KEJADIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DAN PROGRAM PENANGGULANGANNYA DI PROVINSI NANGGRO ACEH DARUSSALAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEJADIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DAN PROGRAM PENANGGULANGANNYA DI PROVINSI NANGGRO ACEH DARUSSALAM"

Transkripsi

1 KEJADIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DAN PROGRAM PENANGGULANGANNYA DI PROVINSI NANGGRO ACEH DARUSSALAM ISKANDAR MIRZA, M. FERIZAL, dan ARMEN ZULHAM Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam Jl. P. Nyak Makam 27 Banda Aceh ABSTRAK Salah satu kendala dalam melaksanakan program kesehatan hewan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari masing-masing kabupaten, sehingga program kesehatan hewan belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan bahkan terbuka peluang meningkatnya angka kematian ternak akibat penyakit. Di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) terdapat 7 jenis penyakit strategis, 3 diantaranya merupakan penyakit strategis pada ternak ruminansia besar yaitu Brucellosis, Salmonellosis dan Septicaemia epizootika. Data terakhir menunjukkan bahwa Brucellosis berjangkit di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Banda Aceh. Salmonellosis terjadi di Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Banda Aceh. Septicaemia epizootika berjangkit di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Kata Kunci: Penyakit strategis, ruminansia besar, Aceh PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan hewan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari kabupaten/kota, sehingga program kesehatan hewan yang dilaksanakan selama ini cenderung lebih bersifat kuratif. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan bahkan terbuka peluang meningkatnya angka kematian ternak yang diakibatkan oleh penyakit. Terbatasnya informasi kejadian penyakit tersebut disebabkan karena belum adanya pos kesehatan hewan (poskeswan) di setiap kabupaten/kota dan belum optimalnya peran poskeswan yang telah ada. Dalam rangka mendukung program kecukupan daging tahun 2010 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah Provinsi NAD melalui Fakultas Kedokteran Hewan bekerjasama dengan PLAN Internasional Banda Aceh telah melakukan workshop dengan tema Pemberdayaan dan Revitalisasi Poskeswan. Workshop tersebut dilaksanakan selama dua hari pada tanggal Juli Tujuan dari workshop tersebut adalah untuk merumuskan standar operasional prosedur dan menetapkan suatu model pos kesehatan hewan mandiri di Provinsi NAD. Kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan hewan dan sekaligus memantau kejadian penyakit hewan di Provinsi NAD secara intensif yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan produksi serta turut membenatu mewujudkan program kecukupan daging Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005 terdapat 30 jenis penyakit ternak yang dijumpai di wilayah Provinsi NAD yang terdiri dari 7 jenis penyakit yang disebabkab oleh bakteri, 6 jenis oleh protozoa, 3 jenis oleh virus, 13 jenis oleh endoparasit dan 4 jenis oleh ektoparasit. Diantara 30 jenis penyakit tersebut, 7 jenis diantaranya merupakan penyakit strategis. Dari 7 jenis penyakit strategis tersebut, 3 jenis diantaranya merupakan penyakit strategis yang dijumpai pada ternak ruminansia besar. Ketiga jenis penyakit strategis tersebut adalah 116

2 Brucellosis, Salmonellosis dan Septisemia epizootika (SE). Keberhasilan pengendalian penyakit menular strategis tersebut sangat ditentukan oleh koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat karena koordinasi pengendaliannya dilakukan di tingkat pusat. Makalah ini membahas tentang kejadian dan sebaran penyakit menular strategis pada ternak ruminansia besar di Provinsi NAD yang diharapkan dapat membantu dalam pengendalian penyakit tersebut di Provinsi NAD. BRUCELLOSIS Brucellosis merupakan penyakit reproduksi menular yang dapat menimbulkan keguguran. Menurut DITJENNAK (1981), kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai 10 milyar rupiah lebih setiap tahunnya. Penyebab brucellosis pada sapi dan kerbau adalah Brucella abortus. Di Indonesia, brucellosis juga dikenal sebagai penyakit keluron menular dan di Aceh dikenal dengan penyakit Sane. Selain menyerang ternak, brucellosis juga bersifat zoonosis sehingga dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Sumber penularan penyakit ini diantaranya cairan genital, susu dan semen sapi yang sakit. Padang rumput, pakan dan air yang tercemar oleh brucella merupakan sarana yang utama dalam penularan penyakit. Proses jalannya penyakit adalah kuman masuk ke dalam tubuh melalui penetrasi membran mukosa saluran pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan selaput lendir mata (Plommet dan Plommet, 1988). Selain itu penularan penyakit juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit yang luka, hewan yang terinfeksi selama pemerahan dan inseminasi buatan dengan semen yang tercemar (MANTHEI et al., 1950). Kuman Brucella abortus juga ditularkan kepada janin melalui plasenta. Infeksi pada paedet dapat berjalan lama tanpa menunjukkan reaksi positif dalam uji serologi sampai saat beranak yang pertama (BLOOD dan HENDERSON, 1979). Sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus (EDINGTON dan DONHAM, 1939). Sapi dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi Brucella abortus. Brucellosis di Indonesia diketahui sejak tahun 1925 ketika Kirschner berhasil mengisolasi kuman Brucella dari janin pada kasus aborsi di daerah Bandung. Sejak penyakit tersebut dapat diidentifikasi ternyata semakin banyak kasus yang diketahui menyerang sapi termasuk kejadian di Provinsi NAD. Kejadian brucellosis di Provinsi NAD dan Sumatera Utara pertama sekali dilaporkan oleh KRANEVELD pada tahun 1927 (SUDIBYO, 1995) yang berhasil mengisolasi Brucella abortus dari cairan persendian lutut yang bengkak (hygroma) pada sapi potong di daerah Aceh dan Sumatera Utara. Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005 kasus brucellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh dengan jumlah kasus yang dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut berdasarkan data dari masing-masing kabupaten/kota namun akurasi data tentang jumlah kasus masih diragukan karena data yang diperoleh tersebut berdasarkan gejala klinis yang dijumpai di lapangan. Meskipun demikian, data yang disajikan tersebut sangat penting sebagai data dasar untuk mengetahui sejauh mana sebaran penyakit tersebut di Provinsi NAD. Selanjutnya Dinas Peternakan Provinsi NAD (2005) melaporkan bahwa sebaran penyakit di Provinsi NAD dari tahun ke tahun tidak terjadi perubahan. Berdasarkan pola budidaya ternak yang masih ekstensif tradisional dan pengawasan lalu lintas ternak yang kurang ketat akan memberi peluang semakin meluasnya sebaran penyakit ini di Provinsi NAD. Kuman Brucella abortus dapat menghasilkan endotoksin, dan toksin ini dapat mengakibatkan terjadinya plasentitis dan endometritis sehingga terjadi keguguran (ENRIGHT, 1990). Aborsi biasa terjadi pada umur kebuntingan sekitar 6 bulan (BLOOd dan Henderson, 1979) dan menurut Sudibyo (1995) keguguran dapat terjadi pada minggu ke-8 setelah inokulasi kuman. SUDIBYo (1995) melaporkan bahwa sapi yang secara klinis memperlihatkan kebengkakan pada lutut (hygroma) depannya perlu dicurigai akan adanya infeksi brucellosis. 117

3 Teknik diagnosa brucellosis yang dilaksanakan di Provinsi NAD adalah dengan uji RBT dan CFT. Uji CFT merupakan uji yang paling baik dibandingkan dengan uji konvensional lainnya karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik (ALTON et al., 1975). Program penanggulangan yang telah dilaksanakan adalah dengan cara vaksinasi di daerah tertular, sedangkan program pemotongan terhadap hewan yang positif belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena menyangkut dengan ganti rugi. Penanggulangan penyebaran penyakit ini melalui pengawasan lalu lintas ternak juga belum dapat dilakukan secara ketat karena keterbatasan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan suatu standar operasional prosedur (SOP) terhadap lalu lintas ternak yang dapat dilaksanakan di lapangan sehingga penyebaran penyakit ini tidak meluas ke daerah yang masih bebas. SALMONELLOSIS Salmonellosis adalah salah satu kuman penyebab penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian, karena kuman ini patogen terhadap orang maupun hewan yang masih muda dan hewan atau manusia dewasa yang mengalami stres (BUXTON, 1957). Hampir dapat dipastikan bahwa semua negara mengenal salmonellosis, dan penyakit ini dapat menular ke manusia (zoonosis). Bakteri dari genus salmonella ditemukan di Amerika pada tahun 1899 (DHARMOJONO, 2001). Selanjutnya PORTILLO (2000) melaporkan bahwa genus salmonella pada saat ini terdapat lebih dari 2600 serotipe dan oleh WHO dibagi menjadi 2 spesies yaitu salmonella enterica dan salmonella bongori. Penularan salmonella pada manusia dan hewan dapat terjadi melalui pakan, air minum, peralatan kandang, daging karkas, rumah potong hewan dan penetasan telur (JOHN et al, 1988). Di Indonesia telah diketahui bahwa ternak seperti kerbau, sapi dan babi yang secara klinis sehat, kenyataannya ada yang mengandung kuman salmonella (POERNOMO et al., 1984). Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005 salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh. Pada tahun 2001 kejadian penyakit hanya terjadi di 2 kabupaten/kota yaitu dari Aceh Besar dan Aceh Timur. Mengingat begitu mudahnya terjadi perpindahan sumber penularan maka tidak tertutup kemungkinan penyakit ini akan menyebar ke seluruh daerah. Oleh karena penyakit ini tergolong kedalam food borne disease maka sangat sulit untuk menghambat penyebarannya ke daerah bebas lainnya. Ternak yang terjangkit dengan salmonellosis umumnya mempunyai gejala gastroenteritis, diare, dehidrasi dan demam. Gastroenteritis sering disertai dengan diare karena bakteri tersebut menghasilkan cytotoxin dan enterotoxin (DHARMOJONO, 2001). Diagnosis salmonellosis di lapangan biasanya didasarkan pada gejala dan tanda klinis dan penegakan diagnosa dilakukan dengan mengisolasi dan mengidentifikasi agen penyebab. Isolasi mikroba penyebab merupakan cara diagnosa terbaik. Penanganan terhadap hewan yang sakit biasanya dilakukan dengan pemberian antibiotika. Cholamphenicol atau ampicillin merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan salmonella (WATTS, 1983), dan menurut DHARMOJONO (2001) pengobatan salmonellosis sebaiknya dengan menggunakan antibiotik spektrum luas yang diberikan per parentral (DHARMOJONO, 2001). Penggunaan antibiotika harus dilakukan secara rasional karena penggunaan yang tidak rasional dapat mengakibatkan strain resisten. SEPTICAEMIA EPIZOOTICA Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorrhagic Septicaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi dan kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Kerugian akibat penyakit ini cukup besar. WIRYOSUHANTO (1993) melaporkan bahwa pada tahun 1987 kerugian ekonomi akibat penyakit ini pada sapi dan kerbau di Indonesia mencapai Rp. 16,2 milyar. Kerbau lebih peka terhadap SE dibandingkan sapi (PRIADI dan NATALIA, 2000). 118

