TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN
|
|
- Suhendra Cahyadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN ASPEK PENYAKIT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jalan P. Batur Barat No. 4 Telp.( 0511) Banjarbaru (70711) ABSTRAK Ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Kalimantan Selatan merupakan komoditas stategis, karena selain dapat dimanfaatkan tenaganya sebagai pengolah tanah, tabungan/sumber pendapatan dan protein hewani berupa daging. Populasi ternak sapi dan kerbau pada tahun 2004, masing-masing sebanyak ekor dan ekor, dan penyumbang terbesar ketiga setelah daging unggas (ayam dan itik). Sebagai penghasil daging, ternak ruminansia besar dalam perkembangannya relatif lamban, sehingga produktivitasnya rendah. Salah satu penyebab adalah keterbatasan pakan hijauan dan pemanfaatan teknologi penyimpanan pakan di tingkat petani masih rendah. Selain itu juga, produktivitas yang rendah ini ada hubungannya dengan serangan penyakit yang mematikan, sehingga populasinya menjadi berkurang. Untuk meningkatkan populasi, upaya yang ditempuh di antaranya menekan angka mortalitas sapi dan kerbau masing-masing sebesar 1,57% dan 2,14%/tahun dan mendatangkan sapi dan kerbau bakalan dari luar propinsi Kalimantan Selatan. Penyakitpenyakit yang menyerang sapi pada empat tahun terakhir yang relatif tinggi adalah jembrana dan fasciolosis, sedangkan pada kerbau adalah trypanosomiasis. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit antara lain penolakan penyakit hewan bekerjasana dengan Karantina Hewan Syamsuddin Noor dan Dinas Peternakan Kabupaten/Kota, pengamatan dini dengan pengambilan spesimen di lapangan sampai peramalan penyakit, penanggulangan penyakit reproduksi serta pengobatan bagi ternak yang sudah sakit. Kata kunci: Sapi, kerbau, penyakit PENDAHULUAN Ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) merupakan salah satu komoditas ternak yang strategis, karena disamping dapat digunakan sebagai tenaga kerja (pengolah tanah), juga dapat dijadikan sumber pendapatan/tabungan petani serta sebagai penghasil sumber protein hewani berupa daging. Populasi sapi potong dan kerbau saat ini masing-masing tercatat sebanyak ekor dan ekor. Dalam perkembangannya ternak ini sangat lamban, salah satunya disebabkan oleh sulitnya penyediaan pakan hijauan pada saat kemarau panjang yang mengakibatkan kondisi ternak kurang baik, sehingga produktivitasnya menjadi menurun, serta pemanfaatan teknologi pengolahan dan penyimpanan pakan yang belum banyak dilakukan peternak (SURYANA dan SABRAN, 2005). Permasalahan lainnya adalah pouplasi ternak yang rendah dibandingkan dengan potensi lahan yang ada, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Kalimantan Selatan, produktivitas ternak pada usaha peternakan rakyat masih rendah yang ditandai angka kelahiran dibawah rata-rata nasional serta pertambahan berat badan harian realtif rendah (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan jumlah populasi antara lain dengan menekan angka mortalitas sapi sebesar 1,57% per tahun dan kerbau 2,14% per tahun, pengadaan bibit bakalan ternak dari luar propinsi, berupa sapi potong sebanyak ekor/tahun dan kerbau 100 ekor/tahun, peningkatan angka kelahiran serta memacu pertumbuhan ternak melalui perbaikan mutu pakan (ANDJAM, 2005; DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Menurut TARMUDJI et al., (1993/1994) tantangan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan adalah produktivitas dan reproduktivitas ternak yang masih rendah, serangan penyakit reproduksi dan produksi, skala usaha kecil dan tersebar, kurangnya 142
2 jumlah dan kualitas pakan, keterampilan peternak yang masih rendah, teknik budidaya sebagian besar masih tradisional, hambatan sosial ekonomi dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan secara umum populasi ternak menurun (SURYANA dan HASBIANTO, 2006). Beberapa kendala produksi dan reproduksi ternak antara lain adalah gangguan penyakit yang sulit diberantas dan sering mucul secara sporadis yang dapat menyebabkan kematian ternak. Jenis penyakit yang menyerang ternak ruminansia besar di Kalimantan Selatan disebabkan kausa bakterial, parasitik, vurus dan penyakit non infeksius (keracunan), yang kejadiannya sangat berfluktuatif (BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL V BANJARBARU, 2003). Upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan di Propinsi Kalimantan Selatan adalah pengendalian penyakit hewan menular (SE/ngorok dan jembrana), dengan melaksanakan vaksinasi dan pengobatan ternak, diagnosis kemajiran, pengendalian peredaran obat hewan serta pengawasan lalu lintas ternak hewan (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Dalam rangka pengawasan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian penyakit hewan menular yang disebabkan oleh media pembawa yang berasal dari ternak dan atau produk ternak. Upaya pengawasan lalu lintas peredaran pemasukkan ternak dilakukan pengawasan secara ketat dan berkoordinasi dengan dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di propinsi-propinsi dan kabupaten/kota serta kerjasama dengan karantina hewan setempat. Dengan demikian diharapkan penularan penyakit yang berbahaya dapat ditekan seminimal mungkin. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang penyebaran penyakit dan upaya penanggulangannya pada ternak ruminansia besar di Kalimantan Selatan. PENYEBARAN PENYAKIT PADA RUMINANSIA BESAR Penyebaran penyakit pada ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) di Kalimantan Selatan selama empat tahun terakhir, menurut hasil monitoring dan surveliance yang dilakukan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V Banjarbaru dan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut: Penyakit kausa virus Penyakit Jembrana Penyakit Jembrana di Kalimantan Selatan dilaporkan sejak tahun di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut dengan jumlah kasus sebanyak 296 kasus. Kasus tertinggi terjadi pada tahun 2001 mencapai 168 kasus. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Kabupaten Tanah Laut pada tahun 1992, dan sampai saat ini telah menyebar ke beberapa kabupaten yang ada di Propinsi Kalimantan Selatan, antara lain Kabupaten Hulu Sungai Utara,Tapin,Tanah Bumbu (BPPV REG.V BANJARBARU, 2003; DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Menurut ADJID dan SANI (2006) penyakit jembrana merupakan penyakit kausa viral akut pada sapi Bali yang disebabkan oleh virus retrovirus dari sub famili lentivirus, dengan gejala demam tinggi, kebengkakan limfe dan diare yang sering bercampur darah dengan tingkat mortalitas mencapai 17% pada tingkat infeksi buatan yang terlihat konsisten di lapangan. Penularan penyakit ini terjadi melalui kontaminasi dari sekresi urine, air susu dan saliva hewan sedang sakit dengan demam tinggi, serta melalui penularan gigitan serangga penghisap darah secara mekanik. Penyakit ini hanya ada di Indonesia dan Kalimantan Selatan merupakan daerah endemis, disusul Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu. PUTRA (2006) mengemukakan berdasarkan hasil monitoring antibodi pasca vaksinasi penyakit jembrana pada tahun 2002 dan 2003 di Kalimantan Selatan, dari jumlah 315 sampel yang diperiksa, ternyata 82 sampel masingmasing positif 70,8% dan 79,8%, sementara dari Lampung pada tahun 2003 dari jumlah 50 sampel yang diperiksa positif 92,0%. Bovine Ephemeral Fever (BEF) Penyakit BEF atau dikenal dengan deman tiga hari merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Rhabdo yang ditularkan melalui 143
3 nyamuk dan culicoides. Penyakit ini disamping dapat menimbulkan angka morbiditas tinggi pada sapi mencapai 60%, juga diketahui dapat meninbulkan kerugian ekonomi yaitu dapat menurunkan produksi susu dan pertambahan berat badan masing-masing sebesar 43% dan 10 kg (SOLEHA et al., 1992). Di Kalimantan Selatan penyakit ini pada tahun 2004 dilaporkan menyerang sapi sebanyak 57 kasus, yang terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (7 kasus), Balangan (29 kasus) dan Barito Kuala (21 kasus). Ciri-ciri khas dari penyakit ini adalah demam yang tinggi mencapai o C, kekakuan pada kaki dan kejadian ini tidak lebih dari tiga hari. Hasil penelitian SOLEHA et al. (1992) diketahui bahwa di Kalimantan Selatan positif penyakit BEF, hal ini berdasarkan uji serologik dari sampel serum sebanyak 386 yang diperoleh dari Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengan dan Tabalong, menunjukkan sebanyak 146 sampel positif reaktor penyakit BEF. Penyakit Kausa Bakterial Penyakit pink eye Penyakit pink eye atau keratoconjunctivitis merupakan penyakit mata pada sapi yang disebabkan oleh bakteri Moraxella bovis, dan menyerang semua umur ternak. Tanda-tanda klinis yang dapat dikenali dari penyakit ini adalah pembengkakan akut dari bola mata dan jaringan sekitarnya serta kekeruhan pada kornea mata. Di Kalimantan Selatan penyakit ini pertama kali dilaporkan DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (1978/1979), yang frekuensi kejadiannya lebih banyak pada musim hujan, sementara musim kemarau kejadiannya kurang. ISTIANA dan LUBIS (1989) melaporkan kejadian penyakit pink eye pada sapi Bali, PO dan Brahman di Kabupaten Tapin dan Tanah Laut sebanyak 41 kasus dengan umur yang diserang berkisar 1-10 tahun. Penyakit ini menyerang pada bagian mata sapi yang secara unilateral 14 ekor dan bilateral 27 ekor. Laporan lain dikemukakan DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004) bahwa pada tahun 2004 kejadian penyakit pink eye pada sapi sebanyak 92 kasus, meliputi Kabupaten Hulu Sungai Tengah 7 kasus, Hulu Sungai Utara 82 kasus dan Balangan 3 kasus. Tanda-tanda klinis dari penyakit ini pada sapi antara lain kekeruhan pada kornea mata, mata selalu berair dan kebutaan, sehingga sapi tidak dapat makan dengan baik, akhirnya kurus dan pertambahan berat badan menurun. Brucellosis Brucellosis atau keluron menular pada sapi di Kalimantan Selatan dilaporkan pada tahun 2002 relatif kecil hanya satu kasus di Kota Banjarbaru dan tahun 2003, terjadi di Kabupaten Tanah Laut sebanyak enam kasus dan empat kasus di Tanah Bumbu (BPPV REGIONAL V BANJARBARU, 2002; 2003). Menurut ADJID dan SANI (2006) penyakit ini menyerang pada sapi yang sedang bunting di atas 5 bulan, dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan gangguan kesehatan masyarakat. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui mulut/hidung akibat percikan bahan-bahan abortusan atau cairan/lendir anak yang baru lahir yang terinfeksi brucellosis. Penyakit ini di Kalimantan Selatan frekuensi lebih rendah dibanding propinsi lain, seperti Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Riau dan Sumatera Utara, dengan prevalensi antara 6,6-61,3% (PUTRA, 2006). Teknologi diagnosis dapat dapat dilakukan untuk mendeteksi brucellosis ini antara lain dengan isolasi dan identifikasi, uji milk ring test (MRT), rose bengal test (RBT), complement fixation test (CFT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (SUDIBYO dan PATTEN, 1989; ADJID dan SANI, 2006). Penyakit Kausa Parasitik Fasciolosis Fasciolosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing fasciola yang banyak menyerang sapi maupun kerbau. Berdasarkan laporan BPPV REGIONAL V BANJARBARU (2001; 2002; 2003) dan DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004), menunjukkan bahwa kejadian penyakit ini berfluktuatif, seperti tertera pada Tabel
4 Kejadian penyebaran fasciolosis pada sapi selama empat tahun terakhir lebih tinggi mencapai 209 kasus yang meliputi Kabupaten Tapin, Tanah Laut, Banjar dan Tabalong, sementara pada kerbau berjumlah 50 kasus yakni di Kabupaten Banjar 5 kasus, Kabupaten Hulu Sungai Selatan 9 kasus, Hulu Sungai Utara 13 kasus dan Tanah Laut 12 kasus, Kotabaru 5 kasus dan Tapin 6 kasus. TARMUDJI et al. (1988) melaporkan bahwa ternak sapi yang ada di Kalimantan Selatan telah terinfeksi cacing hati sebesar 22% dan serangan infeksi tertinggi terjadi di Kabupaten Tapin dan Tanah Laut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru bekerjasama dengan BPPH WILAYAH V BANJARBARU dan DINAS PETERNAKAN KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA (1991), penyakit parasitik terutama pada kerbau rawa yang menonjol adalah fasciolosis mencapai 77%. Menurut MARTINDAH et al. (2005) di Indonesia prevalensi fasciolosis pada ternak mencapai 90%, sedangkan kasus pada manusia sampai saat ini belum ada laporannya. Laporan lain dikemukakan SUHARDONO (2004) bahwa telah terjadi kematian kerbau yang cenderung naik mulai bulan Nopember hingga Februari 2004, dan pada pemeriksaan sampel hati ditemukan infeksi cacing hati Fasciola gigantica dan selain itu juga teridentifikasi infeksi bakterial lainnya, yang dapat memperparah kejadian ini. Hasil penelitian SISWANSYAH et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan pemeriksaan parasitilogi di laboratorium terhadap sampel feces sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebanyak 36 sampel, ditemukan positif fasciola Sp.. Hasil selengkapanya disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Penyebaran fasciolasis pada sapi dan kerbau di Kalimantan Selatan tahun Jenis ternak Tahun Jumlah Sapi Kerbau Sumber: BPPV Regional V Banjarbaru, ; Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, Tabel 2. Persentase cacing trematoda dan nematoda yang menginfeksi sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Jenis cacing Jumlah/% Fasciola Sp. 30/83,30 Paramphistomum Sp. 24/66,70 Cooperia Sp. 9/25,0 Oesopahgustonum Sp. 7/19,40 Bunostomum Sp. 4/11,10 Spongyloides Sp. 4/11,10 Trycostrongylus Sp. 2/5,60 Mecistosirrus Sp. 1/2,80 Cacing nematoda lainnya 1/2,80 Sumber: SISWANSYAH et al., 1989 Trypanosomiasis Trypanosomiasis atau surra/mubeng merupakan penyakit parasit darah menular pada ternak ruminansia besar, yang disebabkan oleh Trypanosomai. Infeksi yang disebabkan parasit darah ini, terutama pada sapi dan kerbau dapat bersifat perakut, akut maupun khronis. Penyakit ini kemungkinan disebarkan oleh lalat Tabanus Sp. dan Stomoxys Sp., ektoparasit yang dapat bertindak sebagai vektor mekanik yang banyak ditemukan di sekitar kandang dan tubuh ternak. Patogenitas penyakit tersebut pada keadaan biasa, gejala klinisnya tidak begitu jelas, namun pertumbuhan ternak terhambat dan semakin kurus. Kerugian ekonomis yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah penurunan berat badan secara drastis, keguguran, gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan dapat menimbulkan kematian (SISWANSYAH et al., 1989; 1990). Penyebaran kejadian trypanosomiasis/surra telah dilaporkan SISWANSYAH et al. (1989; 1990); BPPV REGIONAL V BANJARBARU (2001; 2002) dan DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004). Kejadian penyakit surra empat tahun terakhir, disajikan pada Tabel
5 Tabel 3. Penyebaran trypanosomiasis pada sapi dan kerbau di Kalimantan Selatan tahun Jenis ternak Tahun Jumlah Sapi Kerbau Sumber: BPPV Regional V Banjarbaru, ; Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2004 Kejadian trypanosomiasis di Kalimantan Selatan relatif kecil jika dibandingkan dengan penyakit parasitik lainnya. Pada sapi sebanyak 3 kasus terjadi di Kabupaten Tanah Laut dan pada kerbau sebanyak 18 kasus meliputi kabupaten Kotabaru 17 kasus dan Hulu Sungai Tengah 1 kasus. Hasil penelitian SISWANSYAH dan TARMUDJI (1989), mengemukakan bahwa kejadian trypanosomiasis pada sapi di Kabupaten Hulu Sungai Utara kecenderungannya lebih tinggi mencapai 10% dibanding di Kabupaten Tapin hanya 1,6%. Namun secara berturut-turut pada kerbau rawa penyebab penyakit ini telah dilaporkan SISWANSYAH et al. (1989; 1990a; 1990b; 1991) bahwa penyebab penyakit surra adalah parasit darah, yakni T. Evansi. Hasil pemeriksaan metode hematocrit dapat dilihat pada Tabel 4. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT Menurut SUHARDONO (2004) pengendalian penyakit pada ternak dapat dilakukan dengan lebih baik dan berkelanjutan, bila didukung dengan pemahaman pada interaksi antara tatalaksana pemeliharaan, habitat usaha peternakan dan sifat biologis dari agen penyakit itu sendiri. Serangan penyakit pada suatu populasi ternak dapat terjadi, salah satunya penyebabnya adalah akibat rendahnya status kekebalan dan tidak protektif pada ternak, akibat ternak stress, keberadaan hewan reservoir/karier, atau masuknya hewan baru ke dalam suatu populasi endemik penyakit tertentu. BERIAJAYA (2005) mengemukakan vektor yang aktif berperan dalam penyebaran penyakit dapat terjadi dimana dan kapan saja, seiring dengan perubahan lingkungan dia berada. Untuk mengendalikan vektor yang berperan sebagai penyebar penyakit ini dapat dilakukan dengan cara memutus daur hidup dan menggunakan insektisida. Sementara surveillance sangat penting untuk memprediksi kejadian yang potensial dari penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor, meliputi pencatatan kasus pada manusia, determinasi penyebaran dan kemampuan menginfeksi, monitoring semua jenis reservoar dan data ilkim untuk memprediksi distribusi vektor. Tabel 4. Infeksi trypanosoma dan microfilaria pada sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Jenis ternak Jumlah sampel Hasil (%) T. evansi T. theileri Microfilaria Sapi Bali 21 2 (9,50) 3 (14,30) 1 (4,80) Sapi PO 12 0 (0,0) 0 (0,0) 1 (8,30) Sapi Lokal 5 0 (0,0) 1 (20,0) 1 (20,0) Sapi Brahman Cross 16 0 (0,0) 2 (12,50) 1 (1,63) Kerbau Lumpur 14 0 (0,0) 1 (7,10) 0 (0,0) Sumber: SISWANSYAH et al.,
6 Guna mendukung swasembada sapi potong dan pembebasan penyakit brucellosis di Kalimantan Selatan, upaya yang dilakukan antara lain: 1) Penolakan penyakit hewan berkerjasama antara Stasiun Karantina Hewan Syamsuddin Noor dengan Dinas Peternakan Kabupaten/Kota, 2) Pengamanan dini dengan pengambilan spesimen, diagnosis di lapang sampai peramalan penyakit bekerjasama dengan BPPV Regional V 3) Penanggulangan penyakit reproduksi dan 4) Pengobatan hewan yang sudah sakit. Pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan pada sapi dan kerbau adalah pencegahan penyakit menular terutama penyakit SE dan jembrana, vaksinasi dan pengobatan serta pengawasan lalu lintas ternak. Menurut BARANIAH (2005) dalam menyelenggarakan operasional pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan dan produknya di lapangan, karantina hewan sebagai enquiry point didukung oleh kelembagaan unit karantina yang ada di daerah. Secara umum pelaksanaan tindakan karantina khususnya terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamtan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Jumlah kejadian penyakit tertinggi terutama pada sapi selama empat tahun terakhir di Kalimantan Selatan adalah jembrana dan fasciolosis. Perlu diwaspadai penyakit lainnya yang secara sporadis dapat berjangkit dan mematikan. 2. Upaya pencehagan dan pengendalian penyakit menular supaya tidak mewabah kemana-mana, seperti jembrana dilakukan dengan cara vaksinasi, pengobatan serta pengawasan lalu lintas ternak yang masuk ke wilayah Kalimantan Selatan. SARAN Saran dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit menular pada ternak ruminansia besar adalah: 1. Memutus siklus vektor yang merupakan penyebar/carrier penyakit. 2. Menjaga kebersihan kandang, ternak dan lingkungannya. 3. Meningkatkan jalinan komunikasi antar peternak dengan petugas dinas terkait/ppl wilayah setempat, jika terjadi wabah penyakit yang dicurigai dapat menular ke ternak lainnya. 4. Meningkatkan pemahaman peternak pada interaksi antara tatalaksana pemeliharaan, habitat usaha peternaka dan sifat biologis dari agen penyakit melalui penyuluhan yang intensif. DAFTAR PUSTAKA ADJID, R.MA. dan Y. SANI Ketersediaan Teknologi Veteriner dalam Pengendalian Penyakit Strategis Ruminansia Besar. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar. Jakarta, 13 Juli ANDJAM, M.M Komunikasi Pribadi. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL V BANJARBARU Laporan Tahunan Laporan Tahunan Laporan Tahunan. BARANIAH, M Peran Karantina Hewan dalam Mencegah dan Menangkal Penyakit Zoonosis. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm BERIAJAYA Peranan Vektor Sebagai Penular Penyakit Zoonosis. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 1978/1979. Laporan Tahunan. 147
7 DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN Laporan Tahunan. ISTIANA dan D. A. LUBIS Penelitian penyakit mata (Pink eye) pada Sapi di Kabupaten Tapin dan Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner MARTINDAH, E.S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARDONO Meningkatkan Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit Zoonotik Parasiter. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm SISWANSYAH, D.D., TARMUDJI, S.N.AHMAD dan WASITO Survey Penyakit Parasit Menular pada Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner. SISWANSYAH, D. D. dan TARMUDJI Prevalensi Trypanosomiasis pada Pemeriksaan Darah Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selatan dengan Metode Mikrohematokrit. Penyakit Hewan XXI (38): SISWANSYAH, D.D Prevalensi Theileriosis, Babesiosis dan Anaplasmosis pada Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan XXII (39): 50-54, SISWANSYAH, D.D., S. PARTOUTOMO, M. DAHLAN dan A. HAMDAN Hasil Pengamatan Lapangan Tentang Surra pada Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selaran. Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner. SUB BALAI PENELITIAN VETERINER, BPPH WILAYAH V BANJARBARU dan CABANG DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA Penelitian Pendahuluan Tentang Kerbau Rawa dan Penyidikan Penyakitnya pada di Kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner. SUHARDONO Penyakit dan Upaya Penanggulangannya untuk Menekan Kematian Ternak Kerbau. Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Bajarmasin, 7-8 Desember Dinas Peternakan Kalimantan Selatan dam Pusat Bioteknologi LIPI. SURYANA dan M. SABRAN Ketersediaan Inovasi Teknologi dan Sumber Daya Manusia Mendukung Sistem Integrasi Sawit-sapi di Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-Sapi di Kalimantan Selatan. Banjarbaru, Agustus SURYANA dan A. HASBIANTO Prospek dan Peluang Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Ternak Ruminansia di Kalimantan Selatan. Wartazoa. Puslitbang Peternakan. Bogor. In press. SOLEHA, E., I. SENDOW, A.E. SUPRIJATNA, SULAEMAN, SURYANA, FIRMANSYAH dan SUKARSIH Studi Serologik Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada Ternak Sapi di Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Veteriner Bogor dan Sub Balai Penelitian Veteriner SUDIBYO, A. and B. PATTEN The use of Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for The Diagnosis of Brucellosis in Cattle in Indonesia. Penyakit Hewan XXI (37) Semester I. Balai Penelitian Veteriner. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pp TARMUDJI, D.D. SISWANSYAH dan G. ADIWINATA Parasit-parasit Cacing Gastrointestinal pada Sapi-sapi di Kabupaten Tapin dan Tabalong, Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan XX (35): TARMUDJI, D.D. SISWANSYAH dan DARMONO. 1993/1994. Penanggulangan Penyakit Defisiensi Mineral dan Cacingan pada Sapi dengan Pemberian Pakan Tambahan dan Obat Cacing serta Penentuan Problema Kesehatan Hewan. Laporan Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru bekerjasama dengan Dinas Peternakan DATI II Tabalong, Kalimantan Selatan. TARMUDJI, K.KETAREN, D.D. SISWANSYAH dan ACHMAD Studi Pendahuluan Peternakan Kerbau Rawa dan Identifikasi Parasit darahnya di Kalimantan Selatan. Penyaki Hewan XXII (40) Balai Penelitian Veteriner. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. hlm PUTRA. A. A. G Situasi penyakit Hewan Menular Strategis pada Ruminansia Besar: Surveilans dan Monitoring. Makalah Disampaikan pada Workshop Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar. Jakarta, 13 Juli
PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR
PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH 1, BARIROH N.R 1 dan R.A. SAPTATI 2. 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan
Lebih terperinciPENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi
PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan
Lebih terperinciumum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl
DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial
Lebih terperinciKERBAU RAWA, ALTERNATIF TERNAK POTONG MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING DI KALIMANTAN SELATAN
KERBAU RAWA, ALTERNATIF TERNAK POTONG MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI 1, EKO HANDIWIRAWAN 2 dan M. NAJIB 3 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan,
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala
5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama
Lebih terperinciTENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis);
SALINAN MENULAR GUBERNUR SUMATERA UTARA PERATURAN GUBERNUR SUMATERA UTARA NOMOR 21. TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN MASUKI{YA PEI{YAKIT KELURON {BRUCELLOS$I KE DALAM WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah
Lebih terperinci- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG
- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi
Lebih terperinciDeteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya
Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS
Lebih terperinciPOTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lebih terperinciLAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia
LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN 2014 PENDAHULUAN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap
Lebih terperinciDAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN
Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA 1 dan EKO HANDIWIRAWAN 2 1 Balai Pengkajian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara
Lebih terperinciLAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS
LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi
PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi
Lebih terperinciPOTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN
POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang
Lebih terperinciLAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu
Lebih terperinciI. PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. rata-rata konsumsi daging sapi selama periode adalah 1,88
I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Protein hewani merupakan jenis asupan makanan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Daging dan susu sapi adalah dua contoh sumber protein hewani yang cukup
Lebih terperinciPOTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN
POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No.4 Banjarbaru Phone (0511) 4772346 dan Fax (0511)
Lebih terperinciPrevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung
Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita
PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan
Lebih terperinciKETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR
KETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR R.M.A ADJID dan YULVIAN SANI Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151 Bogor 16114 ABTSRAK Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinciSTRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN
STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI, A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan
Lebih terperinciDASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS DAN AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS PRODUKSI TERNAK KOMPETENSI KEAHLIAN
Lebih terperinciCAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014
CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 1 Peningkatan Produksi Ternak Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Lokal a. Pengembangan Kawasan Sapi Potong (Kelompok) 378 335 88,62 b. Pengembangan
Lebih terperinciBUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG
BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family Orthomyxoviridae.
Lebih terperinciPENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR
PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR D. KANA HAU, A. POHAN dan J. NULIK Balai Pengkajian Tenologi (BPTP)
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang
Lebih terperinciBEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN
BEBERAPA MASALAH KESEHATAN TERNAK KERBAU YANG DIPELIHARA DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia ABSTRAK Populasi
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Variabel Penelitian Pelaku kebijakan
21 BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Menurut Dunn (2011) analisa kebijakan strategis terdiri dari kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan dan oleh pemikiran peneliti dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan
Lebih terperinciINTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat)
INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat) Ermin Widjaja PENDAHULUAN Luas perkebunan di Kalimantan Tengah berkembang dengan pesat dari 712.026 Ha pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi parasit yaitu Plasmodium yang menyerang eritrosit.malaria dapat berlangsung akut maupun
Lebih terperinciPENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017
PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 Oleh : drh Nyoman A Anggreni T PENDAHULUAN Pengendalian terhadap penyakit brucellosis di Indonesia, pulau Jawa dan khususnya di terus dilaksanakan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinci2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 6) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila dibedakan dengan sapi lainnya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa
Lebih terperinciTabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh
No. Indikator Kinerja sesuai Tugas dan Fungsi Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Aceh Target Indikator Lainnya Target Renstra ke- Realisasi Capaian Tahun ke- Rasio Capaian
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan
Lebih terperinciAKABANE A. PENDAHULUAN
AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Pembangunan Peternakan Provinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dan strategis dalam membangun
Lebih terperinciSTANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )
1 STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN KARANTINA PERTANIAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS I BANJARMASIN 2015 2 STANDAR PELAYANAN
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciRENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN
RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN MASKAMIAN Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Jenderal Sudirman No 7 Banjarbaru ABSTRAK Permintaan pasar
Lebih terperinciGUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI
GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,
BUPATI MOJOKERTO PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK
PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Pengembangan pembibitan
Lebih terperinciSISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI
SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI BUSTAMI dan ENDANG SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Ternak kerbau mempunyai nilai sejarah kebudayaan masyarakat Jambi. Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan
Lebih terperinci*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.
Lebih terperinciSeminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawn dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak setelah tahun 2004 sudah mencapai luasan
POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN SAWIT SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK SAPI PADA MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN TANAH LAUT AHMAD SUBHAN, ENI SITI ROHAENI dan AKHMAD HAMDAN Balai PengkajIan Teknologi Pertanian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan
Lebih terperinciV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan
Lebih terperinciBAB III. AKUNTABILITAS KINERJA
BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA SKPD Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timnur untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis SKPD sesuai dengan
Lebih terperinciPROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI
PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI H. AKHYAR Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batang Hari PENDAHULUAN Kabupaten Batang Hari dengan penduduk 226.383 jiwa (2008) dengan
Lebih terperinciAyam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.
NO KOMODITAS POPULASI (EKOR) PRODUKSI DAGING (TON) 1 Sapi Potong 112.249 3.790,82 2 Sapi Perah 208 4,49 3 Kerbau 19.119 640,51 4 Kambing 377.350 235,33 5 Domba 5.238 17,30 6 Babi 6.482 24,55 7 Kuda 31
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan
Lebih terperinciKERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN
KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN¹, E.S. ROHAENI¹ dan BESS TIESNAMURTI² ¹Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Banjarmasin Jl. Pangeran M. Noor Sempaja
Lebih terperinciANALISIS KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN PADA KELOMPOK TERNAK KAWASAN BARU
ANALISIS KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN PADA KELOMPOK TERNAK KAWASAN BARU (Feasibility Study of Cattle Through Management Improvement at Kawasan Baru Group) ENI SITI ROHAENI,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Lebih terperinci2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2
No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN
Lebih terperinciSEROPREVALENSI TRYPANOSOMIASIS DI PULAU SUMBAWA, PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
SEROPREVALENSI TRYPANOSOMIASIS DI PULAU SUMBAWA, PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (Seroprevalence of Trypanosomiasis in Sumbawa Island, West Nusa Tenggara Province) I Ketut Mastra Balai Besar Veteriner Denpasar
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciKEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009
KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 29 1 OUTLINE 1. PENDAHULUAN 2. DAMPAK WABAH AI 3. PERMASALAHAN 4. KEBIJAKAN UMUM 4.1. STRATEGI PENGENDALIAN
Lebih terperinciPenyakit Endemis di Kalbar
Penyakit Endemis di Kalbar 1. Malaria Penyakit Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009 (tabel 11) terdapat
Lebih terperinciOLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :
OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI
Lebih terperinciBADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa
Lebih terperinciLAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi
Lebih terperinciBudidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan
PangandaranBeach http://www.pangandaranbeach.com Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan Bebek Peking adalah bebek pedaging dengan pertumbuhan sangat cepat. Karena itu usaha budidaya ternak bebek peking
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu daerah di provinsi Lampung yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan jagung, sehingga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah
Lebih terperinci