PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

Transkripsi

1 PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan bumi beriklim tropik dan subtropik. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada tahun 1887 Goldsmith menyebut sebagai Weil s Disease dan pada tahun 1915, Inada membuktikan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri Spirochaeta Icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi baik pada manusia maupun pada hewan. Leptospirosis memiliki distribusi geografis yang luas dan terjadi di daerah tropik, dan sub tropik. Infeksi leptospira di negara subtropik lebih jarang ditemukan. Iklim yang cocok untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang lembab/basah, dan ph alkalis. Keadaan demikian banyak dijumpai di negara tropik sepanjang tahun. Kejadian leptospirosis di negara beriklim tropik, lebih banyak 100 kali dibandingkan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat (Yersin and Bover, 1999). Kejadian leptospirosis banyak terjadi di negara berkembang. Leptospirosis ditetapkan sebagai problem kesehatan dunia. Leptospirosis pada daerah endemik, merupakan penyebab utama pada berbagai gejala klinis seperti jaundice, gagal ginjal, miokarditis, dan pneumonia atipik (Vijayachari, 2007). Kasus leptospirosis pada manusia di Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, jumlah kasus 1

2 leptospirosis dilaporkan sebanyak 16 kasus dengan 3 kasus kematian (CFR = 18,75%), tahun 2007 terdapat 4 kasus dengan 1 kematian (CFR = 25%), tahun 2008 terdapat 14 kasus dengan 2 kematian (CFR = 14,28%), tahun 2009 terdapat 92 kasus dengan 6 kematian (CFR = 6,52%), serta tahun 2010 terdapat 186 kasus dengan 17 kematian (CFR = 9,14%). Di Kabupaten Kulonprogo, jumlah kasus leptospirosis pada tahun 2010 mencapai 38 kasus dengan 4 kematian (CFR = 10,5%). Pada tahun 2011, terjadi kejadian luar biasa (KLB) dengan jumlah kasus mencapai 273 (CFR = 6,59%) dan 18 kematian. Sebagian besar korban adalah pria dan berprofesi sebagai petani peternak (Ramadhani dan Yunianto, 2012). Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah peternakan dengan populasi sapi potong lebih dari ekor (Dinkepenak Kulon Progo, 2011) Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan ph alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Leptospira akan hidup dalam jangka lama pada air dan tanah yang lembab suatu kondisi yang mendukung kelangsungan hidup Leptospira. Leptospira dapat bertahan hidup selama 74 hari di tanah dan dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi yang memungkinkan (Vijayachari, 2007). Analisis spasiotemporal menunjukkan bahwa sepanjang tahun persebaran kasus leptospirosis cenderung mengikuti pola aliran sungai tetapi pada bulan dengan curah hujan yang tinggi terjadi perpindahan persebaran kasus leptospirosis sehingga didapatkan sebagian besar kasus terdapat di daerah banjir (Melani, 2010) Sasaki et al. (1993) menjelaskan bahwa peranan hewan dalam penyebaran leptospirosis sangat potensial. Rodensia adalah karier utama dari 2

3 Leptospira yang menjadi sumber penularan bagi manusia. Beberapa insekta, karnivora, dan ruminansia dapat terjangkit leptospirosis dan menjadi sumber infeksi bagi manusia. Jenis Leptospira yang ditularkan oleh tikus merupakan Leptospira yang paling berbahaya bagi manusia dibanding dengan Leptospira yang ada pada hewan domestik (WHO, 2003). Leptospirosis disebabkan bakteri Leptospira yang patogen, berbentuk spiral, dan termasuk genus Leptospira, family Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales. Leptospira bersifat aerobik, motil, gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofit. L interrogans memiliki lebih dari 250 serovar dan terbagi dalam 25 serogrup. L biflexa memiliki 65 serovar dan terbagi dalam 38 serogrup. Tingkat keganasan Leptospira tergantung dari serovar Leptospira dan spesies hewan yang terinfeksi pada suatu daerah tertentu (Ebrahimi et al., 2004; Rad et al., 2004). Leptospira Pomona pada sapi sering menimbulkan demam akut yang disertai dengan anemia hemolitika dan hemoglobinuria. Leptospira pada sapi bunting menyebabkan abortus (Bradlley, 1999). Manusia yang sering kontak dengan sapi paling tinggi peluangnya terinfeksi Leptospira. Gejala klinis leptospirosis pada sapi sangat bervariasi, mulai dari yang ringan, infeksi tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat menyebabkan kematian (Hudson, 1978). Infeksi Leptospira ditandai dengan gejala klinis yang sangat bervariasi. Kerap kali dilaporkan leptospirosis tanpa menunjukkan gejala klinis yang spesifik dan sulit didiagnosis tanpa pengujian 3

4 sampel di laboratorium (Hartman et al., 1986). Waktu inkubasi biasanya 2-3 minggu, namun dalam kondisi tertentu dapat berkisar antara 2 hari sampai 3 minggu. Infeksi Leptospira kadangkala tanpa gejala namun kadang disertai gejala yang cukup berat, seperti gangguan pada hepar dan ginjal sampai penurunan kesadaran (Bharadwaj, 2002). Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung dari umur, spesies, serovar dan jumlah Leptospira yang menginfeksi (McCool and Melville, 1980). Data epidemiologis dapat menggambarkan suatu penyakit sehingga dapat ditentukan prosedur yang tepat untuk melakukan pencegahan, pengendalian ataupun pemberantasan. Kajian observasional digunakan untuk mengetahui faktor risiko dan memperkirakan efek kuantitatif dari berbagai komponen penyebab yang memberikan kontribusi terhadap munculnya penyakit. Sistem Informasi Geografi (SIG) dibutuhkan untuk distribusi epidemiologi dan faktor geografi sehingga dapat dihasilkan distribusi spasial dari suatu penyakit. Sistem Informasi Georafis atau Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial. Salah satu fungsinya yaitu mendiagnosis dan menginvestigasi masalah serta risiko kesehatan di masyarakat. Penggunaan SIG akan sangat membantu di bidang kesehatan masyarakat sehingga menjadi lebih terorganisir untuk menganalisis aspek spasial dan temporal dari penyebaran penyakit. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kejadian leptospirosis pada manusia erat hubungannya dengan serovar Leptospira, tikus, ternak sapi dan 4

5 lingkungannya. Faktor risiko leptospirosis pada sapi bersifat multifaktor, faktor risiko tingkat ternak, peternak, maupun lingkungan merupakan komponen penting untuk dikaji. Berdasar hal tersebut, penelitian kajian leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilakukan. Kajian penyebab leptospirosis dilakukan secara serologis dan molekuler. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan terhadap fungsi hati dan ginjal sapi terdiagnosis leptospirosis dilakukan untuk mengkaji efek yang ditimbulkan Leptospira pada sapi. Kajian leptospirosis pada sapi dilakukan pula melalui pendekatan yang komprehensif dengan analisis faktor risiko, baik pada tingkat ternak maupun peternak/peternakan. Analisis faktor risiko tingkat ternak diformulasikan melalui : jenis sapi, umur, sex, kondisi (pernah sakit, keguguran, banyaknya pengawinan untuk memperoleh kebuntingan, gangguan reproduksi, adanya penderita leptospirosis), body condition score (bcs), asal, penggembalaan, kerja di sawah, dimandikan di sungai, pakan, adanya tikus di sawah, adanya tikus di gudang dan adanya tikus di kandang, tempat pemberian pakan dan sumber air yang digunakan. Analisis faktor risiko tingkat peternak/peternakan meliputi : pekerjaan, pendidikan, jumlah kepemilikan, tujuan pemeliharaan, kebiasaan, pengetahuan tentang leptospirosis, bentuk kandang, adanya umbaran, lantai kandang, kebersihan kandang, jarak kandang dengan pembuangan limbah, adanya ternak lain, drainase, dan pengolahan limbah kandang. Pengaruh kedekatan lokasi peternakan dengan sungai Progo terhadap kasus leptospirosis pada sapi diteliti. Deteksi terhadap reservoar leptospirosis, dilakukan penangkapan tikus di areal 5

6 kandang, untuk selanjutnya diuji terhadap leptospirosis. Melalui kajian ini diharapkan kejadian leptospirosis pada sapi dapat ditanggulangi dan diberantas. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat disidik: 1. Serovar penyebab leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, 2. Seberapa jauh kasus leptospirosis memberikan perubahan klinis dan gangguan fungsi organ (hati dan ginjal) pada sapi, 3. Leptospira penyebab leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, 4. Prevalensi dan peta kejadian leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, 5. Faktor risiko kejadian leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, 6. Apakah kedekatan lokasi peternakan dengan sungai berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis pada sapi. 7. Kejadian leptospirosis pada tikus di areal kandang sapi positif leptospirosis. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dan inventarisasi kepustakaan, beberapa penelitian tentang prevalensi leptospirosis pada sapi pernah dilakukan. Budiharta (1988) meneliti tentang kejadian leptospirosis pada sapi di rumah potong hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta; Kusmiyati et al. (2005) melaporkan kejadian leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia; sedangkan Diarmita et al. (2006) telah melaporkan prevalensi pada sapi bibit di pulau Lombok. Beberapa peneliti asing juga pernah melaporkan penelitian tentang leptospirosis pada sapi, seperti Figueiredo (2009) tentang prevalensi dan faktor risiko bovine leptospirosis 6

7 di Mato Grosso do Sul, Brazil; Ryan et al. (2012) tentang Seroprevalen Leptospira Hardjo pada sapi potong di Republik Ireland. Penelitian tentang faktor risiko leptospirosis pada sapi pernah dilakukan oleh Schoonman dan Swai (2010) yang meneliti faktor resiko dari hewan terhadap bovine leptospirosis di Tanga, Tanzania. Ramadhani dan Yunianto (2011) meneliti tentang peran tikus sebagai reservoir dan kasus leptospirosis pada manusia di wilayah kejadian luar biasa di kabupaten Kulon Progo, penelitian ini dilaksanakan pada lokasi yang sama. Penelitian yang telah dilakukan kebanyakan menyajikan tingkat kejadian/prevalensi leptospirosis pada sapi di beberapa daerah dan faktor risiko leptospirosis tanpa membahas peran faktor penular agen secara menyeluruh. Pada penelitian ini, leptospirosis pada sapi disidik efek pada hospes, identifikasi dan isolasi penyebab, prevalensi dan peta penyakit, faktor risiko, lokasi peternakan terhadap sungai serta tikus sebagai reservoir. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi serovar penyebab leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, DIY, 2. Mengetahui gambaran klinis, fungsi hati dan fungsi ginjal sapi penderita leptospirosis, 3. Mengisolasi Leptospira penyebab leptospirosis pada sapi dari sampel urin, 4. Menyidik prevalensi dan memetakan kejadian leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, DIY, 7

8 5. Menyidik faktor risiko leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo, DIY, 6. Menganalisis pengaruh kedekatan lokasi peternakan dengan sungai terhadap kejadian leptospirosis pada sapi, 7. Mendeteksi reservoir Leptospira pada tikus di areal kandang sapi penderita leptospirosis. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bahan referensi dalam menentukan diagnosis leptospirosis pada sapi maupun pada tikus. 2. Sumber informasi tentang peta kasus leptospirosis pada sapi di kabupaten Kulon Progo 3. Sebagai acuan dalam tindakan pencegahan leptospirosis pada sapi, melalui analisis faktor risiko. 4. Bahan referensi tentang peran sapi dan lingkungan peternakan dalam penyebaran leptospirosis, sehingga kasus lebih terkendali. 8