4 Penyebaran penyakit SE di Provinsi NAD berjangkit sesuai arus lalu lintas ternak dan arah arus sungai (SUHIRJAN et al., 1989). Pada tahun 2005 wabah SE berjangkit di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan Simeulu. Kematian ternak ruminansia besar pada tahun 1988 akibat wabah SE di Aceh Timur 20 ekor, Aceh Selatan 989 ekor, Aceh Barat 735 ekor dan Aceh Utara 175 ekor (SUHIRJAN et al., 1989). Berdasarkan laporan tersebut dapat diketahui bahwa di beberapa daerah yang sebelumnya pernah melaporkan kasus tersebut namun beberapa tahun terakhir ini tidak pernah melapor lagi kasus tersebut seperti daerah Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara. Data tersebut menunjukkan bahwa sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di daerah barat dan selatan (termasuk di dalamnya kabupaten pemekaran yaitu Aceh Barat Daya dan Simeulu). Gejala penyakit yang menyolok adalah demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas ke atas dan kearah dada (PRIADI dan NATALIA, 2000). Bakteriaemia pada sapi dan kerbau terjadi pada 12 jam pasca infeksi, dan bakteri dapat ditemukan di cairan hidung kerbau pada saat yang sama tetapi pada sapi 4 jam sesudahnya (PRIADI dan NATALIA, 2000). Perubahan patologis yang menonjol adalah oedema yang meluas di daerah leher, pembendungan paruparu/pneumonia, dan adanya pendarahan petechiae pada saluran pernafasan bagian atas (PRIADI dan NATALIA, 2000). Tingkat keberhasilan isolasi bakteri penyebab penyakit tersebut masih sangat rendah. Isolasi bakteri sering mendapat kesulitan akibat kontaminasi sampel lapangan yang diterima (ACIAR REPORT, 1994). Reisolasi P. multocida masih dapat dilakukan pada sampel yang diambil 35 jam setelah kematian hewan, tetapi sesudah itu adanya kontaminasi oleh bakteri kontaminan (terutama Proteus sp.) sangat menyulitkan usaha isolasi (PRIadi dan NATALIA, 2000). Sampel sumsum tulang merupakan sampel terbaik, karena dari sampel ini masih dapat dilakukan isolasi bakteri penyebab meskipun sampel telah berumur lama atau lebih dari (3 hari) (PRIADI dan NATALIA, 2000). Untuk mencegah penyakit ini, Pemda Provinsi NAD juga telah mengalokasikan sejumlah dana yang bersumber dari APBD TK. I dan ABPD TK. II untuk pengadaan vaksin. Program pencegahan terhadap penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi di seluruh kabupaten dengan prioritas di daerah yang banyak dijumpai kasus. Terhadap hewan yang sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotik. Potong paksa dilakukan apabila berdasarkan pengalaman tidak mungkin lagi disembuhkan dengan pemberian antibiotika. KESIMPULAN Salah satu kendala dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan hewan di Provinsi NAD saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari masingmasing Kabupaten/Kota. Terdapat 3 jenis penyakit menular strategis pada ternak ruminansia besar yaitu Brucellosis, Brucellosis dan Septisemia epizootika (SE). Brucellosis terjangkit di Kkabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh dan sebarannya dari tahun ke tahun tidak terjadi perubahan. Teknik diagnosa brucellosis yang telah dilaksanakan adalah dengan uji RBT dan CFT. Program penanggulangan yang telah dilaksanakan adalah dengan cara vaksinasi di daerah tertular, sedangkan program pemotongan terhadap hewan yang positif belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena menyangkut masalah ganti rugi. Penanggulangan penyebaran penyakit ini melalui pengawasan lalu lintas ternak juga belum dapat dilakukan secara ketat. Salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yang terdiri dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Tengah, Aceh Timur dan kota Banda Aceh. Pada tahun 2001 kejadian penyakit hanya terjadi di 2 kabupaten/kota yang terdiri dari Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Timur. Penyebaran penyakit SE di NAD berjangkit sesuai arus lalu lintas ternak dan arah arus sungai. Pada tahun 2005 SE berjangkit di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan Simeulu. Pada tahun 1988 wabah SE terjadi di 119

5 Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Barat dan Aceh. Data terakhir menunjukkan bahwa sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di daerah barat dan selatan. Program pencegahan terhadap penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi di seluruh kabupaten dengan prioritas di daerah yang banyak dijumpai kasus. Terhadap hewan yang sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotik. Potong paksa dilakukan apabila berdasarkan pengalaman tidak mungkin lagi disembuhkan dengan pemberian antibiotika. DAFTAR PUSTAKA ACIAR Annual Report. Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia in Indonesia. Aciar Project No ALTON, G.G., J. WAW, B.A. REGERSON and G.G. MCPHERSON The serological diagnosis of bovine brucellosis: An evaluation of the complement fixation, serum agglutination and Rose Bengal Test. Aust. Vet. J. 51: BLOOD, D.C. and J.A. HENDERSON Veterinary medicine. 5 th. ed., Bailliere Tindall, London. BUXTON, A Salmonellosis in animal. Commonwealth Agriculture Bureax Farnham Royal, Bucks, England. 209 pp. DHARMOJONO Limabelas penyakit menular dari binatang ke manusia. Milenia Populer, Jakarta. DINAS PETERNAKAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Laporan Survailance dan Pembuatan Peta Penyakit Strategis. DITJENNAK Penyakit keluron menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dijen Peternakan. Jakarta. EDINGTON, B.H and C.R. DONHAM Infection and reinfection experiment with Bang s disease. J. Agric. Res. 59: ENRIGHT, F.M the pathogenesis and pathobiology of brucella infection in domestic animal. In: K. Nielsen and R. Duncan ed. Animal brucellosis. 1 st ed. CRR Press, Boca Raton, Ann Abor, Boston. GRAYDON, R.J., B.E. PATTEN and H. HAMID The Pathology of experimental Haemorrhagic Septicaemia in buffalo calves. Proc. of the Fourth International Workshop on Haemorrhagic Septicaemia, Srilangka, FEB. 1991: JOHN, B.C., S.R PALMER and J.M. PAYNe Salmonellosis in the zoonoses infection transmited from animal to man. British Library Cataloguing in Publication Data. First Published in Great Britanian: MANTHEI, C.A., D.E. DETRAY and E.R. GOODE Brucella infection in bull and the spread of brucellosis in cattle by artificial insemination. Intrauterine injection. Proc.Book American Veterinary Medical Association. J.Am.Vet. Med. Assoc. 117:106. PLOMMET, M and A.M. PLOMMEt, Virulence of brucella: Bacterial growth and decline in mice. Annal. Rech. Vet. 19(1): PORTILLO, F.G Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. 1ed. J.W. Cary, J.E. Linz and D. Bhatnagar Ed. Technomic Publising Company, Inc New Holland Avenue Box Lancester, Pennysylvania USA, pp 3-7. PRIADI, A. dan LILY NATALIA Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) pada Sapi/Kerbau: Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Reisolasi, Deteksi Pasteurella Multocida dengan Media Kultur dan Polymerase Chain Reaction (PCR). JITV. 5(1): SRI POERNOMO, R.G. HIRST, ISKANDAR, J.T. EMMINS and S. HARDJOUTOMO Salmonella in slaughter animal in Indonesia. Proccedings of the International symposium on salmonella. New Orleans, Lousiana, U.S.A. p SUDIBYO, A Isolasi dan identifikasi Brucela abortus yang menyerang sapi perah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, 2: SUDIBYO, A Studi epidemiologi brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV. Puslitbang Peternakan,. 1(1):

6 SUDIBYO, A Studi patogenisitas Brucella abortus isolat lapang pada sapi perah sedang bunting. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan,. 2: SUDIBYO, A., P. RONOHARDJO, B. PATTEN dan Y. MUKMIN Status Brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. Balai SUHIJAN, MAHMUD A.GANI dan M. GUNAWAN Aspek epidemiologi penyakit ngorok/se di Daerah Istimewa Aceh tahun Buletin Veteriner. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah I. Direktorat Jenderal Peternakan, Proyek Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Propinsi Sumatera Utara. 41: 1-8. WATTS, H.D Handbook of medical treatment. Seventeenth ed. Watts H.D. Ed. Jones Medical Publication, Greenbrae, California. WIRYOSUHANTO, S.D Sistem kesehatan hewan dalam era tinggal landas. Rapat Konsultasi Teknis Nasional Direktorat Jendral Peternakan, Cisarua, 5-8 Januari hlm

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI PULAU JAWA

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI PULAU JAWA EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI PULAU JAWA SUSAN MAPHILINDAWATI NOOR Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114 ABSTRAK Brucellosis adalah salah satu

Lebih terperinci

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH 1, BARIROH N.R 1 dan R.A. SAPTATI 2. 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017

PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 Oleh : drh Nyoman A Anggreni T PENDAHULUAN Pengendalian terhadap penyakit brucellosis di Indonesia, pulau Jawa dan khususnya di terus dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

TENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis);

TENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis); SALINAN MENULAR GUBERNUR SUMATERA UTARA PERATURAN GUBERNUR SUMATERA UTARA NOMOR 21. TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN MASUKI{YA PEI{YAKIT KELURON {BRUCELLOS$I KE DALAM WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi

Lebih terperinci

PROTEKSI VAKSIN MUTAN BRUCELLA ABORTUS RB27 DERIVASI ISOLAT LAPANG S67 PADA MENCIT

PROTEKSI VAKSIN MUTAN BRUCELLA ABORTUS RB27 DERIVASI ISOLAT LAPANG S67 PADA MENCIT PROTEKSI VAKSIN MUTAN BRUCELLA ABORTUS RB27 DERIVASI ISOLAT LAPANG S67 PADA MENCIT (The Efficacy of RB27 Mutant Vaccine Derived from Brucella abortus S67 against Challenge with Field Isolate of B. Abortus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/1/2010 TANGGAL : 29 Januari 2010 PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Ternak

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat langsung diminum atau dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR KETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR R.M.A ADJID dan YULVIAN SANI Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151 Bogor 16114 ABTSRAK Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

DIAGNOSA PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICA PADA SAPI TERNAK DENGAN TEOREMA BAYES

DIAGNOSA PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICA PADA SAPI TERNAK DENGAN TEOREMA BAYES DIAGNOSA PENYAKIT SEPTICAEMIA EPIZOOTICA PADA SAPI TERNAK DENGAN TEOREMA BAYES Yohanes Suban Belutowe Teknik Informatika S1. STIKOM Uyelindo Kupang yosube@gmail.com Abstrak Nusa Tenggara timur merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Distrik Bobonaro Distrik Bobonaro terletak di antara 8 o 48-9 15 Lintang Selatan dan 125 o 55-125 24 Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru. Ayam kampong atau kita kenal dengan nama ayam buras (bukanras) merupakan salah satu potensi unggas lokal, yang mempunyai prospek dikembangkan terutama masyarakat di perdesaan. Ayam buras, selain memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015

LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 SKPD : DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA BARAT REALISASI RUPIAH MURNI REALISASI

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING)

PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING) PERMASALAHAN PENYAKIT SEBAGAI KENDALA USAHA PETERNAKAN ITIK (IMPORTANT DISEASES IN DUCK FARMING) Darmono dan Darminto Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor ABSTRACT Among duck raising systems in

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan alami yang mempunyai nilai gizi tinggi dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi manusia. Pada umumnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan

Lebih terperinci

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT LATAR BELAKANG FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT KESEHATAN KUNCI SUKSES USAHA BUDIDAYA PETERNAKAN MOTO KLASIK : PREVENTIF > KURATIF

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR D. KANA HAU, A. POHAN dan J. NULIK Balai Pengkajian Tenologi (BPTP)

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007 2 Menimbang : BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN MASYARAKAT BUPATI CIREBON a. bahwa

Lebih terperinci

Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin Jl. Mayjend Sutoyo S. No Banjarmasin

Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin Jl. Mayjend Sutoyo S. No Banjarmasin Kontak kami Jl. Mayjend Sutoyo S. No. 1134 Banjarmasin go to url: Makalah Karya Tulis Ilmiah UPAYA MEMPERTAHANKAN KALIMANTAN SELATAN BEBAS BRUCELLOSIS Yuswandi* * Jl. Mayjend. Sutoyo S. No 1134 Banjarmasin

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR SERTA SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

STRATEGI ALTERNATIF PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI MENULAR UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG

STRATEGI ALTERNATIF PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI MENULAR UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG STRATEGI ALTERNATIF PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI MENULAR UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG R.M. ABDUL ADJID Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Penyakit reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong

Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong Potensi sapi potong di Indonesia sangat menjanjikan, dengan keadaan tanah yang subur sehingga pakan berupa hijauan yang merupakan kebutuhan sapi seharusnya juga lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 12 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 67 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira Icterohaemorrhagiae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 16/Permentan/OT.140/1/2010 TENTANG PEDOMAN IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI

Lebih terperinci

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan Novryzal Dian Abadi Ade Margani Ferriyanto Dian K M. Amriyan N Ovilia Zabitha Uswatun Hasanah Widya Alif S Tri Cahyo D. Yessy Puspitasari

Lebih terperinci

STUDI EPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPRODUKSI SAPI PERAH DI DKI JAKARTA

STUDI EPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPRODUKSI SAPI PERAH DI DKI JAKARTA STUDI EPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPRODUKSI SAPI PERAH DI DKI JAKARTA AGUS SLJD113YO Balai Penelitian Veteriner Man R.E.Martadinata No. 30, P.O. Heir 52, Bogor 16114, Imlonesia (Diterima

Lebih terperinci

PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING

PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah kesehatan masyarakat veteriner Dosen Pengampu : drh. Dyah Mahendrasari S. M. Sc Di Susun Oleh : 1. Ningrum Pangstu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan lewat makanan, dengan ciri berupa gangguan pada saluran pencernaan dengan gejala umum sakit perut, diare dan atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Isu-isu strategis berdasarkan tugas dan fungsi Dinas Peternakan adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan

Lebih terperinci

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS DAN AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS PRODUKSI TERNAK KOMPETENSI KEAHLIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, BUPATI MOJOKERTO PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat.

Lebih terperinci

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh No. Indikator Kinerja sesuai Tugas dan Fungsi Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Aceh Target Indikator Lainnya Target Renstra ke- Realisasi Capaian Tahun ke- Rasio Capaian

Lebih terperinci

Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji, Deden Amijaya, Neneng Atikah, Meutia Hayati, Ernes Andesfha

Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji, Deden Amijaya, Neneng Atikah, Meutia Hayati, Ernes Andesfha STUDI MUTU VAKSIN SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE) DAN DURASI IMUNITI BOOSTER DAN NON BOOSTER VAKSINASI PADA SAPI DI EMPAT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2014 Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji,

Lebih terperinci

Kisi-Kisi Uji Kompetensi Awal Program Studi Keahlian Agribisnis Produksi Ternak

Kisi-Kisi Uji Kompetensi Awal Program Studi Keahlian Agribisnis Produksi Ternak Kisi-Kisi Uji Kompetensi Awal Program Studi Keahlian Agribisnis Produksi Ternak A. DASAR KOMPETENSI KEJURUAN. Menjelaskan potensi sektor pean 2. Menjelaskan dasardasar budidaya 3. Menjelaskan sistem organ

Lebih terperinci

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%)

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jalan P. Batur Barat No. 4

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN 69 GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DI KELURAHAN WANGUNSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LEMBANG KECAMATAN LEMBANG TAHUN 2007 1. Nama : 2. Alamat : Kelurahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kriteria aspek higiene dan sanitasi terdiri dari 7 pernyataan. Total nilai aspek ini berjumlah 7. Penilaian mengenai aspek higiene dan sanitasi yaitu: Aspek dinilai buruk jika nilai < 3 Aspek dinilai cukup

Lebih terperinci

INFORMASI PROGRAM DAN KEGIATAN APBD PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI BALI TAHUN 2017

INFORMASI PROGRAM DAN KEGIATAN APBD PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI BALI TAHUN 2017 INFORMASI PROGRAM DAN KEGIATAN APBD PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI BALI TAHUN 2017 KODE PROGRAM / KEGIATAN PELAKSANA PENANGGUNGJAWAB KEGIATAN ANGGARAN (Rp.) PROGRAM/KEGIATAN TARGET

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam PENDAHULUAN Latar Belakang Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam menghasilkan daging. Daging ayam merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kerbau merupakan ternak yang dipelihara di pedesaan untuk pengolahan lahan pertanian dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasil daging, susu, kulit dan pupuk. Di Sumatera

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada BAB III PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibentuk model matematika dari penyebaran penyakit virus Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada parameter laju transmisi. A.

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 1 Peningkatan Produksi Ternak Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Lokal a. Pengembangan Kawasan Sapi Potong (Kelompok) 378 335 88,62 b. Pengembangan

Lebih terperinci

STUDI PATOGENISITAS BRUCELLA SUIS ISOLAT LAPANG DAN KEMAMPUAN PENULARANNYA DARI BABI KE MANUSIA

STUDI PATOGENISITAS BRUCELLA SUIS ISOLAT LAPANG DAN KEMAMPUAN PENULARANNYA DARI BABI KE MANUSIA STUDI PATOGENISITAS BRUCELLA SUIS ISOLAT LAPANG DAN KEMAMPUAN PENULARANNYA DARI BABI KE MANUSIA AGUS SUDIBYO Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan hewan yang berlokasi di Kabupaten Sleman dengan fokus penelitian pada tahun 2012. Alasan utama yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA SKPD Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timnur untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis SKPD sesuai dengan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21 DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG Bagian Pertama Dinas Pasal 21 Dinas Peternakan mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

RENCANA AKSI PERUBAHAN DINAS PETERNAKAN KABUPATEN PELALAWAN TAHUN X X X X Itik ,249 `- Jl Lingkungan UPTD Langgam 50 m X X X X X

RENCANA AKSI PERUBAHAN DINAS PETERNAKAN KABUPATEN PELALAWAN TAHUN X X X X Itik ,249 `- Jl Lingkungan UPTD Langgam 50 m X X X X X RENCANA AKSI PERUBAHAN DINAS PETERNAKAN KABUPATEN PELALAWAN TAHUN 2016 Sasaran Strategis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Peningkatan Populasi dan Produksi Ternak Jumlah Populasi Ternak Program : Sapi - - -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus

Lebih terperinci