DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT AFIFAH HAZRINA C SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Dinamika Stok Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Afifah Hazrina C

3 RINGKASAN Afifah Hazrina. C Dinamika Stok Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibawah bimbingan Rahmat Kurnia dan Zairion. Ikan peperek merupakan salah satu tangkapan dominan yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dan didaratkan di PPN Palabuhanratu. Meningkatnya kebutuhan manusia akan pemenuhan gizi menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan peperek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika stok ikan peperek yang meliputi pertumbuhan dan mortalitas serta untuk menduga kondisi sumberdaya melalui upaya atau effort optimum (f mey ), upaya pada kondisi MSY (f msy ), tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), dan MEY (Maximum Economic Yield) dalam kegiatan penangkapan ikan peperek. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh berlangsung selama tiga bulan sejak tanggal 10 Maret sampai 19 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Selain itu, dilakukan pengumpulan data dan informasi lainnya dengan cara observasi serta wawancara untuk informasi kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, biaya operasi penangkapan, dan harga ikan peperek. Pengambilan data sekunder dilakukan juga di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2010 meliputi data produksi hasil tangkapan ikan peperek yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dan upaya penangkapan berupa unit alat tangkap bagan selama enam tahun ( ) serta keadaan umum dan kondisi perikanan peperek di Teluk Palabuhanratu. Aspek pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan data panjang total. Kelompok ukuran dipisahkan dengan metode NORMSEP, koefisien pertumbuhan (k) dan panjang asimtotik (L ) diduga dengan metode plot Ford Walford, dan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) serta laju mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang, sedangkan laju mortalitas penangkapan diduga dengan rumus F=Z-M serta laju eksploitasi diduga dengan rumus E=F/Z. Untuk pendugaan analisis bioekonomi sumberdaya ikan peperek dilakukan dengan menggunakan metode Gordon Schaefer. Sebaran ukuran panjang ikan peperek berada pada selang mm sampai mm. Pola pertumbuhan ikan peperek di Teluk Palabuhanratu adalah allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (k) ikan peperek sebesar 1,40 per tahun dengan panjang asimtotik (L ) sebesar 131,78 mm dan umur teoritis (t 0 ) sebesar - 0,87 tahun sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan von Bertalanffy untuk ikan peperek adalah Lt = 131,78 (1-e [-1,40(t + 0,87)] ). Laju mortalitas total (Z) ikan peperek sebesar 3,02 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,60 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 2,42 per tahun sehingga diperoleh laju eksploitasi 0,80, dimana nilai laju eksploitasi ini telah melebihi laju eksploitasi optimum 0,5 (overexploited). Hasil analisis model stok ikan peperek mengikuti model bioekonomi Gordon Schaefer dengan hasil tangkapan dan upaya tangkapan sebaiknya tidak melebihi iii

4 nilai MEY dan f mey sebesar 233,9626 ton dan 122 unit per tahun sehingga memperoleh rente maksimum sebesar Rp per tahun. Nilai MSY diperoleh 234,0333 ton dan 124 unit per tahun dengan rente Rp per tahun. Tingkat produksi pada kondisi Open Access adalah 15,9888 ton per tahun dan effort sebesar 243 unit per tahun dengan nilai rente yang didapatkan Rp. 0 per tahun. Pada kondisi aktual, produksi tangkapan sebesar 172,2324 ton per tahun dan effort sebesar 158 unit per tahun dengan nilai rente sebesar Rp ,6 per tahun. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dapat diketahui bahwa stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu telah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) yaitu growth overfishing dan economic overfishing. Rencana pengelolaan yang disarankan berdasarkan pendekatan model bioekonomi Gordon Schaefer dengan hasil tangkapan dan upaya tangkapan sebaiknya tidak melebihi nilai MEY dan f mey sebesar 233,9626 ton dan 122 unit per tahun, pengaturan ukuran mata jaring, dan pengaturan musim tangkapan. iv

5 DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT AFIFAH HAZRINA C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi Nama N I M Program Studi : Dinamika Stok Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat : Afifah Hazrina : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Ir. Rahmat Kurnia, M.Si Ir. Zairion, M.Sc NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 3 Agustus 2010

7 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Dinamika Stok Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis selama tiga bulan pada Maret hingga Mei 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Achmad Fachrudin, MS selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku wakil komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. 3. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB). 4. Ibu Imas dari PPN Palabuhanratu dan Pak Asep atas segala bantuan dan kerjasamanya. 5. Keluarga tercinta; Papa, Mama, dan adik-adik ku tersayang (Abdurrobi Hanifa dan Muhammad Fadhlurrohman) atas doa, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan semangatnya. 6. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 7. Luly Nurul Fadhilah dan Dinda Zakiyah Hanum selaku partner penelitian, teman-teman seperjuangan MSP 43 (Icut, Kaka, Putri), Chika (roommate), serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 22 Oktober 1989 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak S. Budi Prayitno dan Ibu Adelerina. Pendidikan formal ditempuh di TK Al Muhadjirin (1995), SDN 01 Bekasi (2000), SLTPN 2 Bekasi (2003), dan SMAN 1 Bekasi (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB. Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Avertebrata (2008/2009) dan Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Perikanan (2008/2009). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan sebagai anggota divisi KP2K Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan periode 2007/2008. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Dinamika Stok Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek Klasifikasi dan morfologi Jenis jenis ikan peperek Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Distribusi dan migrasi Makanan dan kebiasaan makan Waktu dan musim pemijahan Pertumbuhan Alat Tangkap Ikan Peperek Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pengkajian Stok Ikan Maximum Economic Yield (MEY) Pengelolaan Perikanan METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data Pengumpulan data primer Pengumpulan data sekunder Analisis Data Hubungan panjang dan bobot Distribusi Frekuensi Panjang Identifikasi Kelompok Ukuran Plot Ford Walford (L, K) dan t Mortalitas dan Laju Eksploitasi Analisis Bioekonomi HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu Kondisi Perikanan Peperek di Palabuhanratu Hubungan Panjang dan Bobot Sebaran Ukuran Panjang Parameter Pertumbuhan xii xiii xiv

11 4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Model Bioekonomi Ikan Peperek Implikasi Untuk Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data upaya penangkapan (unit) dan produksi ikan peperek (kg) di Teluk Palabuhanratu tahun Formula perhitungan pengelolaan ikan peperek Hubungan panjang dan bobot ikan peperek di Palabuhanratu Sebaran kelompok ukuran ikan peperek di Palabuhanratu Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy (K, L, t 0 ) ikan peperek di Palabuhanratu (Maret-Mei 2010) Parameter pertumbuhan ikan peperek (Leiognathus equulus) dari beberapa hasil penelitian Laju mortalitas dan eksploitasi ikan peperek Hasil analisis parameter bioekonomi dengan model Gordon Schaefer xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan Peperek (Leiognathus spp.) Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Peta distribusi ikan peperek di dunia Alat tangkap bagan apung Grafik konsep MEY dalam model Gordon Schaefer Peta lokasi penelitian Skema pengambilan contoh Komposisi hasil tangkapan bagan Hubungan panjang dan bobot ikan peperek Kelompok ukuran panjang ikan peperek Kurva pertumbuhan ikan peperek Hubungan upaya penangkapan dan hasil tangkapan (produksi) Grafik bioekonomi ikan peperek di Teluk Palabuhanratu dengan pendekatan model Gordon Schaefer xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat yang digunakan Metode pengukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh Kuesioner nelayan ikan peperek Rata-rata biaya penangkapan ikan peperek per trip (Rupiah) di Teluk Palabuhanratu Kuisioner harga ikan peperek Data ikan peperek setiap pengambilan contoh di PPN Palabuhanratu Hubungan panjang dan bobot ikan peperek setiap pengambilan contoh Sebaran ukuran panjang selama pengamatan Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot Sebaran frekuensi panjang ikan peperek Hasil analisis metode NORMSEP dengan Program FISAT II Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) Analisis laju mortalitas total (Z) dengan metode Jones dan van Zalinge dengan bantuan program Mortality Estimation, FISAT II Perhitungan bioekonomi sumberdaya ikan peperek dengan menggunakan model Gordon Shaefer xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Wewengkang (2002), Teluk Palabuhanratu yang terletak di Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi penyediaan ikan. Perairan Teluk Palabuhanratu terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi Bujur Timur (BT) dan Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayahnya ± Ha. Produksi ikan yang didaratkan mulai dari tahun terbatas pada cakalang (Katsuwonus pelamis), lisong (Auxis rochei), tuna abu-abu (Thunus tonggol), banyar (Rastrelliger kanagurta), albakor (Thunnus alalunga), yellowfin tuna (Thunnus albacores), eteman (Mene maculata), tembang (Sardinella sp.), layur (Trichiurus sp.), layang (Decapterus sp.), peperek (Leiognathus spp.), dan teri (Stolephorus commersonii) (Ditjen Tangkap-DKP 2009). Salah satu dari ikan dominan yang ditangkap di Palabuhanratu adalah ikan peperek. Ikan demersal ekonomis penting yang paling umum antara lain adalah kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur, dan peperek. Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik yakni akses terbuka (open access) yang memberikan sebuah pemikiran bahwa setiap orang atau individu memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property). Oleh karena itu, maka semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut sesuai dengan kemampuan masing-masing hingga nilai rente dari sumberdaya terbagi habis. Sebaliknya tidak satupun pihak yang menjaga kelestariannya. Setiap pihak akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan (Fauzi 2006). Produksi perikanan sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan, sementara penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata 7,78% per tahun. Sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia yang melimpah merupakan potensi bagi peningkatan kesejahteraan anak bangsa. Untuk itu, segala bentuk pemanfaatannya harus selalu mengedepankan prinsip keberlanjutan agar ketersediaan sumberdaya tersebut dapat dijaga kelestariannya dan menjadi sumber bagi penghidupan masyarakat Indonesia secara turun temurun. Dengan kata lain, dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan haruslah memberikan manfaat ekonomi

16 2 yang optimal dengan tetap memperhatikan faktor biologi sumberdaya ikan sehingga dalam aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan akan memberikan keuntungan yang maksimal bagi kesejahteraan nelayan dan lestari secara biologi. Sifat sumberdaya perairan yang terbatas dan dapat rusak maka diperlukan adanya pengelolaan yang berkelanjutan untuk menjaga ketersediaan stok sumberdaya tersebut. Mengingat akan pentingnya sumberdaya ikan bagi kebutuhan manusia baik untuk pemenuhan gizi maupun kegiatan perekonomian, mendorong manusia untuk melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan, termasuk ikan peperek. Ikan peperek di Teluk Palabuhanratu cukup potensial dalam kegiatan penangkapan. Ikan ini dijadikan bahan konsumsi oleh masyarakat sekitar perairan Selatan Jawa karena harganya yang relatif stabil. Kegiatan tersebut dapat mempengaruhi dan mengubah status stok sumberdaya ikan peperek terutama di perairan Teluk Palabuhanratu. Hal inilah yang mendorong perlunya pengkajian dinamika stok sebagai input pengelolaan sumberdaya ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu. Selain itu, perlu dilakukan juga kajian bioekonomi yakni kajian yang memadukan dinamika biologi perikanan dan faktor ekonomi perikanan tangkap Perumusan Masalah Kegiatan penangkapan ikan peperek (Leiognathus spp.) di daerah Palabuhanratu mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Sejak tahun 2004 hingga saat ini, ikan peperek (Leiognathus spp.) menjadi salah satu ikan dominan yang tertangkap di daerah perairan Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan data statistik perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun , diketahui bahwa hasil tangkapan ikan peperek berfluktuasi. Produksi ikan peperek pada periode tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 85,52% dan nilai produksinya menurun sebesar 76,23% dengan harga rata-rata senilai Rp 3.485,-/kg. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan penangkapan yang dilakukan yang tentunya berakibat pada hasil tangkapan para nelayan. Ikan peperek banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap angkutan bagan (raft lift net). Selain itu, juga digunakan alat tangkap payang dan purse seine. Berdasarkan data statistik perikanan PPN Palabuhanratu tahun , diketahui bahwa alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan peperek secara umum meningkat jumlahnya (Tabel

17 3 1). Data tersebut menunjukkan bahwa tekanan penangkapan terhadap ikan peperek terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi hasil tangkapan sumberdaya tersebut yang diperoleh nelayan dari perairan Teluk Palabuhanratu dan tentunya akan berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh. Tabel 1. Data upaya penangkapan (unit) dan produksi ikan peperek (ton) di Teluk Palabuhanratu tahun Tahun Produksi (Ton) Effort (Unit) , , , ,164 44,484 29,917 Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010) Adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan peperek disertai dengan volume produksi yang meningkat dapat mengakibatkan terancamnya kelestarian ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu. Untuk mengetahui kondisi aktual sumberdaya ini maka perlu dilakukan suatu studi dinamika stok dan bioekonomi terhadap sumberdaya tersebut. Kajian bioekonomi akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengontrol tingkat eksploitasi yang berlebih dengan upaya pemanfaatan yang memberikan keuntungan yang optimal Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika stok ikan peperek melalui pendugaan model dan pola pertumbuhan, mortalitas total serta laju eksploitasi. Selain itu, untuk menentukan kondisi sumberdaya melalui upaya atau effort optimum (f mey ), upaya pada kondisi MSY (f msy ), tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), dan MEY (Maximum Economic Yield) dalam kegiatan penangkapan sumberdaya ikan peperek guna pengelolaan di perairan Teluk Palabuhanratu.

18 4 Studi yang akan dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana pola pertumbuhan dan tingkat mortalitas ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu. Selain itu, studi ini diharapkan juga dapat menduga nilai potensi lestari (MSY), nilai potensi maksimum secara ekonomi (MEY) serta upaya atau effort optimum dalam kegiatan penangkapan yang dapat digunakan sebagai input pengelolaan sumberdaya ikan peperek secara berkelanjutan di perairan Teluk Palabuhanratu.

19 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Divisi : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus Spesies : Leiognathus spp. Nama Indonesia : Pepetek, petek, peperek, kopeh, maco, pettah, dodok, dan gampar Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id Ikan peperek memiliki morfologi tubuh yaitu sirip punggung memiliki delapan jari-jari keras diikuti oleh jari-jari lemah (D.VIII.15-16), sirip ekor memiliki

20 6 tiga jari-jari keras diikuti oleh jari-jari lemah (A.III ). Panjang kepala 1/3 panjang total, panjang tubuh kurang dari tiga kali tinggi, tinggi badan 1/1,7 tinggi kepala, diameter mata 1/2,5 panjang kepala. Badan agak lebar, pipih, mulut lurus, bila ditarik ke depan membentuk corong serong ke bawah. Mempunyai gigi kecil pada rahang, sisik-sisik pada garis linea literalis adalah Bentuk linea literalis lebih cekung bila dibandingkan dengan punggung dan berakhir di pangkal ekor, jari-jari keras sirip punggung kuat, jari yang kedua kurang dari setengah tinggi badan (de Beaufort 1931 in Badrudin 1988). Warna badan putih keperakan, sisik pada garis rusuk kuning cerah. Pada ikan-ikan yang masih muda terdapat garis-garis menggelombang melintang pada bagian atas badan. Ukuran ikan ini dapat mencapai panjang total 140 mm, umumnya adalah mm (Djajadiredja 1979). Menurut Pauly (1977) bahwa umumnya ukuran ikan peperek untuk penangkapan komersial adalah mm. Di pantai utara Jawa, panjang maksimal mencapai 150 mm dan di Selat Malaka pada bulan Oktober 1985 ditemukan kisaran panjang mencapai 5,5-14 cm (Rusmadji dan Badrudin 1987 in Saadah 2000). Pada kawasan Indo-Pasifik dapat dijumpai sekitar 30 jenis spesies peperek, dan 20 diantaranya terdapat di perairan Indonesia. Ikan peperek ini umumnya digolongkan ke dalam tiga genus yakni Leiognathus, Gazza, dan Secutor. Ketiga genus ini dapat dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza memiliki gigi taring, sedangkan yang lainnya hanya gigi kecil dan mulut yang dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus). Bentuk mulut dan gigi disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Leiognathus dengan mulut yang dapat dijulurkan menghadap ke bawah cocok untuk kebiasaannya mencari makanan di dasar laut berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil (Nontji 2002). Menurut Pauly (1977), ikan peperek memiliki ciri utama yaitu dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan yang disebut dengan bioluminescence. Cahaya dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difuse yang cenderung memecah bayangan dirinya menjadi tak utuh. Akibatnya pemangsa potensial tidak dapat melihat nyata ikan ini sehingga dapat terhindar dari perhatian pemangsa tersebut.

21 Jenis-jenis ikan peperek Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Leiognathus elongatus (Gambar 2) memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan tetapi bagian pipi dan dada tertutup oleh sisik-sisik kecil, terdapat nuchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah. Warna badan keperak-perakan, bagian belakang dengan warna hitam tidak tetap dan gelap. Sirip punggung bagian depan memiliki warna kuning berbentuk pita mendatar dan ujung bagian belakang berwarna orange. Sirip dubur antara tulang keras kedua dan ketiga berwarna kuning seperti juga pada ujung bagian depan sirip dorsal. Ikan jantan memiliki garis-garis biru membujur pada perut (FAO 1974). Gambar 2. Leiognathus elongatus (Günther, 1874) Sumber : Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Ikan ini berukuran lebar, badan tinggi pipih dengan bagian belakang membentuk sudut (Gambar 3). Kepala runcing ke depan dan terdapat nuchal spine pada punggung. Mulut dapat disembulkan ke bawah dan sirip dada memanjang sampai atau mendekati sirip dubur. Badan berwarna keperak-perakan, agak redup, tipis, dan memiliki garis-garis vertikal pada bagian belakang. Terdapat warna coklat kecil berbentuk sadel/pelana pada ekor bagian atas. Sirip punggung tidak berwarna (transparan), sirip dada agak gelap dan sirip dubur kekuning-kuningan (FAO 1974).

22 8 Gambar 3. Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Sumber : Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Jenis ikan ini memiliki badan yang pipih dan agak tinggi, kepala runcing ke depan dan terdapat nuchal spine pada bagian punggung (Gambar 4). Mulut pendek, lebih pendek dari diameter lingkaran mata dan mulutnya dapat disembulkan ke bawah. Panjang sirip perut tidak sampai ke sirip dubur. Warna dari badan keperakperakan, terdapat linea lateralis berawal dari sirip dada hingga ujung sirip ekor. Sirip dubur berwarna kuning cerah terkadang terdapat titik-titik hitam pada bagian jari keras ke tiga dari sirip punggung (FAO 1974). Gambar 4. Leiognathus splendens (Cuvier, 1829) Sumber : Distribusi dan migrasi Penyebaran ikan peperek di dunia meliputi kawasan Indo Pasifik Barat, Timur London, Laut Merah, Afrika Selatan, Teluk Benggala, sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika

23 9 Timur (Comors, Seychelles, Madagaskar, dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, dan Selatan Australia (Gambar 5). Selain itu, ikan peperek banyak terdapat di perairan Utara Jawa. Ikan ini juga tersebar di bagian timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, Teluk Benggala, sepanjang pantai India, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Philipina sampai utara Australia (Ditjen Perikanan 1993 in Saadah 2000). Menurut Pauly (1977), ikan peperek yang hidup di perairan Indonesia, Kalimantan, dan perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara m dan hidup berkelompok pada kedalaman m. Gambar 5. Peta distribusi ikan peperek di dunia Sumber : Laevastu & Hayes (1981) mengatakan bahwa banyak ikan melakukan ruaya menuju ke arah kutub selama musim panas dan menuju daerah ekuator di musim dingin. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pengaruh secara langsung dari suhu atau pengaruh suhu secara tidak langsung terhadap keberadaan makanan. Ikan peperek biasanya hidup di dasar perairan yang dangkal dan membentuk gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan trawl, trammel net ataupun bagan dapat memperoleh ikan peperek dalam jumlah yang sangat besar. Karena ukurannya yang relatif kecil di beberapa negara Asia seperti Thailand ikan ini hanya dimanfaatkan untuk tepung ikan, ikan asin, dan makanan bebek. Jenis ikan peperek yang banyak dikonsumsi yakni spesies Leiognathus equulus karena ukurannya yang lebih besar dari 15 cm bahkan mencapai 26 cm (Beck & Sudradjat 1978).

24 10 Menurut Beck & Sudradjat (1978), ikan peperek hidup bergerombol di dasar perairan dangkal berada pada kedalaman antara 5-60 m. Nilai tangkapan tertinggi diperoleh pada kedalaman m, dengan rata-rata maksimum pada kedalaman 15 m di pantai Utara Jawa. Nilai tangkapan tertinggi ikan peperek terdapat di dasar lumpur dan lumpur pasiran, akan tetapi ikan ini dapat hidup di substrat pasir, coral, dan gravel (Widodo 1980 in Saadah 2000). Jenis ikan demersal memiliki daya tahan yang rendah terhadap penangkapan terutama disebabkan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktifitas gerak yang relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan meningkat maka mortalitas akibat penangkapan akan meningkat juga (Badrudin 1988) Makanan dan kebiasaan makan Makanan ikan peperek umumnya adalah organisme bentik yang terdiri atas hewan invertebrata dan tumbuhan. Organisme tersebut meliputi foraminifera, polychaeta, ostacoda, decapoda, diatom, zooplankton seperti copepoda dan telurtelur ikan (Pauly 1977). Dalam rantai makanan, fitoplankton sebagai (primary producer) akan dimakan oleh zooplankton sebagai primary consumer selanjutnya ikan peperek akan memakan zooplankton. Ikan peperek sebagai pemakan kedua (second consumer) akan dimangsa oleh pemakan selanjutnya seperti ikan layur. Panjang pendeknya rantai makanan bergantung kepada macam, ukuran, umur ikan (Effendie 1997). Menurut Lagler (1970), jenis makanan yang dimakan oleh suatu jenis ikan biasanya tergantung pada umur ikan, tempat, dan musim. Adapun organ tubuh yang berperan dalam pengambilan makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung, dan usus. Ikan peperek memiliki bentuk mulut dan gigi yang disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Pada ikan peperek mulut dapat dijulurkan menghadap ke bawah, cocok dengan kebiasaan mencari makan di dasar laut berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil (Nontji 2002). Lisnawati (2004) mengatakan bahwa ikan peperek merupakan ikan omnivora yang memiliki variasi makanan yang besar (Euryphagic). Dalam memanfaatkan makanan, ikan peperek jantan lebih bersifat selektif apabila dibandingkan dengan ikan peperek betina. Ikan peperek jantan dan betina memiliki peluang kompetisi yang cukup besar dalam

25 11 memanfaatkan sumberdaya makanan. Menurut Pauly (1977), ikan peperek memiliki rasio panjang usus dengan panjang baku berkisar antara 2,64-3, Waktu dan musim pemijahan Menurut Chaerrudin (1977) in Saadah (2000), ikan peperek pada bulan Maret, ovarinya masih dalam tahap perkembangan. Ovari dengan telur yang sudah masak terdapat pada bulan April dan Mei serta pada bulan Juli, Agustus, dan September sedangkan bulan Mei dan November ovari sudah mulai kosong. Dari keadaan tersebut diduga masa pemijahan terjadi pada bulan Maret dan Juli. Pemijahan pertama berlangsung sekitar 3 bulan sedangkan pemijahan kedua berlangsung 3 bulan juga. Ikan peperek termasuk ikan yang partial spawner. Pengaruh lingkungan yang terjadi sangat memiliki pengaruh pada ikan ataupun stok terutama mempengaruhi musim pemijahan yang sedang berlangsung dan perkembangan larva atau telur dimana rekruitmen dapat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang anomali. Perubahan suhu yang anomali sepanjang musim pemijahan dapat menunda terjadinya pemijahan dan menyebabkan perubahan tempat untuk memijah (Laevastu & Hayes 1981). Ikan pelagis dan demersal melakukan migrasi musiman secara horizontal biasanya ke perairan yang dangkal atau mendekat ke arah permukaan selama musim panas dan menuju ke permukaan yang dalam selama terjadinya musim dingin. Menurut Saadah (2000), diduga ikan peperek memijah pada bulan Mei. Ikan peperek mencapai ukuran pertama kali matang gonad pada panjang 9 cm (Pauly 1977) Pertumbuhan Menurut Effendie (1997), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah sebagai pertambahan jumlah. Sesudah masa larva berakhir bentuk ikan akan hampir serupa dengan bentuk induknya. Pada umumnya, perubahan tersebut hanya perubahan kecil seperti panjang sirip dan kemontokan tubuh. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua macam yakni faktor dalam dan faktor luar. Faktorfaktor tersebut ada yang dapat dikontrol dan bahkan ada yang tidak dapat dikontrol.

26 12 Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1997). Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya apabila ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b 3) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pola pertumbuhan allometrik positif bila b>3, yang menunjukkan bahwa pertambahan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pola pertumbuhan allometrik negatif apabila nilai b<3, hal ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 1997). Menurut King (1995) dalam sudut pandang perikanan pertumbuhan sebagaimana rekrutmen mempengaruhi bobot tangkapan berkelanjutan yang dapat diambil dari suatu stok ikan. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan pertumbuhan von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre dan Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang ratarata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan

27 13 menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999). Parameter-parameter yang digunakan dalam menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang infinitif (L ) yang merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t 0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999) Alat Tangkap Ikan Peperek Umumnya ikan peperek di Palabuhanratu tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan (raft lift net) dan payang. Ikan peperek di Palabuhanratu dominan tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan (Gambar 6). Jaring angkat adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring persegi panjang atau bujur sangkar yang direntangkan atau dibentangkan dengan menggunakan kerangka dari batang kayu atau bambu (bingkai kantong jaring) sehingga jaring angkat membentuk kantong. Alat tangkap ini memiliki cara pengoperasian yang dilakukan dengan menurunkan dan mengangkatnya secara vertikal. Alat ini memiliki jaring yang terbuat dari nilon yang menyerupai kelambu, ukuran mata jaringnya relatif kecil yaitu 0,5 cm. Bentuk alat ini menyerupai kotak, dalam pengoperasiannya dapat menggunakan lampu atau umpan sebagai daya tarik ikan. Jaring ini dioperasikan dari perahu, rakit, bangunan tetap atau dengan tangan manusia. Alat tangkap ini memiliki ukuran mesh size yang sangat kecil dan efektif untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil. Kecenderungan jaring angkat bersifat destruktif dan tidak selektif. Gambar 6. Alat tangkap bagan apung Sumber. Dokumentasi pribadi

28 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Beberapa penyebab kematian terhadap suatu populasi ikan adalah melalui penangkapan, pemangsaan, penyakit, dan sebagainya. Beberapa penyebab kematian tersebut digolongkan menjadi dua macam yakni mortalitas penangkapan dan mortalitas alami (Effendie 1997). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Penyebab terbesar yang menyebabkan banyak kematian pada ikan adalah adanya predasi. Mortalitas dapat disebabkan oleh adanya perubahan suhu yang abnormal dan cepat walaupun dimana suhu cenderung berada jauh di atas titik beku dan aklimatisasi suhu pada spesies ikan relatif tinggi. Dinamika lapisan minimum oksigen di wilayah tropis dan upwelling dapat menyebabkan mortalitas massa. Banyak faktor yang menyebabkan kematian pada ikan seperti misalnya penyakit, stress saat pemijahan, dan sebagainya (Laevastu & Hayes 1981). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu, laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap lalu dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0, Pengkajian Stok Ikan Stok merupakan kelompok spesies yang terpisah yang menunjukkan sedikit percampuran dengan kelompok sekelilingnya. Sifat utamanya yakni bahwa

29 15 parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan untuk seluruh wilayah sebaran stok tersebut sehingga kita dapat menggunakannya untuk kajian stok. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas menggambarkan suatu laju kematian yakni jumlah kematian per unit waktu (Sparre & Venema 1999). Menurut Gulland (1983), sifat utama suatu stok yakni parameter pertumbuhan dan mortalitas tetap konstan di seluruh wilayah penyebarannya. Perikanan didasarkan pada stok spesies liar yang hidup di lingkungan yang alami. Stok ini tidak dapat dikontrol secara langsung dengan cara yang tepat oleh manusia untuk mengontrol stok domestiknya. Namun demikian stok suatu spesies ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan untuk meningkatkan suatu taraf dan kesuksesan perikanan bergantung pada keadaan stok dari ikan itu sendiri. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekrutmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau pesaing (kompetitor). Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering diikuti oleh lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratakan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan komposisi spesies ikan (ekologi perikanan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998) Maximum Economic Yield (MEY) Gordon memasukkan kajian ekonomi terhadap model Schaefer untuk menjelaskan hubungan antara sumberdaya ikan dengan usaha penangkapan ikan. Interaksi biologi-ekonomi ini dikenal sebagai model Gordon-Schaefer. Konsep MEY (maximum economic yield) yang mendeskripsikan tingkat effort yang menghasilkan rente sumberdaya maksimum (yaitu selisih terbesar antara penerimaan

30 16 dengan biaya). Konsep MEY ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu target reference point pengelolaan sumberdaya seperti disajikan pada Gambar 7 ( Gambar 7. Grafik konsep MEY dalam model Gordon Schaefer Sumber : Jumlah orang yang memiliki minat (interest) untuk memaksimumkan keuntungan sangat jarang bila dibandingkan dengan mereka yang ingin meningkatkan hasil tangkapan. Kenyataannya orang akan lebih mudah diajak untuk menangkap lebih banyak ikan dibandingkan mengejar nilai-nilai ekonomi yang abstrak. Beberapa keuntungan penggunaan model MEY yakni model ini sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis costs and benefits bagi nelayan komersial, rekreasional, para pengolah (processors), konsumen, dan lainnya yang kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan. Selain itu, konsep ini dapat diaplikasikan terhadap setiap model biologi dan berbeda dengan konsep MSY, dimana MEY tidak berdasarkan konsep ekuilibrium. Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai tujuan pengelolaan yaitu model ini bergantung pada harga ikan yang tertangkap serta satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun, dari negara ke negara (Widodo & Suadi 2006).

31 Pengelolaan Perikanan Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan perlu diarahkan pada pengaturan yang lebih teratur. Hal tersebut didasarkan oleh adanya fakta tekanan terhadap penangkapan yang berlebihan. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki sumberdaya perikanan (Effendie 1997). Menurut King & Mc Ilgorn (1989) in Effendie (1997), tujuan utama pengelolaan sumberdaya hayati perikanan ditinjau dari segi biologi adalah konservasi stok ikan untuk menghidarkan kelebihan tangkap. Konsep MSY (Maximum Sustainable Yield) yakni hasil tangkap maksimum yang lestari dianjurkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan. MSY dapat digunakan sebagai acuan besarnya stok pada tingkat usaha yang didapat dari sumbernya yang sedang dieksploitasi. Menurut King (1995), mempertahankan ukuran stok yang stabil atau minimum memiliki tujuan dalam meningkatkan kestabilan hasil tangkapan dari tahun ke tahun. Regulasi perikanan harus dapat diterapkan dalam dunia perikanan untuk mendukung strategi yang dibuat untuk mencapai standar secara objektif. Pengaturan yang dibuat berisikan tentang bagaimana untuk mengurangi upaya penangkapan efektif (input controls) dan membatasi hasil tangkapan (output controls) dalam standar batasan yang ditetapkan.

32 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 8). Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan peperek yang ditangkap di Teluk Palabuhanratu dan didaratkan di PPN Palabuhanratu dilakukan selama tiga bulan sejak tanggal 10 Maret sampai 19 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Pengambilan data sekunder dilakukan juga di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei Gambar 8. Peta lokasi penelitian 3.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengambilan contoh secara acak terhadap jenis ikan peperek yang hanya tertangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dan di daratkan di PPN Palabuhanratu. Pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari 3 kapal yang mendaratkan ikan peperek diambil masingmasing satu keranjang untuk diambil ± 100 ikan contoh (Gambar 9). Pengambilan ikan contoh dilakukan selama tiga bulan dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Metode yang digunakan adalah pengukuran panjang dan bobot untuk

33 19 menduga pertumbuhan populasi dan pola pertumbuhan individu ikan peperek di Palabuhanratu. Panjang ikan yang diukur adalah panjang total yakni panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendie 1979). Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan penggaris panjang 30 cm dengan skala terkecil 1 mm. Sedangkan bobot ikan peperek yang ditimbang adalah bobot basah total yakni bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. PPN Palabuhanratu Alat tangkap bagan apung Kapal 1 Kapal 2 Kapal 3 n keranjang n keranjang n keranjang ± 100 contoh ikan peperek Pengukuran panjang dan bobot Gambar 9. Skema pengambilan contoh Selanjutnya pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara observasi serta wawancara dengan nelayan ikan peperek di Palabuhanratu. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara berupa kegiatan operasi penangkapan, daerah

34 20 penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Selain itu, dilakukan pengumpulan data mengenai harga ikan peperek di lapak/pasar ikan Palabuhanratu untuk menduga model bioekonomi perikanan peperek di Palabuhanratu Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder meliputi data produksi hasil tangkapan ikan peperek yang di daratkan di PPN Palabuhanratu dan unit upaya penangkapan (effort) selama enam tahun ( ) serta kondisi umum perairan Teluk Palabuhanratu untuk menduga model stok dan potensi sumberdaya ikan peperek di perairan tersebut. Pada penelitian ini digunakan jumlah alat tangkap bagan sebagai effort atau upaya penangkapan Analisis Data Hubungan panjang dan bobot Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot dapat mengikuti hukum kubik dimana bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun hubungannya sebenarnya pada ikan tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Oleh karena itu, hubungan panjang bobot ikan peperek menggunakan rumus yang umum yaitu (Effendie 1997) : Keterangan : W : Bobot (gram) L : Panjang (cm) a : Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu y) b : Penduga pola pertumbuhan panjang-bobot Untuk mendapatkan persamaan linear atau persamaan garis lurus yaitu dengan cara mentransformasikan persamaan di atas ke dalam bentuk logaritma seperti dibawah ini :

35 21 Untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b maka dilakukan analisis regresi dengan menggunakan nilai Ln W sebagai y dan Ln L sebagai x maka akan didapatkan persamaan sebagai berikut : Uji-t dilakukan untuk menguji b = 3 atau b 3 dengan hipotesis sebagai berikut : H 0 : b = 3, isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot) H 1 : b 3, allometrik (pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan bobot) Apabila b>3 dikatakan allometrik positif (pertambahan bobot lebih dominan daripada pertambahan panjang) dan dikatakan allometrik negatif jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot). Keterangan : b 1 : Nilai b (dari analisis regresi hubungan panjang bobot) b 0 : 3 Sb 1 : Simpangan koefisien b Setelah didapatkan nilai t hit dari perhitungan diatas lalu bandingkan dengan nilai t tab pada selang kepercayaan 95% kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil adalah : t hit > t tab : tolak H 0 (Hipotesis nol) t hit < t tab : gagal tolak H 0 (Hipotesis nol) Distribusi Frekuensi Panjang Data panjang total dari ikan peperek yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dan di daratkan di PPN Palabuhanratu merupakan data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang ini. Tahap untuk menganalisis data frekuensi panjang ikan yaitu : Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan Menentukan lebar selang kelas; dan

36 22 Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Dari grafik tersebut dapat terlihat pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort Identifikasi Kelompok Ukuran Metode Bhattacharya merupakan metode yang berguna untuk pemisahan suatu distribusi komposit ke dalam distribusi distribusi normal yang terpisah. Metode ini pada dasarnya terdiri dari pemisahan sejumlah distribusi normal, masing-masing mewakili suatu kohort ikan, dari distribusi keseluruhan, dimulai dari sebelah kiri dari distribusi total. Begitu distribusi normal yang pertama telah ditentukan, ia disingkirkan dari distribusi total dan prosedur yang sama diulangi selama hal ini masih mungkin dilakukan untuk memisahkan distribusi-distribusi normal dari distribusi total (Sparre & Venema 1999). Keseluruhan proses dapat dibagi ke dalam tingkatan sebagai berikut : Langkah 1 : Menentukan suatu kemiringan yang tidak terkontaminasi (bersih) dari suatu distribusi normal pada sisi kiri dari distribusi total. Langkah 2 : Menentukan distribusi normal dari kohort yang pertama dengan menggunakan suatu transformasi ke dalam suatu garis lurus. Langkah 3 : Menentukan jumlah ikan per grup panjang yang menjadi bagian dari kohort pertama dan kemudian kurangkan mereka dari distribusi total. Langkah 4 : Mengulangi proses ini untuk normal distribusi berikutnya dari kiri, sampai tidak lagi dapat diketemukan distribusi normal yang bersih. Langkah 5 : Menghubungkan nilai rata-rata panjang dari kohort - kohort yang ditentukan dalam langkah 1 sampai 4 terhadap perbedaan umur antara kohort-kohort tersebut.

37 Plot Ford Walford (L, K) dan t 0 Plot Ford Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995). Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy : Keterangan : Lt : Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu) L : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) K : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) : umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol t 0 Penurunan plot Ford Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t 0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai berikut: (1) Setelah L t+1 disubtitusikan pada persamaan (1) maka didapatkan persamaan baru seperti berikut : (2) Persamaan (2) disubtitusikan ke dalam persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : (3) (4)

38 24 L t dan L t+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984). Persamaan (4) merupakan persamaan linear dimana jika L t merupakan sumbu x dan L t+1 merupakan sumbu y diplotkan satu sama lain, maka garis lurus yang terbentuk akan memiliki garis kemiringan (slope) (b) = e (-k) dan titik potong dengan absis sama dengan L [1- e -Kt ]. Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) sebagai berikut : Log (-t 0 ) = 0,3922 0,2752 (Log L ) 1,038 (Log K) Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan persamaan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang (Metode Jones dan van Zalinge) (Sparre & Venema 1999) : Dimana Z adalah laju mortalitas alami; K adalah koefisien pertumbuhan. Nilai Z di dapatkan dari hasil perhitungan dengan metode Jones anda van Zalinge yang diperoleh melalui bantuan program Mortality estimation yang terintegrasi dalam program software FISAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool). Untuk menduga mortalitas alami (M) digunakan rumus hubungan linear empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : Keterangan : M : Mortalitas alami L : Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy K : Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy T : Rata-rata suhu permukaan air ( 0 C)

39 25 Laju mortalitas penangkapan untuk periode waktu dapat ditentukan melalui rumus sebagai berikut : F = Z M Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : Keterangan : F : Mortalitas penangkapan Z : Mortalitas total M : Mortalitas alami Analisis Bioekonomi Analisis bioekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pertimbangan biologi dan ekonomi. Dalam pendekatan bioekonomi, tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya perikanan. Optimalisasi bioekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti model Gordon-Schaefer (Fauzi 2006). Analisis bioteknik digunakan untuk melihat hubungan parameter biologi dan parameter teknik penangkapan ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan peperek yaitu r, q, dan K, yang digunakan untuk menduga stok atau potensi sumberdaya ikan serta untuk mengetahui kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan. Untuk memperoleh nilai r, q, dan K dilakukan dengan menggunakan model Algoritma Fox.

40 26 Keterangan : Ut : CPUE pada tahun ke t q : Koefisien alat tangkap r : Laju pertumbuhan instrinsik E : Effort x : Biomassa dari stok yang diukur K : Daya dukung maksimum lingkungan Parameter ekonomi yang mempengaruhi model bioekonomi dalam perikanan tangkap adalah biaya penangkapan (c) dan harga hasil tangkapan (p). Biaya penangkapan dalam kajian bioekonomi model Gordon-Schaefer didasarkan pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan. Biaya penangkapan rata-rata diperoleh dari : Keterangan : c : Biaya penangkapan rata-rata (Rp) per hari per tahun ci : Biaya penangkapan responden ke-i n : Jumlah responden Harga ikan rata-rata diperoleh dengan rumus sebagai berikut : Keterangan : p : Harga rata-rata ikan peperek pi : Harga nominal ikan peperek responden ke-i n : Jumlah responden Salah satu fungsi pertumbuhan yang umum digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (Fauzi 2006). Pada kondisi dimana perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode (terjadi secara alami), model pertumbuhan logistik secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

41 27 (1) Keterangan : x r K : Perubahan stok ikan/ fungsi pertumbuhan stok ikan : Stok ikan : Laju pertumbuhan intrinsik ikan : Kapasitas daya dukung lingkungan Untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan dibutuhkan upaya atau effort. Aktivitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut : (2) Keterangan : h : produksi q : koefisien daya tangkap x : stok ikan E : Upaya (effort) Dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi maka fungsi perubahan stok ikan menjadi : (3) dalam kondisi keseimbangan dimana = 0 maka persamaan menjadi sebagai berikut : (4) dari persamaan (4) diperoleh nilai stok ikan (x) sebagai berikut :

42 28 Sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (5) ke dalam persamaan (2) diperoleh fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan yield effort curve sebagai berikut : (5) (6) Nilai E MSY diperoleh dengan menurunkan persamaan (6) terhadap E, atau, sehingga diperoleh nilai E MSY sebagai berikut : (7) Dengan mensubtitusikan persamaan, maka diperoleh nilai tingkat produksi yang dinotasikan sebagai berikut :

43 29 Sedangkan stok ikan pada tingkat MSY diperoleh dengan mensubtitusikan persamaan ke dalam persamaan (5), yang dapat dinotasikan sebagai berikut : Agar dapat digunakan untuk menetapkan tingkat upaya pemanfaatan maksimum lestari secara ekonomi perlu dilakukan pengkajian dari faktor ekonomi. Gordon-Schaefer menambahkan faktor ekonomi dengan memaksimumkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh merupakan selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi 2006) : Keterangan : π : rente sumberdaya perikanan p : harga ikan h : produksi /tangkapan lestari c : biaya per unit upaya E : upaya/effort (8) Dengan mensubtitusikan persamaan (7) ke dalam persamaan (8), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : dengan menurunkan persamaan diatas terhadap variabel input (E), dimana = 0 maka diperoleh nilai E MEY, yang secara matematis dinotasikan sebagai berikut :

44 30 (9) Dengan asumsi bahwa sistem dalam kondisi keseimbangan (lestari) dimana h = F(x), maka dengan mensubtitusikan persamaan (1) dan fungsi upaya h / qx dari persamaan (2) ke dalam persamaan (8) kemudian membuat fungsi turunannya atau = 0, maka diperoleh fungsi stok ikan (x) pada kondisi MEY : (10) Kemudian mensubtitusikan E MEY dan x MEY ke dalam persamaan (2) maka nilai h MEY dapat dinotasikan sebagai berikut :

45 31 (11) Tingkat upaya dalam kondisi open access (akses terbuka) dapat dilakukan dengan menghitung rente ekonomi yang hilang, dimana π = 0 maka : (12) Nilai produksi optimal (h OA ) pada kondisi open access dapat ditentukan dengan cara mensubtitusikan persamaan (12) ke dalam persamaan (1) maka : (13) Sedangkan tingkat upaya optimal (E OA ) pada kondisi open access ditentukan berdasarkan fungsi upaya dari persamaan (2) yaitu : (14)

46 32 Dengan diperolehnya nilai parameter biologi (r, q, dan k) dan parameter ekonomi (p dan c) maka dapat dilakukan pengelolaan sumberdaya ikan peperek melalui pendekatan bioekonomi seperti pada Tabel 2 (Fauzi 2006). Tabel 2. Formula perhitungan pengelolaan ikan peperek Variabel Biomass (x) Kondisi MEY MSY OA Catch (h) Effort (E) Rente Ekonomi (π)

47 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu Secara astronomis wilayah Sukabumi berada pada posisi º25 Lintang Selatan (LS) dan 106º49-107º00 Bujur Timur (BT). Teluk Palabuhanratu merupakan salah satu potensi wilayah pesisir dan laut yang dimiliki Kabupaten Sukabumi (Wahyudin 2004). Perairan Teluk Palabuhanratu terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 6º50-7º30 Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayahnya ± Ha (Wewengkang 2000). Satuan morfologi penyusun pantai Sukabumi terdiri dari perbukitan dan dataran. Perbukitan merupakan ciri utama pantai selatan dengan pantai terjal dan perbukitan bergelombang dengan kemiringan mencapai 40% dan disusun oleh sedimen tua (Wahyudin 2004). Karakteristik oseanografi Pantai Selatan Jawa Barat adalah berombak besar, batimetri laut dalam dan tinggi gelombang dapat mencapai lebih dari 3 meter. Arus Pantai Selatan Jawa Barat pada bulan Januari hingga Juni bergerak ke arah timur dan bulan Juli hingga Januari bergerak ke arah barat. Salinitas di perairan Palabuhanratu berkisar antara 32,33-35,96. Kisaran suhu di perairan Palabuhanratu antara C. Kondisi kualitas air perairan teluk Palabuhanratu tergolong cukup baik dilihat dari kecerahan dimana cahaya matahari dapat menembus hingga kedalaman 6 hingga 7 meter (Wahyudin 2004). Kondisi perairan tersebut memungkinkan untuk organisme akuatik seperti ikan peperek mampu hidup di perairan tersebut. Kondisi iklim tropis di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi umumnya dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Musim barat dimana angin bertiup dari arah timur ke barat yang berlangsung dari bulan Desember hingga Maret. Musim timur dimana angin bertiup dari arah barat ke timur yang berlangsung dari bulan Juni hingga September. Kondisi iklim itu tentunya mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan. Pada musim timur umumnya kondisi perairan tenang, angin serta gelombang tidak terlalu tinggi sehingga kegiatan penangkapan berlangsung cukup tinggi. Namun pada musim barat terjadi sebaliknya, kondisi cuaca dimana angin dan gelombang cukup tinggi mengakibatkan nelayan sulit untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan.

48 Kondisi Perikanan Peperek di Palabuhanratu Nelayan tradisonal yang menggunakan alat tangkap bagan (Raft Lift Net) sebagai alat tangkap utama serta menggunakan kapal motor, memiliki hasil tangkapan utamanya yakni ikan peperek (Leiognathus spp.), rebon (Mysis sp.), ikan layang (Decapterus sp.), ikan tembang (Sardinella sp.), ikan layur (Trichiurus sp.), ikan eteman (Mene maculata), ikan tongkol lisong (Auxis rochei), dan ikan teri (Stolephorus commersonii). Komposisi hasil tangkapan bagan berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu (2008) dapat dilihat seperti pada Gambar % 18% 9% 1% 1% 1% peperek rebon layang tembang layur eteman tongkol lisong teri 57% Gambar 10. Komposisi hasil tangkapan bagan Pada umumnya ikan peperek ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan dan payang. Menurut hasil wawancara yang dilakukan, ikan peperek banyak tertangkap oleh alat tangkap bagan. Wilayah penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bagan umumnya hanya beroperasi di Teluk Palabuhanratu. Ukuran mata jaring pada alat tangkap bagan berkisar antara 1-1,5 inchi. Ikan Peperek (Leiognathus spp.) termasuk ke dalam ikan dominan yang tertangkap di Palabuhanratu dengan produksi total tahun 2009 sebesar 29,917 ton (PPN Palabuhanratu 2009). Ikan ini menjadi salah satu target penangkapan penting karena bernilai ekonomis dan memiliki harga yang terjangkau untuk semua kalangan masyarakat. Ikan peperek yang tertangkap di teluk Palabuhanratu dan didaratkan di PPN Palabuhanratu kemudian hanya didistribusikan di wilayah Sukabumi. Ikan ini didistribusikan baik dalam bentuk segar maupun asin. Ikan peperek dalam keadaan segar diperjualbelikan dengan harga Rp /kg sedangkan dalam bentuk yang sudah diolah yakni asin diperjualbelikan Rp30.000/kg.

49 Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan data ukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu. Hubungan panjang dan bobot ikan peperek setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan panjang dan bobot ikan peperek di Palabuhanratu Pengambilan contoh ke- a b R 2 Pola Pertumbuhan 1 0,0003 2,2500 0,8089 allometrik negatif 2 9x10-6 3,0904 0,7587 allometrik positif 3 1x10-4 2,4687 0,8929 allometrik negatif 4 1x10-5 3,034 0,8320 allometrik positif 5 6x10-6 3,1786 0,7561 allometrik positif 6 0,0014 2,0144 0,6293 allometrik negatif Pada pengambilan contoh ke-1 (10 Maret 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 0,0003L 2,25 dengan nilai b sebesar 2,25. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik negatif. Pada pengambilan contoh ke-2 (24 Maret 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 9x10-6 L 3,0904 dengan nilai b sebesar 3,0904. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik positif. Pada pengambilan contoh ke-3 (7 April 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 1x10-4 L 2,4687 dengan nilai b sebesar 2,4687. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik negatif. Pada pengambilan contoh ke-4 (21 April 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 1x10-5 L 3,0340 dengan nilai b sebesar 3,0340. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik positif. Pada pengambilan contoh ke-5 (5 Mei 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 6x10-6 L 3,1786 dengan nilai b sebesar 3,1786. Setelah

50 36 dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik positif. Pada pengambilan contoh ke-6 (19 Mei 2010), persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek adalah W = 0,0014 L 2,0144 dengan nilai b sebesar 2,0144. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek adalah allometrik negatif. Berdasarkan Lampiran 7, dapat dilihat terjadinya fluktuasi pola pertumbuhan ikan peperek di Teluk Palabuhanratu. Hal tersebut diduga dapat terjadi karena adanya faktor lingkungan seperti suhu dan ketersediaan makanan (Effendie 1997). Hubungan panjang dan bobot ikan peperek dari keseluruhan total ikan contoh dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa persamaan hubungan panjang dan bobot ikan peperek di Teluk Palabuhanratu adalah W = 3x10-5 L 2,8321 dengan nilai b sebesar 2,8321. Setelah dilakukan uji-t terhadap nilai b, dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan peperek di Palabuhanratu adalah allometrik negatif dimana pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan bobot (Effendie 1997). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan peperek yang hidup di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat dimana memiliki pola pertumbuhan isometrik (Saadah 2000) yakni pertumbuhan panjang sebanding dengan pertambahan bobotnya. Perbedaan pola pertumbuhan diduga dapat terjadi karena adanya faktor lingkungan seperti halnya suhu, jumlah dan ketersediaan makanan yang dapat dicerna. Selain itu, dapat disebabkan karena adanya faktor dalam seperti keturunan (genetik), umur, jenis kelamin, hormon, dan penyakit (Effendie 1997). Hubungan Panjang Bobot Berat (gram) y = 3E-05x 2,8321 R 2 = 0,9095 N = 850 ekor Panjang Total (mm) Gambar 11. Hubungan panjang dan bobot ikan peperek

51 Sebaran Ukuran Panjang Sebaran ukuran panjang dari 850 ekor ikan peperek contoh selama pengamatan disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan Lampiran 8, dapat dilihat bahwa terjadinya pergeseran sebaran ukuran panjang. Pergeseran pertama dapat dilihat di pengambilan contoh ke-1 hingga pengambilan contoh ke-6 dimana sebaran frekuensi bergerak ke sebelah kanan. Pada pengambilan contoh ke-1 (10 Maret 2010), terlihat panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang mm. Pada pengambilan contoh ke-2 (24 Maret 2010), panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang mm. Pada pengambilan contoh ke-3 (7 April 2010), panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas mm. Pada pengambilan contoh ke-4 (21 April 2010), panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas mm. Pada pengambilan contoh ke-5 (5 Mei 2010), panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas mm. Pada pengambilan contoh ke-6 (19 Mei 2010), panjang ikan peperek terletak pada selang kelas mm sampai mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas mm. Pergeseran modus kelas panjang ke arah kanan pada pengambilan contoh ke-1 hingga pengambilan contoh ke-6 menunjukkan adanya pertumbuhan. Laju pertumbuhan ikan peperek selanjutnya akan dibahas di sub bab pertumbuhan. Panjang total maksimum ikan peperek yang tertangkap selama penelitian adalah 125 mm. Menurut Djajadiredja (1979), ikan peperek dapat mencapai panjang total 140 mm, umumnya mm. Perbedaan ukuran panjang total ikan dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan yakni perbedaan lokasi pengambilan ikan contoh, keterwakilan ikan contoh yang diambil, dan adanya tekanan penangkapan terhadap ikan tersebut. Spesies ikan yang sama namun hidup di lingkungan yang berbeda akan mempengaruhi pula pertumbuhannya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya faktor pertumbuhan seperti halnya faktor dalam yang merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol diantaranya adalah keturunan, sex,

52 38 umur, parasit, dan penyakit serta faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan (Effendie 1997) Parameter Pertumbuhan Hasil pemisahan kelompok ukuran dengan menggunakan metode Bhattacharya dapat dilihat pada Gambar 12. Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan peperek yaitu nilai tengah, standar deviasi, jumlah populasi, dan indeks separasi masing-masing kelompok ukuran. Dalam pemisahan kelompok ukuran sangatlah penting untuk memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan diantara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih diantara dua kelompok ukuran tersebut. Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat indeks separasi yang diperoleh tidak kurang dari dua (<2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok ukuran ikan peperek dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Tabel 4. Sebaran kelompok ukuran ikan peperek di Palabuhanratu Tanggal Nilai Standar Jumlah Tengah Deviasi Populasi Indeks Separasi 10 Maret ,69 6, n.a. 75,05 9, ,80 24 Maret ,66 3, n.a. 69,50 4, ,70 7 April ,21 6,06 76 n.a. 103,50 7, ,40 61,85 8, n.a. 21 April ,96 3, ,65 102,74 6, ,69 5 Mei ,24 5, n.a. 19 Mei ,39 7,93 98 n.a.

53 39 10 Maret 2010 n =178 ekor 24 Maret 2010 n =179 ekor 07 April 2010 n =105 ekor 21 April 2010 n =175 ekor 05 Mei 2010 n =108 ekor 19 Mei 2010 n =105 ekor Gambar 12. Kelompok ukuran panjang ikan peperek

54 40 Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan peperek yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinitif (L ) serta umur teoretis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) disajikan pada Tabel 5. Panjang total maksimum ikan peperek yang tertangkap di Palabuhanratu dan didaratkan di PPN Palabuhanratu adalah 125 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan peperek di Palabuhanratu adalah 1,40 per tahun. Persamaan pertumbuhan yang terbentuk berdasarkan von Bertalanffy untuk ikan peperek adalah Lt = 131,78 (1-e [-1,40(t + 0,87)] ). Tabel 5. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy (K, L, t 0 ) ikan peperek di Palabuhanratu (Maret Mei 2010) Parameter Pertumbuhan K (per tahun) 1,40 Linf 131,78 t 0-0,87 Hasil yang diperoleh beberapa peneliti mengenai parameter pertumbuhan ikan peperek (Leiognathus spp.) seperti disajikan dalam Tabel 6. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Blanakan dan Labuan menunjukkan adanya perbedaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L. Ikan peperek di Blanakan dan Labuan memiliki nilai K yang lebih kecil dan panjang infinitif yang lebih besar dibandingkan dengan yang didapatkan di Palabuhanratu. Hal itu menunjukkan bahwa semakin kecil nilai koefisien pertumbuhan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang infinitif dan sebaliknya semakin besar nilai koefisien pertumbuhan maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang infinitif. Dapat dilihat panjang infinitif yang dapat dicapai oleh ikan peperek di Palabuhanratu lebih kecil karena koefisien pertumbuhan yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan ikan peperek di Labuan maupun Blanakan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, dimana kondisi lingkungan perairan Teluk Palabuhanratu berbeda dengan perairan Labuan dan Blanakan. Penelitian yang sama pernah dilakukan di Palabuhanratu pada tahun 2009, didapatkan nilai K yang sama yakni 1,40 namun memiliki panjang infinitif yang

55 41 berbeda. Pada penelitian ini didapatkan L sebesar 13,178 cm, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai L pada tahun sebelumnya yakni 19,058 cm. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor keterwakilan data ikan contoh yang diambil dan waktu penelitian. Pada penelitian ini, pengambilan data ikan contoh dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2010 sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan pada bulan Mei hingga Juli Oleh karena itu, diduga pada bulan Mei hingga Juli ikan peperek telah mencapai ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan bulan Maret hingga Mei yang didominansi oleh ikan peperek yang masih berukuran kecil. Selain itu, pada bulan Mei hingga Juli merupakan musim pemijahan ikan peperek sehingga ukuran yang ditemukan sudah berukuran lebih panjang (ukuran matang gonad). Tabel 6. Parameter pertumbuhan ikan peperek (Leiognathus equulus) dari beberapa hasil penelitian Sumber Simanjuntak (2009) Simanjuntak (2009) Simanjuntak (2009) Hazrina (2010) Tempat Koefisien Pertumbuhan (K) per tahun L (cm) Periode Waktu Pengamatan Blanakan 0,72 22,208 Mei - Juli 2009 Labuan 0,59 21,158 Mei - Juli 2009 Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu 1,40 19,058 Mei - Juli ,40 13,178 Maret - Mei 2010 Kurva pertumbuhan ikan peperek di perairan Teluk Palabuhanratu disajikan pada Gambar 13 dengan memplotkan umur ikan (bulan) dan panjang teoritis ikan (mm) sampai ikan berumur 18 bulan dengan mendekati panjang maksimum 131,78 mm. Panjang total maksimum ikan yang tertangkap selama penelitian di Teluk Palabuhanratu adalah 125 mm. Dapat dilihat dari Gambar 13, ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang berumur tua (mendekati L ). Dari Gambar 13 dapat dikatakan bahwa ukuran ikan peperek yang baik untuk penangkapan sebaiknya berukuran lebih dari 110 mm dimana ikan tersebut sudah tergolong ikan tua (mendekati L ) yang memiliki koefisien pertumbuhan semakin melambat.

56 Panjang (mm) 18 Lt = 131,78[1-e (-1,40(t+0,87) ] Umur (bulan) Gambar 13. Kurva pertumbuhan ikan peperek 4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Untuk melakukan pendugaan mortalitas alami digunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata perairan di Teluk Palabuhanratu sebesar 28,5ºC. Hasil analisis dugaan mortalitas dan laju eksploitasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan peperek Laju Mortalitas Nilai (per tahun) Total (Z) 3,02 Alami (M) 0,60 Penangkapan (F) 2,42 Eksploitasi (E) 0,80 Laju mortalitas total (Z) ikan peperek adalah 3,02 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0,60 per tahun. Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Penyebab terbesar yang menyebabkan banyak kematian pada ikan adalah adanya predasi. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas penangkapan (F) ikan peperek adalah 2,42 per tahun. Laju mortalitas penangkapan lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas alami. Hal

57 43 itu menunjukkan bahwa faktor kematian ikan peperek di Teluk Palabuhanratu banyak disebabkan oleh aktivitas penangkapan. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui juga laju eksploitasi sebesar 0,80 yang berarti 80% kematian ikan peperek disebabkan oleh adanya faktor penangkapan. Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Apabila dibandingkan dengan nilai eksploitasi optimum yaitu 0,5 maka laju eskploitasi ikan peperek di Teluk Palabuhanratu sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi di suatu daerah maka mortalitas penangkapannya semakin besar (Widodo & Suadi 2006) Model Bioekonomi Ikan Peperek Pendugaan bioekonomi ikan peperek dengan menggunakan pendekatan model Gordon Schaefer disajikan pada Tabel 8, meliputi nilai MEY, MSY, OA, dan aktual perikanan peperek di Palabuhanratu. Dari hasil analisis bioekonomi sumberdaya ikan peperek berdasarkan model Gordon Schaefer diperoleh nilai upaya penangkapan (f msy ) sebesar 124 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 234,0333 ton per tahun. Berdasarkan nilai MSY yang diperoleh dapat dilihat bahwa umumnya pemanfaatan sumberdaya ikan peperek di perairan teluk Palabuhanratu berada di atas potensi lestarinya (MSY) (Gambar 14). Keuntungan yang didapatkan pada kondisi MSY yakni Rp Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang akan didapatkan pada kondisi MEY yang memperhatikan faktor ekonomi. Tabel 8. Hasil Analisis parameter bioekonomi dengan model Gordon Schaefer MEY MSY Aktual OA h (ton) 233, , , ,9888 Effort (unit) TR (Rupiah) , ,4 TC (Rupiah) , , , ,4 rente (π) Rp ,6 0

58 44 Merujuk pada Tabel 1, dapat dilihat pada tahun 2005, 2006, 2008, dan 2009 jumlah upaya penangkapan yang beroperasi di perairan Teluk Palabuhanratu yakni masing-masing 243, 194, 200, dan 164 unit alat tangkap bagan apung. Jumlah upaya tersebut telah melebihi upaya penangkapan optimum yakni 124 unit, sehingga dapat mengakibatkan adanya kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Adanya kondisi upaya tangkap lebih dapat menurunkan kondisi stok sumberdaya perikanan karena telah melebihi batas maksimum penangkapan lestarinya. Dapat dilihat pada Gambar 14 bahwa dengan meningkatnya upaya (effort) melebihi upaya penangkapan (f MSY ) dan (f MEY ) yang seharusnya tidak selalu memberikan produksi tangkapan yang besar seperti yang ditunjukkan pada tahun 2006, 2008, dan Produksi tangkapan yang diperoleh menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan produksi tangkapan yang sesuai dengan konsep MSY dan MEY. Gambar 14. Hubungan upaya penangkapan dan hasil tangkapan (produksi) Upaya tangkap lebih (overfishing) dapat diartikan sebagai penerapan jumlah upaya penangkapan yang berlebih terhadap suatu stok ikan. Kondisi tangkap lebih yang terjadi pada stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu diduga termasuk ke dalam growth overfishing. Dikatakan growth overfishing apabila terjadi penangkapan terhadap ikan sebelum mereka mengalami pertumbuhan hingga ukuran dimana mampu membuat seimbang terhadap penyusutan stok akibat mortalitas alami (Sparre & Venema 1999). Growth overfishing dapat dilihat dari ukuran ikan

59 45 yang tertangkap yakni bukanlah ukuran konsumsi. Hal itu terlihat selama dilakukannya pengambilan ikan contoh, banyak ditemukannya ikan peperek yang berukuran kecil yakni 20 mm. Berdasarkan Pauly (1977), umumnya untuk penangkapan sebaiknya ikan peperek berukuran mm. Berdasarkan hasil analisis secara bioekonomi, jumlah penangkapan optimum f MEY yang dapat dioperasikan untuk pemanfaatan ikan peperek di Palabuhanratu adalah sebanyak 122 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum ekonomi sebesar 233,9626 ton per tahun (Gambar 15). Keuntungan yang diperoleh apabila menggunakan konsep MEY (Maximum Economic Yield) yakni sebesar Rp per tahun. Hal tersebut menunjukkan pada kondisi MEY memiliki effort terendah namun dengan keuntungan maksimum. Pada kondisi tersebut produksi maksimum secara ekonomi akan dicapai dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (Fauzi 2006). Pada kondisi aktual, upaya penangkapan sebanyak 158 unit telah melebihi upaya penangkapan yang optimum pada kondisi MEY yang seharusnya. Hal ini dapat mengindikasikan adanya gejala overfishing yaitu economic overfishing. Dilihat dari keuntungan yang didapatkan dalam kondisi aktual yakni hanya sebesar Rp per tahun dibandingkan dengan keuntungan yang akan didapatkan dalam kondisi MEY yakni sebesar Rp per tahun. Gambar 15. Grafik bioekonomi ikan peperek dengan pendekatan model Gordon Schaefer di Teluk Palabuhanratu

60 46 Economic overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY. Meskipun hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi MSY adalah maksimal, namun keuntungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi dan penerimaan saja tetapi juga dipengaruhi oleh biaya. Prinsip efektifitas dan efisiensi perlu dipadukan untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Produksi dan penerimaan terkait dengan prinsip efektifitas sedangkan biaya atau pengeluaran terkait dengan prinsip efisiensi. Pada kondisi MEY, produksi berada pada tingkat yang optimal secara ekonomi, walaupun produksinya tidak maksimal. Namun produksinya masih relatif tinggi dan pengeluarannya efisien sehingga keuntungannya tertinggi. Tingkat upaya pemanfaatan pada kondisi MEY menghasilkan keuntungan yang optimal. Tingkat upaya penangkapan pada kondisi MEY lebih kecil dibandingkan dengan tingkat upaya pada kondisi MSY. Tingkat produksi pada kondisi MEY juga lebih kecil dibandingkan dengan tingkat produksi pada kondisi MSY. Namun tingkat keuntungan pada kondisi MEY akan lebih besar dari keuntungan yang didapatkan pada kondisi MSY. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi MEY, tingkat upaya penangkapan berada pada level paling efisien. Selain itu, diketahui bahwa tingkat stok ikan peperek pada kondisi open access sebesar 15,9888 ton per tahun. Dengan upaya penangkapan sebesar 243 unit per tahun dimana keuntungan yang didapatkan adalah Rp 0 per tahun. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat open access keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya E OA dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan tidak akan mendapatkan keuntungan, bahkan dapat mengakibatkan keuntungan berada pada nilai negatif. Perikanan pada kondisi ini bebas untuk siapa pun dan tidak ada pengelolaan yang baik. Keadaan perikanan seperti ini, upaya penangkapan akan terus ditingkatkan selama masih ada produksi sampai seluruh rente terkuras habis (driven to zero) Implikasi Untuk Pengelolaan Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan perlu diarahkan pada pengaturan yang lebih baik. Hal tersebut didasarkan oleh adanya fakta tekanan terhadap penangkapan yang berlebihan, dimana dari hasil analisis didapatkan laju eksploitasi

61 47 ikan peperek di Teluk Palabuhanratu sebesar 0,80 yang berarti 80% kematian ikan peperek disebabkan oleh adanya faktor penangkapan. Selain itu, dari hasil analisis yang diperoleh kondisi tangkap lebih stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu termasuk dalam kondisi growth overfishing. Hal ini dapat dilihat dari ukuran ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (ikan muda), peningkatan laju mortalitas penangkapan, tingginya laju eksploitasi, serta penurunan hasil tangkapan per satuan upaya. Selain itu kondisi stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu telah mengalami economic overfishing yang dapat dilihat dari upaya penangkapan aktual telah melebihi upaya optimum pada tingkat Maximum Economic Yield (MEY) serta nilai keuntungan kondisi aktual yang lebih kecil dari nilai keuntungan pada kondisi MEY. Dalam melakukan pengelolaan perikanan sangat sulit untuk mengubah suatu keadaan yang telah ada. Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap growth dan economic overfishing yang dapat dilakukan adalah dengan mengatasi economic overfishing terlebih dahulu, dimana dalam penerapan pengelolaan berkonsep MEY telah memperhatikan aspek biologi dan aspek ekonomi sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya akan mendapatkan manfaat ekonomi yang maksimum dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain dalam mengatasi economic overfishing, secara tidak langsung sudah ikut mengatasi growth overfishing yang terjadi. Konsep MEY (Maximum Economic Yield) dapat diterapkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan yang baik karena akan memperhatikan faktor ekonomi. Keuntungan optimal tidak akan terjadi pada saat kondisi MSY. Keuntungan optimal akan terjadi pada saat kondisi MEY dimana marginal revenue (MR) sama dengan marginal cost (MC). Hal itu sesuai dengan prinsip profit atau keuntungan. Dengan mengacu pada konsep MEY, upaya penangkapan yang dioperasikan sebaiknya tidak lebih dari 122 unit per tahun dengan jumlah maksimum tangkapan secara ekonomi sebanyak 233,9626 ton per tahun sehingga akan didapatkan keuntungan secara optimal sebesar Rp per tahun. Dalam memberlakukan pengaturan mengenai jumlah alat tangkap memiliki resistensi yang cukup tinggi. Karena dengan membatasi jumlah alat tangkap akan menuntut ada yang harus dikorbankan. Pengelolaan tersebut diperlukan adanya human development, dimana manusia

62 48 sebagai pelaku utama dalam aktifitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan ini ditujukan bagi kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelolaan perikanan serta nelayan dalam bentuk memberikan penyuluhan mengenai kondisi sumberdaya yang ada, batasan jumlah tangkapan dan jumlah alat tangkap maksimal untuk memberikan pemahaman mengenai pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan guna kehidupan di kemudian hari serta pentingnya pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan agar memberikan manfaat ekonomi yang maksimum. Selain itu, dalam memberlakukan pengelolaan tersebut diperlukan pihak yang memiliki kekuatan hukum sehingga apabila terjadi pelanggaran dalam kesepakatan yang ditetapkan dapat diselesaikan dengan hukum dan peraturan yang ada. Dalam mengatasi kondisi growth overfishing dimana ukuran ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (ikan muda). Hal yang dapat dilakukan adalah yakni pengaturan ukuran mata jaring, dimana ukuran ikan peperek dewasa adalah 9 cm (Pauly 1977). Panjang tubuh ikan peperek kurang dari tiga kali tinggi tubuh sehingga dapat diasumsikan bahwa tinggi tubuh ikan peperek yaitu 3 cm. Apabila ukuran tersebut dikonversikan kedalam inchi menjadi 1,18 inchi. Sebaiknya ukuran mata jaring alat tangkap bagan untuk penangkapan ikan peperek tidak melebihi 1,18 inchi agar ikan yang tertangkap bukan ikan berukuran kecil (ikan muda). Selain itu, diperlukan adanya pengaturan mengenai musim tangkapan sehingga ikan yang tertangkap bukanlah ikan yang berumur muda. Dengan adanya pengaturan tersebut maka ikan yang berumur muda akan memiliki waktu untuk tumbuh mencapai panjang tertentu yang membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan mortalitas alami maupun penangkapan.

63 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) di Teluk Palabuhanratu memiliki persamaan pertumbuhan Lt = 131,78 (1-e [-1,40(t + 0,87)] ). Pola pertumbuhan ikan peperek di Teluk Palabuhanratu adalah allometrik negatif. 2. Laju mortalitas (Z) ikan peperek adalah 3,02 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,60 per tahun dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 2,42 per tahun sehingga dapat diindikasikan bahwa kematian ikan peperek di Teluk Palabuhanratu sebagian besar disebabkan oleh aktivitas penangkapan dengan tingkat laju ekspoitasi (E) sebesar 0,80 dan sudah melebihi nilai optimum. 3. Kondisi stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu berdasarkan model bioekonomi Gordon Schaefer dimana hasil tangkapan dan upaya tangkapan tidak melebihi nilai MEY dan f mey sebesar 233,9626 ton dan 122 unit per tahun sehingga memperoleh rente maksimum sebesar Rp Untuk nilai MSY diperoleh 234,0333 ton dan 124 unit per tahun dengan rente Rp Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh diketahui bahwa ikan peperek di Teluk Palabuhanratu telah mengalami kondisi tangkap lebih yaitu growth overfishing dan economic overfishing Saran Dalam penelitian studi dinamika stok ikan peperek di Teluk Palabuhanratu selanjutnya disarankan untuk dilakukan analisis aspek pola rekruitmen dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian kembali mengenai stok ikan peperek namun di musim yang berbeda. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan peperek di Teluk Palabuhanratu sebaiknya dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap dan produksi tangkapan berdasarkan konsep MEY, pengaturan mata jaring, dan pengaturan musim penangkapan.

64 DAFTAR PUSTAKA Badrudin M Parameter stok dan potensi penangkapan ikan petek di perairan pantai Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 47 : Beck U & Sudarajat A Variationing and Size and Composition of Demersal Trawl Catches from The North Coast of Java with Estimated Growth Parameters for Three Importance Food-Fish Species. Special Report No.4 Contrib.of The demersal Fish. Proj. MFRI-GRZ. Jakarta. 157 p. Beverton RJH & Holt SJ On the dynamics of exploited fish population. Her Majesty s Statinery Office. London, USA. 533 p. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2004 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xiv + 78 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2005 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xv + 78 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2006 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xvi + 77 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2007 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xvi + 77 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2008 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xvi + 77 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2009 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. xvi + 77 hlm. Djadjadiredja RR Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut Bagian I. Ditjen Perikanan. Jakarta. 96 hlm. Effendie MI Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm. Effendie MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. Fauzi A Ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan : Teori dan aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.259 hal.

65 51 [FAO] Food and Agriculture Organization Species identification sheets for fishery purpose, eastern indian ocean and western central pacific. Rome, Italy. 41 p. Gulland JA Fish stock assessment: a manual of basic methods, volume 1. John Wiley & Sons, inc. New York, USA. xii p. King M Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 p. Lagler KF Freshwater fishery biology, 2nd ed. WM. C. Company Publisher. Dubuque, Iowa, USA. 421 p. Laevastu T & Hayes LM Fisheries Oceanography and Ecology. Northwest and Alaska Fisheries Center National Marine Fisheries Service, NOAA. Seattle, Washington, USA. 199 p. Lisnawati S Kebiasaan makanan ikan petek (Leiognathus equulus, Forsskal 1775) di perairan Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hlm. Nontji A Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 hlm. Pauly D The Leiognathidae (Teleostei) : Their Species, Stocks, and fisheries in Indonesia, With Notes on The Biology of Leiognathus splendens (Cuv.) Mar. Res. Indonesian 19 : Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM. Manila. Filipina. 325 p. Saadah Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64 hlm. Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung. 508 hlm. Simanjuntak RJ Keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek Leiognathus equulus (Forskskal, 1775) famili Leiognathidae [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-

66 52 Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Wahyudin Y Karakteristik Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Teluk PalabuhanRatu Kabupaten Sukabumi [makalah]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hlm. Wewengkang I Analisis sistem usaha penangkapan ikan layur (Trichiurus savala) di Palabuhanratu dan kemungkinan pengembangannya [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 92 hlm. Widodo J, Aziz KA & Naamin N Metode pengkajian stok (stock assessment), p Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A (editor). Potensi dan Penyebaran sumberdaya komisi nasional pengkajian stok sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Peperek. [terhubung berkala]. pipp2/species.html?idkat=2&idsp=274 [1 Desember 2009]. MSY dan MEY. [terhubung berkala]. [18 Februari 2010] Peperek. [terhubung berkala]. Eubleekeria&speciesname=splendens [20 Januari 2010].

67

68 54 Lampiran 1. Alat yang digunakan Timbangan dapur digital Penggaris panjang 30 cm

69 55 Lampiran 2. Metode pengukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh (a.) Pengukuran panjang total ikan contoh (b.) Pengukuran berat basah ikan contoh

70 56 Lampiran 3. Kuesioner nelayan ikan peperek Hari/Tanggal wawancara : Kode Nelayan : Nama Nelayan : (pemilik kapal/pekerja)* Usia : Alamat : Pewawancara : Jumlah tanggungan (keluarga) : Jenis nelayan : musiman/tetap*, penuh/bukan* Jenis Alat Tangkap : Spesifikasi Panjang : Lebar : Tinggi: Jumlah mata pancing : Ukuran Mata Jaring : Jenis Perahu : Bobot Perahu : Jumlah ABK : Daerah Penangkapan : Biaya Penangkapan : Jenis ikan yg paling banyak ditangkap : Keterangan : * coret yang tidak perlu Info Lain :

71 57 Lampiran 4. Rata-rata biaya penangkapan ikan peperek per trip (Rupiah) di Teluk Palabuhanratu Nelayan Solar Konsumsi Fasilitas harga (L/trip) dan genset pemasaran Biaya Oli Total Sugeng Ujang , ,7 Abah Djadjat Aber Bima Endang , ,7 Asep , ,7 Udin , ,7 Soleh cecep ilman , ,7 Ojat , ,7 teguh salim dede ahmad hasan surya , ,7 yanto , ,7

72 58 Lampiran 5. Kuisioner harga ikan peperek Hari/Tanggal wawancara : Kode koresponden : Nama : Pekerjaan : Usia : Alamat : Pewawancara : Harga ikan (Rp/kg) : Lokasi Pembelian : Info Lain :

73 59 Lampiran 6. Data ikan peperek setiap pengambilan contoh di PPN Palabuhanratu Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 1 5,4 2 6,7 4 7,5 4 8,5 11 9, , ,4 5 7,7 5 7,9 5 10, , , , , , ,4 6 5,2 2 7,1 3 10,8 18 9, , ,1 2 6,3 4 7,2 4 11, ,2 3 9, , , ,6 1 7,9 7 5,5 3 9, , , ,5 3 10,3 19 9, , ,5 1 5,2 2 5,4 2 10,5 21 9, , ,1 5 6,5 5 6, ,2 10 9, ,1 11 4,8 1 6,1 3 7,4 6 9,9 12 8, ,5 8 4,6 1 6,6 4 6,4 4 9, , ,5 4 4,6 1 6, , ,1 2 7, , ,2 8 4,3 1 7,7 4 6,5 5 8,7 8 8, ,3 1 5,3 2 7, , ,5 4 6,1 2 6,7 4 10,6 19 9,7 12 8, ,7 9 7,5 5 7,6 2 10,4 20 9, ,3 4 8,1 7 6,5 2 7,4 7 9, , ,7 7 7,2 7 5, , , ,9 1 5,2 2 10, , ,1 1 4,8 1 5,6 2 9,8 16 9, , , , , , ,8 1 5,8 2 10, , , , , ,6 2 4,8 2 5,9 3 5,7 2 8,7 9 8,5 8

74 60 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 27 4,6 1 5,6 2 6,3 3 7,4 6 9, , ,8 3 5, ,3 12 8,5 8 9, , ,8 2 8, , ,7 7 4,8 1 6, , , ,6 17 9, ,2 1 4,7 1 6,1 2 10,3 16 8,1 8 11, ,5 9 4,5 1 4,9 1 7,2 5 8, , ,6 9 4,9 1 4, ,6 12 9, ,8 8 6,6 3 11,2 23 9, , ,5 4 4,7 1 5, , , ,6 2 4,8 1 6,2 3 9,8 16 8,7 8 10, ,5 2 4, ,8 8 9, ,6 4 4,5 1 6, , ,3 11 5,7 2 6,8 3 6, ,6 2 7,5 4 8,8 12 9, , ,4 6 5,2 2 5,9 2 7,7 8 8, , ,2 14 8,7 8 9, ,3 6 7,2 6 5,6 2 8,8 11 8,8 9 11, ,9 1 4,4 1 5,6 2 8,3 8 9,1 10 9, , ,5 2 8, ,3 6 4,8 1 5,6 2 9,8 16 9,1 10 9, ,9 7 4, , , ,4 1 5,5 2 6,8 2 7,9 7 8,5 9 9, ,2 1 4, ,2 17 8,5 9 10, , ,1 3 6,2 3 8, ,2 2 7,1 5 8,5 10 9,4 9 10,5 15

75 61 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) ,6 1 5,5 2 9,9 14 8, ,8 3 4,8 2 6,8 3 10,3 16 8,5 8 9, , ,3 2 7,7 11 9, , ,7 8 4, , , ,4 5 4,7 1 6,6 3 6,4 4 8,6 8 9, ,5 6 4,7 2 6,3 3 4,2 10 8, , ,5 2 4,9 1 5,6 2 6,2 3 8,3 8 11, ,5 2 4,6 1 4,9 1 9, , ,6 1 6,1 2 8,4 10 9, , ,2 1 6, ,4 9 10, , ,5 1 6,8 4 6, , , ,4 5 9,4 10 9, ,4 2 4, ,5 5 8,7 9 9, , ,5 7 9,8 14 8, ,5 5 4,6 1 5, , ,6 1 4,5 1 5,9 2 8,7 10 9, , ,4 1 4,2 1 5,9 2 5,5 2 9,9 14 9, ,4 3 5,2 1 5,5 2 8,9 10 8, , ,1 2 7,5 5 5,1 2 8, , ,5 4 5,2 2 4,4 1 8,2 8 9, , ,1 2 6,8 4 6,9 2 5,8 2 9,6 12 9, ,4 3 5,1 2 7, ,5 8 10, ,2 1 5,1 2 4, ,6 9 10, ,7 2 4, ,4 4 8, ,2 1 4,8 1 5,6 2 5, , ,4 1 4,7 1 6,6 3 6,4 5 8,5 8 10,9 16

76 62 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 79 4,2 1 4,8 2 6,4 3 7,1 5 8,5 8 11, ,4 1 4,6 1 6,5 3 5, , ,7 1 3,6 1 5,5 2 7,3 5 9, ,6 3 5,3 2 5, , ,3 2 6,2 7 3,6 1 7,1 4 9,1 9 8, ,4 2 4,6 1 8, ,8 2 4,5 1 10,9 11 5,6 3 8, ,2 3 5,7 3 9,9 10 6,7 4 8, ,4 2 4,7 2 9,2 7 5,3 2 9,5 13 9, , ,7 9 6,8 5 9, ,6 1 4, ,4 3 8, , ,9 1 4,6 2 9,6 9 6,5 3 8, ,2 1 4,6 1 11,4 13 6,4 3 8,7 9 8, ,1 1 4,7 1 10, ,2 9 10, ,4 1 5,2 2 9,6 8 6,3 3 9, , ,7 10 5,7 3 9,2 10 9, ,9 1 4, ,4 2 8,7 8 9, ,3 1 6,2 4 10,2 10 6, , ,3 1 5,3 2 10,7 10 6,6 4 8,6 8 9, ,3 2 4,8 2 9, , ,5 8 5,7 3 8,5 8 9, ,6 1 10,9 12 5,5 2 9, , ,3 1 4,3 1 9,2 8 5,2 2 9,7 13 9, , ,3 10 6,8 4 9,5 14 9, ,2 2 11,6 18 5, , , ,9 3 9,

77 63 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 105 4,1 1 4,3 1 10,2 8 6,4 4 9,2 14 9, ,4 1 5,2 2 7,1 5 9, ,8 2 6,2 3 10, ,6 1 5,7 2 10, ,5 1 4, ,7 1 6, ,7 1 5, ,9 1 4,7 2 6, ,9 1 4,7 2 5, ,4 1 4,8 2 6, ,7 1 5,1 2 5, ,5 1 5, ,5 1 4, ,2 1 4,8 1 7, ,6 1 4,2 1 7, ,6 1 4, ,9 1 4,8 2 9, ,9 1 4,9 2 6, ,8 1 5, ,4 1 4,7 2 5, , , ,4 1 4,6 2 5, ,7 2 6, ,1 2 5, ,2 1 4,8 2 6, ,5 1 4,

78 64 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 131 3,6 1 4,6 2 6, , , , , , ,6 1 4, ,3 1 4, ,2 1 4,5 1 6, , ,5 1 4,4 1 6, ,5 1 4, ,3 1 6, , , ,2 1 5,1 1 6, ,7 1 4,2 2 6, ,8 1 7,6 7 5, , , , ,2 1 4,6 1 6, ,7 1 4, ,4 2 4,4 2 5, ,4 1 4, ,7 1 4,6 1 5, ,4 1 4, , ,4 1 4, ,6 1 4,8 2 6,5 4

79 65 Lampiran 6. (lanjutan) Sampling 1 : Sampling 2 : Sampling 3 : Sampling 4 : Sampling 5 : Sampling 6 : No. 10 Maret Maret April April Mei Mei 2010 PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) PT (cm) B (gram) 157 4,8 1 4,6 2 6, ,5 1 4,5 1 4, , , , , , ,5 1 7,5 6 5, ,5 1 6,6 4 5, ,6 1 5, ,8 1 6,7 4 6, ,4 1 5, , , ,2 1 6,8 4 6, ,8 1 4,5 2 6, ,7 2 6, ,2 1 4,8 2 6, ,8 4 4, ,5 1 4,5 1 4, ,2 1 4, ,3 1 4,9 2 6, , , ,

80 66 Lampiran 7. Hubungan panjang dan bobot ikan peperek setiap pengambilan contoh 12 Berat (gram) Sampling 1 10 Maret 2010 W = 0,0003L 2,25 R 2 = 0,8089 n = 178 ekor Panjang Total (mm) Berat (gram) Sampling 2 24 Maret 2010 W = 9E-06L 3,0904 R 2 = 0,7587 n = 179 ekor Panjang Total (mm) Berat (gram) Sampling 3 7 April 2010 W = 1E-04L 2,4687 R 2 = 0,8929 n = 105 ekor Panjang Total (mm)

81 67 Lampiran 7. (lanjutan) 25 Berat (gram) Sampling 4 21 April W = 1E-05L 3,034 R 2 = 0,832 n = 175 ekor Panjang Total (mm) Berat (gram) Sampling 5 5 Mei 2010 W = 6E-06L 3,1786 R 2 = 0,7561 n =108 ekor Panjang Total (mm) 30 Berat (gram) Sampling 6 19 Mei 2010 W = 0,0014L 2,0144 R 2 = 0,6293 n = 105 ekor Panjang total (mm)

82 Lampiran 8. Sebaran ukuran panjang selama pengamatan 68

83 Lampiran 8. (lanjutan) 69

84 70 Lampiran 9. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot H 0 : b = 3 H 1 : b 3 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0,13388 Observations 850 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 152, , ,118 0 Residual , , Total ,9849 Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0% Intercept -4, , , , , , ,44824 X Variable 1 2, , , , , , , Thit = 2, ,0307

85 71 Lampiran 9. (lanjutan) = 5,4725 t(0,025;848) = 2,2454 t hitung > t tabel maka tolak hipotesis nol (H 0 ), nilai b 3 maka hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik.

86 72 Lampiran 10. Sebaran frekuensi panjang ikan peperek SKB SKA BB BA Xi SK f1 f2 f3 f4 f5 f ,5 23,5 21, ,5 27,5 25, ,5 31,5 29, ,5 35,5 33, ,5 39,5 37, ,5 43,5 41, ,5 47,5 45, ,5 51,5 49, ,5 55,5 53, ,5 59,5 57, ,5 63,5 61, ,5 67,5 65, ,5 71,5 69, ,5 75,5 73, ,5 79,5 77, ,5 83,5 81, ,5 87,5 85, ,5 91,5 89, ,5 95,5 93, ,5 99,5 97, ,5 103,5 101, ,5 107,5 105, ,5 111,5 109, ,5 115,5 113, ,5 119,5 117, ,5 123,5 121, ,5 127,5 125,

87 Lampiran 11. Hasil analisis metode NORMSEP dengan Program FISAT II 73

88 Lampiran 11. (lanjutan) 74

89 75 Lampiran 12. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) Koefisien pertumbuhan (K) = 0,350 per 3 bulan K = (0,350/3)*12 = 1,40 per tahun Lampiran 13. Analisis laju mortalitas total (Z) dengan metode Jones dan van Zalinge dengan bantuan program Mortality Estimation, FISAT II

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber :  dkp.co.id 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tamban (Sardinella albella) Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae terdiri

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA EKA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5.1 Jenis dan Volume Produksi serta Ukuran Hasil Tangkapan 1) Jenis dan Volume Produksi Hasil Tangkapan Pada tahun 2006, jenis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA YOGI MAULANA MALIK PERDANAMIHARDJA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT ADNAN SHARIF SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT SILFIA SYAKILA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan di wilayah Teluk Jakarta bagian dalam, provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Agustus 2010 dan Januari

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

PENDUGAAN BEBERAPA PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG (Decapterus macrosoma, BLEEKER 1841) DI PERAIRAN TELUK BONE, SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN BEBERAPA PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG (Decapterus macrosoma, BLEEKER 1841) DI PERAIRAN TELUK BONE, SULAWESI SELATAN PENDUGAAN BEBERAPA PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG (Decapterus macrosoma, BLEEKER 1841) DI PERAIRAN TELUK BONE, SULAWESI SELATAN Estimation of Population dynamics paramaters of Mackarel fish (Decapterus

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau 19 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten

Lebih terperinci

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA Umar Tangke Staf Pengajar Faperta UMMU-Ternate, e-mail: khakafart@yahoo.com

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012). Klasifikasi Ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut

TINJAUAN PUSTAKA. mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012). Klasifikasi Ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut 6 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelligers spp.) Ikan kembung merupakan ikan yang hidup di tepian pantai dan pada musim tertentu hidup bergerombol di permukaan laut, sehingga penangkapannya secara

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang Ikan cakalang (Gambar 1) dikenal sebagai skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Nadia Adlina 1, *, Herry Boesono 2, Aristi Dian Purnama Fitri 2 1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci