Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis"

Transkripsi

1 Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede RS PGI Cikini, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana anemia pada PGK saat ini meliputi pemberian besi, pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA), dan transfusi sel darah merah. Hepsidin (hepcidin) adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya kelebihan besi dengan cara menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral. Produksinya ditingkatkan oleh inflamasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia, anemia, defisiensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien PGK terdapat peningkatan kadar hepsidin serum. Peningkatan kadar hepsidin berperan menyebabkan anemia pada PGK dengan cara menciptakan keadaan iron-restricted erythropoiesis, menghambat pembentukan koloni eritroid dan mengurangi kesintasan sel darah merah. Implikasinya adalah bahwa hepsidin diharapkan bisa menjadi biomarker penting status besi, panduan prediksi dan pemantauan respons terapi besi, dan prediktor respons terapi dan resistensi ESA. Selain itu hepsidin juga dapat dijadikan target terapi suatu antagonis hepsidin untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif. Kata kunci: anemia, penyakit ginjal kronis, hepsidin ABSTRACT Anemia is prevalent in chronic kidney disease (CKD) patients and associated with increased morbidity and mortality. Current management of anemia in CKD resolves around iron supplementation, erythropoiesis-stimulating agents (ESA), and red cell transfusion. Hepcidin is a peptide produced in liver and is a key regulator of systemic iron homeostasis to prevent iron overload by iron sequestration in macrophages and decreasing enteral iron absorption. The production is increased by inflammation and iron supplementation; attenuated by hypoxia, anemia, iron deficiency, increased erythropoiesis activity and ESA. Studies have shown that hepcidin serum level in patients with CKD is increased. High hepcidin serum level contributes to anemia in CKD by mediating iron-restricted erythropoiesis, inhibiting erythroid colony formation, and impairing red blood cell survival. Its implication is that hepcidin has the potential to be an important biomarker of iron status, a guide to predict and monitor iron therapy response, and a predictor of ESA response and resistance. Also, hepcidin has the potential to become a therapeutic target for hepcidin antagonist agent which could lead to effective treatment of anemia in CKD. Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede. Hepcidin: Role in the Pathogenesis and Implications for Management of Anemia in Chronic Kidney Disease. Key words: anemia, chronic kidney disease, hepcidin PENDAHULUAN Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan berkontribusi menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien PGK. Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan berbagai penyulit seperti perawatan di rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan kognitif, dan kematian. Berkurangnya produksi eritropoietin merupakan faktor terpenting dalam patogenesisnya. 1,2 Erythropoiesisstimulating agents (ESA) telah merevolusi penanganan anemia pada PGK dan dapat menangani kebanyakan pasien PGK dengan anemia secara efektif. Akan tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan hipo- atau nonresponsif terhadap ESA sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi menyebabkan peningkatan mortalitas. 1-3 Resistensi terhadap ESA sering dikaitkan dengan kelainan metabolisme besi dan inflamasi. Pada pasien PGK sering dijumpai kelainan metabolisme besi dan keadaan inflamasi kronis. Hepsidin (hepcidin) adalah protein dengan berat molekul rendah yang belum lama ini ditemukan, berperan penting dalam metabolisme besi dan produksinya dipengaruhi oleh inflamasi. Keberadaan hepsidin mungkin dapat menjelaskan ketidakseimbangan metabolisme besi yang sering ditemukan pada pasien PGK dengan anemia dan resisten terhadap ESA. Oleh karena itu peran hepsidin dalam patogenesis dan implikasinya terhadap tata laksana anemia pada PGK banyak diteliti. 1,2,4-6 Alamat korespondensi vanynardo@yahoo.com 337

2 ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS Menurut National Kidney Foundation s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative, anemia didefinisikan jika kadar hemoglobin (Hb) < 12 g/dl (hematokrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita pasca-menopause atau Hb < 11 g/dl (hematokrit < 33%) pada anak pre-pubertas dan wanita pre-menopause. 7 Anemia sering dijumpai pada pasien PGK dan berkontribusi menurunkan kualitas hidup. Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan berbagai penyulit seperti perawatan rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan kognitif dan kematian. 1 Tata laksana anemia pada PGK meliputi pemberian besi oral dan/atau parenteral, pemberian Erythropoiesis-Stimulating Agent (ESA), dan transfusi sel darah merah. 8 Pemberian besi berisiko menyebabkan kelebihan besi sedangkan transfusi memiliki banyak risiko seperti hiperkalemia, volume overload, kelebihan besi, toksisitas sitrat, reaksi transfusi, hipotermi, koagulopati, transfusion-related acute lung injury dan infeksi. 8,9 ESA telah merevolusi penanganan anemia pada PGK dan dapat menangani kebanyakan pasien PGK dengan anemia secara efektif, akan tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan hipo- atau non-responsif terhadap ESA sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi meningkatkan mortalitas. 1-3,8,9 Hiporesponsivitas ESA (didefinisikan sebagai tidak adanya kenaikan Hb setelah bulan pertama pemberian ESA dosis adekuat atau dalam upaya menjaga kadar Hb tetap stabil dibutuhkan peningkatkan dosis ESA sebanyak dua kali hingga 50% dosis pemeliharaan) sering dikaitkan dengan defisiensi besi dan inflamasi. 4,5,8 Meskipun berkurangnya produksi eritropoietin merupakan faktor terpenting, kenyataannya patogenesis anemia pada PGK bersifat multifaktorial. Faktor lain yang juga berperan antara lain: pemendekan kesintasan eritrosit, kehilangan darah, hemolisis, stres oksidatif, akumulasi toksin uremik yang menghambat eritropoiesis, dan kelainan metabolisme besi. 1,2,5 Kelainan metabolisme besi sering dijumpai pada pasien PGK berupa defisiensi besi absolut atau defisiensi besi fungsional/ blokade retikuloendotelial. Defisiensi besi fungsional yang dicirikan dengan rendahnya ketersediaan besi di sirkulasi untuk eritropoiesis meskipun kadarnya di penyimpanan tinggi, juga merupakan ciri anemia karena inflamasi/ penyakit kronis. 1 Pada pasien PGK juga sering ditemukan keadaan inflamasi kronis yang disebabkan peningkatan insidens infeksi dan/atau induksi sitokin proinflamasi karena prosedur hemodialisis. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa kelainan metabolisme besi yang dijumpai pada pasien PGK, seperti pada pasien dengan anemia karena inflamasi, mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar hepsidin. 1 HEPSIDIN: STRUKTUR, AKTIVITAS BIOLOGIS, DAN REGULASI Hepsidin adalah peptida dengan 25 asam amino, 8 residu sistein, dan 4 ikatan disulfida yang belum lama ini ditemukan dalam rangka pencarian peptida antimikrobial baru. 5,10-12 Karena diproduksi di hepar dan memiliki sifat antimikrobial, Park dkk. menamakan peptida ini sebagai hepcidin (hepatic bactericidal protein). 11 Hepsidin ditemukan pada berbagai spesies dan merupakan produk dari gen HAMP yang memproduksi 84-asam amino pre-prohepsidin, untuk kemudian mengalami pembelahan menjadi 60-asam amino prohepsidin selanjutnya menjadi bentuk matur/aktif yaitu hepsidin-25 yang memiliki kemampuan regulator besi dan antimikrobial. Selain hepsidin-25, dihasilkan juga dua isoform lebih kecil lainnya yaitu hepsidin-20 dan -22 yang kepentingan biologisnya belum diketahui. 2,5,9,10,12 Hepsidin merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang berperan mencegah terjadinya kelebihan besi; mutasi gen hepsidin seperti pada hemokromatosis dapat menyebabkan gejala klinis akibat kelebihan besi. Hepsidin menyebabkan degradasi dan internalisasi feroportin, yaitu eksportir besi (pengangkut efluks besi transmembran) yang terdapat di permukaan sel makrofag, enterosit dan hepatosit. Kadar hepsidin yang tinggi menghambat pelepasan simpanan besi di dalam makrofag dan hepatosit serta mencegah pergerakan absorpsi besi melalui feroportin di enterosit ke sirkulasi. Sekuestrasi besi di makrofag dan penurunan absorpsi besi enteral dalam jangka panjang akan menyebabkan anemia dengan cara menurunkan ketersediaan besi untuk eritropoiesis. Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah menyebabkan tidak terkendalinya absorpsi besi usus dan mengakibatkan kelebihan besi. 1-3,5,9,10,12 Regulator utama kadar hepsidin darah adalah status besi, anemia, hipoksia, inflamasi dan aktivitas eritropoiesis. Inflamasi dan pemberian besi menginduksi produksi hepsidin sedangkan hipoksia, anemia, defisiensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA menghambat produksinya. 1-3,5,6,9,10,12 Inflamasi menyebabkan kenaikan kadar hepsidin secara cepat dan hipoferemia sebagai akibatnya, dengan interleukin-6 (IL-6) sebagai mediator utamanya, menyebabkan pengikatan Signal Transducer and Activator of Transcription 3 (STAT3) ke promotor hepsidin sehingga meningkatkan aktivitasnya. Pemberian infus IL-6 atau lipopolisakarida yang menginduksi peningkatan kadar IL-6 pada sukarelawan sehat menyebabkan peningkatan hepsidin diikuti hipoferemia. Penelitian pada manusia dengan infeksi kronis dan penyakit inflamasi berat juga menunjukkan peningkatan kadar hepsidin yang mengindikasikan bahwa peningkatan kadar hepsidin berperan penting dalam anemia karena inflamasi dan blokade retikuloendotelial. 1,3,10 Pemberian besi, baik oral maupun parenteral, secara cepat meningkatkan kadar mrna hepsidin hepatik dan hepsidin plasma. Peningkatan kadar hepsidin selanjutnya menghambat absorpsi besi usus dan melindungi dari kelebihan besi. 10 Meskipun mekanisme molekular yang sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti, regulasi hepsidin melalui induksi transkripsi gen hepsidin oleh pemberian besi diperantarai jalur pengiriman sinyal bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ SMAD yang meliputi protein hemojuvelin (HJV), protein hemokromatosis HFE, tranferrin receptor (TFR) 1 dan 2. Sebaliknya, kondisi defisiensi besi menghasilkan kadar hepsidin yang rendah. Protease serin transmembran hepar yang dikenal sebagai TMPRSS6 atau matriptase-2, dibutuhkan untuk menekan gen hepsidin dalam kondisi tersebut. Protease ini membelah dan melarutkan HJV, menghambat jalur pengiriman sinyal BMP-6/SMAD. 1,3,10 Mekanisme molekular regulasi hepsidin oleh hipoksia atau anemia belum diketahui dengan jelas. Penelitian menunjukkan bahwa hypoxia inducable factor (HIF) -1 alpha, yaitu suatu faktor transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin dan berbagai gen terinduksi hipoksia, 338

3 berkontribusi menghambat produksi hepsidin. Hypoxia inducable factor diduga menekan ekspresi hepsidin secara tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi BMP-SMAD dan/atau induksi hepsidin termediasi HFE/TFR2. Penelitian lain menunjukkan bahwa induksi eritropoiesis akibat hipoksia atau anemia itu sendiri yang menghambat produksi hepsidin. 1,2 Regulasi hepsidin oleh eritropoiesis juga belum dimengerti sepenuhnya. Peningkatan aktivitas eritropoiesis yang juga dapat disebabkan oleh pemberian ESA menurunkan kadar hepsidin di sirkulasi dan menyebabkan mobilisasi cepat besi dari penyimpanannya untuk memenuhi kebutuhan sumsum tulang. 2 Hubungan antara produksi hepsidin dan eritropoiesis menandakan adanya regulator antara eritron dan hepar yaitu soluble transferrin receptor (stfr) dan growth differential factor 15 (GDF- 15). 2,3 PENGUKURAN HEPSIDIN Kadar hepsidin sulit diukur meskipun berbagai metode pemeriksaan telah dikembangkan. Pemeriksaan hepsidin yang pertama adalah dengan imunodot untuk mengukur hepsidin urin, akan tetapi pemeriksaan ini sifatnya semi-kuantitatif, sulit, dan tidak cocok untuk mengukur hepsidin serum. Selanjutnya dikembangkan pemeriksaan lebih komersial yang mendeteksi kadar prohepsidin, tetapi tidak berkorelasi dengan aktivitas biologis, status besi, inflamasi dan tidak lagi dianggap memiliki kegunaan klinis. Teknik pemeriksaan lain adalah dengan mass spectroscopy yang mengukur hepsidin matur di urin dan serum. Meskipun teknik ini memiliki keuntungan dapat membedakan hepsidin-25, hepsidin-22, dan hepsidin-20, tetapi masih mengandalkan peralatan mahal yang tidak tersedia luas dan bersifat semi-kuantitatif. Belakangan telah dikembangkan pemeriksaan imunologis (immunoassay) dan pemeriksaan berdasarkan kompetisi terhadap ikatan 125 I-hepsidin-25 ke peptida yang identik dengan tempat ikatan hepsidin feroportin yang dapat mengukur hepsidin-25 secara kuantitatif. 1,2,5,10,12 Rentang kadar hepsidin normal pada individu sehat menurut satu penelitian menggunakan metode competitive enzymelink immunosorbent assay adalah ng/ ml (rerata 112 ng/ml) pada pria dan ng/ml (rerata 65 ng/ml) pada wanita. 13 Sementara penelitian lain melaporkan rerata Gambar 1 Regulasi hepsidin 10 Pemberian besi/status besi yang cukup dan inflamasi meningkatkan produksi hepsidin di hepar. Peningkatan kadar hepsidin menurunkan ekspresi ferroportin (FPN) di permukaan sel duodenum dan retikuloendotelial, menyebabkan berkurangnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin (TrFn). Sebaliknya, stimulasi eritropoiesis, stabilisasi hypoxia inducible factor (HIF) pada hipoksia, dan defisiensi besi menekan produksi hepsidin, menyebabkan meningkatnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin sehingga besi digunakan secara lebih efisien untuk eritropoiesis. kadar hepsidin serum pada anak 25,3 ng/ml dan pada dewasa 72,9 ng/ml, menandakan adanya variasi kadar hepsidin terkait jenis kelamin dan usia. Selain itu juga dilaporkan adanya variasi diurnal kadar hepsidin pada individu sehat dengan kadar puncak di sore hari, pola diurnal ini tidak terlalu tampak pada pasien PGK yang menjalani dialisis karena berkurangnya bersihan hepsidin di ginjal akibat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). 9 Satu penelitian yang membandingkan berbagai metode pemeriksaan menggunakan mass spectroscopy dan imunokimia untuk mengukur hepsidin matur di serum dan urin secara kuantitatif menunjukkan perbedaan besar hasil pengukuran kadar hepsidin sehingga metode pemeriksaan hepsidin yang ada masih perlu distandarisasi. 1 HEPSIDIN PADA PASIEN PGK Penelitian terdahulu yang menggunakan prohepsidin untuk mengukur hepsidin secara tidak langsung, melaporkan peningkatan kadar prohepsidin pada pasien PGK. Akan tetapi karena kurang berkorelasi dengan besi dan inflamasi, kini prohepsidin tidak lagi dianggap representatif. 2,3 Tomosugi dkk. menggunakan mass spectroscopy yang mampu mengukur hepsidin matur, melaporkan peningkatan kadar hepsidin pada pasien PGK hemodialisis. Selain itu juga dilaporkan bahwa hepsidin dibuang saat dialisis pada beberapa pasien. 14 Penelitian lain menggunakan mass spectroscopy pada pasien PGK predialitik dengan LFG < 30 ml/menit juga melaporkan peningkatan kadar hepsidin. 3 Zaritsky dkk. menggunakan competitive enzyme-linked immunosorbent assay untuk mengukur hepsidin dan melaporkan peningkatan kadar hepsidin serum pada pasien anak (rerata: 127,3 ng/ ml) dan dewasa (rerata: 269,9 ng/ml) dengan PGK stadium 2 sampai 4 dan pada pasien anak dengan dialisis peritoneal (rerata: 652,4 ng/ ml) dibanding kontrol (rerata anak: 25,3 ng/ ml, rerata dewasa: 72,9 ng/ml). 4 Ashby dkk. juga melaporkan peningkatan konsentrasi hepsidin pada pasien PGK dewasa dan pasien hemodialisis dengan konsentrasi tertinggi ditemukan pada kelompok hemodialisis

4 Gambar 2 Jalur pengiriman sinyal untuk transkripsi hepsidin hepatik 10 Interleukin-6 (IL-6) berikatan dengan reseptornya dan bekerjasama dengan Janus kinase (JAK) mengaktivasi pengiriman sinyal STAT3. Status besi yang cukup meningkatkan produksi hepsidin melalui ikatan antara besi terikat transferin (transferrinbound iron) dan transferrin receptor 1 (TFR1) yang menggeser HFE, suatu produk gen hemokromatosis. HFE dan besi terikat transferin berikatan dengan transferrin receptor 2 (TFR2) dan meningkatkan transkripsi hepsidin baik secara langsung maupun bersama bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ hemojuvelin (HJV)/ kompleks reseptor BMP. Mutasi pada HFE, HJV, dan TFR2 dapat mengganggu transkripsi hepsidin termediasi besi, menyebabkan kelebihan besi progresif. Defisiensi besi mengganggu transkripsi hepsidin melalui HJV terikat protease TMPRSS6 pembelah membran (protease TMPRSS6 cleaving membrane-bound HJV), menghasilkan HJV terlarut (soluble HJV) (shjv) yang mengganggu pengiriman sinyal kompleks reseptor BMP secara kompetitif. Dari berbagai penelitian yang sudah ada, tampak jelas terdapat peningkatan kadar hepsidin serum pada pasien PGK; pada pasien PGK predialitik terdapat peningkatan serum hepsidin sekitar dua hingga empat kali lipat sedangkan pada PGK dialisis sekitar enam hingga sembilan kali lipat jika dibandingkan kontrol. 1,3,9,10 Hepsidin terutama diekskresi melalui ginjal dan terdeteksi di urin. Penelitian menunjukkan bahwa LFG berkorelasi terbalik dengan hepsidin serum, mengindikasikan bahwa penurunan LFG berkontribusi meningkatkan kadar hepsidin serum pada pasien PGK. Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah fungsi ginjal sisa, yang diukur dari luaran urin, berhubungan dengan kadar hepsidin serum yang lebih rendah pada pasien hemodialisis dan dialisis peritoneal dibandingkan pasien yang anuri. Mekanisme lain yang berperan menyebabkan peningkatan kadar hepsidin adalah akibat adanya inflamasi kronis dan pemberian besi pada pasien PGK. 1-3,5,9,10 HEPSIDIN DAN ANEMIA PADA PGK Pada pasien PGK, peningkatan kadar hepsidin seperti yang sudah diperlihatkan oleh berbagai penelitian juga berkorelasi dengan anemia sehingga diduga berperan dalam patogenesis terjadinya anemia. Kadar hepsidin yang berlebih menghambat pelepasan besi dari simpanannya ke sirkulasi (blokade retikuloendotelial) dan menurunkan absorpsi besi enteral sehingga mengurangi ketersediaan besi untuk eritropoiesis yang lama-kelamaan menyebabkan anemia defisiensi besi. Mekanisme ini juga diduga berperan dalam terjadinya resistensi ESA. Selain itu, penelitian in vitro juga menunjukkan bahwa peningkatan kadar hepsidin dapat berkontribusi menyebabkan anemia pada PGK dengan menghambat pembentukan koloni eritroid saat konsentrasi eritropoietin rendah dan mengurangi kesintasan sel darah merah. 1-3,5,9,10 IMPLIKASI KLINIS HEPSIDIN DALAM TATA LAKSANA ANEMIA PADA PGK Karena pentingnya peran hepsidin dalam patogenesis anemia pada PGK, diharapkan hepsidin juga mempunyai implikasi penting dalam tata laksana anemia pada PGK. Hepsidin diharapkan berguna sebagai parameter diagnostik dan target terapi anemia pada PGK. Hepsidin Sebagai Parameter Diagnostik Anemia Pada PGK Marker status besi yang paling sering digunakan saat ini yaitu kadar feritin dan saturasi transferin yang dianggap kurang optimal dan tidak dapat memprediksi respons terapi besi dengan akurat. Hepsidin secara langsung menggambarkan ketersediaan dan kebutuhan besi untuk eritropoesis dan karena berhubungan dengan inflamasi dan eritropoiesis, dapat menggambarkan status homeostasis besi lebih baik dibandingkan parameter tunggal seperti saturasi transferin, feritin, dan c-reactive protein. Kadar hepsidin yang tinggi disertai feritin yang tinggi menandakan kurangnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis meski simpanan besinya berlebih. Keadaan ini disebut hepcidinmediated iron-restrictive erythropoiesis, membutuhkan terapi besi intravena; sehingga kadar hepsidin dapat memprediksi kebutuhan terapi besi intravena pada pasien PGK. Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah dapat memprediksi kemungkinan respons yang baik dengan terapi besi oral saja. Peningkatan kadar hepsidin setelah pemberian besi juga dapat membantu klinisi memantau respons terapi besi sekaligus dapat memperingatkan bila terjadi kelebihan besi. Oleh karenanya, sebagai regulator homeostasis besi yang sesungguhnya, hepsidin diharapkan dapat menjadi biomarker penting status besi dan panduan prediksi dan pemantauan respons terapi besi untuk anemia pada PGK. 1-4,9,10,12 Hepsidin berkorelasi terbalik dengan dosis ESA yang merupakan inhibitor ekspresi hepsidin. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa hepsidin mungkin memiliki peran diagnostik sebagai prediktor respons terapi ESA. Penurunan kadar hepsidin pada awal terapi ESA merupakan indikator responsivitas jangka panjang terhadap pemberian ESA. Selain itu hepsidin juga dapat digunakan sebagai prediktor resistensi ESA. Makin tinggi kadar hepsidin, makin tinggi juga dosis ESA yang dibutuhkan untuk menurunkannya yang menandakan makin tingginya resistensi terhadap ESA. 1-3,9,10,12 Meskipun hepsidin memiliki potensi sebagai modalitas diagnostik dan prediktor terapi dalam tata laksana anemia pada PGK, saat ini data tentang hal tersebut masih terbatas. Beberapa penelitian justru meragukan kegunaan diagnostik hepsidin. Kato dkk. 340

5 yang meneliti kegunaan hepsidin sebagai prediktor responsivitas ESA pada sejumlah kecil pasien dialisis dengan menggunakan mass spectroscopy melaporkan bahwa kadar hepsidin pada kelompok pasien yang responsif ESA dan tidak responsif ESA tidak berbeda. 16 Karena itu, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengkonfirmasi potensi kegunaan diagnostik hepsidin. 2,10 Hepsidin Sebagai Target Terapi Anemia pada PGK dan Agen Penurun Kadar Hepsidin Seperti dijelaskan sebelumnya, peningkatan kadar hepsidin menyebabkan keadaan ironrestricted erythropoiesis dan berkontribusi menyebabkan anemia pada PGK. Oleh karenanya, penghambatan kerja hepsidin diharapkan dapat memperbaiki anemia, mengatasi defisiensi besi fungsional dan menurunkan kebutuhan ESA melalui peningkatan ambilan besi dari saluran cerna dan pelepasannya dari makrofag. Atas dasar inilah muncul pemikiran untuk mengembangkan suatu antagonis hepsidin dan menjadikan hepsidin suatu target terapi. 1-3,5,9,10 Berbagai penelitian untuk mencari dan mengembangkan antagonis hepsidin telah dilakukan. Penelitian pada tikus percobaan melaporkan bahwa pemberian antibodi monoklonal dapat menetralisasi hepsidin dan memperbaiki respons terhadap eritropoietin. Penelitian lain pada hewan menunjukkan bahwa inhibitor BMP, termasuk HJV terlarut, dan suatu molekul kecil penghambat BMP yaitu dorsomorphin, dapat berfungsi menurunkan kadar hepsidin untuk meningkatkan mobilisasi besi dari limpa dan meningkatkan kadar besi serum. 1,9,10 Pemberian anti-il-6 seperti tocilizumab dilaporkan dapat menekan produksi hepsidin dan memperbaiki anemia pada penyakit Castleman, suatu gangguan limfoproliferatif yang dicirikan dengan kadar IL-6 yang tinggi, menunjukkan bahwa terapi anti-sitokin secara umum mungkin dapat menurunkan produksi hepsidin. Penelitian pada manusia lainnya menunjukkan bahwa inhibitor HIF prolyl hydrolase dapat meningkatkan HIF, memperbaiki anemia pada PGK, meningkatkan produksi eritropoietin endogen, dan menurunkan kadar hepsidin. Selain itu ada juga penelitian in vitro yang menunjukkan bahwa inhibitor STAT3 seperti curcumin dapat menekan ekspresi gen hepsidin meskipun telah distimulasi oleh IL- 6. 9,10 Tetap diperlukan penelitian lain untuk membuktikan efektivitas antagonis hepsidin tersebut dalam penatalaksanaan anemia pada PGK dan potensi efek sampingnya. SIMPULAN Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi sistemik berperan penting dalam patogenesis terjadinya anemia pada PGK. Karena itu, hepsidin diharapkan memiliki implikasi penting sebagai modalitas diagnostik dan terapeutik untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif di masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA 1. Babitt JL, Lin HY. Molecular mechanisms of hepcidin regulation: implications for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 2010; 55: Swinkels DW, Wetzels JFM. Hepcidin: a new tool in the management of anaemia in patients with chronic kidney disease? Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: Young B, Zaritsky J. Hepcidin for clinicians. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: Zaritsky J, Young B, Wang HJ, Westerman M, Olbina G, Nemeth E, dkk. Hepcidin - a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: Malyszko J, Mysliwiec M. Hepcidin in anemia and inflammation in chronic kidney disease. Kidney Blood Press Res. 2007; 30: Deicher R, Horl WH. Hepcidin: a molecular link between inflammation and anemia. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19: Nurko S. Anemia in chronic kidney disease: causes, diagnosis, treatment. Cleve Clin J Med. 2006; 73: Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney Int., suppl. 2012; 2: Atkinson MA, White CT. Hepcidin in anemia of chronic kidney disease: review for the pediatric nephrologist. Pediatr Nephrol. 2012; 27: Coyne DW. Hepcidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic target. Kidney Int. 2011; 80: Park CH, Valore EV, Waring AJ, Ganz T. Hepcidin, a urinary antimicrobial peptide synthesized in the liver. J Biol Chem. 2001; 276: Kemna EHJM, Tjalsma H, Willems HL, Swinkels DW. Hepcidin: from discovery to differential diagnosis. Haematologica. 2008; 93: Ganz T, Olbina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. Immunoassay for human serum hepcidin. Blood. 2008; 112: Tomosugi N, Kawabata H, Wakatabe R, Higuchi M, Yamaya H, Umehara H, dkk. Detection of serum hepcidin in renal failure and inflammation using proteinchip system. Blood. 2006; 108: Ashby DR, Gale DP, Busbridge M, Murphy KG, Duncan ND, Cairns TD, dkk. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int. 2009; 75: Kato A, Tsuji T, Luo J, Sakao Y, Yasuda H, Hishida A. Association of prohepcidin and hepcidin-25 with eryhtropoietin response and ferritin in hemodialysis patients. Am J Nephrol. 2008; 28:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas dan defisiensi besi memberi dampak buruk terhadap kesehatan anak. Obesitas adalah kelebihan gizi, sedangkan defisiensi besi merupakan kekurangan gizi mikro.

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan, mulai dari bayi, balita, remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepcidin 2.1.1. Definisi Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, yang tersusun atas 25 asam amino peptida. Pertama kali ditemukan tahun 2000 sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit ginjal kronik adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika

Lebih terperinci

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya ABSTRAK Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB

Lebih terperinci

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SEBELUM DAN SESUDAH HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SEBELUM DAN SESUDAH HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SEBELUM DAN SESUDAH HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI Ni Made Evitasari Dwitarini 1, Sianny Herawati 2, A.A.Ngurah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

PERAN HEPSIDIN SEBAGAI REGULATOR METABOLISME BESI

PERAN HEPSIDIN SEBAGAI REGULATOR METABOLISME BESI PERAN HEPSIDIN SEBAGAI REGULATOR METABOLISME BESI Diana S Purwanto Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email: shintapurwanto@yahoo.co.id Abstract: Hepcidin is an antimicrobial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman M.tuberculosis dengan droplet nuclei akan terhirup dan mencapai alveolus akibat ukurannya

Lebih terperinci

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA)

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) Hana Setiawati Dhanisworo, 2006 Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr. Pembimbing II : Surjadi Kurniawan, dr., M. Kes Gejala anemia merupakan komplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin a. Metabolisme besi Zat besi normal dikonsumsi 10-15 mg per hari. Sekitar 5-10% akan diserap dalam bentuk Fe 2+ di duodenum dan sebagian kecil di jejunum. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Dengan prevalensi 15% di negara berkembang, dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) LAPORAN PENELITIAN Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Mira Yulianti 1, Suhardjono 2, Triyani Kresnawan 3, Kuntjoro Harimurti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang menjalani hemodialisa pada umumnya mengalami anemia. Anemia pada pasien GGK terjadi terutama karena kekurangan erytropoietin.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... viii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus penyakit ginjal kronis masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

GAMBARAN ANEMIA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK DI BLU. RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU. Dwifrista Vani Pali 2. Emma Sy. Moeis 3. Linda W. A.

GAMBARAN ANEMIA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK DI BLU. RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU. Dwifrista Vani Pali 2. Emma Sy. Moeis 3. Linda W. A. GAMBARAN ANEMIA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK DI BLU. RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU 1 Dwifrista Vani Pali Emma Sy. Moeis Linda W. A. Rotty Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Serum Transferrin receptor (stfr) Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang terdiri dari dua monomer yang identik, berat molekul sekitar 90 kda, dimana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di dunia yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk satu tahun. Pada tahun 2013, secara nasional terdapat kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dalam insidensi, prevalensi, dan tingkat. morbiditas serta mortalitasnya (Gregg, Li, & Wang, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dalam insidensi, prevalensi, dan tingkat. morbiditas serta mortalitasnya (Gregg, Li, & Wang, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal terminal merupakan masalah kesehatan yang selalu mengalami peningkatan dalam insidensi, prevalensi, dan tingkat morbiditas serta mortalitasnya (Gregg,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, sampai pada suatu derajat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, sampai pada suatu derajat yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Ginjal Terminal 2.1.1. Definisi Gagal Ginjal Terminal Gagal ginjal terminal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat namun juga segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration

Lebih terperinci

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Talasemia adalah penyakit genetik kelainan darah akibat penurunan produksi rantai globin, sehingga menyebabkan anemia. Distribusi talasemia terkonsentrasi pada thalassemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beratnya komplikasi medis dan bahkan menyebabkan kematian. (1)

BAB I PENDAHULUAN. beratnya komplikasi medis dan bahkan menyebabkan kematian. (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemoterapi pada pasien keganasan sering diiringi dengan anemia, netropenia, trombositopenia, atau gabungan dari beberapa kondisi tersebut. Komplikasi ini berkontribusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 diperkirakan pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% peningkatan prevalensi pertahun.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel akibat suatu proses patofisiologis

Lebih terperinci

Hubungan Kejadian Anemia dengan Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien yang Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang Tahun 2010.

Hubungan Kejadian Anemia dengan Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien yang Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang Tahun 2010. 546 Artikel Penelitian Hubungan Kejadian Anemia dengan Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien yang Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang Tahun 2010. Rahmat Hidayat 1, Syaiful Azmi 2,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Anemia Defisiensi Besi 1.1.1 Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. 3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat Penelitian dilakukan di unit hemodialisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Pasien HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Anemia Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Packed red cell (PRC) adalah produk darah paling penting yang dapat disimpan sekitar 35-42 hari di bank darah dan merupakan terapi terbanyak yang diberikan di dunia.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis dan Gagal Sistem Organ Multipel Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome / SIRS) yang disebabkan oleh infeksi,

Lebih terperinci

GAMBARAN STATUS BESI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS

GAMBARAN STATUS BESI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS GAMBARAN STATUS BESI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS 1 Kurniawan K. Patambo 2 Linda W. A. Rotty 2 Stella Palar 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DENGAN KADAR HEPSIDIN PADA CARRIER TALASEMIA β ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DENGAN KADAR HEPSIDIN PADA CARRIER TALASEMIA β ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DENGAN KADAR HEPSIDIN PADA CARRIER TALASEMIA β CORRELATION BETWEEN SERUM FERRITIN LEVEL AND HEPCIDIN LEVEL IN β THALASSEMIA CARRIERS ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1.Perumusan masalah Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada perawatan pasien di rumah sakit. Banyak orang mendonorkan darahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Obesitas 2.1.1 Definisi Obesitas Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena masukan

Lebih terperinci

KORELASI KADAR HEPSIDIN DAN hs-crp PADA SERUM PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK (Kajian pada Kelompok Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus) TESIS

KORELASI KADAR HEPSIDIN DAN hs-crp PADA SERUM PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK (Kajian pada Kelompok Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus) TESIS KORELASI KADAR HEPSIDIN DAN hs-crp PADA SERUM PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK (Kajian pada Kelompok Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus) TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr % pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi vital pada manusia, organ ini memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni menyaring (filtrasi)

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ANEMI DEFISIENSI BESI PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS

PENATALAKSANAAN ANEMI DEFISIENSI BESI PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS PENATALAKSANAAN ANEMI DEFISIENSI BESI PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS Ria Bandiara Subbagian Ginjal Hipertensi Bag. Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD, RS Dr. Hasan Sadikin Diajukan pada Workshop: Registrasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus...

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Sirosis hati merupakan jalur akhir yang umum untuk histologis berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Sirosis hati merupakan jalur akhir yang umum untuk histologis berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sirosis hati merupakan jalur akhir yang umum untuk histologis berbagai macam penyakit hati kronik. Istilah sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur hemoglobin pada sejumlah volume darah. Kadar normal hemoglobin

BAB I PENDAHULUAN. mengukur hemoglobin pada sejumlah volume darah. Kadar normal hemoglobin 42 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kadar hemoglobin digunakan sebagai patokan dalam dunia medis untuk mengukur hemoglobin pada sejumlah volume darah. Kadar normal hemoglobin seseorang sulit ditentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik,

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik, 1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiometabolik, seperti diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, obesitas dan sindrom metabolik (Afzali et al.,

Lebih terperinci

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik

Lebih terperinci