KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI"

Transkripsi

1 KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2012 Armansyah Dwi Gumilar C

3 RINGKASAN Armansyah Dwi Gumilar. C Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu. Dibawah bimbingan Achmad Fachrudin dan Mennofatria Boer lkan kurisi (Nemipterus furcosus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan ikan ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Banten. Ikan kurisi merupakan salah satu ikan tangkapan yang dominan yang didaratkan di PPN Karangantu. Akibat ancaman penangkapan yang dilakukan secara terus menerus, dikhawatirkan populasinya akan semakin menurun, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai stok ikan kurisi melalui aspek biologi seperti nisbah kelamin, TKG (Tingkat Kematangan Gonad), hubungan panjang bobot, pola pertumbuhan, faktor kondisi, laju mortalitas dan eksploitasi, model produksi surplus, dan analisis ketidakpastian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Mei Lokasi pengambilan contoh ikan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu yang mewakili perairan Teluk Banten. Ikan contoh diambil dengan selang waktu dua minggu sekali. Jumlah total ikan yang diambil selama penelitian ini adalah 679 ekor. Data yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Metode yang digunakan antara lain metode regresi linier (analisis hubungan panjang bobot, faktor kondisi, serta mortalitas dan laju eksploitasi), metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) untuk identifikasi kelompok ukuran, metode Ford Walford untuk analisis parameter pertumbuhan, metode visual (analisis TKG dan nisbah kelamin), model Schaefer untuk analisis model produksi surplus, dan metode Monte-Carlo yang terdapat dalam program Crystalball. Berdasarkan hasil penelitian penangkapan terhadap ikan kurisi sudah mengalami over exploited atau tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut diantaranya ukuran ikan maksimum yang tertangkap di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Ikan kurisi yang dominan tertangkap di Teluk Banten memiliki TKG 2 dan TKG 3. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan sudah mencapai 68,52% dan ikan kurisi betina sebesar 82,26% telah menunjukkan laju eksploitasi ikan kurisi melebihi nilai eksploitasi optimum (0,5). Dibuktikan dengan upaya penangkapan dan hasil tangkapan aktual pada tahun 2010 yang mencapai 3280 trip/tahun dan 141,47 ton sedangkan upaya penangkapan optimum dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan masing-masing adalah 1541,67 trip/tahun dan 114,08 ton/tahun. Hasil analisis ketidakpastian hasil tangkapan menunjukkan adanya ketidakpastian dengan rata-rata produksi per tahun sebanyak 8500,44 kg dan simpangan baku atau fluktuasi produksi ikan per tahun mencapai 5759,27 kg.

4 Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa di Teluk Banten terjadi gejala penurunan populasi sumberdaya ikan kurisi yang disebabkan tangkap lebih (overfishing). Tingkat eksploitasi yang tinggi harus diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah armada untuk menangkap ikan kurisi, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan kurisi untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggantian ke alat tangkap yang selektif. Kata kunci : Stok, ikan kurisi, Teluk Banten, ketidakpastian, pengelolaan

5 KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR C Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Armansyah Dwi Gumilar : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Pembimbing I Menyetujui, Pembimbing II Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer, DEA NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 25 Juli 2012

7 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw. dan segenap keluarganya, shahabatnya dan para pengikutnya. Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Illahi yang telah memberikan nikmat dan kekuatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PPN Karangntu pada Februari 2011-Mei Hal ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Agustus 2012 Penulis

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi serta Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil masing-masing selaku dosen penguji dan ketua komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan. 3. Para staf Tata Usaha MSP serta staf Lab. Model dan Simulasi (MOSI) yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Pegawai dan nelayan di PPN Karangantu atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 5. Rekan-rekan seperjuanganku (Tim Karangantu); Endah Tri S, Nuralim Pasisingi dan Danuta Diskibiony atas dukungan, semangat, perjuangan, suka duka, dan kerjasamanya. 6. Sahabat-sahabatku khususnya Reza Zulmi yang ikut membantu Tim Karangantu di lapangan serta selalu memberi kritik, saran, motivasi dan dorongan kepada penulis. Serta rekan-rekan MSP 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perjuangan, suka duka, kekompakan dan kerjasamanya selama ini. 7. Keluarga tercinta, Papah, Mamah, Kakak, Adik-adikku atas doa, kasih sayang, motivasi dan dukungannya. 8. Kekasih tersayang Yuli Handayani yang selalu memberi dukungan, semangat, motivasi serta bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Desember 1989 dari pasangan Bapak Sutarman dan Ibu Sugiarsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu TK Rizky ( ), SDN Panaragan 1 Bogor ( ) Penulis melanjutkan pendidikan formal di SLTPN 6 Bogor ( ), kemudian melanjutkan ke SMAN 2 Bogor ( ). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis sangat menyukai olahraga, terutama bulutangkis, futsal dan voli. Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Badminton IPB sebagai anggota dan organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu.

10 x DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus) Nisbah Kelamin Tingkat Kematangan Gonad Sebaran Frekuensi Panjang Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) Faktor kondisi Mortalitas dan Laju Eksploitasi Model Produksi Surplus Ketidakpastian Hasil Tangkapan Pengelolaan Perikanan METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Pengumpulan Data Analisis Data Nisbah kelamin Sebaran frekuensi panjang Identifikasi kelompok ukuran Tingkat kematangan gonad Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Plot Ford Walford (L, K dan t 0 ) Faktor kondisi Mortalitas dan laju eksploitasi Model produksi surplus Analisis ketidakpastian hasil tangkapan xii xiii xv

11 xi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Kondisi Perairan Teluk Banten Nisbah Kelamin Tingkat Kematangan Gonad Sebaran Frekuensi Panjang Kelompok Umur Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Faktor kondisi Parameter pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Model Produksi Surplus Ketidakpastian Hasil Tangkapan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Penentuan TKG secara morfologi Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu Teluk Banten Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten Nilai statistik produksi ikan kurisi periode di PPN Karangantu, Teluk Banten xii

13 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Alat tangkap jaring dogol Peta lokasi penelitian Teluk Banten Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011 Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011 Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten xiii

14 xiv 18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten periode Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten xiv

15 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN Karangntu, Teluk Banten Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari Mei Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan menggunakan metode Ford Walford Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten xv

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani yang mulai digemari saat ini. Kadar kolesterol ikan rendah serta mengandung asam amino esensial yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Seiring meningkatnya permintaan ikan, teknologi dan intensitas penangkapan ikan semakin bertambah. Perairan Teluk Banten memiliki potensi perairan berupa sumberdaya ikan dan non ikan. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten diantaranya ikan pepetek, cumi, kuniran, kembung, kurisi, dan rajungan. Ikan kurisi merupakan salah satu sumberdaya ikan bernilai ekonomis yang tertangkap di Teluk Banten. Berdasarkan data statistik Ditjen Tangkap-DKP 2011 menunjukkan bahwa ikan kurisi bukan merupakan ikan yang paling dominan di Teluk Banten, namun demikian ikan kurisi memiliki harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat sehingga ikan ini menjadi salah satu jenis ikan yang diminati oleh masyarakat dan perburuan ikan kurisi terus menerus dilakukan. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun upaya penangkapan ikan kurisi terus mengalami peningkatan dari 666 trip pada tahun 2006 hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010 (Ditjen Tangkap-DKP 2011). Pemenuhan terhadap permintaan ikan kurisi yang terus meningkat menyebabkan semakin intensifnya tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan kurisi. Menurut Widodo & Suadi (2006) proses penipisan stok di wilayah Indonesia merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan dalam perikanan yang pemanfaatannya bersifat open access, dimana tidak ada pemilikan individual atas daerah penangkapan, nelayan secara individual tidak dapat melindungi stok ikan. Penipisan stok ikan sering diikuti oleh penurunan produksi perikanan, penurunan hasil tangkapan yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur ikan, dan perubahan komposisi spesies. Hal inilah yang mendorong perlu dilakukannya kajian mengenai stok ikan kurisi di Teluk Banten untuk mengetahui kondisi aktual dari sumberdaya tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan perikanan kurisi yang lestari.

17 2 Pengelolaan sumberdaya ikan kurisi harus terus dilakukan agar tetap lestari. Menurut Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 mengatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya Perumusan Masalah Ikan di laut merupakan milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access) yang mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumberdaya ikan dengan sebanyak-banyaknya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih. Namun, bila pemanfaatan dilakukan terus-menerus tanpa diikuti oleh pengelolaan dapat menyebabkan penurunan stok ikan dan terancamnya keberlangsungan sumberdaya ikan di perairan tersebut. Upaya pemanfaatan ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat diketahui dari perkembangan produksi (ton) dan upaya (trip alat tangkap dogol) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) , , , , , Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011) Peningkatan upaya dapat meningkatkan volume produksi ikan kurisi, namun apabila kontrol terhadap tekanan eksploitasi tidak diperhatikan dapat menyebabkan upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga stok ikan kurisi di perairan mengalami penurunan. Berdasarklan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dari pengelolaan perikanan kurisi yang lebih difokuskan pada pengkajian stok ikan kurisi

18 3 dengan batasan daerah penangkapan Teluk Banten yang berpangkalan di PPN Karangantu, disajikan dalam Gambar 1. Sumberdaya ikan kurisi Upaya penangkapan terus menerus Over exploited Under exploited Populasi turun Populasi normal Ukuran tubuh mengecil Ukuran tubuh normal Pergeseran modus panjang tubuh Kajian stok Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten Upaya penangkapan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan kurisi dapat menyebabkan under exploited ataupun mengalami over exploited. Kedua hal tersebut dapat dilihat dari ada tidaknya pergeseran modus panjang tubuh ikan, bila terjadi pergeseran modus panjang ikan ke kiri atau ukuran tubuh ikan semakin mengecil, hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan dari penangkapan atau sudah terjadi over exploited atau tangkap lebih.

19 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan kurisi (Nemipterus fuscosus) di perairan Teluk Banten yang meliputi pendugaan model pertumbuhan, pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus, analisis ketidakpastian hasil tangkapan, serta menentukan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai langkah awal dalam merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di daerah Teluk Banten yang mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum namun dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut.

20 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulutnya terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih. Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan, kecoklatcoklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hijauan (Fischer & Whitehead 1974). Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga ( Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) tersebut berdasarkan (2011) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Nemipteridae Genus : Nemipterus Spesies : Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830) Nama Indonesia : Kurisi Nama Internasional : Fork-tailed threadfin bream

21 6 Gambar 2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Semua famili Nemipteridae adalah karnivor yang memakan ikan-ikan kecil, crustacea, dan Polychaeta (Russell 1990). Oleh karena itu ikan kurisi termasuk hewan karnivor. Hal ini dapat dilihat dari susunan giginya yang tajam. Makanan ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan kecil. Pada perairan yang dangkal (10-30 meter) komponen makanan yang lebih dominan adalah jenis udang (Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Sedangkan pada perairan yang lebih dalam (30-50 meter) komponen makanan yang paling penting adalah ikan-ikan kecil (Burhanuddin et al. 1984) Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus) Ikan-ikan famili Nemipteridae hidup di dekat dasar dengan tipe substrat berlumpur dan berpasir pada daerah pantai (inshore) dan paling baik pada daerah lepas pantai (offshore) sampai pada kedalaman lebih kurang 3000 meter, meskipun pada kebanyakan spesies terdapat pada perairan dangkal (Russell 1990). Tarigan (1995) menyatakan bahwa ikan-ikan berukuran kecil hidup di perairan dangkal, sedangkan yang berukuran lebih besar hidup pada kedalaman lebih dari 60 meter. Widodo (1980) in Tarigan (1995) menyatakan bahwa hasil tangkapan tertinggi famili Nemipteridae di Laut Jawa adalah pada kedalaman lebih dari 60 meter. Ikan kurisi termasuk jenis ikan demersal berdasarkan tempat hidupnya. Direktorat Jendral Perikanan in Tarigan (1995) menginformasikan bahwa ikan demersal di perairan Indonesia umumnya terkonsentrasi pada kedalaman antara meter. Umumnya ikan kurisi (Nemipterus spp.) dapat hidup di perairan tropik

22 7 dan subtropik. Daerah penyebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Indonesia hampir terdapat di seluruh perairan Nusantara. Penyebaran ikan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Sumber : (2011) Pada prinsipnya alat tangkap dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu tipe statis, ditarik oleh kapal, dilingkarkan pada gerombolan ikan dan alat tangkap aktif lainnya (Siregar 1997). Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Namun umumnya ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu ini tertangkap dengan jaring dogol. Jaring dogol biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berada di dasar perairan atau termasuk ikan demersal. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi ini umumnya berukuran 6 GT. Gambar 4. Alat tangkap jaring dogol Sumber : (2011)

23 8 Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasian alat ini menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK yang berfungsi untuk menarik jaring. Menurut Monintja & Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal Nisbah Kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi maupun yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007).

24 9 Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al in Tampubolon 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006). Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002) Sebaran Frekuensi Panjang Pada dasarnya metode pendugaan stok memerlukan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh dengan melakukan perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras tubuh ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Beberapa metode numerik mulai dikembangkan untuk melakukan konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu, pendugaan stok spesies tropis merupakan analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan dilakukannya analisis data frekuensi panjang ialah untuk menentukan umur terhadap kelompokkelompok panjang tertentu. Analisis tersebut digunakan dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang telah digunakan secara luas di bidang perikanan, biasanya digunakan jika metode lainnya seperti mengetahui umur tidak dapat dilakukan (Sparre & Venema 1999).

25 Pertumbuhan Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan, namun masih ada faktor luar lainnya yang mempengaruhi seperti, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari) (Effendie 2002). Menurut King (1995) bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi. Hanya sepertiga bagian yang digunakan untuk pertumbuhan Hubungan panjang bobot Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pengelolaan perikanan. Effendie (2002) menyatakan bahwa bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang. Hasil analisis hubungan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memilki pola pertumbuhan isometrik (b=0), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b 3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik positif, bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker 1970 in Effendie 2002).

26 Parameter Pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat memberikan representasi pertumbuhan populasi dengan baik. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton & Holt 1957). Menurut Sparre & Venema (1999) parameter ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah. Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan data panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999) Faktor Kondisi Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 2002).

27 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) dapat digunakan untuk menduga mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, termasuk kanibalisme, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas akan berbeda pada spesies yang sama dengan wilayah yang berbeda tergantung dari kepadatan pemangsaan dan pesaing yang kelimpahannya dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L. Semakin tinggi nilai K (pertumbuhan cepat) maka mortalitas alami (M) juga semakin tinggi dan begitu pun sebaliknya. Nilai M juga berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984), faktor yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimum, maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan Model Produksi Surplus Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok secara jangka panjang,

28 13 yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model produksi surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya per spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan yang substantial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999). Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus hasil tangkapan banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benarbenar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al in Syakila 2009).

29 14 Persyaratan untuk analisis model produksi surplus hasil tangkapan adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999): 1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif. 2) Distribusi ikan menyebar merata. 3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam. Asumsi yang digunakan dalam model surplus hasil tangkapan menurut Sparre &Venema (1999) adalah : 1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. 2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus hasil tangkapan telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen. b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan. c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi.

30 15 3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan Ketidakpastian Hasil Tangkapan Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001). Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001).

31 16 Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia dan manajemen Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya Predator-prey Perubahan tekhnologi Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan Migrasi Sasaran nelayan Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001) Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001). Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu: 1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management. b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.

32 17 a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian value system dalam perikanan. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu : 1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial. 2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan intuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya. Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan

33 18 pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006). Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara

34 19 terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis. Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer & Azis 2007).

35 20 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei Lokasi penelitian berada di Teluk Banten, pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi yang ditangkap di Teluk Banten (Gambar 5) dan didaratkan di PPN Karangantu, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung. Lokasi Penelitian : PPN Karangantu Gambar 5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,1 gram, kamera untuk dokumentasi, alat tulis, alat bedah, dan wadah. Bahan yang digunakan yaitu es batu dan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN Karangantu.

36 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer yang dilakukan meliputi pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu setiap dua minggu sekali. Ikan kurisi yang digunakan sebagai ikan contoh didapatkan dari beberapa nelayan yang ada. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara random sampling yang mengandung unsur purposive sampling, dari beberapa keranjang nelayan ikan contoh diambil secara acak, akan tetapi karena dalam satu keranjang terdapat lebih dari satu spesies apabila terambil spesies yang bukan merupakan objek penelitian maka tidak dilakukan pengukuran. Panjang ikan kurisi yang diukur adalah panjang total, yaitu panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan bagian mulut sampai ujung terakhir bagian ekornya menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 milimeter. Bobot ikan kurisi yang ditimbang adalah berat basah total menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram. Data tingkat kematangan gonad (TKG) diperoleh dengan cara membedah ikan kemudian melihat secara visual tingkat kematangan gonadnya. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada para nelayan ikan kurisi sebagai data pendukung. Informasi yang dikumpulkan pada saat wawancara antara lain unit penangkapan (kapal, jumlah anak buah kapal dan alat tangkap) serta daerah penangkapan ikan kurisi. Data sekunder di dapat dari arsip PPN Karangantu Teluk Banten dan Dinas Perikanan Provinsi Banten. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data hasil tangkapan, data harga ikan kurisi, alat tangkap yang digunakan nelayan kurisi, serta kondisi umum daerah penangkapan Analisis Data Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan data sekunder. Analisis data primer digunakan untuk menduga pertumbuhan, mortalitas, dan laju eksploitai ikan kurisi. Analisis data distribusi frekuensi panjang digunakan untuk melihat sebaran panjang ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten. Metode Bhattacharya di gunakan untuk mengidentifikasi kelompok ukuran ikan kurisi. Setelah itu metode Ford Walford digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi dari persamaan Von Bartalanffy

37 22 melalaui data yang dipisah berdasarkan kelompok ukuran ikan kurisi. Analisis penduga mortalitas dan laju eksploitasi dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data posisi panjang. Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk menduga pola pertumbuhan ikan kurisi Nisbah kelamin Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan rumus berikut: (1) P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah ikan (jantan atau betina) dan N adalah jumlah total ikan (jantan dan betina) Sebaran frekuensi panjang Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah panjang total dari ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu. Tahapan untuk menganalisa frekuensi panjang adalah sebagai berikut : a) Menentukan banyaknya kelas dengan menggunakan rumus : kelas = logn Keterangan : n = Jumlah keseluruhan data b) Menentukan lebar selang kelas dengan menggunakan rumus : X max X min SK = kelas c) Menentukan frekuensi setiap kelas dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang dan masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan kedalam sebuah grafik. Grafik tersebut akan

38 23 menggambarkan pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran distribusi kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan kurisi. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Boer (1996) menyatakan jika f i adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2,, N), µ j adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σ j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan p j adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2,, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µ j, σ j, p j ) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut : L = N i= 1 i G f log p q (2) j= 1 j ij Dengan ketentuan q ij μ 1 x i j 2 ( ) 1 2 σ j = exp yang merupakan fungsi kepekatan σj 2π peluang sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan simpangan baku σ j. x i merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µ j, σ j, p j sehingga diperoleh dugaan µ j, σ j, p j yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan. Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan

39 24 kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut Tingkat kematangan gonad Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Tingkat kematangan gonad ialah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) pada ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad. Sedangkan secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Berikut ini adalah tabel penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1979) yang disajikan pada Tabel 3 : Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi TKG Betina Jantan I Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin II III IV Ukuran ovari lebih besar, warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Analisis pola pertumbuhan ikan kurisi menggunakan hubungan panjang bobot masing-masing spesies dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002): (3)

40 25 W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (Perpotongan kurva hubungan panjang berat dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot. Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan sebagai berikut : Log W = Log a + b Log L (4) Untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut: y = b 0 + b 1 x (5) Untuk menguji nilai b = 3 atau b 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis : H 0 H 1 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik : b 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik Hipotesis yang digunakan adalah bila b = 3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b < 3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan). Dan bila b > 3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan). t hitung b b sb 1 0 = (6) 1 (7) b 1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b 0 adalah 3, Sb 1 adalah simpangan koefisien b

41 26 Bandingkan nilai t hitung dan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan kurisi, maka kaidah keputusan yang diambil adalah : t hitung > t tabel : tolak hipotesis H 0 t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis H Plot Ford Walford (L, K dan t 0 ) Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bartalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy (King 1995). L t = L (1 - exp [-K(t-t0)] ) L t = L - L exp [-K(t-t0)] (8) atau, L - L t = L exp [-K(t-t0)] (9) L t adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t 0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan menjadi: L t+1 = L (1 - exp [-K(t+1-t0)] ) L t+1 = L - L exp [-K(t-t0)] exp [-K] (10) sehingga, L t+1 - L t = L - L exp [-K(t-t0)] exp -K - L - L exp [-K(t-t0)] L t+1 - L t = L exp [-K(t-t0)] (1 - exp [-K] ) (11) Persamaan (9) didistribusikan kedalam persamaan (11) sehingga di peroleh persamaan berikut. L t+1 - L t = (L - L t ) (1 - exp [-K] ) (12)

42 27 atau, L t+1 = L t + L (1 - exp [-K] ) - L t + L t exp [-K] L t+1 = L (1 - exp [-K] ) + L t exp [-K] (13) L t dan L t+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984). Persamaan (13) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b 0 + b 1 x, jika L t sebagai absis (x) di plotkan terhadap L t+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan exp [-K] dan titik potong dengan absis sama dengan L (1-exp [-K] ). Nilai K dan L di peroleh dengan cara sebagai berikut: dan K = -ln (b) (14) L = a / (1 - b) (15) Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris pauly sebagai berikut. Log (-t 0 ) = 0,3922-0,2752 (Log L ) 1,038 (Log K) (16) Faktor kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup maupun reproduksi. Jika pertumbuhan ikan kurisi termasuk pertumbuhan allometrik (b 3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002): K = W/ al b (17)

43 28 K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang bertipe allometrik negatif Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur dengan mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy. (18) Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L 1 ke L 2 (Δt) (19) Langkah 3 : menghitung (t+δt/2) (20) Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang (21) persamaan di atas adalah bentu persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut. Ln M = - 0,0152-0,279*Ln L + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T (22) M = exp (- 0,0152-0,279*Ln L + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T) (23)

44 29 M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air ( 0 C) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F = Z M (24) Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) : F F E = = (25) F + M Z Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah: F optimum = M dan E optimum = 0,5 (26) Model produksi surplus Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in (Sparre & Venema 1999). Dapat diketahui melalui persamaan berikut : 1) Hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f), Y = af + bf 2 2) Upaya penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol atau dy/df = 0 : Y = af + bf 2 Y = a + 2bf Y = 0 a = -2bf fmsy = -a/2b

45 30 3) Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada butir 1 di atas, Y = af + bf 2 MSY = (a) fmsy+ (b) fmsy 2 MSY = -a 2 /4b Pada model ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis regresi dengan melinierkan model Schaefer seperti berikut: Y = af + bf 2 CPUE (Y/f) = a+bf Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut: CPUE = Catch / Effort Keterangan : CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Catch : Hasil tangkapan per tahun (kg) Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit) Analisis ketidakpastian hasil tangkapan Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Kaidah Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993), yaitu: Jika kejadian-kejadian B 1, B 2,, B k merupakan kejadian yang saling terpisah dari ruang contoh S dengan P(B i ) 0 untuk i = 1, 2,, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) 0 : (27)

46 31 untuk r = 1,2,,k Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pengetahuan awal yang diberikan. Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi. Menggunakan Crystall ball dapat membuat keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar paling tidak pasti. Crystall ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite meliputi analisis simulasi Monte Carlo (Crystall ball), time-series peramalan (CB Prediction), dan optimisasi (Opt Quest) serta pengembangan antar muka kostum dan proses (Goldman 2002 in Wardani 2010).

47 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah jaring dogol, bagan, jaring insang, payang dan lain-lain. Kapal yang digunakan umunya berukuran 6 GT. Hasil tangkapan utama nelayan di Teluk Banten berupa ikan pepetek, cumi-cumi, kurisi, kembung, kuniran dan lain-lain. Berikut ini disajikan gambar hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu (Gambar 6). Gambar 6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu Sumber : Ditjen-Tangkap (DKP 2011) Ikan kurisi di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu sebagian besar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol/gardan. Pengoperasian alat tangkap ini dengan menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK untuk menarik jaring. Daerah penangkapannya di utara Pulau Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur dengan kedalaman diatas 16 meter. Penangkapan ikan dilakukan pada siang hari, dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Ikan kurisi akan didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon, Tangerang dan Jakarta dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin).

48 Kondisi Perairan Teluk Banten Pada wilayah pantai utara Jawa, ada beberapa teluk yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan tangkap, salah satunya adalah Teluk Banten yang terletak di Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Perairan Teluk Banten secara geografis terletak pada 05º º02 00 LS dan 106º º16 00 BT. Teluk Banten ini terletak pada jarak 60 km sebelah Barat kota Jakarta. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dan luasnya kira-kira 150 km 2 dengan berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,2 m sampai 9 m, oleh sebab itu Teluk Banten termasuk perairan yang dangkal dengan turbiditas tinggi (Tiwi 2004). Dasar perairan pada umumnya lumpur berpasir. Pada teluk terdapat beberapa pulau kecil dengan beberapa yang terbentuk dari gosong karang. Pulau Panjang merupakan pulau yang terbesar, yang berpenduduk dan pulau yang terluar yaitu Pulau Kali (Nuraini 2004). Sebagian besar kawasan teluk bagian barat yang meliputi Kecamatan Kepuh dan Bojonegara dimanfaatkan untuk kawasan industri dan Pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kasemen dan Karangantu dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan seperti kawasan industri, perumahan nelayan, pertambakan dan pelabuhan perikanan Karangantu yang berdampingan dengan pelabuhan niaga kayu. Bagian timur dari teluk ini yang meliputi Kecamatan Tirtayasa dan Pontang merupakan kawasan peruntukan pertambakan dan sebagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004). Perairan teluk dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat merupakan musim hujan, pada bulan Desember hingga Februari curah hujan tertinggi. Musim timur merupakan musim kemarau. Musim penangkapan di Teluk Banten ini yaitu pada musim timur (Nuraini 2004). Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya salinitas menurun pada musim hujan. Pengamatan pada tahun , menunjukkan bahwa suhu air di Teluk Banten berkisar antara 28 31,5 ºC dengan rata-rata 29,5 ºC. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28 33,8 ppm, salinitas rendah (<20 ppm) terjadi pada musim hujan Januari-Februari di perairan dekat muara sungai. Rendahnya salinitas akibat masuknya air hujan dari sungai

49 34 yang bermuara di Teluk Banten. Kecerahan disekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi antara 2 10 m (Nuraini 2004) Nisbah Kelamin Nisbah kelamin perlu diketahui untuk mengetahui kestabilan populasi ikan yang ada di perairan. Jumlah total ikan kurisi yang terambil sebagai contoh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 679 ekor. Frekuensi ikan kurisi jantan sebanyak 417 ekor dan ikan kurisi betina sebanyak 262 ekor. Perbandingan jumlah ikan kurisi jantan dengan betina yaitu sebesar 1,6:1. Proporsi kelamin ikan kurisi pada setiap pengambilan contoh dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Nisbah Jenis Kelamin (%) Waktu n Contoh Jantan Betina 1 24 Februari Maret Maret April April Mei Tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan proporsi ikan kurisi jantan di Teluk Banten lebih dominan dibandingkan ikan betina. Nisbah kelamin yang diperoleh yaitu sebesar 1,6:1 ini tidaklah mutlak, perbandingan nisbah kelamin ini dapat berbeda menurut waktu dan tempat. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik ikan itu sendiri yang tidak dapat dikendalikan. Effendie (2002) menyatakan bahwa perbandingan atau rasio jenis kelamin yang ada di alam bersifat relatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pola penyebaran, ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Perbandingan 1:1 sering menyimpang pada kenyataannya di alam, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, faktor genetik, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

50 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad merupakan tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Berikut adalah grafik Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada setiap pengamatan ikan kurisi jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8: Gambar 7. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 Gambar 8. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011

51 36 Ikan kurisi yang diperoleh selama penelitian dibagi menjadi 4 (empat) tingkat kematangan gonad, (TKG) I, II, III, dan IV. Persentase tingkat kematangan gonad ikan kurisi pada setiap pengambilan waktu berbeda-beda, baik jantan maupun betina. Dari pengetahuan tentang kematangan gonad akan diperoleh informasi kapan ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah (Effendie 2002). Ikan kurisi yang ditangkap di perairan Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 menunjukkan ikan jantan yang tertangkap lebih dominan memiliki TKG 1 dan TKG 2. Pada ikan kurisi betina didominasi ikan yang memiliki TKG 2 dan TKG 3. Dari informasi tersebut, diduga bahwa ikan kurisi sudah memijah dan dalam masa perkembangan kembali gonadnya Sebaran Frekuensi Panjang Ikan kurisi yang diamati selama penelitian dari bulan Februari 2011 sampai bulan Mei 2011 berjumlah 679 ekor, yang terdiri dari 417 ikan jantan dan 262 ikan betina. Pada pengambilan contoh pertama 24 Februari 2011, frekuensi ikan kurisi jantan yang banyak tertangkap yaitu pada selang ukuran mm sedangkan ikan kurisi betina pada selang mm. Pada pengambilan contoh kedua 10 Maret 2011, frekuensi ikan kurisi jantan yang tertinggi berada pada selang ukuran mm sedangkan ikan betina pada selang mm. Frekuensi ikan kurisi jantan dan betina yang dominan pada 24 Maret 2011 berada pada selang ukuran mm. Ikan kurisi jantan yang dominan tertangkap pada 7 April 2011 yaitu pada selang mm dan mm sedangkan kurisi betina pada selang mm. Pengambilan contoh 21 April 2011, frekuensi yang dominan tertangkap untuk ikan kurisi jantan pada selang mm, sedangkan ikan kurisi betina pada selang mm. Pada pengambilan contoh 12 Mei 2011, ikan kurisi jantan yang dominan tertangkap yaitu ukuran mm sedangkan ikan kurisi betina pada ukuran mm. Berdasarkan hasil pengelompokkan dalam kelas panjang didapatkan 11 kelas panjang dengan frekuensi berbeda-beda (Tabel 5).

52 37 Tabel 5. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu Teluk Banten Selang Kelas 24 Februari Maret Maret April April Mei 2011 J B J B J B J B J B J B Jumlah Keterangan: J = jantan ; B = betina Jumlah ikan kurisi jantan lebih banyak dibandingkan dengan ikan kurisi betina (Gambar 9). Ikan contoh yang digunakan dalam analisis sebaran ukuran panjang terdiri dari 417 ekor ikan kurisi jantan dan 262 ekor ikan kurisi betina. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan kurisi jantan pada selang kelas mm dan frekuensi tertinggi untuk ikan kurisi betina pada selang mm. Menurut Lagler (1977), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik.

53 38 Gambar 9. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 Perbedaan ukuran panjang total disebabkan beberapa faktor seperti tempat pengambilan contoh ikan, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi. Untuk jenis ikan yang sama ukuran panjang totalnya belum tentu sama di daerah yang berbeda, karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Effendie (2002) menyatakan faktor dalam yang mempengaruhi seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah suhu dan makanan. Hal tersebut yang menyebabkan berbedanya pertumbuhan ikan di setiap tempat dan waktu. Dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum ikan yang semakin mengecil dapat mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi Kelompok Umur Analisis kelompok umur dilakukan pada setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang pada setiap pengambilan contoh.

54 Gambar 10. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011 Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten 39

55 Gambar 11. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011 Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten 40

56 41 Pada Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa ikan kurisi mengalami pertumbuhan panjang, pergeseran modus ke arah kanan dan perubahan ukuran panjang ikan setiap pengambilan contoh baik jantan maupun betina. Dalam penggunaan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) sangat diperhatikan nilai indeks separasi (Tabel 6 dan Tabel 7). Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, dapat dilihat tidak ada indeks separasi yang diperoleh kurang dari dua (<2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan kurisi dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Ikan kurisi pada umumnya memiliki 1 atau 2 kelompok umur yang cenderung membentuk sebaran normal. Tabel 6. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Tanggal Nilai Tengah Simpangan Jumlah Indeks (mm) Baku Populasi separasi 24 Februari Maret Maret April April Mei Tabel 7. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Tanggal Nilai Tengah Simpangan Jumlah Indeks (mm) Baku Populasi separasi 24 Februari Maret Maret April April Mei

57 Pertumbuhan Hubungan panjang bobot Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan kurisi di perairan Teluk Banten. Hubungan panjang bobot ikan kurisi jantan pada setiap pengambilan contoh di Teluk Banten disajikan pada Tabel 8 dan ikan kurisi betina pada Tabel 9. Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh Waktu N b R 2 keterangan 1 24 Februari ,77 0,97 Allometrik negatif 2 10 Maret ,77 0,92 Allometrik negatif 3 24 Maret ,07 0,98 isometrik 4 7 April ,05 0,99 isometrik 5 21 April ,07 0,99 isometrik 6 12 Mei ,80 0,99 Allometrik negatif Gabungan 417 2,88 0,96 Allometrik negatif Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh Waktu N b R 2 keterangan 1 24 Februari isometrik 2 10 Maret isometrik 3 24 Maret isometrik 4 7 April Allometrik negatif 5 21 April isometrik 6 12 Mei Allometrik negatif Gabungan 262 2,77 0,95 Allometrik negatif Contoh ikan kurisi yang digunakan selama penelitian ini yaitu sebanyak 679 ekor. Pengambilan contoh yang dilakukan selama enam kali menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan ikan kurisi jantan maupun betina bersifat allometrik negatif yaitu laju pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot yang didukung dengan dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95%.

58 43 Pada ikan kurisi jantan dan betina secara keseluruhan pertumbuhannya bersifat allometrik negatif. Namun, pada pengambilan contoh ke-3, 4 dan 5 untuk ikan kurisi jantan dan pada pengambilan contoh ke-1, 2, 3, dan 5 untuk ikan kurisi betina menunjukkan pola pertumbuhannya isometrik setelah dilakukan uji t yang menyatakan gagal tolak H 0. Pola pertumbuhan ikan kurisi di Teluk Banten bersifat allometrik negatif diduga karena faktor genetik, hal ini didukung oleh hasil penelitian lainnya yang juga menyatakan bahwa pola pertumbuhan ikan kurisi bersifat allometrik negatif yang dapat dilihat pada Tabel 10. Adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk setiap pengambilan contoh dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu sehingga mempengaruhi kualitas dan jumlah ketersediaan makanannya. Sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pola pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kualitas dan jumlah ketersediaan makanan, selain itu faktor dalam seperti gen, umur, jenis kelamin, hormon serta penyakit. Tabel 10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) Spesies Daerah Penangkapan Pola Pertumbuhan Nemipterus furcosus PPN Karangantu Teluk Banten (penelitian ini) Allometrik Negatif Nemipterus tambuloides PPI Labuan Teluk Banten (Robiyani 2000) Allometrik Negatif Nemipterus balinensis TPI Cilincing Teluk Jakarta (Fitriyanti 2011) Allometrik Negatif Pola pertumbuhan ikan kurisi yang diperoleh dari hasil analisis penelitian ini sama dengan pola pertumbuhan ikan kurisi di perairan Teluk Banten tahun 2000 dan juga di Teluk Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi secara umum memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif.

59 44 Gambar 12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 Dengan menggunakan analisis hubungan panjang bobot (Gambar 12) diketahui persamaan W = 0,00003L 2,848 dengan nilai b sebesar 2,848 berdasarkan uji t dilakukan terhadap nilai b dengan α = 0,05 diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan kurisi bersifat allometrik negatif yaitu pola pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot. Pada persamaan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = 2,848 Log L 4,588 yang artinya setiap penambahan logaritma panjang sebesar 1 mm akan menurunkan logaritma bobot sebesar 2,848 gram. Gambar 13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011

60 45 Pada ikan kurisi jantan hubungan panjang bobot ikan kurisi di Teluk Banten adalah W = 0,00002 L 2,882 dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = 2,882 Log L 4,662 (Gambar 13). Nilai koefisien sebesar 96% menunjukkan bahwa formula ini dapat menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 96%. Nilai b = 2,882 setelah dilakukan uji t (α=0,05) diketahui bahwa ikan kurisi jantan di Teluk Banten bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot (Effendie 2002). Hal ini terlihat dari bentuk tubuh ikan yang pipih memanjang. Gambar 14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 Persamaan hubungan panjang bobot ikan kurisi betina adalah W = 0,00004 L 2,765 dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = 2,765 Log L - 4,406. Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan logaritma panjang maka akan menurunkan logaritma bobot sebesar 2,765 gram. Nilai koefisien sebesar 95% menunjukkan bahwa menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 95%. Nilai b = 2,765 setelah dilakukan uji t (α=0,05) diketahui bahwa ikan kurisi betina di Teluk Banten menunjukkan allometrik negatif yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot disajikan pada Gambar 14.

61 Faktor kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan bobot. Rata-rata faktor kondisi ikan kurisi bervariasi untuk setiap pengambilan data. Pada ikan kurisi jantan, faktor kondisi terbesar pada waktu 24 Maret 2011 sebesar 1,1960 dan terendah pada waktu 12 Mei 2011 sebesar 0,8891. Faktor kondisi ikan kurisi betina tertinggi terdapat pada waktu 10 Maret 2011 sebesar 1,2406 dan terendah pada waktu 12 Mei 2011 sebesar 1,0467 (Gambar 15). Secara keseluruhan nilai rata-rata faktor kondisi ikan kurisi betina lebih besar dibandingkan ikan kurisi jantan. Gambar 15. Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh Faktor kondisi ikan kurisi jantan berkisar antara 0,8891-1,1960 sedangkan faktor kondisi ikan kurisi betina berkisar antara 1,0467-1,2406. Berdasarkan Gambar 15 dapat terlihat bahwa faktor kondisi ikan kurisi betina selama penelitian lebih tinggi dibandingkan ikan jantan, hal tersebut diduga terkait dengan tingkat kematangan gonadnya dimana tingkat kematangan gonad ikan kurisi betina selama penelitian ini lebih tinggi dibandingkan ikan jantan. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Effendie (2002) juga menyatakan bahwa faktor kondisi juga akan berbeda tergantung makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad Parameter pertumbuhan Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode plot Ford-Walford. Ford-Walford merupakan metode paling sederhana untuk menduga parameter

62 47 pertumbuhan dengan interval pengambilan contoh yang sama (King 1995) serta memerlukan data panjang rata-rata ikan setiap kelompok ukuran panjang (Sparre & Venema 1999). Pertumbuhan ikan kurisi jantan menggunakan persamaan Von Bartalanffy dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,21 dan panjang asimtotik sebesar 322,95 mm. Koefisien pertumbuhan (K) untuk ikan kurisi betina sebesar 0,31 dan panjang asimtotik sebesar 319,84 mm (Tabel 11). Tabel 11. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Contoh ikan Parameter pertumbuhan K (tahun) L (mm) t₀ (tahun) Jantan 0,21 322,95-2,54 Betina 0,31 319,84-1,70 Persamaan Von Bartalanffy yang terbentuk untuk ikan kurisi jantan adalah dan L t = 322,95 [1 - e -0,21(t + 2,54) ] (Gambar 16) dan persamaan untuk ikan kurisi betina adalah L t = 319,84 [1 - e -0,31 (t + 1,70) ] (Gambar 17). Metode untuk pendugaan umur ikan di daerah tropis dapat melalui analisis frekuensi panjang. Umur bertambah sehingga panjang ikan semakin bertambah. Ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Spare dan Venema 1999). Gambar 16. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten

63 48 Gambar 17. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten Faktor penyebab kecepatan pertumbuhan ikan adalah kesediaan makanan di perairan. Parameter pertumbuhan sangat penting dalam pendugaan stok karena dapat menentukan panjang asimtotik suatu ikan. Panjang maksimum ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Semakin jauhnya ukuran panjang maksimum ikan dari panjang infinitifnya (asimtotik) dapat menjadi indikasi bahwa ikan tersebut sudah mengalami overfishing akibat tekanan penangkapan yang tinggi. Pada Gambar 16 dan 17 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ikan kurisi tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memiliki nilai K dan L yang berbeda-beda. Nilai K yang besar maka L akan semakin kecil dan memiliki umur yang relatif pendek karena semakin besar nilai koefisien pertumbuhan (K) maka ikan semakin cepat untuk mencapai panjang infinitifnya sehingga umurnya relatif lebih pendek. Perbedaan nilai K dan L ikan kurisi dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Faktor keterwakilan data ikan kurisi contoh yang diambil dan waktu pengambilan contoh juga dapat menyebabkan perbedaan tersebut.

64 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Gambar 18). Laju mortalitas alami diduga menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan Teluk Banten 29,5 0 C (Nuraini 2004). Gambar 18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi menduga Z) Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi dapat dilihat dalam Tabel 12. Laju mortalitas total ikan kurisi betina sebesar 1,0436 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,3285 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0,7151 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,6852 atau 68,52% per tahun. Sedangkan laju mortalitas total ikan kurisi jantan sebesar 2,4211 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,4295 dan laju mortalitas penangkapan sebesar 1,9916 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,8226 atau 82,26% per tahun.

65 50 Tabel 12. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Parameter Nilai (per tahun) Betina Jantan Mortalitas total (Z) 1,0436 2,4211 Mortalitas alami (M) 0,3285 0,4295 Mortalitas penangkapan (F) 0,7151 1,9916 Eksploitasi (E) 0,6852 0,8226 Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami yaitu adanya predasi. Menurunnya laju mortalitas alami disebabkan oleh berkurangnya jumlah ikan yang tumbuh hingga usia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dahulu oleh aktifitas penangkapan yang tinggi. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kurisi lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari data TKG ikan yang tertangkap yaitu dominan TKG 2 dan TKG 3. Berdasarkan hasil analisis laju eksploitasi ikan kurisi betina 68,52% dan ikan kurisi jantan 82,26%. Laju eksploitasi di Teluk Banten cukup tinggi disebabkan permintaan terhadap ikan kurisi yang tinggi pula, sehingga terjadi penangkapan ikan secara terus menerus, serta penggunaan alat tangkap jaring dogol yang sangat tidak selektif. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre dan Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan. Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) laju eksploitasi optimum adalah sebesar 0,5 atau 50%, sedangkan laju eksploitasi ikan kurisi betina dan jantan di Teluk Banten masing-masing mencapai 68,52% dan 82,26%, maka laju eksploitasi ikan kurisi telah melewati batas optimum yang disebabkan adanya tekanan penangkapan terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.

66 Model Produksi Surplus Analisis CPUE (catch per unit of effort) menunjukkan hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (E) yang dilakukan pada waktu tertentu. Berikut merupakan grafik hasil tangkapan ikan kurisi per unit upaya. Gambar 19. Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya Tabel 13. Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya penangkapan (trip) CPUE , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0431 Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011) Berdasarkan Gambar 19 dan Tabel 13, nilai CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,1631 ton per trip dan CPUE terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 0,0060 ton per trip. Semakin meningkatnya upaya penangkapan yang tidak diimbangi dengan semakin tingginya hasil produksi atau berfluktuasinya hasil

67 52 produksi dapat menjadi indikasi bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih, dapat dilihat pula bahwa nilai CPUE pada 5 tahun terakhir cenderung menurun. Model yang digunakan untuk menganalisis model produksi surplus ini adalah model Schaefer, ditulis dengan persamaan : y = -0,00006x + 0,19 dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 77,6%. Gambar 20. Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer Hasil analisis model produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer didapakan nilai a sebesar 0,185 dan b sebesar -0,00006 sehingga diperoleh nilai f MSY atau upaya tangkapan optimum sebesar 1541,67 trip/tahun dan MSY atau hasil tangkapan optimum sebanyak 142,60 ton/tahun, sedangkan untuk nilai TAC atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 114,08 ton/tahun. Data hasil tangkapan ikan kurisi di PPN Karangantu pada tahun 2010 menunjukkan hasil tangkapan sebanyak 141,47 ton. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terjadi tangkap lebih, selain itu juga upaya tangkapan pada tahun 2010 sebanyak 3280 trip/tahun jauh melebihi upaya tangkapan optimumnya sebesar 1541,67 trip/tahun. Grafik di atas (Gambar 20) juga memperlihatkan nilai CPUE semakin menurun seiring peningkatan effort (upaya) yang menunjukkan bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.

68 Ketidakpastian Hasil Tangkapan Berdasarkan data sekunder periode , produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu Teluk Banten mengalami fluktuasi (Gambar 21). Hal ini sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan nelayan di PPN Karangantu. Penangkapan ikan kurisi tidak hanya dipengaruhi dari faktor manusia tetapi juga dipengaruhi faktor alam seperti kondisi cuaca, musim, dan arus. Gambar 21. Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten periode Pendugaan analisis ketidakpastian dengan analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan kurisi dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengelolaan yang berkala (times series data). Simulasi ini diharapkan dapat terlihat peramalan (forecasting) yang terjadi mengenai pergerakan hasil tangkapan ikan kurisi. Pendugaan tersebut merupakan resiko secara kuantitatif terhadap hal-hal yang dapat terjadi namun tidak diinginkan. Hasil analisis Monte-Carlo pada produksi ikan kurisi (Gambar 22) memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal. Penyebaran ini menyatakan adanya ketidakpastian dalam penangkapan ikan kurisi. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa puncak penangkapannya sangat berfluktuasi dan tidak menentu, hal tersebut menggambarkan bahwa penangkapan ikan kuisi di Teluk Banten mengandung ketidakpastian.

69 54 Crystal Ball Student Edition Not f or Commercial Use 1,000 Trials Frequency Chart 6 Outliers.028 Forecast: Produksi Gambar 22. Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten Ketidakpastian dalam penangkapan dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik yang didasarkan kepada nilai rata-rata dan galat baku (Tabel 14). Perhitungan statistik dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh galat baku sebesar 182,12. Rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 8500,44 kg dengan fluktuasi produksi ikan kurisi per tahun sebesar 5759,27 kg. Galat baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya namun memiliki nilai cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap nilai kurisi pada PPN Karangantu cukup terjadi kemungkinannnya. Keruncingan sebesar 2,81 dan nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai berarti volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi. Nilai kemiringan sebesar 0,08 hampir mendekati nol menggambarkan gafik tersebut grafik sebaran normal. Nilai kurtosis menggambarkan keruncingan atau kerataan suatu distribusi data dibandingkan dengan distribusi normal. Pada distribusi normal, nilai kurtosis sama dengan nol. Berdasarkan hasil analisis didapatkan angka 2,81 artinya bahwa grafik sebaran normal di atas menunjukkan distribusi yang relatif merata.

70 55 Tabel 14. Nilai statistik produksi ikan kurisi periode di PPN Karangantu, Teluk Banten Statistik deskriptif Percobaan 1000 Rata-rata 8500,44 Nilai tengah 8471,47 Mode --- Simpangan baku 5759,27 Ragam ,69 Kemiringan 0,08 Kurtosis 2,81 Koefisien keragaman 0,68 Rata-rata standar kesalahan 182,12 Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakpastian terhadap produksi ikan kurisi. Hasil yang menyatakan sebaran normal pada produksi ikan kurisi menunjukan fluktuasi produksi ikan tersebut. Semakin kecil nilai standar deviasi terhadap rata-rata maka tingkat keseragaman data (nilai) semakin tinggi. Nilai deviasi produksi tinggi maka dapat dikatakan keadaan produksi ikan kurisi memiliki faktor ketidakpastian yang tinggi. Ketika kegiatan penangkapan terganggu maka produksi dalam penangkapan ikan juga terganggu. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut (Surya 2004). Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, cuaca, daerah penangkapan, berubah dari alat tangkap yang digunakan dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor tersebut membuat volume produksi sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat diramalkan. Banyaknya ketidakpastian dalam kegiatan perikanan dapat menimbulkan resiko bagi kelangsungan kegiatan perikanan.

71 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten Berdasarkan hasil penelitian penangkapan terhadap ikan kurisi sudah mengalami over exploited atau tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut diantaranya ukuran ikan maksimum yang tertangkap di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Semakin mengecilnya ukuran ikan kurisi disebabkan karena adanya tekanan akibat penangkapan sehingga memaksa ikan-ikan muda untuk matang gonad lebih cepat, sementara ikan kurisi tidak diberi kesempatan untuk bereproduksi karena ikan kurisi yang dominan tertangkap di Teluk Banten memiliki TKG 2 dan TKG 3. Semakin mengecilnya ukuran tubuh ikan kurisi dan banyaknya ikan kurisi yang memiliki TKG 2 dan TKG 3 yang tertangkap disebabkan karena laju mortalitas dan eksploitasi terhadap ikan kurisi yang sudah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan sebesar 68,52% dan ikan kurisi betina sebesar 82,26% telah menunjukkan laju eksploitasi ikan kurisi melebihi nilai eksploitasi optimum (0,5). Dibuktikan dengan upaya penangkapan dan hasil tangkapan aktual pada tahun 2010 yang mencapai 3280 trip/tahun dan 141,47 ton sedangkan upaya penangkapan optimum dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan masing-masing adalah 1541,67 trip/tahun dan 114,08 ton/tahun. Hal ini menyebabkan ikan kurisi diperairan Teluk Banten tergolong growth overfishing sehingga perlu suatu pengelolaan yang berkelanjutan bagi sumberdaya ikan kurisi. Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyampaian tujuan perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan karena semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Pengelolaan ikan kurisi di Teluk Banten dapat berupa pengaturan upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan upaya penangkapan optimumnya, selain itu juga penangkapan hanya boleh dilakukan menggunakan alat tangkap yang selektif.

72 57 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Ikan kurisi di perairan Teluk Banten sudah mengalami overfishing yang ditandai dengan jauhnya perbedaan antara ukuran panjang maksimal ikan yang tertangkap dengan panjang infinitifnya (asimtotik). Panjang maksimum ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. 2. Pola pertumbuhan ikan kurisi di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot. 3. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di Teluk Banten yaitu sebesar 68,52% untuk ikan kurisi betina dan 82,26% untuk ikan kurisi jantan. Berdasarkan hasil analisis tersebut ikan kurisi di Teluk Banten mengalami growth overfishing karena laju eksploitasinya melebihi laju eksploitasi optimum sebesar 0,5. 4. Hasil analisis model produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer didapakan nilai f MSY sebesar 1541,67 trip/tahun dan MSY sebanyak 142,60 ton/tahun, sedangkan untuk nilai TAC atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 114,08 ton/tahun. 5. Perhitungan statistik ketidakpastian dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 8500,44 kg dengan fluktuasi produksi ikan kurisi per tahun sebesar 5759,27 kg. Nilai fluktuasi yang relatif besar dibandingkan dengan rata-rata produksinya menunjukkan bahwa ketidakpastian hasil tangkapan ikan kurisi di PPN Karangantu cukup tinggi ketidakpastiannya. 6. Pengelolaan ikan kurisi di Teluk Banten dapat berupa pengaturan upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan

73 58 upaya penangkapan optimumnya, selain itu juga penangkapan hanya boleh dilakukan menggunakan alat tangkap yang selektif Saran Untuk penelitian sumberdaya ikan kurisi perlu dilakukan lebih lanjut pada waktu yang berbeda agar dapat mewakili setiap musimnya untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas kapan ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah memijah serta mengetahui pola spawning agar dapat dilakukan pengelolaan yang tepat sasaran. Selain itu juga disarankan agar upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten mengacu pada upaya tangkapan optimumnya serta penggunaan alat tangkap yang memiliki ukuran mata jaring lebih besar dan selektif.

74 59 DAFTAR PUSTAKA Affandi R, et al Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(1) : Afdal & Sumijo HR Kualitas perairan Teluk Banten pada musim timur ditinjau dari konsentrasi klorofil-a dan indeks autotrofik. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33 : Beverton RJH & Holt SJ On the dynamics of exploited fish population. Her Majesty s Statinery Office. London, USA. 533 p. Boer M Pendugaan koefisien pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14 (1) : Boer M & Aziz KA Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14 (2) : Burhanuddin, Sularto, Martosewojo, Djamali A, dan R Moeljanto Perikanan demersal di Indonesia. Lembaga Oseanografi Nasional. Jakarta. 123 hal. Charles A Sustainable Fisheries System. United Kingdom. Blackwell Science p. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Effendie MI Metode biologi perikanan. Cetakan pertama Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm Effendie MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization Code of conduct for responsible fisheries. FAO Rome. Italy. 41 p Fischer W & PJP Whitehead FAO species identification sheets for fisheries purpose. Eastern Indian Ocean (fishing Area 57) and Western Central Pacific (fishing Area 71). Rome. Vol III. P hal.

75 60 Fitriyanti Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di perairan Teluk Jakarta. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Handayani T Aspek biologi ikan lais di danau Lais. Journal of Tropical Fisheries 1(1) : Ismail, MI Beberapa aspek biologi reproduksi ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. King M Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 P. Lagler KF, JE Bardach, RR Miller, & Dora M Passino Ichthyology. John Willey and Sons, Inc. New York. 505 p. Monintja & Martasuganda S Teknologi pemanfaatan sumberdaya laut II. Diktat kuliah. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. Nuraini S Potret perikanan di Teluk Banten tahun disertai paparan peranan ikan kerapu lumpur sebagai bioindikator kestabilan perairan Teluk Banten. Balai Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. 35 hlm Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325p. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan Ikan kurisi. [terhubung berkala] [18 Juni 2010] Robiyani Kebiasaan makanan, pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Russell BC FAO species catalogue., Nemipterid fishes of the world. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. FIR/S : 125 (2). 149 p. Sinaga P Dinamika stok dan analisis bio-ekonomi ikan kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) di TPI Blanakan, Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

76 61 Siregar EB Pendugaan stok ikan dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Lampung. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku i-manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa- Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Suprapto, Amrul, Sjahril, Pasaribu, Taopik Laporan tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu tahun Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorak Jenderal Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu : Serang. 69 hlm. Surya Analisis resiko. [terhubung berkala]. ec7010/ /surya-proposal.doc. [17 Desember 2011] Syakila S Studi dinamika stok ikan tembang (sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hlm. Tampubolon AP Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys thynnoides) perairan rawa banjiran sungai kampar kiri, riau [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hlm. Tarigan I Pendugaan potensi lestari maksimum ikan kurisi (Nemipterus furcosus) dengan menggunakan metode Swept Area di perairan Timur Kalimantan Timur. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm. Tiwi DA Gambaran ekosistem kawasan Teluk Banten tahun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. 19 hlm. Wardani, Wulan Agung Analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan layur (Lepturacanthus savalai) di TPI Cilauteureun, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole RE Pengantar statistika. Edisi ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 516 hlm. Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm.

77 62 Wiyono ES Stok sumberdaya ikan dan keberlanjutan kegiatan perikanan. Inovasi Online, Volume 4: XVII/Agustus [terhubung berkala]. [12 Maret 2011] Nemipterus furcosus. [terhubung berkala]. me=nemipterus&speciesname=furcosus [12 Maret 2011] Jaring dogol. [terhubung berkala]. [12 Maret 2011] Nemipterus furcosus. [terhubung berkala]. [12 Maret 2011] Yustina A Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di sungai Rangau, Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains 7(1) : 5-14

78 LAMPIRAN 63

79 64 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN Karangntu, Teluk Banten Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Timbangan digital Kamera Digital Alat bedah Meteran jahit dan penggaris 30 cm

80 65 Lampiran 2. Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh 1. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 24 Februari 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3 2 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad (belum dianalisis)

81 66 Lampiran 2. (lanjutan) 2. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 10 Maret 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,2 3 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

82 67 Lampiran 2. (lanjutan) 3. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 24 Maret 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,4 2 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

83 68 Lampiran 2. (lanjutan) 4. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 7 April 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3 1 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

84 69 Lampiran 2. (lanjutan) 5. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 21 April 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,1 2 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

85 70 Lampiran 2. (lanjutan) 6. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 12 Mei 2011 Jantan Betina P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG P B TKG , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,9 2 P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad

86 71 Lampiran 3. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Intersept ,38E-19 Slope ,6E-23 tab = (0.05,29) = t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Februari 2011 (jantan)

87 72 Lampiran 3. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,57E-25 Kemiringan ,67E-29 tab = (0.05,37) = t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Februari 2011 (betina)

88 73 Lampiran 4. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,11E-48 Kemiringan ,25E-61 tab = (0.05,111) = t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 10 Maret 2011 (jantan)

89 74 Lampiran 4. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,17E-39 Kemiringan ,01E-44 tab = (0.05,51) = t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 10 Maret 2011 (betina)

90 75 Lampiran 5. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,65E-41 Kemiringan ,54E-48 tab = (0.05,57) = t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Maret 2011 (jantan)

91 76 Lampiran 5. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,95E-21 Kemiringan ,53E-25 tab = (0.05,39) = t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Maret 2011 (betina)

92 77 Lampiran 6. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,1E-61 Kemiringan ,65E-69 tab = (0.05,61) = 1.99 t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 7 April 2011 (jantan)

93 78 Lampiran 6. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,57E-34 Kemiringan ,47E-39 tab = (0.05,42) = 2.02 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 7 April 2011 (betina)

94 79 Lampiran 7. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,28E-56 Kemiringan ,32E-62 tab = (0.05,52) = 2.01 t hit < t tab maka gagal tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b = 3 maka hubungan bersifat isometrik. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 21 April 2011 (jantan)

95 80 Lampiran 7. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,72E-15 Kemiringan ,98E-18 tab = (0.05,29) = 2.05 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 21 April 2011 (betina)

96 81 Lampiran 8. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei 2011 Jantan H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,1E-76 Kemiringan ,06E-88 tab = (0.05,95) = 1.98 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 12 Mei 2011 (jantan)

97 82 Lampiran 8. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,18E-27 Kemiringan ,81E-35 tab = (0.05,52) = 2.01 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 12 Mei 2011 (betina)

98 83 Lampiran 9. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari Mei 2011 H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan E-252 Kemiringan ,8E-302 tab = (0.05,415) = 1.97 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh Februari Mei 2011 (jantan)

99 84 Lampiran 9. (lanjutan) Betina H 0 : b = 3 H 1 : b < 3 Statistik regresi R Tabel Sidik Ragam (TSR) db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung Regresi Sisa Total Simpangan baku P-value Perpotongan ,1E-144 Kemiringan ,7E-176 tab = (0.05,260) = 1.97 t hit > t tab maka tolak hipotesis nol (H 0 ), maka b < 3 maka hubungan bersifat allometrik negatif. Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh Februari Mei 2011 (betina)

100 85 Lampiran 10. Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t 0 ) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan menggunakan metode Ford Walford Jantan Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt Lt a = 14.21, b = 0.956, R = 0.87 K = -ln(b) K= -ln(0.96) K= (per 78 hari) K = (0.0449/78)*365 = per tahun L = a/(1-b) L = 14.21/( ) L = mm Log (-t 0 ) = (Log L ) (Log K) = (Log ) 1,038 (Log 0.21) = (-t 0 ) = 10^(Log(-t 0 )) = 10^(0.4040) = 2.54 t 0 = -2.54

101 86 Lampiran 10. (lanjutan) Betina Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt Lt Regresi dari parameter tersebut yaitu: a = 20.47, b = 0.936, R = 0.81 K = -ln(b) K= -ln(0.936) K= (per 78 hari) K = (0.0661/78)*365 = per tahun L = a/(1-b) L = 20.47/( ) L = mm Log (-t 0 ) = (Log L ) (Log K) = (Log ) (Log 0.31) = (-t 0 ) = 10^(Log(-t 0 )) = 10^(0.2315) = 1.70 t 0 = -1.70

102 87 Lampiran 11. Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Jantan frekuensi selang atas selang bawah xi t(l1) t t(l1/l2)/2=x ln(f/dt)=y , Regresi yang diperoleh yaitu : y = -1,0436 x + 5,8952 Didapat Z(-b) = -1,0436 Z = 1,0436 Laju mortalitas alami (M) ( *Ln * ln *ln 29.5) M = e M = Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = F = Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = / =

103 88 Lampiran 11. (lanjutan) Betina frekuensi selang atas selang bawah xi t(l1) t t(l1/l2)/2=x ln(f/dt)=y Regresi yang diperoleh yaitu : y = x Didapat Z(-b) = Z = Laju mortalitas alami (M) ( *Ln * ln *ln 29.5) M = e M = Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = F = Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = / =

104 89 Lampiran 12. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten Pengambilan contoh 24 Februari 2011 Pengambilan contoh 10 Maret 2011

105 90 Lampiran 12 (lanjutan) Pengambilan contoh 24 Maret 2011 Pengambilan contoh 7 April 2011

106 91 Lampiran 12 (lanjutan) Pengambilan contoh 21 April 2011 Pengambilan contoh 12 Mei 2011

107 92 Lampiran 13. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten Pengambilan contoh 24 Februari 2011 Pengambilan contoh 10 Maret 2011

108 93 Lampiran 13 (lanjutan) Pengambilan contoh 24 Maret 2011 Pengambilan contoh 7 April 2011

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN ENDAH TRI SULISTIYAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH SKRIPSI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA EKA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan kurisi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan kurisi terkenal sebagai ikan demersal yang hidup soliter dengan pergerakan yang lambat. Morfologi ikan kurisi dapat dilihat pada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN VISKA DONITA PRAHADINA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ZHANAZHA ALDYASTELLA MAYANGSOKA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA YOGI MAULANA MALIK PERDANAMIHARDJA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber :  dkp.co.id 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI MAULANA YUSUP H34066080 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN

POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN YULI HANDAYANI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI

PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Recruitment Pattern, Mortality, and Exploitation rate of Spotted Sardinella (Amblygaster

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci