan pengukurannya dengan menggunakan skala ordinal. Dalam penelitian, umur responden diklasifikasikan dalam tiga kategori (Hurlock, 1980), yaitu: 1= dewasa awal

44 25 (18-40 tahun); 2= dewasa madya (41-60); dan 3= dewasa akhir (60 tahun ke atas). 2. Tingkat Pendidikan Formal (X1.2) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika responden mengikuti lama pendidikan 9 tahun, (2) sedang, jika responden mengikuti lama pendidikan 9<sedang 12 tahun, (3) tinggi, jika responden mengikuti lama pendidikan >12 tahun. 3. Tingkat Pendidikan Non Formal (X1.3) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan, lokakarya, SL-PTT, dan FMA, baik di tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi kegiatan PLS yang telah dilakukan, dibedakan dalam tiga kategori, : (1) rendah, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 1-3 kali, (2) sedang, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 4-6 kali, dan (3) tinggi, jika total skor mengikuti kegiatan PLS 7-9 kali. 4.Tingkat Pengalaman Berusahatani (X1.4) adalah lamanya (tahun) melakukan usahatani. Pengkategorian dilakukan berdasarkan hasil perhitungan sebasaran normal dari jumlah skor terendah dan skor tertinggi lamanya usahatani yang dilakukan petani, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika lamanya usahatani 1-17 tahun, (2) sedang, jika lamanya usahatani tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya usahatani tahun. 5. Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) adalah keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi, yang diamati pada penelitian ini adalah frekuensi bepergian keluar desa untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan teknologi dan inovasi usahatani, frekuensi membaca media informasi pertanian baik dengan cara membaca koran dan atau membaca majalah yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, frekuensi mendengarkan radio, frekuensi menonton televisi yang berkaitan dengan pertanian, frekuensi berhubungan dengan penyuluh, dan berhubungan dengan instansi atau lembaga yang berhubungan dengan usahatani, masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Tingkat kekosmopolitan ini dibedakan ke dalam kategori: (1)

45 26 rendah, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 6-13, (2) sedang, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi 14-21, dan (3) tinggi, jika total skor frekuensi petani memanfaatkan media informasi Motivasi Petani (X1.6) adalah alasan atau dorongan yang mendasari petani dalam melakukan kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) motivasi ekstrinsik, jika alasan petani dalam mengikuti SL-PTT karena lahannya termasuk ke dalam hamparan SL-PTT, diajak ketua kelompok tani, penyuluh, ataupun pihak lain sebagai alasan untuk pergaulan saja, dan (2) motivasi intrinsik, jika petani memiliki keinginan sendiri untuk menambah pengetahuan tentang PTT sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi mereka. 7. Luas Lahan Garapan (X1.7) adalah rata-rata luas lahan usahatani padi yang digarap responden dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar ; (2) sedang, jika menggarap lahan 0,5 sampai 1 hektar, dan (3) tinggi, jika menggarap lahan lebih dari 1 hektar. II. Karakteristik Eksternal Petani (X2) adalah gambaran sifat-sifat atau ciri-ciri di luar pribadi petani yang berkaitan dengan proses pemberdayaan, meliputi: 1. Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT (X2.1) adalah jumlah kehadiran (frekuensi) petani mengikuti SL-PTT yang telah berlangsung, yang dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika mengikuti 1-4 pertemuan, (2) sedang, jika mengikuti 5-8 pertemuan, dan (3) tinggi, jika mengikuti 9-12 pertemuan. 2. Persepsi Petani Terhadap Kemampuan Penyuluh (X2.2) adalah pandangan petani terhadap kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan 9 pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1=

46 27 rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1= 9-17, kategori 2=18-26, dan kategori 3= Tingkat Keterjangkauan Sarana Produksi Pertanian (X2.4) adalah tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= sangat sulit; 2= sulit, 3=mudah, dan 4=sangat mudah. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=3-5; kategori 2=6-8; dan kategori 3= Tingkat Kemampuan Akses Petani terhadap Pasar (X2.5) adalah kemampuan petani dalam mencari peluang dalam menjual hasil produksinya, terbagi menjadi kategori: (1) rendah, jika pemasaran masih menggunakan jasa tengkulak, (2) sedang, jika pemasaran dilakukan petani langsung kepada pedagang di pasar namun tidak tetap (pedagang tidak berlangganan dengan petani besangkutan), (3) tinggi, jika pemasaran dilakukan petani kepada pedagang tetap (pedagang berlangganan dengan petani bersangkutan). III. Proses Pemberdayaan Petani (X3) 1. Tingkat Penggunaan Laboratorium Lapangan (X3.2) adalah tingkat pengguanaan dan pemanfaatan lahan percontohan dalam SL-PTT, terbagi menjadi kategori (1) rendah, jika petani hanya mengikuti kegiatan di LL sebanyak 1-2 kali, (2) sedang, jika petani mengikuti kegiatan di LL 3-4 kali, (3) tinggi, jika petani mengikuti kegiatan di LL 5-6 kali. 2. Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PTT adalah tingkat kesesuaian cara bertani padi sesuai dengan teknologi petanian yang sudah disepakati, terdiri dari 11 komponen, yaitu: varietas unggul, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik dari jerami, pengaturan populasi optimum, pemupukan sesuai proporsi yang dibutuhkan, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang per rumpun,

47 28 pengairan secara efektif dan efisien, panen tepat waktu, gabah langsung dirontokan. Tingkat penerapan komponen teknologi PTT ini erbagi menjadi empat kategori, yaitu: (0) tidak pernah, jika petani sedikitpun belum pernah menerapkan komponen PTT, (1) rendah, jika petani hanya menerapkan 1-4 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan, (2) sedang, jika petani menerapkan 5-8 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan dan (3) tinggi, jika petani menerapkan 9-11 komponen PTT dari total komponen yang ditentukan. IV. Tingkat Partisipasi (Y1) dalam kegiatan SL-PTT adalah jumlah (frekuensi) keikutsertaan petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT, terbagi menjadi: 1. Partisipasi dalam perencanaan (Y1.1) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam merencanakan kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam perencanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut merencanakan kegiatan persen dari total kegiatan perencanaan SL- PTT, (3) tinggi, jika ikut merencanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT. 2. Partisipasi dalam Pelaksanaan (Y1.2) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan pasca panen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika berperan serta dalam pelaksanaan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan perencanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut melaksanakan kegiatan persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (3) tinggi, jika ikut melaksanakan kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 3. Partisipasi dalam Pemantauan (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam memantau kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika keikutsertaan dalam memantau kegiatan SL-PTT <33 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT, (2) sedang, jika hanya ikut memantau kegiatan persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT,

48 29 (3) tinggi, jika ikut memantau kegiatan >67 persen dari total kegiatan pelaksanaan SL-PTT. 4. Partisipasi dalam Evaluasi (Y1.3) adalah sejauh mana keikutsertaan peserta dalam menilai atau mengevaluasi kegiatan SL-PTT, dibedakan ke dalam kategori: (1) ikut serta, jika peserta mengikuti proses evaluasi kegiatan SL- PTT dan (2) tidak ikut serta, jika peserta tidak mengikuti proses evaluasi kegiatan SL-PTT. V. Tingkat Kemandirian (Y2): Tingkat perubahan sikap setelah mengikuti SL- PTT mencakup sikap afektif, kognitif, dan psikomotorik dalam hal kemodernan, keefisienan, dan kemampuan daya saing petani. Nilai (interval nilai) untuk setiap kategori didapat dari mengalikan jumlah pertanyaan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan, variabelvariabel turunan tersebut yaitu: 1. Tingkat Kemodernan Petani (Y2.1) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemanfaatan informasi, pemanfaatan agen pembaharu, dan sikap terhadap informasi inovatif, serta keterampilan dalam menerapkan ketepatgunaan teknologi pertanian, sehingga petani memiliki pengetahuan akan kebutuhan pasar, informasi media massa, wawasan agribisnis, dan perencanaan usaha dalam melakukan kegiatan pertanian. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=9-12. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. 2. Tingkat Keefisienan Petani (Y2.2) adalah tingkat pemahaman petani terhadap pemilihan jenis usaha, pemahaman cara meraih informasi harga pasar, dan pemahaman dasar peramalan produksi/pemahaman atas resiko sehingga petani mampu bersikap hemat input dan mampu menerapkan teknologi yang dapat menekan kehilangan hasil. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi.

49 30 Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=9-12. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. 3. Tingkat Daya Saing Petani (Y2.3) adalah tingkat pemahaman petani terhadap kualitas produk, selera konsumen, kebutuhan pasar, prediksi harga produk, dan wawasan keserasian lingkungan/kesehatan, sehingga petani mampu menyikapi usahataninya dengan tepat dan mampu memuaskan konsumen dengan produk yang bermutu dan memiliki jaringan pemasaran yang luas. Hasil pengukuran digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2=sedang; 3= tinggi. Nilai (interval nilai) untuk kategori 1=1-4; kategori 2=5-8; dan kategori 3=9-12. Skor diperoleh dari 4 pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan terbagi menjadi 3 bagian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik.

50 BAB III PE DEKATA LAPA G 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya metode survai. Selain metode survai, juga dilakukan wawancara mendalam (untuk mendapatkan data kualitatif), khususnya untuk mengetahui pelaksanaan SL-PTT yang telah berlangsung sejak tahun 2008 di Gapoktan Sawargi, Kecamatan Kebon Pedes yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa menurut informan (pihak Dinas Pertanian dan Ketua Gapoktan) di desa tersebut telah dilaksanakan SL-PTT selama empat musim tanam. Gapoktan ini merupakan Gapoktan yang intensif mendapatkan programprogram dari Dinas Pertanian dan termasuk Gapoktan yang aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan penyuluhan. Oleh karena itu, pemilihan Gapoktan Sawargi sebagai objek dalam penelitian ini. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan Desa Kebon Pedes merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi yang telah melaksanakan program SL-PTT dan termasuk lokasi program SL-PTT dengan Gapoktan yang maju dan hasil produktivitas padi yang tinggi. Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti telah mengikuti pertemuan bersama anggota Gapoktan Sawargi untuk mengetahui gambaran kegiatan SL- PTT. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama satu bulan yaitu pada Bulan Mei- Juni Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan menggunakan kuesioner. Penggunaan alat ukur kuesioner dilakukan dengan me-recall kegiatan SL-PTT yang telah dilakukan oleh peserta. Wawancara mendalam dilakukan

51 32 dengan informan yang diambil dari pengurus kelompok tani yang mengikuti kegiatan SL-PTT. Data primer adalah data tentang karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, model pemberdayaan petani SL-PTT, tingkat partisipasi, dan tingkat kemandirian petani. Data sekunder didapatkan melalui penelusuran litelatur, dokumen resmi yang berkaitan dengan keadaan umum lokasi dan data-data yang relevan dengan penelitian. Responden penelitian ini adalah petani anggota Gapoktan Sawargi yang telah mengikuti kegiatan SL-PTT pada tahun 2008 dan 2009 yaitu 4 kelompok tani. Total populasi peserta SL-PTT adalah jumlah petani yang memiliki lahan pada hamparan SL-PTT yang jumlahnya mencapai 167 orang. Namun dari jumlah populasi tersebut, tidak semua petani mengikuti kegiatan sekolah lapangan, sehingga populasi pada penelitian ini berjumlah 105 orang. Penentuan responden dilakukan dengan stratified random sampling, dibedakan ke dalam responden yang menduduki posisi sebagai pengurus kelompok dan responden yang menduduki posisi sebagai anggota. Dari setiap kelompok tani diambil 3 orang responden berdasarkan posisinya di kelompok yaitu 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 1 orang bendahara sehingga jumlah total untuk responden yang memiliki posisi sebagai ketua atau sekretaris atau bendahara adalah 12 orang yang sekaligus dijadikan sebagai informan dalam mendapatkan data kualitatif. Responden anggota kelompok tani diambil sebanyak 30 orang yang berasal dari empat kelompok tani peserta SL-PTT, sehingga jumlah total responden pada penelitian ini adalah 42 orang. 3.4 Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui survai dientry ke dalam program Microsoft-excel. Data diolah dan dianalisis melalui tabulasi silang dan uji statistik korelasi rank Spearman dengan menggunakan SPSS versi 17 untuk mengetahui hubungan variabel pengaruh (karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani dan proses pemberdayaan petani) dengan variabel terpengaruh (tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian petani), serta melihat hubungan tingkat partisipasi dengan tingkat kemandirian petani. Data kualitatif yang diperoleh

52 33 melalui wawancara mendalam dan data sekunder digunakan untuk mendukung alasan-alasan yang menjelaskan ada tidaknya hubungan antara variabel dalam hipotesis kerja penelitian ini. Hasil analisis data kualitatif dan kuantitatif kemudian disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian.

53 BAB IV GAMBARA UMUM 4.1 Keadaan Umum Desa Kebon Pedes merupakan salah satu desa di Kecamatan Kebon Pedes. Desa ini memiliki luas wilayah 196,14 hektar yang terdiri dari lahan sawah seluas 117,00 hektar dan lahan kering seluas 79,14 hektar. Batas wilayah Desa Kebon Pedes, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Jambe Nenggang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bojong Sawah, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cikaret. Desa ini terdiri dari empat kedusunan, yaitu: Kedusunan Bojong Galing, Kedusunan Kebon Pedes, Kedusunan Pamoyanan, dan Kedusunan Ranji dengan sembilan RW dan 38 RT. Desa Kebon Pedes merupakan desa yang berada di sebelah Timur Kota Sukabumi. Desa ini terletak di kawasan Sukaraja, yaitu wilayah yang berdekatan dengan perbatasan Kabupaten Cianjur. Untuk menuju desa ini, perjalanan dapat ditempuh melalui pusat Kota Sukabumi. Selain dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi, perjalanan menuju desa ini dapat juga ditempuh dengan menggunakan angkutan umum (Angkot). Jika perjalanan dimulai dari pusat Kota Sukabumi, jasa angkot bertrayek 01 (jurusan Kota-Sukaraja) dapat menjadi pilihan untuk mengawali perjalanan menuju desa ini. Angkot bertrayek 01 ini beroperasi 24 jam dalam sehari dan relatif mudah dijangkau karena jumlahnya yang banyak. Setelah angkot 01 tersebut berhenti di terminal Sukaraja, perjalanan dapat dilanjutkan dengan menggunakan angkot jurusan Sasagaran (angkot berwarna biru tua) atau dapat juga menggunakan jasa ojeg sampai pada akhirnya berhenti di Kantor Kelurahan Kebon Pedes yang letaknya di dekat rel kereta api. Adapun perjalanan menuju desa ini, sebaiknya dilakukan sebelum pukul enam sore karena angkutan umum sudah tidak beroperasi setelah pukul 6 sore. Adapun penggunaan jasa ojeg masih tersedia, hanya saja perjalanan di malam hari dapat dikatakan masih rawan tindakan kriminal. Oleh karena itu, perjalanan menuju desa ini lebih baik dilakukan sebelum malam hari. Perjalanan dari pusat kota Sukabumi menuju Desa Kebon Pedes dapat menghabiskan waktu kurang lebih selama 1 jam dan

54 35 menghabiskan biaya sebanyak Rp ,00 dengan menggunakan angkot sebanyak dua kali (angkot bertrayek 01 dan trayek sasagaran). Berbeda sedikit dengan jasa angkot, biaya untuk menggunakan ojeg sedikit lebih mahal sehingga membutuhkan biaya Rp.5.000,00 (angkot bertrayek 01 dan jasa ojeg). 4.2 Sumberdaya Alam Topografi Desa Kebon Pedes terbagi menjadi 80 persen topografi bergelombang dan 20 persen topografi datar dengan jenis tanah latosol. Desa ini berada pada ketinggian 540 meter dari permukaan laut dengan temperatur derajat celsius. Desa ini memiliki curah hujan milimeter per tahun dengan hari hujan 325 hari, dimana empat bulan kering dan delapan bulan basah. Potensi lahan di desa ini lebih diarahkan pada kegiatan pertanian, sedangkan untuk potensi lahan hutan, lahan perkebunan maupun lahan pertambangan tidak terdapat di desa ini. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pemanfaatan Lahan di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Jenis Lahan Luas Lahan (Ha) 1. Lahan Sawah Sawah irigasi ½ teknis Tadah hujan 90,35 26,55 Jumlah 117,00 2 Lahan Kering Tegalan/Ladang 15,44 Pemukiman 62,66 Pekarangan 1,04 Jumlah 79,14 Jumlah Total 196,14 Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan pedesaan dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian, dimana 90,35 hektar merupakan sawah irigasi ½ teknis sedangkan lahan sawah lainnya merupakan lahan sawah tandah hujan yang luasnya mencapai 26,55 hektar. Lahan sawah irigasi ½ teknis ini sebenarnya lebih dikenal dengan lahan sawah pedesaan, dimana lahan sawah yang digunakan mendapatkan pengairan yang bersumber dari sungai dengan memanfaatkan saluran air yang mengalir di sepanjang desa. Jadwal pengaturan

55 36 untuk pengairan sawah belum dapat dilakukan dengan baik disebabkan peranan ulu-ulu atau petugas pengatur air belum dapat bekerja dengan maksimal, sehingga sumber air untuk mengairi sawah hanya diusahakan secara individual. Untuk pemanfaatan lahan tadah hujan, petani hanya dapat memanfaatkanya ketika musim hujan tiba. Untuk lahan kering, pemanfaatannya digunakan untuk tegalan seluas 15,44 hektar, pemukiman seluas 62,66 hektar dan pekarangan seluas 1,04 hektar. Pemanfaatan lahan pertanian di desa ini lebih didominasi oleh pertanian tanaman padi, sedangkan untuk tanaman sayuran hanya dilakukan oleh sebagian petani yang relatif berusia masih muda dan memiliki modal yang memadai. Pemeliharaan tanaman sayuran yang membutuhkan tenaga, waktu, serta biaya yang lebih tinggi dibandingkan tanaman padi menjadikan pertanian sayuran di desa ini hanya dilakukan oleh sebagian petani saja, sedangkan sisanya (seperti petani yang sudah tua dan memiliki modal yang kecil) hanya berani bertani padi. Desa ini juga memiliki potensi lain dalam bidang peternakan dan perikanan. Dalam bidang peternakan, kebanyakan dari penduduk memilih untuk beternak Ayam Broiler dan atau domba. Alasannya adalah pemeliharan dengan jangka waktu yang relatif cepat untuk Ayam Broiler dan pemberian pakan yang mudah dan murah untuk domba serta pemasaran hewan ternak tersebut yang relatif mudah. Untuk mengetahui data kepemilikan ternak di Desa Kebon Pedes, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Kepemilikan Ternak di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Jenis Ternak Jumlah Perkiraan Pemilik (Orang) Populasi (Ekor) 1. Sapi Ayam Broiler Bebek Domba Kelinci Burung Walet 1 ~ Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk yaitu 60 persen beternak domba, sedangkan usaha ternak dengan skala lebih besar (dengan jumlah ternak relatif banyak) dilakukan oleh peternak Ayam Broiler yang berjumlah

56 37 sebanyak 10 orang. Dilihat dari jumlah populasinya, penduduk yang memelihara kelinci dan bebek dengan skala kecil tidak diperuntukan untuk memenuhi permintaan pasar melainkan hanya bersifat subsisten. Pada kegiatan perikanan, penduduk melakukan usaha perikanan air tawar dengan jenis ikan seperti ikan mas, mujaer, lele, dan nila. Baik pada kegiatan peternakan maupun perikanan, biasanya penduduk memasarkan hasil peternakan dan perikanannya langsung kepada konsumen, dijual melalui tengkulak, dijual melalui pengecer, dan atau juga dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi. 4.3 Sumberdaya Manusia Penduduk Desa Kebon Pedes pada tahun 2008 berjumlah orang, yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Jika dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan usia produktif tenaga kerja, maka kelompok umur penduduk desa secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia Produktif Tenaga Kerja di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Kelompok Umur Jenis kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan Orang 1. Usia 0-6 tahun Usia masih sekolah (7-18 tahun) Usia produktif (18-56 tahun) yang bekerja 4. Usia produktif (18-56 tahun) yang tidak bekerja Usia 56 tahun ke atas Jumlah Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kelompok umur produktif (18 sampai 56 tahun) merupakan kelompok umur dengan jumlah terbanyak yaitu orang. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa hanya sekitar orang penduduk berusia produktif yang telah bekerja, sedangkan sisanya yaitu orang penduduk berusia produktif yang tidak bekerja. Jumlah pengangguran di Desa Kebon Pedes cukup tinggi yaitu sebesar 21,9 persen. Data mengenai kualitas angkatan kerja di Desa Kebon Pedes yang berhasil dibukukan oleh pemerintah desa adalah sebanyak orang. Data ini tidak

57 38 mencakup keseluruhan jumlah angkatan kerja yang diketahui mencapai orang. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakjelasan sumber informasi yang diperoleh oleh instansi pemerintah desa yang biasanya berbeda-beda antara masing-masing sumber informasi. Adapun untuk mengetahui data rinci mengenai kualitas angkatan kerja penduduk Desa Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Kualitas Angkatan Kerja di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Angkatan Kerja Laki-laki Perempuan 1. Usia tahun yang buta aksara Usia tahun yang tidak tamat SD Usia tahun yang tamat SD Usia tahun yang tamat SLTP Usia tahun yang tamat SLTA Usia tahun yang tamat PT Jumlah Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes 2008 Pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa angkatan kerja di Desa Kebon Pedes tidak ada yang buta aksara. Kebanyakan dari angkatan kerja (baik laki-laki maupun perempuan) telah menyelesaikan pendidikan sampai pada jenjang SLTP, dimana jumlahnya mencapai orang. Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah angkatan kerja yang telah menyelesaikan pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi masih sedikit dan merupakan jumlah terendah dari keseluruhan angkatan kerja (baik laki-laki maupun perempuan) yaitu hanya sebanyak 83 orang. Berdasarkan keterangan Tabel 3 yang menyatakan jumlah angakatan kerja yang mencapai 3.420, hanya orang angkatan kerja yang berhasil terdata, sisanya belum teridentifikasi, sehingga masih ada kemungkinan bahwa di desa ini masih terdapat angkatan kerja yang buta aksara ataupun lebih banyak lagi angkatan kerja dengan kualitas pendidikan yang tinggi. Jumlah penduduk Desa Kebon Pedes yang telah bekerja telah mencapai orang. Keseluruhan jumlah penduduk yang telah bekerja ini memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda. Pada sumber keterangan yang berbeda (data profil desa dari kecamatan) terdapat informasi mengenai jumlah penduduk yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 218 orang (dimana data ini tidak tercantum pada profil desa). Berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara mendalam, diperoleh penjelasan bahwa terdapat penduduk yang memiliki pekerjaan ganda.

58 39 Dari hasil wawancara dengan beberapa petani juga menjelaskan bahwa kebanyakan petani yang diwawancarai memiliki matapencaharian ganda seperti buruh bangunan, pengrajin besi, pedagang, dan banyak pekerjaan sampingan lainnya. Penjelasan secara rinci mengenai komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Penduduk Bedasarkan Mata Pencaharian di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan 1. Petani Buruh tani PNS Pengrajin industri rumah tangga Peternak 8-6. Montir 5-7. Dokter Swasta Bidan Swasta Pembantu rumah tangga TNI POLRI Pensiunan PNS/TNI/POLRI Pengusaha Kecil dan menengah 2-14 Dukun kampung terlatih 4 - Jumlah Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa komposisi mata pencaharian sebagai buruh tani adalah yang paling banyak ditekuni oleh penduduk Desa Kebon Pedes. Namun berdasarkan keterangan dari wawancara mendalam, kebanyakan dari buruh tani ini sebenarnya memiliki lahan garapan sendiri dengan sistem sewa dan atau maparo. Para buruh tani ini melakukan pekerjaannya untuk mendapatkan upah sebagai modal bagi usahatani yang dimilikinya. Mata pencaharian pada bidang pertanian (baik petani maupun buruh tani) ini mendominasi sebagian besar mata pencaharian penduduk dengan jumlah total orang atau mencapai 82,22 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Mata pencaharian sebagai pengrajin, PNS, pensiunan, dan PRT menjadi mata pencaharian yang jumlahnya lebih banyak ditekuni penduduk dibandingkan mata pencaharian lainnya.

59 Keadaan Perkembangan Tingkat Penerapan Usahatani Pola usahatani yang dilakukan oleh petani Desa Kebon Pedes berbedabeda. Luas lahan sawah yang digunakan untuk usahatani dengan pola padi-padipadi adalah 38 hektar. Untuk luas lahan yang digunakan dengan pola usahatani padi-padi-sayuran adalah 71 hektar, sedangkang luas lahan yang digunakan dengan menggunakan pola usahatani padi-padi-palawija sekitar 24,48 hektar. Luas lahan yang digunakan dengan pola usahatani padi-sayuran-palawija adalah yang paling sedikit yaitu hanya 13 hektar. Untuk melakukan kegiatan usahatani, setiap petani memiliki luas lahan garapan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui luasan lahan yang digarap oleh petani di Desa Kebon Pedes, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Luas Lahan Garapan KK Tani di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Luas Lahan (Ha) Jumlah KK Persentase 1. < 0, , ,10 0, , ,26 0, , ,51 1, ,23 6. > ,25 Jumlah ,00 Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa luas lahan garapan dari setiap KK tani didominasi oleh luas lahan garapan antara 0,10 sampai 0,25 hektar yang jumlahnya mencapai 484 KK. Adapun KK yang memiliki luas lahan kurang dari 1,00 hektar sangat sedikit sekali jumlahnya yaitu hanya dimiliki oleh 27 KK saja. Jumlah KK yang memiliki lahan kurang dari 0,10 hektar masih banyak jumlahnya yaitu 249 KK dengan persentase mencapai 20,45 persen. Sisanya adalah KK yang memiliki luas lahan dari 0,26 sampai 0,50 hektar. Pendapatan yang dihasilkan melalui usahatani pun berbeda-beda untuk setiap komoditi yang ditanamnya. Antara padi sawah, palawija/jagung, dan harbi/sayuran menghasilkan keuntungan yang berbeda. Untuk pengembangan usahatani tanaman sayuran, pengembangannya telah dimulai pada satu dekade terakhir ini, karena lahan pertanian yang mendukung dan lebih menghasilkan keuntungan dibandingkan usahatani lainnya, serta adanya penyuluh swasta yang

60 41 berasal dari produsen benih, produsen pupuk dan produsen obat yang mulai memperkenalkan produknya secara langsung kepada petani. Adapun rata-rata tingkat pendapatan petani permusim tanam dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-Rata Tingkat Pendapatan Petani Per Musim Tanam di Desa Kebon Pedes Tahun 2008 o. Komoditas Jumlah Input (Rp) Output (Rp) Keuntungan (Rp) 1. Padi sawah , , ,- 2. Palawija/ jagung , , ,- 3. Sayuran , , ,- Sumber: Potensi Desa Kebon Pedes Tahun 2008 Pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa komoditas pertanian yang paling banyak menghasilkan keuntungan adalah komoditas sayuran, sedangkan komoditas pertanian yang paling sedikit menghasilkan keuntungan adalah komoditas palawija/jagung. Komoditas pertanian sawah adalah komoditas yang paling banyak ditekuni oleh petani di desa Kebon Pedes karena modal yang dperlukan relatif terjangkau dan cara penanamannya yang lebih mudah dibandingkan komoditas lainnya, sedangkan komoditas sayuran adalah komoditas yang memerlukan perhatian dan perawatan yang lebih intensif sehingga hanya dilakukan oleh beberapa orang petani saja. Adapun sayuran yang banyak ditanam oleh petani adalah sawi hijau, kacang panjang, mentimun, terung, dan buncis. 4.5 Pola hubungan Kerja dan Sistem Pengupahan Pola hubungan kerja yang terbentuk antara pemilik lahan dengan penggarap lahan yang terdapat di Desa Kebon Pedes terdiri dari beberapa pola hubungan kerja. Pola hubungan yang terbentuk yaitu: sistem kontrak, sistem sewa, dan sistem bagi hasil (maparo dan mertiga). Penggarap yang memakai sistem kontrak lahan garapan memiliki kuasa penuh untuk mengolah dan memanfaatkan lahan yang telah dikontraknya selama satu tahun tanpa campur tangan pemilik lahan. Pada sistem sewa, penyewaan lahan dilakukan selama satu musim tanam, dimana petani penggarap boleh menanan tanaman apa saja dengan kesepakatan bahwa pemilik lahan akan memperoleh bagian hasil panen yang besarnya mencapai 1,5 kuintal per petak lahan. Ketentuan pemberian hasil panen kepada

61 42 pemilik lahan ini harus dilakukan walaupun petani mendapatkan hasil panen yang sedikit. Penyerahan hasil panen dalam sistem sewa kepada pemilik lahan ini sudah ditentukan yaitu 1,5 kuintal per petak lahan tanpa dipengaruhi oleh komoditas tanaman dan kondisi hasil panen. Berbeda dengan sistem kontrak maupun sistem sewa, petani yang melakukan pola hubungan kerja dengan sistem bagi hasil (baik maparo maupun mertiga) hanya menggarap dan menanami lahan dengan jenis tanaman yang dibatasi, yaitu hanya tanaman padi saja. Pemilik lahan dan penggarap lahan saling berkontribusi dalam memberikan modal usahatani yang besarnya sama rata dan ketika panen antara pemilik lahan dengan penggarap lahan mendapatkan hasil panen yang sama (dalam sistem maparo), sedangkan untuk sistem bagi hasil mertiga petani penggarap hanya menggarap lahan tanpa mengeluarkan dana untuk modal, semua kebutuhan usahatani ditanggung pemilik lahan dengan pembagian hasil panen sepertiga untuk penggarap lahan dan duapertiga untuk pemilik lahan. Pembagian tugas kerja antara buruh tani laki-laki dengan buruh tani perempuan berbeda. Buruh tani laki-laki dibayar dengan upah sebesar Rp ,00 dan diberi makan sebanyak satu kali, sedangkan untuk buruh tani perempuan hanya mendapatkan upah Rp ,00 dan diberi makan satu kali. Hal ini dibedakan karena kerja buruh tani laki-laki lebih cepat dan lebih berat dibandingkan buruh tani perempuan. Selain itu, buruh tani laki-laki bekerja dengan durasi waktu lebih lama dibandingkan buruh tani perempuan, dimana buruh tani laki-laki memulai kerja lebih pagi dibandingkan buruh tani perempuan. Dalam kegiatan pengolahan lahan, buruh tani laki-laki biasanya bertugas mencangkul dan membajak lahan serta pekerjaan berat lainnya, sedangkan bagi buruh tani perempuan mendapatkan pembagian kerja seperti menebar benih padi nyemai, memindahtanamkan bibit padi tanur, menyiangi tanaman ngarambet, dan merontokkan ngagebot padi pada saat panen. Untuk tugas menyabit dan mengangkut hasil panen dilakukan oleh buruh tani laki-laki. 4.6 Keadaan Sarana Prasarana dan Infrastruktur Sarana dan prasarana di Desa Kebon Pedes secara keseluruhan telah memadai dan menunjang kehidupan penduduknya. Untuk kelancaran transportasi,

62 43 desa ini memiliki jalan utama yang telah diaspal dengan panjang mencapai 2,5 kilometer. Untuk menjangkau desa ini, alat transportasi umum yang dapat digunakan adalah ojeg, angkutan pedesaan, dan delman. Untuk mendukung kegiatan mobilitas penduduk, desa ini terletak dekat dengan terminal angkutan pedesaan, dimana terdapat 50 angkutan umum yang dapat digunakan untuk mencapai ibu kota kecamatan. Selain itu, desa ini memiliki tiga pangkalan ojeg dan satu stasiun kereta api. Namun untuk saat ini, stasiun kereta api yang ada sudah tidak aktif karena kereta api menuju arah Bandung sudah tidak beroperasi. Dalam mendukung kegiatan pertanian telah terdapat traktor, namun jumlahnya masih terbatas. Terdapat pula kerbau yang dapat dimanfaatkan penduduk untuk membajak sawah. Hanya saja ketersediaan sarana untuk membajak sawah ini masih belum memadai. Hal ini bisa dibuktikan dari keterlambatan sebagian petani dalam melakukan penanaman padi, sehingga penanaman padi secara serentak cukup sulit untuk dilakukan. Begitu juga untuk panen dan pasca panen, petani masih menggunakan alat yang sederhana. Adapun dalam mendukung kegiatan usahatani, desa ini memiliki lima buah penggilingan padi, dua buah traktor, dua buah kios Saprodi, dan sepuluh orang tengkulak. Untuk sarana perbankan, desa ini masih menginduk pada Bank BRI Unit Sukaraja Kabupaten Sukabumi dan BRI Unit Baros Kota Sukabumi. Desa Kebon Pedes ditunjang dengan sarana prasarana pendidikan yang cukup memadai. Desa ini ditunjang dengan keberadaan lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan formal keagamaan. Untuk pendidikan formal, terdapat enam unit PAUD, lima unit SD, dan satu unit SMP, dimana untuk masing-masing lembaga pendidikan tersebut telah memiliki gedung tetap. Untuk pendidikan formal keagamaan, terdapat dua unit sekolah ibtidayah, satu unit tsanawiyah, dan enam unit pondok pesantren yang masing-masing telah memiliki gedung tetap. Desa ini pun telah memiliki satu perpustakaan desa. Walaupun desa ini belum memiliki lembaga pendidikan untuk tingkat menengah atas, penduduk di desa ini masih dapat menjangkau pendidikan tingkat SMA dengan mudah. Alasannya adalah karena desa ini terletak dekat dengan satu SMA negeri dan satu sekolah aliyah yang dapat dijangkau dengan menggunakan ojeg ataupun angkutan pedesaan. Apabila ingin memilih SMA atau lembaga pendidikan sederajat

63 44 lainnya, alat transportasi telah tersedia untuk menjangkau lokasi sekolah dengan akses yang relatif mudah. Kegiatan rohaniah penduduk didukung dengan adanya 14 mesjid dan 38 mushola. Tidak terdapat sarana peribadatan lain selain sarana peribadatan untuk penduduk beragama islam karena seluruh penduduk Desa Kebon Pedes tercatat sebagai penganut agama Islam. Dalam perkembangannya, penduduk di desa ini memiliki beberapa keyakinan terhadap aliran islam tetapi tidak sampai menimbulkan konflik di dalamnya. Namun untuk sebagian kasus, desa ini dikenal sebagai desa yang didiami oleh sekelompok penganut islam radikal dimana beberapa anggota penganutnya telah diketahui sebagai pelaku kegiatan teroris di Indonesia, sehingga mendapatkan pemantauan khusus dari kepolisian Indonesia. Sarana dan prasarana yang menunjang kesehatan masyarakat di desa ini yaitu sembilan unit posyandu dan satu unit puskesmas pembantu. Untuk mendukung sarana dan prasarana kesehatan tersebut, terdapat dua orang dokter umum, dua orang bidan, dan empat orang dokter praktek. Selain itu, terdapat juga empat orang dukun bersalin terlatih yang masing-masing bertempat tinggal di empat dusun yang berbeda. Prasarana olah raga yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk desa Kebon Pedes sudah sedikit memadai. Prasarana yang ada yaitu dua buah lapangan bulu tangkis, satu buah meja tenis, dan satu buah lapangan voli. Untuk sarana hiburan dan wisata, di desa ini belum dikembangkan potensi yang diperuntukan untuk dijadikan objek wisata. 4.7 Keadaan Petugas/Penyuluh dan Potensi Penunjang Kegiatan Penyuluhan Beragam usahatani yang diupayakan petani beserta potensinya ini memerlukan petugas yang menguasai berbagai bidang ilmu seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan juga kehutanan dengan pendidikan minimal S1. Adapun keadaan kelompok tani yang menjadi sasaran untuk kegiatan penyuluhan terbagi menjadi kelas kemampuan kelompok dan dapat dilihat pada Tabel 8.

64 45 Tabel 8. Komposisi Tingkat Produktivitas Kegiatan Penyuluhan yang Dicapai Tahun 2009 o. Jenis Produktivitas Sasaran yang Dicapai 1. Kelas kemampuan kelompok: - Lanjut 3 - Madya 4 2. Gapoktan 1 3. Pemuda Tani (Pemula) 2 4. Wanita Tani 1 5. KPK 5 Sumber: Programa Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Wilayah Binaan Desa Kebon Pedes Tahun 2009 Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa terdapat tiga kelompok tani pada posisi lanjut dan empat kelompok tani pada posisi madya dari tujuh kelompok tani yang terdapat pada satu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Adapun untuk sumberdaya wanita tani dan pemuda tani masih sangat sedikit dan jarang. Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) sudah terdapat di desa ini dan aktifitasnya bersama-sama dengan Gapoktan untuk melaksanakan kunjungan dan monitoring ke setiap kelompok tani serta benah kelompok, adminitrasi kelompok dan menyusun rencana kegiatan kelompok tani. Bangunan BP3K yang selama ini sebagai tempat berkumpulnya petani dalam berkoordinasi atau tempat bermusyawarah saat ini telah diperbaiki setelah sebelumnya tidak memadai sehingga kontaktani mengalami koordinasi yang kurang dengan petugas. Dengan berhasil dibangunnya kantor BP3K, petugas dapat lebih mudah menyesuaikan jadwal pertemuan dengan kelompok karena kelompok tani dapat mengunjungi kantor BP3K untuk melakukan diskusi. Adapun kegiatan penyuluhan pertanian yang telah berlangsung di Desa Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kegiatan Penyuluhan Pertanian di Desa Kebon Pedes Tahun 2009 o. Kegiatan Sasaran (unit/kali) 1. Menyusun program penyuluhan pertanian dan 1 2. RK penyuluh pertanian 3. Temu tugas/usaha/teknologi 9 4. Pertemuan kelompok tani/gapoktan Anjangsana (LAKU) Demonstrasi (plot/cara/farm/hasil) 10

65 46 o. Kegiatan Sasaran (Unit/Kali) 7. Gerakan bersama Membuat materi penyuluhan/siaran pedesaan Membantu menyusun RDKK/RDK Mengikuti mimbar sarasehan Mengikuti Musrembang dusun/desa Siaran Desa (1 bulan 1 kali) Melaksanakan sekolah lapang 2 14 Evaluasi 4 Su.mber: Programa Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Wilayah Kebon Pedes Tahun 2009 Binaan Desa Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa kegitan sekolah lapangan telah dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2008 dan tahun Sekolah lapangan yang dilaksanakan pada tahun 2008 diikuti oleh satu kelompok tani yaitu hanya Kelompok Tani Sawargi saja. Untuk sekolah lapangan tahun 2009 diikuti oleh tiga kelompok tani yaitu Kelompok Tani Pamoyanan, Kelompok Tani Bojong Galing, dan Kelompok Tani Cimuncang.

66 BAB V KARAKTERISTIK PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Bab ini mendeskripsikan karakteristik petani yang terdiri dari karakteristik internal dan karakteristik eksternal petani peserta program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pada pelaksanaannya, kegiatan SL-PTT ini diduga berhubungan dengan kondisi petani yang mengikuti program tersebut. Oleh karena itu penting untuk mendeskripsikan karakteristik petani secara rinci sehingga didapat informasi yang lebih mendetail. Karakteristik internal petani yang diteliti meliputi umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pengalaman berusahatani, tingkat kekosmopolitan, motivasi petani, dan luas lahan garapan. Petani yang mengikuti program SL-PTT pada Gapoktan Sawargi hampir keseluruhan berjenis kelamin laki-laki, oleh karena itu jenis kelamin tidak dikhususkan untuk dibahas pada karakteristik internal petani. Adapun karakteristik eksternal petani yang akan dibahas secara rinci meliputi persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh, tingkat keterjangkauan sarana produksi pertanian, dan tingkat kemampuan akses petani terhadap pasar. 5.1 Karakteristik Internal Petani Umur Petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT dikategorikan ke dalam umur menurut Hurlock (1980). Adapun untuk mengetahui jumlah dan persentase petani secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Komposisi Petani Peserta SL-PTT Menurut Kategori Umur di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Kategori Umur Jumlah (orang) Persentase (%) Dewasa Awal 13 31,0 Dewasa Madya 25 59,5 Dewasa Akhir 4 9,5 Total

67 48 Mayoritas dari petani yang mengikuti SL-PTT termasuk ke dalam kategori umur dewasa madya dengan sebaran umur 41 sampai 60 tahun yaitu sebesar 59,5 persen. Kategori umur petani dengan jumlah paling sedikit adalah petani yang berumur lebih dari 61 tahun dan tergolong petani dengan kategori umur dewasa akhir yaitu sebesar 9,5 persen. Adapun sisanya adalah petani dengan kategori umur dewasa awal dengan sebaran umur 18 sampai 40 tahun yaitu sebesar 31 persen. Kebanyakan dari petani usia dewasa awal dan dewasa madya adalah petani yang sebelumnya bekerja di luar sektor pertanian, ada juga yang masih menekuni usaha di luar sektor pertanian tersebut. Pekerjaan non pertanian tersebut antara lain seperti pedagang es, pengrajin besi, buruh bangunan, pekerja bengkel, pembuat kue, pedagang sayur, paranormal, pekerja mebel, usaha penggilingan gabah, dan pedagang ikan air tawar. Untuk petani yang memiliki mata pencaharian ganda, biasanya melakukan pekerjaan non pertanian ketika usia tanaman sedang dalam tahap pertumbuhan dan tidak memerlukan perhatian banyak untuk perawatan. Untuk petani dengan usia di atas 61 tahun, kebanyakan hanya melakukan usahatani dengan komoditas utama berupa padi sawah dengan alasan tidak memerlukan tenaga dan biaya yang tinggi, serta perawatan yang relatif mudah Tingkat Pendidikan Formal Petani yang mengikuti SL-PTT mayoritas telah mengenyam pendidikan formal. Lamanya pendidikan yang didapatkan petani minimal selama 2 tahun atau dengan kata lain tidak tamat sekolah dasar. Adapun untuk mengetahui tingkat pendidikan petani dari lamanya sekolah formal yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Pendidikan Formal Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Lama Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 27 64,3 Sedang 13 31,0 Tinggi 2 4,8 Total ,0

68 49 Kategori tingkat pendidikan dapat dilihat berdasarkan sebaran lamanya pendidikan yang telah didapatkan oleh petani. Mayoritas petani adalah yang telah mengenyam pendidikan kurang dari 9 tahun dengan persentase mencapai 64,3 persen. Adapun untuk petani yang mengenyam pendidikan antara 9 sampai 12 tahun dikategorikan menjadi petani dengan tingkat pendidikan formal sedang dengan persentase mencapai 31 persen. Sisanya adalah petani dengan tingkat pendidikan tinggi dengan persentase hanya 4,8 persen. Dari keterangan tersebut, kebanyakan petani yang mengikuti SL-PTT adalah petani dengan tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ini tidak terlalu mempengaruhi tingkat kemampuan petani dalam berusahatani, karena berdasarkan wawancara yang dilakukan, petani yang memiliki tingkat pendidikan tinggi adalah petani yang baru memulai usahatani dan tidak terlalu paham mengenai praktek usahatani yang baik, walaupun dari segi pengetahuan yang dimiliki relatif sama dengan petani lainnya Tingkat Pendidikan on Formal Pendidikan non formal yang diikuti oleh petani peserta SL-PTT sangatlah beragam. Jenis pendidikan non formal tersebut antara lain pelatihan tingkat nasional, pelatihan tingkat provinsi, pelatihan tingkat kabupaten, pelatihan tingkat kecamatan, lokakarya, SL-PTT, SL-PHT, dan FMA. Pendidikan minimal yang didapat oleh petani adalah kegiatan sekolah lapang itu sendiri. Untuk mengetahui tingkat pendidikan non formal petani peserta SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Tingkat Pendidikan Non Formal Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Tingkat Pendidikan on Formal Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 39 92,8 Sedang 2 4,8 Tinggi 1 2,4 Total ,0 Kebanyakan dari petani peserta SL-PTT adalah petani yang memiliki tingkat pendidikan non formal rendah yang persentasenya mencapai 92,9 persen. Petani yang memiliki tingkat pendidikan non formal sedang dan tinggi berturut-

69 50 turut persentasenya adalah 4,8 persen dan 2,4 persen. Alasan yang mendasari rendahnya tingkat pendidikan non formal petani peserta SL-PTT adalah kebanyakan dari petani baru mendapatkan pendidikan non formal dari SL-PTT saja, sedangkan di luar kegiatan SL-PTT petani belum pernah mendapatkan jenis pendidikan non formal lainnya. Selain itu, pendidikan non formal bagi petani, sering kali hanya melibatkan pengurus Gapoktan ataupun pengurus kelompok tani saja, sehingga kesempatan mendapatkan pendidikan non formal tidak merata. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya anggaran biaya suatu kegiatan pelatihan, sehingga hanya dapat melibatkan beberapa petani saja sebagai perwakilan Tingkat Pengalaman Berusahatani Pengalaman berusahatani petani peserta SL-PTT cukup beragam. Sebaran lamanya usahatani yang telah dilakukan oleh para petani ini antara satu sampai 53 tahun. Adapun untuk mengetahui tingkat pengalaman usahatani petani peserta SL- PTT dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Tingkat Pengalaman Berusahatani Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Tingkat Pengalaman Berusahatani Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 20 47,6 Sedang 16 38,1 Tinggi 6 14,3 Total ,0 Tabel 13 menunjukkan bahwa kebanyakan dari petani yang mengikuti SL- PTT adalah petani dengan pengalaman usahatani rendah dengan persentase sebesar 47,6 persen, dimana sebarannya antara 1 sampai 17 tahun. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan dari petani peserta SL-PTT didominasi oleh petani usia sedang (lihat Tabel 11), dimana kebanyakan dari mereka adalah petani yang sebelumnya memiliki mata pencaharian non pertanian. Adapun tingkat pengalaman berusahatani rendah dan sedang berturut-turut persentasenya adalah 38,1 persen dan 14,3 persen. Sebaran lamanya usahatani pada tingkat sedang

70 51 adalah antara 18 sampai 34 tahun sedangkan sebaran untuk tingkat usahatani tinggi antara 35 sampai 53 tahun Tingkat Kekosmopolitan Tingkat kekosmopolitan petani peserta SL-PTT dapat dilihat melalui seberapa intens petani memanfaatkan berbagai sumber informasi untuk kebutuhan usahataninya. Kebanyakan dari petani tersebut tidak pernah atau jarang memanfaatkan sumber informasi. Adapun untuk mengetahui secara lebih rinci tingkat kekosmopolitan petani peserta SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat Kekosmopolitan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Tingkat Kekosmopolitan Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 23 54,8 Sedang 18 42,8 Tinggi 1 2,4 Total ,0 Kebanyakan dari petani Peserta SL-PTT adalah petani yang memiliki tingkat kekosmopolitan yang rendah dengan persentase mencapai 54,8 persen. Sementara sisanya adalah petani dengan tingkat kekosmopolitan sedang sebesar 42,9 persen dan petani dengan tingkat kekosmopolitan tinggi sebesar 2,4 persen. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, selain banyak petani yang sering menjawab tidak pernah atau jarang menggunakan media informasi, kebanyakan dari petani ini sulit mengakses informasi usahatani disebabkan oleh acara pertanian yang jarang, anggota keluarga yang lain yang lebih menyukai acara lain selain pertanian, dan tidak adanya kesempatan atau sarana yang dimiliki untuk mendapatkan informasi pertanian tersebut Tingkat Motivasi Petani Motivasi petani dalam mengikuti SL-PTT dibedakan ke dalam motivasi eksternal dan motivasi internal. Motivasi Internal diasumsikan memiliki pengaruh

71 52 lebih kuat dibandingkan motivasi eksternal. Adapun komposisi petani menurut motivasi petani dalam mengikuti SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Motivasi Petani dalam Mengikuti Kegiatan SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Motivasi Jumlah (orang) Persentase (%) Motivasi eksternal 9 21,4 Motivasi internal 33 78,6 Total ,0 Kebanyakan dari petani yang mengikuti SL-PTT adalah petani yang memiliki motivasi internal yaitu petani yang mengikuti SL-PTT karena alasan ingin mengetahui teknologi PTT yang akan diperkenalkan. Persentase petani peserta SL-PTT yang didorong oleh motivasi internal dalam mengikuti kegiatan sekolah lapangan adalah sebesar 78,6 persen. Adapun sisanya adalah petani SL- PTT yang mengikuti kegiatan sekolah lapangan karena diajak oleh ketua atau penyuluh dengan bantuan benih sebagai daya tarik bagi petani, dimana persentasenya mencapai 21,4 persen Luas Lahan Garapan dan Status Kepemilikan Petani peserta SL-PTT tidak seluruhnya memiliki lahan garapan, sebagian dari mereka melakukan kegiatan usahatani dengan menyewa lahan dan melakukan sistem bagi hasil. Pengkategorian luas lahan dilakukan berdasarkan sebaran normal dari luas lahan garapan kategori rendah (< 0,5 Ha), luas lahan garapan kategori sedang (0,5-1Ha), dan luas lahan garapan kategori tinggi (> 1 Ha). Untuk mengetahui luas garapan lahan petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Luas Lahan Garapan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Luas Lahan Garapan Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 31 73,8 Sedang 6 14,3 Tinggi 5 11,9 Total ,0

72 53 Kebanyakan dari petani yang mengikuti SL-PTT adalah petani yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar dengan persentase sebesar 73,8 persen. Sisanya adalah petani dengan luas garapan sedang dan luas lahan garapan tinggi dengan persentase masing-masing 14,3 persen dan 11,9 persen. Lahan garapan ini didapatkan petani dengan cara yang berbeda-beda. Untuk mengetahui status lahan garapan petani yang mengikuti SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Status Lahan Garapan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 o. Status Lahan Garapan Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Lahan Sendiri Digarap sendiri Lahan Sendiri Digarap Sendiri dan Digarap Orang 2 Lain 5 3. Lahan Sendiri Digarap sendiri dan Menggarap Lahan Orang Lain dengan Sistem Sewa Lahan Digarap Orang Lain dan Mengarap Lahan Orang Lain dengan Sistem Bagi Hasil Menggarap Lahan Orang Lain dengan Sistem Sewa Menggarap Lahan Orang Lain dengan Sistem Bagi Hasil Mengarap Lahan Orang Lain dengan Sistem Sewa dan Bagi Hasil 1 2 Total Tabel 17 menunjukkan bahwa kebanyakan dari petani peserta SL-PTT adalah petani yang menggarap sawah orang lain dengan sistem sewa dengan persentase sebesar 42 persen. Untuk petani yang memiliki lahan sendiri dan menggarap lahannya sendiri mencapai persentase sebesar 14 persen. Terdapat petani yang memiliki lahan sendiri dan juga menggarap lahan orang lain dengan menggunakan sistem sewa dengan persentase sebesar 17 persen. Terdapat juga petani yang memiliki lahan sendiri namun digarap oleh orang lain, kemudian petani tersebut menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil dengan persentase 2 persen. Petani yang menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil mencapai 19 persen. Sisanya adalah petani yang memiliki lahan sendiri yang digarap sendiri dan digarap orang lain serta petani ang mengarap lahan orang lain dengan sistem sewa dan sistem bagi hasil dengan persentase masing-masing sebesar 5 persen dan 2 persen.

73 54 Petani yang menggarap lahan dengan sistem sewa menentukan perjanjian diawal untuk menentukan berapa banyak padi yang akan didapat oleh pemilik lahan sawah. Besarnya padi yang didapat oleh pemilik lahan harus dipenuhi, tidak bergantung pada hasil padi yang dipanen ke depannya. Jika hasil panen buruk, petani penggarap tetap harus memenuhi bagian padi dari pemilik lahan sesuai dengan jumlah yang ditentukan sebelumnya. Berbeda lagi dengan petani penggarap dengan sistem bagi hasil, modal untuk menanam padi berasal dari pemilik lahan dan penggarap lahan secara adil. Ketika panen tiba, antara pemilik lahan dan pengarap lahan mendapatkan bagian yang sama yaitu 1:1. Berbeda sekali dengan sistem sewa, apabila panen tidak mencapai hasil yang memuaskan, pada sistem bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap lahan menanggung kerugian yang besarnya sama rata. Terdapat juga petani yang memiliki lahan sawah tetapi karena lahannya sempit, mereka biasanya menambah lahan garapan dengan cara menyewa lahan lain. Ada juga petani yang memiliki lahan yang cukup luas tetapi tidak mampu menggarapnya sendiri, sehingga disewakan atau digarap dengan sistem bagi hasil. 5.2 Karakteristik Eksternal Tingkat Kemampuan Penyuluh Petani yang mengikuti SL-PTT memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap kinerja penyuluh pertanian. Hal ini tergantung dari seberapa rutin penyuluh melakukan kunjungan ke lapangan, dimana keintensifannya berbedabeda antara kunjungan ke kelompok tani yang satu dengan kelompok tani yang lain. Adapun untuk mengetahui secara rinci tingkat kinerja penyuluh pertanian dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Tingkat Kemampuan Penyuluh di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Persepsi Petani Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 8 19,0 Sedang 28 66,7 Tinggi 6 14,3 Total ,0

74 55 Sebagian besar dari petani peserta SL-PTT memiliki persepsi yang sedang terhadap kinerja penyuluh pertanian, dengan persentase sebesar 66,7 persen. Petani yang memiliki penilaian yang sedang terhadap kemampuan penyuluh ini biasanya petani yang keaktifan dalam kelompoknya rendah. Mereka hanya mengikuti pertemuan dengan alasan telah diundang dan jarang memberikan masukan atau kritik terhadap kegiatan penyuluhan. Adapun untuk petani yang memiliki penilaian yang rendah terhadap kemampuan penyuluh, persentasenya sebesar 19 persen, sedangkan sisanya adalah petani yang memiliki persepsi terhadap kinerja penyuluh yang tinggi dengan persentase sebesar 14,3 persen. Petani yang jarang dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan biasanya memiliki pernilaian yang rendah terhadap kemampuan penyuluh. Hal ini sangat jelas terlihat pada salah satu kelompok tani yang berada di Kampung Pamoyanan, dimana kegiatan penyuluhan tidak berjalan dengan baik. PPL yang bertugas di kampung tersebut tidak pernah hadir karena adanya ketidakakuran dengan ketua kelompok tani kampung tersebut. Kegiatan penyuluhan di kelompok tani ini akhirnya dilakukan oleh penyuluh swasta yang melakukan pendampingan dalam mempromosikan padi organik. Di luar kasus tersebut, kebanyakan dari petani peserta SL-PTT ini merasa bahwa penyuluh yang bertugas di wilayah binaannya belum dapat berkontribusi dalam membangun jaringan kerjasama antara petani dengan pihak lain sebagai mintra usaha Akses Petani terhadap Sarana Produksi (Saprodi) Petani peserta SL-PTT memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengakses kebutuhan sarana produksi pertanian. Berbeda dengan karakteristik yang lainnya, kemampuan akses terhadap sarana produksi tanaman hanya terbagi ke dalam kategori sedang dan tinggi. Adapun untuk mengetahui secara rinci kemampuan akses petani peserta SL-PTT terhadap sarana produksi pertanian dapat dilihat pada Tabel 19.

75 56 Tabel 19. Tingkat Kemampuan Akses Petani SL-PTT terhadap Saprodi di Desa Kebon Pedes 2010 Kemampuan Akses Saprodi Jumlah (orang) Persentase (%) Sedang 10 23,8 Tinggi 32 76,2 Total ,0 Kebanyakan dari petani peserta SL-PTT memiliki akses yang tinggi terhadap sarana produksi pertanian. Kebanyakan petani merasa tidak kesulitan dalam mendapatkan Saprodi. Petani biasa mendapatkan Saprodi dari kios Saprodi yang keberadaannya terjangkau. Sebagian besar (76,2 persen) petani SL-PTT merasa mampu mengakses Saprodi dengan mudah, sedangkan sisanya sebesar 23,8 persen merasa sedikit kesulitan dalam memenuhi Saprodi. Namun pada kenyataannya, tingginya kemampuan akses petani terhadap Saprodi ini mengalami bias. Hal ini disebabkan petani berpikir bahwa ketersediaan Saprodi ini pasti terjamin ketersediaannya di kios Saprodi, sehingga dalam mendapatkannya sangat mudah. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua petani yang memiliki kemampuan akses Saprodi tinggi ini dapat dengan mudah mendapatkan Saprodi karena sebagian dari mereka biasanya meminjam uang ke tengkulak terlebih dahulu untuk kemudian hasil panennya harus dijual kepada tengkulak yang telah meminjamkan modal kepada petani. Ada juga petani yang harus menjadi buruh tani di lahan orang lain terlebih dahulu, sebelum akhirnya petani tersebut mendapatkan modal untuk melakukan usahatani di lahan garapannya. Oleh karena itu, pengertian kemampuan akses petani terhadap Saprodi ini lebih diartikan sebagai mudahnya petani menjangkau kios bahan-bahan pertanian yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sementara itu, untuk masalah modal usahatani, banyak dari petani yang merasakan kesulitan sehingga harus menjadi buruh tani di lahan orang lain atau mencari modal melalui usaha non pertanian, juga ada yang sampai meminjam modal kepada tengkulak Kemampuan Petani dalam Memasarkan Hasil Produksi Petani peserta SL-PTT memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam memasarkan hasil produksi padi, Adapun untuk mengetahui secara rinci mengenai

76 57 kemampuan petani peserta SL-PTT dalam memasarkan hasil produksinya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Tingkat Kemampuan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes dalam Memasarkan Hasil Produksi Tahun 2010 Kemampuan Memasarkan Hasil Produksi Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 39 92,8 Sedang 2 4,8 Tinggi 1 2,4 Total ,0 Kebanyakan petani peserta SL-PTT adalah petani yang memasarkan hasil produksi pertaniannya kepada tengkulak dan termasuk ke dalam kategori rendah dalam mengakses pasar. Persentase petani yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pasar mencapai 92,9 persen, sedangkan sisanya masuk ke dalam kategori sedang dan tinggi dengan persentase masing-masing 4,8 persen dan 2,4 persen. Kebanyakan dari peserta SL-PTT tersebut lebih memilih untuk menjual hasil panennya kepada tengkulak karena menurut mereka lebih menguntungkan dan cepat mendapatkan uang. Berbeda dengan petani yang memiliki tingkat kemampuan menjual hasil panen pada kategori sedang, mereka mengeringkan gabahnya terlebih dahulu untuk kemudian dijual kepada tetangga atau distributor beras. Ada juga seorang petani yang sudah memiliki penggilingan beras sehingga dapat mengolah gabahnya sampai menjadi beras dan dipasarkan kepada distributor beras.

77 58 BAB VI TI GKAT PARTISIPASI DA KEMA DIRIA PETA I PESERTA SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU 6.1 Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT Tingkat partisipasi petani dalam kegiatan SL-PTT dilihat dari keikutsertaan petani dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Petani peserta SL-PTT memiliki tingkat partisipasi yang berbeda-beda, untuk melihat tingkat partisipasi petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Tingkat Partisispasi Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 Tingkat Partisipasi Jumlah Persen Rendah 10 23,8 Sedang 21 50,0 Tinggi 11 26,2 Total ,0 Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi terbesar (50 persen) berada pada kategori sedang. Sisanya adalah petani dengan tingkat partisipasi tinggi dan rendah dengan persentase masing-masing adalah 26,2 persen dan 23,8 persen. Persentase tersebut merupakan persentase keseluruhan partisipasi dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Sebagian besar dari petani peserta SL-PTT memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam kegiatan perencanaan dan evaluasi (lihat Gambar 3 dan Gambar 4) dengan persentase masing-masing 83,3 persen dan 64,3 persen. Rendahnya partisipasi petani dalam perencanaan disebabkan kurangnya informasi yang diberikan mengenai kegiatan proses perencanaan kegatan SL-PTT. Kegiatan perencanaan SL-PTT ini hanya dilakukan oleh beberapa calon peserta SL-PTT saja, terutama pengurus kelompok tani bersama penyuluh pertanian. Begitu juga dengan kegiatan evaluasi, petani peserta SL-PTT yang tidak memiliki lahan pada labolatorium lapangan (sekitar tiga per empat dari jumlah peserta sekolah lapangan) biasanya tidak ikut evaluasi kegiatan disebabkan petani tersebut

78 59 tidak merasa harus mengikuti kegiatan tersebut karena mereka berpikir bahwa yang melakukan pemanenan cukup peserta yang memiliki lahan di labolatorium lapangan, sehingga sisanya tidak harus memanen hasil produksi yang telah dipraktekkan selama kegiatan SL-PTT. Itulah sebabnya tingkat partisipasi pada kegiatan SL-PTT didominasi oleh petani dengan tingkat partisipasi yang sedang Hubungan Karakteristik Internal dengan Tingkat Partisipasi Petani Karakteristik internal petani yang diukur dalam penelitian ini yaitu: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, lama usahatani, tingkat kekosmopolitan (keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi), motivasi petani, dan luas lahan garapan. Hubungan antara karakteristik internal petani dengan tingkat partisipasi dapat dilihat secara lebih jelas pada Tabel 22. Tabel 22. Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes Variabel-variabel Karakteristik Tingkat Partisipasi Petani Internal Petani r s Sig. Umur (X1.1) -0,09 0,57 Pendidikan Formal (X1.2) 0,047 0,768 Pendidikan Non Formal(X1.3) 0,356 * 0,021 Lama Usahatani (X1.4) 0,143 0,368 Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) 0,408 ** 0,007 Motivasi (X1.6) 0,344 * 0,026 Luas Garapan( X1.7) -0,105 0,51 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) tidak ada keeratan hubungan antara variabel Umur (X1.1) dengan variabel tingkat partisipasi (Y1). Berdasarkan data tabulasi silang (lihat Lampiran 3), petani dengan kategori umur tinggi memiliki kecenderungan tingkat partisipasi yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hakim (2007) yang menyatakan semakin tua umur responden maka responden tersebut semakin tidak berkontribusi dalam mengembangkan dinamika kelompok dan menumbuhkan partisipasi. Nilai negatif yang ada pada koefisien relasi menunjukkan bahwa semakin tinggi umur peserta SL-PTT maka tingkat

79 60 partisipasinya cenderung akan rendah. Hal ini dapat menjelaskan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara variabel umur dengan variabel tingkat partisipas, namun hubungannya tidak nyata dengan taraf α>0,1. Hasil tabulasi silang (lihat Lampiran 3) menunjukkan tidak ada pola kecenderungan hubungan antara variabel tingkat pendidikan formal (X1.2) dengan variabel tingkat partisipasi (Y1). Hal ini diperjelas dengan hasil uji rank Spearman yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan formal dengan tingkat partisipasi pada taraf α>0,1. Hal ini dapat dijelaskan dengan faktor mata pencaharian ganda yang banyak ditekuni oleh petani peserta SL-PTT. Petani yang berada pada tingkat pendidikan formal sedang dan tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki mata pencaharian ganda. Mereka biasanya melakukan pekerjaan di luar sektor pertanian sebagai cara untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Petani yang berada pada kategori pendidikan formal tinggi adalah petani yang tergolong pada kategori usia sedang, dimana mereka masih memiliki kemampuan lebih untuk melakukan usaha di luar sektor pertanian sehingga partisipasi mereka dalam mengikuti kegiatan SL-PTT terhambat oleh kegiatan petani dalam melakukan usaha di luar sektor pertanian. Pendidikan non formal (X1.3) merupakan variabel yang memiliki hubungan yang nyata dengan variabel tingkat partisipasi (Y1) pada taraf α=0,1. Hasil data tabulasi silang (lihat Lampiran 3) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal makan tingkat partisipasinya semakin tinggi. Sebagian besar petani (93 persen) berada pada kategori pendidikan non formal yang rendah (93 persen) dengan kecenderungan tingkat partisipasi sedang, sedangkan pada petani berkategori pendidikan non formal sedang dan tinggi, masing-masing memiliki kecenderungan berpartisipasi tinggi. Petani yang menjadi pengurus kelompok tani sering kali dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan seperti pelatihan PHT dan kegiatan-kegiatan penyuluhan lainnya. Oleh karena itu tingkat pendidikan non formal mereka cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan non formal petani lainnya. Karena kedudukan mereka dalam kelompok lebih dekat dengan ketuan dan cenderung menjadi kontak tani, maka partisipasinya dalam kelompok lebih aktif yaitu sebagai penggerak anggota kelompoknya agar aktif berpartisipasi dalam kegiatan SL-PTT. Hal tersebut

80 61 mejadi faktor utama adanya hubungan yang nyata antara variabel tingkat pendidikan non formal dengan tingkat partisipasi petani. Hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa antara variabel lama usahatani dengan tingkat partisipasi tidak terdapat hubungan nyata dimana taraf α>0,1. Data tabulasi silang menunjukan tidak ada kecenderungan petani yang semakin lama berusahatani akan memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan variabel tingkat kekosmopolitan (X1.5), dimana berdasarkan hasil penelitian Zulvera (2002) menunjukkan adanya kecenderungan petani yang memiliki pengalaman usahatani yang lama memiliki tingkat kekosmopolitan yang rendah sehingga kontribusi dalam melakukan partisipasi dalam SL-PTT tidak terlalu tinggi. Petani dengan tingkat kekosmopolitan yang tinggi adalah petani yang memiliki keterbukaan terhadap informasi, sehingga petani seperti ini memiliki kecenderungan untuk lebih sering berinteraksi dengan penyuluh pertanian. Adanya kecenderungan seperti ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat partisipasi dengan tingkat kekosmopolitan, dimana petani yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan lebih sering berpartisipasi dalam kegiatan SL-PTT karena mereka memiliki motivasi lebih tinggi (motivasi internal yang tinggi) untuk mendapatkan informasi baru mengenai pertanian, sehingga mereka berusaha meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan ini. Hal ini diperkuat dengan hasil uji rank Spearman yang menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kekosmopolitan dengan tingkat partisipasi pada taraf α=0,05. Adapun antara motivasi dan tingkat partisipasi terdapat hubungan yang nyata pada taraf α=0,1. Adanya hubungan nyata pada motivasi petani menjelaskan bahwa petani yang memiliki motivasi internal dalam mengikuti kegiatan SL-PTT akan memiliki kecenderungan untuk berpartisipasi lebih tinggi. Pada variabel luas lahan garapan (X1.7), sebagian petani berada pada kategori luas garapan rendah (74 persen) dengan tingkat partisipasi yang cenderung sedang. Untuk petani dengan luas garapan sedang dan tinggi, mereka memiliki kecenderungan tingkat partisipasi yang rendah dan sedang. Berdasarkan hasil uji rank Spearman, tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel luas lahan garapan (X1.7) dengan variabel tingkat partisipasi (Y1).

81 Hubungan Karakteristik Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Petani Karakteristik eksternal yang diukur pada penelitian ini yaitu: frekuensi petani mengikuti SL-PTT, tingkat kemampuan penyuluh, tingkat keterjangkauan sarana produksi pertanian (Saprodi), dan tingkat kemampuan akses pasar. Hasil uji rank Spearman pada Tabel 23 di bawah dapat menunjukkan hubungan antara karakteristik eksternal dengan tingkat partisipasi. Tabel 23. Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL- PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Tingkat Partisipasi Frekuensi mengikuti SL-PTT (X2.1) 0,574 ** 0,000 Tingkat Kemampuan Penyuluh (X2.2) 0,003 0,986 Tingkat Keterjangkauan Saprodi (X2.3) 0,1 0,527 Tingkat Kemampuan Akses Terhadap Pasar (X2.4) 0,22 0,161 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) r s Sig. Frekuensi mengikuti SL-PTT adalah banyaknya kehadiran yang dilakukan petani dalam mengikuti kegiatan setiap pertemuannya, sedangkan tingkat partisipasi merupakan proses kegiatan dari perencanaan (sebelum SL-PTT berlangsung) sampai dengan kegiatan evaluasi. Oleh karena itu, semakin tinggi frekuensi petani dalam mengikuti SL-PTT maka tingkat partisipasi menjadi semakin tinggi, dimana kegiatan sekolah lapangan ini merupakan aktivitas utama yang melibatkan sebagian besar partisipasi petani. Hal ini dapat dilihat pada hasil uji rank Spearman yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara frekuensi mengikuti SL-PTT dengan tingkat partisipasi pada taraf α=0,05. Berdasarkan hasil uji rank Spearman dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel tingkat kemampuan penyuluh (X2.2) dengan variabel tingkat partisipasi (Y1), dimana taraf α>0,1. Nilai koefisien relasi yang jauh mendekati angka satu (r s =0,003) menunjukkan keeratan hubungan kedua variabel yang rendah. Hal ini dapat dilihat juga dari hasil tabulasi silang (lihat Lampiran 4) yang tidak memperlihatkan adanya kecenderungan pola hubungan

82 63 diantara kedua variabel. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian petani terhadap kinerja penyuluh pertanian tidak berhubungan dengan partisipasi yang dilakukan oleh petani Peserta SL-PTT. Banyak dari petani yang memandang kemampuan penyuluh sudah baik, namun hal ini tidak menjamin petani untuk selalu berpartisipasi dalam kegiatan SL-PTT. Hal tersebut terjadi karena tidak semua petani memiliki alokasi waktu yang sama dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Beberapa petani biasanya lebih memilih untuk melakukan kegiatan di sawah karena jadwal pertemuan SL-PTT berbentrokkan dengan jadwal petani melakukan kegiatan bertani. Selain itu, ketentuan jadwal SL-PTT yang tidak melibatkan petani dalam penyusunannya juga menjadi faktor tidak berpartisipasi penuhnya petani dalam kegiatan SL-PTT. Oleh karena itu, petani menjadi tidak merasa memiliki terhadap program SL-PTT ini dan hanya menganggapnya sebagai kegiatan percobaan penerapan teknologi yang belum terbukti keberhasilannya. Hasil uji rank Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara variabel tingkat keterjangkauan saprodi (X2.3) dengan Tingkat Partisipasi (Y1), dimana taraf α>0,1. Koefisien relasi yang nilainya jauh mendekati nilai satu (r s =0,1) menunjukkan keeratan hubungan yang rendah antara dua variabel tersebut. Keikutsertaan peserta SL-PTT yang salah satunya disebabkan karena adanya pemberian benih gratis bagi petani yang lahanya termasuk ke dalam area SL-PTT tidak terlalu menimbulkan partisipasi yang aktif pada peserta SL-PTT. Hal ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap tingkat partisipasi karena tingkat kemampuan menjangkau Saprodi yang tinggi tidak menjadikan petani aktif terhadap kegiatan SL-PTT, bahkan petani dengan tingkat kemampuan menjangkau Saprodinya lebih rendah justru memiliki keaktifan yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi melihat keadaan petani dengan kemampuan membeli Saprodi yang lebih rendah merasa penting untuk berpartisipasi karena mereka dapat memperoleh benih gratis dari kegiatan SL-PTT ini. Lain halnya dengan petani yang telah mampu menjangkau Saprodi tanpa menghadapi kendala yang besar, mereka merasa mampu melakukan usahatani tanpa harus sepenuhnya mengikuti kegiatan SL-PTT ini. Adanya ketergantungan petani terhadap bantuan benih tersebut menjadi faktor utama partisipasi petani dalam kegiatan SL-PTT ini.

83 64 Petani dengan tingkat kemampuan akses terhadap pasar pada kategori sedang dan tinggi, memiliki kecenderungan tingkat partisipasi yang tinggi (lihat Lampiran 4). Hasil uji rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara variabel tingkat kemampuan akses terhadap pasar (X2.4) dengan variabel tingkat partisipasi (Y1), dimana taraf α>0,1. Sebagian besar petani (93 persen) menjual hasil panenya langsung kepada tengkulak. Kehomogenan kemampuan petani dalam mengakses pasar ini, terjadi karena kebanyakan dari mereka tidak ingin mengolah sendiri gabah yang dihasilkan, dimana proses yang harus dilalui cenderung panjang dan lama dengan kepastian keuntungan yang dimiliki tidak terlalu besar dibandingkan menujualnya langsung ke tengkulak. Oleh karena itu, petani lebih memilih tengkulak dalam memasarkan hasil panennya, sehingga hasil penjualan lebih cepat dinikmati dibandingkan harus mengolahnya sampai menjadi beras dengan waktu relatif lama. Hal tersebut tidak memberikan kecenderungan adanya hubungan yang nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT Hubungan Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Model pemberdayaan yang diukur pada penelitian ini yaitu: tingkat penggunaan laboratorium lapangan (LL) dan tingkat penerapan teknologi PTT. Hasil uji rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara kedua variabel tersebut dengan tingkat partisiipasi pada taraf α=0,05. Pada hasil uji rank Spearman, hubungan antara model pemberdayaan petani SL-PTT dengan tingkat partisipasi dapat dilihat secara lebih jelas pada Tabel 24. Tabel 24. Korelasi Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes Variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT r s partisipasi Total Tingkat Penggunaan LL (X3.1) 0,571 ** 0,000 Tingkat Penerapan Teknologi PTT (X3.2) 0,433 ** 0,004 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) Sig.

84 65 Penggunaan LL merupakan inti dari kegiatan SL-PTT karena hampir seluruh pelaksanaan SL-PTT dilakukan di laboratorium lapangan (LL), sehingga berpengaruh kepada tingkat partisipasi petani dalam kegiatan SL-PTT. Adapun tingkat penerapan teknologi PTT merupakan pengaruh dari partisipasi yang dilakukan petani dalam kegiatan SL-PTT. Penerapan teknologi PTT ini dapat dilihat pada saat musim tanam padi berikutnya. Berdasarkan data dilapangan, dapat diketahui bahwa semakin tinggi partisipasi petani dalam mengikuti kegiatan SL-PTT maka semakin tinggi juga tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani. Oleh karena itu, antara variabel tingkat penggunaan LL maupun tingkat pemanfaatan teknologi SL-PTT berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani. 6.2 Tingkat Kemandirian Petani Peserta SL-PTT Kegiatan SL-PTT merupakan kegiatan pemberdayaan petani yang diharapkan mampu menjadikan petani dapat berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Data di lapangan menunjukkan adanya tingkat kemandirian yang beragam diantara petani peserta SL-PTT. Tingkat kemandirian petani peserta SL- PTT dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Tingkat kemandirian Petani peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Tingkat Kemandirian Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 5 11,9 Sedang 29 69,0 Tinggi 8 19,0 Total ,0 Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat kemandirian petani peserta SL-PTT (69 persen) berada pada kategori sedang. Sisanya adalah petani dengan tingkat partisipasi tinggi dan rendah dengan persentase masing-masing adaah 19 persen dan 11,9 persen. Persentase tersebut merupakan persentase keseluruhan dari aspek-aspek kemandirian yang terdiri dari aspek kemodernan, aspek keefisienan, dan aspek daya saing petani.

85 66 Tingkat kemandirian petani yang belum tinggi ini disebabkan oleh tingkat kemodernan petani yang rendah terutama dalam mengenal agribisnis. Sebagian besar dari petani peserta SL-PTT tidak mengetahui praktek agribisnis. Selain itu, adanya keterbatasan kemampuan dalam memasarkan hasil produksi pertanian, menyebabkan petani tergantung terhadap keberadaan tengkulak. Hanya sedikit dari petani yang berusaha untuk memasarkan hasil panen selain melalui jasa tengkulak. Oleh karena itu, daya saing petani dalam melakukan usahatani menjadi rendah Hubungan Karakteristik Internal Petani dengan Tingkat Kemandirian Petani Pengolahan data dengan menggunakan tabulasi silang (lihat Lampiran 6), menunjukkan bahwa tidak terdapat pola kecenderungan hubungan antara setiap variabel pada karakteritik internal dengan tingkat kemandirian petani. Hal ini didukung oleh hasil uji rank Spearman yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara setiap variabel pada karakteristik interal petani dengan variabel tingkat kemandirian (Y2), dimana taraf α>0,1 untuk hubungan antara setiap variabel kecuali variabel luas lahan garapan dimana α<0,1. Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ada tidaknya hubungan yang nyata antara varabelvariabel karakteristik internal petani peserta SL-PTT dengan tingkat kemandirian, dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Total Kemandirian r s Sig. Umur (X1.1) 0,193 0,22 Pendidikan Formal (X1.2) 0,088 0,579 Pendidikan Non Formal (X1.3) 0,302 0,052 Lama Usahatani (X1.4) 0,095 0,551 Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) 0,205 0,192 Motivasi Petani (X1.6) -0,029 0,853 Luas Garapan (X1.7) 0,274 0,08 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan)

86 67 Tabel 26 menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel pun yang berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian petani. Hal ini terjadi karena setiap perbedaan kategori dari variabel yang membentuk karakteristik internal petani ini memiliki kecenderungan yang sama berkaitan dengan sikap kognitif, afektif, dan psikomotorik dari pernyataan-pernyataan yang merupakan indikator dari kemandirian petani. Sebagian besar dari petani peserta SL-PTT tidak pernah melakukan analisis usahatani, tidak mengetahui makna agribisnis, tidak pernah memanfaatkan media informasi mengenai harga pasaran hasil panen, tidak pernah melakukan perkiraan harga pasar, dan tidak pernah berusaha memperluas pemasaran hasil panen Hubungan Karakteristik Eksternal Petani dengan Tingkat Kemandirian Terdapat beberapa variabel pada karakteristik eksternal yang berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian. Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ada tidaknya hubungan yang nyata antara varabel-variabel karakteristik eksternal petani peserta SL-PTT dengan tingkat kemandirian, dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Korelasi Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL- PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani r s Tingkat Kemandirian Sig. Frekuensi Petani Mengikuti SLPTT 0,397 ** 0,009 Tingkat Kemampuan Penyuluh (X2.2) -0,061 0,702 Tingkat Keterjangkauan Saprodi (X2.3) 0,181 0,251 Tingkat Kemampuan Akses Pasar (X2.4) 0,405 ** 0,008 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) Tabel 27 menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel frekuensi petani mengikuti SL-PTT (X3.1) dengan variabel tingkat kemandirian (Y2). Kebanyakan petani yang aktif mengikuti rangkaian kegiatan SL-PTT adalah pengurus kelompok tani. Mereka yang aktif dalam kelompok ini lebih sering dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan lainnya. Tingkat pengetahuan mereka akan

87 68 dunia pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan petani lainnya. Hal inilah yang membedakan antara mereka dengan petani yang lainnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan usahatani pun mereka lebih dapat menerapkan cara berusahatani yang baik dengan menggunakan analisis usahatani, melakukan perkiraan harga pasar, mengetahui penjelasan mengenai agribisis, dan memanfaatkan media informasi untuk mencari harga pasar dalam memasarkan hasil panennya. Kelebihan inilah yang membedakan mereka dengan petani yang lain sehingga mereka memiliki sikap kognitif dan afektif yang lebih maju terhadap indikator tingkat kemandirian, walaupun dalam segi psikomotorik mereka belum mempraktekkannya. Pada variabel tingkat kemampuan penyuluh (X2.2) diketahui tidak hubungan yang nyata dengan tingkat kemandirian (Y2) berdasarkan hasil uji rank Spearman yang telah dilakukan. Nilai koefisien korelasi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara tingkat kemampuan penyuluh (X2.2) dengan tingkat kemandirian (Y2). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin rendah penilaian petani terhadap kinerja penyuluh petanian maka petani lebih cenderung untuk memiliki kemandirian yang tinggi karena dapat menghindari ketergantungan terhadap kehadiran penyuluh pertanian, sehinga lebih mandiri dalam mengambil keputusan berusahatani. Pada variabel tingkat keterjangkauan Saprodi, petani berada pada kategori sedang dan tinggi dengan kecenderungan yang sama terhadap tingkat kemandirian yaitu sedang. Berdasarkan hasil uji rank Spearman, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel tingkat keterjangkauan saprodi (X2.3) dengan variabel tingkat kemandirian (Y2), dimana taraf α>0,1. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada kecenderungan yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kemandirian dengan perbedaan kategori pada kemampuan petani mendapatkan Saprodi Pada variabel tingkat kemampuan petani terhadap akses pasar (X2.4), sebagian besar petani (93 persen) berada pada kategori rendah dengan kecenderungan tingkat kemandirian yang sedang. Begitu pula dengan petani yang berada pada kategori sedang, mereka memiliki kecenderungan tingkat kemandirian yang sedang, namun berbeda dengan petani yang berada pada kategori tinggi dalam kemampuan mengakses pasar karena mereka memiliki

88 69 tingkat kemandirian yang tinggi. Hasil uji rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Kemampuan Petani terhadap Akses Pasar (X2.4) dengan variabel Tingkat Kemandirian (Y2), dimana taraf α<0,05. Pada variabel tingkat kemampuan petani terhadap akses pasar (X2.4), hanya ada sedikit dari petani peserta SL-PTT yang telah melakukan perluasan pemasaran hasil produksi padi. Mereka yang telah berhasil memasarkan hasil produksi selain kepada tengkulak ini memiliki pengetahuan, sikap dan pelaksanaan yang lebih terencana dibandingkan mereka yang melakukan usahatani karena kebiasaan. Petani yang telah berhasil memperluas pemasaran hasil produksi padinya lebih memperhatikan perhitungan untung rugi dengan melakukan analisis usahatani, mereka memperhatikan cara bercocok tanam yang baik, serta memanfaatkan media informasi untuk mengetahui perkembangan dalam kegiatan usahatani dan mengambil keputusan pemasaran yang tepat. Apabila petani yang berada pada kategori tinggi dalam mengikuti kegiatan SL- PTT hanya memiliki kelebihan dalam hal kognisi dan afeksinya, maka petani yang telah berhasil memperluas pemasaran hasil produksi telah lebih maju karena selain kognisi dan afeksi mereka yang baik terhadap indikator kemandirian, mereka juga telah mempraktekkan beberapa indikator kemandirian yang belum dilaksanakan oleh petani lainnya Hubungan Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Model pemberdayaan yang diukur pada penelitian ini yaitu: tingkat penggunaan laboratorium lapangan (LL) dan tingkat penerapan teknologi PTT. Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan tabulasi silang (lihat Tabel 36), dapat dilihat adanya pola kecenderungan hubungan antara model pemberdayaan petani dengan tingkat kemandirian. Hasil uji rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Penggunaan LL (X3.1) dengan variabel Tingkat Kemandirian (Y2) pada taraf α=0,05. Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ada tidaknya hubungan yang nyata antara variabel-variabel model pemberdayaan petani SL-PTT dengan tingkat kemandirian, dapat dilihat pada Tabel 28.

89 70 Tabel 28. Korelasi Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian Petani di Desa Kebon Pedes Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT Tingkat Kemandirian Sig. r s Tingkat Pengunaan LL (X3.1) 0,404 ** 0,008 Tingkat Penerapan Komponen PTT (X3.2) 0,386 * 0,012 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa variabel tingkat penggunaan laboratorium lapangan berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian pada taraf α=0,05. Pada tingkat penerapan teknologi PTT rendah (lihat Lampiran 8), sebagian besar responden (67 persen) berada pada tingkat kemandirian sedang. Pada tingkat penerapan teknologi PTT sedang, sebagian besar responden (86 persen) berada pada tingkat kemndirian sedang juga, begitu pun dengan tingkat penerapan teknologi PTT yang tinggi, sebagian besar responden (60 persen) berada pada tingkat kemandirian yang sedang. Dengan demikian, dapat dilihat adanya pola kecenderungan hubungan antara tingkat penerapan teknologi PTT dengan tingkat kemandirian. Variabel tingkat penerapan komponen PTT ini berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian pada taraf α=0,1. Dari uji korelasi rank Spearman tersebut dapat diketahui bahwa tingkat signifikansi penggunaan LL berhubungan lebih nyata dengan tingkat kemandirian dibandingkan hubungan antara variabel tingkat penerapan komponen PTT dengan tingkat kemandirian. Petani peserta SL-PTT yang mengikuti kegiatan di laboratorium lapangan jumlahnya berbeda-beda. Tidak semua petani peserta SL-PTT yang menerapkan teknologi PTT aktif dalam kegiatan SL-PTT di laboratorium lapangan. Dengan mengikuti kegiatan SL-PTT di laboratorium lapangan, petani akan semakin mengerti mengenai teknik bercocok tanam yang benar, baik dalam segi pengetahuan, sikapnya akan teknologi tersebut menjadi semakin yakin dan pelaksanaan penerapan teknologi PTT-nya pun dapat dilakukan lebih baik sesuai dengan pelaksanaan yang disaksikan di LL. Berbeda halnya dengan petani yang menerapkan teknologi PTT tanpa menyaksikan terlebih dahulu prakteknya di LL, mereka memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih rendah karena sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman menerapkan teknologi PTT di

90 71 lahan LL dan penerapan teknologi tersebut lebih didasarkan rasa ingin mencoba dan ikut-ikutan petani yang lain tanpa memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap teknologi tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani dimana indikator yang digunakan terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik petani. 6.3 Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Kemandirian Petani Pemberdayaan merupakan tahap awal untuk menuju partisipasi, khususnya dalam pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian (Nasdian, 2006). Pernyataan tersebut merupakan kosep pemberdayaan yang menjadi landasan dari penelitian ini. Dengan adanya model pemberdayaan Petani SL-PTT maka akan dilihat hubungan antara tingkat partisipasi dengan tingkat kemandirian petani yang telah mengikuti kegiatan SL-PTT. Untuk dapat mengetahui ada tidaknya hubungan nyata antara tingkat partisipasi dengan tingkat kemandirian dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Korelasi Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Kemandirian Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Variabel Terpengaruh Tingkat Kemandirian (Y2) Tingkat Partisipasi (Y1) 0,371 * 0,016 Keterangan: * Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) ** Signifikansi α=0,05 (memengaruhi dan signifikan) r s Sig Tabel 29 merupakan hasil uji rank Spearman yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat partisipasi petani dengan tingkat kemandirian petani, dimana taraf α<0,1. Hal ini membuktikan landasan teori yang dikemukakan oleh Nasdian (2006) yang menyatakan bahwa pemberdayaan mampu menjadikan masyarakat berpartisipasi untuk mencapai kemandirian telah dapat dibuktikan kebenarannya pada kegiatan pemberdayaan petani SL-PTT di Desa Kebon Pedes.

91 BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi telah berlangsung selama empat kali. SL-PTT yang dilaksanakan adalah SL-PTT padi. Sekolah lapangan ini telah diikuti oleh empat kelompok tani yang berbeda dari tujuh kelompok tani di Gapoktan tersebut. Dalam pelaksanaan sekolah lapangan ini, kelompok tani mendapatkan bantuan benih untuk lahan seluas 25 hektar dan mendapatkan Saprodi untuk satu hektar lahan yang dijadikan laboratorium lapangan (LL). Kegiatan sekolah lapangan ini terdiri dari delapan pertemuan dengan topik yang berbeda pada masing-masing pertemuannya. Berdasarkan kurikulum SL-PTT padi sawah yang diperoleh dari PPL setempat, pada Tabel 30 dapat dilihat materimateri dan praktek yang harus diberikan pada setiap pertemuannya. Tabel 30. Kurikulum SL-PTT Padi Sawah di Desa Kebon Pedes Tahun 2009 Pertemuan Ke- Materi dan Praktek Pemandu/ Fasilitator 1 - Perlakuan benih sebelum sebar BPP, PPL - Pembuatan persemaian 2 - Sebar benih BPP, PPL - Pemeliharaan Persemaian 3 - Pindah tanam, sistem tanam BPP, PPL - Pemupukan dasar 4 - Penyiangan dan pemupukan susulan PPL, POPT - Pengamatan pertumbuhan dan OPT/agroekosistem 5 - Pengamatan pertumbuhan OPT dan PPL, POPT agroekosistem 6 - Penyiangan dan pemupukan susulan BP3K-PPL,POPT - Pengamatan pertumbuhan dan OPT/agroekosistem 7 - Pengamatan pertumbuhan OPT dan PPL,POPT agroekosistem 8 - Perlakuan panen dan pasca panen BP3K-PPL Sumber: BP3K Tahun 2009

92 73 Tabel 30 menjelaskan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama proses sekolah lapangan berlangsung. Seluruh pertemuan pada kegiatan SL-PTT didampingi oleh PPL dan fasilitator-fasilitator yang berbeda sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Dalam pelaksanaannya, laboratorium lapangan menjadi tempat para peserta SL-PTT untuk melakukan percobaan dan pengamatan langsung terhadap materi pelajaran yang disampaikan. 7.1 Pelaksanaan SL-PTT di Gapoktan Sawargi Pelaksanaan SL-PTT Kelompok Tani Sawargi Kegiatan SL-PTT padi di Kelompok Tani Sawargi telah dilaksanakan tahun Kelompok tani ini adalah kelompok tani yang pertama kali mendapatkan kegiatan sekolah lapangan di antara enam kelompok tani lainnya di Gapoktan Sawargi. Kelompok tani ini diketuai oleh orang yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Gapoktan Sawargi. Kelompok tani ini mengikutsertakan petani-petani yang aktif, termasuk di dalamnya petani yang menjadi ketua kelompok di kelompok tani lainnya. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kegiatan sekolah lapangan ini dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan saja, berbeda dengan ketentuan yang terdapat pada kurikulum SL-PTT padi yang dianjurkan melakukan sekolah lapangan sebanyak delapan kali pertemuan. Pelaksanaan sekolah lapangan di kelompok ini tidak melibatkatkan seluruh petani peserta sekolah lapangan dalam menentukan ketua, bendahara, dan sekretaris. Dalam proses perencanaannya, hanya pihak-pihat tertentu yang dilibatkan, sehingga tidak seluruh petani peserta berperan serta melakukan PRA untuk menentukan permasalahan, tujuan, jadwal kegiatan sekolah lapangan, dan penempatan laboratorium lapangan. Kebanyakan dari petani peserta SL-PTT ini hanya berpartisipasi pada awal pelaksanaan kegiatan sekolah lapangan, yaitu penerimaan bantuan benih tanpa ikut berpartisipasi dalam proses perencanaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh kelompok tani Sawargi, pelaksanaan sekolah lapangan yang hanya dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan ini disebabkan oleh keterbatasan dana penyerapan teknologi, sehingga kegiatan sekolah lapangan dipadatkan menjadi lima kali pertemuan saja. Untuk penerapan teknologi PTT yang telah dipraktekan di LL, petani yang mengikuti

93 74 SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara konvensional dalam menanan padi. Setelah ditelusuri lebih jauh, kebanyakan dari petani yang tercatat telah menjadi peserta SL-PTT ini adalah petani yang memang berada pada hamparan garapan yang berdekatan, namun kebanyakan dari mereka hanya mengambil benih gratis saja tanpa mengikuti kegiatan SL-PTT secara penuh Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Yudistira Kegiatan SL-PTT yang dilakukan di Kelompok Tani Yudistira adalah petani-petani yang memiliki lahan garapan di kawasan Kampung Bojong Galing. Kegiatan SL-PTT ini dilaksanakan tahun 2009 serentak dengan kegiatan SL-PTT di dua kelompok tani lainnya. Berbeda halnya dengan kegiatan sekolah lapangan yang telah berlangsung di Kelompok Tani Sawargi, kegiatan sekolah lapangan di kelompok ini dilakukan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dalam 8 kali pertemuan. Selain itu, sekolah lapangan ini berlangsung dengan didampingi oleh beberapa PPL, sedangkan pada kelompok tani sebelumnya hanya didampingi oleh seorang PPL yang bertugas di desa tersebut. Temuan data di lapangan menunjukkan adanya perbedaan sifat antara pengurus di Kelompok Tani Sawargi dengan pengurus di Kelompok Tani Yudistira, dimana anngota pengurus pada Kelompok Tani Yudistira lebih terbuka terhadap penyuluh pertanian sehingga kegiatan penyuluhan pun dapat berlangsung lebih baik dibandingkan dengan kegiatan penyuluhan di kelompok tani sebelumnya Pada pelaksanaannya, petani peserta SL-PTT di kelompok ini memiliki karakteristik yang sama dengan petani di Kelompok Tani Sawargi. Mereka hanya aktif hadir pada awal pertemian, yaitu pada saat bantuan benih turun, sedangkan selanjutnya kebanyakan dari petani tersebut tidak mengikuti rangkaian kegiatan di LL. Setelah diamati, diperoleh temuan bahwa kebanyakan dari petani yang aktif mengikuti pertemuan SL-PTT adalah petani yang lahan garapannya termasuk ke dalam 1 ha lahan LL. Selain itu, petani yang kebanyakan aktif di SL-PTT adalah petani yang lahan garapannya dekat dengan lahan LL, sehinga pada saat

94 75 pertemuan SL-PTT, petani tersebut mudah untuk menjangkau lokasi pertemuan ang biasanya diadakan di lahan LL. Berdasarkan informasi yang diperoleh, kebanyakan petani yang mengikuti SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara penanaman konvensional. Setelah ditelusuri lebih jauh, kebanyakan dari petani yang tercatat telah menjadi peserta SL-PTT ini adalah petani yang memang berada pada hamparan garapan yang berdekatan, namun kebanyakan dari mereka hanya mengambil benih gratis saja tanpa mengikuti kegiatan SL-PTT secara penuh Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang Kegiatan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang dilaksanakan tahun Kegiatan sekolah lapangan ini dilakukan pada hamparan lahan SL-PTT yang terletak di dekat hamparan SL-PTT yang telah dilaksanakan oleh Kelompok Tani Sawargi. Karena hamparan yang berdekatan, beberapa petani peserta SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang sebelumnya adalah petani peserta SL-PTT di Kelompok Tani Sawargi. Sama halnya dengan beberapa petani peserta SL-PTT tersebut, ketua Kelompok Tani Cimuncang pun sebelumnya merupakan anggota peserta SL-PTT di Kelompok Tani Sawargi. Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan. Satu kali pertemuan pada materi pengamatan pertumbuhan OPT dan agrosistem sebelum pemanenan tidak dilakukan. Lahan LL yang diperuntukan sebagai lahan percobaan teknologi PTT adalah lahan yang dimiliki oleh ketua Kelompok Tani Cimuncang, sehingga pengamatan pada masa bunting hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, termasuk petani peserta yang memiliki lahan garapan dekat dengan lahan LL. Temuan di lapang menunjukan bahwa kemampuan pemimpin dalam melakukan usahatani menentukan hasil panen pada lahan LL. Karena karakteristik petani peserta SL-PTT kebanyakan sama, dimana kebanyakan petani yang mengikuti SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL- PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan

95 76 LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara penanaman konvensional. Berbeda dengan karakteristik petani pada umumnya, ketua kelompok tani ini memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dan pengalaman yang dapat diandalkan dalam melakukan usahatani, sehingga hasil panen pada lahan LL berhasil meningkatkan produktivitas panen, yang sebelumnya tidak terjadi pada Kelompok Tani Sawargi yang pada saat itu gagal panen karena bulir padi yang hampa Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Pamoyanan Kegiatan SL-PTT di Kelompok Tani Pamoyanan dilakukan tahun 2009, bersamaan dengan SL-PTT yang berlangsung di Kelompok Tani Yudistira dan Kelompok Tani Cimuncang. Namun, kegiatan sekolah lapangan di kelompok tani mengalami masalah. Adanya kesalahpahaman antara pengurus kelompok tani dengan PLL setempat, menyebabkan kegiatan SL-PTT di kelompok ini tidak berjalan sesuai ketentuan yang ada. PPL yang ditugasi untuk melakukan pendampingan di kelompok tani ini tidak pernah datang dan melakukan pendampingan. Tugas untuk pendampingan kegiatan SL-PTT diserahkan kepada penyuluh swasta yang pada saat itu bertugas di kampung tersebut untuk mempromosikan pupuk organik. Oleh karena itu, penyerapan teknologi PTT di kelompok ini menjadi bias karena lebih ditekankan pada petanian organik sesuai tujuan dari perusahaan dimana penyuluh swasta itu bekerja. Pelaksanaan SL-PTT yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakjelasan proses penyerapan teknologi PTT yang bias dengan penerapan pertanian organik. Masalah ini menjadi lebih rumit, ketika percobaan pertanian organik pada lahan enam hektar yang dilakukan oleh penyuluh swasta gagal mencapai panen yang maksimal. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses penyerapan teknologi PTT yang terkena imbas akibat dari gagalnya penanaman padi organik. Dalam pengambilan data menganai penerapan teknologi PTT pun menjadi sulit untuk dilakukan pengukuran karena pengetahuan petani mengenai teknologi PTT telah tercampur dengan pengetahuan tentang organik. Begitu juga dengan persepsi petani mengenai kenerja penyuluh pertanian menjadi tercampur dengan persepsi petani terhadap penyuluh swasta. Petani di kelompok ini lebih dekat dengan penyuluh swasta dibandingkan dengan PPL. Adanya penyuluh swasta yang sering

96 77 melakukan kunjungan ke kelompok tani ini, menjadikan petani di kampung ini lebih kompak dan lebih mudah digerakkan untuk menerapkan teknologi baru. Walaupun pada prosesnya, sekolah lapangan di kelompok ini tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 7.2 Analisis Pelaksanaan Model Pemberdayaan Petani Program SL-PTT Berdasarkan Konsep Pemberdayaan Masyarakat SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahatani menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan, dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalahmasalah, terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi Proses Partisipasi dalam SL-PTT Kegiatan SL-PTT merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan menerapkan konsep pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi dalam kegiatan SL-PTT yang sifatnya aktif dan kreatif. Dengan model pemberdayaan yang ditetapkan pada kegiatan SL-PTT, diharapkan dapat menjadikan petani aktif berpartisipasi dalam setiap tahap kegiatannya. Kegiatan SL-PTT yang terdapat di Gapoktan Sawargi diawali dengan kegiatan Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) yang dilakukan oleh petani bersama pendamping lapangan. Kegiatan ini hanya melibatkan beberapa pengurus Gapoktan dan tidak melibatkan keseluruhan calon peserta SL-PTT. Proses KKP ini sangat menentukan jalannya kegiatan SL-PTT untuk ke depannya, hanya saja dalam prosesnya kurang melibatkan calon peserta SL-PTT, sehingga keputusan yang diambil dari kegiatan KKP ini hanya mewakili sebagian suara dari calon peserta SL-PTT. Kegiatan KKP ini dilakukan untuk menganalisis masalah yang

97 78 dihadapi pertanian di daerah setempat, kemudian dicari penyelesaiannya dan ditentukan tujuan dari kegiatan SL-PTT tersebut. Persiapan pelaksanaan SL-PTT, dilakukan juga dengan menentukan jadwal pertemuan yang memungkinkan seluruh peserta SL-PTT hadir dalam setiap pertemuan. Penentuan laboratorium lapangan juga menjadi hal yang perlu disepakati bersama agar muncul rasa memiliki di antara peserta SL-PTT terhadap lahan percontohan yang akan digarap bersama-sama. Selain itu, penentuan struktur organisasi juga perlu diperhatikan, agar pembagian tugas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara perlu dilakukan besama peserta SL-PTT agar muncul pengakuan dari setiap peserta terhadap kesepakatan struktur organisasi yang terbentuk. Namun dalam proses perencanaan untuk pelaksanaan kegiatan SL-PTT ini ternyata kurang melibatkan peran peserta SL-PTT. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Tingkat Partisipasi Partisipasi Partisipasi Partisipasi dalam 1 dalam 2 3dalam Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan Rendah Sedang Tinggi Kegiatan Partisipasi Gambar 2. Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Gambar 2 menunjukkan bahwa partisipasi peserta dalam pelaksanaan dan pemantauan kebanyakan berada pada tingkat partisipasi yang tinggi dengan persentase masing-masing 40,5 persen dan 78,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dalam pelaksanaan dan pemantauan lebih tinggi dibandingkan tingkat partisipasi dalam perencanaan. Hal ini terjadi karena dalam proses pelaksanaan, petani tidak diberi informasi mengenai adanya pertemuan SL-

98 79 PTT yang harus dihadari, sedangkan untuk kegiatan pemantauan, partisipasinya sebagian besar peserta (78,8 persen) adalah tinggi karena proses peamntauan dapat dilakukan kapan saja di laboratorium lapangan. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa sebagian besar peserta SL-PTT (83,3 persen) memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam perencanaan kegiatan SL- PTT. Kegiatan KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) yang hanya melibatkan pengurus kelompok tani, merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi peserta SL-PTT dalam proses perencanaan SL-PTT. Hanya sebagian kecil dari petani peserta sekolah lapangan yang diajak berkumpul oleh pendamping lapangan maupun pengurus kelompok tani untuk melaksanakan perencanaan kegiatan SL-PTT. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar peserta tidak berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan. Rendahnya tingkat partisipasi peserta dalam perencanaan kegiatan SL-PTT secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Tingkat Partisispasi dalam Perencanaan Partisipasi Penentuan masalah Partisipasi Penentuan Jadwal Partisipasi Penentuan LL Partisipasi Penentuan Struktur Organisasi Keikutsertaan: Ya Tidak Gambar 3. Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes dalam Perencanaan SL-TT Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar dari komponen perencanaan yang dilakukan pada proses KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) yang terdiri dari penentuan masalah, penentuan jadwal, penentuan laboratorium lapangan, dan penentuan perangkat struktur organisasi tidak diikuti oleh peserta

99 80 SL-PTT. Hal tersebut disebabkan karena petani memang tidak dilibatkan dalam prosesnya. Tidak jauh berbeda dengan tingkat partisipasi pada proses perencanaan, tingkat partisipasi dalam kegiatan evaluasi sebagian besar (63,3 persen) tidak diikuti oleh peserta SL-PTT. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari peserta SL- PTT tidak hadir dalam proses pemanenan SL-PTT karena lahan LL bukan lahan milik mereka. Mereka yang hadir pada kegiatan pemanenan SL-PTT biasanya adalah peserta yang lahan pertaniannya termasuk ke dalam lahan LL. Oleh karena itu banyak dari peserta SL-PTT yang tidak mengikuti kegiatan evaluasi, dimana kegitan tersebut biasanya dilakukan berbarengan setelah kegiatan SL-PTT pemanenan selesai dilakukan. Adapun gambaran mengenai partisipasi petani dalam proses evaluasi dapat dilihat pada Gambar 4. Tingkat Partisipasi Evaluasi Tidak 35.7 Ya Gambar 4. Tingkat Partisipasi Peserta dalam Evaluasi SL-PTT di Desa Kebon Pedes Berdasarkan keterangan pada Gambar 2, 3, dan 4, dapat dilihat bahwa proses partisipasi yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT cenderung tinggi pada kegiatan pelaksanaan dan pemantauan, namun cenderung rendah pada kegiatan perencanaan dan evaluasi. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa kegiatan SL-PTT yang seharusnya dilaksanakan secara partisipatif dan bersifat bottom up, pada prakteknya belum dalam dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini dapat dilihat dari peran penyuluh yang masih mendominasi dalam setiap tahap pelaksanaan SL-PTT. Kegiatan SL-PTT yang berlangsung selama satu musim tanam masih belum

100 81 dilaksanakan atas inisiatif dari kelompok, dimana petani peserta SL-PTT masih harus digerakkan untuk dapat mengikuti pertemuan SL-PTT. Oleh karena itu, kegiatan SL-PTT ini belum berhasil membangkitkan jiwa partisipasi yang kuat dalam jiwa petani. Dilihat dari proses pelaksanaannya, kegiatan penyuluhan dalam SL-PTT yang berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan petani, namun pada pelaksanaannya belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Penyuluh memang berusaha untuk berdiskusi terlebih dahulu dengan petani sebelum melaksanakan praktek SL-PTT, tetapi diskusi yang berlangsung merupakan diskusi yang diarahkan untuk membahas materi yang telah ditentukan oleh penyuluh sebelumnya. Oleh karena itu, kegiatan sekolah lapangan pada pragram SL-PTT belum dapat dikatakan telah berhasil menjawab dan memenuhi kebutuhan petani Penerapan Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Pelaksanaan SL-PTT pada prakteknya lebih ditekankan pada proses praktek yang dilakukan di laboratorium lapangan. Falsafah SL-PTT yang berbunyi: mendengar, saya lupa, melihat, saya ingat, melakukan saya paham, dan menemukan sendiri, saya kuasai, merupakan suatu pedoman yang diharapkan dapat memaksimalkan proses pembelajaran SL-PTT. Praktek SL-PTT yang telah berlangsung di Gapoktan Sawargi, pada umumnya dilakukan antara lima sampai delapan kali pertemuan, dimana pada setiap kelompok taninya berbeda-beda. Kegiatan SL-PTT ini biasanya diawali dengan diskusi mengenai materi yang akan disampaikan, setelah itu peserta SL- PTT mempraktekkan teknologi PTT dengan ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan pada saat diskusi. Dengan cara seperti ini, kemampuan petani untuk menyerap informasi teknologi PTT menjadi mudah dan jelas karena petani menjadi yakin terhadap kelebihan dan kekurangan teknologi PTT yang telah mereka praktekkan di laboratorium lapangan. Namun, pemahaman mengenai SL- PTT ini bersifat kondisional. Kegiatan pertanian tidak selamanya didukung oleh cuaca, keadaan agroekosistem, serta faktor faktor lainnya yang mendukung. Hal ini menjadi tantangan bagi petani SL-PTT untuk dapat memecahkan sendiri permasalahannya terkait dengan aktivitas bercocok tanam yang mereka lakukan.

101 82 Oleh karena itu, petani diharapkan dapat menemukan sendiri solusi dari setiap masalah yang dihadapi dalam berusahatani, baik pada saat SL-PTT berlangsung, maupun setelah SL-PTT berakhir. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi ini relatif berjalan lancar dan mencapai angka produktivitas panen yang diharapkan. Hal ini dapat dimengerti karena proses penanaman SL- PTT dilakukan pada saat kondisi cuaca dan agroekosistem mendukung pada saat itu, sedangkan pada kondisi yang berbeda, teknologi PTT ini tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang ditemukan di lapangan. Setelah pelaksananaan SL- PTT selesai, petani-petani peserta SL-PTT ini dihadapkan kepada permasalahan hama tikus dan penyakit merah yang menyerang padi. Hal ini pada akhirnya menjadi faktor utama penurunan tingkat produktivitas beras di desa tersebut. Dalam menghadapinya, petani cukup kewalahan dan belum dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Penerapan PHT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, ternyata berbeda dengan kondisi pertanian yang dihadapi petani pada saat sekarang. Penyakit merah yang menyerang padi, belum dapat ditemukan solusinya karena pada saat SL-PTT berlangsung, hama merah ini belum pernah menyerang padi. Dilihat dari keadaan tersebut, maka kegiatan belajar SL-PTT kurang begitu membekali petani untuk siap menghadapi permasalahan yang beragam ke depannya. Hal ini menjadikan petani tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara maandiri. Pelaksanaan SL-PTT yang hanya berlangsung pada satu musim tanam, dimana waktu pelaksanaannya mengambil masa tanam yang mendukung produktivitas maksimal (dengan keadaan iklim yang tepat sekitar Bulan April- Oktober), membuat petani peserta SL-PTT hanya memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam beradaptasi pada waktu musim tanam yang berlainan. Hasil dari SL-PTT ini menjadikan petani mampu beradaptasi pada musim tanam tertentu saja, sedangkan pada musim tanam yang sulit petani masih belum dapat beradaptasi. Oleh karena itu, pelaksanaan SL-PTT yang hanya dilaksanakan pada satu kali musim tanam ini merupakan pelaksanaan yang belum

102 83 menjawab kebutuhan petani untuk dapat melaksanakan usahatani secara berkelanjutan Pendidikan Orang Dewasa di Dalam SL-PTT Penyuluhan pertanian sebagai kegiatan pendidikan non formal dilaksanakan dengan menggunakan prinsip prinsip pendidikan orang dewasa (Daniel dkk., 2008). Prinsip pendidikan orang dewasa merupakan metode pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan petani, dimana petani belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri, mempraktekkan secara langsung materi pelajaran yang diperoleh, dan diberi peranan dalam pelaksanaannya sehingga menimbulkan partisipasi dari petani peserta penyuluhan. SL-PTT sebagai kegiatan penyuluhan pertanian menetapkan prinsip pendidikan orang dewasa. Dalam pelaksanaannya, SL-PTT difasilitasi oleh penyuluh pertanian yang tidak bertindak secara top down dalam memberikan materi ajar. Penyuluh memulai kegiatan SL-PTT dalam setiap pertemuannya dengan mencoba menggali terlebih dahulu permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan. Penyuluh biasanya mengawali kegiatan SL-PTT dengan mengangkat topik pembicaraan yang dapat menarik perhatian petani untuk dapat berdiskusi mengenai permasalahan berkaitan dengan materi SL-PTT yang akan disampaikan. Komunikasi dua arah yang dilakukan antara penyuluh dengan petani peserta SL-PTT sangat penting dilakukan agar mendapatkan kesamaan makna mengenai masalah yang dihadapi dan mendiskusikan pemecahan masalahnya. Teknologi PTT diperkenalkan kepada petani dengan mempraktekkannya secara langsung di laboratorim lapangan (LL). Teknologi PTT terdiri dari komponen dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen dasar PTT diterapkan secara langsung di lahan laboratorium lapangan, sedangkan komponen pilihan PTT disesuaikan dengan kondisi lahan setempat dan disesuaikan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan petani sehingga didapat keputusan mengenai teknologi yang cocok diterapkan di lokasi SL-PTT.

103 84 Berdasarkan data di lapang, penyampaikan materi yang dilakukan oleh penyuluh kadang-kadang menggunakan istilah yang tidak dikenal oleh petani, sehingga kurang menarik minat petani untuk mendengarkan. Selain itu, materi yang disampaikan pada saat pertemuan sebelumnya jarang diingatkan kembali oleh penyuluh. Pengulangan topik pembahasan kurang ditekankan dalam pelaksanaanya, sehingga kemungkinan lupa terhadap materi yang telah diajarkan dapat terjadi pada petani. Hal ini disebabkan penyampaian materi yang dilakukan penyuluh pertanian bersifat kaku dan terlalu terpaku pada ketentuan pedoman SL- PTT. Padahal pada kenyataanya, permasalahan petani lebih beragam dan tidak selalu dapat dipecahkan melalui teknologi yang diperkenalkan. Oleh karena itu, petani kadang tidak merasa puas terhadap jawaban yang diberikan penyuluh pertanian. Pengetahuan penyuluh yang terbatas dengan pemahaman yang kurang (penyuluh dalam hal ini belum pernah melakukan percobaan terhadap teknologi PTT yang akan dan telah diperkenalkan), menyebabkan penyampaian materi SL- PTT yang kurang meyakinkan karena penyuluh belum membuktikan secara langsung keberhasilan dari teknologi yang diperkenalkan. Partisipasi petani peserta SL-PTT yang tidak stabil pada pelaksanaannya lebih disebabkan oleh kurang jelasnya pembagian tugas dan peranan setiap petani dalam kegiatan sekolah lapangan. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pendidikan orang dewasa yang dikemukakan oleh Daniel dkk. (2008) bahwa adanya peranan petani dapat menimbulkan kepercayaan terhadap diri sendiri sehingga muncul partisipasi masyarakat tani yang wajar, sedangkan pada pelaksanaan SL-PTT pembagian tugas dan peranan itu kurang begitu diperhatikan sehingga petani kurang memiiki rasa tanggung jawab terhadap kegiatan sekolah lapangan. Hal ini berkaitan dengan dinamika kelompok tani yang tidak berjalan dengan baik. Petani peserta SL-PTT jarang melakukan pertemuan di luar kegiatan SL-PTT, sehingga rasa kebersamaan dan kekeluargaan kurang terbentuk dalam diri setiap peserta SL-PTT. Peran aktif petani dalam kegiatan SL-PTT juga hanya didominasi oleh peserta-peserta tertentu saja, sehingga keaktifan kelompok dalam kegiatan SL- PTT tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana seharusnya setiap peserta tersebut dapat berperan aktif dalam SL-PTT.

104 85 Kegiatan SL-PTT ini seharusnya berlangsung dengan penerapan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa dengan mengkondisikan dinamika kelompok yang kondusif yang mendukung pelaksanaan sekolah lapangan. Dengan memperhatikan hal tersebut, diharapkan pelaksanaan SL-PTT dapat berlangsung dengan lebih baik. Keberadaan penyuluh pertanian dan peserta SL-PTT yang memiliki SDM yang baik juga perlu diperhatikan agar kegiatan sekolah lapangan tersebut dapat terlaksana dengan lebih baik. Proses pembelajaran seharusnya tidak cukup hanya dengan merubah perilaku dalam arti menjadikan petani mampu meningkatkan produksi pertanian saja, tetapi juga petani harus mampu mencapai tujuan akhir yaitu meningkatkan kemandirian (pemberdayaan) petani dalam memperbaiki taraf hidup keluarga dan masyarakat petani itu sendiri. Dilihat dari pelaksanaan kegiatan SL-PTT yang telah berlangsung, usaha untuk mencapai tujuan pemberdayaan tersebut belum dapat dicapai. Metode pendidikan orang dewasa yang telah diterapkan belum dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tujuan akhir dari kegiatan penyuluhan tersebut belum dapat tercapai Tingkat Kemandirian Petani SL-PTT Penerapan model pemberdayaan petani SL-PTT diharapkan dapat menumbuhkan jiwa partisipasi dan kemandirian dalam diri petani. Petani yang telah mengikuti SL-PTT diharapkan dapat secara mandiri memanfaatkan sumberdaya yang ada dan memiliki kapasitas untuk mengemukakan pendapat, serta memiliki kapasitas untuk mengembangkan diri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaharuan dari luar. Pelaksanaan SL-PTT yang telah berlangsung pada Gapoktan Sawargi diharapkan dapat menjadikan petani lebih modern dalam mejalankan usahataninya. Pengertian modern dalam hal ini berarti memiliki kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan perubahan, lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada massa silam, dan

105 86 percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di dalam kontrol manusia/ tidak fatalis. Tingkat kemodernan petani ini dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkat Kemodernan Petani ya tidak Praktek Bertani yang Baik Memperkirakan Untung Rugi Pengetahuan Agribisnis Penerapan Teknologi Bertani Gambar 5. Tingkat Kemodernan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Gambar 5 menunjukkan bahwa tingkat kemodernan diukur dengan menggunakan empat indikator, yaitu: pengetahuan dan praktek cara bertani yang baik, kemampuan memperkirakan untung rugi, pengetahuan agribisnis, dan tingkat penerapan teknologi bertani. Dari keempat indikator tersebut, pengetahuan petani akan agribisnis merupakan indikator kemandirian dengan persentase terendah, dimana hanya terdapat 2,4 persen petani yang memiliki pengetahuan agribisnis dengan baik. Sisanya, yaitu 97,6 persen menjawab tidak tahu atau salah. Hal ini lebih disebabkan kebanyakan dari petani peserta SL-PTT melakukan usahatani sebagai bagian dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bukan berorientasi untuk mengejar produksi. Petani seperti ini termasuk ke dalam istilah peasant yaitu gambaran dari petani yang subsisten (usahatani untuk konsumsi sendiri). Berbeda dengan peasant, istilah petani yang dikatakan modern adalah petani dalam istilah farmer yaitu petani modern yang berusahatani dengan menetapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Istilah peasant ini sangat tepat dalam menggambarkan keadaan petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT, dimana kebanyakan dari mereka termasuk

106 87 kedalam suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa, penyakap, dan buruh tani. Peasant identik dengan sikap kerjasama satu sama lain, memiliki usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri. Petani ini terbatas teknologinya, memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha kain untuk memenuhi pendapatannya. Separuh dari petani peserta SL-PTT ini (50 persen) tidak pernah melakukan perhitungan untung rugi dalam melaksanakan usahataninya, walaupun dalam prakteknya peserta SL-PTT ini sebagian besar (69 persen) telah menerapkan teknologi berusahatani dan 71,4 persen telah mengetahui cara praktek bertani yang baik. Tingkat kemandirian petani dapat juga dilihat aspek keefisienan petani dalam berusahatani. Petani yang efisien adalah petani yang memiliki pemahaman terhadap pemilihan jenis usaha, pemahaman cara meraih informasi harga pasar, dan pemahaman dasar peramalan produksi/pemahaman atas resiko sehingga petani mampu bersikap hemat input dan mampu menerapkan teknologi yang dapat menekan kehilangan hasil. Untuk mengetahui tingkat keefisienan petani peserta SL-PTT dapat dilihat pada Gambar 6. Tingkat Keefisienan Petani Ya Analisis Usahatani 23.8 Akses terhadap Informasi Harga Pasar 16.7 Strategi menguragi kehilangan Hasil 2.4 Berani Mengambil Resiko Tidak Gambar 6. Tingkat Keefisienan Petani Peserta SL-PTT

107 88 Gambar 6 menunjukkan bahwa petani peserta SL-PTT sebagian besar (97,6 persen) adalah petani yang berani mengambil resiko berusahatani. Mereka melakukan kegiatan cocok tanam sebanyak tiga kali dalam semusim, tanpa memperhitungkan dan mengusahakan untuk mencapai target produktivitas yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya petani tersebut memang memiliki keberanian dalam mengambil resiko bertani, namun cenderung memiliki sikap fatalis. Kebanyakan dari mereka berusahatani dengan menyerahkan keadaannya terhadap kondisi alam, tanpa membuat perencanaan usahatani dan penyesuaian proses bercocok tanam dengan kondisi alam yanga ada. Kegiatan usahatani merupakan kegiatan yang telah menjadi kebiasaan, dimana dalam keadaan apapun petani biasanya mengusahakan untuk bisa bercocok tanam. Masalah rendahnya tingkat pendidikan, telah menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Hal ini dapat dlihat dari pelaksanaan usahatani yang cenderung tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Hal ini terlihat dari sebagian besar petani (69 persen) yang tidak pernah melakukan analisis usahatani dalam praktek usahatani. Mereka cenderung melaksanakan usahatani tanpa memperhitungkan untung rugi dan lebih cenderung menyerahkan segala kemungkinan pada keadaan yang akan terjadi (bersikap fatalis). Hal ini terlihat dari sebagian besar petani (83,3 persen) menyerahkan proses pemanenan padi pada buruh tani tanpa mengusahakan untuk memaksimalkan pemerolehan hasil panen (gabah). Kebanyakan dari petani ini (76,2 persen) tidak berusaha untuk mencari informasi pasar dan hanya terima harga dari tengkulak, sehingga usaha petani dalam memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah kurang diusahakan. Daya saing petani dalam berusahatani juga termasuk ke dalam indikator yang mendukung tingkat kemandirian petani. Aspek daya saing yang diukur yaitu: perhatian terhadap komoditas dengan tingkat permintaan yang tinggi, usahatani dengan memperluas pemasaran, penanaman komoditas unggul, dan kemampuan memperkirakan harga pasar. Data mengenai tingkat daya saing petani SL-PTT dapat dilihat pada Gambar 7.

108 89 Gambar 7. Tingkat Daya Saing Petani Peserta SL-PTT Gambar 7 menunjukkan bahwa sebagian besar petani peserta SL-PTT (85,7 persen) telah menanam komoditas padi dengan permintaan pasar yang tinggi. Sebagian besar dari petani ini menanam varietas Padi Ciherang karena mudah dengan alasan penjualan hasil panen yang mudah. Selain itu, terdapat juga petani yang menanamm komoditas unggul dengan varietas Sintanur, hanya saja seringkali hasil panen untuk varietas Sintanur ini sulit untuk dijual ke pasaran karena bentuk gabah yang bulat. Baik varietas Padi Ciherang maupun Padi Sintanur ini termasuk ke dalam varietas unggul yang ditanam oleh petani, sebagian besar dari petani (95,2 persen) ini menanam padi varietas unggul tersebut. Hanya saja diantara keempat parameter yang diukur tersebut, sebagian besar dari petani ini masih banyak yang tidak melakukan perluasan pemasaran hasil produksi padi, dimana sebagian besar (90,5 persen) masih menjual hasil panennya kepada tengkulak. Selain itu, kebanyakan dari petani (73,8 persen) tidak pernah memperkirakan harga pasar sebelum penanaman padi dilakukan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar petani (69 persen) tidak pernah melakukan analisis usahatani dan hanya melakukan usahatani berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan, dimana petani tersebut melakukan usahatani tanpa pehitungan untung rugi sebelum berusahatani. Rendahnya kemampuan petani dalam memperluas pemasaran hasil produksi dan memperkirakan harga pasar menyebabkan petani peserta SL-PTT memiliki tingkat daya saing yang rendah.

109 90 Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai tingkat kemodernan, tingkat keefisienan, dan tingkat daya saing petani, menunjukkan bahwa tingkat kemandirian dari peserta SL-PTT adalah masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya petani (97,6) yang belum memahami tentang praktek agribisnis, sebagian dari petani (50 persen) tidak pernah melakukan perhitungan untung rugi, dan sekitar 69 persen dari petani peserta SL-PTT tidak pernah melakukan analisis usahatani. Selain itu petani masih bersikap fatalis, dimana sebagian besar dari mereka (83,3 persen) tidak pernah berusaha menekan kehilangan hasil dari gabah yang hilang pada saat proses pemanenan. Selain itu, sebagian besar dari petani (76,2 persen) tidak pernah mencoba untuk berinisiatif mencari harga pasar yang lebih tinggi dan menjual hasil panennya selain kepada tengkulak. Hal ini sesuai dengan rendahnya kemampuan petani dalam memperluas pemasaran hasil produksi, dimana sebagian besar dari petani (90,5 persen) hanya menjual hasil panennya kepada tengkulak. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab rendahnya tingkat kemandirian petani peserta SL-PTT.

110 91 BAB VIII KESIMPULA DA SARA 8.1 Kesimpulan Peserta SL-PTT pada umumnya adalah petani dengan kategori dewasa madya (dengan sebaran umur antara 41 sampai 60 tahun) dengan tingkat pendidikan formal dan pendidikan non formal yang rendah, dan dengan tingkat pengalaman berusahatani terbanyak berada pada kategori rendah. Petani peserta SL-PTT memiliki tingkat kekosmopolitan yang rendah, namun kebanyakan dari mereka memiliki motivasi internal untuk mengikuti kegiatan SL-PTT. Kebanyakan petani peserta SL-PTT adalah petani penggarap dengan sistem sewa lahan dengan kategori luas lahan garapan yang rendah. Proses partisipasi yang berlangsung pada kegiatan SL-PTT ini kurang melibatkan petani dalam proses perencanaan dan evaluasinya. Tingkat partisipasi yang rendah pada tahap perencanaan lebih disebabkan oleh inisiatif yang kurang dari penyuluh maupun pengurus kelompok tani dalam melibatkan petani pada kegiatan perencanaan, sehingga hanya beberapa petani saja yang dapat berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan. Begitu pun dengan kegiatan evaluasi, petani yang berpartisipasi pada kegiatan evaluasi adalah petani yang lahan garapannya termasuk ke dalam lahan LL, sehingga partisipasi dalam kegiatan evaluasi menjadi rendah. Petani peserta SL-PTT memiliki tingkat partisipasi dan tingkat kemandirian dengan persentase terbesar berada pada kategori sedang. Variabelvariabel pengaruh yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi yaitu: tingkat pendidikan non formal, tingkat kekosmopolitan, motivasi, frekuensi mengikuti SL-PTT, tingkat penggunaan LL, dan tingkat penerapan teknologi PTT. Adapun variabel-variabel pengaruh yang memiliki hubungan nyata dengan tingkat kemandirian yaitu: frekuensi petani mengikuti SL-PTT, tingkat kemampuan akses terhadap pasar, tingkat penggunaan LL, dan tingkat penerapan teknologi PTT. Variabel-variabel pengaruh yang tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi yaitu: umur, tingkat pendidikan formal, lama berusahatani, luas lahan garapan, tingkat kemampuan penyuluh, tingkat keterjangkauan saprodi, dan

111 92 tingkat kemampuan akses terhadap pasar. Adapun variabel-variabel yang tidak berhubungan nyata dengan tingkat kemandirian adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, lama usahatani, tingkat kekosmopolitan (keterbukaan responden terhadap berbagai sumber informasi), motivasi petani, luas lahan garapan, tingkat kemampuan penyuluh, dan tingkat keterjangkauan saprodi. 8.2 Saran 1. Bagi pembuat kebijakan, selain sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan dengan baik, pelaksanaan kegiatan SL-PTT perlu dirancang dalam satu musim tanam sesuai dengan siklus tanaman, sehingga hasil dari SL-PTT dapat lebih berkelanjutan dalam menjadikan petani lebih adaptif dalam segala kondisi. 2. Bagi penyuluh lapangan, diperlukan pendekatan yang tepat dan intensif bagi peserta SL-PTT sehingga dapat membangkitkan partisipasi dan tanggung jawab dalam diri petani dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT sebagai upaya dalam meningkatkan kemandirian petani. Oleh karena itu, diperlukan adanya pelatihan bagi penyuluh mengenai penerapan metode penyuluhan yang partisipatif. Selain itu, kegiatan penyuluhan dalam SL-PTT ini seharusnya diarahkan untuk lebih dapat memberdayakan petani, sehingga kegiatan penyuluhan tidak hanya terfokus pada peningkatan produktivitas saja. Selain itu, pelatihan mengenai pemahaman dan penerapan teknologi PTT juga perlu dilakukan agar proses pelaksanaan SL-PTT dapat berlangsung lebih baik. 3. Penentuan peserta SL-PTT harus dipilih lebih selektif sehingga kegiatan SL- PTT berikutnya dapat menghasilkan keluaran yang sesuai dengan target dan tujuan yang ingin dicapai.

112 DAFTAR PUSTAKA Daniel, M., Darmawati, dan Nieldalina PRA Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Pertanian, Keputusan Menteri Pertanian omor: 01/KPTS/OT.210/1/2001. Tentang Organisasi dan Tata Kerja. Jakarta: Departemen Pertanian. Departemen Pertanian Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Pedoman SL-PTT Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Kementrian Pertanian. Ife, J. dan F. Tesoriero Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hakim, L Pemberdayaan Petani Sayuran: Kasus Petani Sayuran di Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Hurlock, E. B Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Jarmie, M. Y Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia. Disertasi. Progam Pascasarjana IPB. Mugniesyah, S.S.M Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Nasdian, F. Tonny Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bagian Sosiologi Pedesaan & Pengembangan Masyarakat. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan Pranarka, A. M. W. dan V. Moeljarto Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Centre of Strategic and International Studies (CSIS). Situs Info Otda (Diakses tanggal 10 Agustus 2010) Situs Wikimapia &z=16&l=0&m=b&search=sukaraja%2c%20sukabumi (Diakses tanggal 10 Agustus 2010) Sumardjo Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.

113 94 Syahyuti Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Van den Ban, A.W. dan H.S Hawkins Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Wrihatnolo, R. Randy dan R. N. Dwidjowijoto Menejemen Pemberdayaan Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Zulvera Efektivitas Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu Dalam Penyuluhan Pertanian (Kasus Provinsi Sumatra Barat). Tesis. Program Pascasarjana IPB.

114 LAMPIRA

115 96 Lampiran 1. Sketsa Kabupaten Sukabumi Sketsa Kabupaten Sukabumi (Sumber:

116 97 Lampiran 2. Sketsa Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Peta Desa Kebon Pedes (Sumber: &lon= &z=16&l=0&m=b&search=sukaraja%2C%20sukabumi) Keterangan: Gapoktan Sawargi dan Kelompok Tani Sawargi Kelompok Tani Yudistira Kelompok Tani Cimuncang Kelompok Tani Pamoyanan

117 98 Lampiran 3. Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Tingkat Partisipasi Rendah Sedang Tinggi Umur (X1.1) Muda Sedang Tua Pendidikan Formal (X1.2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pendidikan on Formal (X1.3) Rendah Sedang Tinggi Lama Usahatani (X1.4) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) Rendah Sedang Tinggi Motivasi (X1.6) Eksternal Internal Luas garapan (X1.7) Rendah Sedang Tinggi

118 99 Lampiran 4. Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Frekuensi Petani Mengikuti SL-PTT (X2.1) Tingkat Partisipasi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kemampuan Penyuluh (X2.2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Keterjangkauan Saprodi (X2.3) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kemampuan Akses Pasar (X2.4) Rendah Sedang Tinggi

119 100 Lampiran 5. Hubungan Antara Variabel variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Partisipasi di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani SLPTT (X3) Tingkat Penggunaan LL (X3.1) Tingkat Partisipasi (Y1) Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tingkat Penerapan Teknologi PTT (X3.2) Rendah Sedang Tinggi

120 101 Lampiran 6. Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Internal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Internal Petani Tingkat Kemandirian Rendah Sedang Tinggi Umur (X1.1) Rendah Sedang Tinggi Pendidikan Formal (X1.2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Pendidikan on Formal (X1.3) Rendah Sedang Tinggi Lama Usahatani (X1.4) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kekosmopolitan (X1.5) Rendah Sedang Tinggi Motivasi(X1.6) Eksternal Internal Luas Lahan Garapan(X1.7) Rendah Sedang Tinggi

121 102 Lampiran 7. Hubungan Antara Variabel variabel Karakteristik Eksternal Petani Peserta SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Eksternal Petani Frekuensi Petani mengikuti SL-PTT Tingkat Kemandirian Rendah Sedang Tiggi Rendah Sedang Tinggi Tingkat Persepsi terhadap Penyuluh (X2) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Keterjangkauan Saprodi (X2.3) Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kemampuan Akses Pasar (X2.4) Rendah Sedang Tinggi

122 103 Lampiran 8. Hubungan Antara Variabel variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT dengan Tingkat Kemandirian di Desa Kebon Pedes Tahun 2010 (dalam persen) Variabel-variabel Model Pemberdayaan Petani SL-PTT Tingkat Penggunaan LL (X3.1) % Kategori per Variabel (n-42) Tingkat Kemandirian Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tingkat Penerapan Teknologi PTT (X3.2) Rendah Sedang Tinggi

123 104 Lampiran 9. Dokumentasi (a) Pertemuan Gapoktan Sawargi (b) Denah Rancob Teknologi PTT (c) Praktek Penanaman Teknologi PTT oleh penyuluh pertanian (d) Praktek Penanaman Teknologi PTT oleh penyuluh pertanian (e) Pertemuan penyuluh dengan perwakilan Gapoktan-Gapoktan (f) Pertemuan penyuluh dengan perwakilan Gapoktan-Gapoktan

BAB II PE DEKATA TEORITIS

BAB II PE DEKATA TEORITIS BAB II PE DEKATA TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat Syahyuti (2006) menyatakan bahwa konsep asli empower adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan

Lebih terperinci

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi telah berlangsung selama empat kali. SL-PTT yang dilaksanakan adalah SL-PTT padi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

Mariam Febriani Budiman dan Dwi Sadono Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Mariam Febriani Budiman dan Dwi Sadono Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor TINGKAT PARTISIPASI DAN KEMANDIRIAN PETANI ALUMNI SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (Kasus Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat) Mariam Febriani Budiman

Lebih terperinci

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 1 KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) PADI Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119 Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan

Lebih terperinci

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA M. Eti Wulanjari dan Seno Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI Prof. Dr. Marwoto dan Prof. Dr. Subandi Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul B Tujuan Ikhtisar

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN (Kasus PT Indofarma Tbk. Cikarang, Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat) FACHRI AZHAR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP)

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP) Prof. Dr. Marwoto dan Ir Farur Rozy MS Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul A Tujuan 1. Mengumpulkan dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa Cibunian 4.1.1 Keadaan Alam dan Letak Geografis Desa Cibunian merupakan salah satu desa di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 EVALUASI PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT ) PADA BUDIDAYA PADI SAWAH ( Studi Kasus : Desa Sambirejo Kecamatan Binjai kabupaten Langkat ) SKRIPSI OLEH : IRMAYANA 070309005 PKP PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah respon petani terhadap kegiatan penyuluhan PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II,

Lebih terperinci

: MAULIDYA SARI PKP

: MAULIDYA SARI PKP HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI PETANI DALAM PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) DENGAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN USAHA TANI JAGUNG ( Kasus: Desa Pulo Bayu, Kecamatan Hutabayuraja,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah telah membawa perubahan pada sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini berdampak pada pembangunan. Kini pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran 283 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kumpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA (Kasus: Kemitraan PT Pupuk Kujang dengan Kelompok Tani Sri Mandiri Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ACHMAD

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fungsi sistem penyuluhan yaitu: 1. Memfasilitasi

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK (Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) Oleh: MENDEZ FARDIAZ A14202050

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR. KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR Diarsi Eka Yani 1 Pepi Rospina Pertiwi 2 Program Studi Agribisnis, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun

Renja BP4K Kabupaten Blitar Tahun 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN R encana kerja (RENJA) SKPD Tahun 2015 berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, yang penyusunan dengan memperhatikan seluruh aspirasi pemangku kepentingan pembangunan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MEDIA INTERNET SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI DESA PONCOKUSUMO KECAMATAN PONCOKUSUMO

PEMANFAATAN MEDIA INTERNET SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI DESA PONCOKUSUMO KECAMATAN PONCOKUSUMO PEMAFAATA MEDIA ITERET SEBAGAI MEDIA IFORMASI DA KOMUIKASI DALAM PEMBERDAYAA PETAI DI DESA POCOKUSUMO KECAMATA POCOKUSUMO Use Of The Internet As A Media Information And Communication In The Empowerment

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan) Oleh DYAH ISTYAWATI A 14202002 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT (Kasus: Program PHT Desa Karangwangi, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon) LUKI SANDI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN DAN MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis LOUR var) MELALUI TENGKULAK (Studi Kasus Desa Wringinagung Kecamatan Gambiran Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pukul 20:09 WIB] 1 [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011,

BAB I PENDAHULUAN. pukul 20:09 WIB] 1  [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan saat ini, menempatkan unsur kelembagaan sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan kesinambungan pembangunan dalam

Lebih terperinci

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Alfayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui minat petani terhadap komponen

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR Oleh EVITA DWI PRANOVITANTY A 14203053 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU

PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU 15 PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU Kausar \ Cepriadi ^, Taufik Riaunika ^, Lena Marjelita^ Laboratorium Komunikasi dan Sosiologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Oleh: NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN PROGRAM SIARAN RADIO PERTANIAN CIAWI: KASUS IKLAN PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU DI KECAMATAN CIAWI, BOGOR.

KEEFEKTIFAN PROGRAM SIARAN RADIO PERTANIAN CIAWI: KASUS IKLAN PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU DI KECAMATAN CIAWI, BOGOR. KEEFEKTIFAN PROGRAM SIARAN RADIO PERTANIAN CIAWI: KASUS IKLAN PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU DI KECAMATAN CIAWI, BOGOR Oleh LUTFI ARIYANI A14204059 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Undang-Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS

TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS (Kasus: Radio Komunitas Suara Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor) Oleh : AYU TRI PRATIWI A14204027 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan, memperluas lapangan kerja, pengentasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Oleh: VERRA ANGGREINI A14101021 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Renstra BKP5K Tahun

Renstra BKP5K Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN Revitalisasi Bidang Ketahanan Pangan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, taraf

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus: Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) (Suatu Kasus di Desa Wanareja Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap) Oleh: Eni Edniyanti

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kab. Bogor, Jawa Barat) Oleh : Amir Mutaqin A08400033 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih

PENDAHULUAN. lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah (non formal) bagi petani dan keluarganya agar berubah sikap dan perilakunya untuk bertani lebih baik (better farming),

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

SKRIPSI ARDIANSYAH H

SKRIPSI ARDIANSYAH H FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PETANI KEBUN PLASMA KELAPA SAWIT (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan) SKRIPSI ARDIANSYAH H34066019

Lebih terperinci

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 59 BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA 8.1 Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Pengambilan keputusan inovasi Prima

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. 66 BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.174, 2014 PENDIDIKAN. Pelatihan. Penyuluhan. Perikanan. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5564) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI 10 HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI Oleh : Arip Wijianto*, Emi Widiyanti * ABSTRACT Extension activity at district

Lebih terperinci

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A54104039 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian Priyanto (2011), tentang Strategi Pengembangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Gabungan Kelompok Tani (Gapokan) PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) menetapkan

Lebih terperinci

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN (Studi Kasus Unit Usaha Kelompok Wanita Tani Damai, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang)

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A Yani 70, Bogor 16161 PENDAHULUAN Jalur distribusi produk dari produsen

Lebih terperinci

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd BAB IPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjadikan sektor pertanian yang iiandal dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan, perlu pembenahan berbagai aspek, salah satunya adalah faktor kualitas sumber

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja paling banyak di Indonesia dibandingkan dengan sektor lainnya. Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) Oleh : WAHYUNI RAHMIATI SIREGAR A14204045 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENGARUH STIMULASI PSIKOSOSIAL, PERKEMBANGAN KOGNITIF, DAN PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR GIYARTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tugas pokok penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Lapang Pertanian Tanaman Terpadu. Sekolah Lapangan Pertanian Tanaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2008, Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah meluncurkan salah satu program pemberdayaan petani dengan sebutan Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010

LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010 LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010 BPP KECAMATAN CIJATI KABUPATEN CIANJUR Diserahkan kepada : DINAS PERTANIAN KABUPATEN CIANJUR Cijati,

Lebih terperinci