ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT OLEH MARUTI NURHAYATI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT OLEH MARUTI NURHAYATI H"

Transkripsi

1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT OLEH MARUTI NURHAYATI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 RINGKASAN MARUTI NURHAYATI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat (dibimbing oleh WIDYASTUTIK). Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat. Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan pendapatan perkapita yang tidak merata. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif sehingga tingkat produktivitas rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kemiskinan, pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat untuk tahun Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata 10 persen adalah tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan variabel dummy kota/kabupaten berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi tenaga kerja bernilai positif yaitu

3 sebesar 0,0016. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0016 persen. Lahan memiliki koefisien regresi bernilai positif yaitu sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan pertanian sebesar satu persen akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 0,0015 persen. Untuk koefisien regresi variabel investasi bernilai positif yaitu sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0001 persen. Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan memiliki tanda positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar 1 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu persen maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan mempengaruhi tingkat kemiskinan, maka pemerintah perlu membuat kebijakan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kemudian untuk mengurangi pengangguran, pemerintah daerah perlu mendorong program pembangunan yang padat karya. Pemerintah daerah melalui Departemen Kesehatan juga perlu lebih menggalakkan program yang dapat menekan tingkat kelahiran untuk mengurangi tingkat ketergantungan sehingga beban dalam memenuhi kebutuhan hidup berkurang.

4 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA BARAT Oleh MARUTI NURHAYATI H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Juli 2007 Maruti Nurhayati H

6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Maruti Nurhayati Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Analisis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing, Widyastutik, S.E., M.Si. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP Tanggal Kelulusan :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Maret 1984 sebagai anak kandung dari Bapak Sri Hartoyo dan Ibu Andayati. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Polisi I Bogor pada tahun 1996, menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Bina Insani Bogor pada tahun 2000 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Plus Bina Bangsa Sejahtera pada tahun Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Widyastutik, S.E. M.Si., sebagai dosen pembimbing dan atas arahan serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Wiwiek Rindayanti, M.S., yang telah menguji hasil penelitian ini. Semua kritikan dan saran beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Henny Reinhard, M.Sc., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Orangtua penulis yaitu Dr.Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Ibu Andayati serta saudara-saudara penulis yaitu Hardian Novianto, Muhammad Arianto, Vera Rahmasari, Muhammad Harizananto dan Muhammad Yuqa Banianto atas dukungan, dorongan dan doa yang sangat besar artinya dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu penulis selama menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. 6. Sahabat-sahabat penulis (Annisa Anjani, Eva Dwi Prihartanti, Aditya Kusumaningrum, Ana Pertiwi, Tuti Ratna Dewi, Vivi dan Yudis) yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman-teman di Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan kritik dan saran baik pada saat pengerjaan skripsi ini maupun pada seminar hasil penelitian.

9 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Juli 2007 Maruti Nurhayati H

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN. vi vii viii Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kemiskinan Ukuran-Ukuran Kemiskinan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Tinjauan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Model Ekonometrika Identifikasi dan Pendugaan Model Uji Evaluasi Hasil Definisi Operasional. 32 IV. PERKEMBANGAN KEMISKINAN DAN PENDAPATAN DI JAWA BARAT Perkembangan Tingkat Kemiskinan Perkembangan Tingkat Pendapatan Perkembangan Tenaga Kerja Perkembangan Investasi Perkembangan Tingkat Pengangguran... 37

11 4.6. Perkembangan Tingkat Ketergantungan V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Order Condition (kondisi ordo) Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun Nilai Investasi di Jawa Barat periode Tahun Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun Hasil Estimasi Model Pendapatan Hasil Estimasi Model Kemiskinan 43

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Kerangka Pemikiran... 22

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data yang dimasukkan dalam Model Hasil Estimasi Model Kemiskinan dan Model Pendapatan Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas Uji Normalitas... 54

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Menurut Rintuh (2003), kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kebutuhan konsumsi dasar dan kualitas hidupnya. Ada dua macam ukuran kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah ketidakmampuan seseorang melampaui garis kemiskinan yang ditetapkan. Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat pendapatan suatu golongan dibandingkan dengan golongan lainnya. Berdasarkan data dari BPS tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,88 juta. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebesar 22,5 juta jiwa. Secara statistik kemiskinan di perkotaan tidak sebesar yang terjadi di pedesaan, akan tetapi fenomena ini bukan berarti masalah kemiskinan di perkotaan tidak perlu ditanggulangi. Kehidupan kota tidak terlepas dengan para migran. Ketika kondisi ekonomi sudah tidak dapat memberikan harapan namun masih banyak migran yang berupaya untuk tetap hidup di kota dengan pekerjaan yang tidak layak dan penghasilan yang rendah. Inilah salah satu yang menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan.

16 2 Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun 2004 Propinsi Jumlah penduduk Tingkat Kemiskinan miskin (ribu jiwa) (%) Nanggroe Aceh Darussalam 1157,2 3,22 Sumatra Utara 1800,1 5,01 Sumatra Barat 472,4 1,31 Riau 744,4 2,07 Jambi 325,1 0,90 Sumatra Selatan 1379,3 3,84 Bengkulu 345,1 0,96 Lampung 1561,7 4,35 Bangka Belitung 91,8 0,25 DKI Jakarta 277,1 0,77 Jawa Barat 4654,2 12,96 Jawa Tengah 6843,8 19,06 DI Yogyakarta 616,2 1,71 Jawa Timur 7312,5 20,37 Banten 779,2 2,17 Bali 231,9 0,64 Nusa Tenggara Barat 1031,6 2,87 Nusa Tenggara Timur 1152,1 3,21 Kalimantan Barat 558,2 1,55 Kalimantan Tengah 194,1 0,54 Kalimantan Selatan 231,0 0,64 Kalimantan Timur 318,2 0,88 Sulawesi Utara 192,2 0,53 Sulawesi Tengah 486,3 1,35 Sulawesi Selatan 1241,5 3,45 Sulawesi Tenggara 418,4 1,16 Maluku 397,6 1,10 Maluku Utara 107,8 0,30 Papua 966,8 2,69 Sumber : BPS, 2004 Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Tingginya angka kemiskinan di Jawa Barat juga dapat dilihat dari perbandingan antar propinsi di

17 3 Indonesia (Tabel 1.1). Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km (BPS, 2004). Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat. Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan pendapatan perkapita yang tidak merata (Tabel 1.2). Hal ini erat kaitannya dengan kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif sehingga tingkat produktivitas rendah.

18 4 Tabel 1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun (Rupiah) Kabupaten/Kota * Bogor , , ,77 Sukabumi , , ,46 Cianjur , , ,28 Bandung , , ,10 Garut , , ,88 Tasikmalaya , , ,88 Ciamis , , ,21 Kuningan , , ,32 Cirebon , , ,19 Majalengka , , ,36 Sumedang , , ,43 Indramayu , , ,50 Subang , , ,48 Purwakarta , , ,20 Karawang , , ,86 Bekasi , , ,91 Kota Bogor , , ,50 Kota Sukabumi , , ,66 Kota Bandung , , ,43 Kota Cirebon , , ,19 Kota Bekasi , , ,96 Kota Depok , , ,46 Kota Cimahi , , ,15 Kota Tasikmalaya , , ,07 Kota Banjar , , ,64 Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, 2004 Catatan : *) Angka sementara Masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan bahwa penanganan yang dilaksanakan pemerintah untuk masyarakat miskin belum mampu untuk menjangkaunya. Sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang mulai diberlakukan sejak tahun 2001, pemerintah daerah kini berwenang penuh merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan sesuai dengan kebutuhannya. Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

19 5 kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya melaksanakan program pembangunan tetapi juga bertanggung jawab secara langsung dan aktif dalam penanganan kemiskinan, sehingga untuk menanggulangi kemiskinan perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan, khususnya di Jawa Barat Perumusan Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang subur dengan kekayaan alamnya yang melimpah, namun sebagian besar rakyatnya tergolong miskin. Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang parah, yang tidak segera diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terlihat hingga sekarang. Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Jika pendapatan dan tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat maka tingkat kesejahteraan penduduk juga akan meningkat. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004, pendapatan perkapita di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar Rp pada tahun 2003 menjadi Rp pada tahun Hal ini juga ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun 2003 sebesar 4,53 persen menjadi 5,47 persen pada tahun Namun peningkatan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi tidak diiringi oleh penurunan kemiskinan. Pada kenyataannya jumlah penduduk miskin masih mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 4,65 juta jiwa bila

20 6 dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum krisis) dengan jumlah penduduk miskin sebesar 3,96 juta jiwa (BPS, 2004; 1996). Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pengentasan kemiskinan belum dipahami apa saja masalah-masalah yang terkait dengan masalah kemiskinan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan dan seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan, antara lain : 1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta menyelaraskan apa yang di dapat selama kuliah dengan kenyataan di lapang.

21 7 2. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan di daerah, agar program-program yang dilaksanakan tepat sasaran. 3. Sebagai sumber informasi bagi pembaca secara umum yang tertarik dengan topik kajian dari penelitian ini.

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kemiskinan Kemiskinan dapat dicirikan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan, perumahan dan pakaian, tingkat pendapatan rendah, pendidikan dan keahlian rendah, keterkucilan sosial karena keterbatasan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Secara singkat kemiskinan menurut Suparlan (1984) dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Menurut Saldanha (1998) persoalan kemiskinan mengandung enam masalah pokok, yaitu; 1. Masalah kemiskinan adalah kerentanan. Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam jumlah besar yang memadai, akan tetapi kekeringan musim dua tahun berturut-turut akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai titik yang terendah. 2. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam poses produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif yang menuntut kerja keras dalam jam

23 9 kerja panjang dengan imbalan rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar menawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan dengan demikian juga berarti hubungan dependensi kepada pemilik tanah, pimpinan proyek, elit desa dan sebagainya. 3. Kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri; ketidakberdayaan menghadapi penyakit dan kematian, kekumuhan dan kekotoran. 4. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian terbesar penghasilannya untuk konsumsi gizi mereka amat rendah yang mengakibatkan produktivitas mereka rendah. 5. Kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumber dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah. 6. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Secara umum SMERU dalam Krisnamurti (2006) menyebutkan definisi kemiskinan yang memadai harus mencangkup berbagai dimensi, antara lain :

24 10 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan). 2. Tidak hanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. Tidak ada jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual dan massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda, kelompok marjinal dan terpencil). Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu : 1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan,

25 11 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan. Menurut Sunarso dan Mardimin (1996), kemiskinan absolut adalah suatu keadaan apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum, memelihara fisik, sehingga tidak dapat bekerja penuh dan efisien. Kemiskinan jenis ini ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja. 2. Kemiskinan Relatif Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibanding kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan serta perumahan. 3. Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki

26 12 tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Alfian, dkk (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada. 4. Kemiskinan Kronis Kemiskinan Kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil). Rendahnya pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan Sementara Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya (i) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi; (ii) perubahan yang bersifat musiman dan (iii) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

27 Ukuran-Ukuran Kemiskinan Menurut Sajogyo (1977), cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah dengan memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis kemiskinan dan tingkat pendapatan petani. Ada tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin yang mempunyai pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240 kg atau kurang, golongan miskin sekali yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak kg dan lapisan miskin yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg. Bank dunia (2000) menetapkan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya dibawah US$ 2 per hari. Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan alternatif untuk mengukur garis kemiskinan dengan cara menentukan berapa besar kalori minimum yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam sehari. Badan ini mengusulkan bahwa setiap orang harus memenuhi 2100 kalori setiap harinya. Jadi, 2100 kalori ini merupakan batas garis kemiskinan dengan memperhitungkan kebutuhan non pangan seperti kebutuhan perumahan, bahan bakar, penerangan air, sandang, jenis barang yang tahan lama serta jasa-jasa. Kemudian kriteria-kriteria ini diubah dalam angka rupiah. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sendiri akan selalu mengalami penyesuaian, karena harga kebutuhan itu berubah-ubah. Menurut Salim dalam Fithrajaya (2004), aktor kemiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu :

28 14 1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal maupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan maupun modal usaha, sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada lintah darat yang biasanya meminta syarat yang berat dan memungut bunga yang tinggi. 3. Tingkat pendidikan mereka yang rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adikadik di rumah, sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan. 4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar petani. Karena pertanian bekerja dengan musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka yang lalu bekerja sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis kemiskinan.

29 15 Didorong oleh kesulitan hidup di desa maka banyak diantara mereka mencoba berusaha di kota. 5. Kebanyakan diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di banyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini. Apabila di negara negara pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, maka urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses penyerapan tenaga dalam perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota negara berkembang justru menapik pekerjaan lebih banyak tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota dalam kantong-kantong kemelaratan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Menurut Suryadiningrat (2003), kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya : 1) keengganan bekerja dan berusaha, 2) kebodohan, 3) motivasi rendah, 4) tidak memiliki rencana jangka panjang, 5) budaya kemiskinan dan 6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan. Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat : 1) Ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang

30 16 memerlukan atau orang tidak mampu dan 2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin. Beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan menurut Handayani (2001) antara lain: (1) Kesempatan kerja, dimana seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak bekerja penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan, maupun tahun, (2) upah gaji di bawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, dan (7) penjualan tanah. Menurut Kartasasmita dalam Rahmawati (2006), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu : 1. Rendahnya taraf pendidikan dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. 2. Rendahnya derajat kesehatan Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa. 3. Terbatasnya lapangan kerja Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu.

31 17 4. Kondisi keterisolasian Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karenan terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Menurut Todaro (1998) bahwa tinggi rendahnya tingkat kemiskinan tergantung pada dua faktor yakni tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Pendapatan nasional diperoleh dari faktor-faktor yang digunakan dimana faktor-faktor produksi merupakan faktor input yang digunakan perusahaan atau industri di dalam menghasilkan suatu output. Hubungan antara input dan output dapat diformulasikan ke dalam sebuah fungsi produksi, yang secara sistematis bisa ditulis : Y = f (K, T)... (1) dimana : Y = output yang dihasilkan selama periode tertentu K = kapital T = tenaga kerja Kapital merupakan semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan, langsung maupun tidak langsung, dalam produksi untuk menambah output. Kapital yang digunakan di perkotaan dan di pedesaan relatif berbeda. Penggunaan kapital di perkotaan dengan investasi yang dapat berupa investasi perbaikanperbaikan pendidikan, kesehatan, keahlian dan lain-lain. Peningkatan investasi

32 18 yang dapat meningkatkan produktivitas akan meningkatkan pula pendapatan nasional dan pendapatan perkapita. Penggunaan kapital di pedesaan lebih banyak menggunakan lahan sebab pedesaan masih menonjol di sektor pertanian. Hal ini juga disebutkan oleh Thomas Robert Malthus (tokoh mahzab klasik) bahwa lahan sebagai salah satu faktor produksi utama yang jumlahnya tetap, walaupun pemakaian lahan untuk produksi pertanian bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa. Dalam banyak hal, justru jumlah lahan untuk pertanian berkurang. Hal ini karena sebagian digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-pabrik, dan bangunan lain serta untuk pembuatan jalan. Penggunaan lahan di perkotaan dapat juga digunakan untuk sewa lahan. Hal ini dikemukakan oleh David Ricardo (tokoh mahzab klasik) bahwa keuntungan sewa lahan yang subur lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan sewa lahan yang kurang subur, karena semakin rendah tingkat kesuburan lahan, maka akan akan semakin tinggi biaya rata-rata dan biaya marginal untuk mengolah lahan tersebut (Deliarnov, 1995). Tenaga Kerja adalah bagian dari penduduk yang mampu bekerja untuk memproduksi barang dan jasa. Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan nasional diperoleh dari upah tenaga kerja yang bekerja pada suatu perusahaan atau industri. Semakin banyak tenaga kerja yang bekerja pada suatu daerah semakin besar pendapatan yang diperoleh daerah tersebut.

33 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Intania (2002) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah 1) umur, 2) tingkat pendapatan, 3) jumlah beban keluarga, 4) pendapatan, 5) pengalaman dan 6) pelayanan pengelolaan kegiatan. Untuk hasil analisis umur maka partisipasi juga semakin tinggi, namun hal ini terjadi pada rentan umur sampai dengan umur 60 tahun. Faktor faktor yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi dalam kelompok Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) menurut Nur (2004) adalah faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal, pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya, namun yang berhubungan nyata dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin formal. Menurut penelitian Rahmawati (2006), faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan antara lain jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika kepala rumah tangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumah tangga menjadi miskin menjadi lebih berkurang. Penelitian Allen dan Thompson (1990) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah ras, umur, tipe kepala keluarga, ukuran keluarga, daerah, pendidikan, pendapatan, lama bekerja dan struktur industri.

34 20 Model kemiskinan ini menggunakan model logit dan dari semua variabel bebas yang dimasukkan, hanya variabel tipe kepala keluarga yang tidak signifikan pada taraf nyata 0,05. Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian McDowell (1995) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja, struktur industri dan interaksi. Model kemiskinan ini juga menggunakan model regresi logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu persen. Penelitian Wiraswara (2005) menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Variabel-variabel tersebut adalah angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik dan dummy kabupaten/kota di Jawa. Ketiga variabel ini menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupaten/kota di luar Jawa dan persentase penduduk melek huruf kabupaten/kota di Jawa lebih rendah dari kabupaten di kabupaten/kota di luar Jawa. Kabupaten/kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik. Widiyanti (2001) dari hasil penelitiannya tentang telaah terhadap partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem (orang yang menggarap lahan). Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata

35 21 pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem. Penelitian-penelitian terdahulu lebih berfokus pada upaya penanggulangan kemiskinan, ada pula yang lebih membahas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dilihat faktor pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat ketergantungan Kerangka Pemikiran Kemiskinan di Pulau Jawa lebih meluas bila dibandingkan dengan pulaupulau lainnya di Indonesia. Sebagai alasan dapat dihubungkan dengan penduduknya yang lebih padat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Pertumbuhan yang cepat menghendaki pemenuhan hidup yang meningkat pula. Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja akan meningkat seiring dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam keadaan terbatasnya lapangan pekerjaan, maka akan sulit bagi sebagian angkatan kerja untuk memperoleh pekerjaan. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran yang dapat menyebabkan kemiskinan. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar jiwa pada tahun 2004, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.194,96 jiwa/km. Daerah dengan kepadatan penduduk terbesar berada di dekat Jakarta serta Bandung yang merupakan ibukota provinsi Jawa

36 22 Barat dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki ketrampilan memadai sehingga mereka bekerja secara tidak layak dan memperoleh penghasilan yang rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup di kota yang relatif lebih mahal dibandingkan di pedesaan. Keadaan ini akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penelitian ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Faktor-faktor yang akan diteliti yaitu faktor pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat ketergantungan. Bagan dibawah ini untuk mempermudah alur penelitian. Keadaan Masyarakat di Jawa Barat Miskin Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan Tenaga Kerja Lahan Pendidikan Beban Ketergantungan Hidup pengangguran Pendapatan Investasi Dummy Kota/Kab Rekomendasi kebijakan dalam rangka program kegiatan pengentasan kemiskinan Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

37 Hipotesis Penelitian a. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah sebagai berikut : 1. Lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan. 2. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan. 3. Investasi berpengaruh positif terhadap pendapatan. 4. Variabel dummy kota berpengaruh positif terhadap pendapatan. b. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah sebagai berikut. 1. Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 2. Pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 3. Jumlah pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. 4. Tingkat ketergantungan berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan.

38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data kemiskinan, data pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data yang menunjang penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), perpustakaan IPB dan perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Data yang digunakan merupakan data dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat untuk tahun Model Ekonometrika Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan, yang dapat ditulis sebagai berikut : Yi= α 0 + α 1 E i + α 2 L i + α 3 I i + α 4 Dk i + ε 1 (3.1) M i =β 0 + β 1 Y i + β 2 Pd i + β 3 U i + β 4 Dep i + ε 2 (3.2) dimana : M i Y i E i Pd i U i Dep i L i I i : Tingkat kemiskinan di kota/kabupaten i (persen) : Tingkat Pendapatan di kota/kabupaten i (miliar Rp) : Jumlah tenaga kerja di kota/kabupaten i (orang) : Tingkat pendidikan di kota/kabupaten i (persen) : Tingkat Pengangguran di kota/kabupaten i (orang) : Tingkat Ketergantungan di kota/kabupaten i (persen) : Luas Lahan di kota/kabupaten i (Ha) : Investasi di kota/kabupaten i (juta Rp)

39 25 Dk i : Variabel dummy dengan nilai 1 untuk kota dan 0 untuk kabupaten ε 1, ε 2 : Galat 1 Model analisis di atas terdiri dari persamaan pendapatan dan persamaan tingkat kemiskinan, dua variabel endogen dan tujuh variabel eksogen Identifikasi dan Pendugaan Model Identifikasi model digunakan untuk menentukan metode pendugaan dari persamaan struktural yang sudah dibangun. Untuk mengetahui persamaan struktural teridentifikasi atau tidak, dapat menggunakan order condition. Order condition yaitu jika suatu persamaan teridentifikasi, maka jumlah variabel eksogen diluar persamaan tersebut harus lebih banyak dari atau sama dengan jumlah peubah endogen dalam persamaan tersebut dikurangi 1. Rumus order conditon dapat ditulis debagai berikut : dimana : K - M > G-1 (3.3) K : Jumlah semua variabel yang terdapat dalam model persamaan simultan. M : Jumlah semua variabel di dalam persamaan yang akan di identifikasi. G : Jumlah persamaan. Tabel 3.1. Order Condition (kondisi ordo) Persamaan K-M <, =, > G-1 Kesimpulan (3.3) 9-5 > 2-1 overidentified (3.4) 9-5 > 2-1 overidentified Hasil dari pengujian order conditon menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi untuk persamaan dalam model. Berdasarkan hasil identifikasi model

40 26 bahwa kedua model dapat dikatakan overidentified, maka metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel-variabel yang digunakan dengan analisis regresi berganda adalah dengan menggunakan metode 2SLS (Two-Stage Least Square) Uji Evaluasi Hasil Untuk lebih mengukur validitas dari suatu persamaan maka dilakukan pengujian orde I atau pengujian orde II. Pengujian orde I meliputi uji koefisien determinasi (R 2 ), uji t, uji F. Uji orde kedua adalah uji penyimpangan klasik yang meliputi uji mulikolinearitas, heteroskedastisitas dan uji normalitas. Uji autokorelasi tidak dilakukan pada model ini karena data yang digunakan merupakan data cross section dimana tidak terlalu penting untuk melakukan uji tersebut. Adapun penjelasan mengenai pengujian tersebut adalah : A. Koefisien Determinasi (R 2 ) Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji ini juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model. Dua sifat R 2 adalah merupakan besaran negatif dan batasnya antara nol sampai satu. Suatu R 2 sebesar 1 berarti kecocokan sempurna sedangkan (R 2 ) yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Rumus untuk menghitung (R 2 ) adalah :

41 27 2 ( Yˆ Y ) JKT 2 ( Y Yˆ ) JKG 2 R = = 1 (3.4) JKT = jumlah kuadrat total JKG = jumlah kuadrat galat B. Uji t Uji t digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis yang telah disebutkan dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Melalui uji ini apakah koefisien regresi satu persatu secara statistik signifikan atau tidak. t j ˆβ j = (3.5) sˆ j 1 N k 2 ' dimana, sˆ = l ( X X ) 1 j i jj N K = jumlah observasi = jumlah variabel bebas Jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel atau p-value lebih besar dari α tertentu maka hipotesis nol β j = 0 diterima. Namun, jika nilai t j lebih besar dari nilai t tabel atau p-value lebih kecil dari α yang telah ditentukan maka hipotesis nol ditolak.

42 28 C. Uji F Uji F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh koefisen regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel tak bebas. Untuk uji F hipotesis diuji adalah : H0 = β 1 = β2 =... = βk = 0 Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan linier antara variabel tak bebas dengan variabel-variabel bebas. Untuk mengujinya dapat digunakan F statistik dengan formula sebagai berikut : F R 2 ( k 1) ( 1 R ) = 2 N k (3.6) Jika nilai F satistik lebih kecil dari nilai t tabel maka hipotesis diterima. Namun jika nilai F statistik lebih besar dari nilai F tabel berdasarkan suatu level of significance tertentu maka hipotesis ditolak. D. Multikolinier Multikolinier adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas di antara satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel bebas yang bersifat ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi di antara sesamanya sama dengan nol. Jika terdapat korelasi sempurna di antara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, maka konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir, nilai standar error setiap koefisien menjadi tidak terhingga. Hal-hal utama

43 29 yang sering menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi, antara lain : 1. Kesalahan teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang dipergunakan. 2. Terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model regresi. Untuk mendeteksi multikolinier dapat dilihat dengan menghitung koefisien korelasi parsial. Disamping itu untuk melihat variabel eksogen mana yang saling berkorelasi dilakukan dengan meregresi tiap variabel eksogen dengan sisa variabel eksogen yang lain dan menghitung nilai R 2 yang cocok. Dalam model regresi : Yi= α 0 + α 1 E i + α 2 L i + α 3 I i + α 4 Dk i + ε 1 Diregresikan setiap variabel bebas atas variabel bebas yang lain dan kemudian menghitung R 2 yang bersangkutan yang kita nyatakan dengan simbol R i, kemudian kita tentukan nilai F masing-masing regresi tersebut dan dinyatakan dengan F i. Formula hubungan antara F dan R 2 dinyatakan sebagai berikut : R 2 Ei, LI, I I, Dki ( k 2) ( 1 RE,,, ) I li I I Dki ( N k + 1) Fi = (3.7) N = jumlah observasi K = jumlah variabel bebas Jika F i lebih besar dari nilai F i tabel pada suatu level of significance tertentu, maka dapat diartikan bahwa variabel bebas X k tertentu mempunyai variabel bebas yang lain. Jika F i lebih kecil dari nilai F tabel pada suatu level of significance tertentu,

44 30 maka dapat diartikan bahwa variabel bebas X k tertentu tidak mempunyai korelasi dengan variabel bebas lain. E. Heteroskedastisitas Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared pada uji White Heteroskedastisicity. H H 0 1 = γ = 0 = γ 0 Kriteria uji : Probality Obs*R-squared < α, maka tolak H 0 Probability Obs*R-squared.> α,maka terima H 0 Heteroskadastisitas dapat juga dideteksi dengan menggunakan metode grafik yang memetakan hubungan antara variabel tak bebas dengan kuadrat residual. Jika terdapat pola yang sistematis antara dua variabel tersebut maka dapat dikatakan bahwa persamaan regresi mengandung heteroskedastisitas. Akibat yang ditimbulkan pada model regresi yang mengandung heteroskedastisitas pada faktor-faktor gangguannya yang diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Penaksir-penaksir OLS tidak akan bias (unbiased) Artinya, penaksir-penaksir OLS adalah tidak bias sekalipun dalam kondisi heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan karena tidak menggunakan asumsi homoskedastisitas.

45 31 2. Varian yang diperoleh menjadi tidak efisien Artinya, cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan varian yang terkecil. Kecenderungan semakin membesarnya varian tersebut akan mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan juga tidak akan memberikan hasil yang baik (tidak valid). Pada uji t terhadap koefisien regresi, t hitung diduga terlalu rendah. Kesimpulan tersebut akan semakin buruk jika sampel pengamatan semakin kecil jumlahnya. Dengan demikian, model diperbaiki dulu agar pengaruh dari heteroskedastisitasnya hilang. F. Uji Normalitas Uji ini dilakukan untuk sampel kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term terdistribusi secara normal. Untuk menguji error term terdistribusi secara normal atau tidak dapat ditunjukan dengan menggunakan uji Jarque-Bera. Kriteria uji : a. H0 = error term terdistribusi normal H1 = error term tidak terdistribusi normal b. Statistik J-B dapat dihitung melalui tahapan berikut. 1) hitung kecondongan (α 3 )dan ketinggian (α 4 ) error term. (2) hitung statistik J-B = 2 ( 3) 2 α 3 α Pada software Eviews, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan descriptive statistic test. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf

46 32 nyata yang digunakan maka model persamaan tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi secara normal Definisi Operasional 1. Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. 2. Karakteristik kemiskinan adalah hubungan atau gambaran kondisi; atribut dari karakteristik masyarakat dengan proses dan kejadian kemiskinan dilihat kaitannya dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya. 3. Garis kemiskinan adalah besarnya pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal makanan dan non makanan. 4. Tingkat pendapatan adalah pendapatan regional dibagi dengan jumlah penduduk pada tengah tahun berdasarkan harga konstan. 5. Investasi adalah pembelian dari modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang. 6. Luas lahan diukur dari jumlah lahan sawah dan lahan kering. 7. Tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) umum. 8. Tingkat ketergantungan adalah jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk umur tahun. 9. Tingkat pengangguran adalah jumlah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. 10. Tenaga kerja adalah jumlah angkatan kerja yang bekerja.

47 IV. PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT 4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tahun berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode tahun Pada periode tahun jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 4431,3 ribu karena krisis ekonomi, yaitu dari 3962,1 ribu pada tahun 1996 menjadi 14853,2 ribu pada tahun Persentase penduduk miskin meningkat dari 9,88 persen menjadi 35,72 persen pada periode yang sama. Pada periode tahun terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 37392,2 ribu, yaitu dari 8393,4 ribu pada tahun 1999 menjadi 4654,2 ribu. Secara relatif juga terjadi penurunan pada persentase penduduk miskin dari 19,78 persen pada tahun 1999 menjadi 12,10 persen pada tahun Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun Tahun Jumlah penduduk miskin (ribu) Persentase penduduk miskin ,1 9, ,1 13, ,2 35, ,4 19, ,4 15, ,6 15, ,2 13, ,0 12, ,2 12,10 Sumber : BPS,

48 Perkembangan Pendapatan di Jawa Barat Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Pendapatan perkapita adalah nilai PDRB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun. Semakin tinggi pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk. Secara umum pendapatan perkapita baik harga berlaku maupun dengan harga konstan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Namun peningkatan pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat secara umum karena sama seperti PDRB harga berlaku, dalam pendapatan perkapita harga berlaku masih mengandung faktor inflasi. Untuk melihat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat dapat dilihat perolehan pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan. Peningkatan pendapatan perkapita terlihat dari jumlah pendapatan pada tahun 2000 sebesar Rp menjadi Rp pada tahun 2004 dan terlihat pula pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 3,89 persen pada tahun 2001 menjadi 5,47 persen pada tahun Tabel 4.2. Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun Tahun Pendapatan Perkapita Laju Pertumbuhan Harga Berlaku (Rp) Harga Konstan (Rp) Ekonomi (%) , , , , * ,47 Sumber : BPS, 2005 Keterangan : *) angka sementara

49 Perkembangan Tenaga Kerja Perkembangan tenaga kerja di Jawa Barat pada periode tahun mengalami peningkatan yaitu dari orang pada tahun 2001 menjadi orang pada tahun Dari kontribusi tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja paling tinggi terjadi di sektor Pertanian, kurang lebih sebesar 30 persen dari jumlah pekerja yang ada di Jawa Barat. Sektor non-pertanian memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja kurang lebih sebesar 70 persen yang terbagi dari beberapa sektor, yaitu sektor pertambangan dan galian, industri, listrik, gas dan air, konstruksi, perdagangan, komunikasi, keuangan dan lain-lain. Kendala yang terjadi dalam tenaga kerja adalah rendahnya kualitas tenaga kerja di Jawa Barat, sekitar 50 persen tenaga kerja di Jawa Barat berpendidikan Sekolah Dasar (SD), yang berarti bahwa banyak dari pekerja di Jawa Barat yang menempati posisi sebagai pekerja yang tidak berpendidikan. Tabel 4.3. Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun Tahun Tenaga Kerja (orang) Sektor Ekonomi Pertanian Non Pertanian ,67 67, ,81 68, ,57 65, ,34 69, ,06 69,94 Sumber : BPS,

50 36 Tabel 4.4. Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun Tingkat Pendidikan Tdk/blm sekolah 4,46 3,56 1,89 2,26 2,67 Tdk/blm sekolah SD 14,00 14,70 11,1 11,80 11,80 SD 45,50 45,40 48,3 45,90 44,90 SLTP 15,29 15,16 16,1 17,97 17,3 SLTA 16,22 16,55 18,1 17,02 18,14 Diploma 2,36 2,43 1,95 2,41 2,50 Universitas 2,26 2,31 2,48 2,75 2,77 Sumber : BPS, Perkembangan Investasi Perkembangan investasi pada periode tahun berfluktuasi. Peningkatan nilai investasi terjadi pada tahun 2001 yaitu pada PMA di tahun 2001 sebesar 7,68 persen menjadi 19,26 persen di tahun 2002, sedangkan pada PMDN di tahun 2001 sebesar 8,39 persen menjadi 9,32 persen di tahun Pada periode tahun , nilai investasi mengalami penurunan baik pada PMA maupun pada PMDN. Pada tahun 2005 peningkatan terjadi pada PMA sedangkan pada PMDN mengalami penurunan sebesar 9,43 persen yaitu pada tahun 2004 sebesar 20,02 persen menjadi 10,59 persen pada tahun Peningkatan investasi akan membawa dampak yang baik terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Tabel 4.5. Nilai Investasi di Jawa Barat Periode Tahun Tahun PMA PMDN ,89 8, ,26 9, ,21 6, ,84 20, ,65 10,59 Sumber : BPS,

51 Perkembangan Tingkat Pengangguran Tingkat pengangguran di Jawa Barat pada periode tahun mengalami fluaktuasi. Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2004 mengalami peningkatan yaitu dari 8,99 persen pada tahun 2000 menjadi 13,19 persen pada tahun 2002, kemudian pada tahun 2003 tingkat pengangguran menurun sebesar 12,49 persen. Namun tidak lama kemudian tingkat pengangguran kembali meningkat pada tahun 2004 dan Pengangguran meningkat di Jawa Barat disebabkan oleh meningkatnya jumlah migrasi dari daerah lain ke Jawa Barat serta lapangan kerja tidak mampu menampung tenaga kerja tersebut. Tabel 4.6. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun Tahun Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran (%) , , , , , ,73 Sumber : BPS, Perkembangan Tingkat Ketergantungan Pada periode tahun , tingkat ketergantungan di Jawa Barat mengalami penurunan sebagai akibat dari berhasilnya program Keluarga Berencana yang dijalankan oleh pemerintah. Tingkat ketergantungan adalah angka yang menyatakan perbandingan antara penduduk tidak produktif dan penduduk usia produktif. Pada tahun 2000, tingkat ketergantungan sebesar 0,50 yang berarti tiap orang yang produktif harus menanggung 50 orang yang tidak produktif.

52 38 Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun Tahun Jumlah Penduduk menurut Umur Tingkat Ketergantungan (ribu) (persen) <15 th th >65 th , , ,68 50, ,805, , ,88 50, , , ,42 49, , , ,41 49, , , ,91 48, , , ,27 48,04 Sumber :BPS, 2005

53 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pendugaan Model Analisis Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan kemiskinan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi dari metode pendugaan yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan multikolineritas. Untuk menguji asumsi normalitas error term dilakukan dengan mengunakan uji Jarque- Bera Test. Hasil pengujian normalitas untuk model pendapatan dapat ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,02. Ini berarti bahwa pada taraf nyata 1 persen dapat dikatakan error term terdistribusi normal. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh model kemiskinan, yaitu bahwa probabilitas ketidaknormalan sebesar 0,98 yang berarti error term tersebut tersebar normal. Dalam asumsi model regresi linier, gangguan μ i semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi ini terpenuhi maka model regresi bersifat homoskedastisitas tetapi sebaliknya jika asumsi tersebut dilanggar maka model tersebut mengandung heteroskedastisitas. Untuk menguji asumsi heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity. Jika nilai probabilitas dalam uji yang digunakan lebih kecil dari taraf nyata maka dalam model terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas (probabilitas Obs*R-square) untuk model pendapatan dan model kemiskinan berturut-turut adalah sebesar 0,114 dan 0,58. Berdasarkan nilai tersebut maka pada taraf nyata satu persen, kedua model tersebut memenuhi asumsi homoskedastisitas.

54 40 Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah multikolinearitas dilihat dari korelasi antara variabel-variabel independent yang menyusun model. Suatu model dikatakan terbebas dari multikolinearitas jika korelasi antara variabel-variabelnya tidak lebih dari 0,8. Dalam model pendapatan dan kemiskinan (Lampiran 3) dapat terlihat bahwa korelasi diantara variabel tidak lebih dari 0,8, sehingga tidak terjadi masalah multikolinearitas diantara variabel bebas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Dari model faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan (Tabel 5.1) menunjukkan nilai probabilitas F statistik sebesar 0,000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata yang dikehendaki yaitu 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan variabel-variabel bebas dalam model secara signifikan berpengaruh terhadap variabel pendapatan. Disamping itu juga ditunjukkan nilai koefisien determinasi adalah sebesar 0,66, yang berarti bahwa besarnya variabel pendapatan yang dapat dijelaskan oleh variabel tenaga kerja, lahan, investasi dan dummy kota/kabupaten adalah sebesar 66 persen. Dari empat variabel yang dimasukkan dalam model, dua variabel pengaruh yang nyata pada taraf <1 persen yaitu tenaga kerja dan investasi dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen terhadap pendapatan yaitu variabel lahan dan dummy kota/kabupaten. Koefisien regresi tenaga kerja adalah sebesar 0,0016. Hal ini bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu orang akan meningkatkan pendapatan sebesar 16 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tenaga kerja

55 41 maka akan menurunkan pengangguran yang akan meningkatkan pendapatan nasional selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita. Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan Variabel Koefisien Peluang untuk satu sisi Konstan -490,4733 0,2448 Lahan (L) 0, ,0472 Tenaga Kerja (Tk) 0, ,0047 Investasi (I) 0, ,0084 Dummy Kotamadya (Dk) 774,9002 0,0317 R 2 0, F-statistik 9, Peluang (F-stat) 0, Sumber : Lampiran 2 Koefisien regresi lahan adalah sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan pertanian sebesar satu hektar akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 15 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian masih sangat penting dalam meningkatkan pendapatan. Pentingnya sektor Pertanian juga ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang masih tinggi yaitu pada tahun 2004 sebesar 13,43 persen. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Syafwannur (2004). Untuk koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan sebesar 100 ribu rupiah. Ini menunjukkan bahwa pentingnya Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang menginvestasikan dananya ke kotamadya/kabupaten di Jawa Barat. Dengan meningkatnya investasi di bidang usaha akan memperluas lapangan kerja yang akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang

56 42 selanjutnya akan meningkatkan pendapatan. Hal ini terlihat dari peningkatan investasi dari 221 proyek pada tahun 2003 menjadi 350 proyek pada tahun 2004 yang meningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar orang pada tahun 2004 dari orang pada tahun 2003 (BPMD, 2004). Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan memiliki tanda positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten. Hasil ini sesuai dengan kenyataan dimana pendapatan di kotamadya yang lebih tinggi karena merupakan pusat suatu daerah dengan berbagai lapangan usaha seperti industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, dan lain-lain, sedangkan sebagian besar lapangan usaha di kabupaten adalah di sektor pertanian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Berdasarkan model kemiskinan pada Tabel 5.2, dapat ditunjukkan bahwa nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000, yang berarti bahwa pendapatan, pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan secara bersamasama mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat kemiskinan. Di samping itu juga ditunjukkan bahwa koefisien determinasi adalah sebesar 0,73. Artinya dengan model tersebut variabel tingkat kemiskinan dapat dijelaskan oleh variabel pendapatan, pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan sebesar 73 persen. Dari empat variabel bebas yang dimasukkan dalam model kemiskinan, dua variabel pengaruh yang nyata pada taraf <1 persen

57 43 dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen terhadap tingkat kemiskinan. Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan Variabel Koefisien Peluang untuk satu arah Konstan 3, ,6544 Pendapatan (Y) -0, ,0084 Pendidikan (Pd) -0, ,0022 Jumlah pengangguran (U) 0, ,0830 Tingkat ketergantungan (Dep) 0, ,0872 R 2 0, F-statistik 14,15245 Peluang (F-stat) 0, Sumber : Lampiran 2 Dari Tabel 5.2. juga dapat ditujukkan bahwa pendapatan mempunyai pengaruh yang sangat nyata pada taraf <1 persen terhadap tingkat kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen dan Thompson (1990), McDowel dan Allen (1995) serta Intania (2002). Nilai koefisien regresi untuk pendapatan bernilai -0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar satu miliar rupiah akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,002 persen. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf 1 persen terhadap tingkat kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen and Thompson (1990), McDowel and Allen (1995).Nilai koefisien regresi untuk variabel tingkat pendidikan bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kemiskinan. Dengan pendidikan yang layak, seseorang diharapkan dapat

58 44 memperoleh penghasilan lebih tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya lebih baik. Nilai koefisien regresi untuk jumlah pengangguran berpengaruh nyata pada taraf 10 persen terhadap kemiskinan. Nilai koefisien regresi untuk jumlah pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu orang maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pengangguran merupakan masalah yang penting dalam mengurangi kemiskinan. Untuk itu diperlukan penciptaan lapangan kerja yang memadai bagi penduduk miskin khususnya di pedesaan. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel tingkat ketergantungan mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf 10 persen terhadap tingkat kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Intania (2002). Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan sebesar 0,236. Artinya bahwa jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,236 persen. Hal ini terlihat bahwa peningkatan tingkat ketergantungan mengindikasikan jumlah anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan dalam keluarga lebih banyak daripada mereka yang produktif bekerja sehingga pendapatan perkapita menjadi rendah yang selanjutnya menyebabkan kemiskinan meningkat.

59 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata satu persen adalah tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan variabel dummy kota/kabupaten berpengaruh nyata 10 persen. Koefisien regresi tenaga kerja adalah sebesar 0,0016. Hal ini bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu orang akan meningkatkan pendapatan sebesar 16 juta rupiah. Lahan memiliki koefisien regresi sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan sebesar satu hektar akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 15 juta rupiah. Untuk koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan sebesar 100 ribu rupiah. Koefisien regresi variabel dummy antara kota dan kabupaten memiliki tanda positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kota lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata satu persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata 10 persen. Koefisien regresi untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar satu miliar rupiah akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai

60 46 koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu orang akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendidikan mempengaruhi tingkat kemiskinan, maka pemerintah perlu membuat kebijakan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia. 2. Dari hasil penelitian, bahwa pengangguran mempengaruhi tingkat kemiskinan. Maka untuk mengurangi pengangguran, pemerintah daerah perlu mendorong program pembangunan yang padat karya. 3. Pemerintah daerah melalui Departemen Kesehatan perlu lebih menggalakkan program yang dapat menekan tingkat kelahiran untuk mengurangi tingkat ketergantungan, sehingga beban dalam memenuhi kebutuhan hidup berkurang.

61 DAFTAR PUSTAKA Alfian dkk Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai. Penerbit Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan HIPIS, Jakarta. Allen, J dan Thompson Rural Poverty Among Racial and Ethnic Minorities. American Agricultural Economics Assosiation. Badan Pusat Statistik Data dan Informasi Kemiskinan Tahun BPS, Jakarta Indonesia dalam Angka. BPS, Jakarta Jawa Barat dalam Angka, BPS, Jakarta. BPMD. Perkembangan Realisasi Investasi di Jawa Barat. Berbagai edisi, Bandung. Deliarnov Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Rintuh, C.. M, Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Dikti, Jakarta. Fithrajaya, A Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di Banten) [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Gujarati, D Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hendriawan Penanggulangan Kemiskinan Dalam Rangka Kebijakan Desentralisasi. IPB, Bogor. Intania, O. I Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Krisnamurti, B Tahun Studi Pembangunan Pengurangan Kemiskinan, Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB, Bogor. McDowell, D. R dan Joyce E Poverty Among Southern Workers: Metro and NonMetro Differentials. Journal Agricultural Economic. 77: American Agricultural Economics Assosiation.

62 48 Lu'lu Analisis Gender Terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek P2KP [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Nicholson, W Teori Ekonomi Mikro. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Nur, N. S Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [Tesis]. IPB, Bogor. Rahmawati, Y. I Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskian Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur [skripsi]. Program Studi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Sajogyo Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor. Sumodiningrat, G dkk Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Penerbit IMPAC, Jakarta Sunarso dan Mardimin Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan dalam Dimensi Proses Pembangunan di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Suparlan, P Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Sinar Harapan, Jakarta. Suryadiningrat, B Persepsi dan Tindakan Tokoh Masyarakat Desa terhadap Kemiskinan [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Syafwannur, E Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir [Tesis]. IPB, Bogor. The World Bank Group, 2000, Todaro, M Pembangunan Ekonomi. Haris Munandar [penerjemah]. Penerbit Erlangga, Jakarta. Widiyanti, R Telaah terhadap Partisipasi, Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Peserta Program Perhutanan Sosial [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. IPB, Bogor.

63 Wiraswara, A Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka Kemiskinan di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. 49

64 LAMPIRAN

65 52 Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan dan Model Pendapatan 2.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan Dependent Variable: Y Method: Two-Stage Least Squares Date: 04/28/02 Time: 02:47 Sample: 1 25 Included observations: 25 Instrument list: C L TK I DK PD U DEP Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C L TK I E DK R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var S.E. of regression Sum squared resid F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Hasil Estimasi dari Model Kemiskinan Dependent Variable: M Method: Two-Stage Least Squares Date: 05/10/06 Time: 09:41 Sample: 1 25 Included observations: 25 Instrument list: C PD U DEP TK L I DK Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C Y PD U E DEP R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var S.E. of regression Sum squared resid F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)

66 53 Lampiran 3. Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas 3.1. Uji Heteroskedastisitas dari Model Pendapatan White Heteroskedasticity Test: F-statistic Probability Obs*R-squared Probability Uji Heteroskedastisitas dari Model Kemiskinan White Heteroskedasticity Test: F-statistic Probability Obs*R-squared Probability Uji Multikolinearitas Model Kemiskinan Y PDDK JU DEP Y PDDK JU DEP Uji Multikolinearitas Model Pendapatan LAHAN TK INV DK LAHAN TK INV DK

67 54 Lampiran 4. Uji Normalitas 4.1. Uji Normalitas dari Model Pendapatan 4.1. Uji Normalitas dari Model Kemiskinan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2008 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam usahanya untuk mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya, suatu negara akan melakukan pembangunan ekonomi dalam berbagai bidang baik pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR Oleh DIYAH RATNA SARI H14102075 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

PENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE

PENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.4 Oktober 2011 PENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE 1990-2008 Candra Mustika Dosen

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Konsep Kemiskinan Pada umumnya masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dan mendapat perhatian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode ) OLEH M.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode ) OLEH M. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode 1982-2003) OLEH M. FAHREZA H14101011 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi Jawa Timur ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan 40 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan rentang waktu dari tahun 2001 2012. Tipe data yang digunakan adalah data runtut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterlibatan ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. Kompleksnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA OLEH DIAH ANANTA DEWI H14084022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, serta memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, hal ini membuat Indonesia pantas disebut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja,

III. METODE PENELITIAN. model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja, III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data yang digunakan dalam model

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) Oleh ANNISA ANJANI H14103124 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai. tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai. tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunanan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA)

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) DITA FIDIANI H14104050 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan dalam dua tahun terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun menjadi 5,2%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penghitungan Indeks Williamson Untuk melihat ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis Indeks Williamson.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif. Definisi dari penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H14103094 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH ( )

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1994-2007) Disusun Oleh : LISBETH ROTUA SIANTURI H14104020 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pariwisata menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan perpustakaan IPB, media massa, dan internet.

III. METODE PENELITIAN. pariwisata menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan perpustakaan IPB, media massa, dan internet. III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan untuk analisis dayasaing merupakan data sekunder dari tahun 2006

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA OLEH AULIA FABIA H

ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA OLEH AULIA FABIA H ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA OLEH AULIA FABIA H14102054 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H14102048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI DAN KONSUMSI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI SUMATERA SELATAN PERIODE

PENGARUH INVESTASI DAN KONSUMSI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI SUMATERA SELATAN PERIODE PENGARUH INVESTASI DAN KONSUMSI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI SUMATERA SELATAN PERIODE 1995-2010 Fitri Suciani Jaka Pratama Tetiyeni Dwi Lestari ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

31 Universitas Indonesia

31 Universitas Indonesia BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Setelah memperhatikan karakteristik permintaan kedelai di Indonesia pada bab terdahulu maka sekarang tiba saatnya untuk memodelkan faktor faktor yang mempengaruhi permintaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 )

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 ) 97 BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL 5.1. Hasil Estimasi Model Persentase Penduduk Miskin Absolut (P 0 ) Head count index (P 0 ) merupakan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari publikasi dinas atau instansi pemerintah, diantaranya adalah publikasi dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT Dewi Shofi Mulyati, Iyan Bachtiar, dan Yanti Sri Rezeki * Abstrak Pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 66 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Badan Pusat Statistik dengan mengambil data Laporan Realisasi Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian di setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau berkembang adalah

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, JUMLAH TENAGA KERJA, DAN INFLASI TERHADAP KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, JUMLAH TENAGA KERJA, DAN INFLASI TERHADAP KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, JUMLAH TENAGA KERJA, DAN INFLASI TERHADAP KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA TAHUN 1995 2013 Naskah Publikasi Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan dan jumlah komposisi tenaga kerja tersebut akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya

Lebih terperinci

Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan produktivitas tenaga kerja terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Jambi

Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan produktivitas tenaga kerja terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Jambi Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan produktivitas tenaga kerja terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Jambi Nurfita Sari Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan selalu menjadi masalah bagi setiap negara, terutama negara berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Pembangunan dikatakan berhasil jika terjadi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pertambahan penduduk Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H14102059 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan

Lebih terperinci