BAB II PENDEKATAN TEORITIS. 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS. 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan"

Transkripsi

1 7 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Kebijakan Pemerintah dalam Hal Gender dalam Pembangunan INPRES No. 9 Tahun 2000 menetapkan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan nasional dan semua sektor pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Konsep PUG tersebut dinyatakan sebagai suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan laki-laki dan perempuan ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan. Pemerintah mempertegas pentingnya PUG tersebut dalam pelaksanaan RPJMN , bahwa PUG menjadi salah satu dari tiga pengarusutamaan bersamaan dengan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana diketahui, pemerintah menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. PUG dalam pembangunan dinyatakan sebagai strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. PUG dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang, sehingga akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

2 Konsep dan Pendekatan Gender Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin Menurut Fakih (1996), konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia, yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu, sementara gender diartikan sebagai berbagai sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Adapun menurut Woods (2001) dalam Mugniesyah (2007), pengertian jenis kelamin yang dibedakan ke dalam laki-laki dan perempuan merujuk pada perbedaan biologis diantara mereka baik dalam aspek genital eksternal maupun internal (khususnya kromosom dan hormon); sementara gender diartikan sebagai suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, serta bersifat relasional, karena maskulinitas dan feminitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda. Hal tersebut menegaskan bahwa gender bukan jenis kelamin dan bukan perempuan, namun merujuk pada diferensiasi (pembedaan) peranan dan posisi (status) antara laki-laki dengan perempuan yang tidak didasarkan atas perbedaan biologis, tetapi dibentuk secara sosial dan budaya di dalam suatu masyarakat Peranan Gender Menurut Moser (1993) dalam Mugniesyah (2007) peranan gender dibedakan ke dalam tiga kategori peranan gender (triple roles), yaitu: 1) Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya; di dalamnya meliputi produksi pasar dengan suatu nilai tukar, produksi rumahtangga/subsisten dengan suatu nilai guna, serta juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya, kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. 2) Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut

3 9 kelangsungan keluarga; seperti aktivitas melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lainnya. 3) Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, yang dibedakan ke dalam dua kategori: a. Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah. b. Pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), mencakup peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status Teknik Analisis Gender Teknik analisis gender diartikan sebagai alat untuk melakukan pengujian secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan prosesproses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan di semua masyarakat. Analisis gender dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka analisis Harvard. Kerangka analisis Harvard digunakan dengan tujuan, antara lain untuk memetakan kerja laki-laki dan perempuan dalam komunitas dan menemukenali perbedaan di antara mereka. Kerangka Harvard ini digunakan untuk mengumpulkan informasi pada tingkat mikro, khususnya pada tingkat rumahtangga, yang meliputi empat aspek penting, yaitu: (1) Profil Aktivitas Sosial Ekonomi, untuk mengetahui siapa melakukan apa, dimana dan untuk berapa lama); (2) Profil akses dan kontrol, untuk mengetahui siapa yang akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat), dan (3) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kedua aspek di atas, serta untuk melihat faktor lain yang mempengaruhi diferensiasi gender (Wigna, 2003; NZAID, 2006) Seperti telah dikemukakan di depan, Surbakti dkk (2001) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003) menyatakan adanya empat faktor utama untuk mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan gender: akses, kontrol,

4 10 partisipasi dan manfaat. Menurut mereka, aspek akses mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama terhadap sumberdayasumberdaya pembangunan; aspek kontrol mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan memiliki kontrol atau kekuasaan yang sama terhadap sumberdayasumberdaya pembangunan tersebut; aspek partisipasi mempertanyakan apakah dan bagaimana laki-laki dan perempuan berpartisipasi dalam program-program pembangunan; dan aspek manfaat mempertanyakan apakah laki-laki dan perempuan menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Berkenaan dengan alokasi kekuasaan atau kontrol, Sajogyo P (1990) menyatakan adanya lima pola pengambilan keputusan dalam keluarga (rumahtangga), yaitu keputusan yang diambil oleh: (a) suami sendiri, (b) isteri sendiri, (c) suami dan isteri, namun suami dominan, (d) suami dan isteri, namun isteri dominan, dan (e) suami dan isteri, setara Pengelolaan Repong Damar Riwayat Singkat Repong Damar Resin merupakan cairan getah lengket yang dipanen dari beberapa jenis pohon hutan, merupakan produk dagang tertua dari hutan alam Asia Tenggara (Michon dkk, 2000). Selanjutnya Michon dkk menyatakan bahwa hutan-hutan alam Indonesia menghasilkan berbagai jenis resin, yang dikenal sebagai terpentin, kopal dan damar. Damar merupakan istilah umum yang digunakan di Indonesia untuk menamakan resin dari pohon-pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae. Damar terdiri dari dua macam, yaitu damar batu dan damar mata kucing. Damar batu adalah damar bermutu rendah berwarna coklat kehitaman, yang keluar sendirinya dari pohon yang terluka. Adapun damar mata kucing adalah damar bening atau kekuningan yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal, yang dipanen dengan cara melukai kulit pohon dari genus Shorea javanica. Menurut Michon dkk (2000), repong damar di Pesisir Krui merupakan contoh keberhasilan sistem yang dirancang dan dilaksanakan sendiri oleh penduduk setempat dalam mengelola hutan secara lestari dan menguntungkan. Secara umum proses pembuatan kebun damar, meliputi sejumlah tahapan. Pada tahun pertama, berlangsung pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan

5 11 (rimba, belukar, atau alang-alang) yang dilanjutkan dengan penanaman padi, sayuran, dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Pada tahun kedua dilakukan penanaman padi kedua dan penanaman kopi diantara padi. Pada tahun ketiga sampai tahun ketujuh atau kedelapan, dilakukan penanaman bibit damar di selasela tanaman kopi, serta penanaman tanaman kayu dan buah-buahan. Panen kopi berlangsung sejak tahun keempat sampai dengan tiga atau empat tahun berikutnya. Mulai tahun ke delapan sampai dengan 20 tahun, pohon-pohon damar berkembang di antara kopi yang mulai rusak, buah-buahan (nangka, durian, duku) dan kayu (kayu bakar, kayu perkakas, kayu bangunan) yang dipanen seperlunya. Setelah repong berumur di atas 20 tahun, penyadapan getah pohon damar mulai dilakukan. Kebun damar dikembangkan terus menerus melalui penanaman kembali rumpang dan penganekaragaman alami. Lubis (1997) melaporkan bahwa jumlah dan sebaran jenis-jenis tanaman poduktif pada fase repong sangat variatif antara satu bidang dengan bidang lainnya atau antara satu atar dengan atar lainnya. Atar adalah terminologi lokal untuk menyebutkan suatu hamparan lahan yang terletak di suatu lokasi tertentu dan dibuka pada kurun waktu yang sama. Setiap atar mempunyai nama khusus yang menjadi tanda pengenal bagi penduduk, biasanya menggunakan nama tumbuhan, bukit, sungai, atau gejala alam lainnya. Adapun bidang adalah istilah lokal yang mengacu kepada luasan lahan yang menjadi bagian dari satu atar, yang dibuka dan kemudian dimiliki oleh sebuah keluarga, dengan rata-rata luasan sekitar satu hektar. Michon dkk (2000) menegaskan bahwa repong damar merupakan salah satu contoh pelaksanaan usahatani yang bersifat berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial-budaya, maupun ekologi. Secara ekonomis, dengan mengambil alih peranan hutan alam dalam perekonomian desa, repong berjasa mengurangi gangguan manusia terhadap sisa hutan alam. Pada gilirannya, kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan kontribusi ekonomi bagi petani secara terus-menerus dalam jangka panjang. Resin damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk nafkah keluarga. Dari repong juga bisa dipetik hasil tanaman lain seperti disebutkan di atas, ditambah kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis tumbuhan obat.

6 12 Pengelolaan repong damar oleh masyarakat petani di Pesisir Krui, Lampung Barat ini diakui pemerintah Indonesia sebagai suatu sistem usahatani yang dibangun masyarakat setempat sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (berkelanjutan). Itu sebabnya, kepada mereka pemerintah Indonesia pada tahun 1997 menganugerahkan penghargaan Kalpataru, suatu penghargaan bagi penyelamat lingkungan (Michon dkk, 2000) Sistem Penguasaan Repong Damar Terdapat dua sistem penguasaan lahan repong damar, yaitu : hak milik dan hak waris (Michon dkk, 2000). Lahan hak milik menunjuk pada lahan repong yang dibangun sendiri oleh pemiliknya sehingga ia dapat menjual, menggadaikan, membagi-bagikan, menebang pohon-pohon damar dan mengganti dengan tanaman cengkeh atau tanaman lain sesukanya. Pemilik memiliki hak mutlak atas lahan milik. Dalam hak waris, pewaris memiliki hak permanen khusus untuk memakai dan mengelola lahan yang diwarisinya, namun hak khusus ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan resmi dan tidak resmi, dan mengandung kewajiban sosial. Hampir semua peneliti repong damar sebagaimana tersebut di atas melaporkan sistem penguasaan lahan repong pada masyarakat Krui. Menurut Lubis (1997) dan Michon dkk (2000), adat orang Krui menentukan bahwa harta orang tua harus diwariskan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga itu (generasi kedua); dan selanjutnya harta itu akan diwariskan pula kepada anak lelaki sulung pada generasi ketiga; demikian seterusnya. Harta pusaka yang demikian tidak bisa dimiliki, melainkan hanya dikuasai, dan pengalihan hak milik kepada orang lain di luar anggota keluarga harus seizin anggota-anggota keluarga luas. Dengan demikian, sebidang lahan yang tadinya berupa unit produktif yang menjadi hak eksklusif sebuah rumah tangga, secara perlahan berubah menjadi harta milik bersama keluarga luas. Hasil studi terdahulu, seperti Fikarwin (1996), Lubis (1997), dan Michon dkk (2000), juga melaporkan bahwa akumulasi penguasaan harta pusaka pada anak lelaki sulung tersebut menyebabkan ekonomi rumah tangga mereka relatif lebih mapan dibandingkan dengan adik-adik mereka. Posisi yang elitis sesuai adat

7 13 itu mendorong adik-adik mereka untuk membangun ekonomi rumah tangganya dengan daya kekuatan mereka sendiri, sehingga gerak ekspansi pembukaan lahan baru biasanya dimotori oleh kalangan ini. Alternatif lain bagi mereka adalah menjadi pedagang pengumpul di tingkat desa, yang kemudian memungkinkan mereka melakukan akumulasi keuntungan yang mereka investasikan untuk membeli atau menerima gadaian lahan repong damar. Pada kasus sebuah keluarga tidak memiliki repong damar dari warisan, ia dapat membuat sendiri repong damar dengan cara membuka hutan. Selain itu dia juga bisa: (a) mengusahakan repong damar milik orang lain dengan cara ngandan (serah-kelola) atau mendapatkan kepercayaan dari pemilik repong tersebut; (b) menerima gadaian repong damar orang lain, (c) mengelola repong orang lain dengan cara bagi hasil (paroan); atau upahan ngunduh; atau (d) menyewa repong orang lain. Bagi kaum perempuan di dalam sebuah rumah tangga bisa juga pergi ngelahang di lahan repong orang lain; atau menjadi buruh angkut dan sortir; atau melakukan kombinasi dari berbagai kegiatan tersebut. Berdasar penjelasan di atas, seseorang pada masyarakat Krui, bisa mendapatkan hak kepemilikan atas bidang repong damar melalui tiga cara, yaitu: (1) membuat sendiri, (2) menerima warisan, dan (3) membeli. Adapun melalui hak untuk menguasai dan mengusahakan repong damar dimungkinkan melalui enam cara yakni melalui: (1) warisan, (2) gadai/sanggal, (3) serahkelola/ ngandan, (4) bagi-hasil/ paroan, (5) upahan, dan (6) menyewa/pak (Lubis, 1997) Pengelolaan Repong Damar Menurut fase produktifnya, Lubis (1996) dan Michon dkk (2000) menyatakan bahwa tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan masyarakat Krui di Lampung Barat mencakup tiga fase produktif: darak, kebun, dan repong. Perbedaan fase tersebut dimanifestasikan ke dalam bentuk tindakan pengelolaan lahan. Fase produktif pertama dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam (pangrula/darak) yang lazimnya membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan. Fase ini ditandai oleh kegiatan pengelolaan tanaman subsistensi berupa padi ladang dan palawija. Kegiatan menanam padi ladang dan palawija dilakukan terutama untuk menyediakan pasokan pangan bagi petani selama pengelolaan

8 14 lahan pada fase produktif kedua. Pada fase pertama ini, padi dan palawija hanya ditanam satu sampai dengan dua kali di lahan yang sama, setelah itu mereka mengalihkan kegiatannya pada perawatan tanaman komersial seperti kopi, lada, cengkeh. Fase kebun, dimulai ketika tanaman komersial seperti lada, kopi, atau cengkeh, sudah mendominasi tegakan di lahan bekas ladang, yaitu sekitar tahun ketiga sejak pembukaan lahan. Pohon buah-buahan, petai, jengkol, sudah menghasilkan mulai tahun kelima, sehingga petani pemiliknya secara berkala (ketika musim buah) sudah memanen buah-buahan sebelum memasuki fase produktif repong. Fase repong dinyatakan berlaku apabila bidang sudah dipenuhi oleh beragam jenis tanaman keras seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, melinjo, dan nangka. Namun demikian, repong damar baru benar-benar produktif setelah berusia di atas 20 tahun, ketika pohon damar sudah siap ditakik untuk mendapatkan resin. Selanjutnya, frekuensi kunjungan petani ke repong damar semakin sering dan berlangsung terus-menerus sepanjang pohon damar masih produktif (Lubis, 1997). Gambar tahapan pembuatan repong damar selengkapnya disajikan pada Gambar 1. Tipe Lahan Darak (0-2 tahun) Kebun Tanaman Muda (3-8 tahun) Kebun Campuran (9-15 tahun) Kebun Damar Muda ( < 20 tahun) Repong Produktif ( > 20 tahun) Gambar 1 Tahapan Pembuatan Repong Damar (CIFOR, Watala dan Universitas Indonesia, 1999; Michon dkk, 2000)

9 15 CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) menyatakan bahwa dalam pengelolaan damar terdapat lima tipe/bentuk bidang repong, yakni darak, kebun tanaman muda, kebun campuran, kebun damar muda, dan repong produktif. Darak adalah bentuk bidang repong yang didominasi tanaman padi dan palawija. Kebun tanaman muda adalah kebun yang didominasi oleh tanaman tahunan jangka pendek: kopi dan lada. Kebun campuran adalah bentuk bidang repong yang berisi bermacam pohon: damar, tanaman muda, dan sayuran. Selanjutnya, kebun damar muda adalah bentuk bidang repong yang didominasi pohon damar muda (usia kurang dari 20 tahun). Sementara, repong produktif adalah bentuk bidang repong yang berisi pohon damar produktif (usia lebih dari 20 tahun). Michon dkk (2000) menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan repong damar menciptakan rangkaian kegiatan ekonomi lain, selain yang berpusat pada budidaya repong damar, yaitu pemanenan, pengangkutan dari kebun ke desa, penyimpanan, sortasi, dan pengangkutan ke para pedagang besar di Pasar Krui. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh pemilik kebun dan keluarga, pekerja upahan, dan oleh pedagang pengumpul baik yang beroperasi dalam perjalanan antara kebun dan desa, ataupun tingkat desa. Selain itu, dilihat dari jenis pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan dari repong damar, Lubis (1997) melaporkan bahwa seseorang bisa mendapatkan hasil dari repong damar dengan cara: (a) ikut memanen getah damar (ngunduh), (b) bekerja upahan membuat pepat di batang damar (mepat), dan (c) mengumpulkan biji damar yang jatuh berserakan di bawah batang damar (ngelahang). Pekerjaan terakhir ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumahtangga sambil mereka mengumpulkan kayu api dan meramu sayuran di dalam repong damar (tandang midang). Ketika resin damar dibawa petani ke pasar (pedagang pengumpul atau cecingkau di tingkat desa), perolehan tidak langsung dari repong damar juga didapatkan penduduk melalui pekerjaan-pekerjan, yaitu: (a) ngambica, yakni menjadi buruh angkut damar, dan (b) mileh, yaitu bekerja menyortir damar di gudang. Dengan demikian, hampir semua rumah tangga, baik pemilik repong damar maupun yang tidak berlahan bisa memperoleh peluang untuk mendapatkan pendapatan dari repong damar.

10 Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul Analisis Gender dalam Rumahtangga Petani Repong Damar di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat ini merujuk pada beberapa konsep, teori dan pendekatan tentang gender dan pembangunan dari sejumlah ahli, khusunya Sajogyo P (1990), serta Moser (1993) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003) dan Wigna (2003), serta Surbakti dkk (2001) dalam Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003). Penelitian ini juga merujuk pada sejumlah hasil penelitian empiris dalam pengelolaan repong damar oleh masyarakat Krui, Lampung Barat yang dilakukan Fikarwin (1996), Lubis (1997), CIFOR, Watala, Universitas Indonesia (1999), Michon dkk (2000), dan Pramono (2000). Dengan merujuk pada pendapat para ahli gender tersebut di atas, penelitian ini akan menganalisis empat dimensi gender dalam rumahtangga petani pengelola repong damar pada masyarakat Krui yang meliputi: akses, kontrol, partisipasi dan manfaat. Aspek akses akan diukur melalui kesempatan yang diperoleh anggota rumahtangga petani (ART), laki-laki dan perempuan, terhadap sumberdaya repong damar, dan dalam aktivitas pengelolaan repong damar. Dalam hal kontrol, akan diukur melalui peran serta ART, laki-laki dan perempuan, dalam pengambilan keputusan berkenaan aktivitas pengelolaan repong damar. Dalam hal aspek partisipasi, akan diukur melalui peran serta ART, laki-laki dan perempuan, dalam semua sejumlah kegiatan/program pembangunan (atas inisiatif pemerintah) yang diintroduksikan kepada mereka. Adapun aspek manfaat, akan diukur melalui keuntungan, baik yang bersifat ekonomis maupun sosial, yang diperoleh ART, laki-laki dan perempuan, dari akses dan kontrol mereka atas pengelolaan repong damar, maupun atas partisipasi mereka dalam program pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan SDA dan lingkungan. Dengan demikian, dalam penelitian ini terdapat empat variabel terpengaruh tentang gender dalam rumahtangga pengelola repong damar, yaitu: Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 1 ), Tingkat Kontrol ART Lakilaki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 2 ), Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Repong

11 17 Damar (Y 3 ), dan Tingkat Manfaat Yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 4 ). Merujuk pada metode dan hasil empiris penelitian Mugniesyah, Puspitawati, dan Windarti (2003), Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 1 ) akan diukur dari curahan waktu yang digunakan mereka dalam semua aktivitas pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir. Adapun Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 2 ) akan diukur oleh pola pengambilan keputusan yang dilakukan ART berkenaan semua kegiatan dalam pengelolaan repong. Variabel Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Repong Damar (Y 3 ) akan diukur melalui jumlah (frekuensi) keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan program pembangunan (dari pemerintah) yang terkait dengan pengelolaan Repong Damar. Adapun Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 4 ), akan diukur melalui manfaat ekonomis baik berupa hasil yang dikonsumsi langsung maupun pendapatan (rupiah) yang diterima dari hasil penjualan komoditi pada bidang repong dalam setahun terakhir. Sebagaimana telah dilaporkan para peneliti repong di atas, menurut fase produktifnya, repong damar dibedakan ke dalam tiga fase yang meliputi: darak, kebun, dan repong; adapun menurut tipe lahannya repong dibedakan ke dalam lima kategori: darak, kebun tanaman muda, kebun campuran, kebun damar muda, dan repong produktif. Sehubungan dengan itu, terdapat dua variabel pengaruh pada karakteristik fisik repong damar, yaitu Fase Produktif Repong (X 1 ) dan Tipe Lahan Repong (X 2 ). Umum diketahui bahwa pengelolaan usahatani dilakukan oleh anggota rumahtangga petani, dengan demikian dalam penelitian ini diduga terdapat sejumlah variabel pada karakteristik rumahtangga petani yang juga memengaruhi dimensi gender dalam rumahtangga pengelola repong damar. Untuk menentukan variabel pengaruh tersebut, penelitian ini merujuk pada beberapa temuan para peneliti terdahulu. Hasil studi Fikarwin (1996), Lubis (1997) dan Michon dkk (2000) melaporkan adanya keragaman dalam hal pola pemilikan lahan di kalangan rumahtangga pengelola repong damar. Mereka juga mengemukakan bahwa

12 18 pengelolaan repong damar dilakukan oleh rumahtangga, baik berbentuk keluarga inti maupun keluarga luas; dan bahwa hampir semua ART usia kerja terlibat dalam pengelolaan repong damar. Hasil studi CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) serta Pramono (2000) mengemukakan bahwa pada rumahtangga petani di Pesisir Krui dijumpai adanya ART yang bekerja di sektor non pertanian, yang secara langsung mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Adapun dari hasil studi Sajogyo P (1990) ditemukan bahwa peranan perempuan dalam kegiatan produktif sangat berhubungan dengan kehadiran anak balita dalam rumahtangga petani tersebut. Merujuk pada sejumlah temuan para peneliti tersebut di atas, terdapat lima variabel pengaruh pada karakteristik sumberdaya rumahtangga petani yang diduga berhubungan dengan dimensi gender dalam rumahtagga pengelola repong damar. Kelima variabel pengaruh tersebut adalah: Status Penguasaan Lahan Repong (X 3 ), Bentuk Keluarga (X 4 ), Jumlah Anak Balita dalam Rumahtangga (X 5 ), Jumlah Tenaga Kerja Perempuan dalam Rumahtangga (X 6 ), dan Jumlah Anggota Rumahtangga Perempuan yang Bekerja di Luar Sektor Pertanian (X 7 ) yang diduga berhubungan dengan semua variabel terpengaruh pada gender dalam rumahtangga pengelola repong damar. Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dalam penelitian dapat dilihat dalam Gambar Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik fisik repong damar semakin rendah tingkat akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan Repong Damar. 2. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik rumahtangga pengelola repong damar kecuali variabel jumlah tenaga kerja perempuan dalam rumahtangga yang bekerja di repong, semakin rendah tingkat akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan repong damar.

13 19 3. Semakin rendah tingkat akses, kontrol, dan partisipasi anggota rumahtangga petani (perempuan) dalam pengelolaan repong damar, maka semakin rendah tingkat manfaat yang diperoleh anggota rumahtangga petani perempuan dibanding laki-laki dalam pengelolaan repong damar. 2.4 Definisi Operasional 1. Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 1 ) adalah total waktu (jam) yang dialokasikan anggota rumahtangga laki-laki (ARL) dan anggota rumahtangga perempuan (ARP) dalam kegiatan produktif pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir dibedakan dalam dua kategori, yakni: (1) rendah, jika total waktu yang dialokasikan ARL dan ARP kurang dari atau sama dengan 261 jam; (b) tinggi, jika total waktu (jam) yang dialokasikan ARL dan ARP sebanyak jam. 2. Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 2 ) adalah total skor yang diperoleh ARL dan ARP dalam pengambilan keputusan yang berlangsung pada semua kegiatan pengelolaan repong damar. Variabel ini diukur dengan merujuk Sajogyo P (1990) tentang lima pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga dan konsep kesetaraan gender, yakni: (a) suami sendiri; (b) isteri sendiri; (c) suami dan isteri, suami dominan; (d) suami dan isteri, isteri dominan; dan (e) suami dan isteri, secara setara. 3. Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Pengelolaan Repong Damar (Y 3 ) adalah total frekuensi keikutsertaan ARL dan ARP dalam kegiatan-kegiatan program pembangunan berkenaan pertanian, kebutuhan sosial dan program pengelolaan SDA (termasuk repong damar). 4. Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 4 ) adalah jumlah pendapatan dalam bentuk rupiah yang diperoleh ARL dan ARP dari kegiatan produktif pada pengelolaan repong damar dalam setahun terakhir.

14 20 5. Fase Produktif Bidang Repong (X 1 ) adalah tahapan produktif dari bidang repong damar yang sedang dikelola rumahtangga. Merujuk pada temuan Lubis (1997) dan Michon dkk (2000), berkenaan tiga fase produktif bidang repong, variabel ini dibedakan ke dalam: (a) darak; (b) kebun; dan (c) repong. 6. Tipe Lahan Repong (X 2 ) adalah bentuk bidang repong yang sedang dikelola rumahtangga. Penelitian CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999) menyatakan adanya lima bentuk bidang repong, karenanya variabel ini dibedakan ke dalam: (a) darak; (b) kebun tanaman muda; (c) kebun campuran; (d) kebun damar muda; dan (e) repong produktif. 7. Status Penguasaaan Lahan Repong (X 3 ) adalah total skor dari jenis hak penguasaan lahan repong damar di kalangan rumahtangga petani repong damar. Merujuk pada Lubis (1997), dibedakan ke dalam: (a) skor 1, jika hak penguasaan lahan repong termasuk dalam jenis bukan milik (gadai/sanggal, serah kelola/ngandan, bagi hasil/paroan, dan menyewa/ pak); (b) skor 2, jika hak penguasaan lahan repong termasuk dalam jenis milik (membuat sendiri, warisan, dan membeli). Selanjutnya, oleh karena ditemukan adanya keragaman dalam hal lahan yang dikuasai rumahtangga petani repong damar, maka variabel ini dikategorikan ke dalam: (1) rendah, jika total skor terhadap jenis hak penguasaan adalah kurang dari atau sama dengan enam; dan (2) tinggi, jika total skor terhadap jenis hak penguasaan lahan antara tujuh sampai dengan Bentuk Keluarga (X 4 ) adalah tipe keluarga pada rumahtangga pengelola repong damar yang dengan merujuk pada Fikarwin (1996) dan Michon dkk (2000) dibedakan dalam dua kategori, yaitu: (a) rendah, jika terdiri dari hanya keluarga inti; dan (b) tinggi, jika terdiri atas keluarga luas. 9. Jumlah Anak Balita dalam Rumahtangga (X 5 ) adalah banyaknya anak perempuan dan/atau anak laki-laki dalam rumahtangga petani pengelola repong damar yang berumur di bawah lima tahun, dibedakan dalam dua kategori: (a) rendah, jika tidak ada seorangpun anak balita; (b) tinggi, jika jumlah anak balita adalah seorang dan dua orang.

15 Jumlah Tenaga Kerja Perempuan dalam Rumahtangga (X 6 ) adalah banyaknya ARPP pada rumahtangga petani pengelola repong damar. Merujuk pada CIFOR, Watala, dan Universitas Indonesia (1999), dibedakan dalam dua kategori, yakni: (a) rendah, jika jumlah tenaga kerja perempuannya adalah seorang; dan (b) tinggi, jika jumlah jumlah tenaga kerja perempuannya adalah dua dan tiga orang. 11. Jumlah Anggota Rumahtangga Perempuan Yang Bekerja Di Luar Sektor Pertanian (X 7 ) adalah banyaknya individu ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian (seperti pedagang, pengrajin bebalang, penjahit, buruh pabrik, dan tenaga kesehatan); dibedakan dalam dua kategori: (a) rendah, jika tidak ada seorangpun ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian; (b) tinggi, jika jumlah ARPP yang bekerja di luar sektor pertanian sebanyak seorang.

16 22 Variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh Variabel Pengaruh 22 Karakteristik Repong Damar 1. Fase Produktif Bidang Repong (X 1 ) 2. Tipe Lahan Repong (X 2 ) ANALISIS GENDER DALAM RUMAHTANGGA PETANI REPONG DAMAR 1. Tingkat Akses ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 1 ) 2. Tingkat Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 2 ) 3. Tingkat Partisipasi ART Laki-laki dan Perempuan dalam Program Pembangunan berkenaan Pengelolaan Repong Damar (Y 3 ) 4. Tingkat Manfaat yang Diperoleh ART Laki-laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Repong Damar (Y 4 ) Karakteristik Rumahtangga Petani Repong Damar 1. Status Penguasaaan Lahan Repong (X 3 ) 2. Bentuk Keluarga (X 4 ) 3. Jumlah Anak Balita dalam Rumahtangga (X 5 ) 4. Jumlah Tenaga Kerja Perempuan dalam Rumahtangga (X 6 ) 5. Jumlah ART Perempuan yang Bekerja Di Luar Sektor Pertanian(X 7 ) Keterangan: : Berhubungan Gambar 2 Hubungan antara Variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh pada Penelitian Analisis Gender dalam Rumahtangga Petani Repong Damar di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan bahwa dalam kerangka pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

TIPE REPONG DAMAR DAN HUBUNGANNYA DENGAN DINAMIKA GENDER DALAM RUMAHTANGGA PETANI REPONG DAMAR

TIPE REPONG DAMAR DAN HUBUNGANNYA DENGAN DINAMIKA GENDER DALAM RUMAHTANGGA PETANI REPONG DAMAR TIPE REPONG DAMAR DAN HUBUNGANNYA DENGAN DINAMIKA GENDER DALAM RUMAHTANGGA PETANI REPONG DAMAR (Kasus di Pemangku 3, Pekon Penengahan, Lampung Barat) Type and Correlation with Gender Analysis among Farmer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Repong dalam terminologi Krui adalah sebidang lahan kering yang ditanami

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Repong dalam terminologi Krui adalah sebidang lahan kering yang ditanami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Repong Repong dalam terminologi Krui adalah sebidang lahan kering yang ditanami beraneka-ragam jenis tanaman produktif, umumnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

DEFINISI OPERASIONAL

DEFINISI OPERASIONAL 18 DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Tingkat pendidikan yaitu pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden pada saat penelitian berlangsung.

Lebih terperinci

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa ringkasan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya akan dikemukakan sintesis dari keseluruhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh

Lebih terperinci

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai 163 BAB IX KESIMPULAN 9.1. Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri 2.1.1 Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan

Lebih terperinci

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 59 VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH 6.1. Curahan Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Lahan Sawah Alokasi waktu kerja dalam kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 36 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pembangunan sebagai upaya terencana untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan penduduk khususnya di negara-negara berkembang senantiasa mencurahkan

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk berpengaruh positif apabila perekonomian dapat menyerap tambahan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk berpengaruh positif apabila perekonomian dapat menyerap tambahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja adalah dua hal yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk menjadi potensi terjaminnya ketersediaan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 14 II. TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah erat kaitannya dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Internasional

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Agroforestri di Lokasi Penelitian Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya pada umumnya didominasi dengan jenis tanaman buah, yaitu: Durian (Durio zibethinus),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan pokok dari pelaksanaan program yang dirancang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan pokok dari pelaksanaan program yang dirancang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan pokok dari pelaksanaan program yang dirancang dengan tujuan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berbagai macam program dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM PEKON PENENGAHAN DAN PROFIL RUMAHTANGGA PENGELOLA REPONG DAMAR

BAB IV KEADAAN UMUM PEKON PENENGAHAN DAN PROFIL RUMAHTANGGA PENGELOLA REPONG DAMAR 25 BAB IV KEADAAN UMUM PEKON PENENGAHAN DAN PROFIL RUMAHTANGGA PENGELOLA REPONG DAMAR 4.1 Keadaan Umum Pekon Penengahan 4.1.1. Kondisi Geografis Pekon Penengahan Pekon Penengahan merupakan salah satu pekon

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan 1 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan memperhatikan tiap-tiap gejala

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Hairiah, dkk (2003) mendefinisikan agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah. (2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan

Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah. (2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan 6 2. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Gender Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah (2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi.

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sektor pertanian berpengaruh bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di pedesaan. Sektor pertanian juga memegang peranan penting

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Sistem pertanian polikultur didefinisikan sebagai sebuah metode pertanian yang memadukan lebih dari 4 jenis tanaman lokal bernilai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Isu tentang peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional dewasa ini menjadi semakin penting dan menarik. Peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd TEKNIK ANALISIS GENDER Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012 MAKALAH TEKNIK ANALISIS GENDER Dr. Nahiyah Jaidi Faraz M.Pd nahiyah@uny.ac.id Pengertian Analisis

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Keadaan Umum Wilayah Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai ratio jumlah rumahtangga petani

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41

BAB I PENDAHULUAN. segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan komponen alam yang memiliki banyak fungsi, baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41 tahun 1999, hutan didefinisikan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Apakah Gender itu? Pengertian awal: Pembedaan ketata-bahasaan (gramatical) penggolongan kata benda menjadi feminin,

Lebih terperinci

Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari responden. petani, responden pedagang, dan industri pengolahan buah.

Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari responden. petani, responden pedagang, dan industri pengolahan buah. V. HASIL PENGAMATAN 5.1 Karakteristik Responden Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari responden petani, responden pedagang, dan industri pengolahan buah. Responden petani berjumlah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengrajin bambu merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat perempuan di Desa Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Kreatifitas pengrajin bambu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden A. Umur Kisaran umur responden yakni perempuan pada Kasus LMDH Jati Agung III ini adalah 25-64 tahun dengan rata-rata umur 35,5 tahun. Distribusi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga 7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS SELUAS ± 29.000 (DUA PULUH SEMBILAN RIBU) HEKTAR DI KELOMPOK HUTAN PESISIR, DI

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman jeruk (Citrus sp) adalah tanaman tahunan berasal dari Asia Tenggara, terutama Cina. Sejak ratusan tahun yang lampau, tanaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean Hutan kemenyan berawal dari hutan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia. Pohon kemenyan tumbuh secara alami di hutan

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR 31 KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR Pengertian kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 1,97% Angkatan kerja NTT pada Februari 2014 mencapai 2.383.116 orang, bertambah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji 17 PENDAHULUAN Latar Belakang Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji secara mendalam. Hal ini penting karena hutan akan lestari jika para petani yang tinggal di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi andalan bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dilengkapi dengan iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah. Sebagian besar dari masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 04/06/Th. XIV, 1 Juni 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2011 NILAI TUKAR PETANI SEBESAR 99,49 PERSEN NTP Provinsi Sulawesi Tengah (NTP-Gabungan) bulan Mei 2011 tercatat sebesar 99,49 persen,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan budayanya, serta memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian. Sebagian

BAB I PENDAHULUAN. alam dan budayanya, serta memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian. Sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya, serta memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Gender dan Ketidakadilan Gender Hal penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah perempuan adalah membedakan antara konsep seks dan gender. Kedua konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI 5.1 Strategi Nafkah Petani Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM Disampaikan Oleh: Drg. Ida Suselo Wulan, MM Deputi Bidang PUG Bidang Politik, Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG Aladin Nasution*) Abstrak Secara umum tingkat pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Timur. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012, tentang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Timur. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012, tentang 79 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Timur 1. Keadaan Umum Pemerintahan Kecamatan Teluk Betung Timur terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung

Lebih terperinci