POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU BUSTAMI MAHYUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU BUSTAMI MAHYUDDIN"

Transkripsi

1 POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU BUSTAMI MAHYUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 Ku persembahkan untuk Anak-anakku tercinta Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto dan Anita Amanda Dewi yang telah mendoakan papanya menyelesaikan kuliah Isteriku tercinta Yartini, B.Sc yang selalu mendampingi dan memberi semangat Almarhum ayahku Haji Mahyuddin Majid yang telah berpesan agar selalu menuntut ilmu kapan dan dimanapun dan ibuku tercinta Hajjah Syamsinar yang selalu mendoakanku.

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2007 Bustami Mahyuddin C

4 ABSTRAK BUSTAMI MAHYUDDIN. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI dan SULAEMAN MARTASUGANDA. Pola pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) harus disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu, memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dan menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. Analisis data yang digunakan untuk penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yaitu lokasi sektor basis menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam, persaingan pelabuhan perikanan dengan metode skalogram. Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan analisis kebutuhan guna menentukan target jumlah produksi, target jumlah kapal, kapasitas fasilitas, dan jumlah konsumen. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu dengan menggunakan PHA. Berdasarkan hasil penelitian untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu diperlukan lahan seluas 30 ha dari kondisi yang ada sekarang 7,2 ha, kolam seluas 8,6 ha dari semula 5 ha, dermaga sepanjang 1452 m dari kondisi yang ada sekarang 910 m, gedung pelelangan ikan dari 900 m 2 menjadi m 2, penambahan kapasitas BBM solar sebesar kl/tahun dari kondisi sekarang kl/tahun, kapasitas pabrik es ton/tahun dari kondisi sekarang ton/tahun, kapasitas air bersih kl/tahun dari kondisi sekarang kl/tahun. Dengan pengembangan fasilitas tersebut, maka dapat meningkatkan jumlah kapal yang mendarat sebanyak 922 unit dari kondisi yang ada sekarang 676 unit, jumlah produksi ikan yang didaratkan meningkat sebesar ton dari kondisi sekarang ton, jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu meningkat dari orang tahun 2005 menjadi orang. Urutan alternatif prioritas pengembangan terpilih adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD. Kata kunci: pelabuhan perikanan, pola pengembangan, triptyque portuaire, analisis kebutuhan, PHA dan PPN Palabuhanratu.

5 ABSTRACT BUSTAMI MAHYUDDIN. The Development Pattern of Fishing Port Using the Fishing Port System Concept (Triptyque Portuaire): The case of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port. Under the direction of ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI and SULAEMAN MARTASUGANDA The development pattern of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP) needs to be adjusted to the development of fishery activities. This research is intended to determine the course of the development of PAFP, formulate the development pattern and determine the priority of the development of PAFP. Data analysis used to determine the course of the development of PAFP is determining the need of developing PAFP by considering base-sector location using location quotient (LQ), production value relative index (I), the condition of pond density, competition of fishing port using skalogram method. Formulating the development pattern of PAFP using analysis of necessity, determining the priority of the development of PAFP using AHP. The research outputs are; to optimize the function of PAFP, the size of the pond need to be extended by 8.6 hectares of present pond 5 hectares, wharf extension by 1452 meters of the present wharf 910 m, addition of fuel capacity by 37,695 kl/years of the present condition 10,381 kl/years, ice factory by 38,000 tons/years of the presents conditions 18,250 tons/years, water capacity by 86,272 kl/years of the present condition 38,370 kl/years and the extension of the area by 30 hectares of the present size 7.2 ha. By using the above mentioned development pattern, the number of the fishing vessels can be increased by 922 vessels of the present condition 676 vessels, the number of fish production increases by 19,000 tons of the present production 6,601 tons, the number of domestic fish consumers increase significantly from 281,049 in 2005 to 542,619. The chosen alternative priority of the development of PAFP sequence is the increase of the number of vessels, increase of the fish production, increase of the port s revenue, increase of the number of the labor and increase of the state revenue (PAD). Key words : fishing port, development pattern, triptyque portuaire, analysis of necessity, AHP and Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP).

6 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

7 POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU BUSTAMI MAHYUDDIN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

8 LEMBAR PENGESAHAN Judul disertasi : Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Nama : Bustami Mahyuddin NRP : C Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal ujian : 7 Mei 2007 Tanggal lulus...

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kerinci, Jambi pada tanggal 29 Oktober 1959, sebagai anak keempat dari pasangan H. Mahyuddin Majid (alm) dan Hj. Syamsinar. Pada bulan Desember tahun 1977 penulis lulus dari SMA Negeri Sungai Penuh (Kerinci) dan pada tahun 1978 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Penangkapan Ikan pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten muda tidak tetap pada mata kuliah Ekologi Umum pada tahun Tahun 1995 menempuh pendidikan Magister Manajemen di IPWIJA Jakarta dan diselesaikan pada tahun Penulis berkarya sebagai Kepala Seksi Identifikasi Pelabuhan Perikanan pada Direktorat Jenderal Perikanan sejak tahun Kemudian pada tahun 1998 sampai dengan sekarang penulis berkarya sebagai Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Selama memimpin PPN Palabuhanratu telah tiga kali memperoleh penghargaan dari Menteri yakni penerimaan Piagam Penghargaan Adhi Bakti Tani dari Menteri Pertanian sebagai unit kerja pelayanan berprestasi pratama atas upaya meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat dengan baik yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1998, Piala Adhi Bakti Tani penghargaan Menteri Pertanian untuk unit kerja pelayanan terbaik tahun 1999 yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1999, dan Piala Adhi Bakti Mina Bahari dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk unit kerja pelayanan yang berprestasi di lingkungan DKP tahun 2005 yang diterima bulan Januari Penulis memperoleh penghargaan atas prestasi akademik gemilang tahun akademik 2001/2002 dari Direktur Program Pascasarjana IPB, tertuang dalam piagam penghargaan No.287/K13.8/KM/2002 tanggal 5 Agustus Penulis dinyatakan lulus pada sidang ujian terbuka Doktor IPB, Program Studi Teknologi Kelautan pada hari Senin tanggal 7 Mei 2007 di IPB Darmaga Bogor.

10 PRAKATA Alhamdulillah, atas karunia Allah SWT disertasi ini dapat diselesaikan. Dengan telah selesainya disertasi ini, maka merupakan langkah penting selanjutnya untuk memanfaatkan ilmu yang diperoleh guna diterapkan di tengah-tengah masyarakat terutama pada masyarakat perikanan. Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada: 1. Dr.Ir. Made L. Nurdjana selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin belajar (surat izin belajar No. 5698/DPT.O/Kp.510.S3/X/2001 tertanggal 5 Oktober 2001) pada Program Pascasarjana (S-3) IPB. 2. Ir. Ibrahim Ismail selaku Direktur Pelabuhan Perikanan DKP yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian studi penulis. 3. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 4. Dr.Ir. Kadarwan Suwardi, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 5. Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 6. Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan. 7. Komisi pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah memberikan saran perbaikan disertasi. 8. Penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup yakni Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA (Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), pada sidang ujian terbuka yakni Dr.Ir. Ali Supardan, M.Sc (Direktur Jenderal Perikanan Tangkap DKP) dan Dr.Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) yang telah memberikan saran-saran perbaikan.

11 9. Penyelesaian disertasi ini banyak mendapat bantuan dan kerjasama pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian disertasi ini. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Yartini, B.Sc dan anakanak saya Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto, dan Anita Amanda Dewi serta semua staf PPN Palabuhanratu dan terutama kepada Sdr Lukman Nur Hakim, S.Pi yang telah banyak memberikan sumbangan pemikirannya. Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih. Bogor, Mei 2007 Bustami Mahyuddin ii

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN... iv vii ix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Novelty KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA Tujuan Pengelolaan Perikanan Definisi Pelabuhan Perikanan Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Pelabuhan Perikanan di Negara Lain Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah Konsep Triptyque Portuaire Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan Proses Hierarki Analitik (PHA) Kajian Penelitian Terdahulu i

13 4 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Tahap Penelitian Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan dan Analisis Data Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu HASIL PENELITIAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi PPN Palabuhanratu Fasilitas PPN Palabuhanratu Kondisi operasional PPN Palabuhanratu Manajemen Pelabuhan Perikanan Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu Target jumlah kapal Target kapasitas fasilitas Pengembangan daerah distribusi (hinterland) Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu Penentuan alternatif prioritas pengembangan Sensitivitas prioritas pengembangan PEMBAHASAN Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu Pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah produksi (foreland) Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland) ii

14 6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu Peluang Penerapan Peraturan Internasional KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

15 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan kondisi pada tahun 2002 dan tahun Evaluasi PPN Palabuhanratu kelas B sampai dengan tahun Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun Jumlah ikan tuna dan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari Oktober Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan) Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis Musim ikan di PPN Palabuhanratu Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun Jumlah kapal/perahu perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun iv

16 16. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu tahun Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun Daerah penangkapan kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun Nilai Indeks Relatif Nilai Produksi Perikanan (I) PPN palabuhanratu periode tahun Kondisi kolam PPN Palabuhanratu bulan Maret Kondisi jumlah kapal di kolam PPN Palabuhanratu tahun Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (strata) sumberdaya manusia pengelola pelabuhan tahun v

17 32. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal tahun Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu Hasil perhitungan kebutuhan air bersih PPN Palabuhanratu Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek operasional vi

18 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun Jumlah kapal/perahu perikanan menurut daerah perairan pantai dan propinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun Jumlah pelabuhan perikanan dan PPI yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun vii

19 17. Distribusi ikan segar di PPN Palabuhanratu periode tahun Distribusi ikan pindang di PPN Palabuhanratu periode tahun Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun Hasil proses hierarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun Produksi dan nilai ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun Posisi masing-masing bentuk solusi permasalahan pada aplikasi program PHA Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu Cold chain system di PPS Palabuhanratu Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu Hubungan alternatif strategi, fungsi dan solusi permasalahan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program viii

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Daftar nama responden Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001) Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi periode tahun PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober Produksi ikan bulan Januari-Oktober 2005 di PPN Palabuhanratu ix

21 15. Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Glosari x

22 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan perikanan saat ini semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam pengembangan industri perikanan karena berbagai alasan yakni pertama, investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah di luar kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati, kedua sesuai dengan ayat 3 pasal 41 UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan yang mengharuskan setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan, ketiga adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapalkapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia dan keempat semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai dari pelayanan prima sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas pelabuhan. Keberadaan pelabuhan perikanan sangat diperlukan guna menunjang aktivitas perikanan dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan, kegiatan praproduksi, produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan pengawasan sumberdaya ikan. Keberhasilan pengelolaan pelabuhan perikanan dalam menjalankan fungsinya merupakan salah satu tujuan dari pembangunan perikanan. Pelabuhan perikanan dapat dijadikan barometer keberhasilan pembangunan perikanan laut pada suatu daerah karena aktivitas perikanan terkonsentrasi dalam kawasan pelabuhan dan sangat mudah dilihat dan dievaluasi kemajuannya. Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya sangat berdampak luas terhadap tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan dan usaha-usaha kecil lainnya yang mendukung kegiatan perikanan seperti toko logistik, BAP, bengkel dan lain-lain. Sejak era reformasi hingga saat ini, pelabuhan perikanan dijadikan ujung tombak dalam menjalankan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan dan kelautan, hal ini dimungkinkan karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai

23 pusat pengembangan ekonomi masyarakat perikanan. Mengingat pentingnya keberadaan pelabuhan perikanan, maka pemerintah telah membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia dan menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006), bahwa pemerintah telah membangun pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit yang terdiri dari 5 unit (0,64%) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 12 unit (1,53%) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 18 unit (2,17%) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 750 unit (95,66%) Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 1 menunjukkan penyebaran pelabuhan perikanan. Tabel 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006 Satuan: unit No Kelas WIB WITA WIT Jumlah 1 PPS (0,64%) 2 PPN (1,53%) 3 PPP (2,17%) 4 PPI (95,66%) Jumlah 502 (64,04%) 145 (18,49%) 137 (17,47%) 784 (100%) Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, Berdasarkan Tabel 1, tentang penyebaran pelabuhan perikanan, ternyata 502 unit atau sebesar 64,04% pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia bagian barat (WIB) dan hanya sebagian kecil saja berada di wilayah Indonesia bagian tengah (WITA) yakni sebanyak 145 unit atau sebesar 18,49% dan di wilayah Indonesia bagian timur (WIT) sebanyak 137 unit atau sebesar 17,47%, yang mengakibatkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat dan wilayah Indonesia bagian timur. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat sudah ada yang mengalami over fishing seperti di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa, namun pada WIB jumlah pelabuhan perikanan justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pelabuhan perikanan yang ada di WITA dan WIT. Potensi sumberdaya ikan di WITA dan WIT justru banyak perairan yang masih besar potensi pemanfaatannya dan jumlah pelabuhan perikanan lebih sedikit. 2

24 Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2005) bahwa untuk wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, namun hanya ada sebanyak 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT. Kemudian belum ada satu pun pelabuhan perikanan yang secara khusus dipersiapkan sebagai pangkalan langsung untuk melakukan kegiatan ekspor, seperti belum dilengkapinya fasilitas crane di pelabuhan guna memindahkan kontainer, akibatnya selama ini kegiatan ekspor ikan masih memanfaatkan pelabuhan umum. Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2006), komposisi kelas pelabuhan perikanan menunjukkan bahwa kelas PPS hanya ada 0,64% saja, kelas PPN sebanyak 1,53% dan PPP sebanyak 2,17% serta PPI memiliki jumlah yang terbanyak yakni sebanyak 95,66%. Dengan komposisi kelas pelabuhan perikanan tersebut di atas, maka lebih dari 80% atau sebanyak 627 unit pelabuhan perikanan mengakomodasikan kapal-kapal berukuran kecil (<10 GT), yang jangkauan operasional penangkapan ikan dilakukan di sekitar pantai saja dan sedikit kapalkapal perikanan memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan ZEEI dan laut lepas. Selain itu terdapat kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT memanfaatkan fasilitas pelabuhan umum seperti di Pelabuhan Umum Benoa Bali, Pelabuhan Umum Bitung yang pelayanannya belum sesuai dengan tata tertib pelayanan kapal perikanan, sehingga layanan aktivitas perikanan menjadi tidak optimal. Berdasarkan UU No.31/2004 tentang Perikanan telah ditetapkan bahwa selain pemerintah, maka swasta pun diberi hak untuk ikut membangun pelabuhan perikanan. Selama ini sudah ada pelabuhan perikanan yang telah dibangun oleh pihak swasta seperti pelabuhan perikanan swasta yang ada di Batam dan Tual yang secara resmi telah ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun Namun ada juga tempat pendaratan ikan seperti Tangkahan di Sumatera Utara yang merupakan dermaga pendaratan ikan milik swasta serta dermaga-dermaga milik perusahaan perikanan. Menurut Lubis (2002), bahwa tingkat operasional pelabuhan perikanan bila dilihat dari aspek jumlah ikan laut yang didaratkan di pelabuhan perikanan adalah sebesar ton (tahun 1997) atau sekitar 22% dari total produksi perikanan laut sebesar ton, artinya bahwa ada 80% ikan mendarat di luar 3

25 pelabuhan perikanan. Kemudian disebutkan bahwa dari 595 unit pelabuhan perikanan pada tahun 1997 yang tidak berfungsi sebanyak 357 unit atau 60%. Selanjutnya menurut Lubis et al. (2005) bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kondisi fasilitas vital pada 234 unit pelabuhan perikanan yang ada di pulau Jawa, ternyata 3 unit atau 10% dari jumlah pelabuhan perikanan sebanyak 30 unit berkategori buruk dan 121 unit atau 59% dari jumlah pangkalan pendaratan ikan sebanyak 204 unit memiliki kondisi fasilitas vital berkategori buruk. Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut di atas, maka permasalahan yang dihadapi pelabuhan perikanan adalah belum sempurnanya pola pengembangan pelabuhan perikanan baik secara nasional ataupun lokal (regional). Akibat dari permasalahan tersebut menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal. Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2004), melaporkan bahwa belum berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal tersebut disebabkan oleh: (1) Kelembagaan atau struktur organisasi yang ada di pelabuhan perikanan belum dapat berfungsi secara optimal, seperti halnya kesyahbandaran. (2) Sebagian pangkalan pendaratan ikan belum dibentuk status kelembagaannya oleh pemerintah daerah sehingga belum ada kejelasan operasionalnya. (3) Sumberdaya manusia pelabuhan perikanan yang ada sangat kurang dari segi kuantitas dan kualitas, sehingga pelabuhan perikanan dijalankan kurang profesional. (4) Terbatasnya biaya operasional. (5) Fasilitas pelabuhan perikanan sebagian kurang memenuhi persyaratan teknis, kualitas dan kuantitas sehingga pelayanan yang diberikan belum optimal. (6) Belum efektifnya koordinasi antara pengelola pelabuhan perikanan dengan instansi terkait. (7) Rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat mendukung pengelolaan pelabuhan perikanan. (8) Belum jelasnya kebijakan dalam pengelolaan pelabuhan perikanan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 4

26 (9) Belum adanya standard operational procedure (SOP) pengelolaan pelabuhan perikanan. (10) Masih sedikitnya jumlah pelabuhan perikanan yang ada. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) adalah salah satu pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat guna menunjang aktivitas perikanan yang memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia, melayani kapal-kapal yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan menyampaikan informasi yang diperlukan oleh nelayan, seperti informasi mengenai prakiraan potensi daerah penangkapan ikan, harga ikan, kondisi cuaca melalui radio komunikasi atau alat elektronik lainnya, melakukan pelayanan terhadap kapal-kapal perikanan baik untuk keberangkatan maupun pada saat kedatangan dan saat berada di pelabuhan, memfasilitasi kegiatan pengolahan ikan guna mempertahankan mutu ikan yang didaratkan sehingga layak dikonsumsi, memfasilitasi kegiatan pemasaran ikan sehingga ikan yang dipasarkan memperoleh harga yang wajar, seperti melalui kegiatan pelelangan ikan. Selain itu fungsi PPN Palabuhanratu guna memperlancar kegiatan distribusi ikan ke daerah konsumen, melakukan pembinaan terhadap masyarakat perikanan antara lain melakukan pelatihan-pelatihan dan pembinaan usaha nelayan. Semua tugas yang dilakukan oleh PPN Palabuhanratu tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan usaha perikanan guna meningkatkan pendapatan nelayan dan sekaligus kesejahteraannya. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan, mutu, nilai tambah, daya saing dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan dan meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan serta melakukan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan seperti kegiatan statistik perikanan dan pemeriksaan dokumen kapal perikanan. PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan pada tahun Sejak pengembangannya pada periode tahun , PPN Palabuhanratu telah mengalami dua tahap pembangunan, yaitu pembangunan tahap pertama pada tahun 1993 dan beroperasi sampai dengan 2002, kemudian pembangunan tahap 5

27 kedua selama periode tahun , yang merupakan pengembangan pembangunan tahap pertama. Pembangunan pelabuhan perikanan tahap pertama ditujukan untuk menunjang aktivitas perikanan terutama unit penangkapan ikan dengan ukuran kapal sampai 30 GT dan pembangunan pelabuhan perikanan tahap kedua untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30 GT sampai dengan 150 GT. Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus direncanakan sesuai dengan pola pengembangan yang telah ditentukan. Menurut Lubis (2002), pola pengembangan suatu pelabuhan perikanan adalah acuan awal mengembangkan suatu pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan agar pembangunan dan operasionalnya sesuai dengan fungsi dan tujuan pengembangannya. Penyusunan pola pengembangan pelabuhan perikanan harus ada di dalam triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan, yakni keterkaitan antara aspek wilayah produksi (foreland), wilayah distribusi (hinterland) dan aspek pelabuhan perikanan (fishing port) agar fungsi dan tujuannya bisa dicapai. Dalam pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan seharusnya dilakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pola pengembangannya guna meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan. Di Indonesia, yang menjadi acuan pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah hasil studi kelayakan, rencana induk pembangunan dan berdasarkan pada kriteria klasifikasi pelabuhan perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Pola pengembangan PPN Palabuhanratu tahap pertama sejak awal pembangunannya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1987 seperti yang tertera di dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu yang dibuat oleh Rogge Marine Gmbh (Jerman) dan PT. Inconeb tahun 1987 dan kriteria klasifikasi sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (kelas B). Dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk tersebut telah ditentukan, bahwa pemilihan lokasi Palabuhanratu didasarkan karena Palabuhanratu merupakan pusat perikanan sejak zaman penjajahan Belanda, dekat dengan daerah penangkapan ikan, berada di Teluk Palabuhanratu dan mudah diakses ke daerah pemasaran seperti Jakarta dan 6

28 Bandung. Pembangunan PPN Palabuhanratu sudah disesuaikan dengan rencana pembangunan perikanan secara nasional dan lokal Jawa Barat bahwa dengan adanya PPN Palabuhanratu yang berada di Pantai Selatan Jawa Barat akan dapat meningkatkan pembangunan perikanan di wilayah tersebut terutama untuk daerah perikanan di Pantai Selatan Jawa Barat. Namun pada kenyataannya melalui evaluasi tahun 2002, hasil pengoperasian PPN Palabuhanratu tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pelabuhan ini pada pembangunan tahap pertama, telah menetapkan pola pembangunan, yakni dibangun di atas tanah seluas 10,2 ha. Direncanakan bahwa dengan adanya pembangunan kolam pelabuhan seluas 3 ha dengan kedalaman kolam bervariasi, yakni 3,5 m, 2 m dan 1 m dan dermaga sepanjang 500 m, maka akan dapat mengakomodir sebanyak 125 unit kapal, yakni terdiri dari kapal perikanan berukuran 5-10 GT sebanyak 25 unit, kapal berukuran GT sebanyak 30 unit, kapal berukuran GT sebanyak 56 unit, kapal berukuran GT sebanyak 10 unit dan kapal berukuran >50 GT sebanyak 4 unit. Wilayah produksi yang merupakan daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal perikanan tersebut berada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia dan daerah pemasaran ikan yang meliputi Kabupeten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta serta sebagian untuk diekspor. Diestimasikan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 jumlah ikan yang didaratkan sebanyak ton per tahun atau 43,84 ton per hari. Kapal-kapal kecil berukuran sampai dengan 5 GT tidak diakomodir oleh PPN Palabuhanratu, melainkan diatur dan diarahkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mendarat di tempat pendaratan lain seperti di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok yang berjarak 11 km dari Palabuhanratu dan pendaratan pantai (beach landing) untuk kapal-kapal kincang (congkreng) ukuran <5 GT yang akan dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan tahun 1993 dan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, bahwa PPN Palabuhanratu adalah pelabuhan perikanan kelas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha 7

29 perikanan di wilayah laut teritorial dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. PPN Palabuhanratu merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang manajemen pelaksananya diatur oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan eseloneringnya ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Pengaturan tentang kepegawaian, biaya pembangunan dan operasional berasal dari pemerintah pusat, begitu pula segala bentuk penerimaan yang merupakan pendapatan pelabuhan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2002 dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus dimasukkan ke kas negara. Sejak operasional PPN Palabuhanratu tahap pertama periode tahun 1993 hingga tahun 2002 telah mengalami banyak perubahan. Tabel 2 menunjukkan evaluasi kondisi operasional PPN Palabuhanratu sampai akhir tahun 2002 dan tahun Tabel 2 Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan, kondisi pada tahun 2002 dan 2005 Kriteria Sebelum ada PPN Palabuhanratu tahun 1986 Estimasi studi kelayakan periode tahun Kondisi operasional tahun 2002 Kondisi operasional tahun 2005 Kapal ukuran (unit) <5 GT GT GT GT GT GT Total Produksi ikan (ton) Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Evaluasi terhadap pola pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu yang disesuaikan dengan studi kelayakan tahun 1987, yakni kapal berukuran <5 GT tidak diakomodir di PPN Palabuhanratu, ternyata pada tahun 2002 jumlah kapal berukuran <5 GT yang menggunakan PPN Palabuhanratu justru meningkat 8

30 menjadi 317 buah. Kondisi ini terjadi karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi belum dapat mempersiapkan pembangunan PPI Cisolok dan pendaratan pantai (beach landing) di daerah Patuguran, sehingga manajemen pelabuhan mengalami kesulitan membendung masuknya kapal berukuran <5 GT. Selanjutnya kapal berukuran 5 10 GT akan berkurang jumlahnya dari 195 unit menjadi 25 unit, kenyataan jumlahnya turun sedikit atau menjadi 106 unit pada tahun Sebaliknya, kapal berukuran GT diestimasikan jumlahnya meningkat dari 15 unit pada saat sebelum adanya pelabuhan menjadi 30 unit, yang ada hanya 3 unit pada tahun 2002, kapal berukuran GT diestimasikan 56 unit, kenyataannya 13 unit, dan kapal berukuran GT diestimasikan 4 unit, kenyataannya kapal berukuran GT sebanyak 13 unit pada tahun Produksi ikan diestimasikan ton, namun kenyataannya produksi ikan hanya sebesar ton atau 7,9 ton/hari (tahun 2002) atau hanya 18% dari estimasi produksi ikan sebesar ton/ tahun. Pola pembangunan tahap I tidak sesuai dengan pola pembangunan yang telah ditentukan dalam studi kelayakan disebabkan oleh: (1) Kapal: 1) Struktur armada didominasi oleh kapal-kapal berukuran kecil berukuran <10 GT yakni sebanyak 423 unit atau 94% dari jumlah kapal yang ada pada tahun 2002 sebanyak 452 unit. 2) Kapal-kapal berukuran <5 GT direncanakan berpangkalan di PPI Cisolok namun sampai saat ini pembangunan konstruksinya belum selesai. 3) Jangkauan kapal ke daerah penangkapan ikan masih berada di sepanjang pantai (dibawah 12 mil), sehingga jumlah ikan yang didaratkan pada tahun 2002 adalah ton atau hanya 18% dari perkiraan produksi ikan yang didaratkan menurut hasil studi kelayakan ( ton). (2) Kolam I: 1) Kolam I sering mengalami pendangkalan karena kedua pintu sungai sering dibuka sehingga air sungai Cipalabuhan bebas masuk ke kolam dan sering terjadi banjir. 9

31 2) Kolam I sudah over capacity, yakni kolam I berkapasitas 125 unit kapal, namun diisi oleh 452 unit kapal. (3) Fasilitas pemeliharaan kapal: 1) Fasilitas docking hanya ada 1 unit, namun kondisinya rusak parah dan kapasitasnya sangat rendah dan hanya dapat mereparasi kapal <30 GT. 2) Fasilitas bengkel milik pelabuhan tidak sempurna karena tidak dilengkapi peralatan yang lengkap. (4) Sumberdaya manusia (SDM): kualitas pegawai pelabuhan kurang, 67% (jumlah pegawai 69 orang) terdiri dari tamatan SLTA yang tidak punya pengetahuan tentang pelabuhan perikanan. Sisanya 23% tamatan D3, S1 dan S2 yang belum banyak memiliki pengetahuan teknis kepelabuhanan perikanan, dan pendidikan nelayan rendah, didominasi tamatan SD. (5) Jalan sempit: jalan yang menghubungkan antara Palabuhanratu dengan daerah lain seperti ke kota Cibadak-Sukabumi sangat sempit (lebar 6 m) dan berbelok-belok, sehingga mobil tronton ukuran besar sulit ke Palabuhanratu. Pemda Sukabumi berkeinginan untuk memperlebar jalan, namun masih kekurangan biaya. (6) Pelelangan ikan belum berjalan optimal : 1) Pengelola pelelangan (KUD Mina) belum mampu dari segi manajemen, dan permodalan, hal ini diindikasikan oleh lemahnya kondisi sumberdaya manusia yang ada, terutama keterampilan untuk menjalankan kegiatan koperasi. Kemajuan koperasi sangat tergantung kepada partisipasi anggota dan kepemimpinan koperasi. Secara administrasi sangat sedikit anggota memiliki kartu tanda anggota (KTA), yakni dari orang nelayan hanya 740 orang atau 10% yang memiliki KTA. Koperasi belum memiliki modal khusus untuk penjaminan kegiatan pelelangan ikan, sehingga proses transaksi pelelangan ikan berlangsung secara tidak tunai, kondisi inilah yang menyebabkan pelelangan ikan belum berfungsi optimal. 2) Kemampuan bakul untuk membeli hasil lelang sangat kurang. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 125 bakul, diantaranya 120 bakul tidak mempunyai modal yang cukup sehingga bakul dalam membeli hasil 10

32 lelang selalu bertransaksi tidak tunai. Kondisi tersebut merugikan pihak nelayan sebagai penjual dan mengganggu operasional pelelangan ikan. 3) Kondisi keamanan, ketertiban dan kenyamanan di TPI belum kondusif. Pada saat ikan dalam trays diletakkan di lantai TPI, sering kali orang yang berlalu lalang di dalam ruang TPI yang sangat mengganggu aktivitas pelelangan ikan 4) Pembongkaran ikan masih belum tertib. Setiap kali kapal melakukan pembongkaran ikan ke TPI, terlihat bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan turun dan masuk ke kapal, sehingga mengganggu ketertiban dan keamanan sewaktu pembongkaran ikan. (7) Lahan sangat sempit, yakni 12,2 ha termasuk untuk kolam 5 ha, sehingga industri perikanan sulit untuk diakomodasikan didalam lokasi pelabuhan. (8) Ketersediaan es belum memenuhi kebutuhan. Saat ini hanya ada satu pabrik es dengan kapasitas maksimum 1000 balok per hari. Kebutuhan es pada tahun 2004 rata-rata per hari sebanyak 782 balok pada saat kondisi normal dan 1500 balok/hari pada kondisi musim ikan, sehingga kapal harus antri sekitar 3-4 hari untuk memperoleh es. (9) SPBU BBM khusus untuk kapal berukuran >30 GT pada pembangunan tahap I belum ada, sehingga kapal mengisi BBM dari SPBU umum. (10) Industri pengolahan hasil perikanan belum berkembang, karena bahan baku ikan sangat kurang. Jenis pengolahan ikan yang ada yakni pengeringan dan pemindangan ikan. (11) Standard operational procedure (SOP) yang ada belum dijalankan optimal, karena lemahnya pengawasan, misalnya ada sebagian kapal keluar masuk pelabuhan tidak melapor ke petugas. (12) Fungsi kesyahbandaran perikanan masih dijalankan oleh syahbandar umum. Kondisi tersebut menyebabkan kurangnya kesadaran nelayan terhadap ketentuan operasional pelabuhan, yakni banyak kapal-kapal ukuran <10 GT tidak melapor pada saat keluar masuk pelabuhan. (13) Masalah-masalah yang memerlukan pendanaan cepat tidak dapat diatasi karena terikat aturan pemerintah, seperti ada kerusakan fasilitas tidak dapat diperbaiki seketika karena menunggu proses pencairan dana tahun depan. 11

33 Gambar 1 memperlihatkan rumusan masalah PPN Palabuhanratu secara fish bone analysis. PERMEN PEL SESUAI UU 31 BLM ADA SOP BELUM DIJALAN SECARA OPTIMAL SDM BIDANG LUAR PERIKANAN KURANG SDM KURANG KOLAM SEMPIT FASILITAS BENGKEL & DOK KURANG SEMPURNA FASILITAS PEMELIHARAAN KAPAL PRODUKSI IKAN KURANG PENETAPAN RENCANA INDUK, DLKP PENGAWASAN KURANG DANA KURANG TANAH BLM DIBEBASKAN BANYAK KAPAL KECIL PABRIK ES KAP 1000 BALOK/HR DIDOMINASI KAPAL <10 GT ( 94 %) KUD KURANG PROFESIONAL PPN PALABUHANRATU SUDAH BERFUNGSI NAMUN BELUM OPTIMAL AKSES JALAN KELUAR PEL RATU SEMPIT LAHAN SEMPIT BAHAN BAKU KURANG INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN BLM BERKEMBANG SPDN SULIT DPT DO DARI PERTAMINA ES KURANG BBM KURANG & MAHAL PELELANGAN IKAN BLM JALAN Gambar 1 Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu. Berdasarkan permasalahan di atas yang menyebabkan pola pengembangan pelabuhan yang telah direncanakan tidak tercapai, maka pada pembangunan tahap kedua telah ditetapkan pola pengembangannya yakni pada tahun 2002 telah dibangun dermaga II seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m 2. Pembangunan tahap II ini bertujuan untuk mengatasi masalah terbatasnya luas kolam dan dermaga yang telah ada pada pembangunan tahap I guna meningkatkan produksi sampai dengan ton/tahun. Kolam dengan kedalaman 4 m, dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 150 GT, dan dengan 12

34 luas kolam 2 ha dapat menampung kapal berukuran GT sekitar 40 unit sekaligus. Kondisi operasional PPN Palabuhanratu sejak pembangunan tahap kedua, yakni jumlah kapal berukuran <5 GT meningkat jumlahnya menjadi 457 unit, kapal berukuran 5-10 GT berjumlah 95 unit, kapal berukuran unit berjumlah 4 unit, kapal berukuran GT berjumlah 13 unit dan kapal GT berjumlah 68 unit dan produksi ikan sebesar ton atau 18,1 ton/hari (Tabel 2). Tabel 3 memperlihatkan evaluasi PPN Palabuhanratu. Tabel 3 Evaluasi PPN Palabuhanratu (kelas B) sampai dengan tahun 2005 Kriteria teknis Ukuran standar berdasarkan Permen KP No 16/2006 Kondisi tahap I tahun 2002 Kondisi tahap II tahun 2005 Ukuran standar Fasilitas tambat labuh 30 GT 30 GT 30 GT sesuai Panjang dermaga 150 m 500 m 410 m melebihi Kedalaman kolam 3 m 3,5 m 4 m sesuai Industri perikanan ada ada ada sesuai Jangkauan laut teritorial, laut teritorial, laut teritorial, sesuai operasional ZEEI ZEEI ZEEI Daya dukung fasilitas 75 kapal = GT 125 kapal = GT 40 kapal = GT sesuai Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Semua kriteria sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.16/2006 sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara telah dipenuhi oleh pelabuhan ini, mulai dari fasilitas tambat labuh, panjang dermaga, kedalaman kolam, industri perikanan, jangkauan operasional sampai dengan daya dukung fasilitas. Jumlah produksi ikan yang didaratkan masih sangat rendah, yakni sebesar 18 ton/hari yang tidak sesuai dengan jumlah produksi ikan yang ditetapkan didalam studi kelayakan sebesar 43,8 ton/hari atau menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pelabuhan Perikanan yang menyatakan bahwa jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 30 ton/hari. Kemudian karena terbatasnya areal industri perikanan maka hanya beberapa perusahaan swasta saja yang memanfaatkannya. Permasalahan pada operasional tahap kedua adalah belum berfungsi optimalnya PPN Palabuhanratu yang disebabkan oleh: 13

35 (1) Kurangnya kapasitas dermaga dan kolam yang tersedia. Kolam I dan kolam II seluas 5 ha dan kedalaman sampai 4 m, panjang dermaga seluruhnya 910 m belum mampu menampung perkembangan jumlah dan struktur kapal yang ada, yakni pada tahun 2005 jumlah kapal 676 unit, terdiri dari kapal berukuran <10 GT sebanyak 571 unit atau 84,46% dari jumlah kapal yang ada dan kapal berukuran GT sebanyak 105 unit atau 15,54% dari jumlah kapal yang ada. Kapal yang mendarat mengalami kesulitan melakukan olah gerak di kolam I dan kolam II. (2) Daerah penangkapan ikan semakin jauh dari pantai, seperti daerah penangkapan untuk ikan cucut sudah sampai ke perairan Kepulauan Siberut dan perairan sebelum Pulau Christmas. (3) Harga BBM solar untuk kapal berukuran >30 GT tidak disubsidi, sehingga harganya digolongkan kepada harga solar untuk industri sebesar Rp 5.400/liter. Dengan harga solar tidak bersubsidi tersebut menurunkan daya beli solar, sehingga lebih dari 85% kapal tidak melakukan operasi ke laut. (4) Tidak tersedianya es yang cukup. Pasokan es selama ini berasal dari satu pabrik es yang ada di Palabuhanratu berkapasitas 1000 balok/hari. Kebutuhan es untuk kapal >30 GT sebesar 1500 balok/hari. Kekurangan es dipasok dari luar Palabuhanratu dan kapal-kapal harus antri hingga 4-5 hari. Pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan dengan alasan: pertama menurut BRKP dan LIPI (2005), bahwa potensi sumberdaya ikan di WPP 9, khususnya untuk kelompok jenis ikan pelagis besar seperti ikan tuna dan cakalang yang merupakan komoditi ekspor masih besar untuk dapat dieksploitasi yakni baru dimanfaatkan sebesar ton per tahun atau sebesar 51,41% dari potensi yang ada sebanyak ton per tahun (Tabel 4), kedua untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP 9 tersebut diperlukan kapal-kapal perikanan yang berukuran lebih besar (>30 GT) dan kapal angkut untuk tujuan ekspor berukuran <1.000 GT, ketiga sejak PPN Palabuhanratu dioperasikan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2002 (pembangunan tahap pertama), kurang berfungsi optimal terutama target pencapaian produksi sekelas nusantara belum tercapai karena pendaratan ikan hanya sebesar ton atau 18% dari target sebesar 14

36 ton, keempat kebutuhan akan ikan berkualitas ekspor semakin meningkat sehingga diperlukan pelabuhan perikanan berkualitas internasional yang mampu menyediakan ikan berkualitas ekspor. Tabel 4 Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000 No Kelompok SDI Potensi (1000 ton/ tahun) Produksi (1000 ton/ tahun) Pemanfaatan (%) 1 Pelagis besar 366,26 188,28 51,41 2 Pelagis kecil 526,57 265,6 50,44 3 Demersal 135,13 134,83 99,78 4 Ikan karang konsumsi 12,88 19,42 150,78 5 Udang penaeid 10,7 10,24 95,70 6 Lobster 1,6 0,16 10,00 7 Cumi-cumi 3,75 6,29 167,73 Jumlah 1076,89 623,78 57,92 Sumber: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Dengan alasan tersebut di atas, maka PPN Palabuhanratu perlu dioptimalkan fungsinya, sehingga harus memiliki pola pengembangan yang lebih jelas dan terarah. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan untuk menjadi standar dalam pembangunan dan operasional guna pencapaian tujuan pembangunan pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan kasus di PPN Palabuhanratu dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan lainnya dengan menyesuaikan parameter yang ada di komponen triptyque portuaire dari pelabuhan lain tersebut. Menurut Chaussade (1986) dalam Lubis (1989) bahwa, pelabuhan perikanan adalah bagian dari sistem perikanan, dalam operasionalnya sangat terpengaruh terhadap kondisi yang ada di luar pelabuhan perikanan yaitu kondisi yang ada di wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Selanjutnya dikatakan bahwa, ketiga komponen tersebut disebut triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan. Ketiga hubungan antara wilayah produksi, wilayah distribusi dan pelabuhan perikanan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan saling terkait dan di dalam pengembangan pelabuhan perikanan harus 15

37 mengkaitkan ketiganya, seperti pengembangan pelabuhan perikanan harus tergantung kepada kondisi daerah penangkapan ikan sampai sejauhmana ketersediaan potensi ikan, kemudian pengembangan pelabuhan perikanan juga sangat tergantung kepada sampai sejauhmana konsumen membutuhkan ikan dari pelabuhan perikanan tersebut. Setelah PPN Palabuhanratu dapat dioptimalkan fungsinya sesuai kriteria kelas B, maka selanjutnya perlu diantisipasi tentang rencana pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu). Hal itu berkaitan dengan masih besarnya peluang pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia yang merupakan daerah penangkapan ikan. Selain itu, menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2004), bahwa prioritas pembangunan perikanan dan kelautan tahun 2005 menitikberatkan pengelolaan perikanan di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan dengan pusat pengembangannya di Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu direncanakan akan ditingkatkan menjadi PPS Palabuhanratu. Pada tahun 2006 ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan melakukan pembebasan areal di bagian selatan PPN Palabuhanratu seluas 30 ha untuk tahap pertama, kemudian sampai dengan 100 ha pada tahap berikutnya. Dengan demikian keberadaan pelabuhan perikanan di wilayah ini sangat penting dalam menunjang pembangunan perikanan dan kelautan. Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah memasukkan rencana pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu ke dalam rencana umum tata ruang daerah (RUTRD) yang meliputi areal seluas 500 ha. Selanjutnya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) telah memprioritaskan PPN Palabuhanratu masuk ke dalam program pembangunan pelabuhan perikanan yang berada di lingkar luar wilayah Indonesia (outer ring fishing port program) dan merupakan lokasi yang diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS Palabuhanratu. Kriteria pemilihannya terkait dengan pelayanan, bahwa pelabuhan perikanan tersebut harus dapat melayani kegiatan ekspor dan impor serta terkait dengan pengembangan wilayah. 16

38 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah: (1) Masalah pokok PPN Palabuhanratu adalah belum berjalannya fungsi secara optimal sebagai akibat dari pola pengembangannya yang kurang jelas. Fasilitas pelabuhan yang tersedia relatif lengkap, namun terdapat beberapa fasilitas yang telah mengalami daya tampung berlebihan (over capacity) seperti kolam pelabuhan I dan II, kolam pelabuhan I tidak dapat menampung kapal ukuran >30 GT serta areal industri perikanan yang sangat kurang memadai, sehingga memerlukan pengembangan. (2) Sejak awal pembangunan tahap pertama dan pembangunan tahap kedua sudah memiliki pola pengembangan pelabuhan, yakni dengan adanya hasil studi kelayakan dan rencana induk serta kriterianya sebagai kelas B. Pola pengembangan yang telah disusun tersebut dalam implementasinya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perikanan sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Pada wilayah produksi terjadi perubahan, yakni semakin menjauhnya potensi sumberdaya ikan dari pantai yang mengakibatkan ukuran kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap bertambah besar. Perubahan yang terjadi di wilayah distribusi adalah semakin meningkatnya jumlah dan kualitas ikan yang diminta oleh konsumen sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk dan perubahan selera konsumen. Distribusi ikan semakin meluas, baik untuk konsumen domestik maupun untuk konsumen manca negara. Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan implementasi pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan penetapan strategi pengembangan PPN Palabuhanratu. (3) PPN Palabuhanratu berpeluang untuk dikembangkan menjadi PPS Palabuhanratu. Permasalahannya adalah kelemahan dalam perencanaan, sehingga perlu diantisipasi agar fungsinya dapat dioptimalkan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu. (2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu. 17

39 (3) Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa: (1) Tersedianya suatu pola pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Memberi masukan dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan pengelolaan PPN Palabuhanratu serta PPS Palabuhanratu. (3) Dapat dijadikan acuan untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan lainnya. (4) Memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan konsep atau teori pelabuhan perikanan. (5) Membuka wawasan tentang pelabuhan perikanan sehingga berpeluang untuk penelitian lebih lanjut tentang pelabuhan perikanan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada: (1) Menganalisis arah pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu. (3) Merekomendasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 1.6 Novelty Berdasarkan hasil penelitian, maka kebaruan (novelty) yang ada dalam penelitian ini adalah : (1) Penerapan penggunaan konsep triptyque portuaire dalam menganalisis suatu pelabuhan perikanan baru pertama kali digunakan dalam penelitian ini. Selama ini untuk membangun pelabuhan perikanan hanya memperhatikan keberadaan sumberdaya ikan dan kapasitas fisik pelabuhan perikanan tanpa mengkaitkan tiga komponen secara terpadu dalam suatu konsep triptyque portuaire, sehingga tidak jarang pelabuhan perikanan yang telah dibangun tidak berfungsi optimal. Konsep triptyque portuaire adalah suatu kerangka analisis geografi yang terdiri dari tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan didalam menganalisis pembangunan suatu pelabuhan perikanan yakni 18

40 komponen wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan (fishing port) dan wilayah distribusi (hinterland). Menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep triptyque portuaire pertama kali digunakan untuk menganalisis pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan di negara Perancis. Penerapan konsep triptyque portuaire untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dapat berbeda apabila dibandingkan dengan konsep triptyque portuaire yang diterapkan pertama kali di Perancis karena adanya perbedaan penggunaan teknologi baik untuk kegiatan penangkapan ikan, operasional pelabuhan maupun aktivitas pembinaan mutu dan pemasaran ikan bahkan dalam kebijakan perikanan yang berlaku. (2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan konsep triptyque portuaire dapat dijadikan acuan didalam membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan lain dengan melakukan penyesuaian terhadap parameter yang digunakan. 19

41 2 KERANGKA PEMIKIRAN Pelabuhan perikanan merupakan prasarana yang sangat diperlukan guna mendukung pembangunan perikanan, yang merupakan salah satu sub sistem dalam sistem pembangunan perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan adalah untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dalam pembangunannya pelabuhan perikanan harus direncanakan secara terintegrasi dengan wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Pembangunan suatu pelabuhan perikanan harus didasarkan suatu perencanaan yang matang, baik perencanaan secara nasional, perencanaan regional maupun untuk perencanaan setiap lokasi pelabuhan perikanan. Perencanaan perikanan secara nasional yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus mencakup rencana induk pembangunan pelabuhan perikanan nasional. Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional berdasarkan UU No. 31 tahun 2004 ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan disusun dengan mempertimbangkan daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, geografis daerah dan kondisi perairan. Berdasarkan rencana induk pelabuhan perikanan nasional, maka masingmasing daerah secara regional membuat rencana induk pelabuhan perikanan regional. Kemudian setiap lokasi pelabuhan perikanan menyusun rencana induknya sendiri-sendiri yang merupakan pedoman atau pola pembangunan suatu pelabuhan. Ketiga rencana induk tersebut harus saling mendukung dan sinkron, sehingga tujuan pembangunan suatu pelabuhan perikanan dapat tercapai. PPN Palabuhanratu dalam tahap pembangunannya sudah ditetapkan pola pengembangan melalui proses perencanaan, yakni dari hasil studi kelayakan dan

42 rencana induk pembangunannya. Pola pengembangan tersebut kemudian diimplementasikan pada saat pembangunan, operasional dan pemeliharaan pelabuhan. Setelah pola pengembangan PPN Palabuhanratu tersebut dilaksanakan sejak tahun 1993 hingga tahun 2005, pelabuhan perikanan ini ternyata masih belum optimal menjalankan fungsinya, seperti contoh jumlah produksi ikan yang didaratkan pada tahun akhir pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu tahun 2002 sebesar kg/hari atau 18,02% dari tagetnya, sedangkan target yang harus dicapai menurut hasil studi kelayakan sebesar kg/hari, sehingga tujuan pembangunan pelabuhan perikanan yakni antara lain untuk mensejahterakan nelayan belum tercapai. Pada tahun 2002 yang merupakan awal pembangunan tahap kedua, telah tersedia kolam baru seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m. Sejak operasionalnya kolam dan dermaga tahap kedua tersebut, maka terjadi perubahan struktur armada yang dilayani, yakni semula hanya melayani kapal sampai ukuran 30 GT berkembang menjadi kapal berukuran GT dengan alat tangkap longline. Perkembangan operasional tersebut terlihat bahwa ada sebanyak 68 unit kapal berukuran GT yang menjadikan basisnya di PPN Palabuhanratu pada tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 139 unit kapal pada tahun Sementara itu pada tahun 2006, sejak bulan Januari sampai dengan Oktober tercatat jumlah ikan tuna segar dan ikan layur berkualitas ekspor yang telah didaratkan sebanyak kg. Ikan tuna kualitas ekspor yang didaratkan terdiri dari 2 bentuk, yakni ikan tuna segar dan ikan tuna beku. Ikan tuna kualitas ekspor dalam bentuk segar setelah pendaratan di dermaga dibongkar untuk dimasukkan ke dalam mobil berinsulasi yang berisi es curai kemudian langsung dibawa ke Jakarta. Ikan tuna beku dibongkar dari kapal untuk dipindahkan ke mobil ber freezer kemudian diangkut ke Jakarta. Perjalanan dari Palabuhanratu ke Jakarta memerlukan waktu sekitar 4-5 jam. Tabel 5 menunjukkan secara rinci data ekspor ikan tuna dan ikan layur dari PPN Palabuhanratu. Ikan layur kualitas ekspor, setelah dibeli dari nelayan oleh pedagang pengumpul kemudian dijual ke pemilik cold storage yang ada di PPN Palabuhanratu dan sekitarnya. Ikan layur yang telah dipacking oleh perusahaan cold storage kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan mobil truk kontainer. 21

43 Tabel 5 Jumlah ikan tuna dan ikan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari sampai dengan Oktober 2006 Satuan: kg Bulan Tuna Layur Jumlah Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Jumlah Rata-rata , , ,5 Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Ikan tuna kualitas ekspor banyak didaratkan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Menurut Baskoro et al. (2004), pada bulan April-September merupakan musim ikan dengan tangkapan yang bagus di WPP 9. Ikan layur banyak didaratkan pada bulan Agustus dan September karena pada saat itu kondisi perairan di Teluk Palabuhanratu sedang musim ikan layur. Rata-rata per bulan jumlah ikan tuna yang diekspor sebesar ,8 kg dengan tujuan ke negara Jepang. Ikan layur yang diekspor ke negara Korea rata-rata per bulan sebanyak 9.102,7 kg. Kondisi kolam II saat ini sudah dipenuhi oleh kapal-kapal longline, yakni lebih dari 30 unit kapal (kapasitas kolam II sebanyak 40 unit kapal). Sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan. Untuk itu perlu pengkajian terhadap operasional pelabuhan melalui monitoring dan evaluasi guna menentukan sampai sejauhmana operasional berdasarkan fungsi yang ada dan permasalahannya sehingga sesuai dengan pola pengembangan yang ditentukan. Menurut Lubis (2002), dalam melakukan monitoring dan evaluasinya akan dikaitkan dengan seberapa jauh pelabuhan ini telah memanfaatkan wilayah produksinya (foreland) dan wilayah distribusinya (hinterland) yang merupakan komponen-komponen dari konsep triptyque portuaire. Pada wilayah produksi, beberapa faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi potensi sumberdaya ikan yang masih besar peluang untuk dimanfaatkan, jumlah dan struktur kapal yang memanfaatkan WPP 22

44 9, serta pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu ke daerah fishing ground kemudian kembali ke PPN Palabuhanratu serta berbagai kemungkinan rute kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground. Pada wilayah distribusi, faktor-faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi permintaan ikan oleh konsumen, kondisi jalan yang menghubungkan PPN Palabuhanratu ke daerah konsumen terutama ke Jakarta dan Bandung. Dari hasil monitoring dan evaluasi, kemudian dilakukan identifikasi untuk setiap permasalahan dan akan ditemukan permasalahannya. Berdasarkan kondisi dan permasalahannya, maka perlu diupayakan untuk menentukan apakah PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan baik untuk optimalisasi PPN Palabuhanratu maupun antisipasi menjadi PPS Palabuhanratu. PPS Palabuhanratu yang akan dibangun harus diarahkan kepada pemanfaatan potensi ikan di WPP 9. Ikan tuna dan cakalang adalah sumberdaya ikan yang masih potensial untuk dimanfaatkan yang merupakan komoditi high migration, sehingga kapal-kapal yang memiliki tonase >30 GT dapat menangkap ikan-ikan tersebut di perairan ZEEI ( mil) dan samudera lepas (>200 mil). Untuk mengembangkan PPS Palabuhanratu, maka perlu kajian antara lain tentang penentuan apakah Kabupaten Sukabumi merupakan lokasi sektor basis, yakni lokasi yang mencerminkan: (1) Kondisi sumberdaya ikan nya dapat dijadikan komoditi ekspor. (2) Bagaimana kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan daerah lain. (3) Kondisi tingkat operasional kolam dan dermaga saat ini. Selanjutnya parameter-parameter tersebut dipakai untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan yang telah mempertimbangkan konsep triptyque portuaire. Pola pengembangan pelabuhan perikanan yang dikaitkan dengan konsep triprtyque portuaire dirancang dengan tujuan mengoptimalkan fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan permasalahan yang ada guna menentukan target produksi, target jumlah kapal, luas kolam, kedalaman kolam, panjang dermaga, kapasitas pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih serta manajemen pelabuhan perikanan. 23

45 Penentuan prioritas pengembangannya dilakukan dengan mengidentifikasi dan menentukan prioritas pengembangan melalui proses hierarki analitik (PHA). Untuk menentukan stabil atau tidaknya prioritas pengembangan maka diperlukan analisis sensitivitas terhadap prioritas pengembangan yang terpilih. Dalam pelaksanaan pengembangan berdasarkan pada pola yang didapat, maka perlu dilakukan antisipasi apabila PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu baik terhadap aktivitas, fasilitas maupun pengelolaannya dengan konsep triptyque portuaire. Antisipasi pelaksanaan pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan menganalisis perkembangan kondisi foreland dengan kesiapan PPS Palabuhanratu, yaitu kaitannya dengan berbagai kemungkinan bertambah nya jumlah kapal yang memanfaatkan PPS Palabuhanratu, sehingga jangkauan dan bertambah luasnya fishing ground ke arah perairan wilayah pengelolaan perikanan 9 (WPP 9) Samudera Hindia dan kemungkinan kapal-kapal tersebut melakukan pendaratan di tempat lain. Kaitan hinterland dengan rencana pembangunan PPS Palabuhanratu, perlu dianalisis banyaknya jumlah ikan yang didaratkan, diolah dan dipasarkan serta berkembangnya berbagai bentuk transportasi untuk menjangkau konsumen. Gambar 2 menunjukkan diagram alir pemikiran pelaksanaan penelitian pada penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu. 24

46 RENCANA INDUK PPN PALABUHANRATU OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU KONDISI: SDI, SDM, WPP, RUTR,PRASARANA WILAYAH, GEOGRAFIS DAERAH DAN KONDISI PERAIRAN EVALUASI DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PELABUHAN PERIKANAN PENENTUAN PERLUNYA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN Analisis kebutuhan pengembangan KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : FORELAND FISHING PORT HINTERLAND Pola pengembangan PPN Palabuhanratu PRIORITAS PENGEMBANGAN Gambar 2 Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu. 25

47 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan Tujuan pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta menjamin kelestarian sumberdaya ikan, dan tata ruang. Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan diarahkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan tersebut di atas. Kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan harapan karena tidak dikelola secara baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab yang menggunakan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bagan dengan mata jaring berukuran sangat kecil, banyak aktivitas perikanan tidak dilaporkan secara benar dan akurat sehingga kebijaksanaan yang diambil selalu ada penyimpangan dan banyak aturan-aturan yang telah dibuat tidak aplikatif di lapangan, sebagai contoh masih adanya sebagian dari masyarakat nelayan menggunakan trawl. 3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan Ditinjau dari sub sistem angkutan (transpor), menurut Kramadibrata (1985) bahwa pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, sedemikian rupa hingga bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan

48 dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan menuju tujuan selanjutnya dapat dilakukan. Menurut Ayodhyoa (1975) pelabuhan perikanan adalah: (1) Pelabuhan khusus merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan, baik dilihat dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya. (2) Gabungan area perairan dan daratan dengan dilengkapi berbagai fasilitas yang dapat digunakan oleh kapal perikanan. (3) Wilayah perairan terbuka dan terlindung dari angin topan, badai sehingga menjadikannya tempat yang aman dan menyenangkan bagi kapal yang mencari tempat perlindungan, pengisian bahan bakar, pengisian keperluan melaut, perbaikan atau aktivitas bongkar. (4) Pusat berbagai aktivitas industri perikanan, kegiatannya mulai dari kapal berangkat ke laut dan kembali ke pangkalan. Selanjutnya menurut Lubis (2002), pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Pelabuhan perikanan adalah merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) yang diacu Lubis (2002), bahwa aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah: (1) Produksi: bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya. (2) Pengolahan: bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya. (3) Pemasaran: bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapannya. Pengembangan ekonomi perikanan tersebut juga ditunjang oleh industri perikanan baik hulu maupun hilir dan pengembangan sumberdaya manusia khususnya masyarakat nelayan. 27

49 Menurut Murdiyanto (2004), Jepang sebagai negara terkemuka dalam bidang perikanan mendefinisikan pelabuhan perikanan atau Fishing Port sebagai berikut:...is a composition of water area, land area and facilities to be used as a natural or artificial fishing base, which is designated by the Minister of Agriculture and Forestry Definisi pelabuhan perikanan menurut UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. 3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan Menurut Al Barry (1994), yang dimaksud dengan pola adalah model; contoh; pedoman (rancangan); dasar kerja. Sedangkan pengertian pola menurut Wojowasito (1972) adalah contoh; suri; model. Berdasarkan pengertian pola di atas, maka yang dimaksud pola dalam penelitian ini adalah suatu contoh atau pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire. Ukuran-ukuran yang akan ditentukan yang merupakan pola pengembangan pelabuhan perikanan terdiri dari ukuranukuran pada komponen wilayah produksi (foreland), komponen pelabuhan perikanan dan komponen wilayah distribusi (hinterland). Pengembangan adalah merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Pengembangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk mencapai kemajuan pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sesuai dengan pola pengembangannya guna mengoptimalkan fungsinya. Pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah acuan awal yang sangat diperlukan didalam mengembangkan pelabuhan perikanan. Selama ini didalam perencanaan pelabuhan perikanan di Indonesia banyak dilakukan belum sempurna, yakni dalam penyusunan pola pengembangan tidak mengkaitkan sinergitas antara wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan dan wilayah 28

50 distribusi (hinterland), sehingga mengakibatkan banyak pelabuhan perikanan yang tidak berkembang dan berfungsi secara optimal. Hal tersebut diindikasikan bahwa pada tahun 1997 produksi perikanan laut yang didaratkan dipelabuhan perikanan hanya sebesar ton atau sekitar 22% dari total produksi perikanan laut sebesar ton. Sebanyak 357 buah atau sekitar 60% dari total pelabuhan perikanan sebanyak 595 buah belum berfungsi secara optimal (Lubis, 2002). 3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Undang-undang yang baru tentang perikanan yaitu UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41, menyatakan bahwa: (1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan. (2) Menteri menetapkan: 1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional. 2) Klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan. 3) Persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan. 4) Wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan. 5) Pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah. Penjabaran UU No 31/2004 tentang Perikanan, maka telah diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan antara lain mengatur bahwa: (1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional. (3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang 29

51 dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta. (4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional dan peraturan pelaksanaannya. (5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study, investigation, detail design, construction, operation dan maintenance (SIDCOM). (6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan pelabuhan perikanan. (7) Klasifikasi pelabuhan perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan membagi ke dalam 4 kelas Pelabuhan Perikanan, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 6 memuat secara rinci kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan menurut Menteri Kelautan dan dan Perikanan (8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat. (9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan. Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam penyelenggaraan pelabuhan perikanan. (10) Dalam menata dan menertibkan penyelenggaraan pelabuhan perikanan, kepala pelabuhan perikanan dapat menerbitkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelabuhan perikanan. (11) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan: 1) Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok antara lain: (a) pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin dalam hal secara 30

52 teknis diperlukan, (b) tambat seperti dermaga dan jetty, (c) perairan seperti kolam, dan alur pelayaran, (d) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan, (e) lahan pelabuhan perikanan. Tabel 6 Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan Kelas Daerah penangkapan ikan Fasilitas tambat labuh ukuran kapal (GT) Pelabuhan Perikanan Samudera Laut teritorial, ZEEI, laut lepas Pelabuhan Perikanan Nusantara Laut territorial, ZEEI Pelabuhan Perikanan Pantai Perairan pedalaman, Perairan kepulauan, laut teritorial Pangkalan Pendaratan Ikan Perairan pedalaman dan perairan kepulauan Panjang dermaga (m) Kedalaman kolam (m) Kapasitas tampung kolam sekaligus Pemasaran 100 unit kapal atau 6000 GT Sebagian untuk ekspor unit kapal atau 2250 GT 30 unit kapal atau 300 GT 20 unit kapal atau 60 GT Keberadaan industri ada ada - - perikanan Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan. 2) Fasilitas fungsional, yakni fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan, (a) pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan ikan, (b) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, (c) suplai air bersih, es dan listrik, (d) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring, (e) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu, (f) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan, (g) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan 31

53 es dan (h) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL). 3) Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan, yakni fasilitas (a) pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan, (b) pengelolaan pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, (c) sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, (d) kios IPTEK, (e) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, K3, bea dan cukai, keiimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina ikan. Selanjutnya Lubis et al. (2005) mengatakan bahwa selain fasilitas yang vital juga terdapat fasilitas penting dan fasilitas pelengkap. Fasilitas vital atau fasilitas yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan ada 9 jenis yakni dermaga pendaratan ikan dan muat, kolam pelabuhan, sistem rambu-rambu navigasi yang mengatur keluar masuknya kapal, tempat pelelangan ikan, dimana dilakukan transaksi lelang, pabrik es, tangki dan instalasi air, penyediaan bahan bakar, bengkel reparasi dan kantor administrasi. Jenis fasilitas lainnya yakni fasilitas penting, adalah fasilitas yang jelas diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun realisasinya dapat ditunda. Fasilitas penting tersebut adalah generator listrik, kantor kepala pelabuhan, tempat parkir, pos penghubung radio (SSB), ruang pengepakan. Fasilitas pelengkap adalah jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada pengembangan pelabuhan tahap ketiga. Fasilitas pelengkap ini meliputi dermaga muat terpisah, slipway, ruang pertemuan, kamar kecil, pos penjagaan, balai pertemuan nelayan, rumah dinas, mushola, mobil dinas dan motor dinas. Selanjutnya Lubis et al. (2005) menyatakan bahwa, setelah dilakukan penelitian terhadap fasilitas pelabuhan perikanan di Laut Jawa, ternyata bahwa jumlah pelabuhan yang termasuk kategori baik sangat sedikit, yakni 5 unit pelabuhan perikanan. Sebagian besar pelabuhan perikanan termasuk kategori 32

54 cukup (73%), tetapi mayoritas PPI termasuk buruk (59%). Tabel 7 menunjukkan evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ppi di Pulau Jawa tahun Tabel 7 Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ppi di Pulau Jawa tahun 2005 No Hasil penelitian % PP % PPI 1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 0 dari 204 (0%) 2 Kategori cukup 22 dari 30 (73%) 83 dari 204 (41%) 3 Kategori buruk 3 dari 30 (10%) 121 dari 204 (59%) Sumber : Lubis et al Selanjutnya dikatakan bahwa, dari 30 unit pelabuhan perikanan, 14 unit atau 46% diantaranya berkategori buruk, sedangkan 184 unit PPI atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk. Adanya 90% dari PPI di Pulau Jawa yang masih termasuk kategori buruk, merupakan suatu jumlah yang besar sekali, dan hal ini berarti adanya kesulitan yang begitu besar bagi para nelayan dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Tabel 8 memperlihatkan evaluasi kondisi fasilitas penting di pelabuhan perikanan/ppi. Tabel 8 Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/ppi di Pulau Jawa tahun 2005 No Hasil penelitian % PP % PPI 1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 2 dari 204 (1%) 2 Kategori cukup 11 dari 30 (37%) 18 dari 204 (9%) 3 Kategori buruk 14 dari 30 (46%) 184 dari 204 (90%) Sumber : Lubis et al, Demikian juga keberadaan fasilitas pelengkap, yakni sebanyak 12 unit atau 40% dari 30 unit pelabuhan perikanan memiliki fasilitas pelengkap berkategori buruk dan ada 183 unit atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Kondisi ini sangat memperlemah kinerja pelabuhan perikanan/ppi sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal. 33

55 Tabel 9 Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/ppi di Pulau Jawa tahun 2005 No Hasil penelitian % PP % PPI 1 Kategori baik 2 dari 30 (7%) 0 dari 204 (0%) 2 Kategori cukup 16 dari 30 (53%) 19 dari 204 (9%) 3 Kategori buruk 12 dari 30 (40%) 183 dari 204 (90%) Sumber : Lubis et al Menurut pasal 42 UU No. 31/2004 tentang Perikanan bahwa: (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan. (2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar. (3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai kewenangan lain yakni: memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan dan memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan. Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain itu, landasan hukum yang mendasari pengelolaan pelabuhan perikanan adalah: (1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Peraturan mengenai pelabuhan perikanan sangat tertinggal dibandingkan dengan peraturan pelabuhan umum, sehingga didalam pelaksanaan pembangunan dan operasionalnya sejak tahun 1972 (mulai adanya istilah dan pembangunan pelabuhan perikanan) mengalami banyak hambatan karena setiap kali 34

56 pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan selalu didahului melalui proses perijinan dari Menteri Perhubungan. Akibatnya perkembangan pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan terganggu. Namun dengan adanya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri No.16 tahun 2006, maka kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan aturan lainnya mengenai pelabuhan perikanan semakin jelas dan petugas di lapangan tidak raguragu lagi untuk mengupayakan agar fungsi pelabuhan perikanan dapat berjalan secara optimal. 3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Menurut Lubis (2002), terdapat dua jenis pengelompokan fungsi pelabuhan perikanan yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas. Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan adalah: (1) Fungsi maritime, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga. (2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikan. (3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitas khususnya adalah: (1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut. (2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap. (3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapat harga yang layak baik bagi nelayan maupun bagi pedagang. 35

57 (4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan, dimana pelabuhan perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat nelayan. Menurut Murdiyanto (2004), pelabuhan perikanan merupakan basis utama kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu sistem usaha yang berdaya guna tinggi. Aktivitas unit penangkapan ikan di laut keberangkatannya dari pelabuhan harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-lain secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai melakukan pekerjaan di laut, kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Selain memberikan pelayanan terhadap kapal, yaitu melayani segala kebutuhan keberangkatan, kedatangan, berlabuh, perbaikan dan docking, pelabuhan juga melayani aktivitas pemasaran dan distribusi ikan dan pedagang atau pihak lainnya untuk berusaha dalam bidang perikanan. Selain itu pelabuhan juga mengumpulkan data statistik perikanan. Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan yang membedakan dengan pelabuhan lain adalah terutama yang dicirikan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable). Hal ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakukan penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan (fish processing) yang tepat. Untuk komoditas hasil perikanan ini perlu bongkar muatan ikan dilakukan berkali-kali dalam sehari. Ciri khusus lain adalah ukuran kapal yang relatif kecil dan berjumlah banyak. Hal ini menyebabkan perlunya bangunan pelabuhan yang dapat memberikan perlindungan dengan derajat yang lebih tinggi untuk kapalkapal ukuran besar. Selain itu sifat usaha perikanan tangkap yang tergantung dari kondisi alam yang tidak menentu, ada musim ikan, ada musim paceklik menyebabkan perhitungan arus lalu lintas kedatangan dan keberangkatan kapal (traffic flow) menjadi tidak teratur sehingga diperlukan alokasi waktu lama dan area yang cukup lapang untuk kapal bertambat pada musim paceklik. 36

58 Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat berupa pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari dan pengendalian lingkungan. Dalam penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No.31/2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi antara lain sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. 3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain Terdapat beberapa pengalaman pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di negara Jepang, Philipina, Jerman dan Perancis yang dapat dijadikan contoh keberhasilannya, sehingga perlu meneladani pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada di negara lain. (1) Pelabuhan perikanan di Jepang Negara Jepang membagi pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe. Tabel 10 menunjukkan tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun Dengan jumlah unit pelabuhan perikanan tahun 2001 dan panjang pantai negara Jepang km berarti setiap pelabuhan perikanan memiliki jarak 37

59 12 km. Selain itu ada 7000 desa nelayan, 5000 desa nelayan diantaranya berada dekat dengan pelabuhan perikanan. Bandingkan dengan negara Indonesia yang memiliki buah pulau dan panjang pantai km, wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km 2 atau 70% dari luas total territorial Indonesia hanya memiliki pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit, dengan demikian setiap pelabuhan perikanan berjarak 103 km. Tabel 10 Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995 Tipe Jumlah Karakteristik Tipe Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk perikanan lokal Tipe Pelabuhan-pelabuhan yang kisaran kebutuhannya lebih luas dari tipe 1 dan dibawah tipe 3 Tipe Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh seluruh kapal Jepang Tipe Pelabuhan-pelabuhan di dalam isolasi (tertutup) oleh pulau-pulau atau tempat terpencil yang dibutuhkan untuk pengembangan daerah penangkapan dan tempat berlindung kapal-kapal penangkapan. Jumlah Sumber: National Fishing Port Association, Selanjutnya dikatakan bahwa, jumlah kapal perikanan tahun 1993 di pelabuhan perikanan terbanyak pada pelabuhan perikanan tipe I yakni sebesar unit, pada tipe II sebanyak unit, tipe III sebanyak unit dan tipe IV sebanyak unit. Jumlah pendaratan ikan pada tahun 1993 terbanyak pada tipe III yakni sebesar ton, pada tipe II sebanyak ton, pada tipe I sebanyak ton. Jepang adalah negara kepulauan yang sering dilanda gempa dan sering terjadi tsunami. Sebagai contoh tsunami yang terjadi pada tahun 1986 telah menimbulkan naiknya gelombang air laut setinggi 24,4 m dan telah menewaskan sebanyak orang. Untuk mengatasi masalah tsunami tersebut, maka selain memperbaiki struktur pantai, pembangunan rumah, gedung tahan gempa, maka pelabuhan perikanan yang dibangun di sepanjang pantai dirancang sekokoh mungkin sehingga berfungsi untuk mempertahankan pantai dari serangan gelombang tsunami. Akibatnya dana pembangunan pelabuhan perikanan menjadi lebih besar (National Fishing Port Association, 1995). 38

60 Pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang administrator yang diangkat oleh walikota. Peraturan pelabuhan perikanan di Jepang mengatur bagaimana Pemerintah merencanakan, membangun, mengelola dan memelihara pelabuhan perikanan. Jika pelabuhan perikanan secara legal diakui, maka pertama rancangannya harus disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan setelah mendengar pendapat dari lembaga umum lokal. Pemerintah Pusat menetapkan rencana induk pelabuhan perikanan 5 sampai 6 tahun ke depan. Administrasi pelabuhan perikanan di Jepang semuanya dikelola oleh Dinas Perikanan di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dana pembangunan breakwater, dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jalan dan fasilitas transportasi dibiayai 50% dari Pemerintah Pusat dan 50% dari Pemerintah Daerah. Pembangunan fasilitas yang bersifat komersial seperti unit pembekuan ikan, pabrik es diserahkan kepada pihak swasta atau koperasi perikanan. Biaya pemeliharaan dan manajemen ditanggung oleh Pemerintah Daerah. (2) Pelabuhan perikanan di Perancis Menurut Lubis (2002), di Perancis sebelum tahun 1965, pelabuhan mempunyai dua pembagian wewenang yaitu kementerian perhubungan adalah penanggung jawab infrastruktur dan kamar dagang dan industri adalah penanggung jawab suprastruktur. Namun sejak tahun 1983, pengelolaan sepenuhnya dipegang oleh kamar dagang dan industri dan pemerintah pusat tetap sebagai pemiliknya. Sejak tahun 1992, di beberapa daerah, pengelolaaannya diserahkan oleh perusahaan swasta yang mempunyai kontrak mengelola pelabuhan perikanan selama 15 tahun. Perancis pada umumnya mengelompokkan pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan perikanan besar dan kecil, masingmasing mempunyai karakteristik. Tabel 11 menunjukkan karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis. Tabel 11 Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis Jenis Pelabuhan Tipe pelabuhan Ukuran Distribusi kapal Pelabuhan besar Industri & semi industri >50 GT Nasional & ekspor Pelabuhan kecil Tradisional atau pantai <50 GT Lokal & nasional Sumber : Lubis,

61 Menurut Le Ry JM (2005), bahwa di Cornouaille terdapat 7 pelabuhan perikanan pada 100 km garis pantai, yakni Douarnenez, Audierne, Saint Guenole, Guilvinec, Lesconil, Loctudy dan Concarneau. Pada tahun 2004 telah didaratkan sebanyak ton ikan pada 7 pelabuhan perikanan tersebut. Ada sebanyak 500 buah kapal perikanan memanfaatkan pelabuhan perikanan tersebut, mulai dari handliner berukuran panjang 6 m sampai kepada kapal high sea trawlers memiliki panjang 30 m dan tuna seiner memiliki panjang lebih dari 75 m. Fasilitas pokok telah dibangun oleh negara Perancis. Pengelolaan pelabuhan dilakukan oleh Regional Administration. Kontrak telah dibuat antara Regional Administration dengan chambers of commerce and industry (CCI) untuk memelihara pelabuhan perikanan, membangun baru pelabuhan perikanan. CCI mewakili perusahaan swasta lokal. Pelelangan ikan dilaksanakan satu sampai dua kali sehari. Beberapa kegiatan di pelabuhan perikanan antara lain penanganan ikan di kapal oleh koperasi dan perusahaan swasta, penyaluran BBM oleh koperasi, penyediaan es oleh CCI atau perusahaan swasta, pembangunan kapal oleh perusahaan swasta, perbaikan kapal oleh perusahaan swasta, slipway atau boat lift oleh CCI, kredit oleh professional bank Marine Credit, pembongkaran ikan oleh CCI, penjualan ikan oleh perusahaan swasta, cold storage oleh perusahaan swasta, pengalengan ikan oleh perusahaan swasta dan transportasi refrigerasi oleh perusahaan swasta. (3) Pelabuhan perikanan di Jerman Menurut Lubis (2002), di Jerman, pengklasifikasian pelabuhan perikanan lebih ditekankan pada jenis ikan dan atau skala perikanan yang beroperasi, yaitu: 1) Pelabuhan perikanan skala besar/perikanan laut dalam (port of large-scale deep sea fisheries); pelabuhan ini mempunyai karakteristik sama dengan pelabuhan besar di Perancis. Seperti contoh: Bremerhaven, Cuxhaven, Hamburg dan Kiel. 2) Pelabuhan untuk perikanan hering (port of lugger hering fisheries); di pelabuhan ini terdapat banyak perusahaan-perusahaan penangkapan khusus untuk ikan hering. Seperti contoh: Bremen-Vegesack, Emden, Gluckstad dan Laer. 40

62 3) Pelabuhan perikanan pantai (port of inshore fisheries); pelabuhan ini adalah tempat mendaratnya kapal-kapal kecil yang beroperasi di perairan pantai. Hasil tangkapan umumnya dijual pada koperasi dan perusahaan-perusahaan industri perikanan. Contoh: Dorum, Biisum, Maasholan, dan Nieustad. (4) Pelabuhan perikanan General Santos-Philipina Menurut Mahyuddin (2004) bahwa Pelabuhan Perikanan General Santos- Philipina Selatan adalah salah satu pelabuhan perikanan yang ada di Philipina. Perencanaan pelabuhan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat Philipina. Perencanaan pelabuhan dilakukan dengan pendekatan keterpaduan, yakni perencanaan yang mensinergikan antara pemanfaatan potensi perikanan di wilayah foreland dan pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan dikaitkan dengan penyerapan hasil produksi ikan dari pelabuhan perikanan ke daerah hinterland. Pembangunan pelabuhan perikanan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pengoperasionalannya dilakukan oleh administrator pelabuhan yang diangkat oleh pemerintah. Pasokan listrik dari Pemerintah sangat murah guna merangsang pengusaha untuk meningkatkan investasinya di pelabuhan perikanan, seperti pabrik es, cold storage, industri pengalengan ikan. Pelabuhan tidak memungut biaya tambat labuh guna mengurangi biaya operasional setiap kapal penangkap. Berjarak 3 km dari pelabuhan, terdapat lapangan pesawat terbang yang sehari-harinya dapat digunakan untuk mengekspor ikan ke luar negaranya. Jalan yang menghubungkan pelabuhan ke daerah hinterland sangat bagus dan cukup lebar. Di sepanjang pantai kiri-kanan pelabuhan telah banyak tumbuh pabrik-pabrik yang mendukung kegiatan perikanan, seperti pabrik es, cold storage, pengalengan ikan. Kegiatan-kegiatan yang ada di pelabuhan perikanan adalah aktivitas bongkar muat ikan/barang, aktivitas pelelangan ikan, tambat labuh kapal, aktivitas pengisian perbekalan kapal melaut, aktivitas distribusi ikan, penyortiran ikan kualitas ekspor, aktivitas perbaikan kapal dan alat tangkap dan administrasi pelabuhan. 3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya diharuskan untuk mengoptimalkan fungsinya, sehingga masing-masing pelabuhan harus memiliki 41

63 kesiapan misalnya fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang semakin membaik. Semakin besar peranannya, maka semakin lengkap pula fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang diberikan. Untuk melihat tingkat persaingan antar pelabuhan perikanan, maka menurut Rustiadi et al. (2005), dapat menggunakan metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram). Metode skalogram adalah metode untuk menentukan hirarki wilayah termasuk hierarki pelabuhan perikanan. Rumus dan cara untuk menentukan indeks hierarki skalogram dapat dilihat pada metodologi. Menurut Budiharsono (2001), bahwa inti dari model ekonomi basis (economic base model) adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Sektor (industri) yang bersifat seperti ini disebut sektor basis. Selain sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Sektor basis berhubungan langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan dari luar meningkat, maka sektor basis akan berkembang. Hal ini pada gilirannya nanti akan mengembangkan sektor non basis. Salah satu metode apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis adalah menggunakan metode pengukuran tidak langsung melalui metode location quotient (LQ). Alasan penggunaan metode ini karena tidak memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak seperti metode pengukuran langsung dengan survei lapangan. 3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah Pelabuhan perikanan adalah bagian penting dari wilayah pesisir. Pelabuhan perikanan adalah pusat aktivitas perikanan dan titik temu antara aktivitas ekonomi masyarakat berbasis daratan dan lautan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang strategis di dalam kawasan strategis di wilayah pesisir. Menurut Rustiadi (2001), bahwa wilayah pesisir adalah kawasan strategis. Kawasan strategis adalah suatu kawasan ekonomi yang secara potensial memiliki 42

64 efek ganda (multiplier effect) yang signifikan secara lintas sektoral, lintas spasial (wilayah) dan lintas pelaku. Dengan demikian, perkembangan wilayah strategis memiliki efek sentrifugal karena dapat menggerakkan secara efektif perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, perkembangan wilayah di sekitarnya serta kemampuan menggerakan ekonomi masyarakat secara luas, dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. Peranan strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdayasumberdaya domestik yang terbarui (domestic renewable resources). (2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan. (3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektorsektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah dan PDRB wilayah. (4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra and inter-regional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty). (5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan. Menurut Hagget et al. (1977), yang diacu Rustiadi (2001), bahwa konsep wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah perencanaan. Konsep wilayah homogen yang lebih menekankan prinsip pewilayahan yang menekankan homogenitas (kesamaan) di dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional antar wilayah-wilayahnya. Berbeda dengan konsep homogen, konsep wilayah 43

65 nodal adalah konsep yang menekankan adanya pemisahan bagian-bagian di dalam wilayah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai sel hidup yang mempunyai plasma dan inti. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral. Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2000), proses pengembangan pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh 8 faktor kewilayahan pelabuhan perikanan yang masing-masing bersifat saling berpengaruh terhadap pengembangan pelabuhan perikanan. Kedelapan faktor kewilayahan pelabuhan perikanan adalah sebagai berikut: (1) Kondisi wilayah perairan laut, meliputi kondisi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan ikan. Besarnya potensi sumberdaya ikan yang tersedia dan lestari dan adanya daerah-daerah penangkapan ikan yang dapat dijangkau armada perikanan suatu pelabuhan perikanan akan menentukan pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya. (2) Aktivitas perikanan wilayah, terutama yang terkait dengan berapa besar permintaan pasar terhadap komoditi perikanan (lokal, regional dan atau global) akan mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya. (3) Pertumbuhan ekonomi wilayah, seperti yang tergambar dalam PDRB dan inflasi, dapat memacu pengembangan suatu pelabuhan perikanan baik berupa kesiapan ekonomi pemerintah, maupun kesiapan ekonomi masyarakat dan sebaliknya. (4) Kondisi prasarana dan sarana umum wilayah, merupakan unsur pendukung penting bagi pengembangan suatu pelabuhan perikanan. Kondisi prasarana sarana umum yang tersedia (prasarana dan sarana transportasi, air, listrik dan telekomunikasi) aktivitas-aktivitas didalam dan keluar pelabuhan perikanan seperti distribusi pemasaran ikan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, aktivitas yang tinggi dari suatu pelabuhan perikanan, akan memberikan tekanan kepada perlunya dikembangkan prasarana dan sarana umum yang telah ada disuatu wilayah. 44

66 (5) Kondisi penduduk suatu wilayah, terutama didalam bentuk pendapatan perkapita, konsumsi ikan perkapita (yang juga dapat diartikan sebagai potensi pasar), pertumbuhan penduduk suatu wilayah, dan kondisi aspek sosial penduduk adalah jelas mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan. Pendapatan perkapita yang tinggi, konsumsi ikan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kondisi sosial penduduk yang positif akan memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan suatu pelabuhan perikanan disuatu wilayah. Sebaliknya walau tidak terjadi secara otomatis, ketersediaan jumlah komoditi ikan yang tinggi akibat pengembangan suatu pelabuhan perikanan misalnya, akan memberikan tekanan kepada peningkatan pendapatan, sekurang-kurangnya pada sebagian penduduk suatu wilayah seperti nelayan dimana suatu pelabuhan perikanan berada. Demikian pula berdampak sosial positif bagi penduduk tersebut. (6) Kondisi lahan lokasi pelabuhan perikanan yang meliputi lahan daratan dan perairan suatu pelabuhan perikanan menentukan pula pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. Keterbatasan lahan daratan suatu pelabuhan perikanan akan dapat membatasi pengembangannya. (7) Aktivitas-aktivitas non perikanan wilayah yang terdapat disekitar pelabuhan perikanan dapat mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. Aktivitas-aktivitas di sekeliling pelabuhan perikanan yang sudah tertata rapi, tidak akan mudah untuk diubah peruntukkannya bagi kepentingan pelabuhan perikanan. Aktivitas-aktivitas pelabuhan perikanan yang mungkin dapat menghasilkan limbah ke perairan laut misalnya mempengaruhi usaha tambak masyarakat sekitar pelabuhan perikanan, dapat menimbulkan tekanan yang negatif bagi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. (8) Kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat, secara jelas akan mempengaruhi pengembangan suatu pelabuhan perikanan karena pemerintah merupakan pihak yang melakukan pengarahan bagi pengembangan perikanan; melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Terhadap kedelapan faktor tersebut diatas maka PPN Palabuhanratu sudah memenuhi kebutuhan kedelapan faktor tersebut walaupun masih ada masalahmasalah yang perlu ditindaklanjuti untuk diselesaikan. 45

67 3.9 Konsep Triptyque Portuaire Menurut Vigarié (1979) yang diacu oleh Lubis (1989) bahwa ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan niaga yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays terrestre (hinterland) yang disebut triptyque portuaire. Dalam bukunya, Vigarié (1979) menjelaskan pengertian dari triptyque sebagai berikut : "La notion de triptyque; elle évoque l image de trois volets qui sont ici : l arrière-pays, l avantpays océanique, et au milieu, l étendue correspondant au périmètre portuaire". Triptyque ini digunakan dalam suatu metode analisis pelabuhan niaga. Selanjutnya dijelaskan lebih detil tentang pengertian l arrière-pays dan l avantpays adalah sebagai berikut : "L arrière-pays réel d un port est la partie de l espace terrèstre dans laquelle il vend ses services et, par concéquent, recrute sa clientèle; de façon générale, l on peut concidérer que celle-ci se trouve en arrière du rivage où se trouvent les installations portuaires concidérer; mais il peut y avoir à cette interprétation des exceptions, par exemple dans le cas de trasshipment. D autre part, cette notion est souvent obscurcie par celle d un hinterland théorique". "La définition de l avant-pays repose sur l existence des routes maritimes. Ces dernières sont des faisceaux de cheminements permanents que suivent les navires; elles sont marquées par certains caractères : leur tracé sur le globe dépend des secteurs côtiers séparés par l Océan, et que l on veut relier; elles ont une certaine largeur : milles généralement sauf lorsqu elles se ressertent dans un détroit ou dans un canal transisthmique. La notion d avant-pays peut être approchée soit en terme de relation maritimes exprimées par le nombre de lignes de navigation, le nombre de départs ou le tonnage our une certaine direction, soit un termes d origine et de distination des marchandises traversant le port ". Pengertian l avant-pays dapat didekati melalui hubungan kemaritiman yang dinyatakan pada jumlah jalur pelayaran, jumlah unit atau GT kapal yang berangkat dari suatu pelabuhan untuk tujuan tertentu, baik ditinjau dari asal maupun tujuan barang. Pengertian l arrière-pays dan l avant-pays masing-masing ekivalen dengan hinterland dan foreland. Hal ini diperjelas lagi oleh Charlier (1983) bahwa : "Les 46

68 termes arrière-pays et avant-pays ont pour équivalents respectifs hinterland et foreland en anglais, hinterlandslage et meerslage en allemand, retroterra et proiezone marittima en italien. La plupart des auteurs donnent des définitions très voisines de l arrière-pays, alors que le contenu conféré à l avant-pays varie davantage ". Selanjutnya menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep triptyque portuaire tersebut diterapkan untuk pelabuhan perikanan yang terdiri dari sub sistem wilayah produksi/foreland, sub sistem wilayah distribusi/ hinterland dan sub sistem pelabuhan perikanan/fishing port sendiri. Hinterland dan foreland adalah dua wilayah yang saling bergantung sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Pelabuhan perikanan adalah sebagai penghubung diantara keduanya. Dalam merencanakan pelabuhan perikanan perlu dilakukan analisis secara geografis terhadap tiga elemen tersebut di atas yaitu foreland, pelabuhan perikanan dan hinterland-nya. Analisis foreland berkaitan dengan daerah penangkapan ikan, potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara khusus foreland dapat dikatakan sebagai fishing ground atau daerah penangkapan ikan dan jalur maritim yang dilalui oleh kapal-kapal dalam rangka pendistribusian baik secara nasional maupun ekspor. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa foreland selain disebut juga daerah penangkapan, secara umum juga berarti : (1) Tempat beroperasinya nelayan-nelayan penangkapan ikan di fishing ground. (2) Jalur distribusi hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base atau menuju pasar yang melalui laut. (3) Wilayah perairan di jalur transportasi maritim nasional atau internasional. (4) Beberapa wilayah perairan merupakan perairan yang ramai dan dapat meningkatkan resiko terjadinya tabrakan antar kapal-kapal ikan. (5) Jalur-jalur maritim yang dilalui oleh kapal penangkapan tersebut untuk menuju fishing ground dan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan. Fishing ground sangat berkaitan dengan pelabuhan perikanan karena: (1) Fishing ground ini sangat menentukan dalam memperoleh informasi 47

69 penyebaran ikan yang menjadi tujuan penangkapan, wilayah yang over fishing, jalur-jalur yang ramai. (2) Fishing ground dapat berkaitan dengan pembagian wilayah perairan dimana terdapat wilayah perairan dengan jenis tertentu agar nantinya dapat diketahui jenis alat tangkap apa saja yang harus dikembangkan di masing-masing wilayah perairan tersebut. (3) Fishing ground di daerah tropis mempunyai jenis dan ragam ikan yang lebih banyak dari pada fishing ground di daerah sub tropis. Hinterland pelabuhan perikanan secara khusus dapat dikatakan sebagai daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan (Lubis, 2003). Parameter ini penting dalam analisis perencanaan pelabuhan perikanan karena berkaitan dengan pasar atau sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan-ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Parameter ini berkaitan dengan jumlah dan daerah konsumen. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa terdapat 3 jenis hinterland: (1) Hinterland primer adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi dari ikan-ikan hasil pendaratan langsung. (2) Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi ikan hasil pengolahan, hasil pembekuan. (3) Hinterland perpaduan atau overlap hinterland adalah suatu hinterland yang didistribusikan oleh beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama besar atau sama kecil. Ketiga jenis hinterland tersebut dapat bersifat lokal, interinsuler dan ekspor. Dengan mengetahui jenis hinterland, maka kita dapat merencanakan bagaimana pola pendistribusian yang akan dilakukan serta sarana transportasi, lembaga-lembaga dan organisasi yang diperlukan serta peraturan yang menyertainya. Luasnya hinterland dari suatu pelabuhan dipengaruhi oleh sampai sejauh mana proses penanganan, pengolahan dan jenis sarana transportasi yang digunakan. Semakin baik penanganan ikan yang dilakukan akan semakin jauh hinterland, berarti jenis pengolahan ikan juga akan mempengaruhi luas 48

70 hinterland. Demikian halnya jenis transportasi apabila ikan didistribusikan dengan menggunakan pesawat terbang akan lebih dapat menjangkau hinterland yang jauh. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa keterkaitan hinterland dan pelabuhan perikanan ini perlu dianalisis agar : (1) Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dapat terserap habis sesegera mungkin tanpa menunggu terlalu lama. (2) Dapat diketahui kemungkinan dalam memperluas hinterland. (3) Dapat diketahui berapa produksi ikan yang harus dieksploitasi oleh para nelayan untuk dapat didaratkan pelabuhan perikanan tersebut. (4) Dapat diketahui jenis dan kapasitas fasilitas di pelabuhan perikanan untuk menampung sejumlah ikan tersebut. (5) Dapat diketahui hubungan antara hinterland yang satu dengan hinterland yang lain dalam menerima produksi perikanan dari pelabuhan itu dan atau dari pelabuhan perikanan lain. (6) Dapat diketahui distribusi jenis olahan di hinterland sehubungan dengan rencana pengembangan terhadap tipe olahan ikan yang dikembangkan di pelabuhan Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan Kegiatan pemasaran ikan yang merupakan komponen dari hinterland sangat berpengaruh terhadap penyerapan produksi ikan di PPN Palabuhanratu. Bagaimanapun banyaknya produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, jika tidak didukung oleh kegiatan pemasaran yang optimal, maka fungsi PPN Palabuhanratu tidak akan optimal. Nelayan akan tertarik mendaratkan kapalnya di suatu pelabuhan, apabila pemasaran ikan di pelabuhan tersebut lebih menarik dibandingkan dengan tempat lain. Untuk melihat perbandingan kualitas pemasaran di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan di kabupaten/ provinsi, maka menurut Lubis (2003) perlu dihitung indeks relatif nilai produksinya (I). 49

71 3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode analisis dalam mengambil keputusan yang baik dan fleksibel. Salah satu alat analisis yang dapat menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah PHA. PHA pada dasarnya didesain untuk mendapatkan persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Menurut Saaty (1988), dalam memecahkan persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip: (1) Menyusun hierarki Menentukan tujuan, kriteria dan aktivitas yang terdapat dalam suatu hirarki bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalah yang harus dipecahkan dalam bagian ini adalah menentukan atau memilih tujuan dalam rangka mengkomposisikan kompleksitas sistem. Perlu pendefinisian tujuan secara rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani. (2) Struktur hierarki Struktur hirarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi intereaksi komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke sub-sub tujuan, lalu ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan aktor dan kemudian alternatif strategi. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan yang teridentifikasi. (3) Penyusunan bobot Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hirarki keputusan, ditentukan melalui penilaian pendapat dengan cara komparasi berpasangan. Komparasi tersebut adalah membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk menstransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan skala penilaian, sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka yang 50

72 menggambarkan variabel mana yang mempunyai prioritas tinggi Kajian Penelitian Terdahulu Menurut Ibrahim (2001), bahwa strategi yang perlu dilakukan dalam meningkatkan upaya peningkatan kinerja PPN Palabuhanratu adalah peningkatan sarana dan prasarana. Dalam penelitian tersebut belum terungkap jenis sarana dan prasarana yang akan dikembangkan, kuantitas setiap sarana dan prasarana yang akan dikembangkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian Lubis (1998) tentang pola pengembangan pelabuhan perikanan di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang efisien dan efektif, menyimpulkan bahwa PP dan PPI yang berada di kedua wilayah perairan tersebut hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal. Penyebabnya adalah keterbatasan kondisi dan ketersediaan fasilitas, jarak antara fishing ground/foreland dan lokasi PP/PPI yang tidak menguntungkan, rendahnya harga ikan di PP/PPI, jauhnya jarak PP/PPI terhadap pemukiman nelayan dan problem hasil distribusi hasil tangkapan ikan ke daerah hinterland. Berdasarkan analisis triptyque portuaire terdapat dua pola dasar, yakni pola dasar I lebih diperuntukkan bagi pengembangan PP/PPI untuk melayani ekspor hasil tangkapannya. Pola dasar II lebih ditujukan untuk pengembangan PP/PPI untuk melayani pasar lokal atau pemerintah kabupaten di masing-masing provinsi. Pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh nelayan longline dengan perahu congkreng dan kapal gillnet sering menimbulkan konflik. Menurut Herwening (2003), bahwa modernisasi perikanan di Palabuhanratu menyebabkan persaingan pemanfaatan wilayah penangkapan sehingga menimbulkan potensi konflik antar armada yang meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah penangkapan antara armada bagan apung dengan perahu congkreng dan antara armada longline dengan perahu congkreng dan kapal motor gillnet. Dalam kaitan ini, maka potensi konflik yang melibatkan armada penangkapan di PPN Palabuhanratu dan merupakan suatu hambatan didalam pengembangan PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu berkewajiban menjaga kualitas ikan sesuai dengan standar mutu ikan. Menurut Nurani et al. (2004), bahwa kualitas produksi ikan layur yang dihasilkan nelayan Palabuhanratu berada diluar batas proses produksi untuk tujuan kualitas ekspor. Secara umum faktor penyebab ikan layur tidak 51

73 memenuhi kualitas ekspor yaitu pelaku utamanya belum menyadari akan pentingnya ikan yang berkualitas, kesalahan proses penangkapan, sarana penanganan tidak mencukupi dan proses transportasi dan alat transportasi belum memadai. Dalam kaitan ini, karena kualitas beberapa ikan layur tidak memenuhi standar ekspor, maka akan melemahkan kondisi di hinterland. 52

74 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di PPN Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan di Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan April tahun 2002 sampai dengan bulan Maret tahun Tahap Penelitian Jadwal kegiatan penelitian dibagi ke dalam 5 tahap, yakni tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis data, tahap pembuatan laporan dan tahap seminar dan ujian. (1) Tahap persiapan penelitian. 1) Melakukan studi literatur di perpustakaan dan instansi terkait. 2) Menyusun rencana pelaksanaan penelitian secara menyeluruh. Dalam penyusunan rencana ini, yang perlu dipersiapkan adalah bahan-bahan, alat-alat, kuesioner. Selanjutnya direncanakan juga bagaimana teknik pelaksanaan, persiapan penelitian, bilamana dilaksanakan, sasarannya, dan seterusnya sampai memperoleh data dan informasi yang diperlukan. (2) Tahap pengumpulan data. Merencanakan pengumpulan data, yakni pada saat desk study dan pada saat di lapangan. Ditentukan pula jumlah responden yang akan mengisi kuesioner dan untuk diwawancara. (3) Tahap mengolah dan analisis data. Tahap ini dilakukan pengolahan dan penganalisisan data. Hal ini dilakukan apabila data dan informasi sudah tersedia. Data dan informasi yang diperoleh perlu segera dicek kesahihannya. (4) Tahap pembuatan laporan. Setelah laporan dibuat, dilakukan konsultasi ke dosen pembimbing dan perbaikan laporan.

75 (5) Tahap seminar dan ujian. Laporan yang sudah selesai dikonsep dilakukan sidang komisi pembimbing, siap untuk diseminarkan dan ujian tertutup. Setelah perbaikan, maka dilakukan ujian terbuka. 4.3 Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam bentuk studi kasus, yakni di PPN Palabuhanratu. Dikatakan kasus karena hanya satu aspek yang diteliti yakni terbatas pada pengembangan pelabuhan perikanan. Penelitian hanya dilakukan di Palabuhanratu yang sangat berbeda kondisinya dengan daerah lain, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun karakteristik perairan dengan satu aspek penelitian dan juga merupakan hal yang sangat baru, yakni pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep triptyque portuaire. 4.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif baik sifatnya primer maupun sekunder. Pengambilan data primer dilakukan langsung melalui observasi lapangan, pengisian kuesioner, wawancara, dokumentasi dan pengamatan langsung di lapangan. Parameter-parameter yang terdapat dalam kuesioner adalah berdasarkan elemen-elemen dalam pendekatan triptyque portuaire yang meliputi foreland, fishing port dan hinterland. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, studi pustaka dan sumber lainnya. Khusus untuk data operasional PPN Palabuhanratu didata sejak mulai operasionalnya PPN Palabuhanratu yakni tahun 1993 sampai dengan tahun Jenis dan sumber data adalah: (1) Data yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan (fishing port): 1) Kondisi lahan darat dan perairan wilayah PPN Palabuhanratu, luas lahan yang tersedia di areal PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk pengembangan. 2) Kondisi fasilitas, yakni kondisi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang: jenis, ukuran, tahun pembuatan, kondisi fisik, aktivitas pemeliharaan, penempatan fasilitas yang terdapat di PPN Palabuhanratu serta lay out pelabuhan. 54

76 3) Tata letak fasilitas: alir aktivitas (flow of activities), alir barang atau ikan (flow of goods) dan alir manusia (flow of human). 4) Data teknis: topografi, hidrometri, kondisi alam, sumber air bersih, fasilitas penunjang di wilayah PPN Palabuhanratu. 5) Kondisi aktivitas perikanan: aktivitas pendaratan dan pembongkaran, aktivitas pengolahan, aktivitas pemasaran, aktivitas pembinaan terhadap masyarakat nelayan di wilayah PPN Palabuhanratu. 6) Kondisi organisasi dan pengelolaan: kondisi SDM, layanan prima, pengelolaan. 7) Sistem peraturan dan kelembagaan: jenis aturan, bentuk kelembagaan. (2) Data dari wilayah hulu atau wilayah produksi (foreland): 1) Alur pendaratan ikan. 2) Ketersediaan sumberdaya ikan dan daerah-daerah penangkapan yang dapat dijangkau oleh kapal-kapal ikan. 3) Kondisi pemanfaatan SDI. 4) Kondisi sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, nelayan, dan bahan melaut. 5) Kegiatan pemasaran ikan dari suatu pelabuhan perikanan ke daerah pemasaran melalui laut. 6) Aktivitas pengendalian dan pengawasan SDI, termasuk penjualan ikan di tengah laut (ship to ship). (3) Data dari hilir atau wilayah distribusi (hinterland): kondisi ikan yang didaratkan (mutu), pasar dari komoditi perikanan yang didaratkan, kondisi prasarana-sarana pendukung dan tingkat konsumsi. (4) Data aspek lingkungan, yakni sanitasi, kondisi keamanan, kondisi sosial politik dan budaya. (5) Data informasi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan globalisasi dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan. misalnya tentang peraturan-peraturan daerah, kebijakan-kebijakan daerah, RUTR daerah, rencana pengembangan akses jalan dan sarana perhubungan, permintaan ikan tingkat internasional, pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di atas 12 mil (ZEEI) dan laut internasional. 55

77 Langkah berikutnya adalah pengisian kuesioner oleh responden. Pemilihan dan jumlah responden serta nara sumber dilakukan dengan sengaja (purposive) yaitu dengan mempertimbangkan bahwa nara sumber dan responden itu memahami arti dan maksud serta arah pengembangan PPN Palabuhanratu. Pemilihan jumlah dan jenis responden telah mempertimbangkan keragaman responden dan pengetahuan responden tentang pengembangan PPN Palabuhanratu. Responden yang digunakan berjumlah 29 orang yang berasal dari staf Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, staf PPN Palabuhanratu, Kepala PPN Tanjung Pandan (Belitung) (mantan staf PPN Palabuhanratu), staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, pengurus KUD Mina, HNSI Kabupaten Sukabumi, investor, dan nelayan. Lampiran 1 memuat nama-nama dan jabatan responden. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi literatur, meliputi perpustakaan di lingkungan IPB Bogor, lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, PPN Palabuhanratu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan dari berbagai sumber data yang diperoleh secara perorangan. 4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data Analisis data dikelompokkan menjadi 4 bagian, yakni: (1) Menentukan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yakni dengan : 1) Mengetahui kondisi PPN Palabuhanratu berdasarkan analisis deskriptif. 2) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu antara lain menentukan apakah pelabuhan perikanan merupakan lokasi sektor basis, yakni dengan menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I) dan kondisi kepadatan kolam pelabuhan, manajemen pelabuhan serta persaingan jenis fasilitas, sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dengan menggunakan metode skalogram. 56

78 3) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu secara deskriptif terhadap komponen foreland, pelabuhan perikanan dan hinterland. (2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan melalui analisis kebutuhan terhadap pengembangan beberapa fasilitas, operasional dan manajemen pelabuhan perikanan. (3) Menentukan strategi pengembangan PPN Palabuhanratu dengan menggunakan proses hierarki analitik (PHA) (Saaty, 1988). (4) Antisipasi pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu dianalisis secara kualitatif berdasarkan estimasi kebutuhan fasilitas, hasil tangkapan ikan dan pendistribusiannya Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu (1) Kondisi PPN Palabuhanratu Analisis terhadap kondisi PPN Palabuhanratu dilakukan secara deskriptif dengan konsep triptyque portuaire. 1) Kondisi PPN Palabuhanratu: Kondisi PPN Palabuhanratu yang dianalisis adalah : (a) Hasil studi kelayakan pembangunan PPN Palabuhanratu yang dilakukan Rogge et al. (tahun 1987), terutama mengenai pola pembangunan yang ditentukannya. (b) Kondisi fasilitas pembangunan tahap pertama dan operasionalnya (periode tahun ) yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Kondisi operasional pelabuhan berdasarkan fungsinya. (c) Kondisi pembangunan dan operasional PPN Palabuhanratu tahap kedua (periode tahun ). Kondisi pembangunan adalah fisik bangunan dan kondisi operasional adalah tentang pelaksanaan fungsinya. 2) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah produksi (foreland), yang dianalisis adalah kondisi daerah penangkapan ikan di WPP 9 Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya 57

79 di PPN Palabuhanratu, pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan daerah penangkapan ikan. 3) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah distribusi (hinterland), yang dianalisis adalah pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu, produksi ikan segar, daerah distribusi ikan segar (hinterland primer), distribusi ikan pindang dan distribusi ikan asin (hinterland sekunder), hinterland perpaduan serta kondisi sarana angkutan dan prasarana jalan. Analisisi dilakukan terhadap data primer dan sekunder melalui penyajian tabel, grafik, gambar, peta dan foto. (2) Faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu Indikasi perlunya PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan antara lain: 1) Penentuan lokasi pelabuhan perikanan sangat terkait dengan adanya potensi sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa lokasi keberadaan pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi merupakan sektor basis bagi Kabupaten Sukabumi, dapat ditentukan dengan menggunakan location quotient (LQ): v v t LQ =, Vi Dengan: V i t LQ = Location Quotient. vi = PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga berlaku tahun v = PDRB seluruh sektor Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga t berlaku tahun V = PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar i harga berlaku tahun V = PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga t berlaku tahun

80 Apabila nilai: LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis. LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis. 2) Pengembangan pelabuhan perikanan sangat tergantung kepada sejauh mana produk ikan yang didaratkan dapat dipasarkan atau didistribusikan ke daerah hinterland-nya. Kualitas pemasaran ikan di lokasi tersebut dibandingkan misalnya dengan kualitas pemasaran ikan di kabupaten dimana pelabuhan perikanan itu berada, yakni dengan menentukan indeks relatif nilai produksi (I) (Lubis, 2003): N p N t I = Q Q p Dengan, N p t = Nilai produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (Rp). N t Q p Qt = Nilai produksi perikanan di Kab. Sukabumi (Rp). = Jumlah produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (kg). = Jumlah produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi (kg). I = 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu sama dengan nilai relatif produksi perikanan Kabupaten Sukabumi, yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu sama bagusnya dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi. I > 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih baik apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan dari Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi. I < 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan 59

81 Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih rendah dengan kualitas pemasaran ikan Kabupaten Sukabumi. 3) Kepadatan kolam pelabuhan yang ada sekarang. Kepadatan kolam yang ada saat ini perlu dievaluasi tentang kapasitas pemanfaatannya, apakah kepadatan kolam saat ini sudah sesuai kapasitasnya. 4) Manajemen pelabuhan perikanan (a) Legalitas pelabuhan perikanan, dianalisis tentang dasar hukum pembangunan pelabuhan perikanan. (b) Organisasi pelabuhan perikanan, dianalisis tentang organisasi pelabuhan termasuk tugas pokok dan fungsinya serta sampai seberapa jauh organisasi pelabuhan dapat mendukung berfungsinya pelabuhan. (c) Tata hubungan kerja, dianalisis tentang instansi terkait yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan. (d) Sumberdaya manusia, dianalisis tentang kondisi SDM pengelola pelabuhan. (e) Standard operational procedure (SOP), dianalisis tentang SOP masingmasing kegiatan pelabuhan. (f) Pelayanan operasional pelabuhan, dianalisis tentang layanan operasional pelabuhan kaitannya dengan fungsi pelabuhan perikanan. (3) Persaingan antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia. Pada WPP 9 terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, diantaranya terdapat 11 pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT sehingga dianggap pelabuhan perikanan tersebut dapat saling bersaing yakni PPN Palabuhanratu, PP Sabang, PPS Bungus, PPN Sibolga, PPI Pulau Baai, PP Pulau Tello, PPS Jakarta, PPS Cilacap, PPI Muncar, PPN Prigi dan Pelabuhan Umum Benoa. Namun dalam penelitian ini yang memiliki data lengkap adalah PPN Palabuhanratu, PPS Jakarta, PPN Sibolga, PPS Bungus, PPN Prigi dan PPS Cilacap, sehingga hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang dianalisis persaingannya. 60

82 Rustiadi et al. (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain, akan menjadi pusat atau mempunyai hierarki lebih tinggi. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain. Dalam kaitan penelitian ini, maka yang dijadikan elemen persaingan adalah fasilitas dan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan berdasarkan strata tingkat pendidikan pegawai untuk masing-masing pelabuhan perikanan, jenis ikan ekonomis penting dan nilai harga ikan, alat penangkapan ikan, jenis kapal. Metode yang dipakai dalam analisis persaingan antar pelabuhan didalam WPP 9 Samudera Hindia adalah metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa metode skalogram adalah metode untuk menentukan hierarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas pelabuhan perikanan (6 unit PP), tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal masing-masing pelabuhan didata dan disusun dalam suatu tabel. Penyusunan tabel ini menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas yang dimiliki oleh setiap pelabuhan mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent termasuk juga tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan kapal. Kemudian langkah selanjutnya adalah menyusun hierarki yang paling tinggi berdasarkan jumlah total fasilitas, tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal yang dimiliki masing-masing pelabuhan perikanan. Selanjutnya menyusun hierarki berdasarkan indeks masing-masing pelabuhan dengan urutan dari indeks paling tinggi. Terakhir ditentukan urutan indeks yang di perbandingkan untuk masing-masing pelabuhan. Adapun rumus untuk menentukan indeks hierarki adalah: 61

83 n ak Indeks hierarki (I i ) = ( F. ) n k ik n Dengan: adalah bobot fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan ak yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal /faktor penentu hierarki, n = Jumlah pelabuhan, k = Jumlah fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal, ak = Jumlah pelabuhan yang memiliki fasilitas atau jenis pendidikan SDM, jenis ikan yang didaratkan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal dan F ik = Fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal yang dimiliki pelabuhan. Akan ditentukan 6 komponen yang diperbandingkan melalui 6 skalogram yakni: skalogram berdasarkan jenis fasilitas, sumberdaya manusia pengelola, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan jenis kapal. Masing-masing skalogram akan ditentukan jumlah jenis variabel yang dibandingkan, bobot kelangkaan dan bobot jenis. Jumlah jenis variabel adalah semua jenis komponen yang ada di masing-masing pelabuhan. Bobot kelangkaan adalah seberapa besar setiap pelabuhan memiliki komponen atau beberapa komponen sehingga dianggap langka dan diberi nilai besar. Bobot jenis adalah cara pandang lain untuk menilai persaingan yang memiliki jenis komponen. Khusus untuk PPN Palabuhanratu digunakan data sesuai dengan kelasnya yakni kelas nusantara Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu Pola pengembangan didalam penelitian ini adalah suatu contoh atau pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan. Sebagai contoh atau pedoman atau ukuran, maka diperlukan ukuran-ukuran baik secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pengembangan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire yakni ukuran-ukuran komponen wilayah produksi (foreland) terbatas pada variabel target jumlah produksi ikan yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia, dan target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu yang akan 62

84 dikembangkan. Ukuran-ukuran komponen pelabuhan perikanan (fishing port) terbatas pada fasilitas pokok seperti lahan, kolam, dermaga, gedung pelelangan ikan, air bersih, BBM dan es. Komponen wilayah distribusi (hinterland) dibatasi pada variabel jumlah konsumen, daerah konsumen dan jumlah produksi ikan yang didistribusikan di daerah hinterland. (1) Perhitungan target jumlah produksi (ton) Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah produksi dan target jumlah kapal: 1) MSY WPP 9 Samudera Hindia di kalikan dengan persentase jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80%) yang disebut jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (SK Mentan No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia). 2) Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan di WPP 9 Samudera Hindia sebanyak 216 unit yang terdiri dari 3 unit PPS, 3 unit PPN, 3 unit PPP dan 207 unit PPI. 3) Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang pelabuhan perikanan bahwa bahwa kapasitas minimum produksi ikan untuk masing-masing kelas pelabuhan perikanan adalah 60 ton/hari atau ton/tahun untuk PPS, 30 ton/hari atau ton/tahun untuk PPN. Diperkirakan kapasitas minimum PPP sebesar 10 ton/hari atau ton/tahun dan 5 ton/hari atau ton/tahun untuk PPI. 4) Kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan adalah jumlah hasil tangkapan minimum yang didaratkan di masing-masing kelas pelabuhan perikanan. 6) Alokasi pemanfaatan SDI bagi masing-masing kelas pelabuhan perikanan (Pelabuhan Perikanan Samudera, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan Perikanan Pantai dan Pangkalan Pendaratan Ikan) didapatkan dari kapasitas produksi minimum masing-masing kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 per tahun dibagi dengan kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 kemudian dikalikan dengan JTB WPP 9. 63

85 7) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu didapatkan dari alokasi pemanfaatan SDI untuk kelas PPN dibagi jumlah PPN yang ada di WPP 9. Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 3. MSY WPP 9 Samudera Hindia JTB = 80% X MSY WPP 9 Jml PP di WPP 9 = A Jml PPS = 3 unit, Kapasitas minimum 60 ton/hari Jml PPN = 3 unit, Kapasitas minimum 30 ton/hari Jml PPP = 3 unit, Kapasitas minimum 10 ton/hari Jml PPI = 207 unit, Kapasitas minimum 5 ton/hari Kapasitas minimum PPS/tahun = 3x60 ton x365= a1 Kapasitas minimum PPN/tahun = 3x30ton x365= a2 Kapasitas minimum PPP/tahun = 3x10 ton x365= a3 Kapasitas minimum PPI/tahun = 207x5 ton x365= a4 Kap. Produksi minimum seluruh PP di WPP 9= a1+a2+a3+a4 = B Alokasi pemanfaatan SDI PPS = (a1/b)xjtb = b1 Alokasi pemanfaatan SDI PPN =(a2/b)xjtb = b2 Alokasi pemanfaatan SDI PPP =(a3/b)xjtb = b3 Alokasi pemanfaatan SDI PPI =(a4/b)xjtb = b4 Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu = b2/3 Gambar 3 Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu. 64

86 (2) Perhitungan target jumlah kapal (unit) Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah kapal 1) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu adalah sebesar ton/tahun. 2) Kondisi jumlah unit kapal PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 untuk masingmasing kelompok ukuran kapal <5 GT (A1), 5-30 GT (A2), dan GT (A3) dikalikan dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (B1), 5-30 GT (B2), dan GT (B3) maka akan diperoleh jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan GT (C3). Penjumlahan dari semua jumlah GT untuk masingmasing kelompok ukuran kapal akan menghasilkan jumlah total GT untuk semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu (D). 3) Posisi awal produktivitas kapal untuk setiap GT adalah jumlah produksi ikan tahun 2005 dibagi jumlah GT untuk semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu tahun ) Perhitungan target produktivitas unit penangkapan (E) diperoleh dari hasil perhitungan CPUE untuk masing-masing unit penangkapan yang ada saat ini di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/gt per tahun. Sehingga dalam perhitungan target kapal untuk PPN Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/gt per tahun. Selain itu longline menangkap ikan tuna. Tuna merupakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi dan berpeluang besar sebagai komoditi ekspor (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). 5) Komposisi persentase kapal berdasarkan ukuran <5 GT (E1), 5-30 GT (E2), dan GT (E3) diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan GT (C3) dibagi jumlah total GT untuk semua kapal (D). Kemudian persentase masingmasing tersebut dikalikan dengan jumlah alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu sehingga diperoleh alokasi pemanfaatan SDI oleh masing- 65

87 masing kelompok ukuran kapal <5 GT (F1), 5-30 GT (F2), dan GT (F3). 6) Alokasi pemanfaatan SDI masing-masing ukuran kapal dibagi dengan target produktivitas unit penangkapan, maka diperoleh jumlah GT kapal masingmasing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan GT (G3). 7) Jumlah kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (H1), 5-30 GT (H2), dan GT (H3) diperoleh dari jumlah GT kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan GT (G3) dibagi dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan GT (C3). 8) Jumlah seluruh unut kapal yang akan dikembangkan didapatkan dari penjumlahan semua kapal untuk masing-masing ukuran. Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu lebih jelasnya seperti pada Gambar 4. (3) Perhitungan kapasitas fasilitas Jenis fasilitas yang diperhitungkan adalah beberapa fasilitas pokok seperti lahan, kolam dan dermaga. Fasilitas fungsional seperti gedung pelelangan ikan, pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih. Fasilitas-fasilitas tersebut menurut Lubis et al. (2005) termasuk fasilitas yang mutlak diperlukan. Pemilihan jenis fasilitas pokok seperti lahan karena lahan yang ada saat ini seluas 7,2 ha sudah terpakai untuk berbagai fasilitas pelabuhan sehingga areal untuk pengembangan dan areal industri perikanan tidak tersedia. Kapasitas kolam dan dermaga perlu untuk dikembangkan karena saat ini kondisi pemanfaatannya sudah tidak mampu menampung aktivitas kapal tambahan. Gedung pelelangan perlu untuk dikembangkan karena adanya tambahan produksi ikan akibat adanya pengembangan PPN Palabuhanratu. Penyediaan tambahan pabrik es sangat diperlukan karena hanya tersedia satu pabrik es dengan kapaitas 1000 balok/hari dan tidak mampu memenuhi kebutuhan es untuk operasional kapal sebanyak 1500 balok/hari. Kebutuhan solar saat ini dipasok oleh SPDN dengan kapasitas 160 kl/bulan dan SPBB dengan kapasitas 250 kl/bulan. Kebutuhan pemakaian solar rata-rata per hari pada tahun 2004 sebanyak 28 kl (tersedia pasokan 14 kl/hari), 66

88 sehingga pasokan dari SPDN dan SPBB tidak mencukupi. Selama ini sebagian kapal memperoleh BBM dari SPBU yang berada diluar pelabuhan. Kebutuhan air bersih untuk keperluan aktivitas kapal pada tahun 2005 tercatat rata-rata 16,5 ton/hari yang dipasok dari PDAM. Pasokan ini belum memperhitungkan kebutuhan air untuk pembuatan es, kebutuhan ikan dan untuk aktivitas penghuni. Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu (SDI) KM <5 GT A1 KM 5-30 GT A2 KM GT A3 Rata-rata GT KM <5 GT = B1 Rata-rata GT KM 5-30 GT = B2 Rata-rata GT KM GT = B3 Jml GT KM <5 GT = A1xB1=C1 Jml GT KM 5-30 GT = A2xB2=C2 Jml GT KM GT = A3xB3=C3 Total GT untuk semua kapal = C1+C2+C3 =D Target produktivitas unit penangkapan = 1 ton/gt per tahun = E % KM <5 GT = C1/D=E1 % KM 5-30 GT = C2/D=E2 % KM GT = C3/D=E3 Alokasi pemanfaatan SDI KM <5 GT = E1 x SDI = F1 Alokasi pemanfaatan SDI KM 5-30 GT = E2 x SDI = F2 Alokasi pemanfaatan SDI KM GT = E3 x SDI = F3 Jml GT KM <5 GT = F1/ E = G1 Jml GT KM 5-30 GT = F2/ E = G2 Jml GT KM GT = F3/ E = G3 Jml KM <5 GT = G1/ B1 = H1 Jml KM 5-30 GT = G2/ B2 = H2 Jml KM GT = G3/ B3 = H3 Target jumlah total unit kapal yang akan dikembangkan = H1+H2+H3 Gambar 4 Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu. 67

89 1) Perhitungan luas kolam (m 2 ) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan luas kolam adalah sebagai berikut: L = Lt + 3 [(n x l x b)] Dengan : L = Luas kolam pelabuhan (m 2 ) Lt = Luas untuk memutar kapal (turbin basin) (π r 2 ) n = Jumlah kapal maksimal berlabuh setiap hari (unit) l = Panjang kapal (m) b = Lebar kapal (m) 2) Perhitungan panjang dermaga (m) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), dermaga dengan bentuk yang memanjang sejajar garis pantai dan diperuntukkan bagi kapal yang berlabuh dengan posisi badan kapal sejajar dengan sisi dermaga, maka panjang dermaga tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x (0,1) x l Dengan ; D = Panjang dermaga (m) l = Ukuran panjang kapal (m) 0,1 = Jarak aman antara dua kapal (m) 3) Luas gedung pelelangan (m 2 ) Luas gedung pelelangan ikan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas gedung pelelangan yang ada sekarang dan produksi rata-rata per hari dengan ratarata target produksi ikan pengembangan dan luas gedung pelelangan yang akan dikembangkan. Luas gedung pelelangan pengembangan adalah (rata-rata target produksi ikan pengembangan x luas gedung pelelangan yang ada sekarang) dibagi (produksi ikan rata-rata sekarang). 68

90 4) Kapasitas pabrik es (ton/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan kapasitas pabrik es adalah sebagai berikut: K = a x Produksi rata-rata per hari Dengan : K = Kapasitas pabrik es a = 2 5) Kebutuhan solar (kl/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), perhitungan kebutuhan solar adalah sebagai berikut: S = 0,2 liter / DK / jam Dengan : S = Kebutuhan solar ( kl/ tahun) Kapal ukuran <5 GT = bermesin 15 DK, kapal ukuran 5-30 GT = bermesin 60 DK, kapal berukuran GT = bermesin 180 DK, kapal berukuran GT = bermesin 225 DK). 6) Kebutuhan air bersih (kl/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan ABK adalah 20 liter/orang/hari. Kebutuhan bahan baku es adalah 1 kg air untuk 1 kg es, kebutuhan ikan adalah 1 liter/kg ikan, kebutuhan TPI adalah 1,5 liter/ m 2 luas TPI, kebutuhan penghuni adalah 10% dari kebutuhan total. 7) Luas lahan (ha) Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS). 69

91 (4) Perhitungan jumlah konsumen untuk ikan dari PPN Palabuhanratu Jumlah konsumen diperoleh dari jumlah target produksi untuk dalam negeri dibagi dengan rata-rata tingkat konsumsi ikan untuk penduduk dalam negeri. Menurut Barani (2006) bahwa tingkat konsumsi ikan /kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (angka perkiraan). Distribusi ke daerah hinterland primer untuk produk ikan segar komoditas ekspor kondisi saat ini sebesar 3% dan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu jumlah ekspor ikan diperkirakan sebesar 35% dari target produksi PPN Palabuhanratu yang didasarkan kepada jumlah potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP 9 Samudera Hindia untuk target jumlah produksi PPN Palabuhanratu Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Prioritas pengembangan diperoleh dengan menggunakan proses hierarki analitik (PHA). Langkah-langkah yang dilakukan: (1) Penentuan hierarki Penentuan hierarki dilakukan penulis bersama-sama dengan responden berdasarkan kuesioner dan wawancara. Ada 4 tingkatan hierarki yakni: hierarki pertama adalah goal (tujuan): optimalisasi fungsi PPN Palabuhanratu, hierarki kedua adalah: pelaku/lembaga yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan: Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan), KUD Mina Sinar Laut dan Nelayan. Hierarki ketiga adalah: solusi pengembangan terhadap alternatif prioritas pengembangan: perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM dan pelayanan prima. Hierarki keempat adalah alternatif prioritas pengembangan, adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD dan peningkatan lapangan kerja. Hierarki ketiga dan keempat ditentukan dengan menggunakan metode skoring. Solusi pengembangan dan alternatif prioritas pengembangan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dipilih berdasarkan tahapan. Tahap pertama adalah penentuan jenis prioritas pengembangan yakni 70

92 dengan cara mencari informasi tentang pengembangan PPN Palabuhanratu kepada beberapa nelayan, tokoh nelayan, ketua HNSI dan ketua KUD Mina, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh tersebut untuk selanjutnya dibicarakan dengan pihak manajemen pelabuhan. Manajemen pelabuhan memfasilitasi pertemuan guna membicarakan jenis prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan PPN Palabuhanratu antara stakeholder manajemen pelabuhan dan peneliti. Setelah ditetapkan bersama jenis alternatif prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan, kemudian dicari data pendukungnya melalui laporan statistik perikanan, laporan tahunan pelabuhan, laporan studi pembangunan. Adapun jenis alternatif prioritas pengembangan yang akan dipilih berdasarkan kesepakatan dengan stakeholder (Lampiran 2) adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pelelangan ikan, peningkatan investasi, penyempurnaan docking, peningkatan SDM, aksesibilitas, peningkatan kapasitas pabrik es, pengadaan SPBB untuk kapal berukuran >30 GT, peningkatan industri pengolahan, aplikasi SOP dan operasional syahbandar. Solusi pengembangan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu yang telah ditetapkan secara bersama (Lampiran 3) adalah pembangunan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional tempat pelelangan ikan (TPI), pengadaan BBM, pelayanan prima, pengadaan pabrik es, pengerukan alur pelayaran, pemeliharaan lampu navigasi, rehabilitasi pasar ikan, balai pertemuan nelayan, indtalasi air, pengadaan bak sampah dan pembuatan jalan kompleks pelabuhan. Tahap kedua, setelah jenis alternatif prioritas pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam kuesioner, maka selanjutnya responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya mengenai alternatif prioritas pengembangan. Setelah kuesioner diisi maka dilakukan penilaian responden yakni, penilaian alternatif prioritas pengembangan apakah alternatif prioritas pengembangan tersebut sangat tinggi prioritasnya untuk dilaksanakan, prioritas sedang untuk dilaksanakan dan prioritas kurang untuk dilaksanakan. 71

93 Kemudian ditentukan nilai masing-masing alternatif prioritas pengembangan dan ranking setiap alternatif prioritas pengembangan. Penilaian oleh responden untuk jenis alternatif prioritas pengembangan yang dianggap paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Setiap jenis alternatif prioritas pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian baru ditentukan ranking untuk masing-masing alternatif prioritas pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang terpilih adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja. Dalam penentuan jenis solusi pengembangan yang perlu dikembangkan, mekanismenya hampir sama dengan penentuan jenis alternatif prioritas pengembangan, yakni pertama mendiskusikan dengan pihak manajemen PPN Palabuhanratu dan stakeholder lainnya tentang jenis-jenis variabel solusi pengembangan yang diperlukan. Adapun jenis variabel solusi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah perluasan kolam dan dermaga, penambahan kapasitas pabrik es dan SPBU, perluasan lahan, operasional lampu navigasi, operasional TPI, operasional pasar ikan, operasional balai pertemuan nelayan (BPN), peningkatan kapasitas instalasi air, penambahan bak sampah, operasional radio SSB dan perbaikan jalan kompleks pelabuhan. Kedua, setelah variabel solusi pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam kuesioner, selanjutnya 29 responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya mengenai variabel solusi pengembangan. Adapun 29 responden yang dipilih secara purposive adalah Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemda Kabupaten Sukabumi /Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, Kepala PPN Tanjung Pandan, HNSI, KUD Mina Sinar Laut, nelayan penangkap, nelayan pengolah, nelayan pemasar, investor perikanan. Setelah kuesioner diisi, dilakukan penilaian responden, yakni penilaian variabel solusi pengembangan apakah sangat tinggi prioritasnya untuk dikembangkan, prioritas sedang untuk dikembangkan, dan prioritas kurang untuk dikembangkan. Setelah itu, kemudian ditentukan nilai masing-masing solusi pengembangan dan ranking setiap variabel solusi pengembangan. Penilaian 72

94 oleh responden untuk jenis variabel solusi pengembangan yang dianggap paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Tahap ketiga selanjutnya setiap jenis variabel solusi pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian ditentukan ranking untuk masing-masing jenis solusi pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang terpilih adalah perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM untuk kapal, pelayanan prima. (2) Membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada pada masing-masing hierarki (3) Penentuan prioritas: untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Bentuk hierarki pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 5. GOAL OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU LEMBAGA/ PELAKU Ditjen Perikanan Tangkap PPN Palabuhanratu Pemda/ Dinas KUD Nelayan SOLUSI PENGEMBANGAN Perluasan kolam dan dermaga Perluasan lahan Operas ional pelelangan ikan Pengadaan BBM Pelayanan prima ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN Peningkatan penda patan pelabuhan Peningkatan Jlh kapal Peningkatan produksi ikan Peningkatan PAD Peningkatan lapangan kerja Gambar 5 Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu. 73

95 5 HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menyajikan data dan informasi yang meliputi kondisi umum lokasi penelitian, fasilitas, operasional dan manajemen PPN Palabuhanratu guna mendukung tujuan penelitian, hasil perhitungan yang berkaitan dengan tujuan penelitian yakni arah pengembangan, memformulasikan pola pengembangan dan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian PPN Palabuhanratu terletak di kota Palabuhanratu yang merupakan ibu kota Kabupaten Sukabumi. Menurut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sukabumi (1999) bahwa Palabuhanratu dijadikan ibu kota Kabupaten Sukabumi yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, pusat perdagangan dan jasa, pusat pengembangan perikanan laut dan pusat pengembangan pariwisata. Dengan adanya perubahan fungsi kota, maka banyak hal yang belum dapat ditangani dan ditata oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi misalnya tata ruang wilayah pesisir dan laut belum dapat dibuat karena Pemerintah Daerah masih mengupayakan agar ada bantuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi. Selain itu dengan perubahan fungsi kota, maka kondisi ini membawa dampak terhadap kemajuan pembangunan kota Palabuhanratu terutama untuk mendukung pembangunan sektor perikanan dan kelautan. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Jawa Barat yang memiliki ketinggian berkisar m. Luas wilayah Kabupaten Sukabumi sekitar ha dan merupakan daerah terluas di Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Sukabumi terletak antara 6 o 57-7 o 25 LS dan 106 o o 00 BT, dengan curah hujan rata-rata pada tahun 2000 sebanyak 130 hari hujan setiap tahun, sehingga bulan basah lebih banyak dibandingkan bulan kering dengan kelembaban 70-90%. Pada tahun 2000 tercatat jumlah penduduknya sebanyak jiwa. Kota Palabuhanratu berada di ketinggian 0 50 meter dari permukaan laut. Di belakang kota ini terbentang bukit-bukit sehingga sedikit sekali areal persawahan. Penduduk banyak bekerja di kebun-kebun dan sebagai nelayan. Pada saat musim ikan, mereka beralih pekerjaannya menangkap ikan di laut. Luas

96 Kecamatan Palabuhanratu adalah ha. Jumlah penduduk Kecamatan Palabuhanratu sebanyak orang atau 4% dari jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi memiliki 35 desa pesisir dan 9 kecamatan pesisir, yakni Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciomas, Simpenan, Palabuhanratu, Cikakak dan Cisolok. Luas seluruh kecamatan pesisir ha (34,19% dari luas Kabupaten Sukabumi ha). Bila dilihat dari luas wilayah pesisir, maka prioritas pembangunan sebaiknya di arahkan pada daerah pesisir dan laut. Batas administratif Kabupaten Sukabumi adalah sebelah: Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Selatan dengan Samudera Hindia, Timur dengan Kabupaten Cianjur, dan Barat dengan Kabupaten Lebak. Panjang pantainya 117 km membentang dari Mina Jaya (Kecamatan Surade) sampai Cibangban (Kecamatan Cisolok) dan di sepanjang pantai tersebut terdapat 7 tempat pendaratan ikan dengan jumlah nelayan orang atau 0,58% dari jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2000, dengan rincian Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mina Jaya-Kecamatan Surade sebanyak 118 orang, PPI Ujung Genteng-Kecamatan Ciracap 399 orang, PPI Ciwaru-Kecamatan Ciomas jumlah nelayan 146 orang, PPI Loji-Kecamatan Simpenan 515 orang, PPN Palabuhanratu-Kecamatan Palabuhanratu orang, PPI Cisolok- Kecamatan Cisolok orang dan PPI Cibangban-Kecamatan Cisolok 409 orang. Berdasarkan penyebaran nelayan di masing-masing kecamatan sepanjang pesisir, maka Palabuhanratu paling banyak jumlahnya, yakni sebanyak orang atau 63% dari jumlah nelayan Kabupaten Sukabumi. Diantara ketujuh tempat pendaratan ikan, PPN Palabuhanratu memiliki fasilitas operasional yang paling baik. Hasil tangkapan ikan dari kapal yang berasal dari 6 PPI lain tersebut sebagian diangkut ke Palabuhanratu. Keenam PPI dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Semua PPI yang ada belum dibentuk unit pelaksana teknis (UPT)-nya dan belum ada petugas khusus yang menangani PPI tersebut. Gambar 6 memperlihatkan peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi. Semua urusan pembangunan dan operasional PPI ditangani langsung oleh kepala cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, sehingga 75

97 operasional PPI tersebut belum optimal. Pengumpulan data statistik dilaksanakan tidak sempurna dan tidak ada petugas khusus untuk pengumpulan data statistik. Data statistik dikumpulkan langsung oleh Kepala Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi I I U Sumber: Lubis et al Gambar 6 Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, bahwa musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April, dimana 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1662 mm, dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya termasuk besar yaitu sebesar 2565 mm dan rata-rata bulanan berkisar mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Pada tahun 2006 terjadi kemarau panjang yakni sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober

98 Kondisi kemarau panjang ini justru membawa dampak yang positif bagi nelayan karena hasil tangkapan ikannya lebih banyak dari biasanya. Penyebabnya adalah terjadi pertumbuhan chlorofil di perairan sehingga menumbuh suburkan perairan. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,8 0 C sampai 28,8 0 C. Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim monsoon dan pola angin di sekitar Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan November-Maret dan musim timur bulan Mei-September. Kecepatan angin berkisar antara 4,4-23,5 km per jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/ jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari Tenggara (22,6%) dan Barat (13,6%). Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah: Januari dari Barat dan Barat Laut, Februari dari Barat Laut, Maret dari Barat Laut, April sampai Oktober dari Tenggara, November dari Tenggara dan Barat, dan Desember dari Barat Laut. Menurut penyelidikan PT. Tripatra Engineering (1989), Palabuhanratu terletak pada zone gempa 2 yaitu zone gempa dengan aktivitas tinggi, dengan koefisien gempanya 0,07 g. Oleh karena itu, disamping kerusakan langsung akibat guncangan gempa, bencana dapat pula timbul akibat gelombang tsunami yang melanda daerah pantai. Lahan lokasi PPN Palabuhanratu merupakan daratan yang terbentuk dari endapan yang dibawa Sungai Cipalabuhan dan Cipanyairan. Jenis sedimen terutama adalah lanau, pasir, dan kerikil. Lahan semacam ini sangat cocok untuk penempatan bangunan konstruksi beton pelabuhan. Topografi lahan di lokasi pelabuhan perikanan dan sekitarnya sepanjang pantai dapat dikatakan datar, akan tetapi di belakang kota Palabuhanratu topografinya berbukit-bukit. Ketinggian tanah lahan lokasi pelabuhan perikanan berkisar +1,0 3,5 m LWS. Gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu adalah: (1) Kedalaman -5,0 LWS dicapai dari garis pantai m ke laut, dengan kemiringan pantai berkisar 6-10%. (2) Pada jarak m dari garis pantai ke arah laut kemiringan dasar laut sangat curam yaitu berkisar 25 36%. 77

99 (3) Daerah dengan kemiringan dasar laut yang relatif landai terletak di bagian Selatan dan Barat Daya pelabuhan. Gambar 7 menunjukkan gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu. Palung dengan kedalaman m Pelabuhan saat ini 0 m 5 m Skala 1 : U Gambar 7 Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu (Sumber : Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Hasil analisis data pasang surut oleh Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) adalah: 1) Highest Water Spring (HWS) = 165,2 cm. 2) Mean High Water Spring (MHWS) = 149,9 cm. 3) Mean High Water Level (MHWL) = 113,9 cm. 4) Mean Sea Level (MSL) = 75,3 cm. 78

100 5) Mean Low Water Level (MLWL) = 35,2 cm. 6) Mean Low Water Spring (MLWS) = 10,5 cm, dan 7) Lowest Water Spring (LWS) = 0 cm. Gambar 8 menunjukkan korelasi antara rambu pengamatan pasang surut dan elevasi. Palem rambu pasut Referensi HWS 257,0 cm HWS 165,2 cm MHWS 241,7 cm MHWS 149,9 cm MHWL 205,7 cm MHWL 113,9 cm MSL 167,1 cm MSL 75,3 cm MLWL 127,0 cm MLWL 35,2 cm MLWS LWS 102,3 cm 91,8 cm Chart Datum MLWS LWS 10,5 cm 0.0 cm 0.0 cm Gambar 8 Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu (Sumber: Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Secara umum gelombang besar terjadi selama musim barat, yaitu pada bulan November-Maret. Pada musim barat ini banyak nelayan takut melaut karena mengandung resiko tinggi, terutama untuk kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT). Sebaliknya selama musim timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang. Pada musim ini gelombang didominasi oleh swell dengan arah rambatan menuju selatan dan barat daya. Pada saat musim barat terjadi pengikisan pantai sehingga pada bagian-bagian pantai terjadi penggerusan/abrasi pantai ke arah darat, namun pada saat musim timur, terjadi hal sebaliknya, yakni terjadi penumpukan pasir dan bibir pantai melebar ke arah laut. Menurut Adi (1995), perubahan musim di Palabuhanratu sangat berpengaruh terhadap kegiatan perikanan. Pada umumnya upaya penangkapan ikan terbesar terjadi pada musim Selatan, ditandai dengan angin yang lemah, laut 79

101 tenang serta curah hujan yang rendah. Musim Selatan merupakan musim terjadinya banyak ikan dan musim tersebut terjadi pada bulan Juni-Oktober. Sebaliknya pada musim Barat merupakan musim kurang ikan ditandai dengan angin yang bertiup kencang, gelombang besar dan sering terjadi hujan lebat. Periode musim barat berlangsung sekitar bulan November Mei. Tabel 12 menunjukkan periode musim ikan di PPN Palabuhanratu. Tabel 12 Musim ikan di PPN Palabuhanratu Musim Selatan/ banyak ikan Barat/ kurang ikan Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Selanjutnya menurut Baskoro et al. (2004), bahwa pengetahuan mengenai pola migrasi ikan bagi usaha pemanfaatan sumberdaya adalah dengan mengetahui pola migrasi ikan yang menjadi tujuan penangkapan, maka efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan dapat dilakukan dengan baik. Selanjutnya dengan mengetahui pola migrasi ikan, maka kita dapat mengetahui keberadaan ikan disuatu perairan sekaligus dapat pengetahui swimming layer dari suatu jenis ikan. Ikan pelagis besar yang merupakan high migration (migrasi jauh) seperti ikan tuna disebabkan oleh beberapa hal seperti untuk keperluan memijah karena memang naluri sejak lahirnya memijah disuatu tempat, untuk mencari makan, dan untuk mencari lingkungan yang optimum. Selanjutnya dikatakan bahwa tuna mata besar (big eye tuna) menyebar di Samudera Pasifik melalui perairan diantara pulau-pulau Indonesia ke Samudera Hindia. Pemijahan tuna ini terjadi di bagian Timur dan bagian Barat Samudera Hindia, di Indonesia ikan ini banyak ditangkap di laut-laut dalam antara lain di perairan sebelah Selatan Jawa, sebelah Barat Daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Untuk jenis ikan albacore, penangkapannya banyak dilakukan di Samudera Hindia. Pencatatan di Benoa-Bali yang menjadi salah satu pusat pendaratan ikan tuna menunjukkan, jenis albacore hampir tertangkap sepanjang tahun, terutama bulan April-September yang merupakan musim dengan tangkapan yang bagus. 80

102 Arus di Palabuhanratu sangat lemah, arus umumnya ditimbulkan oleh angin musim yang dipengaruhi oleh pasang surut dan besarnya kedua komponen arus ini sangat lemah. Selama musim timur, arus di sepanjang Pantai Selatan Jawa bergerak menuju barat dan pada musim barat arus berbalik arah. Sedimentasi yang terjadi di sekitar mulut kolam pelabuhan disebabkan masuknya sebagian longshore sedimen terdiri dari pasir dengan diameter rata-rata 200 mm. Pada waktu musim hujan atau banjir, material longshore sedimen terdiri dari campuran sedimen yang berasal dari sungai dan dasar pantai. Sungai Cipalabuhan yang bermuara di samping kolam pelabuhan adalah sungai yang aktif membawa endapan sampah kota, lumpur dan pasir. Dalam merencanakan Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu), faktor adanya pengaruh sungai ini perlu diperhitungkan dengan matang sehingga dapat mengeliminir pengaruh masuknya sedimen ke dalam kolam pelabuhan yang akan dibangun tersebut. Terhindarnya mulut kedua kolam (kolam I dan II) dari masuknya endapan sedimen disebabkan karena posisi mulut berada pada palung dengan kedalaman m (Gambar 7). Pengalaman meletakkan posisi mulut kolam ini hendaknya diaplikasikan juga pada kolam III yang akan dibangun pada PPS Palabuhanratu. 5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu Operasional PPN Palabuhanratu sangat tergantung kepada kondisi fisik pembangunannya dan sejauh mana hubungan PPN Palabuhanratu dengan wilayah produksi dan wilayah distribusi Fasilitas PPN Palabuhanratu Fasilitas yang telah dibangun sejak operasionalnya pada tahun 1993 adalah: 1) Fasilitas pokok: (a) Lahan seluas 12,2 ha. Sebagian lahan digunakan untuk pembangunan kolam seluas 5 ha dan untuk bangunan darat berupa gedung dan perkantoran. Pada saat ini, lahan pelabuhan sudah semuanya dimanfaatkan, sehingga tidak tersedia lagi untuk industri perikanan. Dalam upaya untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu yang ada sekarang agar lebih optimal fungsinya dan pengembangannya menjadi 81

103 PPS Palabuhanratu, maka kapasitas beberapa fasilitas pelabuhan perikanan perlu di tingkatkan sehingga memerlukan tambahan perluasan areal terutama untuk mengembangkan fasilitas pokok seperti dermaga dan kolam pelabuhan serta penyediaan areal bagi industri perikanan. Ketersediaan lahan untuk perluasan areal akan disiapkan oleh pemerintah daerah di selatan areal pelabuhan perikanan yang ada sekarang. Lahan yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas pokok dan areal industri perikanan. (b) Penahan gelombang pada pengembangan PPN Palabuhanratu dan pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu sangat diperlukan karena adanya penambahan kapasitas kolam pelabuhan. Berdasarkan pengalaman pembangunan penahan gelombang dermaga I dan penahan gelombang dermaga II, maka konstruksi yang paling sesuai untuk pembangunan penahan gelombang baru adalah dengan batu buatan yang disebut dengan a-jack. A-jack digunakan pertama kalinya di Indonesia pada pembangunan dermaga PPN Palabuhanratu, namun a-jack juga perlu disempurnakan dalam pembuatannya yakni dengan penambahan pemakaian tulang besi, sehingga lebih kokoh dan tidak mudah patah. A-jack telah digunakan pada pembangunan penahan gelombang dermaga II sejak tahun 2000, sampai saat ini kondisinya masih baik. Penggunaan a-jack telah digunakan pula oleh PPS Cilacap dan PPN Prigi. Penggunaan a-jack sebagai pengganti batu alami sangat tepat, hal ini dikarenakan ketersediaan batu alami yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan sangat terbatas (misalnya dibutuhkan ukuran batu sampai dengan 7 ton). Keunggulan a- jack dibandingkan dengan batu alami adalah, a-jack mempunyai 11 kali daya redam gelombangnya dibandingkan dengan daya redam batu alami (PT. Perentjana Djaja, 1999). (c) Kolam pelabuhan dermaga I seluas 3 ha dengan kedalaman kolam 1,5 3,5 m. Pendangkalan kolam tetap akan terjadi karena adanya sampahsampah yang berasal dari limbah padat dan limbah cair yang dibuang dari kapal-kapal, aktivitas docking dan aktivitas tempat pelelangan ikan serta 82

104 adanya sampah-sampah yang berasal dari adanya arus pasang ke dalam kolam. Pihak pelabuhan harus memiliki petugas khusus untuk mengatasi sedimen ini dengan membersihkan kolam dari sampah-sampah padat dan cair secara rutin setiap minggu. Pihak pelabuhan dapat saja mengadakan kapal pemungut sampah di kolam. Untuk limbah padat yang terendap di dasar kolam, maka pihak pelabuhan harus dapat mengusahakan untuk melakukan pengerukan kolam secara periodik. Sebaiknya pihak pelabuhan memiliki back hoe jenis long arm guna mengeruk kolam. Selain itu untuk pengaturan kapal di kolam, maka zonasi penempatan kapal di kolam dermga I perlu ditingkatkan kepatuhan pemanfaatannya sehingga tidak mengganggu aktivitas di kolam terutama pada saat proses bongkar muat ikan dan tambat kapal. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah perlunya peningkatkan keamanan dan ketertiban di kolam dermaga I oleh tim keamanan terpadu dan pengurus-pengurus kapal. (d) Kolam dermaga II, seluas 2 ha dioperasionalkan sejak tahun 2002 dengan kedalaman kolam 4 m. Kolam dermaga II perlu dilakukan pemeliharaan, terutama menjaga kebersihan kolam dari buangan sampah, selain itu perlu dijaga ketertiban pemanfaatan kolam. Berdasarkan kondisi kolam dermaga I dan dermaga II yang sudah penuh (melebihi kapasitas tampung), maka untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu saat ini dan pembangunan PPS Palabuhanratu diperlukan penambahan kapasitas kolam baik dari segi perluasannya maupun dari segi kedalaman kolam. (e) Dermaga (wharf) I sepanjang 500 m berkonstruksi beton dibangun tahun 1993 dan telah berfungsi secara baik. Sepanjang dermaga sudah disediakan fender agar kapal tidak bersentuhan langsung dengan badan dermaga yang terbuat dari beton. Kemudian juga tersedia bolard untuk digunakan sebagai tempat pengikat kapal. Kondisi fender dan bolard saat ini dalam keadaan rusak, sehingga pihak pelabuhan diharapkan memperbaiki atau menggantinya dengan yang baru. Dermaga II sepanjang 410 m berkonstruksi beton dibangun tahun 2002 dan telah berfungsi secara baik. Sebagian fender dan bolard telah rusak sehingga perlu 83

105 diganti dengan yang baru. Dengan adanya pembangunan kolam baru sehingga memerlukan dermaga yang baru (f) Tempat pendaratan di pantai (beach landing) seluas 6600 m 2 berfungsi untuk pendaratan kapal ukuran kecil (jenis kapal kincang) dan untuk tempat perbaikan kapal. Lokasi beach landing berada di pangkal kolam dermaga I. Selain itu juga sudah tersedia fasilitas slipway yang dapat mengakomodir kapal berukuran <30 GT. Kondisi slipway dalam keadaan rusak namun masih dapat digunakan. PT. CKU sebagai pengelola diharapkan untuk memperbaikinya. Dengan adanya slipway di kolam dermaga I, menyebabkan kondisi kolam menjadi kotor karena limbah hasil perbaikan kapal terbawa hanyut oleh arus pasang surut ke dalam kolam. Dalam rencana pengembangan PPS Palabuhanratu, maka perlu dirancang konstruksi dock dan slipway dan secara khusus ditempatkan dalam satu kolam yang terpisah dengan kolam utama, sehingga tidak mengganggu aktivitas-aktivitas kapal di kolam dan kebersihan kolam dapat terjaga. Selain itu perlu dirubah fungsi tempat pendaratan di pantai ini kearah tempat perbaikan kapal dan diharapkan pemerintah daerah mampu menyiapkan tempat pendaratan di pantai ke arah selatan pelabuhan (diluar kolam pelabuhan), yakni di pantai Patuguran sehingga kapal-kapal kecil berukuran <5 GT dapat memanfaatkan tempat pendaratan di pantai tersebut, sedangkan untuk menarik kapal-kapal kecil dalam memanfaatkan tempat pendaratan di pantai patuguran yang akan dibangun oleh pemerintah daerah, maka perlu dilengkapi dengan fasilitas pemasaran dan pengolahan hasil perikanan di sekitar tempat pendaratn tersebut. 2) Fasilitas fungsional dan operasionalnya berupa: (a) Tempat pelelangan ikan (TPI) seluas 900 m 2 dalam keadaan baik dan terpelihara. TPI telah menyediakan fasilitas air bersih, tetapi terbatas penggunaannya untuk keperluan karyawan TPI. Nelayan cenderung menggunakan air laut untuk membersihkan ikannya karena mudah diperoleh di depan dermaga dan ketersediaan air tawar di TPI belum 84

106 cukup memadai. Pada tahun 2004 telah dilakukan penyediaan pompa air laut guna memperoleh air laut yang bersih, namun dalam operasionalnya mengalami kesulitan dalam pemeliharaan karena alat pemompanya mudah korosi akibat pengaruh air laut. Pada tahun 2005 telah disediakan pompa air laut bertekanan tinggi guna membersihkan lantai TPI. Setiap hari dilakukan pembersihan lantai oleh petugas kebersihan. Sampah cair langsung dibuang ke perairan laut sekitar dermaga. Kondisi ini menyebabkan kotornya air laut. Kegiatan tersebut dilakukan karena PPN Palabuhanratu belum mempunyai unit pengolah limbah cair dan limbah padat. Pembersihan sampah padat dilakukan oleh petugas, kemudian dikumpulkan dalam tempat sampah sementara yang telah disediakan di sekitar TPI. Setiap dua hari sampah-sampah yang ada dalam tempat sampah sementara diangkut oleh mobil sampah, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir di daerah Cibadak. PPN Palabuhanratu sebaiknya memiliki tempat pembakaran limbah padat (incinerator), sehingga tidak tergantung kepada tempat pembuangan sampah. Pada saatnya nanti PPN Palabuhanratu diharapkan memiliki instalasi pengolah limbah (IPAL). Limbah cair, sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga menjadi bersih kemudian dapat dibuang ke laut. Selain itu tersedia pula fasilitas untuk pelelangan ikan seperti timbangan, trays (keranjang ikan), gerobak dorong, sound system, kantor TPI. Semua fasilitas tersebut dikelola oleh KUD dan sebagian alat tersebut disewakan kepada nelayan. Pengoptimalan fungsi TPI, akan diarahkan untuk menciptakan TPI yang benar-benar hygienis sesuai dengan persyaratan tempat pelelangan ikan. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan adalah : a) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan. b) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang hygiene. 85

107 c) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering sekali pakai. d) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan hasil perikanan, e) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI. f) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih. g) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum, dan diletakkan ditempat yang mudah dilihat dengan jelas. h) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup. i) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan. Sebagai akibat adanya penambahan produksi ikan, maka diperlukan lagi tambahan gedung pelelangan ikan. Dalam operasionalnya berbeda dengan penataan TPI awal, yakni menampung ikan komoditi ekspor sehingga fasilitas TPI dan operasionalnya harus mengikuti standar penanganan ikan untuk ekspor. (b) Pasar ikan 352 m 2 digunakan untuk tempat penjualan ikan secara grosir. Biasanya jenis-jenis ikan yang dijual disini adalah jenis-jenis ikan untuk konsumsi lokal dan restoran atau pembeli yang datang dari luar Palabuhanratu. Jenis-jenis ikan segar yang terjual antara lain adalah kakap, udang, tongkol, kuwe, cumi-cumi. Selain gedung pasar ikan, pihak pelabuhan telah membangun lapak-lapak sebanyak 60 lapak yang telah diisi oleh penjual ikan eceran dan ikan olahan kering. Dengan adanya lapak-lapak ini, maka kebersihan, ketertiban dan keindahan di sekitar TPI lebih terjaga. Pihak pelabuhan juga menanam tanaman hias di sekitar TPI dan menyediakan tempat-tempat sampah. Permasalahan yang dihadapi adalah belum semua kios atau lapak pasar ikan digunakan oleh pedagang 86

108 karena kondisi ikan pada saat paceklik sangat kurang. Selain itu adanya keengganan pemilik lapak menggunakan lapaknya karena lokasi lapak berada jauh kedalam. Untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pasar ikan ini perlu ditata kembali terutama mengenai tata ruangnya, sistem drainase, sistem instalasi air bersih, instalasi BBM dan pengaturan pemanfaatannya oleh pedagang-pedagang serta menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan pasar agar tidak terlihat kumuh (c) Kantor pelabuhan 528 m 2 digunakan untuk keperluan administrasi pelabuhan. Kantor utama digunakan untuk keperluan kepala pelabuhan dan kepala seksi serta untuk perpustakaan, gudang arsip, pusat informasi pelabuhan perikanan. Kondisi kantor saat ini sudah terisi penuh dan kondisi fisik bangunannya perlu diperbaharui sehingga untuk pengadaan kantor pada PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan secara optimal sebaiknya dibangun gedung baru dengan konstruksi bertingkat empat dan khusus lantai pertama dibuat tidak memakai ruangan (bebas partisi) guna mengantisipasi adanya kejadian tsunami. (d) Pos pelayanan terpadu yang terdiri dari petugas syahbandar, PPN Palabuhanratu, TNI AL, Polisi Air dan petugas pengawas SDI. Kondisi fisik gedung saat ini perlu direhab atau dibangun baru, karena sebagian bangunannya sudah mengalami pelapukan dan belum disiapkan fasilitas pendingin ruangan (AC). Selain itu petugas kurang disiplin menempati pos sehingga memperlemah kinerja pelayanan, untuk itu perlu dibuat kesepakatan bersama tentang operasional pos pelayanan terpadu guna meningkatkan kinerja pelayanan. (e) Kantor syahbandar (petugas dari PPN Palabuhanratu). Saat ini syahbandar di pelabuhan perikanan ada dua yakni syahbandar umum dari Departemen Perhubungan dan syahbandar perikanan dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Syahbandar perikanan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2006 belum dapat menjalankan tugasnya karena menurut kesepakatan antara Dirjen. Perikanan Tangkap dan Dirjen. Perhubungan Laut bahwa syahbandar umum di PPN Palabuhanratu akan 87

109 ditarik kemudian syahbandar perikanan sudah mulai berfungsi. Kantor yang digunakan untuk petugas syahbandar sementara berada di pos pelayanan terpadu, namun pada tahun 2007 akan dibangun kantor khusus syahbandar di pelabuhan perikanan. Petugas syahbandar perikanan yang telah dilatih ada dua orang dibantu oleh satu orang staf PPN Palabuhanratu. Tugas syahbandar adalah untuk mengeluarkan surat ijin berlayar (SIB). Sebelum syahbandar beroperasional, maka pihak manajemen PPN Palabuhanratu harus sudah mempersiapkan personil yang bertugas sebagai syahbandar, administrasi yang diperlukan seperti form SIB, standard operational procedure (SOP) syahbandar, koordinasi dengan instansi terkait khususnya mengenai ruang lingkup tugas dan mempersiapkan kantor operasional sementara syahbandar. (f) Kantor pengawasan perikanan dan kelautan digunakan untuk aktivitas pengawasan perikanan dan kelautan. Kondisi kantornya cukup representatif karena selain baru, setiap ruangan dilengkapi pendingin ruangan (AC). Jumlah personil pengawasan sebanyak lima orang, yang telah memiliki kewenangan untuk menyidik sebanyak empat orang karena telah berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dalam pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pelimpahan berkas perkara kepada Kejaksaan dibantu oleh petugas Angkatan Laut, Polisi Air, Dinas Perikanan dan Kelautan. Selama tahun 2006 telah dilakukan dua kali gelar operasi ke laut dan berhasil menangkap 15 kapal ukuran <30 GT karena tidak memiliki surat ijin penangkapan. Dari hasil penyelidikan ini telah dilimpahkan perkaranya kepada PPNS Kabupaten Sukabumi karena menyangkut kapal-kapal berukuran <30 GT. Menurut petugas pengawasan bahwa lembaga pengawasan ini akan ditingkatkan menjadi unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen. Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sehingga tidak tergantung pada pelabuhan perikanan. Permasalahan yang dihadapi adalah sangat sedikitnya petugas pengawas (lima orang) sehingga banyak tugas-tugas yang tidak tertangani dengan baik, sebagai contoh masih banyaknya kapal-kapal yang tidak berijin yang 88

110 memerlukan pembinaan lebih lanjut. Selain gelar operasi, kegiatankegiatan yang sudah terlaksanan adalah pembentukan dan penumbuhan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) perikanan dan kelautan. Terhadap permasalahan sedikitnya jumlah petugas dan luasnya wilayah pengawasan, maka disepanjang 117 km pantai Sukabumi ada sebanyak 7 tempat pendaratan ikan, pada masing-masing tempat tersebut telah dibentuk POKMASWAS yang beranggotakan masing-masing 20 orang terdiri dari tokoh nelayan, pengusaha, tokoh masyarakat, petugas desa, nelayan. Mulai pada tahun 2003, secara resmi POKMASWAS di 7 titik tersebut telah dikukuhkan dengan surat keputusan Bupati. Sebanyak 140 orang telah dilakukan pemusatan latihan di PPN Palabuhanratu guna menyerap pengetahuan mengenai perikanan dan kelautan serta peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengawasan. Dalam operasionalnya POKMASWAS telah dilengkapi radio SSB (single side band) yang dapat dihubungkan dan didengar nelayan dilaut yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan. Setiap hari petugas POKMASWAS ini diminta untuk melaporkan kejadian perikanan di wilayahnya kepada pusat POKMASWAS di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan laporan dari POKMASWAS tersebut, maka PPN Palabuhanratu akan melakukan koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan permasalahan tersebut. Jaringan radio SSB ini juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah, Angkatan Laut dan Polisi Air. POKMASWAS telah membentuk forum POKMASWAS yang bertugas untuk mengkoordinasikan masalahmasalah yang berkaitan dengan tugas pengawasan. Hasil kerja dari POKMASWAS telah melaporkan tentang kejadian penggunaan alat, bahan terlarang dalam melakukan penangkapan ikan hias di karang. Terhadap laporan ini pemerintah daerah telah mengupayakan penyelesaiannya dengan cara musyawarah. Permasalahannya adalah, petugas POKMASWAS menghendaki agar pemerintah dapat memberikan insentif kepada mereka setiap bulan. 89

111 (g) Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan seluas 170 m 2 digunakan untuk pemeriksaan hasil tangkapan nelayan, selama ini pengujian yang dilaksanakan antara lain pengujian organoleptik dan pengujian formalin. (h) Balai pertemuan nelayan 150 m 2 secara aktif digunakan sebagai tempat pelatihan-pelatihan nelayan, rapat HNSI, pengajian, sunatan. Balai ini perlu dilengkapi dengan sound system, AC dan penambahan kursi serta fasilitas audio visual. (i) Puskesmas nelayan yang beroperasi setiap hari Selasa dan Kamis dengan jumlah pasien 55 orang setiap hari. Pelayanan dilakukan oleh dokter umum dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Biaya pengobatan relatif murah sebesar Rp 3.000,- setiap kali berobat. Direncanakan Puskesmas Nelayan ini akan ditingkatkan menjadi RS Pelabuhan Perikanan yang berfungsi memberi pelayanan kesehatan nelayan dan kesehatan lingkungan pelabuhan. (j) Kantor penjualan BBM 96 m 2 dilengkapi dengan tangki BBM berkapasitas 320 m 3 dan 208 m 3. Usaha BBM yang bernama SPDN ini dikelola oleh KUD Mina Sinar Laut bekerjasama dengan Perum Prasarana Samudera Jakarta. KUD Mina memperoleh aliran minyak sebanyak 160 Kl sebulan untuk keperluan BBM solar bagi kapal-kapal ukuran <30 GT. Harga jual BBM Solar untuk nelayan sama dengan harga BBM di SPBU. Kebutuhan solar untuk 628 buah kapal yang ada pada tahun 2005 adalah sebanyak kl/bulan, namun yang tersedia di SPDN sebanyak 160 kl/bulan ditambah 500 kl/bulan di SPBB sehingga kekurangannya diperoleh dari SPBU. Menurunnya frekuensi jumlah kapal melaut setiap bulan dari sejumlah 60 kapal per bulan menjadi 5 kapal per bulan sebagai akibat kenaikan biaya operasional melaut terutama harga solar BBM. Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka SPDN dan SPBB yang ada perlu ditambah persediaan solarnya sehingga memenuhi kebutuhan kapal untuk operasi ke laut. Hampir semua nelayan menghendaki agar harga BBM untuk nelayan diturunkan menjadi 90

112 Rp 2.500/liter guna menutupi biaya operasional melaut yang terus membengkak. (k) Tangki air 400 m 3 dan rumah pompa 27 m 2 dikelola oleh PT. Eko Mulyo Sukabumi. Air bersih dialirkan oleh PDAM ke reservoir kemudian baru dialirkan ke kapal-kapal nelayan yang ada di pinggir dermaga. Apabila PDAM tidak beroperasi, maka pihak pelabuhan telah menyediakan mobil tanki air bersih dimana air bersih diambil di sumber mata air milik perorangan, sehingga penyediaan air bersih untuk kapal-kapal nelayan tidak mengalami masalah. Untuk jangka menengah dan panjang, penambahan kapasitas air bersih ini perlu ditingkatkan dengan cara membuat reservoir baru yang diisi oleh sumber air tanah dan untuk keperluan lainnya maka perlu dilakukan pemanfaatan air Sungai Cimandiri untuk dialirkan ke pelabuhan perikanan. (l) Tempat perbaikan jaring 500 m 2 saat ini sudah tidak berfungsi lagi dan dialih fungsikan menjadi areal industri. Saat ini telah ditempati oleh perusahaan cold storage. (m) Gudang box 74 m 2 digunakan untuk menyimpan box-box dan trays. (n) Gardu jaga 52 m 2 digunakan untuk pos keamanan pelabuhan. (o) Toilet umum 45 m 2 sudah berfungsi yang dikelola oleh koperasi karyawan. 3) Fasilitas penunjang berupa rumah operator seluas 131 m 2 dan guest house seluas 150 m 2 serta mushola nelayan Kondisi operasional PPN Palabuhanratu Operasional pelabuhan dijalankan oleh satu manajemen yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, maka manajemen pelabuhan saat ini menjalankan fungsi dalam rangka membantu aktivitas perikanan agar lebih efisien dan efektif, dan ikut membina dan mengembangkan perekonomian masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan-nelayan tangkap di Palabuhanratu yang mengoperasikan alat payang, gill net dan pancing kekurangan modal serta mengalami kesulitan dalam memperoleh faktor produksi seperti alat tangkap, mesin, bahan bakar dengan harga yang murah, kebutuhan-kebutuhan 91

113 tersebut harus dibeli dari pedagang perantara dengan harga yang tinggi. Selain itu biaya operasional melaut diperoleh dari pinjaman uang melalui rentenir/tengkulak dengan cara yang mudah, dan sebagai imbalannya nelayan harus menjual hasil tangkapan ikannya kepada rentenir dengan harga yang tidak wajar, akibatnya pendapatan nelayan semakin berkurang. Menyadari hal tersebut, maka sejak tahun 2003 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mencoba meluncurkan program revitalisasi pelabuhan perikanan dan menumbuhkan unit-unit bisnis perikanan terpadu (UBPT) di pelabuhan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan, yang semula hanya melayani aktivitas perikanan di pelabuhan, kemudian diperluas untuk ikut membina pengembangan ekonomi perikanan. Dengan demikian tugas dan fungsi pelabuhan perikanan yang dijalankan merupakan ujung tombak pelaksanaan program DKP di daerah, termasuk juga menjalankan program-program lain di luar DKP, seperti fungsi kesehatan pelabuhan, keamanan dan ketertiban pelabuhan, imigrasi dan kesyahbandaran. Pelaksanaan fungsi PPN Palabuhanratu selama program revitalisasi pelabuhan perikanan dijalankan sejak periode tahun adalah: (1) Sebagai tempat tambat labuh kapal: 1) Menyelenggarakan pemeliharaan vender dan bolard yang ada di dermaga, lampu suar pintu masuk kolam pelabuhan, penerangan dermaga, instalasi air di dermaga. 2) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran, yakni mempersiapkan tenaga syahbandar. 3) Melakukan fungsi pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan, pemberian ijin kapal keluar masuk pelabuhan. 4) Melakukan pemantauan dan pengaturan terhadap kapal yang berlabuh dan bongkar muat. 5) Menerima dan mengelola jasa tambat. 6) Memberikan kemudahan dalam hal kebutuhan sarana dan jasa komunikasi dan telekomunikasi. (2) Tempat pendaratan ikan: 1) Memberikan pelayanan teknis untuk pendaratan ikan. 92

114 2) Menyediakan tenaga dan sarana pendaratan. 3) Pelayanan untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan. 4) Alat bantu bongkar dan alat angkut ikan hasil tangkapan lainnya. 5) Pelayanan terhadap kebutuhan tenaga dan petugas bongkar muat ikan. (3) Tempat untuk memperlancar kegiatan kapal-kapal perikanan. 1) Memberikan pelayanan teknis untuk memudahkan kapal-kapal melakukan kegiatan di pelabuhan (merapat, berlabuh, bongkar muat, keluar pelabuhan). 2) Melayani kebutuhan kapal (BBM, es, garam dan perbekalan lain). 3) Memberikan dokumen perijinan surat tanda bukti lapor kedatangan /keberangkatan kapal (STBLKK). 4) Membantu pemeriksaan kesehatan kapal. 5) Membantu melaksanakan pemeriksaan dokumen keimigrasian ABK warga negara asing. 6) Membantu pelaksanaan pemeriksaan muatan sehubungan dengan peraturan bea dan cukai. 7) Memberikan pelayanan dalam hal kebutuhan perbekalan ABK, jasa perbengkelan dan perawatan kapal serta jasa lainnya. (4) Tempat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan. 1) Menyediakan dan merawat tempat pelelangan ikan. 2) Menyediakan pasar ikan dan lapak pengecer ikan segar. 3) Menyediakan gedung perkantoran dan toko BAP. (5) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan. 1) Mengadakan dan mengembangkan berbagai sarana yang mendukung penanganan pasca penangkapan ikan (tempat/ruangan penanganan, pengolahan dan pengepakan ikan, ruangan pendingin, pabrik es dll.). 2) Membantu Dinas Perikanan dalam pembinaan kegiatan penanganan, pengolahan, pengepakan dan pengangkutan hasil perikanan serta penyuluhannya sebagai upaya untuk menjamin mutu hasil perikanan. 3) Mengkoordinasikan upaya pembinaan mutu hasil perikanan bersama Dinas Perikanan. 93

115 4) Membantu kelancaran sertifikasi mutu ikan dari Dinas Perikanan. 5) Melakukan uji tes formalin pada ikan dan bekerja sama dengan Polres setempat dalam pemberantasan penggunaan formalin. (6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. 1) Mengkoordinasikan pengumpulan data statistik perikanan di pelabuhan bersama dengan Dinas Perikanan. 2) Mewajibkan kepada unit usaha yang beroperasi di lingkungan pelabuhan untuk memberikan data yang diperlukan. 3) Melakukan tindakan pemeriksaan teknis kapal perikanan. 4) Melakukan pemantauan tugas dan kegiatan pemeriksaan kapal perikanan oleh petugas pengawasan penangkapan ikan. 5) Penyuluhan dan sosialisasi hasil riset serta mengadakan pelatihan berkaitan dengan peningkatan usaha perikanan. (7) Tempat pelaksanaan pengawasan (MCS) sumberdaya ikan. 1) Penyebaran dan pengumpulan log book. 2) Melakukan pendataan dan evaluasi terhadap log book. 3) Melakukan pendugaan stock. 4) Melakukan perhitungan terhadap CPUE. 5) Memberikan informasi tentang kondisi fishing ground. Hasil dari program revitalisasi pelabuhan perikanan dari Ditjen. Perikanan Tangkap yang dijalankan adalah tumbuhnya pelaku-pelaku unit bisnis di pelabuhan, seperti : (1) KUD Mina Sinar Laut bergerak dibidang pelayanan SPDN (station package dealer nelayan) untuk menyediaan solar kapal perikanan ukuran <30 GT, penyelenggaraan pelelangan ikan. (2) Yayasan Anak Nelayan bergerak dibidang pengolahan ikan dalam bentuk filet ikan dan usaha rumpon serta mengasuransikan sebagian nelayan binaannya. (3) Program pengembangan perikanan tangkap skala kecil dari Ditjen. Perikanan Tangkap yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh nelayan skala kecil dalam melakukan aktivitas perikanannnya sehingga pendapatannya semakin meningkat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan 94

116 adalah berupa optimalisasi kapal dan alat penangkapan ikan (OPTIKAPI), optimalisasi pelelangan ikan (OPTILANPI), optimalisasi pengolahan ikan (OPTIHANKAN) dan optimalisasi pemasaran ikan (OPTISARKAN) yakni berupa pembentukan kelompok usaha bersama (KUB), pelatihan terhadap nelayan dan memberi bantuan permodalan berupa unit alat tangkap, pengolahan dan tempat pemasaran ikan.tabel 14 menunjukkan perkembangan KUB binaan PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 13, dari 9 KUB yang ada semuanya telah beroperasional, ditandai oleh jumlah anggota yang terlibat sebanyak 200 orang. Pada tahun 2005, KUB tersebut telah berhasil melakukan usaha penangkapan ikan atas bantuan kapal yang diberikan oleh pemerintah sebanyak kg senilai Rp dan dapat disimpan sebanyak Rp untuk dana bergulir bagi anggotanya. Tabel 13 Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun 2005 Nama KUB Jumlah anggota Jumlah prod (kg) Nilai Prod (Rp) Dana bergulir (Rp) Majelis Nusantara Putra Bahari Nusantara Cempaka Putih Nusantara Gumelar Nusantara Bungsu Nusantara Majelis Nusantara Lembayung Nusantara Sumber Bahari Bina Usaha Nusantara J U M L A H Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, (4) PT. Citra Karya Utama bergerak dibidang docking kapal. (5) PT. AGB bergerak dibidang cold storage dengan membeli semua produk hasil tangkapan ikan nelayan. Hasil ikan olahan diekspor ke negara Korea. (6) CV Burhan bergerak penjualan suku cadang alat bahan perikanan. (7) PT. Sari Sagara bergerak di bidang penangkapan ikan dengan alat tangkap longline dan cold storage. 95

117 (8) PT. Paridi mengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Bunker (SPBB) bergerak dibidang penyediaan solar untuk kapal ukuran >30 GT. Menerima pasokan solar dari Pertamina sebanyak kl setiap bulan. (9) Bank Danamon dalam penyediaan kredit untuk nelayan. Sampai bulan Agustus 2006 sudah tersalurkan kredit sekitar Rp ,-. (10) PT. Ratu Prima bergerak dibidang cold storage dan pabrik es. (11) Tumbuh dan berkembangnya 8 kelompok masyarakat pengawas perikanan (POKMASWAS) yang berada di setiap titik pendaratan ikan. Tugasnya adalah mengawasi kegiatan perikanan di daerahnya dan melaporkan kepada PPN Palabuhanratu tentang kejadian tersebut melalui radio SSB. (12) Digunakannya peta prakiraan daerah penangkapan ikan oleh kapal nelayan sebanyak 52 kapal setiap bulannya, sehingga nelayan memiliki alternatif petunjuk tentang daerah penangkapan ikan. (13) Terbangunnya PUSKESMAS nelayan pada tahun 2005 yang melayani ratarata sebanyak 15 orang nelayan setiap bulan. (14) Berfungsinya Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) yang memiliki jaringan langsung internet ke Ditjen. Perikanan Tangkap, sehingga data pelabuhan on line ke DKP. (15) Beroperasionalnya kios IPTEK yang menyampaikan hasil-hasil penelitian dan kegiatan perikanan dan kelautan kepada masyarakat perikanan. (16) Program statistik perikanan yakni pelaksanaan pengumpulan data secara benar dan akurat menurut petunjuk yang telah ditetapkan oleh Ditjen. Perikanan Tangkap. Pelaksanaan program ini telah menghasilkan tersedianya data statistik perikanan tentang produksi ikan tuna berikut ukuran dan beratnya, statistik ikan lainnya, statistik distribusi ikan dan pengolahan ikan. Walaupun di PPN Palabuhanratu sangat baik pendataan statistiknya, namun sangat disayangkan pendataan kabupaten belum sempurna terutama pengumpulan data karena keterbatasan petugas. 96

118 Pelayanan PPN Palabuhanratu terhadap aktivitas-aktivitas perikanan antara lain adalah: (1) Kapal perikanan Kapal-kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu dan melakukan operasi penangkapan ikan di WPP 9 sejak periode tahun dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, bahwa komposisi kapal-kapal berukuran kecil (<5 GT) jumlahnya semakin meningkat yakni pada tahun 1993 sebanyak 342 unit meningkat menjadi 428 unit pada tahun Kapal motor berukuran 5-30 GT juga mengalami kenaikan yakni dari 65 unit pada tahun 1993 meningkat menjadi 180 unit pada tahun Begitu juga untuk kapal motor ukuran GT naik dari 13 unit pada tahun 1993 menjadi 68 unit pada tahun Tabel 15 menunjukkan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asalnya. Tabel 14 Jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun satuan: unit Tahun PMT Kapal Motor Kapal Motor < 5 GT 5-30 GT > GT Jumlah Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Berdasarkan Tabel 15, dari 676 unit kapal pada tahun 2005, terdapat sebanyak 465 unit kapal atau 69% berasal dari Palabuhanratu sedangkan sisanya berasal dari daerah lain. 97

119 Tabel 15 Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005 satuan: unit No Daerah asal Perahu Motor Tempel Kapal Motor Jumlah 1 Palabuhanratu Ujung Genteng Ciwaru Loji Cisolok Cibangban Cisaar Binuangeun Cilacap Pekalongan Jakarta Benoa Bali Sibolga NTT NTB Jawa Timur Jumlah Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, (2) Produksi ikan Produksi ikan PPN Palabuhanratu sejak tahun berfluktuasi setiap tahunnya, Tabel 16 menunjukkan produksi ikan di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 16, jumlah produksi semakin meningkat yakni dari kg pada tahun 1993 menjadi kg pada tahun Produksi ikan pada tahun 2005 sebesar kg atau 53% berasal dari pendaratan langsung di dermaga PPN Palabuhanratu, sedangkan sisanya sebesar kg atau 47% berasal dari ikan yang masuk ke PPN Palabuhanratu melalui jalan darat. Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar kg dan naik menjadi kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak kg pada tahun 2005 dan terendah sebanyak kg pada tahun 1995 Sedangkan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993 sampai 2005 ditunjukkan seperti pada Tabel

120 Tabel 16 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun Tahun Produksi ikan didaratkan Produksi ikan masuk pelabuhan lewat darat Jumlah produksi pelabuhan Jumlah Rata-rata Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Satuan : kg Tabel 17 Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun Satuan : kg Tahun Produksi ikan segar Rata-rata Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu,

121 Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun ditunjukkan seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun Satuan : kg Tahun Ikan pindang Rata-rata Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Rata-rata pendistribusian ikan pindang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 adalah kg. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni dari kg pada tahun 1993, naik menjadi kg pada tahun 2005 atau rata-rata kenaikan sebesar 89,51%. Distribusi ikan asin dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun ditunjukkan seperti pada Tabel 19. Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Rata-rata distribusi ikan asin dari Palabuhanratu sebesar kg/tahun. Kota tujuan distribusi ikan asin adalah ke Palabuhanratu, Sukabumi, Cibadak, Cicurug, Bogor, Cianjur dan Bandung. 100

122 Tabel 19 Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu periode tahun Tahun Ikan asin Rata-rata Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Satuan: kg (2) Pelayanan logistik Terdapat tiga kebutuhan kapal yang sangat penting untuk disediakan yaitu BBM solar, air bersih dan es. 1) Solar Volume pemakaian solar sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat, peningkatan sangat besar terjadi pada tahun 2002 yakni meningkat dari liter tahun 2001 menjadi liter pada tahun 2002 atau naik 286,71%. Pada tahun 2004, solar meningkat dari liter pada tahun 2003 menjadi liter, kemudian pada tahun 2005 jumlah solar yang digunakan nelayan menurun menjadi sebesar atau turun sebesar 46,74%. Pada tahun 2005, nelayan dikejutkan terhadap adanya kenaikan harga BBM untuk kapal ikan berukuran >30 GT dengan harga Rp per liter (Oktober 2005), akibatnya walaupun Pertamina telah membangun SPBB untuk melayani BBM solar bagi kapal berukuran >30 GT, namun saat ini tetap saja nelayan mencari harga solar yang lebih murah yakni di SPDN dan SPBU dengan harga Rp

123 per liter (Oktober 2005). Hal yang salah ini tidak akan berlangsung lama, sehingga pemerintah harus membantu kapal-kapal ikan yang berukuran >30 GT untuk memperoleh solar dengan harga yang sama dengan harga di SPBU Ton Tahun Gambar 9 Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun Pada tahun 2004 permintaan solar naik 115,29%. Kenaikan permintaan solar tersebut sebagai akibat beroperasinya dermaga II (Gambar 9). Permasalahan yang ada dalam menyalurkan solar untuk keperluan operasional kapal ikan sampai dengan tahun 2002 adalah bahwa selama ini kapal-kapal ikan sudah terbiasa membeli solar dari dua SPBU yang ada di Palabuhanratu. Kegiatan penyaluran BBM untuk kapal ikan yang diperoleh dari SPBU melanggar peraturan yang ada karena SPBU hanya diperuntukkan penyediaan solarnya bagi kendaraan bermotor di darat. Kebutuhan BBM solar untuk nelayan yang memiliki kapal berukuran <30 GT dipasok dari SPDN (Station Package Dealer untuk Nelayan). Bahan bakar solar untuk kapal berukuran >30 GT, sebelumnya dipasok dari 2 unit SPBU yang ada di Palabuhanratu ditambah satu buah SPBU lagi yang baru beroperasi pada tahun 2004, namun sejak bulan Oktober 2005, kebutuhan solar untuk kapal berukuran >30 GT juga telah dipasok dari SPBB (stasiun pengisian bahan bakar di bunker) PPN Palabuhanratu yang dikelola oleh PT Paridi. SPBB tersebut berlokasi di dalam pelabuhan dan dikhususkan untuk menyalurkan solar ke kapalkapal yang berukuran <30 GT dengan harga bersubsidi, yakni Rp 4.300/liter (bulan Oktober 2005) atau lebih murah Rp 200,- dibandingkan dengan harga di 102

124 SPBU. Selama ini SPDN memperoleh DO (delivery order) solar dari Pertamina sebanyak 160 kiloliter/bulan. Solar sebanyak itu cukup untuk kebutuhan kapal berukuran <30 GT yang berjumlah 608 buah dengan rincian ukuran kapal 5-30 GT sebanyak 180 buah dan kapal ukuran <5 GT sebanyak 428 buah. Kebutuhan solar setiap hari untuk kapal berukuran GT, selama ini rata-rata 60 ton diperoleh dari tiga buah SPBU yang ada di Palabuhanratu. Tabel 20 Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun Satuan : liter Tahun Kebutuhan BBM Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, ) Air Kebutuhan air bersih untuk nelayan dipasok dari PDAM kemudian dikelola oleh pihak PPN Palabuhanratu. Gambar 10 menunjukkan gambaran perkembangan kebutuhan air bersih sejak tahun di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Gambar 10, pemakaian air meningkat tajam sampai dengan tahun 2005, yakni sebesar liter atau rata-rata/hari sebanyak ,42 liter. Peningkatan penggunaan air bersih ini sebagai akibat semakin banyaknya kapal perikanan dari luar masuk ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan yang ada dalam menyalurkan air bersih untuk kapal ikan adalah tidak setiap hari PDAM dapat menyalurkan air bersih untuk keperluan kapal ikan. 103

125 Ton Tahun Gambar 10 Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun Setiap hari Senin dan Kamis, PDAM memutuskan tidak menyalurkan air ke PPN Palabuhanratu dengan alasan belum mampu menyalurkan air bersih untuk kebutuhan maksimal, sehingga pihak manajemen pelabuhan pada tahun 2005 telah mengadakan mobil tangki air guna menyediakan air bersih apabila PDAM tidak menyalurkan air bersih ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan penyediaan air bersih sudah dapat diatasi oleh manajemen pelabuhan. Selama ini kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu digunakan untuk keperluan melaut, aktivitas kantor, kapal, TPI dan WC umum. Tabel 21 Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun Satuan : liter Tahun Kebutuhan air Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu,

126 3) Es Pemerintah seharusnya mendorong penggunaan es sebagai bahan pengawet untuk menciptakan cold chain system dalam mempertahankan mutu ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dan untuk mencegah penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap bahaya penggunaan formalin pada ikan dan perlu dilakukan penegakan hukum bagi pengguna formalin. Selain itu pemerintah juga harus mengatur tentang tata perdagangan formalin di pasar. Penggunaan es sebagai pengawet oleh nelayan Palabuhanratu dari tahun ke tahun semakin berkembang karena konsumen juga menghendaki ikan yang lebih segar dan bermutu. Sejak periode tahun penggunaan es meningkat yakni dari balok pada tahun 1993 meningkat menjadi balok pada tahun Peningkatan ini disebabkan penggunaan es balok oleh kapal longline. Es disuplai oleh satu pabrik es di Palabuhanratu yang berkapasitas 1000 balok per hari, padahal kebutuhan es setiap harinya sebasar 1500 balok, sehingga kapal-kapal yang membutuhkan es harus antri selama 3 hari di pelabuhan. Banyak investor ingin membangun pabrik es, namun mereka masih mempertimbangkan keberlangsungan usahanya mengingat kondisi operasional kapal-kapal sedang mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM. Gambar 11 menunjukkan perkembangan pemakaian es di PPN Palabuhanratu Jum lah (balok) Tahun Gambar 11 Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun

127 Tabel 22 Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun Satuan : balok Tahun Kebutuhan es Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Manajemen pelabuhan perikanan Pengelolaan pelabuhan perikanan tergantung antara lain kepada aspek legalitas, organisasi, tata hubungan kerja, kondisi sumberdaya manusia, standard operational procedure (SOP) dan pelayanan. (1) Legalitas pelabuhan perikanan Sejak tahun 1974, yakni permulaan adanya pelabuhan perikanan di Indonesia sampai dengan tahun 2004, peraturan yang mengatur mengenai pelabuhan perikanan belum ada, walaupun UU No.9 tahun 1985 tentang Perikanan menyebutkan antara lain bahwa pelabuhan perikanan dibina oleh pemerintah, namun sampai tahun 2004 peraturan pemerintah tentang pelabuhan perikanan belum diterbitkan sehingga pembangunan dan operasional pelabuhan sangat tergantung kepada aturan yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan. Sejak tahun 2004 telah ada pengaturan tentang pelabuhan perikanan yakni pada UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan serta telah dikeluarkannya peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni Selain itu terdapat pula peraturan lain yakni : 106

128 1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. 3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. (2) Organisasi pelabuhan perikanan Didalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.26.I/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan, telah ditetapkan bahwa susunan organisasi PPN Palabuhanratu adalah sebagai berikut : 1) Kepala pelabuhan perikanan, yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas pokok dan fungsi pelabuhan perikanan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan dan operasional pelabuhan. 2) Sub Bagian Tata Usaha, yang mempunyai wewenang melakukan administrasi keuangan, kepegawaian, persuratan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga, pelaporan dan pengembangan serta pengelolaan informasi dan publikasi perikanan. 3) Seksi Tata Pengusahaan, yang bertugas untuk melakukan pembangunan, pemeliharaan, pengembangan dan pendayagunaan sarana dan prasarana, pelayanan jasa, fasilitasi usaha dan wisata bahari, pemberdayaan masyarakat perikanan, koordinasi peningkatan produksi hasil perikanan, pengendalian lingkungan, koordinasi urusan keamanan dan ketertiban serta pelaksanaan kebersihan kawasan pelabuhan perikanan. 4) Seksi Tata Pelayanan, yang bertugas melakukan pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran perikanan, memfasilitasi pemasaran dan distribusi hasil perikanan, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan statistik perikanan serta pengembangan dan pengelolaan sistem informasi perikanan. 5) Kelompok jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan fungsional pengawas penangkapan yang mempunyai tugas melakukan kegiatan pengawasan 107

129 penangkapan ikan serta jabatan fungsional kehumasan yang mempunyai tugas untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan fungsi-fungsi kepelabuhanan. Struktur organisasi PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Lampiran 4. (3) Tata hubungan kerja Di wilayah PPN Palabuhanratu terdapat beberapa lembaga yang terkait dengan pengelolaan wilayah pelabuhan yang masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda. PPN Palabuhanratu berkewajiban mengkoordinasikan segenap kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait agar lebih bersinergi untuk mencapai tujuan. Instansi tersebut antara lain adalah : 1) UPT Pelabuhan Perikanan UPT pelabuhan perikanan mempunyai wewenang (a) Menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok dan penunjang yang menjadi aset pemerintah. (b) Menyelenggarakan pelayanan teknis terhadap kapal perikanan. (c) Menyelenggarakan keamanan, ketertiban dan kebersihan di pelabuhan perikanan. (d) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran. (e) Mengkoordinasikan kegiatan instansi terkait di pelabuhan. 2) Dinas Perikanan Dinas perikanan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dibidang perikanan 3) Kesehatan Pelabuhan Kesehatan pelabuhan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melakukan penanganan dan pengawasan kesehatan di pelabuhan. 4) POLISI AIR Polisi air mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan penangkapan, penyidikan dan penanggulangan kasus-kasus kejahatan umum/kriminal. 108

130 5) TNI Angkatan Laut TNI AL mempunyai wewenang menjaga pertahanan dan keamanan laut termasuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran perikanan di laut. (4) Sumberdaya manusia Jumlah pegawai PPN Palabuhanratu saat ini sebanyak 69 orang yang terdiri dari 57 orang PNS dan 12 orang pegawai honorer. Secara terperinci komposisi pegawai PPN Palabuhanratu disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan Satuan : orang Unit kerja PENDIDIKAN S2 S1 D4 D3 SLTA SLTP SD TSD Jumlah Kepala pelabuhan Subbag. Tata Usaha Seksi Tata Pelayanan Seksi Tata Pengusahaan Honorer Jumlah Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005 Keterangan : TSD = Tidak Tamat SD (5) Standard operational procedure (SOP) Beberapa SOP yang telah dipersiapkan oleh PPN Palabuhanratu antara lain adalah: operasional pelelangan ikan, operasional bengkel, operasional alat berat, operasional tambat labuh, operasional K3 (kebersihan, keindahan dan ketertiban), operasional sewa tanah, gedung bangunan, operasional instalasi air bersih, instalasi BBM, aliran dari barang (flow of goods), aliran orang (flow of person) dan tata tertib lainnya seperti keluar masuk kapal. 5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu (1) Sumberdaya ikan Menurut Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (2005), bahwa kelompok ikan pelagis besar di perairan Samudera Hindia (WPP 9) masih besar peluang untuk dimanfaatkan, 109

131 karena baru dimanfaatkan sebesar ton atau 51,41% dari potensi sebesar ton/tahun. Begitu juga untuk kelompok ikan pelagis kecil baru dimanfaatkan sebesar ton atau 50,44% dari potensi sebesar ton/tahun. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan didaratkan di PPN Palabuhanratu adalah tuna, cakalang, tenggiri, layaran, tongkol, jangilus, namun jenis ikan yang merupakan komoditas ekspor adalah ikan tuna dan cakalang, serta ikan layur yaitu jenis ikan demersal. Dalam kaitan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pemanfaatan sumberdaya ikan diarahkan untuk memanfaatkan kelompok SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Pendaratan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005 tercatat sebanyak 67% terdiri dari jenis ikan pelagis besar, 8% jenis ikan pelagis kecil, 21% jenis ikan demersal dan 4% jenis ikan lainnya dari produksi sebesar ton. Sehingga arah ke depan dalam pemanfaatan SDI untuk jenis-jenis ikan, sama dengan kondisi saat ini, yakni lebih mengutamakan untuk memanfaatkan jenis ikan pelagis besar. Jenis-jenis ikan utama yang akan dimanfaatkan adalah tuna albacora, tuna big eye, tuna yellowfin, cakalang, tongkol, layur. Unit penangkapan ikan yang prospek untuk dikembangkan adalah unit penangkapan ikan tuna longline, hal ini sesuai dengan hasil kajian PPN Palabuhanratu (2006) bahwa longline adalah unit alat penangkapan ikan yang paling produktif. Unit penangkapan ikan tuna longline sejak tahun 2003 telah dimulai penggunaannya di PPN Palabuhanratu bersamaan dengan adanya kolam II yang dapat mengakomodir kapal-kapal tuna longline berukuran GT. Adapun produksi ikan tuna hasil tangkapan longline dan frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan tuna periode tahun seperti Tabel 24. Berdasarkan Tabel 24, bahwa dalam kurun waktu tahun , jumlah produksi tuna tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar kg dan produksi terendah terjadi pada tahun 2003 yang disebabkan oleh pertama kalinya kapal tuna longline mendarat di PPN Palabuhanratu. Ikan tuna yang paling banyak didaratkan di PPN Palabuhanratu berdasarkan jenis pada tahun 2006 adalah tuna yellow fin. Menurut Fuji Kizae (1960) yang diacu oleh Nurani et al. (2007) bahwa 110

132 fishing ground tuna untuk bigeye, yellowfin, albacore, swordfish, dan sedikit jenis sailfish dan southern bluefin berada di Samudera Hindia. Tabel 24 Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun Tahun Frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan (kali) Produksi (kg) CPUE , , , ,78 Rata-rata , ,29 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Adapun perkembangan upaya penangkapan (CPUE) tuna longliner seperti pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006, secara umum grafik CPUE menunjukkan kenaikan, walaupun pada tahun 2004 terjadi penurunan yang disebabkan oleh berkurangnya musim ikan tuna di Samudera Hindia. Kenaikan CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006 disebabkan oleh musim ikan tuna di Samudera Hindia Nilai CPUE Tahun Gambar 12 CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun

133 Adanya kenaikan nilai CPUE untuk unit tuna longline mengindikasikan bahwa unit alat tangkap tuna longline masih berpeluang untuk dikembangkan guna mendukung arah pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Daerah penangkapan ikan nelayan Palabuhanratu Kapal-kapal nelayan dari Palabuhanratu menangkap ikan di WPP 9 (Samudera Hindia), namun demikian tidak semua WPP 9 dijadikan daerah penangkapan ikan karena perairan WPP 9 sangat luas yang membentang dari perairan laut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sampai ke perairan laut Nusa Tenggara Timur. Jauhnya daerah penangkapan ikan yang ditempuh tergantung antara lain pada ukuran kapal dan kapasitas mesin kapal yang dimiliki nelayan (Tabel 25). Daerah penangkapan ikan untuk kapal perahu motor tempel (< 5 GT) yang menggunakan jenis alat tangkap payang, pancing ulur, rampus, jaring klitik dan trammel net, berada di Teluk Palabuhanratu (jalur penangkapan ikan I sepanjang 0-3 mil laut) yang jarak operasinya sekitar 2 jam. Kapal-kapal ini dalam operasi umumnya tidak membawa es karena lamanya operasi penangkapan hanya satu hari (one day fishing). Hasil tangkapan ikan ditempatkan di dalam box styrofoam. Jenis-jenis ikan yang tertangkap khususnya oleh kapal yang menggunakan alat tangkap payang adalah ikan cakalang, pepetek dan ikan pelagis kecil lainnya. Pancing ulur biasanya bergabung dengan alat tangkap jaring. Jenis ikan yang tertangkap lebih dominan adalah ikan layur. Kapal dengan alat tangkap trammel net memiliki daerah penangkapan di muara sungai untuk menangkap udang. Daerah penangkapan ikan untuk kapal motor <10 GT yang menggunakan jaring purse seine, bagan, gillnet, pancing ulur dan rawai memiliki daerah penangkapan di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun dan Ujung Kulon yang berjarak sekitar 2-4 jam (jalur penangkapan ikan I sepanjang 3-6 mil laut dan jalur penangkapan ikan II, sepanjang >6 mil laut). Jenis-jenis ikan yang tertangkap, khusus untuk purse seine adalah ikan cakalang dan ikan pelagis kecil lainnya. Bagan apung tersebar di dalam teluk, jenis ikan yang tertangkap oleh bagan adalah jenis ikan-ikan pelagis kecil. Bagan saat ini menjadi alat yang sangat tidak ramah lingkungan karena menggunakan jaring dengan mata jaring 112

134 yang sangat kecil (< 2 inci) yang mengakibatkan tertangkapnya semua ukuran ikan. Tabel 25 Daerah penangkapan ikan dari kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004 No Jenis/ukuran kapal Jenis alat tangkap Daerah penangkapan ikan 1 Perahu Motor Tempel ( PMT) 2 Kapal Motor (KM) < 10 GT 3 Kapal Motor (KM) GT 4 Kapal Motor (KM) GT Payang Pancing ulur Rampus Jaring klitik Trammel net Purse seine Bagan Gillnet Pancing ulur Rawai Gillnet Rawai Gillnet Rawai Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Teluk Palabuhanratu Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (Perairan Selatan Jawa) Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Sumatera, Jawa Tengah Sumatera Sumatera, Jawa Tengah Sumatera 5 Gillnet Sumatera, Jawa Tengah Kapal Motor Rawai Sumatera, Jawa Tengah (KM) Tuna long Samudra Hindia > 30 GT line Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Kapal motor yang berukuran 11 - >30 GT (jalur penangkapan ikan II sepanjang >6-12 mil laut dan jalur penangkapan ikan III sepanjang > mil laut) dengan alat tangkap gillnet dan rawai memiliki daerah penangkapan sampai ke daerah Sumatera, Samudera Hindia dan Jawa Tengah, bahkan kadang-kadang menangkap ikan sampai ke perairan Pulau Christmas (Australia). Jarak tempuh ke daerah penangkapan sekitar 2-4 hari perjalanan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di daerah tersebut adalah ikan cakalang, tuna, marlin, pari, cucut dan layaran. Kapal motor berukuran 11- >30 GT umumnya telah memiliki dokumen kapal yang cukup lengkap, namun banyak kapal-kapal ini tidak memiliki kompas dan 113

135 peta laut sehingga seringkali menangkap ikan pada wilayah negara lain seperti Australia. Permasalahan yang muncul didalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah tidak ditaatinya ketentuan jalur penangkapan ikan menurut SK Menteri Pertanian No.392/kpts/IK.120/4/99 sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan gillnet, payang dengan nelayan longline. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diperoleh informasi bahwa pada tahun 2006 terjadi konflik antara nelayan gillnet dengan nelayan yang memanfaatkan rumpon, namun telah dapat diredam konflik tersebut dengan cara mengajak semua nelayan untuk memanfaatkan rumpon berdasarkan tata tertib yang disepakati. Permasalahan lain adalah belum tertibnya kapal-kapal dari luar Palabuhanratu mengurus surat ijin andon kapal dari Dinas Perikanan setempat sehingga hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu Terdapat beberapa indikasi bahwa PPN Palabuhanratu perlu untuk dikembangkan yakni berdasarkan lokasi sektor basis (LQ) yang memiliki komoditas untuk dapat diekspor seperti ikan tuna, indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam pelabuhan. Kemudian perlu ditentukan solusi permasalahan pengembangan PPN Palabuhanratu dan jenis-jenis fasilitas yang diperlukan, kekuatan persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan pelabuhan perikanan lain di WPP 9 Samudera Hindia. (1) Kapal perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003), bahwa terdapat 13 propinsi yang menghadap WPP 9 Samudera Hindia, yakni: Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Selanjutnya didalam 13 provinsi tersebut ada sebanyak 65 kabupaten, dan 216 pelabuhan perikanan yang mempunyai kontribusi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan WPP 9 termasuk kapal-kapal dari DKI Jakarta, disamping itu juga menurut informasi beberapa nelayan yang diperoleh dari 114

136 wawancara menyatakan bahwa terdapat kapal-kapal nelayan negara asing yang ikut memanfaatkan secara ilegal penangkapan ikan. Jumlah kapal dari 13 provinsi yang memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia seperti Tabel 26. Tabel 26 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia, 2004 Satuan: unit No Perairan Pantai 1 Barat Sumatera NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Lampung 2 Selatan Jawa Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur 3 Bali-Nusatenggara Bali Nusa Teng.Barat Nusa Teng.Timur Kapal ukuran GT Kapal ukuran 100->1000 GT Jumlah kapal provinsi semua ukuran DKI Jakarta Jumlah Sumber: Ditjen. Perikanan Tangkap, Jumlah kapal yang memanfaatkan SDI di WPP 9 tahun 2004 sebanyak unit, yakni tersebar di Pantai Barat Sumatera sebanyak unit dan 93 unit diantaranya berukuran GT dan 9 unit berukuran GT, di Selatan Jawa sebanyak unit diantaranya berukuran GT sebanyak 59 unit dan berukuran GT sebanyak 29 unit, di perairan Bali-Nusa Tenggara sebanyak unit, diantaranya berukuran GT sebanyak

137 unit dan berukuran GT sebanyak 107 unit, dan dari DKI Jakarta sebanyak unit diantaranya berukuran GT sebanyak 919 unit dan kapal ukuran 100->1000 GT unit. Jumlah kapal berukuran GT dari WPP 9 tersebut yang berpeluang mendarat di PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan tersebut sebanyak unit (Gambar 13). Menurut Triatmojo (1996) menyebutkan bahwa kapal sebagai sarana pelayaran mempunyai peran sangat penting didalam sistem angkutan laut. (2) Pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.11/ Men/ 2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan, menetapkan lokasi pelabuhan pangkalan bagi kapal yang daerah penangkapannya di WPP 9 Samudera Hindia, adalah: Pelabuhan Perikanan Sabang-NAD, PPN Sibolga-Sumatera Utara, PPP Pulau Tello-Sumatera Utara, PPS Bungus-Sumatera Barat, PPI Pulai Baai- Bengkulu, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPN Palabuhanratu-Jawa Barat, PPS Cilacap-Jawa Tengah, PPI Sadeng-Yogyakarta, PPI Muncar-Jawa Timur, PPN Prigi-Jawa Timur, PPI Pengambengan-Bali dan Pelabuhan Umum di Benoa-Bali. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pesaing bagi PPN Palabuhanratu yang dikembangkan. Namun dari 12 pelabuhan perikanan tersebut yang dapat didarati oleh kapal >30 GT dan merupakan pesaing bagi PPN Palabuhanratu adalah PP Sabang, PPS Bungus, PPP Pulau Tello, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPS Cilacap, dan Pelabuhan Umum Benoa, atau dua diantaranya berada di Selatan Jawa yaitu PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Jumlah PP/PPI yang merupakan basis kapal-kapal penangkapan ikan terdapat 216 unit (Gambar 14) yang menghadap Samudera Hindia, maka Jawa Timur memiliki jumlah PPI/PP yang paling banyak, yakni 24 PPI/PP (11,11%), Jawa Barat 23 PPI/PP (10,65%), Jawa Tengah memiliki 22 PPI/PP (10,18%), dan NTB memiliki 21 PPI/PP (9,7%). Menurut Pane et al. (2005), bahwa aktivitas perikanan tangkap pulau Jawa terkonsenterasi di wilayah Pantai Utara Jawa dan selebihnya di Pantai Selatan Jawa, sehingga perlu ada upaya untuk menyeimbangkan aktivitas perikanan antara lain dengan mengembangkan perikanan dan pelabuhan perikanan di Selatan Jawa. 116

138 U A B Jml 0 0 U A B Jml 83 9 U A B Jml 0 0 U A B Jml 10 0 U A B Jml 0 0 W N E S 5 10 Sabang Sibolga Keterangan : U : Ukuran kapal A : GT : UNIT B : > 100 GT : UNIT TOTAL : UNIT P.Tello Bungus 0 5 P.Baai Jakarta U Jml 5 10 P. Ratu Cilacap Prigi Benoa Kupang A B U Jml U Jml U Jml U Jml U Jml U Jml U Jml U Jml 15 A 0 A 919 A 6 A 48 A 2 A 3 A 157 A 9 20 B 0 B B 5 B 24 B 0 B 0 B 107 B Gambar 13 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2006). 117

139 P A Jml 0 P A Jml 0 P A Jml 1 P A Jml 0 P A Jml 0 N B C D 0 B 1 C 24 D Sabang P.Tello 1 B 1 C 2 D Sibolga Bungus B C D B C D W S Keterangan : P : Jenis Pelabuhan A : PPS : 3 B : PPN : 3 C : PPP : 3 D : PPI : 207 TOTAL : 216 PP PP DIDARATI KAPAL >30 GT : 11 PP E P.Baai Jakarta P Jml P Jml P P. Ratu Cilacap Prigi Jml P Jml Benoa P Jml P Kupang Jml P Jml P Jml P Jml 10 A 0 A 1 A 0 A 1 A 0 A 0 A 0 A 0 A B C D B C D B C D B C D B C D B C D B C D B C D B C D Gambar 14 Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006). 118

140 (3) Pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu Adapun hubungan PPN Palabuhanratu dengan fishing ground dijelaskan sebagai berikut (Gambar 15): PPN Palabuhanratu Cilacap, Jakarta, Binuangeun, P.Baai, Ujung Genteng, Lempasing Fishing ground di WPP 9 Samudera Hindia 3 Gambar 15 Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground. Keterangan gambar: Kapal menuju fishing ground Kapal menjual ikan = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground (WPP 9 ), mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan ikan di tempat lain. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut mendarat di PPN Palabuhanratu. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di pelabuhan perikanan atau PPI asal kapal atau pelabuhan perikanan lainnya atau di tengah laut. = Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di PPN Palabuhanratu. 119

141 1) Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu. Kapal-kapal jenis motor tempel berukuran <5 GT dengan alat tangkap bagan, payang, pancing ulur, jaring rampus, jaring klitik, dan jaring dogol yang berjumlah 266 unit (tahun 2004) melakukan operasi penangkapan ikan harian (one day fishing) hanya di sekitar perairan pantai Sukabumi/Teluk Palabuhanratu dengan lama tempuh dari PPN Palabuhanratu ke daerah penangkapan ikan antara 1 2 jam. Musim penangkapan ikan untuk alat-alat tersebut tergantung kepada banyaknya keberadaan ikan di laut, dan kondisi gelombang, ombak dan angin. Walaupun musim barat, ternyata kapal-kapal ukuran kecil ini banyak juga melakukan operasi penangkapan ikan, mungkin mereka sudah terbiasa dengan kondisi musim barat. Jumlah nelayan per unit penangkapan ikan antara 1 3 orang. Mereka melaut membawa es setengah balok yang dimasukkan ke dalam box styrofoam. BBM yang digunakan adalah bensin dan minyak tanah yang mudah diperoleh di pelabuhan. Jenis ikan yang didaratkan berupa ikan layur, kakap merah, kerapu, baronang, kuwe, udang, lobster, cumi-cumi, teri, selayang dan kembung. Karena operasi penangkapannya one day fishing, maka ikan yang didaratkan masih segar dan disukai oleh sea food restaurant. Produksi ikan yang didaratkan oleh perahu motor tempel ini pada tahun 2004 sebanyak kg atau 40,92% dari jumlah produksinya sebesar kg, Pasarnya cukup bagus dan banyak penampungnya di PPN Palabuhanratu, maka mereka tidak pernah menjual hasil tangkapannya ke tempat pendaratan ikan lain atau menjualnya di tengah laut. Selain alasan itu, umumnya nelayan kecil ini sudah terikat kepada pemodal/tengkulak/rentenir dalam menjual hasil tangkapan ikannya. Dengan terikatnya nelayan kepada tengkulak, maka sistem pelelangan ikan tidak berfungsi sehingga gedung pelelangan ikan tidak berfungsi optimal. Akibat keterikatan nelayan kepada tengkulak, maka nelayan tidak memperoleh harga jual ikan yang normal. Sampai saat ini belum ada satu lembaga atau aturan pun yang dapat membantu melepaskan keterikatan nelayan terhadap tengkulak, walaupun sudah ada 120

142 upaya pemerintah memberikan jaminan kredit kepada nelayan melalui perbankan. 2) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan lain Kapal motor berukuran 5-10 GT dengan alat tangkap purse seine, gill net dan rawai melakukan operasi penangkapan ikan dengan lama operasi sekitar seminggu di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun, dan Ujung Kulon. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan sekitar 3 5 jam. Jumlah ABK sebanyak 4 10 orang. Sewaktu ke laut mereka mengisi BBM solar sekitar 600 liter, air bersih sebanyak 100 liter, dan es sebanyak 20 balok. Semua kebutuhan melaut mereka peroleh di pelabuhan. Frekuensi keluar kapal motor berukuran 5-10 GT pada tahun 2004 tercatat untuk unit penangkapan purse seine sebanyak 1119 kali atau rata-rata sebulan sebanyak 93 kali, unit alat tangkap gillnet sebanyak 483 kali atau rata-rata sebulan sebanyak 40 kali dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 1017 setahun atau rata-rata sebulan sebanyak 85 kali. Frekuensi kapal masuk untuk kapal ukuran 5-10 GT pada tahun 2004 sebanyak 187 kali untuk jenis unit alat tangkap purse seine atau rata-rata 16 kali sebulan, sedikitnya unit alat tangkap purse seine masuk kembali ke Palabuhanratu disebabkan antara lain banyaknya kapal purse seine mendarat di tempat lain misalnya di Sibolga karena kapal purse seine melakukan penangkapan ikan pada fishing ground yang dekat dengan Sibolga. Unit alat tangkap gillnet sebanyak 1603 kali atau 134 kali sebulan dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 355 kali setahun atau atau rata-rata 30 kali sebulan. Setelah mereka memperoleh hasil tangkapan berupa ikan tuna, cakalang, tongkol, layur dan jenis ikan pelagis lainnya, maka sebagian didaratkan di PPN Palabuhanratu dan ada sebagian menjual/mendaratkan hasil tangkapan ikan ke tempat pendaratan lain seperti di daerah Binuangeun atau ke Ujung Genteng. Umumnya kapal dari Palabuhanratu yang mendaratkan hasil tangkapan ke daerah lain dengan alasan harga dan layanan di TPI di luar Palabuhanratu lebih baik. 121

143 Kapal motor ukuran GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan purse seine mengisi perbekalan melaut berupa solar, es, air bersih dan makanan di PPN Palabuhanratu. Setelah melakukan operasi penangkapan ikan selama 7 14 hari, hasil tangkapannya didaratkan di PPI Binuangeun (Banten) atau PPI Pulau Baai (Bengkulu) atau PPI Lempasing (Lampung). Jumlah kapal ukuran GT yang melakukan kegiatan seperti ini berjumlah 5 unit kapal. Kegiatannya tidak berlangsung lama, hanya sewaktu-waktu saja tergantung pada harga ikan. Apabila harga ikan lebih baik di luar PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal tersebut akan mendaratkan hasil tangkapannya ke pelabuhan di luar PPN Palabuhanratu. 3) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di tengah laut. Menurut informasi dari beberapa orang nelayan bahwa kapal-kapal ukuran GT dijalankan oleh ABK yang ditunjuk oleh pemilik kapal (juragan), dari PPN Palabuhanratu kapal tersebut berangkat ke fishing ground, hasil tangkapannya dijual kepada kapal-kapal lain di tengah laut tanpa sepengetahuan pemilik kapal. Jumlah kapal seperti ini sedikit sekali (5 unit kapal). Kegiatan ini terjadi karena ABK yang menjalankan kapal tersebut ingin mendapatkan penghasilan lebih, akibatnya pemilik kapal sangat dirugikan. Kapal motor berukuran GT dengan alat tangkap gillnet dan rawai dengan lama operasi sampai 3 minggu mempunyai daerah pangkapan ikan di perairan Lampung, Bengkulu, Jawa Barat Bagian Selatan dan Jawa Tengah bagian Selatan. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan antara 2-4 hari. Jumlah ABK sebanyak 5-6 orang. Semua kebutuhan BBM, air bersih dan es diperoleh di PPN Palabuhanratu. Sebagian kapal jenis ini setelah melakukan operasi penangkapan akan mendaratkan hasil tangkapannya berupa ikan tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, layur, cucut dan jenis ikan pelagis lainnya di PPI lain seperti di Lampung dan Bengkulu, atau ke Binuangeun. Sebagian lagi mendaratkan hasil tangkapan ikannya ke PPN Palabuhanratu. Mutu ikan yang didaratkan umumnya sudah menurun, dikarenakan tidak sempurnanya palkah kapal dan buruknya penanganan ikan pasca 122

144 penangkapan. Frekuensi kapal keluar pada tahun 2004 untuk ukuran kapal GT dengan alat tangkap gillnet sebanyak 147 kali dan rawai sebanyak 9 kali. Frekuensi kapal masuk pada tahun 2004 untuk ukuran GT sebanyak 200 kali, rawai sebanyak 54 kali. 4) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di PPN Palabuhanratu atau pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan lainnya atau di tengah laut. Kapal berukuran GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan long line dengan lama operasi 2 sampai 3 bulan melakukan penangkapan ikan ke Perairan Pantai Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan selama 4-5 hari. Frekuensi kapal masuk selama tahun 2004 rata-rata 27 kali per bulan (Lampiran 5) dan keluar sebanyak 24 kali per bulan (Lampiran 6). Semua kapal jenis ini sudah memiliki kelompok tangkapan, yakni mereka sudah memiliki kapal khusus untuk mengumpulkan hasil tangkapan ikan. Kapal-kapal tangkapan akan berkomunikasi melalui radio SSB dengan kapal pengumpul setelah hasil tangkapannya diperoleh, kemudian kapal pengumpul membawanya ke PPN Palabuhanratu. Semua hasil tangkapan yang dikumpulkan tersebut sudah didata oleh kapal pengumpul untuk disampaikan kepada petugas produksi/statistik di PPN Palabuhanratu terutama dalam pengisian log book. Terdapat juga sebagian kecil atau sekitar 10% kapal jenis ini setelah menangkap ikan, hasil tangkapannya dibawa ke pelabuhan lain seperti ke PPS Nizam Zachman atau ke PPS Cilacap. 5) Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu Selama ini banyak kapal andon dari luar Palabuhanratu setelah melakukan penangkapan ikan di tengah laut kemudian kapal tersebut mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu. Ukuran kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan di tengah laut adalah >10 GT. Akhirakhir ini banyak sekali kapal-kapal melakukan kerja sama dalam satu kelompok untuk meningkatkan pendapatan kelompok usaha penangkapan 123

145 tersebut, sebagai contoh setiap 10 kapal longline yang sedang melakukan operasi penangkapan di tengah laut, hasilnya langsung dikumpulkan dalam satu kapal angkut untuk didaratkan atau dijual di PPN Palabuhanratu. Dari uraian di atas, maka sistem pendaratan ikan dari kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu beragam, tidak semua data hasil tangkapan kapalkapal PPN Palabuhanratu tercatat, hal ini berkaitan dengan semakin luasnya wilayah foreland dan kapal-kapal dari PPN Palabuhanratu memiliki daerah penangkapan yang semakin jauh ke laut bebas. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Lubis (2002), yang menyatakan bahwa hubungan pelabuhan perikanan dengan foreland ditandai dengan aktivitas kapal yang melalukan operasi penangkapan di daerah fishing ground kemudian setelah memperoleh hasil maka kapal-kapal tersebut bisa saja kembali ke pangkalan atau mendarat ke tempat pendaratan lainnya. Dari kelima pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground, maka yang paling banyak terjadi saat ini adalah bentuk pergerakan kapal pertama, yakni kapal dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan hasilnya di PPN Palabuhanratu yang diperkirakan pada tahun 2005 sebanyak 608 unit kapal atau 90%, sisanya sebanyak 10% atau 68 unit kapal bergerak dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan ikan di tempat lain atau menjualkan ikan atau transhipment di tengah laut. Selanjutnya dari pergerakan kapal tersebut diatas, ada beberapa hal yang kemungkinan dapat menimbulkan masalah yakni : 1) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di tempat lain menyebabkan terganggunya operasional pelabuhan, karena produksinya tidak tercatat di Palabuhanratu dan mengurangi pendapatan pelabuhan dan pendapatan masyarakat pemasar ikan. Kondisi tersebut terjadi karena adanya selisih harga antara PPN Palabuhanratu yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di tempat lain, atau kondisi keamanan, ketertiban di tempat lain jauh lebih kondusif dibandingkan dengan di PPN Palabuhanratu. Untuk mencegah hal tersebut 124

146 tidak terjadi, maka PPN Palabuhanratu selain mempersiapkan fasilitas juga melakukan pelayanan prima terhadap aktivitas-aktivitas perikanan. 2) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut, kemudian mendaratkan kapalnya di PPN Palabuhanratu, juga akan mempengaruhi operasional pelabuhan. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan pengawasan oleh aparat pengawas. Kondisi yang diharapkan adalah kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu atau kapal-kapal yang berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikannya di PPN Palabuhanratu. (4) Lokasi PPN Palabuhanratu sebagai sektor basis Berdasarkan data PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun adalah sebesar Rp ,94 juta (Lampiran 7), PDRB seluruh sektor dalam Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun sebesar Rp ,51 juta (Lampiran 8), PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata selama tahun sebesar Rp ,03 juta (Lampiran 9) dan PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun sebesar Rp ,60 juta (Lampiran 10), maka diperoleh nilai LQ sebagai berikut : ,44 LQ = , ,03 =1, ,60 LQ = 1,69 LQ>1, artinya bahwa sub sektor perikanan di Kabupaten Sukabumi adalah sektor basis. Sukabumi sebagai sektor basis akan menghasilkan produk yang dapat di ekspor berupa ikan. Sektor basis ini apabila berkembang akan mempengaruhi sektor non basis seperti kegiatan pelayanan jasa tenaga kerja dan sebagainya. Sehingga arah pengembangan PPN Palabuhanratu dalam kaitannya 125

147 sebagai lokasi sektor basis adalah bahwa PPN Palabuhanratu sebagai sentra produksi ikan terutama ikan komoditas untuk ekspor seperti tuna. (5) Indeks relatif nilai produksi (I) Kualitas pemasaran ikan dari ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ditentukan dengan menggunakan Indeks Relatif Nilai Produksi (I). Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2000 sebesar kg dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000 sebesar kg dan Rp (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: I = = 0, Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2001 sebesar kg dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2001 sebesar kg dan Rp (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: I = = 0, Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2002 sebesar kg dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2002 sebesar kg dan Rp (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: I = = 0,

148 Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2003 sebesar kg dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2003 sebesar kg dan Rp (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: I = = 0, Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004 sebesar kg dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2004 sebesar ton dan Rp (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: I = = 0, Berdasarkan produksi ikan dan nilai rata-rata produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun sebesar ton dan Rp (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut rata-rata di Kabupaten Sukabumi periode tahun sebesar 6.330,89 ton (Lampiran 12) dan produksi (I) rata-rata sebagai berikut: I = = 0, , ,89 Jika dilihat indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu (I) selama periode tahun , maka diperoleh perkembangan indeks relatif nilai produksinya seperti pada Tabel

149 Tabel 27 Nilai indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu periode tahun Tahun Indeks relatif nilai produksi (I) , , , , ,99 Rata-rata 0,67 Keterangan Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa indeks relatif nilai produksi dari tahun ke tahun terjadi peningkatan bahkan pada tahun 2004 nilainya hampir mendekati angka 1, artinya bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu selalu mengalami perbaikan kualitas setiap tahun. Sehingga berdasarkan indeks relatif nilai produksi tersebut, maka arah pengembangan PPN Palabuhanratu adalah melakukan upaya agar mutu produk ikan dapat dipertahankan mulai dari penangkapan ikan di laut, penanganan ikan di atas kapal sampai ke pelabuhan dan persiapan distribusinya. Kemudian mekanisme pemasaran ikan melalui mekanime pelelangan ikan agar dibenahi terutama tentang manajemen pengelolaan pelelangan ikan dan bakul. Dengan cara mempertahankan mutu dan pelaksanaan penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan ikan maka harga atau nilai ikan akan semakin besar dan pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nelayan. (6) Kapasitas kolam pelabuhan PPN Palabuhanratu saat ini memiliki 2 kolam. Fungsi kolam PPN Palabuhanratu saat ini selain untuk tempat berlabuh, juga sebagai tempat istirahat dan seringkali juga untuk tempat perbaikan ringan kapal. Kondisi kolam sangat tenang karena kolam terlindung oleh dermaga dan breakwater. Tinggi maksimum gelombang di kolam sekitar 50 cm terjadi pada saat musim barat. Kolam juga 128

150 relatif aman terhadap pengaruh sedimentasi karena kuantitas sedimen yang masuk ke kolam relatif sedikit. Tabel 28 Kondisi kolam PPN Palabuhanratu tahun 2007 Kolam I II Luas (ha) 3 2 Kedalaman (m) 1,2, dan 3 4 Kapasitas (unit) Jlh kapal (unit) di kolam bln Maret Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Keterangan Penuh Lebih dari setengah kolam digunakan Kolam I memiliki luas 3 ha dengan kedalaman 1,5 m, 2 m dan 3 m. Kolam I dipenuhi oleh kapal-kapal berukuran <30 GT. Pada saat musim barat yang terjadi pada bulan Maret 2007, di kolam I terdapat 334 unit kapal (terdiri dari 215 unit kapal ukuran <5 GT dan 119 unit kapal ukuran 5-30 GT) dan di kolam II sebanyak 24 unit kapal (ukuran kapal GT). Kondisi kolam II cukup tenang dengan luas kolam 2 ha dan kedalaman kolam 4 m, berkapasitas 40 kapal yang berukuran GT. Penuhnya kolam disebabkan oleh banyaknya kapal yang tidak melaut akibat biaya operasional semakin tinggi dan kurang lamanya musim ikan atau kondisi kapal sedang docking atau rusak atau sedang diservis atau sedang musim barat. Sehingga arah pengembangan kolam sebaiknya diperluas Tabel 29 Kondisi jumlah kapal di kolam tahun 2005 Jenis kapal Perahu motor tempel KM GT KM GT KM GT Jumlah Rata-rata keluar (kali)/hari 60,1 19,7 1,1 0,3 81,2 Rata-rata masuk (kali)/hari 60,3 19,8 1,1 0,3 81,5 Sumber: Diolah dari data statistik PPN Palabuhanratu tahun Jumlah kapal di kolam yang sedang docking/ rusak/ servis(unit) tahun

151 (7) Persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan 6 unit pelabuhan perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia Berdasarkan metode skalogram, maka diperoleh nilai indeks hierarki (I i ) berdasarkan fasilitas, pendidikan sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal dari 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia seperti pada Tabel 30, 31, 32, 33 dan 34. Tabel 30 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis Fasilitas Index A Index B PPS Jakarta 58 93,1 12,723 PPN Palabuhanratu - Jabar 54 88,9 11,897 PPS Bungus- Sumbar 47 77,1 10,376 PPS Cilacap - Jateng 47 63,3 10,100 PPN Prigi - Jatim 39 53,9 8,472 PPN Sibolga - Sumut 32 43,7 6,890 Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot fasilitas. Berdasarkan Tabel 30 bahwa nilai indeks hierarki untuk persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas ternyata PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis fasilitas dengan nilai 58 maupun dari segi kelangkaan dengan nilai 93,1 dan dari segi bobot fasilitas dengan nilai 12,7. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas seperti pada Lampiran 16. Hasil persaingan pendidikan sumberdaya manusia berdasarkan strata pelabuhan seperti pada Tabel 31. Berdasarkan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 7, bobot kelangkaan dengan nilai 10,2 dan bobot SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 2,4. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan seperti pada Lampiran

152 Tabel 31 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (starata) sumberdaya pengelola pelabuhan tahun 2005 Pelabuhan Perikanan Jumlah Jenis Pendidikan SDM Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,4 PPS Jakarta 6 7,4 2,1 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 2,1 PPS Bungus- Sumbar 5 5,9 1,8 PPN Prigi - Jatim 5 5,9 1,6 PPN Sibolga - Sumut 4 6,2 1,4 Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis pendidikan SDM. Berdasarkan jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di pelabuhan (Tabel 32), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis ikan yang didaratkan dengan nilai 34, bobot kelangkaan dengan nilai 94,4 dan bobot jenis ikan dengan nilai 7,3. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis ikan ekonomis penting seperti pada Lampiran 18. Tabel 32 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 34 94,4 7,3 PPS Cilacap Jateng 28 73,4 6,1 PPN Prigi Jatim 18 33,9 3,9 PPS Jakarta 15 22,9 3,3 PPN Sibolga Sumut 9 13,4 2,0 PPS Bungus- Sumbar ,3 Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis ikan. 131

153 Tabel 33 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis alat penangkapan ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 11 32,6 2,760 PPS Jakarta 7 24,6 1,943 PPN Prigi - Jatim 7 19,4 1,864 PPN Sibolga - Sumut 5 10,4 1,226 PPS Bungus- Sumbar 3 3,6 0,706 PPS Cilacap - Jateng 3 5,4 0,723 Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot jenis alat penangkapan ikan Berdasarkan jenis alat penangkapan ikan di pelabuhan (Tabel 33), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 11, bobot kelangkaan dengan nilai 32,6 dan bobot jenis alat tangkap dengan nilai 2,76. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan seperti pada Lampiran 19. Tabel 34 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal (GT) tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ukuran kapal Index A Index B PPS Jakarta 7 13,4 2,107 PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,057 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 1,707 PPS Bungus- Sumbar 5 5,4 1,387 PPN Sibolga - Sumut 5 5,4 1,387 PPN Prigi - Jatim 4 6 1,152 Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis kapal. Berdasarkan ukuran kapal di pelabuhan (Tabel 34), bahwa PPS Jakarta dan PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 4 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 7, PPS Jakarta 132

154 dengan bobot kelangkaan sebesar 13,4 dan bobot ukuran kapal dengan nilai 2,107. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan ukuran kapal seperti pada Lampiran 20. Berdasarkan perhitungan di atas, maka secara keseluruhan hasil perhitungan persaingan seperti Tabel 35. Tabel 35 Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005 Pelabuhan Perikanan Jenis persaingan Fasilitas SDM Ikan Alat tangkap Kapal A B C A B C A B C A B C A B C PPN Palabuhanratu PPS Jakarta PPS Cilacap PPN Prigi PPS Bungus PPN Sibolga Keterangan : A = jenis. B = bobot kelangkaan. C = bobot jenis. Persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia diperoleh hasil bahwa PPN Palabuhanratu unggul dari segi jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan, jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan dan jenis alat penangkapan ikan. PPS Jakarta unggul dari segi jenis fasilitas dan jenis kapal Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu Luasnya daerah distribusi sangat tergantung kepada teknik pengolahan, pengaturan sarana transportasi, konsentrasi konsumen dan kebiasaan makan konsumen (Lubis, 2002). (1) Daerah distribusi berdasarkan pada teknik pengolahan Di PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan ikan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pindang, pengasinan, terasi, kerupuk kulit ikan. Terdapat pula produk olahan lain seperti bakso ikan, fish nugget dan abon ikan. Ikan-ikan segar yang dikumpulkan oleh pengusaha cold storage selanjutnya dilakukan processing-nya kemudian diekspor ke negara lain 133

155 melalui Jakarta. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas hanya di dalam negeri, dengan daerah pendistribusian ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi. Ikan-ikan segar seperti tuna dan layur diekspor ke Jepang dan Korea. Arah tehnik pengolahan ikan lebih mengutamakan mutu sehingga program cold chain system harus dijalankan terutama untuk ikan-ikan segar yang akan diekspor ataupun untuk konsumsi lokal. Menurut Hanafiah (1983) bahwa cold chain system mencakup penggunaan metode-metode icing, chiling dan freezing pada hasil perikanan selama proses-proses pengangkutan, penyimpanan dan penjualan sehingga kesegaran dari hasil perikanan tersebut dapat dipertahankan. Peranan pelabuhan didalam penyiapan cold chain system adalah melengkapi kapasitas pabrik es, menyiapkan atau memfasilitasi adanya cool room dan mobil truck freezer. Daerah distribusi ikan mencapai negara Jepang atau Korea bahkan sampai ke pasar Uni Eropa atau Amerika untuk produk ikan segar terutama ikan tuna. Diupayakan pula peningkatan teknik pengolahan tradisional dan diversifikasi hasil olahan terutama dalam menjaga hygienitas produk. Diharapkan dalam jangka pendek daerah distribusi ikan dari Palabuhanratu tidak akan mengalami perubahan karena melemahnya kondisi perekonomian dalam negeri termasuk sektor perikanan tangkap. (2) Sarana transportasi Sarana transportasi berkaitan dengan masalah pengangkutan. Menurut Hanafiah (1983), bahwa pengangkutan berarti bergeraknya atau pemindahan barang-barang dari tempat produksi dan / atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang-barang tersebut akan dipakai. Pengangkutan dengan bantuan komunikasi akan memperluas daerah pasar dari barang. Pengangkutan hasil-hasil perikanan yang sifatnya cepat dan mudah rusak itu memerlukan kecepatan dan perawatan serta handling tambahan selama di perjalanan. Perkembangan teknologi dibidang pengangkutan darat, laut dan udara telah memberikan sumbangan sangat berarti bagi distribusi hasil perikanan. Pengangkutan tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat dan volume lebih besar. Perkembangan refrigerated transportation telah memungkinkan pengangkutan jarak jauh untuk hasil perikanan. Kondisi sarana transportasi hasil perikanan dari PPN Palabuhanratu ke luar dengan 134

156 menggunakan sarana transportasi darat berupa kendaraan roda empat (mobil pick up), truk cool room, truk freezer dan angkutan kendaraan roda dua untuk jarak yang lebih dekat. Arah pengembangan sarana transportasi adalah menyiapkan sarana transportasi darat yang memenuhi syarat untuk mengangkut hasil perikanan yakni dalam bentuk kendaraan roda empat yang memiliki cool room dan freezer sehingga jangkauan pengangkutan produk semakin luas dan jauh. Selama ini pengangkutan produk melalui udara diangkut dari Palabuhanratu ke pabrik pengepakan ikan di Jakarta kemudian diangkut keluar negeri dengan pesawat udara. Adanya rencana pemerintah provinsi untuk menyiapkan lapangan udara di Palabuhanratu sangat mendukung arah pengembangan transportasi pengangkutan ikan yang lebih cepat dengan volume yang lebih besar dan menerapkan prinsipprinsip cold chain system. Angkutan melalui laut tetap menggunakan pelabuhan umum di Jakarta untuk keperluan ekspor. (3) Konsentrasi dan kebiasaan makan konsumen Semua kegiatan distribusi ditujukan untuk menyediakan kepada konsumen berupa ikan pada waktu, tempat dan dalam waktu yang diinginkan. Menurut Hanafial (1983) bahwa distribusi ikan dilakukan produsen, wholesaler ataupun retailer harus dimulai dengan menganalisa konsumen antara lain berapa jumlah konsumen, tempat tinggal mereka, berapa pendapatan mereka, serta bagaimana penggunaannya, apa kesukaannya bagaimana susunan kebutuhan mereka dan sebagainya. Tingkat konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia tahun 2005 masih rendah yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahum (Barani, 2006), belum sesuai dengan standar FAO sebesar 30 kg/kapita/tahun dan jika dibandingkan dengan negara Jepang yang tingkat konsumsi ikan penduduknya mencapai 150 kg/kapita/tahun, Malaysia 48 kg/kapita/tahun dan Thailand 32,4 kg/kapita/tahun (Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006). Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia disebabkan antara lain adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau memilih ikan sebagai pilihan menu utamanya dan tingkat pendapatan yang belum mampu untuk membeli ikan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan dan kesadaran pentingnya ikan sebagai sumber protein yang rendah kolesterol maka kebutuhan ikan akan semakin meningkat. Dalam hal ini 135

157 diperlukan peranan pelabuhan untuk mendistribusikan ikan bermutu ke daerah konsumen dalam jumlah yang cukup. Distribusi produk perikanan dari Palabuhanratu selama ini terkonsentrasi pada konsumen di daerah Jakarta dan Jawa Barat yang jumlah penduduknya menurut hasil sensus penduduk dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 sekitar 44 juta. Jumlah konsumen akan bertambah banyak akibat dari peningkatan jumlah produksi. Permintaan akan produk perikanan akan bertambah dan semakin berkualitas akibat dari semakin berubahnya selera konsumen akibat bertambahnya pendapatan dan semakin banyaknya tempat-tempat penjualan ikan baik dipasar tradisional maupun di supermarket serta akibat pengaruh melemahnya permintaan akan produk protein dari daging sapi, ayam karena adanya wabah flu burung dan penyakit sapi gila (Direktorat Standardisasi dan Akreditasi, 2005). Tuntutan makanan yang bergizi dan rendah kolesterol banyak terdapat pada produk perikanan sehingga jumlah permintaan ikan akan meningkat. Peranan pelabuhan perikanan terhadap konsentrasi konsumen adalah mempersiapkan produk ikan yang didaratkan dan ikan yang didistribusikan dalam keadaan bermutu baik sehingga pelabuhan perikanan harus mempersiapkan hygienitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan. PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium bina mutu guna dipakai sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar dari PPN Palabuhanratu. (4) Pemasaran ikan di hinterland Pemasaran ikan di hinterland akan dijelaskan mulai dari PPN Palabuhanratu, hinterland primer, hinterland sekunder dan hinterland perpaduan. 1) Pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu Terdapat dua bentuk kegiatan pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu yakni yang mengikuti pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) dan tidak melalui TPI (Gambar 16). Ikan-ikan yang tidak dilelang ada yang berasal dari pendaratan langsung dan ada dari ikan-ikan yang berasal dari luar pelabuhan masuk melalui jalan darat seperti ikan-ikan dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun, Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji. Kondisi ini dikarenakan ikanikan dari daerah tersebut yang masuk ke PPN Palabuhanratu telah 136

158 memperlihatkan surat keterangan asal ikan dan telah membayar retribusi di tempat asal ikan tersebut sehingga di PPN Palabuhanratu tidak membayar retribusi lagi. Ikan-ikan dari luar Palabuhanratu melalui darat terjadi pada saat di Palabuhanratu tidak musim ikan guna memenuhi bahan baku untuk unit pengolahan pindang. Produksi ikan PPN Palabuhanratu Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP Non TPI Non TPI TPI Pengecer Pengolah Agen longline Agen layur Bakul Konsumen lokal Cold storage di Jakarta Cold storage P.Ratu Pengecer Pengolah Pengecer Agen Ikan segar untuk konsumsi lokal Ekspor melalui Jakarta Ke Jepang Ekspor melalui Jakarta Ke Korea Konsumen lokal Konsumen luar Palabuhanratu : Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor Gambar 16 Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun Penjualan ikan melalui pelelangan ikan di TPI harus mengikuti aturan sebagaimana yang diatur oleh Perda Provinsi No 8 dan 9 tahun 2000, antara lain bahwa semua ikan yang didaratkan diharuskan untuk dilelang di TPI, dikecualikan untuk ikan-ikan sebagai lauk-pauk, hasil tangkapan yang diperoleh dari penangkapan yang bertujuan olah raga dan hasil penangkapan untuk kepentingan 137

159 penelitian. Ikan-ikan yang dilelang adalah ikan dengan kategori baik secara organoleptik. Sampai bulan Oktober dalam tahun 2005 tercatat jumlah ikan yang dilelang sebesar kg dengan nilai Rp ,00 (Lampiran 13). Jika dibandingkan dengan produksi ikan PPN Palabuhanratu (Lampiran 14), maka jumlah ikan yang dilelang dalam kurun waktu yang sama hanya 22,76% dari total produksi pelabuhan sebesar kg. Rendahnya produksi ikan yang dilelang penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen KUD sebagai pengelola TPI. Jumlah ikan yang masuk melalui darat sampai bulan Nopember dalam tahun 2005 tercatat sebesar kg atau 75,77% dari produksi ikan yang didaratkan langsung atau 43,11% dari jumlah produksi seluruh pelabuhan sebesar kg. Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Palabuhanratu adalah sebagai berikut: 1) Setelah kapal melaporkan kedatangannya ke petugas pelabuhan, maka kapal akan mendapatkan nomor urut pendaratan di dermaga. 2) Setelah ikan didaratkan di dermaga di depan TPI, pemilik harus melapor kepada petugas TPI. 3) Ikan dicuci dengan air laut, kemudian dipisahkan menurut jenis dan ukuran untuk menentukan harga, dimasukkan kedalam keranjang yang disediakan oleh pengelola TPI. 4) Ikan ditimbang oleh petugas TPI, kemudian ikan yang sudah ditimbang mendapat label/karcis yang berisikan nama pemilik dan nomor urut lelang. 5) Para bakul/pembeli diijinkan untuk melihat ikan-ikan yang akan dilelang. 6) Lelang dilaksanakan secara terbuka dan bebas. Penawaran dimulai dengan harga terendah. Penawaran tertinggi dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menjadi pembeli ikan yang dilelang. Pemenang lelang dicatat dalam karcis lelang. 7) Bakul sebagai pembeli membayar tunai hasil pembeliannya kepada petugas TPI ditambah biaya retribusi lelang 3%. Apabila pembayaran tidak tunai, maka harus ada persetujuan dari manajer TPI. 8) Pihak TPI membayarkan hasil pelelangan kepada nelayan setelah dipotong retribusi sebesar 2%. 138

160 9) Kemudian ikan masuk ke ruang pengepakan untuk selanjutnya didistribusikan ke luar TPI. Berbagai pihak yang terlibat dalam pelelangan ikan adalah nelayan sebagai penjual, bakul sebagai pembeli dan KUD Mina Sinar Laut sebagai penyelenggara lelang. Permasalahan dalam pelelangan ikan adalah belum tertibnya pelaksanaan pelelangan ikan, seperti para bakul tidak menitip uang jaminan lelang karena bakul-bakul kurang memiliki modal, dengan kata lain setelah pelelangan dilaksanakan nelayan peserta lelang tidak memperoleh uang tunai dari bakul sebagai pembeli. Bakul sudah dapat membayar uang lelang kepada nelayan tersebut setelah beberapa hari kemudian (5 hari). Kondisi ini terjadi karena bakul menunggu uang hasil pembelian ikan dari pihak konsumen (pengolah dan pengusaha cold storage). Apabila bakul tidak dapat membayar hasil lelang maka seharusnya pihak KUD Mina sebagai penyelenggara lelang harus bertanggung jawab terhadap kasus tersebut. Jumlah bakul/pembeli besar di TPI sebanyak 144 orang dan pengecer ikan segar 51 orang. Selain itu ada sebanyak 32 orang tenaga kerja bongkar muat ikan yang terlibat di TPI. Pengurus kapal/penjual ada sebanyak 171 orang. Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengusaha perikanan bahwa solusi terhadap permasalahan pelelangan ikan antara lain dapat ditempuh melalui : 1) Menghadirkan investor lain selain bakul untuk membeli hasil pelelangan ikan. Diharapkan pemerintah daerah dapat mengundang pengusaha untuk membantu pembelian ikan di pelelangan. Ajakan tersebut dapat melalui promosi atau temu mitra usaha. Alternatif lain, para bakul diberikan kredit murah sebagau jaminan untuk mengikuti pelelangan ikan. 2) Manajemen KUD sebagai pelaksanan lelang harus dilakukan perombakan, terutama untuk memasukan tenaga yang berpendidikan dan berpengalaman dalam bidang perkoperasian Peranan pelabuhan perikanan dalam mengembangkan sistem pelelangan ikan adalah untuk menciptakan sistem pelelangan sesuai dengan aturan dan mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan pedagang pengumpul. 139

161 Ikan yang didaratkan langsung dijual melalui non TPI: 1) Ikan-ikan tuna segar yang didaratkan oleh kapal longline selama bulan Januari sampai dengan bulan September 2005 sebanyak kg atau rata-rata sebulan sebanyak 4,58 ton per hari. Ikan-ikan tersebut selanjutnya diurus oleh agen untuk segera diangkut menggunakan mobil cool box ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta diproses untuk tujuan ekspor. 2) Semua ikan hasil pancingan dalam bentuk segar ditampung oleh agen penjualan/ lapak yang merangkap tengkulak, kemudian dijual ke bakul/ pengecer dan konsumen lokal, atau ke restoran-restoran. Ikan layur segar dijual oleh agen penjual ke perusahaan cold storage yang ada di Palabuhanratu. Ikan-ikan layur tersebut diproses pengepakannya dan dimasukkan kedalam cold storage, kemudian diekspor. Kegiatan pemasaran ikan di luar sistem pelelangan ikan diarahkan kepada tuntutan pasar secara bebas dan peranan pelabuhan perikanan mempersiapkan atau memfasilitasi adanya fasilitas untuk menampung produk perikanan baik dalam bentuk lahan maupun gudanggudang untuk industri perikanan menciptakan iklim yang kondusif dilingkungan pelabuhan perikanan sehingga pengusaha dapat berusaha tanpa gangguan. 2) Hinterland primer Hinterland primer adalah daerah distribusi untuk ikan-ikan segar. Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar kg dan naik menjadi kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak kg pada tahun 2005 dan terendah sebanyak kg pada tahun Gambar 17 menunjukkan perkembangan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun Tujuan distribusi terbanyak adalah ke Jakarta pada tahun 2004 yaitu sebesar kg (81,74%), sebagian besar untuk tujuan ekspor ke Cina, Jepang dan Korea yang diangkut dengan pesawat terbang melalui bandara Soekarno Hatta. Selebihnya didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bandung, Bogor, Cikotok, Cianjur dan Cirebon. Wilayah distribusi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk dalam hinterland primer. Wilayah hinterland primer dalam negeri 140

162 tersebut terfokus kepada produk ikan yang bukan komoditas ekspor untuk memenuhi pasaran dalam negeri seperti supermarket, restoran dan pasar retail yang menyiapkan fasilitas untuk penjualan ikan segar. Jumlah (Ton) Tahun Gambar 17 Distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun Arah pengembangan hinterland primer lebih diutamakan untuk memasarkan produk ikan segar ke luar negeri karena lokasi PPN Palabuhanratu termasuk lokasi sektor basis yang mana produk unggulannya berupa ikan tuna dan ikan layur yang merupakan komoditas ekspor, sehingga ikan segar lebih dominan untuk diekspor ke negara Jepang, Amerika, Korea, Taiwan bahkan sampai ke negara Uni Eropa. 3) Hinterland sekunder Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi ikan hasil pengolahan dan hasil pembekuan (Lubis, 2002). Jenisjenis ikan olahan di PPN Palabuhanratu yang didistribusikan adalah pindang, ikan asin dan abon. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni dari 60 ton pada tahun 1993, naik menjadi ton pada tahun 2005 atau ratarata kenaikan sebesar 89,51%. Kenaikan tersebut disebabkan oleh tersedianya bahan baku yang cukup berupa ikan cakalang untuk dijadikan pindang. Adanya kenaikan permintaan pindang oleh daerah konsumen di Sukabumi, Cibadak, Bogor, Jakarta dan Cianjur (Gambar 18). 141

163 Ikan pindang ini didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor, Cianjur, dan Bandung dengan jumlah distribusi terbanyak ke Bogor dan Bandung. Jumlah unit pengolahan/rumah tangga perikanan adalah pemindangan 27 RTP dan 108 rumah tangga buruh perikanan (RTBP), pengeringan 30 RTP dan 90 RTBP, pendinginan/segar 20 RTP dan 91 RTBP, pembekuan 1 RTP dan 15 RTBP, terasi 6 RTP dan 22 RTBP, bakso ikan 5 RTP dan 10 RTBP, abon ikan 2 RTP dan 50 RTBP dan kerupuk ikan 2 RTP dan 11 RTBP. Produksi (Ton) Tahun Gambar 18 Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun Unit pengolahan atau rumah tangga perikanan (RTP) tersebut berada di dalam pelabuhan seperti 2 unit cold storage dan lainnya berada tersebar di Palabuhanratu. Saat ini terdapat tiga unit perusahaan cold storage milik Korea di Palabuhanratu, terutama menampung ikan layur untuk diekspor ke Korea. Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Tahun 2004, jumlah ikan asin dari Palabuhanratu yang didistribusikan ke kota Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Bandung sebesar kg atau pendistribusian terbanyak adalah ke Sukabumi dan Bogor. Menurut Mahyuddin et al. (2005), Saat ini telah berkembang luas pemakaian formalin terhadap produk ikan di kalangan pedagang ikan di PPN 142

164 Palabuhanratu. Kondisi ini selain mengakibatkan rusaknya kesehatan masyarakat yang memakan produk perikanan berformalin tersebut, juga membuat lemahnya kualitas pemasaran di PPN Palabuhanratu. Pihak pelabuhan sejak tahun 2005 telah memiliki laboratorium sendiri dalam memeriksa kandungan formalin pada ikan. Berdasarkan hasil pengujian formalin yang telah dilaksanakan terhadap beberapa jenis ikan segar dan ikan olahan yang dijual di pasar ikan PPN Palabuhanratu, serta produk ikan olahan dari pengolah Palabuhanratu, diperoleh bahwa beberapa ikan segar seperti ikan marlin, ikan layur, cumi-cumi, kembung dan peperek mengandung formalin. Jenis olahan ikan asin seperti cumi asin, pari asin, jambal roti asin positif mangandung formalin. Pemakaian formalin secara bebas terjadi karena ada dorongan dari pedagang pengecer untuk mempertahan mutu ikan dengan harga yang murah sehingga kualitas ikan dan harganya dapat dipertahankan tanpa memperhatikan bahayanya terhadap kesehatan manusia. Selain itu lemahnya pengawasan terhadap penjualan formalin dan pemakaian formalin pada produk perikanan serta belum adanya bahan pengganti formalin sebagai bahan pengawet ikan Saat ini pihak manajemen pelabuhan telah memasang spanduk tentang bahaya penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan. Pihak PPN Palabuhanratu telah melakukan kerja sama dengan pihak POLRI guna mencegah penggunaan formalin. Pihak POLRI telah menggunakan laboratorium milik PPN Palabuhanratu untuk melakukan pengujian formalin. Secara keseluruhan mekanisme pendistribusian ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dan dari luar PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 terlihat pada Gambar 19. Arah pengembangan hinterland sekunder adalah untuk mendistribusikan ikan-ikan olahan dalam bentuk ikan beku, ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya untuk tujuan ekspor ataupun dipasarkan di dalam negeri. Ikan beku yang di produksi oleh perusahaan cold storage bertujuan untuk melakukan ekspor ikan beku ke luar negeri seperti ikan layur beku dipasarkan ke Korea, ikan tuna beku dipasarkan ke Jepang dan sebagiannya lagi untuk keperluan pembuatan ikan kaleng dan pindang. Ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya adalah komoditas untuk pasaran dalam negeri. 143

165 Produksi ikan PPN Palabuhanratu kg Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat kg Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP kg Ikan segar kg Ikan pindang bahan baku dari PPNP kg Ikan pindang bahan baku dari luar kg Ikan asin kg Proses lainnya kg Pal.ratu (9%) Sukabumi (1%) Bandung (2%) Bogor (0%) Jakarta (82%) Ekspor (6%) Pal.ratu (5%) Sukabumi (34%) Bogor (31%) Cianjur (24%) Bandung (6%) Pal.ratu (12%) Sukabumi (13%) Bogor (23%) Cianjur (25%) Bandung (21%) Garut (6%) Pal.ratu (100%) Gambar 19 Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun ) Hinterland perpaduan Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland adalah suatu hinterland yang merupakan wilayah pendistribusian ikan dari beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama besar atau sama kecil (Lubis, 2002). Hinterland perpaduan dari PPN Palabuhanratu adalah kota-kota Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Cirebon serta ekspor ke luar negeri (ke Jepang dan Korea). Pada daerah-daerah tersebut dipasok juga ikan-ikan dari pelabuhan perikanan lain seperti dari Pekalongan, Pati, Tegal, Batang, Indramayu, Lampung dan daerah lain di luar Jawa. Hal ini dikarenakan kebutuhan ikan untuk daerah-daerah tersebut cukup besar walaupun tingkat rata-rata konsumsi ikan penduduknya di 144

166 bawah rata-rata konsumsi ikan nasional pada tahun 2005 yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (Barani, 2006). Tingkat konsumsi ikan daerah Sukabumi 16,82 kg/kapita/tahun. Umumnya ikan-ikan dari Pantai Utara Jawa adalah ikan untuk konsumsi lokal, sedangkan ikan-ikan dari kawasan Timur Indonesia yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru Jakarta adalah ikan-ikan untuk diekspor. Hinterland perpaduan Jakarta selain hasil tangkapan dari PPN Palabuhanratu juga dari tempat-tempat pendaratan ikan di sepanjang Pantai Sukabumi yaitu PPI Cisolok sebesar 244 ton, PPI Ujung Genteng sebesar 459 ton, tempat pendaratan ikan Cibitung sebesar 77 ton, tempat pendaratan ikan Tegal Buled sebesar 85 ton, PPI Mina Jaya sebesar 420 ton, PPI Ciwaru sebesar ton, PPI Loji sebesar 480 ton, tempat pendaratan ikan Cipatuguran sebesar 407 ton dan PPI Cibanban sebesar 452 ton pada tahun Adapun jenis-jenis ikan yang dikirim ke daerah hinterland perpaduan di Jakarta adalah ikan cakalang, layur, tongkol dan tuna serta ikan demersal seperti ikan kuwe, udang lobster. Selain dari PPI di sepanjang pantai Sukabumi, Jakarta juga mendapat pasokan ikan dari wilayah lain baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa seperti Sumatera. Dengan adanya hinterland perpaduan ini, maka PPN Palabuhanratu harus mempersiapkan diri untuk bersaing terutama kesiapan fasilitas dan pelayanan serta penyediaan ikan yang berkualitas baik. (5) Prasarana perhubungan Prasarana perhubungan selain jalan, laut juga ada prasarana udara sangat penting untuk menghubungkan pelabuhan dengan daerah konsumen. Dari Palabuhanratu ke daerah lain atau menuju Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Cianjur, Bogor dapat ditempuh melalui jenis prasarana: 1) Melalui Cikidang, dengan jarak tempuh sampai ke Cibadak sekitar 40 km atau dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan kondisi jalan lebar 6 m beraspal cukup baik untuk dilalui jenis kendaraan roda empat kecil seperti sedan, minibus. Truk atau kontainer mengalami kesulitan melewati jalan ini karena berlikuliku dan menempuh medan yang cukup berat, sehingga kurang baik dilalui oleh mobil truk atau mobil kontainer. Jalan ini sering digunakan untuk mobil 145

167 touring sejenis mobil pick up mitsubithsi diesel atau truk ukuran kecil. Jalan melalui Cikidang ini telah ditetapkan sebagai jalan provinsi sehingga ada kewajiban pemerintah provinsi untuk mengembangkan jalan ini. Direncanakan jalan ini untuk diperlebar dari lebar 6 meter menjadi lebih lebar lagi (sekitar 10 meter), kemudian mengurangi tanjakan-tanjakan dan belokanbelokan jalan yang cukup berbahaya. Dengan adanya rencana pengembangan jalan melalui Cikidang ini, maka diharapkan mobil kontainer dan truk ukuran besar dapat melaluinya dengan mudah, sehingga memperlancar arus distribusi ikan dan waktu tempuh lebih cepat dari Palabuhanratu ke Jakarta atau Bandung melalui Cikidang. 2) Melalui Cikembang, dengan waktu tempuh sampai ke Cibadak 1,5 jam atau jaraknya sekitar 55 km. Kondisi jalan ini relatif baik, beraspal dengan lebar jalan 8 m. Mobil kontainer ukuran sedang sering menggunakan jalan ini untuk mengangkut ikan tujuan Jakarta. Permasalah jalan melalui Cikembang adalah kondisi jalan yang berliku-liku, relatif sempit dan banyak tanjakan. Jalan melalui Cikembang ini telah ditetapkan sebagai jalan negara, sehingga pemerintah pusat, pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengembangkan jalan ini. Direncanakan jalan ini akan diperlebar sampai dengan 10 m dan mengurangi tanjakan dan belokan sehingga dapat mengurangi waktu tempuh dan dapat memperlancar arus distribusi ikan dari Palabuhanratu ke Cibadak melalui Cikidang. 3) Melalui Cikembar, dengan jarak tempuh sampai ke Sukabumi sekitar 2 jam dengan jarak sekitar 70 km. Jalan ini telah ditetapkan juga sebagai jalan negara sehingga perbaikan jalan juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kondisi jalan beraspal dengan lebar 8 meter. Jalan ini sering digunakan mobil kontainer ukuran sedang untuk mengangkut ikan tujuan Sukabumi atau Cianjur dan Bandung. Jenis angkutan untuk mengangkut ikan dari pelabuhan adalah mobil pick up touring, truk, truk box serta truk thermoking ber-freezer. Diharapkan jalan ini dapat diperlebar menjadi 10 meter. 4) Jalan lainnya adalah Palabuhanratu Cisolok Bayah Pandeglang - Jakarta. Kondisi jalan ini belum sempurna, sehingga praktis belum digunakan untuk 146

168 jalan mengangkut ikan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten akan merehab dan memperlebar jalan yang keluar dari Palabuhanratu. Diharapkan adanya perbaikan dan pelebaran jalan ke Pandeglang ini dapat memperlancar arus distribusi ikan ke daerah lain. 5) Saat ini Pemerintah Provinsi telah membuat jalan lingkar luar trans selatan Jabar yang menghubungkan Bandung Pangandaran - Ciamis, Garut Tasikmalaya Cianjur - Palabuhanratu sejauh 367 km. Dengan adanya jalan lingkar luar trans Selatan Jabar, maka diharapkan hubungan dan distribusi ikan dari Palabuhanratu atau dari daerah sekitarnya ke Palabuhanratu dapat berjalan lancar dengan daerah pemasaran yang luas, selain itu juga akan menambah kuantitas mobil yang melewatinya. 6) Direncanakan juga membuat lapangan terbang berlokasi di Palabuhanratu guna mengakomodasi perkembangan perikanan dan pariwisata. Rencana ini sudah sesuai dengan kebutuhan distribusi ikan yang memerlukan sarana yang lebih cepat sehingga ikan dari Palabuhanratu akan cepat sampai ke konsumen. Daerah-derah konsumen yang akan dituju adalah Jepang, Korea, Amerika, China. Pasar dalam negeri adalah Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Bandung, Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang. Keuntungan lain dari adanya sarana pesawat terbang ini adalah akan mempercepat pembangunan daerah sekitarnya karena akan mendukung wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai lokasi sektor basis. 7) Pemerintah Pusat telah merencanakan membangun jalan tol dari Ciawi ke Sukabumi-Cianjur-Bandung. Dengan adanya rencana ini, maka Palabuhanratu akan berkembang pesat dan akan berpengaruh kepada operasional dan pengembangan PPN Palabuhanratu. 5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu Dalam penelitian ini, pola pengembangan pelabuhan ditentukan dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan dengan berbagai permasalahan yang ada melalui analisis kebutuhan terhadap produksi, kapal dan fasilitas. 147

169 5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu (1) Jumlah MSY WPP 9 Samudera Hindia sebesar ton, sehingga jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 80% sebesar ton. (2) Kapasitas minimum untuk PPS diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPS sebesar 60 ton/hari atau ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPS di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPN diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPN sebesar 30 ton/hari atau ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPP diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPP sebesar 10 ton/hari atau ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPP di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPI diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPI sebesar 5 ton/hari atau ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPI di WPP 9 sebanyak 207 unit sehingga menjadi ton/tahun. Jumlah seluruh kapasitas minimum untuk pelabuhan perikanan adalah sebesar ton/tahun. (3) Kapasitas minimum PPN diperoleh dari jumlah kapasitas minimum untuk PPN sebesar ton/tahun dibagi dengan jumlah semua kapasitas minimum pelabuhan perikanan sebesar ton/tahun dikalikan dengan JTB WPP 9 Samudera Hindia sebesar ton/tahun diperoleh ton/tahun. Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu diperoleh dari kapasitas minimum PPN sebesar ton/tahun dibagi dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit, diperoleh hasil sebesar ton/tahun. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel

170 Tabel 36 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu Tipe pelabuhan PPS PPN PPP PPI Kapasitas minimum (ton)/hari Jumlah PP/PPI (unit) Sumberdaya Ikan Potensi lestari (ton) Estimasi JTB (80% potensi) (ton) Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun) PPS PPN PPP PPI Jumlah 180 x 365 = x 365 = x 365 = x 365 = Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu (Ton) Pelagis besar Pelagis kecil Demersal Ikan karang Udang paneid Lobster Cumi-cumi Jumlah Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun (ton) = ton Rata-rata/tahun = ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = = ton

171 5.4.2 Target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu (1) Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/gt per tahun. Kemudian diikuti dengan unit penangkapan ikan longline berukuran 50 GT dengan nilai 0,4 ton/gt per tahun, longline 100 GT dengan nilai 0,24 ton/gt per tahun, longline 150 GT dengan nilai 0,2 ton/gt per tahun, payang dengan nilai 0.09 ton/gt per tahun, bagan dengan nilai 0,02 ton/gt per tahun, purse seine dengan nilai 0,06 ton/gt per tahun. Dengan demikian dalam perhitungan target kapal untuk PPN Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/gt per tahun. (2) Persentase jumlah masing-masing tipe kapal diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing tipe kapal dibagi dengan jumlah semua tipe kapal sehingga diperoleh persentase awal sebesar 17% untuk kapal <5 GT, 29% untuk kapal 5-30 GT dan 54% untuk kapal GT. Persentase pengembangan kapal diperoleh 15% (lebih kecil dari persentase awal) yakni adanya pengurangan 2% dari kondisi semula karena beberapa kapal ukuran kecil (<5 GT) tidak semua diakomodir di PPN Palabuhanratu. Persentase pengembangan untuk kapal 5-30 GT dikurangi menjadi 25% dari kondisi semula 29% karena jumlah kapal-kapal ukuran tersebut saat ini sudah cukup memadai sehingga penambahan jumlahnya diharapkan tidak terlalu besar. Persentase pengembangan kapal GT mengalami kenaikan dari 54% menjadi 60% disebabkan oleh adanya rencana penambahan kolam baru. (3) Persentase GT masing-masing ukuran kapal yang akan dikembangkan (15%, 25% dan 60%) dikalikan dengan target jumlah produksi maksimum PPN Palabuhanratu perhitungan target jumlah produksi ( ton/tahun) diperoleh produksi maksimum tipe kapal <5 GT sebesar ton, kapal 5-30 GT sebesar ton dan kapal sebesar ton. (4) GT kapal yang diperlukan untuk pengembangan diperoleh dari produksi maksimum masing-masing tipe kapal dibagi 1 ton/gt (target produktivitas) 150

172 sehingga diperoleh untuk kapal <5 GT sebesar 2850 GT, kapal 5-30 GT sebesar 4750 GT dan kapal GT sebesar GT. (5) Target jumlah kapal untuk masing-masing tipe ukuran kapal diperoleh dari GT kapal untuk pengembangan dibagi dengan rata-rata GT masing-masing tipe kapal (<5 GT = 5 GT, 5-30 GT = 20 GT dan GT = 100 GT). Untuk kapal <5 GT diperoleh hasil sebanyak 570 unit dari semula 428 unit, untuk kapal 5-30 GT sebanyak 238 unit dari semula 180 unit dan untuk kapal GT sebanyak 114 unit dari semula 68 unit. Dari hasil penjumlahan jumlah kapal masing-masing ukuran diperoleh target jumlah seluruh kapal yang akan dikembangkan untuk pola ini sebesar 922 unit. Hasil perhitungan target jumlah kapal dengan target produksi ikan sebesar ton/tahun seperti pada Tabel 37. Tabel 37 Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dengan target produksi ikan ton/tahun Target produksi maksimum PPNP (ton) Target produktivitas unit penangkapan (ton/gt) 1 Ukuran kapal (GT) < Jumlah Jumlah kapal tahun 2005 (unit) Rata-rata GT Jumlah GT kapal tahun Persentase awal (%) Persentase pengembangan (%) Produksi (ton) GT kapal yg diperlukan Target jml kapal pengembangan (unit) Target kapasitas fasilitas (1) Perhitungan luas kolam (m 2 ) L = Lt + 3 [(n x l x b)] Lt = π r 2 Radius putar (r), D = 2r = 3 x panjang kapal terbesar 2r = 3 x 30 meter, r = 45 meter. Lt = 3,14 x 45 x 45 = m 2 151

173 3 [(n x l x b)] = Luas kolam = = m 2. Hasil perhitungan luas kolam selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38. (2) Perhitungan kebutuhan panjang dermaga (m) D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x ( jarak aman antar kapal = 0,1) x l Hasil perhitungan seperti Tabel 39, yakni panjang dermaga = m. (3) Kedalaman kolam (m) Kedalaman kolam untuk kapal <5 GT 30 GT sama dengan kedalaman kolam pola lama yakni sampai dengan 3,5 meter dan kedalaman kolam untuk kapal GT sedalam 4 m. Tabel 38 Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu Variabel Volume Jumlah kapal maksimum berlabuh pada peak season (n) (unit) < 5 GT GT GT 40 Jumlah 483 Jumlah frekuensi kapal pada peak season (unit / hari) < 5 GT GT GT 2 Jumlah 88 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT GT 18, GT 30 Jumlah 58,5 Lebar kapal (b) (m) < 5 GT GT 4, GT 6,45 Jumlah 12,95 Luas putaran (π r 2 ) (m 2 ) ( n x (l x b)) < 5 GT GT GT Jumlah ( n x (l x b)) Luas kolam (m 2 )

174 (4) Luas Gedung TPI Untuk menampung produksi ton/tahun atau 52 ton per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = m 2. (5) Kapasitas pabrik es (ton/tahun) K = 2 x ton = ton/tahun. (6) Kebutuhan solar (kl/tahun) S = 0,2 liter per DK per jam (Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Ukuran kapal < 5 GT = mesin 15 DK, ukuran kapal 5-30 GT = mesin 60 DK, ukuran kapal GT = mesin 180 DK, ukuran kapal GT = mesin 225 DK. 1) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran <5 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (15 DK) = 570 x 0,2 x 120 x 24 x 1 x 15 = liter = kl/tahun. 2) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 5-30 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (60 DK) = 238 x 0,2 x 12 x 24 x 14 x 60 = liter = kl/tahun. 3) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (180 DK) = 80 x 0,2 x 6 x 24 x 30 x 180 = liter = kl/tahun. 4) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (225 DK) =34 x 0,2 x 4 x 24 x 60 x 225 = liter = kl/tahun. 5) Jumlah solar yang dibutuhkan adalah : kl/tahun. (7) Kebutuhan air bersih (kl/tahun) 1) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) standar kebutuhan air bersih untuk ABK sebesar 20 liter/orang/hari sehingga : - Untuk kapal <5 GT ada sebanyak 570 x (5 ABK) x (20 liter) x (120 trip) x (1hari) = kl/tahun. 153

175 - Untuk kapal 5-30 GT ada sebanyak 238 x (8 ABK) x (20 liter) x (12 trip) x (14 hari) = kl/tahun. - Untuk kapal GT ada sebanyak 80 x (15 ABK) x (20 liter) x (6 trip) x (30 hari) = kl/tahun. - Untuk kapal GT ada sebanyak 34 x (15 ABK) x (20 liter) x (4 trip) x (60 hari) = kl/tahun. Tabel 39 Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu No Variabel Volume 1 Jumlah frekuensi kapal pada peak season / hari (unit) < 5 GT GT GT 2 Jumlah 88 2 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT GT 18, GT 30 Jumlah 58,5 3 Panjang dermaga (D) (m) < 5 GT GT GT 180 Jumlah ) Kebutuhan baku es (ton/tahun) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1 kl air untuk 1 ton es = kl. 3) Kebutuhan ikan (kl/tahun) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1 liter per kg ikan = kl/tahun. 4) Kebutuhan TPI Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1,5 liter / m 2. TPI yang ada saat ini seluas 900 m 2 dengan 154

176 produksi 18 ton/ hari. Untuk menampung produksi ton/tahun atau 52 ton per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = m 2. Jadi kebutuhan air untuk TPI yang akan dikembangkan adalah : 1,5 x m 2 = liter/m 2 per hari, atau kl/m 2 per tahun. 5) Kebutuhan penghuni Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan air untuk penghuni adalah 10% dari kebutuhan total = kl/tahun. Tabel 40 Hasil perhitungan kebutuhan air bersih Satuan : kl/tahun No Variabel Volume 1 Kebutuhan ABK < 5 GT GT GT GT Kebutuhan baku es Kebutuhan ikan Kebutuhan TPI Kebutuhan penghuni Jumlah (8) Luas lahan (ha) Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS) Pengembangan wilayah distribusi (hinterland) Pengembangan wilayah distribusi berkaitan dengan daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan yakni sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan sehingga perlu suatu pola pengembangan mengenai jumlah dan daerah konsumen. Jumlah penduduk disuatu tempat atau negeri merupakan konsumen potensial. Berdasarkan jumlah produksi ikan yang ada saat ini dan target produksi 155

177 serta rata-rata tingkat konsumsi penduduk, maka akan diperoleh jumlah konsumen untuk produksi ikan PPN Palabuhanratu. Menurut Barani (2006), bahwa tingkat konsumsi/kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/ kapita /tahun (angka perkiraan). Apabila dari target jumlah produksi PPN Palabuhanratu sebesar kg/tahun untuk dipasarkan didalam negeri sebanyak 65% atau kg dan sisanya 35% atau kg untuk diekspor, maka diperkirakan jumlah konsumen dalam negeri yang akan mengkonsumsi ikan dari PPN Palabuhanratu sebanyak kg dibagi 22,76 kg menjadi orang. Dari produksi ikan yang akan dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri sebesar kg, maka didistribusikan untuk hinterland primer dalam negeri sebesar 32% atau sebesar kg dan untuk hinterland sekunder dalam negeri sebesar 33% atau sebesar kg. Rincian jumlah konsumen seperti pada Tabel 41. Daerah konsumen untuk ikan yang berasal dari Palabuhanratu apabila diasumsikan sama dengan kondisi tahun 2005, maka dari produksi ikan kg diperoleh penyebaran untuk distribusi hinterland primer dalam negeri sebesar kg dan hinterland primer untuk ekspor sebesar kg, hinterland sekunder sebesar kg. Adapun pengembangan penyebaran produksi untuk hinterland primer sebesar kg yakni daerah Sukabumi sebesar kg, Bandung sebesar kg, Jakarta sebesar kg dan untuk ekspor sebesar kg. Hinterland sekunder untuk ikan pindang sebesar kg tersebar ke Sukabumi sebesar kg, Bogor sebesar kg, Cianjur sebesar kg, Bandung sebesar kg. Hinterland sekunder untuk ikan asin sebesar kg tersebar ke Sukabumi sebesar kg, Bogor sebesar kg, Cianjur sebesar kg, Bandung sebesar kg dan Garut sebesar kg. Berdasarkan kondisi tersebut terlihat bahwa untuk hinterland primer penyebaran yang dominan adalah Jakarta (42%) dan untuk ikan ekspor (35%), sedangkan pada hinterland sekunder penyebarannya merata. 156

178 Tabel 41 Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu Variabel Posisi tahun 2005 Pengembangan PPN Jumlah produksi (kg) Distribusi di hinterland primer dalam negeri (kg) Distribusi di hinterland primer luar negeri/ekspor (kg) Distribusi di hinterland sekunder (kg) Jumlah konsumen dalam negeri (orang) Daerah sebaran produksi a. Hinterland primer (kg) -Sukabumi (10%) (kg) -Bandung (2%)(kg) -Jakarta (82%) -Ekspor (6%)(kg) (48%) (32%) (3%) (35%) (49%) (33%) (51%) (10%) (2%) (82%) (6%) (77%) (5%) (1%) (42%) (52%) b.hinterland sekunder (kg) Ikan pindang (55%) (kg) - Sukabumi (39%)(kg) - Bogor (31%) (kg) - Cianjur (24%) (kg) - Bandung (6%) (kg) Ikan asin (45%) (kg) - Sukabumi (25%) (kg) - Bogor (23%) (kg) - Cianjur (25%) (kg) - Bandung (21%) (kg) - Garut (6%) (kg) (49%) (33%) Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu yang akan ditentukan, diperlukan agar pola pengembangan yang telah disusun tersebut dapat dijalankan lebih terarah. Dalam penentuan prioritas pengembangan ini ditentukan alternatif prioritas pengembangan, kemudian dari alternatif prioritas pengembangan tersebut, maka ditentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 157

179 5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan dan solusinya Jenis alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu berturut-turut adalah: Peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu diperoleh setelah penetapan alternatif prioritas pengembangan melalui analisis PHA. Didalam analisis PHA akan terjadi interaksi antar berbagai komponen pada jenis solusi pengembangan, jenis alternatif prioritas pengembangan dan keterkaitan pelaku guna mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Komponen pelaku/lembaga yang dianggap berperan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu adalah : Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi (Dinas Perikanan), KUD Mina Sinar Laut, nelayan. Selanjutnya solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas pengembangan berdasarkan interaksi keterkaitannya dalam bentuk struktur hirarki PHA seperti Gambar 20. Pada Gambar 20 terlihat bahwa, dalam penentuan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan dilakukan terhadap lima alternatif solusi pengembangan dan lima alternatif pelaku/lembaga, setiap alternatif prioritas pengembangan dipertimbangkan untuk setiap solusi pengembangan yang akan dijalankan dan pelaku/lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu. Agar semua kepentingan dapat diakomodasikan maka setiap bentuk solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas pengembangan diminta pertimbangannya kepada stakeholder melalui kuesioner. Berdasarkan lima alternatif prioritas pengembangan yaitu: (1) Peningkatan pendapatan pelabuhan, (2) Peningkatan jumlah kapal, (3) Peningkatan produksi ikan, (4) Peningkatan PAD dan (5) Peningkatan lapangan kerja maka urutan prioritas pengembangan yang dianggap paling sesuai untuk pengembangan PPN Palabuhanratu adalah: (1) Peningkatan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu, dengan nilai prioritas paling tinggi sebesar 0,244 pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1 (Gambar 20). Masih sedikitnya kapal berukuran > GT mendarat di kolam pelabuhan. Pada tahun 2002 terdapat kapal >5 GT yang mendarat 158

180 sebanyak 145 buah kapal atau 31% dari jumlah kapal sebanyak 462 unit (Tabel 14). Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan kolam I untuk menampung kapal-kapal >30 GT karena dengan luas kolam 3 ha dominan diisi oleh kapal-kapal ukuran <10 GT (95%). Kapal-kapal ukuran <10 GT hanya melakukan penangkapan ikan di sepanjang perairan pantai sampai dengan 12 mil sehingga produksi ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan sekelas PPN Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2001), bahwa potensi ikan-ikan pelagis besar seperti tuna dan cakalang sudah sangat jauh dari perairan pantai. Sebagai akibatnya, maka kapal-kapal penangkap ikan harus diperbesar ukurannya menjadi >10 GT, khususnya kapal berukuran >30 GT sehingga dapat menjangkau daerah penangkapan ikan pada jalur >12 mil dari pantai atau menarik kapal-kapal dari luar masuk ke Palabuhanratu. GOAL OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU LEMBAGA/ PELAKU Ditjen Perikanan Tangkap (0.244) PPN Palabuhanratu (0.308) Pemda/ Dinas (0.112) KUD (0.122) Nelayan (0.214) SOLUSI PENGEMBANGAN Perluasan kolam dan dermaga (0.290) Perluasan lahan (0.253) Operas ional pelelangan ikan Pengadaan BBM (0.086) (0.272) Pelayanan prima (0.099) ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN Peningkatan penda patan pelabuhan (0.221) Peningkatan Jlh kapal (0.244) Peningkatan produksi ikan (0.232) Peningkatan PAD (0.143) Peningkatan lapangan kerja (0.160) Gambar 20 Hasil proses hirarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 159

181 Peningkatan jumlah kapal yang mendarat adalah merupakan alternatif prioritas pengembangan yang pertama untuk dilaksanakan terutama untuk kapal-kapal yang berukuran >30 GT, karena saat ini struktur armada di PPN Palabuhanratu komposisinya >95% terdiri dari kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT). Tercatat pada tahun 2002 jumlah kapal GT mendarat di PPN Palabuhanratu sebanyak rata-rata 16 unit kapal dalam satu bulan atau rata-rata 4 buah kapal dalam seminggu. Kapal ukuran kecil <10 GT sangat mendominasi dengan jumlah 423 unit atau 93,58% dari jumlah kapal yang ada pada tahun 2002 sebanyak 452 unit kapal, daerah operasi penangkapan kapalkapal tersebut masih berada di sepanjang pantai Kabupaten Sukabumi. Akibatnya produksi ikan yang didaratkan juga rendah yakni sebesar kg atau kg/bulannya. Banyaknya kapal-kapal ukuran kecil, akan menimbulkan permasalahan operasional pelabuhan terutama kesulitan dalam pengaturan kapal di kolam yang berdampak terhadap frekuensi kapal yang akan melakukan pendaratan di PPN Palabuhanratu. Menurut Rogge et al. (1987) bahwa untuk mewujudkan PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal yang berukuran <5 GT berbasis di PPI Cisolok (berjarak 11 km dari Palabuhanratu) sehingga kapal-kapal berukuran kecil akan berkurang di PPN Palabuhanratu dan memberi peluang kapal-kapal berukuran >5 GT berbasis lebih banyak di PPN Palabuhanratu. Prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal berukuran besar akan mempengaruhi produksi ikan yang didaratkan dan peningkatan aktivitas di pelabuhan sehingga fungsi pelabuhan akan lebih dioptimalkan. Apabila prioritas pengembangan ini dilaksanakan maka terhadap solusi pengembangan perlu diupayakan untuk direalisasikan terutama keputusan untuk memperluas kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM serta pelayanan prima oleh pelabuhan (Gambar 20). (2) Alternatif kedua adalah peningkatan jumlah produksi ikan yang didaratkan dengan nilai rasio kepentingan 0, 232 pada inconsistency 0,01. Pelaksanaan alternatif ini sejalan dengan pelaksanaan alternatif peningkatan jumlah kapal berukuran 30 GT 150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu. 160

182 Jumlah ikan yang didaratkan belum sesuai dengan jumlah ikan yang seharusnya mendarat di PPN Palabuhanratu. Kondisi ini disebabkan oleh sedikitnya kapal-kapal ukuran >10 GT mendarat di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2002 tercatat jumlah kapal yang berukuran >30 GT mendarat di PPN Palabuhanratu hanya 13 unit dan yang berukuran >10 GT sebanyak 29 unit (PPN Palabuhanratu, 2003). Produksi ikan yang didaratkan mengalami peningkatan yang berfluktuatif sejak tahun Rata-rata ikan yang didaratkan setiap tahun sejak tahun 2001 sampai dengan 2005 yakni ton. Produksi ikan yang didaratkan tertinggi pada tahun 2005 sebesar ton dan produksi terendah pada tahun 2001 sebesar ton (Lampiran 15). Penurunan produksi tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi cuaca terutama gelombang di laut cukup besar yang terjadi berbulan-bulan sehingga mengurangi jumlah kapal yang melaut. Disamping karena faktor alam, hal tersebut disebabkan juga oleh musim ikan sangat berkurang dan potensi perikanan di fishing ground-nya sudah menurun. Menurut Lubis (2002), bahwa produksi perikanan yang didaratkan menurun disuatu pelabuhan disebabkan antara lain: 1) Harga ikan di pelabuhan perikanan tidak layak. Pada tahun 2001 kondisi pemasaran ikan melalui aktivitas pelelangan tidak berjalan sempurna akibat lemahnya manajemen KUD Mina sebagai pengelola pelelangan ikan sehingga harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar. Rata-rata harga ikan cakalang di pasaran sebesar Rp 5.000/kg, namun karena tidak ada proses lelang maka harga ikan turun menjadi sekitar Rp 3.000/kg. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar Palabuhanratu seperti dari Cilacap sedikit (2 buah kapal setiap bulan) mendarat di PPN Palabuhanratu. 2) Lokasi pelabuhan perikanan berjauhan dengan lokasi perumahan nelayan. Kondisi ini tidak berlaku untuk PPN Palabuhanratu karena perumahan nelayan relatif dekat dengan lokasi pelabuhan perikanan. 3) Daerah pemasarannya jauh atau terdapat permasalahan dalam pendistribusian ikan. Kondisi di PPN Palabuhanratu memang jarak antara pelabuhan perikanan dengan daerah pemasaran relatif jauh yakni di Jakarta 161

183 dan Bandung dengan kondisi jalan yang sempit dan berliku-liku sehingga mempersulit pendistribusian ikan ke daerah konsumen. 4) Potensi perikanan di daerah penangkapan ikan sudah menurun. Hal ini disebabkan banyaknya alat tangkap bagan yang berada di Teluk Palabuhanratu yang menyebabkan ikan-ikan pelagis besar jumlahnya sedikit memasuki teluk. 5) Tidak terdapatnya fasilitas yang diperlukan dan atau beberapa fasilitas yang ada sudah rusak. Kondisi ini memang sesuai dengan PPN Palabuhanratu, dimana kondisi fasilitasnya tidak dapat mengakomodir kapal-kapal berukuran >30 GT. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar tidak masuk ke PPN Palabuhanratu. 6) Tidak terdapatnya pengorganisasian aktivitas yang baik di pelabuhan perikanan. Hal ini tidak berlaku bagi PPN Palabuhanratu karena aktivitasnya terorganisir dengan baik, walaupun beberapa SOP yang ada belum dijalankan oleh petugas secara optimal. Menurut statistik PPN Palabuhanratu 2005, bahwa jenis-jenis ikan yang banyak didaratkan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) kg dengan nilai Rp ,-, ikan tongkol lisong ( Auxis thazard) kg dengan nilai produksi Rp ,-, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) kg dengan nilai produksi Rp ,-, tongkol banyar kg dengan nilai produksi Rp ,-, ikan eteman/koyo (Menemaculata sp) kg dengan nilai produksi Rp ,-, ikan layur (Trichiurus sp) kg dengan nilai produksi Rp ,-, ikan tuna albakora (Thunnus alalunga) kg dengan nilai produksi Rp ,-, tuna yellow fin (Thunnus albacares) kg dan nilai produksi Rp ,-,ikan tembang (Sardinella fimbriata) kg dengan nilai produksi Rp ,- dan ikan layang (Decapterus ruselli) kg dengan nilai produksi Rp ,-. 162

184 Jumlah (Ton) Tahun Produksi Ikan Didaratkan Produksi Ikan Masuk Pelabuhan Jumlah Produksi Pelabuhan Gambar 21 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun Selain ikan yang didaratkan oleh kapal penangkap, banyak juga ikan yang masuk melalui darat ke pelabuhan yakni dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun, Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji dan dari Lampung. Jenis ikan yang masuk lewat darat ke pelabuhan antara lain cakalang, layaran, layur, peperek, tembang, tuna dan tongkol. Pada tahun 2004 tercatat sebanyak kg ikan masuk ke pelabuhan melalui darat Nilai Cakalang Tongkol lisong Tongkol abu-abu Tongkol banyar Eteman Layur Tuna albakora Jenis ikan Tuna Tembang yellow fin Layang Produksi (ton) Nilai (Rp. jutaan) Gambar 22 Produksi dan nilai produksi ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004 (Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005). 163

185 Sebagian ikan yang ada di PPN Palabuhanratu didistribusikan untuk keperluan bahan baku pengolahan ikan seperti pindang yang berlokasi di Palabuhanratu, ikan asin, abon ikan yang berlokasi di Cisolok, dan untuk ikan-ikan jenis tertentu seperti layur diekspor ke Korea. Selain itu ikanikan olahan juga dijual ke Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor dan Cirebon. Lokasi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk hinterland sekunder yaitu daerah distribusi dari ikan-ikan olahan. (3) Alternatif ketiga adalah peningkatan pendapatan pelabuhan dengan nilai rasio kepentingan 0,221 pada inconsistency 0,01. Pendapatan pelabuhan akan meningkat apabila terjadi peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Pendapatan pelabuhan sangat kecil. Sebagai akibat jumlah produksi ikan yang belum sesuai dengan harapan sekelas PPN Palabuhanratu, maka pendapatan PPN Palabuhanratu juga relatif kecil, disamping itu PPN Palabuhanratu belum memiliki areal khusus untuk industri perikanan. Pada tahun 2005 tercatat pendapatan pelabuhan sebesar Rp yang diperoleh dari sewa tanah dan bangunan, sewa peralatan, sewa gedung, pas pintu masuk (uang peron), retribusi dari pedagang, sewa listrik dan usaha air bersih. Jumlah pendapatan pelabuhan rata-rata per tahun sejak periode tahun adalah sebesar Rp (Tabel 42). Relatif kecilnya pendapatan pelabuhan disebabkan oleh kecilnya tarif yang diatur oleh PP 62 tahun 2000, seperti sewa lahan Rp / m 2 per tahun. Banyak pendapatan lain yang dihasilkan oleh pelabuhan misalnya retribusi lelang tidak masuk menjadi pendapatan pelabuhan melainkan menjadi PAD. Menurut PKSPL-IPB dan Ditjen. Perikanan (2000) bahwa pungutan perikanan termasuk pendapatan pelabuhan merupakan pungutan non pajak. Hasil pungutan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pelabuhan perikanan sehingga layanan terhadap aktivitas perikanan dapat dijalankan dengan lebih efisien dan efektif. 164

186 Tabel 42 Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun Tahun Jumlah (Rp) Jumlah Rata-rata (4) Alternatif keempat adalah peningkatan lapangan kerja dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,160 pada inconsistency 0,01. Peningkatan lapangan kerja bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat nelayan yakni dengan adanya pelaksanaan alternatif prioritas pengembangan pertama dan kedua, yang berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja. Apabila alternatif prioritas pengembangan ini dijalankan memerlukan peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Jumlah tenaga kerja yang terserap relatif kecil disebabkan belum berkembangnya kapal-kapal berukuran besar (>30 GT) yang mendarat di PPN Palabuhanratu, belum banyaknya industri perikanan yang tumbuh di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja sebanyak orang terdiri dari nelayan yang langsung terlibat dalam produksi sebanyak orang, nelayan yang tidak langsung terlibat dalam produksi sebanyak 803 orang (Tabel 43). Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka diperkirakan jumlah tenaga kerja akan semakin meningkat. 165

187 Tabel 43 Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005 Jenis-jenis tenaga kerja Jumlah (orang) Nelayan Bakul 150 Pedagang ikan segar 60 Pedagang ikan asin 15 Pemindang 8 Penyedia es 10 Penyedia garam 5 Penyedia BBM 11 Penyedia alat tangkap 5 Tenaga kerja bongkar muat 40 Pengurus dan penjual kapal 175 Tukang roda 50 Docking 67 Juru batu 70 Pengrajin alat tangkap 14 Motoris 24 Jumlah (5) Alternatif kelima adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,143 pada inconsistency 0,01. PAD sangat kecil, disebabkan oleh terbatasnya tanah areal industri yang ada di dalam pelabuhan, sehingga PAD daerah Kabupaten Sukabumi dari pelabuhan sangat sedikit. Sumber PAD terbanyak berasal dari retribusi lelang, namun banyak sekali sumber-sumber pendapatan daerah tidak langsung, sebagai contoh tumbuhnya usaha-usaha pendukung aktivitas perikanan seperti perhotelan, toko-toko yang menjual kebutuhan masyarakat nelayan, perbankan dan industri-industri perikanan lainnya seperti cold storage dan pabrik es yang menghasilkan PAD dari pajak. 166

188 Berdasarkan Gambar 23 bahwa untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu maka prioritas solusi pengembangan yang perlu dijalankan adalah: (1) Pembangunan kolam dan dermaga dengan nilai rasio kepentingan paling penting dibandingkan dengan bentuk solusi permasalahan lainnya yaitu 0,290 pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1. Keputusan ini dianggap tepat karena selama ini masalah yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas kolam dan dermaga. (2) Penambahan kapasitas penyediaan BBM dengan nilai 0,272 adalah merupakan bentuk solusi pengembangan kedua yang perlu dijalankan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Hal ini beralasan karena semakin banyak dan semakin besar ukuran kapal yang mendarat maka memerlukan BBM yang banyak pula. Gambar 23 Posisi masing-masing bentuk solusi pengembangan pada aplikasi program PHA. 167

189 (3) Perluasan lahan dengan nilai 0,253 adalah solusi pengembangan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan merupakan satu paket dengan pembangunan kolam dan dermaga. Lahan yang berada di sebelah selatan pelabuhan sekarang adalah merupakan lahan yang cocok untuk membangun kolam dan dermaga. Lahan tersebut akan dibebaskan oleh pemerintah daerah. (4) Pelayanan prima dengan nilai adalah syarat mutlak yang diperlukan agar aktivitas pelabuhan berjalan efisien dan efektif sehingga dengan nilai 0,099 maka pelayanan prima adalah salah satu solusi pengembangan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan fungsi PPN Palabuhanratu. (5) Penyelenggaraan lelang dengan nilai 0,086 adalah solusi pengembangan untuk menggerakkan aktivitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu. Penyelenggaraan lelang yang baik akan meningkatkan harga jual ikan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nelayan. Gambar 24 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan. 168

190 Sebagai perbandingan menyeluruh antara prioritas pengembangan yang terpilih terhadap semua alternatif prioritas pengembangan maka ditunjukkan dua perbandingan yaitu pertama peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah produksi, kedua peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah pendapatan pelabuhan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24. Pada Gambar 24 terlihat bahwa solusi pengembangan perluasan lahan dan penyediaan BBM diakomodir pada peningkatan jumlah kapal masing-masing lebih tinggi dari peningkatan produksi. Solusi pengembangan penyediaan BBM diakomodir pada prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal dengan nilai lebih tinggi dari penyediaan lahan (Gambar 25). Penyediaan BBM selama ini mengalami kendala karena pasokan sangat kurang dan harganya relatif mahal yakni lebih besar dari harga solar bersubsidi sebesar Rp (beda harga Rp 500), sehingga mengganggu operasional kapal melaut dan berdampak pada operasional PPN Palabuhanratu. Gambar 25 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan. 169

191 Dari aspek kelembagaan untuk merealisasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu, maka berdasarkan olahan PHA diperoleh bahwa, lembaga yang berperan dalam pembangunan PPN Palabuhanratu adalah Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, KUD Mina Sinar Laut dan nelayan. Gambar 26 memperlihatkan posisi masing-masing lembaga untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Gambar 26 Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA. Posisi pertama adalah PPN Palabuhanratu yang merupakan instansi pusat yang ada di daerah dan merupakan UPT Departemen Kelautan dan Perikanan sehingga sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu dan sebagai pelaksana program. Posisi ketiga adalah Ditjen. Perikanan Tangkap yang merupakan instansi pemerintah pusat yang akan mengeluarkan kebijakan dapat tidaknya PPN Palabuhanratu dikembangkan karena segala kebijakan pengembangan PPN Palabuhanratu termasuk aspek pendanaannya dikeluarkan 170

192 oleh Dirjen. Perikanan Tangkap. Posisi ketiga adalah nelayan yang berpengaruh terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek pengguna, karena semakin berkembang PPN Palabuhanratu, maka diharapkan aktivitas perikanan yang melibatkan nelayan akan semakin bekembang. Posisi keempat adalah KUD Mina sebagai lembaga usaha nelayan sangat berperan didalam mengembangkan PPN Palabuhanratu guna mengoptimalkan fungsinya sehingga berkembangnya PPN Palabuhanratu akan menjadikan secara otomatis usaha KUD akan berkembang. Posisi kelima adalah Pemerintah daerah yang sangat diharapkan dukungannya dalam meyiapkan lahan guna pembangunan fasilitas dan lahan industri yang akan dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu pemerintah daerah berkewajiban untuk mempersiapkan prasarana untuk kelancaran aksesibilitas dari Palabuhanratu ke luar Palabuhanratu. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu karena akan berdampak terhadap pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diharapkan membantu penyediaan lahan, jalan dan pelabuhan udara untuk kepentingan PPN Palabuhanratu mengembangkan dan mengoptimalkan fungsinya. KUD dan nelayan berperan dalam hal penggunaan PPN Palabuhanratu sebagai basis usaha. Pada Gambar 26 terlihat bahwa PPN Palabuhanratu mempunyai rasio kepentingan paling tinggi (pertama), yaitu 0,308 pada inconsistency 0,02. Hal ini cukup beralasan karena PPN Palabuhanratu adalah pelaksana sehingga mempunyai komitmen besar untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Kebijakan pembangunan PPN Palabuhanratu dihasilkan Ditjen. Perikanan Tangkap dengan nilai rasio kepentingan kedua sebesar 0,244 dan inconsistency 0,02. Pelaku yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu : nelayan, KUD dan PEMDA masing masing memiliki nilai rasio kepentingan ketiga, keempat dan kelima sebesar 0,112, 0,122, dan 0, Sensitivitas prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Berdasarkan prioritas pengembangan yang telah ditentukan di atas, maka perlu ditentukan seberapa besar persentase perubahan yang terjadi pada strategi prioritas yang telah ditetapkan, yakni dengan melakukan perubahan terhadap 171

193 parameter-parameter yang mempengaruhinya seperti strategi, solusi pengembangan dan stakeholder-nya. Kestabilan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan yang telah dipilih perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap strategi terpilih tersebut. Untuk melihat sensitifnya perubahan strategi maka berdasarkan simulasi terhadap grafik sensitivitas (Gambar 27) diperoleh hasil seperti pada Tabel 44 : Tabel 44 Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih No Aspek/kriteria Hasil uji sensitivitas terhadap Rasio peningkatan jumlah kapal sebagai kepentingan prioritas pertama (RK )awal Range RK stabil Range RK sensitif 1 Ditjen. PT 0, Tidak ada 2 PPNP 0, Tidak ada 3 PEMDA 0, ,987 Tidak ada 4 KUD 0, ,995 Tidak ada 5 Nelayan 0, ,992 Tidak ada Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu terpilih (peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama) terlihat pada Tabel 44. Berdasarkan Tabel 44, RK Ditjen Perikanan Tangkap masih di range RK stabil, artinya bahwa Ditjen Perikanan Tangkap sangat mendukung pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal. Begitu juga untuk pelaku yang lain seperti PPN Palabuhanratu,, Pemda, KUD dan nelayan tidak mengganggu kestabilan alternatif prioritas pengembangan. Hal tersebut dimungkinkan karena keempat pelaku/lembaga tersebut lebih besar dukungannya terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu. Pemerintah daerah akan membantu terhadap proses pembebasan lahan dalam rangka pengembangan PPN Palabuhanratu (Gambar 27). Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk mempersiapkan aksesibilitas prasarana perhubungan. Selanjutnya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, maka pemerintah harus memberikan insentif keringanan pajak kepada pengusaha, menghindari adanya pajak yang berlebihan akibat adanya otonomi 172

194 daerah serta memberikan kemudahan didalam proses perijinan dan menciptakan kondisi keamanan yang kondusif dalam berusaha. Gambar 27 Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. Pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal yang mendarat menghendaki untuk segera dilengkapi fasilitas terutama perluasan kolam pelabuhan dan penambahan kapasitas dermaga, kapasitas BBM, dan perluasan lahan. Kendala yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan prioritas pengembangan ini adalah tidak tersedianya dana untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, sehingga pembangunan fasilitas belum dapat dilakukan atau terkendala karena adanya kebijakan pemerintah, misalnya tentang kenaikan BBM sehingga menyebabkan menurunnya aktivitas perikanan. Kondisi 173

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6.1 Tujuan Pembangunan Pelabuhan Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan tercantum dalam pengertian pelabuhan perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terletak di Kecamatan Palabuhanratu yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dimana 75% dari luas wilayahnya adalah perairan laut. Luas keseluruhan wilayah Indonesia mencapai 5.8 juta kilometer persegi dan memiliki

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan Menurut Lubis (2000), Pelabuhan Perikanan adalah suatu pusat aktivitas dari sejumlah industri perikanan, merupakan pusat untuk semua kegiatan perikanan,

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ' ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

Lebih terperinci

6. KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA

6. KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA 66 6. KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA 6.1 Menganalisis tujuan pembangunan PPS Nizam Zachman Jakarta Menganalisis kinerja operasional pelabuhan perikanan diawali dengan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAJIAN FASILITAS DAN PRODUKSI HASIL TANGKAPAN DALAM MENUNJANG INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU SUKABUMI JAWA BARAT SUMIATI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan prasarana perikanan yang berupa Pelabuhan Perikanan (PP) mempunyai nilai strategis dalam rangka pembangunan ekonomi perikanan. Keberadaan PP selain menunjang

Lebih terperinci

Oleh: Retno Muninggar 1. Diterima: 12 Februari 2008; Disetujui: 21 Juli 2008 ABSTRACT

Oleh: Retno Muninggar 1. Diterima: 12 Februari 2008; Disetujui: 21 Juli 2008 ABSTRACT ANALISIS SUPPLY CHAIN DALAM AKTIVITAS DISTRIBUSI DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU (PPNP) Supply Chain Analysis on the Distribution Activity in Palabuhanratu Archipelago Fishing Port Oleh:

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 2.2 Fungsi dan Peranan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 2.2 Fungsi dan Peranan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) merupakan lingkungan kerja kegiatan ekonomi perikanan yang meliputi areal perairan dan daratan,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Klasifikasi Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Klasifikasi Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Klasifikasi Pelabuhan Perikanan 2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan Menurut Ditjen Perikanan Deptan RI, pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang secara khusus menampung

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan Berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan Perikanan Karangantu merupakan suatu pelabuhan yang terletak di Kota Serang dan berperan penting sebagai pusat kegiatan perikanan yang memasok sebagian besar

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

4. BAB IV KONDISI DAERAH STUDI

4. BAB IV KONDISI DAERAH STUDI 4. BAB IV KONDISI DAERAH STUDI 4.1 DESKRIPSI PPSC Gagasan Pembangunan Pelabuhan Perikanan Cilacap diawali sejak dekade 1980-an oleh Ditjen Perikanan dengan mengembangkan PPI Sentolokawat, namun rencana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EFISIENSI PEMANFAATAN FASILITAS DI TANGKAHAN PERIKANAN KOTA SIBOLGA ABSTRACT. Keywords: Efficiency, facilities, fishing port, utilization.

EFISIENSI PEMANFAATAN FASILITAS DI TANGKAHAN PERIKANAN KOTA SIBOLGA ABSTRACT. Keywords: Efficiency, facilities, fishing port, utilization. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16,1 (2011) : 1-11 EFISIENSI PEMANFAATAN FASILITAS DI TANGKAHAN PERIKANAN KOTA SIBOLGA Jonny Zain 1), Syaifuddin 1), Yudi Aditya 2) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan

Lebih terperinci

Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA. Muhammad Syahrir R, S.Pi, M.Si

Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA. Muhammad Syahrir R, S.Pi, M.Si MODEL PELELANGAN IKAN OPTIMAL DI PELABUHAN PERIKANAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si Muhammad Syahrir R, S.Pi,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA No.440, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG

Lebih terperinci

EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU

EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU 1 EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU Oleh Safrizal 1), Syaifuddin 2), Jonny Zain 2) 1) Student of

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN PENYEDIAAN KEBUTUHAN MELAUT DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) SIBOLGA SUMATERA UTARA

TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN PENYEDIAAN KEBUTUHAN MELAUT DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) SIBOLGA SUMATERA UTARA 1 TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN PENYEDIAAN KEBUTUHAN MELAUT DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) SIBOLGA SUMATERA UTARA Oleh : SAMSU RIZAL HAMIDI PANGGABEAN C54104008 Skripsi Sebagai salah

Lebih terperinci

JURNAL STUDI PEMANFAATAN FASILITAS FUNGSIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT

JURNAL STUDI PEMANFAATAN FASILITAS FUNGSIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT JURNAL STUDI PEMANFAATAN FASILITAS FUNGSIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT OLEH RIMA STEFI EKARISKI FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian dan pengklasifikasian pelabuhan perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian dan pengklasifikasian pelabuhan perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.1.1 Pengertian dan pengklasifikasian pelabuhan perikanan Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 pasal 1, Pelabuhan Perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pasal 41 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

Lebih terperinci

6 STRATEGI PENGEMBANGAN PENYEDIAAN/ PENYALURAN BAHAN KEBUTUHAN MELAUT PERIKANAN PANCING RUMPON DI PPN PALABUHANRATU

6 STRATEGI PENGEMBANGAN PENYEDIAAN/ PENYALURAN BAHAN KEBUTUHAN MELAUT PERIKANAN PANCING RUMPON DI PPN PALABUHANRATU 109 6 STRATEGI PENGEMBANGAN PENYEDIAAN/ PENYALURAN BAHAN KEBUTUHAN MELAUT PERIKANAN PANCING RUMPON DI PPN PALABUHANRATU Penyediaan/penyaluran bahan kebutuhan melaut, khususnya untuk nelayan pancing rumpon

Lebih terperinci

6 KEBUTUHAN FASILITAS TERKAIT PENANGANAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

6 KEBUTUHAN FASILITAS TERKAIT PENANGANAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE 76 6 KEBUTUHAN FASILITAS TERKAIT PENANGANAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE Fasilitas PPI Muara Angke terkait penanganan hasil tangkapan diantaranya adalah ruang lelang TPI, basket, air bersih, pabrik

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian, klasifikasi dan fungsi pelabuhan perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian, klasifikasi dan fungsi pelabuhan perikanan 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.1.1 Pengertian, klasifikasi dan fungsi pelabuhan perikanan Pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ARIZAL LUTFIEN PRASSLINA PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Palabuhanratu Secara astronomis wilayah Palabuhanratu berada pada 106º31' BT-106º37' BT dan antara 6 57' LS-7 04' LS, sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

Oleh: Diterima: 18 Februari 2009; Disetujui: 1 September 2009 ABSTRACT

Oleh: Diterima: 18 Februari 2009; Disetujui: 1 September 2009 ABSTRACT PRIORITAS PEMILIHAN LOKASI PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DI KABUPATEN REMBANG Location Selection Priority of Fishing Port Development at Rembang Regency Oleh: Iin Solihin 1* dan Muhammad Syamsu Rokhman

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum PPN Palabuhanratu Secara geografis Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) terletak pada posisi 06 59 47, 156 LS dan 106 32 61.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG Oleh : FIRMAN SANTOSO C54104054 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Topografi dan Geografi Topografi wilayah Palabuhanratu adalah bertekstur kasar, sebagian besar wilayahnya merupakan dataran bergelombang dan terdiri atas daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN

KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN VARENNA FAUBIANY SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5.1 Jenis dan Volume Produksi serta Ukuran Hasil Tangkapan 1) Jenis dan Volume Produksi Hasil Tangkapan Pada tahun 2006, jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT di Bumi ini tiada lain untuk kesejahteraan umat manusia dan segenap makhluk hidup. Allah Berfirman dalam Al-Qur an Surat An-Nahl, ayat 14 yang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. Hulu. Hilir

BAB 4 ANALISIS. Hulu. Hilir BAB 4 ANALISIS Dalam bab ini akan membahas analisis komoditas ikan mulai dari hulu ke hilir berdasarkan klasifikasi inventarisasi yang sudah di tentukan pada bab selanjutnya dengan menggunakan skema pendekatan

Lebih terperinci

melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di

melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang secara khusus menampung kegiatan masyarakat perikanan baik dilihat dari aspek produksi, pengolahan maupun aspek pemasarannya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Jakarta Utara 4.1.1 Letak geografi dan keadaan topografi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta terletak di Muara Baru. Kawasan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PROVINSI SUMATERA UTARA

PROVINSI SUMATERA UTARA 2 PROVINSI SUMATERA UTARA VISI Menjadi Provinsi yang Berdaya Saing Menuju Sumatera Utara Sejahtera MISI 1. Membangun sumberdaya manusia yang memiliki integritas dalam berbangsa dan bernegara, religius

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN KEBUTUHAN OPERASIONAL PENANGKAPAN IKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KARANGANTU, KOTA SERANG

TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN KEBUTUHAN OPERASIONAL PENANGKAPAN IKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KARANGANTU, KOTA SERANG TINGKAT KEPUASAN NELAYAN TERHADAP PELAYANAN KEBUTUHAN OPERASIONAL PENANGKAPAN IKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KARANGANTU, KOTA SERANG DEDE SEFTIAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Aktivitas pendistribusian hasil tangkapan dilakukan untuk memberikan nilai pada hasil tangkapan. Nilai hasil tangkapan yang didistribusikan sangat bergantung kualitas

Lebih terperinci

Pelabuhan secara umum adalah daerah yang terlindung

Pelabuhan secara umum adalah daerah yang terlindung 2. TINJAUAN PUSTAKA Pelabuhan secara umum adalah daerah yang terlindung dari badai atau ombak sehingga kapal dapat berputar (turning basin), bersandar atau membuang sauh sedemikian rupa sehingga bongkar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM PELABUHAN PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT

ANALISIS SISTEM PELABUHAN PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT ANALISIS SISTEM PELABUHAN PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT OLEH : IDIL ARDI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR ABSTRAK IDIL ARDI. Analisis Sistetn Pelabuhan Perikanan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 009. Tempat pelaksanaan kegiatan penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN 1.1.1. Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, 2006. Menyatakan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu Pemanfaatan sumberdaya ikan dan fishing ground ( foreland)

6 PEMBAHASAN 6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu Pemanfaatan sumberdaya ikan dan fishing ground ( foreland) 6 PEMBAHASAN 6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan berdasarkan konsep triptyque portuaire perlu diantisipasi agar berfungsi optimal terutama setelah tercapainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

Lebih terperinci

7 KAPASITAS FASILITAS

7 KAPASITAS FASILITAS 71 7 KAPASITAS FASILITAS 7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di PPI Cituis sejak tahun 2000 hingga sekarang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Proses lelang, pengelolaan, fasilitas,

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI AREA

BAB III DESKRIPSI AREA 32 BAB III DESKRIPSI AREA 3.1. TINJAUAN UMUM Dalam rangka untuk lebih meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan keindahan serta menjaga kelestarian wilayah pesisir, sejak tahun 1999 Pemerintah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

6 KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN JUMLAH ES DI PPS CILACAP

6 KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN JUMLAH ES DI PPS CILACAP 40 6 KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN JUMLAH ES DI PPS CILACAP Fasilitas pabrik es merupakan bentuk pelayanan yang disediakan oleh Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Keberadaan fasilitas ini beserta pelayanan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Lokasi PPS Belawan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan terletak pada koordinat geografis 03º 47 00 LU dan 98 42 BT, posisi yang cukup strategis bila ditinjau dari

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

Data dan grafik produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke tahun

Data dan grafik produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke tahun LAMPIRAN 96 97 Lampiran 1 Data dan grafik produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke tahun 2005-2009 Tahun Produktivitas Produksi Pertumbuhan Ratarata per Pertumbuhan ikan yang Rata-rata didaratkan

Lebih terperinci

KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA TUAL

KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA TUAL Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 2 November 2013: 155-172 ISSNN 2087-4871 KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA TUAL (OPERATIONAL PERFORMANCE OF TUAL ARCHIPELAGIC FISHING

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN DI DEPARTMENT STORE SELAMAT CIANJUR. Oleh : Suci Istiqlaal

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN DI DEPARTMENT STORE SELAMAT CIANJUR. Oleh : Suci Istiqlaal ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN DI DEPARTMENT STORE SELAMAT CIANJUR Oleh : Suci Istiqlaal PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ANALISIS KEPUASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan prasarana perikanan yang berupa Pelabuhan Perikanan (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan prasarana perikanan yang berupa Pelabuhan Perikanan (PP) BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan prasarana perikanan yang berupa Pelabuhan Perikanan (PP) mempunyai nilai strategis dalam rangka pembangunan ekonomi perikanan. Keberadaan Pelabuhan Perikanan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KONDISI DAN ANALISIS KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) TERNATE

KONDISI DAN ANALISIS KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) TERNATE KONDISI DAN ANALISIS KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) TERNATE CONDITION AND THE DEVELOPMENT POSSIBILITY ANALYSIS OF FACILITY OF NUSANTARA FISHING PORT (PPN) TERNATE

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian (1) Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian (1) Letak dan Kondisi Geografis 4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian (1) Letak dan Kondisi Geografis Palabuhanratu merupakan ibukota Kabupaten Sukabumi, Palabuhanratu juga merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEMPAT PENDARATAN IKAN KURAU DI KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS, RIAU Oleh: Jonny Zain dan Syaifuddin

PENGEMBANGAN TEMPAT PENDARATAN IKAN KURAU DI KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS, RIAU Oleh: Jonny Zain dan Syaifuddin PENGEMBANGAN TEMPAT PENDARATAN IKAN KURAU DI KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS, RIAU Oleh: Jonny Zain dan Syaifuddin ABSTRAK Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2012 di Tempat Pendaratan Ikan (TPI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia baik dari segi luas wilayah maupun jumlah pulaunya (17.480), dengan garis pantai terpanjang ke empat (95.150 km)

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN AIR BERSIH DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BUNGUS SUMATERA BARAT RULLI KURNIAWAN

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN AIR BERSIH DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BUNGUS SUMATERA BARAT RULLI KURNIAWAN PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN AIR BERSIH DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BUNGUS SUMATERA BARAT RULLI KURNIAWAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci