BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat (ter Haar dalam Hutagalung, 2005). Hal ini merupakan hak yang asli dan utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua tanah di lingkugan masyarakat adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut. Hak ini juga dapat diperlakukan terhadap pihak luar dari anggota masyarakat adat. Pelaksanaan terhadap pihak luar tersebut mempunyai wewenang tersendiri atas tanah di lingkungannya dan masyarakat adat mempunyai tanggung jawab atas kerugian yang dilakukan terhadap tanahnya dan mengawasi penggunaan diantara anggota sendiri serta mengatur hak dan tuntutan dari setiap anggota dalam berbagai cara guna memperoleh bagian mereka yang sesuai dengan manfaat umum (van Vollenhoven dalam Hutagalung, 2005, Riyanto, 2004) Van Vollenhoven membagi secara rinci ciri ciri hak ulayat, sebagai berikut : a. Hubungan intra komunal Dasar pembentukan utama kebersamaan pada hak ulayat terletak pada hubungan timbal balik antara hak bersama dengan hak individu. b. Hubungan ekstra komunal Hak ulayat mempunyai kekuatan ke luar sebagai suatu kumpulan pembatasan untuk menguasai tanah komunal oleh pihak luar. Pihak luar dapat mempergunakan tanah ualayat dengan membayar uang adat. c. Tugas kepala adat Memiliki tugas ganda, keluar yaitu sebagai pihak penguasa dan ke dalam untuk melindungi tanah-tanah jabatan yang dipakai untuk kepentingan bersama. d. Fungsi hak ulayat Hak ulayat masyarakat adat tidak hanya terbatas hanya pada tanah dan air tetapi juga terhadap pada tumbuhan dan binatang rimba. 7

2 e. Dua dimensi daerah ulayat Dua dimensi ulayat terbagi atas dua bagian, meliputi : - Kampung, perumahan dan daerah penghasil makanan - Daerah sebagai wilayah maritim f. Pembatasan daerah ulayat Melalui batas hukum adat, daerah ulayat sangat terlindungi dari tuntutan masyarakat hukum adat lainnya. Batas-batas yang tidak jelas di lain pihak dapat ditemukan di daerah yang tidak berpenduduk. Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh undang-undang dan para ahli hukum yang merupakan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan lebens raum bagi para warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum adat sendiri tidak memberikan nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya atau sebutan hutannya yang berada dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam bahasa adat setempat (Harsono, 2002). II.1. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan Pusat Pemerintahan Kesatuan Adat Banten Kidul adalah komunitas masyarakat adat yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang mana akhir-akhir ini banyak menimbulkan konflik pertanahan yang disebabkan oleh karena belum batas yang jelas antara masyarakat adat kasepuhan dengan TNGHS dan adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Kasepuhan Ciptagelar yang berasal dari wilayah Bogor berpindah tempat untuk mencari tempat kehidupan yang lebih baik di sekitar Gunung Halimun sejak tahun 1902 hingga tahun 1942 mempunyai kehidupan bersifat semi nomaden (berpindahpindah berdasarkan wangsit) dan membentuk suatu komunitas adat yang bernama Kesatuan Adat Banten Kidul yang sampai saat ini tinggal dan menetap di dalam kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). 8

3 Balai Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BPTNGHS) sebagai lembaga yang mengelola Taman Nasional sejak tahun 2003 dengan adanya penggabungan antara Taman Nasional Gunung Halimun dangan Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak mempunyai luas areal ± Ha. Dengan semakin berkembangnya populasi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dan sifat yang semi nomaden pihak BPTNGHS merasa khawatir, karena luas wilayah hutan semakin berkurang dan ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak akan menjadi terganggu. Sehubungan dengan adanya konflik di kedua belah pihak yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), peneliti merasa perlu mengadakan penelitian tentang keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. II.2. Landasan Teori II.2.1 Tinjauan Umum Hukum Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat ialah suatu kelompok yang teratur bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, juga kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan (ter Haar dalam Sumardjono, 1982). Hukum adat diartikan sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tapi tetap dihormati dan ditaati oleh masyarakat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum adat yang berlaku dalam lingkup masyarakat adat tersebut. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif (unstatory law), meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati dan didukung oleh masyarakat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang berlaku dalam lingkup masyarakat adat tersebut (Wignjodipuro, 1995). 9

4 Masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari itu untuk selama-lamanya (ter Haar dan Soepomo dalam Muhammad, 1984). Sebagai suatu bentuk hukum yang memiliki kumpulan norma-norma, norma hukum tersebut tersusun dalam suatu tatanan atau sistem. Sistem tersebut melingkupi pula lembaga adat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan nyata masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan memiliki konsepsi hukum adat yang dapat dirumuskan sebagai konsepsi komunalistik religious (van Vollenhoven dalam Harsono, 1997). Komunalistik yaitu terdapat sifat kebersamaan dalam kehidupan masyarakat adat, sedangkan yang dimaksud religious yaitu masyarakat adat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan sangat menghormati kepercayaan yang diwariskan nenek moyang. Sehubungan dengan kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa konsepsi komunalistik religius dapat diartikan bahwa masyarakat adat mempunyai kebersamaan yang tinggi dan mempercayai hal-hal gaib dalam kehidupannya. Menurut tatanan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 golongan (ter Haar, 1939 dalam Abdurahman, Wenzel, 1997; Sutanto-Sunario, 1999; Soepomo, 1981), yaitu : a. Berdasarkan pertalian suatu keturunan (geneologis) Pertalian berdasarkan keturunan ini dibagi atas 3 macam, yaitu : 1). Pertalian menurut garis bapak (Patrilineal) misalnya orang Batak, Nias dan Sumba 2). Pertalian menurut garis ibu (Matrilineal) misalnya famili di Minangkabau 3). Pertalian menurut garis keturunan Bapak dan Ibu (Parental) misalnya Kalimantan dan Jawa pada umumnya 10

5 b. Berdasarkan lingkungan daerah (teritorial) Pertalian masyarakat adat berdasarkan lingkungan daerah terbagi atas 3 (tiga) jenis : 1). Persekutuan Desa, yaitu segolongan orang yang terikat berdasarkan tempat tinggal Contoh : Desa di Jawa dan Bali 2). Persekutuan Daerah, yaitu kumpulan di dalam suatu daerah tersebut terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tatanan susunan dan pemerintah sejenis yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari kumpulan daerah tersebut, mempunyai harta dan hutan sendiri di sekelilingnya. Contoh : Kuria di Angkola, Tapanuli Selatan dan marga di Sumatera Selatan. 3). Perserikatan beberapa Desa, yaitu kumpulan beberapa kampung yang terletak berdekatan satu sama lain mengadakan persetujuan untuk memelihara kepentingan bersama. Contoh : perserikatan huta-huta di Batak Menurut kenyataannya di Indonesia hanya ada beberapa daerah yang sususnan masyarakatnya bersifat geneologis, misalnya orang Gayo, dimana klan-klan / golongan hanya mengenal ikatan berdasarkan keturunan saja. Tatanan masyarakat adat yang berdasarkan teritorial saja misalnya yang terdapat di Jawa, Madura, Bali dan Ambon. Selain kedua hal tersebut di atas dikenal pula tata susunan masyarakat adat yang bersifat geneologis teritorial, artinya untuk menjadi anggota masyarakat hukum seseorang harus termasuk dalam suatu kesatuan geneologis dan harus bertempat tinggal di dalam daerah masyarakat adat tersebut. Contoh : Nagari di Minangkabau, Kuria dan Huta di Tapanuli (Batak). Para warga masyarakat adat sebagai anggota kelompok, masing masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna 11

6 memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang disebut hak milik. Hak penguasaan yang bersifat individu merupakan hak yang bersifat pribadi, karena tanah yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya, sedangkan kebutuhan kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah bersama oleh kelompok di bawah pimpinan Kepala Adat. Tanah adat bersama tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan suatu generasi, tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi terdahulu, sekarang dan yang akan datang, maka wajib dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan warga masing masing dan keluarganya. Hak ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum yang konkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayahnya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayahnya ini bukanlah hubungan milik melainkan hubungan pertanahan sebagaimana disebut dengan istilah beschikkingsrecht, dimana dengan tegas disebutkan bahwa masyarakat hukum adat tidak dapat memindahtangankan beschikkingsrecht tersebut (van Vollenhoven dalam Sumardjono, 1982). Obyek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. Tidak mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat teritorial, sedangkan untuk masyarakat hukum adat bersifat geneologis diketahui tanahnya yang mana termasuk tanah yang dipunyai bersama. Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, beberapa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dapat dikemukakan seperti di bawah ini (Sumardjono, 1999) ; a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat ; 12

7 b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat ; c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu, yaitu : Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam dan lain-lain), persediaan dan pemeliharaan tanah; Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu); Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan, dan lain-lain). Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat tersebut, maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : a. Terdapat masyarakat yang teratur ; b. Menempati suatu tempat teratur ; c. Ada kelembagaan yang mengatur kehidupannya ; d. Memiliki kekayaan bersama ; e. Susunan masyarakat bedasarkan pertalian suatu keturunan dan atau berdasarkan lingkungan daerah ; f. Hidup secara komunal dan gotong royong. Setiap anggota dalam suatu masyarakat adat dapat memiliki hak perseorangan atas tanah yang dibatasi olah hak ulayat, dimana anggota masyarakat adat ini masing masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah ulayat guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak sementara sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang biasa disebut dengan hak milik. Seorang warga persekutuan mempunyai hak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah tersebut secara terus menerus sehingga ia memiliki hak atas tanah tersebut. Apabila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi maka tanah itu akan kembali menjadi tanah ulayat. 13

8 II.2.2 Peraturan Perundang-Undangan mengenai Hukum Pertanahan Adat Dasar hukum berlakunya hukum adat di Indonesia diatur oleh beberapa Undang- Undang, baik yang mengatur secara umum maupun secara khusus, antara lain : 1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 (LN No. 104), dalam Pasal 2 ayat 4 UUPA, hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Dengan demikian hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari pendelegasian wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Walaupun dalam masyarakat hukum adat diposiskan sebagai sub ordinat dari negara, dengan pernyataan Pasal 2 ayat 4 ini membuktikan bahwa keberadaan masyarakat adat tetap tidak dapat dihilangkan. Sedangkan Pasal 3, menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara dan pasal 5 UUPA menetukan hukum adat menjadi dasar begi pembuatan hukum agraria. 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 yang telah diganti dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 41 Tahun 1999 (LN. 199 No. 167), dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan Konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan lam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung jawab. Dalam Pasal 14

9 5 ditetapkan bahwa hutan di Indonesia digolongkan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang beada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga atau sebutan lannya. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai. 3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun Dengan telah diundangkannya undang-undang tentang Pemerintah Daerah, maka Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dalam rangka pengelolaan hutan adat. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mendukung hutan adat antara lain : - Inventarisasi daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat - Melakukan pengkajian dan penelitian - Menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk Peraturan Daerah - Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan wilayah masyarakat hukum adat sebagai hutan adat. Pengaturan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk Perda bagi wilayah yang memiliki masyarakat hukum adat dan adanya hak-hak ulayat yang melekat di dalamnya. 4. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 yang tersurat dalam Pasal 1 yang menyatakan : Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 15

10 Dengan demikian meskipun di dalam tanah dikelola dan dikuasai masyarakat adat terdapat bahan-bahan galian, berdasarkan pasal tersebut mereka tidak berwenang untuk menguasai atau mempergunakannya karena hak menguasai seluruh bahan galian tambang ada pada negara. Negara mengatur pemberian atau distribusi hak pengusahaan atau pemanfaatannya kepada individu atau badan hukum tertentu secara terpisah melalui Kuasa Pertambangan. Hal ini dapat diiterpretasikan bahwa jika satu pihak telah memiliki kuasa pertambangan di suatu wilayah tertentu, dimana wilayah tersebut melekat hak milik atas tanah dari orang lain atau dari masyarakat adat maka dapat dipastikan pemegang kuasa pertambangan tidak akan terhenti kegiatannya hanya karena tidak mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau masyarakat adat, bahkan jika perlu dapat melakukan perbuatan yang merugikan bagi pemilik tanah asalkan tersedia uang ganti rugi. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat 1 4 memuat mekanisme penentuan ganti rugi bagi pemilik tanah akibat kegiatan pertambangan dari pemegang kuasa pertambangan dimana mekanisme tersebut juga tidak memungkinkan ada pilihan lain bagi pemilikm tanah untuk melepaskan haknya kepada pemegang kuasa pertambangan. 5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 (LN No. 49) tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya. Dalam Pasal 37 ayat 1 ditentukan bahwa peran rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Sedang dalam Pasal 37 ayat 2 ditentukan bahwa dalam pengenbangan peran serta, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Dari beberapa undang-undang yang tersebut di atas, yang akan dibahas dalam Bab III berikut adalah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undangundang Pokok Kehutanan (UUPK). 16

11 II.3 Konsep Batas Daerah Secara Umum Batas merupakan hal yang sangat penting dalam suatu wilayah atau bidang, terutama menyangkut kepada pengakuan wilayah kekuasaan dan pembatasan kewenangan di antara dua wilayah yang berbeda. Batas wilayah merupakan penanda berakhirnya suatu wilayah di setiap daerah yang terkait dengan aspek kewenangan dalam pengelolaan suatu daerah.dengan adanya otonomi daerah baik di wilayah darat maupun laut secara proporsional, maka daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan wilayahnya untuk melakukan perencanaan pembangunan yang mengacu kepada unsur keruangan serta pengelolaan aset sumber daya alam, untuk itu kejelasan dan ketegasan batas wilayah sangat diperlukan. Batas merupakan penanda dari suatu wilayah, selain batas dapat juga didefinisikan dalam segi hukum, yaitu suatu garis khayal yang memisahkan dua wilayah yang bersebelahan (Dale dan McLaughlin, 1999). Batas dapat dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu : - Fixed boundary, didefinisikan sebagai garis presisi dari suatu batas yang dapat ditentukan. - General Boundary, memperlihatkan suatu batas melalui pendekatan yang tidak presisi, contohnya batas yang didefinisikan dalam obyek natural seperti hutan (Dale dan McLauhglin, 1999). Dari segi hukum, batas merupakan sebuah garis khayal (imaginary line) yang memisahkan dua buah wilayah yang saling bersinggungan. Umumnya suatu batas direpresentasikan dalam suatu obyek fisik yang menggambarkan garis khayal tersebut, misalnya dalam suatu persil dibatasi oleh suatu pagar atau pembatas lain yang menandakan bahwa persil tersebut telah dimiliki oleh seseorang. Hal yang perlu adalah suatu batas fisik umumnya berupa pagar dapat mendeskripsikan suatu batas dari wilayah tertentu, padahal dilihat dari segi hukum suatu obyek fisik dapat saja tidak bersinggungan dengan batas hukum dari wilayah tersebut. Jadi secara hukum suatu batas fisik hanya merupakan penanda serta menjadi batas wilayah saja, bukan merupakan indikator dari batas hukumnya.diperhatikan Monumen yang menjadi penanda suatu wilayah tertentu, mengindikasikan batas wilayah tersebut. Obyek fisik yang dijadikan batas haruslah permanen, stabil, mudah 17

12 diidentifikasi dan mudah terlihat. Obyek fisik dapat berbentuk apa saja asal memenuhi syarat tersebut, contohnya : tembok, pagar, atau deretan titik patok yang menandainya (Dale dan McLaughlin, 1999). Tetapi ada juga batas wilayah yang tidak dapat ditentukan batasnya secara spesifik, batas tersebut hanya dapat ditentukan secara umum, misalnya di kampung-kampung adat yang batas wilayah kampung adatnya berupa hutan atau sungai tanpa pernah ditentukan batas spesifiknya. II.4 Citra Landsat Thematic Mapper ( TM ) Sejak diluncurkannya satelit sumber daya alam oleh Amerika Serikat pada bulan Juli 1972 dan Maret 1978, penggunaan data informasi penginderaan jauh, selain foto udara yang merupakan penginderaan jarak jauh dianggap paling baik saat itu karena mempunyai tingkat resolusi yang tinggi serta sifat stereoskopisnya sangat baik, permukaan bumi dapat direkam dan dilihat secara lebih luas dari suatu ketinggian tertentu di ruang angkasa. Satelit tersebut merupakan satelit bumi generasi I, yaitu Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3 dan merupakan satelit dengan sensor yang dapat memberikan informasi mengenai permukaan bumi. Pada bulan Juli 1982 dan Maret 1984 kembali diluncurkan satelit bumi generasi II, yaitu Landsat 4 dan Landsat 5, yang merupakan satelit semi operasional atau satelit untuk penelitian dan pengembangan yang sudah tentu lebih baik dari generasi pertamanya, karena satelit ini telah mengalami perbaikan dalam resolusi spasial, spectral, dan radiometric (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1994). Dengan mengurangi ketinggian orbit dari 920 km menjadi 705 km, resolusi spasial meningkat dari 80 m menjadi 30 m dan pada generasi berikutnya resolusi spasial dari citra landsat ini telah dapat diperbesar menjadi 15 meter. Resolusi spectral yang lebih baik dan ketelitian radiometric yang lebih tinggi diperoleh dengan menggatikan sensor return beam vidicom (RBV) dengan thematic mapper (TM) sehingga yang tadinya beroperasi dengan tiga saluran (band) berubah menjadi tujuh saluran. Enam saluran diantaranya dirancang untuk memantau vegetasi, dan satu saluran untuk jenis batuan (Sutanto, 1994). 18

13 Pemanfaatan citra landsat telah banyak digunakan untuk beberapa kegiatan survey maupun penelitian, antara lain geologi, pertambangan, geomorfologi, hidrologi, dan kehutanan. Dalam setiap perekaman, citra landsat mempunyai cakupan area 185 km x 185 km, sehingga aspek dari obyek yang diliput cukup luas untuk dapat diidentifikasi tanpa harus menjelajahi seluruh daerah yang disurvey atau yang diteliti. Dengan demikian, metode ini dapat menghemat waktu maupun biaya dalam pelaksanaanya dibandingkan secara konvensional atau survey secara teristris di lapangan. Setiap warna dalam citra satelit memberikan makna tertentu, misalnya warna hijau mengidentifikasi adanya vegetasi dan makin hijau warnanya berarti vegetasinya semakin lebat atau hutan. Warna biru menunjukkan adanya kenampakan air, dan semakin biru atau biru kehitaman berarti wilayah tersebut tergenang (water body). Bila warna biru ada kesan petak-petak yang ukurannya lebih besar dan lokasinya dekat dengan garis pantai berarti areal tersebut adalah areal tambak. Unsur pola dan site/lokasi dapat digunakan untuk membantu mengenali jenis penggunaan lahan dan tanaman/vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Sebagai contoh apabila ada kenampakan warna hijau pada wilayah berpetak yang lokasinya di daratan, hal ini mengidentifikasikan adanya lahan sawah yang ditanami padi. Warna hijau (vegetasi) pada wilayah berpola aliran radikal sentrifugal menunjukkan adanya tanaman tahunan atau hutan yang tumbuh di daerah berlereng (berbukit atau gunung). Unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar analisis dalam interpretasi citra landsat dapat diuraikan sebagai berikut (Lillesand dan Keifer, 1994 ) : - Ukuran (size) : ukuran meliputi panjang, lebar, luas, sehingg antara obyek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dan dibuat batasan. - Rona (tone) : menunjukkan perbadaan gelap terangnya suatu obyek yang dipengaruhi oleh tingkat kelembapan, misalnya adanya genangan atau atau keadaan vegetasi penutup tanah itu sendiri. - Warna : warna sangat dipengaruhi oleh reflektansi yang berbeda, dan setiap vegetasi atau tanaman dapat memberikan warna alami (true color) maupun warna semu (false color) 19

14 - Tekstur : merupakan gabungan antara rona dengan ukuran serta jarak yang satu dengan lain dengan membedakan menjadi halus atau kasar, seragam atau tidak seragam. - Pola : merupakan sususnan suatu obyek yang terjadi secara alami ataupun buatan. - Resolusi : unsur ini merupakan ukuran kemampuan perekaman suatu obyek, sehingga dapat dibedakan dengan yang lain. Resolusi sasial yang semakin rendah mengakibatkan suatu obyek tidak dapat dibedakan secara pasti. Area yang diamati di lapang dipilih sesuai dengan perbedaan warna dan kelas penggunaan lahan hasil analisis. Pengamatan lapang dianggap selesai apabila setiap kelas/perbedaan warna dalam interpretasi sudah diamati, dicek, dan diyakini kebenarannya sehingga tidak ada lagi kelas penggunaan lahan yang terlewat dan dianggap sudah mempunyai pewakil/sampel area. Setelah pengecekan di lapang, dilakukan pembuatan peta sesuai dengan yang diinginkan sebagai peta final, yang merupakan gabungan antara peta interpretasi dengan hasil pengecekan dan pengamatan di lapangan. Citra landsat thematic mapper sangat membantu dalam identifikasi suatu obyek yang mempunyai ciri-ciri yang spesifik seperti sawah dan waduk atau danau. II.5. Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap hukum adat ini telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu di berbagai daerah, khusus bagi masyarakat Ciptagelar penelitian masyarakat adat ini masih belum pernah dilakukan terutama ditinjau dari segi hukum dan keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat. Asep (2002), meneliti tentang Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berbentuk hierarkis yang dilandasi jalinan sistem kekerabatan yang mendominasi berbagai pola hubungan sosial dalam masyarakat tersebut. Dalam bekerjanya mekanisme struktur sosial tersebut ditopang 20

15 oleh sistem pemerintahan adat yang dilandasi oleh nilai-nilai adat serta didukung oleh sistem ekonomi tradisional. Komponen yang mendukung terbentuknya struktur sosial tersbut adalah ikatan keluarga inti (kulawarga). Oleh karenanya, hubungan sosial antar warga dihayati seperti halnya dalam keluarga. Peran penting yang dimainkan keluarga dalam menopang keberlangsungan struktur sosial adalah proses sosialisasi anak sebagai pembentukan watak dan kepribadian anak. Adapun nilai yang secara struktural penting dalam berbagai aspek hubungan sosial adalah nilai hormat dan nilai yang menekankan terciptanya tertib sosial yang harmonis. Dalam sistem sosial politik, peranan pemerintah adat sebagai institusi pengatur masyarakat berfungsi menjaga tertib dan keharmonisan sosial dengan cara memupuk ketaatan warganya pada pola hubungan-hubungan sosial yang mapan. Mekanisme adat dalam memperkokoh ikatan solidaristas sosial adalah dengan cara penyelenggaraan berbagai upacara adat sebagai manifestasi dari nilai tatali paranti karuhun. Dalam sistem ekonomi yang berpijak pada hubungan usaha tani ladang, sawah dan kebun membentuk pola hubungan agraris antara pemilik lahan dan penggarap. Pola hubungan ini berdasar pada prinsip kerjasama dan tolong menolong yang memberi puluang bagi terjaminnya warga pada subsitensinya. Pola hubungan demikian dilandasi oleh semangat kekeluargaan yang menumbuhkan semangat setia kawan dan bermuara pada nilai solidaritas kelompok. Struktur sosial masyarakat kasepuhan dibentuk oleh jalinan integrasi dari sistem kekerabatan, sistem pemerintahan adat dan sistem ekonomi tradisional. Elemen tersebut saling mendukung dan memperkuat menjadi daya kohesivitas sosial yang mengikat kesatuan masyarakat tradisional kasepuhan. Tim Peneliti dan Pengkaji Masyarakat Hukum Adat Lombok Barat, 2006 meneliti tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat Buani dan Barumurmas Desa Bentek Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Barat Propvinsi Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Hukum Barumurmas dan Buani yang berasal dari berbagai tempat berdiri pada tahun 1912 yang mana sebagian daerah tersebut berubah menjadi hutan dan 21

16 sebagian lagi berada dalam kawasan hutan. Hal ini terlihat adanya tanda-tanda pemukiman di kawasan hutan seperti adanya pohon nangka, mangga, dan pohon keras lainnya. Masyarakat adat dusun Buani dan Barumurmas merupakan satu kesatuan persekutuan masyarakat hukum adat yang berjumlah sekitar 150 KK. Di samping tinggal di kampung induk, mereka juga tinggal di beberapa perkampungan kecil bahkan sampai di luar Desa Bentek seperti Desa Tegal Maja Kec. Tanjung. Hubungan mereka dengan masyarakat dari luar desa kemungkinan tidak terlepas dari agama yang sama yaitu Budha. Persekutuan masyarakat adat ini dapat dilihat dari kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh kedua masyarakat hukum adat ini, seperti upacara muja tahun (nunas kaya) dan muja balit (ulih atau aturang kaya). Muja tahun merupakan upacara yang dilakukan untuk meminta hujan, sedangkan upacara muja balit merupakan upacara untuk mensyukuri segala berkat yang diberikan oleh sang pencipta, yang mana kedua upacara ini dilaksanakan secara berturut-turut selama 5 hari di hutan adat Barumurmas dan 5 hari di hutan adat Buani. Wilayah masyarakat hukum adat Buani, mempunyai batas-batas sebelah Utara berbatasan dengan Orong Luk, sebelah Selatan berbatasan dengan Satan dan Hutan Tutupan, sebelah Barat berbatasan dengan Lendang Galah dan sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Sangkar Bila dan Hutan Tutupan. Sedangkan masyarakat hukum adat Barumurmas sebelah Utara berbatasan dengan Gondang, sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Tutupan, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Puncak Leak dan sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Kerurak. Pranata adat (awiq-awiq) cukup sederhana, misalnya : 1. Larangan menebang kayu di pawang adat tanpa ada persetujuan dari pemangku, dikenai sanksi membayar 2 ekor kambing hitam dan putih, si pelanggar juga harus menyiapkan seperangkat makanan lainnya untuk keperluan menyowok. 22

17 2. Larangan menambat atau melepas ternak di hutan adat, karena merusak tanaman hutan dan sarana pemujaan. 3. Larangan perbuatan asusila di kawasan hutan adat. Keputusan adat dan sanksi adat diambil melalui mekanisme gundem atau musyawarah yang melibatkan tokoh adat kedua masyarakat adat tersebut. Rizqi Abdulharis, Kurdinanto Sarah, S. Hendriatiningsih, Andri Hernandi dan Jaap Zevenbergen (2007), meneliti tentang sistem penguasaan tanah menurut hukum adat, studi kasus Kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Wilayah masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) mempunyai luas lebih kurang Ha. Masyarakat adat Ciptagelar pada awalnya merupakan masyarakat yang berpindah dari wilayah Bogor, Jawa Barat sekitar tahun 1902 sampai tahun Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat Kasepuhan Banten Kidul yang terdiri dari beberapa kasepuhan, yaitu : Sirnaresmi, Ciptamulia, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung, dan Citorek. Dalam aturan adat Kasepuhan Ciptagelar, kepemilikan suatu bidang tanah bukan seperti yang pada umumnya, mereka tidak mengakui adanya kepemilikan tanah melainkan hanya garapannya sedangkan tanahnya milik adat. Garapan mengandung arti bahwa suatu pemanfaatan lahan di atas suatu bidang tanah bias berupa bengunan atau olahan lainnya (sawah, ladang, kolam dll). Jadi warga hanya dapat ijin garap dengan syarat harus mengikuti aturan adat atau hukum adat yang berlaku. Tanah ulayat di Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari : - Wilayah Olahan (cultivation area), yaitu wilayah bukaan yang merupakan tempat warga melakukan kehidupan sehari-hari seperti bertani dan tempat tinggal. - Wilayah Non Olahan (non cultivation area), yaitu wilayah hutan yang terbagi atas leuweung tutupan, leuweung titipan dan leuweung garapan. 23

18 Leuweung tutupan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk keperluan adat. Leuweung titipan, merupakan bagian hutan yang tidak boleh dimanfaatkan secara pribadi oleh warga masyarakat tetapi dapat dipergunakan untuk keperluan adat. Leuweung garapan, bagian hutan yang bisa dimanfaatkan oleh warga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Penentuan lokasi untuk pemukiman dan garapan sawah semuanya diatur oleh ketua adat dan tetap mengikuti aturan aturan adat, seperti : dilarang membuat rumah atau sawah di daerah sirah cai (hulu dari mata air), lemah gunting (pertemuan dua sungai kecil) dan pematangan (gundukan tanah atau jalan kecil yang terletak di tengah sawah/ladang). Sehubungan dengan belum diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat Kasepuhan Ciptagelar dan belum adanya batas antara wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sehingga perlu diadakan penelitian tentang keberadaan masyarakat hukum adat ini sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan oleh pemerintah. Sejalan dengan itu, Pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dan Pemerintah Daerah akan menerbitkan Peraturan Daerah tentang Keberadaan Masyarakat Hukum Adat.. 24

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status

Lebih terperinci

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT THEMATIC MAPPER Ipin Saripin 1 Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama foto udara dianggap paling baik sampai saat ini karena

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA Sumber: www.survivalinternational.org I. PENDAHULUAN Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Hukum Adat di Indonesia

BAB II DASAR TEORI 2.1 Hukum Adat di Indonesia BAB II DASAR TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hukum adat di Indonesia (Bab 2.1), konsep hukum pertanahan adat (Bab 2.2), peraturan perundang-undangan mengenai hukum pertanahan adat (Bab 2.3)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Muslim Andi Yusuf 1 Universitas Cokroaminoto Palopo 1 Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa Masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

Bab IV Analisis. Batas

Bab IV Analisis. Batas Bab IV Analisis IV.1 Analisis Batas Tanah Garapan Dikaitkan Dengan Konsep Batas Mengacu pada penjelesan mengenai batas suatu bidang tanah garapan warga Kasepuhan Ciptagelar dan dikaitkan dengan konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dalam tugas akhir ini meliputi, persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data yang terdiri dari subbab masing-masing. Untuk lebih jelas alur penelitian

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, tanah juga menjadi tempat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO P E T I K A N PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON Menimbang : a. bahwa Tata Kelola Sumber Daya Air Desa Patemon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

Pertemuan ke -1 PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

Pertemuan ke -1 PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn Pertemuan ke -1 PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn PENGERTIAN AGRARIA Dalam bahasa umum Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah Agrarius

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 17 TAHUN 2003 SERI D.14 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 08 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA UMUM TATA RUANG KOTA SUMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa sebagai bagian dari bangsa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa penggalian kekayaan alam di hutan secara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Instruksi Presiden

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

Persekutuan Unsur Status kelengkapan. ada. Famili di Minangkabau. Merupakan persekutuan hukum. Pengurus. Bernama Penghulu Andiko. Harta benda sendiri

Persekutuan Unsur Status kelengkapan. ada. Famili di Minangkabau. Merupakan persekutuan hukum. Pengurus. Bernama Penghulu Andiko. Harta benda sendiri Persekutuan Hukum Adat ÉÄx{ 1 Von Vollenhoven: Utk mengetahui hukum terlebih dulu harus mengetahui ttg persekutuan hukum sbg tmp di mana masy yg dikuasai hk tsb hidup sehari-hari hari. Persekutuan hk kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai hasil analisis perbandingan sistem kepemilikan lahan di Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga (Bab 4.1), dan perbanding sistem kepemilikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL ALOR PANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

E. KAJIAN HUKUM TENTNAG PENGELOLAAN SDA: PERATURAN PER-UUYANG BERKAITAN DENGAN SDA

E. KAJIAN HUKUM TENTNAG PENGELOLAAN SDA: PERATURAN PER-UUYANG BERKAITAN DENGAN SDA 1.1 Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004,

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010 REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM (ADAT MERAGREH UTEN) BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan bagian yang paling penting dan sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan bagian yang paling penting dan sangat erat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan bagian yang paling penting dan sangat erat hubunganya dengan manusia, karena tanah mempunyai nilai ekonomis untuk segala aspek kehidupan manusia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah dan air dalam wilayah

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci