4. METODOLOGI. Jenis dan Sumber Data. Cakupan Data

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. METODOLOGI. Jenis dan Sumber Data. Cakupan Data"

Transkripsi

1 63 Cakupan Data 4. METODOLOGI Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dari dua sumber utama yaitu Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang merupakan lembaga pemerintah yang menyediakan data-data resmi negara terkait keuangan dan perekonomian nasional dan daerah sebagai dasar penyusunan rencana dan evaluasi pembangunan nasional dan daerah. Data yang digunakan adalah data panel 23 provinsi tahun mencakup aspekaspek fiskal, perekonomian, dan kemiskinan. Menurut Hsiao (1995), data panel yang digunakan dalam penelitian ekonomi memiliki beberapa keunggulan, yaitu: (1) jumlah observasi yang lebih besar akan meningkatkan derajat bebas (degree of freedom) sehingga estimasinya lebih efisien; (2) mengurangi kolinearitas antar variabel penjelas; dan (3) mengatasi masalah yang timbul ketika ada variabel yang dihilangkan (ommited-variable). Meskipun selama periode penelitian sudah terbentuk 33 provinsi secara definitif namun 10 provinsi tidak digunakan yaitu DKI Jakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Alasannya adalah ada perbedaan karakteristik data fiskal dan perekonomian yang cukup besar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya, seperti DKI Jakarta. Selain itu, beberapa data tahun 2005 tidak tersedia terutama di provinsi-provinsi baru. Data Fiskal Data fiskal yang digunakan adalah data agregat realisasi APBD provinsi dan seluruh APBD kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan yang bersumber dari Kemenkeu RI meliputi pendapatan dan pengeluaran daerah. Data pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lainlain Pendapatan. PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan merupakan dana transfer fiskal dari APBN yang diperoleh melalui mekanisme transfer. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Dana Bagi Hasil Pajak bersumber dari pajak-pajak properti dan pajak-pajak penghasilan. Pajak-pajak properti yang dibagihasilkan berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan, pajak-pajak penghasilan yang dibagi hasilkan bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21. Struktur pengeluaran daerah mengacu pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimana keduanya tidak lagi memisahkan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan tetapi menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Data pengeluaran daerah juga diklasifikasikan menurut sektor ekonomi sesuai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) namun merupakan agregat belanja langsung dan belanja tidak langsung. Hasil kajian terhadap laporan data keuangan daerah menurut sektor ekonomi

2 64 menunjukkan ada perbedaan jenis belanja daerah selama periode Belanja daerah pada tahun anggaran 2005 mencakup 21 bidang, sedangkan tahun anggaran mencakup 35 urusan. Beberapa perbedaan untuk klasifikasi bidang dan urusan tersebut adalah: (1) belanja bidang kehutanan dan perkebunan didisagregasi menjadi belanja urusan kehutanan dan belanja urusan perkebunan, dimana belanja urusan perkebunan digabung ke dalam belanja urusan pertanian yang juga meliputi belanja tanaman pangan dan peternakan, (2) belanja bidang perindustrian dan perdagangan didisagregasi menjadi belanja urusan perindustrian dan belanja urusan perdagangan. Untuk keseragaman jenis belanja, data tahun 2005 dikonversi sesuai klasifikasi urusan 1. Selanjutnya, agar sesuai dengan tujuan maka klasifikasi belanja daerah yang digunakan adalah belanja menurut urutasn yang terdiri dari: (1) belanja pertanian, (2) belanja perindustrian, (3) belanja perdagangan, (4) belanja pekerjaan umum (belanja infrastruktur), dan (5) belanjabelanja lainnya. Data Perekonomian Data perekonomian meliputi PDRB sektoral, jumlah dan upah tenaga kerja sektoral, pengeluaran per kapita sektoral, dan panjang jalan aspal. Klasifikasi sektoral mengacu pada 9 lapangan usaha sesuai Klasifikas Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, untuk keperluan penelitian ini hanya digunakan tiga lapangan usaha (sektor) yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedangkan enam sektor lainnya digabung menjadi sektor lainnya. PDRB sektor pertanian terdiri dari dua subsektor yaitu: (1) subsektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan; dan (2) subsektor lainnya (gabungan subsektor kehutanan dan perikanan). PDRB sektor industri pengolahan terdiri dari: (1) subsektor industri pertanian; dan (2) subsektor industri lainnya. Subsektor industri pertanian terdiri dari industri makanan, minuman, dan tembakau, dan industri pertanian lainnya (gabungan industri kayu, industri kertas, dan industri tekstil). Sedangkan subsektor industri lainnya merupakan gabungan industri migas dan lima jenis industri non-migas. Untuk efisiensi penulisan maka klasifikasi sektor industri pengolahan diganti menjadi sektor industri, klasifikasi subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau diganti menjadi subsektor industri makanan jadi, dan klasifikasi sektor perdagangan, hotel, dan restoran diganti menjadi sektor perdagangan. Data ketenagakerjaan meliputi jumlah dan upah tenaga kerja sektoral dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS setiap tahun dengan pendekatan rumahtangga. Klasifikasi ketenagakerjaan sektoral pada penelitian ini disesuaikan dengan klasifikasi PDRB sektoral yang digunakan yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Klasifikasi pekerjaan mengacu pada konsep SAKERNAS dimana pekerjaan utama adalah pekerjaan dengan jumlah jam kerja terbanyak yang dilakukan pada waktu referensi survei yaitu selama satu pekan sebelum survei. Sedangkan konsep tenaga kerja adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja pada saat survei dilakukan. Data pengeluaran per kapita adalah rata-rata pengeluaran penduduk untuk konsumsi makanan dan non-makanan per bulan yang diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS yang dilakukan setiap tahun dengan 1 Konversi data dilakukan dengan bantuan staf Direktorat Statistik Keuangan BPS

3 65 pendekatan rumahtangga. Pada penelitian ini, data pengeluaran per kapita diklasifikasikan menurut sektor pekerjaan utama kepala rumahtangga yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Namun, data pengeluaran per kapita sektoral tidak diolah dan dipublikasikan oleh BPS. Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini data diolah sendiri 2 dari SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005 sampai Selanjutnya, data pengeluaran per kapita sektoral per bulan menjadi data dasar dalam penghitungan indikator-indikator kemiskinan. Data panjang jalan dengan permukaan aspal dianggap mewakili kondisi infrastruktur daerah. Data ini merupakan gabungan panjang jalan aspal untuk tiga tingkat kewenangan yaitu negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Data tersebut bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi, dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota. Data Kemiskinan Data kemiskinan meliputi ukuran ketimpangan pendapatan Indeks Gini dan tiga ukuran kemiskinan FGT terdiri dari Headcount index atau persentase penduduk miskin (P0), Poverty Gap Index atau indeks kedalaman kemiskinan (P 1 ), dan Poverty Severity Index atau indeks keparahan kemiskinan (P 2 ). Data Indeks Gini bersumber dari BPS yang dihitung dari hasil SUSENAS. Sebagaimana data pengeluaran per kapita sektoral, data kemiskinan juga diklasifikasikan menurut sektor pekerjaan utama kepala rumahtangga, yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Sebagaimana data pengeluaran per kapita sektoral, data kemiskinan sektoral juga tidak dihitung oleh BPS. Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini maka data kemiskinan diolah 2 dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005 sampai 2011 dengan batasan identifikasi penduduk miskin adalah garis kemiskinan kota dan desa di setiap provinsi. Data Penunjang Selain data utama, penelitian ini juga menggunakan data penunjang, antara lain: (1) penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menggambarkan investasi swasta; (2) jumlah kendaraan bermotor dari Kepolisian R.I.; (3) luas wilayah dari Kementerian Dalam Negeri; (4) jumlah pegawai negeri sipil dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN); dan (5) jumlah penduduk dari BPS. Data Indeks Harga Konsumen Provinsi Seluruh variabel dalam satuan nilai (rupiah) dalam penelitian ini adalah data nominal sehingga agar terbanding antar waktu maka terlebih dahulu dibagi Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk memperoleh data riil. IHK adalah suatu indikator ekonomi yang menggambarkan rata-rata perubahan harga sekumpulan barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk/rumahtangga dalam kurun waktu tertentu. IHK dihitung oleh BPS berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup setiap bulan di beberapa pasar tradisional dan pasar modern pada beberapa kota tepilih untuk mewakili harga-harga dalam kota tersebut. Data harga setiap komoditi diperoleh 2 Pengolahan data dilakukan dengan bantuan staf Direktorat Ketahanan Sosial BPS.

4 66 dari tiga atau empat tempat penjualan yang didatangi oleh petugas pengumpul data dengan wawancara langsung. Sejak bulan Juni tahun 2008, IHK mencakup 66 kota di 33 provinsi yang terdiri dari 33 ibukota provinsi dan 33 kota besar lainnya di seluruh Indonesia dan menggunakan tahun dasar 2007 (2007=100). Sebelumnya, data IHK hanya mencakup 45 kota dan menggunakan tahun dasar 2002 (2002=100). IHK dihitung berdasarkan data harga konsumen (retail) dari 284 sampai 441 barang dan jasa yang mencakup tujuh kelompok pengeluaran yaitu: (1) bahan makanan; (2) makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; (3) perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar; (4) sandang; (5) kesehatan; (6) pendidikan, rekreasi, dan olah raga; dan (7) transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub kelompok dimana di setiap sub kelompok terdiri dari beberapa item dengan beberapa mutu atau spesifikasi. Dalam penghitungan rata-rata harga barang dan jasa digunakan mean (ratarata), tetapi untuk beberapa barang dan jasa musiman digunakan geometri. Rumus penghitungan IHK merupakan pengembangan formula Laspeyres yaitu : Pn Pn 1Q0 Pn 1 IHK = x100 P0Q 0 IHK : indeks harga konsumen P n : harga pada bulan ke-n Pn-1 : harga pada bulan ke-(n-1) P0 : harga pada tahun dasar Q : kuantitas pada tahun dasar. 0 (4.1) Meskipun data IHK dapat disajikan untuk tingkat kota tetapi tidak dapat disajikan untuk tingkat provinsi karena tidak mencakup seluruh wilayah di setiap provinsi. Oleh karena itu, pada penelitian ini data IHK provinsi diproksi dengan rata-rata IHK kota di setiap provinsi. Namun sebelumnya IHK tahun 2005 dan 2006 dengan tahun dasar 2002 terlebih dahulu dikonversi menjadi IHK dengan tahun dasar 2007, dan IHK tahun 2007 dikonversi menjadi 100 karena merupakan nilai dasar. Rumus yang digunakan adalah: i = 1, 2,, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2,, k (jumlah kota) t = 2005 dan 2006 IHK ijt07 : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) IHKijt02: IHK provinsi i kota j tahun t (2002=100) IHK : IHK provinsi i kota j tahun t tahun 2007 ij07 Selanjutnya, data IHK provinsi dengan tahun dasar 2007 dihitung dengan rumus: i = 1,2,, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2,, k (jumlah kota) (4.2) (4.3)

5 67 t = 2005, 2006,, 2011 IHK it07 : IHK provinsi i tahun t (2007=100) IHK : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) ijt07 Rata-rata IHK provinsi juga digunakan untuk menghitung laju inflasi provinsi dengan rumus berikut: i = 1,2,, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2,, k (jumlah kota) t = 2005, 2006,, 2011 IFL it07 : Laju inflasi provinsi i tahun t (2007=100) IHKit07: IHK provinsi i tahun t (2007=100) IHK : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) ijt07 (4.4) Data IHK provinsi dengan tahun dasar 2007 (2007=100) hasil penghitungan menggunakan rumus (4.3) secara lengkap disajikan pada Lampiran 1. Sedangkan data-data nominal yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 2. Spesifikasi Model Ekonometrika Metode penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan membangun model ekonometrik yang diawali dengan tahap spesifikasi model berupa kajian hubungan antar variabel untuk menganalisis fenomena ekonomi secara empiris. Model yang dibangun pada penelitian ini dinamai model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah yang mencakup tiga aspek yaitu kebijakan fiskal daerah, kinerja perekonomian sektoral daerah, dan kemiskinan sektoral daerah. Model tersebut dibangun berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan studi-studi empiris terdahulu. Model ekonometrik yang dibangun merupakan sistem persamaan simultan dengan alasan kerangka teori dan studi-studi empiris terdahulu menunjukkan keterkaitan antar variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan. Menurut Koutsoyiannis (1977), sistem persamaan simultan adalah suatu sistem yang menjelaskan ketergantungan bersama antar variabel (a system describing the joint dependence of variables). Bahkan, sesuai sifat alami fenomena ekonomi maka setiap persamaan hampir pasti akan berada pada suatu sistem persamaan simultan yang lebih besar. Dalam sistem persamaan simultan, sebuah variabel dapat berperan ganda yaitu sebagai variabel penjelas (independent variable) dan variabel dependen atau endogen (dependent variable). Dengan demikian, perubahan suatu variabel dapat mempengaruhi variabel lain dalam model. Oleh karena itu, penggunaan sistem persamaan simultan pada penelitian ini dianggap tepat karena dapat digunakan untuk simulasi kebijakan dengan mengubah variabel-variabel yang dianggap berdampak pada kemiskinan sektoral melalui transmisi perekonomian sektoral daerah. Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah mencakup 48 persamaan terdiri dari 28 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas dalam tiga blok persamaan yang mewakili ketiga aspek penelitian yaitu blok fiskal, blok perekonomian sektoral, dan blok kemiskinan sektoral.

6 68 Blok Fiskal Pajak Daerah Bagi Hasil Pajak Dana Alokasi Umum Belanja Pertanian Belanja Perindustrian Belanja Perdagangan Belanja Infrastruktur Blok Perekonomian Sektoral TK Pertanian TK Industri TK Perdagangan PDRB Pertanian PDRB Industri PDRB Perdagangan Jalan aspal Upah Pertanian Upah Industri Upah Perdagangan Pengeluaran Penduduk Pertanian Pengeluaran Penduduk Industri Pengeluaran Penduduk Perdagangan Blok Kemiskinan Sektoral Kemiskinan Penduduk Pertanian Kemiskinan Penduduk Industri Kemiskinan Penduduk Perdagangan Indeks Gini Gambar 31. Keterkaitan Antar Blok Persamaan dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Keterkaitan antar blok persamaan disajikan pada Gambar 31. Meningkatnya pendapatan daerah baik dari kapasitas fiskal khususnya dari pajak daerah dan bagi hasil pajak maupun dari transfer fiskal khususnya DAU akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, dan belanja infrastruktur meningkat. Sebagai bentuk investasi pemerintah maka pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan mendorong produksi barang dan jasa sehingga output daerah meningkat. Dengan demikian, meningkatnya belanja-belanja sektoral dan belanja infrastruktur akan meningkatkan PDRB sektoral khususnya pertanian, industri, dan perdagangan. Di sisi lain, peningkatan belanja infrastruktur akan menambah panjang jalan aspal yang mempermudah akses kepada sumber daya tenaga kerja sehingga ketiga sektor ekonomi tersebut akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sebagai faktor produksi yang penting maka jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan meningkatkan output sektoral sehingga PDRB ketiga sektor meningkat. Dengan mengacu pada hasil penelitian Malik dan Ahmed (2000) yaitu ada hubungan pro-cyclical antara output dan upah riil sektoral maka kenaikan PDRB sektoral akan meningkatkan upah riil sektoral sehingga pendapatan rumahtangga meningkat. Hal ini akan meningkatkatkan daya beli penduduk yang

7 69 diukur dari pengeluaran per kapita untuk setiap kelompok rumahtangga sektoral. Sesuai formula indikator kemiskinan FGT dalam konsep kemiskinan pendapatan (income poverty) maka pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan menurunkan tingkat kemiskinan sektoral. Di sisi lain, laju pertumbuhan PDRB sektor riil yang lebih cepat terutama sektor pertanian mengurangi ketimpangan pendapatan karena kelompok penduduk miskin yang mayoritas hidup di sektor pertanian menikmati manfaat lebih besar dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Ketimpangan pendapatan yang berkurang (Indeks Gini yang rendah) menambah peran pertumbuhan sektoral (pengeluaran per kapita yang lebih besar) dalam menurunkan kemiskinan sektoral. Keterkaitan antar variabel secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Persamaan-persamaan struktural dalam model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah merupakan model regresi data panel. Secara umum, model regresi data panel dapat dibuat dengan pendekatan common effect, fixed effect, dan random effect yang masing-masing diestimasi dengan metode pooled least squares, fixed effect, dan random effect (Gujarati, 2008). Pada penelitian ini, setiap persamaan struktural dibangun dengan pendekatan common effect dengan asumsi estimasi konstanta (intersep) dan estimasi parameter (slope) setiap variabel adalah sama untuk setiap provinsi. Bentuk umum persamaan tunggal untuk model regresi panel common effect adalah (Gujarati, 2008): i : provinsi k : variabel penjelas (explanatory variables) t : tahun y it : variabel dependen provinsi i tahun t β0: intercept β1, β 2,, β k : slope atau koefisien parameter variabel penjelas x1it, x 2it,, x kit : variabel penjelas di provinsi i tahun t u : komponen error provinsi i tahun t it (4.5) Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah merupakan sistem persamaan simultan dengan bentuk umum yang disajikan dalam notasi matriks sebagai berikut : Y it : vektor current endogenous variables provinsi i tahun t B0 : vektor koefisien intercept B1 : martriks koefisien current explanatory endogenous variables : vektor current explanatory endogenous variables provinsi i tahun t B 2 : martriks koefisien current exogenous variables Xit : vektor current exogenous variables provinsi i tahun t B3 : martriks koefisien current policy variables Zit : vektor current policy variables provinsi i tahun t B4 : martriks koefisien lagged endogenous variables Yit-1 : vektor lagged endogenous variables provinsi i tahun t Uit : vektor disturbance error provinsi i tahun t (4.6)

8 70 Blok Fiskal Blok fiskal terdiri dari beberapa persamaan yang menunjukkan sumbersumber pendapatan daerah dan jenis-jenis pengeluaran daerah. Pendapatan daerah meliputi pajak daerah, bagi hasil pajak, dan DAU. Sementara, pengeluaran daerah meliputi belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Pajak Daerah Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi jumlah penerimaan pajak daerah dipilih berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana pajak daerah yang terdiri dari pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota antara lain bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak reklame. Sumber-sumber pajak tersebut terkait dengan kemampuan ekonomi penduduk. Berdasarkan hal itu maka pajak daerah diduga dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah kendaraan bermotor, dan penanaman modal. Persamaan pajak daerah provinsi-i tahun-t adalah: PJK it = a 0 + a 1 PDRBKAP it + a 2 PM it + a 3 MTR it + a 4 PJK it-1 + u 1it (4.7) Hipotesis: a1, a 2, a 3 > 0; 0 < a 4 < 1 PJK : pendapatan pajak daerah (juta Rp) PDRBKAP : PDRB per kapita (ribu Rp) MTR : jumlah kendaraan bermotor (ribu unit) PM : total penanaman modal (juta Rp) Bagi Hasil Pajak Sesuai UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak bersumber dari pajak-pajak properti (PBB dan BPHTB) dan pajak-pajak penghasilan (PPh Pasal 25 dan pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21). Berdasarkan kedua sumber tersebut maka bagi hasil pajak diduga dipengaruhi oleh luas wilayah dan PDRB non-pertanian. Variabel luas wilayah dianggap mewakili PBB dan BPHTB, sedangkan PDRB non-pertanian dianggap mewakili PPh karena sektor non-pertanian merupakan lapangan usaha mayoritas wajib pajak untuk ketiga jenis PPh tersebut. Persamaan bagi hasil pajak provinsi-i tahun-t adalah: BHSPJK it = b 0 + b 1 PDRBNONTANI it + b 2 WLYH it + b 3 BHSPJK it-1 + u 2it (4.8) Hipotesis: b1, b 2 > 0; 0 < b 3 < 1 BHSPJK: bagi hasil pajak (juta Rp) PDRBNONTANI: PDRB sektor-sektor non-pertanian (juta Rp) WLYH: luas wilayah (km 2 )

9 71 Dana Alokasi Umum Persamaan DAU disusun sesuai formula alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 55 tahun 2005 yang menggunakan pendekatan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diproksi dari variabel-variabel PDRB, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Sedangkan, alokasi dasar mencerminkan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah diproksi dari jumlah PNS daerah. Persamaan DAU provinsi-i tahun-t adalah: DAU it = c 0 + c 1 PDRB it-1 + c 2 POP it + c 3 WLYH it + c 4 PNS it + c 5 DAU it-1 + u 3it (4.9) Hipotesis: c1 < 0; c 2, c 3, c 4 > 0; 0 < c 5 < 1 DAU: dana alokasi umum (juta Rp) PDRB: PDRB total (juta Rp) POP: jumlah penduduk (ribu orang) WLYH: luas wilayah (km2) PNS: jumlah pegawai negeri sipil (orang) Total Pendapatan Daerah Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya dijumlahkan dengan beberapa komponen pendapatan daerah lainnya untuk memperoleh PAD. Kemudian PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam dijumlahkan untuk memperoleh kapasitas fiskal. Selanjutnya, kapasitas fiskal, DAU, DAK, dan pendapatan daerah dari sumber-sumber lain dijumlahkan untuk memperoleh total pendapatan daerah. Karena ketiganya adalah hasil penjumlahan maka persamaan-persamaan yang dibangun merupakan persamaan identitas. Ketiga persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: PAD it = PJK it + RET it + KKYD it + PADLN it KAPFISit = PAD it + BHSPJK it + BHSSDA it DPTit = KAPFIS it + DAU it + DAK it + DPTLN it PAD : pendapatan asli daerah (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) DPT: total pendapatan daerah (juta Rp) RET: retribusi (juta Rp) KKYD: hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (juta Rp) PADLN: PAD lainnya (juta Rp) BHSPJK: bagi hasil pajak (juta Rp) BHSSDA: bagi hasil sumber daya alam (juta Rp) DAU: dana alokasi umum (juta Rp) DAK: dana alokasi khusus (juta Rp) DPTLN: pendapatan lainnya (juta Rp) (4.10) (4.11) (4.12)

10 72 Belanja Sektoral Belanja sektoral diduga dipengaruhi oleh pendapatan daerah khususnya kapasitas fiskal dan DAU. Penggunaan kedua jenis pendapatan daerah ini juga bertujuan untuk mengetahui perilaku pemerintah dalam mengalokasikan dana dari bantuan pemerintah pusat dan pendapatan dari sumber daya sendiri melalui fenomena flypaper effect. Sedangkan, persamaan belanja daerah dibuat secara sektoral untuk mengetahui apakah fenomena flypaper effect terjadi pada jenisjenis belanja tertentu. Sesuai klasifikasi data pengeluaran daerah dari Kemenkeu, blanja pertanian adalah belanja urusan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Selain dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU, belanja pertanian diduga dipengaruhi juga DAK karena DAK disalurkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah salah satunya untuk pembangunan pertanian. Pada tahun 2011, rasio DAK bidang pertanian terhadap belanja pertanian rata-rata 15% per provinsi. Hal ini menunjukkan cukup besarnya peran DAK dalam total belanja pertanian di daerah. Persamaan belanja sektoral provinsi-i tahun-t adalah: GPGNKBNTNK it = d 0 + d 1 KAPFIS it + d 2 DAU it + d 3 DAK it + d4gpgnkbntnk it-1 + u 4it GINDit = e 0 + e 1 KAPFIS it + e 2 DAU it + e 3 GIND it-1 + u 5it (4.14) GDGit = f 0 + f 1 KAPFIS it + f 2 DAU it + f 3 GDG it-1 + u 6it GIFRit = g 0 + g 1 KAPFIS it + g 2 DAU it + g 3 GIFR it-1 + u 7it (4.16) GLNit = h 0 + h 1 KAPFIS it + h 2 DAU it + h 3 GLN it-1 + u 8it (4.17) Hipotesis: d1, d 2, d 3, e 1, e 2, f 1, f 2, g 1, g 2, h 1, h 2 > 0; 0 < d 4, e 3, f 3, g 3, h 3 < 1 GPGNKBNTNK : belanja pertanian (juta Rp) GIND : belanja perindustrian (juta Rp) GDG : belanja perdagangan (juta Rp) GIFR : belanja infrastruktur (juta Rp) GLN : belanja lainnya (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) DAU: dana alokasi umum (juta Rp) DAK: dana alokasi khusus (juta Rp) Kinerja Fiskal (4.13) (4.15) Kinerja fiskal daerah dapat diukur dari indiaktor kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan indikator kemandirian fiskal (fiscal autonomy). Sesuai konsep dalam UU No. 33 tahun 2004 kesenjangan fiskal dihitung dari selisih total belanja daerah dan kapasitas fiskal. Indikator tersebut dapat mencerminkan tingkat ketergantungan keuangan daerah pada DAU dimana semakin tinggi kesenjangan fiskal semakin tinggi ketergantungan pada DAU. Sedangkan, kemandirian fiskal dihitung dari rasio PAD terhadap total belanja daerah. Indikator ini mencerminkan kemampuan

11 73 daerah dalam membiayai pembangunan daerah dari sumber daya lokal khususnya PAD dimana semakin tinggi kemandirian fiskal semakin rendah ketergantungan pada DAU. Kinerja fiskal yang baik ditunjukkan oleh kesenjangan fiskal yang rendah dan kemandirian fiskal yang tinggi. Kedua indikator kinerja fiskal tersebut merupakan persamaan identitas dimana persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: GDGKAP it = GDG it /POP it (4.18) Git = GPGNKBNTNK it + GIND it + GDG it + GIFR it + GLN it (4.19) FISGAPit = G it - KAPFIS it (4.20) FISAUTOit = (PAD it /G it ) x 100 (4.21) GDGKAP: belanja perdagangan per kapita (ribu Rp) G: total belanja daerah (juta Rp) FISGAP: kesenjangan fiskal (juta Rp) FISAUTO: kemandirian fiskal (%) GPGNKBNTNK : belanja pertanian (juta Rp) GIND : belanja perindustrian (juta Rp) GDG : belanja perdagangan (juta Rp) GIFR : belanja infrastruktur (juta Rp) GLN : belanja lainnya (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) PAD: pendapatan asli daerah (juta Rp) Blok Perekonomian Sektoral Kinerja perekonomian daerah meliputi infrastruktur jalan, PDRB sektoral, jumah dan upah tenaga kerja sektoral, dan pengeluaran per kapita sektoral. Panjang Jalan Aspal Infrastruktur jalan di daerah diproksi dari panjang jalan aspal. Jalan aspal yang merupakan sub-sektor transportasi darat berperan meningkatkan konektivitas antar wilayah baik di dalam provinsi maupun antar provinsi sehingga memperluas akses ekonomi. Artinya, infrastruktur jalan aspal memberi efek pengganda besar bagi perekonomian daerah. Panjang jalan aspal diduga dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, jumlah kendaraan bermotor, dan penanaman modal. Belanja daerah untuk pembangunan infrastruktur yang semakin lebih besar akan menambah panjang jalan aspal. Selain itu, sektor swasta juga turut berperan serta membiayai pembangunan infrastruktur terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Persamaan panjang jalan aspal provinsi-i tahun-t adalah: ASP it = i 0 + i 1 GIFR it + i 2 PM it + i 3 MTR it + u 9it Hipotesis: i1, i 2, dan i 3 > 0 ASP: panjang jalan aspal (km) GIFR: belanja infrastruktur (juta Rp) PM: total penanaman modal (juta Rp) (4.22)

12 74 MTR: jumlah kendaraan bermotor (ribu unit) PDRB Sektoral Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi PDRB sektoral adalah belanja sektoral dan tenaga kerja sektoral. Hal ini sesuai teori pertumbuhan ekonomi Solow (Solow Growth Model) yaitu output merupakan fungsi dari kapital dan tenaga kerja dimana belanja daerah merupakan bagian dari kapital. Selain itu, panjang jalan aspal juga diduga mempengaruhi PDRB sektoral terutama sektor pertanian yang mayoritas berada di pedesaan dan sektor perdagangan khususnya pada skala usaha kecil melalui perannya dalam meningkatkan aksesibilitas ke pasar output. Persamaan PDRB sektoral di provinsi-i tahun-t adalah: PDRBPGNKBNTNK it = j 0 + j 1 GPGNKBNTNK it + j 2 TKTANI it + j 3 *ASP it + u 10it (4.23) PDRBMKNit = k 0 + k 1 GIND it + k 2 TKIND it + u 11it (4.24) PDRBDGit = l 0 + l 1 GDGKAP it + l 2 TKDG it + l 3 ASP it + u 12it (4.25) Hipotesis: j1, j 2, j 3, k 1, k 2, l 1, l 2, l 3 > 0 PDRBPGNKBNTNK: PDRB pangan, perkebunan, peternakan (juta Rp) PDRBMKN: PDRB industri makanan jadi (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan per kapita (juta Rp) GPGNKBNTNK: belanja pertanian (juta Rp) GIND: belanja perindustrian (juta Rp) GDG: belanja perdagangan (juta Rp) TKTANI: jumlah tenaga kerja pertanian (ribu orang) TKIND: jumlah tenaga kerja industri (ribu orang) TKDG: jumlah tenaga kerja perdagangan (ribu orang) ASP: panjang jalan aspal (km) Selain ketiga persamaan struktural di atas, PDRB sektoral juga dibuat dalam bentuk persamaan identitas yaitu jumlah komponen-komponen pembentuk PDRB pertanian, PDRB industri, PDRB perdagangan, dan PDRB total. Persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: PDRBTANI it = PDRBPGNKBNTNK it + PDRBHTN it + PDRBIKAN it (4.26) PDRBTANIKAPit = PDRBTANI it /POP it (4.27) PDRBINDTANIit = PDRBMKN it + PDRBKYU it + PDRBINDTANILN it (4.28) PDRBINDit = PDRBINDTANI it + PDRBINDLN it (4.29) PDRBINDKAPit = PDRBIND it /POP it (4.30) PDRBDGKAPit = PDRBDG it /POP it (4.31) PDRBNONTANIit = PDRBIND it + PDRBDG it + PDRBLN it (4.32) PDRBit = PDRBTANI it + PDRBNONTANI it (4.33) PDRBKAPit = PDRB it /POP it (4.34)

13 75 SHPDRBTANI it = PDRBTANI it /PDRB it X 100 (4.35) SHPDRBINDit = PDRBIND it /PDRB it X 100 (4.36) SHPDRBDGit = PDRBDG it /PDRB it X 100 (4.37) PDRBTANI: PDRB pertanian (juta Rp) PDRBTANIKAP: PDRB pertanian per kapita (ribu Rp) PDRBINDTANI: PDRB industri pertanian (juta Rp) PDRBIND: PDRB industri (juta Rp) PDRBINDKAP: PDRB industri per kapita (ribu Rp) PDRBDGKAP: PDRB perdagangan per kapita (ribu Rp) PDRBNONTANI: PDRB non-pertanian (juta Rp) PDRB: PDRB total (juta Rp) PDRBKAP: PDRB per kapita (juta Rp) SHPDRBTANI: Share PDRB pertanian (%) SHPDRBIND: Share PDRB industri (%) SHPDRBDG: Share PDRB perdagangan (%) PDRBPGNKBNTNK: PDRB pangan, perkebunan, peternakan (juta Rp) PDRBHTN: PDRB kehutanan (juta Rp) PDRBIKAN: PDRB perikanan (juta Rp) PDRBMKN: PDRB industri makanan jadi (juta Rp) PDRBKYU: PDRB industri kayu (juta Rp) PDRBINDTANILN: PDRB industri pertanian lainnya (juta Rp) PDRBINDLN: PDRB industri lainnya (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan per kapita (juta Rp) PDRBLN: PDRB lainnya (juta Rp) POP: jumlah penduduk (ribu orang) Tenaga Kerja Sektoral Jumlah tenaga kerja sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral, upah sektoral, dan infrastruktur jalan aspal. Meningkatnya PDRB sektoral diduga akan menyerap tenaga kerja sektoral. Demikian juga, panjang jalan aspal yang meningkat akan mempermudah aksesibilitas angkatan kerja ke pasar input tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah tenaga kerja sektoral. Sebaliknya, sesuai teori pasar tenaga kerja, upah riil yang lebih besar diduga menurunkan permintaan tenaga kerja. Persamaan jumlah tenaga kerja sektoral di provinsi-i tahun-t adalah: TKTANI it = m 0 + m 1 PDRBTANI it + m 2 UPHTANI it + m 3 ASP it + u 13it (4.38) TKINDit = n 0 + n 1 PDRBIND it + n 2 UPHIND it + n 3 ASP it + u 14it (4.39) TKDGit = o 0 + o 1 PDRBDG it + o 2 UPHDG it + o 3 ASP it + u 15it TKit = TKTAN it I + TKIND it + TKDG it + TKLN it Hipotesis: m1, m 3, n 1, n 3, o 1, o 3, > 0; m 2, n 2, o 2 < 0 TKTANI: jumlah tenaga kerja pertanian (ribu orang) TKIND: jumlah tenaga kerja industri (ribu orang) TKDG: jumlah tenaga kerja perdagangan (ribu orang) (4.40) (4.41)

14 76 TK: jumlah tenaga kerja (ribu orang) PDRBTANI: PDRB pertanian (juta Rp) PDRBIND: PDRB industri (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan (juta Rp) UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan (ribu Rp) ASP: panjang jalan aspal (km) TKLN: jumlah tenaga kerja lainnya (ribu orang) Upah Riil Sektoral Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja mendapatkan balas jasa produksi dalam bentuk upah dimana upah riil adalah marginal product of labor (MPL) yaitu tambahan output yang dihasilkan untuk setiap tambahan tenaga kerja. Secara alami meningkatnya produksi akan meningkatkan penerimaan sehingga upah riil yang diterima tenaga kerja juga meningkat. Dengan demikian, pada penelitian ini upah riil sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral dalam hal ini PDRB per kapita sektoral. Persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: UPHTANI it = p 0 + p 1 PDRBTANIKAP it + p 2 UPHTANI it-1 + u 16it UPHINDit = q 0 + q 1 PDRBINDKAP it + q 2 UPHIND it-1 + u 17it UPHDGit = r 0 + r 1 PDRBDGKAP it + r 2 UPHDG it-1 + u 18it Hipotesis: p1, q 1, r 1 > 0; 0 < p 2, q 2, r 2 < 1 UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian per bulan (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri per bulan (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan per bulan (ribu Rp) PDRBTANIKAP: PDRB pertanian per kapita (ribu Rp) PDRBINDKAP: PDRB industri per kapita (ribu Rp) PDRBDGKAP: PDRB perdagangan per kapita (ribu Rp) Pengeluaran per Kapita Sektoral (4.42) (4.43) (4.44) Konsep pertumbuhan pro-poor menunjukkan peran pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan dalam menurunkan kemiskinan. Meskipun perubahan output merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang umum, namun studi-studi empiris terdahulu terkait kemiskinan lebih banyak menggunakan pengeluaran per kapita dari hasil survey rumahtangga, antara lain Miranti (2010) dan Ravallion dan Chen (1997). Bahkan menurut Ravallion (1995) pengeluaran per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan penduduk dibandingkan pendapatan walaupun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pengeluaran penduduk yang diperoleh dari indikator pengeluaran per kapita rumahtangga sektoral berdasarkan pekerjaan utama kepala rumahtangga dari hasil SUSENAS. Pengeluaran per kapita diduga dipengaruhi oleh upah riil kepala rumahtangga dimana semakin besar upah riil maka semakin besar pengeluaran per kapita. Sebaliknya, inflasi diduga menurunkan pengeluaran

15 77 per kapita. Persamaan pengeluaran per kapita per bulan di provinsi-i tahun-t adalah: EXPTANI it = s 0 + s 1 UPHTANI it + s 2 IFL it + u 19it EXPINDit = t 0 + t 1 UPHIND it + t 2 IFL it + u 20it EXPDGit = u 0 + u 1 UPHDG it + u 2 IFL it + u 21it Hipotesis: s1, t 1, u 1 > 0; s 2, t 2, u 2 < 0 EXPTANI: pengeluaran penduduk pertanian per bulan (ribu Rp) EXPIND: pengeluaran penduduk industri per bulan (ribu Rp) EXPDG: pengeluaran penduduk perdagangan per bulan (ribu Rp) UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian per bulan (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri per bulan (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan per bulan (ribu Rp) IFL: laju inflasi (%) Blok Kemiskinan Sektoral (4.45) (4.46) (4.47) Dalam konsep pertumbuhan pro-poor, perubahan kemiskinan terjadi karena perubahan pertumbuhan dan perubahan ketimpangan pendapatan. Oleh karena itu, persamaan-persamaan pada blok kemiskinan sektoral daerah meliputi Indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan pendapatan dan tiga indikator kemiskinan yaitu headcount index (P 0 ), poverty gap index (P 1 ), dan poverty severity index (P 2 ). Indeks Gini Indeks Gini yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan penduduk diduga dipengaruhi oeh kontribusi PDRB sektoral pada total PDRB berdasarkan asumsi hipotesis Kuznets (1955) yaitu sektor tradisional di pedesaan memiliki ketimpangan pendapatan rendah, sedangkan sektor modern di perkotaan memiliki ketimpangan pendapatan tinggi. Dengan demikian, jika share PDRB sektor pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di pedesaan lebih besar diduga menurunkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan lebih rendah. Namun, jika share PDRB perdagangan sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di perkotaan lebih besar diduga meningkatkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan semakin besar. Persamaan Indeks Gini provinsi-i tahun-t adalah: GINI it = v 0 + v 1 SHPDRBTANI it + v 2 SHPDRBIND it + v 2 SHPDRBDG it + v 3 GINI it-1 + u 22it Hipotesis: v1 < 0; v 2 0; v 3 > 0; 0 < v 4 < 1 GINI: Indeks Gini SHPDRBTANI: share PDRB pertanian (%) SHPDRBIND: share PDRB industri (%) SHPDRBDG: share PDRB perdagangan (%) Indeks Kemiskinan Sektoral (4.48)

16 78 Tingkat kemiskinan umumnya dinyatakan dalam tiga indikator FGT yang dikembangkan oleh Foster, et al. (1984), yaitu Headcount index (P 0 ), Poverty Gap Index (P 1 ), dan Poverty Severity Index (P 2 ). Ketiga indikator kemiskinan tersebut diduga dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Penggunaan ketiga variabel tersebut mengacu pada konsep Kakwani (1993) yang mendefinisikan indeks kemiskinan sebagai fungsi dari garis kemiskinan, rata-rata pendapatan per kapita, dan ketimpangan pendapatan. Studistudi empiris terdahulu antara lain Nanga (2006) serta Laabas dan Limam (2004) juga menggunakan ketiga variabel tersebut dalam mengestimasi ketiga indikator kemiskinan FGT. Hipotesis hubungan ketiganya adalah pengeluaran per kapita yang lebih besar diduga menurunkan kemiskinan, sedangkan Indeks Gini dan garis kemiskinan yang lebih besar diduga meningkatkan kemiskinan. Pada penelitian ini, estimasi headcount index dilakukan untuk ketiga sektor, sedangkan estimasi poverty gap index dan poverty severity index hanya dilakukan pada sektor pertanian. Selain headcount index sektoral estimasi terhadap total headcount index juga dilakukan menggunakan ketiga headcount index sektoral. Meskipun total headcount index dapat dihitung dari dekomposisi headcount index sektoral tetapi karena headcount index sektoral pada penelitian ini hanya diestimasi untuk tiga sektor maka total headcount index tidak dihitung secara aditif melainkan diestimasi dari ketiga headcount index sektoral tersebut yaitu headcount index pertanian, headcount index industri, dan headcount index perdagangan. Persamaan ketiga indikator kemiskinan di provinsi-i tahun-t adalah: POVTANIP0it = w 0 + w 1 EXPTANI it + w 2 GINI it + w 3 GK it + u 23it (4.49) POVINDP0it = x 0 + x 1 EXPIND it + x 2 GINI it + x 3 GK it + u 24it (4.50) POVDGP0it = y 0 + y 1 EXPDG it + y 2 GINI it + y 3 GK it + u 25it (4.51) POVTANIP1it = z 0 + z 1 EXPTANI it + z 2 GINI it + z 3 GK it + u 26it (4.52) POVTANIP2it = aa 0 + aa 1 EXPTANI it + aa 2 GINI it + aa 3 GK it + u 27it (4.53) POVP0it = ab 0 + ab 1 POVTANIP0 it + ab 2 POVINDP0 it + ab 3 POVDGP0 it + u 28it (4.54) Hipotesis: w 1, x 1, y 1, z 1, aa 1 < 0; w 2, w 3, x 2, x 3, y 2, y 3, z 2, z 3, aa 2, aa 3, ab 1, ab 2, ab 3 > 0 POVTANIP0: headcount index pertanian (%) POVINDP0: headcount index industri (%) POVDGP0: headcount index perdagangan (%) POVTANIP1: poverty gap index pertanian POVTANIP2: poverty severity index pertanian POVP0: total headcount index (%) EXPTANI: pengeluaran per kapita pertanian per bulan (ribu Rp) EXPIND: pengeluaran per kapita industri per bulan (ribu Rp) EXPDG: pengeluaran per kapita perdagangan per bulan (ribu Rp) GINI: Indeks Gini GK: Garis Kemiskinan (ribu Rp) Prosedur Estimasi Model

17 79 Identifikasi dan Metode Estimasi Model Identifikasi merupakan suatu permasalahan formulasi bukan estimasi atau penilaian (appraisal) model (Koutsoyiannis, 1977). Namun, identifikasi sangat terkait dengan estimasi, yaitu: (1) jika suatu persamaan tidak teridentifikasi maka estimasi seluruh parameter tidak mungkin dilakukan dengan teknik ekonometrik apapun; dan (2) jika suatu persamaan teridentifikasi maka secara umum koefisien parameternya dapat diestimasi secara statistik. Identifikasi dapat dilakukan dengan memeriksa spesifikasi model struktural atau dengan memeriksa model yang direduksi. Namun, pendekatan pertama lebih sederhana dan lebih berguna sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut. Ada dua kondisi yang harus dipenuhi oleh suatu persamaan dalam identifikasi model yaitu order condition dan rank condition. Syarat order condition dilakukan berdasarkan jumlah variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan. Untuk memenuhi syarat order condition pada persamaan yang akan diidentifikasi maka jumlah variabel (endogen dan eksogen) yang dikeluarkan dari persamaan tersebut harus sama atau lebih besar dari jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu, atau: (K M) (G 1) (4.55) dimana: G : jumlah persamaan (= jumlah variabel endogen) dalam model K : jumlah variabel dalam model (endogen dan predetermined) M : jumlah variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan struktural Dengan demikian, jika: (K-M) > (G-1) maka persamaan teridentifikasi berlebih (over identified) (K-M) = (G-1) maka persamaan teridentifikasi tepat (exactly identified) (K-M) < (G-1) maka persamaan tidak teridentifikasi (unidentified) Jjika persamaan teridentifikasi tepat (exactly identified) maka estimasi dapat dilakukan dengan metode Indirect Least Squares (ILS), namun jika teridentifikasi berlebih (over identified) dapat digunakan beberapa metode antara lain two-stage least squares (2SLS) dan maximum likelihood (Koutsoyiannis, 1997). Perbedaan mendasar dari kedua metode ini adalah metode Maximum Likelihood memerlukan sampel besar dan variabel-variabel berdistribusi multivariate normal. Sedangkan metode 2SLS tidak memerlukan asumsi distribusi apapun dan dapat digunakan untuk sampel kecil (Sulistiyawan, 2009). Selain itu, metode 2SLS menghasilkan estimasi konsisten dan efisien serta konsep dan komputasinya lebih sederhana (Koutsoyiannis, 1977). Syarat order condition merupakan syarat perlu (necessary) namun tidak cukup karena meskipun syarat tersebut terpenuhi suatu persamaan namun hubungannya bisa saja tidak dapat diidentifikasi. Oleh karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan rank condition yang merupakan syarat cukup (sufficient), yaitu dalam suatu sistem dengan G buah persamaan maka suatu persamaan akan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu nilai determinan bukan nol (non-zero determinant) pada order (G-1) dari koefisien variabel yang dikeluarkan dari persamaan namun ada di persamaan-persamaan

18 80 lain dalam model (Koutsoyiannis, 1977). Artinya, rank condition ditentukan oleh determinan turunan pertama persamaan struktural yang nilainya tidak nol. Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah terdiri dari 48 variabel endogen dan 37 variabel predetermined (14 variabel lag endogen dan 23 variabel eksogen) sehingga ada 85 variabel dalam model (K), 3 sampai 6 variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan struktural, dan 48 variabel endogen atau jumlah persamaan dalam model. Berdasarkan kriteria identifikasi sesuai persamaan (4.55) diketahui jumlah variabel (endogen dan eksogen) yang dikeluarkan dari setiap persamaan (K-M) lebih besar dari jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu (G-1) yang berarti model teridentifikasi berlebih (over identified) sehingga dapat diestimasi dengan metode 2SLS. Program dan hasil estimasi model dengan metode 2SLS prosedur syslin pada software SAS/ETS secara lengkap disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Evaluasi Model Hasil estimasi selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi model untuk mengetahui apakah sesuai dengan kriteria ekonomi dan kriteria statistik. Analisis kriteria ekonomi bertujuan untuk mengetahui apakah model sesuai dengan teoriteori ekonomi (theoretically meaningful). Hal ini dilakukan dengan menganalisis tanda setiap koefisien variabel. Sedangkan, analisis kriteria statistik bertujuan untuk mengetahui kesesuaian model (goodness of fit) yang dapat dilakukan dengan menganalisis koefisien determinasi (R 2 ), uji F dan uji t. R 2 merupakan ukuran proporsi variasi variabel dependen yang dijelaskan secara bersama-sama oleh seluruh variabel penjelas pada suatu persamaan regresi. Nilai R 2 tersebut dapat menjadi petunjuk seberapa baik garis regresi mendekati nilai data aktualnya. Jika R 2 bernilai satu maka garis regresi cocok dengan data secara sempurna, sedangkan jika R 2 bernilai nol maka garis regresi tidak cocok dengan data secara sempurna. Nilai R 2 dihitung dengan rumus berikut (Walpole dan Myers, 1978): R 2 SS = SS Reg Total SS = 1 SS Error Total = 1 (yi ŷ i ) 2 (y y) SS Reg : Sum squares of regression SSTotal: Sum squares of total yi: nilai aktual variabel dependen ke-i ŷ i : nilai estimasi variabel dependen ke-i y : rata-rata nilai aktual variabel dependen i 2 (4.56) Analisis kriteria statistik juga dilakukan dengan uji F untuk mengetahui apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata (significant) secara statistik pada variabel dependen. Untuk mengujinya maka nilai F dibandingkan dengan nilai F pada tingkat signifikasi (α) tertentu. Jika lebih besar maka hipotesis nol H 0 : β 1 = β 2 = = β k = 0 yang berarti semua variabel penjelas tidak mempengaruhi variabel dependen ditolak. Artinya, seluruh variabel penjelas secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen secara nyata pada tingkat signifikansi α. Nilai F dihitung dengan rumus:

19 81 2 (R /k) = (4.57) (1 R )/(n k 1) F 2 R 2 : koefisien determinasi n = jumlah observasi (sampel) k = jumlah variabel penjelas Sedangkan, uji t untuk mengetahui pengaruh setiap variabel penjelas pada variabel dependen. Untuk itu, nilai t dibandingkan dengan t pada α tertentu. Jika lebih besar maka hipotesis nol H 0 : β i = 0; i = 1, 2,, k yang berarti suatu variabel penjelas tertentu tidak mempengaruhi variabel dependen ditolak. Artinya, suatu variabel penjelas mempengaruhi variabel dependen pada tingkat signifikansi α. Nilai t dihitung dengan rumus: βˆ i t = SE ; i = 0, 1, 2,, k (4.58) βˆ i : koefisien parameter variabel ke-i SE = Standar error Validasi Model Prosedur Simulasi Model Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model layak digunakan dalam menganalisis dampak suatu kebijakan melalui simulasi alternatif kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu kriteria yang mengacu pada selisih nilai prediksi dan nilai aktual setiap variabel endogen. Jika hasil validasi menunjukkan perbedaan nilai prediksi dan nilai aktual kecil atau nilai prediksi relatif tidak menyimpang dari nilai aktual maka dapat dilakukan simulasi. Indikator statistik yang digunakan adalah rms (root-mean-squrae) simulation error (Pyndick dan Rubinfeld, 1991). Indikator rms simulation error yang sering digunakan adalah Root Mean Square Percentage Error (RMSPE) untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai variabel endogen hasil simulasi relatif menyimpang dari nilai-nilai aktualny dimana semakin kecil RMSPE semakin baik estimasi model. Indikator dihitung dengan: (4.59) : nilai prediksi (simulasi) dari Y : nilai aktual Yt T : jumlah periode simulasi t Namun, jika model dirancang untuk keperluan peramalan (forecasting) maka indikator statistik rms simulation error yang dapat digunakan adalah Theil Inequality Coefficient (U). Indikator ini diperoleh dengan rumus:

20 82 (4.60) : nilai prediksi (simulasi) dari Y : nilai aktual Yt T : jumlah periode simulasi t Bagian numerator dari indikator ini adalah rms simulation error. Namun skala denominator menyebabkan U bernilai antara nol dan satu. Jika U bernilai nol atau untuk setiap t berarti cocok secara sempurna (perfect fit). Namun, jika U bernilai satu maka nilai-nilai prediksi selalu nol untuk nilai-nilai aktual yang tidak nol, atau nilai-nilai prediksi tidak bernilai nol untuk nilai-nilai aktual yang bernilai nol. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai simulasi akan positif (negatif) untuk nilai-nilai aktual yang negatif (positif). Dengan perkataan lain, model dapat digunakan untuk simulasi apabila nilai-nilai U semakin kecil. Theil Inequality Coefficient (U) dapat didekomposisi menjadi (Pyndick dan Rubinfeld, 1991) : (4.61) dan : rata-rata nilai prediksi : rata-rata nilai aktual : standar deviasi untuk nilai prediksi : standar deviasi untuk nilai aktual : koefisien korelasi (4.62) Proporsi dari U (proportion of inequality) dapat didefinisikan sebagai berikut : (4.63) (4.64) (4.65) U M : proporsi bias digunakan untuk mengindikasikan error sistematik (systematic error) yang merupakan ukuran rata-rata deviasi nilai-nilai simulasi dari nilai-nilai aktualnya. Nilai U M diharapkan mendekati nol dimana nilai U M yang besar (lebih dari 0.2) menunjukkan adanya bias sistematik sehingga model harus direvisi. U S : proporsi variansi yang mengukur seberapa jauh variansi nilai-nilai prediksi menyimpang dari variansi nilai-nilai aktual. Nilai-nilai U S mengindikasikan kemampuan model mereplikasi derajat variabilitas dari variabel-variabel tertentu. Nilai U S yang baik adalah mendekati nol. Nilai U S besar menunjukkan nilai-nilai aktual sangat berfluktuasi

21 83 sementara nilai-nilai simulasi kurang berfluktuasi, atau sebaliknya sehingga model harus direvisi. U C : proporsi kovariansi yang merupakan ukuran error tidak sistematik (unsystematic error). Indikator ini juga merupakan sisa error. Namun, indikator ini tidak terlalu diperhatikan karena tidak beralasan untuk mengharapkan nilai-nilai prediksi yang berkorelasi sempurna dengan nilai-nilai aktualnya. Namun, untuk setiap U positif (U > 0) maka distribusi inequality yang ideal dari ketiga error ini adalah U M = U S = 0 dan U C = 1 (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Distribusi U yang ideal atas ketiga proporsi tersebut adalah U M = U S = 0 dan U C = 1. Hubungan ketiganya dapat diperoleh dengan membagi persamaan (4.61) dengan sisi kiri, sehingga: U M + U S + U C = 1 (4.66) Pada penelitian ini, validasi dilakukan dengan prosedur SIMNLIN metode solusi Newton pada software SAS/ETS Program validasi dan hasilnya secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Simulasi Kebijakan Simulasi seringkali digunakan dalam rancangan kebijakan publik. Istilah simulasi secara sederhana adalah solusi matematis dari sekumpulan persamaan simultan (Pyndick dan Rubinfeld, 1991). Secara teoritis, tujuan simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel atau instrumen kebijakannya baik variabel eksogen maupun variabel endogen. Oleh karena itu, proses simulasi merupakan proses penentuan prediksi nilai-nilai variabel endogen dengan cara substitusi hasil estimasi koefisien regresi variabel penjelas dan nilai-nilai aktualnya ke dalam model regresi yang berkaitan dengan variabel endogen dalam simulasi. Simulasi dapat dibedakan menurut horison waktu yaitu ex-post simulation dan ex-ante simulation. Ex-post simulation atau simulasi historis adalah simulasi pada periode data penelitian. Ex-ante simulation atau simulasi peramalan adalah simulasi pada periode di luar data penelitian. Untuk itu, terlebih dahulu harus dilakukan peramalan terhadap variabel-variabel eksogen. Pada penelitian ini simulasi dilakukan secara historis (ex-post simulation) dan peramalan (ex-ante simulation) untuk menganalisis dampak kebijakan yang mendorong peran kapasitas fiskal dalam menurunkan kemiskinan sektoral melalui perbaikan kinerja perekonomian dengan mempertimbangkan perbaikan kinerja fiskal. Hasil simulasi selanjutnya akan direkomendasikan jika berdampak positif dan memihak penduduk miskin terutama yang bekerja di sektor pertanian sehingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan nasional mengingat insiden kemiskinan paling tinggi di sektor pertanian. Simulasi model yang menggunakan variabel lag dapat dilakukan secara statis, dinamis, dan kombinasi keduanya (Sitepu dan Sinaga, 2006). Simulasi statis (static simulation) menggunakan nilai aktual dari variabel lag, sedangkan simulasi dinamis (dynamic simulation) menggunakan solusi dari nilai-nilai variabel lag (SAS Institute Inc., 2004). Penelitian ini melakukan simulasi dinamis dimana pada beberapa persamaan struktural dalam model terdapat variabel lag

6. HASIL ESTIMASI MODEL

6. HASIL ESTIMASI MODEL 106 6. HASIL ESTIMASI MODEL Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik yang memenuhi kriteria

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 55 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian makro

Lebih terperinci

Pendahuluan. Vera Lisna a,, Bonar M. Sinaga b, Muhammad Firdaus b, Slamet Sutomo a. Abstract. Abstrak

Pendahuluan. Vera Lisna a,, Bonar M. Sinaga b, Muhammad Firdaus b, Slamet Sutomo a. Abstract. Abstrak Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 14 No. 1, Juli 2013: 1-26 ISSN 1411-5212 Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Penurunan Kemiskinan: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan Impact of Fiscal Capacity

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL 5.1. Hasil Estimasi Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. yang telah disediakan dan dipublikasi oleh pihak lain. Penelitian ini merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. yang telah disediakan dan dipublikasi oleh pihak lain. Penelitian ini merupakan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder yang telah disediakan dan dipublikasi oleh pihak lain. Penelitian ini merupakan pengujian

Lebih terperinci

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER P R O S I D I N G 186 DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER Novi Haryati, Soetriono, Anik Suwandari Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Didalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif

III METODE PENELITIAN. Didalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Didalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif yaitu menjelaskan kedudukan variabel-variabel penelitian yang diteliti serta pengaruh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series) 46 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series) dalam periode tahunan dan data antar ruang (cross section). Data sekunder

Lebih terperinci

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah:

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah: III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Analisis 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO HELDY ISMAIL Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri

Lebih terperinci

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Secara teoritis, tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan

Lebih terperinci

BAB III. Metode Penelitian

BAB III. Metode Penelitian 34 BAB III Metode Penelitian 3.1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis penelitian ini menggunakan data yang bersifat kuantitatif. Data kuantitatif yaitu data yang berwujud dalam kumpulan angka-angka. Sedangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai lembaga pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Negara Indonesia sebanyak 416 kabupaten dan 98 kota. Sampel yang diambil

BAB III METODE PENILITIAN. Negara Indonesia sebanyak 416 kabupaten dan 98 kota. Sampel yang diambil BAB III METODE PENILITIAN 3.1. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua kabupaten dan kota yang ada di Negara Indonesia sebanyak 416 kabupaten dan 98 kota. Sampel yang diambil sebanyak

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui pengaruh belanja daerah, tenaga kerja, dan indeks pembangunan

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui pengaruh belanja daerah, tenaga kerja, dan indeks pembangunan BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh belanja daerah, tenaga kerja, dan indeks pembangunan manusia terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung berjumlah 14 kabupaten dan kota. Sampel yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (independent variable) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang terdiri dari

BAB III METODE PENELITIAN. (independent variable) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang terdiri dari 55 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian Adapun yang menjadi obyek penelitian sebagai variabel bebas (independent variable) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang terdiri dari PAD, transfer

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementrian terkait. Data yang

BAB III METODOLOGI. berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementrian terkait. Data yang BAB III METODOLOGI 3.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementrian terkait. Data yang bersumber dari BPS adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series) III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat runtun waktu (time series) dalam periode tahunan dan data antar ruang (cross section). Data sekunder

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menguji teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan mengkaji kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sebelum desentralisasi fiskal tahun 1994 2000 dan setelah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross

III. METODE PENELITIAN. berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross 36 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data panel terdiri dari dua bagian yaitu : (1) time series dan (2) cross

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berupa data kuantitatif, yaitu Data Laporan Realisasi Anggaran APBD pemerintah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berupa data kuantitatif, yaitu Data Laporan Realisasi Anggaran APBD pemerintah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang dikumpulkan dari dokumen pemerintah daerah di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY berupa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Pada lokasi penelitian ini diambil pada Kabupaten/Kota yang terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota di Provinsi Jawa tengah dengan variabel penelitian pertumbuhan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada pemerintah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota, akan tetapi ada penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Objek/Subjek Penelitian Objek penelitian data ini adalah Pemerintah Daerah pada 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Subjek penelitiannya, yaitu data PAD, DAU, DAK, dan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data merupakan variabel yang diukur dan diperoleh dengan mengukur nilai satu atau lebih variabel dalam sampel atau populasi. Data menurut

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan yang tidak dipublikasikan. Data penelitian bersumber dari laporan keuangan

III. METODE PENELITIAN. dan yang tidak dipublikasikan. Data penelitian bersumber dari laporan keuangan 53 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan diteliti adalah data sekunder, berupa catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengumpulan data yang berupa laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik

Lebih terperinci

1. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA Tahun

1. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA Tahun 1. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA Tahun 2000-2016 JURNAL Dosen Pembimbing : Suharto,S.E., M.Si. Disusun Oleh : Nama : Muhamad Syahru Romadhon NIM

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang metodologi yang digunakan dalam studi ini, yang terdiri dari spesifikasi model, definisi operasional variabel, data dan sumber data, serta metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai BAB III METODE PENELITIAN A. Langkah Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Merumuskan spesifikasi model Langkah ini meliputi: a. Penentuan variabel,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi di 5 pulau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pendapatan di 26 provinsi di Indonesia dengan indikator koefisien Gini selama

BAB III METODE PENELITIAN. pendapatan di 26 provinsi di Indonesia dengan indikator koefisien Gini selama BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Secara spesifik Objek dari penelitian ini adalah ketimpangan distribusi pendapatan di 26 provinsi di Indonesia dengan indikator koefisien Gini selama periode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PAD dari masing-masing kabupaten/kota di D.I Yogyakarta tahun

BAB III METODE PENELITIAN. PAD dari masing-masing kabupaten/kota di D.I Yogyakarta tahun BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah data PDRB, jumlah penduduk dan PAD dari masing-masing kabupaten/kota di D.I Yogyakarta tahun 2000-2014 yang meliputi kabupaten

Lebih terperinci

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah selalu digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Obyek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kota Malang. Pemilihan obyek penelitian di Kota Malang adalah dengan pertimbangan bahwa Kota Malang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data

3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Departemen Kesehatan. Data yang

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

31 Universitas Indonesia

31 Universitas Indonesia BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Setelah memperhatikan karakteristik permintaan kedelai di Indonesia pada bab terdahulu maka sekarang tiba saatnya untuk memodelkan faktor faktor yang mempengaruhi permintaan

Lebih terperinci

3. METODE. Kerangka Pemikiran

3. METODE. Kerangka Pemikiran 25 3. METODE 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar belakang penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu bentuk kerangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang 52 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data tahunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data laporan keuangan

BAB III METODE PENELITIAN. di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data laporan keuangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data laporan keuangan pemerintah daerah

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

Model Persamaan Simultan

Model Persamaan Simultan Model Persamaan Simultan Dalam peristiwa ekonomi seringkali ditemukan bahwa beberapa variabel saling mempengaruhi. Contoh : Pendapatan akan mempengaruhi konsumsi, artinya jika pendapatan naik maka diharapkan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran IV. METODOLOGI Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) melalui APBN akan meningkatkan output sektor industri disebabkan adanya efisiensi/

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah kemiskinan di Jawa Barat tahun ,

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah kemiskinan di Jawa Barat tahun , BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah kemiskinan di Jawa Barat tahun 2003-2009, dengan variabel yang mempengaruhinya yaitu pertumbuhan ekonomi, Dana Alokasi Khusus

Lebih terperinci

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA Disusun oleh : Karmila Ibrahim Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Abstract Analisis LQ Sektor pertanian, subsektor tanaman pangan,

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

Bab IV. Metode dan Model Penelitian

Bab IV. Metode dan Model Penelitian Bab IV Metode dan Model Penelitian 4.1 Spesifikasi Model Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti adalah pengaruh real exchange rate, pertumbuhan ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi Jepang,

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan dari

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan dari BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2014 sampai dengan Februari 2014. Penelitian

Lebih terperinci

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI Oleh : IPA ROMIKA J2E004230 PROGRAM STUDI STATISTIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci