BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Perpipaan Dalam kegiatan sehari-hari, transportasi fluida dari satu tempat ke tempat yang lainnya sangat fital bagi kehidupan. Untuk itu, dibentuklah sebuah sistem yang terdiri dari rangkaian pipa-pipa yang bertujuan untuk mendistribusikan fluida tanpa mengalami kebocoran. Sistem perpipaan yang digunakan untuk mendistribusikan fluida dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak yang sangat jauh disebut dengan pipeline. Fungsi dari pipeline sangat beragam meliputi sistem irigasi, drainase, serta distribusi sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam. Terdapat beberapa faktor yang menentukan desain pipeline [2], antara lain. 1. Jenis fluida yang didistribusikan 2. Kondisi operasi 3. Pembebanan 4. Lokasi instalasi 5. Faktor ekonomi Faktor-faktor tersebut kemudian disesuaikan dengan standar yang telah dibuat oleh berbagai lembaga seperti ASME (The American Society of Mechanical Engineering), API (American Petroleum Institute), DnV (Det Norske Veritas), dan berbagai lembaga yang lainnya. Standar tersebut telah mengatur ketentuan-ketentuan desain pipeline agar memenuhi kriteria yang telah ditetapkan untuk mencapai kondisi operasi yang maksimal. Salah satu faktor penting yang menentukan analisis adalah lokasi instalasi. Pipeline menurut lokasi instalasinya dibagi manjadi dua jenis yaitu. 1. Onshore Pipeline Sistem pipeline yang diinstalasi di darat. 2. Offsore Pipeline Sistem pipeline yang diinstalasi di lepas pantai. 5

2 2.2 Resiko (Risk) Resiko (Risk) adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya suatu kejadian dalam suatu jangka waktu tertentu dan konsekuensi, yang secara umum berarti negatif, yang mengiringi kejadian tersebut [3]. Sesuai dengan definisinya, Risk dipengaruhi oleh dua komponen yang secara matematis dapat dituliskan oleh persamaan sebagai berikut. Risk = Probability x Consequence (1.1) Dimana, Probability : Kemungkinan terjadinya suatu kejadian/kegagalan Consequence : Konsekuensi yang terjadi akibat suatu kejadian/kegagalan Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi besarnya risk. Semakin besar nilai Probability dan Consequence dari suatu kejadian maka akan semakin besar pula nilai risk. Kedua komponen dari risk dianalisis secara terpisah karena masing-masing memiliki faktor-faktor pengaruh yang berbeda. Pada pabrik yang tengah beroperasi, terdapat tingkat risk yang berbedabeda bagi tiap peralatan yang terdapat di dalamnya. API 581 BRD dapat menentukan program inspeksi dan perawatan yang dilakukan sesuai dengan tingkat risk pada tiap peralatan. Tujuan dari program tersebut antara lain [3]. 1. Memilah unit operasi di dalam pabrik untuk mengidentifikasi dareah yang memiliki nilai risk yang tinggi 2. Melakukan estimasi nilai risk pada tiap peralatan dengan metodologi yang konsisten 3. Mengutamakan penanganan sesuai dengan nilai risk masing-masing peralatan 4. Merancang program inspeksi yang sesuai 5. Mengatur risk kegagalan peralatan secara sistematis Implementasi standar API 581 BRD dapat menghasilkan hal sebagai berikut. 6

3 1. Pengurangan risk pada fasilitas dan peralatan secara keseluruhan 2. Pemahaman terhadap kondisi risk peralatan Risk dapat dipilah sesuai dengan kondisi yang dimiliki oleh masingmasing peralatan. Inspeksi dan perawatan pada peralatan yang memiliki nilai risk yang rendah akan disesuaikan sehingga tidak terjadi kerugian secara finansial akibat penerapan sistem inspeksi yang tidak efisien. Hal ini juga mengarah kepada berkurangnya jumlah data yang dikumpulkan pada proses inspeksi sehingga proses inspeksi menjadi lebih fokus dan akurat. Namun, meskipun telah menerapkan metoda-metoda analisis yang terdapat pada API 581 BRD, Risk tidak dapat dieliminasi seluruhnya akibat adanya risk yang tidak dipengaruhi oleh analisis tersebut. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar 2.1. risk yang tidak terpengaruh antara lain. 1. Kesalahan manusia 2. Bencana alam 3. Kejadian eksternal 4. Efek dari unit terdekat 5. Sabotase 6. Keterbatasan metoda inspeksi 7. Kesalahan desain 8. Mekanisme degradasi yang tidak diketahui Gambar 2.1 Kurva risk [1] 7

4 Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa terdapat suatu titik dimana nilai risk pada program inspeksi biasa semakin lama menjadi semakin besar akibat adanya over inspection. Over inspection terjadi apabila tidak dilakukan optimalisasi terhadap program inspeksi sehingga inspeksi yang dilakukan cenderung bersifat merusak kepada peralatan itu sendiri karena dilakukan secara berlebihan Jenis Penilaian Risk Metoda penilaian risk menurut API 581 BRD dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu. 1. Pendekatan Kualitatif Pendekatan ini membutuhkan kemampuan penilaian engineering dan pengalaman sebagai dasar penentuan nilai risk. Input berupa rentang dan hasil penilaian Risk berupa tingkatan seperti rendah, sedang, dan tinggi. 2. Pendekatan Kuantitatif Pendekatan ini menggunakan metoda analisis yang seragam terhadap informasi berupa desain, keadaan operasi, ketahanan, serta potensi efek kegagalan terhadap manusia dan lingkungan dengan menggunakan model logika berupa event trees. 3. Pendekatan Semi-Kuantitatif Pendekatan ini merupakan gabungan dari kedua pendekatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Pendekatan ini memiliki keuntungan berupa kecepatan analisis yang merupakan kelebihan dari pendekatan kualitatif dan ketelitian analisis yang merupakan kelebihan dari pendekatan kuantitatif. Hal tersebut dapat dicapai dikarenakan oleh penggunaan kategori risk yang digambarkan pada risk matriks yang dapat dilihat pada gambar 2.2. Pada gambar tersebut, nilai risk semakin tinggi seiring arah anak panah. 8

5 Gambar 2.2 Matriks kategori risk [3] Tiap komponen yang mempengaruhi risk dibagi dalam kategori yang berbeda sesuai dengan tingkatnya. Pembagian kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.. a. Kategori Consequence Kategori Consequence dibagi berdasarkan luas daerah yang dipengaruhi oleh efek kegagalan peralatan. Pembagian kategori dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Kategori Consequence Kategori Rentang (ft 2 ) A < 10 B C D E > b. Kategori Probability Kategori Probability dibagi berdasarkan nilai Technical Module Subfactor (TMSF) yang merupakan angka yang merepresentasikan 9

6 besarnya kemungkinan terjadinya kegagalan pada peralatan. Pembagian kategori dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2 Kategori Probability Kategori Rentang (nilai TMSF) 1 < > Analisis Konsekuensi (Consequence Analysis) Analisis konsekuensi menurut API 581 BRD dilakukan untuk memilahmilah perlengkapan yang ada berdasarkan pengaruh potensi kegagalan. Analisis konsekuensi dapat dilakukan dengan jenis kategori penilaian yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk mencapai hasil analisis yang akurat, umumnya digunakan pendekatan kuantitatif. Metoda analisis konsekuensi secara kuantitatif melibatkan model logika yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut. 1. Jenis proses yang dilakukan oleh peralatan 2. Keadaan fluida di dalam peralatan 3. Sifat-sifat fisik fluida 4. Kondisi operasi peralatan 5. Jumlah massa yang dapat tumpah saat terjadi kebocoran 6. Modus kegagalan dan jumlah tumpahan 7. Fasa tumpahan fluida Unit Yang Diukur Pada Analisis Konsekuensi Berbagai jenis konsekuensi akan lebih baik apabila dijabarkan pada kriteria yang berbeda-beda. Kriteria tersebut harus dapat diperbandingkan agar 10

7 setelah itu dapat dipilah berdasarkan skala prioritas. Berikut adalah unit yang diukur pada analisis konsekuensi berdasarkan API 581 BRD. 1. Keamanan (Safety) Keamanan pada analisis konsekuensi seringkali ditunjukkan oleh angka atau karakteristik kategori konsekuensi yang berkaitan dengan seberapa besar potensi kegagalan suatu peralatan dapat menimbulkan luka-luka bahkan kematian. 2. Biaya (Cost) Besarnya biaya yang dikeluarkan saat terjadinya kegagalan dapat dijadikan indikator seberapa merugikan konsekuensi kegagalan dari suatu peralatan. Biaya yang dikeluarkan dapat berupa biaya penggantian peralatan yang mengalami kegagalan maupun biaya akibat terhentinya produksi akibat terjadinya kegagalan pada peralatan. 3. Daerah yang dipengaruhi oleh konsekuensi (Affected area) Efek dari kegagalan peralatan dapat menimbulkan kerusakan di daerah sekitarnya. Besarnya daerah yang dipengaruhi oleh kegagalan suatu peralatan dapat menggambarkan seberapa besar pengaruh konsekuensi akibat kegagalan dari suatu peralatan. 4. Kerusakan lingkungan (Environmental damage) Kerusakan lingkungan akibat kegagalan peralatan dapat menghabiskan biaya penanggulangan yang tidak sedikit. Biaya tersebut dapat dijadikan ukuran potensi konsekuensi kegagalan peralatan Kalkulasi Konsekuensi Alur kalkulasi konsekuensi pada analisis konsekuensi kegagalan dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan API 581 BRD dapat dilihat pada gambar

8 Gambar 2.3 Alur kalkulasi konsekuensi [4] Menentukan Sifat-Sifat Fluida Seperti yang ditunjukkan pada alur kalkulasi konsekuensi, salah satu langkah yang harus dilakukan untuk memulai analis adalah menentukan sifat-sifat fluida yang ada dalam peralatan. Pada industri migas, sebagaian besar fluida yang mengalir melalui pipeline maupun peralatan tidak berupa material murni. Untuk itu, API 581 BRD telah memodelkan beberapa fluida representatif yang pada 12

9 umumnya mengalir pada pipeline maupun peralatan beserta sifat-sifat fisik yang dibutuhkan dalam analisis konsekuensi. Tabel 2.3 Fluida representatif [4] FLUIDA REPRESENTATIF C 1 -C 2 C 3 -C 4 C 5 C 6 -C 8 C 9 -C 12 C 13 -C 16 C 17 -C 25 C 25+ H 2 H 2 S HF Air Uap air Asam (rendah) Asam (sedang) Asam (tinggi) Senyawa Aromatik Styrene CONTOH MATERIAL YANG DIAPLIKASIKAN Metana, Etana, Etilen, LNG Propana, Butana, Isobutana, LPG Pentana Gasoline (bensin), Naptha, Heptana Diesel, Kerosin Bahan Bakar Jet, Kerosin, Gas Atmosferik Gas Oil, Crude Residu, Heavy Crude Hidrogen Hidrogen Sulfida Hidrogen Florida Air Uap Air Asam Bertekanan Rendah dengan caustic Asam Bertekanan Rendah dengan caustic Asam Bertekanan Rendah dengan caustic Benzena, Toluena, Zylena Styrene 13

10 Fluida Berat Molekul Densitas lb/ft 3 Temperatur Didih Normal 0 F Tabel 2.4 Sifat-sifat fisik fluida representatif [4] Fasa Keadaan Lingkungan Konstanta Cp Gas A Konstanta Cp Gas B Konstanta Cp Gas C Konstanta Cp Gas D Auto Ignition Iemperature 0 F % penguapan dalam 24 jam C 1 -C gas E E E % C 3 -C gas 2, E % C 6 -C cair E E E % C 9 -C cair E E E % C 13 -C cair E E E % C 17 -C cair E E E % C cair E E E % H gas E E E % H 2 S gas E E E % HF gas E E E % Air cair E E-07 n/a 0% Uap air gas E E-07 n/a 0% Asam (rendah) cair E E-09 n/a 0% Asam (sedang) cair E E-09 n/a 0% Asam (tinggi) cair E E-09 n/a 0% Senyawa Aromatik cair E E % Styrene cair E E % 14

11 Untuk fluida campuran, fluida representatif dapat ditentukan oleh Titik Didih Normal (TDN) dan Berat Molekul (BM) lalu setelah itu oleh kerapatannya. Jika ketiga sifat tersebut tidak diketahui, salah satunya dapat diketahui melalui persamaan berikut. Dimana, x i Sifat i Sifat campuran Sifat = x Sifat (2.1) campuran i i : fraksi mol komponen : sifat komponen : sifat campuran yang ingin diketahui Memilih Ukuran Lubang Dalam penerapan analisis konsekuensi berdasarkan API 581 BRD digunakan satu set ukuran lubang kebocoran yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan sifat keterulangan (reproducibility) dan konsistensi pada analisis yang dilakukan serta memudahkan untuk dilakukan oleh perangkat lunak. Tabel berikut menunjukkan rentang ukuran lubang yang digunakan berdasarkan API 581 BRD. Tabel 2.5 Ukuran lubang kebocoran Ukuran Lubang Rentang (in) Nilai Acuan (in) Kecil 0-1/4 1/4 Sedang 1/4-2 1 Besar Pecah > 6 diameter ukuran peralatan sampai maksimum 16-in Pemilihan ukuran lubang dilakukan secara spesifik bagi tiap jenis pralatan. Berikut adalah ukuran lubang yang dipilih berdasarkan jenis peralatan. 1. Pipa 15

12 Pipa menggunakan ukuran lubang yang sesuai dengan tabel Pressure vessel Pressure vessel menggunakan ukuran lubang yang sesuai dengan tabel 2.5. Peralatan-peralatan yang dikelompokkan dalam bejana tekan, yaitu: a. Vessel; bejana tekan standar, seperti KO drum, accumulators, dan reaktor. b. Filter; jenis standar dari filter dan strainer. c. Column; distillation columns, absorber, stripper. d. Heat exchanger shell; sisi shell dari reboiler, condenser, heat exchanger. e. Fin/fan Cooler; penukar panas dengan tipe fin/fan. 3. Pompa Pompa diasumsikan memiliki tiga kemungkinan ukuran lubang yang konsisten dengan data kegagalan peralatan. Ketiga ukuran lubang itu adalah ½-in, 1-in, dan 4-in. Jika ukuran bagian hisap (suction line) kurang dari 4-in maka ukuran lubang terakhir yang mungkin adalah ukuran penuh dari bagian hisap. 4. Kompresor Kompresor torak maupun sentrifugal menggunakan ukuran lubang 1-in dan 4- in. Serupa dengan pompa, jika ukuran bagian isap kurang dari 4-in maka ukuran lubang terakhir yang mungkin adalah ukuran penuh dari bagian hisap. 5. Tangki atmosferik Untuk menentukan ukuran lubang yang mungkin terjadi pada tangki penyimpanan atmosferik diperlukan ukuran lubang khusus. Tanki penyimpanan tersebut biasanya dikelilingi oleh berm yang menyediakan penampung kedua untuk kebocoran. Untuk kemudahan penghitungan digunakan asumsi sebagian tangki adalah berada di atas permukaan tanah, dan waktu yang dibutuhkan untuk deteksi kebocoran bergantung pada metode 16

13 deteksi yang digunakan. Dikarenakan alasan di atas, maka berikut ukuran yang digunakan untuk tangki penyimpan atmosferik: a. ¼ inchi, 1 inchi, dan 4 inchi untuk bagian atas tanah dari tangki. b. Pecah; digunakan pada dinding atau dari lantai tangki. c. ¼ inchi dan 1 inchi digunakan pada lantai dari tangki penyimpan atmosferik Menentukan Massa Total yang Dapat Tumpah Perhitungan konsekuensi berdasarkan API 581 BRD memerlukan batas atas dari jumlah fluida yang dapat tumpah dari sebuah peralatan (inventori). Pada pendekatan kuntitatif, digunakan prosedur sederhana yang dapat menentukan massa fluida yang secara realistis dapat tumpah saat terjadi kebocoran pada peralatan. Estimasi massa yang dapat tumpah menurut prosedur tersebut adalah jumlah yang lebih jumlah yang lebih rendah diantara dua kriteria berikut. 1. Massa fluida yang terdapat dalam peralatan tersebut ditambah banyaknya fluida yang dapat ditambahkan selama tiga menit dengan asumsi laju aliran yang sama dari peralatan tersebut. Ukuran lubang pecah hanya dibatasi pada kebocoran 8-in. 2. Keseluruhan massa fluida yang terdapat dalam peralatan. Jika inventori peralatan pada kondisi operasi normal tidak diketahui, maka dapat diambil asumsi yang ditunjukkan pada tabel

14 Tabel 2.6 Asumsi inventori peralatan Peralatan Persentase volum Liquid/liquid column 50% dari tiap material Tray column (dibagi atas 2) bagian atas 50% uap bagian bawah 50% cairan Knock-out Pots dan Dryers 10% cairan Accumulators dan Drums 50% cairan Separator 50% volum dari tiap material Pompa dan kompresor diabaikan Heat Exchangers 50% sisi shell, 25% sisi tube Furnace 50% cairan/50% uap dalam tube Pipa 100% Menentukan Laju Tumpahan Perhitungan laju tumpahan fluida pada analisis konsekuensi dibagi menurut fasa fluida tersebut. Penjabaran perhitungan bagi tiap fasa adalah sebagai berikut. 1. Laju tumpahan fasa cair Laju fluida yang mengalir melalui lubang yang memiliki kontur tajam dapat dihitung oleh persamaan berikut. Dimana, Q L C d Q L gc = Cd A 2ρ. DP (2.2) 144 : laju pelepasan cairan (lbs/s) : koefisien pelepasan (0,60-0,64), untuk penghitungan dipilih 0,61. A : luas penampang lubang (in 2 ) ρ : densitas fluida (lb/ft 3 ) DP : perbedaan tekanan aliran opeasi dengan tekanan atmosfer (psid) 18

15 g c : faktor konversi dari lb f ke lb m (32,2 lb m -ft/lb f -ft). 2. Laju tumpahan fasa gas Pada tumpahan fasa gas terdapat dua kemungkinan sifat aliran, yaitu aliran subsonik dan sonik. Kedua jenis aliran tersebut dipengaruhi besarnya tekanan transisi. Tekanan transisi dapat dihitung oleh persamaan berikut. k 1 k 1 k + P trans = Pa (2.3) 2 Dimana, P trans : tekanan transisi (Psia) P a : tekanan atmosfer (Psia) k : Cp/Cv C p : kapasitas panas pada tekanan konstan C v : kapasitas panas pada volume konstan Pada kondisi dimana tekanan operasi berada dibawah tekanan transisi maka digunakan persamaan laju aliran subsonik. Jika tekanan operasi berada diatas tekanan transisi maka digunakan persamaan laju aliran sonik. a. Laju aliran subsonik 2 K 1 M g K K c 2K Pa Pa W = g ( subsonik) C d AP 1 (2.4) RT 144 K 1 P P Dimana, W g : laju aliran gas subsonik (lbs/sekon) C d : koefisien pelepasan (untuk gas C d = 0,85-1) A : luas penampang lubang (in 2 ) P : tekanan operasi (Psia) M : berat molekul (lb/lb-mol) 19

16 R : konstanta gas T : temperatur g c P a b. Laju aliran sonik : faktor konversi dari lb f ke lb m (32,2 lb m -ft/lb f -ft) : tekanan atmosferik (Psia) K + 1 K 1 KM g c 2 W g ( sonik) = Cd AP (2.5) RT 144 K + 1 Dimana, W g : laju aliran gas sonik (lbs/sekon) C d : koefisien pelepasan (untuk gas C d = 0,85-1) A : luas penampang lubang (in 2 ) P : tekanan operasi (Psia) M : berat molekul (lb/lb-mol) R : konstanta gas T : temperatur g c : faktor konversi dari lb f ke lb m (32,2 lb m -ft/lb f -ft) Menentukan Jenis Tumpahan Analisis konsekuensi menurut API 581 BRD memodelkan seluruh tumpahan menjadi dua jenis, yaitu. 1. Instan (Instantaneous) Tumpahan instan adalah tumpahan yang terjadi dalam waktu yang cepat sehingga fluida tersebar dalam bentuk awan atau kolam. 2. Kontinu (Continuous) Tumpahan kontinu adalah tumpahan yang terjadi dalam waktu yang relatif lebih lambat. 20

17 Jenis tumpahan dapat ditentukan berdasarkan jumlah massa fluida yang tumpah dalam waktu tiga menit. Alur penentuan jenis tumpahan dapat dilihat pada gambar 2.4. Gambar 2.4 Proses penentuan jenis tumpahan [4] Menentukan Fasa Akhir Tumpahan Karakteristik penyebaran fluida pada saat tumpah dipengaruhi oleh fasa fluida saat berada di lingkungan. Oleh sebab itu, perlu ditentukan fasa akhir fluida saat tumpah ke lingkungan. Petunjuk untuk menentukan fasa akhir tumpahan fluida dapat dilihat pada tabel berikut. Fasa Fluida Saat Kondisi Operasi Tabel 2.7 Penentuan fasa akhir tumpahan fluida [4] Fasa Fluida Pada Lingkungan Penentuan Fasa Fluida untuk Penghitungan Konsekuensi gas gas dimodelkan sebagai gas gas cair dimodelkan sebagai gas cair gas dimodelkan sebagai gas, namun bila temperatur didih fluida lebih tinggi dari 80 o F maka dimodelkan sebagai cair. cair cair dimodelkan sebagai cair 21

18 Respon Pasca Tumpahan Seluruh pebrik pengolahan pada industri migas memiliki berbagai variasi sistem mitigasi yang dirancang untuk melakukan deteksi, isolasi, serta mengurangi efek berbahaya yang diakibatkan oleh tumpahan fluida dalam peralatan. Menurut API 581 BRD, sistem mitigasi konsekuensi diperlakukan dalam dua cara. 1. Sistem yang melakukan deteksi dan isolasi pada kebocoran. 2. Sistem yang diaplikasikan langsung pada material berbahaya yang dapat mengurangi konsekuensi. Sistem deteksi dan isolasi diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan seberapa besar efek sistem mitigasi yang diterapkan terhadap pengurangan konsekuensi. Tabel 2.8 Petunjuk kategori sistem deteksi [4] Jenis Sistem Deteksi Instrumentasi yang mendeteksi kebocoran dengan mendeteksi perubahan tekanan operasi pada sistem Detektor yang ditempatkan secara khusus untuk menentukan keberadaan material diluar peralatan Deteksi visual berupa kamera atau detektor lainnya dengan cakupan yang kecil Klasifikasi Deteksi A B C Tabel 2.9 Petunjuk kategori sistem isolasi [4] Jenis Sistem Isolasi Isolasi atau sistem shutdown yang aktif dengan sendirinya tanpa adanya intervensi operator Isolasi atau sistem shutdown yang diaktifkan oleh operator Isolasi hanya bergantung pada katup yang dijalankan secara manual Klasifikasi Isolasi A B C 22

19 Menggunakan analisis faktor manusia, kategori kualitas deteksi dan isolasi dijabarkan dalam waktu kebocoran. Durasi kebocoran merupakan jumlah dari waktu untuk mendeteksi kebocoran, waktu untuk melakukan analisis pada kejadian dan waktu untuk melakukan tindakan untuk menghentikan kebocoran. Durasi kebocoran menurut kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel Tabel 2.10 Durasi kebocoran berdasarkan klasifikasi deteksi dan isolasi [4] Klasifikasi deteksi A A A B B C Klasifikasi Isolasi A B C A/B C A/B/C Durasi Kebocoran 20 menit untuk 1/4 inchi 10 menit untuk 1 inchi 5 menit untuk 4 inchi 30 menit untuk 1/4 inchi 20 menit untuk 1 inchi 10 menit untuk 4 inchi 40 menit untuk 1/4 inchi 30 menit untuk 1 inchi 20 menit untuk 4 inchi 40 menit untuk 1/4 inchi 30 menit untuk 1 inchi 20 menit untuk 4 inchi 1 jam untuk 1/4 inchi 30 menit untuk 1 inchi 20 menit untuk 4 inchi 1 jam untuk 1/4 inchi 40 menit untuk 1 inchi 20 menit untuk 4 inchi Menentukan Konsekuensi Analisis konsekuensi berdasarkan API 581 BRD membagi konsekuensi yang terjadi akibat tumpahan fluida menjadi empat kategori, yaitu. 1. Konsekuensi Flammable (Flammable Consequences) Konsekuensi flammable terjadi apabila peralatan yang mengandung fluida yang dapat terbakar (flammable) mengalami kebocoran kemudian terkena pembakaran (ignition). Kemungkinan efek flammable yang terjadi antara lain. a. Dispersi aman (safe dispersion) Terjadi apabila fluida tumpah tanpa terkena pembakaran. b. Pancaran api (jet fire) 23

20 Terjadi saat fluida tumpah dengan momentum yang tinggi terkena pembakaran. c. Ledakan awan uap (VCE) Terjadi saat fluida yang tersebar dalam bentuk awan dan mengalami pembakaran. d. Nyala api (flash fire) Terjadi saat fluida tumpah pada tekanan rendah dan mengalami pembakaran. e. Bola api (fireball) Terjadi saat fluida tumpah dalam jumlah yang besar yang tercampur dengan udara sekitar dalam jumlah terbatas mengalami pembakaran. f. Kolam api (pool fire) Terjadi saat fluida tersebar dalam bentuk kolam mengalami pembakaran. API 581 BRD menggunakan logika berupa event tree dalam menentukan efek flammable yang terjadi apabila peralatan mengalami kebocoran dan fluida inventory mengalami pembakaran yang diperlihatkan pada gambar

21 Pelepasan Instan Nyala api di akhir VCE Flash fire Nyala api di awal Fireball Fasa akhir gas Di atas Auto Ignition Temperature Fireball Tanpa penyalaan Safe dispersion Fasa akhir cair Penyalaan Pool fire Tanpa penyalaan Safe dispersion Pelepasan Kontinu Nyala api di akhir VCE Flash fire Nyala api di awal Jet fire Fasa akhir gas Di atas Auto Ignition Temperature Jet fire Tanpa penyalaan Safe dispersion Fasa akhir cair Penyalaan Pool fire Jet fire Tanpa penyalaan Safe dispersion Gambar 2.5 Efek flammable event tree [4] API 581 BRD mengukur konsekuensi dalam bentuk luas daerah yang dipengaruhi bila tumpahan terkena pembakaran. Berikut adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung luas daerah yang dipengaruhi oleh efek flammable. 25

22 b A = ax (2.6) Dimana, A : luas daerah yang dipengaruhi oleh efek flammable (ft 2 ) x : laju aliran fluida ke lingkungan (lb/s) atau total massa yang dilepaskan ke lingkungan, (lb) a,b : konstanta untuk masing-masing material Persamaan tersebut didapat dari pengujian yang dilakukan pada kelompok fluida representatif yang dilakukan melalui program process hazard analysis [4] yaitu pendekatan secara sistematik untuk melakukan identifikasi, evaluasi, serta kontrol terhadap potensi hazard untuk mendapatkan daerah konsekuensi untuk semua kemungkinan efek flammable. Hasil analisis tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk tabel yang memuat berbagai persamaan luas daerah kerusakan peralatan dan daerah kematian yang dipengaruhi oleh efek flammable yang bervariasi pada jenis tumpahan dan fasa akhir tumpahan fluida. 26

23 Tabel 2.11 Persamaan area pelepasan kontinu dengan kemungkinan tidak terjadi Auto Ignition [4] Material Area Kerusakan (ft 2 ) Fasa Akhir Gas Area kematian (ft 2 ) Fasa Akhir Liquid Area Kerusakan (ft 2 ) Area Kematian (ft 2 ) C 1 -C 2 A = 43 x 0.98 A = 110 x 0.96 C 3 -C 5 A = 49 x 0.98 A = 125 x 0.96 C 5 A = 25.2 x 0.98 A = 62.1 x 1.00 A = 536 x 0.90 A = 1544 x 0.90 C 6 -C 8 A = 29 x 0.98 A = 68 x 0.96 A = 182 x 0.89 A = 516 x 0.89 C 9 -C 12 A = 12 x 0.98 A = 29 x 0.96 A = 130 x 0.90 A = 373 x 0.89 C 13 -C 16 A = 64 x 0.90 A = 183 x 0.89 C 17 -C 25 A = 20 x 0.90 A = 57 x 0.89 C 25+ A = 11 x 0.91 A = 33 x 0.89 H 2 A = 198 x A = 614 x H 2 S A = 32 x 1.00 A = 52 x 1.00 HF Senyawa Aromatik A = 121,39 x A = 359 x Styrene A = 121,39 x A = 359 x x = laju aliran flida (lb/s) Tabel 2.12 Persamaan area pelepasan instan dengan kemungkinan tidak terjadi Auto Ignition [4] Material Area Kerusakan (ft 2 ) Fasa Akhir Gas Area kematian (ft 2 ) Fasa Akhir Liquid Area Kerusakan (ft 2 ) Area Kematian (ft 2 ) C 1 -C 2 A = 41 x 0.67 A = 79 x 0.67 C 3 -C 5 A = 28 x 0.72 A = 57,7 x 0.75 C 5 A = 13.4 x 0.73 A = 20,4 x 0.76 A = 1,49 x 0.85 A = 4,34 x 0.85 C 6 -C 8 A = 14 x 0.67 A = 26 x 0.67 A = 4,35 x 0.78 A = 12,7 x 0.78 C 9 -C 12 A = 7,1 x 0.66 A = 13 x 0.66 A = 3,3 x 0.76 A = 9,5 x 0.76 C 13 -C 16 A = 0,46 x 0.88 A = 1,3 x 0.88 C 17 -C 25 A = 0,11 x 0.91 A = 0,32 x 0.91 C 25+ A = 0,03 x 0.99 A = 0,081 x 0.99 H 2 A = 545 x A = 982 x H 2 S A = 148 x 0.63 A = 271 x 0.63 HF Senyawa Aromatik A = 2,26 x A = 10,5 x Styrene A = 2,26 x A = 10,5 x x = total massa yang dilepaskan (lb) 27

24 Tabel 2.13 Persamaan area pelepasan kontinu dengan kemungkinan terjadi Auto Ignition [4] Material Area Kerusakan (ft 2 ) Fasa Akhir Gas Area kematian (ft 2 ) Fasa Akhir Liquid Area Kerusakan (ft 2 ) Area Kematian (ft 2 ) C 1 -C 2 A = 280 x 0.95 A = 745 x 0.92 C 3 -C 5 A = 315 x 1.00 A = 837 x 0.92 C 5 A = 304 x 1.00 A = 811 x 1.00 C 6 -C 8 A = 313 x 1.00 A = 828 x 1.00 A = 525 x 0.95 A = 1315 x 0.92 C 9 -C 12 A = 391 x 0.95 A = 981 x 0.92 A = 560 x 0.95 A = 1401 x 0.92 C 13 -C 16 A = 1023 x 0.92 A = 2850 x 0.90 C 17 -C 25 A = 861 x 0.92 A = 2420 x 0.90 C 25+ A = 544 x 0.90 A = 1604 x 0.90 H 2 A = 1146 x 1.00 A = 3072 x 1.00 H 2 S A = 203 x 0.89 A = 375 x 0.94 HF Senyawa Aromatik Styrene x = laju aliran flida (lb/s) *) Digunakan bila temperatur operasi berada 80º F di atas temperatur Auto Ignition Tabel 2.14 Persamaan area pelepasan instan dengan kemungkinan terjadi Auto Ignition [4] Fasa Akhir Gas Fasa Akhir Liquid Material Area Kerusakan (ft 2 ) Area kematian (ft 2 ) Area Kerusakan (ft 2 ) Area Kematian (ft 2 ) C 1 -C 2 A = 1079 x 0.62 A = 3100 x 0.63 C 3 -C 5 A = 523 x 0.63 A = 1768 x 0.63 C 5 A = 275 x 0.61 A = 959 x 0.63 C 6 -C 8 A = 76 x 0.61 A = 962 x 0.63 C 9 -C 12 A = 281 x 0.61 A = 988 x 0.63 A = 6.0 x 0.53 A = 20 x 0.54 C 13 -C 16 A = 9.2 x 0.88 A = 26 x 0.88 C 17 -C 25 A = 5.6 x 0.91 A = 16 x 0.91 C 25+ A = 1.4 x 0.99 A = 4.1 x 0.99 H 2 A = 1430 x A = 4193 x H 2 S A = 357 x 0.61 A = 1253 x 0.63 HF Senyawa Aromatik Styrene x = total massa yang dilepaskan (lb) *) Digunakan bila temperatur operasi berada 80º F di atas temperatur Auto Ignition. 28

25 Sistem deteksi, isolasi dan mitigasi yang diterapkan pada peralatan dapat mengurangi efek flammable yang terjadi sehingga perlu dilakukan penyesuaian berdasarkan klasifikasi sistem deteksi, isolasi dan mitigasi. API 581 BRD telah menentukan seberapa besar penyesuaian yang diterapkan pada konsekuensi yang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.15 Penyesuaian konsekuensi [4] Peringkat sistem respon Klasifikasi Klasifikasi Penyesuaian konsekuensi Deteksi Isolasi A A Pengurangan laju aliran massa dan total massa 25% B B Pengurangan laju aliran massa dan total massa 20% A atau B C Pengurangan laju aliran massa dan total massa 10% B B Pengurangan laju aliran massa dan total massa 15% C C Tidak ada penyesuaian Sistem mitigasi Penyesuaian konsekuensi Inventory blowdown yang digabung dengan sistem penutupan Pengurangan laju aliran massa dan total massa 25% peringkat B atau lebih Fire water deluge system dengan monitor Pengurangan area consequence 20% Fire water monitor Pengurangan area consequence 5% Foam spray sistem Pengurangan area consequence 15% 2. Konsekuensi Racun (Toxic Consequences) Zat beracun yang terdapat pada fluida yang mengalir pada pipeline dapat menimbulkan efek negatif saat pipeline mengalami kebocoran. Hidrogen fluorida (HF), ammonia, dan klorin merupakan contoh dari fluida tersebut. Lain halnya dengan hidrogen sulfida(h 2 S) yang meupakan zat beracun sekaligus mudah terbakar. Standar API 581 BRD telah memperhitungkan setiap kemungkinan tersebut. Beberapa material yang dievaluasi menyangkut resiko keracunan, yaitu : 29

26 a. Hidrogen florida (HF) Kadar HF minimum dalam fluida sebagai batas perhitungan efek racun HF adalah sebesar 30 ppm. Konsekuensi pada pelepasan HF adalah berupa luas area akibat keracunan. Luas area tersebut dapat dimodelkan ke dalam grafik pelepasan secara kontinu dan secara instan yang terdapat pada Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 Gambar 2.6 Grafik konsekuensi HF jenis tumpahan kontinu [4] 30

27 Gambar 2.7 Grafik konsekuensi HF dan H 2 S jenis tumpahan instan [4] b. Hidrogen sulfida (H 2 S) Kadar H 2 S minimum dalam fluida sebagai batas perhitungan efek racun H 2 S adalah sebesar 300 ppm. Pelepasan H 2 S ke udara menghasilkan pembentukan awan uap beracun secara cepat. Zat H 2 S selain sebagai zat beracun juga sebagai zat yang dapat terbakar. Sama halnya dengan HF yang terdispersi dalam bentuk awan uap beracun, maka luas area beracun akibat pelepasan fluida ke lingkungan dapat dilihat dari laju aliran massa H 2 S untuk pelepasan fluida secara kontinu atau total massa H 2 S untuk pelepasan fluida secara instan. Luas area beracun untuk pelepasan kontinu H 2 S dapat ditunjukkan pada Gambar 2.8, sedangkan pelepasan secara instan dapat ditunjukkan pada Gambar

28 Gambar 2.8 Grafik konsekuensi H 2 S jenis tumpahan kontinu [4] c. Model ammonia (NH 3 ) dan klorin (Cl) Kadar ammonia minimum dalam fluida sebagai batas perhitungan efek racun ammonia adalah sebesar 300 ppm. Luas area yang terkena efek racun sesuai dengan persentase massa ammonia dalam fluida terhadap laju aliran massa fluida. Kadar Cl minimum dalam fluida sebagai batas perhitungan efek racun Cl adalah sebesar 30 ppm. Hubungan antara laju aliran massa tumpahan dengan luas area konsekuensi dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut. A b = cx (2.6) Dimana, A : Luas area konsekuensi racun x : Laju aliran massa tumpahan b dan c adalah konstanta yang berbeda nilainya bagi tiap zat. 32

29 Untuk jenis tumpahan kontinu harga konstanta dapat dilihat pada tabel Sedangkan untuk jenis tumpahan instan, keduaa zat tersebut mengikuti persamaan berikut. A A = 14.97x untuk klorin (2.7) = 14.17x untuk ammonia (2.8) Besar luas area konsekuensi ammonia pada jenis tumpahan kontinu ke lingkungan dapat didekati dengan grafik pada Gambar 2.9 sedangkan untuk jenis tumpahan instan ditunjukkan oleh grafik pada Gambar Luas area konsekuensi klorin akibat jenis tumpahan kontinu dapat ditunjukkan pada Gambar 2.11, sedangkan untuk jenis tumpahan instan dapat ditunjukkkan dengan Gambar Gambar 2.9 Grafik konsekuensi ammonia jenis tumpahan kontinu [4] 33

30 Gambar 2.10 Grafik konsekuensi ammonia jenis tumpahan instan [4] Gambar 2.11 Grafik konsekuensi klorin jenis tumpahan kontinu [4] 34

31 Gambar 2.12 Grafik konsekuensi klorin jenis tumpahan instan [4] Tabel 2.16 Konstanta b dan c untuk tiap zat racun pada jenis lepasan kontinu Zat Kimia Durasi Pelepasan c b Klorin 60 menit 30 menit 10 menit 46,563 27,711 15, Ammonia 60 menit 30 menit 10 menit 11,049 7,852 2, Konsekuensi Lingkungan (Environmental Consequences) Kerusakan lingkungan akibat dari kebocoran alat penampung fluida pada analisis konsekuensi secara kuantitatif adalah berupa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan fluida yang tumpah ke lingkungan. Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam analisis konsekuensi lingkungan. a. Fasa akhir tumpahan Jika fasa akhir tumpahan berupa gas maka analisis konsekuensi lingkungan tidak perlu dilakukan. b. Kondisi auto-ignition 35

32 Jika fluida kemungkinan besar mengalami auto-ignition makan analisis konsekuensi lingkungan tidak perlu dilakukan karena kemungkinan besar fluida itu akan terbakar dengan sendirinya. c. Titik Didih Normal (TDN) Jika TDN lebih rendah daripada 200 o F maka analisis konsekuensi lingkungan tidak perlu dilakukan karena kemungkinan besar fluida telah menguap. Pada analisis ini digunakan kriteria yang dikembangkan oleh organisasi Environmental Protection Agency (EPA) yang disebut dengan metoda Basic Oil Spill Cost Estimation Model (BOSCEM) [5]. Metoda ini menghitung konsekuensi environmental dengan memperhitungkan tiga faktor yang dapat memperngaruhi biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan akibat tumpahan fluida yang terdapat pada pipeline. Berikut adalah penjelasan tentang ketiga faktor tesebut. a. Faktor Respon Tumpahan Faktor respon tumpahan dipengaruhi lokasi dimana tumpahan terjadi. Biaya yang dikeluarkan dapat dihitung oleh persamaan berikut. Biaya respon tumpahan = Biaya respon/gallon x konstanta lokasi x volume tumpahan (2.9) Biaya respon per gallon dapat dilihat pada tabel 2.17 sedangkan konstanta lokasi dapat dilihat pada tabel

33 Tabel 2.17 Biaya respon tumpahan per gallon [5] Range Volume Tumpahan (gallon) Biaya Respon (US$/gallon) < > Tabel 2.18 Konstanta lokasi [5] Lokasi Konstanta Lokasi Air 1 Tanah/Pasir 0.6 Bebatuan 0.5 Rawa 1.6 Lumpur 1.4 Padang Rumput 0.7 Hutan 0.8 Taiga 0.9 Tundra 1.3 b. Faktor Kerusakan Sosioekonomik Faktor kerusakan sosioekonomik dipengaruhi oleh pengaruh tumpahan yang terjadi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi lingkungan sekitar daerah tumpahan. Biaya yang dikeluarkan dapat dihitung oleh persamaan berikut. Biaya respon tumpahan = Biaya kerusakan sosioekonomik/gallon x konstanta sosioekonomik x volume tumpahan (2.10) Pada analisis ini, konstanta sosioekonomik ditetapkan sebesar 0,7. Biaya kerusakan sosioekonomik per gallon dapat dilihat pada tabel

34 Tabel 2.19 Biaya kerusakan sosioekonomik per gallon [5] Range Volume Tumpahan (gallon) Biaya Kerusakan Sosioekonomik (US$/gallon) < > c. Faktor Kerusakan Lingkungan Faktor kerusakan lingkungan dipengaruhi oleh pengaruh tumpahan yang terjadi terhadap kehidupan satwa liar dan air bersih di sekitar tumpahan. Biaya yang dikeluarkan dapat dihitung oleh persamaan berikut. Biaya respon tumpahan = Biaya kerusakan lingkungan /gallon x 0,5 (konstanta freshwater + konstanta wildlife)x volume tumpahan (2.11) Pada analisis ini, konstanta freshwater ditetapkan sebesar 0,5 sedangkan konstanta wildlife ditetapkan sebesar 1,9. Biaya kerusakan sosioekonomik per gallon dapat dilihat pada tabel

35 Tabel 2.20 Biaya kerusakan lingkungan per gallon [5] Range Volume Tumpahan (gallon) Biaya Kerusakan LIngkungan (US$/gallon) < > Konsekuensi Interupsi Bisnis (Business Interruption Consequences) Efek dari tumpahan fluida flammable dapat menimbulkan kerugian pada perusahaan. Biaya kerugian tersebut berasal dari beberapa sektor. a. Biaya untuk mengganti peralatan yang mengalami kerusakan. Terdapat pembagian biaya untuk mengganti peralatan yang mengalami kerusakan berdasarkan jenis peralatan dan material peralatan tersebut. Pembagian tersebut dapat dilihat pada tabel 2.21 dan

36 Tipe Pompa1 Tabel 2.21 Biaya kerusakan peralatan berdasarkan tingkat kegagalan [4] Keterangan Biaya ukuran lubang kecil Biaya ukuran lubang medium Biaya ukuran lubang besar Biaya pecah centrifugal pump, single seal $1,000 $2,500 $5,000 $5,000 centrifugal pump,double seal $1,000 $2,500 $5,000 $5,000 Pompa 2 Column BTM column $10,000 $25,000 $50,000 $100,000 Column top column $10,000 $25,000 $50,000 $100,000 Comp C Compresor, centrifugal $10,000 $20,000 $100,000 $300,000 Comp R Compressor,reciprocating $5,000 $10,000 $50,000 $100,000 Filter Filter $1,000 $2,000 $4,000 $10,000 Finfan Fin/fan coolers $1,000 $2,000 $20,000 $40,000 Exchanger Heat exchanger,shell $1,000 $2,000 $20,000 $60,000 Pipe-0.75 Pipe-1 Pipe-2 Pipe-4 Pipe-6 Pipe-8 Pipe-10 Pipe-12 Pipe-16 Piping,0.75" diameter, per feet $5 $0 $0 $10 Piping, 1", diameter, per feet $5 $0 $0 $20 Piping, 2", diameter, per feet $5 $0 $0 $40 Piping, 4", diameter, per feet $5 $10 $0 $60 Piping, 6", diameter, per feet $5 $20 $0 $120 Piping, 8", diameter, per feet $5 $30 $60 $180 Piping, 10", diameter, per feet $5 $40 $80 $240 Piping, 12", diameter, per feet $5 $60 $120 $360 Piping, 16", diameter, per feet $5 $80 $160 $500 Piping, >16", diameter, per feet $10 $120 $240 $700 pipe->16 Drum Pressure vessels $5,000 $12,000 $20,000 $40,000 Reactor Reactor $10,000 $24,000 $40,000 $80,000 PumpR Reciprocating pumps $1,000 $2,500 $5,000 $10,000 Tank Heater Atmospheric Storage tank $40,000 $40,000 $40,000 $80,000 Furnace tubes for Fired Heater $1,000 $10,000 $30,000 $60,000 40

37 Tabel 2.22 Cost factor untuk berbagai material [4] Material Cost factor Carbon steel 1 1 1/4 Cr 1/2 Mo /4 Cr 1/2 Mo Cr 1/2 Mo Cr 1/2 Mo 2 Clad 304 SS Cr 1/2 Mo SS SS SS 3.2 Clad 316 SS 3.3 CS "Saran" lined 3.4 CS rubber lined SS 4.8 CS Glass lined 5.8 Clad Alloy /10 Cu/Ni 6.8 Clad Alloy CS "Teflon" lined 7.8 Clad nickel 8 Alloy /30 Cu/Ni L 8.8 Alloy Alloy Alloy Nickel 18 Alloy Titanium 28 Alloy "C" 29 Zirconium 34 Alloy "B" 36 Tantalum 535 b. Biaya kerusakan peralatan di sekitar area konsekuensi flammable. Efek flammable yang terjadi menimbulkan kerusakan pada peralatan di sekitarnya. Biaya rata-rata menurut metodologi API 581 BRD adalah $550/ft 2. 41

38 c. Biaya kerugian akibat penghentian kegiatan produksi. Kegiatan produksi dapat mengalami gangguan bahkan sampai terhenti apabila peralatan maupun pipeline mengalami kerusakan. Tentunya jumlah pemasukan pada saat proses produksi terhenti akan hilang. Jumlah pemasukan yang hilang tersebut adalah biaya kerugian akibat penghentian kegiatan produksi. Tiap peralatan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap proses produksi sehingga kegagalan yang terjadi pada satu peralatan akan berbeda pengaruhnya dengan peralatan yang lain. Tabel 2.23 menunjukkan waktu penghentian kegiatan produksi untuk tiap perlatan yang mengalami kerusakan. 42

39 Tabel 2.23 Waktu pengehentian proses produksi untuk berbagai jenis peralatan [4] Tipe Outage time ukuran lubang kecil Outage time ukuran lubang medium Outage time ukuran lubang besar Outage time pecah Pompa Pompa Column BTM Column top Comp C Comp R Filter Finfan Exchanger Pipe Pipe Pipe Pipe Pipe Pipe Pipe Pipe Pipe pipe-> Drum Reactor Pump R Tank Heater

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN Seluruh jenis konsekuensi kegagalan dicari nilainya melalui perhitungan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Salah satu input

Lebih terperinci

ANALISIS KONSEKUENSI KEGAGALAN SECARA KUANTITATIF PADA ONSHORE PIPELINE BERDASARKAN API 581 BRD. I Wayan Diptagama

ANALISIS KONSEKUENSI KEGAGALAN SECARA KUANTITATIF PADA ONSHORE PIPELINE BERDASARKAN API 581 BRD. I Wayan Diptagama ANALISIS KONSEKUENSI KEGAGALAN SECARA KUANTITATIF PADA ONSHORE PIPELINE BERDASARKAN API 581 BRD TUGAS SARJANA Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Oleh I Wayan Diptagama

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Analisis Risk (Resiko) dan Risk Assessment Risk (resiko) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai contoh apabila seseorang ingin melakukan suatu kegiatan

Lebih terperinci

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 Analisa Resiko pada Reducer Pipeline Akibat Internal Corrosion dengan Metode RBI (Risk Based Inspection) Oleh: Zulfikar A. H. Lubis 4305 100

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengurangi dan mengendalikan resiko maka dalam penelitian ini tentunya salah satu bagian utamanya

Lebih terperinci

Analisa Konsekuensi. Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat :

Analisa Konsekuensi. Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat : Metodologi Metodologi Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat : Berat molekular : 100 Berat jenis ( lb/ft3) : 42.7 Titik didih normal ( NBP ) (f)

Lebih terperinci

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Aga Audi Permana 1*, Eko Julianto 2, Adi Wirawan Husodo 3 1 Program Studi

Lebih terperinci

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum K3 KEBAKARAN Pelatihan AK3 Umum Kebakaran Hotel di Kelapa Gading 7 Agustus 2016 K3 PENANGGULANGAN KEBAKARAN FENOMENA DAN TEORI API SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN FENOMENA & TEORI API Apakah...? Suatu proses

Lebih terperinci

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-89 Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator Moamar Al Qathafi dan

Lebih terperinci

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline JURNAL TEKNIK ITS Vol., No. (Sept. 0) ISSN: 30-97 G-80 Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline Wahyu Abdullah, Daniel M. Rosyid, dan Wahyudi Citrosiswoyo Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES 34 BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES 3.1. Tangki Tangki Bahan Baku (T-01) Tangki Produk (T-02) Menyimpan kebutuhan Menyimpan Produk Isobutylene selama 30 hari. Methacrolein selama 15 hari. Spherical

Lebih terperinci

BAB III PROSES PEMBAKARAN

BAB III PROSES PEMBAKARAN 37 BAB III PROSES PEMBAKARAN Dalam pengoperasian boiler, prestasi yang diharapkan adalah efesiensi boiler tersebut yang dinyatakan dengan perbandingan antara kalor yang diterima air / uap air terhadap

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD)

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD) BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Analisa Klasifikasi Awal 4.1.1 Analisa Ruang Lingkup RBI Berdasarkan ruang lingkup yang telah ditentukan di awal bahwa penelitian ini akan dilaksanakan pada suatu stasiun pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga Pada bab ini dianalisis pengaruh dari variasi parameter kondisi pipeline terhadap kategori resiko pipeline. Dengan berbagai macam parameter

Lebih terperinci

BAB III SPESIFIKASI ALAT PROSES

BAB III SPESIFIKASI ALAT PROSES BAB III SPESIFIKASI ALAT PROSES Alat proses pabrik isopropil alkohol terdiri dari tangki penyimpanan produk, reaktor, separator, menara distilasi, serta beberapa alat pendukung seperti kompresor, heat

Lebih terperinci

V. SPESIFIKASI ALAT. Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan

V. SPESIFIKASI ALAT. Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan V. SPESIFIKASI ALAT Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan pabrik furfuril alkohol dari hidrogenasi furfural. Berikut tabel spesifikasi alat-alat yang digunakan.

Lebih terperinci

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( )

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( ) SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI Arif Rahman H (4305 100 064) Dosen Pembimbing : 1. Ir. Hasan Ikhwani, M.Sc 2. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D Materi

Lebih terperinci

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI)

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-356 Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB III PERANCANGAN PROSES BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1 Uraian Proses 3.1.1 Persiapan Bahan Baku Proses pembuatan Acrylonitrile menggunakan bahan baku Ethylene Cyanohidrin dengan katalis alumina. Ethylene Cyanohidrin pada T-01

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada jaman sekarang minyak masih menjadi kebutuhan bahan bakar yang utama bagi manusia. Minyak sangat penting untuk menggerakkan kehidupan dan roda perekonomian.

Lebih terperinci

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak Bagus Indrajaya, Daniel M. Rosyid, dan Hasan Ikhwani Jurusan Teknik Kelautan,

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB III PERANCANGAN PROSES BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1. Uraian Proses Reaksi pembentukan C8H4O3 (phthalic anhydride) adalah reaksi heterogen fase gas dengan katalis padat, dimana terjadi reaksi oksidasi C8H10 (o-xylene) oleh

Lebih terperinci

Proses Desain dan Perancangan Bejana Tekan Jenis Torispherical Head Cylindrical Vessel di PT. Asia Karsa Indah.

Proses Desain dan Perancangan Bejana Tekan Jenis Torispherical Head Cylindrical Vessel di PT. Asia Karsa Indah. Proses Desain dan Perancangan Bejana Tekan Jenis Torispherical Head Cylindrical Vessel di PT. Asia Karsa Indah. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, telah diciptakan suatu alat yang bisa menampung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan gas bumi di Indonesia adalah sangat penting mengingat hasil pengolahan gas bumi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, industri maupun transportasi.

Lebih terperinci

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM BAB IV ANALISIS 4.1 INDENTIFIKASI SISTEM. 4.1.1 Identifikasi Pipa Pipa gas merupakan pipa baja API 5L Grade B Schedule 40. Pipa jenis ini merupakan pipa baja dengan kadar karbon maksimal 0,28 % [15]. Pipa

Lebih terperinci

LAPORAN SKRIPSI ANALISA DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA CAMPURAN GAS CH 4 -CO 2 DIDALAM DOUBLE PIPE HEAT EXCHANGER DENGAN METODE CONTROLLED FREEZE OUT-AREA

LAPORAN SKRIPSI ANALISA DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA CAMPURAN GAS CH 4 -CO 2 DIDALAM DOUBLE PIPE HEAT EXCHANGER DENGAN METODE CONTROLLED FREEZE OUT-AREA LAPORAN SKRIPSI ANALISA DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA CAMPURAN GAS CH 4 -CO 2 DIDALAM DOUBLE PIPE HEAT EXCHANGER DENGAN METODE CONTROLLED FREEZE OUT-AREA Disusun oleh : 1. Fatma Yunita Hasyim (2308 100 044)

Lebih terperinci

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring)

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 G-218 Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) Dwi Angga Septianto, Daniel M. Rosyid, dan Wisnu Wardhana

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN RESIKO

BAB III PERHITUNGAN RESIKO BAB III PERHITUNGAN RESIKO 3.1. Diagram Alir Perhitungan Risiko Perhitungan dilakukan pada pipa Kurau dan Separator V-201 dengan perhitungan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1 dimana data masukan berupa

Lebih terperinci

BAB V SPESIFIKASI ALAT PROSES

BAB V SPESIFIKASI ALAT PROSES BAB V SPESIFIKASI ALAT PROSES A. Peralatan Proses 1. Reaktor ( R-201 ) : Mereaksikan 8964,13 kg/jam Asam adipat dengan 10446,49 kg/jam Amoniak menjadi 6303,2584 kg/jam Adiponitril. : Reaktor fixed bed

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Separator minyak dan pipa-pipa pendukungnya memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses pengilangan minyak. Separator berfungsi memisahkan zat-zat termasuk

Lebih terperinci

Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas

Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas 4.1 Platform Hang Tuah Studi kasus di dalam tugas sarjana ini diambil dari platform Hang Tuah milik Conoco-Phillips.

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB III PERANCANGAN PROSES BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1. Uraian Proses Proses pembuatan natrium nitrat dengan menggunakan bahan baku natrium klorida dan asam nitrat telah peroleh dari dengan cara studi pustaka dan melalui pertimbangan

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP. 2411 105 002 Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP. 1971070219988021001 LATAR BELAKANG Kegagalan dalam pengoperasian yang berdampak pada lingkungan sekitar Pengoperasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber energi yang membutuhkan proses hingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu bahan bakar fosil yaitu minyak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi dan stripper adalah alat yang digunakan untuk memisahkan satu komponen atau lebih dari campurannya menggunakan prinsip perbedaan kelarutan. Solut adalah komponen

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya BAB II DASAR TEORI 2.1 Hot and Cool Water Dispenser Hot and cool water dispenser merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondisikan temperatur air minum baik dingin maupun panas. Sumber airnya berasal

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas hasil optimasi sumur gas dan hasil simulasi hysys

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas hasil optimasi sumur gas dan hasil simulasi hysys BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas hasil optimasi sumur gas dan hasil simulasi hysys 4.1 HASIL OPTIMASI SUMUR GAS Optimasi sumur gas yang dilakukan dimulai dari pengumpulan data sumur gas

Lebih terperinci

proses oksidasi Butana fase gas, dibagi dalam tigatahap, yaitu :

proses oksidasi Butana fase gas, dibagi dalam tigatahap, yaitu : (pra (Perancangan (PabnHjhjmia 14 JlnhiridMaleat dari(butana dan Vdara 'Kapasitas 40.000 Ton/Tahun ====:^=^=============^==== BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1 Uraian Proses 3.1.1 Langkah Proses Pada proses

Lebih terperinci

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 27 BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 4.1 Pemilihan Sistem Pemanasan Air Terdapat beberapa alternatif sistem pemanasan air yang dapat dilakukan, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab 2.2.1 mengenai

Lebih terperinci

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI III. 1 DATA DESAIN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah merupakan data dari sebuah offshore platform yang terletak pada perairan Laut Jawa, di utara Propinsi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN Setiap melakukan penelitian dan pengujian harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang ditujukan agar hasil penelitian dan pengujian tersebut sesuai dengan standar yang ada. Caranya

Lebih terperinci

PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA

PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA BAB V PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA V.I Pendahuluan Pengetahuan proses dibutuhkan untuk memahami perilaku proses agar segala permasalahan proses yang terjadi dapat ditangani dan diselesaikan

Lebih terperinci

atm dengan menggunakan steam dengan suhu K sebagai pemanas.

atm dengan menggunakan steam dengan suhu K sebagai pemanas. Pra (Rancangan PabrikjEthanoldan Ethylene danflir ' BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1 Uraian Proses 3.1.1 Langkah proses Pada proses pembuatan etanol dari etilen yang merupakan proses hidrasi etilen fase

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korosi merupakan salah satu masalah utama dalam dunia industri. Tentunya karena korosi menyebabkan kegagalan pada material yang berujung pada kerusakan pada peralatan

Lebih terperinci

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN III.1 DATA III.1.1 Pipeline and Instrument Diagram (P&ID) Untuk menggambarkan letak dari probe dan coupon yang akan ditempatkan maka dibutuhkan suatu gambar teknik yang menggambarkan

Lebih terperinci

ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU

ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU Jurnal Riset dan Teknologi Kelautan (JRTK) Volume 14, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU Zulkifli A. Yusuf Dosen Program Studi Teknik Sistem

Lebih terperinci

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN III.1.

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pipa penyalur (pipeline) merupakan sarana yang banyak digunakan untuk mentransmisikan fluida pada industri minyak dan gas (migas). Penggunaannya cukup beragam, antara

Lebih terperinci

SKRIPSI PURBADI PUTRANTO DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 OLEH

SKRIPSI PURBADI PUTRANTO DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 OLEH PENILAIAN KELAYAKAN PAKAI (FFS ASSESSMENTS) DENGAN METODE REMAINING WALL THICKNESS PADA PIPING SYSTEM DI FLOW SECTION DAN COMPRESSION SECTION FASILITAS PRODUKSI LEPAS PANTAI M2 SKRIPSI OLEH PURBADI PUTRANTO

Lebih terperinci

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi Istilah minyak bumi diterjemahkan dari bahasa latin (petroleum), artinya petrol (batuan) dan oleum (minyak). Nama petroleum diberikan kepada fosil hewan dan tumbuhan

Lebih terperinci

PLANT 2 - GAS DEHYDRATION AND MERCURY REMOVAL

PLANT 2 - GAS DEHYDRATION AND MERCURY REMOVAL PROSES PENGOLAHAN GAS ALAM CAIR (Liquifed Natural Gas) Gas alam cair atau LNG adalah gas alam (metana terutama, CH4) yang telah diubah sementara untuk bentuk cair untuk kemudahan penyimpanan atau transportasi.

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PROSES

BAB II DESKRIPSI PROSES 16 BAB II DESRIPSI PROSES II.1. Spesifikasi Bahan Baku dan Produk II.1.1. Spesifikasi Bahan Baku Nama Bahan Tabel II.1. Spesifikasi Bahan Baku Propilen (PT Chandra Asri Petrochemical Tbk) Air Proses (PT

Lebih terperinci

FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD

FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD Fazri Apip Jurusan Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Kebumian

Lebih terperinci

Gambar 4.21 Grafik nomor pengujian vs volume penguapan prototipe alternatif rancangan 1

Gambar 4.21 Grafik nomor pengujian vs volume penguapan prototipe alternatif rancangan 1 efisiensi sistem menurun seiring dengan kenaikan debit penguapan. Maka, dari grafik tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem akan bekerja lebih baik pada debit operasi yang rendah. Gambar 4.20 Grafik

Lebih terperinci

Penggunaan sistem Pneumatik antara lain sebagai berikut :

Penggunaan sistem Pneumatik antara lain sebagai berikut : SISTEM PNEUMATIK SISTEM PNEUMATIK Pneumatik berasal dari bahasa Yunani yang berarti udara atau angin. Semua sistem yang menggunakan tenaga yang disimpan dalam bentuk udara yang dimampatkan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian terhadap aliran campuran air crude oil yang mengalir pada pipa pengecilan mendadak ini dilakukan di Laboratorium Thermofluid Jurusan Teknik Mesin. 3.1 Diagram Alir

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Gas alam adalah bahan bakar fosil berbentuk gas, dengan komponen utamanya adalah metana (CH 4 ) yang merupakan molekul hidrokarbon rantai terpendek dan teringan.

Lebih terperinci

BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG

BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG Sistem pipeline yang dipilih sebagai studi kasus adalah sistem pipeline yang terdapat di daerah Porong, Siodarjo, Jawa Timur yang lokasinya berdekatan dengan daerah

Lebih terperinci

Penggunaan sistem Pneumatik antara lain sebagai berikut :

Penggunaan sistem Pneumatik antara lain sebagai berikut : SISTEM PNEUMATIK SISTEM PNEUMATIK Pneumatik berasal dari bahasa Yunani yang berarti udara atau angin. Semua sistem yang menggunakan tenaga yang disimpan dalam bentuk udara yang dimampatkan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Baku Mutu Air Limbah. Migas. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Baku Mutu Air Limbah. Migas. Panas Bumi. No.582, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Baku Mutu Air Limbah. Migas. Panas Bumi. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG

Lebih terperinci

REFRIGERAN & PELUMAS. Catatan Kuliah: Disiapakan Oleh; Ridwan

REFRIGERAN & PELUMAS. Catatan Kuliah: Disiapakan Oleh; Ridwan REFRIGERAN & PELUMAS Persyaratan Refrigeran Persyaratan refrigeran (zat pendingin) untuk unit refrigerasi adalah sebagai berikut : 1. Tekanan penguapannya harus cukup tinggi. Sebaiknya refrigeran memiliki

Lebih terperinci

BAB II PRINSIP-PRINSIP DASAR HIDRAULIK

BAB II PRINSIP-PRINSIP DASAR HIDRAULIK BAB II PRINSIP-PRINSIP DASAR HIDRAULIK Dalam ilmu hidraulik berlaku hukum-hukum dalam hidrostatik dan hidrodinamik, termasuk untuk sistem hidraulik. Dimana untuk kendaraan forklift ini hidraulik berperan

Lebih terperinci

PRARANCANGAN PABRIK AMMONIUM NITRAT PROSES STENGEL KAPASITAS TON / TAHUN

PRARANCANGAN PABRIK AMMONIUM NITRAT PROSES STENGEL KAPASITAS TON / TAHUN EXECUTIVE SUMMARY TUGAS PERANCANGAN PABRIK KIMIA PRARANCANGAN PABRIK AMMONIUM NITRAT PROSES STENGEL KAPASITAS 60.000 TON / TAHUN MAULIDA ZAKIA TRISNA CENINGSIH Oleh: L2C008079 L2C008110 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Di susun oleh : Nama : Rostati Sumarto( ) Wulan Kelas : A Judul : Sour water stripper

Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Di susun oleh : Nama : Rostati Sumarto( ) Wulan Kelas : A Judul : Sour water stripper Teknologi Minyak dan Gas Bumi Di susun oleh : Nama : Rostati Sumarto(1500020074) Wulan Kelas : A Judul : Sour water stripper Proses Sour Water Stripping di Pabrik Minyak di Indonesia Balongan Cilacap Kilang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut. BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi adalah suatu proses penarikan kalor dari suatu ruang/benda ke ruang/benda yang lain untuk menurunkan temperaturnya. Kalor adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sistem pemanas dengan prinsip perpindahan panas konveksi, konduksi dan radiasi adalah teknologi yang umum kita jumpai dalam kehidupan seharihari, baik alat pemanas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II-1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tetradecene Senyawa tetradecene merupakan suatu cairan yang tidak berwarna yang diperoleh melalui proses cracking senyawa asam palmitat. Senyawa ini bereaksi dengan oksidan

Lebih terperinci

PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR

PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR P3 PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR II P3 PIPELINE STRESS ANALYSIS ON THE ONSHORE DESIGN

Lebih terperinci

BAB II DISKRIPSI PROSES. 2.1 Spesifikasi Bahan Baku, Bahan Pendukung dan Produk. Isobutanol 0,1% mol

BAB II DISKRIPSI PROSES. 2.1 Spesifikasi Bahan Baku, Bahan Pendukung dan Produk. Isobutanol 0,1% mol BAB II DISKRIPSI PROSES 2.1 Spesifikasi Bahan Baku, Bahan Pendukung dan Produk 2.1.1. Spesifikasi bahan baku tert-butyl alkohol (TBA) Wujud Warna Kemurnian Impuritas : cair : jernih : 99,5% mol : H 2 O

Lebih terperinci

125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI 125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI NO NOMOR SNI J U D U L KETERANGAN 1. SNI 07-0728-1989 Pipa-pipa baja pengujian tekanan tinggi untuk saluran pada industri minyak dan

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB III PERANCANGAN PROSES BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1. Uraian Proses Larutan benzene sebanyak 1.257,019 kg/jam pada kondisi 30 o C, 1 atm dari tangki penyimpan (T-01) dipompakan untuk dicampur dengan arus recycle dari menara

Lebih terperinci

BAB III PERBAIKAN ALAT

BAB III PERBAIKAN ALAT L e = Kapasitas kalor spesifik laten[j/kg] m = Massa zat [kg] [3] 2.7.3 Kalor Sensibel Tingkat panas atau intensitas panas dapat diukur ketika panas tersebut merubah temperatur dari suatu subtansi. Perubahan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pada dasarnya Boiler adalah suatu wadah yang berfungsi sebagai pemanas air, panas pembakaran dialirkan ke air sampai terbentuk air panas atau steam. Steam pada tekanan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan Pirolisis Bahan yang di gunakan dalam pirolisis ini adalah kantong plastik es bening yang masuk dalam kategori LDPE (Low Density Polyethylene). Polietilena (PE)

Lebih terperinci

2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api SUBSTANSI MATERI

2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api SUBSTANSI MATERI 2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api Modul Diklat Basic PKP-PK 2.1 Pengertian tentang api 2.1.1 Reaksi terjadinya api Api merupakan hasil peristiwa/reaksi kimia antara bahan bakar, oksigen dan sumber panas/sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gas alam adalah bahan bakar fosil bentuk gas yang sebagian besar terdiri dari metana (CH4). Pada umumnya tempat penghasil gas alam berlokasi jauh dari daerah dimana

Lebih terperinci

LAMPIRAN A NERACA MASSA

LAMPIRAN A NERACA MASSA LAMPIRAN A NERACA MASSA Kapasitas produksi = 70 ton/tahun 1 tahun operasi = 00 hari = 70 jam 1 hari operasi = 4 jam Basis perhitungan = 1 jam operasi Kapasitas produksi dalam 1 jam opersi = 70 ton tahun

Lebih terperinci

Tugas Akhir (MO )

Tugas Akhir (MO ) Company Logo Tugas Akhir (MO 091336) Aplikasi Metode Pipeline Integrity Management System pada Pipa Bawah Laut Maxi Yoel Renda 4306.100.019 Dosen Pembimbing : 1. Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D. 2. Ir.

Lebih terperinci

Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya

Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya Analisis Risiko Kebocoran Gas pada Sistem Perpipaan Recycle Gas Hydrofinishing Plant dengan Menggunakan Metode Quantitative Risk Analysis (QRA) (Studi Kasus : Perusahaan Produksi Pelumas) Afra Anindyta

Lebih terperinci

BAB IV UNIT PENDUKUNG PROSES DAN LABORATORIUM

BAB IV UNIT PENDUKUNG PROSES DAN LABORATORIUM BAB IV UNIT PENDUKUNG PROSES DAN LABORATORIUM Unit pendukung proses (utilitas) merupakan bagian penting penunjang proses produksi. Utilitas yang tersedia di pabrik metil tersier butil eter adalah unit

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Polistirena dengan Proses Polimerisasi Suspensi Kapasitas Ton/Tahun BAB III SPESIFIKASI ALAT

Prarancangan Pabrik Polistirena dengan Proses Polimerisasi Suspensi Kapasitas Ton/Tahun BAB III SPESIFIKASI ALAT BAB III SPESIFIKASI ALAT 1. Tangki Penyimpanan Spesifikasi Tangki Stirena Tangki Air Tangki Asam Klorida Kode T-01 T-02 T-03 Menyimpan Menyimpan air Menyimpan bahan baku stirena monomer proses untuk 15

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis History

BAB V ANALISIS BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis History BAB V ANALISIS 5.1 Analisis History Seperti telah diuraikan di Bab III bahwa hasil perkiraan tingkat risiko yang dijadikan dasar untuk membuat Corrosion Mapping disandingkan dengan data historis yang dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA 3.1 Metode Pengujian 3.1.1 Pengujian Dual Fuel Proses pembakaran di dalam ruang silinder pada motor diesel menggunakan sistem injeksi langsung.

Lebih terperinci

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES 3.1. Furnace : F : Tempat terjadinya reaksi cracking ethylene dichloride menjadi vinyl chloride dan HCl : Two chamber Fire box : 1 buah Kondisi Operasi - Suhu ( o C)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Sistem refrigerasi kompresi uap paling umum digunakan di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa industri dapat ditemukan aplikasi sains yakni merubah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa industri dapat ditemukan aplikasi sains yakni merubah suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dalam beberapa industri dapat ditemukan aplikasi sains yakni merubah suatu material dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya baik secara kimia maupun secara

Lebih terperinci

25. Neraca panas pada Vaporizer (VP-101) Neraca panas pada Separator Drum (SD-101) Neraca energi pada Kompresor (K-101)

25. Neraca panas pada Vaporizer (VP-101) Neraca panas pada Separator Drum (SD-101) Neraca energi pada Kompresor (K-101) DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Daftar Harga Bahan Baku dan Produk... 3 2. Data Impor MEK ke Indonesia... 4 3. Perbandingan Proses Pembuatan MEK... 8 4. Sifat Fisik Komponen... 14 5. Entalpi komponen pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENGAMATAN & ANALISA

BAB IV HASIL PENGAMATAN & ANALISA BAB IV HASIL PENGAMATAN & ANALISA 4.1. Spesifikasi Main Engine KRI Rencong memiliki dua buah main engine merk Caterpillar di bagian port dan starboard, masing-masing memiliki daya sebesar 1450 HP. Main

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang

Lebih terperinci

PRA RANCANGAN PABRIK PEMBUATAN GLUKOSA DARI TEPUNG SAGU DENGAN KAPASITAS 2000 TON/TAHUN TUGAS AKHIR. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana

PRA RANCANGAN PABRIK PEMBUATAN GLUKOSA DARI TEPUNG SAGU DENGAN KAPASITAS 2000 TON/TAHUN TUGAS AKHIR. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana PRA RANCANGAN PABRIK PEMBUATAN GLUKOSA DARI TEPUNG SAGU DENGAN KAPASITAS 2000 TON/TAHUN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Oleh IQBAL FAUZA 080425020 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

Lebih terperinci

BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus

BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus BAB V Pengujian dan Analisis Mesin Turbojet Olympus Pada bab ini akan dibahas mengenai pengujian serta analisis hasil pengujian yang dilakukan. Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil pengujian terhadap

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PROSES

BAB III PERANCANGAN PROSES BAB III PERANCANGAN PROSES 3.1. Uraian Proses Pabrik Fosgen ini diproduksi dengan kapasitas 30.000 ton/tahun dari bahan baku karbon monoksida dan klorin yang akan beroperasi selama 24 jam perhari dalam

Lebih terperinci

BAB III SPESIFIKASI ALAT

BAB III SPESIFIKASI ALAT digilib.uns.ac.id 47 BAB III PROSES 3.1. Alat Utama Tabel 3.1 Spesifikasi Reaktor Kode R-01 Mereaksikan asam oleat dan n-butanol menjadi n-butil Oleat dengan katalis asam sulfat Reaktor alir tangki berpengaduk

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY TUGAS PERANCANGAN PABRIK KIMIA

EXECUTIVE SUMMARY TUGAS PERANCANGAN PABRIK KIMIA EXECUTIVE SUMMARY TUGAS PERANCANGAN PABRIK KIMIA PRARANCANGAN PABRIK ETIL ASETAT PROSES ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS H 2 SO 4 KAPASITAS 18.000 TON/TAHUN Oleh : EKO AGUS PRASETYO 21030110151124 DIANA CATUR

Lebih terperinci

Abstrak. Abstract. Pendahuluan

Abstrak. Abstract. Pendahuluan Analisis Konsekuensi Dispersi Gas, Kebakaran, dan Ledakan Pada Tangki Penyimpanan LPG SPPBE PT Aroma Jaya Sejati Sragen Dengan Menggunakan Perangkat Lunak ALOHA Tahun 2013 Fandita Tonyka Maharani, Zulkifli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan laporan. Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut. 1.1

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Metode water-washing dengan cara menurunkan suhu air (Pirola dkk., 2015)

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Metode water-washing dengan cara menurunkan suhu air (Pirola dkk., 2015) BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Pemurnian biogas dengan metode water-washing dapat optimal dengan cara menurunkan suhu air dan meningkatkan tekanan penyerapan (tekanan biogas atau debit air) bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menejemen Resiko Manajemen resiko adalah suatu proses komprehensif untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko yang ada dalam suatu kegiatan. Resiko

Lebih terperinci