BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR"

Transkripsi

1 BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR A. Pendahuluan Dari gambaran kinerja usaha kehutanan sejauh ini, antara lain sebagaimana telah dijabarkan pada Bab 3, diperoleh pengetahuan, bahwa usaha kehutanan memperlihatkan pasang surut dengan kecenderungan menukik menurun karena berbagai sebab (FWI/GFW, 2002). Namun begitu, orientasi dan semangat ekploitasi atas hutan alam relatif tetap, bahkan tampak semakin menguat (Dephut 2007, Dephut 2009). Dalam mengiringi dinamika pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Undangundang telah menetapkan pembagian kawasan hutan untuk dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu fungsi produksi, lindung dan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional. (Dephut 2009; hal 1) Fokus utama kebijakan kehutanan di luar Jawa pada tahap awal pembangunan nasional adalah pengumpulan devisa melalui ekspor kayu bulat (Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai MS Kaban, Dephut 2007, hal 25) Sinyal berbagai kerusakan hutan akibat deforestasi dan degradasi hutan alam yang mencapai rentang angka 1 2 juta ha per tahun untuk berbagai periode (Worldbank 2006a, Dephut, 2008; Anonimous, 2008) itu tampak tidak membuat kecenderungan eksploitatif ini berubah, relatif terhadap visi dan orientasi pemerintah dalam pemanfaatan hutan alam produksi (Dephut, 2007, Dephut 2009) dan terhadap beberapa pandangan praktisi dan pengamat usaha kehutanan. Berangkat dari situasi ini dan dengan mencermati berbagai isi, substansi dan narasi berbagai peraturan perundangan terkait usaha kehutanan, dalam Bab ini coba digali beberapa kecenderungan diskursus dibalik kebijakan usaha kehutanan. Dari berbagai kecenderungan ini coba dipahami kecenderungan kerangka pikir yang melatari kebijakan usaha kehutanan itu selama ini. Dari kecenderungan inilah selanjutnya dipelajari dan ditarik keterkaitan dengan kinerja usaha kehutanan yang memperihatinkan di satu sisi, dengan semangat dan orientasi usaha yang masih terus eksploitatif di

2 90 sisi lain, yang sesungguhnya mencerminkan semacam kualifikasi kecenderungan kerangka pikir. Seperti apa kecenderungan itu dan bagaimana serta sejauh mana pandangan para pihak atas situasi yang sama yang digali baik melalui hasil wawancara maupun online polling memberikan semacam konfirmasi atas kualifikasi dimaksud. Betulkah telah terjadi kekeliruan atau bahkan stagnasi kerangka pikir selama ini, khususnya dalam mengkonstruksi kebijakan usaha kehutanan? Seperti apa kekeliruan itu? Lalu apa implikasinya dari semua itu? B. Ikhtisar Kebijakan Contoh lengkap intisari hasil atau ikhtisar isi dan narasi dokumen empiris tertulis t yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Dari ikhtisar ini dirangkum perbandingan antara tingkat perundangan, terutama UU dan PP, dari empat aspek narasi utama: (a) pemosisian hutan alam, (b) pemaknaan kelestarian, (c) pelaksana usaha kehutanan, dan (d) syarat/hak dan kewajiban, sebagaimana hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari ikhtisar ini pula dikonstruksi karakteristik usaha kehutanan sebagaimana disajikan pada Lampiran 10. Sementara, initisari makna kelestarian yang terekpresikan dalam ikhtisar disajikan pada Lampiran 11. Substansi kebijakan usaha kehutanan sebagai rangkaian diskursus, serta perkiraan proses bagaimana kebijakan di konstruksi dipahami melalui keseluruhan hasil ikhtisar ini dan sintesisnya. 1. Substansi Sebelum UU No. 5/67 tentang UUPK secara tekstual menggariskan landasan usaha kehutanan dengan serangkaian argumen pembuka yang menekankan bahwa: (a) hutan alam sebagai anugerah Tuhan YME, yang diposisikan sebagai (b) sumber kekayaan alam dengan manfaat serba guna, antara lain sebagai basis pertahanan nasional, dan (c) multi-manfaat itu mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, sehingga (d) hutan alam harus dilindungi serta (e) dimanfaatkan secara lestari. Ini diperkuat sebelumnya dengan diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing

3 91 (PMA), disusul kemudian dengan keluarnya UU No. 6/68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tiga serangkai instrumen UU ini dikenal sebagai tonggak kunci kebijakan, dimulainya usaha besar-besaran di bidang pengusahaan hutan alam produksi Indonesia di luar Jawa. Kegiatan usaha kehutanan sendiri dalam UUPK 5/67 ini secara khusus diatur pada Bab IV, Pasal Kelestarian di tingkat UU dimaknai sebagai cara atau instrumen terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan, dan penggunaan hutan. Selain itu kelestarian juga dimaknai sebagai dasar/azas mencapai tujuan usaha kehutanan, bersanding dengan azas perusahaan (baca: dimensi ekonomi). Argumen pembuka semacam itu pun muncul dalam perundangan turunannya, yakni dalam PP 22/67 dan PP 21/70 dalam uraian frase yang mirip-mirip, antara lain keyakinan akan hutan alam yang memiliki potensi ekonomi yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari atas nama pembangunan nasional dan menyelesaikan revolusi untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Di tingkat PP ini kelestarian ditempatkan sebagai koridor atau pembatas dalam pemanfaatan. Pada PP 21/70, misalnya, kelestarian mengerucut pada aturan (a) keharusan bahwa pemanfaatan hutan disertai dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, dan (b) keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan. Pada PP 22/67 hal ini relatif lebih tegas, misal dari sisi pendekatannya yang tersurat jelas dimulai pada argumen pembuka PP ini....pengurusan hutan yang bertujuan mencapai manfaat sebesarbesarnya dan serba guna serta lestari memerlukan biaya yang tidak sedikit...biaya tersebut tidak dapat seluruhnya dibebankan pada APBN... melainkan harus... dihasilkan oleh hutan itu sendiri...; demi kelancaran pengusahaan hutan...; perlu diadakan...pungutan atas pengusahaan dan hasil hutan...; pungutan tersebut perlu ditetapkan penggunaannya untuk kepentingan pembiayaan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas (PP 22/67, konsideran a-e, Hal 1).

4 92 Teks kutipan di atas menegaskan bahwa kelestarian didekati dari disiapkannya mekanisme pungutan resmi 1 dimana ada bagian dari jumlah pungutan itu yang harus dikembalikan ke hutan untuk dialokasikan sebagai biaya pembangunan rehabilitasi kehutanan, yang kemudian ditutup dengan teks: rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas. Teks ini memperlihatkan m sebuah kelonggaran, terutama dari sisi konsistensi pada tataran t pelaksanaan dan penegakan aturan main itu. Dari ikhtisar isi dan narasi atas puluhan dokumen SK HPH 2 dalam periode ini antara lain tampak bahwa keseluruhan dokumen SK HPH memiliki struktur dan urutan teks konsideran dan diktum serta isi lampiran yang relatif sama; didasari pula dengan pertimbangan kunci yang sama, yakni bahwa wilayah hutan yang dimohon untuk diusahakan tidak termasuk hutan lindung dan tidak pula masuk suaka alam atau wilayah untuk penggunaan lain. Perbedaan hanya mencakup nama dan status unit usaha, lokasi hutan yang akan diusahakan, dan tanggal-bulan-tahun pemberian hak dan nomor SK. Dari keseluruhan isi dokumen ini tampak, bahwa hutan alam yang dimohon diposisikan sebagai areal yang dapat diusahakan secara ekonomis sebagai landasan teknis-ekonomis pemeringan izin HPH. Semantara kelestarian diposisikan lebih fokus pada keharusan adanya pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diameter tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan adanya kewajiban perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hutan berupa usaha-usaha mencegah penurunan nilai hutan 3 dan langkah-langkah untuk meningkatkan nilai hutan 4. 1 Dalam am pasal selanjutnya dijelaskan bahwa macam pungutan adalah Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH, License Fee) yang besarnya menurut luas konsesi dan Iuran Hasil Hutan (IHH, royalties) yang besarnya berdasar ar kubikasi hasil hutan yang dipungut. (Pasal 2 dan 3 PP 22/67) 2 Dari 84 dokumen FA yang terkumpul ( ) setelah diriskan dengan SK HPHnya hanya diperoleh 13 unit HPH mulai tahun 1970 sampai Mencakup (i) pengamanan tegakan sisa saat penebangan, penyaradan dan pengangkutan untuk menghindari kerusakan kan tegakan sisa dan erosi melalui penomoran pohon yang akan ditebang dan pohon inti, (ii) penebangan ng hanya pada pohon ber dia m 50 cm dengan arah rebah yang tepat, (iii) dilarang menebang pada daerah ah mata air (rad 200 m) dan kiri-kanan sungai ( m). 4 Melaksanakan reboisasi dan permudaan hutan, sesuai ketentuan yang ditetapkan dan sesuai RKPH yang syah.

5 93 Selanjutnya, kaitan antara SK HPH dengan kontrak kehutanan (Forestry Agreement, FA) diatur dalam Pasal 16 FA 5. Disebutkan bahwa FA merupakan dasar pengajuan hak usaha, guna mendapatkan fasilitas penanaman modal oleh perusahaan, sebagai syarat memperoleh SK HPH. Berbagai persyaratan dalam FA tetap berlaku, kecuali dikatakan lain dalam SK HPH. Dengan terbitnya SK HPH, FA yang bersangkutan menjadi lampiran yang tak dapat dipisahkan dari SK HPH. Pembatalan SK HPH secara otomatis menyebabkan tidak berlakunya berbagai persyaratan yang tertuang dalam FA. Dalam FA hutan alam ditempatkan sebagai sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai pasal 33 UUD 45. Tidak dijumpai secara spesifik makna dan ketentuan kelestarian. Namun secara implisit makna kelestarian tertuang dalam Pasal 4 FA, yang disebutkan merupakan kemufakatan antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsip-prinsip dasar kehutanan 6. Matriks yang menggambarkan secara ringkas perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis/administrasi dapat dilihat pada Lampiran 9 (a). Intisarinya dapat dilihat pada Tabel 19. Matriks di atas memberikan sejumlah makna. Antara lain, kecenderungannya yang tampak adalah bahwa untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Kecenderungan ini menguatkan isyarat, bahwa dominasi aktor pemerintah atas aktor atau para pemangku kepentingan lainnya sulit dibantah. Hal ini tampak terutama dari ketidakseimbangan antara uraian hak dan kewajiban yang dialami para pemegang unit usaha. Selain itu, sulit pula dihindari kesan adanya latar distrust, khususnya dari komponen pemerintah, yang mengundang dugaan lebih lebar adanya ruang politik ekonomi. Ujungnya, atas nama pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat 5 Selain dokumen HPH, dianalisis pula belasan dokumen FA dari masing-masing SK HPH yang sama 6 Ini mencakup pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik pemerintah dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh perusahaan, wewenang departemen meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial. Ini dapat jadi contoh teori Foucault terkait diskursus dan relasi kekuasaan sebagaimana dimaksud Mills (1997) Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009).

6 94 Tabel 19. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (sebelum 1998) Aspek narasi UU No. 5/1967 Kehutanan Pemosisian Hutan Garis besar Alam Panduan Filosofis Kelestarian Pelaksana(an) an Usaha Kehutanan [Potensi ekonomi, penopang tujuan pembangunan nasional, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tak ada konstrain] Dimaknai beragam: cara, dasar, azas [Cara untuk peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; azas atau dasar mencapai tujuan usaha kehutanan] Negara cq Pemerintah [Pemerintah (pusat, daerah) dan pihak lain - usaha bersama di bidang Kehutanan] [Perusahaan negara, daerah dan swasta berhak, sejauh berbadan hukum Indonesia] PP 21/70 PP 18/75 PP 6/99 *) Relatif lebih rinci - memuat syarat dan target [Potensi ekonomi, plus upaya maksimasi dengan konstrain kelestarian] Selain azas dan dasar dimaknai pula sebagai syarat-kewajiban dan kegiatan [Syarat-kewajiban pemanfaatan hutan;kegiatan perencanaan, penataan, pengelolaan hutan, pengukuran dan pengujian kayu oleh ahlinya] Badan hukum Indonesia [diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri Pertanian] Tidak tersurat, karena lebih terkait pergeseran kepemilikan konsesi ke nasional [Tidak tersurat] [Tidak ada representasi makna kelestarian secara khusus]. Perusahaan milik negara dan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas [penyimpangan yang perlu, ditetapkan presiden] Relatif lebih rinci lagi syarat, target, tujuan yang mengerucut ke pengelolaan hutan berkelanjutan [Potensi ekonomi plus syarat dan target lebih rinci untuk tujuan yang lebih mengerucut, plus pertimbangan lintas generasi] Selain cara dan azas/dasar dimaknai pula sebagai batasan, tujuan dan syarat [Batasan pengelolaan dan pembangunan kehutananan berkelanjutan; tujuan dalam pengusahaan hutan dan penerapan dana jaminan kinerja syarat kelayakan bagi KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH] BUMN, BUMD, swasta [Stratifikasi luas: lelang, permohonan, pelimpahan melalui Gubernur]

7 95 Tabel 19. (Lanjutan) Aspek narasi UU No. 5/1967 Kehutanan Hak dan Tidak ada uraian kewajiban hak; pemegang hak wajib meningggikan, produksi hasil hutan [diselenggarakan atas azas kelestarian hutan dan azas perusahaan] PP 21/70 PP 18/75 PP 6/99 *) Hampir tidak ada uraian hak; poin kewajiban begitu mendominasi [tidak kurang dari 10 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang hak, beberapa diantaranya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha kehutanan] Tidak ada uraian hak dan kewajiban [PP ini yang hanya merubah satu pasal terkait kriteria pemegang] Kewajiban lebih dominan dari hak [Hak terbatas, untuk jangka waktu tertentu pula, dengan kemungkinan perpanjangan] [Ada tidak kurang dari 11 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang izin] luas; namun apa yang dilakukan dan terjadi di tataran operasional kemudian adalah penggerusan sumberdaya untuk kesejahteraan segelintir: mereka yang memiliki akses politik, kekuasaan dan ekonomi lebih besar! Setelah Dalam periode ini, kebijakan usaha kehutanan lebih lanjut diatur melalui UU 41/99 tentang Kehutanan, sebagai pengganti UUPK 5/67 yang dengan tegas dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntuan perkembagan keadaan saat itu. Namun, jauh sebelum penggantian UU ini, terlebih dahulu terjadi penggantian PP 21/70 melalui penerbitan PP 6/99 dengan tetap merujuk UU5/67. Kurang dari setahun setelah penggantian PP 21/70 menjadi PP 6/99, baru kemudian keluar UU 41/99. Lalu, PP 6/99 ini disempurnakan, diganti dengan PP 34/2002 dengan merujuk pada UU 41/99 sampai kemudian diganti dengan PP 6/2007 yang akhirnya diganti dengan PP 3/2008. PP 6/99 sebagai turunan UU 5/67, UU 41/99 dan turunannya, yakni PP-PP diatas merupakan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan pada periode ini 7. 7 Masih dalam periode ini, UU 41/99 sebetulnya mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/99 tentang Kehutanan yang ditetapkan kemudian melalui UU 14/2004 tentang Penetapan Perppu 1/2004 menjadi UU. Sekalipun kedua produk perundangan ini juga menjadi bagian dari tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini, materinya tidak banyak dibahas dalam analisis ini, terutama karena perubahannya terfokus hanya pada perbaikan kepastian usaha pertambangan di kawasan hutan, untuk usaha-usaha pertambangan yang izinnya keluar sebelum pemberlakuan UU 41/99.

8 96 Perubahan PP 21/70 (jo PP 18/75) menjadi PP 6/99 dengan tetap merujuk pada UU 5/67 lebih ditekankan pada keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup, dimana kelestarian dimaknai sebagai batasan bagi dua hal sekaligus: pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang. Frase terakhir ini memperlihatkan pembaruan dalam PP 6/99 dimana kriteria kemakmuran sudah ditempatkan pada horison lintas generasi. Argumen pembuka pada UU 41/99 relatif tidak jauh berbeda dengan argumen pembuka pada UUPK 5/67, kecuali adanya tambahan berupa pengakuan bahwa (a) hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan (b) perlu prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan; serta (c) perlunya menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai teks argumen pembuka tambahan ini menjadi ciri era reformasi kehutanan waktu itu. Kegiatan usaha kehutanan sendiri secara khusus diatur dan mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan dimaksud antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas as hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK 8. Setelah serangkaian teks pengakuan bahwa kondisi hutan alam mengalami penurunan, artinya setelah dua dekade lebih usaha kehutanan dilakukan saat itu, hutan masih tetap dipandang sebagai pontesi ekonomi yang perlu terus 8 antara lain wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat arak ak wajib mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang diatur dalam peraturan ran pemerintah wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Hak usaha pemanfaatan a hasil hutan dimaksud mencakup penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran yang dalam pelaksanaannya tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

9 97 dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan pembangunan, sebagaimana tampak pada kutipan berikut.... hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa... merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara... memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;...hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya... keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;... pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional ; (UU 41/99 konsideran a-c) Amanat UU No. 41/99, khususnya Bab V, VII dan XV, selanjutnya dijabarkan antara lain dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini sekaligus merupakan pengganti PP 6/99. Dalam PP 34/2002 pemosisian hutan alam tidak dideskripsikan, karena konsideran awal merujuk langsung pada keempat pasal pada UU 41/99 sebagai dasar lahirnya PP ini. Sementara kelestarian dimaknai dan diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Lebih lanjut, hal ini secara operasional diatur melalui Keputusan Menteri 9. Dalam periode ini, perubahan kebijakan usaha kehutanan terus bergulir. PP 34/2002 lebih lanjut diganti dengan PP 6/2007. Kalau sebelumnya, kelestarian diposisikan sebagai batasan terkait teknis pelaksanaan pemanfaatan hutan, dalam PP 6/2007 kelestarian menjadi dasar dalam 9 Keputusan Menteri dimaksud adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan pengganti KepMenhut 619/93 dengan subjek sama. Disebutkan dengan tegas pada konsideran bahwa PHAPL, bersifat wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan. Kriteria dan indikator dimaksud mencakup empat kriteria dan 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi (6), dan sosial (5).

10 98 melakukan deregulasi dan debirokratisasi usaha kehutanan yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan investasi usaha kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan ekonomi nasional. Pertimbangan normatif atas perubahan ini, antara lain adalah karena PP sebelumnya, yakni PP 34/2002, dianggap belum mampu memfasilitasi m langkah ke arah berbagai perubahan ini semua, sehingga perlu diganti. Lebih lanjut, kelestarian kemudian mengerucut maknanya menjadi sebagai cara dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). KPHP sendiri diposisikan sebagai entitas rancang bangun unit pengelolaan hutan, melalui pengelompokkan SDH sesuai tipe, fungsi dan potensi ekosistemnya. Saat bersamaan, kelestarian juga dimaknai sebagai cara sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan yang dipilah kedalam berbagai bentuk usaha pemanfaatan: kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan hasil hutan kayu, makna kelestarian lebih mengerucut lagi pada upaya menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungan dimana unit usaha dilakukan. Pada Lampiran 9 (b) dapat dilihat matriks yang menggambarkan secara rinci perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis untuk kurun setelah Ringkasannya, dapat dilihat pada Tabel 20. Seperti halnya kurun sebelum 1998, dalam kurun ini tampak kecenderungan serupa, yakni untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Artinya, bahwa dari sisi substansi kecenderungan lawas dan kedalaman pangaturan tidak berubah. Implikasinya pun tampak tidak jauh berbeda, baik terkait dominasi pemerintah maupun latar distrust. Magnitude praktek politik ekonomi bahkan tampak semakin marak, karena prakteknya menyebar ke daerah, menyusul euforia reformasi dan masa transisi serta implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Tekanan atas sumberdaya

11 99 Tabel 20. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (setelah 1998) Aspek narasi UU No. 41/1999 Kehutanan Pemosisian Hutan Garis besar dengan Alam uraian relatif lebih rinci Panduan Filosofis Kelestarian Pelaksana(an)Usaha Kehutanan [Karunia, amanah dan anugerah Tuhan; ber manfaat serbaguna; dikuasai negara; wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi sekarang dan mendatang; ada pengakuan kondisinya sudah cenderung menurun dan harus dipertahankan] Dimaknai sebagai cara, tujuan, batasan dan kewajiban [Cara menjaga daya dukung, multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungan, dan mempertahankan keberadaan hutan alam; tujuan, khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam; batasan bagii kepastian usaha; kewajiban bagi para pemegang ijin - menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya] Melalui pemberian izin [Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, atau BUMD] PP 34/2002 PP 6/2007 Tidak ada uraian ini [Merujuk langsung pada UU 41/99 khususnya pelaksanaan Bab V, VII dan XV undang-undang tersebut] Lebih dimaknai sebagai kewajiban [Wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri (Kep Menhut 4795/2002) Pemberian izin melalui penawaran-pelelangan [IUPHHK HA, dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, dan Tidak ada uraian ini [Merujuk langsung UU 41/99-4 pasal, yakni Pasal 22, 39, 66, dan 80) yang mendasari lahirnya PP 34/2002] Selain cara dan tujuan, dimaknai pula sebagai azas. [Azas melaksanakan deregulasidebirokratisasi; cara dan prinsip pemanfaatan hutan (kawasan, jasa lingkungan, kayu, non kayu, pemungutan) dan pengelolaan KPH; tujuan dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan] Pemberian izin atas pemohon [pemberian dilakukan dengan menyeleksi para pemohon izin dan status kawasan hutan yang dimohon; diberikan Menteri

12 100 Tabel 20. (Lanjutan) Aspek narasi UU No. 41/1999 Kehutanan PP 34/2002 PP 6/2007 Hak dan kewajiban Tidak ada uraian hak, dominan butir-butir kewajiban [Ada setidaknya 4 butir kewajiban pokok terkait kerjasama dengan masyarakat setempat, menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan, membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja serta menyediakan dana investasi pelestarian hutan] BUMN atau BUMD; diberikan Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur]. Hak lebih kecil dibanding kewajiban [Berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya] [Ada sekitar 18 butir kewajiban]. berdasarkan rekomendasi gubernur dan pertimbangan bupati/walikota; dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN; atau BUMD. Kewajiban jauh lebih dominan dibanding hak [Berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usaha sesuai dengan izin] [Ada sekitar 40 butir kewajiban] hutan pun semakin meningkat, misal atas nama peningkatan investasi di daerah dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) 10. Khusus dikaitkan dengan setting uraian hak dan kewajiban dalam kurun sebelum dan setelah 1998, sebagaimana tampak pada Tabel 21, dapat diamati bahwa macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: hak memanfaatkan. Kemungkinan tafsirnya yang relatif kuat adalah stigma bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan. Sementara, tampak pula bahwa butir kewajiban menjadi relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran 10 Pengakuan beberapa para pihak pemangku kepentingan di daerah terkait fenomena konversi dan pinjam pakai kawasan hutan alam a untuk penggunaan lain, termasuk sawit dan tambang beberapa FGD di Jambi, Riau, Kaltim dan Kalbar dalam kurun

13 101 pemikiran the forest first, sehingga aliran pemikiran ini masih sangat kental dan dominan dalam kurun dimaksud. Sampai disini dengan menggunakan teori kekuasaan Foucault, dapat ditangkap satu pola, bahwa penetapan berbagai kewajiban itu dan sekaligus pilihan aliran itu merupakan produk dari kekuasaan yang menghasilkan dan menghegemoni pengembangan berbagai pengetahuan terkait yang menjadi sebuah regime kebenaran. Tabel 21. Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha Item s/d keatas Makna (SK HPH) (SK IUPHHK-HA) Hak 1 (3) 1 (2) Macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: memanfaatkan. Hal ini dapat ditafsir bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan Kewajiban 9 19 Kewajiban relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran pemikiran the forest first. Catatan: Rincian hak dan kewajiban ini dapat dilihat pada Lampiran Proses Dari sisi proses, analisis atas keseluruhan dokumen peraturan perundangan sebelum 1998 yang tersedia memperlihatkan indikasi bahwa tidak dengan jelas adanya interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main atau kebijakan usaha kehutanan. Bahkan siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi terindikasi tidak tegas. Sekalipun, dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Dalam hal ini teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dan mendikte dalam proses penentuannya sulit dihindari. Dengan demikian, sintesis ini relatif sulit untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan

14 102 transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini, selain hanya oleh kelompok pemerintah. Sekalipun, dalam paragraf akhir di bagian penjelasan umum PP 21/70 dikemukakan, bahwa kepentingan yang ditimbang kuat hanya sebatas pemerintah dan pelaku usaha:.... Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian, hak Pengusahaan Hutan, ketentuan persyaratan dan kewajibankewajiban yang dipandang penting baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak Pengusaha perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (Penjelasan Umum, PP 21/70) Relatif berbeda dengan kurun sebelum 1998, proses perumusan kebijakan usaha kehutanan dalam periode setelah 1998 menunjukkan sejumlah butir perbedaan yang dapat dianggap sebagai upaya perubahan. Kelahiran UU 41/99 ditandai dan bahkan dipicu dengan meningkatnya secara menyolok berbagai inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk usaha kehutanan di dalamnya. Situasi demikian muncul menyusul pergantian kepemimpinan nasional pada 1998, dimana banyak kelompok pemangku kepentingan mengusung serangkaian diskursus terkait arah dan substansi perubahan (baca: reformasi) yang perlu dilakukan, khususnya dalam sektor kehutanan. Dalam catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) tuntutan perubahan tersebut menyangkut penyediaan berbagai prakondisi pemungkin yang dianggapnya belum selesai. Ini mencakup antara lain pengukuhan hutan dalam rangka mewujudkan kepemilikan hutan yang legitimate, masalah birokrasi, dan kemampuan pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, masalah peraturan perundangan, masalah ukuran kinerja, evaluasi dan kontrol pelaksanaan usaha kehutanan. Adapun tuntutan pembaruan secara umum waktu itu, dan bahkan cenderung telah menjadi semacam tuntutan publik, tertuju pada dua sasaran pokok: redistribusi manfaat sumberdaya hutan dan meniadakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sektor kehutanan. Catatan terkait rangkaian diskursus para permangku kepentingan ini selanjutnya dapat dilihat antara lain dalam Dephutbun (1999), Kartodihardjo (1999) dan Awang (1999).

15 103 Kurang dari setahun sebelum UU 41/99 lahir, pemerintah (Dephutbun waktu itu) melakukan pembaharuan mendasar dengan menggantikan PP 21/70 dengan PP 6/99 pada 27 Januari 1999 untuk subjek yang sama. Inti perubahan, sebagaimana juga sudah disinggung di atas, mencakup antara lain relokasi besaran luas dan kepemilikan konsesi dan cara perolehan hak (melalui lelang) yang tampaknya untuk menjawab adanya klaim telah terjadinya praktek konglomerasi atau pemusatan luas areal konsesi hanya kepada segelintir orang saat itu. Perubahan ini disambut antusias oleh berbagai kalangan (masyarakat sipil, praktisi, ornop dan akademisi) (Dephutbun, 1999). Berbagai diskursus pun terus bergulir sampai kemudian lahir UU 41/99 pada 30 September Namun, topik-topik diskursus berkisar pada pembangunan kehutanan secara umum dengan kecenderungan utama pada tuntutan realokasi dan redistribusi manfaat hutan serta memperluas akses masyarakat (adat) atas hutan. Oleh karena itu, UU ini lahir melalui proses yang tergolong alot dengan jangka waktu relatif lama, dan melibatkan banyak kelompok pemangku kepentingan. Suatu situasi yang tidak dijumpai atau tidak terindikasi secara tegas pada proses historis perumusan UU Kehutanan 5/67. Para pemangku kepentingan di atas antara lain mengelompok dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan (KRPKP) dan Koalisi untuk Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (KUDETA). KRPKP sendiri pembentukannya diprakarsai Menhutbun (waktu itu) melalui Kepmenhutbun No. 521/1998 pada 29 Juni Anggota KRPKP meliputi perwakilanperwakilan dari Dephutbun, perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi. Menurut catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) dalam proses pembentukan KRPKP, salah seorang perwakilan LSM tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota KRPKP 11. Berbagai forum ini dengan dukungan para akademisi, berproses aktif antara lain dengan turut mengawal proses pembaruan kehutanan, termasuk perumusan usulan rancangan UU ini. Para pemangku kepentingan dalam FKKM bahkan turut menyiapkan naskah 11 Dari wawancara dengan narasumber yang relevan, tidak diperoleh alasan yang memadai, selain kekhawatiran adanya kooptasi oleh pemerintah, mengingat prakarsa dan legalitas KRPKP melalui Kepmehut.

16 104 akademik 12 dan bahkan UU Kehutanan tandingan. Munculnya UU Kehutanan tandingan merupakan indikasi tidak semua kepentingan para pihak pada akhirnya diakomodasi dalam UU 41/99. Artinya, berbagai diskursus yang mengemuka memang berpengaruh dalam proses konstruksi UU baru itu, namun tidak terejawantahkan dalam hasil akhir. Gambaran historiskronologis ini dapat dijadikan semacam konfirmasi, bahwa teks-teks perundangan pada periode ini, sebetulnya mencerminkan adanya proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pemangku kepentingan. Namun hasil akhir teks dan narasi menunjukkan bahwa tidak semua hasil transaksi masuk dalam dokumen akhir produk kebijakan. Beberapa pemangku kepentingan non-pemerintah menamai situasi ini sebagai fenomena black box yang dinilai kental dengan agenda politik ekonomi sektor kehutanan. Dalam proses selanjutnya hal ini mengurangi tingkat kepercayaan publik, setidaknya para pihak pemangku kepentingan yang turut berproses saat itu, kepada pemerintah dalam proses konstruksi kebijakan. Singkatnya, proses kelahiran UU 41/99 ini relatif lebih kaya dari sisi para pihak yang terlibat dan diskursus yang mengemuka yang turut mengkonstruksi kondisi akhir UU ini, relatif terhadap proses perumusan UU 5/67. Berbeda dengan proses pembentukan UU 5/67, pembentukan UU 41/99 memperlihatkan perubahan yang relative signifikan baik dari sisi proses maupun substansi seperti telah dijabarkan di atas. Sekalipun, sebagaimana disayangkan banyak pihak, hal ini diwarnai fenomena black-box sebagaimana telah dikemukakan di atas. Fenomena black box, khususnya, dan situasi proses konstruksi kebijakan dalam kedua periode umumnya, tampak konsisten dengan hasil analisis narasi terkait relasi kekuasaan yang menghegemoni sebuah regime kebenaran yang menggiring begitu kuat kepada ciri-ciri aliran the forest first. Sampai disini, kembali, bahwa aliran itu dan keseluruhan diskursus di permukaanya merupakan produk dari hegemoni kekuasaan pemerintah. 12 Jauh sebelum ini, Dephut tanpa diketahui publik secara luas, pernah menyiapkan naskah akademik dan draft penyempurnaan UU 5/67, setidaknya melalui penerbitan Kepmenhut 213/1990 disusul kemudian dengan Kepmenhut 66/1991 dan Kepmenhut 4/93 dari wawancara awal dengan beberapa tokoh terkait dalam Kepmenhut ini, tidak cukup informasi seberapa jauh naskah akademik dan naskah penyempurnaan masuk dalam proses pembaruan di periode ini, setidaknya dalam RPKP.

17 Fenomena: Sintesis Kecenderungan Sebelum Berbagai argumen pembuka pada UU Kehutanan 5/67 menjadi titik berangkat legalitas dan landasan falsafah kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi Indonesia yang dimulai (lagi) 13 pada Dibalik serangkaian teks argumen pembuka itu tersirat sebuah kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, yang begitu yakin dan percaya, bahwa hutan itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya merupakan anugerah, dan karena pertimbangan kepentingan pembangunan termasuk menyelesaikan revolusi pantas untuk dimanfaatkan dan dikelola, dengan tetap dilindungi agar lestari. Namun, sampai disini, belum jelas betul bagaimana interaksi dan sekaligus transaksi para pihak sehingga sampai pada keyakinan ini. Dapat dipahami, bila sampai disini pun makna lestari dan macam pendekatannya belum begitu tegas, termasuk untuk mewujudkannya. Padahal, secara tekstual kelestarian dikonstruksi sebagai instrumen kontrol. Namun ditengah situasi ambigu ini, yang tampak relatif jelas dan tegas adalah bagaimana hutan telah diposisikan begitu sentral. Dari teks konsideran PP 22/67 sebagaimana dikutip di bagian awal bab ini, frase dalam arti luas dalam alokasi pungutan mengundang dugaan bahwa alokasi penggunaan hasil pungutan bisa digunakan bukan hanya untuk kembali ke kehutanan sebagaimana teksnya, namun menjadi terbuka untuk penggunaan lain, termasuk mungkin yang sifatnya menyimpang. Misalnya melalui politik-ekonomi atas nama: atas nama rehabilitasi hutan untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu 14. Dengan begitu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan bahwa alokasi itu sungguh-sungguh untuk membangun kembali hutan dan kehutanan. Dugaan ini pernah terbukti terjadi, misalnya pada saat Dana Reboisasi dialokasikan untuk tujuan lain nonkehutanan melalui penerbitan Kepres 42/1994, antara lain untuk membantu industri pesawat terbang IPTN (sekitar IDR 400 milyar) yang produknya lalu 13 Sisipan lagi sekedar menunjukkan, bahwa usaha kehutanan berupa pemberian konsesi HPH sudah berjalan jauh sebelumnya mencapai luas 1.3 juta ha di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan nilai devisa dari ekspor saat itu mencapai USD 775 ribu pada 1963 sebagaimana ditunjukkan Dephutbun (2007). 14 Beberapa sumber yang tidak berkenan dicantumkan identitasnya menyinggung soal penarikan dana DR sebesar IDR 40 T dalam tempo singkat, atas nama gerakan menanam pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan, yang menurutnya justru untuk kepentingan politik terkait pemilu periode tertentu.

18 106 diimbal beli dengan beras ketan dari Thailand. Dengan Kepres yang sama, DR juga dimanfaatkan untuk keperluan SEA Games (sekitar IDR 35 miliar) dan perusahaan pupuk tablet urea (sekitar IDR 80 miliar) 15. Penyimpangan ini, menjadi contoh bukti empiris adanya upaya legalisasi intervensi atas arah dan orientasi pelaksanaan kebijakan usaha kehutanan, khususnya dalam upaya rehabilitasi hutan, yang dilakukan dan bahkan disiapkan pemerintah sendiri. Antara lain kedalam fenomena semacam ini istilah politik-ekonomi penulis maksudkan. Dari atribut pengetahuan, tampak bahwa dibalik narasi kebijakan di atas, kelestarian hanya didekati dari disiapkannya sejumlah alokasi dana yang dipungut dari dan dikembalikan ke hutan dengan (disadari atau tidak oleh perumus kebijakan) disertai celah (loop hole) yang menjadi titik lemah bagi keterlaksanaan aturan ini secara konsisten. Sekalipun masuk akal secara keilmuan, pendekatan ini relatif tidak lengkap, terutama bila merujuk macam kebenaran/rasionalitas menurut Dunn (2000). Dengan rujukan itu, maka pendekatan ini pada dasarnya baru memenuhi sebatas kebenaran hukum, yakni menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen pengendali pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, pendekatan ini belum memiliki rasionalitas substantive yang cukup yang idealnya harus mencakup dari mulai (Dunn, 2000) macam kebenaran teknis (pilihan efektifitas), ekonomis (pilihan efisiensi) dan sosial (daya terima sosial). Dari batasan pengetahuan seperti itu, sebagai sebuah aturan main, pendekatan yang dikembangkan tampak tidak lengkap, terutama karena tidak didukung oleh penyiapan sejumlah prakondisi pemungkin, misal terkait jurisdiksi, representasi dan bahkan interdependensi antar dan pemosisian para pihak yang terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan. Kondisi demikian dapat merupakan representasi dari situasi tidak terjadinya interaksi atau bahkan transaksi antar para pihak saat berbagai ketentuan ini dikonstruksi kedalam teks-teks aturan. Corak hasil sintesis semacam inipun berlaku identik untuk narasi kebijakan lainnya, terutama bila diamati kecenderungannya yang serupa 15 w. - diakses 18 Feb 2009; diakses 24 Maret 2009

19 107 sebagaimana tercantum baik pada PP 21/70 atau bahkan pada UU 5/67 sebagaimana telah disinggung di atas. Dari sisi historis atau proses, atau setidaknya secara sekuen, terbitnya PP 22/67 pun mengundang pertanyaan, karena ia keluar sekitar tiga tahun lebih dulu sebelum PP 21/70 yang khusus mengkerangka HPH dan HPHH itu sendiri. Dalam diktum menimbang, teks dalam PP 21/70 memang merujuk pada PP 22/67. Teks ini memungkinkan untuk ditafsir, bahwa kerangka aturan main terkait HPH dan HPHH lebih didorong karena telah adanya lebih dulu aturan struktur pungutan HPH dan hasil hutan, sekalipun dalam PP 22/67 tidak ada mandat untuk mengkerangka lebih lanjut struktur HPH dan HPHH. Namun, dalam konteks kebijakan usaha kehutanan urgensi terbitnya PP 22/67 pun menggantung, karena tidak ada rujukan substantive yang relevan dan menjelaskan pentingnya PP ini, selain cantolan legal, yakni beberapa pasal pada UUD 45, sejumlah TAP MPRS-1966 dan 1967, UUPK 5/67 serta PP 18/65 tentang Pemerintahan Daerah. PP 22/67 tidak pula ada kaitan dengan PP 64/57. Sehingga pertanyaannya, argumen apa dan siapa serta diskursus seperti apa atau setidaknya kejadian-kejadian apa yang telah berlangsung sehingga mendorong diperlukannya semacam respon kebijakan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk PP 22/67; selain memang serangkaian teks argumen pembuka yang sudah tersurat dalam konsideran PP ini. Pertanyaan ini akhirnya berkembang kepada bagaimana proses dan mekanisme kebijakan ini disusun dan siapa saja para pihak yang telah turut berproses selain birokrat pemerintahan saat itu 16. Hal ini menunjukkan, bahwa jawaban atas ketiga pertanyaan awal IDS (2006) tidak tersedia. Sampai disini, diperoleh pengetahuan, bahwa salah satu karakteristik produk perundangan terkait kebijakan kehutanan, selain tidak tampak adanya interaksi dan transaksi para pihak pemangku kepentingan, para pihak yang terlibat dan kekuatan politik di belakangnnya pun tidak teridentifikasi secara tegas; selain, bahwa komponen birokrasi pemerintah yang tampak begitu mendominasi. 16 Dari wawancara dengan beberapa mantan birokrat yang aktif dimasanya, tidak tergali informasi yang cukup untuk dapat menjawab pertanyaan ini.

20 108 Kutipan terkait Penjelasan Umum PP 21/70 di atas mengisyaratkan seolah adanya proses interaksi berupa kemufakatan terkait ketentuan persyaratan dan kewajiban-kewajiban dimaksud antara pemerintah dengan pihak pengusaha. Setidaknya ada proses komunikasi, negosiasi dan tawar menawar kepentingan dalam bentuk rangkaian diskursus antar kedua pihak yang turut mengkonstruksi aturan main itu. Namun, sejauh ini tidak dijumpai dokumen yang mendukung hal tersebut. Terlebih untuk memotret diskursus dari kelompok masyarakat lainnya (akademisi, masyarakat adat, dan ornop). Demikian pula dalam Dephut (2007) terutama pada awal-awal 1960an-1980 tidak dijumpai satu potongan narasipun yang mengindikasikan adanya rangkaian diskursus dan interaksi yang melibatkan keseluruhan para pemangku kepentingan terkait dengan usaha kehutanan, selain dari sisi pemerintah. Dengan begitu, inisiatif dan dorongan mengusahakan hutan alam produksi dapat dianggap datang lebih banyak dari pemerintah dan dalam perspektif mayoritas pemerintah sendiri. Demikian pula konsep dan pendekatan kelestarian serta pemosisian hutan alam di dalamnya. Kondisi empiris demikian dapat ditafsir, bahwa detail aturan main yang ada lebih mencerminkan kebutuhan dari sisi pemerintah untuk menyiapkan aturan, belum merupakan harmonisasi dan kristalisasi kebutuhan aktor lain, termasuk para pelaku dan pelaksana kebijakan; atau kebutuhan objektif menjawab masalah usaha kehutanan itu sendiri. Karakteristik ini semakin menegaskan bahwa aliran pemikiran dibalik kebijakan usaha kehuatan masih di seputar the forest first dalam pandangan Sfeir-Younis (1991). Penyempurnaan PP 21/70 melalui penerbitan PP 18/75 pun tidak merubah secara signifikan arah kebijakan usaha kehutanan dan juga pemaknaan atas kelestarian dan pemosisian hutan alam dalam kebijakan itu sendiri. Ini dimungkinkan, mengingat fokus perubahan hanya pada satu pasal terkait penegasan bahwa modal asing sekedar pelengkap modal nasional dan sejalan dengan itu memberikan peran lebih besar kepada perusahaan nasional untuk mengusahakan HPH, karena dipandang telah mampu. Namun, tidak dijumpai diskursus yang mengaitkan relevansi perubahan ini dengan hal yang lebih mendasar bagi tatanan usaha kehutanan lestari, misal gambaran apakah

21 109 penegasan entitas menjadi lebih nasional, terkait dengan penataan hak kepemilikan (property rights) sebagai kondisi pemungkin bagi pencapaian kelestarian. Sampai disini, terakumulasi pengetahuan bahwa pemerintah, memicu sendiri argumen bahwa hutan memiliki potensi ekonomi, diperlukan untuk menopang tujuan pembangunan nasional termasuk menuntaskan revolusi, untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pula memosisikan kelestarian sebagai cara/azas/landasan/dasar/tujuan terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan bagi kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan. Semua ini dimungkinkan, karena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi dengan pihak lain, selain pemerintah. Merujuk pada konsep policy as an argument yang dikemukakan Sutton (1999) maka fenomena demikian memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak, pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tanpa ada yang (berani) mengkritiknya, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta dan idelologi atau bahkan teori - antar para pihak pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh peran ilmuwan kehutanan memiliki kontribusi dalam proses. Merujuk kembali kepada macam kebenaran/rasional Dunn (2000) maka macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini adalah kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, yakni karena yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. Sejalan dengan konsep kebijakan sebagai argumen di atas, kebenaran itu sendiri belum didukung kebenaran lainnya seperti teknis, ekonomis dan terutama penerimaan sosial. Lalu, yang kemudian menonjol adalah posisi politik pemerintah dalam upaya mengatur dan mengawasi pihak yang diawasi (pemegang konsesi) alias command and control bahkan sampai di tingkat unit usaha. Masyarakat lain, khususnya masyarakat adat yang ada di dalam dan di sekitar hutan sekedar diikutsertakan. Sementara hal mendasar dari

22 110 kelestarian tidak cukup gamblang dan lengkap diatur, selain bahwa ia diposisikan sebagai bagian instrumen pengelolaan yang diwajibkan dalam kegiatan usaha kehutanan. Dari sisi proses dengan menimbang kebijakan sebagai argumen aktor atau policy network yang turut mengkerangka kebijakan menjadi kurang teridentifikasi secara lengkap, selain hanya komponen pemerintah yang begitu dominan mengatur dan melakukan kontrol di seputar hutan, dalam artian yang sangat teknis silvikultur. Sementara, praktisi usaha kehutanan selaku pihak yang dikontrol, posisi politisnya diposisikan sebagai pihak yang lemah atau subordinat. Dengan posisi demikian, semakin tegas bahwa substansi dan narasi kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini merupakan hegemoni atau monopoli hasil konstruksi aktor pemerintah. Himpunan pengetahuan diatas menjadi penting terlebih bila dikaitkan dengan masih hadirnya sejumlah isu kontemporer, antara lain, mengapa pemerintah pada saat itu belum mempertimbangkan dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, khususnya dalam hal hak dan aksesnya. Telah disebutkan di atas, bahwa pengaturan interdependensi antara pemegang konsesi dengan masyarakat yang lebih memosisikan masyarakat sebagai pihak pinggiran: sepanjang diakui masih ada, dan hanya berhak memungut hasil hutan bukan kayu, itupun ditakar hanya untuk keperluan sendiri dan sejauh tidak mengganggu kegiatan usaha HPH 17. Pengetahuan yang satu ini menegaskan bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada telah berhasil menggiring diskursus bahwa, begitulah rupa pemahaman hutan dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam perkembangannya, masih dalam periode ini (sebelum 1998), muncul indikasi perubahan dalam bangunan interdependensi yang memengaruhi seolah ada peta policy network tadi. Ini tampak, terutama saat munculnya konglomerasi yang menurut (Brown, 1999) dimungkinkan karena hadirnya sinergi politik antara pemerintah dan pengusaha. Sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, bahwa pada penggalan periode ini pengaruh 17 Tercantum dengan jelas pada hampir keseluruhan dokumen FA dan SK HPH

23 111 dunia usaha cukup kuat memengaruhi proses perumusan kebijakan usaha kehutanan yang telah menjadi hegemoni pemerintah. Hal ini mendapat semacam konfirmasi langsung dari salah seorang Menteri Kehutanan di era ini 18 :...bukan apa-apa dik, tekanan politik waktu itu sudah sangat membebani birokrasi...bayangkan saja...kalau posisi direktur saja presiden yang harus menentukan...karena kepentingan bisnis dibaliknya... (Wawancara, Lebak Bulus, 21 Mei 2011). Fenomena konglomerasi di atas ditandai juga terutama dengan adanya kebijakan peningkatan kapasitas industri dalam negeri melalui integrasi vertikal industri perkayuan menyusul larangan ekspor log pada 1985 (Brown, 1999). Fenomena ini memang memperlihatkan adanya peningkatan posisi politis praktisi dunia usaha kehutanan dalam memengaruhi kebijakan industri kehutanan. Namun, perbaikan posisi politis ini, tidak kondusif dan sebaliknya justru membuat semakin lemahnya kebijakan usaha kehutanan lestari. Sebagai misal, bisa diingat kebijakan terkait integrasi vertikal diwajibkannya para pemegang konsesi HPH memiliki unit industri. Dalam pelaksanaannya, melalui integrasi vertikal, kayu dihargai begitu murah disatu sisi dan disisi lain ia harus dipanen lebih banyak dan lebih cepat, sesuai target pemenuhan industri perkayuan. Dengan begitu, perbaikan posisi politis para praktisi usaha kehutanan dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, kurang untuk mengatakan tidak memiliki kontribusi pada perbaikan arah dan substansi kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam penyelesaian halhal mendasar yang menjadi isu kontemporer sebagaimana juga di singgung di atas, seperti soal hak kepemilikan, akses mayarakat di dalam dan di sekitar hutan; terlebih soal pelurusan klaim hutan dikusasai negara yang dalam prakteknya cenderung dipersempit menjadi dikuasai pemerintah. Terkait makna kelestarian sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 FA, sebagaimana dikutip di atas, pendekatannya sudah masuk ditataran teknis dimana urut-urutan terkait hal-hal apa yang harus, yang boleh dan tidak boleh dilakukan relatif jelas. Namun, ciri-ciri bahwa itu semua dibangun dengan 18 Konfirmasi ini menguatkan hadirnya dominasi dan sekaligus hegemoni dalam pengertian Gramsci sebagaimana dimaksud Eriyanto (2005) dalam diskursus usaha kehutanan selama ini.

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan memiliki fungsi sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PP 7/1990, HAK PENGUSAHAAN... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tanggal: 16 MARET 1990 (JAKARTA) Sumber: LN 1990/11; TLN NO. 3404 Tentang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : 1:1414 PERATURAN PEMERINTAH NO.7 TAHUN1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, yang perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUIBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal 43 ayat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Menurut Undang Undang no 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

Lebih terperinci

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind No.68, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Bidang Kehutanan. 9PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9/Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

~ 2 ~ C:\Documents and Settings\BAHAN WEB\Per-UU\NSPK hilang Agustus1.rtf

~ 2 ~ C:\Documents and Settings\BAHAN WEB\Per-UU\NSPK hilang Agustus1.rtf PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA REKOMENDASI GUBERNUR DALAM RANGKA PERMOHONAN ATAU PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) HUTAN ALAM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) COOPERATION

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PEMANFAATAN DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DALAM KAWASAN HUTAN (IPHHDKH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

BUPATI INDRAGIRI HILIR

BUPATI INDRAGIRI HILIR BUPATI INDRAGIRI HILIR KEPUTUSAN BUPATI INDRAGIRI HILIR NOMOR : 21/TP/II/2002 Tahun 2002 Tentang PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU KEPADA PT. ASRI NUSA MANDIRI PRIMA DI KABUPATEN INDRAGIRI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HUTAN ATAU IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Copyright (C) 2000 BPHN PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI *36091 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 6 TAHUN 1999 (6/1999) TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Penjelasan Umum pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia

A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia 1 Dalam presentasi ini, akan dijelaskan mengenai landasan dan analisa hukum dari perlindungan serta pemanfaatan lahan gambut di

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci