IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kondisi Industri Perkayuan di Papua Penyebaran Industri Penggolongan Industri primer hasil hutan berdasarkan kapasitas produksinya dibedakan menjadi dua kategori, yaitu industri dengan kapasitas produksi per tahun m 3 dan > m 3. Di Provinsi Papua sampai dengan bulan Juni 2009 terdapat 41 unit industri primer hasil hutan dengan total kapasitas produksi kayu olahan per tahun sebesar 2,7 juta m 3. Total jumlah tersebut terdiri atas 30 unit industri dengan kapasitas produksi m 3 per tahun dan industri dengan kapasitas produksi > m 3 per tahun sebanyak 11 unit (Tabel 9). Tabel 9 Penyebaran IUIPHHK di Propinsi Papua sampai dengan bulan Juni tahun 2009 Kapasitas Produksi Industri Lokasi m 3 /tahun > m 3 /tahun Total SW BB ML PL SW CH WW Kab. Biak Kab. Boven Digul Kab. Jayapura Kab. Keerom 5 5 Kab. Merauke 1 1 Kab. Nabire 5 5 Kab. Sarmi 3 3 Kep. Yapen Kota Jayapura 7 7 Total Ket. SW(Sawmill), BB(Block Board), ML(Moulding), PL(Plywood), CH(Chips), & WW(Woodworking) Sumber : Laporan BP2HP Wilayah XVII Bulan Juni Dari seluruh industri tersebut, 22 unit industri dengan kapasitas produksi kayu gergajian m 3 per tahun tersebar ditempat dimana penelitian ini dilaksanakan yaitu Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, dengan total kapasitas produksi sebesar 127 ribu m 3 per tahun yang secara rinci disajikan pada Tabel

2 Tabel 10 Kapasitas produksi kayu gergajian per tahun IUIPHHK di Kab. Jayapura, Kota Jayapura dan Kab. Keerom Lokasi Perusahaan Kapasitas (m 3 ) Kab. Jayapura CV. Anugerah Bumi Cenderawasih CV. Sejahtera Abadi Perkasa CV. Soby Sakti Still Unitaja KSU Rajawali Papua Foresta PT. Gizand Putra Abadi PT. Irian Hutama PT. Karya Irian Agung Utama PT. Korina Jaya Lestari PT. Sijas Express Unit II PT. Victory Cemerlang Unit III Kab. Jayapura Total CV.Edom Ariha Jaya Unit I CV.Edom Ariha Jaya Unit II PT. Bama Pratama Adijaya PT. Sisilia Claudia PT. Sumber Kayu Utama Kab. Keerom Total Kota Jayapura PT. Datonan Jaya Perkasa PT. Mansinam Global Mandiri Unit I PT. Mansinam Global Mandiri Unit III PT. Sijas Express Unit I PT. Victory Cemerlang Unit I PT. Victory Cemerlang Unit II PT.Sisilia Claudia Unit II Kota Jayapura Total Total Kapasitas Produksi Per tahun Sumber : Laporan BP2HP Wilayah XVII bulan Juni tahun Target pengolahan kayu ke-22 industri ini adalah kayu merbau, dengan ijin produksi kayu gergajian. Ijin produksi woorworking dan moulding hanya ada di kabupaten Biak dan Yapen, yaitu PT. Wapoga Mutiara Indutries di Biak dengan kapasitas produksi 30 ribu m 3 dan PT. Sinar Wijaya di Yapen dengan kapasitas produksi 14,4 ribu m 3 per tahun Produksi dan Pemasaran Kayu Gergajian dan Woodworking Merbau Produksi kayu olahan merbau Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 berfluktuasi dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 (Tabel 12). Produksi Kayu bulat sebagai bahan baku industri pada periode yang sama menunjukkan kecenderungan menurun, dimana produksi tertinggi sebesar 129 ribu m 3 30

3 tercapai pada tahun 2004 yang kemudian menurun menjadi 40,6 ribu m 3 pada tahun Berdasarkan kondisi industri di lapangan, data yang ditampilkan pada Tabel 12 ini tidak menujukkan kenyataan yang sebenarnya. Berdasarkan total produksi kayu bulat merbau dan total produksi kayu olahan pada periode tersebut, maka jumlah kayu bulat yang dibutuhkan berdasarkan rendemen produksi masing-masing industri adalah 432 ribu m 3, sementara jumlah produksi kayu bulat pada periode yang sama adalah 265 ribu m 3, sehingga ada selisih jumlah kayu bulat sebesar 167 ribu m 3. Tabel 11 Kapasitas ijin dan Produksi kayu gergajian merbau Kab. Jayapura, Kota Jayapura dan Kab. Keerom. Item Kabupaten Tahun AAC Kayu Bulat Kab. Jayapura Kab. Keerom Kota Jayapura Total Potensi Merbau Produksi Kayu Bulat Merbau Kab. Jayapura Kab. Keerom Kota Jayapura Total Kapasitas Ijin Industri Kab. Jayapura Kab. Keerom Kota Jayapura Total Produksi Kayu Gergajian Kab. Jayapura Kab. Keerom Kota Jayapura Total Utilization Rate Kapasitas Ijin dan Produksi K 36% 41% 53% 55% 37% Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Papua, BPPHP Wilayah XVII Jayapura, Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura, PT. Sumber Kayu Utama dan PT. Mansinam Global Mandiri. Data Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura meliputi data produksi industri penggergajian yang beroperasi pada lingkup kerja dinas kabupaten Keerom dan kota Jayapura. Peningkatan produksi ini seiring dengan peningkatan ijin kapasitas produksi per tahun industri primer hasil hutan kayu yang dikeluarkan (Tabel 11). Kapasitas produksi industri primer hasil hutan dari tahun 2004 sampai dengan 2008 terus mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 2009 sampai 31

4 dengan bulan juni, terdapat penambahan lima ijin industri baru sehingga total kapasitas produksi per tahun ketiga lokasi tersebut mencapai 127 ribu m 3. Penurunan produksi kayu olahan terjadi pada tahun Berdasarkan penelusuran dilapangan, beberapa industri mengalami penurunan produksi dikarenakan kesulitan pemenuhan bahan baku kayu bulat merbau. Industri tersebut mengalami kesulitan melakukan kontrak pasokan bahan baku kayu bulat dari IUPHHK yang beroperasi dikarenakan tidak tercapainya kesepakatan harga kayu bulat merbau antara IUPHHK dengan industri yang akan membeli kayu bulat. Industri primer hasil hutan kayu hanya menyanggupi pembelian kayu bulat merbau per meter kubik dengan harga kurang dari 2,5 juta rupiah, sementara IUPHHK menurut informasi dari para pelaku industri mematok harga jual lebih dari tiga juta rupiah. Berdasarkan kapasitas produksi dan realisasi produksi kayu olahan pada periode waktu tersebut dihitung Utilization Rate kapasitas produksi kayu gergajian, dimana Utilization Rate memberikan pola kecenderungan yang sama dengan produksi kayu gergajian, yaitu meningkat dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008 dengan kisaran 36%-55%. Tahun 2008 Utilization Rate menurun tajam dibandingkan tahun 2007 dikarenakan terjadi penambahan kapasitas produksi per tahun kayu gergajian sementara itu pada saat yang sama produksi kayu gergajian menurun. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008 industri primer hasil hutan kayu di ketiga wilayah ini beroperasi dibawah kapasitas produksi yang diberikan. Di lapangan, dengan ijin operasi yang diberikan yaitu produksi kayu gergajian, beberapa industri telah memproduksi kayu merbau dalam bentuk Surfaced four Sides (S4S) dan Eased two Edges (E2E) (Gambar 6), dengan deskripsi masing-masing produk ditampilkan pada Tabel 12. Untuk S4S dan kayu gergajian diproduksi dengan target pasar dalam negeri dan penggunaan lokal, sedang produk kayu olahan merbau dalam bentuk E2E ditujukan untuk pasar ekspor. Kayu gergajian dan S4S yang dijual untuk pasar dalam negeri selanjutnya akan diolah kembali menjadi produk akhir berupa flooring. 32

5 Gambar 6 A B C Produk kayu merbau yang dihasilkan industri di Kab. Jayapura, Kota Jayapura dan Kab. Keerom, Kayu Gergajian (A), S4S (B) dan E2E (C). Tabel 12 Deskripsi produk kayu merbau yang dihasilkan industri di Kab. Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom No Produk Deskripsi 1 Kayu Gergajian - Kayu Gergajian dengan variasi sortimen seperti pada Tabel 2, belum dihaluskan sisi-sisinya, dan tidak dikeringkan menggunakan Kiln Dry, - Bentuk penampang persegi empat dengan sudut 90 o, - Harga jual berkisar 5,5-6,5 jt rupiah per meter kubik. 2 Surfaced four Sides (S4S) - Sortimen Papan lis yang telah dihaluskan keempat sisinya, dan telah dikeringkan menggunakan Kiln Dry sehingga memiliki MC ± 12%, - Bentuk penampang persegi empat dengan sudut 90 o, - Harga jual berkisar 7-8 jt rupiah per meter kubik. 3 Eased two Edges (E2E) - Sortimen Papan lis yang telah dihaluskan keempat sisinya, dan dikeringkan menggunakan Kiln Dry sehingga memiliki MC ± 12%, - Bentuk penampang persegi empat dengan dua sudut membulat, - Harga jual berkisar 9-10 jt rupiah per meter kubik Produksi industri primer hasil hutan kayu merbau ini telah mengisi pasar ekspor, pasar dalam negeri dan pasar lokal pada beberapa tahun terakhir. Data pengiriman kayu olahan yang dikirim keluar Papua melalui pelabuhan Jayapura 33

6 pada Kantor Administrasi Pelabuhan Jayapura hanya dapat diperoleh mencakup periode bulan Desember 2006 sampai dengan bulan April Data pengiriman yang dapat dipakai untuk menunjukkan kondisi periode per tahun adalah tahun 2007 dan 2008, dimana volume pengiriman pada tahun 2008 menunjukkan penurunan dibanding tahun 2007, hal ini berkaitan dengan produksi kayu gergajian merbau yang juga menurun pada periode yang sama. Tujuan pengiriman kayu gergajian untuk pasar dalam negeri adalah Jakarta, Surabaya dan Makassar (Tabel 13) dengan proporsi pada tahun 2007 dan 2008 adalah 54,1% dan 46,9% dari produksi total. Ekspor tercatat hanya pada tahun 2007 sebanyak 1,2% dari produksi total, dengan tujuan Shanghai-China yang dikapalkan melalui pelabuhan Surabaya. Untuk konsumsi lokal, tidak terdapat data yang dapat menunjukkan besarnya volume konsumsi, namun bila diasumsikan sisa produksi yang tidak dikirim keluar Papua dipergunakan untuk konsumsi lokal maka pada tahun 2007 dan 2008, proporsinya mencapai 44,7% dan 53,1% dari total produksi. Tabel 13 Realisasi Pengiriman Kayu Olahan Merbau per tahun dari pelabuhan Jayapura (dalam m 3 ) Tujuan ) ) Jakarta Makasar Surabaya Total Ket. 1) data tersedia hanya untuk bulan Desember 2) data sampai bulan April Sumber. Kantor Administrasi Pelabuhan Jayapura, 2009 Berdasarkan data pengiriman dan memperhatikan peralatan produksi kayu olahan masing-masing perusahaan pengirim, maka dapat diperhitungkan volume pengiriman berdasarkan jenis produk (Tabel 14). Dimana produk S4S mendominasi jenis produk yang yang dikirim, kemudian produk kayu gergajian dan produk E2E. 34

7 Tabel 14 Realisasi Pengiriman Kayu Olahan Merbau per tahun dari pelabuhan Jayapura berdasarkan jenis produk (dalam ribu m 3 ) Tahun Tujuan Pengiriman ) ) Total ST S4S ST S4S E2E ST S4S E2E ST S4S E2E Jakarta 0,00 1,57 0,00 15,04 0,13 0,00 6,47 0,28 0,00 1,96 0,24 25,69 Makasar 0,00 0,00 0,14 0,00 0,00 0,57 0,00 0,10 0,46 0,00 0,00 1,27 Surabaya 0,33 0,00 4,45 0,00 0,46 6,48 0,00 0,97 1,92 0,00 0,77 15,36 Total 0,33 1,57 4,58 15,04 0,58 7,05 6,47 1,34 2,38 1,96 1,01 42,32 Ket. ST (Sawn timber), S4S (Surfaced four Sides) & E2E (Eased two Edges)\ 1) data tersedia hanya untuk bulan Desember 2) data sampai bulan April Sumber. Data diolah Sebanyak 7% dari total volume pengiriman berupa produk kayu olahan berbentuk E2E ditujukan ke Surabaya, Jakarta dan Makasar. Produk kayu Gergajian sebanyak 34% dan produk S4S sebanyak 59% dari total volume pengiriman yang ditujukan ke Jakarta, Surabaya dan Makasar untuk selanjutnya diolah menjadi produk akhir seperti flooring, mozaic maupun finger joint Sumber Bahan Baku Industri Untuk memenuhi kebutuhan kayu bulat industri primer hasil hutan kayu di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, diharapkan dapat dipasok oleh 7 unit IUPHHK yang ada di kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom. Total luas konsesi keseluruhan IUPHHK tersebut berdasarkan SK HPH meliputi areal seluas hektar dengan komposisi Hutan Produksi seluas hektar, Hutan Produksi Terbatas hektar dan Hutan Konversi hektar. Pada tahun 2004 Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua melakukan penghitungan ulang (Redesign) luas areal masing pemegang ijin yang layak dijadikan wilayah pengelolaan, sehingga total luas areal konsesi berkurang dari hektar menjadi seluas hektar, yang terbagi atas hektar berupa Hutan Produksi, hektar Hutan Produksi Terbatas dan hektar Hutan Konversi (Tabel 15). Dari seluruh IUPHHK tersebut, selama dua tahun terakhir, hanya satu pemegang ijin yang aktif beroperasi yaitu PT. Hanurata unit Jayapura yang beroperasi di Kabupaten Keerom, sementara satu ijin telah berakhir masa 35

8 pengusahaan hutannya dan IUPHHK yang lain dalam kondisi stagnan. Informasi yang diperoleh dilapangan menyebutkan bahwa IUPHHK yang tidak beroperasi dikarenakan faktor harga pasar lokal kayu bulat merbau yang menurut para pemegang ijin tidak menarik. Meningkatnya kapasitas ijin produksi per tahun industri kayu gergajian merbau di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, berdampak langsung terhadap kebutuhan kayu bulat merbau. Kebutuhan kayu bulat merbau pada tahun 2004 adalah 60 ribu m 3 dan meningkat mencapai pada 160 ribu m 3 pada tahun 2008 dan meningkat lagi menjadi 254 ribu m 3 pada tahun Untuk mendukung industri primer hasil hutan yang beroperasi di Papua dan Papua Barat, pada tanggal 22 Desember 2008, Gubernur Provinsi Papua menetapkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua yang mana pada pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kayu bulat dan hasil hutan lainnya wajib diolah di Provinsi Papua untuk optimalisasi industri kehutanan, meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, menambah peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah yang dapat diperoleh daerah dari kayu merbau dengan mendorong IUPHHK untuk membangun industri pengolahan kayu merbau di Papua. Dampak kebijakan ini mengakibatkan beberapa IUPHHK yang tidak memiliki industri menghentikan kegiatan dikarenakan tidak dapat menjual kayu bulatnya ke luar Papua. Pasar potensial Kayu Bulat Papua selama ini adalah ke Pulau Jawa, dengan harga kayu bulat merbau di Jawa dapat mencapai Rp 3,5 juta per m 3, bila dipotong biaya transportasi sebesar Rp 0,5 juta per m 3, maka unit manajemen IUPHHK dapat memperoleh harga jual Rp 3 juta per m 3. Nilai ini yang menurut IUPHHK pantas untuk harga jual kayu bulat merbau sehingga akan menarik untuk diusahakan. Sebagai perbandingan terhadap harga jual kayu bulat merbau di negara tetangga PNG, Kayu bulat merbau dijual dengan harga US $ 425 per m 3 atau sama dengan Rp 4.25 juta per m 3. 36

9 Lokasi Selain satu unit IUPHHK yang aktif berproduksi, di Kabupaten Jayapura terdapat tiga unit IPK yang aktif memproduksi kayu bulat merbau, yaitu IPK. Victory Cemerlang, IPK. Sagatama Mulia Abadi dan IPK. Korina Jaya Lestari. Produksi kayu merbau pada ketiga wilayah selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan realisasi produksi mencapai 129 ribu m 3 dan terendah pada tahun 2006 yang mana hanya diproduksi 9 ribu m 3 kayu merbau (Tabel 11). Tingginya Produksi pada tahun 2004 terjadi seiring kebijakan pemerintah memberikan Ijin Pemungutan Kayu (IPK) untuk masyarakat adat maupun untuk pemungutan limbah. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut bila dirata-ratakan produksi per tahun kayu bulat merbau dari ketiga wilayah adalah sebesar 58 ribu m 3. Jumlah produksi kayu bulat ini masih dibawah kemampuan untuk menutupi jumlah kebutuhan bahan baku industri penggergajian kayu beroperasi di ketiga wilayah tersebut. Tabel 15 Luas areal konsesi IUPHHK berdasarkan redesign Dinas Kehutanan Provinsi Papua Tahun 2004 IUPHHK Luas Areal Hutan (ribu Ha) HP (Ha) HPT (Ha) HK (Ha) Total (Ha) JPT (ribu Ha/Thn) AAC (ribu m 3 ) Potensi Merbau (ribu m 3 ) Kab. Jayapura PT. Kebun Sari Putra 0,00 74,95 16,09 91,53 2,09 165,20 41,19 Kab. Jayapura PT. Papua Rimba Lestari 78,95 0,00 12,10 91,05 2,08 66,99 40,97 Kab. Jayapura PT. Sumber Mitra Jaya 37,31 0,94 0,00 38,24 0,87 56,12 17,21 Kab. Keerom PT. Hanurata Unit Jayapura 27,32 45,36 10,75 83,43 3,91 135,00 77,05 Kab. Keerom PT. Risana Indah Forest Industri 37,36 26,19 0,00 63,55 1,45 146,23 28,61 Kab. Keerom PT. Tunggal Yudhi Unit I 0,00 0,00 57,27 57,27 1,31 50,38 25,77 Kab. Keerom PT. Batasan 0,00 39,42 55,48 94,90 2,17 52,16 42,71 Total 180,93 186,86 151,69 519,97 13,89 672,08 273,51 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Laporan Akhir Redesain HPH/IUPHHK Provinsi Papua 37

10 4.1.2 Kondisi Industri Woodworking di Surabaya-Jawa Timur Sebagai benchmarking untuk pengembangan industri woodworking di Papua khususnya di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, maka juga dilakukan penelitian ke Surabaya-Jawaa Timur yang selama ini menerima pasokan kayu bulat dari Papua dan telah menjadi pusat industri woodworking di Indonesia Penyebaran Industri Di Surabaya terdapat 26 Unit industri dan 2 unit TPk Antara yang selama tiga tahun terakhir menerima pasokan kayu bulat dari Propinsi Papua dan Papua Barat. Dari total jumlah tersebut, selama periode waktu Januari 2007 sampai dengan bulan April 2009, berdasarkan data penerimaan kayu bulat hanya empat unit industri saja yang setiap tahunnyaa rutin menerima kayu bulat dari propinsi Papua dan Papua Barat yaitu PT. Indo Furnitama Raya, PT. Inti Prospek Sentosa, CV. Subur Andalas Timber dan UD. Wijaya Loka, dengan kecenderungan volume penerimaann dari masing-masing perusahaan menurun setiap tahunnya (Gambar 7). Sementara industri-industri lain menerima pasokan kayu bulat dari Papua dan Papua Barat tidak kontinyu. Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur Gambar 7 Histogram realisasi penerimaan kayu bulat Asal Papua dan Papua Barat, empat industri di Surabayaa tahun (dalam ribu meter kubik) ). 38

11 Produksi dan Pemasaran Kayu Gergajian dan Woodworking Merbau Produk kayu merbau industri pengolahan kayu di Surabaya diproduksi untuk konsumsi pasar ekspor dan domestik dalam bentuk E2E, Flooring, mozaic dan fingerjoint (Gambar 8). Produk E2E selama untuk memenuhi permintaan pasar China, produk mozaic untuk pasar Malaysia dan Belanda, sedangkan produk Flooring baik Coating/non coating untuk pasar Amerika, Australia, Korea, Spanyol dan Eropa. Harga tertinggi produk akhir ini diperoleh dari produk flooring yang dapat mencapai Rp 12,5 juta per m 3, yang kemudian diikuti fingerjoint Rp 8,5 juta per m 3 dan produk mozaic yang dapat mencapai Rp 5,5 juta per m 3. Bahan baku kayu merbau yang diperoleh ditujukan untuk produk utama berupa E2E dan Flooring. Sedang limbah dari proses produksi ini kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku fingerjoint dan mozaic. Produksi kayu olahan industri di Jawa Timur selama empat tahun terakhir tercatat mengalami kecenderungan menurun seperti yang ditampilkan pada Gambar Sumber. Laporan Tahunan BPPHP Wilayah VIII Surabaya Gambar 8 Histogram realisasi produksi kayu olahan industri pengolahan kayu di Jawa Timur tahun (dalam juta m 3 ). 39

12 Berkurangnya produksi kayu olahan ini berkaitan dengan makin berkurangnya pasokan kayu bulat yang masuk ke Jawa Timur, yang mengakibatkan industri mengalami kesulitan pasokan bahan baku DN-Lokal Ekspor Sumber. Laporan Tahunan BPPHP Wilayah VIII Surabaya Gambar 9 Histogram realisasi penjualan kayu olahan industri pengolahan kayu di Jawa Timur tahun (dalam juta m 3 ). Histogram ini menunjukkan bahwa penjulan kayu olahan produksi industri pengolahan kayu di Jawa Timur secara umum mengalami penurunan dan hal ini berkaitan dengan produksi kayu olahan yang juga menurun pada periode yang sama. A B C Gambar 10 Produk akhir kayu merbau yang dihasilkan di Surabaya, Flooring yang di Coating (A), Mozaic (B) dan Fingerjoint (C), Contoh produk PT. Idup Sufi Wahyu Abadi (ISWA). 40

13 Tabel 16 Deskripsi produk kayu merbau yang dihasilkan industri di Surabaya-Jawa Timur. No Produk Deskripsi 1 Flooring - Sortimen Papan lis yang telah dihaluskan keempat sisinya, dan telah dikeringkan menggunakan Kiln Dry sehingga memiliki MC ± 12%, - T&G pada empat sisinya - Harga jual berkisar Rp 10-12,5 juta per m 3 2 Mosaic - Sortimen Papan lis yang telah dihaluskan keempat sisinya, dan telah dikeringkan menggunakan Kiln Dry sehingga memiliki MC ± 12%, - Bentuk penampang persegi empat dengan sudut 90 o - tanpa T&G, - dirakit menggunakan lak ban atau kain pada permukaan atasnya. Lakban atau kain dilepas ketika mosaik sudah rapi terpasang pada lantai - Harga jual berkisar Rp 4,5-5,5 juta per m 3. 2 Fingerjoint. - Merupakan papan yang terbuat dari sambungan potongan-potongan kayu merbau, - Sortimen Papan lis yang telah dihaluskan keempat sisinya, dan telah dikeringkan menggunakan Kiln Dry sehingga memiliki MC ± 12%, - Bentuk penampang persegi empat dengan sudut 90 o - Harga jual berkisar Rp 7-8,5 juta per m Sumber Bahan Baku Industri Kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan di Surabaya selama ini dipenuhi dari daerah Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Papua dan Papua Barat. Untuk kurun waktu tiga tahun terakhir, Papua dan Papua Barat merupakan merupakan pemasok terbesar dengan proporsi 63,7% dari total volume kayu bulat yang diterima di Surabaya. Pada periode yang sama pasokan dari kedua provinsi tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan seperti yang ditampilkan pada Gambar 11. Volume pasokan tertinggi dicapai pada tahun 2007 dengan total volume pasokan kayu bulat mencapai 367 ribu m 3. Total pasokan kayu bulat dari Provinsi Papua dan Papua Barat selama kurun waktu 2005 sampai awal tahun 2009 adalah sebesar 41

14 1,2 juta m 3, yang dipasok sebanyak 636 ribu m 3 dari 545 ribu m 3 dari provinsi Papua Barat. provinsi Papua dan Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Gambar 11 Grafik realisasi penerimaan kayu bulat asal Papua dan Papua Barat di Surabayaa (dalam ribu m 3 ). Kayu bulat yang berasal dari Provinsi Papua dipasok dari Kabupaten Mimika, Nabire dan Sarmi. Sedang kayu bulat yang berasal dari provinsi Papua Barat di pasok dari kabupaten Fakfak, Kaimana, Manokwari, Rajaa Ampat, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni Kelayakan Industri Penggergajian dan Woodworking terintegrasi di Kab. Jayapura, Kota Jayapura dan Kab. Keerom. Melihat kondisi industri di Papua dan membandingkan dengan perkembangan industri di Jawa Timur, terlihat adanya peluang yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah Papua untuk pengembangan industri tersebut di Papua. Untuk memanfaatk kan peluang tersebut, dalam penelitian ini ditawarkan dua skenario industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi yang dibedakan berdasarkan produk akhir yang dihasilkan yaitu Skenario I yang hanya menghasilkan produk E2E dan Skenario II yang menghasilkann produk utama E2EE dan produk sampingan berupa Fingerjoint dan mosaic yang memanfaatkan limbah produksi yang ada. Kedua skenario ini dirancang dengan 42

15 target produksi per tahun m 3. Dengan pertimbangan bahwa industri tersebut dapat dibuat dibanyak tempat dan proses administrasi industri dapat dilakukan di daerah. Berkaitan dengan pengembangan dua skenario tersebut maka dilakukan analisis kelayakan dengan perhatian pada beberapa aspek yang dipaparkan berikut ini : Ketersediaan Bahan Baku Jatah Produksi Tebangan kayu bulat hutan alam yang diberikan Departemen Kehutanan kepada Provinsi Papua untuk tahun 2009, berdasarkan SK Dirjen BPK No. SK. 432/VI-BPHA/2008 tanggal 17 Desember 2008 adalah sebesar 1,225 juta m 3. Dari jumlah tersebut, PT. Hanurata yang beroperasi pada wilayah Kabupaten Keerom mendapatkan jatah tebangan kayu bulat sebanyak 68 ribu m 3 untuk areal tebangan seluas tiga ribu hektar, dengan target produksi kayu bulat merbau sebanyak 36 ribu m 3 sesuai potensi lestari kayu merbau yang dapat ditebang pada areal konsesi PT. Hanurata sebesar 11,53 m 3 /hektar. Selain IUPHHK PT. Hanurata, juga terdapat tiga IPK yang sedang dalam proses untuk memperoleh ijin prinsip dari Gubernur Papua, dengan luasan 3,6 ribu hektar di wilayah Kabupaten Keerom. Bila menggunakan nilai potensi kayu merbau yang sama dengan PT. Hanurata maka dapat memproduksi 41,5 ribu m 3. Sehingga Total target produksi kayu bulat merbau untuk wilayah kabupaten Keerom pada tahun 2009 adalah sebesar 77,5 ribu m 3. Untuk wilayah Kabupaten Jayapura pada tahun kegiatan 2009 tidak ada pengesahan Rencana Kerja Tahunan untuk IUPHHK. Apabila jumlah ini dapat dipanen secara keseluruhan belum juga dapat memenuhi kebutuhan bahan baku untuk seluruh unit industri yang telah menperoleh ijin operasi pada wilayah Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura yang memiliki total kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 254 ribu m 3. 43

16 Total volume kebutuhan ini akan terpenuhi apabila seluruh IUPHHK yang ada dilingkup kerja Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom beroperasi, dan total produksi kayu bulat dari ketiga wilayah dapat mencapai AAC maksimum yaitu 672 ribu m 3. Mengacu pada JPT luasan areal konsesi yang telah didesain kembali oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dari total luas hektar menjadi hektar untuk tujuh unit manajemen yang ada di Kabupaten Jayapura dan Keerom maka dapat dihitung besar potensi kayu bulat merbau yang dapat diproduksi IUPHHK tersebut dengan berdasarkan potensi per hektar kayu Merbau. Tokede et al., (2006), menyatakan potensi masak tebang kayu merbau di alam rata-rata sebesar 19,69 m 3 per hektar, nilai ini hampir sama dengan potensi kayu merbau di Kabupaten Keerom pada areal konsesi PT. Hanurata Jayapura yaitu sebesar 19,45 m 3 per hektar (Tabel 1). Potensi rata-rata kayu merbau tersebut bila di hitung berdasarkan JPT per tahun sesuai redesign yang ditetapkan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua (Tabel 15), maka akan diperoleh sebesar 273 ribu m 3 kayu merbau per tahun. Jumlah ini dapat menutupi kebutuhan industri penggergajian kayu merbau yang ada di ketiga wilayah tersebut Ketersediaan Teknologi Pengolahan Penelitian terhadap proses produksi industri penggergajian kayu merbau pada lokasi penelitian dilakukan pada tujuh unit industri yang aktif berproduksi yaitu PT. Sumber Kayu Utama yang beroperasi di wilayah Kabupaten Keerom, PT. Datonan Jaya Perkasa dan PT. Mansinam Global Mandiri yang beroperasi di wilayah Kota Jayapura, PT. Victory Cemerlang Wood Industri, PT. Irian Hutama, PT. Sijas Express dan PT. Gizand Putra Abadi yang beroperasi di wilayah Kabupaten Jayapura. Keseluruhan industri pengolahan kayu merbau ini memiliki mesin pengolahan Multiripsaw, yang dipergunakan untuk membentuk sortimen akhir kayu gergajian sesuai standar ukuran yang diinginkan. Dari keseluruhan industri tersebut hanya empat unit yang memiliki bandsaw pada pabrik pengolahannya dan hanya dua unit yang mengoperasikan 44

17 bandsaw untuk pembelahan kayu bulat sampai membentuk sortimen kayu gergajian, sementara industri lain mengoperasikan chain saw untuk membelah kayu bulat untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan multiripsaw membentuk sortimen kayu gergajian. A B Gambar 12 Penggergajian dengan menggunakan Multiripsaw (A) dan menggunakan Bandsaw (B) Pengoperasian multiripsaw oleh pelaku industri di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom lebih disukai dibandingkan mengoperasikan bandsaw dikarenakan alat ini memiliki beberapa keunggulan yaitu : a. Proses produksi yang cepat, Kecepatan feeding multiripsaw dapat mencapai 15 meter per menit dengan outpu 4-6 batang per proses, b. Ketepatan ukuran sortimen kayu gergajian yang baik, c. Pengoperasian multiripsaw memerlukan lebih sedikit tenaga kerja dibandingkan bandsaw. d. Biaya investasi lebih rendah dibandingkan bandsaw. Satu kekurangan yang dimilikii multiripsaw adalah tebal bilah gergaji yang lebih tebal dibanding bilah gergaji bandsaw. Dengan bilah gergaji yang lebih tebal dibandingkan bilah gergaji bandsaw, proses produksi kayu gergajian dengan menggunakan alat ini akan menghasilkan rendemen kayu gergajian yang lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan bandsaw yang memiliki tebal bilah lebih tipis. 45

18 A B Gambar 13 Tebal bilah gergaji multiripsaw (A) dan bandsaw (B) diukur menggunakan kaliper. Kenyataan ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Wade et al., (1992), yang menyatakan bahwa tebal keratan gergaji (kerf) adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi Lumber Recovery Factor (LRF), dengan hubungan yang berbanding terbalik. Bila semua faktor yang mempengaruhi proses penggergajian dianggap konstan, pengurangan terhadap besarnya keratan gigi gergaji dengan menggunakan bilah yang lebih tipis akan meningkatkan LRF dikarenakan berkurangnya kayu yang terbuang dalam bentuk serbuk. Lebih lanjut Wade et al. (1992), menggambarkan hubungan antara tebal keratan gergaji dengan LRF seperti pada Gambar 14. Gambar 14 Grafik hubungan tebal keratan gergaji bandsaw dan circularsaw dengan LRF. Grafik menunjukkan bahwa bandsaw dengan ketebalan keratan gigi gergaji berkisar 0,12-0,18 inch atau sama dengan 3,05 4,57 mm dengan ketebalan 46

19 bilah gergaji 1,52 2,29 mm akan memberikan nilai LRF yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan circularsaw dengan ketebalan keratan gigi gergaji berkisar 0,26-0,32 inch atau sama dengan 6,60 8,13 mm dengan ketebalan bilah gergaji 3,30 4,06 mm. Selain tebal bilah gergaji, hal lain yang mempengaruhi efisiensi penggergajian adalah ukuran sortimen target produksi, dimana semakin besar sortimen target yang dihasilkan oleh proses penggergajian akan memberikan nilai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan menghasilkan sortimen yang lebih kecil, hal ini dikarenakan banyaknya garis penggergajian (Sawn lines) untuk membuat sortimen yang lebih kecil lebih banyak (Wade et al., 1992). Penggunaan multiripsaw sebagai mesin utama dalam proses produksi dengan input bantalan kayu merbau untuk target produksi produk E2E akan memberikan rendemen proses pengolahan sebesar 63,98%, dengan perincian perhitungan rendemen disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Analisis rendemen pengolahan kayu merbau dengan menggunakan mesin utama multiripsaw No Proses Produksi Ukuran (cm) Vol/btg Jumlah Total Rendemen Tebal Lebar Pjg (m 3 ) batang Volume Per Proses 1 Input Bantalan Merbau 14,0 14, , ,16 2 Double Planer 13,8 13, , ,13 97,16% 3 Multi Ripsaw 2,0 13, , ,82 72,46% 4 Moulding 1,9 13, , ,74 90,87% Total Rendemen 63,98% Sumber : Diolah dari informasi beberapa industri di lokasi penelitian. Apabila rendemen proses produksi tersebut dihitung dari awal proses produksi yaitu pembelahan kayu bulat menggunakan chainsaw menjadi bantalan kayu merbau dengan rendemen proses sebesar 50% maka total rendemen proses produksi ini akan menjadi 32% atau sama dengan tiga meter kubik kayu bulat untuk menghasilkan satu meter kubik produk E2E. Dengan efisiensi proses produksi yang rendah ini, industri di ketiga lokasi dapat tetap beroperasi dikarenakan menggunakan sebagian bahan baku bantalan kayu merbau yang dapat diperoleh secara ilegal dengan harga Rp 1,8 2,2 juta per m 3, tidak sepenuhnya menggunakan kayu bulat merbau dengan harga antara 47

20 Rp 1,5 2,5 juta per m 3 yang diproduksi IUPHHK atau IPK. Analisis biaya secara umum proses produksi produk E2E menggunakan input bantalan kayu merbau disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Tabel analisis biaya pengolahan kayu merbau dengan menggunakan mesin utama multiripsaw No Item Harga (Rp) Vol (m 3 ) Tot Biaya (Rp) Ket 1 Bantalan Merbau , Rendemen 63.98% 2 Jasa Produksi , Harga Jual , Keuntungan per m 3 input (3-(1+2)) Sumber : Diolah dari informasi beberapa industri di lokasi penelitian. Bila menggunakan bandsaw sebagai mesin utama dalam proses produksi dengan input kayu bulat merbau untuk target produksi produk E2E, total rendemen proses produksi dapat mencapai 48.86%. Hal ini dapat dicapai kerena dengan menggunakan bandsaw proses pembelahan kayu sudah dilakukan secara mekanis dengan besarnya keratan gigi gergaji jauh lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan chainsaw sehingga rendemen proses produksi ini dapat mencapai 55%. Adapun rendemen pengolahan kayu gergajian output bandsaw menjadi E2E melalui mesin moulding dapat mencapai 89%, karena dalam mesin moulding hanya akan mengurangi ukuran satu milimeter pada setiap sisi sortimen. Dengan demikian total rendemen proses produksi akan mencapai 48.86%, atau sama dengan dua meter kubik kayu bulat untuk menghasilkan satu meter kubik produk E2E sehingga penggunaan bahan baku kayu bulat merbau akan lebih efisien. Tabel 19 Analisis rendemen pengolahan kayu merbau output bandsaw dengan menggunakan Moulding Ukuran (cm) Vol/btg Jumlah batang Total Volume No Proses Produksi Tebal Lebar Pjg (m 3 ) 1 Kayu Gergajian 2,0 13, , ,00 2 Moulding 1,8 13, , ,89 Rendemen Proses Total Rendemen 89% Sumber : Diolah dari informasi beberapa industri di lokasi penelitian. 48

21 Manfaat lain yang bisa diperoleh dari penggunaan bandsaw adalah termanfaatkannya limbah sebetan kayu bulat merbau yang dapat diolah lagi menjadi sortimen sampai dengan ukuran ketebalan dua sentimeter. Sortimen ini bisa digunakan sebagai bahan mozaic ataupun laminating. Sehingga bahan baku benar termanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Dari pengalaman industri yang telah mengoperasikan sistim ini didaerah Jawa Timur, rendemen akhir proses produksi dari kayu bulat dengan produk utama flooring dan produk sampingan berupa mozaic dan fingerjoint dapat mencapai rendemen 60% dengan perincian 45% Flooring, 5% Fingerjoint dan 10% mozaic. Industri woodworking merupakan proses pengolahan kayu lanjutan sehingga penerapan teknologi pengolahan untuk pengembangan industri woodworking mensyaratkan adanya ketersediaan SDM yang terampil. Oleh karena itu penyediaan SDM yang terampil haruslah menjadi prioritas pemerintah daerah dengan melakukan pelatihan, sehingga pengembangan industri pengolahan kayu merbau nantinya dapat menyerap tenaga kerja lokal sebagaimana yang diharapkan Peluang Pemasaran Woodworking Produk woodworking merbau produksi Indonesia beberapa tahun terakhir telah mengisi pasar produk kayu olahan di beberapa Negara seperti China, Jepang, Uni Eropa, Australia, Amerika dan lain-lain. Produk woodworking merbau lebih disukai karena sifat kayu merbau yang khas dan memberikan kesan mewah serta bisa digunakan untuk penggunaan interior maupun exterior. Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) mencatat perkembangan harga dan volume ekspor produk woodworking Indonesia selama kurun waktu tahun 2004 sampai 2009, dengan pola yang menunjukkan kecenderungan yang berlawanan dimana volume ekspor cenderung menurun sedangkan harga ekspor per satuan unit meningkat per tahunnya seperti yang ditampilkan dalam Gambar 15 dan

22 Sumber. Gambar 15 Grafik volume ekspor woodworking Indonesia tahun 2004 sampai dengan triwulan 3 tahun 2009 (dalam ribu m 3 ) Sumber. Gambar 16 Grafik harga ekspor woodworking Indonesia tahun 2004 sampai dengan triwulan 3 tahun 2009 (dalam US $) Kondisi ini menunjukkan suatuu gambaran akan adanyaa permintaann pasokan yang tinggi yang tidak dibarengi ketersediaan jumlah pasokan produk sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikann harga produk, dan merupakan gambaran akan adanyaa peluang pasar produk woodworking Indonesia yang masih terbuka dan dapat dikembangkan. 50

23 4.1.4 Kelayakan Finansial Kelayakan Finansial industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi dilakukan terhadap dua Skenario industri berdasarkan kombinasi produk akhir yaitu : a. Skenario I, Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi dengan satu jenis output produk yaitu E2E dengan rendemen proses produksi dari kayu bulat adalah 45%. b. Skenario II, Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi, dengan tiga jenis output produk yaitu E2E, Fingerjoint dan Mosaic dengan rendemen proses produksi dari kayu bulat adalah 45%, 5% dan 10% untuk masing-masing produk. Dalam analisis ini harga-harga yang dipakai adalah harga yang berlaku di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom yaitu harga kayu bulat merbau adalah Rp 2,5 juta per m 3 dan harga produk E2E, fingerjoint dan mosaic kayu merbau masing-masing adalah Rp 9,8 juta per m 3, Rp 7 juta per m 3 dan Rp 4,5 juta per m 3. Simulasi perusahaan penggergajian merbau dan woodworking yang terintegrasi dibuat dengan daftar aset dan peralatan seperti pada Lampiran 7 untuk Skenario I dan Lampiran 17 untuk Skenario II. Harga peralatan-peralatan ini telah diperhitungkan berikut biaya pengiriman dari Jawa dan pemasangan alat di Kabupaten Jayapura atau Kota Jayapura atau Kabupaten Keerom. Biaya pengadaan peralatan untuk ketiga lokasi tersebut relatif sama karena jarak ketiganya yang berdekatan. Total investasi untuk infrastruktur dan peralatan untuk industri dengan output produk E2E saja adalah sebesar Rp 10,2 milyar, sedang untuk industri dengan produk E2E, fingerjoint dan mosaic adalah sebesar Rp 10,75 milyar. Berdasarkan jenis dan jumlah peralatan tersebut dihitung jumlah kebutuhan tenaga kerja yang akan mengoperasikan peralatan pada masing-masing industri (Lampiran 12 dan 18). Berdasarkan jumlah tersebut dihitung biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, gaji karyawan dibedakan antara yang karyawan tetap yang bekerja di kantor sebanyak 12 orang dan karyawan pabrik sebanyak 100 orang. 51

24 Untuk karyawan pabrik besar gaji yang diberikan perbulan adalah Rp 1,7 juta per orang per bulan, dengan perincian Rp 1,1 juta rupiah sebagai upah kerja ditambah Rp 0,6 juta uang makan per bulan. Sedangkan untuk gaji karyawan kantor berkisar Rp 1,5-10 juta per orang per bulan, dari satpam kantor sampai direktur, dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2,4 milyar per tahun (Lampiran 12 dan 18). Dalam analisis ini perusahaan dirancang untuk kapasitas produksi kayu olahan merbau sebanyak m 3 per tahun dengan target kebutuhan kayu bulat merbau sebanyak m 3 per tahun. Proses produksi dirancang meningkat secara bertahap yaitu pada tahun 1-3 hanya berproduksi 50% dari target kapasitas ijin, pada tahun 4-6 hanya 75% dari target kapasitas ijin dan pada tahun ke 7 beroperasi dengan kapasitas penuh (Lampiran 12 dan 18). Biaya BBM, diperhitungkan untuk operasional pabrik dan alat-alat transportasi. Untuk pabrik dioperasikan dua buah genset dengan kapasitas 650 kva dan 450 kva. Genset pertama yang dipergunakan untuk memasok listrik bagi seluruh peralatan bandsaw dan genset kedua untuk memasok listrik peralatan woodworking dan Kiln Dry dengan menggunakan harga BBM solar industri sebesar Rp per liter. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus dengan umur investasi 25 tahun, dan bunga modal dihitung untuk tiap-tiap peralatan yang dipasang. Bunga Modal dihitung berdasarkan umur pakai dan harga aset pada saat pengadaan (Lampiran 11 dan 21). Asuransi diperhitungkan sebagai biaya operasional dengan perhitungan jumlah premi untuk seluruh aset perusahaan adalah sebesar 2,5% dari total nilai aset per tahun. Dari nilai-nilai diatas maka dibuat proyeksi arus kas (Lampiran 14 dan 24) dengan menggunakan dasar harga nilai konstan pada tahun pertama pembangunan proyek. Proyek ini diasumsikan dibiayai menggunakan dana sendiri dan pinjaman bank dengan komposisi 40% dan 60% dengan bunga pinjaman Bank sebesar 15% per tahun yang pengembaliannya diangsur selama 3 tahun dan dimulai pada tahun ke-2, kurs yang dipakai adalah US$ 1 = Rp

25 Berdasarkan harga-harga diatas dihitung proyeksi arus kas untuk Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi dengan satu output produk yaitu E2E dan industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi dengan tiga output produk yaitu E2E, Fingerjoint dan Mosaic. Nilai NPV, IRR dan BCR untuk masing-masing skenario kemudian dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 20. Dari Tabel 20 dapat disimpulkan bahwa industri penggergajian merbau dan woodworking terintegrasi dengan output produk E2E maupun kombinasi E2E, fingerjoint dan mosaic secara finansial layak untuk dilaksanakan karena NPV positif (>0), IRR lebih besar dari bunga bank (>15%) dan nilai BCR yang lebih besar dari satu (>1). Tabel 20 Perbandingan Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi Skenario I dan II Item Skenario I Skenario II Target Produksi Per tahun (m 3 ) E2E Fingerjoint 600 Mosaic Total Karyawan Produksi 100 orang 112 orang Total Investasi ( juta rupiah) Total Penjualan per tahun ( juta rupiah) Total Biaya operasional per tahun ( juta rupiah) Total Pembayaran Pajak per tahun ( juta rupiah) Total Pendapatan per tahun ( juta rupiah) Total Biaya produksi per meter kubik E2E ( juta rupiah) 7,39 7,39 Tambahan Biaya produksi per meter kubik ( juta rupiah) Fingerjoint - 1,49 Mosaic - 0,15 Harga Jual produk ( juta rupiah) E2E 9,8 9,8 Fingerjoint - 7 Mosaic - 4,5 Hasil Analisa Kelayakan Finansial NPV ( juta rupiah) , ,37 IRR 31,40% 47,11% BCR 1,10 1,19 53

26 Untuk mengetahui kepekaan kelayakan finansial terhadap perubahan harga kayu bulat merbau, harga jual produk E2E dan bunga bank, maka dilakukan analisis kepekaan dan hasilnya disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil Analisis Kepekaan Perubahan Produk E2E Produk E2E + Fingerjoint & Mosaic Harga Beli Kayu Bulat NPV IRR BCR NPV IRR BCR 20% ,36% 1, ,35% 1,11 10% ,88% 1, ,16% 1,15 0% ,40% 1, ,11% 1,19-10% ,68% 1, ,15% 1,25-20% ,26% 1, ,36% 1,3 Harga Jual Produk E2E NPV IRR BCR NPV IRR BCR 20% ,63% 1, ,28% 1,31 10% ,23% 1, ,48% 1,25 0% ,40% 1, ,11% 1,19-10% ,38% 1, ,04% 1,14-20% ,19% 0, ,17% 1,07 Bunga Bank NPV IRR BCR NPV IRR BCR 20% ,03% 1, ,82% 1,18 10% ,14% 1, ,95% 1,19 0% ,40% 1, ,11% 1,19-10% ,37% 1, ,22% 1,21-20% ,48% 1, ,35% 1,22 Tabel 21 menunjukkan bahwa industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi ini sensitif terhadap perubahan harga jual produk E2E Kelayakan Ekonomi Dalam analisis kelayakan ekonomi harga-harga yang dipakai adalah harga bayangan (opportunity price) dari penjualan kayu olahan maupun kayu bulat merbau. Sementara untuk biaya dan harga lain yang berkaitan dengan proses produksi diasumsikan sama dengan nilai yang pakai pada analisis finansial. LSM Telapak pada tanggal 28 Agustus 2008 melaporkan bahwa harga kayu bulat merbau di China mencapai US $ 700 per m 3 atau sama dengan Rp 7 juta per m 3. Sedangkan harga per m 3 kubik kayu bulat merbau di PNG US $ 425 dan di Malaysia berkisar antara US $ Dalam analisis Ekonomi, harga kayu bulat merbau yang dipakai adalah Rp 3,5 juta per m 3 dengan asumsi sesuai rata-rata harga jual ke pasar internasional. Semetara untuk produk akhir menggunakan harga Rp 13 juta per m 3 dengan asumsi sesuai rata-rata harga jual 54

27 produk flooring merbau adalah US $ per m 3. Tong et.al 2009, menyatakan bahwa rata-rata harga flooring dengan ketebalan mm adalah US$ 70.7 per m 2, dengan kisaran harga US$ 37,4 per m 2 sampai US$ 211,8 per m 2. Untuk harga di Indonesia, rata-rata harga ekspor flooring merbau dari Surabaya adalah US $ per m 3. Dalam analisis ekonomi ini nilai bunga bank yang dipakai adalah 12% dan pajak tidak dimasukkan dalam perhitungan karena dianggap bukan pengeluaran. Untuk upah karyawan produksi dipakai Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Papua tahun 2009 yaitu Rp 1,05 juta per bulan. Proyeksi Arus kas analisis ekonomi industri kayu gergajian merbau dan woodworking terintegrasi ditampilkan dalam Lampiran 27. Berdasarkan proyeksi arus kas dihitung Nilai NPV, IRR dan BCR untuk masing-masing Skenario. Hasil perhitungan (Tabel 22), menunjukkan bahwa NPV positif (>0), IRR lebih besar dari social rate (>12%) dan nilai BCR yang lebih besar dari satu (>1) sehingga dapat disimpulkan bahwa industri penggergajian merbau dan woodworking terintegrasi secara ekonomi layak untuk dilaksanakan. Tabel 22 Hasil Analisis Ekonomi Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi Skenario I dan II Kriteria Skenario I II NPV (dalam juta rupiah) IRR 62,98% 93,16% BCR 1,27 1, Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi layak dikembangkan di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom. Dan dari dua Skenario Industri yang ditawarkan, Skenario II merupakan pilihan terbaik yang layak dilaksanakan dibandingkan dengan Skenario I, dengan pertimbangan : mempunyai nilainilai kelayakan investasi (NPV, IRR, & BCR) yang lebih tinggi, penyerapan 55

28 tenaga kerja lebih banyak dan efisiensi pemanfaatan kayu merbau lebih tinggi dibanding Skenario I. Beberapa aspek yang berkaitan langsung dengan pengembangan industri penggergajian kayu merbau dan woodorking terintegrasi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, perlu dipertimbangkan untuk menentukan strategi implementasi dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Tabel 23 Aspek Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman industri penggergajian kayu merbau dan woodorking terintegrasi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom Aspek Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman Rincian 1. Potensi kayu bulat merbau dari hutan alam di Papua masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan industri. 2. Adanya kemauan pelaku industri untuk berinvestasi pada Industri primer hasil hutan kayu di Papua. 1. Efisiensi peralatan industri primer hasil hutan yang dioperasikan di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom saat ini masih rendah dengan dukungan infrastruktur yang belum lengkap. 2. IUPHHK yang aktif beroperasi hanya satu unit sehingga produksi kayu bulat merbau masih belum dapat mencukupi kebutuhan industri yang ada saat ini. 1. Aktifitas Industri woodworking kayu merbau di Surabaya makin menurun, seiring dengan berkurangnya pasokan bahan baku kayu bulat merbau dari Papua dan Papua Barat, sehingga tersedia Pasar woodworking yang selama ini dipenuhi industri di Surabaya. 1. Aktifitas ilegal pengolahan dan perdagangan kayu merbau. 2. Keterbatasan keterampilan tenaga kerja lokal. Berdasarkan aspek-aspek tersebut maka strategi untuk pengembangan industri penggergajian merbau dan woodworking terintegrasi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom yang dapat dilaksanakan yaitu : 1. Melakukan revitalisasi peralatan industri di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom untuk meningkatkan efisiensi pengolahan dan mendorong para pemegang IUPHHK yang stagnan untuk aktif berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu merbau di daerah ini. 56

29 2. Menambah jumlah industri kayu gergajian dan woodworking terintegrasi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom yang diikuti dengan pemberian pelatihan bagi karyawan lokal sehingga terjadi alih keterampilan. 3. Mendorong para pelaku industri dan pemegang IUPHHK untuk menerapkan prinsip kelestarian dalam melakukan aktifitasnya dan meningkatkan pengawasan terhadap peredaran kayu merbau dan menegakkan supremasi hukum. 4. Menyediakan sarana infrastruktur yang memadai dan mendorong industri melakukan sertifikasi produk sehingga dapat diterima lebih luas di pasar Internasional. Pelaksanaan pengembangan Industri penggergajian kayu merbau dan woodworking terintegrasi diperkirakan juga akan memberikan dampak terhadap ekonomi dan sosial serta Perkiraan Dampak Ekonomi dan Sosial Penyerapan Tenaga Kerja Dampak langsung yang akan terjadi dengan pengembangan industri penggergajian dan woodworking terintegrasi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom adalah penyerapan tenaga kerja lokal. Industri yang dikembangkan akan mempekerjakan masyarakat lokal sebagai karyawan, sehingga dengan adanya industri akan membantu pemerintah daerah menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Bila satu industri dengan kapasitas produksi m 3 per tahun dapat menyerap 112 tenaga kerja lapangan, maka jika sesuai dengan kapasitas lestari kayu bulat merbau yang ada dimanfaatkan seluruhnya dengan mengoperasikan 22 unit industri maka sebanyak tenaga kerja dapat terserap di sektor ini Dampak Ekonomi Pengembangan industri ini akan memberikan kontribusi kepada berupa pembayaran pajak per perusahaan sesuai skenario 2 yaitu Rp 7,5 milyar per tahun. Dalam lingkup yang kecil, adanya industri akan mendorong perekonomian wilayah setempat, karena adanya perputaran uang akan menciptakan pasar baru yang potensial untuk menyerap produk barang dan jasa 57

30 masyarakat sekitar industri. Masyarakat sekitar dapat memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan karyawan industri, seperti hasil pertanian berupa sayuran, buahan dan hasil ternak. Bila gaji karyawan lapangan perbulan sebesar Rp 1,7 juta per orang dan diperkirakan 50% - 80% dari jumlah tersebut digunakan untuk konsumsi, maka jumlah uang yang akan berputar di lokasi industri berkisar Rp juta per bulannya. Pada sektor hulu, adanya aktifitas penebangan kayu bulat juga akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar. SK Gubernur Irian Jaya Nomor: 50 tahun 2001 tentang standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat Atas Kayu yang di pungut pada Areal Hak Ulayat di Provinsi Irian Jaya. Nilai kompensasi sesuai keputusan ini adalah Rp 50 ribu per m 3 kayu merbau yang diproduksi. Namun di lapangan nilai ini biasanya disepakati bersama antara pihak perusahaan dan masyarakat pemilik wilayah adat yang besarnya bisa mencapai Rp 150 ribu per m 3. Bila produksi lestari kayu bulat merbau di Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura per tahun sebesar 273 ribu m 3 atau sama dengan 23 ribu m 3 per bulan dapat dicapai maka potensi uang yang akan beredar dimasyarakat berupa penerimaan atas hak ulayat adalah sebesar Rp 1,2 3,5 milyar per bulan. Ini tentu akan memberikan dampak langsung terhadap pendapatan masyarakat yang secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka Peningkatan aksesbilitas Dampak lain adanya industri adalah peningkatan aksesbilitas wilayah. Adanya industri akan membantu membuka isolasi daerah. Industri berkepentingan terhadap ketersedian infrastruktur transportasi berupa jalan dan jembatan oleh karena berkaitan dengan kelancaran arus hasil produksi. Adanya infrastruktur ini secara langsung juga akan bermanfaat bagi masyarakat sekitar lokasi industri Kontribusi terhadap PDRB Pengembangan Industri penggergajian kayu merbau juga akan memberikan dampak terhadap perekonomian daerah setempat dengan adanya nilai tambah yang tercipta pada proses produksi dari bahan baku kayu bulat menjadi kayu gergajian. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah 58

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2009 dengan lokasi penelitian di : 1. Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom di Provinsi Papua,

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA I. PENDAHULUAN Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN (ARAH PENGEMBANGAN SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA DI MASA MENDATANG) Dr. DAVID Dewan Pengurus APHI Disampaikan pada Seminar Kehutanan Indonesia dalam kancah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT (IUIPHHKR-MHA) KEPADA KOPERASI SERBA USAHA (KSU) JIBOGOL

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA, Ir. MARTHEN KAYOI, MM NIP STATISTIK DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA i Tahun 2007

KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA, Ir. MARTHEN KAYOI, MM NIP STATISTIK DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA i Tahun 2007 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas pimpinan dan bimbingannya sehingga buku STATISTIK DINAS KEAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2007 dapat diselesaikan. Buku Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan merupakan

Lebih terperinci

Pembangunan pertanian merupakan bagian penting dan tidak. terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional. Hasil

Pembangunan pertanian merupakan bagian penting dan tidak. terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional. Hasil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional. Hasil kajian pembangunan ekonomi di berbagai negara

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang mengalami proses perkembangan perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi pada hal yang paling mendasar.

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 146 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 146 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 146 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU KEPADA PT. SEMARAK DHARMA TIMBER DI PROVINSI PAPUA Lampiran : 1 (satu) GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 1.2 SISI PENAWARAN Dinamika perkembangan sektoral pada triwulan III-2011 menunjukkan arah yang melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Keseluruhan sektor mengalami perlambatan yang cukup signifikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

V. PRODUKSI HASIL HUTAN

V. PRODUKSI HASIL HUTAN V. PRODUKSI HASIL HUTAN V.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dapat berasal dari Hutan Alam dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 171 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERIAN IJIN PENGGUNAAN JALAN KORIDOR DI LUAR AREAL IUPHHK KEPADA PT. SALAKI MANDIRI SEJAHTERA DISTRIK BONGGO

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI.

RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI. RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI. 2008. Strategi Implementasi Percepatan Pembangunan HTI : Dukungan Terhadap Pasokan Kayu Industri dan Daya Saing Komoditi Pulp. Di bawah bimbingan AGUS MAULANA dan NUNUNG

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 64 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR KOMPENSASI ATAS HASIL HUTAN KAYU DAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG DIPUNGUT PADA AREAL HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH, TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 184 TAHUN 2004 T E N T A N G STANDAR PEMBERIAN KOMPENSASI BAGI MASYARAKAT ADAT ATAS KAYU YANG DIPUNGUT PADA AREAL HAK ULAYAT DI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh BAB 3 OBJEK PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Singkat PT. IKH didirikan pada tanggal 19 Mei 1997. Anggaran dasar PT. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI PERUSAHAAN KAYU GERGAJIAN MERBAU DAN WOODWORKING TERINTEGRASI DI PAPUA (STUDI KASUS DI KAB.

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI PERUSAHAAN KAYU GERGAJIAN MERBAU DAN WOODWORKING TERINTEGRASI DI PAPUA (STUDI KASUS DI KAB. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI PERUSAHAAN KAYU GERGAJIAN MERBAU DAN WOODWORKING TERINTEGRASI DI PAPUA (STUDI KASUS DI KAB. JAYAPURA, KOTA JAYAPURA DAN KAB. KEEROM) GERALD TUA NADEAK SEKOLAH PASCA

Lebih terperinci

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan PT. Prabu Jaya didirikan oleh Bapak Kisudjo Tjanggal pada tahun 1973, masih dengan nama UD. Prabu Jaya dan bergerak pada bidang produksi dan penjualan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Menganalisis kelayakan suatu proyek atau usaha dari segi keuangan dapat mengunakan. Analisis finansial. Adapun kriteria kriteria penilaian investasi yang dapat digunakan yaitu

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 109 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN KAYU/IPK TAHAP II KEPADA PT. SUMBER KAYU UTAMA PADA AREAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA

Lebih terperinci

KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau

KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau Penulis: : Prof. Ir. Tibertius Agus Prayitno, MFor., PhD. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

*47505 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 32 TAHUN 1998 (32/1998) TENTANG

*47505 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 32 TAHUN 1998 (32/1998) TENTANG Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 32/1998, PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH, TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 53

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris didukung oleh sumber daya alamnya yang melimpah memiliki kemampuan untuk mengembangkan sektor pertanian. Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu lapis merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir yang menggunakan bahan baku kayu log. Produk ini merupakan komoditi hasil pengembangan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan komoditas pertanian serta sebagian besar penduduknya adalah petani. Sektor pertanian sangat tepat untuk dijadikan sebagai

Lebih terperinci

HUTAN SAGU PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR

HUTAN SAGU PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN SAGU PERUM PERHUTANI (Perusahaan Umum Kehutanan Negara) Manggala Wanabakti Lt. 11, Jl. Gatot Subroto, Jakarta - www.perumperhutani.com Pemanfaatan Hutan Sagu Papua

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA BARAT

GUBERNUR PAPUA BARAT th file GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN GUBERNUR PAPUA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGATURAN PEREDARAN HASIL HUTAN KAYU GUBERNUR PAPUA BARAT, Menimbang : a. Bahwa hutan sebagai salah satu penentu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat luas dan juga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian merupakan bagian dari sektor pertanian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN THE ANALYSIS OF VARIETY OF WOOD WASTE MATERIAL FROM WOOD INDUSTRY IN SOUTH BORNEO Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand Industri

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Bisnis adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu dan sekelompok orang (organisasi) yang menciptakan nilai (create

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 51/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 BENTUK DAN ISI A. Bentuk FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU. Pada mulanya pengusahaan hasil hutan di Indonesia ialah masih sebatas

BAB III TINJAUAN INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU. Pada mulanya pengusahaan hasil hutan di Indonesia ialah masih sebatas BAB III TINJAUAN INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU III.1 Sejarah Industri Pengolahan Kayu Indonesia Pada mulanya pengusahaan hasil hutan di Indonesia ialah masih sebatas pengusahaan kayu bulat. Hal ini didukung

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA Menimbang Mengingat : a. bahwa terhentinya eksport kayu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013

Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013 Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013 Indonesia memiliki potensi sapi potong yang cukup besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Pertanian

Lebih terperinci

LAPORAN PERUBAHAN KE I RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU TAHUN 2010

LAPORAN PERUBAHAN KE I RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU TAHUN 2010 Lampiran Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan, Perubahan dan Pelaporan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Kapasitas Izin Produksi Sampai Dengan 6.000 Meter Kubik Per Tahun. Contoh Laporan Perubahan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id DAFTAR ISI 1. Pendahuluan.........

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai negara agraris, dimana penduduknya sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan sangat besar dalam pertumbuhan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL Analisis aspek finansial digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu proyek atau usaha dari segi keuangan. Analisis aspek finansial dapat memberikan perhitungan secara kuantatif

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yudohusodo (2006) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis dan potensi pasar pangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yudohusodo (2006) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis dan potensi pasar pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yudohusodo (2006) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis dan potensi pasar pangan yang besar. Hal itu ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

Pe n g e m b a n g a n

Pe n g e m b a n g a n Potensi Ekonomi Kakao sebagai Sumber Pendapatan Petani Lya Aklimawati 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 9 Jember 68118 Petani kakao akan tersenyum ketika harga biji kakao

Lebih terperinci

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia Kebutuhan bahan baku IPK Pasal-pasal regulasi gambut yang berpotensi menurunkan bahan baku IPK Potensial loss

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta hektar (ha) dengan luas daratan sekitar 187.91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan

Lebih terperinci

Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara. Tabel 2. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau

Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara. Tabel 2. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Riau Lampiran 3. Luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2009. Tabel 1. Luas areal terbesar 5 kabupaten provinsi Sumatera Utara Kabupaten Luas Areal (Ha) Labuhan Batu 85527 Tapanuli Selatan 57144 Simalungun

Lebih terperinci