Triswan Suseno. SARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Triswan Suseno. SARI"

Transkripsi

1 KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENETAPAN KEBUTUHAN DAN PERSENTASE MINIMAL PENJUALAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN DALAM NEGERI Triswan Suseno SARI Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, khususnya untuk batubara dikenal dengan kebijakan Domestic Market Obligation batubara. Untuk mengatur yang lebih teknis lagi, tiap tahun diterbitkan Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Namun, sejak diberlakukannya Keputusan Menteri ESDM tersebut pada tahun 2010 penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara bagi para pengusaha batubara untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri masih ditemukan persoalan sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Berdasarkan kajian selama tahun , jumlah kuota batubara yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri selalu lebih rendah dari kebutuhan batubara oleh industri di dalam negeri dengan kekurangan rata-rata sebesar 12 juta ton per tahun. Sebaliknya, jumlah batubara yang ditetapkan sebesar 95,5 juta ton untuk memasok batubara di dalam negeri lebih besar daripada kebutuhannya, yaitu 87,8 juta ton. Salah satu penyebab tidak tercapainya sasaran Keputusan Menteri ini adalah karena penetapan kuota batubara bagi perusahaan pemasok ditentukan secara proporsional sesuai tingkat produksinya kepada semua perusahaan pemasok maupun perusahaan pengguna batubara tanpa mempertimbangkan spesifikasi, harga, dan lokasi secara spesifik. Kata kunci : Kuota, keputusan menteri, kebutuhan, domestic market obligation. 1. LATAR BELAKANG Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penduduk, dan dinamika industri yang berkembang cepat, kebutuhan energi dunia semakin meningkat pula. Di lain pihak, keberadaan sumber daya energi minyak bumi yang semakin terbatas dan tidak dapat terbarukan menuntut setiap negara berlomba mencari energi alternatif dalam mendukung dan menjaga kelangsungan kegiatan industrinya. Tidak terkecuali dunia industri di Indonesia yang saat ini mulai banyak beralih ke bahan bakar batubara, selain murah, juga karena cadangannya cukup besar untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri seperti PLTU, industri tekstil, kertas, pupuk dan lain-lain (Suseno, 2013). Cadangan batubara Indonesia saat ini tercatat menduduki urutan ke-7, atau hanya 0,6% dari cadangan batubara dunia ( 70

2 Sedangkan pengumpulan data primer dilakukan dengan mengunjungi dan mewawancarai beberapa perusahaan penghasil dan konsumen batubara dalam merespon terbitnya keputusan menteri tersebut, terkait dengan hak dan kewajiban untuk memenuhi dan menerima kuota batubara domestik. Analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan mengolah dan menganalisis secara kronologis dan manual (computerized) setelah data selesai dikumpulkan semua. Sementara itu analisis deskriptif merupakan metode yang berka itan dengan pengumpulan, peringkasan, dan penyajian suatu data sehingga memberikan inforgy, 2014). Pada tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai negara produsen batubara terbesar ke-4 dunia setelah Tiongkok, Amerika, dan India dengan jumlah produksi 449 juta ton (www. bp.com/energy, 2014 dan resources, 2014). Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia saat ini, dengan jumlah sebanyak 347 juta ton ( worldcoal.org/resources, 2014). Pada tahun 2008, industri pengguna batubara di dalam negeri pernah mengalami kesulitan mendapatkan batubara karena tingginya harga minyak dunia yang menyebabkan batubara banyak diekspor. Krisis energi (batubara) tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri dengan dikeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, atau yang dikenal dengan Domestic Market Obligation (DMO) batubara. Permen ESDM tersebut merujuk kepada Pasal 3 huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, serta Pasal 85 dan Pasal 112 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012, sebagai perubahan pertama Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sementara mengenai besarnya kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri, tiap tahun diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM. Walaupun Permen ESDM mampu mengatasi krisis energi batubara, namun Kepmen ESDM perlu dievaluasi mengingat belum sepenuh nya bisa terimplementasi dengan baik, karena selama 5 (lima) tahun jumlah batubara yang telah ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan domestik diduga tidak semuanya termanfaatkan habis oleh industri pengguna batubara di dalam negeri. Sebagai contoh, pada tahun 2014, produksi batubara Indonesia sebesar 435 juta ton, dari jumlah tersebut sekitar 359 juta ton di antaranya diekspor dan sisanya 76 juta ton untuk kebutuhan di dalam negeri. Besarnya kebutuhan domestik tersebut ternyata lebih rendah dari pada target yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor K/30/MEM/2013, yaitu sebesar 95 juta ton (Rahmat, 2015). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian/kajian apa yang menjadi penyebab tidak tercapainya target dalam Kepmen ESDM tersebut dan coba dicarikan solusi terhadap permasalahannya. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah mengoptimalkan pemanfaatan batubara oleh industri pengguna batubara di dalam negeri dan mengatur ulang kebijakan DMO Batubara agar keputusan menteri tersebut terimplementasi dengan baik. 2. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei terhadap perusahaan penghasil, pengguna batubara dan pemerintah. Data yang diperlukan dalam kajian berupa data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi langsung serta dilakukan inventarisasi data sekunder. Data sekunder berupa laporan hasil penelitian terdahulu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kebutuhan batubara di dalam negeri selama periode , serta informasi tentang batubara dari berbagai sumber seperti Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Pusat Survei Geologi, dan instansi terkait. 71

3 masi yang berguna dan juga menatanya ke dalam bentuk yang siap untuk dianalisis. Analisis deskriptif memiliki tujuan untuk memberikan gambaran (deskripsi) mengenai suatu data agar data yang tersaji menjadi mudah dipahami dan informatif bagi orang yang membacanya. 3. PENGGUNAAN BATUBARA DALAM NEGERI Menurut Kementerian ESDM, produksi batubara nasional pada tahun 2014 yang ditargetkan sebanyak 420 juta ton ternyata produksinya melebihi target yang ditetapkan, yaitu 435 juta ton. Dari jumlah tersebut, 359 juta ton batubara di antaranya diekspor dan sisanya sebesar 76 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri ( 2014). PLTU PLTU merupakan konsumen batubara terbesar di dalam negeri. Pada tahun 2011, kebutuhan batubara PLN diperkirakan mencapai 50 juta ton, atau naik 15,8 juta ton dibandingkan de ngan realisasi 2010 sebanyak 38,1 juta ton. Hal ini disebabkan telah beroperasinya dua PLTU Labuan di Banten. Pada tahun 2012, PLN berhasil membangun kembali empat unit PLTU, yaitu Lontar 2 (Banten), Paiton (Jawa Timur), Amurang (Sulawesi Utara), dan Kendari 2 (Sulawesi Tenggara), dengan jumlah konsumsi batubara sebanyak 59,09 juta ton. Tahun 2013, PLN merampungkan pembangunan lima unit PLTU, yaitu Barru 2 (Sulawesi Selatan), Asam asam (Kalimantan Selatan), Pacitan (Jawa Timur), Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), dan Tanjung Karimun (Kepulauan Riau), dengan kebutuhan batubara sebesar 60,06 juta ton. Tahun 2014, konsumsi batubara oleh PLTU (termasuk tahap I) diperkirakan akan naik menjadi 61,9 juta ton. Hal ini dikarenakan PLTU program 10 ribu MW sudah terbangun sebanyak 17 PLTU di berbagai daerah, dengan kapasitas MW (69,7%). Sisanya sebanyak 25 PLTU berkapasitas MW (30,3%) diharapkan terbangun tahun 2015 (Ditjen Ketenagalistrikan, 2014) dan beroperasi tahun Hal ini dikarenakan rencana pembangunan 13 PLTU pada tahun 2014 kemungkinan tidak tercapai, sehingga diharapkan dapat terbangun tahun bersamaan dengan 12 PLTU lainnya. Apabila diasumsikan bahwa pembangunan PLTU program 10 ribu MW (Suseno, 2013) semuanya dapat beroperasi pada tahun 2016 sehingga PLTU Indonesia memiliki kapasitas terpasang sekitar MW, maka batubara yang diperlukan sekitar 71,06 juta ton. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, penetapan DMO akan banyak mengalami perubahan sehingga kebijakan dalam rangka menjamin keamanan pasokan batubara domestik harus menjadi perhatian di masa mendatang. De ngan kata lain, untuk memenuhi kebu tuhan batubara dalam negeri, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis melalui kajian ulang DMO yang terkait dengan penyediaan batubara seiring dengan berbagai perubahan dari berbagai sisi seperti produksi, konsumsi, ekspor, perkembang an teknologi diversifikasi yang mempengaruhi proyeksi dan kebijakan dalam rangka mendukung kebijakan energi nasional di masa yang akan datang. Hal ini akan berdampak juga terhadap pesat nya perkembangan produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak terlepas dari perminta an dalam negeri terus meningkat setiap tahun nya (Suherman, 2007). Konsumsi Batubara untuk Industri Lain Berdasarkan hasil survei di lapangan, ternyata tidak hanya PLTU saja yang menggunakan batubara, industri lain pun banyak yang menggunakannya sebagai bahan bakar, antara lain industri kertas, tekstil, ban, makanan, semen dan lain-lain. Industri ini tersebar di berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Hal ini mengindikasi bahwa masa depan perbatubaraan di Indonesia semakin cerah (Suseno, 2005). Banten Di Provinsi Banten, terdapat 78 perusahaan yang telah menggunakan batubara sebagai bahan bakar, tersebar di empat wilayah, yaitu Kabupaten Tangerang sebanyak 50 perusahaan, Cilegon dan Kabupaten Serang masing-masing 11 perusahaan, serta di Kota Ta ngerang enam perusahaan. 72

4 Jumlah kebutuhan batubara di Provinsi Banten ini sekitar 2,85 juta ton per tahun, 32,11% di antaranya diserap oleh perusahaan yang ada di Kota Cilegon, Kabupaten Serang (30,54%), Kabupaten Tangerang (25,68%), dan Kota Tangerang (11,67%). Jenis industri yang paling banyak memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar adalah industri kertas dengan serapan 43,48% dari seluruh kebutuhan batubara di Provinsi Banten, jenis industri lainnya kurang dari 15%. Batubara yang paling banyak digunakan oleh industri adalah batubara yang berasal dari Kalimantan dengan kalori antara kkal/kg. Jawa Barat Jawa Barat adalah salah satu konsumen batubara terbesar di dalam negeri, karena sudah sejak lama perusahaan-perusahaan di sini mengalihkan penggunaan BBM ke batubara. Hingga saat ini sudah ada 304 perusahaan yang telah menggunakan batubara, 137 perusahaan berada di Kabupaten Bandung, Cimahi 47 perusahaan, Karawang 34 perusahaan, Bogor 33 perusahaan, dan sisanya tersebar di Kota Bandung, Bekasi, Kabupaten Bekasi, Bogor, Purwakarta, Subang, dan Cirebon. Jenis industri yang paling banyak menggunakan batubara adalah industri tekstil jumlahnya mencapai 242 perusahaan. Jumlah kebutuhan batubara mencapai 6,47 juta ton, Kabupaten Bogor merupakan pengguna batubara terbesar, yaitu 35,71%. Kabupaten Bandung dan Purwakarta menjadi pengguna kedua dan ketiga terbesar, dengan masing-masing menyerap 21,95% dan 19,42%; sisanya tersebar di beberapa daerah lainnya. Sedangkan dari sisi jenis industri, teks til adalah jenis industri yang paling banyak memanfaatkan batubara, yaitu sebanyak 3,65 juta ton (56,49%), disusul kemudian industri kertas, idustri kimia dan industri makanan. Sebagian besar kebutuhan batubara oleh indusri di Jawa Barat didatangkan dari Kalimantan Selatan melalui Pelabuhan Cirebon dengan kadar rata-rata kkal/kg (Suseno, 2007). Jawa Tengah Jumlah perusahaan pengguna batubara di Pro vin si Jawa Tengah tercatat sekitar 143 perusahaan, tersebar di beberapa kabupaten/ kota dengan jumlah kebutuhan batubara sebanyak ton. Sebanyak 17,35% dari batubara tersebut diserap oleh perusahaan yang ada di Karanganyar, 15,63% perusahaan di Magelang, dan sisanya digunakan secara me ra ta di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Jenis industri yang paling banyak menggunakan batubara adalah industri tekstil, nilai kalor batubara yang digunakan biasanya berkisar antara kkal/kg. Provinsi Jawa Timur Berdasarkan hasil survei, jumlah perusahaan yang menggunakan batubara di Provinsi Jawa Timur tercatat sebanyak 107 perusahaan dan tersebar secara tidak merata di 12 kabupaten/ kota. Perusahaan kertas adalah pemakai batubara terbesar, disusul kemudian oleh perusahaan tekstil dan briket. Jumlah pemakaian batubara pada tahun 2014 tercatat 4,24 juta ton, dengan perincian 57,60% digunakan oleh perusahaan semen, 33,2% perusahaan kertas, serta sisanya oleh perusahaan tekstil dan briket. Nilai kalor batubara yang banyak digunakan di wilayah ini rata-rata berkisar antara kkal/kg. Sumatera Utara Kawasan Industri Medan adalah sebuah kawasan industri yang terletak di Kelurahan Mabar, Medan Deli, Medan. KIM berjarak sekitar 10 km dari pusat kota Medan dan sekitar 15 km dari Pelabuhan Belawan, serta terletak dekat dengan pintu Tol Belmera. Sekitar 100 perusahaan menempati kawasan industri ini, sebagian besar di antaranya adalah perusahaan dalam negeri. Tercatat sebanyak 18 perusahaaan telah menggunakan batubara dengan jumlah kebutuhan ton, perusahaan di daerah ini rata-rata menggunakan batubara dengan nilai kalor antara kkal/kg. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara Di dua wilayah ini terdapat dua perusahaan besar, yaitu PT Vale dan PT Aneka Tambang Tbk. yang melakukan pengecoran logam masing-masing menggunakan batubara seba nyak ton/tahun dan ton/tahun. 73

5 Riau pabrik pulp PT RAPP membutuhkan batubara sebanyak ton/tahun dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk sebanyak ton/tahun. Kalimantan Timur PT Pupuk Kaltim di Bontang menggunakan batubara ton/tahun. Nangroe Aceh Darusalam PT Pupuk Iskandar Muda menggunakan batubara ton/tahun. 4. PERMASALAHAN DAN ANALISIS Kepmen ESDM selama Sejak diberlakukan pada tahun 2010, Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM tentang pene tapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri telah berusaha memberikan jaminan ketersediaan batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan bagi industri pengguna batubara di dalam negeri untuk menjaga kelangsungan kegiatan produksinya. Melalui Kepmen ESDM tersebut, setiap perusahaan PKP2B, BUMN, dan pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) diwajibkan untuk menyisihkan produksi batubara secara proporsional untuk dijual di dalam negeri (Ditjen Minerba, 2014a). Dari hasil inventarisasi dan evaluasi yang dilakukan, berbagai kendala telah muncul, antara lain : 1) Selama tahun , penetapan jumlah kuota DMO batubara selalu lebih rendah daripada jumlah penjualan batubara dalam negeri. Dampak dari kekurangan tersebut, banyak konsumen mencari batubara dari pemasok yang tidak terdaftar dalam Kepmen ESDM tersebut. Pada tahun berikutnya, untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2014, pemerintah tahun 2013 menerbitkan Kepmen ESDM yang menetapkan DMO batubara untuk tahun 2014 sebesar 95,5 juta ton. Namun kebutuhan batubara dalam negeri pada tahun 2014 ternyata hanya 87,8 juta ton (Gambar 1), sehingga banyak perusahaan pemasok batubara yang mengalami kesulitan menjual produknya di dalam negeri. 2) Tidak terserapnya DMO batubara karena ada beberapa PLTU yang diduga tidak membeli batubara dari perusahaan pemasok yang terdaftar dalam DMO, salah satu penyebabnya adalah adanya ketidaksepakatan dalam hal harga. Sehingga, untuk mendapatkan batubara, PLTU tersebut biasanya membeli batubara dari pemasok tak resmi yang harganya lebih rendah daripada yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh perusahaan pemakai batubara non PLTU, seperti industri tekstil, kertas, pupuk, dan lainnya. Sumber : Ditjen Minerba, 2014b (diolah kembali) Gambar 1. Perkembangan produksi, penjualan dan DMO batubara Tahun

6 3) Ketidaksesuaian spesifikasi batubara antara pemakai dan pemasok menjadi penyebab tidak optimalnya pemanfaatan DMO batubara ditingkat konsumen dalam negeri. Salah satu contoh adalah PT Kaltim Prima Coal yang memiliki kualitas batubara dengan nilai kalor sekitar kkal/kg tidak dapat menjual produknya di dalam negeri karena tidak ada perusahaan yang menggunakannya. Untuk menutupi kewajiban nya, perusahaaan tersebut membeli batubara dari perusahaan lain sesuai speifikasi konsumen dalam negeri untuk menghindari sanksi. 4) Apabila diperhatikan materi Kepmen ESDM setiap perusahaan pemasok yang mendapat kan kuota untuk memasok batubara sa ngat variatif, tergantung pada tingkat produksinya sehingga terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Sebagai contoh, PT Adaro Indonesia wajib menyisihkan sebesar 10,8 juta ton untuk dijual di dalam negeri. Namun di sisi lain, PT Batualam Selaras mendapatkan kewajiban memasok batubara hanya 12,06 ribu ton. Dengan jumlah sebesar itu sangat tidak mungkin perusahaan tersebut menjual kuotanya, sementara secara geografis lokasi perusahaan tersebut jauh dari lokasi pemakai. Ini adalah salah satu kelemahan penetapan DMO batubara dengan sistem persentase. 5) Penetapan kuota DMO bagi perusahaan pemasok ditentukan secara proporsional sesuai tingkat produksinya terhadap semua perusahaan pemasok maupun perusahaan pengguna batubara tanpa memperhatikan spesifikasi dan lokasi. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah perusahaan pemasok dan pemakai batubara banyak dan tersebar di berbagai lokasi, terutama lokasi pemakai batubara non-pltu yang tersebar di kota-kota besar dengan tingkat kepadatan penduduk dan lalulintas yang tinggi sehingga menyulitkan dalam transportasi pengiriman. 6) Penyaluran DMO batubara sulit dipantau, karena pemerintah hanya menetapkan jum- lah/besaran batubara dan menetapkan harga patokan batubara. Transaksi penjualan selanjutnya diserahkan kepada pasar, yaitu kedua belah pihak yang melakukan transaksi. 7) Berdasarkan survei lapangan, diketahui se bagian besar perusahaan pengguna batubara non-pltu belum semuanya mengetahui adanya Peraturan Menteri ESDM ten tang DMO batubara maupun Kepmen ESDM tentang penetapan kebutuhan dan persentase mi nimal penjualan batubara untuk kepen tingan dalam negeri. Mengingat tujuan terbitnya Kepmen ESDM adalah untuk mencegah terjadinya kelangkaan batubara di dalam negeri dan menjaga kelangsungan aktivitas produksi bagi industri pengguna batubara nasional, penulis mencoba memberikan penilaian dan mengevaluasi atas implementasi Kepmen ESDM sebagai berikut: 1) Untuk menghindari ketidakakuratan penetapan besarnya DMO batubara, sebaiknya dihitung dahulu secara cermat dan akurat jumlah kebutuhan batubara untuk PLTU dan industri pengguna batubara lainnya. Demikian pula untuk kualifikasinya, karena setiap perusahaan memiliki spesifikasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. 2) Harga patokan batubara (HPB) yang mengacu pada indeks internasional ternyata belum menjamin kelancaran transaksi penjualan batubara antara produsen dan konsumen, hal ini terbukti dari tidak terserapnya DMO batubara karena konsumen membeli dari pemasok yang harganya lebih murah dari HPB. Oleh karena itu, pemerintah harus meninjau dan menghitung kembali penetapan harga tersebut agar dapat diterima oleh semua pihak sehingga transaksi dengan produsen batubara ilegal dapat dihindari. 3) Persoalan kesulitan distribusi yang diakibatkan oleh lokasi pemasok batubara yang berjauhan, tidak dalam satu area, terutama bagi perusahaan pemasok yang mendapatkan kuota DMO batubara dalam jumlah kecil, maka perlu dibangun pusat pengum- 75

7 Dalam Kepmen tersebut juga dicantumkan pengalokasi kebutuhan batubara PLTU sebapulan/penyimpanan batubara atau stockpile yang strategis yang dapat dijangkau oleh semua produsen sehingga memudahkan pengiriman, khususnya produsen yang mempunyai kuota sedikit/kecil dan yang tidak memiliki pelabuhan. 4) Selain lokasi stockpile, sebaiknya juga ada fasilitas pencampuran batubara (coal blending facility) untuk menyesuaikan kualitas batubara yang diminta oleh konsumen dalam negeri. Pembangunan fasilitas ini tentunya harus berdekatan atau di sekitar para produsen dan konsumen batubara itu berada. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, umumnya PLTU Swasta dipasok oleh PK- P2B, dengan jumlah stok batubara cukup, juga ditambah stok cadangan (dead stock) yang lebih besar lagi, sehingga operasional PLTU menjadi maksimal. Sementara itu, kebutuhan batubara untuk PLTU milik PLN yang jumlahnya banyak dan tersebar, di samping dipasok oleh produsen yang terdaftar dalam DMO, juga dipasok oleh perusahaan tambang batubara (anak perusahaan PLN) dan KP/IUP serta trader batubara, yang tidak masuk dalam daftar perusahaan yang terkena DMO, sehingga ada beberapa PLTU yang operasionalnya tidak optimal. Di sisi produsen, terdapat transfer quota dari perusahaan yang melebihi kewajiban ke perusahaan yang tidak dapat memasok ke dalam negeri terkait spesifikasi yang tidak sesuai. Permasalahan terkait dengan penerapan kebijakan DMO, menurut pengamatan survei, jumlah kebutuhan batubara untuk domestik lebih besar daripada jumlah kebutuhan batubara DMO, mengingat banyak Industri Kecil-Menengah (IKM) yang tidak tersentuh oleh kebijakan DMO tersebut. Dengan disahkan nya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambang an Mineral dan Batubara, Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri, dan Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Mineral dan Batubara, serta di sisi lain gambaran kenaikan tingkat produksi yang cenderung semakin meningkat tajam, terutama tiga tahun ter- akhir, merupakan tantangan bagi pemerintah yang memegang kendali kebijakan, bagaimana upaya pengelolaan batubara sebagai komoditas ekspor di samping sebagai sumber energi primer bagi dunia industri di Indonesia. Dengan perkataan lain adalah tantangan mengendalikan tingkat produksi batubara dan ekspor serta jaminan pasokan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Satu hal yang perlu juga disadari adalah bahwa batubara termasuk sumber daya tak terbarukan, berimplikasi terhadap keterbatasan waktu pemanfaatannya, sehingga diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya, agar terwujud transformasi manfaat yang dapat dirasakan masyarakat tidak sebatas hanya pada waktu selama umur tambang saja. Pemanfaatan batubara oleh industri di dalam negeri untuk mendorong terwujudnya peningkatan efsiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional (Putra, 2011). 5. ALOKASI DAN KUOTA DMO BATUBARA Dalam Kepmen ESDM No K/30/ MEM/2013, disebutkan bahwa kuota DMO batubara ditetapkan sebesar 95,55 juta ton, dengan komposisi 59,16% harus dipenuhi oleh perusahaan batubara di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan (30,59%), Sumatera Selatan (5,94%), Kalimantan Tengah (3,47%), Riau (0,35%), Bengkulu (0,26%), dan Jambi (0,23%). Perusahaan batubara yang diwajibkan untuk memasok kebutuhan batubara untuk industri di dalam negeri sebanyak 85 perusahaan, terdiri atas 50 perusahaan dengan izin PKP2B dan satu BUMN, serta 34 IUP OP. Dari 85 perusahaan yang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri, 46 perusahaan diantaranya berasal dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan 20 perusahaan, Kalimantan Tengah 8 perusahaan, Sumatera Selatan 8 perusahaan, sedangkan Jambi, Bengkulu dan Riau masing-masing satu perusahaan. 76

8 Tabel 1. Jumlah perusahaan wajib memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri untuk industri Tahun 2014 Lokasi Jumlah perusahaan Kewajiban DMO (ton) PKP2B IUPOP PKP2B IUPOP Jumlah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Jambi Bengkulu Riau Jumlah Sumber : Kepmen ESDM No K/30/MEM/2013, Tahun No. Tabel 2. Daftar jumlah kebutuhan batubara menurut jenis industri tahun 2014 Industri Kebutuhan (juta ton) (%) GCV (GAR) Kkal/kg 1 a. PT PLN (Persero) 57,40 60, b.ipp 19,91 20, c. PLTU Non PT PLN (Persero) dan IPP 1,39 1, Jumlah 78,70 82,37 2 Semen 9,80 10, Metalurgi 3,23 3, Tekstil, Pupuk, dan Pulp a. Tekstil dan Produk Tekstil 2,06 2, b. Pupuk 1,16 1, c. Pulp 0,60 0, Jumlah 16,85 17,63 Jumlah seluruh 95,55 100,00 GCV (GAR) = gross calorific value. *) Kepmen ESDM No K/30/MEM/2013 Tabel 2 di atas mencantumkan spesifikasi batubara konsumen, namun sebaliknya kualitas batubara dari masing-masing produsen tidak dicantumkan sehingga hal ini akan menyulitnyak 78,70 juta ton (82,37%) dan industri lainnya 16,85 juta ton (17,63%). Namun pada kenyataannya jumlah kebutuhan batubara untuk PLTU tidak sebanyak yang telah ditetapkan, karena ada beberapa PLTU telah melakukan kontrak jangka panjang dengan perusahaan pemasok tertentu sehingga penetapan kuota akan berkurang. Industri lainnya seperti tekstil, berdasarkan hasil penelitian di lapangan kebutuhannya sebanyak ton (347 perusahaan), jauh lebih besar dari pada yang tercatat dalam Kepmen ESDM No K/30/ MEM/2013 yang jumlahnya 2,06 juta ton (Tabel 2). Sebagian besar industri pengguna batubara non- PLTU membeli batubara tidak melalui perusahaan-perusahaan yang telah ditunjuk dalam Kepmen ESDM, melainkan melalui para penyalur (trader). Untuk menjaga mesin boiler dari kerusakan, umumnya industri tekstil membeli batubara dengan tingkat kepanasan antara kkal/kg. 77

9 Sumber : KESDM, DJK, 2014, Perkembangan pasokan dan permintaan tenaga listrik, Konsinyering supply Demand energy, 20 Juni 2014, Bandung Dirjen Minerba, BLH Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (2014) Disnaker Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (2014) Diolah kembali. Gambar 2. Kuota DMO dan pemakaian batubara dalam negeri menurut provinsi dan pengelompokan industri (ton) pemakaian batubara, industri di Pulau Jawa paling banyak menggunakan batubara yaitu sebesar ton dari total ton kebutuhan batubara domestik (Gambar 2). Secara geografis, Kalimantan Selatan yang memiliki kedekatan jarak dengan Pulau Jawa yang seharusnya sebagai pemasok utama namun wilayah ini ternyata hanya diwajibkan memasok batubara dalam negeri sebesar ton sehingga kekurangannya dipasok dari Kalimantan Timur yang memiliki kuota sebanyak ton. Namun masih tersisa ton sehingga bisa didistribusikan untuk konsumen di wilayah Kalimantan yang besarnya ton dan wilayah bagian timur Indonesia sebanyak ton. Sisa kelebihan sebanyak ton didistribusikan untuk industri/konsumen di wilayah Sumatera. Padahal di wilayah ini masih banyak perusahaan batubara yang dapat memenuhi kebutuhan batubara oleh industri di wilayah ini. Sehingga kelebihan kewajiban DMO batubara oleh Kalimantan Timur bisa dibebankan kepada produsen batubara di Pukan bagi konsumen untuk mencari dan membeli batubara dengan kualitas yang diinginkan. Seperti yang dijelaskan oleh Budiraharjo (2009), bahwa dalam perdagangan komoditas batubara, faktor terpenting yang mengikat transaksi antara pembeli dan penjual adalah kualitas batubara, di mana spesifikasi yang disyaratkan oleh pembeli yang harus dipenuhi oleh penjual selalu tertulis dalam kontrak kesepakatan pembelian salah satunya adalah GCV (GAR) = gross calorific value. Kualitas batubara tidaklah seragam di dalam satu lapangan penggalian, bahkan di dalam lapisan yang sama sekalipun. Kondisi ini tidak lain disebabkan oleh karakteristik yang khas dari proses pembentukan batubara itu sendiri. Oleh karena itu, penjual biasanya akan melakukan pencampuran batubara (blending) dari beberapa lokasi atau lapisan yang memiliki kualitas berbeda beda sehingga didapat angka GAR rata rata yang dikehendaki. Pola distribusi DMO batubara Apabila diperhatikan dari peta penyebaran 78

10 lau Sumatera karena jumlah IUP cukup ba nyak, dan produksi batubaranya juga sangat tinggi. Apabila diperhatikan dalam Kepmen ESDM bahwa jatah DMO batubara untuk tahun 2014 di wilayah Sumatera (termasuk Jambi, Bengkulu dan Riau) sebanyak 6,48 juta ton, padahal kebutuhan batubara oleh industri di Sumatera seba nyak ton. Besarnya kuota dibebankan hanya ke 11 perusahaan saja (Kepmen ESDM No K/30/MEM/2013), padahal jumlah produsen batubara di wilayah ini sangat banyak, di Sumatera Selatan tahun 2013 tercatat ada 30 perusahaan (termasuk PT. BA) yang memproduksi 23,77juta ton batubara (Distamben Sumatera Selatan, 2014 dan Hasmawaty, AR, 2008) Nilai kalor batubara dari Sumatera Selatan berkisar antara kkal/kg bahkan ada yang kkal/kg. Jambi, tahun 2014 memproduksi batubara sebanyak ton (Distamben Jambi, 2014) dari sekitar 28 perusahaan. Belum lagi batubara yang dihasilkan dari Riau (24 IUPOP) dan Bengkulu, sehingga kebutuhan batubara oleh industri di wilayah ini sebenarnya bisa dipenuhi oleh produsen batubara di Pulau Sumatera. Oleh karena itu, penetapan kuota DMO batubara sebaiknya mempertimbangkan juga kewilayahan (zonasi) produsen (Tabel 3). Tabel 3. Kebutuhan batubara dalam negeri menurut wilayah Tahun 2014 PROVINSI KEBUTUHAN (TON) JUMLAH Industri lainnya PLTU (TON) NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung Kepulauan Riau Bangka Belitung Sumatera Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua Timur lainnya Jumlah Sumber : Hasil survei Puslitbang tekmira 2014 mendapatkan kuota DMO batubara sebesar 6,48 juta ton. Penetapan 11 produsen batubara, sebaiknya ditinjau kembali karena di wilayah Sumatera terdapat lebih dari 50 perusahaan lain yang beroperasi belum dikenakan kewajiban memasok kebutuhan batubara dalam negeri. Distamben Sumatera Selatan (2014) mencatat bahwa produksi batubara di wilayah ini tercatat sebanyak 23,77juta ton, tapi mengapa hanya Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pemrograman linear (Nasendi dan Anwar, 1985 dan Suseno, 2006b), diketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan batubara di Pulau Jawa sebesar ton, yang terdiri atas ton (PLTU) dan ton (industri non-pltu), dapat dipasok dari Pulau Sumatera sebanyak 10 juta 79

11 Gambar 3. Pola distribusi batubara dalam negeri dengan satu atau lebih perusahaan batubara, ketidaksesuaian spesifikasi antara pemasok dengan konsumen serta banyaknya industri lain (non-pltu) pemakai batubara yang tidak mengetahui informasi mengenai penetapan DMO batubara yang diterbitkan pemerintah, menjadi indikasi tidak terjadinya transaksi. Halton; sisanya sebanyak ton dapat dipasok masing-masing dari Kalimantan Selatan sebanyak ton dan Kalimantan Timur sebanyak ton (Gambar 3). Kebutuhan batubara di Pulau Sulawesi dapat dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sebanyak ton, sebaiknya dipasok dari Kalimantan Selatan, sedangkan konsumsi batubara untuk Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara dipasok dari Kalimantan Timur. Kebutuhan batubara Nusa Tenggara Barat dan Timur yang besarnya ton, sebaiknya dipasok dari Kalimantan Selatan; begitu juga untuk konsumen yang berada di wilayah Maluku dan Papua. Karena proses transaksi diserahkan kepada kedua belah pihak dengan kesepakatan harga batubara berdasarkan acuan yang telah ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Minerba, maka yang dikhawatirkan adalah tidak adanya kesepakatan harga. Hal ini sering terjadi sehingga pihak konsumen mencari batubara dari perusahaan lain (di luar yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM) yang harganya le bih murah. Selain itu, adanya kontrak jangka panjang pihak konsumen Gambar 4. DMO dan penjualan batubara dalam negeri tahun

12 hal seperti inilah yang bisa menyebabkan tidak tercapainya sasaran DMO batubara yang telah ditetapkan pemerintah seperti yang telah terjadi sebelumnya (lihat Gambar 4). 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kebijakan dikeluarkannya Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan kewajiban penjualan batubara dalam negeri yang telah diterbitkan tahun dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin ketersediaan batubara untuk industri di dalam negeri. Berdasarkan kajian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan Kepmen ESDM tersebut agar lebih implementatif, yaitu: 1. Memetakan secara lebih detail jumlah pasokan di tingkat pemasok dan kebutuhan di tingkat konsumen dengan memperhatikan spesifikasi masing-masing perusahaan pemasok dan pengguna. 2. Kewajiban pasokan juga dikenakan kepada perusahaan kecil, dan sebaiknya dipikirkan untuk membangun tempat penampungan dan pencampuran batubara agar memudahkan pendistribusiannya. 3. Sebagian besar konsumen batubara non PLTU tidak berada dalam satu area dan berada di kota-kota besar dengan tingkat kepadatan penduduk dan lalu lintas yang tinggi sehingga mengalami kesulitan dalam pendistribusiannya oleh karena itu perlu dibangun depo-depo batubara berdasarkan zonasi. 6.2 Saran 1. Menghitung ulang keakuratan jumlah kebutuhan batubara oleh industri di dalam negeri, terutama yang telah melakukan transaksi jangka panjang. pemasok dan konsumen batubara atau berdasarkan zonasi. 3. Memperhatikan spesifikasi masing-masing pemasok dan konsumen, dengan membangun tempat penampungan (stockpile) yang strategis dan tempat pencampuran (blending) batubara di tingkat produsen dan sentra/depo-depo batubara di tingkat konsumen untuk memudahkan pendistribusian. 4. Melakukan sosialisasi dan pengawasan yang lebih intensif dalam penerapan Kepmen ESDM tentang kewajiban produsen untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri agar lebih implementatif. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, baik berupa data, diskusi dan masukan sehingga terwujudnya kajian ini menjadi suatu makalah ilmiah. DAFTAR PUSTAKA Ditjen Ketenagalistrikan, 2014, Perkembangan Pasokan Dan Permintaan Tenaga Listrik Konsinyering Suplly Demand Energy, Bandung, 20 Juni Ditjen Minerba ESDM, 2014a, Pengendalian Produksi Batubara Dalam Rangka Domestic Market Obligation, Disampaikan dalam: FGD Jaminan Pasokan Batubara untuk Kebutuhan Dalam Negeri dan Pengembangan Infrastruktur Pendistribusian Batubara, 25 November 2014, Bandung. 2. Pemerintah harus mengkaji ulang model penetapan besaran kuota batubara domestik dengan memperhatikan letak geografis 81

13 Ditjen Minerba ESDM, 2014b, Batubara Dalam Bauran Energi, Bahan Dirjen Minerba Pada Rapat Roadmap Energi Dengan Sekretaris Kabinet, Jakarta, 17 Februari 2014, Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Distamben Sumatera Selatan, 2014, Data Porduksi dan Penjualan Batubara Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Distamben Jambi, 2014, Data Porduksi dan Penjualan Batubara Kabupaten Jambi, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Jambi, Jambi. Kepmen ESDM No K/30/MEM/2013, Tahun 2013, Jumlah perusahaan wajib memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri untuk industri tahun 2014, Ditjen Minerba, 2014, Jakarta. Nasendi B.D. dan Anwar, 1985, Program Linear dan Variasinya, PT. Gramedia, Jakarta. Putra, Sodikin Mandala, 2011, Teknologi Pemanfaatan Batubara Untuk Menghasilkan Batubara Cair, Pembangkit Tenaga Listrik, Gas Metana Dan Briket Batubara, Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3, Palembang, Oktober 2011, hal , ISBN: Suherman, Ijang dan Suseno, Triswan, 2007, Kajian Kecenderungan Pemanfaatan Batubara, Jurnal Teknologi Mineral Dan Batubara, No. 40, Tahun 15, Mei 2007, ISSN , 36/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006. Suseno, Triswan dan Haryadi, Harta, 2013, Analisis Kebijakan Pengendalian Produksi Batubara Nasional Dalam Rangka Menjamin Kebutuhan Energi Nasional, Jurnal Tekmira, Volume 9, No. 1, Januari 2013:23-34, Puslitbang Tekmira, Bandung). Suseno, Triswan, 2006, Analisis Jalur Transportasi Batubara unuk Industri tekstil di Kota/Kabupaten Bandung),Jurnal Tekmira No. 36,Tahun 14, Januari 2006, ISSN , 41:47, Puslitbang Tekmira, Bandung. Suseno, Triswan, 2007, Analisis Potensi Kebutuhan Batubara untuk Industri tekstil di Provinsi Jawa Barat,Jurnal Tekmira No. 39,Tahun 15, Januari 2007, ISSN , 13:18, Puslitbang Tekmira, Bandung. Suseno, Triswan, 2005, Prospek Batubara Indonesia, MINERAL & ENERGI, Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Volume 3 No. 1, Maret 2005, ISSN : , Kementerian ESDM: Realisasi Produksi Batubara 2014 Melebihi Target, Selasa, 06 Januari 2015, jam 16:08. Rahmat, Muhamad, 2015, KPK dan Tambang Batubara, Tuesday, 10 March

LAMPIRAN L-3 PAGU AUDITABLE UNIT

LAMPIRAN L-3 PAGU AUDITABLE UNIT Pagu 1 Biro Hukum dan Humas - Setjen - Jakarta 13 II 2 Biro Kepegawaian dan Organisasi - Setjen - Jakarta 22 II 3 Biro Keuangan - Setjen - Jakarta 222 IV 4 Biro Perencanaan dan Kerjasama - Setjen - Jakarta

Lebih terperinci

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup Pendahuluan Distribusi dan Potensi Kebijakan Penutup STRUKTUR ORGANISASI DESDM MENTERI Lampiran PERMEN ESDM Nomor : 0030 Tahun 2005 Tanggal : 20 Juli 2005 INSPEKTORAT JENDERAL SEKRETARIAT JENDERAL ITJEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2017 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA BAB I: PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 1 1.1. PELUANG INDUSTRI BATUBARA 2 1.1.1. Potensi Pasar 2 Grafik 1.1. Prediksi Kebutuhan Batubara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Lebih terperinci

ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL. Oleh :

ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL. Oleh : ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL Oleh : Tim Analisis Stok Batubara Dalam Rangka Menjamin Kebutuhan Energi Nasional Drs. Triswan Suseno Drs. Jafril Nugroho W. Wibowo

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2017 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA BAB I: PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 1 1.1. PELUANG INDUSTRI BATUBARA 2 1.1.1. Potensi Pasar 2 Grafik 1.1. Prediksi Kebutuhan Batubara untuk

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2016 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2016 Diterbitkan Oleh: PT. Indo Analisis Copyright @ 2016 DISCALIMER Semua informasi dalam Laporan Industri

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN

PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN Di Prersentasikan pada : SEMINAR NASIONAL BATUBARA Hotel Grand Melia,, 22 23 Maret 2006 DJUANDA NUGRAHA I.W PH DIREKTUR PEMBANGKITAN DAN ENERGI

Lebih terperinci

NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040

NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040 NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040 Oleh : M. Taswin Kepala Subdirektorat Perencanaan Produksi dan Pemanfaatan Mineral dan Batubara Jakarta, 23 Juni 2016 DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PLTU DI INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM PLTU DI INDONESIA 27 IV. GAMBARAN UMUM PLTU DI INDONESIA 4.1. Proses Produksi Listrik PLTU Suralaya PLTU Suralaya merupakan PLTU pertama yang dibangun di Indonesia, berbahan bakar utama batubara dan merupakan PLTU terbesar

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 59 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil

HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D Prof. Dr. Rizal Djalil HASIL PEMERIKSAAN BPK RI TERKAIT INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN TAHUN 2009 S.D. 2014 Prof. Dr. Rizal Djalil DEPOK, 30 MARET 2015 LANDASAN HUKUM PERENCANAAN BIDANG ENERGI DAN KETENAGALISTRIKAN UU 30/2007 (Energi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai sebuah negara besar yang sedang berkembang, konsumsi energi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, termasuk konsumsi energi listrik. Berdasarkan

Lebih terperinci

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN PENDAHULUAN Menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam bidang pertambangan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEBIJAKAN PENGENDALIAN PRODUKSI DAN DOMESTIC MARKET OBLIGATION Bahan Presentasi Pertemuan Bisnis Tahunan Buyer dan Produsen Batubara Tahun 2015 Oleh : M. Taswin Kepala Subdirektorat Perencanaan Produksi

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification)

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertambangan Batubara Indonesia Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN. PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I

LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN. PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I TAHUN SIDANG 2017-2018 KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL Jakarta, 12 Februari 2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL

PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL OLEH : SUGIHARTO HARSOPRAYITNO, MSc DIREKTUR PEMBINAAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DAN PENGELOLAAN AIR TANAH DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kondisi umum Tujuan dan Sasaran Strategi 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

BAB I PENDAHULUAN Kondisi umum Tujuan dan Sasaran Strategi 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara BAB I PENDAHULUAN Sesuai dengan tema RPJMN Tahun 2015-2019 atau RPJM ke-3, yaitu: Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 1) Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik

Lebih terperinci

Cara Pemesanan: Customer Support: Spesifikasi: Harga : Rp

Cara Pemesanan: Customer Support: Spesifikasi: Harga : Rp 2015 Copyright @ 2015 Spesifikasi: Tipe Laporan : Laporan Industri Terbit : April 2015 Halaman : 121 Format : Hardcopy (Book Full Colour) Softcopy (Data Grafik Excel) Harga : Rp 6.750.000 Cara Pemesanan:

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program 35.000 MW: Progres dan Tantangannya Bandung, 3 Agustus 2015 Kementerian ESDM Republik Indonesia 1 Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Insider Forum Series Indonesia Energy Roadmap 2017 2025 Jakarta, 25 Januari 2017 I Kondisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Batubara menempati posisi strategis dalam perekonomian nasional. Penambangan batubara memiliki peran yang besar sebagai sumber penerimaan negara, sumber energi

Lebih terperinci

55*147UIK MENTERI ENERGI DAN SOMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

55*147UIK MENTERI ENERGI DAN SOMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA 55*147UIK MENTERI ENERGI DAN SOMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 7266 K/74/MEM/2016 TENTANG PENERIMA PENGHARGAAN ENERGI PRATAMA

Lebih terperinci

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 1) Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambangan batubara merupakan kegiatan industri yang penting di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan Afrika Selatan.

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi dan Pembangkitan

Lebih terperinci

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 BIRO PERENCANAAN 2016 Formulir C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tanggal

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

PT GOLDEN EAGLE ENERGY Tbk MATERI PAPARAN PUBLIK (PUBLIC EXPOSE)

PT GOLDEN EAGLE ENERGY Tbk MATERI PAPARAN PUBLIK (PUBLIC EXPOSE) PT GOLDEN EAGLE ENERGY Tbk MATERI PAPARAN PUBLIK (PUBLIC EXPOSE) JW MARRIOTT HOTEL - 02 JUNI 2016 DAFTAR ISI 1 2 3 4 SEKILAS MENGENAI PERSEROAN TINJAUAN INDUSTRI TINJAUAN KINERJA PERSEROAN STRATEGI PERSEROAN

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, Maret 2015

Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, Maret 2015 Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung, Maret 2015 MINERAL LOGAM Terdapat 24 komoditi mineral yang memiliki nilai sumber daya dan cadangan yang sesuai

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL Biro Riset BUMN Center LM FEUI Meningkatnya beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) belakangan ini membuat pemerintah berupaya menekan subsidi melalui penggunaan energi alternatif,

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 21 MOR SP DIPA-32.6-/21 DS264-891-4155-6432 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 1 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1

Lebih terperinci

POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN

POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN Sumber batubara di Sumsel cukup besar sekitar 22,24 miliar ton (48% dari total sumber daya batubara di Indonesia) tersebar di 8 kabupaten yaitu Kab. Musi Banyuasin,

Lebih terperinci

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi disampaikan pada Forum Sinkronisasi Perencanaan Strategis 2015-2019 Dalam Rangka Pencapaian Sasaran Kebijakan Energi Nasional Yogyakarta, 13 Agustus 2015

Lebih terperinci

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Badan Pemeriksa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini dunia sedang dilanda krisis Energi terutama energi fosil seperti minyak, batubara dan lainnya yang sudah semakin habis tidak terkecuali Indonesia pun kena

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

2 Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 T

2 Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 T No.713, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN ESDM. Tenaga Listrik. Uap Panas bumi. PLTP. Pembelian. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Pengantar Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara merupakan pelaksana kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA

KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA Oleh: Daulat Ginting Perencana Madya Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Karakteristik Pertambangan Batu bara Ditinjau dari segi

Lebih terperinci

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1 Pendahuluan Energi Primer Kelistrikan 3 Energy Resources Proven Reserve Coal 21,131.84 million tons Oil Natural Gas (as of 2010) 3,70

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring kemajuan teknologi, kebutuhan akan listrik menjadi kebutuhan utama bagi keberlangsungan hidup manusia, tidak hanya untuk skala rumah tangga terlebih untuk dunia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL, PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELIMPAHAN DAN PEDOMAN PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI BIDANG PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL TAHUN

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya semata-mata dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 48/05/Th. XVIII, 15 Mei PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA APRIL A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR APRIL MENCAPAI US$13,08 MILIAR Nilai ekspor Indonesia April mencapai US$13,08

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PENGATURAN PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DAN PEMBELIAN KELEBIHAN TENAGA LISTRIK (Permen ESDM No.

POKOK-POKOK PENGATURAN PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DAN PEMBELIAN KELEBIHAN TENAGA LISTRIK (Permen ESDM No. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral POKOK-POKOK PENGATURAN PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DAN PEMBELIAN KELEBIHAN TENAGA LISTRIK (Permen ESDM No. 19 Tahun 2017) Direktur Pembinaan

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2) Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBL.lK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK DENGAN

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019

Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019 Laporan Akhir 1 Laporan Akhir Dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 menargetkan peningkatan konsumsi batubara domestik hingga 60% produksi nasional atau 240 juta ton pada

Lebih terperinci

Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri 1. Sumatera 2. Kalimantan 3. Jawa

Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri 1. Sumatera 2. Kalimantan 3. Jawa Pertumbuhan. Sumatera Sei Mangke, Sumatera Utara (Kelapa Sawit) Dumai, Riau (Kelapa Sawit) Muara Enim, Sumatera Selatan (Batubara) Sei Bamban, Sumatera Utara (Karet) Karimun, Kepulauan Riau (Perkapalan).

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM

Materi Paparan Menteri ESDM Materi Paparan Menteri ESDM Rapat Koordinasi Infrastruktur Ketenagalistrikan Jakarta, 30 Maret 2015 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Energi Untuk Kesejahteraan Rakyat Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 Copyright @2015 PT. INDO ANALISIS Hak Cipta dilindungi Undang-undang DAFTAR ISI I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan setiap individu. Pangan merupakan sumber energi untuk memulai segala aktivitas. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun

Lebih terperinci

ANALISIS MASALAH BBM

ANALISIS MASALAH BBM 1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ANALISIS MASALAH BBM Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta,

Lebih terperinci

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020 PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020 Moch. Muchlis dan Adhi Darma Permana ABSTRACT Electricity demand will increase every year to follow population growth, prosperity improvement, and economic

Lebih terperinci

SOSIALISASI DAN SEMINAR EITI PERBAIKAN TATA KELOLA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA

SOSIALISASI DAN SEMINAR EITI PERBAIKAN TATA KELOLA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA SOSIALISASI DAN SEMINAR EITI PERBAIKAN TATA KELOLA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA Oleh : Direktur Pembinaan Program Minerba Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Denpasar, 25

Lebih terperinci

OPTIMALISAI PEMANFAATAN BATUBARA INDONESIA DENGAN KONSEP `CUSTOM PLANT`

OPTIMALISAI PEMANFAATAN BATUBARA INDONESIA DENGAN KONSEP `CUSTOM PLANT` OPTIMALISAI PEMANFAATAN BATUBARA INDONESIA DENGAN KONSEP `CUSTOM PLANT` OLEH DJAMHUR SULE Disampaikan pada SEMINAR BATUBARA NASIONAL Di Hotel Gran Melia,Jakarta 22 Maret 2006 PENDAHULUAN 1. Konsumsi Batubara

Lebih terperinci

2013, No.1531

2013, No.1531 11 2013,.1531 LAMPIRAN I DAFTAR PROVINSI DAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PROVINSI DI BIDANG PENANAMAN MODAL YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN DEKONSENTRASI DI BIDANG PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 37 IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 4.1 Jalan Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan

Lebih terperinci

2012, No

2012, No 2012,.1305 12 LAMPIRAN I PERATURAN DAFTAR PROVINSI DAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PROVINSI DI BIDANG PENANAMAN MODAL YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN DEKONSENTRASI DI BIDANG PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN

Lebih terperinci

KEMAKMURAN, PENYELAMATAN SDA UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA: PRAKTIK BAIK DAN AKSI KOLEKTIF

KEMAKMURAN, PENYELAMATAN SDA UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA: PRAKTIK BAIK DAN AKSI KOLEKTIF KEMAKMURAN, PENYELAMATAN SDA UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA: PRAKTIK BAIK DAN AKSI KOLEKTIF Oleh Dirjen Mineral dan Batubara DISAMPAIKAN DALAM INTERNATIONAL BUSINESS INTEGRITY CONFERENCE 2016 Jakarta, 17

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

KAJIAN PERBANDINGAN PENGGUNAAN AKUABAT, MINYAK BERAT (MFO), DAN BATUBARA PADA PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA. Gandhi Kurnia Hudaya

KAJIAN PERBANDINGAN PENGGUNAAN AKUABAT, MINYAK BERAT (MFO), DAN BATUBARA PADA PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA. Gandhi Kurnia Hudaya KAJIAN PERBANDINGAN PENGGUNAAN AKUABAT, MINYAK BERAT (MFO), DAN BATUBARA PADA PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA Gandhi Kurnia Hudaya Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Gandhi.kurnia@tekmira.esdm.go.id

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG KOMPONEN DALAM PENGHITUNGAN HARGA ECERAN TERTINGGI BUKU TEKS PELAJARAN MILIK KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017 PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN 23 Oktober 2017 1 Minyak Solar 48 (Gas oil) Bensin (Gasoline) min.ron 88 Rp.7 Ribu Rp.100 Ribu 59 2 Progress dan Roadmap BBM Satu Harga Kronologis

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-24.-/216 DS634-9258-3394-618 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 1 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

KEBIJAKAN ALOKASI GAS BUMI UNTUK DALAM NEGERI

KEBIJAKAN ALOKASI GAS BUMI UNTUK DALAM NEGERI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI KEBIJAKAN ALOKASI GAS BUMI UNTUK DALAM NEGERI Jakarta, 6 Februari 2014 I KONDISI HULU MIGAS 2 CADANGAN GAS BUMI (Status

Lebih terperinci

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Cirebon, 22 Desember 2015 OUTLINE PEMBAHASAN 1 SIPD DALAM UU 23 TAHUN 2014 2 PERMENDAGRI 8/2014 TENTANG SIPD AMANAT UU 23 TAHUN 2014 Pasal 274: Perencanaan

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sebagai Wadah Pemberdayaan Masyarakat

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sebagai Wadah Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat () Sebagai Wadah Pemberdayaan Masyarakat Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017

CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017 CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017 #energiberkeadilan Jakarta, 9 Agustus 2017 LANDMARK PENGELOLAAN MINERBA 1 No Indikator Kinerja Target 2017 1 Produksi Batubara 477Juta Ton 2 DMO

Lebih terperinci