BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Obesitas Definisi Obesitas Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena masukan kalori melebihi kebutuhan, sehingga kelebihan ini akan diubah menjadi lemak. Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Faktor lingkungan dan genetik berperan penting dalam terjadinya obesitas. Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam kejadian obesitas antara lain pengaruh psikologi, budaya, status sosial dan ekonomi. Individu yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas (Zhang & Wang, 2004). Meningkatnya obesitas tidak lepas dari berubahnya gaya hidup seperti menurunnya aktivitas fisik dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural serta menentukan ukuran, banyak, serta distribusi regional sel adiposa tubuh (Zhang dkk., 2011) Etiologi Obesitas Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas.

2 Faktor Genetik Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan yang kuat adalah parental fatness. Anak obesitas biasanya berasal dari keluarga obesitas. Obesitas dapat terjadi sejak usia bayi. Bayi usia di bawah tiga tahun dengan kedua orangtua tidak obesitas, sekitar 8% akan menetap sampai dewasa (Syarif, 2003) Faktor Lingkungan Faktor lingkungan bersama-sama dengan faktor genetik berperan dalam patogenesis obesitas. Faktor lingkungan yang berperan berupa: a. Kebiasaan makan Peranan perilaku makan terhadap terjadinya obesitas sangat besar. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji ( junk foods atau fast foods ) dengan kalori tinggi dan 40 50% berasal dari lemak berperanan dalam membentuk perilaku makan pada anak sekolah. Kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan dan camilan yang banyak mengandung gula sambil menonton televisi (Zhang dkk., 2011). b. Aktivitas fisik Prevalens obesitas yang meningkat tidak lepas dari gaya hidup yang berubah. Aktivitas fisik anak cenderung turun, anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah, lebih sering melakukan permainan dengan komputer, menonton televisi yang banyak menyuguhkan acara maupun

3 3 film anak, dan iklan makanan yang memengaruhi peningkatan konsumsi makanan manis, camilan atau makanan cepat saji (Syarif, 2011). c. Sosial -Ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan memengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Ketersediaan dan harga makanan cepat saji yang mudah dan terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Syarif, 2011). Status sosial dan ekonomi juga dikaitkan dengan kejadian obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi selama tiga dekade terakhir (Zhang & Wang, 2004) Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi Individu dengan obesitas memiliki kadar leptin yang meningkat dalam darah jika dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan massa lemak tubuh, baik pada individu dengan obesitas ataupun tidak. Obesitas bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin yang bersirkulasi, tetapi karena resistensi terhadap leptin. Resistensi ini terjadi pada tingkat sirkulasi maupun pada transport leptin ke sistem saraf pusat (Miraglia dkk., 2009).

4 Diagnosis Obesitas didiagnosis bila didapatkan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari dua standar deviasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO, 2001). Obesitas pada anak di atas 5 tahun menggunakan grafik CDC Obesitas ditegakkan jika IMT terhadap umur > persentil 95. Untuk anak usia 0-5 tahun dipergunakan kurva WHO Child Growth Standards Obesitas tidak hanya berkaitan dengan berat badan total, namun juga distribusi lemak yang tersimpan di dalam tubuh. Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali antara lain: a. Wajah membulat b. Pipi tembem c. Dagu rangkap d. Leher relatif pendek e. Dada membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak f. Perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat g. Kedua tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan, sehingga laserasi dan ulserasi dapat terjadi dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Penis pada anak lelaki tampak kecil karena tersembunyi jaringan lemak suprapubik (burried penis) (Hidayati dkk., 2014).

5 Dampak obesitas pada anak Masalah metabolik, kardiovaskular, dan psikososial erat hubungannya dengan obesitas, baik yang terjadi pada masa bayi maupun pada masa dewasa. Tabel 2.1. menunjukkan masalah yang terjadi sehubungan dengan obesitas. Tabel 2. 1 Gangguan yang terjadi akibat obesitas Sistem Perkiraan pada anak Kardiovaskular Hipertensi 2-4 % Hipertropi ventrikel kiri Tidak diketahui Aterosklerosis 4 % Metabolik Resistensi insulin Tidak diketahui Dislipidemia 5-10% Sindrom metabolik 4 % Diabetes tipe % per Pulmo Asma 7-9 % Obtructive sleep apnoe 1-5% Gastrointestinal Nonalcoholic fatty liver diseases 3-8 % Refluks gastroesofageal 2-20% Skeletal Tibia vara Jarang Slipped capital femoral epiphysis 1-8 per Psikososial Depresi 1-2 % Polikistik ovary sindrom Tidak diketahui Pseudotumor cerebri Jarang Sumber: Daniels, Masalah Kardiovaskular Faktor risiko mayor serangan jantung dan stroke pada orang dewasa adalah hipertensi atau peningkatan tekanan darah. Obesitas memiliki kontribusi penting terhadap terjadinya hipertensi pada anak, remaja, dan orang dewasa. (Daniels, 2006).

6 Risiko anemia defisiensi besi. Penelitian menunjukkan angka kejadian defisiensi besi pada anak dengan obesitas meningkat sekian kali lipat dibanding anak normal. Hipotesis saat ini adalah proses inflamasi kronis minimal terjadi karena penumpukan sel lemak dan berperan dalam disregulasi besi (Nead dkk., 2004) Obstructive sleep apnea Obstructive sleep apnea sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernapasan. Penurunan tonus otot dinding dada pada saat tidur disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh ke arah dinding belakang faring mengakibatkan obstruksi saluran napas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah. Hal ini mengakibatkan anak cenderung mengantuk dan mengalami hipoventilasi keesokan harinya. Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Seng, 2009) Gangguan ortopedi Anak obesitas berisiko mengalami gangguan ortopedi karena kelebihan berat badan. Epifisis kaput femoris yang tergelincir menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul (Seng, 2009; Syarif, 2011).

7 Pseudotumor serebri Pseudotumor serebri pada obesitas terjadi karena peningkatan ringan tekanan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh gangguan jantung dan paru sehingga terjadi peningkatan kadar CO2 dengan gejala sakit kepala, papil udem, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer, dan iritabilitas (Daniels, 2006) Tata laksana obesitas pada anak Penyebab obesitas bersifat multifaktor. Penatalaksanaan obesitas juga seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikutsertakan keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan mengubah / modifikasi pola hidup (Hidayati dkk., 2014). Orangtua diharapkan menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori, dan sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru, dan teman ikut berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan, dan aktivitas yang mendukung program diet (Syarif, 2003) Defisiensi besi Zat besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin dan enzim. Komposisi dan distribusi besi dalam tubuh meliputi : a. Zat besi dalam hemoglobin b. Zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin

8 8 d. Zat besi parenkim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase (Baker & Greer, 2010). Menurut Bakta (2006) proses absorpsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu: 1. Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan dengan tingkat absorpsi dan bioavailabilitas yang tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, dengan tingkat absorpsi dan bioavailabilitas yang rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung, asam lambung akan membuat besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain, kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum. 2. Fase Mukosal Penyerapan zat besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. 3. Fase Korporeal Fase korporeal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, penggunaan besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Zat besi diserap oleh enterosit (epitel usus) kemudian melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, selanjutnya dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin adalah β1 globulin (protein fase akut negatif), merupakan glikoprotein dengan berat molekul dalton, terdiri dari polipeptida rantai tunggal dengan 679 asam amino dalam dua domain homolog.

9 9 N-terminal dan C-terminal masing-masing mempunyai satu tempat ikatan dengan Fe3+. Satu molekul transferin mengikat 2 atom besi (Fe3+). Transferin berikatan dengan reseptor transferin. Jumlah transferin dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat disebut sebagai total iron binding capacity (TIBC). Hanya sepertiga bagian dari transferin yang berikatan dengan besi sehingga masih tersedia cadangan yang cukup banyak untuk berikatan dengan besi apabila terjadi kelebihan besi. Hal ini penting dalam diagnosis gangguan metabolisme besi. Feri (Fe3+) di dalam plasma berikatan dengan apotransferin (Tf), ikatan besi dan apotransferin akan berikatan dengan reseptor transferin (TfR) pada permukaan sel. Kompleks TfR dan Fe3+-Tf bersama DMT 1 mengalami invaginasi membentuk endosom. Pompa proton di dalam endosom akan menurunkan ph menjadi asam mengakibatkan ikatan antara Fe3+ dan apotransferin terlepas. Apotransferin tetap berikatan dengan TfR di permukaan sel, sedangkan Fe3+ yang dilepaskan akan keluar melalui DMT 1 mitokondria dan disimpan. Zat besi dengan protoporfirin selanjutnya dipergunakan untuk pembentukan heme. Besi yang berlebih akan disimpan sebagai feritin dan hemosiderin. Nilai ph ekstrasel 7,4 akan mengakibatkan ikatan antara apotransferin TfR di permukaan sel akan terlepas. Apotransferin akan dilepaskan ke luar dari sel menuju sirkulasi dan berfungsi kembali sebagai pengangkut besi, sedangkan TfR akan menjadi truncated transferin receptor atau soluble transferin receptor.

10 Definisi defisiensi besi Berdasarkan data dari the third National Health and Nutrition Examination Survey ( NHANES III ), defisiensi besi ditentukan oleh nilai yang abnormal dari kadar feritin serum, saturasi transferin, dan atau erythrocyte protophorphyrin. Defisiensi besi dapat terjadi karena absorpsi besi yang tidak adekuat atau keseimbangan besi yang negatif. Absorpsi zat besi yang buruk akan mengakibatkan simpanan zat besi dalam bentuk feritin dalam serum akan berkurang dan komponen besi di sumsum tulang akan berkurang. Proses yang terus-menerus akan menyebabkan anemia defisiensi besi (Baker & Greer, 2010). Ada 3 tahap defisiensi besi : 1. Stadium prelaten, stadium ini juga sering disebut iron depletion atau storage iron deficiency. Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi tetapi kadar besi di plasma dan eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan pewarnaan besi pada aspirat sumsum tulang dan pengukuran kadar feritin serum. 2. Stadium laten atau iron deficient erythropoiesis. Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi maupun kadar zat besi di plasma tetapi di eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui penurunan kadar besi serum dan saturasi transferin sedangkan TIBC, free erytrhrocyte porphyrin (FEP) dan stfr meningkat. 3. Stadium anemia defisiensi besi. Pada stadium ini terjadi penurunan zat besi, baik dalam cadangan, di plasma, maupun di eritrosit sehingga menyebabkan

11 11 penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Gambaran darah tepi didapatkan mikrositik hipokromik Fisiologi metabolisme besi Zat besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi cadangan, dan besi transport. Besi fungsional yaitu zat besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, myoglobin, dan berbagai jenis enzim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein tertentu untuk mengangkut zat besi dari satu bagian ke bagian lainya. Bagian ke tiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin. Senyawa besi ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin, dan feritin yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi. Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Bakta, 2006). Reseptor transferin adalah suatu glikoprotein yang terletak pada membran sel, berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel dan apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan imobilisasi saat dibutuhkan. Iron regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan

12 12 messenger ribonucleic acid (mrna) yang mengkoordinasikan ekspresi intraselular dari reseptor transferin, feritin, dan protein penting lainnya yang berperan dalam metabolisme besi, seperti terlihat pada Gambar 2.1. (Wang & Pantopoulus, 2011). Gambar 2.1. Regulasi besi (Wang & Pantopoulus, 2011). Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Sebanyak 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi difagositosis oleh makrofag setiap hari pada kondisi seimbang. Sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Zat besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1 2

13 13 mg, sebanyak itu pula hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin, dan tinja (Muhammad & Sianipar, 2005). Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratoris sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 25 45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh (Muhammad & Sianipar, 2005). Eritrosit yang berumur 120 hari difagositosis oleh makrofag di sistem retikuloendotelial terutama limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk penggunaan kembali. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin di limpa. Molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui pintasan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Pelepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma (Muhammad & Sianipar, 2005).

14 14 Cadangan besi tubuh dapat diperiksa dengan mengukur kadar besi serum, TIBC, dan feritin serum. Pemeriksaan yang dapat memastikan cadangan besi berkurang ialah pemeriksaan hemosiderin sumsum tulang dengan pengecatan Prussian Blue. Pemeriksaan saturasi transferin merupakan hasil perhitungan kadar besi serum dibagi TIBC dikali 100%. Dalam keadaan normal saturasi transferin adalah 20 45%. Pada anemia defisiensi besi didapatkan kadar besi serum menurun dan TIBC meningkat sehingga saturasi transferin meningkat (Muhammad & Sianipar, 2005). 2.3 Sel Lemak Sel lemak sebagai organ endokrin Jaringan lemak dikenal sebagai salah satu organ endokrin yang berkontribusi dalam proses inflamasi dengan mengeluarkan mediator proinflamasi, sitokin, dan adipokin, seperti interleukin-6 (IL-6), interleukin-1β (IL- 1β), interleukin-8 (IL-8), tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha), leptin, adiponectin, resistin, lipocalcin-2, C-reactive protein (CRP), monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1), complement components, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Zekanowska dkk., 2011). Jaringan lemak menghasilkan beberapa hormon seperti estrogen dan protein dari sistem reninangiotensin. Semua peptide bioaktif ini dihasilkan oleh jaringan lemak dan dapat berperan secara lokal atau disebut autokrin (parakrin) atau secara sistemik (endokrin) (Arslan dkk., 2010). Sel lemak adalah jaringan endokrin yang aktif mensekresikan beberapa hormon dan sitokin yang berhubungan dengan efek

15 15 sistemik yang penting pada proses metabolik. Hepsidin merupakan regulator metabolisme besi dan dihasilkan juga oleh sel lemak (Zekanowskwa dkk., 2011) Obesitas dan metabolisme besi Hubungan antara obesitas dan defisiensi besi telah banyak diteliti. Kadar besi serum anak obesitas lebih rendah dibanding anak remaja dengan berat badan normal. Hasil penelitian terbaru juga menunjukkan hasil yang hampir sama. Penelitian cross sectional yang dilakukan di Israel menunjukkan defisiensi besi pada anak dan remaja yang overweight dan obesitas lebih besar dibanding anak normal. Penelitian lain menemukan bahwa anak overweight memiliki risiko dua kali lipat mengalami defisiensi besi dari pada anak dengan berat badan normal (Nead, dkk., 2004), dan prevalens defisiensi besi meningkat pada anak dengan IMT yang lebih besar di Teheran (Olds dkk., 2009). Indeks massa tubuh yang tinggi memiliki kadar besi serum darah yang lebih rendah secara signifikan dan ditandai juga dengan peningkatan c-reactive protein (CRP) dan soluble transferring receptor levels (stfr). Penelitian tersebut menunjukkan korelasi yang signifikan antara IMT dan CRP (Zekanowska dkk., 2011). Penelitian di India dan Marocco menilai hubungan antara IMT dan status besi pada anak (Zekanowska dkk., 2011). Penelitian tersebut mendapatkan skor Z IMT yang lebih tinggi bermakna sebagai prediktor status besi yang rendah. Richardson dkk, (2009) melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan apakah status besi yang rendah yang muncul pada anak dengan obesitas berhubungan dengan proses inflamasi. Hasil yang diperoleh adalah inflamasi kronis pada obesitas menghasilkan status besi yang rendah. Hanya sedikit penelitian yang

16 16 menilai jaringan lemak yang berlebih yang memengaruhi kadar status besi pada orang dewasa. Kadar besi pada 406 subjek dewasa yang obesitas lebih rendah secara bermakna dibanding dewasa normal (Yanoff dkk., 2007). Patomekanisme hipoferremia pada obesitas masih belum jelas. Defisiensi besi pada individu obesitas dapat terjadi dari asupan besi yang kurang. Obesitas berhubungan dengan inflamasi kronis minimal, sehingga pemecahan besi karena proses inflamasi dapat menjadi penyebab dari defisiensi besi pada anak obesitas (Yanoff dkk., 2007; Menzie dkk., 2008). Mekanisme defisiensi besi karena hepsidin digambarkan dalam Gambar 2.2. Obesitas berhubungan dengan terjadinya peningkatan inflamasi sistemik. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk tahun 2011 membuktikan bahwa jaringan lemak melepaskan berbagai macam sitokin dan adipokin yang menyebabkan inflamasi sistemik yang berhubungan dengan patogenesis penyakit metabolik dan penyakit degeneratif yang terjadi pada obesitas. Salah satu sitokin yang dilepaskan jaringan lemak ke dalam sirkulasi portal yaitu interleukin-6 yang akan menstimulasi hati untuk memproduksi reaktan fase akut dan kadar interleukin-6 dalam sirkulasi portal yang kadarnya lebih tinggi secara bermakna pada orang obesitas dibandingkan dengan status gizi normal. Salah satu reaktan fase akut yang dilepaskan hati karena perangsangan IL-6 yaitu hepsidin (25 amino acid peptide). Hepsidin menghambat penyerapan besi di enterosit dan juga berinteraksi dengan transmembrane iron exporter ferropotin untuk menghambat pelepasan feritin dari makrofag sehingga kadar feritin di jaringan tetap tinggi. Sitokin terutama TNF-α yang dilepaskan selama proses inflamasi juga akan

17 17 berpengaruh pada regulasi feritin, yang akan meningkatkan penghancuran feritin di makrofag (Zhang dkk., 2011). Leptin yang merupakan adipokin yang dihasilkan oleh jaringan lemak juga berperan penting untuk menstimulasi pengeluaran hepsidin pada penderita obesitas. Giudice dkk (2009) mendapatkan hubungan yang kuat antara kadar leptin dan hepsidin dengan status besi pada remaja dengan obesitas. 2.4 Hepsidin Hepsidin dikenal sebagai salah satu hormon peptida. Hepsidin dilepaskan ke dalam serum dalam bentuk peptida yang terdiri dari 20, 22, atau 25 asam amino. Peptida ini terutama dibentuk di hati dan diekskresi di ginjal. Hepsidin juga dihasilkan di pankreas, ginjal, limpa, dan jaringan lemak (Leong & Lönnerdal, 2004). Rerata kadar hepsidin serum pada anak normal 16,71±14,74 nmol/l (Choi dkk., 2012). Hepsidin sebagai regulator besi Hepsidin dianggap sebagai regulator mayor absorpsi besi dan pelepasan besi. Hepsidin bekerja berlawanan dengan kerja feroportin. Feroportin merupakan eksporter besi dari sel pada membran makrofag, hepatosit, dan sisi basolateral dari enterosit. Hepsidin menginduksi internalisasi dan pemecahan feroportin sehingga terjadi peningkatan penyimpanan besi di dalam sel dan menurunkan absorpsi besi serta menurunkan kadar besi serum (Kroot dkk., 2011). Total iron binding capacity adalah parameter pemeriksaan status besi. Total iron binding capacity menunjukkan jumlah transferin yang berada dalam

18 18 sirkulasi darah yang akan berikatan dengan besi serum. Penurunan kadar besi serum akan meningkatkan kapasitas transferin dalam usaha mengikat besi (Bakta, 2006). Saturasi transferin adalah perbandingan antara besi serum dan TIBC dikali 100%. Nilai saturasi transferin menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Saturasi transferin <16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk eritropoesis (Raspati dkk., 2010). Hepsidin yang meningkat akan mengakibatkan penurunan besi serum dan secara otomatis akan berperan dalam penurunan saturasi transferin. Konsentrasi hepsidin menurun pada situasi yang memerlukan sirkulasi besi yang tinggi. Peningkatan eritropoesis akibat respon terhadap hipoksia, anemia, defisiensi besi, atau kondisi eritropoesis yang tidak efektif. Penurunan kadar hepsidin akan meningkatkan pelepasan besi dan peningkatan absorpsi besi. Mekanisme ini tidak terjadi pada anak obesitas. Pada anak obesitas penurunan kadar besi dalam serum tidak menurunkan konsentrasi hepsidin serum. Hepsidin serum akan tetap meningkat sehubungan dengan proses inflamasi kronis minimal yang masih tetap berlangsung (Galesloot dkk., 2011; Ganz & Nemeth, 2006). Peningkatan IL-6 merangsang hepatosit untuk melepaskan hepsidin. Hepsidin sebagai kunci regulator homeostasis besi akan mengunci feroportin sehingga besi di enterosit, cadangan di makrofag, dan hepatosit tidak akan keluar ke sirkurasi yang akan bermanifestasi dalam disregulasi besi (Amato dkk., 2010; Andrew dkk., 2012). Besi di enterosit dan cadangan di makrofag dan hepatosit

19 19 tidak akan keluar ke sirkurasi tetapi akan disimpan sebagai cadangan (dalam bentuk feritin) sehingga kadar feritin akan meningkat. Feritin juga merupakan protein fase akut yang berarti konsentrasinya akan meningkat pada saat inflamasi, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan (Ridha & Daud, 2014). Mekanisme molekular regulasi hepsidin oleh hipoksia dan anemia belum diketahui dengan jelas. Hypoxia inducable factor (HIF)-1 alpha adalah faktor transkripsi heterodimer yang diduga menekan ekspresi hepsidin secara tidak langsung (Pardede, 2012). Regulator eritroid memberikan efek negatif pada produksi hepsidin. Kondisi kadar besi serum yang rendah memberi umpan balik negatif pada hati untuk memproduksi hepsidin. Produksi hepsidin yan tinggi menurunkan absorpsi besi pada saluran cerna, dan menghalangi pelepasan besi dari makrofag sehingga kadar besi yang beredar di sirkulasi akan meningkat (Ganz & Nemeth, 2006). Gambar 2.2 Mekanisme kerja hepsidin (Wang & Pantopaulus, 2011).

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin a. Metabolisme besi Zat besi normal dikonsumsi 10-15 mg per hari. Sekitar 5-10% akan diserap dalam bentuk Fe 2+ di duodenum dan sebagian kecil di jejunum. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas dan defisiensi besi memberi dampak buruk terhadap kesehatan anak. Obesitas adalah kelebihan gizi, sedangkan defisiensi besi merupakan kekurangan gizi mikro.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman M.tuberculosis dengan droplet nuclei akan terhirup dan mencapai alveolus akibat ukurannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepcidin 2.1.1. Definisi Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, yang tersusun atas 25 asam amino peptida. Pertama kali ditemukan tahun 2000 sebagai

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Perkembangan perekonomian di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin pesat secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup di masyarakat. Kemajuan teknologi dan industri secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat. Penelitian sejak tahun 1990-an menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Anemia secara praktis didefenisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi obesitas mengalami peningkatan di seluruh dunia menjadi dua kali lipat berdasarkan data dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya ABSTRAK Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menetapkan batasan hipertensi pada anak sesuai dengan batasan menurut NationalHigh Blood Pressure Education

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi lemak secara berlebihan. Obesitas merupakan faktor risiko dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindrom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr % pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak sakit kritis Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan terhadap kegagalan fungsi organ vital yang dapat menyebabkan kematian, dapat berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia 2.1.1 Pengertian Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O 2 ) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. akibat dari disregulasi dalam sistem keseimbangan energi

BAB 1 : PENDAHULUAN. akibat dari disregulasi dalam sistem keseimbangan energi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal dan berlebihan yang dapat menggangu kesehatan. (1) Obesitas adalah penyakit yang timbul sebagai akibat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 7 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Metabolisme Besi 2.1.1. Komposisi Besi dalam Tubuh Besi merupakan mineral penting bagi semua sel tubuh manusia. Kemampuan besi untuk berubah pada reaksi oksidasi stabil,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik

Lebih terperinci

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu golongan dari suatu kelompok usia yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsinya. Taraf kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia

Lebih terperinci

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola makan vegetarian telah menjadi pola makan yang mulai banyak menjadi pilihan masyarakat saat ini. Vegetarian adalah orang yang hidup dari mengkonsumsi produk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang. relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang. relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan cadangan lemak menimbulkan perbedaan besar dalam peningkatan

Lebih terperinci

MAKALAH GIZI ZAT BESI

MAKALAH GIZI ZAT BESI MAKALAH GIZI ZAT BESI Di Buat Oleh: Nama : Prima Hendri Cahyono Kelas/ NIM : PJKR A/ 08601241031 Dosen Pembimbing : Erwin Setyo K, M,Kes FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh: REISYA NURAINI J

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh: REISYA NURAINI J HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI ZAT BESI DAN VITAMIN C DENGAN KESEGARAN JASMANI ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI KARTASURA 1 KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH SKRIPSI Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya, proses-proses tersebut diantaranya adalah premenopause, menopause dan pascamenopause. Masa premenopause

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas pada anak sampai kini masih merupakan masalah, satu dari sepuluh anak di dunia ini mengalami obesitas dan peningkatan obesitas pada anak dan remaja saat ini

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas Obesitas secara umum didefinisikan sebagai peningkatan berat badan yang disebabkan oleh peningkatan lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas pada anak merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi muncul masalah gizi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot badan normal. Kondisi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Hasil analisis jumlah eritrosit darah. Berdasarkan analisis stastik jumlah eritrosit hasil perlakuan adalah sebagai berikut Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5

Lebih terperinci

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan prevalensi tiap tahunnya. Sindrom metabolik merupakan sekumpulan

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan prevalensi tiap tahunnya. Sindrom metabolik merupakan sekumpulan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Metabolik Sindrom Metabolik merupakan salah satu masalah kesehatan metabolik di zaman modern yang kompleks dan banyak penyebabnya serta mengalami peningkatan prevalensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin sering ditemukan di berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. orang dewasa dan usia balita. Jika kegemukan terjadi pada masa balita

BAB 1 PENDAHULUAN. orang dewasa dan usia balita. Jika kegemukan terjadi pada masa balita 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegemukan atau obesitas menjadi salah satu masalah kesehatan bagi orang dewasa dan usia balita. Jika kegemukan terjadi pada masa balita kemungkinan besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. lebih. Kondisi ini dikenal sebagai masalah gizi ganda yang dapat dialami oleh anakanak,

BAB 1 : PENDAHULUAN. lebih. Kondisi ini dikenal sebagai masalah gizi ganda yang dapat dialami oleh anakanak, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi kurang yang ada di Indonesia masih belum teratasi dengan baik. Saat ini Indonesia telah dihadapkan dengan masalah gizi baru yaitu masalah gizi lebih.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Gizi lebih tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan munculnya hiperglikemia karena sekresi insulin yang rusak, kerja insulin yang rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan, mulai dari bayi, balita, remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu

Lebih terperinci

REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis. Pembimbing: Oleh

REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis. Pembimbing: Oleh REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis Pembimbing: Oleh HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis Oleh Disusun untuk memenuhi tugas Diterima dan disahkan, Purwokerto,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja tentunya ingin menampilkan tampilan fisik yang menarik. Banyak remaja putra berkeinginan membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas 2.1.1. Definisi Obesitas adalah penumpukan jaringan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO,2011). Batas yang tidak wajar untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak

Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak Definisi: keadaan yang terjadi apabila perbandingan kuantitas jaringan lemak tubuh dengan berat badan total lebih besar daripada normal, atau terjadi peningkatan energi akibat ambilan makanan yang berlebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada zaman modern ini, seluruh dunia mengalami pengaruh globalisasi dan hal ini menyebabkan banyak perubahan dalam hidup manusia, salah satunya adalah perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data Riskesdas (2013), prevalensi obesitas dewasa (>18 tahun) di Indonesia mencapai 19,7% untuk laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak di negara maju maupun negara berkembang selama periode tahun 1980-2013. Indonesia termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini biasanya menyerang tanpa tanda-tanda. Hipertensi itu sendiri bisa menyebabkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hemoglobin 1. Pengertian Hemoglobin merupakan pigmen yang mengandung zat besi terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi terutama dalam pengangkutan oksigen dari paru- paru

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, jumlah penderita DM

Lebih terperinci