6. HASIL ESTIMASI MODEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6. HASIL ESTIMASI MODEL"

Transkripsi

1 HASIL ESTIMASI MODEL Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik yang memenuhi kriteria ekonomi dan kriteria statistik yaitu tanda dari koefisienkoerfisien sesuai teori ekonomi (theoretically meaningful), koefisien determinasi cukup besar (goodness of fit), serta hasil uji-uji F dan uji-uji t signifikan secara statistik (statistically significant). Namun, karena model tersebut adalah model dinamis dengan variabel lag endogen pada beberapa persamaan struktural maka untuk menghindari perbedaan unit observasi antara current data dan lag data yang mungkin terjadi pada pemrograman data panel menggunakan software SAS/ETS 9.1.3, data tahun 005 hanya digunakan sebagai lag data tahun 006 sedangkan data tahun digunakan sebagai current data dan lag data. Program dan hasil estimasi selengkapnya disajikan pada lampiran 4 dan 5. Tabel 4 Keragaan Umum Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun No Endogen Keterangan Prob > F-value F-value 1 PJK Pajak daerah < BHSPJK Bagi hasil pajak < DAU Dana alokasi umum < GPGNKBNTNK Belanja pertanian < GIND Belanja perindustrian < GDG Belanja perdagangan < GIF Belanja infrastruktur < GLN Belanja lainnya < ASP Panjang jalan aspal < PDBPGNKBNTNK PDB pangan, kebun, ternak < PDBMKN PDB makanan jadi < PDBDG PDB perdagangan < TKTANI Tenaga kerja pertanian < TKIND Tenaga kerja industri < TKDG Tenaga kerja perdagangan < UPHTANI Upah pertanian < UPHIND Upah industri < UPHDG Upah perdagangan < EXPTANI Konsumsi perkapita pertanian < EXPIND Konsumsi perkapita industri < EXPDG Konsumsi perkapita perdagangan < GINI Indeks Gini < POVTANIP0 Headcount index pertanian < POVINDP0 Headcount index industri < POVDGP0 Headcount index perdagangan < POVTANIP1 Poverty gap index pertanian < POVTANIP Poverty severity index pertanian < POVP0 Total headcount index <

2 107 Tabel 4 menunjukkan mayoritas cukup besar (> 0.60) yang artinya telah memenuhi syarat kecocokan model (goodness of fit). Nilai yang kecil terdapat pada beberapa persamaan blok kemiskinan kecuali kemiskinan sektor pertanian. yang rendah pada estimasi indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga (006) di Indonesia, Fan, et al. (006) di Mesir, dan Daniels (011) di Uganda. Namun demikian, seluruh hasil uji F menunjukkan signifikan secara statistik. Artinya, seluruh variabel penjelas di seluruh persamaan struktural secara bersama-sama mempengaruhi masing-masing variabel endogennya secara signifikan. Pajak Daerah Blok Fiskal Tabel 5 Hasil Pajak Daerah Elastisitas t-val Pr > t S- L- Keterangan Intercept a PDBKAP b PDB per kapita PM a 6.01 < Penanaman Modal MT a 4.80 < Kendaraan bermotor PJKL a 17.0 <.0001 PJKt Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Tabel 5 menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah sebagai sumber utama kapasitas fiskal dipengaruhi PDB per kapita yang mencerminkan potensi ekonomi atau tingkat kemakmuran penduduk. Koefisien sebesar 3.06 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan PDB per kapita sebesar seribu rupiah akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 3.06 juta rupiah. Namun, koefisien elastisitas yang kecil yaitu 0.04 menunjukkan rendahnya responsibilitas pajak daerah terhadap perubahan PDB per kapita. Artinya, PDB per kapita yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan penerimaan pajak daerah, begitu juga PDB per kapita yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan pajak daerah. Di sisi lain, hal ini dapat mengindikasikan bahwa masih cukup peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dari objek-objek pajak individual dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Faktor lainnya adalah penanaman modal bahkan hubungannya lebih elastis dibandingkan PDB per kapita. Artinya, berkembangnya dunia usaha memberi potensi bagi pemerintah daerah untuk mendorong penerimaan pajak daerah. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor juga mempengaruhi penerimaan pajak daerah bahkan hubungannya paling elasatis dibandingkan dua faktor sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena data agregat penerimaan pajak daerah didominasi oleh pajak-pajak provinsi yang mayoritas bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Tingginya komposisi pajak provinsi ditunjukkan oleh penerimaan pajak daerah tahun 011 dimana rata-rata 77% dari total penerimaan pajak daerah (agregat pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota) merupakan pajak provinsi berkisar antara 46% di Kepulauan iau dan 87% di Kalimantan Selatan. Namun demikian, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor

3 108 berdampak buruk pada lingkungan dan menambah beban negara menyediakan subsidi BBM. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi pajak daerah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dan investasi swasta yang lebih besar. Bagi Hasil Pajak Tabel 6 Hasil Bagi Hasil Pajak Elastisitas t-val Pr > t Keterangan S- L- Intercept d PDBNONTANI a 7.07 < PDB non tani WLYH a Luas wilayah BHSPJKL a BHSPJK t Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah bagi hasil pajak. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 004, bagi hasil pajak adalah sumber penerimaan daerah yang merupakan bagi hasil atas penerimaan pajak negara dari wilayah pemerintahan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 5 dan Pasal 9 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 1. Hasil estimasi pada Tabel 6 menunjukkan bagi hasil pajak secara signifikan dipengaruhi PDB non-pertanian yang mencerminkan sumber penerimaan PPh orang pribadi dimana sebagian besar bekerja di sektor-sektor non-pertanian. PPh orang pribadi adalah bagian dari PPh non-migas yang merupakan sumber penerimaan pajak dalam negeri terbesar di Indonesia. Data realisasi penerimaan pajak negara tahun 011 menunjukkan 68% PPh non-migas bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi 4%. Sementara itu, 1% penerimaan PPh Non-migas merupakan tiga jenis PPh yang dibagi hasilkan. Dengan demikian, pembangunan sektor-sektor non-pertanian di daerah berpotnsi meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak khususnya yang bersumber dari PPh. Di sisi lain, peningkatan bagi hasil pajak dari PPh dapat juga dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagian PPh tersebut. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 004 Pasal 13 daerah hanya menerima 0% dari total PPh di seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan proporsi 8% untuk provinsi dan 1% untuk kabupaten/kota. Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak adalah luas wilayah yang mencerminkan sumber penerimaan PBB dan BPHTB. Namun, hubungan bagi hasil pajak dengan PDB non-pertanian lebih elastis dibandingkan hubungannya dengan luas wilayah yang berarti penerimaan bagi hasil pajak lebih bergantung pada pajak-pajak penghasilan dari pada pajak-pajak properti. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kontribusi PBB pada penerimaan pajak dalam negeri. Pada tahun 011 komposisi PBB pada total penerimaan pajak dalam negeri hanya 4%. Selain itu, sejak tahun 011 BPHTB telah dialihkan seluruhnya ke daerah menjadi sumber penerimaan pajak daerah sehingga tidak lagi menjadi sumber penerimaan pajak dalam negeri.

4 109 Berdasarkan temuan dari hasil estimasi bagi hasil pajak disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak khususnya dari sumber bagi hasil PPh diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian antar alain sektor industri dan perdagangan. Namun, upaya lain dapat dilakukan pemerintah pusat dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dengan merrevisi UU No. 33 tahun 004. Dana Alokasi Umum Selain kapasitas fiskal, pendapatan fiskal daerah juga bersumber dari dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Fakta menunjukkan bahwa lebih dari setengah total pendapatan daerah berasal dari DAU. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal yang mengutamakan sisi pengeluaran dengan mengalihkan tugas-tugas pengeluaran daerah secara penuh dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, ketergantungan pada DAU dapat memperburuk kinerja fiskal daerah. Menurut teori federalisme fiskal, transfer yang besar menimbulkan disinsentif atau halangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaannya (Oates, 197). Jika dikaitkan DAU sebagai komponen dana perimbangan yang paling penting maka ketergantungan keuangan daerah pada DAU akan menghalangi kemampuan daerah meningkatkan penerimaannya dari sumber-sumber keuangan lokal. Tabel 7 Hasil Dana Alokasi Umum Elastisitas t-val Pr > t Keterangan S- L- Intercept c PDBL a < PDBt-1 POP a 4.6 < Jumlah penduduk WLYH a 4.45 < Luas wilayah PNS a 6.7 < Jumlah PNS DAUL a 6.51 <.0001 DAUt Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Hasil estimasi pada Tabel 7 menunjukkan DAU dipengaruhi faktor-faktor kebutuhan daerah sesuai formula alokasi DAU yaitu PDB tahun sebelumnya (lag PDB), jumlah penduduk, dan luas wilayah. Hubungan DAU dan lag PDB yang negatif menunjukkan bahwa daerah akan menerima DAU lebih rendah jika PDB tahun sebelumnya lebih besar. Hal ini berarti kenaikan PDB merupakan faktor penting untuk mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Sementara, faktor-faktor yang meningkatkan DAU adalah jumlah penduduk dan luas wilayah. Sesuai formula alokasinya, DAU juga ditentukan oleh alokasi dasar sebagai cerminan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah yang diproksi dari jumlah PNS daerah. Hubungan yang positif mengindikasikan pembiayaan struktur pemerintahan daerah yang lebih luas akan dijamin oleh pemerintah pusat melalui DAU. Namun, perluasan struktur pemerintahan daerah tidak menjamin peningkatan layanan masyarakat. Selain itu, koefisien elastisitasnya paling besar yaitu 0.5 yang berarti kenaikan kenaikan jumlah PNS 10% akan menambah DAU 5%. Artinya, setengah dari tambahan DAU digunakan untuk membayar gaji PNS. Temuan ini sesuai hasil penelitian World Bank (007) dimana lebih dari setengah

5 110 kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Peran DAU yang besar pada alokasi dasar mengindikasikan DAU lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi DAU disimpulkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU diperlukan PDB yang lebih besar dan perampingan struktur pemerintahan di daerah. Belanja Sektoral Tabel 8 Hasil Belanja Sektoral Daerah Elastisitas t-val Pr > t Keterangan S- L- Belanja Pertanian (GPGNKBNTNK) Intercept a KAPFIS a Kapasitas fiskal DAU a DAU DAK d Dana alokasi khusus GPGNKBNTNKL a 7.55 <.0001 GPGNKBNTNK t Belanja Perindustrian (GIND) Intercept b KAPFIS b Kapasitas fiskal DAU a 5.13 < DAU GINDL a 13.6 <.0001 GIND t Belanja Perdagangan (GDG) Intercept KAPFIS a Kapasitas fiskal DAU a 4.73 < DAU GDGL a 7.19 <.0001 GDG t Belanja Infrastruktur (GIF) Intercept a KAPFIS a 5.66 < Kapasitas fiskal DAU b DAU GIFL a 10.8 <.0001 GIF t Belanja Lainnya (GLN) Intercept KAPFIS a 4.89 < Kapasitas fiskal DAU a 6.96 < DAU GLNL a 0.56 <.0001 GLN t Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Klasifikasi belanja daerah pada penelitian ini terdiri dari belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan pengeluaran pemerintah daerah sektoral dan kinerja perekonomian sektoral. Besar kecilnya

6 111 pengeluaran pemerintah tergantung pada penerimaanya. Oleh karena itu, kelima jenis belanja daerah ini diduga dipengaruhi oleh dua sumber utama penerimaan daerah yaitu kapasitas fiskal dan DAU. Di sisi lain, penggunaan DAU sebagai variabel penjelas dapat memberi informasi ada tidaknya fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasinya untuk kelima jenis belanja daerah tersebut. Selain itu, dapat diketahui juga informasi ada tidaknya upaya pemerintah daerah untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan pengeluaran daerah. Hasil estimasi pada Tabel 8 menunjukkan kelima jenis belanja daerah dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU. Namun, perubahan belanja-belanja daerah lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal kecuali belanja infrastruktur. Artinya, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU karena pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membiayai sebagian besar belanja daerahnya sementara perubahan kapasitas fiskal kurang direspon. Koefisien DAU yang lebih besar dari koefisien kapasitas fiskal pada estimasi belanja perindustrian dan belanja perdagangan mengindikasikan pemerintah daerah tidak menggunakan DAU untuk strategi pertumbuhan pro-poor yaitu pembangunan pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagaimana rekomedasi studi-studi terdahulu seperti Balisacan, et al. (003) dan OECD (006 dan 009). Sementara itu, hasil estimasi belanja pertanian dan belanja infrastruktur menunjukkan koefisien kapasitas fiskal cukup besar. Hal ini mengindikasikan kapasitas fiskal lebih diandalkan dalam strategi pertumbuhan pro-poor di daerah dari pada DAU. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal lebih efektif untuk mencapai pertumbuhan pro-poor dari pada DAU. Namun, fakta menunjukkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah bahkan cenderung berkurang. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi belanja-belanja sektoral disimpulkan bahwa ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasi belanjabelanja sektoral yang tidak berdampak besar bagi pertumbuhan pro-poor. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur daerah dibutuhkan kapasitas fiskal yang besar dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal Infrastruktur jalan merupakan faktor penting dalam perekonomian daeerah karena berfungsi sebagai sarana untuk memperluas akses ke pasar input dan pasar output. Oleh karena ituk, pembangunan infrastruktur jalan aspal juga merupakan fokus pembangunan nasional yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Hal ini berawal dari fakta rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia pada umumnya sehingga menjadi kendala utama dalam melakukan berbagai kegiatan usaha. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jalan aspal. Hasil estimasi pada Tabel 9 menunjukkan panjang jalan aspal dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, penanaman modal, dan jumlah kendaraan bermotor. Koefisien belanja infrastruktur sebesar menunjukkan kenaikan belanja infrastruktur satu miliar rupiah hanya mampu menambah jalan aspal 0.63 km. Hal ini dapat terjadi karena belanja infrastruktur digunakan juga untuk pembangunan

7 11 infrastruktur lain seperti irigasi dan sarana air bersih. Akan tetapi, hasil penelitian KPPOD di 41 kabupaten/kota tahun menemukan anggaran belanja infrastruktur hanya 11-13%. Bahkan meningkatnya belanja infrastruktur tidak meningkatkan kualitas infrastruktur khususnya jalan yang diduga disebabkan oleh korupsi pelaksanaan proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrasttruktur. Tabel 9 Hasil Panjang Jalan Aspal t-val Pr > t Elastisitas Keterangan Intercept a 4.16 <.0001 GIF b Belanja infrastruktur PM b Penanaman modal MT a < Kendaraan bermotor 0.75 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Selain itu, penanaman modal juga berpengaruh positif meskipun kurang elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan peran swasta mengingat kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur dari belanja pemerintah daerah relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil estimasi belanja sektoral, rendahnya belanja infrastruktur karena belanja tersebut lebih bergantung pada kapasitas fiskal sementara komposisi kapasitas fiskal di daerah rendah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi panjang jalan aspal disimpulkan untuk membangun infrastruktur jalan aspal diperlukan belanja infrastruktur dan investasi swasta yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana belanja infrastruktur sangat bergantung pada kapasitas fiskal, maka kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur jalan aspal adalah kapasitas fiskal. PDB Sektoral Kinerja perekonomian daerah dapat dicerminkan dari PDB sektoral. Hasil estimasi pada Tabel 30 menunjukkan PDB sektoral dipengaruhi belanja sektoral, tenaga kerja sektoral, dan panjang jalan aspal. Perubahan PDB tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan PDB perdagangan lebih elastis terhadap perubahan tenaga kerja sektoral dari pada perubahan belanja sektoral. Hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut lebih bersifat padat karya (labor intensive). Sebaliknya, perubahan PDB industri makanan lebih elastis terhadap perubahan belanja perindustrian dari pada tenaga kerja industri. Hal ini menunjukkan sektor tersebut lebih bersifat padat modal (capital intensive). Faktor lain yang mempengaruhi PDB sektoral adalah panjang jalan aspal yang mencerminkan perannya sebagai sarana memperluas akses ke pasar output terutama pertanian dan perdagangan melalui jalur yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Koefisien panjang jalan aspal pada PDB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebesar 930 dan PDB perdagangan sebesar 1656 memberi arti penambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan meningkatkan PDB tanaman pangan, perkebunan, peternakan sebesar 930 juta rupiah dan PDB perdagangan 1.66 miliar rupiah.

8 113 Tabel 30 Hasial PDB Sektoral t-val Pr > t Elastisitas Keterangan PDB tanaman pangan, perkebunan, peternakan (PDBPGNKBNTNK) Intercept a <.0001 GPGNKBNTNK a 4.40 < Belanja pertanian TKTANI a 6.67 < Tenaga kerja pertanian ASP a Panjang jalan aspal 0.9 PDB industri makanan jadi (PDBMKN) Intercept b GIND a 5.48 < Belanja perindustrian TKIND a 6.74 < Tenaga kerja industri 0.64 PDB perdagangan (PDBDG) Intercept -1.47E+07 a <.0001 GDGKAP a Belanja perdagangan TKDG a < Tenaga kerja perdag ASP a 5.13 < Panjang jalan aspal 0.88 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi PDB sektoral dapat disimpulkan untuk mendorong perekonomian daerah maka diperlukan pengeluaran pemerintah sektoral yang lebih besar terutama di sektor industri serta jumlah tenaga kerja yang lebih besar terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, infrastruktur jalan aspal juga dibutuhkan terutama untuk sektor pertanian dan perdagangan. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi belanja-belanja sektoral, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk mendorong perekonomian daerah mengingat perannya yang besar dalam pada belanja-belanja sektoral khususnya belanja pertanian dan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan pro-poor. Tenaga Kerja Sektoral Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Hasil estimasi menunjukkan jumlah tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDB pertanian dan panjang jalan aspal. Hubungannya dengan panjang jalan aspal lebih elastis dari pada PDB pertanian dengan koefisien sebesar 0.14 yang berarti pertambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan menyerap tambahan tenaga kerja pertanian sebanyak 140 orang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting bagi ekonomi pedesaan yang didominasi sektor pertanian melalui penyerapan tenaga kerja pertanian. Hubungan tenaga kerja pertanian dan infrastruktur jalan aspal yang lebih elastis dibandingkan tenaga kerja industri dan tenaga kerja perdagangan juga menjadi indikasi bahwa kondisi infrastruktur di wilayah pertanian yang mayoritas berada di pedesaan lebih buruk dibandingkan wilayah industri dan perdagangan di perkotaan sehingga sangat berperan menyerap tenaga kerja pertanian. Sementara itu, upah riil sektoral yang lebih besar menurunkan jumlah tenaga kerja terutama di sektor industri. Perubahan jumlah tenaga kerja industri sangat elastis terhadap perubahan upah riil industri dimana kenaikan upah riil 10% akan menurunkan

9 114 jumlah tenaga kerja industri 11.4%. Hal ini mengindikasikan kenaikan upah riil akan mendorong pengusaha sektor industri untuk mengurangi input tenaga kerja dan mengalihkan kenaikan upah riil untuk menambah modal. Dengan perkataan lain, faktor modal dan tenaga kerja di sektor industri bersifat kompetitif. Tabel 31 Hasil Jumlah Tenaga Kerja Sektoral t-val Pr > t Elastisitas Keterangan Tenaga Kerja Pertanian (TKTANI) Intercept d PDBTANI a 4.87 < PDB pertanian UPHTANI a Upah pertanian ASP a 6.90 < Panjang jalan aspal 0.90 Tenaga Kerja Industri (TKIND) Intercept a 4.61 <.0001 PDBIND a < PDB industri UPHIND a < Upah industri ASP b Panjang jalan aspal 0.90 Tenaga Kerja perdagangan (TKDG) Intercept d PDBDG a < PDB perdagangan UPHDG c Upah perdagangan ASP b Panjang jalan aspal 0.87 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi tenaga kerja sektoral disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor pertanian dan perdagangan yang lebih bersifat labor intensive diperlukan infrastruktur jalan aspal yang lebih memadai. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan infrastruktur jalan aspal memerlukan belanja infrastruktur yang memadai yang bergantung pada kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektoral terutama tenaga kerja pertanian. Upah iil Sektoral Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan upah riil sebagai proksi pendapatan penduduk untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis fluktuasi tingkat upah akan mempengaruhi kemiskinan. Indikator upah riil juga digunakan untuk menganalisis siklus bisnis (business cycles) apabila dianalisis bersama variabelvariabel ekonomi lain seperti jumlah tenaga kerja dan output (Malik dan Ahmed, 000). Hasil estimasi pada Tabel 3 menunjukkan upah riil pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi secara psitif oleh PDB per kapita sektoral. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed (000) yaitu ada hubungan positif output dan upah riil di Pakistan baik total maupun sektoral. Artinya, hubungan pertumbuhan ekonomi dan upah riil bersifat pro-cyclical.

10 115 Tabel 3 Hasil Upah iil Sektoral Elastisitas t-val Pr > t Keterangan S- L- Upah Pertanian (UPHTANI) Intercept a PDBTANIKAP c PDB tani perkap UPHTANIL a 0.3 <.0001 UPHTANI t Upah Industri (UPHIND) Intercept a 8.19 <.0001 PDBINDKAP a 6.30 < PDB industri perkap UPHINDL a UPHIND t Upah Perdagangan (UPHDG) Intercept a 5.3 <.0001 PDBDGKAP a PDB perdag perkap UPHDGL a 9.00 <.0001 UPHDG t Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi upah riil sektoral dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan upah riil diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal adalah faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah melalui perannya pada pengeluaran pemerintah dan pembangunan infrastruktur jalan maka hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal berperan penting dalam meningkatkan upah riil sektoral. Pengeluaran per Kapita Sektoral Sebagi proksi tingkat pendapatan, upah riil dapat menggambarkan daya beli penduduk melalui ukuran pengeluaran per kapita. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran upah riil sektoral dalam meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Tabel 33 menunjukkan upah riil sektoral berpengaruh pada pengeluaran per kapita masing-masing sektor. Koefisien yang positif memberi arti meningkatnya upah riil sektoral akan meningkatkan pengeluaran per kapita di setiap sektor. Namun, hubungan upah riil pertanian kurang elastis dibandingkan upah riil industri dan upah riil perdagangan. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa rumahtangga pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada sektor. Di sisi lain, hal itu juga dapat mengindikasikan rendahnya pendapatan petani dari sektor pertanian sehingga dibutuhkan pekerjaan tambahan dari sektor lain atau bantuan keuangan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya dari peorangan atau pemerintah yang biasanya dalam bentuk hibah atau utang. Faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah inflasi. Hubungan negatif menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat provinsi akan menurunkan pengeluaran per kapita terutama di rumahtangga pertanian. Perubahan pengeluaran per kapita pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan inflasi mengindikasikan bahwa rumahtangga pertanian paling dirugikan oleh kenaikan harga-harga.

11 116 Tabel 33 Hasil Pengeluaran per Kapita Sektoral Elastisitas Keterangan t-val Pr > t Pengeluaran per kapita pertanian (EXPTANI) Intercept a <.0001 UPHTANI a 1.71 < Upah pertanian IFL a < Inflasi 0.6 Pengeluaran per kapita industri (EXPIND) Intercept a 4.41 <.0001 UPHIND a < Upah industri IFL c Inflasi 0.48 Pengeluaran per kapita perdagangan (EXPDG) Intercept a UPHDG a 7.8 < Upah IFL a Inflasi 0.35 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Kesimpulan yang didapat dari hasil estimasi pengeluaran per kapita sektoral adalah untuk meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor pertanian diperlukan upah riil yang lebih tinggi dan harga-harga yang lebih stabil. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal merupakan faktor penting yang dapat berdampak meningkatkan upah riil sektoral maka hal ini dapat terwujud apabila keuangan daerah memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar. Blok Kemiskinan Sektoral Indeks Gini Studi-studi terdahulu, antara lain Kakwani (1993), Bourguignon (004), dan Warr (006), menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat mengurangi peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan yang diukur dari Indeks Gini. Hasil estimasi pada Tabel 34 menunjukkan Indeks Gini dipengaruhi oleh share PDB pertanian, share PDB industri, dan share PDB perdagangan dimana share PDB pertanian yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini. Selain itu, meskipun share PDB industri tidak signifikan tetapi koefisien yang positif menunjukkan share PDB industri yang lebih besar berpotensi menurunkan Indeks Gini. Sebaliknya, share PDB perdagangan yang lebih besar berpotensi meningkatkan Indeks Gini. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi Indeks Gini dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat berkurang jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan di sektor riil terutama pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan pertanian memerlukan sumber pembiayaan dari kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah.

12 117 Tabel 34 Hasil Indeks Gini Elastisitas t-val Pr > t S- L- Keterangan Intercept a 4.8 <.0001 SHPDBTANI d Share PDB pertanian SHPDBIND Share PDB industri SHPDBDG Share PDB perdag GINIL a <.0001 GINI t Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Tingkat Kemiskinan Sektoral Tabel 35 Hasil Tingkat Kemiskinan Sektoral t-val Pr > t Elastisitas Keterangan Headcount index Pertanian (POVTANIP0) Intercept d EXPTANI a < Pengeluaran perkap GINI a 4.56 < Indeks Gini GK a < Garis Kemiskinan 0.69 Headcount index Industri (POVINDP0) Intercept EXPIND a < Pengeluaran perkap industri GINI b Indeks Gini GK a 4.81 < Garis Kemiskinan 0.31 Headcount index Perdagangan (POVDGP0) Intercept EXPDG a < Pengeluaran perkap perrdag GINI a Indeks Gini GK a 5.09 < Garis Kemiskinan 034 Poverty Gap Index Pertanian (POVTANIP1) Intercept d EXPTANI a < Pengeluaran perkap GINI a Indeks Gini GK a < Garis Kemiskinan 0.6 Poverty Severity Index Pertanian (POVTANIP) Intercept EXPTANI a < Pengeluaran perkap GINI b Indeks Gini GK a < Garis Kemiskinan 0.58 Total Headcount index (POVP0) Intercept POVTANIP a 9.18 < Headcount index pertanian POVINDP a 4.31 < Headcount index industri POVDGP b Headcount index perdag 0.77 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 0%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen

13 118 Tingkat kemiskinan umumnya diukur dari tiga indikator kemiskinan FGT yaitu Headcount Index (P 0 ), Poverty Gap Index (P 1 ), dan Poverty Severity Index (P ). Hasil estimasi pada Tabel 35 menunjukkan Headcount Index pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita masing-masing sektor, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana hubungan ketiganya sangat elastis. Koefisien pengeluaran per kapita sektoral yang bertanda positif memberi arti bahwa pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan menurunkan headcount index sektoral. Sebaliknya, koefisien Indeks Gini yang negatif menunjukkan Indeks Gini yang lebih besar akan meningkatkan headcount index sektoral. Dengan demikian, headcount index sektoral berkurang jika pengeluaran per kapita sektoral lebih besar dan ketimpangan pendapatan lebih rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Nanga (006), Miranti (010), Laabas dan Limam (004), Bidani dan avallion (1993), dan avallion dan Chen (1997). Namun, studi-studi tersebut tidak mendekomposisi headcount index secara sektoral. Koefisien elastisitas menunjukkan perubahan headcount index sektoral lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita sektoral dari pada perubahan Indeks Gini. Artinya, perubahan headcount index lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita dibandingkan perubahan Indeks Gini. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Miranti (010) serta Bidani dan avallion (1993) di Indonesia. Hasil estimasi juga menunjukkan total headcount index lebih dipengaruhi headcount index pertanian dimana kenaikan headcount index pertanian 10% akan meningkatkan total headcount index 4.6%. Artinya, hampir separuh dari total penduduk miskin di Indonesia berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, strateg pengentasan kemiskinan khususnya melalui upaya pertumbuhan pro-poor lebih efektif jika diproritaskan pada penurunan kemiskinan penduduk pertanian. Namun, headcount index memiliki kelemahan yaitu mengabaikan perbedaan kesejahteraan antar rumahtangga miskin. Untuk itu, diperlukan Poverty Gap Index yang dapat mengukur intensitas kemiskinan dimana ukuran Poverty Gap Index yang lebih besar menunjukkan semakin jauh jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sehingga penduduk miskin semakin sulit keluar dari kondisi kemiskinan. Pada penelitian ini, Poverty Gap Index diestimasi pada sektor pertanian dengan alasan tingginya tingkat kemiskinan di sektor tersebut dibandingkan dua sektor lainnya. Hasil estimasi juga menunjukkan Poverty Gap Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Artinya, intensitas kemiskinan pertanian akan berkurang jika pengeluaran per kapita lebih besar dan distribusi pendapatan lebih merata. Namun, Poverty Gap Index mengabaikan efek ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin sehingga tidak mampu menangkap perbedaan tingkat keparahan kemiskinan (the severity of poverty) diantara penduduk miskin. Oleh karena itu, diperlukan Poverty Severity Index untuk menggambarkan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Pada penelitian ini Poverty Severity Index juga hanya diestimasi untuk sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan Poverty Severity Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana distribusi pengeluaran penduduk miskin di sektor pertanian akan lebih merata jika pengeluaran per kapitanya lebih besar dan distribusi pendapatan seluruh penduduk lebih merata.

14 119 Berdasarkan temuan dari hasil estimasi headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index dapat disimpulkan tingkat kemiskinan dapat berkurang jika pendapatan penduduk meningkat dan ketimpangan pendapatan berkurang terutama pada kelompok penduduk miskin pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana tingkat pendapatan dipengaruhi upah riil dan distribusi pendapatan dipengaruhi pembangunan pertanian maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini disebakan karena upah riil akan meningkat jika pertumbuhan sektoral meningkat sementara pertumbuhan sektoral bergantung pada kapasitas fiskal yang berperan besar dalam membiayai pengeluaran sektoral dan pembangunan infrastruktur sebagai faktorfaktor yang dapat mencipatkan pertumbuhan ekonomi sektoral. Demikian juga, pembangunan pertanian dapat terwujud melalui peran kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai belanja pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagai dua faktor penting yang mempengaruhi PDB pertanian yang pada akhirnya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan.

4. METODOLOGI. Jenis dan Sumber Data. Cakupan Data

4. METODOLOGI. Jenis dan Sumber Data. Cakupan Data 63 Cakupan Data 4. METODOLOGI Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dari dua sumber utama yaitu Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dan Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

Pendahuluan. Vera Lisna a,, Bonar M. Sinaga b, Muhammad Firdaus b, Slamet Sutomo a. Abstract. Abstrak

Pendahuluan. Vera Lisna a,, Bonar M. Sinaga b, Muhammad Firdaus b, Slamet Sutomo a. Abstract. Abstrak Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 14 No. 1, Juli 2013: 1-26 ISSN 1411-5212 Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Penurunan Kemiskinan: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan Impact of Fiscal Capacity

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 224 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, serta menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

BAB 4 : KEUANGAN DAERAH

BAB 4 : KEUANGAN DAERAH BAB 4 KEUANGAN DAERAH BAB 4 : KEUANGAN DAERAH Realisasi penyerapan belanja APBD Pemerintah Provinsi Gorontalo triwulan IV-2010 cenderung lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lambatnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan pengeluaran yang manfaatnya cenderung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan bagaimana sebuah negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu mistar pengukur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu daerah didasarkan pada bagaimana suatu daerah dapat meningkatkan pengelolaan serta hasil produksi atau output dari sumber dayanya disetiap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 13 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Anggaran Daerah Perencanaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkkan dari proses manajemen organisasi. Demikian juga

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam rencana kerja Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang (UU) No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian pada umumnya mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian pada umumnya mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah ukuran perkembangan perekonomian suatu negara dari satu periode ke periode berikutnya. Menurut Rahardja dan Manurung (2008), perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia MODUL PERKULIAHAN Perekonomian Indonesia Kebijakan Fiskal dan APBN Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Akuntansi 10 84041 Abstraksi Modul ini membahas salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL 5.1. Hasil Estimasi Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kemakmuran masyarakat dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengertian yang disampaikan oleh Sadono Sukirno. Menurutnya, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN B A B III 1 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Daerah Tahun 2010-2015 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Data realisasi keuangan daerah Kabupaten Rembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci