STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS, DERAJAT INFEKSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS, DERAJAT INFEKSI"

Transkripsi

1 STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS, DERAJAT INFEKSI Fasciola gigantica, DAN TINGKAT KERUSAKAN HATI PADA SAPI NATALINA PANJAITAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi adalah karya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2012 Natalina Panjaitan NIM B

3 ABSTRAK NATALINA PANJAITAN. Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan EKOWATI HANDHARYANI. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat infeksi fasciolosis, sensitifitas metode filtrasi-sedimentasi, korelasi jumlah telur Fasciola sp. dalam tinja dengan jumlah cacing Fasciola sp. yang ditemukan dalam hati, dan kerusakan hati. Sebanyak 18 sampel organ hati dan sampel tinja dikumpulkan dari sapi yang dipotong di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah. Pemeriksaan tinja dilakukan dengan menggunakan metode filtrasi-sedimentasi sedangkan pemeriksaan sampel hati dilakukan dengan identifikasi infeksi F.gigantica, skor derajat kerusakan patologi anatomi dan histopatologi. Hasil pemeriksaan tinja dan identifikasi cacing F.gigantica di dalam organ hati diperoleh 6 sapi (33.33 %) terinfeksi F. gigantica. Metode filtrasi-sedimentasi memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100%. Uji korelasi menunjukkan tidak ada korelasi antara jumlah telur dalam feses dengan jumlah cacing yang ditemukan pada hati. Pemeriksaan patologi anatomi hati menunjukkan berbagai tingkat kerusakan antara lain ringan, sedang, dan berat. Jumlah F.gigantica di dalam hati juga tidak memiliki korelasi dengan derajat kerusakan patologi anatomi dan histopatologi hati. Kata kunci: sapi, F.gigantica, tinja, hati

4 ABSTRACT NATALINA PANJAITAN. Case Study of Fasciolosis in Purwodadi Slaughterhouse, Grobogan District-Central Java: Diagnosis, Degree of Infection and Liver Damage in Cattle. Under direction of YUSUF RIDWAN and EKOWATI HANDHARYANI. The research aims were to determine the degree of fasciolosis infection, the sensitivity of filtration-sedimentation method, and correlation between number of eggs in the feces with the number of flukes found in the liver and liver damage. A total of 18 liver and fecal samples were collected from cattle slaughtered at the abattoir of Purwodadi, Grobogan District-Central Java Province. Fecal examination was conducted using filtration-sedimentation method whereas the liver examination was observed to identify the F.gigantica infection, score of hepatic pathology. Results of the study showed 6 cattle (33.33%) had both flukes in the liver and fluke eggs in fecal samples. Filtration-sedimentation method had a sensitivity as high as 100%. Correlation test showed no correlation between the number of eggs in the feces with the number flukes found in the liver. Pathological examinations showed varying degrees of liver damage between mild, moderate, and severe. Number F.gigantica also has no correlation with the degree of liver damage both gross pathology and histopathology of livers. Keyword: cattle, F.gigantica, feces, liver

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

6 STUDI KASUS FASCIOLOSIS DI RPH PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN- JAWA TENGAH: DIAGNOSIS, DERAJAT INFEKSI Fasciola gigantica, DAN TINGKAT KERUSAKAN HATI PADA SAPI NATALINA PANJAITAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

7 Judul Skripsi Nama NIM : Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi. : Natalina Panjaitan : B Disetujui, Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi Pembimbing I Drh. Ekowati Handharyani, MSi, Ph.D Pembimbing II Diketahui, Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kuasa-nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai 2011 dengan judul skripsi Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan studi di Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor agar dapat mencapai gelar Sarjana Kedokteran Hewan. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada: 1. Keluarga tercinta (Bapak, Mama, Ricardo, Novalia, Rivaldo, Rinaldo, Ryan) atas cinta kasih, kesabaran, perhatian, dukungan dan doanya kepada penulis. 2. Bapak Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi dan Ibu Drh. Ekowati Handharyani, MSi, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, MSi selaku dosen moderator dan Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku dosen penilai seminar atas saran dan masukan yang diberikan terhadap makalah dan skripsi penulis. 4. Bapak Dr. Drh. Razak Achmad Hamzah, MS selaku dosen penguji sidang, yang telah memberikan saran yang membangun sehingga skripsi penulis menjadi lebih baik. 5. Ibu Dr. Drh. Elok Budi Retnani, MSi selaku Pembimbing Akademik. 6. Teman-teman PFKH IPB dan PA atas doa dan kerjasamanya kepada penulis selama ini. 7. Teman-teman Gianuzzi FKH 44 dan Novia`ers (Marisa, Regina, Tantri, Tika, Hera, Nova, Patris, Nita Dian, Desma, Septi) yang telah memberikan sejuta kenangan suka duka kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna sehingga penulis terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Natalina Panjaitan

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nagatimbul Kab.Tobasa-SUMUT pada tanggal 19 Desember 1989 dari pasangan Bapak Gr. Jatnen Panjaitan dan Ibu Lastry Maria Pasaribu. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Negeri I Pematang Bandar dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Siborongborong hingga lulus pada tahun Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri I Siborongborong. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis pernah aktif dalam kegiatan eksternal dan internal kampus, yaitu di UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Komisi Pelayanan Anak, anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB serta mengikuti berbagai kepanitiaan di dalam dan di luar kampus. Tugas akhir berupa skripsi dengan judul Studi Kasus Fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah: Diagnosis, Derajat Infeksi Fasciola gigantica, dan Tingkat Kerusakan Hati pada Sapi, berhasil diselesaikan penulis dengan bimbingan dari Bapak Dr. Drh. Yusuf Ridwan, MSi dan Ibu Drh. Ekowati Handharyani, MSi, Ph.D.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR LAMPIRAN... xi xii xiii PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Hati BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian.. 15 Metode Penelitian Pengambilan Sampel Tinja dan Hati.. 15 Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Hati 16 Koleksi dan Penghitungan Jumlah F.gigantica.. 16 Pemeriksaan Sampel Tinja. 17 Pembuatan Preparat Histopatologi. 17 Pengamatan Histopatologi.. 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Organ Hati dan Tinja.. 20 Sensitifitas Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi 23 Pengamatan Patologi Anatomi Organ Hati Pengamatan Histopatologi.. 26 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA. 30 LAMPIRAN

11 xi DAFTAR TABEL Halaman 1 Skoring derajat kerusakan patologi anatomi organ hati 16 2 Skoring derajat kerusakan histopatologi organ hati Jumlah cacing dalam hati dan jumlah telur cacing F. gigantica dalam tinja Hasil pemeriksaan tinja dan cacing dalam hati sapi Derajat kerusakan patologi anatomi hati yang terinfeksi F. gigantica Derajat kerusakan histopatologi hati yang terinfeksi F. gigantica 26

12 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Fasciola gigantica Morfologi Fasciola sp Telur Fasciola sp Siklus hidup Fasciola sp 7 5 Perubahan anatomi hati sapi yang mengalami fasciolosis 9 6 Anatomi hati Sebaran jumlah telur F.gigantica dengan jumlah cacing F.gigantica di dalam hati pada sapi yang terinfeksi Hati sapi yang mengalami fasciolosis tampak bengkak, mengeras, warna menjadi lebih pucat dan fibrosis. Terdapat terowongan jalur migrasi cacing 25 9 Hati sapi yang mengalami fasciolosis terlihat adanya F.gigantica di dalam buluh empedu Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat ringan (+1) Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat sedang (+2) Histopatologi hati sapi yang mengalami kerusakan derajat parah (+3). 28

13 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Korelasi antara jumlah telur F.gigantica dengan jumlah F.gigantica Korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan patologi anatomi Korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan Histopatologi 35

14 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi merupakan salah satu ternak sumber protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia saat ini masih rendah yaitu sekitar 7 kg per kapita per tahun (Ditjennak 2011). Data statistika peternakan menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging (BPS 2011). Oleh karena itu pemerintah melakukan impor sapi potong dan daging beku rata-rata 30 % dari kebutuhan daging nasional. Impor yang dilakukan secara terus menerus dapat mengurangi devisa negara. Untuk itu pemerintah Indonesia mencanangkan swasembada daging sapi pada tahun 2014 (Ditjennak 2011). Pencapaian swasembada daging tahun 2014 dilakukan melalui usaha peningkatan jumlah produksi ternak sapi serta status kesehatan ternak yang optimal. Salah satu usaha untuk menjamin kesehatan hewan dilakukan melalui surveilans dan pengendalian berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi reproduktif dan produktivitas sapi (Ditjennak 2011). Salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi reproduksi dan produktivitas sapi adalah infeksi cacing hati (fasciolosis). Fasciolosis merupakan penyakit endemik ternak di daerah tropis termasuk Indonesia (Ronohardjo et al 1986). Penyakit ini disebabkan oleh cacing trematoda yaitu F.hepatica dan F.gigantica. Fasciolosis yang terjadi di berbagai daerah Indonesia disebabkan oleh infeksi F.gigantica dengan prevalensi sekitar 25 % - 90 % (Spithill et al 1998). Fasciolosis menyebabkan penurunan berat badan, penurunan produksi susu, penurunan daya tahan terhadap infeksi bakteri maupun virus, peningkatan biaya produksi berupa biaya pakan, tenaga kerja, pengobatan, pengafkiran organ hati yang rusak serta kematian (Soulsby 1986). Indonesia mengalami kerugian sekitar juta dolar Australia pada tahun 2004 akibat fasciolosis (Copeman et al 2008). Pengendalian fasciolosis dapat dilakukan melalui program pencegahan dan pengobatan pada ternak. Keberhasilan program pengendalian tergantung pada diagnosa yang dilakukan. Teknik diagnosa yang umum digunakan adalah pemeriksaan tinja dengan metode sedimentasi. Namun metode ini memiliki

15 2 tingkat sensitivitas yang rendah dan dapat menunjukan hasil negatif palsu. Dalam penelitiannya Anderson et al (1999) melaporkan dari 72 ekor sapi yang mengandung cacing Fasciola sp. di dalam hati menunjukkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan tinja sebesar %. Oleh karena itu diperlukan metode pemeriksaan tinja yang lebih sensitif. Saat ini telah dikembangkan metode baru dalam pemeriksaan tinja yaitu metode filtrasi-sedimentasi. Metode ini dikembangkan oleh Danish Bilharziasis Laboratory (DBL) dengan mengkombinasikan antara penyaringan bertingkat, sedimen, dan sentrifugasi (Anh et al 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sensitivitas dan keakuratan metode filtrasi-sedimentasi yang telah dimodifikasi untuk pemeriksaan telur Fasciola sp. dengan membandingkan hasil pemeriksaan tinja dan jumlah cacing Fasciola sp. di dalam organ hati. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk : 1. Mengetahui derajat infeksi dan kerusakan organ hati akibat fasciolosis di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah. 2. Mengetahui tingkat sensitifitas metode modifikasi filtrasi-sedimentasi dan korelasi antara jumlah telur F.gigantica di dalam tinja dengan jumlah F.gigantica yang ditemukan di dalam organ hati. 3. Mengetahui korelasi antara jumlah F.gigantica dengan derajat kerusakan organ hati yang terjadi.

16 3 TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica Fasciola gigantica dikenal dengan cacing hati merupakan parasit dari kelas trematoda yang hidup di dalam buluh empedu sapi, domba, kambing dan mamalia lainnya. Klasifikasi F.gigantica menurut Soulsby (1986) adalah kingdom : Animalia filum : Platyhelminthes kelas : Trematoda sub kelas : Digenea ordo : Echinostomida famili : Fasciolidae genus : Fasciola spesies : Fasciola gigantica Gambar 1 Fasciola gigantica Sumber: Anonim 2011 Secara makroskopis F.gigantica tampak berwarna abu-abu coklat dan memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan F. hepatica. Bentuk tubuh menyerupai daun, pipih dorsoventral, tidak memiliki bentuk bahu yang jelas, tidak bersegmen, dan tidak memiliki rongga badan. Panjang tubuh cacing dewasa mencapai 7.5 cm dan lebar 1.5 cm. Hampir seluruh permukaan tubuh ditutupi dengan duri-duri kecil atau tegumen (Taylor 2007).

17 4 Fasciola sp. memiliki alat penghisap oral (sucker oral) dan alat penghisap ventral (sucker ventral). Alat penghisap oral terletak di ujung anterior dan mengelilingi mulut, sedangkan alat penghisap ventral terletak di sepertiga anterior permukaan ventral tubuh atau sejajar dengan bahu. Sistem pencernaan Fasciola sp. terdiri dari mulut, faring, esofagus dan percabangan sekum yang membentang sampai ujung posterior tubuh. Makanan diperoleh dari sekresi empedu dan menghisap darah induk semang. Metabolisme cacing dewasa berjalan secara anaerob. Sisa metabolisme diekskresikan melalui saluran ekskresi berupa gelembung ekskresi, tabung koleksi, sel-sel api (sel ekskresi) dan lubang ekskresi. Fasciola sp. dilengkapi dengan sistem syaraf yang sederhana. Sistem syaraf cacing dewasa terdiri atas sistem syaraf pusat, otak, serabut syaraf, dan sistem syaraf perifer. Otak cacing dewasa dilengkapi dengan ganglia yang terletak di samping faring. Syaraf yang keluar dari ganglia menginervasi sekitar penghisap oral (sucker oral) dan faring, sedangkan sistem syaraf perifer mengelilingi esofagus kemudian berjalan bilateral pada setiap sisi tubuh menginervasi dinding tubuh, jaringan adhesi, faring dan sistem reproduksi (Fairweather et al 1998). F.gigantica merupakan cacing hermaprodit dan memiliki sistem reproduksi yang sangat kompleks. Sistem reproduksi jantan terdiri atas dua testis, disertai dengan saluran vas eferens yang berjalan ke anterior kemudian bergabung membentuk saluran vas deferens. Saluran vas deferens melebar dan membentuk vesikula seminalis. Di depan vesikula seminalis, vas deferens dikelilingi oleh sel ekskresi yang membentuk kelenjar prostat. Vas deferens ini kemudian diteruskan oleh sebuah sirus berongga yang dapat keluar dari lubang kelamin yang berada di anterior tubuh. Sistem reproduksi betina terdiri atas satu ovarium, oviduk, ootipe, dan uterus. Sel telur yang terbentuk di ovarium diteruskan ke oviduk, kemudian menuju ootipe yang dikelilingi oleh kelenjar Mehlis sebagai kelenjar penghasil kulit telur. Bahan kuning telur dihasilkan oleh kelenjar vitelaria yang tersebar di sekitar lateral batil penghisap ventral (sucker ventral) hingga ke bagian posterior tubuh. Telur yang dihasilkan akan diteruskan melalui uterus yang berkelok-kelok kemudian keluar dari lubang kelamin. Pembuahan cacing ini umumnya terjadi secara silang. Sperma dari satu cacing keluar melewati sirus dan masuk ke uterus cacing lainnya yang telah berisi sel telur (Levine 1990).

18 5 Gambar 2 Morfologi Fasciola sp.. (A) sistim reproduksi dan (B) sistem pencernaan (Andrews 1998). Keterangan: 1. penghisap oral (sucker oral); 2. faring; 3. esofagus; 4. penghisap ventral (sucker ventral); 5. sekum; 6. lubang genital; 7. kantung sirus; 8. vas deferens; 9. ovarium; 10. uterus; 11. ootipe; 12. duktus vitelaria; 13. testis; 14. kelenjar vitelaria Siklus Hidup Fasciola gigantica F.gigantica memiliki siklus hidup secara tidak langsung yaitu memerlukan siput sebagai inang antara. Inang antara F.gigantica adalah siput Lymnaea rubiginosa (Asia Tenggara), Lymnaea auricularia (Amerika, Asia, Pasifik) dan Lymnaea natalensis (Afrika) sedangkan inang antara F.hepatica adalah siput Lymnaea truncatula (Eropa), Lymnaea tomentosa (Australia) dan Lymnaea humilis (Amerika Utara). Perbedaan inang antara ini menyebabkan kasus fasciolosis yang terjadi di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh F.gigantica (Levine 1990). F.gigantica dewasa hidup di dalam buluh empedu inang definitif. Cacing dewasa mulai produksi telur sekitar 8 hingga 10 minggu setelah infeksi (Hutchinson et al 2007). Telur cacing dikeluarkan bersama tinja kemudian berkembang di lingkungan. Telur F.gigantica berbentuk oval dan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan telur F. hepatica. Ukuran telur mencapai x µm. Pada salah satu ujung telur terdapat operkulum yang berfungsi sebagai jalan keluar mirasidium pada saat menetas (Taylor 2007).

19 6 Gambar 3 Telur Fasciola sp. Sumber: Andrews (1998). Telur F.gigantica menetas dalam waktu hari pada suhu lingkungan 28 0 C. Telur menetas mengeluarkan mirasidium. Mirasidium memiliki bentuk mirip segitiga sama sisi, bagian ujung posterior lancip, memiliki sebuah papila di pertengahan ujung anterior, epitel bersilia, dan sepasang bintik mata. Mirasidium bergerak aktif dalam air dan melakukan penetrasi masuk ke dalam siput. Di dalam tubuh siput, mirasidium melepaskan epitelnya kemudian masuk ke hepatopankreas dan berubah menjadi sporokista. Di dalam sporokista terdapat 1-6 bola-bola benih yang akan berkembang menjadi redia. Redia memiliki mulut, faring yang berotot, dan sepasang tonjolan tumpul ke lateral di pertengahan posterior tubuh. Di dalam redia terdapat bola-bola benih yang selanjutnya menetas mengeluarkan larva berupa serkaria. Serkaria memiliki bentuk tubuh agak bulat dengan lekukan pada ujung posterior. Larva ini dilengkapi dengan sebuah alat penghisap anterior di sekeliling mulut, faring berotot, sepasang sekum sederhana, sebuah alat penghisap ventral atau asetabulum, ekor serta terdapat sejumlah kelenjar kistogenosa berwarna gelap dan bergranula terletak di bagian lateral tubuh. Serkaria keluar dari dalam siput (Lymnaea sp) sekitar 3-7 minggu setelah infeksi dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Serkaria aktif berenang dalam air dan menempel pada benda-benda di sekitar permukaan air. Serkaria kemudian melepaskan ekornya dan memproduksi bahan pembungkus kista membentuk metaserkaria (Levine 1990). Metaserkaria dapat bertahan hidup lebih dari 6 bulan pada suhu optimal 20 0 C. Hewan terinfeksi melalui termakannya metaserkaria yang terdapat pada rumput atau batang padi. Metaserkaria yang termakan akan mengalami ekskistasi di dalam duodenum dan berubah menjadi cacing muda. Cacing muda bermigrasi dan menembus dinding usus masuk ke rongga peritoneum dalam waktu 24 jam.

20 7 Sebagian cacing muda sudah menembus kapsula dan bermigrasi dalam parenkim hati sekitar 4-8 hari setelah infeksi. Cacing tinggal di dalam parenkim hati selama 7 minggu kemudian bermigrasi masuk ke dalam buluh empedu untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing F.gigantica dewasa mulai memproduksi telur sekitar 8-10 minggu setelah infeksi (Levine 1990). Gambar 4 Siklus hidup Fasciola sp. Sumber: Bennett 1999 Patogenesis dan Gejala Klinis Fasciolosis Fasciolosis dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis. Fasciolosis akut ditandai dengan adanya infeksi metaserkaria dengan jumlah yang besar dalam jangka pendek. Menurut Mitchell (2007), kasus akut pada umumnya terjadi di akhir musim gugur dan di awal musim dingin sedangkan di daerah tropis biasanya terjadi pada awal musim hujan dan awal musim kemarau. Fasciolosis akut tidak tampak gejala klinis yang jelas, ternak mati mendadak karena perdarahan akibat rusaknya jaringan parenkim hati (Soulsby 1986).

21 8 Fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai musim semi (Mitchell 2007). Pada kasus ini ditemukan cacing dewasa sebanyak ekor di dalam buluh empedu dan telur cacing di dalam tinja kurang dari 100 (Matthews 1999). Kejadian subakut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby 1986). Fasciolosis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing dewasa di dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati. Kejadian ini muncul pada musim dingin dan musim semi (Mitchell 2007) dengan jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja mencapai 100 (Matthews 1999). Fasciolosis kronis ditandai dengan penurunan nafsu makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup dalam buluh empedu (Soulsby 1986). Pada daerah tropis seperti Indonesia kejadian fasciolosis banyak terjadi di awal musim hujan dan di awal musim kemarau. Hal ini terjadi karena pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Kemudian pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering saat curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan penurunan curah hujan. Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (pre hepatik) kemudian sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut

22 9 tampak adanya perdarahan, degenerasi sel hati, peradangan, proliferasi buluh empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh empedu. Pada stadium kronis tampak fokus-fokus radang granuloma, mineralisasi, dan fibrosis (Winarsih et al 1996). Gambar 5 Perubahan anatomi hati sapi yang mengalami fasciolosis. Tanda panah menunjukkan terowongan jalur migrasi F.gigantica. Sumber: Copeman et al 2008 Diagnosa Fasciolosis Diagnosa fasciolosis didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan post-mortem organ hati untuk melihat adanya F.gigantica di dalam buluh empedu. Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur F.gigantica, pemeriksaan enzim hati, pemeriksaan hematologi, uji serologi, dan coproantigen atau pemeriksaan antigen dalam tinja (Mitchell 2003). Metode pemeriksaan tinja yang umum dilakukan untuk mendeteksi telur Fasciola sp adalah metode sedimentasi (Taylor 2007). Metode ini bersifat konvensional dan hanya dapat digunakan untuk infeksi kronis. Telur ditemukan dalam tinja ketika cacing sudah mencapai dewasa dan mulai produksi telur antara 8 sampai 10 minggu setelah infeksi. Metode pemeriksaan tinja memiliki kekurangan karena telur Fasciola sp. diekskresikan dalam waktu yang tidak beraturan dan jumlah telur yang terlalu sedikit dalam tinja akan mempengaruhi hasil diagnosa (Kusumamihardja 1992).

23 10 Pemeriksaan enzim hati dilakukan untuk mengukur level enzim aspartate aminotransfarase (AST), glutamate dehydrogenase (GLDH), dan L-gamma glutamyl transferase (GGT) pada sampel darah. Metode ini dapat mendeteksi adanya infeksi akut pada 2-3 minggu setelah infeksi. Jika level enzim AST lebih dari 60 iu/l, level enzim GLD lebih dari 13 iu/l (sapi) dan 10 iu/l (domba), serta level enzim GGT lebih dari 31 iu/l (domba) maka mengindikasikan adanya cacing dewasa di dalam buluh empedu. Pemeriksaan hematologi berupa deferensial leukosit dilakukan untuk menghitung jumlah sel radang eosinofil. Pemeriksaan ini merupakan indikator awal kemungkinan adanya infeksi cacing Fasciola sp. (Mitchell 2003). Pendekatan alternatif untuk diagnosis fasciolosis adalah dengan uji serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan sensitifitas 91 % dan spesifisitas 88 % (Estuningsih et al 2004). Sedangkan coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam tinja menggunakan Sandwich-ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke 9 setelah infeksi dengan sensitifitas 95 % dan spesifisitas 91 % (Estuningsih et al 2004 Epidemiologi dan Pengendalian Fasciolosis Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh infeksi Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Cacing F.hepatica tersebar luas di daerah beriklim sedang dan dingin sedangkan F.gigantica tersebar di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Kejadian fasciolosis di Indonesia erat hubungannya dengan kegiatan di persawahan. Sumber utama infeksi adalah akibat memakan batang padi atau tumbuhan lainnya yang mengandung metaserkaria. Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tinja ternak ruminansia sebagai pupuk serta pemanfaatan tenaga ternak untuk membajak sawah. Pengendalian fasciolosis yang efektif pada ternak dilakukan dengan cara mengurangi jumlah siput inang antara, pemberian anthelmintika secara periodik, dan manajemen pemeliharaan ternak.

24 11 Populasi siput meningkat pada musim penghujan sehingga populasi harus dikendalikan. Menurut Martindah et al (2005) pengendalian populasi siput dapat dilakukan secara biologis, kimia dan mekanis. Pengendalian secara biologis yaitu dengan memelihara itik/bebek sebagai predator dan itik yang terinfeksi cacing Echinostoma sp. Cacing Echinostoma sp yang menginfeksi itik akan memproduksi telur yang akan keluar bersama tinja itik. Telur Echinostoma sp berkembang di lingkungan, menetas mengeluarkan larva mirasidium sebagai kompetitor mirasidum Fasciola sp. untuk memasuki tubuh siput. Secara alami terjadi juga persaingan antara mirasidium Fasciola sp. dengan mirasidium cacing Haplometra cylindricea (cacing paru-paru pada katak) untuk memasuki tubuh siput (Torgerson et al 1998). Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian molusida pada musim panas seiring dengan awal musim merumput bagi ternak. Molusida yang dipakai diantaranya adalah sodium pentachlorophenenate/ NaPCP, triklosamide, dan copper sulfat. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan pengeringan saluran irigasi dan habitat siput. Pengendalian fasciolosis dapat dilakukan dengan pemberian anthelmintika secara periodik untuk membunuh dan mengeluarkan cacing Fasciola sp. dari dalam tubuh ternak. Pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan pada musim kemarau karena sebagian besar siput sudah mati sehingga sisa telur cacing dalam tinja tidak akan menemukan inang antara bila menetas (Martindah et al 2005). Pengobatan ternak disesuaikan dengan bahan aktif anthelmintika yang digunakan. Anthelmintika yang dapat membasmi semua stadium perkembangan cacing Fasciola sp. diberikan sekali setahun yaitu sekitar 6-8 minggu dari panen padi terakhir. Sedangkan anthelmintika yang hanya mampu membunuh cacing dewasa sebaiknya diberikan dua kali setahun yaitu 6-8 minggu dari panen terakhir dan beberapa minggu sebelum musim penghujan tiba. Beberapa anthelmintika yang dapat digunakan adalah triclabendazole, closantel, nitroxynil, albendazole, oxyclozanide, dan clorsulon. Triclabendazole merupakan anthelmintika yang memiliki efektivitas paling tinggi karena dapat membunuh semua stadium perkembangan Fasciola sp. dalam tubuh inang definitif (Mitchell 2003).

25 12 Kejadian fasciolosis dapat dikurangi dengan penerapan manajemen pemeliharaan ternak yang baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah manajeman pemberian pakan, pengembalaan ternak, serta manajemen penggunaan tinja sebagai pupuk. Menurut Martindah et al (2005), sebaiknya ternak diberikan pakan segar yang tidak terendam dalam air. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongon sekitar 10 cm dari atas permukaan air. Manajemen pengembalaan ternak sebaiknya dilakukan secara rotasi untuk menghindari daerah yang tercemar oleh metaserkaria. Ternak digembalakan di daerah yang tidak berair dan lembab. Menurut Mitchell (2003), penggunaan tinja sebagai pupuk sebaiknya setelah dilakukan dekomposisi supaya telur Fasciola sp. sudah mati. Hati Anatomi Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang berada di dalam rongga perut. Pada ruminansia, hati terletak di bawah diafragma pada bagian atas cavum abdominis dan cenderung terletak di sisi sebelah kanan akibat adanya dorongan dari perut besar (Fradson 1992). Hati difiksasi secara erat oleh beberapa ligamentum yaitu ligamentum coronarium hepatis, ligamentum triangulare dextrum dan sinistrum, ligamentum falciniformis hepatis dan ligamentum hepatorenale yang menghubungkan hati dengan ginjal kanan dan caecum. Pada hati terdapat ligamentum teres hepatis berupa jaringan ikat sisa vena umbilicalis yang berjalan dari pusar ke hati (Ressang 1984). Hati terdiri dari 4 lobus yang terbagi dalam sejumlah lobulus. Lobus hati dibungkus oleh kapsula serosa dan kapsula fibrosa yang memisahkan lobulus satu dengan yang lainnya. Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri hepatika. Vena porta membawa darah yang berasal dari saluran pencernaan dan pankreas. Darah ini mengandung banyak nutrisi yang akan diolah dan diserap oleh hati. Sedangkan arteri hepatika membawa darah yang mengandung banyak oksigen untuk hati. Darah yang keluar dari hati dibawa melalui vena hepatika menuju vena cava caudalis dan dibawa menuju jantung (Mills 2007).

26 13 Gambar 6 Anatomi hati 1.Lobus dexter; 2. Lobus sinister; 3. Lobus caudatus; 4. Lobus quadratus; 5. Vena porta hepatica; 6. Ductus cysticus; 7. Vesica fellea. Sumber: Atlas of Anatomy Veterinary Horse, Ruminant and Carnivorous. Histologi Hati Hati dikelilingi oleh mesotelium berupa kapsula jaringan ikat yang diperluas menjadi glandula dan terbagi menjadi lobus dan lobulus. Lobulus berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0.8 sampai 2 mm. Setiap lobulus terdiri dari berbagai komponen yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Ganong 1995). Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah. Sel- sel ini tersusun secara radial ke arah luar vena sentralis. Diantara baris-baris sel hati yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu yang dibentuk oleh dua atau lebih membran plasma hepatosit yang berbatasan. Empedu disekresikan ke dalam kanalikuli empedu dibawa ke daerah portal (segitiga Kiernan) dan akhirnya meninggalkan hati melalui duktus hepatikus (Dellmann dan Brown 1992). Sinusoid hati merupakan suplai intralobular vaskular berupa ronggarongga di dalam lobus yang alirannya menuju ke vena sentralis. Sinusoid membawa darah dari cabang vena porta dan cabang arteri hepatika. Darah ini bergerak dari perifer lobul menuju ke vena sentralis. Darah arterial mensuplai jaringan ikat hati (stroma) sedangkan darah dari vena portal akan mengalami aksi dari sel-sel parenkim.

27 14 Sinusoid diselaputi oleh sel-sel makrofag yang dikenal dengan nama sel Kupffer. Sel-sel ini merupakan bagian terbesar dari sistem makrofag (retikulo endotelial) yang memiliki fungsi fagositik terhadap benda asing serta merontokkan jaringan, termasuk sel-sel merah yang aus atau rusak di dalam hati. Cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatik, dan saluran empedu yang kecil bergerak bersama di dalam jaringan ikat pada pertautan dari beberapa lobul hati. Pengelompokan pembuluh-pembuluh tersebut disebut trinitas portal atau triad. Pembuluh limfa terdapat di dalam pembungkus jaringan ikat, jaringan ikat interlobular, jaringan ikat disekitar vena porta, dan jaringan ikat di sekitar vena hepatik (Banks 1986).

28 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 bertempat di Laboratorium Helmintologi bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Sebanyak 18 ekor sapi potong di RPH Purwodadi Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2010 diambil sampel tinjanya. Selanjutnya, setelah sapi disembelih diambil organ hatinya untuk dilakukan pemeriksaan. Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan tinja adalah air dan methylen blue. Alat yang digunakan adalah kantung plastik, kertas label, lemari es, timbangan, gelas plastik, sendok, saringan teh dengan ukuran lubang x µm, saringan bertingkat berukuran 45 µm, 100 µm, dan 400 µm, pipet, gelas Baerman, cawan petri, mikroskop cahaya, dan lembar pencatatan. Bahan dan alat yang digunakan dalam pemeriksaan patologi anatomi organ hati adalah NaCl fisiologis, pisau, gunting bedah, pinset anatomis, cawan petri, kertas label, dan kantung plastik. Sementara bahan yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi hati adalah xylene, alkohol 70%, 96%, dan absolut, lithium carbonate, parafin, Mayer Haematoxyline serta Eosin. Alat yang digunakan adalah tissue cassette, automatic tissue processor, cetakan parafin, inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, dan alat tulis. Metode Penelitian Pengambilan Sampel Tinja dan Hati Sampel tinja dikoleksi dari 18 rektum sapi potong. Sampel dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label. Label berisi identitas kode setiap sapi potong, jenis kelamin, dan tanggal pengambilan. Sampel tersebut kemudian

29 16 dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan terhadap adanya telur cacing. Sampel organ hati dikoleksi dari 18 ekor sapi yang sudah disembelih. Masing-masing organ hati diambil kira-kira setebal 5 cm dari lobulus hati. Sampel dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berisi Buffered Neutral Formalin (BNF) 10 % dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Hati Organ hati sapi dipisahkan dari bagian jeroan lainnya, kemudian dilakukan pemeriksaan patologi anatomi (PA). Pemeriksaan PA dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi dan insisi pada setiap organ hati yang dikoleksi. Derajat kerusakan yang terjadi diberi skor berdasarkan Jubb et al (1993), dalam Dumayanti (2003). Kriteria penilaian atau skoring disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Skoring derajat kerusakan patologi anatomi organ hati Skor derajat kerusakan Perubahan patalogi anatomi organ hati 0 (normal) Organ hati utuh dengan susunan normal. +1 (ringan) Pembendungan, pembengkakan, buluh empedu sedikit melebar disertai fibrosis ringan. +2 (sedang) Warna hati pucat, konsistensi keras, pelebaran buluh empedu, disertai fibrosis yang merata. +3 (parah) Warna hati lebih pucat, konsistensi sangat keras, buluh empedu menebal, fibrosis yang cukup parah disertai pengapuran dan kalsifikasi. Koleksi dan Penghitungan Jumlah F.gigantica Setiap organ hati ditempatkan didalam ember kemudian saluran empedu dibuka menggunakan gunting bedah. Semua cacing Fasciola sp. yang terdapat di dalam saluran empedu dan kantung empedu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi larutan NaCl fisiologis dan diberi label. Lobulus hati dipotong kecil-kecil dengan ketebalan kira-kira 1 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis dan secara perlahan-lahan ditekan hingga cacing keluar. Cacing yang ditemukan dikumpulkan menggunakan pinset anatomis lalu dimasukkan ke dalam cawan petri. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah cacing dari masing-masing organ hati. Penghitungan

30 17 dilakukan dengan menghitung bagian anterior cacing. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penghitungan ganda bagian cacing yang terpotong. Pemeriksaan Sampel Tinja Pemeriksaan sampel tinja dilakukan dengan metode modifikasi filtrasisedimentasi. Tinja ditimbang sebanyak 4 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas dan dihomogenkan menggunakan air sebanyak 50 ml, diaduk lalu disaring dengan saringan teh. Penyaringan dilanjutkan dengan menggunakan saringan bertingkat berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Filtrat yang tersaring pada saringan ukuran 45 µm dimasukkan ke dalam gelas Baerman. Selanjutnya ditambahkan air sampai penuh lalu didiamkan selama 10 sampai 15 menit. Kemudian supernatan dibuang sedangkan sedimennya dibiarkan mengendap. Perlakuan ini diulang sampai diperoleh supernatan yang jernih. Sedimen yang terdapat pada dasar gelas Baerman dimasukkan ke dalam cawan petri bergaris dan ditambah methylen blue. Kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali dan 40 kali lalu dihitung jumlah telur cacing F.gigantica yang ditemukan (Willingham et al 1998, dalam Chrisnawaty 2008). Pembuatan Preparat Histopatologi Sampel organ hati difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Setiap sampel dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm. Hasil pemotongan dimasukkan ke dalam tissue cassette dan dilakukan dehidrasi. Proses dehidrasi menggunakan mesin automatic tissue processor dengan merendam sediaan tersebut secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, II, dan III; clearing dengan xylol I, II, dan III; serta infiltrasi oleh parafin. Semua proses dehidrasi berjalan secara otomatis. Setelah didehidrasi, sampel dimasukkan ke dalam alat embedding blok pencetak yang telah berisi parafin cair dan cetakan dibiarkan hingga parafin mengeras. Selanjutnya dilakukan pemotongan jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3 µm. Hasil pemotongan diletakkan di atas permukaan air hangat (± 45 o C) untuk menghilangkan lipatan-lipatan pada potongan. Sediaan

31 18 diangkat dari permukaan air hangat menggunakan gelas objek dan dikeringkan dalam inkubator 60 0 C selama 24 jam. Proses deparafinisasi dilakukan dengan cara memasukkan sediaan ke dalam larutan xylene I, II, dan III masing-masing selama 1 menit. Kemudian sediaan didehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol absolut, 96%,dan 70% masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pewarnaan sediaan menggunakan Hematoksilin-Eosin. Pewarnaan dilakukan dengan merendam sediaan ke dalam Mayer Hematoksilin selama 1 menit, kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium carbonate sebanyak 3 kali celupan. Sediaan dibilas kembali dengan air mengalir dan selanjutnya diwarnai dengan eosin selama 2 menit 30 detik. Kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir selama 30 detik lalu dilakukan dehidrasi dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, dan 96% masing-masing sebanyak 10 kali celupan. Kemudian dicelupkan ke dalam xylene I, II, III, dan IV masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, sediaan dikeringkan dan ditetesi dengan perekat permount dan segera ditutup menggunakan cover glass dan dibiarkan sampai mengering (Aughey et al 2001). Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi organ hati dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 10 kali dan 40 kali lensa objektif. Fokus pengamatan adalah pada daerah portal, vena sentralis, dan sel-sel hepatosit. Parameter yang diamati yaitu perubahan morfologi pembuluh darah arteri, vena, dan buluh empedu, ada tidaknya fibrosis dan sel-sel radang disekitar segitiga portal. Selanjutnya ditentukan derajat kerusakan yang terjadi dengan metode skoring. Menurut Winarsih et al (1996), penilaian atau skoring histopatologi disajikan pada Tabel 2.

32 19 Tabel 2 Skoring derajat kerusakan histopatologi organ hati Skor derajat kerusakan Perubahan histopatologi organ hati 0 (normal) Sel hati utuh, susunan normal dan buluh empedu normal. +1 (ringan) Degenerasi parenkim, perdarahan, infiltrasi sel radang makrofag eosinofil, limfosit, adanya proliferasi buluh empedu dan sedikit fibrosis. +2 (sedang) Degenerasi parenkim, infiltrasi sel radang makrofag, eosinofil, limfosit, adanya proliferasi buluh empedu dan fibrosis. +3 (parah) Degenerasi parenkim, degenerasi lemak, infiltrasi sel radang eosinofil, neutrofil, limfosit dan makrofag, fibrosis yang cukup parah serta mineralisasi. Analisis Data yang diperoleh diolah menggunakan progam SPSS.15 dan dianalisa secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah telur F.gigantica dengan jumlah cacing F.gigantica maka dilakukan pengujian dengan Pearson coefficient. Sedangkan uji Spearman`s rho digunakan untuk mengetahui hubungan antara jumlah cacing F.gigantica dengan derajat kerusakan patologi anatomi dan histopatologi organ hati.

33 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Organ Hati dan Tinja Hasil pemeriksaan organ hati dan tinja terhadap keberadaan cacing F.gigantica dan telurnya dapat dilihat pada Tabel 3. Jumlah cacing F.gigantica yang ditemukan dalam hati sapi sangat bervariasi dari 5 ekor sampai dengan 52 ekor cacing, sedangkan jumlah telur yang ditemukan dalam 4 gram tinja dari setiap sampel adalah sangat sedikit yaitu berkisar antara 1 sampai 4 telur cacing. Tabel 3 Jumlah cacing dalam hati dan jumlah telur cacing F. gigantica dalam tinja Jumlah cacing Jumlah sapi (ekor) Jumlah telur cacing F. gigantica* > *jumlah telur dalam 4 gram tinja Jumlah sapi yang terinfeksi F.gigantica baik berdasarkan pemeriksaan organ hati dan tinja adalah 6 ekor (33,3 %). Menurut Sudardjat (1992) infeksi fasciolosis pada sapi dipengaruhi oleh umur. Penelitian yang dilakukan Anderson et al (1999), menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola pada sapi dengan umur lebih dari 2 tahun lebih tinggi dibanding sapi berumur kurang dari 2 tahun. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa tingkat prevalensi infeksi F.gigantica pada sapi Bali berumur lebih dari 12 bulan lebih tinggi dibanding umur kurang dari 6 bulan dan antara 6 sampai 12 bulan (Sayuti 2007). Dalam penelitian ini tidak difokuskan pengamatan pada umur sapi karena sapi yang disembelih umumnya sudah dewasa dan berumur lebih dari 2 tahun. Selain umur, tingkat infeksi fasciolosis juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan ternak. Sapi yang disembelih di RPH Purwodadi berasal dari Kabupaten Grobogan dan Blora. Disnakkan Kabupaten Grobogan (2011) menyebutkan bahwa sebagian besar sapi potong di Kabupaten Grobogan berasal

34 21 dari peternakan rakyat yang dipelihara secara ekstensif, tradisional, dan dimanfaatkan untuk keperluan pertanian sehingga kemungkinan terinfeksi F.gigantica masih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sadarman et al (2007) yang menyatakan bahwa sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif cenderung terinfeksi Fasciola sp. lebih tinggi dibandingkan sapi yang dipelihara secara intensif. Sapi yang dipelihara secara ekstensif dilepas di padang pengembalaan sehingga memiliki peluang lebih tinggi terpapar oleh metaserkaria. Hasil pemeriksaan organ hati menunjukkan bahwa jumlah F.gigantica yang ditemukan sangat bervariasi. Menurut Martindah et al (2005) jumlah cacing di dalam organ hati dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh inang definitif. Jumlah metaserkaria yang masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi derajat infeksi yang terjadi pada hewan tersebut. Semakin banyak metaserkaria yang tertelan maka semakin banyak cacing yang ditemukan di dalam organ hati. Selain itu, Fairweather et al (1998) menyatakan bahwa kemampuan cacing muda terhindar dari sistem pertahanan induk semang ketika melakukan migrasi juga akan mempengaruhi jumlah cacing di dalam organ hati. Cacing F.gigantica mulai produksi telur ketika sudah mencapai stadium dewasa yaitu 8 hingga 10 minggu setelah infeksi (Hutchinson et al 2007). Cacing F.gigantica dapat memproduksi sekitar telur per hari. Telur yang diproduksi akan dikeluarkan melalui duktus bilirubin menuju duodenum dan akhirnya keluar bersama dengan tinja (Andrews 1998). Hasil pemeriksaan telur dalam 4 gram tinja diperoleh jumlah telur F.gigantica yang sangat sedikit. Sebaran jumlah telur cacing F. gigantica dalam tinja dengan jumlah cacing di dalam hati dapat dilihat pada Gambar 7. Walaupun jumlah cacing di dalam hati sangat bervariasi (min-max 5-52) akan tetapi jumlah telur cacing yang ditemukan dalam tinja umumnya kurang dari 5 telur dalam 4 gram tinja. Uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada korelasi (p>0.05) antara jumlah telur F.gigantica di dalam tinja dengan jumlah F.gigantica yang ditemukan di dalam organ hati. Dengan demikian hasil pemeriksaan telur di dalam tinja tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menduga jumlah cacing di dalam organ hati.

35 22 Gambar 7 Sebaran jumlah telur F. gigantica dengan jumlah cacing F. gigantica di dalam hati pada sapi yang terinfeksi. Tidak adanya korelasi antara jumlah telur F.gigantica di dalam tinja dengan jumlah F.gigantica di dalam organ hati dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang sangat berpengaruh adalah proses pemeriksaan sampel. Menurut Anderson et al (1999) hasil penghitungan telur di dalam tinja dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran sampel yang digunakan dan konsentrasi telur di dalam tinja. Konsentrasi telur dalam tinja tergantung pada volume harian tinja ternak, laju ingesta di dalam usus dan distribusi telur dalam massa tinja. Tinja sapi dengan massa yang banyak dan konsistensi yang lembek menyebabkan distribusi telur tidak beraturan sehingga mempengaruhi hasil pemeriksaan (Kusumamihardja 1992). Konsentrasi telur di dalam tinja juga dipengaruhi oleh perbedaan interval waktu pengeluaran telur pada setiap ternak. Molina (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa telur dapat ditemukan di dalam tinja sekitar 8 minggu setelah infeksi. Konsentrasi telur di dalam tinja akan terus meningkat selama 4 sampai 12 minggu sejak telur pertama kali muncul dalam tinja selanjutnya mengalami penurunan seiring dengan perjalanan infeksi. Diduga infeksi yang terjadi pada sapi dalam penelitian ini sudah berlangsung lama atau kronis sehingga konsentrasi telur di dalam tinja sudah mulai menurun. Selain itu konsentrasi telur di dalam tinja juga dipengaruhi oleh proses pengeluaran telur yang tidak lancar. Telur cacing yang berada dalam buluh empedu keluar menuju duodenum melalui duktus bilirubin dan akhirnya dikeluarkan bersama tinja. Pada beberapa kasus fasciolosis ditemukan kejadian

36 23 obstruksi pada duktus bilirubin akibat migrasi cacing di dalam hati sehingga telur tidak dapat keluar. Menurut Jones et al (2006) sebagian besar telur akan terakumulasi di dalam vesica fellea (kandung empedu). Hal ini tentu mempengaruhi konsentrasi telur di dalam tinja dan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Sensitifitas Metode Modifikasi Filtrasi-Sedimentasi Sensitifitas merupakan proporsi dari individu terinfeksi dalam sampel yang memberikan hasil positif uji. Sensitifitas metode modifikasi filtrasisedimentasi dapat dihitung berdasarkan Tabel 4. Dengan membandingkan proporsi hasil positif pemeriksaan tinja dengan proporsi organ hati yang positif mengandung cacing F.gigantica dewasa maka diperoleh sensitifitas metode modifikasi filtrasi-sedimentasi sebesar 100 %. Tabel 4 Hasil pemeriksaan tinja dan cacing dalam hati sapi Pemeriksaan tinja F.gigantica di dalam hati Cacing (+) Cacing (-) Jumlah Telur (+) Telur (-) Jumlah Metode modifikasi filtrasi-sedimentasi yang digunakan pada penelitian ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan metode sedimentasi yang digunakan pada penelitian lain. Hal ini dilihat dari penelitian Adedokun et al (2008) yang menyatakan bahwa metode sedimentasi yang dipakai untuk pemeriksaan 1000 sampel tinja memiliki sensitifitas 66.5 % (proporsi dibandingkan dengan uji AGPT). Pengamatan Patologi Anatomi Organ Hati Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap 18 sampel organ hati diperoleh 7 organ hati (38.8 %) mengalami kerusakan patologi anatomi dengan derajat kerusakan yang bervariasi. Sebanyak 2 sampel mengalami kerusakan derajat ringan (+1), 3 sampel mengalami kerusakan derajat sedang (+2), dan 2 sampel mengalami kerusakan derajat parah (+3). Sebanyak 6 sampel diantaranya

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica

TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica 3 TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Klasifikasi dan Morfologi Fasciola gigantica Fasciola gigantica dikenal dengan cacing hati merupakan parasit dari kelas trematoda yang hidup di dalam buluh empedu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan April 2010. Sampel diperoleh dari Kepulauan Seribu. Identifikasi cacing parasitik dilakukan di

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada daerah kering dan toleran pada kadar garam yang relatif tinggi, tumbuh liar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN Me&a Veteriner. Vol. I () Kasus Klinik FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN Telah dilakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar yang ada dihutan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I TREMATODA Morfologi umum cacing penyebab : Pipih bilateral, seperti daun Hermaphrodit Tidak bersegmen Saluran pencernaan tdk sempurna Oral & Ventral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, dan dibentuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi hati dilaksanakan di Balai Penyidikan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian Materi penelitian berupa benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) berumur 1, 2, 3, dan 4 bulan hasil kejut panas pada menit ke 25, 27 atau 29 setelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan 1 faktor, yaitu perlakuan limbah cair nata de coco yang terdiri atas 5 variasi kadar dan 1 kontrol

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan Maret-Mei 2013. Pengambilan sampel ikan mas berasal dari ikan hasil budidaya dalam keramba jaring apung

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA

GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA TIM PENELITI : 1. NI WAYAN SUDATRI, S.Si., M.Si, 2. IRIANI SEYAWATI, S.Si.,M.Si. 3.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratoirum. Pengambilan sampel ikan bertempat di DAS Citarum bagian hulu dengan 4 stasiun yang telah ditentukan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley.

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 3.2. Tempat

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember Juni 2002.

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember Juni 2002. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2001 - Juni 2002. Pemeliharaan dan pengamatan pertumbuhan ternak dilakukan di kandang Unggas Fakultas Petemakan

Lebih terperinci

Portal Hypertension. Penyebab

Portal Hypertension. Penyebab Portal Hypertension Portal hypertension adalah peningkatan tekanan darah pada sistem pembuluh darah yang disebut sistem vena porta. Vena yang berasal dari lambung, usus, limpa, dan pankreas bergabung menjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta Hasil penangkapan ikan air tawar dari Kali progo, Yogyakarta diketahui terdapat 7 jenis

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica 14 TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Persiapan telur tetas dan penetasan dilaksanakan di Laboratorium Penetasan Telur, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test-only control group design.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel.

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. LAMPIRAN 30 31 Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. Berat keseluruhan daging buah kepel yang masih basah:440 g, dan setelah dikeringkan diperoleh 60 g serbuk simplisia kering. Jadi rendemen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan 22 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas Lampung untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian BAB III METODE PENELITIAN.. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni sesungguhnya (True Experimental Research) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh asap

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Prosedur Kerja

LAMPIRAN 1. Prosedur Kerja LAMPIRAN 1 Prosedur Kerja Hewan coba yang digunakan adalah mencit Swiss Webster jantan dewasa berusia 10-12 minggu dengan berat badan 25-40 gram sebanyak 25 ekor. Hewan coba diperoleh dari Sekolah Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin

Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin LAMPIRAN 53 54 Lampiran 1. Prosedur Analisis Morfometrik Mikro Ileum Itik Cihateup Menggunakan Metode Paraffin Haemotoksilin Eosin Menurut Muntiha (2001), prosedur analisis hispatologi dan jaringan hewan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design.

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan eksperimental laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan rancangan post

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

BAHAN DAN METODA PENELITIAN 10 BAHAN DAN METODA PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel ikan diambil dari beberapa lokasi yang mewakili perairan Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) yang terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pada ilmu kedokteran bidang forensik dan patologi anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci