DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta."

Transkripsi

1 DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology. Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih, S. and Hernandi, A., 2007: The Initial Model of Assimilation of the Customary Land Tenure System into Indonesian Land Tenure System: The Case of Kasepuhan Ciptagelar, West Java, Indonesia, Hong Kong SAR, FIG Working Week Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih, S., Hernandi, A. and Zevenbergen, J., 2007: Identification of The Costumary Area and Land Parcelling Thereon : The Case of Kasepuhan Banten Kidul, Indonesia, Rotterdam, International Conference. Adimihardja, K., Achmad, H. dan Sjamsudin, 1990: Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional di Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung. Budiono et. al, 1999: Kampung Naga, Basis Informasi Desa-Desa Adat, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, ITB, Bandung. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta. Harsono, B: 1997, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. Henhen, 2008: Komunikasi Pribadi, Wakil Ketua Adat Kampung Naga, Neglasari, Tasikmalaya Herlinda, E: 2004, Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP No. 24/1997, e-usu Repository, Universitas Sumatera Utara. Hermit, H.,2004: Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda., CV Mandar Maju, Bandung. Irwansyah, R., 2008: Tata Cara Pembagian atau Pengkaplingan Tanah Dalam Sistem Pertanahan Menggunakan Hukum Adat di Kasepuhan Ciptagelar, Tugas Akhir Mahasiswa Sarjana Teknik Geodesi dan Geomatika, Bandung. 68

2 Karma, 2007: Komunikasi Pribadi, Baris Kolot Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, R. G., Kartasapoetra, A. G. dan Setiady, A., 1984: Hukum Tanah, PT Rineka Citra, Bandung. Muhammad, B., 1983: Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta Muhtar, 2007: Komunikasi Pribadi, Ketua RT Kampung Nangerang, Sirnaresmi, Sukabumi Muljadi, K. dan Widjaja, G., 2003: Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta. Noor, Aslan., 2006: Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung. Parlindungan, A. P., 1985: Pendaftaran dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA, Penerbit Alumni, Bandung. Purbacaraka, P. dan Halim, R., 1983: Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta. Republik Indonesia, 1960: Undang - undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Sekretariat Negara, Jakarta Republik Indonesia, 1962: Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah, Menteri Pertanian dan Agraria, Jakarta Republik Indonesia, 1997: Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Sekretariat Negara, Jakarta Republik Indonesia, 1999: Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Jakarta Risman, 2008: Komunikasi Pribadi, Ketua RT Kampung Naga, Neglasari, Tasikmalaya Sarah, K., 1978: Pendaftaran Tanah I, Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung, Bandung. 69

3 Soepomo, 1981 : Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Penerbit Djambatan, Jakarta. Sucipta, E., 2007: Komunikasi Pribadi, Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi Syahyuti, 2006: Nlai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia, IPB, Bogor. Warman, K., 2006: Ganggam Bauntak Menjadi Hak Milik, Andalas University Press, Padang. Wisudawanto, W. E., 2008: Tata Cara dan Aturan Penentuan Batas Wilayah Adat Berdasarkan Hukum Adat, Tugas Akhir Mahasiswa Sarjana Teknik Geodesi dan Geomatika, Bandung. Yamin, M., 2006: Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan. 70

4 LAMPIRAN 71

5 Lampiran 1 Kesimpulan Hasil Wawancara di Kampung Naga Lampiran 1.1 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Bapak Henhen (Wakil Ketua Adat di Kampung Naga) Pada tahun 1956 Kampung Naga pernah diserang oleh kelompok DI/TII Karto Suwiryo dan terjadi kebakaran pada serangan tersebut sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan terbakarnya benda-benda serta buku-buku sejarah kampung naga yang disimpan di dalam bumi ageung. Akibat hilangnya buku sejarah tersebut maka sejarah kampung naga tidak dapat terungkap dengan lengkap, hanya sejarah yang melalui lisan saja yang dapat terungkap sampai dengan sekarang. Istilahnya generasi sekarang pareum obor (api yang padam), artinya tidak mengetahui sejarah kampung naga dengan lengkap atau tidak tahu apa-apa. Menurut sejarah secara lisan, pendiri kampung naga adalah Sembah Daleum Singaparna yang merupakan pemimpin adat pertama di kampung naga. Awal mula berdirinya Kampung Naga yaitu pada saat orangtua Sembah Daleum Singaparna menitahkan untuk mencari tempat yang baru sebagai tempat tinggal yang ada mata airnya di daerah lembah, maka ditemukanlah tempat yang cocok sebagai tempat tinggal dan mencari makanan yaitu Kampung Naga. Sembah Daleum Singaparna dimakamkan di hutan larangan sebelah barat, dan ziarah kuburnya dilakukan setiap 6 kali selama 1 tahunnya yang dipimpin oleh bapak kuncen. Tanah kampung naga merupakan milik dari adat, sedangkan bangunannya dibuat oleh masyarakat itu sendiri dengan aturan yang telah ditetapkan adat. Luas arel pemukiman kampung naga yaitu sekitar 1,5 Ha dengan jumlah bangunan 111 (termasuk rumah dan balai pertemuan, mesjid, lumbung padi, dll), sedangkan jumlah rumahnya sendiri adalah 108. Luas area tersebut tidak boleh lagi diperluas, maka masyarakat disana tidak boleh menambah kapling dan jika ingin membangun rumah harus dibangun di atas kapling yang sudah disediakan, dan jika kapling sudah habis maka masyarakat harus berpindah ke luar kampung naga 72

6 untuk membangun rumah. Masyarakat Kampung Naga yang membangun rumah di luar Kampung Naga disebut sanaga dan mereka masih tetap menaati aturan adat. Mereka akan kembali ke Kampung Naga jika dilaksanakan acara-acara penting seperti upacara adat, ziarah, gotong royong, dan acara-acara adat lainnya. Saat ini ada 97% masyarakat kampung naga yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga. Kepemilikan masyarakat untuk tanah adat hanyalah ada pada hasil yang diperoleh dari memanfaatkan tanah adat dan bangunan di atas tanah tersebut yaitu sebagai tempat tinggal. Sebelum mendirikan bangunan, tanah di Kampung Naga dibuat kapling-kapling terlebih dahulu untuk lebih mengatur pemukiman disana. Pembuatan kapling tersebut menggunakan batu kali yang diambil dari sungai. Diatas kapling tersebut pada umumnya dibangun rumah dengan tipe 56 dan ada juga yang mempunyai tipe 69. Rumah milik masyarakat tersebut boleh dijual belikan dan disewakan pada masyarakat adat itu sendiri atau pada orang luar dengan syarat orang luar tersebut setelah tinggal di Kampung Naga mampu untuk mengikuti ketentuan/aturan adat. Sedangkan untuk tanahnya tidak boleh diperjualbelikan. Rumah di wilayah kampung adat tidak memiliki sertifikat, akan tetapi pada tanah adat dipungut pajak setiap tahunnya yang ditanggung pajaknya oleh adat. Selain memiliki rumah, beberapa masyarakat Kampung Naga ada yang memiliki sawah dan perkebunan di luar area wilayah Kampung Naga. Sawah dan perkebunan yang adanya di luar areal pemukiman adat (di luar dari area 1,5 Ha) merupakan milik dari perorangan masyarakat adat dan sudah memiliki sertipikat. Sawah atau kebun tersebut boleh diperjualbelikan kepada siapapun dan boleh diperluas jika lahannya masih ada. Menurut aturan di Kampung Naga disebutkan bahwa ada tiga hari pada setiap minggunya yaitu pada hari selasa, rabu dan sabtu serta dua bulan pada setiap tahunnya yaitu pada bulan safar dan romadhon, masyarakat Kampung Naga tidak boleh berbicara soal leluhurnya dan sejarah mengenai Kampung Naga. Jika aturan tersebut dilanggar maka masyarakat akan terkena kualat atau suatu malapetaka yang ditimpakan kepada masyarakat yang melanggar tersebut. 73

7 Lampiran 1.2 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Bapak Risman (Ketua RT di Kampung Naga) Di wilayah Kampung Naga juga tidak diperbolehkan untuk menggunakan energi listrik, mereka khawatir akan terjadi kebakaran karena rumah mereka yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk sangat mudah terbakar, selain itu juga mereka mengkhawatirkan akan terjadi kesenjangan sosial jika energi listrik masuk ke Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga mempunyai prinsip terhadap pemerintah, bahwa Pemerintah bukan tempat meminta, tetapi sebagai tempat pengabdian, warga akan mentaati keputusan pemerintah asalkan tidak bertentangan dengan aturan adat dan agama. Kawasan pemukiman masyarakat Kampung Naga dikelilingi oleh lahan pertanian sawah dan hutan. Selain bangunan rumah, di kawasan pemukiman juga dibangun kolam-kolam sebagai tempat penampungan air dan sekaligus menjadi tempat memelihara ikan. Secara ekologis, pola perkampungan di Kampung Naga mencerminkan pola lingkungan masyarakat Sunda yang umumnya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Dalam pola tersebut, terdapat tiga elemen penting yang saling mendukung dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Yaitu, rumah sebagai tempat tinggal, sumber air yang selalu tersedia, dan kebun serta kolam tempat memelihara ikan. Pemisahan antara wilayah pemukiman dan lahan pertanian sangat jelas di terapkan dalam wilayah Kampung Naga. Wilayah pemukiman memiliki luas 1,5 Ha, di dalam wilayah pemukiman ini hanya terdapat 111 bangunan yang terdiri dari 108 buah rumah penduduk, 1 buah masjid, dan 1 buah bangunan sebagai tempat untuk menyimpan benda pusaka. Selain itu di wilayah pemukiman ini juga terdapat lumbung padi, dan kolam ikan. Di dalam wilayah pemukiman sama sekali tidak terdapat lahan pertanian. Wilayah pemukiman memiliki batas yang jelas berupa pagar bambu yang mengelilinginya, dan kolam-kolam ikan yang ada di sebelah Utara. Warga yang tinggal dan mendiami salah satu rumah di wilayah pemukiman ini disebut dengan warga Naga. Daerah di luar wilayah pemukiman Kampung Naga dimanfaatkan oleh masyarakat Naga dan sanaga sebagai lahan pertanian. 74

8 Karena pemukiman Kampung Naga memiliki lokasi yang tetap dan luasnya tidak dapat bertambah maka peruntukan lahan dalam tata ruang wilayah adatnya berprinsip kepada efisiensi dengan tetap tidak mengabaikan faktor ekologis dalam menjaga keseimbangan lingkungannya. Pola pemanfaatan lahan di Kampung Naga dapat dibagi ke dalam tiga kategori kawasan, yaitu kawasan suci, kawasan bersih, dan kawasan kotor. Kawasan suci merupakan kawasan milik Kampung Naga yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Kawasan ini selalu dijaga kelestarian dan kesuciannya dari pengaruh luar dan diawasi secara bersama oleh warga Kampung Naga. Kawasan suci ini merupakan sebuah bukit kecil yang berada di sebelah barat pemukiman masyarakat Kampung Naga. Di bukit tersebut terdapat hutan kecil yang disebut leuweung larangan yang artinya adalah hutan yang penuh dengan pantangan dan tidak boleh dimasuki tanpa izin dari kuncen. Di leuweung larangan ini terdapat tempat yang dipercaya masyarakat sebagai makam leluhur Kampung Naga. Secara rutin masyarakat Kampung Naga bersama-sama melakukan ziarah ke makam leluhur mereka dalam suatu bentuk upacara adat. Tidak jauh dari leuweung larangan terdapat tempat pemakaman penduduk masyarakat Kampung Naga. Letaknya masih berada lebih tinggi dari lokasi yang dijadikan sebagai tempat pemukiman. Selain leuweung larangan, di kawasan bukit tersebut juga terdapat wilayah yang disebut leuweung tutupan yang merupakan daerah hutan yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras berumur puluhan dan ratusan tahun. Adanya leuweung tutupan merupakan suatu bentuk nyata kepedulian dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan. Yang disebut dengan kawasan bersih merupakan daerah yang selama ini dijadikan tempat pemukiman warga Kampung Naga. Di daerah yang seluas 1.5 Ha ini selain menjadi tempat didirikannya bangunan bangunan rumah dengan gaya arsitektur tradisional Sunda, di kawasan ini juga terdapat bangunan leuit, mesjid, bumi ageung, dan bale patemon. 75

9 Kawasan kotor berada pada daerah yang permukaan tanahnya lebih rendah. Kawasan tersebut letaknya bersebelahan dengan sungai Ciwulan yang sekaligus menjadi batas Kampung Naga di sebelah timur. Bangunan yang terdapat di kawasan kotor umumnya merupakan bangunan penunjang untuk keperluan kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga, bangunan tersebut diantaranya adalah tempat pancuran yang biasa digunakan untuk mandi dan cuci serta keperluan sehari-hari lainnya, selain itu juga terdapat kandang ternak, kolam, dan saung lisung atau tempat menumbuk padi. Lahan pertanian di Kampung Naga yang terletak di luar wilayah pemukiman, jenis hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas lahan pertaniannya merupakan hak milik yang diberikan oleh pemerintah dengan tanda bukti berupa sertifikat atas kepemilikan lahan pertanian. Masyarakat Kampung Naga mengolah lahan pertaniannya dengan menerapkan aturan-aturan adat dalam bidang pertanian, misalnya dengan tidak menggunakan traktor untuk membajak sawah, tetapi cukup dengan menggunakan cangkul. Sedangkan tenaga kerja yang dilibatkan dalam kegiatan pertanian berasal dari keluarga sendiri atau berdasarkan pada upaya saling bantu dengan anggota masyarakat lainnya tanpa memperhitungkan upah sebagai imbalannya. Warga adat yang memiliki lahan pertanian dapat melakukan jual beli atas lahan pertanian miliknya. Kegiatan jual beli lahan pertanian tidak diatur secara khusus dalam hukum pertanahan adat di Kampung Naga, warga yang memiliki lahan pertanian dapat dengan bebas melakukan proses jual beli dan sewa menyewa lahan pertanian. Pemerintah setempat yang dipegang oleh PU telah mengadakan pengukuran untuk pembuatan jalan baru menuju Kampung Naga dan akses menuju desa lainnya di sekitar Kampung Naga. Namun pengukuran dan pembuatan jalan tersebut terhenti dan tidak terlaksana lagi sampai sekarang. 76

10 Lampiran 2 Kesimpulan Hasil Wawancara di Kasepuhan Ciptagelar Lampiran 2.1 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Abah Anom (Mantan Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar) Kasepuhan Ciptagelar memiliki lahan bukaan yaitu sebesar Ha. Setelah merdeka, warga kasepuhan tidak boleh membuka hutan. Penduduk Ciptagelar sudah mengetahui bahwa tanah yang mereka miliki sekarang, harus didaftarkan agar mendapatkan bukti kepemilikan yang sah atas lahan mereka masing-masing. Tanah adat yang diakui kepemilikannya oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga merupakan bagian dari pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Pihak adat dan pihak TNGHS saling mengklaim bahwa daerah tersebut merupakan bagian dari kepemilikan mereka. Tapi jika kita lihat dari segi sejarah, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar jauh lebih dulu memiliki tanah disitu. Dan bila dilihat dari kepentingannya, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar lebih membutuhkannya untuk kelangsungan hidup mereka. Masyarakat Kasepuhan sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Hal itu terbukti dengan adanya aturan dalam hukum adat mereka yang tidak membolehkan semua lahan di daerah tersebut untuk digarap. Adapun bagian bagiannya yaitu : Leuweung Titipan : tidak boleh digarap oleh warga, kecuali untuk keperluan adat. Leuweung Tutupan : tidak boleh digarap oleh warga, maupun untuk keperluan adat. Leuweung Garapan : bisa digarap oleh warga. Dalam aturan adat kasepuhan, kepemilikan atas suatu bidang tanah bukan seperti yang kita lihat seperti biasanya. Masyarakat Ciptagelar tidak mengakui kepemilikan tanahnya, melainkan garapannya, sedangkan tanahnya hanya milik adat. Maksudnya yaitu mereka hanya mengakui garapannya yang bisa berupa sawah atau tempat tinggalnya yang berupa panggung. Sebagai contoh jika ada proses jual beli sawah disana, sebenarnya uang tersebut digunakan untuk membayar biaya, tenaga dan waktu untuk merubah suatu lahan menjadi sawah. 77

11 Jika ada yang ingin membeli rumah, uang tersebut hanya digunakan untuk membayar biaya, tenaga, dan waktu untuk membuat rumah tersebut. Sang pembeli rumah bisa saja memilih lokasi/tempat untuk meletakkan rumah panggungnya tersebut. Di Kasepuhan Ciptagelar terdapat kebebasan dalam memilih lokasi tempat tinggal asalkan tidak melanggar aturan adat, karena tidak ada kepemilikan atas suatu bidang tanah. Jika ada suatu permasalahan, biasanya warga bertanya pada Abah Anom sebagai ketua adat kasepuhan tersebut. Lalu abah memberikan solusi / jalan keluar yang baik untuk kedua belah pihak. Ketika ditanya mengenai sistem pertanahan nasional yang menyangkut dengan proses pendaftaran tanah, ternyata mereka pun ingin segera mendaftarkan tanahnya agar kepemilikan atas tanah mereka menjadi sah dan resmi dengan adanya bukti kepemilikan berupa sertifikat. Dan ketika ditanya mengenai pembayaran pajak, karena setiap tanah yang sudah didaftarkan harus membayar pajak atas kepemilikan tanah tersebut ternyata mereka (diwakili oleh Abah Anom) sanggup untuk membayarnya. Oleh karena itu, Abah Anom sangat menganjurkan warganya agar memilki uang yang cukup agar mudah dalam urusannya. Apalagi mereka juga tinggal di daerah yang juga diakui oleh pengelola Taman Nasional Gunung Halimun. Lampiran 2.2 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Bapak Muhtar (Ketua RT di Kampung Nangerang) Kampung Nangerang masih menganut hukum adat Kasepuhan Ciptagelar, namun sudah sedikit memudar mungkin karena adanya modernisasi atau pengaruh dari luar yang membuat aturan adat di daerah tersebut sedikit berbeda. Beberapa hal yang masih dianut berkaitan dengan penggunaan lahan atau tanah yaitu tidak bolehnya tempat-tempat tertentu untuk ditempati, yaitu : Lemah gunting Sirah cai Pamatangan Batas tanah yang digunakan disana yaitu berupa pohon Hanjuang, alasan menggunakan pohon hanjuang yaitu karena walaupun pohon tersebut sudah ditebang sampai habis, suatu saat nanti pasti akan tumbuh kembali. Sehingga 78

12 batas tanah tersebut tidak akan hilang. Kecurangan yang bisa dilakukan mengenai sengketa batas tanah yaitu dengan memindahkan pohon hanjuang tersebut, sehingga batas tanahnya akan berubah. Di kampung Nangerang, tanah-tanah banyak yang sudah didaftarkan dan memiliki surat sah kepemilikan tanah berupa sertifikat. Bukti pembayaran pajaknya berupa Blangko. Tetapi, di desa ini terdapat 2 orang pemilik asli seluruh tanah Nangerang, yaitu Pak Saib dan Pak Parja. Seiring berjalannya waktu, penduduk Nangerang membeli tanah kepada mereka dan mendaftarkan tanahnya hingga memiliki sertifikat. Mereka mendaftarkan tanahnya melalui kepala desanya. Jadi intinya sebagian besar dari penduduk kampung Nangerang sudah memiliki tanah secara sah dengan adanya bukti berupa sertifikat, tidak seperti kepemilikan tanah di kasepuhan Ciptagelar. Sedangkan penduduk lainnya hanya berperan sebagai penyewa tanah dengan membayar blangko kepada dua orang tersebut sebesar Rp pertahun. Desa Nangerang terbagi menjadi dua bagian, sebagian di dalam TNGHS dan sebagian di luar TNGHS. Batas yang membedakan kedua bagian tersebut berupa pilar batas TNGHS yang dibuat tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada warga. Saat ini, sebagian besar pilar tersebut sudah banyak yang bergeser posisinya bahkan banyak yang sudah hilang. Lampiran 2.3 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Ki Karma (Salah Satu Baris Kolot di Kasepuhan Ciptagelar) Hukum adat di Ciptagelar tidak tertulis, tetapi diajarkan turun temurun atau diwariskan kepada anak cucunya atau dalam istilah sunda disebut pajajaran. Seperti yang sekarang ini, Abah Anom menurunkan ajarannya kepada anaknya yaitu Abah Ugi yang sekarang menjadi ketua adat Ciptagelar. Ajaran tersebut diturunkan sampai generasi seterusnya, jangan ada yang dihilangkan. Salah satu ajarannya yaitu, tidak boleh menjual beras, tidak boleh menggiling padi menggunakan mesin, tetapi harus ditumbuk, rumah-rumah jangan terlalu mewah dan harus mengikuti adat. Abah Anom mempunyai 560 perwakilan di setiap kampungnya. Jadi kasepuhan Ciptagelar membawahi 560 kampung yang ada di sekitar gunung Halimun. Setiap ada acara di Kasepuhan Ciptagelar seperti Seren 79

13 Taun, maka ke 560 perwakilan tersebut harus datang. Jadi Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat pemerintahannya adat Banten Kidul. Di lingkungan Ciptagelar terdapat É60 kepala keluarga, dengan luasnya sekitar 6 Ha (pemukimannya saja). Luas garapannya sekitar ribuan Ha (di luar titipan dan tutupan). Sedangkan luas hutan titipan sekitar ratusan ribu hektar. Sebelum Abah Anom pindah ke Ciptagelar, ternyata di daerah Ciptagelar tersebut sudah ada garapan sebelumnya berupa sawah-sawah. Jadi, Abah Anom tidak membuka hutan lagi, melainkan sudah ada sawah. Untuk membuat rumah, warga mengambil kayu dari hutan garapan, tetapi dengan syarat harus menanam kembali pohon pohon baru, agar alam tetap lestari. Begitu juga ketika Abah Anom membuat jalan, di sepanjang jalan tersebut ditanami kembali oleh pohonpohon yang baru. Sebelum adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS, hutan masih tetap aman dan lestari karena dijaga dan dirawat oleh warga, namun setelah adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS hutan sekarang menjadi rusak, karena diambil secara besar-besaran. Contohnya di daerah Cigaronggong, setelah Abah pindah hutan disana jadi habis karena diperjualbelikan. Tetap saja warga adat yang disalahkan. Warga adat Kasepuhan Ciptagelar sangat menjaga alamnya, hal ini dibuktikan dengan adanya pam swakarsa yaitu beberapa warga yang ditunjuk oleh Abah untuk mengontrol dan menjaga hutan. Karena mereka merasa persoalan hutan merupakan pertanggungjawaban dari warga, untuk warga dan oleh warga, jadi mereka harus menjaga hutan tersebut sebaik-baiknya. 80

14 Lampiran 3 Matriks Perbandingan Karakteristik Status Tanah Adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar Lokasi tanah (akses dari jalann raya) Lokasi tanah (akses dari jalan raya) Status hukum keberadaan tanah Perlakuan hukum terhadap tanah Luas wilayah Batas wilayah Tanda batas pemukiman Sifat tanah Penggunaan tanah Asal pemberian tanah (nenek moyang) beda Status hukum keberadaan tanah - beda Perlakuan hukum terhadap tanah - - beda Luas wilayah beda Batas wilayah sama Tanda batas pemukiman beda Sifat tanah sama - - Penggunaan tanah sama - Asal pemberian tanah (nenek moyang) beda 81

15 Lampiran 4 Sketsa Penyepadanan Hak Atas Tanah Adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar dengan Hak Atas Tanah dalam UUPA HAK ATAS TANAH MENURUT ADAT dipadankan dengan HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA Hak Ulayat (HU) Hak Milik Hak Pakai Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan (HMB) Hak Milik Hak Pakai Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha Hak Menggarap Tanah dan Memiliki Hasilnya (HMT) Hak Milik Hak Pakai Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha 82

16 Lampiran 5 Undang-Undang Pokok Agraria tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal I 1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. 2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas. 3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun. 4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) Pasal ini dibebani dengan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1), yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun. 5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) Pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. 6) Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) Pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut undang-undang ini. 83

17 Pasal II 1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. 2) Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria. Pasal III 1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam Pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. 2) Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya undangundang ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria. 84

18 Pasal IV 1) Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha. 2) Jika sesudah jangka tersebut permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya. 3) Jika pemegang hak concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya. Pasal V Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. Pasal VI Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgerbruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. 85

19 Pasal VII 1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat (1). 2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undangundang ini. 3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan. Pasal VIII 1) Terhadap hak guna bangunan tersebut pada Pasal 1 ayat (3) dan (4), Pasal II ayat (2) dan Pasal V berlaku ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2). 2) Terhadap hak guna usaha tersebut Pasal II ayat (2), Pasal III ayat (1) dan (2) dan Pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2). Pasal IX Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal- Pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria 86

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda. Berbagai macam suku bangsa tersebut tersebar kedalam berbagai wilayah adat

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT KAMPUNG NAGA ABSTRACT

SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT KAMPUNG NAGA ABSTRACT SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT KAMPUNG NAGA 1) Didik Wihardi, 1) Andri Hernandi, 1) Rizki Abdulharis, 2) Alfita Puspa Handayani* didikw@gd.itb.ac.id ABSTRACT Customary land is land controlled by a

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketentuan Konversi Hak-Hak Lama Menjadi Hak-Hak Baru Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1. Sejarah Munculnya Hak Atas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK Pasal 1 (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008) BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan hingga didapatkan karakteristik sistem kepemilikan lahan yang berlaku dalam hukum pertanahan adat di wilayah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan PP No. 24/1997

Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan PP No. 24/1997 Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi Dan PP No. 24/1997 Erna Herlinda Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masalah tanah bagi manusia

Lebih terperinci

Bab IV Analisis. Batas

Bab IV Analisis. Batas Bab IV Analisis IV.1 Analisis Batas Tanah Garapan Dikaitkan Dengan Konsep Batas Mengacu pada penjelesan mengenai batas suatu bidang tanah garapan warga Kasepuhan Ciptagelar dan dikaitkan dengan konsep

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA Undang-Undang 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA Undang-Undang 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA Undang-Undang 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya,

Lebih terperinci

JURNAL PELAKSANAAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT (LETTER C) MENJADI HAK MILIK DI KABUPATEN MAGELANG

JURNAL PELAKSANAAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT (LETTER C) MENJADI HAK MILIK DI KABUPATEN MAGELANG JURNAL PELAKSANAAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT (LETTER C) MENJADI HAK MILIK DI KABUPATEN MAGELANG Diajukan oleh : Aditya Christy Hanggara N P M : 090510012 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan

Lebih terperinci

Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hakhak atas tanah dari status yang lama

Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hakhak atas tanah dari status yang lama KONVERSI RH Pengertian Konversi Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan (1990 : 1) menyatakan : Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlindung dan melanjutkan kehidupannya. Sejalan dengan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. berlindung dan melanjutkan kehidupannya. Sejalan dengan bertambahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kemakmuran yang adil dan merata hanya dapat dicapai melalui pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia, tanah

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa didalam Negara Republik

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis yang mengurusi masalah pertanahan adat yang dipegang teguh dan dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat adat. Hukum

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Hukum Adat di Indonesia

BAB II DASAR TEORI 2.1 Hukum Adat di Indonesia BAB II DASAR TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hukum adat di Indonesia (Bab 2.1), konsep hukum pertanahan adat (Bab 2.2), peraturan perundang-undangan mengenai hukum pertanahan adat (Bab 2.3)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang corak kehidupan serta perekonomian rakyatnya masih bercorak agraris, sebagian besar kehidupan rakyatnya

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017 PEROLEHAN HAK ATAS TANAH MELALUI PENEGASAN KONVERSI MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA 1 Oleh : Calvin Brian Lombogia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

KONVERSI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA MENURUT UU NO.5 TAHUN Oleh. Delfina Gusman, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas.

KONVERSI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA MENURUT UU NO.5 TAHUN Oleh. Delfina Gusman, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. KONVERSI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1960 Oleh Delfina Gusman, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Abstrak Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh Eko Wahyu

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (L.N NO. 104; Pendj. T.L.N. NO. 2043) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (L.N NO. 104; Pendj. T.L.N. NO. 2043) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENIMBANG: UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (L.N. 1960 NO. 104; Pendj. T.L.N. NO. 2043) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa di dalam negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT DI JAWA BARAT MENGACU PADA KETENTUAN KONVERSI UUPA DAN PP NO. 24/1997

KAJIAN SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT DI JAWA BARAT MENGACU PADA KETENTUAN KONVERSI UUPA DAN PP NO. 24/1997 KAJIAN SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT DI JAWA BARAT MENGACU PADA KETENTUAN KONVERSI UUPA DAN PP NO. 24/1997 (Studi Kasus Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar) TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, tanah juga menjadi tempat

Lebih terperinci

PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH ADAT (KONVERSI) DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM LARASITA DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH ADAT (KONVERSI) DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM LARASITA DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN NASKAH PUBLIKASI PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH ADAT (KONVERSI) DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM LARASITA DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN Diajukan oleh : WULAN NOPITANINGSIH NPM :

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PELAKSANAAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA MENTERI AGRARIA,

MENTERI AGRARIA PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PELAKSANAAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA MENTERI AGRARIA, MENTERI AGRARIA PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PELAKSANAAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA MENTERI AGRARIA, Menimbang : a. bahwa untuk menghindarkan keragu-raguan perlu ada

Lebih terperinci

STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960

STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960 JURNAL ILMU HUKUM 201 STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960 ULFIA HASANAH Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru Abstrak Dengan berlakunya UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia dan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia dan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia dan suatu unsur yang utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Uraian Pendaftaran Tanah. pengertian Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Uraian Pendaftaran Tanah. pengertian Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Pendaftaran Tanah 2.1.1. Pengertian Pendaftaran Tanah Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 pengertian Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I Made Sandy, Catatan Singkat tentang Hambatan-Hambatan Pelaksanaan UUPA, Jurnal

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I Made Sandy, Catatan Singkat tentang Hambatan-Hambatan Pelaksanaan UUPA, Jurnal 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan tempat yang dipergunakan bagi manusia untuk mendirikan tempat tinggalnya, selain itu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai hasil analisis perbandingan sistem kepemilikan lahan di Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga (Bab 4.1), dan perbanding sistem kepemilikan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug TEMU ILMIAH IPLBI 2017 Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug Ratu Arum Kusumawardhani (1), Ryan Hidayat (2) arum_q@yahoo.com (1) Program Studi Arsitektur/Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup manusia tidak mungkin dilepaskan dari tanah, tiap membicarakan eksistensi manusia, sebenarnya secara tidak langsung kita juga berbicara tentang tanah.

Lebih terperinci

UU 5/1960, PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal:24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA)

UU 5/1960, PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal:24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA) UU 5/1960, PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal:24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA) Tentang:PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA *) Presiden

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk 1 Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup,

Lebih terperinci

Kata Kunci : Konversi, hak tanah

Kata Kunci : Konversi, hak tanah 1VOLUME 3 NO. 1 STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DIHUBUNGKAN DENGAN PP NO. 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN

Lebih terperinci

Pariwisata = Perjalanan Wisata

Pariwisata = Perjalanan Wisata BAB II TINJAUAN UMUM KAMPUNG WISATA 2.1 TINJAUAN UMUM PARIWISATA 2.1.1 Pengertian Pariwisata Pariwisata adalah aktivitas manusia yang sedang melakukan suatu perjalanan dari tempat tinggalnya ( hanya sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolut dan vital, artinya kehidupan manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh eksistensi tanah. Kehidupan

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar di Negara Agraris. Tidak dapat dipungkiri fenomena sengketa pertanahan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah berperan penting bagi kesejahteraan rakyat salah satunya adalah sebagai tempat tinggal sehingga antara tanah dan manusia terdapat hubungan yang sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan

Lebih terperinci

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SISTEM KEPEMILIKAN LAHAN SECARA ADAT (Studi kasus: Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga) TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal : 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA) Sumber : LN 1960/104;

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U AN

BAB I P E N D A H U L U AN BAB I P E N D A H U L U AN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak

Lebih terperinci

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun, LAMPIRAN: 1 Persandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Menurut Undang-Undang Pertanahan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adat. Setelah Indonesia merdeka Indonesia merupakan negara hukum yang

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adat. Setelah Indonesia merdeka Indonesia merupakan negara hukum yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terkenal dengan keberagamannya. Banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia yang hampir lebih dari tujuh belas ribu pulau (17.000)

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL Oleh: Gurniwan Kamil Pasya ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah sebagai akibat banyak perusahaan kayu yang membabat hutan secara besar-besaran,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK BAB II HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH

Lebih terperinci

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn SEJARAH HUKUM TANAH DI INDONESIA A. SEBELUM BERLAKUNYA HUKUM TANAH NASIONAL Pengaturan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan dinamika pembangunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi salah satu kekayaan dan bagian dari bumi dengan jumlah terbatas dan tidak dapat diperbaharui namun memiliki

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok

Lebih terperinci

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara Kampung Wisata -> suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal: 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal: 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1960 (5/1960) Tanggal: 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/104; TLN NO. 2043 Tentang: PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan

HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan HALIMUN & HARAPAN PENYELAMATAN KAMPUNG HALAMAN Oleh: Tina, Medan Masyarakat kawasan Gunung Halimun dahulunya memegang tradisi masyarakat Kasepuhan dengan pola kehidupan unik dan memiliki kearifan mengelola

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 36 BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah Negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris sehingga tanah mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian. hukum. Semua responden yang mengkonversi Leter C telah memperoleh

BAB III PENUTUP. konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian. hukum. Semua responden yang mengkonversi Leter C telah memperoleh 70 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perolehan konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian hukum. Semua responden yang mengkonversi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai peranan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai peranan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai peranan yang sangat penting, karena sebagian besar aktivitas sehari-hari manusia bergantung pada tanah. Di

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak, Luas, dan Wilayah Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi termasuk dalam wilayah "Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat berstatus hak milik, yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga akan lebih memiliki

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Sirna Resmi terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106 27-106

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

KAMPUNG NAGA MASYARAKAT ADAT YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN oleh : redaksi butaru *

KAMPUNG NAGA MASYARAKAT ADAT YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN oleh : redaksi butaru * KAMPUNG NAGA MASYARAKAT ADAT YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN oleh : redaksi butaru * Pendahuluan Kampung Naga, sebuah desa yang berada di Kampung Nagaratengah, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten

Lebih terperinci