BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODOLOGI PENELITIAN"

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dalam tugas akhir ini meliputi, persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data yang terdiri dari subbab masing-masing. Untuk lebih jelas alur penelitian ini, berikut digambarkan bagan alir penelitian pada Gambar 1. Diagram Bagan Alir di bawah ini : Gambar III.1. Bagan Alir Penelitian 25

2 III.1 Persiapan Pada tahap ini meliputi penentuan lokasi penelitian yaitu masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan identifikasi masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Metode yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu dengan menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang mana data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, dan kalau pun ada angka-angka hanya bersifat sebagai penunjang untuk mempermudah memahami penelitian. Oleh karena yang diteliti adalah permasalahan yang bersifat sosial, data yang diperoleh meliputi catatan lapangan, foto, dokumen, hasil wawancara sehingga perlu penelitian yang bersifat holistik, dinamis dan mendalam untuk mengetahui keberadaan masyarakat adat Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas masyarakat adat yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang mana akhir-akhir ini banyak menimbulkan konflik pertanahan yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak. Masyarakat adat merasa mempunyai wilayah adat selaus ± Ha, sedangkan BPTNGHS sebagai pihak pengelola Tamana Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas ± Ha merasa khawatir dengan populasi masyarakat adat yang semakin berkembang dan sifat yang semi nomaden ( berpindah-pindah). III. 1.1 Lokasi Penelitian Kasepuhan Ciptagelar adalah Pusat Pemerintahan Kesatuan Adat Banten Kidul yang terletak di Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Kasepuhan Ciptagelar terletak di wilayah Kampung Sukamulya berjarak lebih kurang 14 Km dari Desa Sirnaresmi, sedangkan dari Cisolok ke Ciptagelar berjarak lebih kurang 27 Km dan dari Kabupaten Sukabumi berjarak 103 Km dan dari Bandung sebagai ibu kota provinsi berjarak lebih kurang 203 Km. 26

3 Komunitas masyarakat adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama kali sekitar tahun 1902 hingga 1942 di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Gambar III.2. Lokasi Penelitian Kasepuhan Ciptagelar (Peta TNGHS 2005). Komunitas ini sangat unik terlihat dari tata cara kehidupan mereka yang semi nomaden yang telah berpindah sebanyak 10 kali berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat (Kuntari dan Badil, 2005), dimana kehidupan semi nomaden ini merupakan tradisi Kasepuhan Adat Banten Kidul dari dulu sampai saat ini. Mereka melakukan perpindahan beberapa kali yang berawal dari daerah Lebak Parang lalu berpindah ke daerah Lebak Pino berpindah kembali menuju daerah Tegal Lumbuh selanjutnya berpindah ke daerah Pasir Talaga hingga akhirnya menetap di daerah Bojong Cisono, Banten yang terletak di wilayah selatan Gunung Halimun dengan dipimpin oleh Aki Rusdi. Perpindahan berikutnya yang tercatat adalah menuju daerah Cicemet. Dengan dipimpin oleh Abah Arjo mereka melakukan perpindahan ke desa Cicadas di daerah Sirnaresmi. Selama beberapa lama menetap, mereka akhirnya melakukan perpindahan lagi menuju daerah Ciganas dan melakukan perpindahan kembali ke di Desa Linggarjati sebuah Desa yang terletak dekat Desa Cisarua. 27

4 Kesatuan Adat Banten Kidul mempunyai pusat pemerintahan di Kasepuhan Ciptagelar. Pemberian nama Ciptagelar ketika perpindahan dari Kasepuhan Ciptarasa ke daerah Cicemet dan terakhir kali perpindahan dari daerah Kasepuhan Ciptarasa ke daerah Kasepuhan Ciptagelar pada tahun 2001 dan menetap sampai sekarang. III.1.2 Alat-Alat Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : - Perangkat keras (hardware) 1 (satu) unit laptop processor Centrino + memory 512 MB, Printer Canon Pixma ip 1700 GPS Handheld Kamera Semipro Fujifilm Finefix S Perangkat lunak (software) Microsoft Word, Excel, Autodesk Map 2004, Arcviuw 3.3, Photoshop CS 2. III.2 Pengumpulan Data Pada penelitian ini data yang dikumpulkan terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu : 1. Data Primer : data yang diambil langsung dari lapangan, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masrarakat adat Ciptagelar, observasi dan dokumentasi langsung ke daerah penelitian serta beberapa titik koordinat di daerah Kasepuhan Ciptagelar yang dianggap dapat mewakili daerah penelitian.. Data Primer dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu : a. Masyarakat Adat Ciptagelar b. Wilayah Adat Ciptagelar c. Pranata Adat Ciptagelar 28

5 A. Masyarakat Adat Ciptagelar Kesatuan Adat Banten Kidul terdiri dari beberapa kasepuhan, antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Sirnaresmi, Ciptamulya, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung, dan Citorek. Pusat pemerintahan Adat Banten Kidul ini terletak di daerah Kasepuhan Ciptagelar. Nama Ciptagelar memilik arti Cipta yang menggelar yang artinya sang ketua adat bernama Encup Sucipta yang mendirikan atau menggelar Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar mempunyai seorang Ketua Adat yaitu Encup Sucipta yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom dan saat ini Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar telah diganti oleh Abah Egi Sugriana anak dari Abah Anom. Secara kekuasaan Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar memimpin keseluruhan kasepuhan yang ada di Kesatuan Adat Banten Kidul. Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar yang saat ini terdiri dari lebih 560 kampung, sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak perpindahan dari wilayah Bogor, mereka menerapkan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh Kerajaan Pajajaran terdapat di daerah Kasepuhan Ciptagelar ini, yaitu dengan pola bercocok tanam. Pada saat itu datang utusan dari Kerajaan Pajajaran untuk memberikan penyuluhan pertanian, sehingga saat ini Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas adat yang memiliki dasar kehidupan adat di bidang pertanian. Contohnya tradisi seren taun, adanya pamali dalam mengolah tanah garapan, adanya penghormatan kepada Dewi Sri yang diwujudkan dalam bentuk padi serta adanya aturan adat mengenai hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan yang berkaitan erat dengan pertanian masyarakat Ciptagelar (Ki Karma, 2007). Masyarakat adat Ciptagelar masih menerapkan aturan adat dan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-hari, salah satu tradisi yang unik yaitu kehidupan masyarakatnya yang semi nomaden, maksudnya adalah tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah sesuai wangsit yang diterima oleh Ketua Adat dalam jangka waktu yang relatif lama. Perpindahan masyarakat adat ini dari suatu tempat ke tempat lain masih dalam lingkup batas tanah adat (Kuntari dan Badil 2005). 29

6 Mata pencaharian utama masyarakat Ciptagelar sebagai petani dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar yang 85 % merupakan sawah, ladang 10 % dan 5 % untuk keperluan kebun. Masyarakat adat Ciptagelar menanam padi di sawah pribadi dan sawah komunal yang telah dibagi-bagi penggarapannya. Sebagai bentuk tanggung jawab kepada Kasepuhan Ciptagelar mereka menyisihkan sebagian dari hasil panennya untuk disimpan di leuit (lumbung padi). Menurut kepercayaan masyarakat adat Ciptagelar, perpindahan yang diterima oleh Ketua Adat melalui wangsit itu harus dituruti, karena apabila tidak dituruti maka taruhannya adalah nyawa Ketua Adat Ciptagelar (Ki Upat, 2007). Gambar III.3. Rumah warga kasepuhan Gambar III.4. Leuit si Jimat Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang sangat menjaga kelestarian alam serta menghormati lingkungan. Hal ini terlihat dari tradisi dan budaya setempat dimana ada larangan menebang pohon di tempat-tempat tertentu, larangan mengambil kayu bakar langsung dari pohonnya serta gerakan penanaman bibit pohon yang jumlahnya mencapai pohon di hutan sekitar Kasepuhan Ciptagelar. Penanaman pohon ini sehubungan dengan perpindahan Kasepuhan Ciptagelar dari Ciptarasa yang membuka hutan untuk keperluan jalan. Sebagai masyarakat yang mendiami daerah hutan, mereka percaya bahwa dengan adanya keselarasan hidup antara manusia dengan kehidupan alam sekitar akan menjadikan kehidupan bahagia dan sejahtera. 30

7 B. Wilayah Adat Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama sekali di sekitar Gunung Halimun pada tahun 1902 hingga 1942 (Sucipta, 2007). Luas lahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang dikuasai hingga saat ini lebih kurang Ha, berada di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Luas lahan yang dipergunakan untuk pemukiman di sekitar alun-alun kasepuhan lebih kurang seluas ± 6 Ha yang dihuni oleh sekitar 160 Kepala Keluarga. Penguasaan tanah adat di Kasepuhan Ciptagelar menurut aturan adat dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu (Abdulharis.dkk, 2007) : - Wilayah Olahan (cultivation area) - Wilayah Non Olahan (non-cultivation area) Wilayah Olahan adalah daerah atau lahan yang dapat dipergunakan anggota masyarakat adat sebagai tempat pemukiman dan tempat pertanaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Olahan dapat dibagi atas : tanah milik adat ; tanah bukan milik adat. Gambar III.5. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar (Sumber : Google Earth, 2008) 31

8 Wilayah yang bukan adat adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat, sudah menjadi penguasaan masyarakat di luar masyarakat adat. Wilayah adat Kesatuan Banten Kidul terbagi menjadi 3 (tiga) bagian atau jenis, yaitu : 1. Wilayah adat yang dialokasikan untuk aktifitas umum adat Kasepuhan Ciptagelar. Contoh : Pusat Kasepuhan Ciptagelar, yang merupakan alun-alun kasepuhan, terdiri dari ( Ekspedisi Geografi Indonesia, 2005 ) : 1.Imah Gede 7. Mushola 2. Pangkemitan 8. Studio Radio Kasepuhan 3. Ajeng Wayang Golek 9. Leuit Si Jimat 4. Balai Pertemuan Adat 10. Podium Adat 5. Ajeng Jipeng 11. Leuit 6. Mess Pamswakarsa TNGHS Untuk lebih jelasnya, Pusat Kesepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam diagram 2 berikut : Gambar III.6. Diagram Alun-alun Kasepuhan Ciptagelar 32

9 2. Wilayah adat yang diolah oleh masyarakat adat. Hasil dari tanah adat yang diolah masyarakat ini dipergunakan untuk keperluan adat. Contoh : Sawah dan ladang milik adat. 3. Wilayah adat yang dipergunakan untuk kepentingan penduduk. Penduduk berhak membangun rumah tempat tinggal dan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Non Olahan adalah daerah atau lahan yang tidak boleh dipergunakan oleh masyarakat adat maupun pihak adat. Untuk lebih jelasnya, penguasaan tanah oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini : Gambar III.7. Diagram Penguasaan Tanah Adat Ciptagelar (Abdulharis,2007) 33

10 Wilayah hutan adat Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari tiga jenis leuweung (hutan) yaitu (Abdulharis dkk, 2007) : 1. Leuweung tutupan (hutan larangan) 2. Leuweung titipan (hutan kepercayaan) 3. Leuweung garapan (hutan produksi) Leuweung tutupan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama sekali tidak boleh diganggu dan dimasuki oleh pemangku adat dan seluruh warga kasepuhan. Bagi masyarakat adat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung tetapi juga sebagai hutan perlindungan alam yang mutlak tidak boleh diganggu gugat dari awal hingga akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi yang berfungsi sebagai resapan air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat ekosistem. Leuweung titipan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat adat dan tidak boleh diambil kayunya kecuali untuk keperluan adat. Hanya para pemangku adat yang boleh masuk ke kawasan hutan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada namun hanya untuk keperluan adat. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang (awisan) dan sebagai alokasi lahan garapan untuk huma dan kebun. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu pohon harus mengganti dengan pohon yang baru dan setiap penggunaan sumber daya alam di dalam hutan titipan harus mendapat ijin dari Ketua Adat dan hanya untuk keperluan adat. Leuweung garapan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktifitas masyarakat dan keperluan adat dan hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk keperluan warga. Aturan adat yang mengharuskan dalam setiap penebangan pohon harus diganti dengan pohon yang baru juga berlaku di leuweung garapan ini (Saptariani, 2003). C. Pranata Adat Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan 34

11 memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Namun bukan berarti sifat kepemimpinan Ketua Adat bersifat diktator, melainkan harus memperhatikan aspirasi dan keadaan para warganya dan mereka yakin bahwa Ketua adat memikirkan kesejahteraan warga. Secara struktural Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan. Jika ada persoalan dalam masyarakat adat, misalnya konflik tanah maka akan ditangani terlebih dahulu oleh kolot lembur di daerah, jika gagal maka akan dibawa ke sesepuh induk untuk menyelesaikan persoalan, dan jika gagal juga maka Ketua Adat yang mengambil keputusan sebagai penentu. Tata cara kehidupan yang sangat menghormati alam terlihat dari aturan adat dan larangan-larangan (pamali) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ciptagelar. Berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat, sesepuh induk serta masyarakat Cipatagelar, terdapat beberapa pamali yang sangat ditaati oleh penduduknya diantaranya adalah : Dilarang memperjualbelikan beras dan produk-produk yang terbuat dari beras, maksudnya adalah agar masyarakat Ciptagelar tidak kekurangan makanan dan tidak melakukan pembukaan hutan menjadi sawah dengan semena-mena. Adanya larangan untuk menjadikan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat tinggal, lokasi tersebut adalah : 1. Sirah cai, merupakan sebuah hulu dari mata air 2. Lemah gunting, merupakan pertemuan dua sungai kecil. Penduduk Ciptagelar percaya bahwa adanya pertemuan dua sungai kecil merupakan pertemuan dari dua kekuatan mistis, dan hal itu sangat berbahaya bagi yang menempatinya. 35

12 3. Pematang, merupakan gundukan tanah atau jalan kecil yang biasanya terletak di tengah ladang/sawah. 4. Tempat-tempat angker yang mengandung unsur-unsur gaib : mipit amit ngala menta, mangan halal, make kudu anu suci, kudu bagus tekad, ucap jeung lampah mengandung arti filosofi kehidupan manusia harus mengutamakan kebaikan dalam hidupnya. Tidak boleh memasuki serta menebang pohon di dalam hutan tutupan dan hutan titipan karena hal ini dianggap angker. Semua pamali tersebut berasal dari dua buah sumber aturan, yaitu : - Aturan adat istiadat - Kebijakan Ketua Adat Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh masyarakat adat Ciptagelar, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit sijimat (lumbung bersama).disini terlihat peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan masyarakat adat Ciptagelar, peran Ketua Adat tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Secara harafiah wangsit berarti bisikan atau himbauan yang bersifat gaib dari leluhur atau nenek moyang masyarakat Ciptagelar. Untuk lebih jelasnya, Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam diagram berikut : 36

13 Gambar III.8. Diagram Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar Pada tingkat Pusat Pemerintahan maupun Daerah juga ada pejabat pejabat yang turut berperan dalam menjalankan roda tata pemerintahan dan tata kelola ada. Jabatan- jabatan tersebut biasanya antara lain : mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian dari serangan hama dan gaib), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer. Di beberapa kampung juga terdapat pengawal keamanan dan ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lembur jika bepergian dinas (Ruhiyat, 2005). Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki pujangga keratin yang bertugas untuk membunyikan kecapi buhun sambil berpantun untuk menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kesatuan Adat Banten Kidul dari Bogor hingga sampai di perkampungan Ciptagelar yang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pantun-pantun tersebut berisikan doa agar masyarakat Ciptagelar terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. 37

14 2. Data Sekunder : data yang diperoleh bukan langsung dari lapangan, dibagi atas 4 (empat) bagian : A. Data Yuridis B. Data Ciptagelar C. Data TNGHS D. Data Citra Satelit Georeference A. Data Yuridis 1. Hukum Adat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Sebagaimana telah diketahui bahwa undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mengakhiri dualisme perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang bersifat unifikasi yang didasarkan kepada hukum adat. ( Parlindungan, 1989). Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No. 5 Tahun 1960 mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 adalah Undang-undang nasional yang secara fundamental mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Pengaruhnya terhadap hukum adat sangat besar sekali karena sebelumnya hukum adat adalah merupakan hukum yang berlaku bagi mayoritas penduduk Indonesia. Prinsip pokok dari UUPA terdapat dalam pasal 5 UUPA dinyatakan sebagai berikut (Abdurrahman, 1984).: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat itu : a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa. 38

15 b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialieme Indonesia. c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan lainnya. d. Harus mengindahkan unsur-unsur pada hukum agama. Begitu juga halnya dengan Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi. Selain di dalam pasal 3 dan pasal 5 UUPA yang mengatur prinsip pokok hak ulayat masyarakat hukum adat, ada beberapa pasal lain dalam UUPA yang mengatur tentang hal ini, antara lain : pasal 2 ayat 4, pasal 22 ayat 1, pasal 26 ayat 1, pasal 56, pasal 58, pasal VI Konversi, pasal VII Konversi. Bahkan dalam penjelasan UUPA (Tambahan Lembaran Negara No. 2043), pernyataan yang mengatur tentang hukum adat ini dapat ditemukan secara tersebar, misalnya dalam Penjelasan Umum Bagian II, Penjelasan Umum Bagian III dan penjelasan pasal 3, penjelasan pasal 5, penjelasan pasal 22. Pelaksanaan hak ulayat ini tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya karena tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Demikian pula tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih oleh masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang. Apabila hal ini terjadi maka akan ada negara dalam negara ( Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat, Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria / 39

16 Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, dimana dalam Pasal 1 memberikan pengertian Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dan sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan tanah ulayat adalah sebidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum kerena kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan. Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan dalam kehidupan sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempat mengambil keperluan hidup sehari-hari. c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan. Penguasaan tanah atas bidang-bidang tanah oleh warga masyarakat hukum adat dimungkinkan secara perseorangan atau pribadi. Bila warga masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah menurut hukum adat yang berlaku itu 40

17 menghendaki, hak atas tanahnya dapat didaftar menurut ketentuan UUPA. Bagi instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakathukum adat yang bersangkutan, penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA baru dapat diberikan setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warga sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. 2. Hukum Adat Dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan Dalam Pasal 1 angka 6 pengertian hutan adat ialah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pada Pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 ditetapkan bahwa : a. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari - Hutan Negara - Hutan Hak b. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dapat berupa hutan adat c. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya d. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan ke dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dari negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. 41

18 Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan pengelolaan hutan. Dalam Pasal 37 ayat 1 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya dan pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 67 ayat 1 yaitu : 1. Masyarakatnya masih dalam paguyuban atau rechtsgemeenschap ; 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat ; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas ; 4. Ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang harus ditaati 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan hidup sehari-hari. Dalam Pasal 67 ayat 1 ditetapkan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak : - Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan - Melakukan krgiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang - Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan dalam Penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan memepertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat di daerah yang bersangkutan serta instansi lain yang terkait. 42

19 B. Data Ciptagelar Data sekuder yang berhubungan dengan obyek penelitian yang sebagian besar data diambil dari internet yang sifatnya sebagai penunjang untuk memperluas wawasan peneliti terhadap obyek penelitian yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Data Ciptagelar ini diambil dan dipilih sehubungan dengan perkembangan Kasepuhan Ciptagelar tahun 2005 sampai tahun Beberapa data hasil download dari internet disampaikan dalam Daftar Lampiran. C. Data Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS ) Data TNGHS ini terbagi atas 2 bagian, yaitu : 1. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2. Pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar 1. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional yang ada di Indonesia, secara geografis terletak diantara BT BT dan LS LS. Wilayah administrasi TNGHS meliputi tiga wilayah adminstratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu : 1. Kabupaten Bogor, terdiri dari 9 kecamatan. 2. Kabupaten Sukabumi, terdiri dari 8 kecamatan. 3. Kabupaten Lebak, terdiri dari 9 kecamatan. Dalam ketiga kabupaten tersebut terdapat 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS dan 314 kampung yang berada dalam kawasan TNGHS serta jumlah penduduk jiwa.(ghsnp MP- JICA, 2005). 43

20 Tabel III.1. Jumlah Kabupaten dan Penduduk di kawasan TNGHS Jumlah Penduduk hasil survey yang dilaksanakan oleh Tim Survey GHSNP MP JICA Tahun 2005 NO Kabupaten Jumlah Penduduk 1 Kabupaten Bogor 36,944 2 Kabupaten Sukabumi 26,443 3 Kabupaten Lebak 36,395 Jumlah 99,782 Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki sejarah yang panjang yang berkaitan langsung dengan kondisi lingkungan serta perkembangan masyarakat di dalamnya, termasuk masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Berdasarkan sejarah perkembangannya Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ini berubah status, luas dan namanya, berikut ini dijelaskan perubahan tersebut (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yokyakarta, 2006 ) : 1. Pada masa penjajahan Belanda tahun Kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas Ha di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda. Gambar III. 9. Kawasan Gunung Halimun ( Sumber : Encarta Student, 2008). 44

21 2. Pada tahun status hutan lindung kawasan Gunung Halimun berubah status menjadi cagar alam di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1977, semua hutan lindung di Provinsi Jawa Barat harus diserahkan kepada PPA (Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam) yang kemudian berubah menjadi PHPA. 3. Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun kemudian diperluas menjadi Ha pada tahun 1979 dan pengelolaannya tetap berada di bawah PPA. 4. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992, kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan cagar alam Gunung Halimun berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan pengelolaannya diserahkan kepada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Gambar III.10. Kawasan TNGHS Lama dan Baru (TNGHS, 2005) 5. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan Kawasan TNGH dan Perubahan kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung 45

22 Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan menjadi Ha dan pengelolaannya berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun ( BTNGH ). Dengan keluarnya Surat Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) semula Ha yang meliputi sebagian besar hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS ) dengan luas Ha. 2. Pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu masyarakat adat yang tinggal menetap di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan TNGHS. Pandangan yang berbeda ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan luas yang sangat jauh berbeda mengenai Kasepuhan Ciptagelar. Pada bab III telah diterangkan bahwa luas Kasepuhan Ciptagelar sekitar Ha (Sucipta, 2007) sedangkan menurut pihak TNGHS luas Kasepuhan Ciptagelar hanya sekitar Ha (Kuswara, 2007). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, maka kawasan hutan negara seluas Ha yang merupakan kawasan hutan produksi pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi seluas ,22 Ha, di Kabupaten Bogor seluas ,68 Ha dan di Kabupaten Lebak seluas ,04 Ha dan kawasan 46

23 TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006 ). Tabel III.2. Perubahan Hutan Produksi menjadi lahan TNGHS No Kabupaten Luas Perubahan (dalam Ha) 1. Kabupaten Bogor ,68 2. Kabupaten Sukabumi ,22 3. Kabupaten Lebak ,04 Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu komunitas adat yang tinggal menetap di dalam dan sekitar Barat Laut Gunung Halimun bagian Selatan. Masyarakat adat Ciptagelar memiliki kebiasaan hidup yang berpindah-pindah (semi nomaden) sesuai dengan wangsit yang datang dari para leluhur melalui mimpi Ketua Adatnya. Hutan di kawasan TNGHS merupakan cadangan bagi tempat berpindahnya masyarakat adat di kemudian hari. Dengan adanya kebiasaan hidup yang berpindah-pindah ini, pihak TNGHS merasa khawatir, karena semakin hari hutan di kawasan TNGHS akan semakin sedikit. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak TNGHS melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap Kasepuhan Ciptagelar dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut dengan luas Ha.Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam Zona Tradisional tersebut dilakukan melalui survey lapangan dan musyawarah dengan pihak Kasepuhan Ciptagelar. Letak zona tradisional yang telah dibuat oleh TNGHS diperuntukan untuk Kasepuhan Ciptagelar dapat dilakukan dengan overlay antara Peta Topografi Jabar-Banten dengan Peta Lokasi TNGHS serta Peta Rancangan Zonasi yang dikeluarkan oleh TNGHS. Dengan data peta yang sangat terbatas overlay dilakukan dengan cara manual dan hasilnya tentu kurang memuaskan. Namun sebagai bahan untuk visualisasi hasil overlay yang dilakukan dapat dipergunakan untuk membantu menggambarkan lokasi Kasepuhan Ciptagelar sebagaimana gambar di bawah ini : 47

24 Gambar III.11. Wilayah TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar Panjang batas yang telah diidentifikasi oleh pihak TNGHS sepanjang tahun 1982 adalah 154,47 Km yang mana panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 Km, dan sepanjang 1170 Km diantaranya telah dilakukan deliniasi batas ( TNGHS, 2007 ). D. Citra Satelit Landsat Thematic Mapper Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berada jauh dari pusat pemerintahan, sehingga untuk menentukan letak / posisisi kasepuhan Ciptagelar diperlukan citra satelit yang telah dikoreksi (georeference) dan dengan bantuan GPS Handled tentunya. Dengan bantuan citra satelit landsat thematic mapper yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat Direktorat Penatagunaan Tanah. Citra landsat tersebut berupa data softcopy yang mempunyai skala 1 : untuk wilayah daerah Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya yang telah dikoreksi (georeference). 48

25 III. 3 Pengolahan Data Pada tahap ini, akan dibahas tentang hukum adat dalam UUPA,dalam UUPK dan data yang telah diperoleh di lapangan berupa hasil wawancara, observasi dan dokumentasi menyangkut keberadaan masyarakat adat Ciptagelar akan ditinjau dari aspek masyarakat adat Ciptagelar, wilayah adat Ciptagelar, pranata adat dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan keberadaan masyarakat adat tersebut. Sehubungan masyarakat adat tersebut berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak maka akan dibahas juga mengenai TNGHS dan untuk mengetahui posisinya diperlukan citra satelit landsat yang dioverlay dengan peta TNGHS. III.3.1 Peta Lokasi TNGHS dan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas adat yang msih teguh memegang adat istiadat dari lelehur. Peranan Ketua Adat (kolot girang) sangat berperan dalam kehidupan sehari hari masyarakat kasepuhan. Dapat dikatakan semua sendi sendi kehidupan yang ada dalam masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari ijin atau restu Ketua Adat. Demikian juga halnya dengan prinsip hidup komunitas masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang masih bersifat semi nomaden (berpindah-pindah) berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat. Pusat kasepuhan telah berpindah sebanyak 10 kali berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat dan batas kasepuhan juga didasarkan kepada wangsit yang diterima, kemudian disampaikan kepada sesepuh induk dan diteruskan kepada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Sesuai dengan data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah untuk mendapatkan wilayah Kasepuhan Ciptagelar, antara lain dari kampung-kampung yang termasuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, batas pemukiman, pemanfaatan citra landsat TM, hutan tutupan, hutan titipan, hutan garapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : 49

26 Gambar Prosedur penentuan batas Wilayah Kasepuhan Ciptagelar Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar yang saat ini terdiri dari lebih 560 kampung, yang mana khusus Kasepuhan Ciptagelar mempunyai wilayah lebih besar dari wilayah lain mempunyai 160 Kepala Keluarga, sehingga apabila setiap anggota keluarga dapat mengusahakan lahan garapan 2 Ha (Perpu No. 56 Tahun 1960), maka setiap keluarga dapat mempunyai lahan garapan seluas 10 Ha dengan asumsi bahwa setiap keluarga mempunyai anggota keluarga 5 orang. Dengan demikian buffer dalam penentuan batas wilayah adat akan lebih besar dibandingkan dengan kampung-kampung yang lain. 50

27 Berdasarkan hasil identifikasi wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, didapatkan bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki wilayah adat seluas ± Ha. Luas wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar ini didapat berdasarkan hasil pengolahan beberapa titik koordinat yang diambil dari lapangan kemudian dimasukkan ke dalam citra landsat yang telah dikoreksi. Penyebaran masyarakat adat yang telah berpindah sebanyak 10 kali juga mempengaruhi wilayah adat, yang mana daerah tersebut didapat dari bantuan peta Rupa Bumi Indonesia. Perpindahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dilakukan sesuai dengan wangsit yang diterima oleh sesepuh girang (Ketua Adat) ke tempat yang telah ditunjukan oleh leluhur yang mana perpindahan tersebut masih di dalam batas tanah Kasepuhan Ciptagelar. Lokasi perpindahan Kasepuhan Ciptagelar adalah sebagai berikut : 1. Lebak Parang 2. Lebak Pinoh 3. Tegal Lumbuh 4. Pasir Talaga 5. Desa Bojong Cisono 6. Cicemet 7. Desa Cicadas 8. Desa Ciganas 9. Desa Linggarjati 10. Ciptarasa 11. Ciptagelar. Menurut Ayatrohaedi (2003), Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, perpindahan Kasepuhan Ciptagelar dapat ditafsirkan sebagai perpindahan penduduk yang lebih disebabkan oleh berkurangnya jumlah air tanah, sumber daya alam serta tingkat kesuburan tanah. Secara logika dan keilmuan, hal tersebut merupakan hal penting yang mempengaruhi proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar. Hal ini terlihat dari proses perpindahan menuju lokasi yang lebih subur dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi disbanding daerah sebelumnya. Perpindahan Kasepuhan Ciptagelar tersebut membutuhkan lahan yang luas untuk 51

28 mobilitas dan lahan pemukiman serta pertaniannya. Walaupun membutuhkan lahan yang cukup luas, penduduk kasepuhan tidak pernah melakukan ekspansi ke luar lahan adat. Luas lahan adat yang diakui oleh kasepuhan tidak pernah bertambah dan berkurang. Oleh karena itu, batas wilayahnya pun tidak pernah berubah. Yang berubah adalah letak pusat kasepuhan dan batas-batas antara satu persil dengan persil lainnya. Tetapi teori ini dibantah oleh masyarakat Ciptagelar, dimana perpindahan tersebut semata-mata dilakukan atas dasar wangsit yang telah diterima oleh Ketua Adat yang merupakan perintah dari leluhur mereka yang datang melalui mimpi. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya variasi selang waktu antar perpindahan yang membuktikan bahwa perpindahan tersebut bukan karena kesuburan tanah, selain itu lokasi yang baru terkadang berada di atas lahan garapan dan sawah masyarakat yang tingkat produktifitas tanah sudah berkurang dan daerah yang ditinggalkan masih terdapat masyarakat yang tidak ingin pindah karena mempunyai lahan pertanian yang masih subur. Penduduk Ciptagelar yang mayoritas beragama Islam berjumlah sekitar 160 Kepala Keluarga. Untuk lebih jelasnya, batas batas tersebut dapat dilihat dalam Gambar III.13, III.14, III.15, III.16 sebagai berikut : Kebun masyarakat Hutan titipan Jalan Setapak Gambar III.13. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan 52

29 Secara fisik antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh obyek batas yang berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Obyek batas pohon yang biasa dipakai penduduk Ciptagelar berupa pohon hanjuang (cordyline sp) dan pohon botol (mascarena legenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam pada batas yang telah ditentukan. Hutan Garapan Pemukiman Gambar III.14. Batas antara hutan garapan dengan pemukiman Gambar III.15. Batas antara hutan dengan lahan garapan. 53

30 Alasan digunakannya pohon hanjuang sebagai batas karena batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah dipotong atau ditebang sampai habis, tumbuhan tersebut akan bertunas kembali dan akan tumbuh sebagaimana biasanya, sehingga batas tersebut tidak akan hilang (Sucipta, 2007). Selain itu biasanya pohon hanjuang (cordyline sp) dipergunakan sebagai batas antara pemukiman atau perumahan yang satu dengan yang lain atau sebagai pembatas antara pemukiman dengan lahan garapan. Hal ini dimungkinkan juga karena pohon hanjuang pohon yang susah mati dan tahan lama serta tidak memerlukan tempat yang besar. Sedangkan untuk pohon palem botol (mascarena legenicaulis) biasanya dipergunakan untuk pembatas antara lahan garapan dengan lahan garapan, hal ini disebabkan oleh karena pohon botol yang besar juga agar dapat terlihat dengan jelas dari kejauhan dan pohon palem botol ini juga tidak mudah mati atau terserang penyakit. Gambar III.16. Batas pemukiman berupa pohon hanjuang 54

31 Untuk mengetahui ketepatan posisi dalam pengamatan dan pengecekan dicari referensi obyek-obyek yang jelas pada citra maupun pada peta topografi yang bersifat permanen, misalnya persimpangan jalan, lekukan sungai atau jembatan, Untuk daerah yang tidak mempunyai obyek yang jelas digunakan alat GPS Untuk lebih memastikan posisi letak dari Kasepuhan Ciptagelar dan penyebaran dari masyarakat adat tersebut dalam penelitian ini juga diambil beberapa titik koordinat untuk mewakili posisi Kasepuhan Ciptagelar, seperti yang terdapat pada tabel berikut ini : Tabel III. 3. Daftar titik koordinat Kasepuhan Ciptagelar No X Y H Area B B B BTSTP BTSTPP CICEMT CIPULS IMHGD (Ciptagelar) JLR JLR KNTRDS MKAM P-DDNG P3AN P3AN SBHHTL SNRMTS TRMNL WRKOP WSMA 55

32 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut ini : Garapan Pemukiman (sawah,ladang) Pemukiman Garapan (sawah,ladang) Garapan (sawah,ladang) Hutan Primer (hutan tutupan, titipan) Garapan (sawah,ladang) Pemukiman Garapan (sawah,ladang) Hutan Primer (hutan tutupan, titipan) Garapan (sawah,ladang) Pemukiman Gambar III.17. Citra satelit Landsat daerah Sukabumi (BPN,2006) Gambar III.18. Daerah penyebaran Kasepuhan Ciptagelar 56

33 Luas wilayah adat tersebut telah mendekati luas yang dinyatakan oleh Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar yang menyebutkan luas wilayahnya sebesar Ha (Sucipta, 2007). Kasepuhan Ciptagelar Gambar III.19. Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dalam Citra Landsat Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi seluas ± Ha, luas garapan masyarakat adat yang terdapat di wilayah ulayat adat tersebut dapat dideliniasi seluas ± Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : 57

34 Gambar III.20. Wilayah garapan masyarakat adat Berdasar pada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan wilayah adat, batas-batas wilayah adat dan tata cara penentuan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, dapat diidentifikasi wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar. Gambar III.21. Lokasi Kasepuhan Ciptagelar dan TNGHS. 58

35 Dengan mempertimbangkan pola perpindahan pusat pemerintahannya, juga dengan mengidentifikasi lokasi kampung-kampung yang termasuk kedalam Kasepuhan Ciptagelar, maka akan didapatkan keseluruhan wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Setelah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi dengan cara melakukan delineasi batas berdasarkan data-data yang telah dianalisis, yang berupa kampungkampung terluar yang masih merupakan bagian dari Kasepuhan Ciptagelar kemudian wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan wilayah Zona tradisional yang terdapat di dalam citra landsat dioverlay satu sama lain sehingga menghasilkan gambar sebagai berikut. Untuk mengetahui lebih jelas batas terluar dari wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, maka hasil overlay antara delineasi batas wilayah adat dengan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Zona Tradisional dijadikan dalam sebuah peta yang menggambarkan ketiga wilayah tersebut dengan skala 1 : Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada peta berikut : Gambar III.22. Peta TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar 59

36 Dengan adanya batas wilayah Kasepuhan Ciptagelar tersebut, dapat diketahui objek batas terluar dari wilayah bukaan Kasepuhan Ciptagelar dengan cara melakukan overlay antara peta tersebut dengan hasil pengolahan citra landsat. Citra tersebut memiliki resolusi spasial 15 m dan telah diolah sehingga terklafisikasi menjadi 3 klasifikasi yaitu hutan, lahan bukaan serta yang terakhir adalah tubuh air. III. 3.2 Konsepsi dan Aspek Legal Masyarakat Adat Pada prinsipnya pengaturan tentang masyarakat hukum adat ini diatur oleh UUPA terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat itu : 1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa. 2. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia. 3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan lainnya. 4. Harus mengindahkan unsur-unsur pada hukum agama. Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi. Seperti yang telah kita lihat di atas bahwa pengaturan masyarakat adat di dalam UUPA tidak begitu mendetail, mengingat bahwa UUPA adalah peraturan pokok yang hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat, Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 60

37 Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Pada Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempat mengambil keperluan hidup sehari-hari. 3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan. Pada Pasal 4 ayat 3 UUPK dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan dalam Pasal 5 ayat 3 ditetapkan bahwa hutan adat masih ada sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 67 ayat 1 yaitu : 1. Masyarakatnya masih dalam paguyuban atau rechtsgemeenschap ; 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat ; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas ; 4. Ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang harus ditaati; 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan hidup sehari-hari 61

38 Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan dalam Penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan memepertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat di daerah yang bersangkutan serta instansi lain yang terkait. Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat seperti yang telah dibahas dalam Bab II dan ketentuan dalam UUPA dan UUPK maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : a. Terdapat masyarakat yang teratur ; b. Menempati suatu tempat teratur ; c. Ada kelembagaan yang mengatur kehidupannya ; d. Memiliki kekayaan bersama ; e. Susunan masyarakat bedasarkan pertalian suatu keturunan dan atau berdasarkan lingkungan daerah ; f. Hidup secara komunal dan gotong royong. Keberadaan masyarakat hukum adat tersebut di atas, dapat kita generalisasi kriteriakriteria untuk lebih memudahkan suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya harus memenuhi 3 (tiga) aspek utama, antara lain : 1. Subyek, komunitas masyarakat adat harus mempunyai sekumpulan orang yang hidup di suatu daerah atau berdasarkan garis keturunan. 2. Obyek, komunitas masyarakat adat mempunyai wilayah atau batas daerah yang jelas, walaupun secara nyata batas-batas tersebut tidak dengan tegas digambarkan. 3. Pranata Adat, masyarakat adat tersebut dalam kehidupannya sehari-hari mempunyai aturan yang baku yang ditaati dan dipatuhi. Selain itu mempunyai struktur organisasi adat yang mempunyai Ketua Adat sebagai pucuk pimpinan masyarakat adat. 62

39 III.3.3 Keberadaan Masyarakat Adat Ciptagelar Hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama (komunal) dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama oleh para warga masing-masing. Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 yang biasa disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) mengatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya dengan ditetapkannya kawasan hutan lindung Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dalam UUPK mengenai hak ulayat dan hak-hak perorangan sama dan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam UUPA yang pada dasarnya memberikan pengakuan hak ualayat dengan syarat keberadaan (eksistensi) hak tersebut menurut kenyataannya masih ada. Dalam hal ini pelaksanaan hak ulayat itupun harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, perlu diperhatikan kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, antara lain : 1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat ; 2. Adanya tanah / wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan obyek hak ulayat ; 3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat tersebut ke dalam pengertian hutan negara tidaklah meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggotaanggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan itu, sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada. 63

40 Gambar III.23. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar (BPN, 2006) Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak perpindahan dari wilayah Bogor, menerapkan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam kawasn Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas ± 6 Ha dengan jumlah penduduk 160 Kepala Keluarga. Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap Kasepuhan Ciptagelar dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut. Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam Zona Tradisional seluas ± Ha dilakukan melalui survey lapangan dan musyawarah dengan pihak Kasepuhan Ciptagelar. Panjang batas yang telah diidentifikasi oleh pihak TNGHS sepanjang tahun 1982 adalah 154,47 Km yang mana panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 Km, dan sepanjang 1170 Km diantaranya telah dilakukan deliniasi batas (TNGHS, 2007). 64

41 Gambar III.24. Patok batas TNGHS dengan pemukiman Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan. 65

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda. Berbagai macam suku bangsa tersebut tersebar kedalam berbagai wilayah adat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008) BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan hingga didapatkan karakteristik sistem kepemilikan lahan yang berlaku dalam hukum pertanahan adat di wilayah

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis yang mengurusi masalah pertanahan adat yang dipegang teguh dan dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat adat. Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

Bab IV Analisis. Batas

Bab IV Analisis. Batas Bab IV Analisis IV.1 Analisis Batas Tanah Garapan Dikaitkan Dengan Konsep Batas Mengacu pada penjelesan mengenai batas suatu bidang tanah garapan warga Kasepuhan Ciptagelar dan dikaitkan dengan konsep

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh Eko Wahyu

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Sirna Resmi terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106 27-106

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, tanah juga menjadi tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa ke masa semakin canggih dan mudah untuk diakses. Kita sebagai manusia tidak dapat menghindari perkembangan

Lebih terperinci

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT BAB II ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT A. Prinsip Umum tentang Perlindungan Bagi Masyarakat dan Masyarakat Adat Dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi societes ibi ius), hukum

Lebih terperinci

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data LAMPIRAN 103 Lampiran 1. Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Kondisi umum lokasi Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak, Luas, dan Wilayah Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi termasuk dalam wilayah "Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa Masyarakat

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF FORMAT KASUS KOMPREHENSIF NO. REC. : 12 KASUS DESKRIPSI : MASYARAKAT KASEPUHAN CIBEDUG VS. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUM SALAK : Keberadaan warga Cibedug di kawasan ekosistem Halimun sejak jaman Belanda-Jepang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian Secara garis besar, bab ini akan menjelaskan uraian pelaksanaan penelitian. Tahap kegiatan pada pelaksanaan penelitian ini meliputi empat tahap utama antara lain persiapan,

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh

Lebih terperinci

PENGUATAN STATUS HUKUM MASYARAKAT CIPTAGELAR MELALUI IDENTIFIKASI BATAS DAN VISUALISASI SPASIAL TANAH ADAT TESIS RODSLOWNY L. TOBING NIM :

PENGUATAN STATUS HUKUM MASYARAKAT CIPTAGELAR MELALUI IDENTIFIKASI BATAS DAN VISUALISASI SPASIAL TANAH ADAT TESIS RODSLOWNY L. TOBING NIM : PENGUATAN STATUS HUKUM MASYARAKAT CIPTAGELAR MELALUI IDENTIFIKASI BATAS DAN VISUALISASI SPASIAL TANAH ADAT TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup di alam ini. Selain itu, air juga merupakan barang milik umum, sehingga air dapat mengalami

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM ( ADAT MERAGREH UTEN ) BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku Sunda, suku yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat meliputi semua tanah serta yang termasuk dalam lingkungan wilayah tertentu. Tingginya tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 Prenita Septa Rianelly 1, Teguh Hariyanto 1, Inggit Lolita Sari 2 1 Program Studi Teknik

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL Oleh: Gurniwan Kamil Pasya ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah sebagai akibat banyak perusahaan kayu yang membabat hutan secara besar-besaran,

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website : IMPLIKASI PUTUSAN MK NO.35/PUU-X/2012 TERHADAP EKSISTENSI HUTAN ADAT MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR YANG TUMPANG TINDIH DENGAN HUTAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Sitta Nabilla Maisara

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR S.75/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

SURAT EDARAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR S.75/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG SURAT EDARAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR S.75/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG SURAT EDARAN MASALAH HUKUM ADAT DAN TUNTUTAN KOMPENSASI/GANTI RUGI OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT Nomor : S.75/Menhut-II/2004 Jakarta,

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 9 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan data atribut berupa data sosial masyarakat dilakukan di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Banten (Gambar

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) Latar Belakang Tak sekali terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kondisi kehidupan masyarakat di Jawa Barat, atau suku Sunda tidak terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh para leluhur mereka.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Misbakhul Munir Zain 3506100055 Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Email

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology. Abdulharis, R., Sarah, K.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah bagi manusia merupakan sumber penghidupan dan kehidupan, karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak sehingga mempunyai kedudukan yang penting

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komputer dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Sistem Informasi Geografi adalah suatu sistem manajemen berupa informasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian 17 BAB III METODOLOGI Metode penelitian memuat informasi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknit penentuan responden dan informan, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG PEMBANGUNAN, HAK MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MUSYAWARAH PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA NASIONAL

HUKUM AGRARIA NASIONAL HUKUM AGRARIA NASIONAL Oleh : Hj. Yeyet Solihat, SH. MKn. Abstrak Hukum adat dijadikan dasar karena merupakan hukum yang asli yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum adat ini masih harus

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 menetapkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa penggunaan tanah harus sesuai dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) 3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang

Lebih terperinci

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanah diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat makhluk-makhluk yang diciptakannya beraktifitas, termasuk manusia.

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antara lingkungan dan kesehatan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Kesehatan lingkungan merupakan salah satu aspek dalam kesehatan masyarakat yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Penerapan Hak Masyarakat Hukum Adat Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menjamin

Lebih terperinci