BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG"

Transkripsi

1 BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG V.1 Kerangka Kerja Pemodelan Untuk pemodelan yang dilakukan dalam tesis ini, kerangka kerja yang dilakukan adalah dengan mengacu kepada pendekatan pemodelan yang telah diuraikan pada Bab IV. Secara ringkas, kerangka kerja pemodelan tersebut ditunjukkan pada Gambar V.1. berikut ini. Kebijakan dalam Penataan Dinamika Kota Kondisi Dinamika Kota Penataan Dinamika Kota sebagai sebuah Sistem Implementasi Perumusan Masalah A n a l i s i s Konseptualisasi Sistem Simulasi Formulasi Model Penataan Dinamika Kota Gambar V.1 Kerangka kerja pemodelan Sumber: Hasil modifikasi sendiri dari tesis berjudul kajian atas pengelolaan jalan kabupaten di kabupaten Nias dengan pemodelan system dynamics, Nuzlan Musfi,

2 Pada bab ini, kerangka kerja yang disajikan meliputi konseptualisasi sistem, formulasi model, perilaku model, dan evaluasi model. Sedangkan tahapantahapan lainnya akan dibahas pada bab selanjutnya. Dengan pola penyajian yang demikian, diharapkan babbab yang ada dalam tesis ini akan membentuk suatu kesatuan yang utuh. V.2 Konseptualisasi Model Pendekatan model diharapkan dapat menjadi suatu alternatif terhadap pemahaman mengenai perilaku dan saling keterkaitan dalam suatu sistem; yang dibangun melalui pemahaman akan struktur suatu sistem, pola keterkaitan yang ada, dan parameterparameter sistem tersebut. Pada tahap awal pengembangan model, unsurunsur yang menyebabkan terjadinya dinamika di kota Tangerang, diasumsikan dari keterkaitan antar sektor yang ada di dalam kota Tangerang. Pada model dasar digambarkan beberapa sektor yang akan dikembangkan dalam model generik, yakni submodel ketersediaan lahan, penduduk dan ekonomi (lihat Gambar V.2). EKONOMI POPULASI KETERSEDIAAN LAHAN Gambar V.2 Diagram konseptualisasi model 82

3 Model dasar dinamika kota yang dikembangkan terdiri atas 3 (tiga) sektor, yaitu (1) sektor ketersediaan lahan, (2) sektor penduduk, dan (3) sektor ekonomi. Uraian akan diperlihatkan untuk setiap sektor (sub model) tersebut secara lebih detail di bagian berikutnya. Konsep dasar pemodelan ini menggambarkan keterkaitan 3 (tiga) sektor dalam dinamika kota Tangerang. V.3 Struktur Model Perilaku suatu sistem maupun model sangat bergantung pada strukturnya. Struktur dalam hal ini adalah komponenkomponen yang ada dan hubungan saling keterkaitan antara komponenkomponen tersebut. Parameter yang melekat pada setiap komponen juga akan memegang peranan penting. Dalam makna yang sederhana, membangun struktur model adalah membuat diagram causal loop yang dapat mencerminkan sistem yang sesungguhnya. Berdasar struktur model tersebut kemudian dikembangkan dan dipelajari perilakuperilaku dari masingmasing variabel yang diamati. Setelah itu, perilaku tiap variabel dikaji dan kemudian diformulasikan agar dapat disimulasikan untuk mengetahui perilaku variabelvariabel yang ditinjau dalam hubungannya dengan perubahan waktu. Pada bagian ini, struktur dan perilaku model yang dibuat akan diuraikan secara bersamaan. Untuk memudahkan, maka penjelasan akan dimulai dari struktur model global baru kemudian dengan subsub model. a. Struktur Model Global Struktur model global pada dasarnya terdiri atas diagram causal loop dari beberapa sub sistem yang saling berinteraksi membentuk sistem secara keseluruhan. Masingmasing sub sistem, selain berinteraksi dengan sub sistem lainnya juga memiliki interaksi secara internal di antara komponenkomponen struktur yang dimiliki oleh sub sistem bersangkutan. Struktur model global dengan sendirinya menunjukkan batas (boundary) sistem, yang mendelienasi variabelvariabel yang berada dalam sistem atau di luar sistem. Dalam hal ini, variabelvariabel yang berada di luar boundary ada yang tidak 83

4 dicantumkan (diabaikan) karena dianggap tidak berpengaruh terhadap sistem, ada yang mempengaruhi sistem secara eksogen. Seperti yang telah diuraikan dalam Subbab I.5 tentang kerangka konseptual dinamika lahan dalam perekonomian kota Tangerang, model global dinamika kota Tangerang dibentuk oleh 3 (tiga) submodel : (1) submodel ketersediaan lahan, (2) sub model penduduk, dan (3) submodel ekonomi (Gambar V.3). Dalam submodel lahan dibedakan 4 (empat) jenis penggunaan lahan yaitu : (1) submodel lahan belum terpakai, (2) sub model lahan urban industri, (3) sub model lahan pertanian, dan (4) sub model lahan Bandara Soekarno Hatta. Submodel populasi dibentuk oleh unsureunsur utamanya yaitu : penduduk, kelahiran, kematian, migrasi masuk, migrasi keluar, angkatan kerja, dan tingkat pengangguran. Sedangkan submodel ekonomi dibentuk oleh unsurunsur utama seperti PDRB, PDRB perkapita, PDRB non pertanian, dan PDRB pertanian. menjadi (1) sub model ekonomi non pertanian dan (2) sub model ekonomi pertanian. Submodel EKONOMI Loop 3 () Submodel POPULASI Loop 5 () Loop 4 () Loop 2 () Loop 1 () Submodel KETERSEDIAAN LAHAN Gambar V.3 Causal Loop Model global dinamika kota Tangerang 84

5 b. Batasan Model Adapun batas model yang menjadi dasar pengembangan struktur model untuk ketiga submodel di atas, diperlihatkan dalam tabel V.1 berikut. Tabel V.1 Batasan model Endogen Eksogen Di luar batas model Lahan belum terpakai Kebijakan alihfungsi Pendidikan lahan pertanian ke lahan urban industri Lahan Urban Industri Kebijakan alihfungsi Keuangan daerah lahan pertanian untuk perluasan bandara Soetta Lahan Urban Standar lahan industri Mobilisasi tenaga kerja Lahan Industri Standar lahan urban Lahan Lahan bandara Soekarno Hatta Populasi Inmigrasi Outmigrasi Kelahiran Kematian PDRB PDRB perkapita PDRB pertanian PDRB nonpertanian Kapital nonpertanian Investasi nonpertanian Tingkat pengangguran Kebijakan pembatasan inmigrasi Target Tumbuh Non Teknologi sektor nonpertanian Produktivitas lahan pertanian c. Gambaran Sub Model 1). Sub Model Lahan Lahan merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam penataan ruang, karena salah satu kegiatan merencanakan tata ruang adalah mengatur dan menata lahan di kota Tangerang yang serba terbatas, sehingga aktivitas manusia yang ada di dalamnya bisa tertampung dalam lahan yang terbatas tersebut. Dalam upaya 85

6 memodelkan lahan seperti lazim digunakan dalam penataan ruang, maka pemodelan lahan akan dipilah menjadi 4 (empat) jenis lahan rencana, yaitu : (1) lahan belum terpakai; (2) lahan urban industri; (3) lahan pertanian; dan (4) lahan bandara Soekarno Hatta. Khusus untuk lahan urban industri di dalamnya tercakup lahan urban (lahan permukiman) dan lahan industri. Lahan industri dalam model ini mencakup lahan industri, lahan tranportasi, dan lahan jasa perdagangan. Lahan industri itu sendiri dapat disebut juga sebagai lahan ekonomi non pertanian. Sub model pergeseran lahan perkotaan ditunjukkan pada Gambar V.4. Terlihat tata guna dan konversi lahan perkotaan yang saling berpengaruh untuk penggunaan lahan antara berbagai sektor meliputi penggunaan lahan untuk pertanian, urban industri, lahan bandara Soekarno Hatta terkait rencana pengurangan lahan pertanian untuk perluasan bandara Soekarno Hatta, dan adanya lahan yang belum terpakai atau belum difungsikan. Lahan BSH Yang Dikehendaki Lahan Belum Terpakai Kebijakan Alih Fungsi Lahan Lahan Bandara Soekarno Hatta Pertambahan Lahan BSH dari lahan Lahan Kebijakan Alih Fungsi Lahan Lahan Urban Industri Yang Dikehendaki (dari sub model penduduk dan ekonomi) Pertambahan Lahan Urban Industri dari lahan Pertambahan Lahan Urban Industri dari lahan Belum terpakai Lahan Urban Industri Kebijakan Alih Fungsi Lahan Gambar V.4 Diagram lingkar umpan balik pergeseran lahan kota Tangerang 86

7 Gambar V.4. menggambarkan laju pergeseran lahan kota Tangerang. Tampak pada laju pergeseran lahan belum terpakai ke lahan urban industri, lahan pertanian ke urban industri, lahan pertanian ke bandara Soekarno Hatta. Pertambahan lahan urban industri dapat terjadi jika ada kebijakan alih fungsi lahan belum terpakai untuk kebutuhan lahan urban industri. Apabila ketersediaan lahan belum terpakai telah habis, pertambahan lahan urban industri dapat terjadi apabila ada kebijakan alih fungsi lahan pertanian untuk kebutuhan lahan urban industri. Ketersediaan lahan pertanian akan terus berkurang untuk kebutuhan lahan urban industri, sedangkan di sisi lain terdapat rencana perluasan lahan Bandara Soekarno Hatta, sehingga lahan pertanian yang masih tersedia akan makin berkurang. Dengan demikian terjadi tarik menarik atas lahan pertanian antara untuk kebutuhan lahan urban industri dengan perluasan lahan bandara Soekarno Hatta. Pergeseran lahan pertanian untuk penggunaan rencana perluasan bandara Soekarno Hatta, adalah sangat besar kemungkinan terjadinya. Sedangkan untuk lahan urban industri menunjukkan bahwa pertambahan untuk lahan tersebut hampir selalu terjadi, karena pertambahannya selalu terkait dengan perkembangan aktivitas lain. Untuk memperjelas gambaran sub model lahan urban industri, maka perlu dimodelkan kembali dengan sub model untuk masingmasing lahannya yakni sub model lahan industri (gabungan dari lahan transportasi, lahan jasa perdagangan dan lahan industri) dan sub model lahan urban/permukiman sebagai kebutuhan kejelasan penulisan tesis ini. Berikut dipaparkan gambaran sub model lahan industri (Gambar V.5) dan sub model urban/permukiman (Gambar V.6). 87

8 Investasi Kecukupan Lahan Industri Kebutuhan Lahan Transportasi Lahan Industri Pertambahan lahan Industri dari lahan Pertambahan lahan Industri dari lahan Belum Terpakai Pertambahan Lahan Industri Yang Dikehendaki Kebijakan Alih Fungsi Lahan Lahan Industri Yang Dikehendaki Kebutuhan Tenaga Kerja Prakiraan PDRB Non Gambar V.5 Diagram lingkar umpan balik lahan industri Sektor industri (ekonomi nonpertanian) adalah salah satu sektor yang mendukung perkembangan/dinamika kota Tangerang. Sehingga kemungkinan kebutuhan lahan untuk aktivitas industri (nonpertanian) akan meningkat dari waktu ke waktu. Meningkatnya pertambahan lahan industri yang dikehendaki akan memperbesar pertambahan lahan industri baik dari lahan pertanian maupun lahan belum terpakai, sehingga menambah jumlah lahan industri. Meningkatnya kecukupan lahan industri karena bertambahnya lahan industri. Sehingga dengan makin besarnya kecukupan lahan industri akan berpengaruh negatif pada pertambahan lahan industri yang dikehendaki. Sebaliknya, meningkatya pertambahan lahan industri yang dikehendaki akan memperbesar pertambahan lahan industri baik dari lahan pertanian maupun lahan belum terpakai, sehingga akan menambah jumlah lahan industri. Sehingga hubungan antara pertambahan lahan industri yang dikehendaki dengan lahan industri adalah positif. Lahan industri yang dikehendaki diperkirakan dari perkalian antara kebutuhan tenaga sektor industri dengan standar lahan industri per tenaga kerja. Sedangkan kebutuhan tenaga kerja ditentukan dari prakiraan PDRB non pertanian dan prakiraan produktivitas tenaga kerja sektor non pertanian. Jika prakiraan PDRB non pertanian naik, maka kebutuhan tenaga kerja naik dan pada gilirannya akan 88

9 meningkatkan kebutuhan akan lahan industri. Meningkatnya tenaga kerja inilah yang mempengaruhi kebutuhan lahan industri yang dikehendaki. Untuk memenuhi kebutuhan ini, yang paling memungkinkan adalah mengubah lahan pertanian atau lahan belum terpakai menjadi lahan industri. Di lain pihak lahan industri juga seringkali berubah fungsi menjadi lahan transportasi. Kebutuhan Lahan Industri Kecukupan Lahan Urban Kebutuhan Lahan Transportasi Kebutuhan Lahan Jasa Perdagangan Lahan Urban Pertambahan lahan Urban dari lahan Pertambahan lahan Urban dari lahan Belum Terpakai Pertambahan Lahan Urban Yang Dikehendaki Kebijakan Alih Fungsi Lahan Lahan Urban Yang Dikehendaki Kebutuhan Penduduk PDRB Per Kapita Gambar V.6 Diagram lingkar umpan balik lahan urban Gambar V.6 adalah diagram alir umpan balik lahan urban/permukiman yang merupakan lahan yang luasnya terus bertambah. Di kota Tangerang yang pertumbuhan penduduknya cukup tinggi, kebutuhan lahan urban/permukiman menjadi begitu besar. Untuk memenuhi kebutuhan ini, yang paling memungkinkan adalah mengubah lahan pertanian menjadi lahan urban/permukiman, atau mengubah lahan belum terpakai menjadi lahan urban/permukiman jika masih ada ketersediaan lahan belum terpakai. Di lain pihak, lahan urban/permukiman juga seringkali berubah fungsi menjadi lahan industri, lahan jasa perdagangan, dan lahan transportasi. Meningkatnya kecukupan lahan urban karena bertambahnya lahan urbani. Sehingga dengan makin besarnya lahan urban akan berpengaruh positif pada kecukupan lahan urban sehingga akan mengurangi pertambahan lahan industri yang dikehendaki. Sehingga hubungan kecukupan lahan urban dengan pertambahan lahan 89

10 urban yang dikehendaki adalah negatif. Sebaliknya, meningkatya pertambahan lahan urban yang dikehendaki akan memperbesar pertambahan lahan urban baik dari lahan pertanian maupun lahan belum terpakai, sehingga akan menambah jumlah lahan urban. Sehingga hubungan antara pertambahan lahan industri yang dikehendaki dengan lahan industri adalah positif. Lahan Bandara Soetta Pertambahan lahan BSH dari lahan pertanian Waktu Kebijakan Alih Fungsi Lahan Lahan Pertambahan alokasi lahan BSH yang dikehendaki Alokasi Lahan BSH Yang Dikehendaki Gambar V.7 Diagram lingkar umpan balik lahan Bandara Soekarno Hatta Peningkatan kegiatan di sektor jasa pelayanan transportasi udara di bandara Soekarno Hatta akan menambah lahan bandara Soekarno Hatta, selain adanya standar kebutuhan lahan bandara internasional sebesar 3000 hektar. Alokasi lahan bandara Soekarno Hatta yang dikehendaki akan berpengaruh kepada pertambahan alokasi lahan bandara Soekarno Hatta tersebut, maka pertambahan lahan bandara Soekarno Hatta akan mengkonversi lahan pertanian yang ada. 2) Sub Model Penduduk dan Tenaga Kerja Gambar V.8. Sub model penduduk menggambarkan pertumbuhan penduduk di kota Tangerang. Penduduk merupakan salah satu komponen cukup penting yang dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan, mengingat jumlah penduduk di perkotaan selalu bertambah, aktivitasnya beragam, sementara lahan perkotaan yang 90

11 tersedia relatif tetap. Proses yang menyebabkan penduduk bertambah adalah kelahiran dan migrasi masuk (inmigration), sementara yang mengurangi jumlah penduduk adalah kematian dan migrasi keluar (outmigration). Ketersediaan Lahan Urban Kelahiran Alokasi Lahan Urban PDRB Perkapita Migrasi Masuk Populasi Kematian Migrasi Keluar Angkatan Kerja PDRB PDRB Tingkat Pengangguran PDRB Non Kebutuhan Tenaga Kerja Gambar V.8 Diagram lingkar umpan balik sub model penduduk Terdapat hubungan antara permintaan lahan urban/permukiman dengan daya tarik orang untuk melakukan migrasi. Semakin kecil ketersediaan lahan urban, maka semakin kecil ketertarkan orang untuk melakukan migrasi masuk (inmigrasi). Tingkat pengangguran menyebabkan menurunnya ketertarikan orang untuk melakukan migrasi masuk. Penambahan angkatan kerja akan menambah tingkat pengangguran., sebaliknya bertambahnya tingkat pengangguran mengurangi migrasi masuk. 91

12 Penduduk Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tenaga Kerja Gambar V.9 Diagram lingkar umpan balik sub model tenaga kerja Gambar V.9 menggambarkan hubungan positif antara tenaga kerja dengan tingkat pengangguran. Tenaga kerja yang bertambah akan mengurangi Tingkat pengangguran Sebaliknya berkurangnya tingkat pengangguran akan menambah jumlah tenaga kerja.. Tingkat partisipasi angkatan kerja akan mengurangi tingkat pengangguran kenaikan jumlah angkatan kerja. 3) Sub Model Ekonomi Pada gambar V.10 merupakan gambaran sektor ekonomi kota Tangerang yang dibangun oleh sektor nonpertanian dan pertanian, yang juga merupakan sektorsektor yang berkonstribusi pada nilai PDRB kota Tangerang.. Perhitungan PDRB kota Tangerang diperoleh dari penjumlahan sektor pertanian dan sektor nonpertanian. PDRB perkapita diperoleh dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk. Untuk perhitungan PDRB sektor nonpertanian didasarkan pada konsep Kapital Output Rasio dengan mempertimbangkan konsep keterkaitan antar sektor. Target tumbuh nonpertanian bersamasama dengan besarnya KOR non pertanian akan menentukan pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki. Pertambahan kapital yang dikehendaki selanjutnya akan menentukan investasi nonpertanian yang dikehendaki. Pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki ditentukan oleh 92

13 perkalian antara target tumbuh nonpertanian dengan besarnya KOR nonpertanian. Target tumbuh nonpertanian dan besarnya koefisien KOR nonpertanian mempunyai hubungan positif dengan pertambahan kapital non pertanian yang dikehendaki. Artinya, jika target tumbuh nonpertanian dan koefisien KOR nonpertanian meningkat, maka pertambahan kapital yang dikehendaki akan meningkat pula, atau sebaliknya jika target tumbuh nonpertanian dan koefisien KOR menurun, maka pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki akan menurun. PDRB PDRB PDRB Per Kapita Penduduk (dari sub model penduduk) Lahan (dari sub model lahan) Produktivitas Lahan Investasi Non Kecukupan lahan industri (dari sub model lahan) Rasio Nilai Tambah Terhadap Output Non Kapital Non Investasi Non Yang Dikehendaki PDRB Non Depresiasi Non Output Non Umur Kapital Non Pertambahan Kapital Non Yang Dikehendaki KOR Non Target Tumbuh Non Gambar V.10 Diagram lingkar umpan balik sub model Ekonomi Pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki bersamasama dengan depresiasi nonpertanian akan menentukan besarnya investasi nonpertanian yang dikehendaki. Investasi yang dikehendaki dihitung dengan menjumlahkan pertambahan kapital nonpertanian yang diinginkan dengan depresiasi nonpertanian. Dengan demikian, investasi non pertanian yang dikehendaki akan semakin besar jika pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki dan depresiasi nonpertaniannya juga semakin besar (Gambar V.10). Atau sebaliknya investasi nonpertanian yang dikehendaki akan semakin kecil jika pertambahan kapital nonpertanian yang dikehendaki dan depresiasi nonpertanian semakin kecil. Depresiasi nonpertanian 93

14 diperoleh dengan cara membagi kapital nonpertanian dengan umur kapital nonpertanian. Depresiasi nonpertanian dengan umur kapital mempunyai hubungan negatif, sedangkan depresiasi nonpertanian dengan kapital nonpertanian mempunyai hubungan positif. Artinya, semakin lama umur kapital nonpertanian maka depresiasi non pertanian semakin kecil, sedangkan semakin besar nilai kapital nonpertanian maka depresiasi nonpertanian akan semakin besar pula. Kapital nonpertanian ditentukan oleh investasi nonpertanian dan depresiasi nonpertaniannya. Kapital nonpertanian akan bertambah karena adanya investasi nonpertanian, dan berkurang karena depresiasi nonpertanian. Nilai kapital nonpertanian ini selanjutnya akan dipakai dalam perhitungan output nonpertanian. V.4 Formulasi Model Formulasi model adalah proses untuk mengubah konsep sistem atau struktur model yang telah disusun ke dalam bentuk persamaanpersamaan, atau dengan kata lain, mengubah diagram causal loop menjadi diagram alir (flow diagram) yang dapat dimengerti oleh perangkat lunak komputer yang akan digunakan. Tujuan dari tahapan ini adalah agar memungkinkan model disimulasikan untuk menentukan perilaku dinamis yang diakibatkan oleh asumsiasumsi dari model. Bahwa adanya perbedaan dengan pendekatan yang diambil dalam pembuatan diagram causal loop sebelumnya, dimaksudkan untuk membangun pemahaman yang seluasluasnya atas perilaku sistem, pendekatan yang diambil pada bagian ini lebih kepada bagaimana model dapat dioperasikan. Oleh karena itu, pembagian subsub model dalam formulasi tidak sepenuhnya mengacu pada pembagian sub model pada bagian sebelumnya. Simulasi yang dilakukan dengan komputer dapat dijalankan bila dibuat diagram alir (flow diagram) dari struktur model yang telah dibuat dan persamaan matematis yang menghubungkan seluruh variabel. Diagram alir berikut ini dikembangkan dari diagram lingkar umpan balik (causal loop) yang telah dipaparkan sebelumnya. 94

15 a. Diagram Alir Sub Model Lahan Lahan kota Tangerang seluas hektar tidak akan bertambah luasnya sepanjang tidak ada kebijakan perluasan wilayah kota). Kemungkinan besar yang terjadi adalah terjadinya alihfungsi lahan. Misalnya, jika terjadi penambahan lahan urban industri, sudah dipastikan ada lahan lain yang berkurang, misalnya lahan pertanian dan lahan belum terpakai. Jika terjadi penambahan lahan bandara Soekarno Hatta juga dipastikan ada lahan yang berkurang, yaitu lahan pertanian. Gambar V.11 Diagram alir sub model lahan 95

16 Gambar V.12 Diagram alir sub model lahan urban industri yang dikehendaki Gambar V.13 Diagram alir sub model pertambahan lahan urban industri yang dikehendaki Gambar V.14 Data lahan historis (Digunakan dalam pembuatan model lahan) 96

17 Gambaran umum mengenai lahan dapat diperlihatkan pada Gambar V.11, V.12, dan V.13, bahwa perubahan lahan pertanian kemungkinan dapat terpakai oleh lahan urban industri dan lahan bandara Soekarno Hatta. Jika tidak ada kebijakan kemungkinan perubahan lahan pertanian menjadi lahan urban industri sangat besar kemungkinannya, sedangkan perubahan lahan pertanian menjadi lahan bandara Soekarno Hatta hampir selalu dapat sangat mungkin terjadi, sebaliknya lahan pertanian tidak akan bertambah jumlahnya. Demikian pula dengan lahan belum terpakai kemungkinan besar dapat terjadi perubahan menjadi lahan urban industri. Pertambahan lahan urban industri berasal dari pertambahan lahan industri dan lahan urban. Berdasarkan hasil simulasi dari data tahun 2000 sampai dengan 2005, digambarkan perilaku pergeseran lahan dari lahan belum terpakai terjadi penurunan sampai dibawah 2000 ha dari semula di atas 2500 ha. Lahan urban industri mengalami peningkatan dari sebelumnya kurang dari ha menjadi di atas ha. Lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 157,5 ha dari awal tahun simulasi sampai dengan akhir simulasi Selanjutnya lahan bandara Soekarno Hatta terjadi penambahan pada tahun 2002 dari 1816 ha menjadi 1969 ha.. Pemanfaatan lahan urban industri mempengaruhi penambahan terhadap alokasi lahan urban industri yang dikehendaki. Membesarnya pemanfaatan lahan urban industri akan menjadi indikasi adanya kebutuhan penambahan lahan urban industri. Lahan urban industri yang dikehendaki akan berpengaruh pada meningkatnya lahan urban industri yang dimanfaatkan. b. Diagram Alir Sub Model Penduduk dan Tenaga Kerja Jumlah penduduk kota Tangerang cenderung bertambah seiring dengan berjalannya waktu dari tahun 2000 s.d sesuai data historis. Sementara ketersediaan lahan kota cenderung tetap. Pertambahan penduduk, selain dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan alami yaitu kelahiran dan kematian, juga dipengaruhi oleh faktor migrasi. Daya tarik kota adalah yang mempengaruhi faktor migrasi masuk (inmigrasi), karena ada ketersediaan kesempatan kerja, demikian sebaliknya dengan outmigrasi. Pada tahun 2005 jumlah penduduk mencapai jiwa. Kecukupan 97

18 lahan untuk penduduk sekitar 45 m2 per jiwa. Pertambahan penduduk sangat mempengaruhi ketersediaan lahan yang makin berkurang luasnya setiap jiwa. Gambar V.15 Diagram alir sub model penduduk Gambar V.16 Diagram alir sub model tenaga kerja 98

19 Pada gambar V.15 dan V.16, menunjukkan adanya keterkaitan antara tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Semakin tinggi tenaga kerja yang terserap, berarti semakin rendah tingkat pengangguran yang terjadi, maka akan menyebabkan semakin tingginya tingkat migrasi masuk yang terjadi, sehingga berakibat bertambahnya jumlah penduduk kota, demikian pula sebaliknya. Kaitannya dengan efek lahan urban terhadap inmigrasi dan outmigrasi akan berpengaruh kepada kecukupan lahan urban.. c. Diagram Alir Sub Model Ekonomi Berdasarkan hasil simulasi historis dapat ditunjukkan bahwa PDRB kota Tangerang mengalami peningkatan namun sangat lambat. PDRB kota Tangerang berasal dari sektor non pertanian (PDRB non pertanian ) dan pertanian (PDRB pertanian). Berikut ini adalah gambar diagram alir ekonomi yang terdiri dari sektor non pertanian dan sektor pertanian. Gambar V.17 Diagram alir sub model PDRB 99

20 Gambar V.18 Diagram alir sub model ekonomi nonpertanian Gambar V.19 Diagram alir sub model target tumbuh nonpertanian 100

21 Gambar V.20 Diagram alir sub model ekonomi pertanian PRDB kota Tangerang dari konstribusi sektor nonpertanian disebut PDRB non pertanian dan sektor pertanian (PDRB pertanian). Pertumbuhan PDRB di atas 7 milyar per tahun pada tahun 2005 terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, karena pengaruh dari meningkatnya pula PDRB non pertanian yang cukup tinggi dan PDRB pertanian yang tumbuh agak lambat (akibat faktor lahan yang makin menyusut dan berkurangnya tenaga kerja petani karena beralih profesi). V.5 Perilaku Model a. Kondisi Awal dan Parameter Model Kondisi awal dan parameterparameter model yang akan digunakan dalam simulasi beberapa skenario kebijakan dalam subsub model ini disajikan pada Tabel V.2. Nilai parameter dan nilai awal level (kondisi awal) ditentukan dengan beberapa metode estimasi, yaitu : 1. Diperkirakan dari data primer (P), yang dapat diperoleh melalui observasi lapangan. 2. Diperkirakan dari data sekunder (S), yang dapat diperoleh melalui sumbersumber data atau informasi yang dipublikasikan. 101

22 3. Diperkirakan berdasarkan data kualitatif (Q), yang dapat diperoleh dari data atau informasi di lapangan melalui wawancara, pendapat pakar, atau berdasarkan pengalaman yang biasanya terjadi. 4. Dihitung oleh model dari parameter lain (C), nilainya dihitung oleh model itu sendiri. No. A., Tabel V.2 Kondisi awal dan parameterparameter model Kondisi Awal dan ParameterParameter Model Lahan Nilai Awal & Parameter Nilai 1. Lahan Belum Terpakai Ha Lahan Belum Terpakai Awal 2. Lahan Urban Industri Ha Lahan Urban Industri Awal 3. Lahan Ha Lahan Awal Keterangan 4. Lahan Bandara Soetta Ha 1816 S 5. Waktu Konversi Lahan tahun 1 Q 6. Alokasi Lahan BSH Ydkh Ha 3000 S 7. Waktu Pemenuhan Pertambahan Lahan BHS tahun 7 S 8. Std Lh Ind Awal Ha/jiwa 0,0062 S 9. Pengali Kebijakan Std Lh Ind 10. Wkt Pentahapan Kbj Lh Ind 1 Q Tahun 5 S 11. Std Lh Urb Awal Ha/jiwa 0,0045 S 12. Pengali Kebijakan Std Lh Urb 1 Q 13. Waktu Prakir Naker Tahun 2 S 14. Wkt Pentahapan Kbjk Lh Urban Tahun 5 S 15. Waktu Pert Lhn Urbind Tahun 1 S B. Penduduk 16. Penduduk Jiwa Penduduk Awal S 17. Fraksi Pembatasan Inmigrasi Ydkh % 1 S S S 102

23 18. Waktu Pentahapan Kebijakan Pembatasan Inmigrasi 19. Tahun Kebijakan Pembatasan Inmigrasi Tahun 5 S Tahun Delay Kebijakan Tahun Waktu Rata2 Rasio Urbind Trpk thd Nornya 22. Waktu Meratakan trend PDRB Perkapita Tahun 3 S Tahun 2 S 23. Fraksi Inmigrasi Normal /tahun 0,027 S 24. Fraksi Kelahiran Normal /tahun 0,02 S 25. Fraksi Outmigrasi Normal /tahun 0,002 S 26. Harapan Hidup Normal Tahun 67 S 27. Fraksi Penduduk Yang Rentan 28. Waktu Rata2 Rasio Pendapatan 29. Waktu meratakan Tk Pengangguran 30. PDRB Perkapita Nor Rupiah/ Tahun/jiwa % 0,2 S Tahun 2 S Tahun 2 S INIT(PDRB Perkpt) 31. Wk Trend PDRB Perkapita Tahun 5 S 32. Tingkat Pengangguran Awal C. Ekonomi % INIT(Tingkat Pengangguran) 33. Kapital Non Rupiah (KOR Non Pertan*PDRB Non Pert Awal)/Rasio NT thdp output Non Pert Awal 34. Tahun Perubahan kbjk rasio naker Non 35. Waktu Penthpn kbjk rasio naker Non 36. Pengali rasio NT Non 37. PDRB Non Pert Awal Rupiah/ tahun 38. Rasio NT thdp output Non Pert Tahun 5000 Tahun 5 S 1 Q INIT(PDRB Non Pert Hist) % 0, S 39. KOR Non Pertan 5 S,Q C C C C 103

24 40. Naker Non Pert Awal jiwa S 41. Waktu Penthpn kbjk NT Non Tahun 5 S 42. Umur Kap Non Tahun 15 S,Q 43. Waktu Rata2 Non 44. Wk Penthpn peningkt produktvs lhn pertanian 45. Parameter ske laju pert prod lh pert 46. Thn skenario laju pertmb prodvts lh pert 47. Laju pertmb prod lh pert hist Tahun 2 S,Q /tahun 0 Q Tahun 5000 %/tahun 0,025 S 48. PDRB Pert Awal Rupiah INIT(PDRB Pert Hist) 49. Naker pert Awal jiwa 663 S 50. Waktu Tahapan Target Tumbuh Non Pert 51. Target Tumbuh Non Pert Hist 52. Target Tumbuh Non Pert Kebijakan Tahun 2 S /tahun 0,04 S,C /tahun 0,08 Q 53. Tingkat Parts Angk Kerja 0,5 S C b. Pengujian Model Untuk memperhitungkan kecenderungan di masa depan maupun untuk menganalisis kebijakan diperlukan syarat model yang harus valid dan sahih. Membandingkan perilaku model dengan perilaku historisnya merupakan salah satu syarat untuk menguji validitas model yang akan digunakan dalam menganalisis persoalan dan memutuskan kebijakan yang tepat. Validitas model atau model yang valid apabila perilaku historis variabelvariabel yang dipergunakan dalam model mirip atau memiliki trend yang sama. Model Potensi Dampak Konversi Lahan Terhadap Perekonomian Kota Tangerang Suatu Pendekatan System Dynamics, membandingkan data sebagai berikut: 104

25 1. Lahan, yaitu : lahan pertanian, lahan urban industri (lahan industri atau aktivitas ekonomi non pertanian dan lahan urban atau lahan permukiman). 2. Populasi, yaitu penduduk. 3. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), yaitu : PDRB Total Pengujian dilakukan atas perilaku model terhadap data historis atau data time series yang tersedia, dan pengujian statistik ketidaksamaan Theil (Theil Inequality Statistics) (Sterman, 1984 yakni membandingkan antara hasil simulasi dengan data historis untuk 10 (sepuluh) data, yang ditunjukkan pada Gambar V.21 s.d. V.24 Untuk data yang akan dilakukan pengujian model adalah lahan urban industri, penduduk, PDRB. Lahan Tahun Lahan Historis Simulasi (At) (St) ,468 4, ,459 4, ,320 4, ,319 4, ,319 4, ,319 4,299 RMSPE 0,709 MSE 0, Um 0, Us 0, Uc 0, Gambar V.21 Perbandingan lahan pertanian dan historis 105

26 Tahun Lahan Urban Industri Historis (At) Lahan Urban Industri Simulasi (St) ,234 9, ,325 9, ,522 9, ,788 9, ,101 10, ,431 10,304 RMSPE 2,415 MSE 0, Um 0, Us 0, Uc 0, Gambar V.22 Perbandingan lahan urban industri dan historis Tahun Populasi Historis (At) Populasi Simulasi (St) ,311,746 1,311, ,354,236 1,353, ,416,842 1,398, ,466,577 1,445, ,488,666 1,494, ,507,084 1,543,650 RMSPE 2,412 MSE 0, Um 0, Us 0, Uc 0, Gambar V.23 Perbandingan penduduk dan historis 106

27 Tahun PDRB Historis (At) PDRB Simulasi (St) ,294,000 6,294, ,252,643 6,536, ,616,457 6,761, ,067,065 6,973, ,130,940 7,170, ,515,330 7,373,315 RMSPE 2,215 MSE 0, Um 0, Us 0, Uc 0, Gambar V.24 Perbandingan PDRB dan historis Model yang ideal seharusnya memiliki kesalahan yang sangat kecil dan terkonsentrasi pada U C dan U S. Nilai U C yang besar merupakan indikasi terjadinya gangguan (noise) pada pola siklus (cyclical modes) pada data historis yang tidak dapat ditangkap oleh model. Kesalahan ini pada umumnya bukan merupakan kesalahan sistematis. Jika nilai U S dengan nilai U M dan U C besar, berarti terdapat ratarata yang sama dan korelasi yang tinggi, tetapi jarak varian rataratanya hampir sama. Keadaan ini menunjukkan nilai simulasi dan nilai aktual yang mempunyai kecenderungan yang sama (hampir mendekati sama). Kesalahan karena bias diindikasikan dengan nilai U M yang besar, sementara nilai U S dan U C kecil. Kesalahan karena bias dianggap berpotensi serius dan biasanya merupakan kesalahan dalam mengestimasi parameter. Kesalahan ini dikategorikan sebagai kesalahan sistematis antara model dengan kenyataan. 107

28 Dari perbandingan pada Gambar V.21, V.22, V.23, V.24 di atas, dapat disimpulkan bahwa model cukup menyerupai kondisi sistem yang ditinjau. Hasil simulasi dan historis ratarata menunjukkan kedekatan data simulasi dan historis. Sebagian besar yaitu lahan, populasi, dan PDRB menunjukkan perbedaan yang tidak begitu besar dan trend sama. Berdasarkan hasil pengujian dan pembuktian kedekatan simulasi dan historis tersebut, maka langkah selanjutnya dapat dipergunakan untuk melakukan skenario kebijakan dengan analisis perilakunya guna memperlihatkan perilaku di masa datang. 108

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan Berdasarkan hasil analisis kebijakan yang telah dipaparkan pada Bab VI, maka pada Bab ini dilakukan pembahasan

Lebih terperinci

DINAMIKA LAHAN PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS

DINAMIKA LAHAN PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS DINAMIKA LAHAN PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Perubahan Fungsi Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Perubahan Fungsi Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Perubahan Fungsi Lahan Konversi lahan pertanian dewasa ini telah menjadi isu global, tidak saja di negara berkembang di mana pertanian masih menjadi sektor dominan, tetapi juga di

Lebih terperinci

Bab V Validasi Model

Bab V Validasi Model Bab V Validasi Model 5.1 Pengujian Model Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengujian model sistem dinamik menyangkut tiga aspek yaitu : (1) pengujian struktur model; (2) pengujian perilaku model;

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. II.1 Dinamika Konversi Lahan Dalam Perkembangan Kota

BAB II KAJIAN TEORITIS. II.1 Dinamika Konversi Lahan Dalam Perkembangan Kota BAB II KAJIAN TEORITIS II.1 Dinamika Konversi Lahan Dalam Perkembangan Kota Pengertian konversi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya 1 Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya Dewi Indiana dan Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng. Teknik Industri, Fakultas

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Bab V Pengembangan Model

Bab V Pengembangan Model Bab V Pengembangan Model V.1 Batasan Model Dari pemaparan permasalahan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa menurunnya kondisi ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III. 1 System Dynamics sebagai suatu Metodologi System Dynamics mendesak para pengambil keputusan untuk melihat arena kebijakannya sebagai suatu paradigma atau model yang

Lebih terperinci

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN Berdasarkan analisis data dan informasi yang telah dilakukan, analisis

Lebih terperinci

Paramita Anggraini ( ) Pembimbing : Dr.Ir. Sri Gunani Partiwi. Co Pembimbing : Prof.Dr.Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.

Paramita Anggraini ( ) Pembimbing : Dr.Ir. Sri Gunani Partiwi. Co Pembimbing : Prof.Dr.Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M. ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PENYELARASAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN DUNIA INDUSTRI (STUDI KASUS : SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 5 (SMKN 5) DAN INDUSTRI MANUFAKTUR) JURUSAN

Lebih terperinci

BAB 13 METODE SISTEM DINAMIS

BAB 13 METODE SISTEM DINAMIS METODE ANALISIS PERENCANAAN 2 Materi 11 : TPL 311 2 SKS Oleh : Ken Martina Kasikoen BAB 13 METODE SISTEM DINAMIS Metode Sistem Dinamis awalnya dikembangkan oleh Jay Forrester pada tahun 1963 dalam bukunya

Lebih terperinci

VII. MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN JABODETABEK

VII. MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN JABODETABEK VII. MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN JABODETABEK 7.1. Model Dinamika Jabodetabek Dalam Penelitian Model yang dikembangkan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai model dinamika untuk kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis (dynamics system). Metode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya Tugas Akhir- TI 9 Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya Oleh : Dewi Indiana (576) Pembimbing : Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

3.3. PENGEMBANGAN MODEL

3.3. PENGEMBANGAN MODEL Selain teknologi pemupukan dan OPT, mekanisasi merupakan teknologi maju yang tidak kalah penting, terutama dalam peningkatan kapasitas kerja dan menurunkan susut hasil. Urbanisasi dan industrialisasi mengakibatkan

Lebih terperinci

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi. Tugas Akhir ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT DI KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU: SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Membuat model persawitan nasional dalam usaha memahami permasalahan

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1 Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan Dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Putri Amelia dan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS

BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS Dalam penelitian ini, analisis keandalan ketersediaan air baku Sungai Cikapundung Hulu dilakukan dengan menggunakan metoda system dynamics. Penggunaan system dynamics

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH INVESTASI PMA DAN PMDM, KESEMPATAN KERJA, PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PDRB DI JAWA TENGAH PERIODE TAHUN

ANALISA PENGARUH INVESTASI PMA DAN PMDM, KESEMPATAN KERJA, PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PDRB DI JAWA TENGAH PERIODE TAHUN ANALISA PENGARUH INVESTASI PMA DAN PMDM, KESEMPATAN KERJA, PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PDRB DI JAWA TENGAH PERIODE TAHUN 1980-2006 SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1. RAMP_LOSSES surplus. kebutuhan_kedelai. inisial_luas_tanam produski_kedelai Rekomendasi_pupuk

Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1. RAMP_LOSSES surplus. kebutuhan_kedelai. inisial_luas_tanam produski_kedelai Rekomendasi_pupuk . Harga_Treser Coverage_area Biaya_Treser Unit_Treser Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1 RAMP_LOSSES surplus Harga_Rhi konsumsi_kedelai_per_kapita Biaya_Rhizoplus jumlah_penduduk pertambahan_penduduk RekomendasiR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dilakukan bertujuan untuk mengentaskan pengangguran dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dilakukan bertujuan untuk mengentaskan pengangguran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Kegiatan perekonomian tercermin dari hasil pembangunan, dimana pembangunan dilakukan bertujuan untuk mengentaskan pengangguran dan mengurangi tingkat kemiskinan

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik

Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik Seminar dan Konferensi Nasional IDEC 2017 ISSN: 25796429 Surakarta, 89 Mei 2017 Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik Wiwik Budiawan *1), Ary Arvianto

Lebih terperinci

SISTEM PRODUKSI PAKAN DAN

SISTEM PRODUKSI PAKAN DAN ternak. Untuk Sub Sistem konsumsi dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk, tingkat konsumsi dan diversifikasi konsumsi di masyarakat. Dalam membangun keempat subsistem tersebut, tentunya menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih tinggi. Di lain segi istilah tersebut bertujuan untuk menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. lebih tinggi. Di lain segi istilah tersebut bertujuan untuk menggambarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam analisis mikro ekonomi perkataan pertumbuhan ekonomi mempunyai dua segi pengertian berbeda. Di satu pihak istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi dinegara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dua lembaga konsultan keuangan dunia, Price Water House Coopers (2006) dan Goldman Sachs (2007), memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan kekuatan

Lebih terperinci

Pengembangan Model Simulasi Sistem Dinamis Keseimbangan Jumlah Input - Output Mahasiswa

Pengembangan Model Simulasi Sistem Dinamis Keseimbangan Jumlah Input - Output Mahasiswa Pengembangan Model Simulasi Sistem Dinamis Keseimbangan Input Output Mahasiswa Yuli Dwi Astanti, Trismi Ristyowati Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat dicapai melalui pembenahan taraf hidup masyarakat, perluasan lapangan

Lebih terperinci

matematis. Formulasi matematis ini menunjukkan keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi.

matematis. Formulasi matematis ini menunjukkan keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi. matematis. Formulasi matematis ini menunjukkan keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi. 8.4. HASIL ANALISIS 8.4. 1. Sub Model Produksi Jeruk Sub model produksi jeruk pada Gambar 8.4

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB VIII PEMODELAN DALAM PERENCANAAN

BAB VIII PEMODELAN DALAM PERENCANAAN TEORI PERENCANAAN Materi XI : TKW 407-3 SKS Oleh : DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB VIII PEMODELAN DALAM PERENCANAAN 8.1 Pemodelan dalam Perencanaan Menurut ruang lingkupnya model yang diperlukan untuk perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan masalah ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Simulasi Dan Analisis Kebijakan Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS NURILLAH UTAMI NIM :

HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS NURILLAH UTAMI NIM : HUBUNGAN TINGKAT KEMACETAN DAN TINGKAT PERTUMBUHAN JUMLAH WISATAWAN DI KOTA BANDUNG: PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut

Lebih terperinci

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto Kabupaten Penajam Paser Utara Dalam Angka 2011 258 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam bab ini disajikan data dalam bentuk tabel dan grafik dengan tujuan untuk mempermudah evaluasi terhadap data

Lebih terperinci

Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Memaksimalkan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus : Kecamatan Waru)

Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Memaksimalkan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus : Kecamatan Waru) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No., (014) ISSN: 337-3539 (301-971 Print) C-87 Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Memaksimalkan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus : Kecamatan Waru)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan kesejahteraan suatu negara yaitu dengan meningkatkan faktor

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan kesejahteraan suatu negara yaitu dengan meningkatkan faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah makro ekonomi jangka panjang disetiap periode. Dalam setiap periode upaya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Langkah-Langkah Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Langkah-Langkah Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Langkah-Langkah Penelitian Untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan kemudian disusun metodologi penelitian yang terdiri dari langkah-langkah

Lebih terperinci

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA Disusun oleh : Karmila Ibrahim Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Abstract Analisis LQ Sektor pertanian, subsektor tanaman pangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi disamping dua tujuan lainnya yaitu pemerataan dan stabilitas. Indikator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Industri Pertumbuhan industri bisa dilihat dari sumbangan sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Semakin besar sumbangan terhadap PDB maka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat di ibukota berdampak pada peningkatan jumlah penduduk dan dinamika penggunaan lahan. Pertumbuhan sektor perdagangan, jasa dan industri mendominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan komponen otomotif baik untuk kendaraan baru (original equipment manufacture) dan spare parts (after market) cukup besar. Menurut data statistik jumlah populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di suatu wilayah mengalami peningkatan setiap tahunnya yang dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari kelahiran-kematian, migrasi dan urbanisasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN 2010-2014 2.1 STRUKTUR EKONOMI Penetapan SDG s Sustainable Development Goals) sebagai kelanjutan dari MDG s Millenium Development Goals) dalam rangka menata arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah makro ekonomi jangka

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah makro ekonomi jangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah makro ekonomi jangka panjang disetiap periode. Dalam setiap periode daerah regional tertentu berupaya untuk meningkatkan perekonomian

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB II KETENTUAN UMUM BAB II KETENTUAN UMUM 2.1. Pengertian Umum Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya, suatu negara akan melakukan pembangunan ekonomi dalam berbagai bidang baik pembangunan nasional

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi wilayah atau regional merupakan salah satu bagian penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi suatu daerah atau suatu negara selalu diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai sebuah negara dimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah hasil dari perubahan dalam bidang teknis dan tata kelembagaan dengan mana output tersebut diproduksi dan didistribusikan (Adrimas,1993).

Lebih terperinci

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG Abstrak Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster.

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan

Lebih terperinci

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan bagian dari suatu perwujudan pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan menciptakan kemandirian suatu daerah dalam mengurus rumah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. GDP baik secara keseluruhan maupun per kapita. Tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. GDP baik secara keseluruhan maupun per kapita. Tujuan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur untuk mencapai kebehasilan pembangunan suatu negara. Pembangunan ekonomi suatu negara pada awalnya merupakan perencanaan pembangunan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor. VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam jangka pendek peningkatan pendidikan efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dibanding dengan sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang isi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu Dengan Iman dan Taqwa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten atau Kota untuk mengembangkan potensi ekonominya. Oleh karena itu pembangunan daerah hendaknya dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional.sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: BAMBANG WIDYATMOKO L2D 098 412 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH Krisis finansial global yang dipicu oleh krisis perumahan di AS (sub prime mortgage) sejak pertengahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya. pertumbuhan penduduk yang cepat dan dinamis (Sadhana, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya. pertumbuhan penduduk yang cepat dan dinamis (Sadhana, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan serangkaian usaha yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk Perspektif Kabupaten Berau selama 5 tahun ke depan didasarkan pada kondisi objektif saat ini dan masa lalu yang diprediksi menurut asumsi cetiris paribus. Prediksi dilakukan terhadap indikator-indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 RTRW Kota Cilegon Djoko Sujarto, Perencanaan perkembangan kota baru,penerbit ITB, 2012, hlm 16

BAB I PENDAHULUAN. 1 RTRW Kota Cilegon Djoko Sujarto, Perencanaan perkembangan kota baru,penerbit ITB, 2012, hlm 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota baru di Indonesia dimulai sejak tahun 1950-an dan terus berkembang menjadi landasan pemikiran konseptual dalam memecahkan masalah mengenai fenomena

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN SEKTOR PERDAGANGAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN SEKTOR PERDAGANGAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN SEKTOR PERDAGANGAN DI JAWA TENGAH TAHUN 1985 2005 SKRIPSI Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Jenjang Strata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor swasta dan masyarakat (Saragih, 2009). merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. sektor swasta dan masyarakat (Saragih, 2009). merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang menjadi sumber daya potensial di wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

Model System Dinamics

Model System Dinamics System Thinking / System Dinamics (Perbedaan SD dan MP, Causal Loop, Konsep Stok dan Flow) Perbedaan system dinamics (SD) dan mathematical programming (MP) Perbedaan MP dan SD berdasarkan : 1. Tujuan :

Lebih terperinci