Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Akhir Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019"

Transkripsi

1 Laporan Akhir 1

2

3 Laporan Akhir Dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan peningkatan konsumsi batubara domestik hingga 60% produksi nasional atau 240 juta ton pada Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) Batubara Indonesia telah diterapkan sejak 2009 melalui Keputusan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri. Secara historis selama , target DMO batubara tersebut belum pernah tercapai, dengan realisasi konsumsi domestik rata-rata sekitar 20% dari produksi nasional. Kajian ini disusun untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi isu/permasalahan tidak tercapainya target DMO batubara periode dan melakukan perhitungan proyeksi konsumsi batubara periode sebagai dasar analisis ketercapaian target DMO batubara menurut dokumen RPJMN Berdasarkan proyeksi kebutuhan hasil perhitungan tim kajian dan proyeksi dari sumber data lainnya, target DMO batubara sebesar 60% produksi nasional pada 2019 hanya dapat tercapai sebesar sekitar 45%. Dalam mencapai konsumsi batubara domestik sesuai hasil proyeksi tersebut, direkomendasikan beberapa strategi sebagai berikut: (1) Perbaikan Mekanisme Kebijakan DMO Batubara berdasarkan kesesuaian kualitas batubara produsen-konsumen; (2) Perumusan sistem zonasi pasokan-permintaan batubara domestik untuk PLTU, semen, metalurgi, pupuk, dan lainnya: (3) Penyediaan Infrastruktur Batubara yang terintegrasi melalui perumusan Indonesian Coal Infrastructure Plan; (4) Perumusan Sistem Informasi Penyediaan- Permintaan Batubara Domestik secara online; (5) Penyesuaian mekanisme harga batubara produsen-konsumen (PLTU) untuk mengamankan pasokan dalam negeri dan (6) Strategi hilirisasi batubara (gasifikasi, pencairan, upgrading) untuk mendorong penggunaan batubara tidak hanya sebagai sumber energi melainkan juga sebagai sumber bahan baku. 3

4

5 Laporan Akhir Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan perkenan-nya Laporan Kajian Kajian Ketercapaian Target DMO Batubara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019 dapat diselesaikan. Kajian ini dilatarbelakangi oleh adanya target peningkatan konsumsi batubara domestik dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu mencapai 60% dari produksi nasional atau 240 juta ton pada tahun Kenaikan persentase target konsumsi domestik yang signifikan pada tahun 2019 menjadi tantangan tersendiri karena realisasi target DMO batubara di beberapa tahun terakhir yang lebih rendah sering tidak tercapai. Kajian dilakukan oleh Tim Kajian Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan BAPPENAS dengan melakukan penghimpunan data primer dan sekunder untuk melakukan perhitungan proyeksi kebutuhan batubara hingga tahun Kegiatan FGD juga dilakukan sebagai wadah diskusi dari berbagai narasumber yang merupakan stakeholders dalam kebijakan terkait DMO batubara maupun pelaku industri konsumen dan produsen batubara untuk memperkaya data serta masukan dan analisis mengenai faktor penentu keberjalanan kebijakan DMO batubara dan sebagai dasar perumusan strategi peningkatan konsumsi batubara. Selain itu, juga dilakukan kegiatan seminar untuk mempublikasikan hasil kajian serta menambah pengkayaan materi strategi untuk perumusan berbagai program prioritas yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam hal penentuan langkah strategis untuk meningkatkan pengutamaan penggunaan batubara dalam negeri. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penyusunan laporan ini. Kami berharap bahwa laporan ini dapat menjadi referensi dalam penyusunan kebijakan di sektor pertambangan batubara ke depan. Jakarta, Desember 2016 Tim Penyusun Kajian 5

6

7 Laporan Akhir ABSTRAK... 3 Kata Pengantar... 5 Daftar Isi... 7 Bab I. Pendahuluan Latar Belakang Rumusan Masalah dan Tujuan Kajian Ruang Lingkup Kajian Metodologi Kajian Keluaran Bab II. Tinjauan Batubara Indonesia Sekilas tentang Batubara dan Pemanfaatannya Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia Business Process Pemanfaatan Batubara Indonesia Posisi Indonesia dalam Pasar Batubara Dunia Produksi dan Ekspor Batubara Indonesia Konsumsi Domestik Batubara Indonesia Bab III. Kebijakan DMO Batubara Tinjauan Dasar Hukum Pengutamaan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Lahirnya Kebijakan Domestic Market Obligation Batubara Sasaran DMO Batubara sesuai RPJMN Produksi Batubara Indonesia dan Realisasi Kebijakan DMO Batubara Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Realisasi Kebijakan DMO Batubara tahun Bab IV. Teori Dasar dan Metodologi Penelitian

8 4.1. Time Series Forecasting Perhitungan Kebutuhan Batubara PLTU Perhitungan Kebutuhan Batubara Sektor Industri Bab V. Pengolahan Data Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Pembangkit Listrik Data yang digunakan Perhitungan Kebutuhan Batubara PLTU periode Rekapituliasi Proyeksi Kebutuhan Batubara PLTU selama Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Industri Non Pembangkit Listrik Data yang digunakan Perhitungan Kebutuhan Batubara tiap Sektor Industri Non Pembangkit Listrik Rekapitulasi Proyeksi Kebutuhan Batubara Sektor Industri non Pembangkit Listrik pada Hasil Perhitungan Proyeksi Kebutuhan Batubara Domestik periode Bab VI Analisis dan Pembahasan Analisis Isu/Permasalahan Keberjalanan Kebijakan DMO Batubara Pencapaian Target DMO Batubara sesuai RPJMN Strategi Pencapaian Proyeksi Konsumsi Batubara Domestik Bab VII Penutup Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN A LAMPIRAN B LAMPIRAN C LAMPIRAN D

9 Laporan Akhir Indonesia memiliki potensi sumberdaya dan cadangan batubara yang tersebar sebagian besar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, serta sebagian kecil sisanya tersebar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sulawesi dan Papua. Menurut Badan Geologi (2015), total sumberdaya yang dimiliki Indonesia yaitu sejumlah 106,845 milyar ton dan cadangan batubara sejumlah 32,263 milyar ton. Kualitas sumberdaya batubara Indonesia cukup bervariasi baik dalam parameter kalori, kandungan abu, kandungan sulfur, total lengas, dan parameter lainnya. Sebagian besar batubara yang dimiliki Indonesia yaitu sekitar 60% merupakan batubara berkalori sedang atau sekitar kcal/kg ADB (medium rank) sedangkan 30% sisanya batubara dengan kategori low rank (nilai kalori <5100 kcal/kg ADB). Sedangkan sebagian kecil lainnya yaitu sebesar 7% termasuk dalam kategori high rank (nilai kalori kcal/kg ADB) dan sebanyak 2% termasuk batubara berkategori very high rank (>7100 kcal/kg ADB). Produksi batubara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun 2000 sebesar 77 juta ton, menjadi 256 juta ton pada tahun Adapun pertumbuhan produksi batubara Indonesia tersebut dapat dilihat pada Gambar I.1 berikut. 9

10 Sebagian besar dari produksi batubara nasional tersebut, diekspor ke luar negeri dengan tujuan China, India, Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Taiwan, Filipina, Thailand, Spanyol dan lainnya. Rata-rata persentase batubara yang diekspor selama tahun adalah 74,3% produksi nasional. Besarnya persentase ekspor batubara ini di satu sisi mendatangkan manfaat ekonomi berupa tambahan pemasukan negara, namun di sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya stok batubara nasional, terutama dalam hal keamanan pasokan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan kebijakan pengutamaan pasokan batubara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation) yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri. Dalam peraturan tersebut, diatur nominal jumlah batubara yang wajib dialokasikan untuk kepentingan dalam negeri, antara lain untuk konsumsi bahan bakar sektor pembangkit listrik (PLTU), serta konsumsi bahan bakar sektor industri (semen, tekstil, pupuk, pulp dan metalurgi/besi baja). Selain itu, juga diatur mengenai persentase dari produksi sejumlah perusahaan tambang (PKP2B, BUMN dan IUP) yang diwajibkan untuk dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Setiap tahunnya, konsumen batubara domestik akan melaporkan kebutuhan batubaranya dan setiap perusahaan tambang yang diwajibkan, akan melaporkan juga rencana produksi batubaranya dalam bentuk dokumen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya). Setiap tahun, pemerintah akan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan DMO ini, dan akan memberikan sanksi berupa sanksi adminstratif (teguran tertulis) hingga pemotongan produksi sebesar 50% bagi pihak yang tidak dapat memenuhi kuota pemenuhan batubara dalam negeri. Kebijakan DMO batubara tersebut telah diterapkan mulai dari tahun Adapun jumlah produksi batubara nasional, keberjalanan kebijakan DMO beserta realisasi nya pada rentang waktu 2010 hingga 2014 dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut. 10

11 Laporan Akhir Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat tren kenaikan produksi batubara nasional sejak tahun 2010 sejumlah 275 juta ton menjadi 435 juta ton pada Kenaikan produksi nasional tersebut yang cukup signifikan tersebut disebabkan adanya kenaikan harga batubara pada rentang , sebagai akibat dari meningkatnya permintaan batubara dari China dan India. Walaupun terjadi penurunan harga batubara sejak 2012, produksi batubara nasional tetap mengalami peningkatan hingga tahun 2014 yang diiringi dengan peningkatan volume ekspor batubara. Selama tahun 2010 hingga 2014, mayoritas dari produksi batubara nasional diekspor ke luar negeri dengan persentase rata-rata 81%. Kenaikan produksi batubara nasional sebenarnya direspon juga oleh pemerintah dengan peningkatan target konsumsi batubara domestik (target DMO) tiap tahunnya. Namun, target DMO tersebut hanya dapat tercapai pada tahun 2010 dengan realisasi konsumsi domestik sebesar 65 juta ton, sedangkan target DMO di tahun 2011 hingga 2014 tidak tercapai. Rata-rata persentase penyerapan konsumsi batubara domestik selama pun cukup rendah, yaitu 18,7%. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, maka untuk selanjutnya dikhawatirkan batubara Indonesia akan habis karena diekspor, tanpa sempat dioptimalkan penggunaannya untuk industri dalam negeri. Hal ini menyebabkan perlu adanya kebijakan lain yang dapat mendukung kebijakan DMO dalam rangka meningkatkan penyerapan konsumsi batubara dalam negeri. Pada 2015, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan buku RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sebagai tindak lanjut dari dokumen RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) Dalam dokumen RPJMN tersebut, terdapat target produksi batubara nasional serta target konsumsi batubara domestik yang termasuk dalam Sasaran Utama Penguatan Ketahanan Energi yang akan dicapai dalam kurun waktu , sesuai Tabel I.2 berikut. 11

12 Target produksi batubara nasional selama lima tahun tersebut diproyeksikan menurun yaitu sebesar 425 juta ton pada tahun 2015 hingga sebesar 400 juta ton pada tahun 2019, sementara target konsumsi batubara domestik mengalami peningkatan yaitu sekitar 24% atau 102 juta ton pada 2015 hingga mencapai 60% atau 240 juta ton pada Penurunan target produksi batubara nasional dan peningkatan target konsumsi batubara domestik tersebut dimaksudkan untuk mengamankan penyediaan batubara nasional untuk kepentingan industri dalam negeri. Adapun target konsumsi batubara domestik menurut dokumen RPJMN tersebut akan dijadikan acuan target konsumsi batubara domestik yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM yang mengatur kebijakan DMO tiap tahunnya. Kementerian ESDM melalui Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2015 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri tahun 2015, mengatur target jumlah konsumsi batubara domestik tahun 2015 yaitu 92,31 juta ton. Target konsumsi batubara domestik tersebut lebih rendah dibandingkan dengan target menurut RPJMN , yaitu sebesar 102 juta ton. Adapun realisasi produksi batubara nasional pada 2015 adalah 392 juta ton dengan total konsumsi domestik sebesar 22% atau 87 juta ton. Realisasi konsumsi batubara domestik tersebut tidak dapat mencapai target DMO menurut Kepmen ESDM tersebut, yaitu pencapaiannya sebesar 94%. Apabila diukur berdasarkan target DMO menurut RPJMN , maka pencapaiannya hanya sebesar 85%. Sedangkan menurut dokumen 12

13 Laporan Akhir tersebut, target DMO batubara diproyeksikan terus meningkat tiap tahunnya, dengan puncaknya yaitu sebesar 60% produksi batubara nasional atau sejumlah 240 juta ton pada Dengan demikian, diperlukan suatu kajian untuk dapat menjawab permasalahan apakah target DMO batubara menurut RPJMN di tahun 2019 sebesar 60% tersebut dapat terpenuhi atau tidak. Dalam menyelesaikan perumusan masalah tersebut, perlu dilakukan proyeksi kebutuhan batubara dari sektor pembangkit listrik dan sektor industri lainnya hingga tahun Selain itu, diperlukan juga pembahasan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar target DMO batubara pada tahun 2019 dapat tercapai. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, beberapa rumusan masalah yang akan dikaji dalam kajian ini yaitu sebagai berikut. 1. Belum optimalnya pemanfaatan produksi batubara Indonesia untuk kebutuhan domestik. 2. Ketidaksetimbangan rasio ekspor dan penggunaan batubara domestik, sementara cadangan batubara Indonesia hanya 3,1% dari cadangan dunia. 3. Potensi ketidaktercapaian realisasi target DMO batubara Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang akan dicapai dari kajian ini adalah sebagai berikut. 1. Melakukan evaluasi dan analisis ketercapaian target konsumsi batubara domestik sesuai kebijakan DMO batubara pada tahun Menghitung kebutuhan batubara periode di sektor pembangkit listrik (PLTU) sesuai kondisi existing dan rencana pembangunan PLTU periode , serta melakukan proyeksi pertumbuhan industri pengguna batubara domestik lainnya seperti semen, tekstil, pupuk, pulp/paper dan industri metalurgi pada serta menghitung jumlah kebutuhan batubaranya. 3. Melakukan analisis potensi ketercapaian target DMO batubara dan perumusan strategi pencapaian DMO batubara sebesar 60% pada tahun

14 Analisis dan pembahasan yang dilakukan dalam kajian ini dibatasi dalam ruang lingkup sebagai berikut. 1. Konsumen batubara domestik dibatasi hanya pada PLTU, industri semen, industri pulp, industri metalurgi, industri pupuk dan industri tekstil. 2. Perhitungan kebutuhan batubara untuk PLTU didasarkan pada kebutuhan energi dari sejumlah PLTU yang telah beroperasi (existing) ditambah dengan sejumlah PLTU yang akan beroperasi hingga tahun 2019, dengan asumsi nilai kalori tertentu. 3. Perhitungan kebutuhan batubara untuk industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil didasarkan pada kebutuhan energi batubara tiap industri, dengan didasarkan pada proyeksi pertumbuhan masingmasing industri tersebut. 4. Peramalan pertumbuhan industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil dilakukan dengan time series forecasting method. Kajian diawali dengan pengumpulan fakta dan data yang ada. Setelah itu, dilakukan perumusan masalah yang selanjutnya dilakukan analisis dan perhitungan terhadap data berdasarkan persamaan dan kriteria yang ada untuk mencapai parameter yang diinginkan. Untuk mengetahui jumlah total proyeksi kebutuhan batubara domestik hingga tahun 2019, dilakukan perhitungan kebutuhan batubara pada sektor pembangkit listrik (PLTU) dan perhitungan kebutuhan batubara pada sektor industri lain (industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil). Perhitungan kebutuhan batubara pada sektor energi (PLTU) didasarkan pada kondisi PLTU existing dan rencana PLTU yang akan beroperasi hingga tahun 2019 menurut dokumen RUPTL PT. PLN (Persero) Masing-masing PLTU akan dihitung jumlah kebutuhan energinya sesuai besaran kapasitas terpasangnya, lalu dengan asumsi nilai kalori yang digunakan, dihitung pula jumlah kebutuhan batubara tiap PLTU tersebut. Perhitungan kebutuhan batubara pada sektor industri lain (industri semen, industri pupuk, industri metalurgi, industri pulp dan industri tekstil) didasarkan pada kebutuhan energi batubara tiap industri. Kebutuhan energi 14

15 Laporan Akhir batubara didasarkan pada proyeksi pertumbuhan tiap industri tersebut. Peramalan pertumbuhan tiap industri dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik yang termasuk dalam Time Series Forecasting Method. Masing-masing teknik akan dievaluasi parameter nilai deviasinya terhadap data historis aktual. Teknik peramalan terbaik dipilih untuk tiap industri berdasarkan kriteria nilai deviasi yang terkecil. Hasil perhitungan batubara dari sektor pembangkit listrik dan sektor industri lain tersebut akan dijumlahkan untuk mengetahui berapa proyeksi jumlah konsumsi batubara dalam negeri tiap tahunnya. Setelah itu akan dilakukan perbandingan jumlah konsumsi batubara antara hasil proyeksi dengan target DMO menurut RPJMN Hasil perbandingan tersebut akan menjadi dasar analisis untuk pembahasan strategi pemenuhan target DMO. Adapun strategi yang dibahas berupa kebijakan yang dapat diusulkan kepada pemerintah, baik dari sisi hulu hingga hilir dari kegiatan pertambangan batubara. Setelah perumusan strategi tersebut, akan ditarik kesimpulan dan saran dari kajian ini. Adapun alur pikir kajian secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut. 15

16 Gambar I.3. Alur pikir kajian 16

17 Laporan Akhir Adapun keluaran yang diharapkan sebagai hasil kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Proyeksi kebutuhan batubara domestik tahunan pada periode yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan DMO tiap tahunnya oleh Kementerian ESDM. 2. Perumusan strategi pencapaian target konsumsi batubara domestik untuk target 60% produksi nasional pada 2019 berdasarkan dokumen RPJMN , atau untuk target baru sesuai hasil proyeksi perhitungan kebutuhan batubara. 17

18 Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat alami, dapat dibakar, menyerupai batu, berwarna coklat sampai hitam, yang berasal sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk akibat suhu dan tekanan tinggi sehingga mengalami proses perubahan fisik dan kimia. Secara umum, batubara terdiri dari unsur dasar yaitu karbon (C), oksigen (O) dan hidrogen (H) serta unsur lain seperti belerang (S), nitrogen (N) dan beberapa unsur logam pengotor yang terjebak saat pembentukan batubara. Di batubara juga dikenal beberapa istilah yang mewakili komposisi material penyusun batubara, seperti lengas (moisture), abu, zat terbang (volatile matter) dan karbon tetap (fixed carbon). a. Moisture atau lengas merupakan air yang terkandung dalam batubara. Total moisture yang terkandung dalam batubara terbagi menjadi inherent moisture dan surface moisture. Inherent moisture berasal dari pori-pori batubara yang terisi air secara alami, sedangkan surface moisture merupakan kandungan air yang berada di permukaan batubara saat ditambang dan diproses. b. Abu mewakili mineral (contohnya oksida logam seperti aluminium dan besi) yang terkandung di batubara yang terbentuk sebagai salah satu sisa hasil pembakaran batubara. c. Zat terbang (volatile matter) adalah gabungan zat organik dan anorganik yang mudah menguap saat pemanasan. d. Karbon tetap (fixed carbon) merupakan residu yang tersisa setelah moisture dan volatile matter dihilangkan. Nilai fixed carbon merupakan nilai murni penyusun batubara sesungguhnya yang terdiri dari unsur-unsur dasar yaitu karbon (C), oksigen (O) dan hidrogen (H). Semakin tinggi nilai fixed carbon maka semakin tinggi pula rank batubara. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan yang disebut sebagai maturitas organik. Perbedaan tingkat maturitas organik dan lingkungan pembentukan akan mempengaruhi jenis dan kualitas batubara yang terbentuk. Jenis dan kualitas batubara dinyatakan dalam istilah rank batubara. Beberapa jenis rank batubara yang umum dijelaskan sebagai berikut. 18

19 a. Gambut (Peat) Laporan Akhir Gambut merupakan sedimen organik akumulasi sisa-sisa tanaman. Diperlukan penimbunan, kompaksi dan pembatubaraan untuk mengubahnya menjadi batubara. Kandungan air pada gambut sangat tinggi, sekitar 75%. b. Batubara muda (lignit) Proses pembentukan batubara diawali dengan berubahnya gambut menjadi lignit (batubara muda). Batubara jenis ini memiliki maturitas organik yang rendah. Lignit biasanya mengandung kandungan kalori sekitar kkal/kg dalam basis as received. Di Eropa dan Australia, lignit juga dikenal dengan istilah batubara coklat (brown coal). Kandungan air pada lignit cukup tinggi sekitar 35%-75%. c. Batubara sub bituminus Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda dapat mengalami perubahan secara bertahap, menambah maturitas organiknya dan berubah menjadi batubara sub-bituminus. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara sub bituminus sekitar 25%-35%. d. Batubara bituminus Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk bitumen/batubara bituminus. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara bituminus sekitar 10%-25%. e. Batubara antrasit Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Batubara dengan tipe ini biasanya mengandung kandungan kalori sekitar diatas kkal/kg dalam basis as received. Kandungan air pada batubara antrasit sekitar dibawah 10%. Dalam industri pemanfaatan batubara, dikenal dua istilah produk batubara, yaitu thermal coal dan coking coal/metallurgical coal. Thermal coal atau steam coal digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Coking coal/metallurgical coal atau kokas merupakan batubara yang digunakan sebagai bahan baku proses peleburan besi dan baja. Pemanfaatan batubara secara umum dijelaskan sebagai berikut. 19

20 Pembangkit listrik yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar adalah PLTU. Pembangkit Listrik Tenaga Uap adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi kinetik dari uap sebagai penggerak utama untuk memutar turbin. Prinsip yang digunakan adalah siklus Rankine, dimana air dipanaskan hingga menjadi uap, lalu uap tersebut digunakan untuk menggerakkan turbin yang selanjutnya akan memutar generator sehingga listrik dapat dihasilkan. Selanjutnya uap dialirkan ke kondensor agar menjadi air kembali dan didaur ulang untuk dipanaskan kembali. Gambar II.1 berikut merupakan diagram mengenai komponen komponen yang terdapat di PLTU berbahan bakar batubara. Semen terbuat dari campuran kalsium karbonat (umumnya dalam bentuk batu kapur), silika, oksida besi dan alumina. Sebuah kiln suhu tinggi, yang berbahan bakar batubara, akan memanaskan material tersebut menjadi bahan setengah jadi pada suhu 1450 C. Proses tersebut akan mengubah karakteristik material secara kimia dan fisika menjadi suatu 20

21 Laporan Akhir produk yang dikenal sebagai clinker. Clinker yang bertekstur seperti kerikil abu-abu ini menghasilkan karakteristik mengikat (binding) yang penting dalam produk semen. Selanjutnya clinker akan dicampur dengan gipsum dan digerus sampai menjadi bubuk halus untuk membuat semen. Batubara digunakan sebagai sumber energi dalam produksi semen terutama untuk memanaskan kiln. Menurut World Coal (2016), dibutuhkan sekitar 200 kg batubara untuk menghasilkan satu ton semen. Baja merupakan bahan dasar dari banyak proses manufaktur peralatan dan mesin-mesin untuk mendukung berbagai industri seperti telekomunikasi, transportasi, pertanian, dan lainnya. Baja adalah paduan/alloy yang bahan utamanya merupakan besi. Di alam, keterdapatan besi ada pada bijih-bijih oksida, dalam bentuk FeO2, sehingga diperlukan proses reduksi menghasilkan besi, dengan bantuan reduktor yaitu karbon yang didapat dari coking coal. Coking coal akan diubah menjadi kokas dengan cara dipanaskan untuk menghilangkan unsur pengotor dan menyisakan hampir hanya karbon murni saja. Besi dibuat dengan cara memasukkan umpan berupa bijih besi, kokas dan sedikit fluks (mineral seperti gamping untuk menangkap pengotor) dalam suatu tanur uap. Udara yang dipanaskan sampai sekitar 1200 C ditiupkan ke tanur melalui pipa di bagian bawah. Udara panas tersebut akan menyebabkan kokas terbakar, menghasilkan karbon monoksida yang bereaksi dengan bijih besi, serta panas untuk melelehkan besi. Selanjutnya besi cair dan terak dapat ditampung pada lubang tap di bagian bawah tungku. Briket adalah sebuah blok bahan yang dapat dibakar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memulai dan mempertahankan nyala api. Salah satu bahan utama briket adalah batubara, disamping dapat pula digunakan bahan lainnya seperti arang kayu, biomassa dan gambut. Briket dibuat dengan mencampur bahan utama dan bahan pendukung seperti batu kapur, pati, boraks, dan malam di suatu mesin pembuat briket yang akan menekan dan mengeringkan campuran bahan tersebut menjadi blok yang keras. Batubara dapat pula digunakan sebagai bahan baku dalam industri kimia seperti pembuatan karbon aktif, serat karbon dan logam silikon. Selain itu, terdapat upaya pemanfaatan lainnya yang termasuk dalam usaha-usaha peningkatan nilai tambah batubara. Contoh upaya pemanfaatan tersebut yaitu Upgraded Brown Coal, Gasifikasi Batubara dan Pencairan Batubara. Upgraded Brown Coal adalah upaya peningkatan kualitas 21

22 batubara lignit/brown coal yang mempunyai nilai kalori rendah menjadi batubara berkalori tinggi (bituminus) dengan cara mengurangi kadar moisture batubara tersebut. Gasifikasi batubara adalah proses pembuatan syngas (terdiri dari unsur CH 4, CO, H 2, CO 2 dan H 2 O) dari batubara, air, udara dan oksigen. Pencairan Batubara adalah proses pengubahan batubara menjadi hidrokarbon cair, yang dilakukan dengan proses langsung dan tidak langsung. Pada proses langsung (direct liquefaction), batubara dicairkan dengan cara penguraian unsurunsur pembentuknya dengan cara penggunaan solvent dan katalis dalam kondisi suhu tinggi dan tekanan tinggi. Pada proses pencairan tidak langsung (indirect liquefaction), batubara diubah terlebih dahulu menjadi produk antara berupa syngas melalui proses gasifikasi, lalu diubah menjadi hidrokarbon cair menggunaan proses Fischer-Kosch. Menurut SNI 5015:2011 tentang Pedoman pelaporan, sumberdaya dan cadangan batubara, terdapat definisi khusus mengenai sumberdaya batubara dan cadangan batubara yang digunakan di Indonesia. Sumberdaya batubara adalah bagian dari endapan batubara dalam bentuk dan kuantitas tertentu serta mempunyai prospek beralasan yang memungkinan untuk ditambang secara ekonomis. Sumberdaya batubara dibagi sesuai dengan tingkat kepercayaan geologi ke dalam kategori tereka, tertunjuk dan terukur. Sedangkan cadangan batubara adalah bagian dari sumberdaya batubara tertunjuk dan terukur yang dapat ditambang secara ekonomis. Penentuan cadangan secara tepat telah dilaksanakan yang mungkin termasuk studi kelayakan, yang telah mempertimbangkan semua faktor-faktor yang berkaitan seperti metode penambangan, ekonomi, pemasaran, legal, lingkungan, sosial dan peraturan pemerintah. Penentuan itu harus dapat memperlihatkan bahwa pada saat laporan dibuat, penambangan ekonomis dapat ditentukan secara memungkinkan. Cadangan batubara dibagi sesuai dengan tingkat kepercayaannya ke dalam cadangan batubara terkira dan cadangan batubara terbukti. Berdasarkan data dari Pusat Sumber Daya Geologi, pada tahun 2015 jumlah sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia dapat dilihat pada Tabel II.1. Pada Tabel II.2, terdapat pembagian rentang kualitas batubara yang dibagi berdasarkan kelas nilai kalori. Pembagian tersebut didasarkan pada Keppres. No. 13 Tahun 2000 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Presiden Republik Indonesia yang diperbaharui dengan PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis 22

23 Laporan Akhir Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral. Pembagian kualitas batubara tersebut adalah sebagai berikut. a. Kalori Rendah < kal/gr b. Kalori Sedang kal/gr c. Kalori Tinggi > kal/gr d. Kalori Sangat Tinggi > kal/gr 23

24 Secara umum, pemanfaatan batubara di Indonesia mengikuti skema business process yang dapat dilihat pada Gambar II.3 berikut. Sesuai dengan skema tersebut, potensi batubara Indonesia berupa keterdapatan sumberdaya dan cadangan batubara yang merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi batubara akan dimanfaatkan dengan cara dilakukan proses penambangan. Proses 24

25 Laporan Akhir penambangan dimulai dari persiapan penambangan (mine development), proses pembersihan lahan dan pemindahan lapisan penutup, penambangan batubara hingga proses pengolahan batubara berupa coal crushing dan pencucian batubara. Hasil dari kegiatan penambangan berupa produk batubara yang dapat bervariasi sesuai dengan profil kualitas cadangan yang dimiliki dan brand tiap perusahaan. Namun secara umum, terdapat dua jenis produk utama batubara yaitu metallurgical coal atau batubara high rank yang dimanfaatkan sebagai kokas dalam industri metalurgi/peleburan logam, dan steam coal atau batubara medium to low rank yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler pada PLTU. Selain itu, terdapat batubara yang berkualitas rendah (nilai kalori < kkal/kg, adb) yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan bakar PLTU Mulut Tambang atau dimanfaatkan secara non konvensional melalui teknik upgrading brown coal, coal liquefaction, coal gasification, dan sebagainya. Kedua jenis produk utama batubara yaitu metallurgical coal dan steam coal akan ditransportasikan ke tiap konsumennya. Adapun alur transportasi batubara dapat dilihat pada Gambar II.4 berikut. Transportasi batubara ke tiap konsumen akan mengikuti alur penjualan batubara, yang dapat ditujukan untuk ekspor ataupun konsumen domestik. Untuk ekspor batubara, beberapa negara tujuan ekspor contohnya yaitu China, India, Jepang, Korea, Taiwan, 25

26 Hongkong, Taiwan, Filipina, Thailand, Spanyol dan lainnya. Untuk batubara yang dikonsumsi dalam negeri, konsumen yang menyerap penggunaan batubara adalah konsumen dari sektor pembangkit listrik (PLTU) dan sektor industri (semen, metalurgi, pupuk, pulp, tekstil dan lainnya). Disamping potensi serta kapasitas produksi batubaranya, posisi suatu negara sangat penting dalam menentukan perannya dalam perdagangan batubara dunia. Posisi Indonesia dalam pasar batubara dunia dapat dilihat pada Gambar II.5 berikut. Menurut peta perdagangan batubara dunia tersebut, Indonesia merupakan salah satu top coal exporter atau pengekspor batubara terbesar dunia. Pada 2013 dan 2014, ekspor batubara dari Indonesia mencapai nominal 400 juta ton. Bersama dengan Australia, Indonesia mengisi porsi permintaan dari negara-negara yang merupakan mayoritas konsumen batubara dunia, seperti China dan India. China dan India merupakan top coal consumers dunia dengan porsi konsumsi batubara sekitar 55% dari total konsumsi batubara dunia pada Selain China dan India, beberapa negara lain yang menjadi konsumen batubara terbesar dunia yaitu Amerika Serikat Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan negaranegara Eropa. 26

27 Laporan Akhir Banyaknya permintaan batubara ke Indonesia dan Australia dikarenakan posisi yang strategis dan dekat dengan negara konsumen dan importir batubara terbesar dunia, yaitu China dan India. Dibandingkan Australia, posisi Indonesia lebih dekat terhadap kedua negara tersebut. Selain faktor lokasi, faktor kualitas batubara Indonesia yang mayoritas adalah medium rank atau batubara thermal sangat cocok digunakan untuk kebutuhan batubara PLTU di China dan India. Hal ini mengakibatkan permintaan batubara dari Indonesia meningkat dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara terbesar dunia. Tingginya jumlah ekspor batubara Indonesia tidak sebanding dengan persentase cadangan batubara yang dimiliki Indonesia terhadap persentase cadangan batubara dunia. Dari total 891 milyar ton cadangan batubara dunia, Indonesia memiliki sekitar 30 milyar ton cadangan batubara atau sekitar 3,1% cadangan batubara dunia (BP Statistical Review, 2016). Adapun negara dengan cadangan batubara terbesar yaitu Amerika Serikat (26%), Rusia (17%), China (12%), Australia (8%) dan India (6%). Pada periode 2000 hingga tahun 2009, produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan yang juga diiringi dengan peningkatan ekspor batubara. Grafik pertumbuhan produksi dan ekspor batubara Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.6 berikut. 27

28 Rata-rata laju kenaikan produksi batubara Indonesia selama produksi tersebut adalah sebesar 12 persen per tahun. Kenaikan produksi tersebut disebabkan oleh meningkatnya harga batubara. Pada periode terjadi commodity price boom atau ledakan harga komoditas yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan dari negara-negara berkembang seperti China, India, Taiwan, dan lainnya. Mayoritas harga komoditas primer seperti komoditas pangan dan energi mengalami peningkatan, dan batubara juga terkena dampak peningkatan harga. Hal tersebut dapat dilihat pada peningkatan harga batubara bituminus (kalori sedang) pada periode 2000 hingga 2014, yang dapat dilihat pada Gambar II.7 berikut. Meningkatnya harga batubara dan permintaan batubara mengakibatkan perusahaan tambang batubara melakukan peningkatan kapasitas produksi. Hal tersebut lah yang mengakibatkan peningkatan produksi batubara Indonesia sesuai Gambar II.6. Sebagai respons dari permintaan ekspor, mayoritas alokasi dari produksi batubara Indonesia ditujukan untuk ekspor ke negara-negara konsumen batubara seperti China, India, Jepang, Korea, Taiwan dan lainnya. Ekspor batubara Indonesia mengalami peningkatan sebesar rata-rata 13% selama 2000 hingga Selama periode tahun 2000 hingga tahun 2009, konsumsi domestik batubara Indonesia juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi batubara Indonesia. Dominasi dari konsumsi batubara domestik adalah sektor pembangkit listrik atau PLTU, yang mengkonsumsi batubara sebesar rata-rata 61% dari konsumsi batubara nasional. 28

29 Laporan Akhir Dominasi kedua dari konsumen batubara domestik adalah sektor lainnya sebesar rata-rata 22%, disusul oleh konsumsi dari sektor keramik dan semen sebesar rata-rata 13%. Sektor lainnya yang dimaksud ini adalah dari sektor industri pupuk, tekstil, bahan kimia dan lain sebagainya. Secara detail, konsumsi batubara domestik dari tiap sektor industri dapat dilihat pada Gambar II.8 berikut. 29

30

31 Laporan Akhir Dalam UUD 1945 terutama pada pasal 33 ayat 3, secara tegas telah disebutkan bahwa negara berdaulat atas kekayaan sumber daya alam dan pengeolaannya harus dimanfaatkan secara sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam strategis yang tidak terbarukan mempunyai peran dan nilai yang penting bagi pembangunan bangsa. Dalam upaya mendukung pembangunan nasional menuju rakyat yang makmur, produksi sumber daya alam sudah sewajarnya dimaksimalkan penggunaannya untuk kebutuhan industri dalam negeri. Batubara merupakan salah satu sumber energi yang mendominasi bauran energi listrik nasional (electricity energy mix). Blueprint Pengelolaan Energi Nasional sesuai yang terkandung dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006, menyebutkan bahwa pada 2025 batubara akan mengisi porsi sebanyak 33% bauran energi nasional. UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, pada pasal 21 mengatakan, pemanfaatan energi dilakukan diantaranya dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi, dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, dalam mendukung kebijakan pemerintah tentang ketahanan energi tersebut, pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri merupakan hal yang penting dan prioritas untuk dilakukan. Sebagai bentuk implementasi dari amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan sebagai tindak lanjut dari implementasi dukungan terhadap tercapainya bauran energi nasional, pemerintah kembali menegaskan tentang pengutamaan batubara untuk kepentingan dalam negeri pada UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bab Penguasaan Mineral dan Batubara UU No.4 tahun 2009 yaitu pada tepatnya pada pasal 5 ayat 1 hingga ayat 5, menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan pengendalian produksi maupun pembatasan ekspor. Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan bahwa: Pemegang IUP Operasi 31

32 Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Pada periode , porsi konsumsi domestik dari produksi batubara masih rendah, yaitu hanya sekitar 25,7% dari produksi batubara nasional. Sebanyak 74,3% batubara Indonesia diekspor ke luar negeri. Pada 2009, Indonesia menjadi pengekspor batubara terbesar kedua di dunia setelah Australia dengan jumlah ekspor sekitar 198 juta ton. Cadangan batubara Indonesia sebanyak sekitar 32 milyar ton (Badan Geologi, 2015) hanya sekitar 3% dari cadangan batubara dunia sebesar 826 milyar ton (EIA, 2010). Negara-negara yang memiliki cadangan batubara lebih besar, seperti Amerika (238 milyar ton), Russia (157 milyar ton) dan China (114 milyar ton), mengkonsumsi batubara dalam porsi besar (sekitar 91% dari total produksi batubara nasional) untuk kepentingan dalam negerinya. Dengan demikian, sebagai negara yang tidak memiliki cadangan batubara yang melimpah, sewajarnya Indonesia harus mengutamakan penggunaan batubara untuk konsumsi dalam negeri dibandingkan ekspor. Hal ini dikarenakan jika kondisi dominasi ekspor batubara ini terus berlanjut, maka terdapat kemungkinan suatu saat cadangan batubara Indonesia habis tertambang dan tidak tersedianya stok batubara nasional yang cukup untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri. Sebagai implementasi amanat UU No.4 tahun 2009 dan berdasarkan penjelasan berbagai landasan hukum tentang pengutamaan batubara untuk kepentingan dalam negeri, pada 31 Desember 2009, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri No 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, yang dikenal juga dengan istilah Domestic Market Obligation. Di dalam Permen tersebut, diatur kewajiban pemasokan kebutuhan mineral dan batubara bagi badan usaha pertambangan mineral dan batubara yang ditentukan dalam persentase minimal penjualan mineral atau persentase minimal penjualan batubara. Badan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut tetap dapat melakukan ekspor komoditasnya sepanjang persentase minimal penjualan batubaranya terpenuhi. Selain itu, diatur juga mengenai ketentuan pemakai mineral dan pemakai batubara. Pemakai batubara terdiri dari pemakai batubara sebagai bahan baku 32

33 Laporan Akhir yaitu dari industri briket, pengolahan logam, pencairan batubara, gasifikasi batubara dan peningkatan mutu batubara serta pemakai batubara sebagai bahan bakar yaitu sektor pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil dan sektor rumah tangga. Perencanaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dengan melihat prediksi kebutuhan mineral dan batubara setahun kedepan yang disampaikan oleh pemakai mineral dan batubara serta prediksi produksi batubara setahun kedepan yang disampaikan oleh badan usaha pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk Rencana Kerja Anggaran dan Biaya. Setelah data-data tersebut terkumpul, selanjutnya Direktur Jenderal akan meminta persetujuan Menteri ESDM untuk menerbitkan Keputusan Menteri tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara atau Mineral untuk Kepentingan Dalam Negeri. Keputusan Menteri itulah yang akan dijadikan acuan dan patokan dalam implementasi pemasokan kebutuhan mineral dan batubara. Adapun gambaran mekanisme penentuan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara sesuai dengan Permen No. 34 tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar III.1 berikut. Pemakai batubara dan produsen batubara akan menyampaikan prediksi kebutuhan dan prediksi produksi batubara kepada Direktur Jenderal paling lambat bulan Maret tahun berjalan, dan keputusan menteri tentang penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan dalam negeri untuk tahun berikutnya paling lambat dikeluarkan pada bulan Juni 33

34 tahun berjalan. Jika terdapat revisi mengenai jumlah kebutuhan dan produksi, dapat disampaikan kepada Direktur Jenderal hingga bulan November, dan revisi keputusan menteri tentang penetapan kebutuhan dan persentase minimal penjualan dalam negeri dapat diterbitkan pada bulan Desember. Mekanisme pengawasan dan pelaporan dari implementasi kebijakan DMO tersebut dilakukan pada tahun berlakunya, yaitu pelaporan dari pemakai dan produsen batubara tiap tiga bulan, pada Maret, Juni, September dan Desember. Apabila dari pihak produsen batubara tidak dapat memenuhi komitmen presentase penjualan minimum untuk kebutuhan dalam negeri, maka Kementerian ESDM dapat memberikan sanksi berupa peringatan tertulis sebanyak 3 kali dan sanksi pemotongan rencana produksi sebesar 50% pada tahun berikutnya. Sanksi demikian juga berlaku pada pihak pemakai batubara yang tidak dapat memenuhi komitmen pemakaian batubaranya, yaitu sanksi berupa peringatan tertulis sebanyak 3 kali dan sanksi pemotongan rencana konsumsi batubara sebesar 50% pada tahun berikutnya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan melalui UU No. 7 tahun RPJMN yang disusun dari rancangan teknokratik Bappenas merupakan pedoman untuk pencapaian visi misi presiden dan pedoman untuk melaksanakan pembangunan agar tetap konsisten dengan amanat UUD 1945 dan RPJPN Dalam Buku II RPJMN tentang Agenda Pembangunan Bidang, pada bagian Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup terdapat penjelasan tentang permasalahan dan isu strategis yaitu dalam hal Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi. Salah satu isu yang berkaitan dengan batubara sebagai sumber energi nasional adalah produksi batubara yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor dan konsumsi domestik. Pada 2010, produksi batubara nasional sekitar 275 juta ton dengan jumlah ekspor batubara 208 juta ton. Jumlah produksi tersebut meningkat sebesar 158% pada 2014 menjadi 458 juta ton, dimana ekspor batubara mencapai angka 359 juta ton atau 78% dari total produksi nasional. Hal ini menjadi isu strategis dikarenakan timbulnya kekhawatiran akan keamanan pasokan batubara sebagai salah satu 34

35 Laporan Akhir sumber energi nasional. Sebagai solusinya, pada dokumen RPJMN terdapat salah satu sasaran utama dalam Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi dalam mengatasi isu produksi batubara tersebut, yaitu penetapan target produksi batubara sebesar juta ton dengan konsumsi domestik sebesar persen selama kurun waktu Secara detail, target produksi batubara dan konsumsi domestik tiap tahun selama periode ditampilkan dalam Tabel III.1 berikut. Target produksi batubara ditetapkan menurun tiap tahunnya mulai dari 425 juta ton pada 2015, 419 juta ton pada 2016, 413 juta ton pada 2017, 406 juta ton pada 2018 dan 400 juta ton pada 2019, dengan laju penurunan produksi rata-rata 1,5% per tahun. Persentase konsumsi domestik ditargetkan meningkat tiap tahunnya, yaitu 24% atau 102 juta ton pada 2015, 26% atau 111 juta ton pada 2016, 29% atau 121 juta ton pada 2017, 32% atau 131 juta ton pada 2018 serta 60% atau 240 juta ton pada 2019, dengan laju peningkatan rata-rata 8% pada rentang namun terjadi peningkatan yang cukup signifikan sebesar 83% antara target pada 2018 dan Penurunan ekspor batubara dilakukan secara bertahap sebesar rata-rata 5% pada rentang waktu , namun terjadi penurunan target ekspor yang cukup signifikan pada 2019 sebesar 41%. Target produksi dan DMO batubara yang tertuang dalam RPJMN ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Kementerian ESDM dalam menyusun persentase minimal penjualan batubara dalam negeri yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri ESDM tiap tahunnya. 35

36 Pada periode , produksi batubara Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan. Pada periode ini pula, kebijakan DMO batubara telah mulai diterapkan sejak 2010 dengan bentuk Keputusan Menteri ESDM yang mengatur perkiraan kebutuhan dan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Adapun rencana produksi dan realisasi produksi batubara Indonesia beserta rencana DMO dan realisasi DMO batubara Indonesia dari tahun 2010 hingga 2015 dapat dilihat pada Gambar III.2 berikut. Pada grafik tersebut, terlihat bahwa pada periode 2010 hingga 2015, realisasi produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan dan penurunan dengan puncak produksi terjadi pada tahun Mayoritas batubara digunakan untuk ekspor batubara, dengan rata-rata 77% dari porsi produksi batubara nasional. Hal tersebut terimbas oleh pengaruh fluktuasi harga batubara dimana terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada periode 2009 hingga Perkembangan harga batubara Indonesia dalam bentuk Harga Batubara Acuan (HBA) selama 2008 hingga 2015 dapat dilihat pada Gambar III.3 berikut. 36

37 Laporan Akhir Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa setelah mengalami peningkatan harga hingga 2011, untuk tahun selanjutnya terdapat tren penurunan harga hingga mencapai 60,73 USD/ton pada Namun hingga 2014, ekspor batubara tetap meningkat, hal ini dikarenakan adanya pengaruh peningkatan permintaan batubara dari Tiongkok, India, Jepang dan sebagainya. Menurut Gambar III.2, target DMO batubara diproyeksikan terus meningkat tiap tahunnya. Namun, realisasi konsumsi batubara tersebut mayoritas tidak mencapai target. Hanya pada tahun 2010 target DMO batubara tercapai, sisanya dari tahun 2011 hingga 2015, target DMO tersebut tidak tercapai. Pengguna batubara dalam negeri didominasi oleh sektor pembangkit listrik. Selain penggunaannya dalam bahan bakar pembangkit listrik, pengguna batubara juga berasal dari sektor industri yang menggunakan batubara sebagai bahan baku maupun bahan bakar, yaitu di industri peleburan besi dan baja, industri semen, pupuk, pulp, tekstil, kimia dan lainnya. Pembahasan rinci mengenai target yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM tentang DMO Batubara dan pencapaian konsumsi tiap pemakai batubara dalam kebijakan DMO tersebut dijabarkan dalam penjelasan berikut. 37

38 Sebagai tindak lanjut implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri, pada 19 April 2010 Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No tahun 2010 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun Permen ESDM tersebut juga diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2010 yaitu sebanyak 41 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 36 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 6 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2010 adalah sebesar 64,96 juta ton. Adapun rincian daftar pemakai batubara domestik Indonesia yang dilengkapi dengan volume serta kualitas batubara untuk tahun 2010 beserta realisasi konsumsinya adalah sebagai berikut. Pada tahun ini, hampir keseluruhan target konsumsi batubara tiap pemakai batubara tidak terpenuhi, kecuali pada industri metalurgi. Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2010 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun Kepmen ESDM tersebut diatur mengenai 38

39 Laporan Akhir persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2011 yaitu sebanyak 53 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 42 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 10 perusahaan KP atau IUP. Menurut Kepmen tersebut, Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2010 adalah sebesar 78,97 juta ton. Namun pada 1 Desember 2011 terbit Kepmen ESDM No K/32/DJB/2011 yang merevisi target konsumsi batubara domestik menjadi 60,15 juta ton. Adapun rincian daftar pemakai batubara domestik Indonesia yang dilengkapi dengan volume serta kualitas batubara untuk tahun 2011 beserta realisasi konsumsinya adalah sebagai berikut. (Sumber: Direktorat Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, KESDM 2016) Melalui Kepmen ESDM No K/32/DJB/2011, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2010. Revisi tersebut dilakukan pada target konsumsi batubara oleh PLTU PT PLN (Persero) dikarenakan mundurnya Commercial Operating Date beberapa PLTU yang tergabung pada Proyek PLTU MW. Selain PLTU PT PLN (Persero), pemakai batubara lainnya yang tidak memenuhi target konsumsi adalah industri semen dan industri tekstil. Industri semen hanya menyerap 5,87 juta ton atau 66% dari target konsumsi 8,87 juta ton. Industri tekstil juga tidak mampu mencapai target dengan realisasi pemakaian batubara 0,189 juta ton atau hanya 10% dari target konsumsinya 39

40 sekitar 1,97 juta ton. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kesalahan prediksi perhitungan kebutuhan batubara dari sektor industri, atau tidak terpenuhinya kebutuhan industri semen dan tekstil akan batubara dengan kualitas tertentu ( kkal/kg, gar dan kkal/kg, gar) dari sejumlah perusahaan yang diwajibkan melaksanakan DMO Batubara. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara tersebut adalah 51,35juta ton. Jumlah ini tidak dapat mencapai target baik dari DMO awal yaitu 78,97 juta ton maupun target pada revisi DMO batubara yaitu sebesar 60,15 juta ton. Pada 25 Agustus 2011, Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2011 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2012 yang mengatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2012 yaitu sebanyak 63 perusahaan (40 PKP2B, 1 BUMN dan 22 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara domestik tahun 2012 adalah sebesar 78,97 juta ton. Pada 31 Oktober 2012, Kementerian ESDM menerbitkan Kepmen ESDM No. 909.K/32/DJB/2012 sebagai revisi Kepmen sebelumnya yang mengubah target perkiraan kebutuhan batubara domestik menjadi 67,25 juta ton. Rincian target dan realisasi konsumsi batubara domestik untuk tahun 2012 adalah sebagai berikut. 40

41 Laporan Akhir Melalui Kepmen ESDM No. 909.K/32/DJB/2012, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2011. Revisi tersebut dilakukan dikarenakan adanya beberpa PLTU yang belum beroperasi pada tahun 2012 dan adanya kenaikan/penurunan target produksi beberapa perusahaan tambang batubara. Revisi terutama pada target konsumsi batubara oleh PLTU PT PLN (Persero) dikarenakan mundurnya Commercial Operating Date beberapa PLTU yang seharusnya beroperasi pada tahun Pemakaian batubara PLTU PT PLN (Persero), sebesar 37,2 juta ton pada tahun 2012 sesuai dengan revisi target DMO, namun tidak dapat mencapai target DMO awal sebesar 57,2 juta ton. Realisasi konsumsi batubara pada tahun 2012 untuk beberapa pemakai batubara lainnya, secara mayoritas memenuhi revisi target DMO, kecuali pada industri semen dan tekstil. Industri semen hanya menyerap 0,32 juta ton dari target konsumsi 8,4 juta ton. Industri tekstil juga tidak mampu mencapai target dengan realisasi pemakaian batubara 0,3 juta ton atau hanya 15% dari target konsumsinya sekitar 1,93 juta ton, begitu pula dengan realisasi konsumsi batubara yang tidak mencapai target terjadi pada sektor industri pulp, dengan tingkat penyerapan batubara sebesar 0,6 juta ton serta sektor industri pupuk, dengan tingkat konsumsi batubara sebesar 0,87 juta ton dari target konsumsi 1,3 juta ton. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara yang terdaftar pada kebijakan DMO tahun 2012 tersebut adalah 55 juta ton. Jumlah ini dapat tidak dapat mencapai target DMO awal yaitu sebesar 82,07 ton maupun revisi target DMO batubara tahun 2012 sebesar 67,25 juta ton. 41

42 Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2012 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2013 pada 8 Oktober Dalam Kepmen ESDM tersebut diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2013 yaitu sebanyak 71 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 46 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 25 perusahaan KP atau IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic end user) oleh pemakai batubara tahun 2013 adalah sebesar 74,32 juta ton. Pada 24 Desember 2013, KESDM menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2013 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2012 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun Total target DMO batubara setelah direvisi adalah senilai 72,07 juta ton. Adapun rincian daftar kebutuhan pemakai batubara domestik Indonesia beserta kualitas batubara yang digunakan, target, revisi target dan realisasi konsumsi batubara untuk tahun 2013 adalah sebagai berikut. Melalui Kepmen ESDM No K/30/MEM/2013, terdapat revisi target konsumsi pada konsumsi batubara dari target DMO yang telah ditetapkan sebelumnya pada Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2012. Revisi tersebut dilakukan dikarenakan 42

43 Laporan Akhir adanya penurunan target konsumsi batubara PLTU PT.PLN akibat beberapa PLTU yang belum beroperasi pada tahun 2013 dan adanya perubahan jumlah produksi beberapa perusahaan tambang batubara. Dengan demikian pencapaian pemakaian batubara PLTU pada tahun 2013 sesuai dengan revisi target DMO. Realisasi konsumsi batubara pada tahun 2013 untuk beberapa pemakai batubara lainnya, secara mayoritas memenuhi revisi target DMO, kecuali pada industri semen dan tekstil. Industri semen hanya menyerap 7,19 juta ton atau 73% dari target konsumsi 9,8 juta ton. Industri tekstil 1,46 juta ton atau hanya 76% dari target konsumsinya sekitar 1,93 juta ton, begitu pula dengan industri pulp kertas yang hanya mencapai realisasi produksi 0,4 juta ton. Industri yang dapat mencapai target konsumsi adalah industri pupuk dengan pencapaian 0,84 juta ton. Dengan demikian, total realisasi konsumsi batubara domestik dari beberapa pemakai batubara yang terdaftar pada kebijakan DMO tahun 2013 tersebut adalah 72,07 juta ton. Jumlah ini dapat mencapai revisi target DMO batubara tahun 2013 sebesar 72,01 juta ton, namun tidak dapat mencapai target DMO sebelumnya yaitu sebesar 74,32 juta ton. Pada 30 Juli 2013, Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2901K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun Kepmen ESDM tersebut mengatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2010 yaitu sebanyak 85 perusahaan tambang batubara yang terdiri dari 50 perusahaan PKP2B, 1 BUMN dan 34 perusahaan IUP. Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2014 adalah sebesar 95,55 juta, dengan rincian sebagai berikut. 43

44 Pada tahun 2014 ini, target DMO adalah sebesar 95,55 juta ton, namun pencapaiannya hanya sebesar 73,26 juta ton. Hampir semua industri tidak mencapai target konsumsinya, kecuali pada industri pulp. Pencapaian target konsumsi PLTU sebesar 63,05 juta ton, dari target konsumsi sebesar 76,7 juta ton; pencapaian target konsumsi industri metalurgi adalah sebesar 0,3 juta ton dari target 3,23 juta ton; pencapaian target konsumsi industri semen sebesar 7,19 juta ton dari target 9,8 juta ton; pencapaian target konsumsi industri tekstil adalah sebesar 1,46 juta ton dari target 2,06 juta ton dan pencapaian industri pupuk adalah sebesar 0,4 juta ton dati target 1,16 juta ton. Satu-satunya industri yang mampu memenuhi target DMO adalah industri kertas dengan konsumsi sebesar 0,86 juta ton dari targetnya sebesar 0,6 juta ton. Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun Perkiraan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri oleh pemakai batubara tahun 2015 adalah sebesar 92,31 juta ton. Permen ESDM tersebut juga diatur mengenai persentase minimal kewajiban pemasokan batubara pada tahun 2015 yaitu sebanyak 82 perusahaan tambang batubara ( 47 PKP2B, 1 BUMN dan 34 IUP). Rincian target dan realisasi DMO batubara tahun 2015 adalah sebagai berikut. 44

45 Laporan Akhir Rekapitulasi keberjalanan kebijakan DMO Batubara sejak 2010 hingga 2015 dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut. 45

46 Berdasarkan grafik dan tabel keberjalanan kebijakan DMO selama tersebut, dapat dilihat profil konsumsi batubara tiap pemakai. Pemakaian batubara oleh PLTU, baik oleh PT PLN, IPP (Independent Power Producer/PLTU Swasta), merupakan pemakaian batubara dengan porsi terbesar untuk tiap tahun, yaitu dengan rata-rata 87% dari total realisasi konsumsi batubara domestik. Namun pemakaian batubara oleh PLTU ini sering menyebabkan adanya revisi pada target DMO, terutama pada tahun 2011 hingga Revisi ini disebabkan mundurnya COD (Commercial Operating Date) PLTU-PLTU yang tergabung dalam proyek pembangkit MW. Hal tersebut menyebabkan target awal DMO PLTU sering tidak tercapai. Dengan demikian, salah satu indikasi awal penyebab tidak terrealisasinya target DMO batubara adalah dari sisi COD PLTU. Selanjutnya, analisis mendalam mengenai isu/permasalahan lainnya yang mempengaruhi ketercapaian target DMO tiap tahun akan dibahas pada Bab VI. 46

47 Laporan Akhir Peramalan adalah proses prediksi masa depan berdasarkan data yang telah didapat dari masa lampau hingga saat ini. Secara umum, ada dua jenis peramalan yaitu peramalan kualitatif dan peramalan kuantitatif. Peramalan kualitatif adalah teknik peramalan subjektif, berdasarkan pendapat dan judgement narasumber dan ahli, yang cocok digunakan jika data masa lalu tidak tersedia. Beberapa contoh metode peramalan kualitatif adalah metode Delphi, riset pasar dan analogi siklus hidup historis. Peramalan kuantitatif adalah teknik peramalan menggunakan model untuk menghitung prediksi data masa depan berdasarkan historis data masa lalu yang tersedia. Contoh peramalan kuantitatif adalah causal forecasting dan time series forecasting. Causal forecasting adalah peramalan dengan menggunakan hubungan sebab akibat satu atau beberapa variabel yang mempengaruhi perubahan data historis. Time series forecasting adalah peramalan dengan melihat pola dan perilaku data historis dan menjadikannya dasar untuk memprediksi masa depan. Time series adalah suatu set data pengamatan yang dikumpulkan dalam periode waktu tertentu (Chatfield, 2000). Secara konvensi, ada dua tipe data time series yaitu continous dan discrete. Contoh data continous time series adalah pengamatan aktivitas organ tubuh melalui suatu alat rekam medis. Contoh data discrete time series adalah penjualan tiket pesawat yang dihitung dalam orde bulanan. Analisis yang dilakukan pada data time series mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut. a. Deskripsi dari data yang ada dengan menggunakan ringkasan statistik atau metode grafis. b. Penentuan jenis model statistik yang sesuai untuk menggambarkan proses generasi data. c. Untuk melakukan peramalan terhadap nilai data di masa depan. d. Melakukan fungsi kontrol terhadap proses saat ini sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat. Analisis dan peramalan time series biasanya melibatkan penentuan model yang sesuai berdasarkan data yang tersedia. Tahapan pembentukan model statistik dalam analisis time series yaitu terdiri dari identifikasi model, estimasi model dan verifikasi model. 47

48 Peramalan dengan menggunakan time series menggunakan data numerik historis dengan asumsi pola dan perilaku data yang telah terjadi dapat terus berlanjut di masa depan dan digunakan sebagai landasan untuk melakukan prediksi. Tahapan peramalan dengan menggunakan time series digambarkan pada Gambar IV.1 berikut. Sebagai tahap awal, setelah dilakukan plot data dalam bentuk grafik terhadap waktu, penting untuk mengetahui karakteristik dan pola data historis yang terjadi. Sifat data yang dimaksud disini yaitu stasioneritas yang merupakan suatu kondisi dimana nilai rataan dan variansi dari suatu set data historis relatif tidak berganti sepanjang waktu pengamatan. Contoh dari data time series yang stasioner dan data time series yang non stasioner adalah seperti yang ditampilkan pada Gambar IV.2 berikut. 48

49 Laporan Akhir Adapun pola dari suatu data time series dapat dijelaskan dengan penjelasan komponenkomponen variasi pola data yang sering muncul pada suatu set data time series, yaitu sebagai berikut. a. Musiman (seasonal) Variasi musiman merupakan munculnya pola variasi data pada periode tertentu akibat faktor musiman baik yang diamati dalam jangka waktu mingguan, bulanan, tiap triwulan atau caturwulan (quarterly). Variasi musiman terjadi dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Gambar berikut merupakan contoh data dengan pola seasonal. 49

50 b. Tren (trend) Tren merupakan perubahan yang terjadi secara jangka panjang yang mempunyai kecenderungan meningkat, menurun ataupun konstan. c. Siklus (cyclical) Variasi berupa pengulangan siklus yang terjadi pada periode lebih dari satu tahun, dan tidak dalam suatu periode pengulangan yang pasti. Gambar berikut merupakan contoh data dengan pola cyclical, dengan periode pengulangan yang tidak sama, antara 8-10 tahun. 50

51 Laporan Akhir d. Irregullar component Variasi selain tren, musiman dan siklus yang bersifat tidak beraturan dan acak. Suatu data time series dapat memiliki satu, dua atau semua jenis pola tersebut. Gambar berikut merupakan contoh plot data historis yang memiliki semua pola data. Tahapan peramalan selanjutnya setelah pola data diketahui, adalah pemilihan teknik peramalan. Beberapa teknik peramalan time series yang dapat digunakan adalah sebagai berikut. 51

52 1. Linear Regression Regresi Linear adalah model yang menyatakan hubungan antara suatu parameter y dan parameter x. Hubungan antara kedua parameter tersebut akan dinyatakan dalam suatu bentuk persamaaan y = ax+c, dengan c adalah suatu nilai intercept dengan sumbu y. Antara kedua parameter tersebut dapat dilihat hubungan ketergantungannya melalui nilai R 2. Jika nilai R 2 bernilai mendekati 1, artinya kedua parameter saling berhubungan. Teknik ini cocok digunakan untuk data yang berpola tren meningkat atau menurun. 2. Moving Average Teknik moving average adalah teknik peramalan dengan menghitung rata-rata dari nilai pada periode sebelumnya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut. A t = D t + D t 1 + D t D t N+1 N Dengan At adalah nilai peramalan, Dt adalah data aktual periode saat ini, Dt-1 adalah data aktual 1 periode sebelumnya, dan seterusnya. Sementara N adalah banyaknya periode yang dipertimbangkan dalam peramalan. Contoh, jika N adalah 3 maka yang dihitung adalah rataan dari nilai aktual pada 3 periode ke belakang. Moving average merupakan metode yang cocok diterapkan pada data yang berperilaku acak. 3. Seasonal Index Teknik ini cocok diterapkan pada data dengan pola seasonal (musiman). Seasonal index disusun dengan cara menentukan periode musiman, lalu menghitung nilai rataan data pada periode musiman tersebut. Selanjutnya dihitunga nilai rataan dari semua periode waktu. Seasonal index ditentukan dengan persamaan berikut. Seasonal Index = 52 Seasonal Average Over time average 100 Nilai seasonal index tersebut berlaku sama untuk tiap periode musiman. Peramalan dengan menggunakan seasonal index dilakukan dengan cara mengalikan nilai forecast sebelumnya dengan perbandingan seasonal index kedua data tersebut. 4. Exponential Smoothing Metode pemulusan ini memberikan bobot yang lebih besar pada data periode baru dan bobot lebih kecil pada data di periode awal. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut. A t = a D t + (1 a) D t 1

53 Laporan Akhir Dengan At merupakan nilai forecast, Dt merupakan data aktual periode saat ini dan Dt-1 merupakan data periode sebelumnya, dan a adalah smoothing parameter yang bernilai antara 0 dan 1. Pemilihan smoothing parameter akan mempengaruhi bobot yang diberikan pada data periode baru. Teknik ini cocok digunakan untuk data time series yang memiliki kecenderungan pola acak atau campuran. 5. Time Series Decomposition Dekomposisi dari suatu set data time series merupakan deskripsi dari variasi dan pola dari suatu set data yang tersedia. Beberapa jenis variasi dan pola tersebut adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti pola data trend, pola data seasonal dan pola data irregular. Madriakis et. al (1998) memberikan representasi umum dari suatu model dekomposisi time series yaitu sebagai berikut. Y t = f(s t, T t, E t ) Dimana Yt adalah data aktual pada periode t, St adalah seasonal index pada periode t, Tt adalah trend cycle component pada periode t, dan Et adalah irregular component pada periode t. Terdapat 2 tipe dekomposisi yaitu additive dan multiplicative. Additive decomposition mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut. Y t = S t + T t + E t Additive decomposition cocok diterapkan pada data yang perilaku musimannya relatif tetap dan tidak berganti terhadap waktu. Sementara itu, jika perilaku musiman data berfluktuasi terhadap waktu, metode yang cocok ditetapkan adalah multiplicative decomposition, yang dapat merespons fluktuasi data tersebut. Persamaan multiplicative decomposition adalah sebagai berikut. Y t = S t T t E t Penentuan teknik peramalan terbaik didasarkan pada penentuan akurasi peramalan tiap teknik yaitu dengan membandingkan peramalan data hasil forecast dengan data historis. Model peramalan terbaik akan dipilih berdasarkan tingkat akurasi tiap model yang dilihat dari tingkat error tiap teknik peramalan (akurasi statistik). Semakin baik suatu model peramalan, maka semakin kecil error-nya terhadap data aktual. Parameter yang umum digunakan dalam penentuan akurasi statistik tiap teknik peramalan adalah sebagai berikut. 53

54 a. Mean Absolute Error Mean Absolute Error adalah rataan dari error absolut antara nilai hasil peramalan dengan nilai aktual selama kurun waktu pengamatan. MAE dirumsukan sebagai berikut. MAE = 1 n D f D a Dengan n adalah jangka waktu pengamatan, Df adalah nilai forecast dan Da adalah nilai aktual. b. Mean Absolute Percent Error Mean Absolute Percent Error adalah rataan dari nilai absolut dari persentase perbedaan antara antara nilai hasil peramalan dengan nilai aktual selama kurun waktu pengamatan. MAPE dirumsukan sebagai berikut. MAPE = 1 n D f D a D a 100% Dengan n adalah jangka waktu pengamatan, Df adalah nilai forecast dan Da adalah nilai aktual. c. Mean Squared Error Mean Squared Error adalah rataan dari kuadrat error antara nilai hasil peramalan dengan nilai aktual selama kurun waktu pengamatan. MSE dirumsukan sebagai berikut. MSE = 1 n (D f D a ) 2 Dengan n adalah jangka waktu pengamatan, Df adalah nilai forecast dan Da adalah nilai aktual. Penentuan kebutuhan batubara dilakukan dengan cara konversi dari energi listrik yang dihasilkan sesuai kapasitas PLTU dan energi yang disediakan dari pembakaran batubara dengan tingkat efisiensi tertentu. Jumlah kalori yang diperlukan PLTU (Cal PLTU ) per tahun ditentukan dengan persamaan sebagai berikut. jam kw kkal P(MW) CF ,421 Cal PLTU (kcal per tahun) = ( th MW kwh ) e PLTU 54

55 Laporan Akhir Dengan P adalah kapasitas dalam satuan MW, CF adalah faktor kapasitas (%), dan e PLTU adalah efisiensi boiler PLTU (%). Dengan mengetahui jumlah kalori yang dibutuhkan PLTU, dapat diketahui jumlah batubara yang diperlukan, yaitu sebagai berikut: Batubara yang dibutuhkan PLTU (kg per tahun) = ( Cal PLTU(kkal/th) ) CV (kkal/kg) Nilai CV batubara yang dipakai akan menyesuaikan dengan data CV tipikal yang dipakai tiap PLTU. Perhitungan Proyeksi kebutuhan batubara sektor industri dibedakan menjadi 2 opsi perhitungan, berdasarkan ketersediaan data. Opsi perhitungan tersebut telah digambarkan pada Gambar IV.8 berikut. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat dua opsi perhitungan kebutuhan batubara sektor industri. Opsi pertama dipilih, jika data kapasitas produksi existing dan rencana penambahan kapasitas produksi pada suatu industri diketahui, maka perhitungan prediksi kebutuhan batubara dilakukan dengan cara menghitung intensitas penggunaan batubara secara historis, lalu menggunakan angka tersebut untuk dikalikan dengan rencana pengembangan kapasitas produksi dan didapat hasilnya berupa prediksi kebutuhan batubara di masa depan. Intensitas penggunaan batubara adalah jumlah unit batubara yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit produksi. Contoh, intensitas penggunaan batubara suatu industri A pada 2016 adalah 10 ton batubara per ton produksi industri tersebut. Pada 2017, terdapat rencana peningkatan kapasitas produksi menjadi 1,5 juta ton produk, maka prediksi penggunaan batubara pada 2017 adalah 10 ton batubara dikalikan dengan 1,5 juta ton produk menghasilkan 15 juta ton batubara yang dibutuhkan. 55

56 Perhitungan Kebutuhan Batubara Sektor Non PLTU (Semen, pulp, besi baja, pupuk, tekstil) Data kapasitas produksi existing dan rencana pengembangan Ya Perhitungan Intensitas Energi Batubara Perhitungan Kebutuhan Batubara sesuai dengan plan pengembangan kapasitas produksi Data Tersedia? Tidak Data historis Output tiap industri dari BPS Prediksi/Peramalan Output dengan Time Series Perhitungan Intensitas Energi Batubara dan Kebutuhan Batubara Prediksi Kebutuhan Batubara Domestik Sektor Non PLTU (Semen, pulp, besi baja, pupuk, tekstil) Jika data rencana pengembangan kapasitas tersebut tidak tersedia, maka perhitungan kebutuhan batubara dilakukan dengan opsi kedua yaitu dengan cara pengumpulan data output tiap industri (dalam Rupiah) dan perhitungan intensitas pemakaian batubara (ton per milyar rupiah output). Selanjutnya dilakukan peramalan nilai output tiap industri tersebut untuk periode dengan menggunakan time series. Hasil peramalannya lalu digunakan untuk menghitung proyeksi penggunaan batubara untuk periode

57 Laporan Akhir Pada bab ini akan dibahas tentang perhitungan proyeksi kebutuhan batubara dari sektor pembangkit listrik (PLTU) dan sektor non pembangkit listrik (semen, tekstil, pulp, kertas, dan pupuk). Tahapan perhitungan kebutuhan batubara digambarkan pada Gambar V.1 berikut. 57

58 Sektor pembangkit listrik (PLTU) merupakan sektor yang mendominasi penyerapan batubara domestik dengan rata-rata persentase 87,4% selama periode Untuk periode selanjutnya, kebutuhan batubara dari sektor PLTU diperkirakan terus meningkat, seiring adanya proyek pembangkit listrik MW yang dicanangkan pada periode , dimana sejumlah MW (56%) merupakan pembangkit dengan jenis PLTU berbahan bakar batubara. Selain itu, juga terdapat pekerjaan pembangunan pembangkit listrik sisa dari program percepatan pembangunan pembangkit Fast Track I (FTP1) sebesar MW dan Fast Track Program 2 (FTP2) sebesar dengan MW diantaranya adalah pembangkit berjenis PLTU. Menurut perkembangan status oleh PT. PLN (Persero) pada 2016, terdapat MW kapasitas pembangkit yang belum terbangun yang berasal dari program FTP 1 dan FTP 2, dengan total MW adalah pembangkit berjenis PLTU. Proyeksi kebutuhan batubara sektor pembangkit listrik (PLTU) pada kajian ini didasarkan pada kebutuhan batubara yang berasal dari PLTU existing (yang beroperasi hingga tahun 2015) dan PLTU rencana yang akan beroperasi pada 2016, 2017, 2018 dan 2019 sesuai dengan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (Persero) periode Perhitungan kebutuhan batubara PLTU dilakukan dengan cara menentukan kebutuhan energi batubara tiap PLTU, lalu dihitung kebutuhan batubara berdasarkan data nilai tipikal kalori (CV) yang tersedia. Data yang digunakan berupa data PLTU (baik existing maupun rencana) yang berasal dari dokumen RUPTL PT. PLN dan data spesifikasi kualitas CV tipikal batubara PLTU existing yang bersumber dari PT. PLN (Persero). Adapun data PLTU existing dan rencana dapat dilihat pada Lampiran A, dan data spesifikasi kualitas CV batubara tipikal yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran B. Perhitungan kebutuhan batubara dilakukan dengan menggunakan rumus yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya yaitu sebagai berikut. Batubara yang dibutuhkan PLTU (kg per tahun) = ( Cal PLTU(kkal/th) CV PLTU (kkal/kg) ) 58

59 Laporan Akhir Dimana CV PLTU adalah nilai spesifikasi kualitas batubara yang digunakan (nilai CV dalam satuan kkal/kg, GAR). Sedangkan Cal PLTU adalah nilai kalori yang dibutuhkan dalam satuan kkal/tahun yang ditentukan dari persamaan berikut. jam kw kkal P(MW) CF 8760 Cal PLTU (kcal per tahun) = ( th 1000 MW 860,421 kwh ) e PLTU Dengan P adalah kapasitas dalam satuan MW, CF adalah faktor kapasitas (%), dan e PLTU adalah efisiensi boiler PLTU (%). Asumsi yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan batubara ini adalah sebagai berikut. a. Nilai spesifikasi kualitas kalori batubara bagi PLTU existing digunakan berdasarkan data spesifikasi kualitas CV batubara tipikal yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran B. b. Nilai spesifikasi kualitas kalori batubara bagi PLTU rencana lainnya, diasumsikan sebesar kkal/kg. Nilai ini merupakan CV rata-rata dari spesifikasi kualitas CV batubara pada seluruh PLTU existing. c. Faktor kapasitas (perbandingan antara jumlah produksi listrik selama periode operasi terhadap jumlah produksi terpasang selama kurun waktu tertentu atau selama 1 tahun) dinyatakan dengan notasi CF, yaitu diasumsikan sebesar 70 %. d. Waktu operasi per tahun adalah jam (24 jam x 365 hari/tahun). e. Efisiensi pembakaran batubara di boiler PLTU (e PLTU ) adalah 35%. f. Faktor konversi nilai kalori batubara dari kwh/kg menjadi kkal/kg adalah 860,421 kkal/kwh. g. Waktu selesainya konstruksi dan mulainya operasional produksi listrik dari PLTU atau dikenal dengan istilah Commercial Operating Date adalah dibuat optimis, yaitu sesuai target rencana pembangunan PLTU. Jika target waktu COD adalah dalam rentang tahun maka dipilih waktu COD adalah tahun tercepat (contoh COD pada , dipilih 2018 sebagai waktu COD PLTU). Perhitungan kebutuhan batubara PLTU pada periode ini dibagi menjadi beberapa tahap perhitungan, yaitu sebagai berikut. PLTU existing adalah PLTU yang saat ini telah beroperasi per September 2015 sesuai dengan data pada dokumen RUPTL PT. PLN Adapun hasil perhitungan kebutuhan batubara PLTU existing adalah sebagai berikut. 59

60 Dengan demikian, total kebutuhan batubara PLTU existing pada 2015 adalah sejumlah ton per tahun. 60

61 Laporan Akhir Perhitungan tambahan kebutuhan batubara bagi PLTU yang akan beroperasi pada 2016, ditampilkan sebagai berikut. Dengan demikian, total tambahan kebutuhan batubara PLTU pada 2016 adalah sebesar ton. Perhitungan tambahan kebutuhan batubara bagi PLTU yang akan beroperasi pada 2017, ditampilkan sebagai berikut. 61

62 Dengan demikian, total tambahan kebutuhan batubara PLTU pada 2017 adalah sebesar ton. Perhitungan tambahan kebutuhan batubara bagi PLTU yang akan beroperasi pada 2018, ditampilkan sebagai berikut. 62

63 Laporan Akhir Dengan demikian, total tambahan kebutuhan batubara PLTU pada 2018 adalah sebesar ton. Perhitungan tambahan kebutuhan batubara bagi PLTU yang akan beroperasi pada 2019, ditampilkan sebagai berikut. 63

64 Dengan demikian, total tambahan kebutuhan batubara PLTU pada 2019 adalah sebesar ton. Proyeksi kebutuhan batubara PLTU selama 2016 hingga 2019 merupakan akumulasi dari kebutuhan batubara PLTU existing dan tambahan kebutuhan batubara dari PLTU baru yang akan beroperasi dalam periode 2016 hingga 2019, sesuai Gambar V.2 berikut. Kebutuhan batubara PLTU pada 2016 adalah sebesar 86,7 juta ton, pada 2017 sebesar 88,4 juta ton, pada 2018 meningkat menjadi 107,2 juta ton dan pada 2019 menjadi 166 juta ton. Perhitungan yang dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, yakni antara lain nilai kalori, faktor kapasitas, efisiensi boiler PLTU dan waktu COD PLTU rencana. 64

65 Laporan Akhir Beberapa sektor industri pemakai batubara selain PLTU yang diwajibkan melaksanakan kebijakan DMO batubara adalah industri semen, metalurgi, pulp, pupuk dan tekstil. Peran batubara dalam industri-industri tersebut adalah sebagai bahan bakar, kecuali pada industri metalurgi, batubara digunakan sebagai salah satu bahan baku kokas untuk melakukan peleburan besi dan baja. Serapan konsumsi batubara domestik pada kelima industri tersebut adalah 12,6% dari total konsumsi batubara nasional, dengan perincian 9,3% konsumsi dari industri semen; 1,3% konsumsi dari industri tekstil; 0,8% konsumsi dari industri pupuk; dan industri metalurgi serta pulp masing-masing mengkonsumsi 0,6% dari total konsumsi batubara nasional. Proyeksi kebutuhan batubara sektor industri dibedakan menjadi 2 opsi perhitungan, berdasarkan ketersediaan data. Opsi perhitungan tersebut telah digambarkan pada Gambar V.3 berikut. Perhitungan Kebutuhan Batubara Sektor Non PLTU (Semen, pulp, besi baja, pupuk, tekstil) Data kapasitas produksi existing dan rencana pengembangan Ya Perhitungan Intensitas Energi Batubara Perhitungan Kebutuhan Batubara sesuai dengan plan pengembangan kapasitas produksi Data Tersedia? Tidak Data historis Output tiap industri dari BPS Prediksi/Peramalan Output dengan Time Series Perhitungan Intensitas Energi Batubara dan Kebutuhan Batubara Prediksi Kebutuhan Batubara Domestik Sektor Non PLTU (Semen, pulp, besi baja, pupuk, tekstil) 65

66 Berdasarkan gambar tersebut, terdapat dua opsi perhitungan kebutuhan batubara sektor industri. Opsi pertama dipilih, jika data kapasitas produksi existing dan rencana penambahan kapasitas produksi pada suatu industri diketahui, maka perhitungan prediksi kebutuhan batubara dilakukan dengan cara menghitung intensitas penggunaan batubara secara historis, lalu menggunakan angka tersebut untuk dikalikan dengan rencana pengembangan kapasitas produksi dan didapat hasilnya berupa prediksi kebutuhan batubara di masa depan. Intensitas penggunaan batubara adalah jumlah batubara yang diperlukan Contoh, intensitas penggunaan batubara suatu industri A pada 2016 adalah 10 ton batubara per ton produksi industri tersebut. Pada 2017, terdapat rencana peningkatan kapasitas produksi menjadi 1,5 juta ton produk, maka prediksi penggunaan batubara pada 2017 adalah 10 ton batubara dikalikan dengan 1,5 juta ton produk menghasilkan 15 juta ton batubara yang dibutuhkan. Jika data rencana pengembangan kapasitas tersebut tidak didapat, maka perhitungan kebutuhan batubara dilakukan dengan opsi kedua yaitu dengan cara pengumpulan data output tiap industri (dalam Rupiah) dan perhitungan intensitas pemakaian batubara (ton per milyar rupiah output). Selanjutnya dilakukan peramalan nilai output tiap industri tersebut untuk periode dengan menggunakan time series. Hasil peramalannya lalu digunakan untuk menghitung proyeksi penggunaan batubara untuk periode Adapun data yang digunakan adalah data penggunaan batubara tiap industri (semen, metalurgi, pulp, pupuk dan tekstil) secara historis dari tahun yang didapat dari Direktorat Pembinaan dan Pengusahaan Batubara KESDM. Data produksi terpasang dan rencana pengembangan kapasitas produksi hanya tersedia pada dua industri yaitu data industri semen yang didapat dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) dan data industri pupuk yang didapat dari Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI). Dengan demikian, perhitungan kebutuhan batubara industri semen dan pupuk dilakukan dengan menggunakan cara perhitungan opsi pertama. Sementara perhitungan kebutuhan batubara untuk sektor industri lain yaitu metalurgi, pulp dan tekstil dilakukan dengan cara perhitungan opsi kedua. Data output tiap industri metalurgi, pulp dan tekstil berasal dari BPS untuk periode Data untuk tahun 2015 belum tersedia karena survei Industri Besar dan Sedang dilakukan selama periode 2 tahunan oleh BPS. 66

67 Laporan Akhir Perhitungan kebutuhan batubara tiap sektor industri periode dibagi menjadi beberapa perhitungan berdasarkan jenis industrinya, yaitu perhitungan kebutuhan batubara industri semen, pupuk, metalurgi, pulp dan tekstil. Sesuai ketersediaan data, perhitungan kebutuhan batubara industri semen dan pupuk menggunakan perhitungan opsi 1 sedangkan perhitungan kebutuhan batubara industri metalurgi, pulp dan tekstil menggunakan perhitungan opsi 2. Adapun perhitungan untuk tiap industri dijabarkan sebagai berikut. Industri semen merupakan konsumen batubara dalam negeri yang mengkonsumsi sekitar 9,3% dari total penjualan batubara domestik pada periode Batubara digunakan dalam industri semen sebagai bahan bakar untuk memanaskan kiln untuk memproduksi clinker. Selain batubara, energi yang digunakan di industri semen berasal juga bersumber dari energi listrik. Pada tabel berikut ditampilkan kapasitas semen nasional, serta konsumsi energi batubara dan listrik dalam satuan GWh. Data kapasitas produksi terpasang semen nasional periode yang disampaikan oleh Asosiasi Semen Indonesia. Konversi satuan energi batubara dari ton menjadi kwh menggunakan asumsi nilai kalori kkal/kg dan faktor konversi 0, kwh/kkal. Energi Batubara mendominasi sumber energi dalam industri semen dengan ratarata 87%. Berdasarkan data yang ada, dihitung juga nilai intensitas energi listrik dan intensitas energi batubara yang digunakan oleh industri semen, dalam satuan GWh per ton semen yang diproduksi. Hasil perhitungan intensitas energi pada industri semen ditampilkan pada tabel berikut. 67

68 Nilai rata-rata intensitas energi industri semen tersebut akan digunakan untuk menghitung proyeksi kebutuhan energi total yang terdiri dari energi listrik dan batubara periode Nilai proyeksi kebutuhan energi batubara dalam satuan GWh akan dikonversi kembali ke dalam satuan ton batubara dengan menggunakan asumsi dan faktor konversi yang telah digunakan sebelumnya. Perhitungan proyeksi kebutuhan energi ini mengacu pada rencana peningkatan kapasitas terpasang semen nasional periode yang disampaikan oleh Asosiasi Semen Indonesia. Hasil perhitungan proyeksi tersebut ditampilkan pada tabel berikut. Kapasitas produksi terpasang semen nasional mengalami peningkatan dari sebesar ton pada 2015, menjadi ton pada 2016, dan pada 2018 dan Peningkatan kapasitas produksi tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan energi listrik dan batubaranya. Proyeksi kebutuhan energi dihitungan dengan acuan nilai intensitas energi total industri semen yaitu sebesar 0, GWh/ton yang terdiri dari intensitas energi listrik sebesar 0, GWh/ton dan intensitas energi batubara 0, GWh/ton. Hasil proyeksi kebutuhan energi total industri semen tersebut menunjukkan adanya peningkatan hingga mencapai GWh pada 2018 dan 2019 yang terdiri dari GWh energi batubara dan GWh energi listrik. Proyeksi kebutuhan batubara 68

69 Laporan Akhir industri semen pun mengalami peningkatan yaitu sebesar 9,7 juta ton pada 2016, menjadi 10,7 juta ton pada 2017 dan 10,9 juta ton pada 2018 dan Sumber energi yang mendominasi dalam industri pupuk adalah gas. Selain sebagai bahan bakar, gas juga digunakan sebagai salah satu bahan baku pupuk. Penggunaan batubara dalam industri ini relatif lebih sedikit porsinya dibanding dengan gas. Batubara selain digunakan sebagai bahan bakar juga dapat digunakan sebagai bahan baku pada pabrik pupuk yang telah dilengkapi dengan teknologi gasifikasi batubara. Industri pupuk mengkonsumsi sekitar 0,8% dari konsumsi batubar nasional pada periode Pada tabel berikut ditampilkan data konsumsi gas dan batubara dalam satuan GWh beserta produksi pupuk pada periode Adapun satuan batubara dalam ton diubah menjadi GWh dengan asumsi nilai kalori kkal/kg dan faktor konversi 0, kwh/kkal, dan satuan konsumsi gas dalam BBTU diubah menjadi GWh dengan faktor konversi 0, GWh/BBTU. Gas mendominasi konsumsi energi dalam industri pupuk dengan rata-rata 83%. Berdasarkan data yang ada, dihitung juga nilai intensitas energi batubara dan intensitas energi gas yang digunakan oleh industri pupuk, dalam satuan GWh per ton pupuk yang diproduksi. Hasil perhitungan intensitas energi pada industri pupuk ditampilkan pada tabel berikut. 69

70 Nilai rata-rata intensitas energi industri pupuk tersebut akan digunakan untuk menghitung proyeksi kebutuhan energi total yang terdiri dari energi batubara dan gas periode Nilai proyeksi kebutuhan energi batubara dalam satuan GWh akan dikonversi kembali ke dalam satuan ton batubara dengan menggunakan asumsi dan faktor konversi yang telah digunakan sebelumnya. Perhitungan proyeksi kebutuhan energi ini mengacu pada rencana peningkatan kapasitas terpasang pupuk nasional periode yang disampaikan oleh Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. Hasil perhitungan proyeksi tersebut ditampilkan pada tabel berikut. Kapasitas produksi terpasang pupuk nasional mengalami peningkatan dari sebesar ton pada 2015, menjadi ton pada 2016, pada 2018 serta ton pada 2019 dikarenakan beroperasinya berbagai tambahan pabrik baru di Indonesia. Peningkatan kapasitas produksi tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan energi listrik dan batubaranya. Proyeksi kebutuhan energi dihitungan dengan acuan nilai intensitas energi total industri pupuk yaitu sebesar 0,00221 GWh/ton yang terdiri dari intensitas energi gas sebesar 0,00185 GWh/ton dan intensitas energi batubara 0,00036 GWh/ton. Hasil proyeksi kebutuhan energi total industri semen tersebut menunjukkan adanya peningkatan hingga mencapai GWh pada 2018 dan 2019 yang terdiri dari 70

71 Laporan Akhir GWh energi gas dan GWh energi batubara. Proyeksi kebutuhan batubara industri semen pun mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,9 juta ton pada 2016 hingga 2018 dan mencapai 1 juta ton pada Industri metalurgi merupakan industri yang mengkonsumsi sekitar 0,6% dari konsumsi batubara nasional periode Dikarenakan tidak tersedianya data kapasitas terpasang dan rencana penginkatan kapasitas produksi hasil industri metalurgi dalam negeri (peleburan besi baja dan pemurnian logam), perhitungan proyeksi kebutuhan batubara industri metalurgi menggunakan perhitungan opsi kedua yaitu proyeksi dengan peramalan time series dari data output industri. Pada survei Industri Besar dan Sedang BPS, industri metalurgi yaitu industri logam dasar mempunyai kode dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu 24 (untuk periode 2010 dst.) dan 27 (untuk periode 2009 dan sebelumnya). Tabel berikut menampilkan data output barang yang dihasilkan (dalam rupiah) dari industri semen pada periode , bersama dengan data konsumsi batubara dalam ton dan GWh serta intensitas energi batubaranya. Adapun konversi satuan batubara dari ton menjadi GWh dilakukan dengan perhitungan nilai kalori kkal/kg dan faktor konversi 0, kwh/kkal. 71

72 Intensitas energi batubara merupakan nilai yang menyatakan berapa besar energi batubara (dalam GWh) yang dibutuhkan untuk menghasilkan output dari industri metalurgi senilai 1 milyar rupiah. Rata-rata intensitas energi batubara dalam industri metalurgi periode adalah sebesar 0,0221 GWh/milyar rupiah output. Nilai ini dijadikan patokan untuk menghitung kebutuhan batubara pada periode selanjutnya. Perhitungan proyeksi kebutuhan batubara di periode selanjutnya dilakukan mengalikan nilai intensitas energi batubara tersebut dengan hasil peramalan nilai output dari industri metalurgi. Sebelum dilakukan peramalan, perlu dilakukan plot data dari nilai output industri metalurgi dalam bentuk grafik yang dinyatakan pada Gambar berikut. Berdasarkan plot datanya, data tersebut mempunyai pola tren yang mengalami peningkatan dan pola acak. Dengan demikian, metode peramalan yang dapat digunakan adalah peramalan regresi dan rataan bergerak (moving average). Hasil perhitungan menunjukkan peramalan yang menghasilkan nilai error terkecil adalah dengan teknik regresi. Berikut adalah hasil peramalan dan perhitungan kebutuhan batubara sektor industri logam dasar ini. 72

73 Laporan Akhir Berdasarkan perhitungan tersebut, kebutuhan batubara diproyeksikan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan nilai output industri metalurgi. Pada 2016, kebutuhan batubara adalah ton, lalu meningkat menjadi pada 2017, lalu meningkat menjadi ton pada 2018 dan menjadi ton pada Industri Pulp dan Kertas merupakan industri yang mengkonsumsi sekitar 0,6% dari konsumsi batubara nasional periode Dikarenakan tidak tersedianya data kapasitas terpasang dan rencana penginkatan kapasitas produksi hasil industri pulp dan kertas dalam negeri, perhitungan proyeksi kebutuhan batubara industri pulp dan kertas menggunakan perhitungan opsi kedua yaitu proyeksi dengan peramalan time series dari data output industri. Pada survei Industri Besar dan Sedang BPS, industri pulp yaitu industri kertas dan barang dari kertas mempunyai kode dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu 17 (untuk periode 2010 dst.) dan 210 (untuk periode 2009 dan sebelumnya). Berikut adalah data output barang yang dihasilkan (dalam rupiah) dari industri semen pada periode , bersama dengan data konsumsi batubara dalam ton dan GWh serta intensitas energi batubaranya. Adapun konversi satuan batubara dari ton menjadi GWh dilakukan dengan perhitungan nilai kalori kkal/kg dan faktor konversi 0, kwh/kkal. 73

74 Intensitas energi batubara merupakan nilai yang menyatakan berapa besar energi batubara (dalam GWh) yang dibutuhkan untuk menghasilkan output dari industri pulp dan kertas senilai 1 milyar rupiah. Rata-rata intensitas energi batubara dalam industri pulp dan kertas periode adalah sebesar 0,04 GWh/milyar rupiah output. Nilai ini dijadikan patokan untuk menghitung kebutuhan batubara pada periode selanjutnya. Perhitungan proyeksi kebutuhan batubara di periode selanjutnya dilakukan mengalikan nilai intensitas energi batubara tersebut dengan hasil peramalan nilai output dari industri pulp dan kertas. Sebelum dilakukan peramalan, perlu dilakukan plot data dari nilai output industri pulp dan kertas dalam bentuk grafik yang dinyatakan pada Gambar V.5 berikut. Berdasarkan plot datanya, data tersebut mempunyai pola tren yang mengalami peningkatan dan pola acak. Dengan demikian, metode peramalan yang dapat digunakan adalah peramalan regresi dan rataan bergerak (moving average). Hasil perhitungan menunjukkan peramalan yang menghasilkan nilai error terkecil adalah dengan teknik regresi. Berikut adalah hasil peramalan dan perhitungan kebutuhan batubara sektor pulp ini. 74

75 Laporan Akhir Berdasarkan perhitungan tersebut, kebutuhan batubara diproyeksikan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan nilai output industri pulp dan kertas. Pada 2016, kebutuhan batubara adalah ton, lalu meningkat menjadi pada 2017, lalu meningkat menjadi ton pada 2018 dan menjadi ton pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan industri yang mengkonsumsi sekitar 1,3 % dari konsumsi batubara nasional periode Dikarenakan tidak tersedianya data kapasitas terpasang dan rencana pengingkatan kapasitas produksi hasil industri TPT dalam negeri, perhitungan proyeksi kebutuhan batubara industri TPT menggunakan perhitungan opsi kedua yaitu proyeksi dengan peramalan time series dari data output industri. Pada survei Industri Besar dan Sedang BPS, industri TPT mempunyai kode dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu 13 (untuk periode 2010 dst.) dan 171 (untuk periode 2009 dan sebelumnya). Berikut adalah data output barang yang dihasilkan (dalam rupiah) dari industri semen pada periode , bersama dengan data konsumsi batubara dalam ton dan GWh serta intensitas energi batubaranya. Adapun konversi satuan batubara dari ton menjadi GWh dilakukan dengan perhitungan nilai kalori kkal/kg dan faktor konversi 0, kwh/kkal. 75

76 Intensitas energi batubara merupakan nilai yang menyatakan berapa besar energi batubara (dalam GWh) yang dibutuhkan untuk menghasilkan output dari industri TPT senilai 1 milyar rupiah. Rata-rata intensitas energi batubara dalam industri TPT periode adalah sebesar 0,025 GWh/milyar rupiah output. Nilai ini dijadikan patokan untuk menghitung kebutuhan batubara pada periode selanjutnya. Perhitungan proyeksi kebutuhan batubara di periode selanjutnya dilakukan mengalikan nilai intensitas energi batubara tersebut dengan hasil peramalan nilai output dari industri TPT. Sebelum dilakukan peramalan, perlu dilakukan plot data dari nilai output industri TPT dalam bentuk grafik yang dinyatakan pada Gambar berikut. Berdasarkan plot datanya, data tersebut mempunyai pola tren yang mengalami peningkatan dan sedikit pola acak. Dengan demikian, metode peramalan yang dapat digunakan adalah peramalan regresi dan rataan bergerak (moving average). Hasil perhitungan menunjukkan peramalan yang menghasilkan nilai error terkecil adalah dengan teknik regresi. Berikut adalah hasil peramalan dan perhitungan kebutuhan batubara sektor industri logam dasar ini. 76

77 Laporan Akhir Berdasarkan perhitungan tersebut, kebutuhan batubara diproyeksikan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan nilai output industri pulp dan kertas. Pada 2016, kebutuhan batubara adalah ton, lalu meningkat menjadi ton pada 2017, lalu meningkat menjadi ton pada 2018 dan menjadi ton pada Proyeksi kebutuhan batubara sektor industri pada ini merupakan akumulasi dari proyeksi kebutuhan batubara sektor industri semen, metalurgi, pulp, pupuk dan tekstil. Gambar berikut menampilkan grafik proyeksi pertumbuhan kebutuhan batubara sektor industri non PLTU periode

78 Pada tabel dan gambar berikut ditampilkan hasil perhitungan kebutuhan batubara domestik untuk semua konsumen batubara, yang terdiri dari sektor PLTU, semen, tekstil, pulp, metalurgi dan pupuk. 78

79 Laporan Akhir Berdasarkan uraian atas produksi batubara, konsumsi batubara domestik dan keberjalanan kebijakan DMO batubara periode yang telah dijelaskan pada Bab III, beberapa isu/permasalahan yang dapat dianalisis sebagai faktor yang mempengaruhi keberjalanan kebijakan DMO batubara tersebut adalah sebagai berikut. Peningkatan kebutuhan batubara sebagai salah satu sumber energi dominan akan berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan permintaan akan energi listrik sehingga terjadi peningkatan produksi energi listrik dan peningkatan output produksi dari sektor industri. Peningkatan permintaan listrik tersebut akan meningkatkan bahan bakar dari pembangkit, salah satunya kebutuhan batubara dari PLTU sebagai pembangkit yang mendominasi bauran sumber energi listrik nasional. Peningkatan output produksi industri tersebut juga 79

80 akan meningkatan kebutuhan batubara pada industri semen, tekstil, pulp, metalurgi dan pupuk. Dengan demikian, jumlah total konsumsi batubara nasional juga dapat meningkat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari sebesar 6,82% pada 2010, 6,44% pada 2011, 6,19% pada 2012, 5,56% pada 2013, 5,02% pada 2014 hingga mencapai 4.79% pada Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan rata-rata penurunan 6,7% per tahun secara tidak langsung juga berkontribusi terhadap ketidaktercapaiannya target DMO batubara selama dengan rata-rata tingkat pencapaian target 76% per tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik berikut. Pendekatan yang dilakukan dalam konsep kebijakan DMO batubara saat ini sebagaimana yang diatur dalam Permen ESDM No.34 tahun 2009 adalah pendekatan kuantitas batubara produsen-konsumen, tanpa memperhatikan kesesuaian kualitas. Mekanisme penentuan target penjualan batubara domestik (DMO) adalah dengan melihat total jumlah konsumsi batubara dari tiap konsumen dan total jumlah rencana produksi batubara dari sejumlah produsen batubara yang diwajibkan. Lalu dihitung persentase penjualan batubara domestik minimum yang harus dipenuhi dibagi rata untuk tiap perusahaan berdasarkan perbandingan total rencana produksi dengan total rencana konsumsi batubara. Misalnya 80

81 Laporan Akhir total rencana produksi batubara adalah 400 juta ton, dan total rencana konsumsi adalah 100 juta ton, dan dari perhitungan didapat hasil 25% batubara akan dikonsumsi dalam negeri, maka angka 25% ini akan dikalikan dengan total rencana produksi tiap perusahaan dan hasilnya adalah jumlah penjualan dalam negeri minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan tersebut. Faktor kualitas batubara dan kontrak penjualan yang telah berlangsung, tidak diperhatikan dalam kebijakan DMO menurut Permen ESDM tersebut. Keberadaan batubara di tiap perusahaan batubara adalah unik, karena berbeda-beda dalam parameter kualitas nilai kalori, abu, sulfur, lengas, dan lainnya. Sifat batubara yang berbeda-beda tersebut adalah given sesuai dengan proses pembentukan dan karakteristik geologi lokalnya, sehingga tidak semua kualitas batubara yang tersedia dapat sesuai dengan kualitas batubara yang diinginkan oleh konsumen domestik, terutama PLTU. Kualitas batubara bagi perusahaan-perusahaan batubara yang diwajibakn DMO terdistribusi secara beragam mulai dari low rank coal, medium rank coal, high rank coal dan very high rank coal ( kkal/kg, gar) dengan mayoritas kualitas low rank coal dan medium rank coal. Kualitas batubara yang dibutuhkan PLTU saat ini (existing) adalah batubara dengan nilai CV kkal/kg (gar) dengan rata-rata kkal/kg (gar), atau medium rank coal. Dengan demikian, tidak semua perusahaan batubara yang diwajibkan DMO dapat menjual batubaranya di dalam negeri. Melihat fakta tidak sesuainya kualitas batubara yang dimiliki tiap perusahaan dengan kualitas yang dibutuhkan PLTU, serta tuntutan kewajiban pemenuhan jumlah penjualan batubara dalam negeri, maka terjadi transfer kuota DMO antar perusahaan tambang. Transfer kuota DMO batubara dilakukan dengan transaksi jual beli dokumen penjualan batubara dari satu perusahaan yang sudah melebihi kuota kewajiban DMO-nya kepada perusahaan yang belum dapat memenuhi kuota DMO batubara. Transfer kuota DMO batubara yang dilakukan saat ini belum terinventarisir dalam suatu sistem yang baik yang dapat mengakomodir informasi mengenai permintaan dan penyediaan pasokan batubara dalam negeri. PLTU sebagai konsumen batubara domestik terbesar merupakan pihak yang berperan penting dalam pemenuhan target konsumsi batubara domestik. Tahapan pembangunan PLTU dimulai dari : Perencanaan, Pengadaan (Investasi PLN atau Swasta), Financial Closing, Kontrak Power Purchase Agreement, Konstruksi, Commisioning dan COD (Commercial 81

82 Operating Date). Proses tersebut secara normal berlangsung sekitar 3 tahun. Hingga saat ini masih terdapat beberapa PLTU yang belum selesai pembangunannya, terutama proyekproyek PLTU yang berasal dari program penyediaan pembangkit listrik yaitu FTP (Fast Track Program) I yang akan menyediakan PLTU sejumlah total MW dan FTP II yang akan menyediakan pembangkit sejumlah MW dengan pembangkit yang berjenis PLTU sebanyak MW. Menurut dokumen RUPTL , hingga akhir 2015, dari total proyek PLTU dalam FTP I dan FTP II sejumlah MW, terdapat MW PLTU yang masih dalam tahap konstruksi. Berdasarkan sumber yang sama, kemajuan proyek PLTU sejumlah MW dalam Program Pembangkit MW pun baru mencapai 5% untuk tahap konstruksi, 24% dalam tahap pendanaan, 49% dalam tahap pengadaan, 11% dalam tahap commited dan 14% dalam tahap rencana. PLTU adalah end-user yang mendominasi konsumsi batubara domestik selama , dengan persentase 87%. Terlambatnya operasional PLTU yang dibangun menyebabkan tidak tercapainya target DMO batubara. Keterlambatan pembangunan proyek PLTU timbul akibat kendala pada faktor teknis seperti ketersediaan jumlah peralatan stringing yang terbatas menyebabkan adanya waiting time dalam proses konstruksi pembangkit, dan faktor non teknis seperti proses pembebasan lahan yang sering terhambat serta proses financial closing atau ketepatan memenuhi jadwal pembiayaan dari banyak proyek listrik swasta terkait dengan perubahan kurs mata uang dan yang lainnya. Di sisi PLTU, harga batubara diinginkan serendah mungkin agar biaya bahan bakar tetap rendah dan subsidi listrik terkendali. Harga bahan bakar merupakan kompoenen pembiayaan yang mendominasi perhitungan harga dasar listrik. Jika harga bahan bakar terlalu tinggi, maka harga dasar listrik juga akan meningkat dan subsidi listrik yang diberikan oleh pemerintah juga akan terpengaruh. Di sisi perusahaan tambang batubara, harga diinginkan pada level tertentu yang tetap memberikan margin keuntungan bagi perusahaan agar bisnis perusahaan tambang batubara dapat tetap berkesinambungan. Hal tersebut juga penting untuk menjaga kelangsungan pasokan batubara dalam jangka panjang. Harga batubara untuk penjualan kepada PLTU yang berlaku saat ini dihitung dalam basis CIF (Cost Insurance Freight), yang dihitung berdasarkan harga dalam basis FOB Vessel (berdasarkan Harga Batubara Acuan) yang ditambahkan dengan asuransi dan ongkos 82

83 Laporan Akhir transportasi hingga mencapai pelabuhan batubara/stockpile PLTU. Satu faktor penentu HBA (Harga Batubara Acuan) adalah pasar batubara global, sehingga sering terjadi fluktuasi harga. Saat harga batubara tinggi, pihak PLTU menginginkan harga yang lebih rendah yang dihitung dengan mekanisme cost plus margin. Namun saat harga batubara rendah, pihak PLTU menginginkan harga yang dihitung dalam mekanisme HBA. Saat harga batubara tinggi, timbul tendensi perusahaan tambang batubara untuk mengekspor batubara karena pasar internasional mampu membeli batubara dengan harga tinggi, akibatnya PLTU dalam negeri tidak mendapatkan batubara dengan kualitas yang dibutuhkan. Penentuan harga batubara untuk PLTU perlu segera dirumuskan dalam suatu mekanisme yang tetap (fixed) dalam suatu instrumen kebijakan tertentu. Hal ini penting untuk menjaga kepastian pasokan batubara PLTU dalam jangka panjang. Saat ini belum ada program hilirisasi batubara yang telah terimplementasi secara komersial dalam skala yang besar. Kegiatan gasifikasi, pencairan serta upgrading batubara masih dalam tahap pilot project. Jika kegiatan hilirisasi batubara ini dapat diakselerasi, akan dapat berpotensi meningkatkan jenis potensi konsumen batubara domestik baru dari beberapa industri, contohnya industri petrokimia yang menggunakan gas alam dapat disubstitusi dengan gas yang disintesa dari gasifikasi batubara. Hal tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan konsumsi batubara nasional. 83

84 Target DMO Batubara menurut dokumen RPJMN adalah sebagai berikut. Produksi Batubara Total (juta ton) DMO (juta ton) Persentase DMO 24% 26% 29% 32% 60% Ekspor (juta ton) Target produksi batubara ditetapkan menurun tiap tahunnya mulai dari 425 juta ton pada 2015, 419 juta ton pada 2016, 413 juta ton pada 2017, 406 juta ton pada 2018 dan 400 juta ton pada 2019, dengan laju penurunan target produksi rata-rata 1,5% per tahun. Persentase konsumsi domestik ditargetkan meningkat tiap tahunnya, yaitu 24% atau 102 juta ton pada 2015, 26% atau 111 juta ton pada 2016, 29% atau 121 juta ton pada 2017, 32% atau 131 juta ton pada 2018 serta 60% atau 240 juta ton pada 2019, dengan laju peningkatan rata-rata 8% pada rentang namun terjadi peningkatan yang cukup signifikan antara target pada 2018 dan 2019 dimana terjadi loncatan target konsumsi dari 32% menjadi 60% produksi nasional. Dalam penentuan ketercapaian target DMO batubara terutama sebesar 60% pada 2019 tersebut, akan dilakukan perbandingan antara target DMO menurut RPJMN dengan hasil proyeksi perhitungan kebutuhan batubara yang telah dilakukan oleh Tim 84

85 Laporan Akhir Kajian, data prediksi kebutuhan batubara domestik dari Kementerian ESDM, serta proyeksi kebutuhan batubara dari data industri (PT PLN (Persero) dan Asosiasi Semen Indonesia). Perbedaan cara perhitungan dan asumsi yang digunakan dalam proyeksi kebutuhan batubara yang bersumber pada data KESDM dan data industri tersebut ditampilkan pada tabel berikut. Berikut adalah perbandingan hasil perhitungan proyeksi kebutuhan batubara dengan Target DMO sesusai dokumen RPJMN. Proyeksi kebutuhan batubara telah dilakukan perhitungannya sesuai yang disajikan dalam Bab V, perbandingannya dengan target DMO RPJMN ditampilkan pada tabel berikut. 85

86 Berdasarkan tabel dan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa selama periode , terdapat deviasi dimana hasil proyeksi kebutuhan tidak mencapai target konsumsi. Pada 2016, terdapat kekurangan dari target sebesar 11 juta ton, pada 2017 terdapat selisih 18 juta ton, pada 2018 terdapat selisih sebesar 9 juta ton dan selisih terbesar terjadi pada tahun 2019 dimana sebesar 59 juta ton konsumsi batubara masih dibutuhkan untuk mencapai target sebesar 240 juta ton. Data prediksi kebutuhan batubara yang disampaikan oleh Kementerian ESDM dapat dilihat secara rinci pada Lampiran C. Adapun perbandingan antara data prediksi kebutuhan batubara tersebut dengan target DMO sesuai dokumen RPJMN adalah sebagai berikut. 86

87 Laporan Akhir Berdasarkan tabel dan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa selama periode , terdapat deviasi dimana data prediksi kebutuhan dari Kementerian ESDM tidak mencapai target konsumsi batubara. Pada 2016 dan 2017, terdapat kekurangan dari target sebesar 9 juta ton, pada 2018 terdapat selisih sebesar 3 juta ton dan selisih terbesar terjadi pada tahun 2019 dimana sebesar 67 juta ton konsumsi batubara masih dibutuhkan untuk mencapai target sebesar 240 juta ton. Proyeksi kebutuhan batubara juga disampaikan dari pihak industri, terutama dari PT. PLN (Persero) dan Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Kedua sektor ini merupakan end user konsumen batubara yang mendominasi konsumsi batubara domestik (total kontribusi 96%, terdiri dari 87% PLTU dan 9% semen) secara historis sepanjang Untuk data proyeksi dari sektor industri lainnya (metalurgi, pupuk, pulp dan tekstil) yang disampaikan berikut merupakan gabungan dari data perhitungan tim kajian. 87

88 Berdasarkan tabel dan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa selama periode , terdapat deviasi bahwa proyeksi kebutuhan batubara tidak mencapai target konsumsi batubara. Pada 2016 terdapat kekurangan dari target sebesar 17 juta ton, pada 2017 dan 2018 terdapat selisih sebesar 11 juta ton dan selisih terbesar terjadi pada tahun 2019 dimana sebesar 108 juta ton konsumsi batubara masih dibutuhkan untuk mencapai target sebesar 240 juta ton. Perbandingan pencapaian target DMO batubara dari ketiga sumber proyeksi kebutuhan batubara tersebut ditampilkan pada tabel berikut. 88

89 Laporan Akhir Pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa target DMO batubara di tiap tahun berbeda tingkat pencapaiannya. Pada tahun 2016, dari target DMO sebesar 26%, diproyeksikan akan tercapai sebesar 24% menurut proyeksi hasil perhitungan Tim Kajian dan data ESDM serta menurut proyeksi kebutuhan batubara dari data industri, pencapaiannya adalah 22%. Pada tahun 2017 hasil perhitungan tim kajian menunjukkan proyeksi konsumsi batubara sebesar 25%, menurut KESDM sebesar 27% serta menurut data industri sebesar 27%, dari target DMO batubara sebesar 29%. Pada 2018, target DMO batubara sebesar 32%, diproyeksikan akan tercapai sebesar 30% menurut perhitungan tim kajian, 31% menurut KESDM dan 30% menurut data industri. Pada 2019 dimana terjadi peningkatan target DMO yang cukup signifikan yaitu sebesar 60%, menurut proyeksi hasil perhitungan target tersebut akan tercapai sebesar 45%, sedangkan menurut proyeksi konsumsi dari KESDM target tersebut akan tercapai sebesar 43% dan menurut proyeksi konsumsi dari data industri target tersebut akan tercapai sebesar 34%. Dari perbandingan pencapaian antara target DMO batubara periode menurut dokumen RPJMN dengan tiga proyeksi kebutuhan batubara yang telah ditampilkan tersebut, dapat diukur tingkat pencapaian target DMO batubara tersebut berdasarkan indikator pengukuran kinerja yang digunakan oleh Bappenas, yaitu sebagai berikut. 1) Jika proyeksi pertumbuhan batubara mencapai >90% dari target DMO, maka pencapaian terindikator hijau atau pencapaian target tercapai / on track. 2) Jika proyeksi pertumbuhan batubara berada di antara 60% hingga 90% dari target DMO, maka pencapaian terindikator kuning atau diperlukan kerja keras. 3) Jika proyeksi pertumbuhan batubara mencapai <60% dari target DMO, maka pencapaian terindikator merah atau target sulit tercapai. 89

90 Pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa pencapaian target DMO batubara di tahun berdasarkan proyeksi yang dilakukan bervariasi tingkat pencapaiannya di tiap tahun. Pada tahun 2016, capaian dari target DMO batubara relatif baik yaitu capaian sekitar 90% dari perhitungan tim kajian, 91% dari perhitungan Kementerian ESDM dan 87% dari perhitungan industri, sehingga terkategorikan indikator pencapaian hijau dan kuning. Hal tersebut juga terjadi pada tahun 2017 dan 2018 dimana capaian target DMO batubara juga rata-rata terkategorikan indikator hijau. Pada tahun 2019 dimana persentase target DMO paling tinggi yaitu sebesar 240 juta ton, menurut proyeksi hasil perhitungan target tersebut akan tercapai sebesar 75% atau 180 juta ton (indikator kuning), sedangkan menurut proyeksi konsumsi dari KESDM target tersebut akan tercapai sebesar 72% atau 172 juta ton (indikator kuning) dan menurut proyeksi konsumsi dari data industri target tersebut akan tercapai sebesar 34% atau 135 juta ton (indikator merah). Berdasarkan hasil tersebut, maka target DMO batubara sebesar 240 juta ton atau 60% produksi nasional pada 2019 dapat disimpulkan sulit tercapai. Namun demikian, dalam rangka meningkatkan persentase konsumsi batubara domestik dari rata-rata sebesar 20% produksi batubara nasional pada menuju 45% produksi batubara nasional pada tahun 2019, tetap perlu dilakukan perumusan berbagai strategi dan program prioritas untuk mencapainya. Perumusan strategi pencapaian proyeksi konsumsi batubara domestik periode dirumuskan berdasarkan hasil analisis pada tantangan pencapaian target DMO batubara , yang ditampilkan sebagai berikut. 90

91 Laporan Akhir Penjelasan dari tiap strategi yang disebutkan dalam tabel tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi adalah tujuan dari terseleranggaranya pemerintahan, sehingga upaya untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi harus sesuai dengan program-program yang dicanangkan pemerintah saat ini antara lain proyek penyediaan infrastruktur strategis nasional, pengembangan kawasan industri, dan lain sebagainya. Sebagai hasil dari penerapan paket kebijakan ekonomi tahap 1, deregulasi di berbagai bidang untuk kemudahan investasi telah dapat diwujudkan. Untuk selanjutnya, perlu dilanjutkan pengimplementasian dari paket kebijakan ekonomi tahap II yang akan berfokus pada perbaikan sistem logistik, peningkatan investasi infrastruktur, perbaikan pendidikan dan pelatihan vokasi, serta kebijakan industrialisasi. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan 91

92 ekonomi secara menyeluruh, maka pertumbuhan industri serta peningkatan permintaan terhadap energi akan terjadi sehingga konsumsi batubara domestik dapat meningkat pula. Diperlukan suatu mekanisme penjualan batubara dalam negeri yang lebih sesuai dengan pasar batubara domestik yang sudah ada. Revisi terhadap Permen ESDM tentang DMO batubara perlu memperhatikan kebutuhan dan ketersediaan batubara domestik dari sisi kuantitas dan kualitas. Jika ada beberapa pihak konsumen yang telah melakukan kontrak penjualan dengan satu atau beberapa perusahaan tambang batubara dikarenakan kualitas batubara yang sesuai, akan diakomodir mekanisme penjualannya dalam revisi Permen ESDM tersebut. Jika ada tambahan kebutuhan batubara dari konsumen yang belum terakomodir oleh kontrak jual beli batubara (uncontracted), maka kebutuhan akan sejumlah batubara tersebut akan diwajibkan pada produsen-produsen batubara yang memiliki batubara yang mendekati spesifikasi kualitas batubara tersebut. Produsen batubara yang kualitas batubaranya tidak dapat dijual di dalam negeri, boleh melakukan ekspor. Namun, sebagai bentuk insentif produsen batubara yang dapat menjual batubara secara domestik, akan diberlakukan tarif royalti khusus (diskon royalti). Konsep zonasi dalam supply chain batubara adalah konsep peta distribusi pemasokan dan permintaan batubara sesuai dengan zona cakupan transportasi batubaranya. Contoh batubara Kalimantan Selatan mempunyai cakupan zonasi wilayah yaitu Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan bagian selatan Sulawesi. Artinya kebutuhan PLTU dari wilayah tersebut harus dan hanya dapat dipenuhi oleh batubara Kalimantan Selatan. Tidak hanya PLTU, namun untuk industri lainnya seperti semen, tekstil, pulp, briket, metalurgi (smelter) juga dipenuhi oleh batubara tersebut. Perencanaan ke depan perlu dirumuskan dan dikaji lebih lanjut karena dibutuhkan integrasi dan sinergi antara perencanaan pasokan batubara dengan perencanaan pembangunan industri konsumennya. 92

93 Laporan Akhir Peta di atas menggambarkan posisi industri PLTU (kotak putih) dan semen (kotak berwarna abu-abu) terhadap lokasi tambang batubara (lingkaran kecil berwarna merah, kuning, atau biru). Lokasi tambang batubara yang berwarna merah merupakan lokasi batubara berkalori tinggi, warna kuning mengindikasikan batubara berkalori sedang dan warna biru untuk batubara berkalori rendah. Selanjutnya dari peta tersebut akan ditentukan alur distribusi pasokan batubara kepada konsumen yang telah ada saat ini sehingga dapat ditentukan zonasi dari sistem pasokan-permintaan batubara tersebut. Sebagai bahan perencanaan PLTU dan industri lain selanjutnya dapat ditentukan berapa maksimum jarak yang dapat ditempuh untuk memasok batubara dalam harga yang ekonomis, berdasarkan zonasi-zonasi yang ada tersebut. Kebutuhan batubara PLTU existing berkisar di nilai kalori sekitar kkal/kg, gar hingga kkal/kg, gar, atau termasuk batubara berkategori medium-high rank. Hal tersebut menyebabkan produsen batubara yang mempunyai kualitas batubara diluar rentang tersebut, tidak dapat menjual batubaranya di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan PLTU. Namun demikian, pasokan batubara dengan kualitas tersebut yang saat ini tersedia perlu dijamin kemanan pasokannya selama umur operasional PLTU. Selain itu, beberapa 93

94 PLTU dipasok oleh batubara yang berasal dari lokasi yang jauh, dikarenakan tidak tersedianya batubara yang memenuhi spesifikasi kualitas yang diinginkannya. Contoh, PLTU Nagan Raya yang berada di Aceh harus dipasok oleh batubara dari Kalimantan Selatan karena hanya batubara dari Provinsi tersebut yang sesuai dengan spesifikasi boiler PLTUnya. Sebagai solusi agar batubara diluar spesifikasi yang diinginkan oleh PLTU dapat dimanfaatkan, dapat diajukan suatu pembangunan infrastruktur penangangan batubara (coal handling facility) yang berperan sebagai sentra pencampuran batubara (coal blending) untuk memenuhi kualitas batubara yang diinginkan oleh konsumen. Adapun skema dari Coal Handling Facility ini dapat dilihat pada grafik berikut. Lebih luas lagi, Indonesia perlu melakukan perumusan konsep Indonesian Coal Infrastructure Plan (ICIP) dalam mendukung pasar batubara domestik. Dalam ICIP tersebut, fasilitas yang disediakan tidak hanya terbatas pada Coal Handling Facility saja, namun juga sarana pelabuhan batubara khusus dan jalur transportasi darat untuk pengangkutan batubara menuju lokasi-lokasi industri semen, pulp, tekstil dan lainnya. Saat ini, dikarenakan tidak semua perusahaan tambang batubara memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan konsumen domestik, business as usual yang terjadi dalam pasar batubara domestik adalah transfer kuota DMO batubara. Transfer kuota DMO batubara tersebut, jika dilakukan secara adil dan transparan serta diatur dalam instrumen hukum, merupakan salah satu solusi dalam permasalahan pemenuhan target DMO dari sisi 94

95 Laporan Akhir perusahaan tambang batubara. Dengan demikian, transfer kuota DMO batubara penting untuk dilakukan secara transparan. Perumusan sistem informasi online akan kesediaan dan pemenuhan kebutuhan batubara dari konsumen (PLTU dan lainnya) akan menghimpun semua data kebutuhan batubara dari semua konsumen dan semua ketersediaan pasokan batubara berbagai kualitas dari produsen. Dengan demikian, akan terjadi transparansi secara waktu nyata (real time) akan pihak konsumen mana saja yang belum terpenuhi kebutuhan batubaranya, bagaimana kualitas batubara yang dicari, serta pihak produsen mana saja yang dapat menyediakan batubara tersebut. Adanya sistem informasi tersebut akan memudahkan proses pemenuhan target DMO batubara baik dari sisi produsen dan konsumen, serta pengawasan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM. Instrumen kebijakan merupakan salah satu dukungan pemerintah yang dapat diberikan untuk menyelesaikan permasalahan non teknis dalam pembangaunan PLTU seperti seperti pembebasan lahan. Lokasi-lokasi yang berpotensi untuk dijadikan lokasi pembangkit dapat dirumuskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai lokasi strategis penyediaan energi. Selain itu, bagi proyek-proyek PTLU strategis (berkapasitas besar dan berlokasi di pusat beban) yang dikembangkan oleh PT PLN sendiri, dapat diberikan insentif investasi berupa Penyertaan Modal Negara atau bentuk insentif lainnya. Diperlukan suatu mekanisme penentuan harga batubara untuk mengamankan pasokan dalam negeri, agar tetap terjaga ketersediaannya saat kondisi pasar batubara global membaik atau memburuk. Selama ini, ketidaksepakatan harga antara PLTU dan produsen batubara sering terjadi, yaitu apakah menggunakan harga berbasis HBA atau harga yang didasarkan pada mekanisme cost plus margin. Perlu disusun suatu mekanisme harga sedemikian rupa yang berdasarkan pasar batubara domestik (tanpa indeks harga dari luar negeri) atau mekanisme harga yang menggunakan floor price dan ceiling price. Besarnya floor price dapat ditetapkan pada basis harga cost plus margin, tujuannya adalah untuk mengamankan posisi produsen batubara agar tetap dapat menjalankan bisnis mereka secara profitable. Besarnya ceiling price dapat ditetapkan setelah memperhatikan maksimum subsidi yang dapat diberikan pemerintah kepada PT PLN dalam hal penentuan tarif listrik, dikarenakan harga bahan bakar sangat mempengaruhi formulasi penentuan 95

96 harga listrik. Sebagai bahan pertimbangan, saat ini telah terbit Keputusan Menteri ESDM No K/30/MEM/2016 tentang Patokan Besaran Komponen Biaya Produksi untuk Perhitungan Harga Dasar Batubara untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang. Dalam dokumen tersebut, terdapat rentang biaya produksi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk negoisasi harga antar produsen batubara dan pihak PLTU Mulut Tambang, yang dapat diimplementasikan kepada seluruh PLTU lainnya. Saat ini, belum ada proyek gasifikasi, pencairan serta upgrading batubara yang telah beroperasi dalam skala komersial di Indonesia. Padahal, produk derivatif dari hilirasi batubara tersebut seperti gas, batubara cair (heavy oil atau coal water mixture), serta upgraded coal dapat dimanfaatkan sebagai bahan subsitusi di banyak industri. Gas alam yang saat ini banyak digunakan di kalangan industri terutama pupuk dapat disubsitusi dengan gas yang disintesa dari gasifikasi batubara. Selain pupuk, industri petrokimia lainnya seperti metanol dan amonia juga dapat menggunakan produk gas hasil gasifikasi batubara sebagai bahan bakunya. Berikut ditampilkan rencana pembangunan industri berbasis migas, batubara dan mineral logam yang disampaikan oleh Kementerian Perindustrian. Dengan adanya rencana pembangunan industri tersebut dapat menimbulkan potensi bertambahnya jenis konsumen end user batubara di Indonesia sehingga dapat 96

97 Laporan Akhir meningkatkan penggunaan batubara baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi. Dalam perumusan strategi hilirisasi batubara lebih lanjut, perlu dilakukan pendefinisian yang jelas mengenai batasan hilirisasi yang dimaksud. Sebagai contoh, untuk proses upgrading batubara, perlu didefinisikan berapa batasan minimum peningkatan kalori batubara untuk dapat mengkategorikan kegiatan upgrading batubara tersebut, apakah cukup dengan aktivitas sederhana berupa pengeringan moisture batubara yang membuat nilai kalori batubara meningkat sudah dapat disebut dengan hilirisasi atau perlu dilakukan aktivitas pengeringan yang lebih kompleks dengan teknologi-teknologi tertentu, baru dapat terkategorikan hilirisasi batubara. Selain itu, pendefinisian mengenai kewajiban DMO bagi perusahaan tambang batubara yang melakukan hilirisasi. Jika hilirisasi tersebut merupakan kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan pertambangan, maka perusahaan tersebut tetap diwajibkan DMO terhadap batubara dan produk hasil hilirisasinya. Jika hilirisasi tersebut merupakan industri yang terpisah, maka perusahaan tambang batubara yang memasok batubara ke industri baru tersebut, telah melaksanakan kewajiban DMOnya. Teknologi hilirisasi batubara yang telah dilakukan penelitiannya oleh Tekmira selama ini (boiler untuk Low Rank Coal, Underground Coal Gasification, dan lainnya) hendaknya dapat ditransformasikan menjadi industri yang komersial dengan diinisiasi oleh pemerintah. Dukungan terhadap industri tersebut dapat berupa pemberian insentif-insentif khusus. 97

98

99 Laporan Akhir Beberapa kesimpulan sebagai hasil dari kajian ini adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan perkembangan perekonomian Indonesia saat ini, perkembangan industri kelistrikan, manufaktur maupun sumber daya alam, kajian evaluasi dan perhitungan kembali target DMO batubara nasional dalam dokumen RPJMN memberikan hasil perhitungan proyeksi bahwa total konsumsi batubara nasional dapat diserap sebesar 45% atau 180 juta ton batubara pada tahun Angka ini 15% lebih rendah dari target sebelumnya pada RPJMN sebesar 60% atau 240 juta ton. 91% dari 180 juta ton tersebut akan dikonsumsi oleh PLTU, 6% oleh industri semen, 3% sisanya oleh industri pupuk, tekstil, metalurgi, dan pulp. b. Berbagai faktor yang dianalisis sebagai penentu ketercapaian target DMO batubara dapat dilihat dari analisis terhadap isu/permasalahan yang mempengaruhi ketercapaian target DMO batubara pada periode sebelumnya yaitu antara lain disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi; perbedaan karakteristik kualitas batubara yang tersedia dengan kebutuhan PLTU dalam negeri yang belum diakomodir dalam kebijakan DMO batubara saat ini; kendala teknis, finansial dan permasalahan lahan dalam pembangunan PLTU; serta mekanisme harga batubara domestik yang belum mendukung produsen dan konsumen batubara yaitu antara ditentukan oleh perumusan berdasarkan Harga Batubara Acuan atau perumusan berdasarkan Harga cost plus margin. c. Sebagai upaya untuk mengamankan target DMO batubara ke depannya, maka beberapa terobosan langkah strategis perlu dilakukan antara lain dalam hal penyempurnaan kebijakan DMO batubara, perumusan harga batubara, upaya percepatan pembangunan PLTU, perumusan zonasi serta infrastruktur batubara nasional yang terintegarsi, perumusan sistem informasi penyediaan batubara secara online, dan percepatan hilirisasi batubara. 99

100 Dengan melihat berbagai perumusan strategi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat disusun program-program prioritas untuk mendukung pencapaian target konsumsi batubara periode yang dapat dilihat pada Gambar VII.1 berikut. Untuk mendukung tercapainya program prioritas optimalisasi DMO batubara tersebut, telah disusun rencana aksi dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait. Rencana Aksi disusun berdasarkan masukan dari Kementerian/Lembaga terkait yang diundang dalam kegiatan Focus Group Discussion dan Seminar Akhir Kajian. Adapun detail dari Rencana Aksi tersebut dapat dilihat pada Lampiran D. 100

101 Laporan Akhir Sebagai tindak lanjut dari kajian ini dan sebagai upaya untuk mewujudkan program prioritas tersebut, beberapa kajian lanjutan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut. a. Kajian perumusan dan pembuatan Sistem Informasi Penyediaan-Permintaan Batubara Nasional, yang melibatkan Bappenas, Kementerian ESDM, dan asosiasi produsen batubara serta asosiasi konsumen batubara. b. Kajian perumusan Indonesian Coal Infrastructure Plan (ICIP) untuk mendukung pasar batubara domestik terutama penyediaan Coal Handling Facility untuk PLTU untuk mengamankan pasokan batubara PLTU, serta penyediaan sarana transportasi pelabuhan dan darat untuk mendukung pengangkutan batubara menuju lokasi-lokasi konsumen batubara yang merupakan industri non PLTU yaitu semen, pulp, tekstil, dan lainnya. 101

102

103 Laporan Akhir Anonim (2011). Standar Nasional Indonesia: Pedoman pelaporan, sumberdaya dan cadangan batubara, Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Anonim (2014). Indonesian Coal Book 2014/2015 Petromindo.com-APBI. Jakarta: Petromindo.com Anonim. (2015). Executive Summary Pemutakhiran Data dan Neraca Sumber Daya Energi Pusat Sumber Daya Geologi, Kementerian ESDM. Anonim. (2015). Handbook of Energy and Economics Statitstic of Indonesia Jakarta: Kementerian ESDM. Anonim. (2016). International Energy Outlook. Washington DC: US Energy Information Agency. Anonim. (2016). Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) PT PLN (Persero). Arif, I. (2014). Batubara Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Chatfield, C. (2000). Time Series Forecasting. Florida: Chapman &C Hall/CRC. Makridaris, S. G., & Wheelwright, S. C. (1983). Forecasting Methods and Applications. New Jersey: Wiley. Republik Indonesia. (2005). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Badan Perencanaan Nasional. Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri ESDM No 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Dalam Negeri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Republik Indonesia. (2009). Undang Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Presiden Republik Indonesia. Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Badan Perencanaan Nasional. Republik Indonesia. (2015). Rencana Strategis Kementerian ESDM Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Republik Indonesia. (2015). Rencana Strategis Kementerian Perindustrian Jakarta: Kementerian Perindustrian. 103

104

105 Laporan Akhir Daftar PLTU existing dan PLTU Rencana periode

106 106

107 Laporan Akhir 107

108 108

109 Laporan Akhir Daftar Nilai Kalori Tipikal PLTU existing 109

110 110

111 Laporan Akhir Data Prediksi Kebutuhan Batubara dari Kementerian ESDM 111

112 112

113 Laporan Akhir Rencana Aksi untuk Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Batubara

114 114

115 Laporan Akhir 115

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040

NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040 NERACA BAHAN BAKAR BATUBARA SAMPAI DENGAN TAHUN 2040 Oleh : M. Taswin Kepala Subdirektorat Perencanaan Produksi dan Pemanfaatan Mineral dan Batubara Jakarta, 23 Juni 2016 DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis industri didirikan guna memenuhi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification)

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertambangan Batubara Indonesia Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Mineral. Batubara. Kebutuhan. Berjualan. Harga. Patokan. Pemasokan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Mineral. Batubara. Kebutuhan. Berjualan. Harga. Patokan. Pemasokan. No.546, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Mineral. Batubara. Kebutuhan. Berjualan. Harga. Patokan. Pemasokan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Di era yang serba modern seperti saat ini, energi merupakan salah satu hal penting

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Di era yang serba modern seperti saat ini, energi merupakan salah satu hal penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era yang serba modern seperti saat ini, energi merupakan salah satu hal penting dikehidupan manusia, karena konsumsi energi untuk kebutuhan manusia sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Tabel I. Produsen Batu Bara Terbesar di Dunia. 1. Cina Mt. 2. Amerika Serikat Mt. 3. Indonesia 281.

BAB I PENGANTAR. Tabel I. Produsen Batu Bara Terbesar di Dunia. 1. Cina Mt. 2. Amerika Serikat Mt. 3. Indonesia 281. BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Sumber daya berupa bahan tambang di Indonesia bisa dikatakan melimpah. Salah satunya adalah batubara. Indonesia merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di dunia.

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2017 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA BAB I: PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 1 1.1. PELUANG INDUSTRI BATUBARA 2 1.1.1. Potensi Pasar 2 Grafik 1.1. Prediksi Kebutuhan Batubara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang melimpah adalah batubara. Cadangan batubara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEBIJAKAN PENGENDALIAN PRODUKSI DAN DOMESTIC MARKET OBLIGATION Bahan Presentasi Pertemuan Bisnis Tahunan Buyer dan Produsen Batubara Tahun 2015 Oleh : M. Taswin Kepala Subdirektorat Perencanaan Produksi

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2-2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah

Lebih terperinci

Prospek dan Tantangan Batubara Indonesia

Prospek dan Tantangan Batubara Indonesia Prospek dan Tantangan Batubara Indonesia Jeffrey Mulyono PESONA KHATULISTIWA NUSANTARA Seminar Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan (HMTT) Universitas Trisakti Jakarta, 16 Juni 2015 Bahan Bakar Fosil

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2016 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2016 Diterbitkan Oleh: PT. Indo Analisis Copyright @ 2016 DISCALIMER Semua informasi dalam Laporan Industri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Joko Triyanto, Subroto, Marwan Effendy Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG PENINGKATAN NILAI TAMBAH BATUBARA MELALUI KEGIATAN PENGOLAHAN BATUBARA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG PENINGKATAN NILAI TAMBAH BATUBARA MELALUI KEGIATAN PENGOLAHAN BATUBARA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG PENINGKATAN NILAI TAMBAH BATUBARA MELALUI KEGIATAN PENGOLAHAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA

Lebih terperinci

TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH : PUTRI MERIYEN BUDI S

TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH : PUTRI MERIYEN BUDI S TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH NAMA : PUTRI MERIYEN BUDI S NIM : 12013048 JURUSAN : TEKNIK GEOLOGI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar minyak (BBM) dan gas merupakan bahan bakar yang tidak dapat terlepaskan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi

Lebih terperinci

POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN

POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN Sumber batubara di Sumsel cukup besar sekitar 22,24 miliar ton (48% dari total sumber daya batubara di Indonesia) tersebar di 8 kabupaten yaitu Kab. Musi Banyuasin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Batubara telah digunakan sebagai sumber energi selama beratus-ratus tahun dan telah diperdagangkan secara internasional mulai jaman Kekaisaran Romawi. Batubara tidak

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA

KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA KEBIJAKAN DAN PROSPEK PENGELOLAAN BATU BARA DI INDONESIA Oleh: Daulat Ginting Perencana Madya Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Karakteristik Pertambangan Batu bara Ditinjau dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2017 KEMEN-ESDM. Nilai Tambah Mineral. Peningkatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und No.1589, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Gas Bumi. Harga. Pemanfaatan. Penetapan Lokasi. Tata Cara. Ketentuan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Efisiensi PLTU batubara

Efisiensi PLTU batubara Efisiensi PLTU batubara Ariesma Julianto 105100200111051 Vagga Satria Rizky 105100207111003 Sumber energi di Indonesia ditandai dengan keterbatasan cadangan minyak bumi, cadangan gas alam yang mencukupi

Lebih terperinci

KODE : F2.39. Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah Untuk Membuat Semi-Kokas Dengan Penambahan Bahan Hidrokarbon

KODE : F2.39. Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah Untuk Membuat Semi-Kokas Dengan Penambahan Bahan Hidrokarbon KODE : F2.39 Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah Untuk Membuat Semi-Kokas Dengan Penambahan Bahan Hidrokarbon Peneliti/Perekayasa: Ir. Darmawan, MSc Ir. Trisaksono BP, MEng Iman, ST,MT Fusia Mirda Yanti,S.Si

Lebih terperinci

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 Copyright @2015 PT. INDO ANALISIS Hak Cipta dilindungi Undang-undang DAFTAR ISI I.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2017 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA BAB I: PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 1 1.1. PELUANG INDUSTRI BATUBARA 2 1.1.1. Potensi Pasar 2 Grafik 1.1. Prediksi Kebutuhan Batubara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi pada saat ini dan pada masa kedepannya sangatlah besar. Apabila energi yang digunakan ini selalu berasal dari penggunaan bahan bakar fosil tentunya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA

2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA LAPORAN INDUSTRI PELUANG & TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 2015 Copyright @2015 PT. INDO ANALISIS Hak Cipta dilindungi Undang-undang DAFTAR ISI I.

Lebih terperinci

Kekayaan Energi Indonesia dan Pengembangannya Rabu, 28 November 2012

Kekayaan Energi Indonesia dan Pengembangannya Rabu, 28 November 2012 Kekayaan Energi Indonesia dan Pengembangannya Rabu, 28 November 2012 Kebutuhan energi dunia terus mengalami peningkatan. Menurut proyeksi Badan Energi Dunia (International Energy Agency-IEA), hingga tahun

Lebih terperinci

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom No. 316, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Gas Bumi. Alokasi, Pemanfaatan dan Harga. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Benda ini biasanya berwarna hitam, dan kadang berwarna coklat tua.

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Benda ini biasanya berwarna hitam, dan kadang berwarna coklat tua. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batubara adalah batu sedimen organik yang terbentuk oleh tekanan di perut bumi. Benda ini biasanya berwarna hitam, dan kadang berwarna coklat tua. Batubara umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dan target untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dan target untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan masih sangat bergantung pada iklim kebijakan yang kuat. Di tahun 2013 terdapat sejumlah peningkatan kebijakan dan target

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN

PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN PEMANFAATAN LOW RANK COAL UNTUK SEKTOR KETENAGA LISTRIKAN Di Prersentasikan pada : SEMINAR NASIONAL BATUBARA Hotel Grand Melia,, 22 23 Maret 2006 DJUANDA NUGRAHA I.W PH DIREKTUR PEMBANGKITAN DAN ENERGI

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 4. Indonesia Mt

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 4. Indonesia Mt BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Batubara adalah sumber energi terpenting untuk pembangkitan listrik dan berfungsi sebagai bahan bakar pokok untuk produksi baja dan semen.namun demikian, batubara juga

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 34 TAHUN 2009 TENTANG PENGUTAMAAN PEMASOKAN KEBUTUHAN MINERAL DAN BATUBARA UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL. Oleh :

ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL. Oleh : ANALISIS STOK BATUBARA DALAM RANGKA MENJAMIN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL Oleh : Tim Analisis Stok Batubara Dalam Rangka Menjamin Kebutuhan Energi Nasional Drs. Triswan Suseno Drs. Jafril Nugroho W. Wibowo

Lebih terperinci

Potensi Batubara Sebagai Sumber Energi Alternatif Untuk Pengembangan Industri Logam

Potensi Batubara Sebagai Sumber Energi Alternatif Untuk Pengembangan Industri Logam Vol. 2, 2017 Potensi Batubara Sebagai Sumber Energi Alternatif Untuk Pengembangan Industri Logam Muhammad Gunara Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan bakar adalah suatu materi yang dapat dikonversi menjadi energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan transportasi, industri pabrik, industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Batubara menempati posisi strategis dalam perekonomian nasional. Penambangan batubara memiliki peran yang besar sebagai sumber penerimaan negara, sumber energi

Lebih terperinci

Tenaga Uap (PLTU). Salah satu jenis pembangkit PLTU yang menjadi. pemerintah untuk mengatasi defisit energi listrik khususnya di Sumatera Utara.

Tenaga Uap (PLTU). Salah satu jenis pembangkit PLTU yang menjadi. pemerintah untuk mengatasi defisit energi listrik khususnya di Sumatera Utara. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi listrik terus-menerus meningkat yang disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan industri di Indonesia berkembang dengan pesat, sehingga mewajibkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

PT. SUKSES SEJAHTERA ENERGI

PT. SUKSES SEJAHTERA ENERGI + Minyak Sintetik (minyak bakar) E88 Carbon Briket CB88 Gas Sintetik Steel Wire Scrap (Kawat Besi Baja) PT. SUKSES SEJAHTERA ENERGI Jl. Manisrenggo Km. 4,5 Prambanan, Klaten, Jawa Tengah T. 0274-7459008

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batubara Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan perekonomian Indonesia mengalami peningkatan dalam berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2012 sebesar

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan BAB III TEORI DASAR 11 3.1 Batubara Peringkat Rendah Batubara termasuk kedalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2014 KEMENESDM. Peningkatan. Nilai Tambah. Mineral. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. - 2 - Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indocement. Bosowa Maros Semen Tonasa. Semen Kupang

1. PENDAHULUAN. Indocement. Bosowa Maros Semen Tonasa. Semen Kupang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semen adalah komoditas yang strategis bagi Indonesia. Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, semen menjadi produk yang sangat penting. Terlebih lagi, beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (per-januari 2011). Menyebabkan cadangan minyak akan habis dalam

BAB I PENDAHULUAN. (per-januari 2011). Menyebabkan cadangan minyak akan habis dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 4,04 miliar barel (per-januari 2011). Menyebabkan cadangan minyak akan habis dalam 12,27 tahun mendatang (Dirjen Migas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi memainkan perananan yang sangat vital dan strategis dalam pembangunan. Tanpa energi, tidak mungkin menjalankan berbagai aktivitas ekonomi seperti mengoperasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batubara sebagai kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pada saat

BAB I PENDAHULUAN. batubara sebagai kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pada saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki beragam sumber energi, selain minyak bumi juga terdapat gas dan batubara sebagai kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendaraan bermotor merupakan salah satu alat yang memerlukan mesin sebagai penggerak mulanya, mesin ini sendiri pada umumnya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mesin pada mulanya diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan kegiatan yang melebihi kemampuannya. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 23 DESEMBER 2014 METODOLOGI 1 ASUMSI DASAR Periode proyeksi 2013 2050 dimana tahun 2013 digunakan sebagai tahun dasar. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di suatu negara. Fluktuasi harga minyak mentah dunia mempengaruhi suatu negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pemanfaatan cadangan..., Mudi Kasmudi, FT UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pemanfaatan cadangan..., Mudi Kasmudi, FT UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar diseluruh kepulauan Indonesia. Jumlah sumber daya mineral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lem

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lem No. 512, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Harga. Batubara. Penyediaan dan Penetaan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM :

KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM : KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM : 0831010048 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

SIH Standar Industri Hijau

SIH Standar Industri Hijau SIH Standar Industri INDUSTRI SEMEN PORTLAND Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 2 1 Ruang Lingkup... 3 2 Acuan Normatif... 3 3 Definisi... 3 4 Simbol dan Singkatan Istilah... 4 5 Persyaratan Teknis...

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, Indonesia sedang berkembang menjadi sebuah negara industri. Sebagai suatu negara industri, tentunya Indonesia membutuhkan sumber energi yang besar. Dan saat

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN EKSPERIMENTAL TERHADAP KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH AMPAS KOPI INSTAN DAN KULIT KOPI ( STUDI KASUS DI PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA ) Oleh : Wahyu Kusuma

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015 Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015 Yth. : Para Pimpinan Redaksi dan hadirin yang hormati;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Arief Hario Prambudi, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Arief Hario Prambudi, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah suatu pembangkit listrik dimana energi listrik dihasilkan oleh generator yang diputar oleh turbin uap yang memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring kemajuan teknologi, kebutuhan akan listrik menjadi kebutuhan utama bagi keberlangsungan hidup manusia, tidak hanya untuk skala rumah tangga terlebih untuk dunia

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS 3.1 Kerangka Pemodelan Kajian Outlook Energi Indonesia meliputi proyeksi kebutuhan energi dan penyediaan energi. Proyeksi kebutuhan energi jangka panjang dalam kajian

Lebih terperinci

Pengaruh Kandungan Air pada Proses Pembriketan Binderless Batubara Peringkat Rendah Indonesia

Pengaruh Kandungan Air pada Proses Pembriketan Binderless Batubara Peringkat Rendah Indonesia Pengaruh Kandungan Air pada Proses Pembriketan Binderless Batubara Peringkat Rendah Indonesia Toto Hardianto*, Adrian Irhamna, Pandji Prawisudha, Aryadi Suwono Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Pengantar Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara merupakan pelaksana kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambangan batubara merupakan kegiatan industri yang penting di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Australia, India, Rusia, dan Afrika Selatan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 tentang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan sebuah langkah besar permerintah dalam mencapai

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

Cara Pemesanan: Customer Support: Spesifikasi: Harga : Rp

Cara Pemesanan: Customer Support: Spesifikasi: Harga : Rp 2015 Copyright @ 2015 Spesifikasi: Tipe Laporan : Laporan Industri Terbit : April 2015 Halaman : 121 Format : Hardcopy (Book Full Colour) Softcopy (Data Grafik Excel) Harga : Rp 6.750.000 Cara Pemesanan:

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL Jakarta, 12 Februari 2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam zaman modern ini terdapat 3 bahan struktur bangunan yang utama yaitu kayu, baja dan beton. Dan sekarang ini pertumbuhan dan perkembangan industri konstruksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

Bab II Teknologi CUT

Bab II Teknologi CUT Bab II Teknologi CUT 2.1 Peningkatan Kualitas Batubara 2.1.1 Pengantar Batubara Batubara merupakan batuan mineral hidrokarbon yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati dan terkubur di dalam bumi

Lebih terperinci

STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN

STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN Prosiding SNaPP2012 : Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 2089-3582 STUDY PENGGUNAAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI PELLET BIJIH BESI LAMPUNG MENGGUNAKAN ROTARY KILN 1 Yayat Iman Supriyatna, 2 Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai sebuah negara besar yang sedang berkembang, konsumsi energi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, termasuk konsumsi energi listrik. Berdasarkan

Lebih terperinci

I.1 JUDUL PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN STUDI KARAKTERISTIK GASIFIKASI BATU BARA SUB - BITUMINUS MENGGUNAKAN REAKTOR JENIS FIX BED DOWNDRAFT GASIFIER

I.1 JUDUL PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN STUDI KARAKTERISTIK GASIFIKASI BATU BARA SUB - BITUMINUS MENGGUNAKAN REAKTOR JENIS FIX BED DOWNDRAFT GASIFIER BAB I PENDAHULUAN I.1 JUDUL PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN STUDI KARAKTERISTIK GASIFIKASI BATU BARA SUB - BITUMINUS MENGGUNAKAN REAKTOR JENIS FIX BED DOWNDRAFT GASIFIER I.2 LATAR BELAKANG MASALAH Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Juli 2007 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Juli 2007, secara tahunan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada produksi kendaraan non niaga, sedangkan kontraksi tertinggi terjadi pada penjualan minyak diesel.

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2 miliar ton dengan cadangan 21.13 miliar ton (menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Gasifikasi Batubara Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Gasifikasi Batubara Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar energi yang digunakan rakyat Indonesia saat ini berasal dari bahan bakar fosil yaitu minyak bumi, gas dan batu bara. Pada masa mendatang, produksi batubara

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kondisi umum Tujuan dan Sasaran Strategi 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

BAB I PENDAHULUAN Kondisi umum Tujuan dan Sasaran Strategi 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara BAB I PENDAHULUAN Sesuai dengan tema RPJMN Tahun 2015-2019 atau RPJM ke-3, yaitu: Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis

Lebih terperinci

STUDI GASIFIKASI BATU BARA LIGNITE DENGAN VARIASI KECEPATAN UDARA UNTUK KEPERLUAN KARBONASI

STUDI GASIFIKASI BATU BARA LIGNITE DENGAN VARIASI KECEPATAN UDARA UNTUK KEPERLUAN KARBONASI NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH STUDI GASIFIKASI BATU BARA LIGNITE DENGAN VARIASI KECEPATAN UDARA UNTUK KEPERLUAN KARBONASI Abstraksi Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh

Lebih terperinci