KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA"

Transkripsi

1 KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA EKA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i

2 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2011 Eka Pratiwi C

3 iii RINGKASAN Eka Pratiwi. C Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Achmad Fachruddin lkan pepetek (Leiognathus equulus) termasuk kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Jakarta. Ikan pepetek merupakan hasil tangkapan sampingan yang diolah menjadi ikan asin, pakan udang dan pakan ikan. Walaupun demikian, ikan pepetek merupakan ikan tangkapan dominan yang didaratkan di TPI Cilincing. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan pepetek melalui aspek biologi, seperti TKG, nisbah kelamin, hubungan panjang bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan, dan laju mortalitas selain itu dianalisis juga laju eksploitasi dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek. Informasi ini merupakan masukan yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan pepetek yang berkelanjutan. Pengambilan contoh ikan berlangsung mulai 23 Oktober-18 Desember di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing. Ikan contoh setiap 2 minggu sekali sebanyak ekor dan dibedakan antara jantan dan betina Data primer yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Sedangkan data sekunder berupa hasil produksi dan harga ikan pepetek tahun 2008 sampai 2010 diperoleh dari pencatatan pelelangan TPI Cilincing. Kelompok umur dipisahkan dengan metode NORMSEP (Normal Separation); TKG dianalisis secara morfologi; nisbah kelamin ditentukan dengan perbandingan jantan dan betina, faktor kondisi dianalisis dengan membandingkan panjang dan bobot; pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi dari panjang; parameter pertumbuhan yang meliputi K (koefisien pertumbuhan) L (panjang asimtotik) dan t 0 (rumus teoritis ikan pada saat panjang nol) dianalisis menggunakan metode Ford Walford; laju mortalitas meliputi laju motalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang, mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris pauly, mortalitas penangkapan (F) dengan menggunakan rumus F = Z M, sehingga diperoleh tingkat eksploitasi (E) dengan E = F/Z. Pendugaan analisis ketidakpastian menggunakan metode Monte Carlo. Panjang ikan pepetek jantan yang tertangkap adalah 130 mm dan ikan pepetek betina 124 mm. Sebaran kelompok ukuran baik ikan pepetek jantan dan betina mengalami pergeseran ke kanan sehingga menunjukan adanya pertumbuhan. Ikan pepetek jantan yang banyak tertangkap memiliki TKG 2 dan TKG 3, sedangkan ikan betina yang dominan tertangkap TKG 2. Ikan pepetek yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek jantan daripada ikan pepetek betina dengan perbandingan nisbah kelamin 1.9:1. Pola pertumbuhan ikan pepetek adalah allometrik negatif (p<0.05). Faktor kondisi rata-rata ikan pepetek betina lebih besar dibandingkan ikan pepetek jantan. Koefisien pertumbuhan (K) ikan pepetek jantan 0.80 per tahun dan panjang asimtotik (L ) sebesar mm. Koefisien pertumbuhan ikan pepetek betina 0.94 per tahun dan panjang asimtotik sebesar mm. Koefisien

4 iv pertumbuhan ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina, sehingga ikan jantan lebih lama mencapai panjang asimtotik dibandingkan ikan pepetek betina. Ikan pepetek jantan memiliki laju mortaitas alami (M) sebesar per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar per tahun, sehingga laju eksploitasi mencapai % per tahun. Mortalitas alami Ikan pepetek betina sebesar per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar per tahun dengan laju eksploitasi sebesar % per tahun. Nilai laju eksploitasi ikan pepetek melebihi laju eksploitasi optimum 50 %. Berdasarkan hasil analisis, stok ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta mengalami growth overfishing. Hasil analisis ketidakpastian menunjukkan nilai produksi ikan pepetek mengalami fluktuasi sehingga dapat dikatakan memiliki ketidakpastian tinggi, sedangkan harga dari tahun relatif konstan. Tingkat eksploitasi yang tinggi harus diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya ikan pepetek secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah perahu motor untuk menangkap ikan pepetek, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan pepetek untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggunaan alat tangkap yang selektif. Kata kunci : ikan pepetek, Teluk Jakarta, parameter pertumbuhan, laju eksploitasi, dan analisis ketidakpastian

5 v KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA Eka Pratiwi C Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 vi PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa NIM Program Studi : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di Perairan Teluk Jakarta : Eka Pratiwi : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer DEA Dr. Ir. H. Achmad Fachruddin M. Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal lulus: 5 April 2011

7 vii PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta ; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di TPI Cilincing pada November 2010-Desember Hal ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor. Penulis menyadari skripsi yang dibuat ini jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk berbagai pihak. Bogor, Mei 2011 Penulis

8 viii UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing II dan selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Bapak Ir. Zairion M. Sc selaku dosen penguji tamu dan Bapak Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan atas saran serta arahannya. 3. Keluarga tercinta; Papa (Bapak Abdul Syakur), Mama (Ibu Siti Badriyah), adik-adikku (Mimi Suhelmi, Andi Rifaldi dan A. Syarafuddin Asyirazi) atas motivasi dan dukungan. 4. Seluruh staf Tata Usaha MSP serta staf MOSI yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini. 5. Seluruh Pegawai TPI Cilincing atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian 6. Fitryanti dan Austin Efflin W. R sebagai patner, atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya. 7. Sahabat-sahabatku MSP 44, kakak-kakak MSP 43, sahabat-sahabat yang ada di Tangerang terutama Marsin dan Heni, serta pihak -pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang, 27 Agustus 1989 dari pasangan Bapak Abdul Syakur dan Ibu Siti Badriyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN 01 Teluknaga, Kab. Tangerang. Penulis melanjutkan pendidikan formal di SMPN 01 Teluknaga, Kabupaten Tangerang. dan SMAN 6 Tangerang. Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Pengkajian Stok Ikan tahun Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun , Pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun , serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta.

10 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiii xv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi Distribusi ikan pepetek Alat Tangkap Nisbah Kelamin Tingkat Kematangan Gonad Distribusi Frekuensi Panjang Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Faktor kondisi Parameter pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ketidakpastian Hasil Tangkapan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Metode kerja Alat dan bahan Pengumpulan data Analisis Data Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad Sebaran frekuensi panjang Identifikasi kelompok umur Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Faktor kondisi Parameter pertumbuhan Mortalitas dan eksploitasi x

11 xi Analisis ketidakpastian hasil tangkapan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ikan Pepetek di Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta Nisbah Kelamin Tingkat Kematangan Gonad Sebaran Frekuensi Panjang Kelompok Umur Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Faktor kondisi Parameter pertumbuhan Mortalitas dan Eksploitasi Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Hubungan Ketidakpastian dengan Stok Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pepetek di Teluk Jakarta KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 57

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya Penentuan TKG secara morfologi dari Cassie Nisbah kelami dan proporsi kelamin pada ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Parameter pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Analisis beberapa penelitian menegenai parameter pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Nilai statistik produksi ikan pepetek periode di TPI Cilincing Teluk Jakarta xii

13 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta Ikan pepetek (Leiognathus equulus) Peta penyebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) Alat penangkapan dogol ikan pepetek (Leiognathus equulus) Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober Desember Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta menggunakan alat tangkap dogol TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan maupun betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan periode Oktober 2010-Desember Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode Oktober 2010-Desember Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember Faktor kondisi ikan Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober Desember Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta xiii

14 xiv 17. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Grafik produksi ikan pepetek yang didaratkan di TPI Cilincing Perairan Teluk Jakarta periode Diagram frekuensi volume produksi ikan pepetek periode yang didaratkan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta... 49

15 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di TPI Cilincing Teluk Jakarta Panjang total dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Telik Jakarta setiap pengambilan contoh Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 6 November Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 20 November Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 4 Desember Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 18 Desember Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta 23 Oktober Desember Pendugaan Parameter Pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) dengan menggunakan metode Ford Walford ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Perhitungan laju mortalitas total (Z) mortalitas alami (M), mortaitas penangkapan (P) dan laju eksploitasi (E) ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Data sekunder produksi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Periode xv

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut, dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset bagi pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Luas perairan lautan Indonesia sekitar 5,8 juta km 2 memiliki potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari Zonasi Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sampai tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut baru dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3,82 juta ton (Dahuri et al 2001). Pemanfaatan sumberdaya perikanan pepetek harus dilakukan secara rasional agar sumberdaya ikan pepetek tetap lestari. Menurut Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pemanfaatan tersebut memerlukan pengkajian secara menyeluruh terhadap ikan pepetek meliputi aspek biologi, aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Aspek biologi ikan yang dikaji berupa dinamika yang terjadi pada stok sumberdaya ikan yang di eksploitasi. Perairan laut Teluk Jakarta memiliki potensi dalam kegiatan perikanan tangkap di daerah Jakarta khususnya yang didaratkan di TPI Cilincing. TPI Cilincing merupakan tempat pelelangan ikan yang terletak di Jakarta Utara. Penangkapan sumberdaya ikan yang ada di Teluk Jakarta meliputi ikan pelagis, damersal, maupun ikan karang. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta sering dilakukan pada bulan Desember hingga maret sedangkan musim peceklik pada bulan Juni hingga November. Ikan yang dominan tertangkap di TPI Cilincing adalah ikan damersal, salah satunya yaitu ikan pepetek. Ikan pepetek merupakan ikan yang disukai oleh masyarakat sekitar dan harganya terjangkau untuk setiap kalangan masyarakat sehingga peminatnya lebih banyak dibandingkan ikan damersal lainnya seperti kakap merah atau bambangan, kurisi, kuniran, layur, dan bawal putih. Hal ini menyebabkan 1

17 2 penelitian mengenai stok sumberdaya ikan pepetek sangat penting dilakukan Teluk Jakarta meliputi pertumbuhan, rekuitmen, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan dan harga ikan pepetek di Teluk Jakarta Perumusan Masalah Penangkapan ikan pepetek terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya pepetek mengakibatkan mengalami penurunan stok ikan tersebut di perairan Teluk Jakarta. Eksploitasi atas sumberdaya perikanan yang bersifat open access semakin marak sehingga mendorong timbulnya berbagai upaya dalam pengelolaan perikanan perikanan yang berkelanjutan. Semakin kecil ukuran panjang ikan yang tertangkap diduga stok ikan mengalami eksploitasi, sehingga memerlukan suatu pengelolaan yang tepat. Kondisi aktual stok sumberdaya ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekruiment, mortalitas alami dan penangkapan. Informasi panjang dan bobot ikan pepetek dapat berguna dalam upaya meningkatkan produksi perikanan ikan pepetek, maka diperlukan kajian tentang penyebaran kelompok umur berdasarkan analisis frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot ikan pepetek. Hal tersebut dapat menyebabkan fluktuasi produksi sehingga terjadi ketidakpastian produksi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta. Penelitian mengenai kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang mengkaji tentang pertumbuhan, penyebaran kelompok umur, laju mortalitas dan eksploitasi serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek berguna dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam rangka pengelolaan perikanan ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 1. Sumberdaya ikan pepetek dapat termasuk kategori over eksploitasi dan under eksploitasi. Ikan pepetek mengalami over eksploitasi ditandai dengan populasi ikan tersebut turun dan ukuran ikan pepetek mengecil sedangkan apabila ikan pepetek mengalami under eksploitasi maka populasi ikan tetap dan ukuran tubuh ikan normal. Hal ini yang menyebabkan perlunya mengkaji sebaran ukuran, pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi

18 3 serta analisis ketidakpastian ikan pepetek tersebut sehingga dapat merencanakan suatu pengelolaan yang berkelanjutan. Sumberdaya ikan pepetek Over eksploitasi Under eksploitasi Populasi turun Populasi normal Ukuran tubuh mengecil Ukuran tubuh normal Kajian pertumbuhan Laju mortalitas dan laju eksploitasi Analisis ketidakpastian Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta 1.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menduga pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta 2) Menduga laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek di Teluk Jakarta 3) Mengkaji ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek di Teluk Jakarta 4) Mententukan strategi pengelolaan sumberdaya ikan pepetek di Teluk Jakarta

19 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam pengelolaan sumberdaya ikan pepetek di daerah Teluk Jakarta. Pengaruh penangkapan mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut.

20 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perchomorphi Subordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus Spesies : Leiognathus equulus, Forskal, 1874 Nama Indonesia : Peperek topang Nama lokal : Peperek (Jakarta), pepetek (Jakarta), petek Nama FAO/ umum : Common ponyfish Gambar 2. Ikan pepetek (Leiognathus equulus) (Dokumentasi pribadi)

21 6 Ikan pepetek (Leiognathus equulus) memiliki ukuran panjang maksimal 24 cm. Ikan pepetek biasa hidup di dasar perairan dengan suhu perairan antara C serta dapat ditemukan juga di daerah estuari. Badan keperak-perakan, batang ekor dengan pelana coklat kecil, sirip dubur kekuningan, sirip punggung transparan, telanjang kepala dengan tulang belakang nuchal serta mulut menunjuk ke bawah (Allen 2000). Fungsi ekonomis ikan pepetek dirasakan tidak lebih penting daripada fungsi ekologisnya. Ikan petek kurang diminati dalam bentuk segar sehingga lebih banyak dipasarkan dalam bentuk asin kering dan rebus. Ikan yang termasuk dalam famili Leiognathidae ini merupakan salah satu jenis ikan hasil tangkap sampingan yang dominan tertangkap. Ikan ini memiliki nilai cukup ekonomis sehingga nelayan cenderung mengeksploitasi ikan ini dalam jumlah besar. Secara alami ikan pepetek memiliki tingkat pertumbuhan dan rekruitmen yang relatif tinggi (Saadah 2000), namun tingkat kematian alami ikan ini cukup tinggi (Pauly 1971 in Saadah 2000). Badrudin et. al. (1998) in Saadah (2000) mengatakan bahwa ikan pepetek memiliki daya tahan sangat rendah terhadap penangkapan. Hal ini disebabkan oleh ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak relatif rendah. Mortalitas ikan pepetek akibat penangkapan akan meningkat dua kali lebih besar apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali. Berikut ini ciri-ciri ikan pepetek spesies lain: a. Leiognathus elonganthus Leiognathus elonganthus memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan, tetapi bagian pipi dan dada ditutup sisik-sisik kecil, terdapat munchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah, warna lebih keperak-perakan bagian belakang dengan warna hitam gelap, sirip punggung memiliki warna kuning membentuk pita mendatar. Ikan jantan memiliki garisgaris biru membujur perut ( 2011). b. Leiognathus splendens Ikan ini memiliki badan pipih dan agak tinggi, kepala runcing ke depan terdapat munchal spine pada bagian punggung. Ikan memiliki mulut pendek dan dapat disembulkan ke bawah. Warna badan ikan keperak-perakan berawal dari

22 7 sirip hingga sirip ekor. berwarna kuning cerah pada sirip dubur ( 2011). c. Leiognathus daura Ikan Leioghnathus daura umumnya memiliki panjang maksimal 14 cm, tetapi pada umumnya memiliki panjang 9 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 16 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan ikan spesies ini bewarna silver, punggung berwarna agak kehijau-hijauan, kepala dengan nuchal, dan mulut dapat disembulkan ke bawah. Ikan ini biasanya ditemukan di perairan dangkal, terutama atas dasar berlumpur. Makanan untuk ikan pepetek ini adalah polychaeta, bivalva, krustacea kecil, dan sponge ( 2011). d. Leiognathus aureus Ikan pepetek jenis leioghnathus aureus memiliki panjang maksimal 10 cm tetapi banyak ditemukan dengan panjang 6 cm dan hidup pada daerah perairan damersal dengan kedalaman m. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal, serta 24 tulang belakang. Mulut menonjol keluar tidak dapat disembulkan, garis hitam antara margin anteroventral mata dan artikulasi rendah ketika mulut tertutup, garis rusuk lengkap, dan tubuh agak ramping. Keperakan atas setengah dengan bercak abu-abu - coklat yang tidak teratur. Habitat ikan di sekitar pantai dan biasanya ditangkap menggunakan trawl ( 2011). e. Leiognathus blochii Leioghnathus blochii banyak ditemukan dengan ukuran panjang 8 cm dan panjang maksimal mencapai 10 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Spesies ini dibedakan dengan memiliki cirri-ciri seperti dada bersisik, dan bentuk rahang bawah hampir lurus. Makanan ikan ini adalah krustasea kecil dan nematoda dan ditemukan di perairan dangkal dekat bagian bawah. Ikan jenis ini dijual segar dan kering asin di pasar, juga digunakan untuk tepung ikan ( 2011).

23 8 f. Leiognathus brevirostis Ikan ini sering ditemukan dengan panjang 11 cm dan memiliki panjang maksimum 13.5 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan keperakan; spesimen hidup atau segar dengan kilatan emas. Kepala dengan nuchal, mulut dapat disembulkan kebawah. Makanannya seperti diatom, copepod, Lucifer, nematode and polychaete ( 2011) Distribusi Ikan Pepetek Ikan pepetek (Leiognathus equulus) tinggal di lingkungan benthopelagic (dasar perairan hingga mencapai permukaan), sebagian besar hidup di laut, beberapa di air payau dan air tawar. Ikan pepetek hidup pada kedalaman m sampai kedalaman m dan biasanya ditemukan dalam gerombolan besar. Daerah penyebaran ikan pepetek (Gambar 3) meliputi, Indo-Pasifik Barat: laut merah, Teluk Gulf Persia dan Afrika Timur serta Utara Australia Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia (Allen 2000). Gambar 3. Peta sebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) ( 2011) Sementara itu, di Indonesia distribusi ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan,

24 9 Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara dan hidup berkelompok pada kedalaman m (Pauly 1977 in Saadah 2000) Alat Tangkap Umumnya ikan pepetek ditangkap mengunakan alat tangkap payang, dogol, dan bagan. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta terutama TPI Cilincing menggunakan jaring dogol (Gambar 4). Jaring dogol digunakan untuk menangkap ikan yang berada di bawah perairan atau termasuk ikan damersal. Gambar 4. Alat tangkap dogol untuk menangkap ikan pepetek (Leiognathus equulus) (2010) Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal yang berhenti dan berlabuh jangkar atau ke darat atau pantai melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (BBPPI 2007 in Rachmawati 2008). Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), jaring terdiri atas kantong, dua buah sayap, dua tali ris, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini untuk mencegah ikan lari kearah vertikal. Kantong merupakan alat paling akhir dari dogol. Hasil tangkapan ikan akan terkumpul pada bagian ini, semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil peluang ikan meloloskan diri (Khair 2007).

25 Nisbah Kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007). Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al in Tampubolon 2008). Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang

26 11 gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006) Distribusi Frekuensi Panjang Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu pendugaan stok spesies tropis adalah analisis sejumlah frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok umur (Sparre & Venema 1999). Analisis frekuensi panjang memiliki kegunaan untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Menurut Iversen (1996) in Sharif (2009) menyebutkan bahwa terdapat faktor pembatas dalam analisis frekuensi panjang yaitu penentuan umur mempersyaratkan banyak contoh dengan selang waktu yang lebar dan umur pada saat pertama kali tertangkap seharusnya diketahui untuk menditeksi kelompok umur pertama. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan panjang atau bobot selama waktu tertentu atau peningkatan biomassa suatu populasi (Effendie 2002). Menurut King (1995) bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi serta sepertiga bagian digunakan untuk pertumbuhan. Effendie (2002) mengatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor luar dan dalam. Faktor dalam

27 12 diantaranya keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan Hubungan Panjang Bobot Analisis mengenai hubungan panjang-bobot yang dapat digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang-bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 2002). Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot ikan lebih besar daripada pertumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 maka menunjukkan bahwa pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Apabila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan isometrik, artinya pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. Perhitungan hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan ikan betina dipisahkan, karena terdapat perbedaan hasil antara jantan dan betina (Effendie 2002). Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010) Faktor Kondisi Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi

28 13 menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 2002) Parameter Pertumbuhan Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy merupakan persamaan yang umumnya digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan Von Bertalanffy menunjukan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Model Ford Walford merupakan model sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999). Parameter-parameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi yaitu panjang Infinitif (L ) merupakan panjang maksimum secara teoritis dan koefisien pertumbuhan (K), dan t 0 merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999). Menurut Dina (2008) parameter pertumbuhan memiliki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat

29 14 diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (King 1995). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang secara teoritis (L ). Ikan mengalami pertumbuhan cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai mortalitas (M) tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984) faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi adalah jumlah ikan ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapannya. Laju eksploitasi dapat didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebur hidup. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan. Semakin tinggi tingkat eksploitasi ikan di suatu daerah maka mortalitas penangkapan tinggi (Sparee &Venema). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa jika stok ikan yang dieksploitasi optimum maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) adalah Ketidakpastian Hasil Tangkapan Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan

30 15 sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan di dukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001). Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001). Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Sumber yang bersifat dari manusia Sumber yang bersifat alami dan manajemen Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya Predator-prey Perubahan tekhnologi Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan Migrasi Sasaran nelayan Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001) Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap

31 16 tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001). Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu: 1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management. b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian value system dalam perikanan. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada). Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu :

32 17 1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial. 2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya. Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

33 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyamapaian tujuan perikanan lain. Pengelolaan sumberdaya periakanan dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Secara umum tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan terbagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial (politik dan budaya). Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam untuk merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suwardi 2008). Menurut Boer & Aziz (2007) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasilan devisa serta mengetahui porsi optimum pemanafaatan oleh aramada penangkapan ikan. Pengelolaan perikanan memilki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Konsep tersebut adalah penamabahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang termahal dan cukup ideal saat ini serta membutuhkan waktu yang sangat lama, dalam memahami setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan secara global yang menjelaskan sistem sumberdaya ikan tangkapan mengetahui komponen membentuknya, yakni dari data maupun informasi yang mudah dikumpulkan, sepeti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi (Boer & Aziz 2007).

34 19 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan pada 23 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember Lokasi pengambilan ikan contoh di Tempat Pelelangan Ikan Cilincing Teluk Jakarta (Gambar 5). Pengambilan data primer berupa data panjang dan bobot ikan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta dan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung. Gambar 5. Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober Desember Metode Kerja Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian berlangsung disajikan pada Tabel 2.

35 20 Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya No. Alat dan Bahan Fungsi Keterangan 1 Penggaris Mengukur panjang tubuh ikan Ketelitian 1 mm 2 Timbangan digital Mengukur bobot ikan Ketelitian 1 gr 3 Kamera digital Dokumentasi 4 Tissue Membersihkan tubuh ikan 5 Plastik Bening Alas timbangan digital Mencatat data panjang dan bobot 6 Alat Tulis ikan 7 Ikan Pepetek contoh yang digunakan Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder digunakan untuk menunjang data primer. Data primer didapat dari melakukan pengambilan ikan contoh yang dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada, ikan diambil ekor setiap pengambilan contoh di setiap keranjang nelayan. Ikan contoh didapatkan dengan cara membeli ikan tersebut kepada nelayan. Ikan pepetek ditangkap menggunakan alat tangkap dogol degan mata jaring 1 inchi bagian luar, 1.25 inchi bagian tengah dan 1.5 inchi bagian belakang dengan kapal berukuran 5-6 GT. Pengambilan ikan dilakukan interval waktu 14 hari selama 2,5 bulan. Ikan pepetek yang diamati selama penelitian berjumlah 411 ekor. Pengumpulan data primer meliputi pengukuran panjang, bobot, identifikasi jenis kelamin, dan TKG untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan pepetek, baik secara keseluruhan populasi maupun perbedaan antara betina dan jantan. Panjang bobot ikan pepetek diukur panjang total menggunakan penggaris 30 cm dengan skala terkecil 1 mm. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur dari ujung mulut hingga ujung ekor. Data bobot diperoleh dari hasil penimbangan bobot basah ikan pepetek dengan menggunakan timbangan digital dengan skala terkecil 1 gram. Jenis kelamin ikan diketahui melalui cara pembedahan perut ikan kemudian menentukan jenis kelamin dan TKG ikan melalui identifikasi gonadnya. Pada pengambilan contoh ke-2 dan pengambilan contoh ke-5 dibedakan jantan dan betina tetapi pengambilan contoh pertama tidak dibedakan.

36 21 Pengumpulan data sekunder didapat dari arsip TPI Cilincing Teluk Jakarta dan Dinas Perikanan DKI Jakarta. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kapal perikanan, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pepetek, jumlah nelayan, data produksi dan harga ikan pepetek tahun Analisis Data Nisbah kelamin Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan rumus berikut: (1) P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah jantan atau betina dan N adalah jumlah total ikan (jantan & betina) Tingkat kematangan gonad Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 2002). TKG Betina Jantan I Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin II III IV V Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh Ukuran testes lebih besar, pewarnaan seperti susu Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot

37 22 gonad, serta perkembangan isi gonad. Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Tabel 3) Sebaran frekuensi panjang Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah data panjang total ikan pepetek yang ditangkap di Cilincing Teluk Jakarta. Tahap untuk menganalisis data frekunsi panjang adalah: a) Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan b) Menentukan lebar selang kelas c) Menentukan selang frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan contoh pada panjang selang ikan yang ditentukan. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut dapat dilihat sebuah pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran sebaran kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort Identifikasi kelompok umur Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan pepetek. Data frekuensi panjang dianalisis dengan mengunakan metode yang terdapat dengan program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata dan simpangan baku. Menurut Boer (1996), jika f i adalah frekuensi ikan kedalam kelas panjang ke-i (i = 1,2,,N), µ j adalah rata-rata panjang kelompok ke-j, σ j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan p i adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1,2,,G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µ j, σ j,p j ) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum Likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut :

38 23 (2) yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan simpangan baku σ j. x i merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masingmasing terhadap µ j, σ j,p j sehingga diperoleh dugaan µ j, σ j,p j yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan. Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Analisis pola pertumbuhan ikan pepetek menggunakan hubungan panjang dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002): W = (3) Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan sebagai berikut : Log W = Log a + b Log L (4) untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut: y = b 0 + b 1 x (5)

39 24 untuk menguji nilai b = 3 melawan b < 3 atau b < 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis : H 0 H 1 atau, : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik : b < 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik negatif b > 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif W adalah bobot, L adalah panjang, Log a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot. Hipotesis yang digunakan adalah bila b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan) dan bila b>3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan) (Effendie 2002). (6) (7) b 1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b 0 adalah 3, Sb 1 adalah simpangan koefisien Bandingkan nilai t hitung dan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan pepetek, maka kaidah keputusan yang diambil adalah : t hitung > t tabel : tolak hipotesis H 0 t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis H Faktor kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup maupun

40 25 reproduksi. Jika pertumbuhan ikan pepetek termasuk pertumbuhan isometrik (b=3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002): (8) K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang bertipe allometrik negatif Parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (King 1995). atau, (9) (10) L t adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t 0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan (11) menjadi: (11) sehingga,

41 26 (12) dengan mendistribusikan persamaan (10) ke (12), di peroleh (13) atau, (14) L t dan L t+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1 =tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (14) dan (15) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b 0 + b 1 x, jika L t sebagai absis (x) di plotkan terhadap L t+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e -K dan titik potong dengan absis sama dengan L [1-e -K ]. Nilai K dan L di peroleh dengan cara sebagai berikut: dan K = -ln (b) (15) (16) Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat di duga secara terpisah menggunakan persamaan empiris pauly (Pauly 1980 in Sparee & Venema) sebagai berikut.

42 27 Log (-t 0 ) = (Log L ) (Log K) (17) Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur denagn mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy. (18) Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L 1 ke L 2 ( t) (19) Langkah 3 : menghitung (t+ t/2) (20) Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang (21) persamaan (20) adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut. Ln M = *Ln L *Ln K *Ln T (22) (23)

43 28 M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air ( 0 C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F = Z M (24) Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) : (25) Laju mortalitas penangkapn (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah: F optimum = M dan E optimum = 0.5 (26) Analisis ketidakpastian hasil tangkapan Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993), yaitu: Jika kejadian-kejadian B 1, B 2,, B k merupakan kejadian yang saling terpisah yang gabungannya ruang contoh S dengan P(B i ) 0 untuk i = 1, 2,, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat: (27)

44 29 untuk r = 1,2,,k Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pengetahuan awal yang diberikan. Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi. Menggunakan Crystall ball dapat membuat keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar paling tidak pasti. Crystall ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model speedshet, suite meliputi analisis simulasi Monte Carlo (Crystall ball), time-series paramalan (CB Prediction), dan optimisasi (Opt Quest) serta pengembangan antar muka kostum dan proses (Goldman 2002 in Wardani 2010).

45 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta memiliki luas teluk sebesar 285 km 2, garis pantai yang dimiliki sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman 15 meter. Masyarakat sekitar perairan Teluk Jakarta sebagian memiliki profesi sebagai nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap berupa bagan, dogol, pancing, jaring payang, dan purseine. Kapal penangkapan ikan di TPI Cilincing merupakan kapal kayu yang dominan berukuran 5-6 GT. Kapal yang digunakan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta adalah perahu tempel dan kapal motor. Hasil tangkapan utama berupa ruca, pepetek, kuniran, pari, kurisi, kapasan, samgeh, dan cumi. Pada Gambar 6 disajikan per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing. Gambar 6. Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta yang menggunakan alat tangkap dogol DKP-DKI 2010 Ikan pepetek di Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing sebagian besar ditangkap menggunakan alat tangkap jaring dogol. Ukuran mata jaring yang digunakan 1 inchi bagian depan, 1.25 inchi bagian tengah dan 1.5 inchi bagian belakang. Daerah penangkapan ikan bagi nelayan Teluk Jakarta adalah pulau-pulau sekitar perairan Teluk Jakarta seperti Pulau Damar, Pulau Bendera, dan Pulau Untung Jawa. Ikan pepetek yang tertangkap dipilah menjadi kelompok ikan segar dan kelompok ikan yang diasinkan.

46 Perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak pada Lintang Selatan (LS) dan Bujur Timur (BT) dan garis lintang LS hingga LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan Teluk Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat (Agnitasari 2006). Menurut hasil penelitian Apriadi (2005) pada titik contoh sejauh m dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara mg/l, sedangkan kandungan krom (Cr) berkisar antara mg/l. Nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yaitu masing-masing sebesar sebesar mg/l dan mg/l. Menurut Rochyatun dan Rozak (2007) perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal water) mempunyai peranan yang sangat besar dimana berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya. Selain Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta, diperkirakan ada 9 muara sungai yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang cukup berat. Selain itu, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta. Nelayan yang terdapat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 5-6 GT sehingga hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal besar. Suhu rata-rata permukaan Teluk Jakarta C (Praseno dan Kastoro 1980 in Damayanti 2010). Jenis-jenis ikan yang umumnya ditangkap oleh nelayan

47 32 TPI Cilincing adalah ikan kembung, kurisi, kuniran, teri, pepetek, samgeh, dan cumi-cumi Nisbah Kelamin Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Jumlah frekuensi jantan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta sebesar 243 ekor dan jumlah frekuensi ikan betina 131 ekor. Perbandingan jumlah ikan pepetek jantan dan betina sebesar 1,9:1. Nisbah kelamin dan proporsi kelamin ikan pepetek pada setiap pengambilan contoh dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Nisbah kelamin dan proporsi kelamin pada ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Pengambilan Nisbah Jenis Kelamin (%) Waktu Contoh Jantan Betina 1 6 November November Desember Desember Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran, ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina. Perbedaan jenis pertumbuhan dan laju eksploitasi antara jantan dan betina menyebabkan penyimpangan nisbah kelamin. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006) Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Berikut adalah grafik Tingkat Kematangan

48 33 Gonad (TKG) pada tiap bulan pengamatan dari ikan pepetek jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8: Gambar 7. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 Gambar 8. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 Ikan pepetek yang diperoleh selama penelitian memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) I, II, III, dan IV. Persentase tingkat kematangan gonad ikan pepetek pada setiap pengambilan waktu berbeda-beda, baik jantan maupun betina. Pada penangkapan ikan pepetek pada jenis kelamin jantan yang banyak tertangkap adalah yaitu TKG 2 dan TKG 3. Pada ikan pepetek betina yang banyak tertangkap adalah yaitu TKG 2. Tampubolon (2008) menyatakan bahwa ikan yang memiliki jenis kelamin yang berbeda mengalami tingkat kematangan pada waktu yang berbeda dan ukuran yang berbeda pula meskipun tempat pemijahannya sama.

49 Sebaran frekuensi panjang Ikan pepetek yang diamati selama penelitian berjumlah 411 ekor. Pada 23 Oktober frekuensi ikan pepetek yang dominan tertangkap yaitu selang mm. 6 November 2010, frekuensi pepetek jantan yang dominan tertangkap pada selang mm sedangkan ikan pepetek betina mm. Pada 20 November 2010, frekuensi ikan pepetek jantan dan betina yang dominan tertangkap yaitu mm. ikan pepetek jantan pada 4 Desember 2010 yang dominan tertangkap yaitu mm sedangkan ikan pepetek betina mm. Pengambilan contoh 4 Desember 2010, frekuensi dominan tertangkap untuk ikan pepetek jantan pada selang mm, sedangkan ikan pepetek betina pada selang mm dan mm. Berdasarkan hasil pengelompokkan dalam kelas panjang ddapatkan 16 kelas panjang dengan frekuensi berbeda-beda (Tabel 5). Tabel 5. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta Selang Kelas 23 Oktober November November Desember Desember 2010 T J B T J B T J B T J B T Jumlah T adalah ikan pepetek jenis kelamin jantan dan betina, J adalah ikan pepetek jantan dan B adalah ikan pepetek betina

50 35 Jumlah frekuensi ikan pepetek jantan lebih banyak daripada ikan pepetek betina (Gambar 9). Ikan contoh yang digunakan dalam analisis sebaran ukuran panjang terdiri dari 243 ekor ikan pepetek jantan dan 131 ekor ikan pepetek betina. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan pepetek jantan pada selang kelas mm dan frekuensi tertinggi untuk ikan pepetek betina pada selang mm. ukuran ikan pepetek jantan lebih besar dibandingkan ikan pepetek betina. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999). perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik. Gambar 9. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan maupun betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 Menurut Allen (2000) panjang maksimum ikan pepetek sebesar 240 mm. Perbedaan ukuran panjang total disebabkan beberapa faktor seperti tempat pengambilan contoh ikan, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi. Pada jenis ikan yang sama ukuran panjang totalnya belum tentu sama di suatu daerah yang berbeda, karena ada faktor luar yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Effendie (2002) menyatakan faktor dalam yang mempengaruhi seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah suhu dan makanan. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan ikan berbeda di setiap tempat dan waktu. Dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran

51 36 panjang total maksimum yang lebih kecil bisa mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi. Berdasarkan Gambar 9 jumlah ukuran panjang total ikan pepetek jenis kelamin betina lebih kecil dibandingkan ikan pepetek jenis kelamin jantan. Hal tersebut dapat menyebabkan eksploitasi pada ikan pepetek yang ada di Teluk Jakarta Kelompok Umur Analisis kelompok umur dilakukan untuk setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang menurut waktu pengambilan contoh. Hasil analisis pemisahan kelompok umur diperoleh dari rata-rata dan indeks separasi masing-masing ukuran kelompok panjang ikan pepetek. Gambar 10. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan periode November 2010-Desember 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta

52 37 Pada Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa ikan pepetek mengalami pertumbuhan panjang, pergeseran modus ke arah kanan dan perubahan ukuran panjang ikan setiap pengambilan contoh baik jantan maupun betina. Gambar 11. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode November 2010-Desember 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta Setiap pengambilan contoh mengalami pergeseran ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan. Ukuran ikan pepetek memiliki satu kelompok umur dimana panjang ikan pepetek membentuk distribusi normal maka dapat disimpulkan umur ikan pepetek tidak melebihi satu tahun. Dalam penggunaan

53 38 metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi (Tabel 6 dan Tabel 7). Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, dapat dilihat tidak ada indeks separasi yang diperoleh kurang dari dua (<2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan pepetek dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Ikan pepetek pada umumnya memiliki 1-2 kelompok umur yang cenderung membentuk sebaran normal. Hal ini, menunjukkan ikan pepetek yang tertangkap umurnya tidak melebihi 2 tahun. Tabel 6. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Tanggal Nilai Simpangan Jumlah Indeks Tengah separasi (mm) Baku Populasi 6 November November Desember Desember Tabel 7. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Tanggal Nilai Tengah Simpangan Jumlah Indeks (mm) Baku Populasi separasi 6 November November Desember Desember

54 Pertumbuhan Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta. Hubungan panjang bobot ikan pepetek pada setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 8, ikan pepetek jantan pada Tabel 9 dan ikan pepetek betina pada Tabel 10. Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh Waktu n b R 2 keterangan 1 23 Oktober Allometrik negatif 2 6 November Allometrik negatif 3 20 November Allometrik negatif 4 4 Desember Allometrik negatif 5 18 Desember Allometrik negatif Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh Waktu n b R 2 keterangan 1 6 November isometrik 2 20 November Allometrik negatif 3 4 Desember Allometrik negatif 4 18 Desember Allometrik negatif Tabel 10. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh Waktu n b R 2 keterangan 1 6 November Allometrik negatif 2 20 November isometrik 3 4 Desember Allometrik negatif 4 18 Desember Allometrik negatif

55 40 Ikan pepetek contoh yang digunakan sebanyak 411 ekor ikan. Pengambilan contoh yang dilakukan selama lima kali menunjukkan pertumbuhan bersifat allometrik negatif yaitu laju pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot yang didukung dengan dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95%. Gambar 12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 Dengan menggunakan analisis hubungan panjang bobot (Gambar 12) diketahui persamaan W = L dengan nilai b sebesar berdasarkan uji t dilakukan terhadap nilai b dengan α = 0.05 diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan pepetek bersifat allometrik negatif yaitu pola pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot. Pada persamaan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W= Log L yang artinya setiap penambahan logaritma panjang sebesar 1 mm akan menaikan logaritma bobot sebesar gram. Gambar 13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

56 41 Hubungan panjang bobot untuk menunjukkan pola pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta. Pada ikan pepetek jantan hubungan panjang bobot ikan pepetek di Teluk Jakarta adalah W = L dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan log W = Log L (Gambar 13). Persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan logaritma panjang maka akan menurunkan logaritma bobot sebesar gram. Nilai koefisien sebesar 94% menunjukkan bahwa fomula ini dapat menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 94%. Nilai b = setelah dilakukan uji t (α=0.05) diketahui bahwa ikan pepetek Jantan di Teluk Jakarta bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot (Effendie 2002). Hal ini di dukung dengan bentuk tubuh ikan yang pipih. Gambar 14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 Persamaan hubungan panjang bobot ikan pepetek betina adalah W = L dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = Log L Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan logaritma panjang maka akan menurunkan logaritma bobot sebesar gram. Nilai koefisien sebesar 90.6% menunjukkan bahwa menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 90.6 %. Nilai b = setelah dilakukan uji t (α=0.05) diketahui bahwa ikan pepetek betina di Teluk Jakarta menunjukkan allometrik

57 42 negatif yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot disajikan pada Gambar 14. Pada Tabel 8 pola pertumbuhan ikan pepetek secara keseluruhan adalah allometrik negatif yang artinya ikan memiliki pertumbuhan panjang yang mempengaruhi dibandingkan pertumbuhan bobot (Effendie 2002). Pada ikan pepetek jantan dan betina secara keseluruhan juga pertumbuhan allometrik negatif tetapi pada pengambilan contoh ke-2 untuk ikan pepetek jantan dan pada pengambilan contoh ke-3 untuk ikan pepetek betina menyatakan pola pertumbuhan isometrik setelah dilakukan uji t yang menyatakan gagal tolak H 0. Pola pertumbuhan isometrik dan allometrik negatif menunjukkan bahwa ikan pepetek kurus-kurus. Adanya perbedaan nilai b untuk setiap pengambilan data dipengaruhi oleh musim, makanan, suhu, dan faktor fisiologis dari ikan pepetek (Effendie 2002). Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010). Perbedaan pola pertumbuhan terjadi karena adanya faktor lingkungan seperti suhu, jumlah, dan ketersediaan makanan yang dapat dicerna, selain itu faktor dalam seperti gen, umur, jenis kelamin, hormon, dan penyakit Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan bobot. Rata-rata faktor kondisi ikan pepetek bervariasi untuk setiap pengambilan data. Pada ikan pepetek jantan, faktor kondisi terbesar pada waktu 18 Desember 2010 sebesar dan terendah pada waktu 4 Desember 2010 sebesar Faktor kondisi ikan pepetek betina tertinggi terdapat pada waktu 4 Desember 2010 sebesar dan terendah pada waktu 20 Desember 2010 sebesar (Gambar 15). Secara keseluruhan nilai rata-rata faktor kondisi ikan pepetek betina lebih besar dibandingkan ikan pepetek jantan.

58 43 Gambar 15. Faktor kondisi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta berdasarkan waktu pengambilan contoh Faktor kondisi ikan pepetek jantan berkisar antara sedangkan faktor kondisi ikan pepetek betina berkisar antara Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Nilai faktor kondisi ikan pepetek di suatu perairan bervariasi. Variasi nilai faktor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002) Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode plot Ford-Walford. Ford-Walford merupakan metode paling sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan dengan interval pengambilan contoh yang sama (King 1995) serta memerlukan data panjang rata-rata ikan setiap kelompok ukuran panjang (Sparre & Venema 1999). Pertumbuhan ikan pepetek jantan menggunakan persamaan Von Bertalanffy dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.80 dan panjang asimtotik sebesar 170,78 mm. Koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.94 dan panjang asimtotik sebesar 166,91 mm untuk ikan pepetek betina (Tabel 11).

59 44 Tabel 11. Parameter pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Contoh ikan Parameter pertumbuhan K (tahun) L (mm) t₀ (tahun) Jantan Betina Persamaan Von Bartalanffy yang terbentuk untuk ikan pepetek jantan adalah dan L t = [1 - e -0.80(t ) ] dan persamaan untuk ikan pepetek betina adalah L t = [1 - e (t ) ] (Gambar 16). Metode untuk pendugaan umur ikan didaerah tropis dapat melalui analisis frekuensi panjang. Umur bertambah sehingga panjang ikan semakin bertambah. Ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Spare dan Venema 1999). Gambar 16. Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta perairan. Faktor penyebab kecepatan pertumbuhan ikan adalah kesediaan makanan di Parameter pertumbuhan sangat penting dalam pendugaan stok karena dapat menentukan panjang asimtotik suatu ikan. Panjang maksimum ikan pepetek

60 45 yang tertangkap di TPI Cilincing, Teluk Jakarta adalah 130 mm untuk ikan pepetek jantan dan 121 mm untuk ikan pepetek betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar mm untuk ikan pepetek jantan dan mm untuk ikan pepetek betina. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ikan pepetek tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua. Perbandingan parameter pertumbuhan ikan pepetek dengan penelitian ikan pepetek lain disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Analisis beberapa penelitian mengenai parameter pertumbuhan ikan pepetek Sumber Lokasi K L (mm) Waktu Simanjuntak 2009 Blanakan Mei-Juli 2009 Simanjuntak 2009 Labuan Mei-Juli 2009 Simanjuntak 2009 Teluk Palabuhanratu Mei-Juli 2009 Hazrina 2010 Teluk Palabuhanratu Maret-Mei 2010 Oktober-Desember Teluk Jakarta Pratiwi (Jantan) 0.94 (Betina) Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memiliki nilai K dan L yang berbeda-beda. Nilai K yang besar maka L akan semakin kecil dan memiliki umur yang relatif pendek. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut hidup. Faktor internal yang mempengaruhi adalah faktor genetik, parasit dan penyakit.. Pada penelitian ini didapat L sebesar mm (ikan pepetek jantan) dan mm (ikan pepetk betina) berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan L ikan pepetek dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan yang berbeda Faktor keterwakilan data ikan pepetek contoh yang diambil dan waktu pengambilan contoh juga dapat menyebabkan perbedaan tersebut. Menurut Moyle & Cech 2004 in Tutopoho (2008) bahwa pertumbuhan cepat dapat disebabkan persediaan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai. Sehingga dapat dikatakan perbedaan nilai koefisien pertumbuhan di sebabkan perbedaan genetika. Menurut Sparre & Venema (1999) parameter ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau

61 46 dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjng tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan pepetek dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Gambar 17). Laju mortalitas alami di duga menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan Teluk Jakarta C (Praseno dan Kastoro 1980 in Damayanti 2010). Gambar 17. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi mnduga Z) Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek dapat dilihat dalam Tabel 13. Laju mortalitas total ikan pepetek betina sebesar per tahun dengan laju mortalitas alami per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar % per tahun. Sedangkan laju mortalitas total ikan pepetek jantan sebesar per tahun

62 47 dengan laju mortalitas alami dan laju mortalitas penangkapan sebesar per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar % per tahun. Tabel 13. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Parameter Nilai (Per tahun) Betina Jantan Mortalitas total (Z) Mortalitas alami (M) Mortalitas penangkapan (F) Eksploitasi (E) Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Menurunnya laju mortalitas alami disebabkan oleh berkurangnya jumlah ikan yang tumbuh hingga usia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dahulu oleh aktifitas penangkapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data TKG ikan yang tertangkap yaitu dominan TKG 2. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta merupakan penangkapan yang tergolong growth overfishing. Berdasarkan hasil analisis laju eksploitasi ikan pepetek jantan 92.48% dan ikan pepetek betina 90.29%. Laju eksploitasi di Teluk Jakarta meningkat disebabkan konsumsi terhadap ikan pepetek meningkat, sehingga terjadi penangkapan ikan yang terus menerus. Semakin tinggi tingkat eksploitasi ikan di suatu daerah maka mortalitas penangkapan tinggi (Sparee &Venema). Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) laju eksploitasi optimum sebesar 0.5, maka laju eksploitasi ikan pepetek telah melewati batas optimum yang disebabkan adanya tekanan penangkapan terhadap ikan pepetek di Teluk Jakarta. Hal ini terlihat panjang maksimum yang tertangkap di Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing adalah 130 mm untuk ikan pepetek kelamin jantan dan 121 mm untuk ikan pepetek betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar mm untuk ikan pepetek jantan dan mm untuk ikan pepetek betina. Ikan pepetek

63 48 juga mengalami gejala overfishing di dua daerah yaitu % di daerah Labuan dan % di daerah Pelabuhanratu (Simanjuntak 2010) Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Berdasarkan data sekunder periode , produksi ikan pepetek yang didaratkan di TPI Cilincing Teluk Jakarta mengalami fluktuasi (Gambar 18). Hal ini sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan nelayan di TPI Cilincing. Kegiatan penangkapan ikan di TPI Cilincing menggunakan alat tangkap yang sederhana. Penangkapan ikan pepetek tidak hanya dipengaruhi dari faktor manusia tetapi juga dipengaruhi faktor alam seperti kondisi cuaca, musim, dan arus. Harga untuk ikan pepetek di TPI Cilincing relatif konstan (Rp. 5000,00). Harga relatif konstan sehingga tidak dilakukan analisis ketidakpastian untuk harga ikan pepetek. Gambar 18. Grafik produksi ikan pepetek yang didaratkan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta periode Pendugaan analisis ketidakpastian dengan analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan pepetek dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengelolaan yang berkala (times series data). Simulasi ini diharapkan dapat terlihat peramalan (forecasting) yang terjadi mengenai pergerakan hasil tangkapan dan harga ikan pepetek. Pendugaan tersebut merupakan resiko secara kuantitatif terhadap halhal yang dapat terjadi namun tidak diinginkan. Hasil analisis Monte-Carlo pada produksi ikan pepetek (Gambar 19) memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal. Penyebaran ini menyatakan adanya ketidakpastian dalam penangkapan ikan pepetek.

64 49 Crystal Ball Student Edition Not for Commercial Use Forecast: Produksi 1,000 Trials Frequency Chart 8 Outliers , , , , , Gambar 19. Diagram frekuensi produksi ikan pepetek periode yang didaratkan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Ketidakpastian dalam penangkapan dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik yang didasarkan kepada nilai rata-rata dan galat baku (Tabel 14). Perhitungan statistik dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh galat baku sebesar Rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 5, kg dengan fluktuasi produksi ikan pepetek per tahun sebesar 1.106,22 kg. Galat baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya namun memiliki nilai cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap nilai pepetek pada TPI Cilincing cukup terjadi kemungkinannnya. Keruncingan sebesar 2.99 dan nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai berarti volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi. Nilai kemiringan sebesar 0.04 hampir mendekati nol menggambarkan gafik tersebut grafik sebaran normal. Tabel 14. Nilai statistik produksi ikan peptek periode di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Statistik: nilai Percobaan 1000 Rata-rata 5, Median 5, Modus --- Simpangan baku 1, Ragam 1,223, Kemiringan 0.04 Keruncingan 2.99 Koefisien keragaman 0.19 Galat baku 34.98

65 50 Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakpastian terhadap produksi ikan pepetek. Hasil yang menyatakan sebaran normal pada produksi ikan pepetek menunjukan fluktuasi produksi ikan tersebut. Semakin kecil nilai standar deviasi terhadap rata-rata maka tingkat keseragaman data (nilai) semakin tinggi. Nilai deviasi produksi tinggi maka dapat dikatakan keadaan produksi ikan pepetek memiliki faktor ketidakpastian yang tinggi. Kegiatan penangkapan terganggu maka produksi dalam penangkapan ikan juga terganggu. Nelayan biasanya akan menangkap ikan dalam kondisi yang mendukung dalam penangkapan yang dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil produksi ikan pepetek pada bulan Oktober November mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan terdapat ketidakpastian dalam hal produksi ikan. Penangkapan ikan pepetek masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana sehingga peluang ketidakpastian sangat kecil. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut (Surya 2004). Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, kemampuan biologis, cuaca, daerah penangkapan, berubah dari alat tangkap yang digunakan, armada dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor tersebut membuat volume produksi sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat diramalkan. Banyaknya ketidakpastian dalam kegiatan perikanan dapat menimbulkan resiko bagi kelangsungan kegiatan perikanan Hubungan Ketidakpastian dengan Stok Dalam kegiatan perikanan tangkap ada permasalahan-permasalahan muncul yang disebabkan oleh ketidakpastian yang berasal dari sumber-sumber ketidakpastian secara alami maupun bersumber dari manusia. Fluktuasi hasil

66 51 tangkapan ikan pepetek merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar bagi industri perikanan tangkap ikan pepetek dan pengelolaan yang berkelanjutan. Sumber ketidakpastian alami ikan pepetek yang paling mudah diprediksi adalah hubungan panjang bobot yang digunakan untuk menduga pertumbuhan ikan pepetek. Analisis yang diperoleh dalam hubungan panjang bobot adalah pola pertumbuhan ikan pepetek yang bersifat allometrik negatif. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ikan masih dalam pertumbuhan dan sedang memerlukan makanan untuk kelangsungan hidup. Fase tingkat pertumbuhan ini menunjukkan ikan masih kecil dan belum matang gonad sehingga sesuai untuk dilakukan penangkapan. Hal ini menyebabkan ikan yang tertangkap masih dalam masa pertumbuhan. Apabila terdapat nilai b mendekati 3 maka ikan pepetek tersebut dalam proses pematangan gonad sehingga lebih baik jika ditangkap sampai ikan bereproduksi. Berdasarkan data produksi tahun dapat dilihat penangkapan ikan pepetek pada bulan Oktober-Desember 2010 mengalami peningakatan. Banyaknya ketidakpastian dalam perikanan dapat menimbulkan resiko bagi kelangsungan kegiatan perikanan (Surya 2004). Hal tersebut dapat mempengaruhi keadaan sumberdaya ikan maupun manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pepetek di Teluk Jakarta Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyampaian tujuan perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan karena semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Berdasarkan hasil penelitian penangkapan terhadap ikan pepetek mengarah kepada gejala tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut adalah ukuran ikan maksimum yang tertangkap di Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing adalah 130 mm untuk ikan pepetek jantan dan 121 mm untuk ikan pepetek betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar mm untuk ikan pepetek jantan dan mm untuk ikan pepetek betina. Ikan pepetek jantan tertangkap lebih banyak

67 52 dibandingkan ikan pepetek betina dan ikan pepetek yang banyak tertangkap memilki TKG 2. Ikan pepetek merupakan sumberdaya perikanan yang pemanfaatannya sudah melebihi kapasitas. Ikan pepetek memiliki tingkat eksploitasi yang tinggi dikhawatirkan dapat menurunkan jumlah spesies ikan pepetek, sehingga dibutuhkan pengelolaan yang dapat melestarikan keberadaan ikan pepetek di Teluk Jakarta. Laju eksploitasi ikan pepetek jantan sebesar 92.48% dan ikan pepetek betina sebesar 90.29%. Pada penelitian ini menunjukkan laju eksploitasi ikan pepetek melebihi nilai eksploitasi optimum (0.5), serta ketidakpastian dalam penangkapan ikan. Hal ini menyebabkan ikan pepetek diperairan Teluk Jakarta tergolong growth overfishing sehingga perlu suatu pengelolaan yang berkelanjuatan bagi sumberdaya ikan pepetek. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah tangkapan, jumlah perahu motor untuk menangkap ikan pepetek, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan pepetek untuk mengurangi dalam upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggunaan alat tangkap yang selektif. Menurut Boer & Aziz (2007) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasilan devisa serta mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh aramada penangkapan ikan. Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan untuk memaksimalkan hasil secara biologis (biomassa) maupun ekonomis dengan mempertahankan hasil maksimal dari sumber perairan melalui pengendalian yang dikerjakan oleh manusia dalam pengelolaan perikanan tidak mudah untuk megubah keadaan saat ini. Pengelolaan lingkungan untuk mempertahankan populasi sumberdaya ikan pepetek sangat penting karena lingkungan sangat penting untuk pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta.

68 53 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Pola pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di Cilincing bersifat allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot). Persamaan Von Bartalanffy yang terbentuk untuk ikan pepetek jenis kelamin jantan adalah dan L t = 170,78 [1 - e -0,80(t ) ] dan persamaan untuk jenis kelamin betina adalah L t = 166,91 [1 - e -0,94 (t ) ]. 2. Laju mortaliatas total ikan pepetek jantan sebesar dengan laju mortalitas alami dan laju mortalitas penangkapan sebesar sehingga memperoleh laju eksploitasi sebesar %. Ikan pepetek betina memiliki laju mortaliatas total sebesar dengan laju mortalitas alami dan laju mortalitas penangkapan sebesar sehingga memperoleh laju eksploitasi sebesar %. Berdasarkan hasil analisis stok ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta mengalami growth overfishing. 3. Pendugaan analisis Monte-Carlo menunjukkan adanya ketidakpastian yang terjadi pada perikanan pepetek dalam segi produksi yang tergantung oleh alam. 4. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah perahu motor untuk menangkap ikan pepetek, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan pepetek untuk mengurangi dalam upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggunaan alat tangkap yang selektif Saran Pada penelitian pengkajian stok sumberdaya ikan pepetek perlu adanya penelitian yang sama tetapi pada waktu yang berbeda, kajian lebih lanjut tentang reproduksi, dan pola distribusi agar penangkapan ikan pepetek tidak dilakukan pada saat pemijahan, serta kajian bioekonomi ikan pepetek.

69 54 DAFTAR PUSTAKA Affandi R, et al Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(1) : Agnitasari, SN Karakteristik komunitas makrozoobenthos dan kaitannya dengan lingkungan perairan Teluk Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hlm. Allen G Marine Fishes of South-East Asia. Singapore. Periplus Edition (HK) Ltd. 292 p. Apriandi D Kandungan logam bobot Hg, Pb, dan Cr pada air, sedimen, kerang hijau (Perna viridis) di Perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor hlm. Beverton RJH & Holt SJ On the dynamics of exploited fish population. Her Mjesty s Statinery Office. London, USA. 533 p. Boer M Pendugaan koefisien pertumbuhan (L, K, t 0 ) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 4(1): Boer M & Aziz KA Gejala tangkap ikan pelagis kecil di Selat Sunda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia XIV (2): Dahuri R, et al Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan terpadu. Jakarta. 292 hlm.cuvier, 1833) di Perairan Teluk Jakarta dengan menggunakan sidik frekuensi panjang [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hlm Damayanti W Kajian stok sumberdaya ikan selar (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) di perairan Teluk Jakarta dengan menggunakan sidik frekuensi panjang [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hlm. [DKP-DKI 2010] Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Data perikanan DKI Jakarta tahun DKP. Jakarta hlm. Charles A Suistainable Fisheries System. United Kingdom. Blackwell Science p.

70 55 Effendi MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization Code of conduct for responsible fisheries. FAO Rome. Italy. 41 p Handayani T Aspek biologi ikan lais di danau Lais. Journal of Tropical Fisheries 1(1) : Hazrina A Dinmika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) di perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor hlm. Ismail, MI Beberapa aspek biologi reproduksi ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. Kementrian Kelautan dan Perikanan Undang-undang Republik Indonesia nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta 105 hlm. Khair MPBR Preferensi hasil tangkapan dogol di Desa Karangreja, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanana dan Ilmu Kelaurtan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hlm. King M Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 p. Monintja dan Martasuganda S Teknologi pemanfaatan sumberdaya laut II. Diktat kuliah. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325p. Rachmawati I Analisis hasil tangkapan utama dan sampingan pada alat tangkap dogol di Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat [skrpisi] Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilamu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 hlm. Rochyatun E & Rozak A Pemantauan kadar logam berat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta. Makara sains 11(1) : Saadah Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [Skripsi]. Departemem Manajemen

71 56 Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm. Sharif A Studi dinamika stok ikan layur (Lepthuracanthus savala) di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 54 hlm. Simanjuntak Keterkaitan eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek Leiognathus equulus (Forskal, 1775) family Leiognatidae [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 109 hlm Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan buku i-manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Tampubolon AP Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys thynnoides) perairan rawa banjiran sungai kampar kiri, riau [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hlm. Surya Analisis resiko [terhubung berkala]. Walpole RE Pengantar statistika. Edisi ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 516 hlm. Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Yustina A Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di sungai Rangau, Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains 7(1) : www. Fishbase.org.leiognathus equulus. [terhubung berkala]. November 2010] Jaring dogol. [terhubung berkala] [18 November 2010] www. Fishbase.org.leiognathus. [terhubung berkala]. April 2011]

72 LAMPIRAN 57

73 58 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di TPI Cilincing Teluk Jakarta Ikan pepetek (Leiognathus equulus) Timbangan digital Kamera Digital Alat bedah Baskom kecil/wadah Meteran jahit dan penggaris 30 cm

74 59 Lampiran 2. Panjang total dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Telik Jakarta setiap pengambilan contoh 1. Pengambilan contoh ikan pepetek pada 23 Oktober 2010 P B TKG P B TKG P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad (belum dianalisis)

75 60 Lampiran 2. (lanjutan) 2. Pengambilan contoh ikan pepetek pada 6 November 2010 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

76 61 Lampiran 2. (lanjutan) 3. Pengambilan contoh ikan pepetek pada 20 November 2010 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

77 62 Lampiran 2. (lanjutan) 4. Pengambilan contoh ikan pepetek pada 4 Desember 2010 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

78 63 Lampiran 2. (lanjutan) 5. Pengambilan contoh ikan pepetek pada 18 Desember 2010 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

79 64 Lampiran 3. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 6 November 2010 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Intersept Slope tab = (0.05,33) = 2.04 t hit < t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 6 November 2010 (jantan)

80 65 Lampiran 3. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,20) = 2.10 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 6 November 2010 (betina)

81 66 Lampiran 4. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 20 November 2010 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,52) = 2.01 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 20 November 2010 (jantan)

82 67 Lampiran 4. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,52) = 2.02 t hit < t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 20 November 2010 (betina)

83 68 Lampiran 5. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 4 Desember 2010 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,74) = t hit >t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 4 Desember 2010 (jantan)

84 69 Lampiran 5. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Intersept Slope tab = (0.05,36) = t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b< 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 4 Desember 2010 (betina)

85 70 Lampiran 6. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 18 Desember 2010 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,84) = t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 18 Desember 2010 (jantan)

86 71 Lampiran 6. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,32) = t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b< 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 18 Desember 2010 (betina)

87 72 Lampiran 7. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta 23 Oktober Desember 2010 H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku Perpotongan Kemiringan tab = (0.05,411) = 1.96 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b< 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot seluruh waktu pengamatan

88 73 Lampiran 8. Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) dengan menggunakan metode Ford Walford ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Jantan Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt Lt a = 19.81, b = 0.84, R = 0.97 K = -ln(b) K= -ln(0.84) K= 0.12 per 56 hari K = (0.14/56)*365 = 0.80 per tahun L = a/(1-b) L = 19.81/(1-0.84) L = mm Log (-t 0 ) = (Log L ) (Log K) = (Log ) 1,038 (Log 0.12) = (0.0012/56)*365 = 0.44

89 74 Lampiran 8. (lanjutan) Betina Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt Lt Regresi dari parameter tersebut yaitu: a = 22.42, b = 0,87, R = 0.80 K = -ln(b) K= -ln(0.87) K= 0.14 per 56 hari K = (0.14/56)*365 = 0.94 per tahun L = a/(1-b) L = 22.42/(1-0.87) L = mm Log (-t 0 ) = (Log L ) (Log K) = (Log ) (Log 0.14) = (0.0014/56)*365 = 0.50

90 75 Lampiran 9. Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta Betina frekuensi selang atas selang bawah xi t(l1) t t(l1/l2)/2=x ln(f/dt)=y Regresi yang diperoleh yaitu : y = x Didapat Z(-b) = Z = Laju mortalitas alami (M) ( *Ln * ln *ln 28.95) M = e M = Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = F = Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = / =

91 76 Lampiran 9. (lanjutan) Jantan frekuensi selang atas selang bawah xi t(l1) t t(l1/l2)/2=x ln(f/dt)=y Regresi yang diperoleh yaitu : y = x Didapat Z(-b) = Z = Laju mortalitas alami (M) ( *Ln * ln *ln 28.95) M = e M = Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = F = Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = / =

92 77 Lampiran 10. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Pengambilan contoh 6 November 2010 Pengambilan contoh 20 November 2010

93 78 Lampiran 10 (lanjutan) Pengambilan contoh 4 Desember 2010 Pengambilan contoh 18 Desember 2010

94 79 Lampiran 11. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta Pengambilan contoh 6 November 2010 Pengambilan contoh 20 November 2010

95 80 Lampiran 11. (lanjutan) Pengambilan contoh 4 Desember 2010 Pengambilan contoh 18 Desember 2010

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber :  dkp.co.id 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH SKRIPSI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT DINAMIKA STOK IKAN PEPEREK (Leiognathus spp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT AFIFAH HAZRINA C24061965 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tamban (Sardinella albella) Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae terdiri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ZHANAZHA ALDYASTELLA MAYANGSOKA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b) 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro Ikan kuro diklasifikasikan dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii,

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN VISKA DONITA PRAHADINA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam Ikan lencam (Gambar 1) merupakan salah satu jenis ikan karang yang termasuk dalam kelompok ikan target konsumsi dan memiliki nilai ekonomis penting. Menurut

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN IKAN LEMURU (Sardirtella lortgiceps C.V) DI PERAIRAN TELUK SIBOLGA, SUMATERA-UTARA

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN IKAN LEMURU (Sardirtella lortgiceps C.V) DI PERAIRAN TELUK SIBOLGA, SUMATERA-UTARA ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN IKAN LEMURU (Sardirtella lortgiceps C.V) DI PERAIRAN TELUK SIBOLGA, SUMATERA-UTARA Oleh: RIAMA VERAWATY TAMPUBOLON C02495025 PROGRAM STUD1 MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG Wenny Damayanti SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut: BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan yang dimulai dari Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012, yang berlokasi di Kecamatan Kwandang. Peta lokasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci