PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN PARTIKEL TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN PARTIKEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN PARTIKEL TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN PARTIKEL"

Transkripsi

1 III. PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN PARTIKEL TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN PARTIKEL Pendahuluan Pembuatan papan partikel tanpa perekat pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Prinsip dasar dari teknologi yang dikembangkan adalah memicu terbentuknya ikatan antar partikel kayu baik melalui ikatan hidrogen, maupun ikatan kovalen. Teknik perlakuan perebusan yang dilanjutkan dengan pengempaan panas telah dikembangkan oleh Hermawan (2007). Melalui teknik ini telah dibuktikan bahwa dengan proses tersebut, ikatan kimia antar partikel dapat terbentuk yang ditandai dengan nilai keteguhan rekat yang tinggi. Sayangnya, dengan teknik ini, nilai-nilai keteguhan patah dan modulus elastisitasnya masih rendah yang kemungkinan disebabkan oleh terlalu halusnya ukuran partikel yang digunakan (serbuk gergaji). Di sisi lain, perlakuan perebusan juga sudah diketahui secara umum akan melarukan zat-zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu. Padahal, menurut Okuda et al. (2006) keberadaan zat ekstraktif amat besar peranannya dalam menentukan kualitas ikatan yang terbentuk pada papan tanpa perekat. Kontribusi penting ekstraktif tersebut antara lain disebabkan oleh adanya senyawa aromatik berberat molekul rendah yang mengandung gugusgugus karbonil yang dapat membentuk ikatan pada saat dikempa panas. Perlakuan perebusan juga sebenarnya telah digunakan untuk meningkatkan kualitas papan partikel ataupun papan serat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuswarini (2009) menunjukkan bahwa papan partikel yang dibuat dari partikel yang terlebih dahulu diberi perlakuan perebusan menghasilkan papan partikel dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan papan partikel yang hanya diberi perlakuan perendaman. Informasi efek perebusan dalam pembuatan papan partikel tanpa perekat pada partikel yang diberi perlakuan oksidasi sejauh ini belum pernah dilaporkan. Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari pengaruh perlakuan perebusan terhadap karakteristik papan partikel yang dibuat dengan metode oksidasi serta perubahan komponen kimia akibat perlakuan oksidasi. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisis perbedaan karakteristik papan partikel yang 25

2 dibuat dari bahan baku yang berbeda dari kelompok kayu daun lebar (sengon), dan bahan lignoselulosa bukan kayu (bambu). Bahan dan Metode Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Bahan baku yang digunakan terdiri atas 2 jenis yaitu bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Wijaja), dan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen). Beberapa karakteristik sifat fisik dan mekanis bahan baku tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisik dan mekanis bambu dan sengon No. Jenis Kerapatan (g cm -3 ) BJ KA (%) MOR (Kgf cm -2 ) MOE (Kgf cm -2 ) 1. Bambu 0,61 0,60 11, ,57 1) 758,74 2) 624,33 3) ) ) ) 2. Sengon 0,29 0,27 10,09 393, Ket. 1) Uji miring 2) Uji datar (bag. dekat kulit di atas) 3) Uji datar (bag. dekat kulit di bawah) Penelitian pada tahapan ini difokuskan untuk menginvestigasi metode aktivasi partikel yang potensial dikembangkan lebih lanjut. Perlakuan yang diberikan terdiri atas 3 taraf yaitu; perlakuan perebusan 30 menit tanpa proses oksidasi, perlakuan perebusan selama 30 menit yang dilanjutkan dengan oksidasi menggunakan H 2 O 2 /FeSO 4, dan oksidasi dengan H 2 O 2 /FeSO 4 tanpa perlakuan perebusan. Gambar 5. Bahan-bahan penelitian; (a) partikel kayu, (b) hidrogen peroksida, (c) fero sulfat 26

3 Perlakuan perebusan dilakukan dengan cara menimbang partikel bahan baku sesuai kebutuhan berdasarkan kerapatan sasaran yang telah ditetapkan yaitu 0,75 g cm -3. Partikel yang telah diketahui beratnya kemudian direbus dalam air mendidih selama 30 menit lalu ditiriskan dan diperas dengan mesin kempa dingin menggunakan tekanan 15 kgf cm -2. Untuk perlakuan perebusan tanpa oksidasi, partikel yang telah diperas tersebut langsung dibuat menjadi mat lalu dikempa panas pada suhu 180 o C dengan tekanan spesifik 25 kgf cm -2 selama 20 menit. Adapun partikel yang diberi perlakuan oksidasi lebih lanjut, terlebih dahulu dikeringkan sampai mencapai kondisi kering udara. Perlakuan oksidasi dilakukan dengan cara menyemprotkan H 2 O 2 dan FeSO 4 ke partikel kayu. Kadar H 2 O 2 yang digunakan adalah 20% berdasarkan berat kering partikel, sementara kadar FeSO 4 adalah 5% berdasarkan berat hidrogen peroksida. Partikel yang telah disemprot H 2 O 2 dan FeSO 4 tersebut selanjutnya dikondisikan selama menit sebelum diberi perlakuan kempa panas. Suhu plat kempa yang digunakan adalah 180 o C dengan lama waktu kempa 15 menit, serta tekanan 25 kgf cm -2. Kondisi perlakuan yang diaplikasikan pada oksidasi secara langsung pada dasarnya sama dengan perlakuan sebelumnya, namun tanpa didahului perlakuan perebusan. Penentuan metode perlakuan yang efektif, dilakukan berdasarkan hasil pengujian sifat fisik dan mekanis papan partikel tanpa perekat yang dihasilkan. Pengujian yang dilakukan mengacu pada JIS A Parameter sifat fisik dan mekanis yang diuji meliputi: kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan patah atau modulus of rupture (MOR), modulus elastisitas atau modulus of elasticity (MOE), serta keteguhan rekat (internal bond). Pola pemotongan contoh uji pada setiap lembar papan disajikan pada Gambar 6. 27

4 30 cm 0,7 cm 2 30 cm cm 5 4 Gambar 6. Pola pemotongan contoh uji Keterangan: 1 = contoh uji untuk determinasi keteguhan patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) (5 x 20 cm) 2 = contoh uji derterminasi keteguhan rekat (5 cm x 5 cm) 3 = contoh uji determinasi daya serap air, dan pengembangan tebal 4 = contoh uji determinasi kerapatan dan kadar air (10 cm x 10 cm) 5 = cadangan Determinasi Kerapatan Determinasi kerapatan papan partikel dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus: Kr = B V Keterangan : Kr = Kerapatan (g cm -3 ) B = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm 3 ) Determinasi Kadar Air Determinasi kadar air papan dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 105 ± 3 o C. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus : 28

5 BA BK KA = BK x 100% Keterangan: KA = Kadar air (%) BA = Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g) BK = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g) Determinasi Daya Serap Air Determinasi daya serap air dilakukan dengan menghitung selisih berat sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 24 jam. Daya serap air tersebut dihitung dengan rumus: BB BA DS = BA x 100% Keterangan: DS = Daya serap air (%) BA = Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g) BB = Berat contoh uji setelah perendaman 24 jam (g) Determinasi Pengembangan Tebal Determinasi pengembangan tebal didasarkan atas selisih tebal sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 24 jam. Pengembangan tebal tersebut dihitung dengan rumus: T2 T1 P = T1 x 100% Keterangan: P = Pengembangan tebal (%) T1 = Tebal awal contoh uji setelah pengkondisian (cm) T2 = Tebal contoh uji setelah perendaman 24 jam (cm) Determinasi Keteguhan Patah (MOR) Determinasi MOR dilakukan dengan menggunakan mesin penguji universal testing machine (UTM) merk Instron kapasitas 5 ton. Pengujian 29

6 dilakukan dengan memberikan beban secara perlahan-lahan dengan kecepatan 10 mm menit -1 pada bagian tengah contoh uji. Jarak sangga yang digunakan adalah 15 cm. Posisi beban dan jarak sangga disajikan pada Gambar 7. Titik beban Contoh uji h L l b L l h b : Panjang contoh uji (20 cm) : Jarak sangga (15 cm) : Tebal contoh uji (0,7 cm) : Lebar contoh uji (5 cm) Gambar 7. Pengujian keteguhan patah MOR contoh uji dihitung dengan menggunakan rumus: MOR = 3 P L 2 b h 2 Keterangan: MOR = Keteguhan patah (kgf cm -2 ) L = Jarak sangga (cm) P = Beban maksimum (kgf) h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm) Determinasi Modulus Elastisitas (MOE) Determinasi MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pengujian juga dilakukan bersamaan dengan pengujian MOR, namun yang dicatat dalam pengujian ini adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus: MOE = P L 3 4 Y b h 3 30

7 Keterangan: MOE = Modulus Elastisitas (kgf cm -2 ) L = Jarak sangga (cm) P = Beban sebelum batas proporsi (kgf) Y = Defleksi pada beban P h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm) Determinasi Keteguhan Rekat (Internal Bond) Pengujian keteguhan rekat dilakukan dengan merekatkan kedua permukaan papan pada balok kayu kemudian balok kayu tersebut ditarik secara berlawanan arah. Cara pengujian keteguhan rekat internal ini disajikan pada Gambar 8. Arah beban Balok kayu Contoh uji Arah beban Gambar 8. Pengujian keteguhan rekat (Internal bond) Keteguhan rekat tersebut dihitung dengan menggunakan rumus: KR = P b1 x b2 Keterangan: KR = Keteguhan rekat (kgf cm -2 ) P = Beban maksimum (kgf) b1, b 2 = Lebar dan panjang contoh uji (cm) Analisis Data Data-data sifat fisik dan mekanis yang diperoleh untuk masing-masing perlakuan pada tahapan ini dianalisis dan dijadikan dasar untuk mengevaluasi kesesuaian masing-masing perlakuan untuk dikembangkan lebih lanjut. 31

8 Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal di mana yang menjadi taraf perlakuan adalah perebusan 30 menit (R-30), oksidasi (F-H), perebusan yang dilanjutkan dengan oksidasi (R30-F-H), serta oksidasi tanpa perebusan. Untuk parameter yang menunjukkan adanya perbedaan nyata yang diperoleh dari hasil analisis ragam, dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda Duncan. Adapun ulangan yang digunakan pada percobaan ini adalah 4 kali untuk masing-masing jenis perlakuan. Analisis kualitatif perubahan kimia Dalam penelitian ini telah dilakukan analisis kualitatif untuk mempelajari perubahan kimia dari partikel tanpa perlakuan, partikel teroksidasi, serta partikel dari papan yang telah dibuat. Instrumen analisis yang digunakan meliputi Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk melihat perubahan gugus fungsi pada partikel bambu dan kayu, X-Ray Diffractometer (XRD) untuk melihat perubahan kristalinitas bahan, serta analisis Gas Chromatography-Mass Spectrofotometer (GC-MS) untuk melihat perubahan senyawa-senyawa kimia pada bahan baku, partikel teroksidasi, maupun partikel yang berasal dari papan. Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) Instrumen FTIR (Shimadzu FTIR-8400) digunakan untuk menganalisis perubahan gugus-gugus fungsi akibat perlakuan oksidasi maupun akibat kempa panas dalam pembuatan papan partikel. Pengujian dilakukan dengan cara mencampur serbuk kayu dengan kalium bromida (Kbr) kemudian menempatkannya dalam holder. Sinar infra merah dihamburkan dan dibelokkan oleh cermin ke dua arah yaitu ke detektor dan ke sampel. Hasil dari keduanya kemudian dibandingkan. Gambar yang dihasilkan merupakan rata-rata dari 30 kali pengukuran. Pita serapan yang diamati adalah pada bilangan gelombang cm -1. Analisis X-Ray Diffractometer (XRD) Instrumen XRD (Shimadzu XRD-7000) digunakan untuk mengukur derajat kristalinitas, lebar serta panjang kristalin. Analisis ini dilakukan dengan cara menginterpretasi pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh. Penetapan 32

9 derajat kristalinitas, lebar dan panjang kristalin dihitung berdasarkan Scherrer formula (Peura et al. 2008): bagian kristalin Derajat kristalinitas (X) = x 100% bagian amorf + bagian kristalin Kλ Lebar kristalin pada Ө = β cos θ Panjang kristalin pada Ө = Keterangan: Kλ β cos θ λ = 0,154 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Cu) β = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian) K = tetapan untuk lembaran graphene (0,9) Ө = sudut difraksi Identifikasi Senyawa dengan Pyrolisis Gas Chromatograph-Mass Spectrometer (Pyr GC-MS) Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Pyrolisis (Frontier Lab. Sink Shot Pyrolizer PY 2020is) dan GC-MS (Shimadzu GCMS QP 2010). Dari hasil identifikasi ini, dilakukan analisis perubahan-perubahan proporsi senyawa yang terbentuk dan kemunculan senyawa-senyawa baru akibat perlakuan oksidasi. Proses pengamatan dilakukan dengan cara menempatkan contoh ke dalam wadah kemudian dimasukkan ke dalam ruang kuarsa dalam pirolisis unit. Sampel kemudian dipanaskan dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 400 C. Panas akan memediasi reaksi pembelahan ikatan kimia dalam struktur makromolekuler dan menghasilkan berat molekul rendah dengan komposisi kimia yang spesifik. Waktu retensi yang digunakan dalam pengamatan ini adalah 60 menit. Analisis kuantitatif perubahan komponen kimia Tahapan penelitian ini didisain untuk menganalisis perubahan komponen kimia yang terjadi akibat perlakuan oksidasi. Komponen yang dianalisis meliputi komponen makro berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta komponen mikro berupa zat ekstraktif. Analisis komponen kimia tersebut dilakukan pada 33

10 bahan baku tanpa perlakuan, bahan baku yang telah mengalami perlakuan oksidasi, serta partikel yang berasal dari papan yang telah dibuat. a Gambar 9. Analisis komponen kimia kayu: (a) penentuan kadar holoselulosa, (b) analisis kerlarutan dalam NaOH 1%, (c) analisis kelarutan dalam air panas, (d) ekstraksi dengan etanol-benzena Persiapan bahan untuk analisis b Ukuran partikel masing-masing jenis bahan baku (bambu andong dan sengon) untuk analisis kimia disesuaikan dengan Standar TAPPI yaitu lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Pengambilan sampel dan persiapan bahan untuk analisis merujuk pada TAPPI T 257 om-85 tentang Sampling and Preparing Wood for Analysis. Bahan yang dianalisis tersebut terlebih dahulu ditentukan kadar airnya dengan merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88 tentang Preparation of Wood for Chemical Analysis Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin (TAPPI T 207 0m-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel bambu dan kayu ditempatkan ke dalam gelas piala 400 ml dan dengan perlahan ditambahkan 300 ml air destilata. Selanjutnya diekstraksi pada suhu 23 ± 2 o C selama 48 jam. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3 o C. Sampel dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3 o C, setelah itu didinginkan dan ditimbang. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan persamaan: A B Kelarutan(%) A x 100% c d Keterangan: A = Berat awal serbuk kering (g) 34

11 B = Berat akhir serbuk kering (g) Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas (TAPPI T 207 0m-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel ditempatkan dalam erlemeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata panas dan selanjutnya ditempatkan dalam water bath. Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air dalam water bath di atas permukaan air dalam erlemeyer. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan. Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3 o C. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstratif yang terlarut dalam air dingin. Untuk mengetahui ada tidaknya lignin berberat molekul rendah yang terlarut dalam air panas ini, maka dilakukan pula pengamatan dengan spektrofotometer UV. Cara penentuan lignin ini diadopsi dari penentuan lignin terlarut asam berdasarkan TAPPI T 250. Air panas yang digunakan untuk melarutkan ekstraktif diambil sebanyak 15 ml kemudian digenapkan volumenya menjadi 1000 ml. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 15 ml untuk diuji dengan spektrofotometer UV. Sebagai larutan standar, sampel blanko dibuat dari 5 ml asam sulfat yang digenapkan volumenya menjadi 1000 ml dan juga diambil sampel uji sebanyak 15 ml. Identifikasi lignin dilakukan pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien adsorpsi 110 L g -1 cm -1. Kadar lignin yang larut dalam air panas dihitung dengan rumus: A Konsentrasi lignin (C) = x Df 110 CV Kadar lignin terlarut (KL) = x 100% 1000 x BKT Keterangan: C V A Df KL = konsentrasi filtrat lignin dalam air panas (g/l) = volume total filtrat (ml) = nilai absorban pada panjang gelombang 205 nm = faktor pengenceran = kadar lignin dalam air panas 35

12 BKT = berat kering tanur serbuk bambu dan kayu Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1% (TAPPI T 212 om- 93) Larutan alkali panas digunakan untuk mengekstrak karbohidrat berbobot molekul rendah terutama yang mengandung hemiselulosa dan selulosa yang terdegradasi dalam sampel. Natrium hidroksida 1% (0,25 N) yang digunakan sebagai pelarut dibuat dengan cara melarutkan 10,0 g NaOH padatan dalam air dan selanjutnya digenapkan menjadi 1000 ml. Asam asetat (CH 3 COOH) 10 %, dibuat dengan cara mengencerkan 100 ml asam asetat glasial dengan air hingga 1000 ml. Pengujian kelarutan dalam natrium hidroksida dilakukan dengan cara menimbang sampel sebanyak 2,0 ± 0,1 g dan menempatkannya dalam gelas piala 200 ml. Selanjutnya ditambahkan dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1% dan diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam water bath pada suhu o C selama 60 menit. Permukaan air dalam water bath dipertahankan agar tetap berada di atas permukaan larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk kaca selama masing-masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Setelah 60 menit, sampel dipindahkan ke dalam glass filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 ml air panas. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml asam asetat 10% dan sampel dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam asetat tersebut dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 ml larutan asam asetat 10% yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Glass filter dikeringkan dengan sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang beratnya. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam natrium hidroksida 1% sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstratif yang terlarut dalam air dingin. Penentuan holoselulosa (TAPPI T 9 m-54) Sampel bambu dan kayu bebas ekstraktif ekuivalen 2,0 g berat kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel uji kemudian ditambahkan dengan 100 ml air destilata, 1 g natrium klorit (NaClO 2 ) dan 1 ml asam asetat glasial 36

13 (CH 3 COOH). Sampel kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu 80 o C selama 5 jam. Natrium klorit sebanyak 1,0 g dan asam asetat sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke dalam contoh uji setiap interval pemanasan 1 jam, penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan glass filter, selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam sampel uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan, didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar Holoselulosa dihitung dengan rumus Holoselulosa (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat holoselulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan selulosa (TAPPI 17 m-55) Selulosa dipisahkan dari holoselulosa dengan cara melarutkan hemiselulosa. Sebanyak 2,5 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif ditempatkan dalam erlenmeyer 300 ml. Selanjutnya ditambahkan 125 ml larutan asam nitrat (HNO 3 ) 3,5% ke dalam sampel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam water bath selama 12 jam pada suhu 80 o C. Setelah pemanasan, sampel uji disaring dengan air destilata hingga tidak berwarna dan kemudian dikeringudarakan. Sampel dipindahkan ke dalam erlemeyer kembali lalu ditambahkan 125 ml larutan campuran NaOH dan Na 2 SO 3 dan dilakukan pemanasan selama 2 jam pada suhu 50 o C. Sampel uji disaring dengan cawan saring dan selanjutnya dicuci dengan air destilata hingga filtrat tidak berwarna. Sebanyak 50 ml larutan natrium klorit 10% ditambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya sebanyak 100 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam contoh uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven pada suhu 105 ± 3 o C hingga beratnya konstan. Kadar selulosa dihitung dengan rumus : Selulosa (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat selulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) 37

14 Penentuan kadar hemiselulosa (TAPPI 223cm-84) Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa dengan menggunakan rumus Hemiselulosa (%) = (A-B) x 100% Keterangan: A = Kadar holoselulosa (%) B = Kadar selulosa (%) Penentuan kadar lignin (TAPPI T 203 os-74) Sebanyak 1,0 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml H 2 SO 4 72% kemudian diaduk rata. Gelas ukur ditempatkan ke dalam nampan yang di sekelilingnya telah diberi es agar suhunya berada pada kisaran o C, lalu diaduk setiap 15 menit selama 2 jam. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml lalu ditambahkan air destilata yang telah dipanaskan sampai tanda tera, kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu ± 80 o C selama 4 jam. Lignin kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui BKT-nya, lalu dicuci dengan air destilata sampai bebas asam. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C sampai beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan rumus : Lignin (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat lignin (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan kadar abu (TAPPI T 211 om-93) Abu menunjukkan kandungan bahan anorganik dalam bambu atau kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Sebelum pengukuran kadar abu, kadar air sampel ditentukan terlebih dahulu dengan merujuk pada standar TAPPI T 264. Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 o C selama menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel uji ekuivalen 1,0 g kering oven dipindahkan ke dalam cawan abu. Selanjutnya sampel uji dipanaskan pada suhu 100 o C, lalu suhunya ditingkatkan hingga mencapai 525 o C secara bertahap 38

15 sehingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur sekitar 525 ± 25 o C. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, lalu cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan diulangi hingga berat abu konstan. Abu (%) = (A/B) x 100% A = berat abu (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Analisis Data Data komponen kimia yang diperoleh untuk masing-masing kondisi partikel dianalisis perbedaannya dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktor tunggal di mana yang menjadi taraf perlakuan adalah partikel kontrol, partikel yang telah dioksidasi, serta partikel yang berasal dari papan yang telah dibuat. Untuk parameter yang berbeda nyata berdasarkan hasil analisis ragam, dilanjutkan dengan analisis perbandingan berganda Duncan. Ulangan yang digunakan pada percobaan ini adalah 3 kali untuk masing-masing kondisi partikel. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Bahan Baku Sebaran kerapatan papan partikel yang dibuat dengan berbagai perlakuan pendahuluan disajikan pada Gambar 10. Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kerapatan papan bervariasi antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya, maupun antar jenis bahan baku. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 variasi tersebut tidak berbeda nyata antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, variasi tersebut juga tidak menunjukkan kecenderungan tertentu yang mengindikasikan adanya korelasi antara kerapatan papan partikel dengan perlakuan bahan baku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabilitas yang terjadi merupakan variasi acak yang terjadi dalam proses pembuatan papan partikel. Selanjutnya, dikarenakan kerapatan papan berpengaruh langsung terhadap karakteristik papan lainnya, maka angka-angka yang diperoleh dari setiap parameter terlebih dahulu dikonversi ke nilai sifat fisik dan mekanis pada kerapatan sasaran yaitu 0,75 g cm -3 dengan menggunakan faktor koreksi. Apabila nilai-nilai kerapatan papan 39

16 tersebut dibandingkan dengan JIS A 5908, maka seluruh papan yang dibuat memenuhi standar tersebut. 1.0 R-30 F-H R30-F-H Kerapatan (g cm -3 ) tn tn tn tn tn tn Bambu Sengon Jenis Kayu JIS A 5908 Keterangan = R-30 : Perebusan partikel 30 menit F-H : Oksidasi R30-F-H : Perebusan 30 menit dan oksidasi tn : tidak nyata secara statistik pada taraf α 5% Gambar 10 Kerapatan papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Berbeda dengan kerapatan papan partikel, nilai-nilai kadar air papan cenderung memiliki pola tertentu, yaitu kadar air papan partikel yang mengalami perlakuan oksidasi lebih rendah dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya mengalami perlakuan perebusan. Hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel. Berdasarkan hasil analisis perbandingan berganda Duncan, tiga jenis papan partikel bambu memiliki kadar air yang berbeda nyata satu sama lain. Adapun papan partikel sengon yang diberi perlakuan perebusan berbeda nyata dengan papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi, baik yang didahului dengan perebusan maupun tanpa perebusan. Perbedaan secara statistik berdasarkan hasil uji perbandingan berganda Duncan secara lengkap disajikan pada Gambar 11. Huruf-huruf yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan bahwa kadar air papan partikel tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain. Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A , maka tampak bahwa seluruh jenis papan yang dibuat memenuhi standar tersebut. Meskipun 40

17 demikian, apabila diamati secara seksama, maka tampak bahwa beberapa jenis papan yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, khususnya papan partikel dari kayu sengon memiliki kadar air yang mendekati batas minimal yaitu 5%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi cenderung menurunkan sifat hidrophilic partikel sehingga kadar air keseimbangannya menjadi rendah. Kadar air (%) R-30 F-H R30-F-H c a b b a a Bambu Sengon Jenis Kayu JIS A 5908 Keterangan: huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata secara statisti pada taraf α 5% Gambar 11 Kadar air papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Sebaran data daya serap air papan partikel sebagaimana disajikan pada Gambar 12 menunjukkan bahwa daya serap airnya memiliki kecenderungan yang sama dengan kadar air, yaitu nilai daya serap air papan yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap daya serap air papan pada kedua jenis bahan baku. Hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa pada papan partikel bambu, perlakuan oksidasi bahan baku menghasilkan papan partikel dengan daya serap air yang berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan perebusan maupun kombinasi perebusan dan oksidasi. Untuk jenis kayu sengon, perlakuan perebusan menghasilkan papan partikel yang memiliki nilai daya serap air yang berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, maupun kombinasi perebusan dan oksidasi. Sementara itu daya serap air papan partikel yang bahan 41

18 bakunya diberi perlakuan oksidasi tidak berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan kombinasi perebusan dan oksidasi. 100 R-30 F-H R30-F-H Daya serap air (%) b a b Bambu Jenis Kayu b a a Sengon Gambar 12 Daya serap air papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Kecenderungan nilai daya serap air papan yang lebih rendah pada papan yang bahan bakunya mengalami perlakuan oksidasi mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi tersebut memengaruhi komponen kimia partikel. Perlakuan oksidasi tampaknya menurunkan sifat hidrophilic partikel sehingga lebih sulit menyerap air. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti berikatannya gugus-gugus OH pada partikel kayu maupun bambu atau tersubstitusinya sebagian gugus OH menjadi O radikal yang selanjutnya membentuk ikatan silang dengan komponen kimia lainnya sebagaimana digambarkan oleh Widsten (2002). Dalam hal pengembangan tebal, papan partikel tanpa perekat dengan papan partikel yang bahan bakunya mengalami perlakuan oksidasi memiliki pengembangan tebal yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan papan partikel tanpa perekat yang hanya diberi perlakuan perebusan tanpa perlakuan oksidasi. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap sifat pengembangan tebal papan partikel pada ketiga jenis bahan baku yang digunakan. Hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa ketiga jenis bahan baku yang digunakan memiliki pola pengembangan tebal yang sama, yaitu papan partikel yang hanya diberi perlakuan oksidasi memiliki sifat pengembangan tebal yang berbeda nyata dengan kedua jenis papan lainnya, sementara antara 42

19 papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, maupun kombinasi perebusan dengan oksidasi tidak berbeda nyata. Pengembangan tebal (%) R-30 F-H R30-F-H b a a b a a Bambu Sengon Jenis Kayu JIS A 5908 Gambar 13 Pengembangan tebal papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A , maka tampak bahwa papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi secara keseluruhan memenuhi standar. Sebaliknya tidak satupun dari ketiga jenis papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan memenuhi standar. Pengembangan tebal papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi pada perendaman selama 24 jam sebagaimana disajikan pada Gambar 13 rata-rata hanya 5,81-7,29% untuk bamboo dan 5,74-5,97% untuk sengon. Sementara itu, nilai pengembangan tebal papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan jauh lebih tinggi, yaitu 24,88% untuk bambu, dan 48,61% untuk sengon. Perbedaan pengembangan tebal yang sangat ekstrim ini disebabkan oleh perbedaan ikatan yang terbentuk. Papan partikel yang hanya diberi perlakuan perebusan, akan membentuk ikatan hidrogen pada saat dikempa panas, sementara pada papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dapat membentuk ikatan kovalen yang jauh lebih kuat pada saat dikempa panas. Seperti halnya sifat-sifat fisik, sifat-sifat mekanis papan partikel (MOR, MOE, keteguhan rekat) yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi juga lebih baik dari papan partikel yang hanya diberi perlakuan perebusan. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai MOR pada papan partikel 43

20 bambu maupun sengon. Hasil uji perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa papan partikel dari bambu yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi berbeda nyata dengan papan partikel yang diberi perlakuan perebusan, maupun kombinasi perebusan dengan oksidasi. Namun demikian perlakuan perebusan dan kombinasi perebusan dan oksidasi tidak berbeda nyata. Hal ini berbeda dengan papan partikel dari kayu sengon, di mana perlakuan oksidasi maupun kombinasi perebusan dengan oksidasi tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Histogram pada Gambar 14, menunjukkan bahwa selisih nilai MOR papan partikel juga cukup jauh, yaitu masing-masing 1,8; dan 2,6kali lebih tinggi pada bamboo dan sengon dibandingkan dengan papan partikel dengan perlakuan perebusan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlakuan oksidasi jauh lebih efektif dalam pembentukan ikatan karena dapat membentuk ikatan kovalen dibandingkan dengan perlakuan perebusan yang kemungkinan hanya membentuk ikatan hidrogen. Pada akhirnya papan partikel yang dihasilkannyapun memiliki nilai MOR yang jauh lebih baik. Meskipun nilai-nilai MOR papan yang diberi perlakuan oksidasi sesungguhnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan, akan tetapi apabila dibandingkan dengan JIS A , maka tampak bahwa dari seluruh jenis papan yang dibuat, hanya papan partikel dari jenis kayu sengon dengan kombinasi perlakuan perebusan dan oksidasi yang nilai MOR-nya memenuhi standar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai MOR yang dicapai dengan metode oksidasi relatif masih rendah. 120 R-30 F-H R30-F-H MOR (Kgf cm -2 ) a b a Bambu Jenis Kayu a b c Sengon JIS A

21 Gambar 14 MOR papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Nilai-nilai MOE papan partikel sebagaimana disajikan pada Gambar 15 memiliki pola yang sama dengan nilai MOR-nya yaitu perlakuan perebusan menghasilkan nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap sifat MOE papan yang dibuat dari ketiga jenis bahan baku. Meskipun demikian, hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan pola yang berbedabeda untuk masing-masing jenis bahan baku. Pada partikel bambu, ketiga jenis perlakuan menghasilkan papan partikel yang berbeda nyata satu sama lain. Sementara itu, pada papan partikel kayu sengon, perlakuan perebusan berbeda nyata dengan kedua jenis perlakuan lainnya. Sebagaimana halnya dengan nilai MOR, nilai MOE juga jauh lebih tinggi pada papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi dibandingkan dengan papan yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Pada papan partikel bambu nilainya 2,9 kali lebih tinggi, sementara pada papan sengon nilainya 2,8 kali lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mekanisme ikatan yang berbeda antara papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi MOE yang dicapai sangat berbeda. 40 R-30 F-H R30-F-H MOE (x 10 3 Kgf cm -2 ) a c b Bambu Jenis Kayu a b b Sengon JIS A 5908 Gambar 15 MOE papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan 45

22 Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A 5908, maka tampak bahwa MOE papan partikel dari bambu dan kayu sengon mampu memenuhi standar. Terpenuhinya nilai MOE berdasarkan JIS A 5908 pada kedua jenis papan partikel tersebut merupakan fenomena yang menarik, sebab parameter MOE ini merupakan salah satu karakteristik yang sulit terpenuhi dalam pembuatan papan partikel konvensional (menggunakan perekat). Apabila dibandingkan nilai-nilai MOR dan MOE papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dengan papan partikel yang diberi perlakuan kombinasi perebusan dan oksidasi, maka tampak bahwa kominasi perlakuan perebusan dan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan MOR dan MOE yang lebih tinggi. Tampaknya perlakuan perebusan sebelum dioksidasi pada partikel kayu membuat compressibility partikel menjadi lebih baik sehingga lebih kompak ketika dikempa panas. Namun demikian, fenomena tersebut ternyata hanya ditemukan pada papan dari kayu sengon, sementara pada bambu tidak demikian. Tampaknya, perlakuan perebusan selama 30 menit pada bambu belum cukup memadai untuk meningkatkan compressibility partikel bambu. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa partikel-partikel bambu cenderung lebih kaku karena keberadaan vascular bundle. Keteguhan rekat (Kgf cm -2 ) Bambu R-30 F-H R30-F-H a b b a c b Jenis Kayu Sengon JIS A 5908 Gambar 16 Keteguhan rekat papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Nilai-nilai keteguhan rekat sebagaimana disajikan pada Gambar 16 menunjukkan adanya pola yang berbeda-beda. Meskipun secara keseluruhan tampak bahwa perlakuan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan keteguhan 46

23 rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan, namun perbedaannya bervariasi. Papan partikel dari kayu sengon memiliki selisih nilai keteguhan rekat yang sangat ekstrim, yaitu hampir 16 kali lipat dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Adapun papan partikel bambu hanya 3 kali lipat. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan rekat papan partikel bambu dan kayu sengon. Berdasarkan uji perbandingan berganda Duncan, diketahui bahwa pada papan partikel bambu, perlakuan oksidasi maupun kombinasi perebusan dan oksidasi tidak berbeda nyata satu sama lain, akan tetapi keduanya berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Namun demikian, pada papan partikel sengon, ketiga perlakuan menghasilkan papan partikel yang memiliki keteguhan rekat yang berbeda satu sama lain. Apabila dibandingkan dengan JIS A , maka tampak bahwa papan partikel dari bambu dan sengon yang diberi perlakuan oksidasi memiliki keteguhan rekat yang memenuhi standar tersebut. Hasil-hasil penelitian sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa sifat fisik dan mekanis papan partikel yang dibuat dalam studi ini sangat ditentukan oleh perlakuan bahan baku yang diberikan serta jenis bahan baku yang digunakan. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa perlakuan oksidasi tanpa perebusan maupun kombinasi perebusan dan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan sifat fisik dan mekanis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Kombinasi perlakuan perebusan dan oksidasi menyebabkan penurunan nilai MOR, MOE dan keteguhan rekat dibandingkan dengan perlakuan oksidasi tanpa perebusan pada papan partikel bambu. Pola yang sama juga terjadi pada keteguhan rekat papan partikel sengon. Akan tetapi nilai-nilai MOR dan MOE-nya meningkat. Perlakuan perebusan mampu melarutkan bahan-bahan seperti pati, tanin, ataupun zat warna. Dengan demikian penurunan keteguhan rekat akibat perebusan kemungkinan disebabkan oleh pelarutan pati ataupun komponen gula sederhana 47

24 yang sesungguhnya juga dapat berperan sebagai perekat. Fenomena demikian sejalan dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh Okuda et al. (2006) Perbedaan sifat fisik dan mekanis papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dengan yang diberi perlakuan perebusan terutama disebabkan oleh perbedaan mekanisme ikatan yang terbentuk. Pada papan partikel yang diberi perlakuan perebusan, partikel yang telah direbus selama 30 menit dibuang airnya kemudian langsung dikempa panas. Dengan proses demikian, maka mekanisme ikatan yang terbentuk diduga lebih didominasi oleh ikatan hidrogen, meskipun degradasi hemiselulosa yang selanjutnya dapat berperan sebagai agen pengikat maupun plastisasi lignin juga dapat berperan dalam pembentukan ikatan. Hal tersebut telah dijelaskan dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Widyorini et al. (2005b & 2005c). Pada penelitian dengan metode injeksi uap panas selama proses kempa panas tersebut disimpulkan bahwa ikatan terutama terbentuk akibat degradasi hemiselulosa, meskipun α selulosa dan lignin juga ikut berperan. Mekanisme yang berbeda terjadi pada papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi. Pada papan partikel tersebut, ikatan terbentuk karena adanya hidroksil radikal yang dihasilkan selama proses oksidasi. Hidroksil radikal yang sangat electrophilic tersebut akan menyerang gugus lignin yang kaya elektron. Reaksi dengan lignin ini akan menghasilkan phenoxy radical, hydroxylasi, dan demethoxylasi (Nguyen 1982). Oleh karena itu, ketika partikel teroksidasi dikempa panas maka akan dapat membentuk ikatan kovalen (Widsten et al 2003, Pantze et al 2008). Ikatan kovalen yang terbentuk ini dapat berupa ikatan silang komponen lignin antar partikel kayu, esterifikasi, ataupun kondensasi lignin dengan furfural. Papan partikel tanpa perekat dengan karakteristik yang cukup baik yang dihasilkan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi menggunakan hidrogen peroksida dan fero sulfat telah berhasil mengaktifkan komponen kimia kayu sehingga dapat berikatan secara langsung pada saat dikempa panas. Fenomena ini juga dapat dilihat dalam hasil pengamatan menggunakan Fourier Tranform Infra Red sebagaimana disajikan pada Gambar

25 Partikel kontrol Partikel teroksidasi Partikel papan Bilangan Gelombang (1 cm -1 ) Gambar 17a Pita serapan FTIR partikel bambu pada berbagai kondisi (biru = partikel tanpa perlakuan; hitam = partikel teroksidasi; merah = papan partikel) Partikel papan Partikel kontrol Partikel teroksidasi Bilangan Gelombang (1 cm -1 ) Gambar 17b Pita serapan FTIR partikel sengon pada berbagai kondisi (biru = partikel tanpa perlakuan; hitam = partikel teroksidasi; merah = papan partikel) Modifikasi komponen kimia yang memungkinkan terbentuknya ikatan antar partikel kayu diindikasikan oleh perubahan puncak-puncak yang mencirikan 49

26 gugus tertentu pada partikel. Dalam penelitian ini, secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas di antara ketiga kondisi partikel yaitu partikel kontrol, partikel teroksidasi, dan papan partikel. Hal ini dapat terjadi karena sesungguhnya tidak ada senyawa baru yang diintroduksi ke dalam partikel ini yang memungkinkan terjadinya perubahan gugus fungsi atau perubahan tipe ikatan. Perubahan-perubahan yang terjadi kebanyakan lebih tampak pada intensitasnya. Pada bambu, tampak bahwa intensitas pita yang terbentuk menjadi lebih kuat, khususnya pada bilangan gelombang cm -1. Menurut Supratman (2010), daerah cm -1 merupakan daerah sidik jari yang cenderung rumit sehingga penentuan gugus fungsi secara spesifik tidak dapat ditarik secara cermat. Hal ini berbeda dengan perubahan intensitas yang terjadi pada kayu sengon, di mana justru terjadi penurunan intensitas pada partikel teroksidasi. Perbedaanperbedaan intensitas ini sejalan dengan karakterisitk papan partikel yang dihasilkan. Sengon yang mengalami peningkatan intensitas yang signifikan pada kondisi partikel teroksidasi memiliki karakteristik papan partikel yang lebih baik. Ditinjau dari perubahan pita serapan pada bilangan gelombang tertentu, maka tampak bahwa pada bambu, perubahan puncak tampak terjadi hanya pada daerah bilangan gelombang Menurut Fengel & Wegener (1995) daerah ini merupakan daerah pita serapan deformasi C-H atau C-O. Pada kayu sengon, perubahan lekukan terjadi pada bilangan gelombang 1250 cm -1 yang menurut khopkar (1990) merupakan daerah serapan senyawa eter. Pada daerah tersebut, partikel kontrol memiliki kemiripan dengan lekukan papan partikel, sementara partikel teroksidasi memiliki lekukan yang berbeda. Selain itu, tampak menyolok bahwa intensitas pada partikel teroksidasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan partikel kontrol maupun papan partikel. Hal ini mengindikasikan bahwa modifikasi terjadi pada kelompok senyawa tersebut. Meskipun demikian puncak pada bilangan gelombang tersebut tetap ada dan hal ini tampaknya disebabkan oleh terjadinya ikatan silang radikal phenoksi (Widsten 2002) yang juga merupakan senyawa eter. Berdasarkan fakta-fakta ini, maka salah satu tipe ikatan yang berperan penting dalam pembentukan ikatan antar partikel pada papan partikel tanpa perekat dari kayu sengon adalah ikatan silang akibat 50

27 adanya penggabungan radikal phenoksi. Selain itu keberadaan puncak pita serapan pada bilangan gelombang cm -1 yang disertai dengan kehadiran puncak pita serapan pada bilangan gelombang cm -1 mengindikasikan bahwa ikatan ester juga terjadi pada papan partikel tersebut. Apabila diamati karakteristik papan partikel secara keseluruhan, maka tampak bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan perlakuan oksidasi memiliki kelebihan terutama dalam hal stabilitas dimensi dan modulus elastisitas. Nilai pengembangan tebal papan tersebut bahkan masih lebih baik dibandingkan dengan papan partikel dari jenis kayu sengon yang direkat dengan waterbased polymer isocyanate 6% (Suhasman et al. 2005; 2006) maupun melamin formaldehida 10% (Suhasman et al. 2008), ataupun papan partikel bambu yang direkat dengan melamin formaldehida (Suhasman et al. 2010). Hal ini merupakan indikator yang sangat baik mengingat selama ini masalah stabilitas dimensi papan partikel merupakan masalah yang sulit diatasi. Terlebih lagi pada papan partikel yang menggunakan bahan baku kayu berkerapatan rendah yang membutuhkan compression rasio di atas 2 seperti halnya sengon. Dilihat dari nilai modulus elastisitasnya, karakteristik papan partikel yang dihasilkan juga sangat menjanjikan karena mampu memenuhi standar. Padahal dalam beberapa penelitian yang menggunakan perekat seperti halnya waterbased polymer isocyanate 6% (Suhasman et al. 2005, 2006) maupun perekat melamin formaldehida (Suhasman et al. 2010a) nilai-nilai MOE-nya tidak memenuhi standar. Fenomena ini merupakan fakta yang menarik, karena dalam penggunaan sehari-hari, perubahan bentuk yang terjadi pada produk-produk papan partikel ketika dikenai beban merupakan salah satu kelemahan mendasar yang membuat produk ini kurang diminati. Mudahnya terjadi perubahan bentuk tersebut merupakan indikasi rendahnya nilai MOE. Tingginya nilai MOE pada papan partikel tanpa perekat dengan perlakuan oksidasi tampaknya berhubungan dengan modifikasi struktur yang terjadi pada komponen kimia khususnya lignin. Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, akan tetapi di sisi lain produk ini memiliki kelemahan dalam hal nilai MOR. Rendahnya nilai MOR ini tampaknya disebabkan oleh terdegradasinya sebagian komponen selulosa maupun hemiselulosa akibat perlakuan oksidasi. Degradasi selulosa maupun hemiselulosa 51

28 membuat kayu menjadi lebih rapuh (Hill 2006). Indikasi terjadinya degradasi selulosa dapat dilihat dari penurunan derajat kristalinitas partikel maupun perubahan tebal dan panjang kristalin sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Dari ketiga komponen utama penyusun kayu (selulosa, hemiselulosa, dan lignin), hemiselulosa dan lignin adalah amorf, sementara selulosa terdiri atas daerah amorf dan kristalin (Andersson et al. 2003). Oleh karena hanya selulosa yang memiliki daerah kristalin, maka penurunan kristalinitas mengindikasikan bahwa komponen selulosa kayu mengalami gangguan akibat perlakuan oksidasi. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kristalinitas partikel bambu dan sengon teroksidasi menurun cukup signifikan dibandingkan dengan kontrolnya. Pada tahap kempa panas, kristalinitas bambu kembali menurun sementara sengon relatif tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bambu, penurunan kristalinitas tidak hanya disebabkan oleh proses oksidasi tetapi juga oleh degradasi termal, sementara pada sengon relatif lebih tahan. Intensitas (cps) Bambu Theta 2 Theta ( ) Intenstas (cps) Sengon Theta 2 Theta ( ) Kontrol Teroksidasi Papan Gambar 8 Difraktogram partikel pada berbagai kondisi 52

29 Meskipun terjadi perubahan derajat kristalinitas, namun strukturnya tidak banyak berubah. Sebagaimana disajikan pada Gambar 18, sudut theta daerah kristalin tetap pada kisaran 22 o. Hal ini berbeda dengan fenomena yang biasa ditemukan pada pembuatan bahan lain, misalnya dalam pembuatan arang aktif dari kayu yang menyebabkan pergeseran sudut theta akibat perubahan struktur kristalin. Dalam konteks penelitian ini, kristalinitas yang teramati tetap merupakan kristalin selulosa meskipun mengalami perubahan dalam intensitasnya. Gambar 18 juga menunjukkan perbedaan kristalinitas yang signifikan pada kedua jenis bahan baku tersebut. Hal ini merupakan indikasi bahwa intensitas oksidasi berlangsung cukup intensif. Tabel 3 Tebal, panjang, dan derajat kristalinitas partikel pada berbagai kondisi Jenis Bahan Kondisi bahan Lebar (nm) Panjang (nm) Kristalinitas (%) Bambu Kontrol Oksidasi Papan Sengon Kontrol Oksidasi Papan Fenomena penurunan nilai juga ditemukan pada panjang kristalin selulosa Kedua jenis bahan baku tersbut mengalami penurunan panjang kristalin dari partikel kontrol ke partikel teroksidasi dan dari partikel teroksidasi ke partikel papan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan panjang kristalin selain disebabkan oleh perlakuan oksidasi, juga dapat disebabkan oleh degradasi termal akibat kempa panas pada suhu 180 C selama 15 menit. Menurut Fengel & Wegener (1995) perubahan yang terjadi akibat degradasi termal sudah dapat berlangsung pada suhu di atas 100 C. Selanjutnya dilihat dari lebar kristalinnya, kedua jenis bahan baku mengalami peningkatan lebar kristalin dari partikel teroksidasi ke partikel papan. Fenomena ini lebih disebabkan oleh aplikasi panas pada proses pengempaan. Menurut Andersson (2006) modifikasi panas dapat menyebabkan peningkatan lebar kristalin selulosa. Dilihat dari angka-angkanya, diketahui bahwa sengon cenderung mengalami lebih banyak perubahan kristalinitas 53

30 dibandingkan dengan pinus. Hal ini berhubungan dengan reaktivitas masingmasing jenis bahan baku. Penurunan derajat kristalinitas yang tinggi pada bambu dan sengon mengindikasikan bahwa hidroksil radikal yang dihasilkan dari hidrogen peroksida dan fero sulfat selain menyerang lignin juga mampu memengaruhi selulosa partikel. Besarnya penurunan derajat kristalinitas sengon dan bambu mengindikasikan bahwa lignin sengon dan bambu cukup reaktif sehingga mudah teroksidasi dan gugus-gugusnya tersubtitusi. Dengan demikian, hanya dibutuhkan bahan oksidator yang lebih sedikit untuk mengaktifkan komponen kimianya. Pada akhirnya sebagian oksidator lain menyerang komponen hemiselulosa ataupun selulosa yang bahkan dapat memengaruhi kritalinitasnya. Indikasi lain dari terdegradasinya selulosa maupun hemiselulosa dapat dilihat dari hasil analisis PyrGC-MS sebagaimana disajikan pada Gambar 19. Salah satu senyawa yang menarik ditinjau dari perubahan intensitas pada berbagai kondisi adalah 1,6-anhydro-beta-d-glucopyranose (levoglucosan). Pada bambu, intensitas senyawa ini naik 3 kali lipat pada partikel teroksidasi dibandingkan dengan kontrol (dari 4,06% menjadi 12,33%), sementara dari partikel teroksidasi ke partikel papan juga meningkat lagi 3 kali lipat (dari 12,33% menjadi 38,78%). Hal yang berbeda ditemukan pada sengon, di mana kadar senyawa tersebut meningkat 20 kali lipat dari partikel kontrol ke partikel teroksidasi (dari 4,81% menjadi 81,24%), akan tetapi menurun kembali 2,6 kali lipat (dari 81,24% menjadi 30,98%). Peningkatan kadar levoglukosan ini diiringi dengan penurunan atau bahkan penghilangan peak pada waktu retensi yang lebih lama yang kemungkinan berasal dari gugus-gugus fungsi lignin-hemiselulosa seperti halnya 2H-1-Benzopyran-7-ol, 3,4-dihydro-5-methoxy-6-methyl-2-phenyl- (CAS) 5- methoxy pada bambu ataupun 3-(2,5-dimethoxy-phenyl)-propionic acid pada sengon. Menurut Fengel & Wegener (1995), levoglucosan merupakan hasil degradasi dari polisakarida. Oleh karena itu, peningkatan senyawa tersebut yang sangat signifikan pada partikel teroksidasi dari kayu sengon mengindikasikan terjadinya proses degradasi komponen karbohidrat. Penurunan kadar levoglukosan pada partikel papan diduga disebabkan oleh terjadinya repolimerisasi dan 54

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT VI. OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT Pendahuluan Penelitian pada tahapan ini didisain untuk mengevaluasi sifat-sifat papan partikel tanpa perekat yang sebelumnya diberi perlakuan oksidasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Papan partikel adalah salah satu jenis produk papan komposit yang dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu, serta mengoptimalkan pemanfaatan bahan

Lebih terperinci

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL IV. PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL Pendahuluan Dalam pembuatan papan partikel, secara umum diketahui bahwa terdapat selenderness rasio (perbandingan antara panjang dan tebal partikel) yang optimal untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 8 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan bahan-bahan berupa tandan kosong sawit (TKS) yang diperoleh dari pabrik kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya,

Lebih terperinci

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij 5 Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 204 di Workshop Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara untuk membuat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari hingga Juni 2009 dengan rincian waktu penelitian terdapat pada Lampiran 3. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 48 4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 4.1 Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kekuatan papan yang dihasilkan masih rendah utamanya nilai MOR

Lebih terperinci

PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN

PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2015. Pembuatan papan dan pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku dan pembuatan papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku, pembuatan dan pengujian sifat fisis papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian sifat mekanis

Lebih terperinci

3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 17 3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 3.1 Pendahuluan Perbedaan jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan papan komposit akan sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan nilai rata-ratanya tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai pengukuran

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung a. Kadar Air Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam

Lebih terperinci

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 77 6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 6.1 Pendahuluan Pengempaan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas papan yang dihasilkan (USDA, 1972). Salah satu hal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Biokomposit dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai Juli 2008. Pembuatan OSB dilakukan di Laboratorium Biokomposit, pembuatan contoh uji di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Mei tahun 2011. Pembuatan serat karbon dari sabut kelapa, karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 9 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pembuatan CLT dengan sambungan perekat yang dilakukan di laboratorium dan bengkel kerja terdiri dari persiapan bahan baku,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan Maret 2015 di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Pulp dan kayu - Cara uji kadar lignin - Metode Klason

Pulp dan kayu - Cara uji kadar lignin - Metode Klason Standar Nasional Indonesia ICS 85.040 Pulp dan kayu - Cara uji kadar lignin - Metode Klason Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Mei 2009, bertempat di Laboratorium Produk Majemuk dan Laboratorium Penggergajian dan Pengerjaan,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2010. Tempat yang dipergunakan untuk penelitian adalah sebagai berikut : untuk pembuatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Papan Partikel 4.1.1 Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan antara massa per volume yang berhubungan dengan distribusi partikel dan perekat dalam contoh

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN 11 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2011 yang bertempat di laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA (%) PLA (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA (%) PLA (%) Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA PLA A1 A2 A3 A4 65 80 95 35 05 Pembuatan PCL/PGA/PLA Metode blending antara PCL, PGA, dan PLA didasarkan pada metode Broz et al. (03) yang disiapkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1. PEMBAHASAN Pengaruh Pencucian, Delignifikasi, dan Aktivasi Ampas tebu mengandung tiga senyawa kimia utama, yaitu selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Menurut Samsuri et al. (2007), ampas tebu mengandung

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang 32 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan tahapan isolasi selulosa dan sintesis CMC di Laboratorium Kimia Organik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas.

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas. 18 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Nama Alat Merek Alat-alat Gelas Pyrex Gelas Ukur Pyrex Neraca Analitis OHaus Termometer Fisher Hot Plate

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai Agustus 2011. Pemotongan kayu dilakukan di Work Shop Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2011 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2011 di 20 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2011 di Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia FMIPA Unila. B. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokompsit Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kekuatan Bahan dan Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 23 MATERI DAN METODE Materi Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di aboratorium Biokomposit, aboratorium Keteknikan Kayu dan aboratorium Kayu Solid, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Juli

Lebih terperinci

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat Bab III Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu isolasi selulosa dari serbuk gergaji kayu dan asetilasi selulosa hasil isolasi dengan variasi waktu. Kemudian selulosa hasil isolasi dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Kadar perekat urea formaldehida (UF) = 12% Ukuran sampel = 25 x

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Kimia, dan Formulasi Tablet Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok. Waktu pelaksanaannya adalah dari bulan Februari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisis Papan Semen 4.1.1. Kadar Air Nilai rata-rata kadar air papan semen sekam hasil pengukuran disajikan pada Gambar 7. 12 Kadar air (%) 9 6 3 0 JIS A5417 1992:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 Juli 2012. Dilaksanakan di Laboratorium Bio Komposit, Laboratorium Rekayasa Departemen Hasil Hutan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial Densifikasi parsial, baik kompresi maupun impregnasi, terbukti dapat meningkatkan sifat-sifat kayu Agatis maupun Mangium. Dari hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4.1 Geometri Strand pada Tabel 1. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran nilai rata-rata geometri strand pada penelitian ini tertera Tabel 1 Nilai rata-rata pengukuran dimensi strand, perhitungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. 9 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pra Perlakuan Pemadatan Terhadap Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan April 2017

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Labaratorium Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisik dan Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah senyawa zeolit dari abu sekam padi.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah senyawa zeolit dari abu sekam padi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah senyawa zeolit dari abu sekam padi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah karakter zeolit

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan Asap Cair Asap cair dari kecubung dibuat dengan teknik pirolisis, yaitu dekomposisi secara kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Akustik Papan Partikel Sengon 4.1.1 Koefisien Absorbsi suara Apabila ada gelombang suara bersumber dari bahan lain mengenai bahan kayu, maka sebagian dari energi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari kulit pisang dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PEMBUATAN PULP BERBAHAN BAKU SABUT KELAPA MUDA (DEGAN) DENGAN PROSES SODA

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PEMBUATAN PULP BERBAHAN BAKU SABUT KELAPA MUDA (DEGAN) DENGAN PROSES SODA PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PEMBUATAN PULP BERBAHAN BAKU SABUT KELAPA MUDA (DEGAN) DENGAN PROSES SODA H.Abdullah Saleh,, Meilina M. D. Pakpahan, Nowra Angelina Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Serbuk Dispersi Padat Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan dihasilkan serbuk putih dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Semakin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan partikel yang diuji meliputi kerapatan, kadar air, daya serap air dan pengembangan tebal. Sifat mekanis papan partikel yang diuji meliputi Modulus of Elasticity

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Produk Majemuk Kelompok Peneliti Pemanfaatan Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian konversi lignoselulosa jerami jagung (corn stover) menjadi 5- hidroksimetil-2-furfural (HMF) dalam media ZnCl 2 dengan co-catalyst zeolit,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging optimal pada sintesis zeolit dari abu sekam padi pada temperatur kamar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Fisher Indicator Universal Hotplate Stirrer Thermilyte Difraktometer Sinar-X Rigaku 600 Miniflex Peralatan Gelas Pyrex

Lebih terperinci

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 17 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel 36 Lampiran 2. Gambar tumbuhan jerami padi ( a ) ( b ) Keterangan : a. Pohon padi b. Jerami padi 37 Lampiran 3. Gambar serbuk, α-selulosa, dan karboksimetil selulosa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Tempurung Kelapa Sawit Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah biomassa yang berbentuk curah yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN B. Tahapan Proses Pembuatan Papan Serat 1. Pembuatan Matras a. Pemotongan serat Serat kenaf memiliki ukuran panjang rata-rata 40-60 cm (Gambar 18), untuk mempermudah proses pembuatan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian ini menjelaskan proses degradasi fotokatalis

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas BAB III METODE PENELITIAN Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas minyak belut yang dihasilkan dari ekstraksi belut, dilakukan penelitian di Laboratorium Riset Kimia Makanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan 27 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Lampung. Uji

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP GMP diperiksa pemerian, titik lebur dan identifikasinya sesuai dengan yang tertera pada monografi bahan di Farmakope Amerika Edisi 30. Hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 SINTESIS SBA-15 Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan material mesopori silika SBA-15 melalui proses sol gel dan surfactant-templating. Tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci